5
BAB III PEMBAHASAN Pada skenario didapatkan bahwa Eyang Yoso satu bulan ini tidak mau makan, minumnya hanya sedikit, tidak mau bicara dan batuk-batuk selama 1 bulan. Umur pasien adalah 90 tahun, hal ini menunjukkan bahwa pasien termasuk dalam golongan lanjut usia dimana sudah terjadi banyak perubahan dan penurunan kesehatannya. Tidak mau makan adalah gejala yang sering dialami oleh lansia. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal termasuk diantaranya adalah penurunan indra penciuman dan perasa serta ketidakseimbangan neurotransmitter. Tidak mau makan juga dapat disebabkan oleh perubahan fisiologis pada organ pencernaan yang menyebabkan menurunnya fungsi pencernaan. Dampak dari tidak mau makan adalah terjadinya malnutrisi. Batuk berdahak dapat disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah infeksi pada paru dan saluran pernapasan. Pada lansia yang imobilisasi dalam jangka waktu yang lama terjadi penurunan kemampuan compliance paru dan melemahnya kemampuan otot diafragma untuk mengeluarkan benda asing maupun sputum dalam paru-paru. Adaknya infeksi pada paru akan mengaktifkan mediator inflamasi yang akan meningkatkan permeabilitas kapiler paru. Hal ini menyebabkan terjadinya perpindahan eksudat plasma dari

BAB 3 skenario 3.doc

Embed Size (px)

Citation preview

BAB III

PEMBAHASAN

Pada skenario didapatkan bahwa Eyang Yoso satu bulan ini tidak mau makan, minumnya hanya sedikit, tidak mau bicara dan batuk-batuk selama 1 bulan. Umur pasien adalah 90 tahun, hal ini menunjukkan bahwa pasien termasuk dalam golongan lanjut usia dimana sudah terjadi banyak perubahan dan penurunan kesehatannya. Tidak mau makan adalah gejala yang sering dialami oleh lansia. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal termasuk diantaranya adalah penurunan indra penciuman dan perasa serta ketidakseimbangan neurotransmitter. Tidak mau makan juga dapat disebabkan oleh perubahan fisiologis pada organ pencernaan yang menyebabkan menurunnya fungsi pencernaan. Dampak dari tidak mau makan adalah terjadinya malnutrisi. Batuk berdahak dapat disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah infeksi pada paru dan saluran pernapasan. Pada lansia yang imobilisasi dalam jangka waktu yang lama terjadi penurunan kemampuan compliance paru dan melemahnya kemampuan otot diafragma untuk mengeluarkan benda asing maupun sputum dalam paru-paru. Adaknya infeksi pada paru akan mengaktifkan mediator inflamasi yang akan meningkatkan permeabilitas kapiler paru. Hal ini menyebabkan terjadinya perpindahan eksudat plasma dari kapiler ke dalam ruang interstisial. Eksudat atau dahak ini akan merangsang saluran nafas untuk mengeluarkannya melalui mekanisme batuk.

Dari hasil pemeriksaan didapatkan kesadaran: apatis, TD 120/ 70 mmHg, RR 30x/ menit, T 36C, HR 108x/ menit. Kesadaran apatis dalam Glasgow Coma Scale (GCS) bernilai antara 12-13 dan secara kualitatif dinilai sebagai keadaan acuh tak acuh terhadap keadaan sekitarnya. Tekanan darah 120/ 70 mmHg dalam batas normal. Respiration rate terdapat peningkatan (normal 16-25x/ menit) merupakan salah satu tanda pneumonia, temperatur dalam batas normal (suhu oral rata-rata usia lanjut 36C). Tidak adanya demam sering terjadi pada kasus infeksi yang dialami oleh lansia. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah karena terjadi penurunan produksi endogen pirogen dan berkurangnya sensitifitas reseptor endogen pirogen di hipotalamus, menurunnya fungsi thermoregulasi, dan menurunnya basal metabolism rate. Heart rate terdapat peningkatan (normal 60-100x/ menit).

Pada pemeriksaan paru sebelah kanan didapatkan ronkhi basah kasar, suara dasar bronkhial, dan fremitus raba meningkat. Suara ronkhi basah kasar dapat terjadi pada abnormalitas jaringan paru (contoh: pneumonia) maupun karena abnormalitas jalan nafas (contoh: bronkhitis). Ronkhi basah kasar merupakan petunjuk adanya peningkatan sekresi di saluran nafas besar dengan intensitas suara lebih keras, nada rendah, dan durasi lebih lama. Fremitus raba meningkat pada konsolidasi paru (contoh: penumonia). Ketiga hasil pemeriksaan paru tersebut merupakan kelainan fisik yang lazim pada penumonia yaitu tanda konsolidasi paru meliputi perkusi redup/ pekak pada daerah paru dengan kelainan, ronkhi basah kasar, dan suara nafas bronkhial. Selain itu bisa didapatkan juga peningkatan frekuensi nafas 24x/menit dan dapat disertai syok septik dengan gejala kelelahan, inanisi, dan penurunan kesadaran.

Skor Norton 9. Pemeriksaan ini menandakan telah terjadi ulkus dekubitus pada pasien. Punggung bawah merupakan salah satu predileksi ulkus dekubitus karena pada daerah tersebut sering tertekan. Penilaian derajat dilakukan dengan melihat reaksi peradangan apakah mencapai epidermis (derajat I), dermis/ subkutan (derajat II), jaringan lunak dan fascia dalam (derajat III), dan sudah terlihat otot dan tulang (derajat IV). Skor Norton merupakan alat untuk menilai risiko ulkus dekubitus pada pasien imobilisasi. Skor 12 menunjukkan bahwa terjadi resiko tinggi untuk terjadi ulkus dekubitus dengan peningkatan risiko 50x lebih besar. Hasil lab: leukosit 7.500 didapatkan hasil dalam batas normal (4000-11.000/ mm3). Pneumonia pada lansia sebagian besar didapatkan leukosit yang normal atau sedikit meninggi, kadang-kadang didapatkan leukositosis. Infeksi pada lansia kadang tidak terdapat leukositosis karena sistem imun tubuh dan sistem hematopoietik lansia telah menurun.Terapi kuratif diberikan pada pasien untuk mengatasi gejala yang timbul. Pada pasien telah dilakukan terapi oksigenasi, pemberian antibiotik dan terapi cairan. Terapi oksigenasi diberikan untuk menjaga asupan oksigen pada pasien sehingga tidak timbul hipoksia, terapi cairan diberikan untuk mencegah dehidrasi dan hipoglikemi, serta untuk indikasi adanya peningkatan frekuensi pernafasan, dimana pemberian oksigenasi ini diberikan jika frekuensi pernafasan > 24 kali/ menit. Sedangkan pemberian antibiotik dilakukan untuk mengobati infeksi bakterial yang terjadi pada pasien. Pada tahap awal sebaiknya diberikan antibiotik empirik bersprektum luas yang sesuai dengan lokasi infeksi, lokasi penderita dan lokasi terjadinya infeksi (di masyarakat atu dirumah sakit) sambil menunggu hasil kultur dari dahak. Dalam pemberian dosis dan pemilihan jenis antibiotika perlu diperhatikan adanya perubahan fungsi organ sebagai akibat proses menua serta komorbid yang ada pada lansia yang seluruhnya akan berakibat pada terjadinya perubahan distribusi obat, metabilisme obat, eksresi dan interaksi obat. Untuk pasien pneumonia yang dirawat dirumah sakit dapat diberikan klindamisin dan seftazidim.

Sementara itu, untuk mengatasi dekubitus yang terjadi pada pasien disesuaikan derajatnya. Pemberian kasur dekubitus merupakan hal yang tepat, selain pemberian kasur dekubitus diperlukan penatalaksanaan sesuai derajatnya seperti yang tercantum pada tinjauan pustaka. Pasien dirujuk ke bagian rehabilitasi medik untuk dilakukan terapi rehabilitasi. Tujuan terapi rehabilitasi medik atas indikasi stroke dan imobilisasi adalah untuk mempertahankan kekuatan otot serta menurunkan ketergantungan pasien terhadap orang lain. Rehabilitasi medik dilakukan dengan latihan bertahap dan aman bagi pasien. Rehabilitasi juga ditujukan bagi pasien pneumonia. (GA ADA BAHANNYA REHAB MEDIK)