37
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA 3.1. Definisi Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak. Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik 3.2. Anatomi Kepala A. Kulit Kepala (Scalp) Kulit kepala terdiri dari 5 lapisanyang disebut SCALP yaitu: 1. Skin atau kulit 2. Connective Tissue atau jaringan penyambung 3. Aponeurosis atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung dengan tengkorak 4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar 5. Perikarnium

Lapkas Bab 3 (Tinjauan Pustaka) Baru

  • Upload
    tyaaael

  • View
    239

  • Download
    1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

123

Citation preview

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi

Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang

menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan

atau gangguan fungsional jaringan otak.

Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu

kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi

disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi

atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan

kognitif dan fungsi fisik

3.2. Anatomi Kepala

A. Kulit Kepala (Scalp)

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisanyang disebut SCALP yaitu:

1. Skin atau kulit

2. Connective Tissue atau jaringan penyambung

3. Aponeurosis atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan

langsung dengan tengkorak

4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar

5. Perikarnium

Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan

akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama

pada anak-anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga

membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya.

B. Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak atau kranium terdiri dari kalvarium dan basis kranii, di regio

temporal tulang tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii

berbentuk tidak rata dan tidak teratur sehingga cedera pada kepala dapat

menyebabkan kerusakan pada bagian dasar otak yang bergerak akibat cedera

akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas tiga fosa yaitu

anterior, media dan posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa

media tempat lobus temporalis dan fosa posterior adalah ruang bagi batang otak

bawah dan serebelum.

Gambar 1. Anatomi Tulang Tengkorak

C.Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak, terdiri dari tiga

lapisan yaitu: duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang

keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat dengan tabula interna

atau bagian dalam kranium. Duramater tidak melekat dengan lapisan dibawahnya

(araknoid), terdapat ruang subdural.

Pada cedera kepala, pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak

menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging veins, dapat

mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Arteri-arteri

meningea terletak antara duramater dan tabula interna tengkorak, jadi terletak di

ruang epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea

media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media). Dibawah duramater

terdapat araknoid yang merupakan lapisan kedua dan tembus pandang. Lapisan

yang ketiga adalah piamater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri.

Cairan serebrospinal bersirkulasi diantara selaput araknoid dan piameter dalam

ruang sub araknoid.

Gambar 2. Anatomi Lapisan Meninges

D.Otak

Otak manusia terdiri dari serebrum,serebelum dan batang otak. Serebrum terdiri

atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri(lipatan duramater

yang berada di inferior sinus sagitalis superior). Hemisfer otak yang mengandung

pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus frontalis berkaitan

dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi dominan mengandung pusat

ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus parietalis berhubungan dengan

orientasi ruang dan fungsi sensorik. Lobus temporalis mengatur fungsi memori

tertentu. Lobus occipitalis berukuran lebih kecil dan berfungsi dalam penglihatan.

Batang otak terdiri dari mesensefalon, pons dan medula oblongata. Mesensefalon

dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikulasi yang berfungsi dalam

kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata berada pusat vital

kardiorespiratorik yang terus memanjang sampai medula spinalis di bawahnya.

Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan

terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis batang otak

dan kedua hemisfer serebri.

Gambar 3. Anatomi Otak

E. Cairan Serebrospinal

Cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan

produksi sebanyak 30 ml/jam. Pleksus khorideus terletak di ventrikel lateralis baik

kanan maupun kiri, mengalir melalui foramen monro ke dalam ventrikel tiga.

Selanjutnya melalui akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel ke empat,

selanjutnya keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke ruang subaraknoid yang

berada diseluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan diserap ke dalam

sirkulasi vena melalui granulasio araknoid yang terdapat pada sinus sagitalis

superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio araknoid

sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intra

kranial (hidrosefaluskomunikans)

F. Tentorium

Tentorium serebelli membagi ruang tengkorak menjadi supratentorial dan

infratentorial. Mesensefalon menghubungkan hemisfer serebri dengan batang otak

berjalan melalui celah lebar tentorium serebeli yang disebut insisura tentorial.

Nervus oculomotorius(N.III) berjalan di sepanjang tentorium, dan saraf ini dapat

tertekan pada keadan herniasi otak yang umumnya dikibatkan oleh adanya massa

supratentorial atau edema otak. Bagian otak yang sering terjadi herniasi melalui

insisura tentorial adalah sisi medial lobus temporalis yang disebut girus unkus.

Herniasi Unkus menyebabkan juga penekanan traktus piramidalis yang berjalan

pada otak tengah. Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegia kontralateral

dikenal sebagai sindrom klasik herniasi tentorial. Jadi, umumnya perdarahan

intrakranial tedapat pada sisi yang sama dengan sisi pupil yang berdilatasi,

walaupun tidak selalu.

3.3. Jenis Trauma

Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi (area) dimana terjadi

trauma. Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari dua, yaitu secara

garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma kepala tertutup

merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala

setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan trauma

kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-

tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak.

Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah menembus sampai

kepada dura mater. Kemungkinan kecederaan atau trauma adalah seperti berikut;

a) Fraktur

Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4

jenis fraktur yaitu simple fracture, linear or hairline fracture, depressed fracture,

compound fracture. Pengertian dari setiap fraktur adalah sebagai berikut:

Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit

Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa

depresi, distorsi dan ‘splintering’.

Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.

Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak.

Selain retak terdapat juga hematoma subdural.

Terdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi anatomis yaitu terjadinya retak

atau kelainan pada bagian kranium. Fraktur basis kranii retak pada basis kranium.

Hal ini memerlukan gaya yang lebih kuat dari fraktur linear pada kranium.

Insidensi kasus ini sangat sedikit dan hanya pada 4% pasien yang mengalami

trauma kepala berat. Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan fraktur basis kranii

yaitu rhinorrhea (cairan serobrospinal keluar dari rongga hidung) dan gejala

raccoon’s eye (penumpukan darah pada orbital mata). Tulang pada foramen

magnum bisa retak sehingga menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh darah.

Fraktur basis kranii bisa terjadi pada fossa anterior, media dan posterior.

Fraktur maxsilofasial adalah retak atau kelainan pada tulang maxilofasial yang

merupakan tulang yang kedua terbesar setelah tulang mandibula. Fraktur pada

bagian ini boleh menyebabkan kelainan pada sinus maxilari.

b) Luka memar (kontosio)

Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana

pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya,

kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar

pada otak terjadi apabila otak menekan tengkorak. Biasanya terjadi pada ujung

otak seperti pada frontal, temporal dan oksipital. Kontusio yang besar dapat

terlihat di CT-Scan atau MRI (Magnetic Resonance Imaging) seperti luka besar.

Pada kontusio dapat terlihat suatu daerah yang mengalami pembengkakan yang di

sebut edema. Jika pembengkakan cukup besar dapat mengubah tingkat kesadaran.

c) Laserasi (luka robek atau koyak)

Luka laserasi adalah luka robek tetapi disebabkan oleh benda tumpul atau

runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda bermata tajam

dimana lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi

kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Luka ini biasanya terjadi

pada kulit yang ada tulang dibawahnya pada proses penyembuhan dan biasanya

pada penyembuhan dapat menimbulkan jaringan parut.

d) Abrasi

Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini

bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan

subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang

rusak.

e) Avulsi

Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas,tetapi

sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit

pada kranial terlepas setelah kecederaan.

2.4. Perdarahan Intrakranial

2.4.1. Perdarahan Epidural

• Perdarahan epidural adalah antara tulang kranial dan dura mater. Gejala

perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin

menurun, disertai oleh anisokoria pada mata ke sisi dan mungkin terjadi

hemiparese kontralateral.

• Perdarahan epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala

khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang membaik setelah

beberapa hari.

2.4.2. Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid,

yang biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian iaitu:

a) Perdarahan subdural akut

• Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan, respon

yang lambat, serta gelisah.

• Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.

• Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan

cedera batang otak.

b) Perdarahan subdural subakut

• Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari setelah cedera

dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat.

• Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat

kesadaran.

c) Perdarahan subdural kronis

Terjadi karena luka ringan.

Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang subdural.

Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler dan

secara pelan-pelan ia meluas.

Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.

Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.

2.4.3. Perdarahan Subaraknoid

Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan antara rongga otak dan lapisan

otak yaitu yang dikenal sebagai ruang subaraknoid.

2.4.4. Perdarahan Intraventrikular

Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel

otak. Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan

intraserebral.

2.4.5. Perdarahan Intraserebral

Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan

otak. Di mana terjadi penumpukan darah pada sebelah otak yang sejajar dengan

hentaman, ini dikenali sebagai counter coup phenomenon.

2.5. Trauma Murni atau Multipel

Menurut Barell, Heruti, Abargel dan Ziv (1999), sebanyak 1465 korban

mengalami trauma kepala, sedangkan 1795 korban mengalami trauma yang

multipel dalam penelitian di Israel. Kecederaan multipel berkaitan dengan

keparahan dan ia adalah asas dalam mendiagnosa gambaran keseluruhan

kecederaan. Dengan merekam seluruh kecederaan yang dialami oleh korban, ia

dapat membantu dalam mengidentifikasi kecederaan yang sering mengikut

penyebab trauma pada korban.

2.5.1. Trauma Murni

Trauma Murni adalah apabila korban didiagnosa dengan satu kecederaan

pada salah satu regio atau bagian anatomis yang mayor.

2.5.2. Trauma Multipel

Trauma multipel atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih

kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya

bisa menyebabkan kematian dan memberi impak pada fisikal, kognitif, psikologik

atau kelainan psikososial dan disabilitas fungsional. Trauma kepala paling banyak

dicatat pada pasien politrauma dengan kombinasi dari kondisi yang cacat seperti

amputasi, kelainan pendengaran dan penglihatan, post-traumatic stress syndrome

dan kondisi kelainan jiwa yang lain (Veterans Health Administration Transmittal

Sheet).

1. Trauma servikal, batang otak dan tulang belakang

Trauma yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat yang

tinggi serta pada aktivitas olahraga yang berbahaya boleh menyebabkan cedera

pada beberapa bagian ini. Antara kemungkinan kecederaan yang bisa timbul

adalah seperti berikut:

• Kerusakan pada tulang servikal C1-C7; cedera pada C3 bisa menyebabkan

pasien apnu. Cedera dari C4-C6 bisa menyebabkan pasien kuadriplegi, paralisis

hipotonus tungkai atas dan bawah serta syok batang otak.

• Fraktur Hangman terjadi apabila terdapat fraktur hiperekstensi yang bilateral

pada tapak tulang servikal C2.

• Tulang belakang torak dan lumbar bisa diakibatkan oleh cedera kompresi dan

cedera dislokasi.

• Spondilosis servikal juga dapat terjadi.

• Cedera ekstensi yaitu cedera ‘Whiplash’ terjadi apabila berlaku ekstensi pada

tulang servikal.

2. Trauma toraks

Trauma toraks bisa terbagi kepada dua yaitu cedera dinding toraks dan

cedera paru.

a) Cedera dinding torak seperti berikut:

• Patah tulang rusuk.

• Cedera pada sternum atau ‘steering wheel’.

• Flail chest.

• Open ‘sucking’ pneumothorax.

b) Cedera pada paru adalah seperti berikut:

• Pneumotoraks.

• hematorak.

• Subcutaneous(SQ) dan mediastinal emphysema.

• Kontusio pulmonal.

• Hematom pulmonal.

• Emboli paru.

3. Trauma abdominal

Trauma abdominal terjadi apabila berlaku cedera pada bagian organ dalam

dan bagian luar abdominal yaitu seperti berikut:

• Kecederaan yang bisa berlaku pada kuadran kanan abdomen adalah seperti

cedera pada organ hati, pundi empedu, traktus biliar, duodenum dan ginjal kanan.

• Kecederaan yang bisa berlaku pada kuadran kiri abdomen adalah seperti cedera

pada organ limpa, lambung dan ginjal kiri.

• Kecederaan pada kuadran bawah abdomen adalah cedera pada salur ureter, salur

uretral anterior dan posterior, kolon dan rektum.

• Kecederaan juga bisa terjadi pada organ genital yang terbagi dua yaitu cedera

penis dan skrotum.

4. Tungkai atas

Trauma tungkai atas adalah apabila berlaku benturan hingga menyebabkan

cedera dan putus ekstrimitas. Cedera bisa terjadi dari tulang bahu, lengan atas,

siku, lengan bawah, pergelangan tangan, jari-jari tangan serta ibu jari.

5. Tungkai bawah

Kecederaan yang paling sering adalah fraktur tulang pelvik. Cedera pada

bagian lain ekstrimitas bawah seperti patah tulang femur, lutut atau patella, ke

arah distal lagi yaitu fraktur tibia, fraktur fibula, tumit dan telapak kaki.

2.6. Tingkat Keparahan Trauma Kepala dengan Skor Koma Glasgow (SKG)

Skala koma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien

trauma kapitis, gangguan kesadaran dinilai secara kwantitatif pada setiap tingkat

kesadaran. Bagian-bagian yang dinilai adalah;

1. Proses membuka mata (Eye Opening)

2. Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response)

3. Reaksi bicara (Best Verbal Response)

Pemeriksaan Tingkat Keparahan Trauma kepala disimpulkan dalam suatu

tabel Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale).

Gambar 4. Skala Koma Glasglow

Berdasarkan Skala Koma Glasgow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas;

1. Trauma kapitis Ringan, Skor Skala Koma Glasgow 14 – 15

2. Trauma kapitis Sedang, Skor Skala Koma Glasgow 9 – 13

3. Trauma kapitis Berat, Skor Skala Koma Glasgow 3 – 8

a) Trauma Kepala Ringan

Dengan Skala Koma Glasgow >12, tidak ada kelainan dalam CT-scan,

tiada lesi operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, Choi, Barnes,

1999). Trauma kepala ringan atau cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi

neurologi atau menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya.

Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh) tidak

kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi dan

abrasi. Cedera kepala ringan adalah cedara otak karena tekanan atau terkena

benda tumpul. Cedera kepala ringan adalah cedera kepala tertutup yang ditandai

dengan hilangnya kesadaran sementara. Pada penelitian ini didapat kadar laktat

rata-rata pada penderita cedera kepala ringan 1,59 mmol/L.

b) Trauma Kepala Sedang

Dengan Skala Koma Glasgow 9 - 12, lesi operatif dan abnormalitas dalam

CT-scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, Choi, Barnes, 1999).

Pasien mungkin bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti

perintah sederhana (SKG 9-13). Pada suatu penelitian penderita cedera kepala

sedang mencatat bahwa kadar asam laktat rata-rata 3,15 mmol/L.

c) Trauma Kepala Berat

Dengan Skala Koma Glasgow < 9 dalam 48 jam rawat inap di Rumah

Sakit. Hampir 100% cedera kepala berat dan 66% cedera kepala sedang

menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera kepala berat terjadinya cedera

otak primer seringkali disertai cedera otak sekunder apabila proses patofisiologi

sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dan dihentikan. Penelitian pada

penderita cedera kepala secara klinis dan eksperimental menunjukkan bahwa pada

cedera kepala berat dapat disertai dengan peningkatan titer asam laktat dalam

jaringan otak dan cairan serebrospinalis (CSS) ini mencerminkan kondisi asidosis

otak (DeSalles et al., 1986). Penderita cedera kepala berat, penelitian

menunjukkan kadar rata-rata asam laktat 3,25 mmol/L.

2.7. Gejala Klinis Trauma Kepala

Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:

2.7.1. Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:

a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)

b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)

c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)

d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)

e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)

2.7.2. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan;

a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian

sembuh.

b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.

c. Mual atau dan muntah.

d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.

e. Perubahan keperibadian diri.

f. Letargik.

2.7.3. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat;

a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak

menurun atau meningkat.

b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).

c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).

d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi

abnormal ekstrimitas.

2.8. Penyebab Trauma Kepala

2.8.1. Mekanisme Terjadinya Kecederaan

Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah seperti

translasi yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala

bergerak ke suatu arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat

searah dengan gerakan kepala, maka kepala akan mendapat percepatan

(akselerasi) pada arah tersebut.

Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-

tiba dan dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka

kepala tiba-tiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba

mendapat gaya mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala.

Kecederaan di bagian muka dikatakan fraktur maksilofasial.

2.8.2. Penyebab Trauma Kepala

Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma

kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak

20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan

sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama

trauma kepala.

Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien

trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan

adalah penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1

per100.000 populasi di Amerika Serikat ( Coronado, Thomas, 2007). Penyebab

utama terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut:

a) Kecelakaan Lalu Lintas

Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor

bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan

kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya.

b) Jatuh

Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur

ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun

maupun sesudah sampai ke tanah.

c) Kekerasan

Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau

perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang

lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara

paksaan).

2.9. Indikasi CT –Scan pada Trauma Kepala

CT-Scan adalah suatu alat foto yang membuat foto suatu objek dalam

sudut 360 derajat melalui bidang datar dalam jumlah yang tidak terbatas.

Bayangan foto akan direkonstruksi oleh komputer sehingga objek foto akan

tampak secara menyeluruh (luar dan dalam). Foto CT-Scan akan tampak sebagai

penampang-penampang melintang dari objeknya.

Dengan CT-Scan isi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas.

Pada trauma kapitis, fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas

baik bentuk maupun ukurannya. Indikasi pemeriksaan CT-scan pada kasus trauma

kepala adalah seperti berikut:

1. Bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang

dan berat.

2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.

3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.

4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran.

5. Sakit kepala yang hebat.

6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan

otak.

7. Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.

Perdarahan subaraknoid terbukti sebanyak 98% yang mengalami trauma

kepala jika dilakukan CT-Scan dalam waktu 48 jam paska trauma. Indikasi untuk

melakukan CT-Scan adalah jika pasien mengeluh sakit kepala akut yang diikuti

dengan kelainan neurologis seperti mual, muntah atau dengan SKG (Skor Koma

Glasgow) <14.

2.9 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya

cedera dan dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh

suatu tim yang terdiri dari paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah asraf,

radiologi, anestesi dan rehabilitasi medik. Pasien dengan cedera kepala harus

ditangani dan dipantau terus sejak tempat kecelakaan, selama perjalanan dari

tempat kejadian sampai rumah sakit, diruang gawat darurat, kamar radiologi,

sampai ke ruang operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa

memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya. Macam dan urutan

prioritas tindakan cedera kepala ditentukan atas dalamnya penurunan kesadaran

pada saat diperiksa:

A. Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15)

Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis:

1. Simple head injury (SHI) Pasien mengalami cedera kepala tanpa

diikuti gangguan kesadaran, dari anamnesa maupun gejala serebral

lain. Pasien ini hanya dilakukan perawatan luka. Pemeriksaan

radiologik hanya atas indikasi. Keluarga dilibatkan untuk

mengobservasi kesadaran.

2. Kesadaran terganggu sesaat Pasien mengalami penurunan

kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan pada saat diperiksa

sudah sadar kembali. Pemeriksaan radiologik dibuat dan

penatalaksanaan selanjutnya seperti SHI.

B. Pasien dengan kesadaran menurun

1. Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15) Kesadaran

disoriented atau not obey command, tanpa disertai defisit fokal serebral.

Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatanluka, dibuat foto kepala. CT

Scan kepala, jika curiga adanya hematom intrakranial, misalnya ada

riwayat lucid interval, pada follow up kesadaran semakinmenurun atau

timbul lateralisasi. Observasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebral

disamping tanda-tanda vital.

2. Cedera kepala sedang (GCS=9-12) Pasien dalamkategori ini bisa

mengalami gangguan kardiopulmoner, oleh karena itu urutan tindakannya

sebagai berikut:

a. Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi

b. Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera

organ lain. Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas

c. Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain

d. CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intrakranial

e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral

3. Cedera kepala berat (CGS=3-8) Penderita ini biasanya disertai oleh cedera

yang multiple, oleh karena itu disamping kelainan serebral juga disertai

kelainan sistemik. Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai

berikut:

a. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC) Pasien

dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan

hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan

pertama adalah:

Jalan nafas (Air way)

Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan

posisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa

endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu.

Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk

menghindarkan aspirasi muntahan

Pernafasan (Breathing)

Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau

perifer. Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medula

oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik

hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada,

edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan

pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan

pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab dan

kalau perlu memakai ventilator.

Sirkulasi (Circulation)

Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan

kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan

intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa

hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma

dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik.

Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan

fungsi jantung danmengganti darah yang hilang dengan plasma,

hydroxyethyl starch atau darah

b. Pemeriksaan fisik

Setalah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran,

pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil

pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan

ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bis

adiartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari

dan menanggulangi penyebabnya.

c. Pemeriksaan radiologi

Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada

danabdomen dibuat atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada

fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematom

intrakranial

d. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)

Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom

intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK

sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-

15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan

sebagai berikut:

1. Hiperventilasi Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi

dengan ventilasi yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2

(pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti

berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2

sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba

dilepas dgnmengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi

hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak

menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT

scan ulang untuk menyingkirkan hematom

2. Drainase Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil.

Untuk jangka pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan

untuk jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt,

misalnya bila terjadi hidrosefalus

3. Terapi diuretik

Diuretik osmotik (manitol 20%) Cairan ini menurunkan TIK

dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak

yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi

diuresis pemberiannya harus dihentikan. Cara pemberiannya :

Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5

gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas

tidak melebihi 310 mOSm

Loop diuretik (Furosemid) Frosemid dapat menurunkan TIK

melalui efek menghambat pembentukan cairan cerebrospinal

dan menarik cairan interstitial pada edema sebri. Pemberiannya

bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan

memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis 40

mg/hari/iv

4. Terapi barbiturat (Fenobarbital) Terapi ini diberikan pada kasus-

ksus yang tidak responsif terhadap semua jenis terapi yang tersebut

diatas. Cara pemberiannya: Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam

dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada

kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam.

Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis

diturunkan bertahap selama 3 hari.

5. Streroid

Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan

tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu

sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala

6. Posisi Tidur Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi

posisi tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan

kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau

leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit

sehingga drainase vena otak menjadi lancar.

e. Keseimbangan cairan elektrolit Pada saat awal pemasukan cairan

dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri dengan

jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya

dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat

dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan

diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena terjadi

keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan

cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia

kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari

dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan

tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan eletrolit,

pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat

diuretik, diabetes insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretic

hormon (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar eletrolit,

gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.

f. Nutrisi Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-

2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses

ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan

norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila ada demam. Setekah

3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi peroral

melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari

g. Epilepsi/kejang Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah

trauma disebut early epilepsi dan yang terjadi setelah minggu pertama

disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih sering timbul pada anak-

anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi,

hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik yang panjang.

Pengobatan:

Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari

Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit.

Bila cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan

tetesan

h. Komplikasi sistematik

Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi

infeksi seperti: pada fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur

basis kranii

Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan

menambah kerusakan sekunder, sehingga memperburuk prognosa.

Oleh karena itu setiap kenaikan suhu harus diatasi dengan

menghilangkan penyebabnya, disamping tindakan menurunkan

suhu dengan kompres

Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi

dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% diantaranya akan berdarah.

Keadan ini dapat dicegah dengan pemberian antasida atau

bersamaan dengan H2 reseptor bloker.

Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia,

trombosiopenia, hipo hiperagregasi trombosit, hiperkoagilasi, DIC.

Kelainan tersebut walaupun ada yang bersifat sementara perlu

cepat ditanggulangi agar tidak memperparah kondisi pasien.

Referensi

Adams RD. Principles of neurology. 6th ed vol.2 New York: McGraw

Hill, 1997: 874-901

Andradi S. Simposium cedera kranio serebral, 199

Cohadon F. The concept of secondary damage inbrain trauma, in ischemia

in head injury. Proceedings of 10th Europe Congress of Neurosurgery,

1995:1-7

Graham DI. Neuropathology of brain injury in neurology and trauma.

Philadelphia : WB Sounders, 1996: 53-90

Jenneth B. management of head ijnury. Philadelphia; FA Davis, 1981

Judson JA. Management of severe and multiple trauma, in TE Oh(ed).

Sydney : Butterworth, 1990: 422-426

Kelly DF. General principles of head injury management. New York:

McGraw Hill, 1996

Marshall SB. Neuroscience and critical care, pathophysiology and

management. Philadelphia: WB Sounders, 1990: 169-213

Martin NA et al. Characterization of cerebral hemodynamic phase

following sever head trauma: hypoperfusion, hyperemia and vasospasm. J.

neurosurgey, 1997(87): 9-19

Reilly P. Pathophysiology and management of severe close injury.

London: Chapman & Hall Medical, 1997

Robertson et al. Oxygen utilization and cardiovasculer function in head

patients. Neurosurgery 1996 (15):307-314

Teasdale G. Pathological and clinical evidence of ischemic brain damage

in brain trauma. London : Chapman & Hall Medical, 1995:21-29

Thomson WA. Severe head injury, in TEOH (ed) Sydney: Butterworth,

1990: 427-431