47
1. Pendahuluan 1. Latar Belakang Usaha menekan rasa nyeri pada tindakan operasi dengan menggunakan obat telah dilakukan sejak zaman dahulu, termasuk pemberian alcohol dan opioidum secara oral. Tahun 1846 William Morton di Boston, pertama kali menggunakan obat anesthesia dietil eter untuk menghilangkan nyeri operasi. Pada tahun yang sama, James Simpsom, di Skotlandia menggunakan kloroform yang 20 tahun kemudian diikuti dengan penggunaan nitrogen oksida, yang diperkenalkan oleh Davy pada era tahun 1790an. Anestetik modern mulai dikenal pada era tahun 1930an dengan pemberian barbiturate thiopental secara intra vena. Beberapa puluh tahun yang lalu kurare pun pernah diperkenalkan sebagai anestesi umum untuk merelaksasi otot skelet selama operasi berlangsung. Tahun 1956, hidrokarbon halogen yang dikenal degan nama halotan mulai dikenal sebagai obat anestetik secara inhalasi dan menjadikannya sebagai standar pembanding untuk obat-obat anestesi lainnya yang berkembang sesudah itu. Stadium anestesi umum meliputi analgesia, amnesia, hilangnya kesadaran, terhambatnya sensorik dan reflex otonom, dan relaksasi otot rangka. Untuk menimbulkan efek ini, setiap obat anestesi mempunyai variasi tersendiri bergantung pada jenis obat, dosis yang diberikan dan keadaan secara klinis. Anestetik yang ideal akan bekerja secara tepat dan baik serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu batas kemanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang sangat minimal. Tidak satupun

General Anestesi - Stase Anestesi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

General Anestesi - Stase Anestesi

Citation preview

Page 1: General Anestesi - Stase Anestesi

1. Pendahuluan

1. Latar Belakang

Usaha menekan rasa nyeri pada tindakan operasi dengan menggunakan obat telah dilakukan sejak zaman dahulu, termasuk pemberian alcohol dan opioidum secara oral. Tahun 1846 William Morton di Boston, pertama kali menggunakan obat anesthesia dietil eter untuk menghilangkan nyeri operasi. Pada tahun yang sama, James Simpsom, di Skotlandia menggunakan kloroform yang 20 tahun kemudian diikuti dengan penggunaan nitrogen oksida, yang diperkenalkan oleh Davy pada era tahun 1790an. Anestetik modern mulai dikenal pada era tahun 1930an dengan pemberian barbiturate thiopental secara intra vena. Beberapa puluh tahun yang lalu kurare pun pernah diperkenalkan sebagai anestesi umum untuk merelaksasi otot skelet selama operasi berlangsung. Tahun 1956, hidrokarbon halogen yang dikenal degan nama halotan mulai dikenal sebagai obat anestetik secara inhalasi dan menjadikannya sebagai standar pembanding untuk obat-obat anestesi lainnya yang berkembang sesudah itu.

Stadium anestesi umum meliputi analgesia, amnesia, hilangnya kesadaran, terhambatnya sensorik dan reflex otonom, dan relaksasi otot rangka. Untuk menimbulkan efek ini, setiap obat anestesi mempunyai variasi tersendiri bergantung pada jenis obat, dosis yang diberikan dan keadaan secara klinis. Anestetik yang ideal akan bekerja secara tepat dan baik serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu batas kemanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestetik dapat memberikan efek yang diinginkan tanpa disertai efek samping bila diberikan secara tunggal, oleh karena itu, pada anestetik modern selalu digunakan anestetik dalam bentuk kombinasi untuk mengurangi efek samping yang tidak diharapkan.

2. Tujuan

a. Memahami tentang anestesi umum

b. Memahami persiapan pre anestesi umum

c. Memahami proses dan teknik anestesi

d. Memahami obat – obat yang diberikan dalam anestesi umum

Page 2: General Anestesi - Stase Anestesi

2. PEMBAHASAN

II.A Ikhtisar Anestesi UmumAnestesi umum (general anesthesia) adalah keadaan yang dihasilkan ketika pasien

menerima obat untuk amnesia, analgesia, kelumpuhan otot, dan sedasi. Seorang pasien yang teranestesi dapat dianggap dalam keadaan tidak sadar yang terkontrol dan reversibel. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentolerir prosedur bedah yang dapat menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan perasaan yang tidak menyenangkan.

Kombinasi agen anestesi yang digunakan untuk anestesi umum sering meninggalkan pasien dengan konstelasi klinis seperti berikut:

Tidak berespon terhadap rangsangan yang menyakitkan Tidak dapat mengingat apa yang terjadi (amnesia) Tidak mampu mempertahankan jalan nafas yang memadai dan / atau ventilasi spontan

akibat kelumpuhan otot Perubahan sekunder sistem kardiovaskular akibat stimulan / depresan efek dari agen

anestesi

Anestesi umum menggunakan agen intravena dan inhalasi untuk memungkinkan akses bedah yang memadai ke situs operasi. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa anestesi umum mungkin tidak selalu menjadi pilihan terbaik, tergantung pada presentasi klinis pasien, anestesi lokal atau regional mungkin lebih tepat. Penyedia anestesi bertanggung jawab untuk menilai semua faktor yang mempengaruhi kondisi medis pasien dan memilih teknik anestesi optimal yang sesuai, meliputi:

Keuntungan Mengurangi kesadaran pasien intraoperatif Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan sirkulas Dapat digunakan pada kasus-kasus sensitif terhadap agen anestesi lokal Dapat diberikan tanpa memindahkan pasien dari posisi terlentang Dapat disesuaikan dengan mudah pada prosedur tindakan yang meluas atau dengan

durasi tak terduga. Dapat diberikan dengan cepat dan reversible

Kekurangan Memerlukan peningkatan kompleksitas perawatan dan biaya yang terkait Membutuhkan beberapa tahapan persiapan pasien sebelum operasi

Page 3: General Anestesi - Stase Anestesi

Dapat menyebabkan fluktuasi fisiologis yang memerlukan intervensi aktif Berhubungan dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau muntah, sakit

tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan tertunda kembali ke fungsi mental yang normal

Terkait dengan hipertermia ganas, langka, mewarisi kondisi otot di mana paparan beberapa (tetapi tidak semua) agen anestesi umum dapat menghasilkan kenaikan suhu akut dan berpotensi mematikan, hiperkarbia, asidosis metabolik, dan hiperkalemia

Dengan kemajuan modern dalam bidang obat, teknologi monitoring, dan sistem keamanan, serta peningkatan edukasi penyedia anestesi, risiko yang disebabkan oleh anestesi kepada pasien yang menjalani operasi rutin sangat kecil. Kematian yang disebabkan anestesi umum dikatakan terjadi pada tingkat kurang dari 1:100.000. Frekuensi gejala terkait anestesi pada pasien rawat jalan selama 24 jam pertama setelah operasi adalah sebagai berikut:

Muntah - 10-20% Mual - 10-40% Sakit tenggorokan - 25% Nyeri Insisional - 30%

II.B Penilaian dan Persiapan Pra Anestesi

Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan factor penyumbang sebab – sebab terjadinya kecelakaan anesthesia. Dokter spesialis anestesiologi seyogyanya mengunjungi pasien sebelum tindakan bedah, agar dapat mempersiapkan pasien, sehingga pasien dalam kondisi optimal ketika dilakukan tindakan pembedahan. Tujuan utama kunjungan praanestesi ialah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

PENILAIAN PRABEDAHAnamnesis

Hal yang pertama harus dilakukan dalam persiapan pasien sebelum dilakukan tindakan anestesi adalah menanyakan identitas pasien dan mencocokan dengan data pasien mengenai hari dan bagian tubuh yang akan dioperasi untuk menghindari kesalahan tindakan anestesi dan pembedahan.

Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal, atau sesak nafas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang anestesi berikutnya dengan lebih baik.

Selain itu harus ditanyakan juga riwayat penyakit sekarang dan dahulu, riwayat alergi, riwayat penyakit dalam keluarga, dan riwayat sosial seperti kebiasaan merokok, minum minuman beralkohol, kehamilan, dan obat-obatan.

Page 4: General Anestesi - Stase Anestesi

Pemeriksaan fisikBagian ini menitikberatkan pada sistem kardiovaskular dan pernafasan; sistem tubuh

yang lain diperiksa bila ditemukan adanya masalah yang relevan dengan anesthesia pada anamnesis. Pada akhir pemeriksaan fisik, jalan nafas pasien dinilai untuk mengenali adanya potensi masalah.

1. Sistem kardiovaskularPeriksa secara khusus adanya tanda-tanda berikut:

Aritmia; Gagal jantung; Hipertensi; Penyakit katup jantung; Penyakit vascular perifer

Jangan lupa untuk melakukan pemeriksaan vena perifer untuk mengidentifikasi setiap masalah yang berpotensi pada akses IV

2. Sistem pernafasanPeriksa secara khusus adanya tanda-tanda berikut

Gagal nafas; Ganguan ventilasi; Kolaps, konsolidasi, efusi pleura; Suara nafas dan gangguan pernafasan

3. Sistem sarafPerlu dikenali adanya penyakit kronik sistem saraf pusat dan perifer, dan setiap tanda adanya gangguan sensorik atau motorik dicatat. Harus diingat bahwa beberapa kelainan akan mempengaruhi sistem kardiovaskular dan pernafasan; misalnya distrofia miotonika dan sklerosis multiple.

4. Sistem muskuloskeletalCatat setiap keterbatasan pergerakan dan deformitas bila pasien memiliki kelainan jaringan ikat. Pasien yang mengidap penyakit rheumatoid kronik sangat sering mengalami pengurangan massa otot, neuropati perifer, dan keterlibatan paru. Vertebra servikalis dam sendi temporomandibular pasien perlu diperhatikan secara khusus.

Jalan nafasJalan nafas semua pasien harus dinilai untuk mencoba memprediksi apakah pasien akan sulit diintubasi.

Observasi anatomi pasien, amati: Keterbatasan membuka mulut; Mandibula yang mundur (receding mandible)

Page 5: General Anestesi - Stase Anestesi

Posisi, jumlah, dan kesehatan gigi; Ukuran lidah Pembengkakan jaringan lunak didepan leher; Deviasi laring atau trakea; Keterbatasan fleksi dan ekstensi vertebra servikalis.Temuan salah satu dari hal tersebut mengindikasikan bahwa intubasi mungkin akan lebih sulit. Namun, harus diingat bahwa semua ini bersifat subjektif.

Pemeriksaan bedside sederhana Kriteria Mallampati pasien, duduk tegak, diminta untuk membuka

mulut mereka dan menjulurkan lidah semaksimal mungkin. Gambaran struktur faring dicatat dan digolongkan sebagai kelas I-IV (gambar 1). Kelas III dan IV mengindikasikan intubasi sulit.

Gambar 1. Kriteria Mallampati

Jarak Tiromental pada kepala yang diekstensikan sejauh mungkin, diukur jarak antara puncak tulang pada dagu dan penonjolan tulang rawan tiroid. Jarak <7cm mengisyaratkan intubasi sulit.

Skor Wilson peningkatan berat badan, berkurangnya pergerakan kepala dan leher, berkurangnya pembukaan mulut, dan adanya mandibula yang mundur atau gigi tonggos merupakan predisposisi terjadinya peningkatan kesulitan intubasi

Tes Calder pasien diminta untuk memajukan mandibula sejauh mungkin. Incisivus bagian bawah akan terletak di depan (anterior) atau sejajar atau dibelakang (posterior) incisivus atas. Dua yang disebut terakhir mengindikasikan berkurangnya lapan pandang laringoskop.

Page 6: General Anestesi - Stase Anestesi

Tidak satupun dari tes ini, sendiri atau gabungan, akan memprediksi semua kesulitan intubasi. Mallampati kelas III atau IV dengan jarak tiromental <7cm akan memprediksi 80% kesulitan intubasi. Apabila masalah sudah diantisipasi, anestesi harus direncakanan sesuai dengan temuannya. Apabila terbukti sulit diintubasi, hal ini harus dicatat di tempat yang jelas terlihat dalam catatan pasien dan pasien diberitahu.

Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaam

penyakit yang sedang dicurigai. Hanya sedikit bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan penunjang “rutin” sehingga pemeriksaan tersebut sebaiknya hanya diminta bila hasilnya akan mempengaruhi penatalaksanaan pasien. Berikut merupakan panduan kapan diperlukannya pemeriksaan penunjang preoperative yang umum. Sekali lagi, kebutuhan terhadap pemeriksaan ini akan bergantung pada tingkat pembedahan dan usia pasien.

Urea dan elektrolit: pasien yang mengkonsumsi digoksin, diuretic, steroid, dan mereka yang mengidap diabetes, penyakit ginjal, muntah-muntah, dan diare.

Uji fungsi hati: pengidap penyakit hati, riwayat mengkonsumsi alcohol tinggi dari anamnesis, penyakit metastasis atau tanda-tanda malnutrisi.

Gula darah: pengidap diabetes, penyakit arteri perifer berat, dalam terapi steroid jangka panjang.

ECG: hipertensi, dengan gejala atau tanda penyakit jantung iskemik, aritmia jantung, atau pengidap diabetes berusia >40 tahun.

Roentgen thoraks: gejala atau tanda penyakit jantung dan paru, atau tersangka atau pengidap keganasan, bila direncanakan bedah toraks, atau mereka yang berasal dari daerah endemis tuberkulosis yang belum melakukan pemeriksaan roentgen toraks sejak tahun lalu.

Uji fungsi paru: dispnea saat melakukan aktivitas ringan, ppok, atau asma. Ukur laju aliran ekspirasi puncak (PEFR), volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) dan FVC. Pasien yang mengalami dispnea atau sianosis saat beristirahat, yang terbukti memiliki FEV1 <60% prediksi, atau akan menjalani bedah toraks, juga harus dianalisa gas darah arterinya selagi melakukan inspirasi.

Skrining koagulasi: dalam terapi antikoagulan, riwayat diatesis perdarahan, atau riwayat penyakit hati atau ikterik.

Skrining sel sabit: riwayat penyakit sel sabit dalam keluarga atau etnis tertentu dengan peningkata resiko penyakit sel sabit. Apabila positif, akan diperlukan elektroforesis untuk diagnosis definitive.

Roentgen vertebra servikalis :arthritis rheumatoid, riwayat trauma besar atau pembedahan di leher, atau bila diprediksi akan terjadi kesulitan intubasi.

Klasifikasi status fisik

Page 7: General Anestesi - Stase Anestesi

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran seseorang ialah yang berasa dari The American society of anesthesiologist (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko anethesi, karena dampak samping anesthesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan

Kelas I : pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimiawi.Kelas II : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedangKelas III pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktifitas rutin terbatasKelas IV: pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktifitas rutin

dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.Kelas V: pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya

tidak akan lebih dari 24 jam.Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.

Masukan oralRefleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Reguritasi lambung dan kotoran

yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan resiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anesthesia.

Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 ajm sebelum induksi anestesi. Minuman bening. Air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk keperlua minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.

PremedikasiPremedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:

Meredakan kecemasan dan ketakutan Memperlancar induksi anesthesia Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus Meminimalkan jumlah obat anestetik Mengurangi mual-muntah pasca bedah Menciptakan amnesia Mengurangi isi cairan lambung Mengurangi refleks yang membahayakan

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat untuk meredakan kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anesthesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat digunakan opioid misalnya petidin 50 mg intramuscular.

Page 8: General Anestesi - Stase Anestesi

Cairan lambung 25 ml dengan ph 2,5, dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidine 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.

Untuk mengurangi mual dan muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondanseron 2-4 mg.

II. C Induksi dan Rumatan Anestesia

INDUKSI ANESTESIA

Induksi anestesia ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi anesthesia dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anesthesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anesthesia sampai tindakan pembedahan selesai. Sebelum memulai induksi anesthesia selayaknya dipersiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan baik.

Untuk persiapan induksi anesthesia sebaiknya kita menginat singkatan dari STATICS:

S=Scope Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-scope. Pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

T=Tubes Pipa trakea. Pilih jenis dan ukuran sesuai usia. Usia <5 tahun tanpa balon dan >5 tahun dengan balon (cuffed)

A=Airway Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan nafas.

T=Tape Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabutI=Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic yang mudah dibengkokkan

untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkanC=Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesiaS=Suction Penyedot lendir, saliva, dll.

Induksi IntravenaInduksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang

jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesia, pernafasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.

Page 9: General Anestesi - Stase Anestesi

Induksi intramuskular Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan intramuscular dengan dosis 5-7mg/KgBB dengan onset sekitar 3-5 menit.

Induksi inhalasiInduksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (flluotan) atau sevofluran. Cara

induksi ini dikerjakan ada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut untuk disuntik.

Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan. Induksi dengan enfluran, isofluran, atau desfluran jarang dilakukakn, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lebih lama.

Induksi perrektalCara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam.

Rumatan anesthesiaRumatan anestesi (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara intravena (anestesi

intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anesthesia biasanya mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.

Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-59 microgram/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anesthesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O 2 atau N2O + O2.

Rumatan inhalasiRumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan

0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4vol% atau sefovluran 2-4vol% bergantung apakah pasien bernafas spontan, dibantu (assisted), atau dikendalikan (controlled).

II.D Tatalaksana Jalan Nafas

Obstruksi Jalan NafasPada pasien tidak sadar atau dalam keadaan anestesi posisi terlentang, tonus otot jalan nafas atas, otot genioglossus hilang, sehingga lidah akan menyumbat hipofaring dan menyebabkan obstruksi jalan nafas baik total atau parsial. Keadaan ini sering terjadi dan harus cepat diketahui dan dikoreksi dengan beberapa cara, misalnya maneuver tripel jalan nafas (tripel airway maneuver), pemasangan alat jalan nafas faring (pharyngeal airway), pemasangan alat

Page 10: General Anestesi - Stase Anestesi

jalan nafas sungkup laring (laryngeal mask airway), pemasangan pipa trakea (endotracheal tube). Obstruksi dapat juga disebabkan karena spasme laring pada saat anestesi ringan dan mendapat rangsangan nyeri atau rangsangan oleh secret.

Tanda-tanda obstruksi jalan nafas Stridor Nafas cuping hidung Retraksi trakea Retraksi toraks Tak terasa udara ekspirasi

Spasme atau kejang laringTerjadi karena pita suara menutup sebagian atau seluruhnya. Keadaan ini biasanya

disebabkan oleh anestesi ringan dan mendapat rangsang sekitar faring. Terapi: Maneuver tripel jalan nafas Ventilasi positif dengan oksigen 100% Pelumpuh otot suksinil 0,5 mg/kg IV,IM deltoid, sublingual 2-4 mg/kg.

1. Manuver tripel jalan nafasManuver tripel jalan napas terdiri dari:

o Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital

o Mandibula didorong kedepan dengan kedua angulus mandibula

o Mulut dibuka

Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan nafas bebas, sehingga gas atau udara lancar masuk trakea melalui hidung atau mulut.

Gambar 3. Triple Maneuver

2. Jalan nafas laringJika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan nafas mulut-faring lewat mulut (oropahryngeal airway) atau jalan nafas hidung-faring lewat hidung (nasopharyngeal airway).

Page 11: General Anestesi - Stase Anestesi

3. Sungkup mukaSungkup muka (facemask) mengantar udara/gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke jalan nafas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan bernafas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk ke trakea lewat mulut atau hidung. Bentuk sungkup muka sangat beragam bergantung usia dan pembuatnya.

4. Sungkup laringSungkup laring (laryngeal mask airway) ialah alat jalan nafas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembangkan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa keras dari polivinil atrau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.

Cara pemasngan LMA dapat dilakukan dengan atau tanpa bantuan laringoskop. Sebenarnya alat ini dibuat dengan tujuan diantaranya supaya dapat dipasang langsung tanpa bantuan alat dan dapat digunakan jika intubasi trakea diramalkan akan mendapat kesulitan. LMA memang tidak dapat menggantik kedudukan intubasi trakea, tetapi ia terletak diantara sungkup muka dan intubasi trakea. Pemasangan hendaknya menunggu anestesi cukup dalam atau menggunakan pelumpuh otot untuk menghindari trauma rongga mulut, faring-laring. Setelah alat terpasang untuk menghindari pipa nafasnya tergigit makan dapat dipasang gulungan kain kasa (bite block) atau pipa nafas mulut faring (oropharyngeal airway).

5. Pipa trakeaPipa trakea (endotracheal tube) mengantar gas anestetik langsung kedalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Ukuran diameter lubang pipa trakea dalam millimeter. Karena penampang trakea bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda, penampang melintang trakea bayi dan anak kecil dibawa usia 5 tahun hamper bulat, sedangkan pada dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi anak digunakan tanpa kaf dan untuk anak besar – dewasa dengan kaf, supaya tidak bocor.

Penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan selain itu jika kita ingin menggunakan pipa trakea dengan kaf pada bayi harus menggunakan ukuran pipa trakea yang diameternya lebih kecil dan ini membuat resiko tahanan nafas lebih besar.

Laringoskopi dan intubasiFungsi laring ialah mencegah benda asing untuk masuk ke dalam paru. Laringoskopi

ialah alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung agar dapat memasukan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua macam laringoskop:

Bilah, daun (blade) lurus (macintosh) untuk bayi-anak-dewasa. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa

Page 12: General Anestesi - Stase Anestesi

Indikasi Intubasi TrakeaIntubasi trakea ialah tindakan memasukan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai beriku:

1. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapunKelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan secret jalan nafas, dll.

2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasiMisalnya saat resusitasi memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.

3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

Gambar 4. IntubasiKesulitan Intubasi

1. Leher pendek berotot2. Mandibula menonjol3. Maksila/gigi depan menonjol4. Ovula tak terlihat5. Gerak sendi temporo-mandibula terbatas6. Gerak vertebra servikal terbatas

Komplikasi intubasi 1. Selama intubasi

a. Trauma gigi geligib. Laserasi bibir, gusi, laringc. Merangsang saraf simpatis (hipertensi, takikardi)d. Intubasi bronkuse. Intubasi esophagusf. Aspirasig. Spasme bronkus

2. Setelah ekstubasia. Spasme laringb. Aspirasi

Page 13: General Anestesi - Stase Anestesi

c. Gangguan fonasid. Edema glottis-subglotise. Infeksi laring, faring, trakea

Ekstubasi1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:

a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitanb. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi

2. Ekstubasi dikerjakan umumnya pada anestesi sudah ringan dengan catatan tak akan terjadi spasme laring

3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari secret dan cairan lainnya.

II.E Anestesi Intravena

Anestetik intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan untuk rumatan anestesi, tambahan pada analgesia regional atau untuk membantu prosedur diagnostic misalnya thiopental, ketamin, dan propofol. Untuk anestesi intravena total biasanya mengunakan propofol.

TiopentalTiopental merupakan golongan barbiturate (pentotal, tiopenton) dikemas dalam

bentuk bubuk berwarna kuning, berbau belerang, biasanya dalam ampul 500 / 1000 mg. Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades sampai kepekatan 2,5% (1 ml=25 mg).

Tiopental hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg dan disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik. Larutan ini sangat alkalis dengan ph 10-11, sehingga suntikan kedalam vena akan menimbulkan nyeri hebat apalagi bila masuk kedalam arteri akan menyebabkan vasokonstriksi dan nekrosis jaringan sekitar. Kalau ini terjadi dianjurkan untuk memberikan suntikan infiltrasi lidokain.

Bergantung dosis dan kecepatan suntikan thiopental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis, anesthesia atau depresi nafas. Thiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial, dan diduga dapat melindungi otak akibat kekurangan O2. Dosis rendah bersifat anti analgesi.

Tiopental didalam darah 70% akan diikat oleh albumin, sisanya dalam bentuk bebas, sehingga pada pasien dengan albumin rendah dosis harus dikurangi. Tiopental daoat diberikan secara kontinyu pada kasus tertentu di unit perawatan intensif, tetapi jarang digunakan untuk anestesi intravena total. Obat ini sudah jarang digunakan saat ini.

PropofolPropofol, anestesi intravena non barbiturate, telah menggantikan barbiturate dalam

banyak praktik anestesia. Penggunaan propofol lebih diegmari karena memiliki efek samping seperti mual muntah setelah operasi lebih ringan dari agen induksi anestesi intravena lain. Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan emulsi lemak bewarna putih susu bersifat

Page 14: General Anestesi - Stase Anestesi

isotonic dengan kepekatan 1% (1ml= 10mg). suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.

Dosis bolus untuk induks 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg. pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak<3 tahun dan pada wanita hamil tidak dianjurkan.

KetaminKetamin (ketalar) kurang digemari untuk induksi anestesia, karena sering

menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala pasca anestesia dapat menimbulkan mual muntah, pandangan kabur, dan mimpi buruk.

Kalau harus diberikan sebaiknya sebelumnya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropine 0,01 mg/kg

Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2mg/kg dan untuk intramukular 3-10mg. ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1ml= 50mg), dan 10% (1ml=100mg).

OpioidOpioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis tinggi.

Opioid tidak mengganggu sistem kardiovaskular, sehinga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1mg/kg/menit.

II.F Anestesi Inhalasi

Prototipe anestesi inhalasi modern adalah halotan. Halotan saat ini tidak lagi digunakan dalam praktek klinis rutin. Pada 1980-an, digantikan oleh isoflurane dan enfluran, agen yang dibersihkan dari paru-paru lebih cepat dan dengan demikian dikaitkan dengan agen anestesi dengan onset cepat. Pada akhir 1990-an, desfluran dan sevofluran mulai digunakan. Anestesi inhalasi ini jauh lebih maneuverable daripada pendahulu mereka dan berkaitan dengan onset yang lebih cepat.

IsofluranIsofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik atau

subanestetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranian ini dapat dikurangin dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan dalam pembedahan otak.

Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesia teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner. Isofluran dengan konsentrasi >1% terhadap uterus hamil menyebabkan relaksasi dan kurang responsive jika diantisipasi dengan oksitosin, sehingga dapat menyebabkan perdarahan pasca

Page 15: General Anestesi - Stase Anestesi

persalinan. Dosis pelumpuh otot dapat dikurangi sampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan isofluran.

SevofluranSevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dari anestesi lebih cepat

dibandingkan dengan isofluran. Bau dari sevofluran tidak menyengat dan tidak merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi.

Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh tubuh. Walaupun dapat dirusak oleh kapur soda (soda lime, baraline), tetapi belum ada laporan membahayakan terhadap tubuh manusia.

II.G Mesin dan Peralatan Anestesi

Fungsi mesin anestesi ialah menyalurkan gas atau campuran gas anestetik yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang kemudian dihisap oleh pasien dan membuang sisa campuran gas dari pasien. Rangkaian mesin anestesi sangat banyak ragamnya mulai dari yang sangat sederhana hingga yang diatur oleh computer. Mesin yang aman dan ideal ialah mesin yang memenuhi persyaratan beriku:

Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis yang tepat Ruang rugi (dead space) minimal Mengeluarkan CO2 dengan efisien Bertekanan rendah Kelembaban terjaga dengan baik Pengunaannya sangat mudah dan aman

Sumber O2 dan N2O dapat tersedia secara individual menjadi satu-satuan mesin anestetik atau dari sentral melalui pipa-pipa. Rumah sakit besar biasanya menyediakan N2O, O2 dan udara tekanan secara sentral untuk dialirkan ke kamar bedah sentral, kamar bedah rawat jalan, ruang obstetrik, dan lain-lainnya.

Komponen dasar mesin anestetik terdiri atas: Alat pantau tekanan gas (pressure gauge) untuk mengetahui tekanan gas pasok. Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve) untuk menurunkan tekanan gas

pasok yang masih tinggi, sesuai karakteristik mesin anestesi. Meter aliran gas (flowmeter) dari tabung kaca untuk mengatur aliran gas tiap

menitnya Penguap cairan anestetik (vaporizers) dapat tersedia satu sampai empat. Lubang keluar campuran gas (common gas outlet) biasanya berdiameter standart Kendali oksigen darurat (oxygen flush control) untuk keadaan darurat yang dapat

mengalirkan oksigen murni sampai 35-37 liter/menit tanpa melalui meter aliran gas.

Page 16: General Anestesi - Stase Anestesi

Mesin anestesia sebelum digunakan harus diperiksa apakah berfungsi baik atau tidak. Beberapa petunjuk dibawah ini perlu diperhatikan.

1. Periksa mesin dan peralatan kaitannya secara visual apakah ada kerusakan atau tidak, apakah rangkaian sambungannya sudah benar.

2. Periksa alat penguap (vaporizer) apakah sudah terisi obat dan penutupnya tidak longgar atau bocor

3. Periksa apakah sambungan silinder gas atau pipa gas ke mesin sudah benar4. Periksa meter aliran gas (flowmeter) apakah berfungsi baik.5. Periksa aliran gas O2 dan N2O

II.H Pelumpuh Otot

Pelumpuh otot depolarisasiPelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) bekerja seperti asetil kolin,

tetapi di celah saraf otot tak dirusak oleh kolinesterase, sehingga berada cukup lama dicelah sinaptik, akhirnya terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul relakasai otot lurik. Termasuk golongan pelumpuh otot depolarisasi ialah suksinil-kolin (diasetil-kolin) dan dekametonium.

Didalam vena suksinil kolin dimetabolisir oleh kolin esterase plasma, pseudokolin esterase, menjadi suksinil monokolin. Obat anti kolinesterasi (prostigmin) dikontraindikasikan, karena menghambat kerja pseudokolinesterase.

Efek samping suksinil ialah: Nyeri otot pasca pemberian

Nyeri dapat dikurangi dengan memberikan pelumpuh otot nondepolarisasi dosis kecil sebelumnya. Mialgia terjadi sampai 90%, selain itu terjadi mioglobinuria.

Peningkatan tekanan intraocularAkibat kontraksi otot mata eksternal dan dapat dicegah seperti nyeri otot.

Peningkatan tekanan intracranial Peningkatan tekanan intragastrik Peningkatan kadar kalium plasma Aritmia jantung

Berupa bradikari atau ventricular premature beat. Salivasi, akibat efek muskarinik Alergi, anafilaksis. Akibat efek muskarinik.

Pelumpuh otot nondepolarisasiPelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan dengan

reseptor nikotinik-kolinergik, teteapi tak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetil-kolin yang menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja.Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot nondepolarisasi digolongkan menjadi:

1. Bensiliso-kuinolinum: d-tubokurarin, metokurin, atrakurium, doksakurium, mivakurium.

2. Sieroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium, rokuronium.

Page 17: General Anestesi - Stase Anestesi

3. Eter fenolik: gallamin4. Nortokseferin: alkuronium.

Penawar pelumpuh ototPenawar pelumpuh otot atau antikolinesterasi bekerja pada sambungan saraf-otot

mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterasi yang paling sering digunakan ialah neostigmin (prostigmin), piridostigmin, dan edrophonium. Physostigmine (eserin) hanya untuk penggunaan per-oral.

Dosis neostigmin 0,04-0,08 mg/kg, piridostigmin 0,1-0,4 mg/kg, edrophonium 0,5-1 mg/kg dan fisostigmin 0,01-,0,03 mg/kg. penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik menyebabkan hipersalivasi, berkeringat, bradikardia, kejang bronkus, hipermotilitas usus, dan pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus disertai oleh obat vagolitik seperti atropine dosis 0,01-0,02 mg/kg atau glikopirolat 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa. II. I Nyeri dan Tatalaksana Nyeri

DEFINISI NYERI Menurut “The International Association for the Study of Pain” (IASP) tahun 1979, yang

diajukan oleh Merskey, seorang psikiater sebagai berikut: “Painis the unpleasant sensory and emotional experience,associated with actual or potensial tissue damage or described in term of such damage” (Nyeri adalah rasa inderawi dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi rusak atau sesuatu yang tergambarkan seperti itu).

Dari definisi di atas dapat ditarik beberapa pengertian antara lain:1. Nyeri adalah perasaan inderawi yang tidak menyenangkan, artinya unsur utama yang

harus ada untuk disebut nyeri, adalah rasa tidak menyenangkan.2. Nyeri merupakan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan, artinya persepsi

nyeri seseorang ditentukan oleh pengalamannya dan status emosionalnya. Persepsi nyeri sangat bersifat pribadi dan subjektif. Oleh karena itulah maka, suatu rangsang yang sama dapat dirasakan berbeda oleh dua orang yang berbeda, bahkan suatu rangsangyang sama dapat dirasakan berbeda oleh satu orang karena keadaan emosionalnya yang berbeda.

3. Nyeri terjadi akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain associated with actual tissue damage). Nyeri ini disebut sebagai nyeri akut (acute pain) yang diharapkan menghilang seiraima dengan proses penyembuhannya.

4. Nyeri dapat juga terjadi oleh suatu rangsang yang cukup kuat (rangsang noksius), yang berpotensi merusak jaringan. Nyeri ini disebut nyeri fisiologik (physiological pain),fungsinya untuk membangkitkan refleks proteksi guna mencegah terjadinya kerusakan jaringan lebih lanjut.

5. Nyeri dapat juga terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan, tetapi tergambarkan seolah-olah terdapat kerusakan jaringan yang hebat (pain described in term such damage). Nyeri yang terakhir ini justru timbul setelah penyembuhan usai, dan jika berlangsung lebih dari 3 bulan digolongkan sebagai nyeri kronik (chronic pain).

Page 18: General Anestesi - Stase Anestesi

MEKANISME NYERI Antara kerusakan jaringan sebagai sumber rangsang nyeri, sampai dirasakan sebagai

persepsi nyeri, terdapat suatu rangkaian proses elektro fisiologik yang secara kolektif disebut nosisepsi (nociception). Ada empat proses yang jelas yang terjadi pada suatu nosisepsi, yakni:

1. Proses Transduksi (transduction), merupakan proses di mana suatu rangsang nyeri(noxious stimuli) diubah menjadi suatu aktifitas listrik, yang akan diterima oleh ujung-ujung saraf (nerve endings). Rangsang ini dapat berupa rangsang fisik, suhu, ataupun kimia.

2. Proses Transmisi (transmission), dimaksudkan sebagai perambatan rangsang melalui saraf sensoris menyusul proses transduksi.

3. Proses Modulasi (modulation), adalah proses di mana terjadi interaksi antara sistem analgesilk endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke kornu posterior. Jadi merupakan proses desendern yang dikontrol oleh otak seseorang. Analgesik endogen ini meliputi endorfin, serotonin, dan noradrenalin yang memiliki kemampuan menekan asupan nyeri pada kornu posterior. Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu gerbang yang dapat tertutup atau terbuka dalam menyalurkan asupan nyeri. Peristiwa terbuka dan tertutupnya pintu gerbang tersebut diperankan oleh sistem analgesikendogen di atas. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat pribadi dan subjektif pada setiap orang. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya,pendidikan, atensi, serta makna atau arti dari suatu rangsang.

4. Persepsi (perception), adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.

  Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni serabut saraf Aδ yang bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak bermielin (konduksi lambat). Walaupun keduanya peka terhadap rangsang noksius, namun keduanya memiliki perbedaan baik reseptor maupun neurotransmiter yang dilepaskan pada presinaps di kornu posterior. Reseptor (nosiseptor) serabut Aδ hanya peka terhadap stimulus mekanik dan termal, sedangkan serabut C, peka terhadap berbagai stimulus noksius, meliputi mekanik, termal dan kimiawi. Oleh karena itu reseptor serabut C disebut juga sebgai polymodal nociceptors.Demikian pula neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut Aδ di presinaps adalah asam glutamat, sedangkan serabut C selain melepaskan asam glutamat juga substansi P (neurokinin) yang merupakan polipeptida. Hal ini menjadi penting sehubungan dengan mekanisme nyeri pascabedah. Selama pembedahan trauma pembedahan merupakan stimulus noksius yang akan diterima dan dihantar oleh kedua saraf tersebut, sedangkan pascabedah (proses inflamasi) merupakan rangsang noksius yang hanya diterima dan dihantar oleh  serabut C. Dengan kata lain nyeri pascabedah akan didominasi oleh serabut C.            

          

Page 19: General Anestesi - Stase Anestesi

Sensitisasi Perifer Kerusakan jaringan akibat suatu pembedahan selain akan menyebabkan terlepasnya zat-

zat dalam sel juga akan menginduksi terlepasnya mediator inflamasi dari sel mast, makrofag dan limfosit. Lebih dari itu terjadi impuls balik dari saraf aferen yang melepaskan mediator kimia yang berakibat terjadinya vasodilatasi serta peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi ekstravasasi protein plasma.

  Interaksi ini akan menyebabkan terlepasnya suatu soup yang mengandung mediator inflamasi seperti ion kalium, hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P, histamin dan produk-produk siklooksigenase dan lipoksigenase dari metabolisme asam arakidonat yang menghasilkan prostaglandin. Mediator kimia inilah yang menyebabkan  sensitisasi dari kedua nosiseptor tersebut di atas

Akibat dari sensitisasi ini, rangsang lemah yang normal tidak menyebabkan nyeri sekarang terasa nyeri. Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer yang ditandai dengan meningkatnya respon terhadap stimulasi termal/suhu pada daerah jaringan yang rusak. Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh adanya perubahan neurohumoral pada daerah jaringan yang rusak maupun sekitarnya. Jika kita ingin menekan fenomena sensitisasi perifer ini, maka dibutuhkan upaya menekan efek mediator kimia tersebut. Upaya demikian merupakan dasar penggunaan obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) yang merupakan anti enzim siklooksigenase.

Sensitisasi SentralSuatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medulla spinalis. Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama dengan lamanya stimulus tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan sangat penting dalam proses transmisi dan modulasi suatu stimulus noksius. Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron yang merupakan akhir dari serabut aferen pertama

Page 20: General Anestesi - Stase Anestesi

dan second-order neuron sebagai neuron penerima dari neuron pertama. Second-order neuron-lah yang memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi atau menghambat suatu stimulus noksius. Nosiseptif second-order neuron di kornu dorsalis terdiri atas dua jenis yakni pertama,nociceptive-specific neuron (NS) yang secara eksklusif responsif terhadap impuls dari serabut Aδ dan serabut C. Keduanya disebut wide-dynamic range neuron (WDR) yang responsif terhadap baik stimulus noksius maupun stimulus non-noksius yang menyebabkan menurunnyarespon treshold serta meningkatnya reseptive field, sehingga terjadi peningkatan  signal transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri. Perubahan-perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan pada kornu dorsalis menyusul suatu kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan ini disebut sebagai sensitisasi sentral atau wind up. “Wind-up”ini dapat menyebabkan neuron-neuron tersebut menjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain dan menjadi bagian dari sensitisasi sentral. Ini menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak bisa diibaratkan sebagai “hard wired” yang kaku tetapi seperti plastik, artinya dapat berubah sifatnya akibat adanya kerusakan jaringan atau inflamasi.

Penemuan ini telah memberikan banyak perubahan pada konsep nyeri. Dewasa ini telah diketahui bahwa  suatu stimulus noksius yang berkepanjangan pada serabut C dari serabut aferen primer akan menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia pada kornu dorsalis yangsulit untuk dipulihkan. Hal ini menjadi dasar terjadinya nyeri kronik yang sulit disembuhkan

Perubahan lain yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan dengan sensitisasi sentraladalah:

Page 21: General Anestesi - Stase Anestesi

Pertama, terjadi perluasan reseptor field size sehingga neuron spinalis akan berespon terhadap stimulus yang normalnya tidak merupakan stimulus nosiseptif.

Kedua, terjadi peningkatan besaran dan durasi respon terhadap stimulus yang lebih dari potensial ambang.  

Ketiga, terjadi pengurangan ambang batas sehingga stimulus yang  secara normal tidak bersifat nosiseptif akan mentransmisikan informasi nosiseptif.

Perubahan-perubahan ini penting pada keadaan nyeri akut seperti nyeri pascabedah dan perkembangan terjadinya nyeri kronik. Perubahan ini bermanifestasi sebagai hyperalgesia, allodynia dan meluasnya daerah nyeri di sekitar perlukaan.

Suatu jejas saraf akibat pembedahan juga akan mengakibatkan perubahan pada kornu dorsalis. Telah dibuktikan bahwa setelah terjadi jejas saraf  perifer pada ujung terminal aferen yang bermielin, terjadi perluasan perubahan pada daerah sekitar kornu dorsalis. Ini berarti bahwa serabut saraf yang biasanya tidak menghantarkan nyeri ke daerah kornu dorsalis yang superfisial telah berfungsi sebagai relay pada transmisi nyeri. Jika secara fungsional dilakukan hubungan antara terminal-terminal yang normalnya menghantarkan informasi non-noxious  dengan neuron-neuron  yang secara normal menerima input nosiseptif maka akan terbentuk suatu pola nyeri dan hipersensitivitas terhadap sentuhan ringan sebagaimana yang terjadi pada kerusakan saraf.

Telah dikenal sejumlah besar tipe reseptor yang terlibat dalam transmisi nyeri. Reseptor-reseptor ini berada di pre dan postsinaps dari terminal serabut aferen primer. Beberapa dari reseptor ini telah menjadi target penelitian untuk mencari alternatif pengobatan baru. Reseptor N-methyl-D-Aspartat (NMDA) banyak mendapat perhatian khusus. Diketahui bahwa reseptor non NMDA dapat memediasi proses fisiologis dari informasi sensoris, namun bukti yang kuat menunjukkan peranan reseptor NMDA pada perubahan patofisiologis seperti pada mekanisme“wind-up” dan perubahan-perubahan lain termasuk proses fasilitasi, sensitisasi sentral dan perubahan daerah reseptor perifer. Dengan demikian antagonis NMDA tentunya dapat menekan respon ini. Ketamin, penyekat reseptor NMDA, dengan jelas dapat mengurangi kebutuhan opioid  bila diberikan sebelum operasi. Dekstrometorfan, obat penekan batuk, dapat menjadi alternatif lain karena penelitian menunjukkan bahwa dekstrometorfan juga merupakan penyekat reseptor NMDA.

Gambar , dikutip dari Cousin MJ, Power I, Smith G.

Page 22: General Anestesi - Stase Anestesi

Dewasa ini perhatian selanjutnya juga tertuju pada NO dan peranannya dalam proses biologik. Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada proses nosiseptif. Produksi NO terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor NMDA dan influks Ca. Ca intraseluler akan bergabung dengan calmodulin menjadi Ca-calmodulin yang selanjutnya akan mengaktivasi enzim NOS (Nitric Oxide Synthase) yang dapat mengubah arginin menghasilkan sitrulin dan NO(Nitric Oxide) dengan bantuan NADPH sebagai co-factor.

Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi normal sel. Namun, dalam jumlah yang berlebihan, NO dapat bersifat neurotoksik yang akan merusak sel saraf itu sendiri.

Perubahan yang digambarkan diatas, terjadi seiring dengan aktivasi reseptor NMDA yang berkelanjutan. Dengan demikian,  obat-obat yang dapat menghambat produksi dari NO akanmempunyai peranan yang penting dalam pencegahan dan penanganan nyeri.

Fenomena “wind-up” merupakan dasar dari analgesia pre-emptif, dimana memberikan analgesik sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan respon nyeri akut sedini mungkin, analgesia pre-emptif dapat mencegah atau setidaknya mengurangi kemungkinan terjadinya“wind-up”. Idealnya, pemberian analgesik telah dimulai sebelum pembedahan.

Berbagai upaya telah dicoba untuk memanfaatkan informasi yang diperoleh dari hasil penelitian farmakologik dan fisiologik dalam penerapan strategi penanganan nyeri. Percobaan difokuskan pada dua pendekatan. Pertama, penelitian tentang bahan-bahan yang pada tingkat spinal berefek terhadap opiat, adrenoreseptor alfa dan reseptor NMDA. Kedua, perhatian ditujukan pada usaha mencoba mengurangi fenomena sensitisasi sentral. Konsep analgesia pre-emptif telah mendunia sebagai hasil dari penemuan ini dan menjadi sebuah usaha dalam mencegah atau mengurangi perubahan-perubahan yang terjadi pada proses nyeri.

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri pascabedah adalah terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh karena itu prinsip dasar pengelolaan nyeri pascabedah adalah mencegah atau meminimalisasi terjadinya sensitisasi perifer dengan pemberian obat-obat NSAID (COX1 atau COX2), sedangkan untuk menekan atau mencegah terjadinya sensitisasi sentral dapat dilakukan dengan pemberian opiat atau anestetik lokal utamanya jika diberikan secara sentral.

Page 23: General Anestesi - Stase Anestesi

KLASIFIKASI NYERI

1.  Nyeri AkutMenurut Federation of State Medical Boards of the United States; acute pain is the

normal, predicted physiological response to an adverse chemical, thermal or mechanical stimulus, associated with surgery trauma and acute illness. (Nyeri akut adalah respon fisiologik normal yang diramalkan terhadap rangsang kimiawi, panas atau mekanik menyusul suatu pembedahan, trauma, dan penyakit akut). Ciri khas suatu nyeri akut adalah nyeri yang diakibatkan oleh adanya kerusakan jaringan yang nyata dan akan hilang seirama dengan proses penyembuhannya.

Dikenal 3 macam nyeri akut yaitu 1. Nyeri somatik luar / cutaneus/ superfisial, yaitu nyeri yang mengenai kulit, subkutis, mukosa. Biasanya bersifat burning (seperti terbakar), contoh :  terkena ujung pisau atau gunting

2. Nyeri somatik dalam / deep somatic/ nyeri dalam, yaitu nyeri yang muncul dari otot rangka,tulang, sendi, jaringan ikat, pembuluh  darah, tendon dan syaraf. Nyeri menyebardan lebih lama dari pada nyeri somatik luar,  contoh : sprain sendi

3. Nyeri visceral, yaitu nyeri karena penyakit atau disfungsi alat dalam, stimulasi reseptor nyeri dalam rongga abdomen, cranium dan thorak. Biasanya terjadi karena spasme otot, iskemia, regangan jaringan.

Prototipe dari nyeri akut adalah nyeri pascabedah. Analgesia balans merupakan teknikpenaganan nyeri pasca bedah yang sangat ideal dan efektif sebab dapat menghasilkan pain freedan stress free. Analgesia balans adalah suatu teknik pengelolaan nyeri pascabedah yang menggunakan pendekatan multimodal di mana, mekanisme nyeri dihambat atau ditekan pada setiap tahap pada proses nosisepsi (transduksi, transmisi dan modulasi). Jadi nyeri dihambat pada tiga tempat secara bersamaan, sehingga terjadi hambatan yang bersifat sinergik. 

2. Nyeri Kronik 

Page 24: General Anestesi - Stase Anestesi

  The International Association for Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri kronik sebagai“pain that persists beyond normal tissue healing time, which is assumed to be three months”(nyeri kronik adalah nyeri yang menetap melampaui waktu penyembuhan normal yakni 3 bulan).Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan nyeri kronik adalah nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai atau nyeri yang berlangsung lebih dari tiga bulan tanpa adanya malignitas. Oleh karena itu nyeri kronik biasa disebut sebagai chronic non malignant pain. Dikenal tiga macam bentuk nyeri kronik yakni:

1. Nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai, misalnya complex regional pain syndromyang dahulu dikenal sebagai reflex symphathetic dystrophy, post herpetic neuralgia, phantom pain,neurophatic pain, dan lain-lain.

2. Nyeri yang timbul tanpa penyebab yang jelas, misalnya nyeri pinggang bawah (low back pain), sakit kepala, dan lain-lain.

3. Nyeri yang didasari atas kondisi kronik, misalnya osteoartheritis atau reumathoid arthritis, dan lainlain. Sangat subjektif dan dipengaruhi oleh kelakuan, kebiasaan dan lain-lain.

3. Nyeri Kanker Dibandingkan dengan nyeri akut atau nyeri kronik, maka masalah nyeri kanker jauh lebih

rumit. Hal itu disebabkan karena nyeri kanker tidak saja bersumber dari faktor fisik akibat adanya kerusakan jaringan, tetapi juga diperberat oleh faktor nonfisik berupa faktor psikologis, sosial budaya dan spiritual, yang secara keseluruhan disebut NYERI TOTAL. Dengan kata lain,NYERI TOTAL dibentuk oleh berbagai unsur yakni, biopsikososio-kulturo-spiritual. Oleh karena itu, pengelolaan nyeri kanker yang baik membutuhkan pendekatan multidisplin yang melibatkan sernua disiplin ilmu yang terkait. Bahkan lebih dari itu, anggota keluarga penderita pun harus dilibatkan utamanya dalam perawatan yang tidak kurang pentingnya.Nyeri kanker dapat dibagi atas 2 kategori :

a. Nyeri Organik: Nyeri nosiseptif : Nyeri somatik (kulit, otot, tulang dan jaringan lunak) dan

Nyeri visceral (organ thoraks dan abdomen) Nyeri  non nosiseptif : Nyeri neuropatik (deafferentiation pain) akibat adanya

penekanan dan kerusakan jaringan saraf.b.  Nyeri Pysikologik

Menurut WHO, dikenal sebagai three step ladder, yang pemberiannya harus : by the mouth, by the clock, by the ladder. Dimulai dari step ladder I, diikuti step II dan III

Analgesik Nonopioid Usual analgesics : Aspirin, Acetominophen NSAIDs ( Non-selective COX Inhibitors Ibuprofen, Ketoprofen, Naproxen, 

Diclofenac Sodium, Indomethacin, Ketorolac, Piroxicam, Mefenamic acid. NSAIDs ( Selective COX-2 Inhibitors ): Celecoxib, Parecoxib, Rofecoxib, etc.

Opioids untuk Moderate Pain

Page 25: General Anestesi - Stase Anestesi

Weak Opioid : Codein (biasanya digunakan sebagai  antitussive, Konstipasi merupakan efek yang sering terjadi)

Opioids untuk Severe Pain Morphine-Like Agonist : Morphine, Levorphanol, Codein, Hydromorphine, 

Methadone,Oxycodone, Fentanyl transdermal, Meperidin. Partial Agonist  : Buprenorphine Mixed Agonist – Antagonist : Pentazocine, Nalbuphine, Butorphanol

PETIDIN Petidin (meperidin, Demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda

dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Perbedaan dengan morfin sebagai berikut:

Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang lebih larut dalam air

Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin ialah metabolit yang masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesiknya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin.

Petidin bersifat seperti atropine menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan, dan takikardi

Seperti morfin ia menyebabkan kostipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan

Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pascabedah yang tak ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg IV pada dewasa

Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.Dosis petidin intramuscular 1-2mg/kgBB (morfin 10x lebih kuat) dapat diulang tiap 3-4 jam. Dosis intravena 0,2-05 mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan karena iritasi. Rumus bangun menyerupai lidokain, sehingga dapat digunakan untuk analgesia spinal pada pembedahan dengan dosis 1-2 mg/kgBB.

FENTANILFentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100x lebih dari morfin.

Lebih larut dalam lemak dibandingkan petidin dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hamper sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama melewatinya. Dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi dan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.

Efek depresi nafas lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 microgram/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya digunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.

Dosis besar 50-150 microgram/kgBB digunakan untuk induksi anestesia dan pemeliharaan anestesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Efek tak disukai ialah kekakuan otot puggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, rennin, aldosteron, dan kortisol.

Page 26: General Anestesi - Stase Anestesi

TRAMADOL Tramado (tramal) adalah analgesic sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu dan kelemahan analgesinya 10-20% disbanding morfin. Tramadol dapat diberikan secara oral, IM atau IV dengan dosis 50-100 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 400 mg/hari.

II. J Monitoring Perianastesia

Kemajuan dalam bidang mikro-elektronik dan bioengineering memungkinkan kita memonitor lebih efektid dan dapat mengetahui peringatan awal dari masalah yang potensial, sehingga kita dapat cepat mengerjakan hal-hal yang perlu untuk mengembalikan fungsi organ vital sefisiologis mungkin. Tetapi alat monitor kurang bermanfaat kalau arti dan limitasi dari informasi yang diberikan kurang dimengerti.

Anstesia bertujuan menghasilkan blockade terhadapap rangsang nyeri, blockade terhadap memori atau kesadaran dan blockade terhadap otot lurik. Untuk meniadakan atau mengurangi efek sammping dari obat atau tindakan anestesi diperlukan monitoring untuk mengetahui apakah ketiga hal diatas cukup adekuat, kelebihan dosis atau malah perlu ditambah.

Pasien meninggal bukan karena kelebihan dosis analgetika atau relaksansia, tetapi karena gangguan pada jantung, kekurangan oksigen pada otak, adanya perdarahan, transfuse dengan darah yang salah, hipoventilasi dan sebagainya.

Tujuan monitoring untuk membantu anastesis mendapatkan informasi fungsi organ vital selama perianestesi, supaya dapat bekerja dengan aman. Monitoring secara elektronik membantu anestesis mengadakan observasi pasien dengan lebih efisien secara terus menerus.

Perhimpunan dokter spesialis anestesiologi Amerika Serikat pada 1986 menentukan monitor standar untuk oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan suhu badan perianestesia untuk semua kasus termasuk anestesi umum, analgesia regional, dan pasien dalam keadaan diberikan sedative sebagai berikut;

Standar 1: selama anestesi pasien harus diawasi oleh personel anastesi yang berkualitas.Standar 2: selama anestesi oksigenasi, ventilasi, sirkulasi dan suhu. Pasien harus dievaluasi

baik secara berkala atau terus menerus.

Monitoring standarRekam medis sebelum tindakan anestesi sangat penting diketahui apakah pasien

berada dalam keadaan segar atau sedang menderita suatu penyakit sistemik. Monitoring dasar pada pasien dalam keadaan anestesia ialah monitoring tanpa alat atau dengan alat sederhana seperti stetoskop dan tensimeter secara inspeksi, palapsi, perkusi, dan auskultasi.

Monitoring rutin atau monitoring standar pada pasien dalam peranestesia berbeda antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya dan bergantung banyak hal, misalnya apakah pembedahannya termasuk bedah ringan cepat selesai pada pasien sehat atau bedah sedang, bedah khusus.

Page 27: General Anestesi - Stase Anestesi

Monitoring yang lengkap dan baik meninggatkan mutu pelayanan terhadap pasien, tetapi tidak dapat menjamin tidak akan terjadi sesuatu. Kemajuan dalam bidang teknologi dapat merubah monitoring standar dari waktu ke waktu. Monitoring standar atau minimal yaitu stetoskop prekordial/esofagel, manset tekanan darah, ekg, oksimeter dan thermometer. Sebelum mengerjakan anestesia semua peralatan harus diperksa apakah bekerja cukup baik, seperti pilot pesawat udara akan menerbangkan pesawatnya.

Monitoring Kardiovaskular1. Non-invasif (tak langsung)

1.1 Nadi Monitoring terhadap nadi merupakan keharusan, karena gangguan sirkulasi sering terjadi selama anestesia. Makin bradikardi makin menurunkan curah jantung. Monitoring terhadap nadi dapat dilakukan dengan cara palpasi arteria radialis, brakialis, femoralis, atau karotis. Dengan palpasi dapat diketahui frekuensi, irama, dan kekuatan nadi. Selain palpasi dapat dilakukan auskultasi dengan menempelkan stetoskop di dada atau dengan kateter khusus melalui esophagus. Cara palpasi dan cara auskultasi ini terbatas, karena kita tidak dapat melakukannya secara terus menerus.Monitoring nadi secara kontinyu dapat dilakukan dengan peralatan elektronik seperti EKG atau oksimeter yang diserti dengan alarm. Pemasangan EKG untuk mengetahui secara kontinyu frekuensi nadi, disritmia, iskemia jantung, gangguan konduksi, abnormalitas elektrolit dan fungsi ‘pacemaker’.

1.2 Tekanan darah Tekanan darah dapat diukur secara manual atau otomatis dengan manset yang harus tepat ukurannya, karena terlalu lebar menghasilkan nilai lebih rendah dan terlalu sempit menghasilkan nilai lebih tinggi. Tekanan sistolik-diastolik diketahui dengan cara auskultasi, palpasi, sedangkan tekanan arteri rata-rata diketahui secara langsung dengan monitor tekanan darah elektronik atau dengan menghitungnya yaitu 1/3 (tekanan sistolik+2x tekanan diastolic).

1.3 Banyaknya perdarahanMonitoring terhadap perdarahan dilakukan dengan menimbang kain kasa ketika sebelum kena darah dan sesudahnya mengukur jumlah darah di botol pengukur darah ditambah 10-20% untuk yang tidak dapat diukur.

2. Invasif (langsung)Biasanya dikerjakan untuk bedah khusus atau pasien keadaan umum kurang baik.2.1 dengan kanulasi arteri melalui a.radialis, a.dorsalis pedis, a.karotis, a.femoralis

dapat diketahui secara kontinyu tekanan darah pasien2.2 dengan kanulasi vena sentral, v jugularis interna-eksterna, v.subklavia, v.basilika,

v.femoralis dapat diketahui tekanan vena sentral secara kontinyu.2.3 Dengan kanulasi a.pulmonalis dapat dianalisa curah jantung

Page 28: General Anestesi - Stase Anestesi

2.4 Pada bayi baru lahir dapat digunakan arteria dan atau vema umbilikalis. Selain itu kanulasi arteri ini dapat digunakan untuk memonitor ventilasi dengan mengukur kadar pH, PO2, PCO2 bikarbonat dengan lebih sering sesuai kebutuhan. Pada bedah jantung yang kompleks digunakan ekosardiografi trans-esofageal.

Monitoring RespirasiOksimetri denyut (pulse oximetry) untuk mengetahui saturasi oksigen, selai itu dapat

diketahui frekuensi nadi dan adanya disritmia. Kapnometri untuk mengetahui secara kontinyu kadar CO2 dalam udara inspirasi atau

ekspirasi. Kapnometer dipengaruhi oleh sistem anestesi yang digunakan. Monitoring khusus biasanya bersifat invasive karena kita ingin secara kontinyu mengukur tekanan darah arteri dan tekanan darah vena, produksi urin, analisa gas darah, dsb.

Monitoring Suhu BadanDilakukan pada bedah lama atau pada bayi dan anak kecil. Pengukuran suhu sangat

penting pada anak terutama bayi, karena bayi mudah sekali kehilangan panas secara radiasi, konveksi, evaporasi, dan konduksi dengan konsekuensi depresi otot jantung, hipoksia, asidosis, pulih anestesi lambat, dan pada neonates dapat terjadi sirkulasi persistent fetal.

Monitoring GinjalUntuk mengetahui keadaan sirkulasi ginjal. Produksi air kemih normal minimal 0,5-

1,0 ml/kgBB/jam dimonitor pada bedah lama dan sangat bermanfaat untuk menghindari retensi urin atau distensi buli-buli. Monitoring produksi air kemih harus dilakukan dengan hati-hati karena selain traumatis juga mengundang infeksi sampai ke pielonefritis. Secara rutin digunakan kateter foley karet lunak ukuran 5-8OF. bila >1 ml/kgBB/jam dan reduksi urin positif 2, dicurigai adanya hiperglikemia.

Page 29: General Anestesi - Stase Anestesi

Laporan Kasus

1. Identitas PasienNama : Tn. FaisalUmur : 16 tahunJenis Kelamin: PriaNo Register: 01128xxxBerat Badan : 55 kgJenis pembedahan : EksplorasiRencana anestesi : General Anesthesia – Intubasi

2. Persiapan preoperasi2.1 Anamnesis

A: Tidak ada riwayat alergi obat-obatan, makanan, dan penyakit M: Telah mendapat pengobatan ceftriaxone inj 1x 2gram,tramadol inj 2x 50mg.

P : Riwayat DM(-), HT(-), Asma (-)L : Muasa mulai 8 jam sebelum operasiE : Pasien mendapatkan luka tusuk multiple di bagian toraks.

2.2 Pemeriksaan fisik pre-operasiAirway paten, nafas spontan, RR 12x/menit, Rhonki ( - ), Wheezing ( - ),

Mallampati 1, leher bebas jarak tiromental >6 cm, buka mulut >3 jari, gigi goyang (-), gigi palsu (-), akral hangat, merah, nadi 80x/menit, TD 120/80.

Jenis pembedahan : Eksplorasi.

3. Laporan Anesthesi Durante OperasiJenis anestesi : GA – IntubasiTeknik intubasi : CCS – Induksi IV, ETT nonkinking #7.5 , cuff (+), guedel (+)Lama anestesi :11:40 - 12:40Lama operasi : 11:50 – 12:30

Tindakan anestesi umum dengan intubasiPasien diposisikan pada posisi supine, memastikan kondisi pasien stabil dengan vital

sign dalam batas normal. Obat midazolam 1mg dan fentanyl 50 microgram diberi intravena untuk tujuan premedikasi.

Obat berikut dimasukkan secara intravena: Propofol 130 mg Tramus 30mg Ketamin 50mg Asam Traneksamat 1g Ondansetron 8mg

Page 30: General Anestesi - Stase Anestesi

Ketorolac 30mgPasien diberi oksigen 100% 2 liter dengan metode over face mask. Dipastikan apakah

airway pasien paten. Dimasukkan muscle relaxant atracurium 30mg intravenous dan diberi bantuan nafas dengan ventilasi mekanik. Dipastikan pasien dalam keadaan tidak sadar dan stabil untuk dilakukan intubasi ETT. Dilakukan intubasi ETT dilakukan ventilasi dengan oksigenasi. Cuff dikembangkan lalu cek suara nafas pada semua lapang paru, lambung dengan stetoskop, dipastikan suara nafas dan dada mengembang secara simetris. ETT difiksasi agar tidak lepas dan disambungkan dengan ventilator. Maintenance dengan inhalasi oksigen 2 lpm dan sevoflurane 0,25%.

Monitor tanda-tanda vital pasien, produksi urin, saturasi oksigen, tanda-tanda komplikasi (pendarahan, alergi obat, obstruksi jalan nafas, nyeri). Dilakukan ekstubasi apabila pasien mulai sadar, bernafas spontan, dan ada reflek-reflek jalan nafas atas, dan dapat menuruti perintah sederhana.

Cairan Masuk:Ring As 1000 mlHes 1000 ml

Cairan Keluar Perdarahan kurang lebih 700mlUrin kurang lebih 600 ml

4. Pasca bedah di ruang pulih sadarKeluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)Pemeriksaan Fisik :

Kesadaran : 2 (sadar penuh)Respirasi : 2 (dapat bernafas dalam)Sirkulasi : 2 (Tekanan darah naik/turun berkisar 20%)Warna kulit: 2 (merah muda, capirally refill <3 detik)Aktivitas : 2 (4 anggota tubuh bergerak aktif/diperintah)

Terpasang cateter no 16, BAK spontan (+), urin warna kuning (+)Tekanan darah 120/50, CRT <3dtk.

5. Terapi pasca bedahInfus : RL III & Dextrose 5% III (dalam 24 jam)Ceftriaxone inj 1x2 grSanmol 3x1 grTransfusi PRC 500 ccTransfusi bila HB<8g/dl. Bila kesakitan inj ketorolac 3x1/MO sesuai SOP KU.

Page 31: General Anestesi - Stase Anestesi

III. PENUTUP

Kesimpulan Anestesi umum adalah suatu tindakan meniadakan nyeri secara sentral, disertai

hilangnya kesadaran dan bersifat reversible yang terdiri dari hipnotik, analgesia dan relaksasi. Sebelum dilakukan anestesi umum, harus dilakukan penilaian pada pasien yang

mencakup beberapa hal yaitu status kesehatan pasien, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium serta menentukan klasifikasi status fisik menurut The American Society of Anaesthesiologist (ASA).

Selama proses anestesi, dilakukan pemantauan keadaan umum, kesadaran, tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu dan perdarahan. Jika terdapat kesulitan selama melaksanakan anestesi umum, seperti jalan nafas dan intubasi, harus ditangani dengan benar

 

DAFTAR PUSTAKA

Page 32: General Anestesi - Stase Anestesi

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 2. Jakarta:

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;

2002.

2. Gwinnut CL. Catatan Kuliah Anestesi Klinis. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC; 2008.

3. Desai AM. General Anesthesia. Edisi 29 April 2013. Diunduh dari:

http://www.emedicine.medscape.com, 28 Mei 2013.