19
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan institusi yang agung dalam agama islam, keberadaannya sangat dihormati, di dalamnya ada hak dan kewajiban antara suami dan istri yang bertujuan untuk mendapat keridhaan dari Allah. Selain itu pernikahan adalah sebuah institusi yang didalamnya tercakup tujuan- tujuan syariat (maqâshid as-syari‟ah) yang merupakan perkara sangat utama (ad-dharûriyât). 1 yaitu memelihara agama (ad-dîn), memelihara keturunan (an-nasl) disamping memelihara harta (al-mâl ) memelihara jiwa (an-nafs), dan untuk melindungi akal (al-„aql). 2 Pernikahan juga memiliki syarat, rukun dan tujuan-tujuan yang akan dicapai untuk mendapatkan kebahagiaan keluarga dunia dan akherat. Anak dalam keluarga merupakan anugerah Allah yang diberikan kepada pasangan suami istri, ia adalah perhiasan dalam hidup sebagai buah dari pernikahan suci dalam bingkai cinta dan kasih sayang. Kehadiran anak didalam keluarga menambah kehangatan dan kebahagian keluarga. Anak adalah titipan sekaligus amanah dari Allah. Sebuah keniscayaan saat keluarga merindukan kehadiran seorang anak, tempat mencurahkan kasih sayang, perhatian dan kepedulian. 3 Seorang anak yang terlahir dari keluarga yang utuh, sah baik secara agama dan hukum ia akan berkembang menjadi generasi masa depan dengan penuh optimisme. Karena memiliki kejelasan status dan kedudukan dalam hukum. Namun jika seorang anak terlahir dari status yang tanpa kejelasan baik secara hukum maupun secara agama, ia akan menjadi objek permasalahan karena efek dari pihak lain. Sehingga sangat sulit untuk maju dan berkembang layaknya anak-anak yang terlahir dari keluarga normal. Bahkan nyaris menimbulkan konflik antar keluarga dan ini sangat tidak baik dari sisi psikologis. Karena tak bisa dipungkiri, dalam diri anak mengalami masa-masa perkembangan secara fisik, emosional maupun sosial hingga ia tumbuh dewasa. 4 1 Muhammad Abdul „Athi Muhammad „Ali, al-Maqâshid as-Syari‟ah wa Atsaruhâ fî al-Fikh al-Islami, (Kairo: Dâr al Hadits, 1428 H) h. 161. 2 Ibrahîm bin Musabin Muhammad al-Lakhmi al-Gharnathi as-Syâtibi, al-Muwâfaqât, Juz II (Mesir: Dar Ibnu Affan,1417H) h. 18-19 3 Abdullâh Nâsih „Ulwan, Tarbiyatul Aulâd fi al-Islam,( Cairo: Dar As Salam Li at Tiba‟ah wa Nasyr wa Tauzi‟e, 1412 H) Juz I h. 50 4 Miftah Farid, Rumahku Syurgaku,Romantika dan Solusi Rumah Tangga,(Depok:Gema Insani, 2006 M) h. 245

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fileBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan institusi yang agung dalam agama islam, ... .2 Pernikahan juga memiliki

  • Upload
    vanbao

  • View
    236

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fileBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan institusi yang agung dalam agama islam, ... .2 Pernikahan juga memiliki

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan institusi yang agung dalam agama islam,

keberadaannya sangat dihormati, di dalamnya ada hak dan kewajiban antara

suami dan istri yang bertujuan untuk mendapat keridhaan dari Allah. Selain

itu pernikahan adalah sebuah institusi yang didalamnya tercakup tujuan-

tujuan syariat (maqâshid as-syari‟ah) yang merupakan perkara sangat utama

(ad-dharûriyât).1 yaitu memelihara agama (ad-dîn), memelihara keturunan

(an-nasl) disamping memelihara harta (al-mâl ) memelihara jiwa (an-nafs),

dan untuk melindungi akal (al-„aql).2 Pernikahan juga memiliki syarat, rukun

dan tujuan-tujuan yang akan dicapai untuk mendapatkan kebahagiaan

keluarga dunia dan akherat.

Anak dalam keluarga merupakan anugerah Allah yang diberikan kepada

pasangan suami istri, ia adalah perhiasan dalam hidup sebagai buah dari

pernikahan suci dalam bingkai cinta dan kasih sayang. Kehadiran anak

didalam keluarga menambah kehangatan dan kebahagian keluarga. Anak

adalah titipan sekaligus amanah dari Allah. Sebuah keniscayaan saat keluarga

merindukan kehadiran seorang anak, tempat mencurahkan kasih sayang,

perhatian dan kepedulian.3

Seorang anak yang terlahir dari keluarga yang utuh, sah baik secara

agama dan hukum ia akan berkembang menjadi generasi masa depan dengan

penuh optimisme. Karena memiliki kejelasan status dan kedudukan dalam

hukum. Namun jika seorang anak terlahir dari status yang tanpa kejelasan

baik secara hukum maupun secara agama, ia akan menjadi objek

permasalahan karena efek dari pihak lain. Sehingga sangat sulit untuk maju

dan berkembang layaknya anak-anak yang terlahir dari keluarga normal.

Bahkan nyaris menimbulkan konflik antar keluarga dan ini sangat tidak baik

dari sisi psikologis. Karena tak bisa dipungkiri, dalam diri anak mengalami

masa-masa perkembangan secara fisik, emosional maupun sosial hingga ia

tumbuh dewasa.4

1Muhammad Abdul „Athi Muhammad „Ali, al-Maqâshid as-Syari‟ah wa Atsaruhâ

fî al-Fikh al-Islami, (Kairo: Dâr al Hadits, 1428 H) h. 161.

2Ibrahîm bin Musabin Muhammad al-Lakhmi al-Gharnathi as-Syâtibi,

al-Muwâfaqât, Juz II (Mesir: Dar Ibnu Affan,1417H) h. 18-19 3Abdullâh Nâsih „Ulwan, Tarbiyatul Aulâd fi al-Islam,( Cairo: Dar As Salam Li at

Tiba‟ah wa Nasyr wa Tauzi‟e, 1412 H) Juz I h. 50

4Miftah Farid, Rumahku Syurgaku,Romantika dan Solusi Rumah

Tangga,(Depok:Gema Insani, 2006 M) h. 245

Page 2: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fileBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan institusi yang agung dalam agama islam, ... .2 Pernikahan juga memiliki

2

Hukum Islam yang mengatur keluarga (al-ahwâl as-syakhsiyah)

bertujuan untuk memuliakan manusia sesuai dengan naluri insani,

menghadirkan ketenangan dan kesempurnaan dalam hidup.5 Al-Qur‟an

dengan jelas menggambarkan bahwa kita dilarang meninggalkan anak

keturunan dalam kondisi lemah.

وليخش الذين لو ت ركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم ف لي ت قوا الل ولي قولوا ( ۹ ]:٤ [)سورة النساء: ق ول سديدا

“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya

mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang

mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan) nya. Oleh sebab itu,

hendaklah mereka bertakwa kepada Allah. Dan hendaklah mereka

berbicara dengan tutur kata yang benar.” (Q.S. An Nisâ‟ [4]:9)

Imam At Thabari dalam tafsirnya memberi komentar terkait ayat diatas:

ال ي وا ع ون ك ي ، ف ال م ي غ م ب ه ك ت ن ي أ اف ع ض د ل و و ل و ات ا م ذ إ م ك د ح أ ه ر ك ي يس ل أ 6اس؟ ى الن ل ع

“Bukankah tidak disukai, jika ada diantara kalian yang meninggal

dunia, sedang ia memiliki anak yang ditinggalkan tanpa harta, lalu

mereka menjadi beban dikalangan manusia?”

Anak yang terlahir dalam pernikahan yang sah baik secara hukum dan

agama Islam akan mendapat hak yang sesuai untuk pemenuhannya, akan

tetapi anak yang terlahir akibat dari pernikahan yang cacat, baik secara

hukum maupun agama, biasanya banyak menuai konflik dan permasalahan di

kemudian hari, baik terkait harta warisan, perwalian, nasab dan hak-hak

sebagai warga negara. Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan

atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah,

jugahanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu,

namun tidak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya.7

Menurut Andy Hartanto: “Apabila suatu perkawinan tidak dilaksanakan

menurut hukum, maka dapatlah dikatakan bahwa perkawinan tersebut tidak

sah menurut hukum, sehingga akibat dari perkawinan tersebut adalah tidak

5Abdul Wahâb Khalâf, Ahkâm al-Ahwâl as-Syakhsiyah Fi as-Syarî‟ah al-Islamiyah,

(Kuwait: Dar al-Kalam, 1410 H) h. 15.

6Muhammad bin Jarîr at-Thabari, Jâmi‟ul Bayan Fî Ta‟wil Ay Al-Qur‟an, Jilid VI

(tt.p: Muassasah ar-Risalah, 1420 H) h.19

7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 43 ayat (1)

Page 3: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fileBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan institusi yang agung dalam agama islam, ... .2 Pernikahan juga memiliki

3

dilindungi oleh hukum yang berlaku, baik pihak suami-isteri yang terikat

perkawinan maupun anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut”.8

Oleh karena itu keputusan untuk melangsungkan pernikahan adalah

keputusan yang sudah berdasarkan pemikiran yang matang, karena

pernikahan bukan hanya menyatukan dua sejoli dalam ikatan yang kuat

(mitsâqan ghalîzha). Seperti tersebut dalam firman Allah:

(۱۲] : ٤[) سورة النساء ...وأخذن منكم ميثاقا غليظا“…Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat

dari kamu”(QS. An Nisâ‟[4]:21) Syekh an Nawawi al Bantâni dalam tafsirnya menyebutkan:

ت ح يو ف غ ول ب ن ك ل هللا و ى ة يق ق ح د ه ع ل ذ ل خ ال ن ل ي و أ ات ل ذ الخ ن ه ن أ ك ل ع 9ن ه ب ب س ب هد الع م يك ل ع هللا ذ خ أ د ق و

“Karena pihak yang mengambil perjanjian hakikatnya adalah Allah,

akan tetapi sampai taraf seolah pihak yang mengambil

perjanjianadalah para istri, sungguh Allah telah mengambil perjanjian

atasmu sebab mereka.”

Dengan kata lain pernikahan adalah perbuatan hukum yang akan

berimplikasi kepada hukum juga. Baik hukum sah atau tidaknya pernikahan

atau hukum turunannya berupa hukum anak hasil pernikahan, warisan,

pemberian nafkah dan perwalian.10

Dalam konteks kekinian sahnya perkawinan bukan hanya sah secara

hukum agama saja, akan tetapi harus sah juga secara hukum negara. Karena

jika hanya sah secara hukum agama, bisa jadi kedepan akan ada celah

merugikan pada salah satu pihak baik suami atau istri, namun kebanyakan

adalah istri dan anak. Oleh karena itu, pemerintah ikut serta dalam

pengaturan perkawinan tak lain agar proses perkawinan serta pihak-pihak

yang terkait dapat mencapai tujuan-tujuan mulia sebuah pernikahan.

Keikut-sertaan ini dalam hal menyangkut proses administratif, di mana

perkawinan harus dicatatkan:

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku11

8Andy Hartanto, Kedudukan Hukum dan Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut

Burgerlijk Wetboek,(Yogyakarta: Laksbang Press, 2008 M) h. 1.

9Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi al Bantani, Marâh Labîd Li Kasyf Ma‟na al

Qur‟an al Mâjîd, Juz I (Beirut: Dar al Kutûb al Ilmiyah, 1417 H) h. 190

10

Ali Uraidi, Perkawinan Sirri dan Akibat Hukum ditinjau dari Undang-Undang

Perkawinan no. 1 tahun 1974”, dalam Jurnal Ilmiah Fenomena, Vol. X, Nomor 2, November

2011, h.: 982

11Undang-Undang Nomor 1 tentang Perkawinan Tahun 1974,Pasal 2 ayat (2)

Page 4: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fileBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan institusi yang agung dalam agama islam, ... .2 Pernikahan juga memiliki

4

Dengan adanya pencatatan ini juga akan memberikan perlindungan bagi

suami istri dan anak-anaknya termasuk untuk kepentingan harta kekayaan

yang terdapat dalam perkawinan tersebut. Pencatatan perkawinan bagi yang

beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Nikah, talak dan rujuk

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954. Bagi

mereka yang beragama selain Islam pencatatan dilakukan di Kantor Catatan

Sipil. Pencatatan tersebut tidak menentukan sahnya suatu peristiwa hukum

suatu perkawinan, tetapi hanya memberikan pembuktian bahwa peristiwa

hukum itu telah terjadi dan dilakukan, sehingga hanya bersifat administratif,

karena sahnya perkawinan itu sendiri ditentukan oleh masing-masing agama

dan kepercayaannya. Dengan kata lain sebenarnya Undang-Undang

Perkawinan tidak mengatur secara tegas permasalahan terkait wali dalam

pernikahan. Sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Perkawinan yang

berbunyi:”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agama dan kepercayaannya itu.”12

Ketika tidak ditemukan aturan yang tegas terkait hukum wali nikah dalam

Undang-Undang Perkawinan tersebut diatas maka akan terjadi kasus terkait

misalnya nikah siri dan sebagainya.

Di Indonesia terdapat beberapa institusi hukum yang mengatur

kedudukan anak, yakni Hukum Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek), Hukum

Islam, Hukum adat dan Hukum Nasional produk pemerintah Indonesia

berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Yurispruden Mahkamah

Agung termasuk Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia13

.

Adapun ketentuan dalam bidang hukum perkawinan yang diaur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, sepanjang telah diatur dalam Undang-

Undang Perkawinan maka dengan sendirinya tidak berlaku lagi, hal ini

berdasarkan ketentuan pasal 66 Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi:

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan

berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-

undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang

Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia

Kristen (Howelijks, Ordonnantie Christen Indonesiers S. 1933 No.74 ),

Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S.

1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang

perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak

berlaku”14

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010, tanggal 17

Februari 2012 yang berkaitan dengan permohonan uji materi (Judicial

12Undang-Undang Nomor 1 tentang Perkawinan Tahun 1974,Pasal 2 ayat (1)

13

M. Anshary, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum

Nasional, (Bandung: CV. Mandar Maju,2014), Cet 1 h. 1

14

Undang-Undang Nomor 1 tentang Perkawinan Tahun 1974, bab XIV Pasal 66

Page 5: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fileBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan institusi yang agung dalam agama islam, ... .2 Pernikahan juga memiliki

5

review) terhadap ketentuan Pasal 43 ayat(1) Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, mengenai status anak luar kawin terhadap pasal

28B ayat(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

yang diajukan oleh seorang perempuan berinisial Mcc, putusan tersebut

menyatakan: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki

sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan

teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan

darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”15

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengundang banyak kontroversi

maupun reaksi dari beberapa kalangan baik agamis maupun praktisi hukum,

artinya dengan putusan MK tersebut maka terjadilah perubahan besar dalam

sistem hukum perdata di Indonesia. Misalnya hukum waris, sejak adanya

putusan MK tersebut banyak kalangan berasumsi bahwa anak diluar kawin

sah (secara hukum negara) memiliki kedudukan yang sama dengan anak sah

sehingga bapak biologisnya mempunyai hubungan nasab, nafkah,

pendidikan, perawatan, perwalian dan sebagainya.

Jika merujuk hukum-hukum yang berlaku di Indonesia akan muncul

istilah-istilah tentang anak sebagai buah dari perkawinan, yaitu: anak sah,

anak luar kawin, anak zina, anak sumbang (incest), anak angkat dan anak tiri.

Dalam pranata hukum di Indonesia, istilah-istilah tersebut mempunyai

konotasi yang berbeda sehingga berpengaruh pula terhadap kedudukan anak

dalam perspektif hukum.16

Terkait istilah anak sah dan tidak sah, di dalam

Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa anak yang sah adalah:

(a). Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; (b). Hasil

pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri

tersebut.17

Pengesahan anak yang dilakukan seorang ayah terhadap anak

biologisnya sesuai dengan ketentuan Burgerlijk Wetboek (BW) hanya dapat

dilakukan apabila laki laki tersebut menikahi Ibu dari anak yang

bersangkutan dengan dibuktikan dengan Kutipan Akta Nikah (Akta

Perkawinan), hal mana tidak dapat dilakukan apabila yang bersangkutan

tidak dapat melaksanakan pencatatan pernikahannya. Pengesahan sebagai

anak kandung ini dilakukan sebagai rasa pengakuan yang bersangkutan dan

tanggung jawab yang bersangkutan bahwa anak yang lahir dari istri/calon

istrinya adalah benar anak biologis dari laki laki tersebut, sehingga dengan

adanya pengesahan anak ini menurut Burgerlijk Wetboek (BW), laki laki

15Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII tahun 2010

16

M. Anshary, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum

Nasional, h.1

17

Kompilasi Hukum Islam, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen

Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001

Page 6: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fileBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan institusi yang agung dalam agama islam, ... .2 Pernikahan juga memiliki

6

tersebut mempunyai tanggung jawab yang sama dengan anak kandung yang

dilahirkan setelah terjadinya pernikahan.

Dalam konteks hukum indonesia kita mengenal ada tiga konsep asas

hukum, yaitu hukum harus memiliki tiga unsur asas pokok yaitu asas

keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum.18

Artinya hukum

yang diputuskan oleh lembaga hukum atau lembaga peradilan harus

mencakup tiga asas tersebut. Manakala sebuah putusan hukum tidak

mencakup ketiga unsur asas diatas maka kenyamanan publik atas putusan

hukum tersebut. Sehingga implikasinya adalah keresahan masyarakat sebagai

objek hukum tersebut.

Mahkamah konstitusi dalam hal ini mengeluarkan putusan terhadap

status anak diluar kawin yang memiliki hubungan perdata dengan ayahnya

menuai kontroversi ditengah masyarakat. Pokok permasalahan dalam perkara

tersebut bukan saja mengenai status anak luar kawin, namun perkawinan

tersebut telah memenuhi norma agama namun tidak memenuhi norma

hukum. Tentang status perkawinannya pemohon Mcc berdalil dengan

diberlakukannya Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang perkawinan yang

berbunyi:

“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku”19

Berdasarkan pasal diatas, maka hak-hak konstitusional pemohon sebagai

warga Negara Indonesia yang dijamin oleh pasal 28 B ayat (1) dan ayat ( 2)

telah dirugikan, yang bunyi pasalnya adalah:

Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui

perkawinan yang sah. Ayat (2) Hak anak untuk kelangsungan hidup,

tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi”20

Tentang status perkawinan Mcc dengan alm. Md. Dalam pertimbangan

Mahkamah Konstitusi, pencatatan itu merupakan kewajiban administrasi

sebagaimana diatur dalam penjelasan angka 4 huruf b Undang-Undang

perkawinan yang berbunyi:

“Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah

bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya.itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap

perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam

kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam

18Tata Wijayanta, Asas Kepastian Hukum Keadilan dan Kemanfaatan dalam Kaitan

dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga dalam Jurnal Dinamika Hukum, Vol 14. No.

2Mei tahun 2014, h 219

19

Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat 2

20

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 28 B ayat 1 dan 2

Page 7: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fileBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan institusi yang agung dalam agama islam, ... .2 Pernikahan juga memiliki

7

Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam

pencatatan.21

Adapun tujuan negara dalam hal ini adalah memberikan perlindungan

hak-hak asasi manusia, sebab sebuah perkawinan yang dibangun pada

dasarnya berimplikasi hukum yang sangat luas, yang dikemudian hari hanya

dapat dibuktikan dengan bukti otentik perkawinan, sehingga hak-hak yang

timbul dapat terpenuhi dengan baik. Meskipun selama ini negara telah

mewajibkan pencatatan perkawinan demi tertib administrasi, namun ternyata

pada praktiknya masih banyak orang yang melakukan perkawinan tanpa

dicatatkan dengan berbagai alasan. Terkadang persyaratan yang berbelit-belit

termasuk aspek finansial terkesan masih dirasa membebani sebagian orang

untuk melakukan pencatatan.

Fenomena pernikahan yang tidak dicatatkan sering dikenal dengan nikah

yang dirahasiakan (sirri), meski dengan beragam makna. Secara etimologi

sirri artinya rahasia seperti disebutkan oleh Ibnu Manzûr:

: من السر ر : ما أخفيت ار الس ر 22الت تكتم. والس

”Kata as Sirru berasal dari asrar yaitu sesuatu yang disembunyikan,

dan sesuatu yang kau sembunyikan”.

Para ulama klasik dari kalangan mazâhib al arba‟ah memiliki pengertian

yang berbeda-beda tentang nikah sirri namun sering dikenal sebagai nikah di

bawah tangan. Dikalangan Mâlikiyah melarang nikah sirri, karena nikah

tersebut bertentangan dengan ajaran Nabi yang menyuruh untuk

mengumumkan nikah, sabda Nabi:

« علوه ف ال د، واضربوا عليو بلدفوف أعلنوا ىذا النكاح، وا 23سا

“Umumkanlah nikah, lakukanlah di masjid dan pukullah duff ( sejenis

rebana)

Kalangan Malikiyah memiliki pendapat yang paling keras dibanding

mazhab yang lain, Menurut Ibnu Rusyd , orang yang melakukan nikah sirri

terkena hukuman pidana rajam, karena tujuan syariat tidak tercapai dalam hal

ini menghindari fitnah zina dalam masyarakat.24

Sementara dikalangan

Hanabilah memakruhkan pernikahan sirri, sedangkan kalangan Syafi‟iyah

21Penjelasan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975

22

Muhammad bin Mukarram bin Ali Abu Fadl Jamaluddîn Ibnu Manzur Al-

Anshari, Lisanul „Arab, Jilid 4 ( Beirut: Dar As Shadir, 1414 H) h. 356

23

Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Dhahaq at-Tirmizi, Sunan at-

Tirmizi, Jilid III ( Mesir: Maktabah Musthafa al-Halbi, 1395 H) h.309 no. hadits. 1089

24

Abu al Walîd Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd al

Qurthubi al Hafîd, Bidâyatul Mujtahid, jilid III ( Kairo: Dar al Hadits, 1425) h. 44

Page 8: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fileBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan institusi yang agung dalam agama islam, ... .2 Pernikahan juga memiliki

8

dan Hanafiyah membolehkan, dengan alasan bahwa merahasiakan

pernikahan tidaklah terkait dengan sah atau tidaknya sebuah pernikahan.25

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwa nomor 10 tahun 2008

tentang pernikahan dibawah tangan menyebutkan:

Nikah Di Bawah Tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah Pernikahan

yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum

Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana

diatur dalam peraturan perundang-undangan.26

Namun demikian Majelis Ulama Indonesia memandang bahwa sahnya

hukum pernikahan dibawah tangan tersebut tidaklah berhenti sampai disitu.

Sahnya hukum tersebut menjadi haram manakala terdapat mudharat. Bahkan

menganjurkan untuk dicatatkan sebagai bentuk langkah preventif ( saddan

lidz dzari‟ah)27

. hal tersebut didasari dengan berbagai pertimbangan salah

satunya adalah kaidah fikih:

28حال ص م ال ب ل ن م ول أ د اس الف ء ر د “Mencegah mafsadah (kerusakan) lebih didahulukan daripada menarik

kemaslahatan.”

Untuk mencegah kerusakan dalam tatanan kemasyarakatan terkait dengan

pernikahan ini maka pemerintah dalam hal ini menurut Undang-Undang

Pernikahan tahun 1974 berfungsi sebagai pembuat kebijakan yang sesuai

dengan kemaslahatan masyarakat pada umumnya.

Hal ini sesuai dengan kaidah fikih: مام على الرعية منوط بلمصلحة 29 تصرف ال

”Kebijakan pemimpin kepada rakyatnya sesuai dengan pertimbangan

kemaslahatan”

Ketaatan kepada pemimpin, dalam hal ini pemerintah, sesuai dengan Al

Qur‟an yang menyuruh manusia untuk taat kepada pemimpin, seperti

tercantum dalam ayat Al Qur‟an:

25Tim redaksi Tanwirul Afkar Ma‟had Ali PP. Salafiyah Sukerejo SituBondo,

Fikih Rakyat Pertautan Fikih dengan Kekuasaan, Cet. 1 ( Yoryakarta: LKIS, 2000 M) h.287

26

Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 10 Tahun 2008h. 531

27

Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 h. 531

28

Muhammad Sidqi bin Ahmad bin Muhammad al-Burnu, al Wajiz Fî Idhah

Qawaid al fikh al Kuliyyah, ( Beirut: Muasasah ar Risalah, 1422 H) h. 265

29

Jalaluddin as Suyuthi, al Asybah wa an Nadzair, (Cairo: Dar al Kutub, 1411 H) h.

121

Page 9: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fileBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan institusi yang agung dalam agama islam, ... .2 Pernikahan juga memiliki

9

وأطيعوا الرسول وأول المر منكم فإن ت نازعتم ي أي ها الذين آمنوا أطيعوا اللتم ت ؤمنون بلل والي وم الخر ذل ف شيء ف ردوىإل الل والرسول إن كن

ر وأحسن تويل )٥۹: ]٥[)النساء خي

“Wahai orang-orang beriman , taatilah Allah dan taatilah Rasul

(Muhammad) dan ulil amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu,

kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka

kembalilah kepada Allah (Al Qur‟an) dan Rasul-Nya (Sunnah-nya) jika

kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian yang demikian lebih

utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An Nisa[4]:59)

Dalam menafsirkan ayat ini, Syekh Mutawalli as-Sya‟râwi menyebutkan:

ة اع ط هللا و ة اع ن ط ط ب ن م ت ن كا ن إ ة م ز ل م ر م ال ل و ة اع ط ن ى أ ل ع ل د ي 30ان ي ال ع م ت ج لم ل ة م ص ع ل ذ ف و، و ول س ر

“Menunjukkan atas perintah kepada waliyul amri (pemangku

kekuasaan) merupakan keharusan (mulzim) jika bersumber dari

ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, itulah perlindungan Allah untuk

masyarakat beriman.”

Abdurrahman Nâsir as Sa‟di dalam tafsirnya menyebutkan bahwa syarat

ketaatan kepada ulil amri manakala mereka tidak menyuruh kepada

kemaksiatan.31

Oleh karena tidak ada ketaatan kepada makhluk untuk

bermaksiat kepada Al Khâliq (Allah).32

Perkawinan yang tidak dicatatkan berakibat tidak diperolehnya

perlindungan hukum (no legal protect) yang diberikan oleh negara meskipun

perkawinan dipandang sah karena dilakukan sesuai dengan agama dan

kepercayaannya. Sehingga saat salah satu dari kedua belah pihak melakukan

penyimpangan (wan prestasi), maka pihak yang merasa dirugikan akan

30Mutawwalli as-Sya‟râwi, Tafsir as Sya‟rawi,jilid IV (t.tp: Akhbar al-Yaum,1997)

h. 2360

31

Itulah rahasia mengapa kata kerja dalam ayat ini hanya pada kata athiullah wa

atiu Rasul, sedangkan pada kata ulil amri tidak disebutkan langsung, karena ketaatan kepada

pemimpin tetap dibingkai oleh ketaatan kepada perintah-Allah dan Rasul. Karena taidaklah

mungkin seorang Rasul memerintahkan kepada kesesatan.

32

Abdurrahman Nasir as-Sa‟di, Taisir al-Karim ar-Rahman fî Tafsir Kalam al-

Mannan, ( Beirut: Muasasah ar Risalah:1420 H) h. 183

Page 10: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fileBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan institusi yang agung dalam agama islam, ... .2 Pernikahan juga memiliki

10

kesulitan mengajukan gugatan karena tidak ada akta otentik untuk

membuktikan adanya ikatan perkawinan.33

Penetapan asal usul anak dalam perspektif hukum islam memiliki arti

yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui

hubungan mahram antara anak dan ayahnya. Meskipun demikian seorang

anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika

terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang terlahir dari diluar

pernikahan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak sah, biasa disebut

dengan anak zina, atau anak diluar perkawinan yang sah dan hanya memiliki

hubungan nasab dengan ibunya.34

Persoalan nasab sangatlah penting dalam

agama islam, ketika nabi Muhammad SAW mengangkat seorang anak

bernama Zaid bin Haritsah. Kemudian oleh orang-orang dinasabkan kepada

Nabi Muhammad dikemudian hari, ternyata dikemudian hari mendapat

teguran dari Allah di dalam Al Qur‟an:

ئي تظاىرون كم الل عل أزوا وفو وما ل من ق لب ي ف عل الل لر ما عل أدعياءكم أب ناءكم ذلكم ق ولكم بف واىكم والل هن أمهاتكم وما من

ادعوىم لبئهم ىو أقسط عند الل فإن ل . هدي السبيل ي قول الق وىو ي ناح فيما ت علموا آبءىم فإخوانكم ف الدين ومواليكم وليس عليكم

غفورا رحيما أخطأت بو ولكن ما ت عمدت ق لوبكم وكان الل ( ٥- ٤ :33] [)سورة الحزاب

Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya, dan

Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar35

itu sebagai

ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak

kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu

33M. Anshary, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum

Nasional hal. 72

34

Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama

menurut Hukum Positif & Hukum Islam (Bandung: Refika Aditama, 2015) h. 16

35

Zihar adalah menyerupakan istri seperti ibu kandung sendiri, seperti perkataan

seorang suami kepada istrinya,” Punggungmu haram bagiku seperti punggung ibuku”.

Maksud dari perkataan ini adalah suami yang sudah tidak mau berumah tangga dengan

istrinya atau bermaksud menjatuhkan talak. Zihar pada masa jahiliyah digunakan oleh suami

unuk mengharamkan berhubungan dengan istrinya, sedangkan pada masa islam terkait

dengan peristiwa Khaulah binti Tsa‟labah yang dizihar oleh suaminya Aus bin Shamit,

hukumnya haram menggauli istri yang sudah di zihar. Dan kafaratnya adalah memerdekakan

budak, puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan enam puluh orang miskin.

Page 11: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fileBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan institusi yang agung dalam agama islam, ... .2 Pernikahan juga memiliki

11

saja, Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan jalan

yang lurus. Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai)

nama bapak-bapak mereka, itulah yang adil di sisi Allah, dan jika

kamu tidak mengetahui bapak mereka maka (panggillah mereka

sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maula36

. Dan tidak

ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada

dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun,

Maha Penyayang.(QS. Al Ahzâb [33]:4-5) Inspirasi dari ayat diatas adalah seseorang tidak dibolehkan menasabkan

dirinya kepada selain ayah kandungnya, karena hakekatnya bukan anak

kandung, inilah bukti betapa pentingnya nasab dan kejelasan asal-usul.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Penentuan status anak merupakan persoalan yang sangat krusial ditengah

masyarakat Indonesia yang nota bene mayoritas adalah muslim, apalagi

penduduk muslim Indonesia tergolong unik karena berasal dari kebhinekaan

kultur dan budaya suku daerah masing-masing. Perkawinan yang sah

melahirkan anak dengan status jelas baik secara hukum islam maupun hukum

nasional, artinya kedudukan anak tersebut didalam keluarga, hak-haknya

dilindungi secara hukum terjamin. Namun jika seorang anak terlahir dari

pernikahan yang hanya sah secara agama, tidak di catatkan sesuai dengan

ketentuan pencatatan dalam Undang-undang Nomer 1 tahun 1974 maka hak-

hak yang seharusnya di dapatkan oleh anak tersebut bisa terabaikan.

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tentang status anak yang diajukan oleh

perempuan berinisial Mcc terdapat dua hal yang berbeda37

, yang seharusnya

oleh MK dibedakan kriterianya terlebih dahulu sebelum menjatuhkan

putusan.

Pertama, anak yang dilahirkan dari perkawinan yang memenuhi norma

agama, namun tidak memenuhi norma hukum. Mengapa demikian? Karena

pernikahan yang dilakukan oleh perempuan berinisial Mcc. Telah memenuhi

syarat pernikahan secara agama yang dianut oleh Mcc dan Md. Hanya saja

pernikahan tersebut tidak dilakukan didepan petugas pencatat nikah tentu

dengan berbagai pertimbangan, dan tidak dicatatkan. Secara agama

pernikahan ini sah karena telah memenuhi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Perkawinan yang berbunyi,”

36 Hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seseorang yang menjadi anak

angkat, seperti panggilan kepada Salim yang merupakan anak angkat Huzaifah sering

dipanggil Salim Maula Huzaifah.

37

Kedudukan Anak Dalam Perspektif Islam dan Hukum Nasional, h. 74

Page 12: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fileBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan institusi yang agung dalam agama islam, ... .2 Pernikahan juga memiliki

12

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaanya itu,”38

.Berdasarkan pasal tersebut diatas,

perkawinan ini sah, namun tidak memiliki kekuatan hukum, karena tidak

memiliki bukti otentik.

Kedua, anak yang lahir dari luar perkawinan baik norma agama dan

diluar norma hukum (anak zina dan sejenisnya), selanjutnya disebut sebagai

anak luar kawin. Anak yang terlahir dari perbuatan ini tidak memiliki

hubungan nasab dengan ayahnya. namun dalam amar putusan Mahkamah

Konstitusi dijelaskan bahwa ketentuan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang

Perkawinan harus dibaca,” Anak yang dilahirkan diluar perkawinan

mempunyai hubungan perdata dengan ibunyadan keluarga ibunya serta

dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan dengan ilmu

pengetahuan dan tekhnologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum

mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga

ayahnya”.

Tentang istilah”mempunyai hubungan perdata” yang tercantum dalam

amar putusan tersebut mengandung makna yang umum.sehingga

mengundang multi penafsiran. Bisa dipahami hanya sebatas memberi nafkah,

biaya pendidikan, pengayoman dan sebagainya, namun bisa juga dipahami

memiliki hubungan nasab dengan ayahnya sebagai konsekuensinya

menimbulkan hubungan waris dan perwalian nikah. Istilah “mempunyai

hubungan perdata” dalam Pasal 280 KUH Perdata menghendaki hubungan

anak luar kawin dengan bapak biologisnya tdak hanya sebatas memberikan

pengayoman, nafkah, pendidikan, jaminan kebutuhan hidup saja namun juga

in clued hubungan nasab juga. Jika alur pasal ini diikuti maka Putusan

Mahkamah Konstitusi telah memposisikan anak luar kawin sama dengan

anak sah, akibatnya dalam kasus warisan misalnya bisa menggeser

keberadaan dan hak-hak anak sah.

2. Pembatasan Masalah

Oleh karena pembahasan tersebut diatas cukup luas maka penulis

membatasi permasalahan pada penelitian ini sebagai berikut:

a. Mengungkap jenis-jenis perkawinan yang berimplikasi kepada status

anak yang terlahir akibat perkawinan tersebut.

b. Melakukan kajian tentang status anak pasca putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait anak yang terlahir di

bawah tangan di tinjau dari pendekatan keperdataan dan Fatwa Majelis

Ulama Indonesia.

38Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat 1

Page 13: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fileBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan institusi yang agung dalam agama islam, ... .2 Pernikahan juga memiliki

13

3. Perumusan Masalah

Penulis merumuskan masalah dalam tesis ini kedalam pokok bahasan

sebagai berikut:

a. Bagaimanakah status anak yang terlahir dari pernikahan dibawah tangan

ditinjau dari sudut Putusan Mahkamah Konstitusi dan fatwa Majelis

Ulama Indonesia?

b. Apakah implikasi yuridis terhadap status anak dibawah tangan pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi dan sejauh mana kekuatan fatwa Majelis

Ulama Indonesia terkait permasalahan tersebut?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui status anak dari perkawinan

di bawah tangan serta problematikanya di Indonesia dengan pendekatan

tinjauan Putusan Mahkamah Konstitusi dan Fatwa Majelis Ulama

Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih secara teoritis

maupun praktis dalam sebagai berikut:

a. Teoritis, hasil dari penelitian ini semoga dapat memberikan kontribusi

positif dalam ilmu pengetahuan dan hukum terkait hukum terkait

keluarga dan anak.

b. Praktis, hasil dari penelitian ini semoga dapat bermanfaat bagi pihak-

pihak terkait seperti pemerintah khususnya dibidang hukum, agama,

ormas maupun masyarakat Indonesia secara umum.

D. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kepustakaan

(library research) yang bersifat yuridis normatif 39

, yang mengacu pada

norma-norma hukum positif Indonesia dan hukum Islam, dalam hal ini

adalah institusi Majelis Ulama Indonesia (MUI).

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif, dengan mengemukakan data-data yang terkait pembahasan

jenis-jenis pernikahan, implikasinya terutama terkait dengan status anak

yang terlahir dibawah tangan.

39Rony Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta:

Ghalia Indonesia,1988), h.9

Page 14: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fileBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan institusi yang agung dalam agama islam, ... .2 Pernikahan juga memiliki

14

3. Tekhnik Pengumpulan Data

Karena penelitian ini bersifat penelitian kepustakaan,maka penulis

merujuk kepada sumber-sumber primer dan sekunder. Sumber-sumber

primer dalam penelitian kepustakaan bertujuan untuk mengkaji yang

diperoleh dari buku-buku terkait, seperti kitab al-Fikh al-Islami wa

Adillatuh karya Syeikh Wahbah Az-Zuhaily dan kitab-kitab fikih

lainnya. Selain itu juga penulis meneliti dan menelusuri data-data

sekunder berupa jurnal ilmiyah yang terkait dengan masalah, sumber

bahan primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, bahan sekunder

yaitu memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, dan bahan

hukum tertier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.40

4. Tekhnik Analisi Data

Analisi data dilakukan secara kualitatif normative yakni analisis yang

dipakai tanpa menggunakan angka maupun rumusan Statistika dan

Matematika, disajikan dalam bentuk uraian, dimana hasil analisis

dipaparkan secara deskriptif dengan pertimbangan dapat

menggambarkan status anak dari perkawinan dibawah tangan serta

implikasi hukum didalamnya baik secara pandangan hukum islam yang

bersumber dari kitab-kitab klasik dan hukum nasional dalam hak ini

Mahkamah Konstitusi maupun institusi hukum lainnya, serta merujuk

kepada fatwa-fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)

40Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta :UI Press, cetakan 3,

1998) ha.52

Page 15: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fileBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan institusi yang agung dalam agama islam, ... .2 Pernikahan juga memiliki

15

E. Kajian Pustaka

Kajian mengenai status hukum anak sudah sering muncul dalam

berbagai forum terutama hukum keluarga (al ahwâl as syakhsiyah)41

Namun meski sering dikaji dalam berbagai forum, istilah anak luar kawin dan

statusnya belumlah banyak yang memahami, apalagi dikalangan masyarakat

awam. Hukum-hukum dan norma yang terkait dengan keluarga sering

dilanggar baik secara sadar maupun tidak. Oleh karena itu menurut hemat

penulis pembahasan tentang problematika keluarga dan status hukum anak

dan perlindungan menurut hukum tetaplah menarik untuk dikaji dengan

beberapa pertimbangan diantaranya:

1. Hukum keluarga akan senantiasa berjalan sesuai dengan tingkat

pertambahan penduduk, karena siklus hidup manusia senantiasa berputar

dari dalam kandungan, lahir, anak-anak, remaja, dewasa dan berkeluarga,

oleh karena itu hukum-hukum terkait didalamnya senantiasa relevan

setiap zaman. Karena syariat Islam pada prinsipnya adalah menarik

kebenaran kepermukaan sehingga bisa dirasakan oleh manusia dan

menjauhi kerusakan (mafsadat).42

2. Status anak yang berasal secara dari pernikahan sah, hukum dan

implikasinya relatif tanpa permasalahan berarti, namun anak yang

terlahir dengan status yang “menggantung” sah secara hukum agama

namun tidak sah secara hukum negara banyak diantara mereka yang

praktis menjadi korban, nyaris minim sekali perlindungan hukumnya.

3. Anak merupakan anugerah dan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa,

didalamnya ada harkat dan martabat yang harus dijunjung tinggi, dan

setiap mereka memiliki hak yang sama. Prinsip-prinsip umum

perlindungan anak adalah non diskriminasi, kebutuhan hidup,

kelangsungan hidup, partisipasi dan lingkungan yang nyaman untuk

menggapai cita-citanya.43

Berikut ini penulis akan mengetengahkan kajian pustaka terlebih dahulu

untuk memperoleh gambaran lebih spesifik tentang kajian-kajian yang sudah

pernah dilakukan.Dalam literratur klasik hukum-hukum tentang anak terkait

langsung dalam bab munâkahat (pernikahan) atau kitab nikah. Imam An

Nawawi dalam kitabnya Al Majmu‟ Syarh Muhazab, menukil bab yang ada

41 Al-Ahwâl As-Syakhsiyah adalah hukum dan perundang-undangan yang secara

spesifik membahas tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan hukum keluarga, dari

penikahan, perceraian, waris, wasiat, status anak, anak angkat dan sebagainya. Dalam kajian

fikih klasik tidaklah dikenal istilah al ahwâl as syakhsiyah, namun fikih-fikih yang terkait

dengan keluarga yang tersebar dalam kitab-kitab fikih mazhab.

42

Izzuddin Abdu as-Salâm, Qawâidul Ahkâm Fi Mashâlih al-Anâm, Juz 1( Cairo:

Maktabah al-Kuliyat al-Azhariyah, 1414H) h.11

43

Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2015) h. 1

Page 16: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fileBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan institusi yang agung dalam agama islam, ... .2 Pernikahan juga memiliki

16

korelasinya dengan pembahasan ini, yaitu bab mula‟anah atau bab li‟an.

Bahkan menyebutkan sebuah bab yang berjudul:

44ز و ي ا ل م و ن ا علل و ب ي ف ن وز ا ي م و ق لح ي ا ل م و ب س ن الن م ق لح بب ما ي “Bab tentang pengakuan nasab dan bukan, serta pengakuan atau

tidaknya dengan li‟an”

Dalam bab ini beliau hanya menyebut tentang pengakuan anak yang

bersumber dari pernikahan yang jelas dan kemungkinan hamil pada proses

pernihakan dalam waktu yang bisa perkirakan. Sedangkan sisi lain beliau

membahas tentang perkiraan usia pernikahan terkait kemungkinan dengan

pengakuan status anak.45

Kitab fikih klasik lain yang terkait dengan

pembahasan penulis adalah Kitab Bidâyat al Mujtahid wa Nihâyat al

Muqtashid karya Ibnu Rusyd. Dalam kitab ini beliau menyinggung tentang

permasalahan dalam pembahasan terkait pengakuan anak beliau secara

komprehensip membahasnya dalam limam bab terstruktur, mulai dari jenis-

jenis tuduhan dan syarat-syaratnya, sifat-sifat pihak-pihak yang melakukakn

li‟an, sifat li‟an itu sendiri, jika salahsatu dari kedua belah pihak rujuk‟ dan

hukum sempurnannya sebuah li‟an. Semua dijelaskan dengan gambling,

namun masih sebatas teori-teori dalam fikih islam46

. Sementara itu Syekh

Wahbah az Zuhaili dalam kitabnya Al Fikhul Islâmi wa Adillatuhu

menyebutkan bab khusus tentang Al Ahwâl As Syakhsiyah, yang terbagi

menjadi tiga bagian besar yaitu: bab tentang perwalian, bab tentang keluarga

secara umum yang terdiri dari hukum keluarga, perceraian, mahar, nafkah

dan lain-lain. Serta bab ketiga tentang hukum harta keluarga berupa warisan

dan wasiat47

. Adapun menurut Sayid Sabiq dalam kitab Fikih Sunnah, beliau

mengatakan bahwa lia‟an adalah proses pengingkaran anak, karena tuduhan

dari pihak suami yang menuduh istinya berzina, sehingga anak yang

dikandungnya bukan merupakan anak hasil pernikahan mereka. Sehinga anak

yang terlahir dari pengingkaran sang suami dihukumi al walad al firasy.48

Sedangkan Imam As Syaukani dalam kitab Nailul Authar mengatakan bahwa

anak yang terlahir dari sebab li‟an maka nasabnya kepada ibunya:

44 Imam An-Nawawi, al- Majmu‟ Syarh Muhazzab, Juz XVII ( Mesir: Dar al Fikr,

tt) h. 399

45

Imam An-Nawawi, al-Majmu‟ Syarh Muhazzab, hal. 399

46

Ibnu Rusyd al-Hafid, Bidayatul Mujtahid wa Nihayat al Muqtashid, jilid 3(Cairo:

Darul Hadits, 1425H)h. 133

47

Wahbah Az-Zuhaili, al-Fikh al-Islami wa Adillatuhu, jilid IX ( Damaskus: Dar al-

Fikr, tt) h.6487

48

Sayid Sabiq, Fikh Sunnah, jilid II ( Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1397 H) h. 317

Page 17: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fileBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan institusi yang agung dalam agama islam, ... .2 Pernikahan juga memiliki

17

و ق الولد ل أ » ث اه عن الزوج فل ت وار صي ره لا وحدىا ون ف أي « : بمن هما 49ب ي

Anak dinasabkan dengan ibunya, maksudnya adalah ikatan nasab

dengan ibunya seorang diri dan meniadakan nasab suaminya, dan tak

ada saling mewarisi diantara keduanya”.

Bahan-bahan tersebut menjadi acuan bagi penulis sebagai pembanding antara

hukum klasik dan hukum modern.

Menurut M. Anshary, dalam bukunya yang berjudul “Kedudukan Anak

Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional, membahas secara

umum tentang berbagai istilah anak, namun kajiannya masih bersifat umum

dan terlalu”kental” dengan paradigma hukum nasionalnya dibanding hukum

islam, beliau sedikit sekali mencantumkan literature yang bersumber dari Al

Qur‟an dan Sunnah yang merupakan rujukan utama hukum islam, sebab

judulnya menyebutkan perspektif hukum islam. Sehingga penulis tidak

melihat bagaimana pandangan islam terutama fikih terkait masalah anak.

Terkait hukum anak yang terlahir diluar pernikahan sah, beliau mengutip

fatwa Majelis Ulama Indonesia yang terkait dengan anak zina, padahal anak

zina berbeda hukumnya dengan anak yang terlahir dari pernikahan yang tidak

dicatatkan.50

Literatur lain yang terkait dengan pembahasan adalah karya J. Andi

Hartanto dalam bukunya berjudul” Hukum Waris Anak Luar Kawin menurut

Burgerlijk WetBoek” namun dalam buku ini hanya membahas tentang hak-

hak waris anak saja tanpa membahas status hukum anak yang terlahir dari

pernikahan bawah tangan secara spesifik.51

. Kemudian literatur yang

menyangkut pembahasan penulis adalah sebuah buku yang ditulis oleh Siska

Lis Sulistiani dengan judul “Kedudukan Hukum Anak Hasil Pernikahan

Beda Agama menurut Hukum Positif dan Hukum Islam”. Namun buku ini

khusus membahas tentang kedudukan anak hasil pernikahan beda agama

meski didalam nya disebutkan beberapa bab yang terkait dengan materi

penulis, namun belumlah lengkap, bahkan pembahasan dalam buku ini

mengelompokkan anak luar kawin dalam tiga kelompok yaitu: anak zina,

49 Imam As Syaukani, Nail al- Authar,jilid VI ( Mesir: Dar Al Hadits, 1413H) h.

318

50

M. Anshary, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum

Nasional, ( Bandung: Mandar Maju, 2014) h. 78

51

J. Andy Hartanto, Hukum Waris, Kedudukan dan Hak Waris Anak Luar Kawin

menurut Burgerlijk Wetboek Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi,(Surabaya: LaksBang

Justitia,2015) h. 30

Page 18: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fileBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan institusi yang agung dalam agama islam, ... .2 Pernikahan juga memiliki

18

anak hasil hubungan sedarah (incest) dan anak luar nikah lainnya.52

Untuk

itu dalam tesis ini penulis akan mengungkap dan mengulas kajian-kajian serta

pendekatan teoritis secara komprehensif lagi sebagai langkah strategis terkait

status anak dari pernikahan di bawah tangan dalam tinjauan hukum islam,

hukum nasional dan fatwa Majelis Ulama Indonesia.

F. Sistematika Penulisan

Penulis akan membahas tesis ini dalam beberapa bab yang terkait dengan

judul yang penulis ketengahkan diantara pembahasan itu adalah:

BAB I berisi pendahuluan yang akan membahas tentang latar belakang

masalah, perumusan dan batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

kajian pustaka serta metode penelitian serta sistematika pembahasan.

BAB II penulis akan membahas tentang tinjauan pernikahan dari sudut

pengertian, jenis-jenisnya, rukun, syarat dan tujuan pernikahan. Selain itu

penulis juga akan membahas tentang nikah siri, mut‟ah dan nikah dibawah

tangan serta perbedaan diantaranya, penulis akan membahas tentang

pengertian dan kedudukan anak didalam keluarga, istilah-istilah anak yang

sering dijumpai, anak zina, anak dibawah tangan dan seterusnya, juga akan

membahas tentang kedudukan anak dalam Al Qur‟an, hadits serta hukum

nasional. Juga akan membahas tentang urgensi pencatatan pernikahan.

BAB III pada bab ini penulis akan mengetengahkan kajian tentang

pengakuan anak dari pernikahan dibawah tangan, terkait asas hukum,

kedudukan dan akibat hukum serta pengakuan anak tersebut, dikaitkan

dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia.

BAB IV penulis akan membahas tentang implikasi yuridis dari putusan

Mahkamah Konstitusi terkait anak dibawah tangan, menyangkut sah atau

tidaknya, perlindungan hukum terhadap anak tersebut dan tindak lanjut pasca

putusan Mahkamah Konstitusi dikorelasikan dengan fatwa Majelis Ulama

Indonesia terkait putusan tersebut.

BAB V pada bab ini penulis akan menyebutkan kesimpulan-kesimpulan

terkait pembahasan, rekomendasi pada pihak terkait serta masukan-masukan

positif terkait pembahasan masalah diatas.

52Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama

menurut Hukum Positif dan Hukum Islam ( Bandung: Refika Aditama, 2015) h.21-22

Page 19: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fileBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan institusi yang agung dalam agama islam, ... .2 Pernikahan juga memiliki

19