Upload
claragustin53768590
View
31
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Bab 2 Lapkas Rido
Citation preview
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
HIPERTENSI DAN EPISTAKSIS
1.1 HIPERTENSI
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit jantung koroner,
kejadian stroke, gagal ginjal kronik dan gagal jantung kongestif. Tujuan
pengobatan hipertensi bukan sekedar menurunkan tekanan darah, melainkan
menurunkan semua kerusakan organ target. Untuk mencapai penurunan
morbiditas dan mortalitas yang optimal terhadap penyakit-penyakit yang berkaitan
dengan hipertensi, maka harus dipikirkan pengaruh pemberian terapi anti
hipertensi terhadap patogenesis kerusakan masing-masing organ target1.
1.1.1 DEFINISI DAN KLASIFIKASI TEKANAN DARAHThe Seventh Report of the Joint National Committee on Detection, Evaluation,
and Treatment of High Blood Pressure (JNC-VII) 2003 dan World Health
Organization – International Society of Hypertension (WHO-ISH) 1999 telah
memperbaharui klasifikasi, definisi, serta stratifikasi risiko untuk menentukan
prognosis jangka panjang. Pada tabel 3 diperlihatkan definisi dan klasifikasi
tekanan darah dari JNC-VII Mei 20032.
Tabel 1. Definisi dan Klasifikasi Tekanan Darah dari JNC-VII 2003
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 Dan < 80
Prehipertensi 120-139 Atau 80 – 89
Hipertensi :
Derajat 1
Derajat 2
140 – 159
> 160
atau
atau
90 – 99
> 100
9
Tabel 2. Manajemen Tekanan Darah dari JNC-VII 2003
Kategori
Modifikasi Gaya Hidup
Dianjurkan
Pilihan obat untuk terapi awal
Tanpa indikasi khusus Dengan indikasi khusus
Prehipertensi Ya Tidak ada indikasi obat anti hipertensi
Obat untuk indikasi khusus
Hipertensi Derajat 1 Ya Umumnya diuretik thiazide. Dipertimbangkan pemberian : ACE-I, ARB, b-blocker, CCB atau kombinasi
Obat untuk indikasi khusus. Obat hipertensi lainnya (diuretik, ACE-I, ARB, CCB, b-blocker) sesuai kebutuhan
Hipertensi Derajat 2 Ya Umumnya kombinasi 2 macam (biasanya diuretik Thiazide dan ACE-I, atau ARB, atau b-blocker atau CCB)
Obat untuk indikasi khusus.
Obat anti hipertensi lainnya (diuretik, ACE-I, ARB, CCB, b-blocker) sesuai kebutuhan
1.1.2 ETIOLOGI
Berdasarkan identifikasi penyebab hipertensi, JNC-VII 2003 mengklasifikasikan
penyebab sebagai berikut :
Sleep apnea
Penyalahgunaan obat-obatan & bahan lainnya
Penyakit ginjal kronik
Aldosteronism primer
Penyakit renovaskuler
Terapi steroid kronik & sindroma Cushing’s
Pheochromocytoma
Coarctatio aorta
Penyakit tiroid atau paratiroid
10
1.1.3 Stratifikasi faktor risiko kardiovaskular & kerusakan organ target
Pada stratifikasi risiko terhadap prognosis jangka panjang, JNC-VII memasukkan
faktor-faktor risiko kardiovaskuler mayor, kerusakan organ target, serta keadaan
klinis penyerta sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis. Kapan terapi
anti hipertensi harus diberikan, ditentukan oleh stratifikasi risiko penderita
hipertensi.
Faktor risiko kardiovaskular yang perlu dinilai terdiri dari golongan yang dapat
diubah (dimodifikasi) dan yang tidak mungkin diubah (tabel 3). Tentunya hanya
faktor risiko yang dapat diubah yang bisa dikendalikan.
Tabel 3. Faktor Risiko Utama
Dapat dimodifikasi Tidak dapat dimodifikasi
- Hipertensi - Umur ( ♂ > 55 thn, ♀ > 65 thn )
- Merokok - Riwayat keluarga dgn penyakit
- Obesitas (BMI ≥ 30) kardiovaskular prematur
- Physical inactivity ( ♂ < 55 thn, ♀ < 65 thn )
- Dislipidemia
- Diabetes mellitus
- Mikroalbuminuria atau GFR < 60 ml/min
Perlu dilakukan evaluasi terhadap ada tidaknya kerusakan organ target akibat
hipertensi serta manifestasi klinis yang mungkin timbul seperti yang terlihat pada
tabel berikut.
Tabel 4. Kerusakan Organ Target
Penyakit jantung
1. Hipertrofi ventrikel kiri (LVH)2. Angina atau infark miokard sebelumnya3. Riwayat revaskularisasi4. Gagal jantung
Stroke atau TIA
11
Penyakit ginjal kronik
Penyakit arteri perifer
Retinopati
1.1.4 PEMERIKSAAN PADA HIPERTENSI
1. Riwayat penyakit
5. Lama dan klasifikasi hipertensi6. Pola hidup7. Faktor-faktor risiko kelainan kardiovaskular (Tabel 3)8. Riwayat penyakit kardiovaskular9. Gejala-gejala yang menyertai hipertensi 10. Kerusakan organ target (Tabel 4)11. Obat-obatan yang sedang atau pernah digunakan
2. Pemeriksaan fisik
12. Tekanan darah minimal 2x selang 2 menit13. Periksa tekanan darah lengan kontra lateral14. Tinggi badan dan berat badan15. Pemeriksaan funduskopi16. Pemeriksaan leher, jantung, paru, abdomen & ekstremitas17. Refleks saraf
3. Pemeriksaan laboratorium
18. Urinalisis19. Darah : trombosit, fibrinogen20. Biokimia : kalium, natirum, kreatinin, GDS, profil lipid, asam urat.
4. Pemeriksaan tambahan
21. Foto rontgen dada22. EKG 12 lead23. Mikroalbuminuria24. Ekokardiografi
1.1.5 PENATALAKSANAAN
Jika modifikasi gaya hidup tidak menurunkan tekanan darah ke tingkat yang
diinginkan, terapi farmakologis harus diberikan. Pemilihan terapi anti hipertensi
lebih dianjurkan secara individual berdasarkan pada patofisiologi, hemodinamik,
kerusakan organ target, adanya penyakit penyerta, demografik, efek samping obat,
kepatuhan terhadap regimen pengobatan dan biaya pengobatan,
Tabel 5. Klasifikasi Obat Anti Hipertensi
12
Klasifikasi Nama ObatDosis mg/hari
(frekwensi sehari)
Thiazide diuretics Chlorothiazide (Diuril)
Chlorthalidone
Hydrochlorothiazide
Indapamide
125 – 500 (1)
12.5 – 25 (1)
12.5 – 50 (1)
1.25 – 2.5 (1)
Loop diuretics Furosemide 20 – 80 (2)
Potassium-sparing diuretics Amiloride
Triamterene
5 – 10 (1-2)
50 – 100 (1-2)
Aldosterone receptor blockers Spironolactone 25 – 50 (1-2)
Beta-blockers Atenolol
Bisoprolol
Metoprolol
Metoprolol extend release
Propanolol
25 – 100 (1)
2.5 – 10 (1)
50 – 100 (1-2)
50 – 100 (1)
40 – 160 (2)
Combined alpha – and beta blockers
Carvedilol
Labetalol
12.5 – 50 (2)
200 – 800 (2)
ACE-I Captopril
Enalapril
Fosinopril
Lisinopril
Perindopril
Quinapril
Ramipril
25 – 100 (2)
2.5 – 40 (1-2)
10 – 40 (1)
10 – 40 (1)
4 – 8 (1-2)
10 – 40 (1)
2.5 – 20 (1)
13
Trandolapril 1 – 4 (1)
Angiotensin II antagonists Candesartan
Irbesartan
Losartan
Telmisartan
Valsartan
8 – 23 (1)
150 – 300 (1)
25 – 100 (1-2)
20 – 80 (1)
80 – 320 (1)
Calcium channel blockers-non-Dihydropyridines
Diltiazem extended release
Verapamil immediate release
Verapamil long acting
Verapamil
180 – 420 (1)
80 – 320 (2)
120 – 360 (1-2)
120 – 360 (1)
Calcium channel blockers – Dihydropyridines
Amlodipine
Felodipine
Nicardipine
Nifedipine
2.5 – 10 (1)
2.5 – 20 (1)
60 – 120 (2)
30 – 60 (1)
Alpha1-blockers Doxazosin
Prazosin
1 – 16 (1)
2 – 20 (2-3)
Central alpha2-agonists and other centrally acting drugs
Clonidine
Methyldopa
Reserpine
1. – 0.8 (2)250 – 1.000 (2)
0.05 - 0.25 (1)
Direct vasodilators Hydralazine 25 – 100 (2)
1.1.6 Pedoman Pemilihan Monoterapi atau Kombinasi
14
Terapi monoterapi, tidak tergantung dari jenis obat yang diberikan, biasanya
hanya bisa mencapai target tekanan darah pada jumlah pasien yang terbatas.
Penggunaan lebih dari satu obat diperlukan untuk mencapai target tekanan
darah pada mayoritas pasien. Pemilihan monoterapi dapat diberikan pada
peningkatan tekanan darah yang ringan (derajat 1) dengan resiko
kardiovaskuler rendah atau sedang. Pada pasien dengan tekanan darah awal
derajat 2 atau resiko kardiovaskuler tinggi, maka kombinasi dua obat dengan
dosis rendah lebih dianjurkan sebagai terapi awal.
Gambar 1. Kombinasi rasional obat anti hipertensi
Keterangan
--- kombinasi yang kurang dianjurkan
__ kombinasi yang dianjurkan
1.1.7 Pedoman dasar pemberian obat pada pasien dengan indikasi khusus
15
Tabel 6. Obat pada Kondisi Khusus
Kondisi khusus Obat yang direkomendasikanDiuretic b-blocker ACE-I ARB CCB Aldosteron
antagonisGagal jantung + + + + +
Post infark miokard + + +
Risiko tinggi koroner + + + +
Diabetes Mellitus + + + + +
Penyakit ginjal kronik + +
Pencegahan stroke berulang
+ +
Terapi pada penderita dengan penyakit penyerta
Tabel 7. Seleksi Obat Anti hipertensi
Karakteristik Penderita Obat yang dianjurkan Obat yang kurang dianjurkan
Usia < 50 Verapamil, Penyekat b, Penyekat EKA, Penyekat a, PRA
Usia > 65 Diuretik thiazid, Dihidropiridine, Penyekat EKA, PRA
Agonis a sentral
African – American Diuretik thiazid, Antagonis kalsium
Penyekat b, Penyekat EKA, PRA
Aktif Penyekat EKA, Antagonis kalsium, Penyekat a, Penyekat b
Diuretik dosis tinggi
Menghindari sedasi Agonis a sentral
Nonkomplian Obat dosis sekali sehari Agonis a sentral
Hipertensi sistolik terisolasi Diuretik thiazid, Penyekat b,
Dihidropiridin
Hipertrofi ventrikel Penyekat EKA, Antagonis Ca, Penyekat a, PRA
Penyekat b (ISA), Hidralasin, Minoksidil
PJK Verapamil, Diltiazem, Penyekat EKA, Penyekat b (non ISA)
Dihidropiridin (kecuali vasospasme), Vasodilator langsung
16
Pasca Infark Miokard Penyekat EKA, Diuretik, Penyekat b (non ISA)
Gagal Jantung Kongesti Penyekat EKA, Thiazid, PRA, Penyekat b, Penyekat a-b
Disfungsi sistolik
(EF > 35 - 40 %)
KK > 30 ml/mnt : Indapamid metalason atau Loop diuretik
Antagonis kalsium (verapamil, diltiazem, nifedipine, nicardipine)
Disfungsi diastolik
(EF > 35-40 %)
KK < 30 ml.mnt : Carvedilol, Penyekat b (non ISA), Verapamil, Diltiazem,
Dihidripiridin, Penyekat b (ISA), Diuretik
SVT Diltiazem, Verapamil, Penyekat b (non ISA)
Sindroma WPW Verapamil, Diltiazem
Bradikardia (SSS) Verapamil, Diltiazem, Penyekat b
CVD Penyekat EKA, Diuretik, Penyekat b (ISA), Penyekat a
Agonis a sentral
DM / Intoleransi Glukosa Penyekat EKA, Antagonis Ca, Diuretik, Penyekat a
Hiperkolesterolemia Penyekat EKA, Indapamid, Antagonis Ca, Penyekat a, Penyekat b (ISA)
Diuretik thiazid, Penyekat b (non ISA)
Hipertrigliseridemia Diuretik thiazid, Penyekat b (non ISA)
Migrain Antagonis Ca, Penyekat b
Riwayat Depresi Agonis a sentral, penyekat b, Reserpin
Karakteristik Penderita Obat yang dianjurkan Obat yang kurang dianjurkan
Penyakit Vaskuler Perifer Penyekat EKA, Antagonis Ca, Penyekat a
Penyekat b
Insufisiensi ginjal Indapamid, Metalason, Loop diuretic, Antagonis Ca, Minoksidil, Penyekat EKA (hati-hati)
Diuretik thiazid, Gol. Penghemat Ca
Penyakit Kolagen Penyekat EKA (selain kaptopril), Metildopa, Hidralazin
17
Antagonis Ca
Gout Diuretik thiazid
Asma Penyekat b
Osteoporosis Diuretik thiazid
BPH Penyekat a
Wanita hamil Metildopa, Hidralazin Penyekat EKA
EKA : Enzim Konversi Angiotensin
ISA : Intrinsic Sympatthomimetic Activity
KK : Klirens Kreatinin
PRA : Penyekat Reseptor Angiotensin
2.1 EPISTAKSIS
18
2.1.1 DEFINISI EPISTAKSIS
Epistaksis berasal dari bahasa Yunani epistazo yang berarti hidung berdarah.
Penanganan epistaksis dengan menekan ala nasi telah diperkenalkan sejak zaman
Hipokrates. Cave Michael (1871), James Little (1879) dan Wilhelm Kiesselbach
merupakan ahli-ahli yang pertama kali mengidentifikasi cabang-cabang pembuluh
darah yang berada di bagian anterior septum nasi sebagai sumber epistaksis.1
Dikutip dari Dewar, Mitchell menemukan 4,5% dari 374 orang yang dirawat
dengan hipertensi, memiliki riwayat epistaksis.3
Sedangkan Herkner dkk melaporkan dari 213 orang pasien yang datang ke unit
gawat darurat dengan epistaksis, ditemukan 33 orang pasien (15,5%) dengan
peningkatan tekanan darah.4
2.1.2 ANATOMI DAN PENDARAHAN RONGGA HIDUNG
Pembuluh darah utama di hidung berasal dari arteri karotis interna (AKI) dan
karotis eksterna (AKE).4
Gambar 1. Pembuluh darah di daerah Septum Nasi
19
Gambar 2. Pembuluh darah di dinding lateral hidung
Arteri optalmika, yang merupakan cabang dari AKI, bercabang dua menjadi arteri
ethmoidalis anterior dan posterior. Cabang anterior lebih besar dibanding cabang
posterior dan pada bagian medial akan melintasi atap rongga hidung, untuk
mendarahi bagian superior dari septum nasi dan dinding lateral hidung. AKE
bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri maksilaris interna. Arteri fasialis
memperdarahi bagian anterior hidung melalui arteri labialis superior.5
Arteri maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi arteri
sfenopalatina, arteri nasalis posterior dan arteri palatina mayor. Arteri
sfenopalatina memasuki rongga hidung pada bagian posterior konka media,
memperdarahi daerah septum dan sebagian dinding lateral hidung.5
Pada bagian anterior septum, anastomosis dari arteri sfenopalatina, palatina
mayor, ethmoidalis anterior dan labialis superior (cabang dari arteri fasialis),
membentuk plexus Kiesselbach atau Little’s area.5
Pada posterior dinding lateral hidung, bagian akhir dari konka media terdapat
plexus Woodruff yang merupakan anastomosis dari arteri sfenopalatina, nasalis
posterior dan faringeal asendens.5
Epistaksis anterior sering mengenai daerah plexus Kiesselbach. Epistaksis anterior
lebih mudah terlihat sumber perdarahannya sehingga mudah diatasi dibandingkan
20
epistaksis posterior. Batas yang membagi antara epistaksis anterior dan epistaksis
posterior adalah ostium sinus maksilaris.5
2.1.3 ETIOLOGI EPISTAKSIS
a. Faktor Lokal
Beberapa faktor lokal yang dapat menyebabkan terjadinya epistaksis antara lain:
1) Trauma nasal.
2) Obat semprot hidung (nasal spray). Penggunaan obat semprot hidung secara
terus menerus, terutama golongan kortikosteroid, dapat menyebabkan epistaksis
intermitten. Terdapat kerusakan epitel pada septum nasi. Epitel ini akan mudah
berdarah jika krusta terlepas. Pemakaian fluticasone semprot hidung selama 4-6
bulan, belum menimbulkan efek samping pada mukosa.6
3) Kelainan anatomi: adanya spina, krista dan deviasi septum.
4) Tumor intranasal atau sinonasal. Sering ditandai dengan adanya riwayat
epistaksis yang berulang.
5) Iritasi zat kimia, obat-obatan atau narkotika. Seperti dekongestan topikal dan
kokain.6
6) Iritasi karena pemakaian oksigen: Continuous Positive Airway Pressure
(CPAP).
7) Kelainan vaskuler. Seperti kelainan yang dikenal dengan Wagener’s
granulomatosis (kelainan yang didapat).6
b. Faktor Sistemik
Hipertensi tidak berhubungan secara langsung dengan epistaksis. Arteriosklerosis
pada pasien hipertensi membuat terjadinya penurunan kemampuan hemostasis dan
kekakuan pembuluh darah.3
Penyebab epistaksis yang bersifat sistemik antara lain:
21
1) Sindrom Rendu Osler Weber (hereditary hemorrhagic telangectasia)
merupakan kelainan bawaan yang diturunkan secara autosom dominan. Trauma
ringan pada mukosa hidung akan menyebabkan perdarahan yang hebat. Hal ini
disebabkan oleh melemahnya gerakan kontraktilitas pembuluh darah serta
terdapatnya fistula arteriovenous.3
2) Efek sistemik obat-obatan golongan antikoagulansia (heparin, warfarin) dan
antiplatelets (aspirin, clopidogrel).6
3) Kegagalan fungsi organ seperti uremia dan sirosis hepatis.6
4) Atheroslerosis, hipertensi dan alkohol.6
5) Kelainan hormonal. Seperti kelebihan hormon adrenokortikosteroid atau
hormon mineralokortikoid, pheochromocytoma, hyperthyroidism atau
hypothyroidism, kelebihan hormon pertumbuhan dan hyperparathyroidism.7
2.1.4 HUBUNGAN HIPERTENSI DENGAN EPISTAKSIS
Menurut Herkner dkk, ada dua hipotesis yang menerangkan kenapa epistaksis
dapat terjadi pada pasien-pasien dengan hipertensi.8
1. Pasien dengan hipertensi yang lama memiliki kerusakan pembuluh darah yang
kronis. Hal ini berisiko terjadi epistaksis terutama pada kenaikan tekanan darah
yang abnormal.
2. Pasien epistaksis dengan hipertensi cenderung mengalami perdarahan berulang
pada bagian hidung yang kaya dengan persarafan autonom yaitu bagian
pertengahan posterior dan bagian diantara konka media dan konka inferior.
Hubungan antara hipertensi dengan kejadian epistaksis masih merupakan suatu
yang kontroversial. Adanya kecendrungan peningkatan kejadian epistaksis pada
pasien dengan hipertensi yang lama dan hipertrofi ventrikel kiri. Tetapi sebagian
penulis menemukan sebaliknya. Lubianca dkk (1999), menyatakan tidak
ditemukan hubungan yang bermakna antara peningkatan tekanan darah dengan
kejadian epistaksis.9
22
Padgham dkk, dikutip dari Temmel, menemukan adanya hubungan antara
hipertensi dengan epitaksis terutama epitaksis yang berasal dari meatus medius,
tapi tidak ditemukan hubungan dengan beratnya epistaksis. Sedangkan Beran dkk
melaporkan common cold, stres, dan kelelahan dilaporkan sering mendahului
terjadinya epistaksis.10
Ibrashi dkk mengatakan bahwa lesi lokal di hidung yang menyebabkan stagnan
aliran pembuluh darah seperti infeksi, atau penyebab lainnya yang
menghancurkan dinding pembuluh darah atau mukoperiostealnya yang dapat
menjadi pemicu terjadinya epistaksis, maka hipertensi dan aterosklerosis baru
akan memainkan peranannya dalam memperberat epistaksis.10 Dari Lubianca
mengatakan ada tiga faktor lain yang dapat membuat samar diagnosis epistaksis
yang disebabkan oleh hipertensi yaitu: 1) kelainan anatomi hidung, 2) bukti
adanya kerusakan organ target lain dan 3) kelainan hemostasis.9
Hedges (1969), seperti dikutip dari Ibrashi, membandingkan pengaruh hipertensi
pada aliran darah di retina dengan aliran darah di hidung. Hasilnya didapatkan
pada aliran darah dalam retina didukung oleh tekanan dari intraokuler.
Sebaliknya, aliran darah di hidung, tidak ada tekanan pendukung dari
mukoperikondrium dan mukoperiostium. Inilah yang mungkin menjelaskan pada
pasien hipertensi dengan gejala epistaksis, tapi tidak ada gejala perdarahan retina
dan eksudat pada kelompok yang diperiksa. Perdarahan di retina berhubungan
dengan penyebab sistemik seperti diabetes melitus, atau penyebab lokal seperti
tekanan intraokuler yang rendah.10
Herkner mendapatkan dari 213 orang pasien yang datang ke unit gawat darurat
dengan epistaksis, mempunyai tekanan darah sistolik 161 (157-165) mmHg dan
tekanan darah diastolik 84 (82-86) mmHg serta pada hipertensi stadium 3
(≥180/≥110 mmHg).8
Padgham melaporkan pada hipertensi ringan dan sedang, terbukti mempunyai
hubungan dengan kejadian epistaksis di meatus medius, tapi tidak di bagian
hidung yang lain. Tidak terbukti ada hubungan kejadian epistaksis dengan
23
konsumsi aspirin, obat antiinflamasi non steroid, tingkat keparahan dan bagian
hidung yang mengalami perdarahan.11
Knopfholz dkk mengatakan hipertensi tidak berhubungan dengan beratnya
epistaksis yang terjadi. Tetapi hipertensi terbukti dapat membuat kerusakan yang
berat pada pembuluh darah di hidung (terjadi proses degenerasi perubahan
jaringan fibrous di tunika media) yang dalam jangka waktu yang lama merupakan
faktor risiko terjadinya epistaksis.12
Epistaksis bukanlah termasuk gejala kasus hipertensi emergensi. Kesimpulan ini
didapatkan oleh Lima Jr dkk dalam penelitian tentang hubungan epistaksis dengan
kasus hipertensi emergensi.13
Fakta baru yang ditemukan oleh Herkner dkk (2002) bahwa angka kejadian
epistaksis pasca operasi mengalami peningkatan pada pasien dengan riwayat
hipertensi yang lama. Tidak ditemukan hubungan dengan beratnya derajat
hipertensi.14
DAFTAR PUSTAKA
[1] Maxine A, et al. 2013. Current Medical Diagnosis & Treatment. Mc Graw Hill
[2] Aru W,dkk. 2008. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing : FK UI
[3] Nwaorgu OGB. Epistaxis: An Overview. Annals of Ibadan Postgraduate Medicine 2004; 1(2): 32-7.
[4] Dewar HA. Epistaxis in Hypertension. British Medical Journal 1959; 5115: 169-70
[5] Schlosser RJ. Epistaxis. N Engl J Med 2009; 784-9.
24
[6] Pope LER, Hobbs CGL. Epistaxis: An Update on Current Management. Postgrad Med J 2005; 81: 309-14.
[7]Idham I, Sanjaya W. Angiotensin-II dan Remodelling Vaskuler. Cermin Dunia Kedokteran 2005; 147: 16-20.
[8] Herkner H, Laggner AN, Muller M, Formanek M, Bur A et al. Hypertension in Patients Presenting With Epistaxis. Annals of Emergency Medicine 2000; 35(2): 126-30.
[9] Lubianca JF, Fuchs FD, Facco Sr et al. Is Epistaxis Evidence of End Organ Damage in Patients With Hypertension? Laryngoscope 1999; 109: 1111-5.
[10]Temmel AFP, Quint C, Toth J. Debate about Blood Pressure and Epistaxis Will Continou. British Medical Journal 2001; 322(7295): 1181.
[11] Padgham N. Epistaxis: Anatomical and Clinical Correlates. J Laryngol Otol 1990; 104: 308-11.
[12] Knopfholz J, Lima JE, Neto DP, Faria NJR. Association between Epistaxis and Hypertension: A one year Follow-up After an Index Episode of Nasal Bleeding in Hypertension Patients. International Journal of Cardiology 2009; 134: 107-9.
[13] Lima Jr, Knopfholz J. Relationship Between Epistaxis and Arterial Pressoric Blood Levels: is the Epistaxis a Hypertensive Emergency? Am J Hypertensions 2000; 13(4):220.
[14] Herkner H, Havel C, Mullner M, Gamper G, Bur A et al. Active Epistaxis at ED Presentation is Associated with Arterial Hypertension. American Journal of Emergency Medicine 2009; 20(2): 92-5.