14
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Ketuban 2.1.1 Anatomi Ketuban Selaput ketuban secara mikroskopis terdiri dari lima lapisan. Lapisan terdalam yang dibasahi cairan ketuban dibentuk oleh satu lapisan epithelial kuboidal yang melekat pada membran basalis yang melekat pada lapisan kompak aselular yang terdiri dari interstitial kolagen. Di luar lapisan kompak inii terdapat lapisan sel mesenkimal. Lapisan terluar dari ketuban adalah lapisan zona spongiosa. Lapisan terluar ketuban berhubungan langsung dengan lapisan chorion. Umbilical amnion melapisi tali pusat (Parry & Strauss, 1998). 2.1.2 Fisiologi cairan Ketuban Amnion manusia pertama kali dapat diidentifikasi pada sekitar hari ke-7 atau ke-8 perkembangan janin. Pada awalnya sebuah vesikel kecil yaitu amnion, berkembang menjadi sebuah kantung kecil yang menutupi permukaan dorsal mudigah. Cairan amnion pada keadaan normal berwarna putih agak keruh karena 4

Bab 2 Tinjauan Pustaka

Embed Size (px)

DESCRIPTION

for free don lot

Citation preview

5

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA2.1Anatomi dan Fisiologi Ketuban2.1.1Anatomi KetubanSelaput ketuban secara mikroskopis terdiri dari lima lapisan. Lapisan terdalam yang dibasahi cairan ketuban dibentuk oleh satu lapisan epithelial kuboidal yang melekat pada membran basalis yang melekat pada lapisan kompak aselular yang terdiri dari interstitial kolagen. Di luar lapisan kompak inii terdapat lapisan sel mesenkimal. Lapisan terluar dari ketuban adalah lapisan zona spongiosa. Lapisan terluar ketuban berhubungan langsung dengan lapisan chorion. Umbilical amnion melapisi tali pusat (Parry & Strauss, 1998).

2.1.2Fisiologi cairan Ketuban

Amnion manusia pertama kali dapat diidentifikasi pada sekitar hari ke-7 atau ke-8 perkembangan janin. Pada awalnya sebuah vesikel kecil yaitu amnion, berkembang menjadi sebuah kantung kecil yang menutupi permukaan dorsal mudigah. Cairan amnion pada keadaan normal berwarna putih agak keruh karena adanya campuran partikel solid yang terkandung didalamnya yang berasal dari lanugo, sel epitel, dan material sebasea. Volume cairan amnion pada keadaan aterm adalah sekitar 800 ml, atau antara 400 ml -1500 ml dalam keadaan normal. Pada kehamilan 10 minggu rata-rata volume adalah 30 ml, dan kehamilan 20 minggu 300 ml, 30 minggu 600 ml. Pada kehamilan 30 minggu, cairan amnion lebih mendominasi dibandingkan dengan janin sendiri (Parry & Strauss, 1998).

Cairan amnion merupakan komponen penting bagi pertumbuhan dan perkembangan janin selama kehamilan. Pada awal embriogenesis, amnion merupakan perpanjangan dari matriks ekstraseluler dan di sana terjadi difusi dua arah antara janin dan cairan amnion.Pada usia kehamilan 8 minggu, terbentuk uretra dan ginjal janin mulai memproduksi urin. Selanjutnya janin mulai bisa menelan. Eksresi dari urin, sistem pernafasan, sistem digestivus, tali pusat dan permukaan plasenta menjadi sumber dari cairan amnion. Telah diketahui bahwa cairan amnion berfungsi sebagai kantong pelindung di sekitar janin yang memberikan ruang bagi janin untuk bergerak, tumbuh meratakan tekanan uterus pada partus, dan mencegah trauma mekanik dan trauma termal (Parry & Strauss, 1998).

Cairan amnion juga berperan dalam sistem imun bawaan karena memiliki peptid antimikrobial terhadap beberapa jenis bakteri dan fungi patogen tertentu. Cairan amnion adalah 98% air dan elektrolit, protein, peptide, hormon, karbohidrat, dan lipid. Pada beberapa penelitian, komponen-komponen cairan amnion ditemukan memiliki fungsi sebagaibiomarkerpotensial bagi abnormalitas-abnormalitas dalam kehamilan. Beberapa tahun belakangan, sejumlah protein dan peptide pada cairan amnion diketahui sebagai faktor pertumbuhan atau sitokin, dimana kadarnya akan berubah-ubah sesuai dengan usia kehamilan. Cairan amnion juga diduga memiliki potensi dalam pengembangan medikasistemcell(Parry & Strauss, 1998)2.2 PPROM (Preterm Premature Rupture of Membran)

2.2.1 Definisi PPROM

Menurut Saifuddin (2008), ketuban pecah dini (KPD) atau dikenal juga sebagai premature rupture of membrans (PROM) adalah adanya rupture dari membran fetus secara spontan sebelum onset dari persalinan pada kehamilan aterm. Bila ruptur yang demikian terjadi sebelum kehamilan aterm (sebelum usia 37 minggu gestasi), maka kondisi ini disebut sebagai preterm premature rupture of membrans (PPROM). Hal ini berbeda dari keadaan normal dimana selaput ketuban akan pecah dalam proses persalinan (Saifuddin, 2008). 2.2.2 Epidemiologi PPROM

Beberapa peneliti melaporkan hasil penelitian mereka dan didapatkan hasil yang bervariasi. Insidensi PPROM berkisar antara 3 % dari semua kehamilan (Canfolat, 2011). Hal yang menguntungan dari angka kejadian PROM yang dilaporkan, bahwa lebih banyak terjadi pada kehamilan yang cukup bulan dari pada yang kurang bulan, yaitu sekitar 95 %, sedangkan pada kehamilan tidak cukup bulan atau PPROM pada kehamilan preterm terjadi sekitar 34 % semua kelahiran prematur (Parry& Strauss, 1998).PPROM mempunyai kontribusi yang besar pada angka kematian perinatal pada bayi yang kurang bulan. Pengelolaan PPROM pada kehamilan kurang dari 34 minggu sangat komplek, bertujuan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya prematuritas dan Respiratory Distress Syndrome (Parry& Strauss, 1998).2.2.3Mekanisme Terjadinya PPROM

Ketuban pecah pada persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu di selaput ketuban terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh selaput ketuban rapuh.

Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metalloproteinase (MMP) yang dihambat oleh inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease. Mendekati waktu persalinan, keseimbangan antara MMP dan TIMP-1 mengarah pada degradasi proteolitik dari matriks ekstraselular dan membran janin. Aktivitas degradasi proteolitik ini meningkat menjelang persalinan.

Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester ketiga selaput ketuban akan mudah pecah. Melemahnya selaput ketuban ada hubunganya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan gerakan janin. Pada trimester akhir terjadi perubahan biokimia pada selaput ketuban.

Ketuban pecah dini pada premature ataupun aterm disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, misalnya infeksi yang menjalar dari vagina, trauma pada ibu, malposisi. Ketuban pecah dini premature sering terjadi pada polihidramnion, inkompeten serviks, solusio plasenta.

2.2.4Diagnosis PPROM

Ketuban pecah dini prematur atau dikenal juga sebagai preterm premature rupture of membrans (PPROM) adalah adanya ruptur dari membran fetus secara spontan sebelum onset dari persalinan pada kehamilan < 37 minggu (Saifuddin dkk., 2009). Diagnosis pecahnya selaput ketuban pada PROM maupun PPROM ditegakkan dengan adanya cairan ketuban divagina atau pada pemeriksaan inspekulo ditemukan adanya genangan cairan amnion pada fornix posterior atau adanya cairan bening yang mengalir dari canalis servikalis dengan menggerakkan bagian terbawah janin atau meminta pasien batuk atau mengedan (Saifuddin dkk.,2009).Meskipun terdapat beberapa tes diagnosis yang direkomendasikan untuk mendeteksi pecah ketuban, tidak ada yang sepenuhnya dapat diandalkan.Jika diagnosis tetap tidak dapat dipastikan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, terdapat metode lain yang melibatkan pengukuran pH dari cairan yang terdapat di vagina yaitu Nitrazin Test.

Normalnya, pH dari sekresi vagina berkisar antara 4,5 sampai 5,5 sedangkan cairan amnion biasanya berkisar antara 7,0 sampai 7,5. Penggunaan indikator Nitrazine untuk mengidentifikasi pecahnya ketuban merupakan metode yang sederhana dan cukup dapat diandalkan. Kertas tes diimpregnasi dengan pewarna, dan warna hasil reaksi strip kertas ini dengan cairan vagina diintepretasi dengan bagan warna standar. Tes Lakmus, perubahan warna merah menjadi biru (Saifuddin dkk., 2009). pH diatas 6,5 adalah konsisten dengan ketuban pecah. Hasil tes positif palsu dapat terjadi dengan adanya darah, semen, atau bacterial vaginosis pada saat yang bersamaan, sedangkan hasil negatif palsu dapat terjadi bila cairan yang ada terlalu sedikit (American Academy of Pediatrics and American College of Obstetricians and Gynecologists, 2007). Penggunaan antiseptic alkalin juga dapat menaikkan pH vagina (Saifuddin dkk., 2009).2.2.5 Penatalaksanaan PPROM

Konservatif (rawat di rumah sakit)

Berikan antibiotik (Ampisilin 4 x 500 mg atau Eritromisin, bila ibu tidak tahan Ampisilin dan Metronidazol cukup berikan obat dengan dosis 2 x 500 mg selama 7 hari). Sedangkan di RSSA menggunakan Gentamicin 1 x 50 mg atau Cefazolin 1 gr I.V (dilakukan skin test terlebih dahulu) Pada umur kehamilan < 32-34 minggu, dirawat sampai air ketuban tidak keluar lagi. Usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi dan tes busa negatif berikan Deksametason, observasi tanda-tanda infeksi, dan kesejahterhan janin. Lakukan terminasi pada usia kehamilan 37 minggu. Usia 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi berikan Tokolitik, Deksametason, dan lakukan induksi sesudah 24 jam. Usia 32-37 minggu ada infeksi, berikan antibiotik dan obat untuk induksi, nilai tanda-tanda infeksi. Pada usia 32-37 minggu, berikan steroid untuk memacu kematangan paru janin. Betametason diberikan dengan dosis 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari, Deksametason I.M 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.Aktif

Usia kehamilan 32-34 minggu, dengan kemungkinan besar untuk melahirkan, berikan neuroprotektif MgSO4 I.V Bila Pelvic Score < 5, lakukan pematangan serviks, kemudian induksi. Jika gagal lakukan seksio sesarea. Bila Pelvic Score > 5, lakukan induksi persalinan.Berdasarkan Pedoman Diagnosis Fetomaternal RSSA, 2008, tatalaksana Premature Rupture of the Membran (PROM) adalah sebagai berikut:Induksi persalinan jika:

12 jam belum inpartu. Terdapat tanda infeksi intrauterine. Tidak ada kontraindikasi untuk dilakukan persalinan. Bila PS > 5 dilakukan induksi dengan Oksitosin drip (OD).PS < 5 dilakukan ripening dengan Misoprostol 50 g / 6 jam sampai PS > 5 dilanjutkan Oksitosin drip. Berikan antibiotik Gentamycin 2x80 mg IVPada infeksi intra uterin diberikan kombinasi obat sampai 48 jam bebas panas, obat tersebut antara lain:

Ampicillin 3 x 1 gr

Gentamycin 2 x 80 gr

Metronidazole 3 x 500 mgKetuban pecah dini pada kehamilan aterm atau preterm, baik dengan atau tanpa komplikasi harus dirujuk ke rumah sakit. Bila terdapat prolaps tali pusat, pasien dirujuk dengan posisi panggul lebih tinggi dari badannya, bila mungkin dengan posisi sujud. Kalau perlu kepala janin didorong ke atas dengan 2 jari agar tali pusat tidak tertekan kepala janin. Tali pusat di vulva dibungkus kain hangat yang dilapisi plastik. Bila ada demam atau dikhawatirkan terjadi adanyai infeksi saat rujukan atau ketuban sudah pecah lebih dari 6 jam, berikan antibiotika seperti Penisilin prokain 1,2 juta IU I.M tiap 12 jam dan Ampisilin 1 g per oral diikuti 500 mg tiap 6 jam atau Eritromisin dengan dosis yang sama. (Saifuddin, 2008; Bruce 2010).

Pada kehamilan lebih dari 36 minggu, bila ada his, pimpin meneran dan lakukan akselerasi bila ada inersia uteri. Bila tidak ada his, lakukan induksi persalinan bila ketuban pecah kurang dari 6 jam dan skor pelvic kurang dari 5 atau ketuban pecah lebih dari 6 jam dan skor pelvic lebih dari 5, seksio sesarea bila ketuban pecah kurang dari 5 jam dan skor pelvic kurang dari 5 (Saifuddin, 2008).

Induksi persalinan sendiri menggambarkan usaha menstimulasi kontraksi sebelum onset persalinan spontan dengan ataupun tanpa adanya pecah ketuban. Indikasi dari induksi persalinan adalah ketika keuntungan yang didapatkan, baik oleh ibu maupun fetus, melebihi keuntungan yang didapatkan bila kehamilan dilanjutkan. Indikasinya termasuk kondisi yang membutuhkan penanganan segera seperti ketuban pecah dengan korioamnionitis atau preeklamsia berat (PEB). Indikasi yang lebih sering adalah PROM, hipertensi gestasional, status janin yang mengkhawatirkan, kehamilan posterm, dan berbagai kondisi medis ibu seperti hipertensi kronis dan diabetes (Cunningham, et al, 2010). Kontraindikasi dari induksi persalinan mirip dengan kontraindikasi dari persalinan spontan. Faktor janin termasuk makrosomia, kehamilan kembar, hidrosefalus berat, malpresentasi atau status janin yang mengkhawatirkan. Untuk beberapa faktor kontraindikasi ibu berhubungan dengan tipe insisi uterin sebelumnya, panggul sempit atau anatomi panggul yang berbeda, implatasi plasenta abnormal, dan kondisi seperti infeksi herpes genital aktif atau kanker serviks (Saifuddin, 2008)2.2.6Komplikasi PPROM

Komplikasi yang ditimbulkan ketuban pecah dini tergantung akan usia gestasi. Dapat terjadi infeksi pada ibu maupun janin, persalinan prematur, hipoksia akibat kompresi tali pusat, deformitas pada janin, meningkatkan kasus seksio sesarea dan gagalnya persalinan normal (Cunningham, et al, 2010).Salah satu komplikasi terbanyak yang dijumpai pada PPROM adalah persalinan preterm (Alamsyah, 2009). Permasalahan yang ditemukan pada persalinan preterm tidak hanya seputar kematian perinatal, lebih dari itu bayi prematur akan diliputi oleh berbagai kelainan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kelainan jangka pendek meliputi Respiratory Distress Syndrome, perdarahan intraventrikular, Enterokolitis negrotikans, displasia bronkopulmoner, sepsis dan patensi duktus arteriosus. Adapun efek jangka panjang berupa kelainan neurologis seperti serebral palsi retardasi mental serta prestasi di sekolah yang kurang baik (Cunningham, et al, 2010).Usia kehamilan saat terjadinya ketuban pecah dini pada dasarnya akan bertolak belakang dengan lamanya periode laten. Kasus ketuban pecah dini pada wanita hamil aterm sebanyak 95%akan melahirkan dalam kurun 24 jam setelah kejadian, sedangkan pada PPROM yang terjadi saat gestasi 16-26 minggu dijumpai melahirkan sebanyak 57% dalam waktu 1 minggu dan 22% dalam waktu 1 bulan. Saat timbul PPROM yang terlampau dini akan berkaitan dengan malpresentasi, kompresi tali pusat, oligohidramnion, kelainan neurologi, perdarahan otak, sindrom gawat nafas dan enterokolitis nekrotikans (Alamsyah, 2009). Lewis, et al(2007) menemukan bahwa penatalaksanaan secara ekspektatif pada wanita dengan ketuban pecah dini preterm disertai kelainan presentasi akan meningkatkan kejadian prolapsus tali pusat, terutama sebelum 26 minggu.Korioamnionitis merupakan komplikasi yang cukup sering dijumpai pada kasus PPROM. Demam merupakan tanda penting untuk diagnosis selain leukositosis, takikardi ibu atau janin, nyeri tekan pada uterus, dan sekret vagina yang busuk. Korioamnionitis ini memiliki efek buruk pada janin, diantaranya peningkatan insidensi sepsis, sindrom distres pernafasan, kejang awitan dini, perdarahan otak, dan leukomalasia periventrikular. Bahkan dikatakan bahwa neonatus dengan berat badan lahir sangat rendah akan cenderung mengalami cedera neurologis akibat korioamnionitis seperti peningkatan kejadian serebral palsi setelah anak berusia 3 tahun (Mochtar AB, 2009).4