147
i Volume 6 No. 2 April 2005 Penanggung Jawab : Ir. Tanib S. Tjolia, M.Eng Ketua Jurusan Teknik Industrik Fakultas Teknik USU Pimpinan Umum : Ir. A. Jabbar M. Rambe, M. Eng Pimpinan Redaksi : Ir. Sugih Arto Pujangkoro, MM Anggota Redaksi : Prof. Dr. Ir. Sukaria Sinulingga, M.Eng Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE Dr. Ir. Humala L. Napitupulu, DEA Ir. Harmein Nasution, MSIE Ir. M. Ichwan Nasution, M.Sc Ir. Mangara M. Tambunan, M.Sc Ir. Nazaruddin, MT Ir. Poerwanto, M.Sc Pemasaran/Sirkulasi/Promosi : Ir. Rosnani Ginting, MT Aulia Ishak, ST. MT Buchari, ST Editing : Ir. Ukurta Tarigan, MT Nisma Panjaitan, ST Dina M. Nasution Alamat Penerbit/Redaksi : Jurusan Teknik Indusri Fakultas Teknik USU, Gedung Unit II Lantai 2, Jl. Almamater Kampus USU Medan, 20155. Telp. (061) 8213649 Fax.(061) 8213250 Homepage : http://www.geocities.com/jurnalsti_usu E-mail : [email protected] Diterbitkan : Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik USU Medan Harga Berlangganan : Rp. 125.000 per tahun (termasuk ongkos kirim). Biaya dikirim melalui Pos Wesel ke alamat redaksi atau via Bank BNI 1946 Cabang Jl. Pemuda Medan No. Rekening : 005084001 a.n. Ir. T. Sembiring dan mengisi form berlangganan yang disediakan. Jurnal Sistem Teknik Industri diterbitkan 4 (empat) kali setahun pada bulan Januari, April, Juli, dan Oktober. Redaksi menerima karangan ilmiah tentang hasil penelitian, survei, dan telaah pustaka yang erat hubunganya dengan bidang teknik industri. Penulis yang naskahnya dimuat akan dihubungi sebelum dicetak dan dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 350.000,- per artikel yang dapat dikirim melalui Pos Wesel ke alamat redaksi atau via bank BNI 1946 Cabang Jl. Pemuda Medan No. Rekening 005084001 a.n.Ir. T. Sembiring. JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI Jurnal Keilmuan dan Penggunaan Terhadap Sistem Teknik Industri ISSN 1411-5247 Terakreditasi No. 52/DIKTI/KEP/2002 Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155 Homepage: http://www.geocities.com/jurnalsti_usu E-mail: [email protected]

2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

i

Volume 6 No. 2 April 2005 Penanggung Jawab : Ir. Tanib S. Tjolia, M.Eng Ketua Jurusan Teknik Industrik Fakultas Teknik USU Pimpinan Umum : Ir. A. Jabbar M. Rambe, M. Eng Pimpinan Redaksi : Ir. Sugih Arto Pujangkoro, MM Anggota Redaksi : Prof. Dr. Ir. Sukaria Sinulingga, M.Eng Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE Dr. Ir. Humala L. Napitupulu, DEA Ir. Harmein Nasution, MSIE Ir. M. Ichwan Nasution, M.Sc Ir. Mangara M. Tambunan, M.Sc Ir. Nazaruddin, MT Ir. Poerwanto, M.Sc Pemasaran/Sirkulasi/Promosi : Ir. Rosnani Ginting, MT Aulia Ishak, ST. MT Buchari, ST Editing : Ir. Ukurta Tarigan, MT Nisma Panjaitan, ST Dina M. Nasution Alamat Penerbit/Redaksi : Jurusan Teknik Indusri Fakultas Teknik USU, Gedung Unit II

Lantai 2, Jl. Almamater Kampus USU Medan, 20155. Telp. (061) 8213649 Fax.(061) 8213250

Homepage : http://www.geocities.com/jurnalsti_usu E-mail : [email protected] Diterbitkan : Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik USU Medan Harga Berlangganan : Rp. 125.000 per tahun (termasuk ongkos kirim). Biaya dikirim

melalui Pos Wesel ke alamat redaksi atau via Bank BNI 1946 Cabang Jl. Pemuda Medan No. Rekening : 005084001 a.n. Ir. T. Sembiring dan mengisi form berlangganan yang disediakan.

Jurnal Sistem Teknik Industri diterbitkan 4 (empat) kali setahun pada bulan Januari, April, Juli, dan Oktober. Redaksi menerima karangan ilmiah tentang hasil penelitian, survei, dan telaah pustaka yang erat hubunganya dengan bidang teknik industri. Penulis yang naskahnya dimuat akan dihubungi sebelum dicetak dan dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 350.000,- per artikel yang dapat dikirim melalui Pos Wesel ke alamat redaksi atau via bank BNI 1946 Cabang Jl. Pemuda Medan No. Rekening 005084001 a.n.Ir. T. Sembiring.

JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI Jurnal Keilmuan dan Penggunaan Terhadap Sistem Teknik Industri ISSN 1411-5247 Terakreditasi No. 52/DIKTI/KEP/2002 Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155 Homepage: http://www.geocities.com/jurnalsti_usu E-mail: [email protected]

Page 2: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

ii

Volume 6 No. 2 April 2005

EDITORIAL Edisi kali ini diawali dengan artikel tentang studi performance tata letak konjungsional dan teknologi kelompok pada sistem manufaktur pada job shop dengan melihat kedinamisan permintaan yang berkaitan dengan ketidakpastian kedatangan permintaan. Hal ini mengakibatkan meningkatkan fleksibilitas dalam menyusun tata letak fasilitas yang selalu dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Pengkajian sistem imbalan pada angkatan bersenjata tingkat Bintara yang dilihat dari mutu personil, kesejahteraan personil, jumlah personil sarana dan prasarana dalam sistem pekerjaan untuk mencapai kesejahteraan personil yang kokoh. Analisis kinerja Bank dengan menggunakan data envelopment finance untuk mendapatkan suatu keputusan di dalam menggunakan input dan output yang beragam yang relatif sama. Pelumasan dan daya gesekan pada bantalan luncur dapat mengakibatkan viskositas dan gesekan serta daya gesekan yang menentukan ukuran bantalan luncur putaran beban dan tempat beroperasi. Usulan perbaikan fasilitas kerja berdasarkan tinjauan ergonomic akan memberikan penyederhanaan elemen-elemen gerakan kerja dengan cara menghilangkan elemen gerakan yang tidak produktif dan tidak peronis. Desain repeater saluran kapasitas satu saluran untuk mendapatkan efek gangguan yang menyebabkan turunnnya kualitas suara telepon. Optimalisasi pengoperasian sistem dengan banyak reservoir menggunakan program dinamik yang diperbaharui dalam mendapatkan optimalisasi. Memeringkat subjek menggunakan perbandingan berpasangan akan memberikan range. Pemilihan bahan alternatif dalam konstruksi merupakan bahan struktur yang masih jarang digunakan dalam penggunaan ferossemen dalam pembuatan rumah murah. Analisis perilaku dan kepuasan pelanggan BMI (Bank Muamalat Indonesia) dengan menggunakan analisis regresi logistic sehingga mendapatkan tingkat kepuasan. Penetrasi fluks magnetic akibat penambahan lapisan CuO2 pada bahan superkonduktor berbasis kristal, analisis residu piretroid pada daerah sentra produksi dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan. Pembuatan anggur pepaya dengan proses fermentasi memberikan keuntungan yang optimal dalam pembuatan pepaya wine. Rancangan dan penerapan kontrol logika kabur untuk industri dalam membuat kontrol pengendali manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di produk industri biasa konstruksi yang dapat mengakibatkan kebaikan di dalam industri, hubungan perilaku kepemimpinan dengan iklim organisasi memberikan kepuasan kerja. Pembuatan diode dari bahan lapis tipis yang ditumbuhkan melalui metode penguapan. Studi empiris keputusan-keputusan deviden, pada investasi untuk perusahaan-perusahaan go public, kenaikan tarif parkir, zona air minum prima untuk mendapatkan air minum siap saji dengan syarat-syarat mutlak tertentu, kajian pengembangan pabrik kelapa sawit super mini dalam rangka peningkatan pendapat petani kelapa sawit, analisis pembuatan cetakan pada teknik pengecoran logam untuk mendapatkan pekerjaan-pekerjaan produksi dengan mesin cetak secara work in line.

Tim Redaksi

JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI Jurnal Keilmuan dan Penggunaan Terhadap Sistem Teknik Industri ISSN 1411-5247 Terakreditasi No. 52/DIKTI/KEP/2002 Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155 Homepage: http://www.geocities.com/jurnalsti_usu E-mail: [email protected]

Page 3: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

iii

Volume 6 No. 2 April 2005 DAFTAR ISI Halaman

Studi Performansi Tata Letak Konvensional dan Teknologi Kelompok Pada Sistem Manufaktur Job Shop Studi Kasus di PT Stallon Bandung----------------------------------------------------------------- 1-8 Nazlina dan Mangara M. Tambunan Pengkajian Sistem Imbalan Anggota Polri Pada Tingkat Bintara ---------------------------------------- 9-16 Meilita Tryana S. Analisis Kinerja Bank Dengan DEA ---------------------------------------------------------------------------- 17-23 Juliza Hidayati Pelumasan dan Daya Gesekan Pada Bantalan Luncur------------------------------------------------------ 24-27 Adil Surbakti Desain Repeater Saluran Telepon Kapasitas Satu Saluran ------------------------------------------------- 28-35 Suherman dan Hasdari Helmi Optimalisasi Pengoperasian Sistem Dengan Banyak Reservoar Menggunakan Program Dinamik yang Diperbaharui-------------------------------------------------------------------------------------------------- 36-40 Torang Sitorus Memeringkat Subjek Menggunakan Perbandingan Berpasangan---------------------------------------- 41-48 Sutarman dan Open Darnius Pemilihan Bahan Alternatif Dalam Konstruksi Penggunaan Ferrosmen Dalam Pembuatan Rumah Murah ----------------------------------------------- 49-51 Andalucia Analisis Perilaku dan Kepuasan Pelanggan BMI (Bank Muamalat Indonesia) Cabang Surabaya Dengan Menggunakan Analisis Regresi Logistik ------------------------------------------------------------- 52-57 Suparto Penetrasi Fluks Magnetik Akibat Penambahan Lapisan CuO2 Pada Bahan Superkonduktor Berbasis Kristal HgBa2CaCu2O6+δ------------------------------------------------------------------------------- 58-63 Timbangan Sembiring Analisis Residu Piretroid Pada Sampel Wortel di Daerah Sentra Produksi Kab. Karo Sumut----- 64-68 Karya Sinulingga Pembuatan Anggur Pepaya Dengan Proses Fermentasi ---------------------------------------------------- 69-74 Renita Manurung Rancangan dan Penerapan Kontrol Logika Kabur untuk Industri -------------------------------------- 75-78 Kasmir Tanjung dan Mahyuddin

JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI Jurnal Keilmuan dan Penggunaan Terhadap Sistem Teknik Industri ISSN 1411-5247 Terakreditasi No. 52/DIKTI/KEP/2002 Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155 Homepage: http://www.geocities.com/jurnalsti_usu E-mail: [email protected]

Page 4: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

iv

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Proyek Industri Jasa Konstruksi ---------------- 79-88 Syahril Effendy Pasaribu Pembuatan Dioda dari Bahan Lapis Tipis CdTe yang Ditumbuhkan Melalui Metode Penguapan (Vacuum Deposition) -------------------------------------------------------------------------------- 89-94 Ahmad Mulia Rambe Hubungan Perilaku Kepemimpinan Dengan Iklim Organisasi (Studi Pada Karyawan Beberapa Perusahaan Manufaktur di Medan) Rinaldy ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 95-99 Studi Empiris Keputusan-Keputusan Deviden, Investasi, dan Pendanaan Eksternal Pada Perusahaan-Perusahaan Indonesia yang Go Public di Bursa Efek Jakarta ----------------------------- 100-111 Apridar Analisis Karakteristik Pekerja Komuter dan Nonkomuter ------------------------------------------------ 112-115 Roswita Hafni Kenaikan Tarif Parkir dan Pemilihan Moda Perjalanan ke Pusat Kota Medan----------------------- 116-122 Joni Harianto Zona Air Minum Prima (ZAMP) ------------------------------------------------------------------------------- 123-127 Sjahril Effendy Pasaribu Analisis Pelaksanaan Pengendalian Mutu Pada Perusahaan Pabrik Gula ------------------------------ 128-133 Sa’ir Tumanggor Kajian Pengembangan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Supermini Dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Petani Kelapa Sawit di Sumatera Utara-------------------------------------------------------- 134-140 Terip Karo-karo Analisis Pembuatan Cetakan Pada Teknik Pengecoran Logam------------------------------------------- 141-142 M. Ichwan Nasution JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 5: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

1

STUDI PERFORMANSI TATA LETAK KONVENSIONAL DAN TEKNOLOGI KELOMPOK PADA SISTEM MANUFAKTUR JOB SHOP

STUDI KASUS DI PT STALLON BANDUNG

Nazlina dan Mangara M. Tambunan Staf Pengajar Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik USU

Abstrak: Dewasa ini permintaan terhadap produk cukup dinamis. Kedinamisan permintaan ini berkaitan dengan ketidakpastian kedatangan permintaan, besarnya permintaan, dan variasi dari produk. Peningkatan jumlah permintaan cenderung mengarah pada peningkatan variasi produk, sedangkan jumlah permintaan setiap macamnya semakin mengecil, akibatnya sistem manufaktur dituntut untuk mampu memproses komponen dengan banyak ragam dalam ukuran lot yang relatif kecil. Agar sistem manufaktur mampu melayani kedinamisan permintaan ini, maka sistem manufaktur yang dibentuk harus mempunyai fleksibilitas yang tinggi. Salah satu cara untuk meningkatkan fleksibilitas adalah dengan menyusun tata letak fasilitas (plant layout) yang selalu dapat dengan perubahan lingkungan. Abstract: Now days, the demand on products is dynamics. This is related to the uncertainty of incoming demands, quantity of demands and variation of products. Increasing in demand quantity tend to increase product variation, while quantity of demand of each kind is getting smaller. Therefore, the manufacturing system it self has a high flexibility. One way to increase the flexibility is to organize the plant layout which always can adopt the environment change. Based on the case study, the results are as follows for variation 20 unit with volume of 5 unit, 10 unit and 15 unit , then most appropriate type of layout is conventional layout and group technology. While for variation 31 unit and variation 44 unit volume of 5 unit, 10 unit and 15 unit, the most appropriate type layout is group technology. Layout determination is based on prime performance criteria that is the throughput-time.

1. PENDAHULUAN Pada masa revolusi industri, sistem manufaktur dikembangkan ke arah pencapaian produktivitas yang tinggi. Dewasa ini arah tersebut menjadi semakin luas, karena selain pencapaian produktivitas yang tinggi, sistem manufaktur juga dikembangkan keluwesannya terhadap perubahan spesifikasi produk yang dibuat beserta ketersediaannya. Permintaan yang cukup dinamis terhadap produk yang akan dibuat merupakan awal permasalahan. Kedinamisan permintaan ini berkaitan dengan ketidakpastian kedatangan permintaan, besarnya permintaan, dan variasi dari produk. Selain itu, konsumen juga menuntut keandalan produk dan toleransi yang sesuai dari produk tersebut. Saat ini untuk peningkatan jumlah permintaan cenderung mengarah pada peningkatan variasi produk, sedangkan jumlah permintaan setiap macamnya semakin mengecil. Banyaknya variasi produk mengakibatkan semakin banyak variasi komponen yang harus dibuat. Akibatnya sistem manufaktur dituntut untuk mampu memproses komponen dengan banyak ragam dalam ukuran lot yang relatif kecil. Setiap orang dengan dana yang cukup, dapat memperoleh teknologi proses manufaktur yang baru. Atau dengan perkataan lain, teknologi selalu dapat dibeli. Oleh karena itu kunci kesuksesan dalam

bidang manufaktur adalah dengan membangun suatu perusahaan yang dapat menyediakan produk, pada saat yang dibutuhkan (short throughtput – time), dengan kualitas yang terbaik, dengan harga yang serendah mungkin (waste yang sedikit), serta mempunyai fleksibilitas (Black , 1991:14). Untuk melayani tuntutan di atas, maka perlu dibuat suatu rancangan sistem manufaktur yang selalu dapat beradaptasi dengan lingkungan yang dinamis. Untuk selalu beradaptasi dengan lingkungan yang dinamis, maka sistem manufaktur yang berskala kecil dan menengah, yang tidak mempunyai dana yang cukup untuk membeli teknologi proses manufaktur yang baru, harus memperbaiki sistem manufaktur yang ada. Salah satu perbaikan yang dapat dilakukan dengan menata kembali tata letak permesinan yang ada. Dewasa ini penataan tata letak permesinan menjurus kepada pengelompokkan mesin-mesin ke dalam sel di mana sel setiap sel dapat menghasilkan satu atau lebih “part family “. 2. POKOK PERMASALAHAN Penyusunan tata letak mesin-mesin dan peralatan yang biasanya disebut tata letak pabrik (plant layout) merupakan dasar dari perancangan sistem manufaktur dalam suatu perusahaan. Saat ini perubahan yang nyata dalam bidang

Page 6: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

2

manufaktur mempunyai kecenderungan (Black, 1991: 25):

1. Peningkatan variasi produksi dan pengurangan jumlah produksi.

2. Kebutuhan terhadap toleransi yang teliti secara terus-menerus mengalami peningkatan.

3. Peningkatan variasi bahan baku, bahan campuran dengan sifat-sifat yang lebih baik, pada akhirnya akan membutuhkan proses manufaktur yang baru.

4. Biaya bahan yang termasuk pemindahan bahan dan energi, merupakan bagian yang terbesar dari biaya produksi, sedangkan biaya buruh langsung hanya 5 sampai 10% dari total biaya dan cenderung mengalami perubahan secara terus-menerus.

5. Keandalan produk akan meningkat sebagai jawaban atas kelebihan jumlah dari produk yang sesuai keandalannya.

6. Waktu antara konsep perancangan dan pembuatan produk akan dikurangi melalui dukungan teknik yang simultan.

7. Pasar global harus dilayani dengan produk yang global. Agar dapat menjawab semua tantangan di

atas, maka dalam membuat rancangan tata letak mesin-mesin dan peralatan, harus dipertimbangkan faktor fleksibilitas, dalam arti mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan sesuai dengan permintaan dan selera konsumen.

Untuk dapat melihat performansi dari pembentukan machine cell, maka dalam riset ini dicoba dibandingkan penyusutan tata letak fasilitas berdasarkan metode Konvensial dan metode Tata Letak Teknologi Kelompok yang menerapkan ide penyusunan mesin-mesin ke dalam sel.

3. MAKSUD DAN TUJUAN PEMBAHASAN Secara garis besar tesis ini bermaksud membandingkan tata letak fasilitas metode Konvensial dan metode Tata Letak Teknologi Kelompok Perbandingan Tata Letak Konvensial dengan metode Tata Letak Teknologi Kolompok yang pernah dilakukan, mengasumsikan ukuran lot yang tetap dialokasikan pada kapasitas mesin yang ekuivalen untuk kedua tata letak tersebut. Hasilnya, tidak selamanya Tata Letak Teknologi Kelompok lebih baik dari Tata Letak Konvensial (Sarper & Green, 1993: 221). Dalam riset ini, perbandingan susunan tata letak dilakukan dengan ukuran volume dan variasi yang berbeda yang dialokasikan pada mesin yang sama untuk kedua tata letak tersebut. Tujuan yang ingin dicapai pada riset ini adalah dapat menentukan susunan tata letak fasilitas yang paling sesuai untuk sistem manufaktur Job Shop tertentu.

4. PEMBATASAN PERMASALAHAN 1. Tata letak fasilitas peralatan yang ada saat

ini dipakai sebagai referensi untuk melakukan pengelompokkan mesin ke dalam sel.

2. Produk dan komponen yang digunakan untuk penelitian ini adalah Stay Helmet Dies, Frame KWH Meter Dies dan PP CAP 280 STD 3 Dies yang dianggap sudah mewakili produk yang ada saat ini dan untuk masa yang akan datang

3. Urutan proses yang digunakan adalah urutan proses yang biasa dipakai oleh perusahaan saat ini.

4. Data yang diperoleh dari perusahaan dianggap sudah teruji secara statistik, dan diasumsikan masih berlaku (valid) selama penulisan riset dilaksanakan.

5. Proses pengelompokan mesin dan komponen ke dalam sel menggunakan salah satu prinsip pengelompokan dari analisis Cluster, dengan formulasi matriks.

6. Diasumsikan tidak ada penambahan mesin-mesin maupun peralatan untuk membandingkan kedua metode ini.

7. Faktor-faktor lainnya, seperti kerusakan mesin/peralatan, tersedianya tenaga kerja, dan lain-lainnya adalah di luar penelitian.

5. METODOLOGI Pengembangan prosedur penelitian dilakukan dengan langkah-langkah membagi dua bagian, yaitu pembentukan model tata letak teknologi kelompok dan pembentukan model simulasi komputer. Pembentukan model tata letak teknologi dibagi dalam 4 langkah. Pembentukan model simulasi komputer dilakukan dengan mengidentifikasi sistem yang diteliti, yaitu Bengkel Mekanik PT STALLON, Bandung. Sistem ini kemudian diterjemahkan ke dalam model simulasi komputer. Setelah permodelan dilakukan maka tahap berikutnya adalah pengoperasian dilakukan berdasarkan rancangan percobaan yang diharapkan akan menjawab permasalahan riset ini. Untuk melakukan pengoperasian model simulasi maka dibentuk dua model yaitu model simulasi tata letak teknologi kelompok dan model simulasi bengkel mekanik PT STALLON. Hubungan model tersebut dalam penggunaanya adalah sebagai berikut:

Page 7: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Studi Performansi Tata Letak Konvensional dan Teknologi Kelompok Pada Sistem Manufaktur Job Shop Studi Kasus di PT Stallon Bandung

3

Rancangan percobaan bertujuan melihat pengaruh perubahan ukuran volume produksi dan variasi produksi terhadap susunan tata letak fasilitas metode Tata Letak Teknologi Kolompok dan metode Konvensional berdasarkan performansi yang telah ditetapkan. Jadi untuk melihat pengaruh tersebut maka akan digunakan sejumlah kombinasi ukuran volume dan variasi produksi dengan susunan sebagai berikut:

Variasi Produksi Volume Produksi Kecil Sedang Besar Kecil KK KS KB Sedang SK SS SB Besar BK BS BB

Pengambilan ukuran volume produksi berdasarkan pada jumlah permintaan dies selama 7 bulan terakhir sebanyak 25 unit dies untuk berbagai tipe ukuran. Penetapan ukuran volume yaitu: Volume kecil = 1/3 x 15 unit = 15 unit Volume sedang = 2/3 x 15 unit = 10 unit Volume besar = 15 unit Lebih ditunjukkan untuk melihat performansi dari kedua susunan tata letak yang dibentuk. Sedangkan kombinasi variasi produksi yang digunakan adalah sebagai berikut:

o Untuk variasi produksi kecil digunakan tipe STAY HELMET DIES yang terdiri dari 20 buah komponen.

o Untuk variasi produksi sedang digunakan tipe FRAME KWH METER DIES yang terdiri dari 31 buah komponen.

o Untuk variasi produksi besar digunakan tipe PP CAP 280 STD 3 DIES yang terdiri dari 44 buah komponen. Dalam hasil eksekusi setiap kombinasi akan

diperoleh nilai-nilai kriteria evaluasi/performansi. Yang ingin dicapai dalam pengoperasian sistem

manufaktur ini adalah kriteria throughput-time, time, mean flow, dan WIP minimum, sedangkan kriteria utilitas maksimum. Alasan pemilihan masing-masing kriteria tersebut adalah sebagai berikut:

o Throughput time dapat menunjukkan waktu penyelesaian yang paling singkat dari kedua metode sehingga dapat memberikan gambaran besarnya biaya produksi.

o Mean Flow Time dapat menunjukkan keefisienan aliran dalam tata letak.

o WIP dapat memberikan gambaran terhadap luas lantai yang digunakan.

o Utilitas dapat memberikan gambaran terha-dap pembebanan masing-masing mesin.

6. PENGUMPULAN DATA Untuk mengoperasionalisasikan model Tata Letak Teknologi Kelompok dan model konvensional diperlukan data-data sebagai berikut: A. Deskripsi Sistem Sistem yang menjadi studi kasus riset ini adalah bengkel mekanik PT STALLION, Bandung. Produk yang dijadikan objek penelitian adalah pembentuk (dies) yang terdiri dari: 1. STAY HELMET DIES 2. FRAMEKWH METER DIES 3. PP CAP 280 STD 3 DIES

Pemilihan produk ini berdasarkan: 1. Pola permintaan dari konsumen 2. Dimensi dies yang memenuhi kemampuan

proses mesin-mesin yang ada sekarang. 3. Urutan prosesnya mewakili jenis dies yang lain. Masing-masing produk terdiri dari berbagai jenis komponen. Komponen tersebut berikut jumlahnya dalam satu unit dies adalah sebagai berikut:

Tabel 6.1. Komponen STAY HELMET DIES

No. Nomor Komponen

Nama Komponen

Jumlah

1 PO200-01 Pelat Bawah 1

2 PO200-07 Pemotong 3

3 PO200-08 Landasan Pengarah

1

4 PO200-09 Stripper 3

5 PO200-24-01

Tiang Pengarah

1

6 PO200-24-02

Tiang Pengarah

1

7 PO200-25 Poros Dudukan

4

8 PO200-45 Poros Dudukan

4

9 PO200-48 Pelat Pengarah

2

2

Model GTL

Menyusun tata letak fasilitas metode GTL

3

Model Konv.

Menyusun tata letak fasilitas metode Konvensional

4

MODEL

SIMULASI

Mensimulasi sistem manufaktur dengan susunan tata letak fasilitas GTL dan Konv. berdasarkan volume dan variasi produksi tertentu.

Page 8: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

4

Tabel 6.2. Komponen FRAME KWH METER DIES

No. Nomor Komponen

Nama Komponen Jumlah

1 PO323-01 Pelat Bawah 1 2 PO323-02 Pemotong 1 3 PO323-03 Blok Inti 3 4 PO323-05 Die Core 3 5 PO323-06 Die Cutedege 3 6 PO323-07 Pemotong 1 7 PO323-08 Landasan

Pengarah 1

8 PO323-09 Stripper 1 9 PO323-10 Pemotong Atas 1 10 PO323-13 Die Set Atas 1 11 PO323-15 Pelat Penutup 1 12 PO323-24 Taing Pengarah 2 13 PO323-25 Poros Dudukan

Bush 4

14 PO323-31-01

Pengarah 1

15 PO323-31-02

Poros Dudukan 1

16 PO323-45 Poros Dudukan 4 17 PO323-51 Bush Pengarah 2

Tabel 6.3 Komponen PP CAP 280 STD 3 DIES

No Nomor Komponen Nama Komponen Jumla

h 1 PO273-01 Lower Die 1 2 PO273- Die Cutedeg 1 3 PO273- Die Core Block 3 4 PO273- Die Core 3 5 PO273- Die Cutedeg 3 6 PO273- Draw Cutedeg 3 7 PO273- Landasan Pengarah 1 8 PO273- Stripper 3 9 PO273- Punch Cutedeg 3 10 PO273- Punch Cutedeg 3 11 PO273- Punch Cutedeg

Clamp ring 1

12 PO273- Upper Die Set 1 13 PO273- Knock Out 1 14 PO273- Pelat Panutup 1 15 PO273- Balok Pengarah

Bawah 2

16 PO273- Tiang Pengarah 2 17 PO273- Poros Dudukan 4 18 PO273- Pelat Pengarah 1 2 19 PO273- Plat Pengarah 2 1 20 PO273- Balok Pengarah

Atas 2

21 PO273- Bush Pengarah 2 22 PO273- Shank 1

Pembuatan komponen-komponen di atas dilakukan dengan menggunakan proses mekanik kemudian dirakit di bagian perakitan. Mesin-mesin yang digunakan ada 9 jenis, dan jumlah unit masing-masing, yaitu:

Tabel 6.4. Mesin – Mesin yang Digunakan

No Nama mesin Fungsi Jumlah 1 Gergaji Memotong 1buah 2 Bubut Membentuk

benda silinder 1buah

3 Skrap Pengerjaan awal permukaan datar

1buah

4 Frais Horizontal

Pengerjaan lanjut permukaan datar

1buah

5 Frais Vertikal Pengerjaan lanjut permukaan kontur

1buah

6 Borring Memperbesar lubang

1buah

7 Gerinda Datar Pengerjaan akhir permukaan datar

1buah

8 Gerinda Silinder

Pengerjaan lanjut permukaan datar

1buah

9 Drilling Membuat lubang awal

2buah

Seluruh mesin diletakkan di bengkel mekanik PT STALLON. Tata letak bengkel yang ada saat ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini: Urutan pekerjaan (routing) masing-masing komponen yang diproduksi adalah sebagai berikut: Tabel 6.5. Urutan Pengerjaan (Routing) STAY

HELMET DIES

No job 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

PO200-01 1 2 3 4 5

PO200-07 1 2 3

PO200-08 1 2 3 4 5

PO200-09 1 2 3

PO200-24-01 1 2

PO200-24-02 1 2

PO200-25 1 2 4

PO200-45 1 2 4 PO200-18 1 2 3

Page 9: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Studi Performansi Tata Letak Konvensional dan Teknologi Kelompok Pada Sistem Manufaktur Job Shop Studi Kasus di PT Stallon Bandung

5

Tabel 6.6. Urutan Pengerjaan (Routing) FRAME KWH METER DIES

No job 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 PO323-01 1 2 3 4 5 PO323-02 1 2 3 4 5 PO323-03 1 2 PO323-05 1 2 3 PO323-06 1 2 3 PO323-07 1 2 3 PO323-08 1 2 3 4 5 PO323-09 1 3 PO323-10 1 2 3 4 PO323-13 1 2 3 4 5 6 PO323-15 1 2 3 4 5 PO323-24 1 2 3 PO323-25 1 2 3 4 PO323-31-01 1 2 3 PO323-31-02 1 2 3 3 PO323-45 1 2 4 PO323-51 1 2 3

Tabel 6.7. Urutan Pengerjaan (Routing) PP CAP 280 STD 3 DIES

No job 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 PO273-01 1 2 3 5 4 PO273-02 1 2 4 5 3 PO273-03 3 PO273-05 1 2 3 PO273-06 1 2 3 PO273-07 1 2 3 PO273-08 1 2 5 4 3 PO273-09 1 2 3 PO273-10 1 2 4 3 PO273-11 1 2 3 PO273-12 1 2 3 6 PO273-13 1 2 3 PO273-14 1 2 3 4 5 PO273-15 1 2 5 PO273-23 1 2 3 PO273-24 2 PO273-25 1 2 PO273-28 1 1 2 PO273-29 1 2 PO273-30 1 2 3 5 4 PO273-31 1 PO273-32 1

Tabel 6.8. Rata–Rata Waktu Step –up (Menit)

No Nama Mesin Waktu Set Up 1 Gergaji 7.5 2 Skrap 18.5 3 Frais Horizintal 45 4 Frais Vertikal 76 5 Bubut 19 6 Bor 19 7 Gerinda Datar 23 8 Gerinda Silinder 24.5 9 Drill 2.2

Tabel 6.9. Waktu Proses (Jam) STAY HELMET DIES No job 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 PO200-01 9.34 6.5 11.7 PO200-07 1.4 1.96 5.387 6.4 PO200-08 3.7 3 5.2 PO200-09 1.4 1.88 PO200-24-01

0.3 1.5

PO200-24-02

1.2 5.3

PO200-25 1.1 0.8 PO200-45 0.1 0.8 PO200-18 0.9 2.9

Tabel 6.10. Waktu Proses (Jam) FRAME KWH

METER No job 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 PO323-01

9.34 5.6 11.7 6.4 6.75

PO323-02 2.4 3.6 9.5 6.6 1.62

PO323-03 1.4 3.1 1.3

PO323-05 0.3 0.6 0.5

PO323-06 0.8 1.2 0.6

PO323-07 1.4 1.96 0.3

PO323-08 3.7 3 5.2 1.58

PO323-09 1.4 1.88 0.55

PO323-10 1.4 5.02 0.6 1.22

PO323-13 7.35 2.6 5.4 6.2 10

PO323-15 2.77 1.9 1.5 3.4 2.7

PO323-24 0.3 0.8 1

PO323-25 1.1 5.2 0.5

PO323-31-01 1.55 1.2 0.65

PO323-31-02 1.55 0.8 0.65

PO323 –45 0.1 1.2 0.5 0.1

PO323-51 0.55 0.65

Page 10: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

6

Tabel 6.11. Tabel Waktu Proses (Jam) PP CAP 280 STD 3 DIES

No job 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 PO273-01 7.34 4.5 9.7 6.4 5.65

PO273-02 2.4 3.6 1.62 9.5 6.6 1.62

PO273-03 1.4 3.1 1.3

PO273-05 0.3 0.6 0.5

PO273-06 0.8 1.2 0.6

PO273-07 1.4 1.96 0.3

PO273-08 3.7 3 5.2 5.38 1.58

PO273-09 1.4 1.88 0.55

PO273-10 1.4 5.02 0.8 1.22

PO273-11 0.3 0.79 0.1

PO273-12 2.4 5 1.7 8.4 6.4 1.5

PO273-13 7.35 2.6 5.4 8.4 6.2 10

PO273-14 1.3 1.3 3.7 0.2

PO273-15 2.77 1.9 0.95 3.4 2.7

PO273-23 3 2 1.9 1.05 0.95

PO273-24 0.3 1.5 1

PO273-25 0.1 0.8 0.5 0.1

PO273-28 2.9 0.2

PO273-29 2 0.2

PO273 –30 3 2 1.9 1.05 0.95

PO273-31 0.55 1.2 0.65

PO273-32 0.55 1.9

Discrete Variables: Dua variabel yang harus dipertimbangkan yaitu WIP (work a process) sistem dan utilitas rata-rata tiap mesin, masing- masing terbagi menjadi rata-rata, simpangan, dan maksimum. B. Analisis Throughput Time Throughput time untuk tata letak konvensional maupun teknologi kelompok sama pada variasi 20. Sedangkan untuk variasi 31 dan 44 throughput time teknologi kelompok menyebabkan kurangnya throughput time. Berkurangnya nilai throughput time akibat dari pengurangan waktu mengantri (Queue time) dan waktu tranparansi (travel time). Untuk penjadwalan awal yang berbeda ternyata memberikan hasil yang berbeda pula. Berdasarkan jadwal kelompok, throughput time untuk teknologi kelompok lebih kecil dari konvensional untuk perubahan volume maupun variasi produksi. Pada variasi 20 dan 44 memberikan throughput time yang lebih kecil, tetapi pada variasi 30 memberikan hasil throughput time, ini ternyata akibat dari pertambahan waktu mengantri pada penjadwalan kelompok di variasi 31. C. Analisis Mean Flow Time

Mean flow time tata letak teknologi kelompok lebih kecil dari konvensional untuk perubahan volume maupun variasi produksi.

Semakin tinggi nilai mean flow time di sini bukan berarti semakin tidak efisiennya aliran material, tetapi lebih disebabkan oleh semakin meratanya waktu alir. Waktu alir antara kelompok mesin 1 dan kelompok mesin 2 berbeda sehingga mean flow time menjadi lebih kecil. Hal seperti ini hanya terlihat pada animasi. D. Analisis WIP System WIP system tata letak teknologi kelompok lebih kecil dari tata letak konvensional untuk perubahan volume maupun variasi produksi. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan tata letak dari konvensional ke teknologi kelompok mengakibatkan berkurangnya WIP system. Berkurangnya WIP system menunjukkan berkurangnya panjang antrian di dalam sistem. Pengurangan panjang antrian pada akhirnya dapat mengurangi luas lantai yang dibutuhkan menempatkan WIP. Untuk penjadwalan yang berbeda ternyata dapat memberikan WIP system tata letak yang berbeda pula, seperti pada gambar 4,7 dan 4,7a. Berdasarkan penjadwalan awal dengan jadwal kelompok, WIP system untuk volume 5 variasi-variasi 20 lebih kecil dari WIP system yang menggunakan penjadwalan awal dengan MWKR/SPT, sedangkan yang lainnya lebih kecil. E. Analisis Utilitas Mesin Mesin untuk tata letak teknologi kelompok pada umumnya lebih tinggi dari utilitas mesin pada tata letak konvensional. Kenaikan utilitas ini seiring dengan penurunan throughput time. Jadi dengan terkelompokannya komponen dan mesin, pemanfaatan mesin jadi semakin tinggi. Kondisi yang agak bertentangan justru terjadi pada mesin drill 1 dan drill 2 (mesin 9 dan 10). Pada tata letak konvensional, utilitas mesin 9 lebih tinggi dari mesin 10, sedangkan pada tata letak teknologi kelompok terjadi penurunan utilitas mesin 9 dan kenaikan utilitas ini disebabkan oleh pengelompokan mesin dan komponen sehingga pembebanan terhadap mesin 9 dan mesin 10 semakin merata. Utilitas mesin 4 dan mesin 5 paling tinggi jika dibandingkan dengan utilitas mesin-mesin lainnya, baik pada tata letak konvensional maupun pada tata letak teknologi kelompok. Pada animasi terlihat antrian yang panjang di kedua mesin ini untuk berbagai volume tidak adanya keseimbangan lintasan antara mesin-mesin di dalam sel. F. Analisis Perubahan Ukuran Lot Pengerjaan ukuran lot 5 adalah dengan menyelesaikan lima buah produk sekaligus di satu mesin, baru dipindah ke mesin berikutnya. Sedangkan pengerjaan ukuran lot 1 adalah dengan menyelesaikan satu buah produk di satu mesin dan dilanjutkan dengan memindahkannya ke mesin berikutnya.

Page 11: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Studi Performansi Tata Letak Konvensional dan Teknologi Kelompok Pada Sistem Manufaktur Job Shop Studi Kasus di PT Stallon Bandung

7

Mean flow time lot 1 lebih kecil daripada mean flow time lot 5. Pengurangan mean flow time pada lot 1 disebabkan oleh proses time pada lot 1 lebih kecil pada proses time lot 5. Hal Ini mengakibatkan lebih cepatnya perpindahan produk dari satu mesin ke mesin yang lain. Travel time pada lot 1 lebih besar pada travel time pada lot 5. penambahan travel time pada lot 1 disebabkan oleh semakin bertambahnya frekuensi pemindahan produk dari satu mesin ke mesin yang lain. Hal ini terlihat pada hasil animasi. Work In Process system lot 1 lebih besar daripada WIP lot 5. Penambahan WIP system lot 1 disebabkan oleh semakin banyaknya produk yang mengantri terutama pada mesin 1,4, dan 5. Hal ini terlihat dari animasi dan penambahan waktu antrian. Utilitas mesin lot 1 lebih besar daripada utilitas mesin 5. Penambahan utilitas mesin lot 1 disebabkan lebih cepatnya produk dari suatu mesin ke mesin yang lain, sehingga mengurangi waktu menganggur mesin. Untuk mesin 1,4, dan 5 terlihat antrian yang jauh lebih besar daripada lot 5. Antrian ini disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan lintasan antarmesin. KESIMPULAN Penelitian ini bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah penentuan susunan tata letak konvensional atau tata letak teknologi kelompok dengan berbagai kombinasi volume dan variasi produksi. Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis yang telah dibahas pada bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: a. Dalam kasus penelitian ini, secara umum

performansi tata letak teknologi kelompok lebih baik dibandingkan dengan tata letak konvensional. Dengan mengambil kriteria performansi throughput time sebagai kriteria performansi yang utama, maka ditentukan tata letak yang paling sesuai untuk kondisi job shop tertentu sebagai berikut:

Tabel 7.1. Throughput Ttime untuk Volume dan

Variasi Produksi Tertentu (Dalam Jam )

VARIASI PRODUKSI

VARIASI PRODUKSI

KONVENSIONAL TEKNOLOGI KELOMPOK

VOLUME PRODUKSI

(02) (31) (44) (20) (31) (44)

KECIL 235.02 304.81 339.74 235.36 SEDANG (10) 465.82 605.51 673.49 466.16 BESAR (15) 696.67 906.21 671.99 697.01

Tabel 7.2. Tata Letak yang Paling Sesuai untuk Volume dan Variasi Produksi Tertentu

VARIASI PRODUKSI

VOLUME PRODUKSI

KECIL(20) SEDANG (31)

BESAR (44)

KECIL (5) T. KONV./ T.T.K T.T.K T.T.K SEDANG (10)

T.KONV./T.T.K T.T.K T.T.K

BESAR (15) T.KONV./T.T.K T.T.K T.T.K b. Mean flow time, WIP, dan utilitas tiap mesin

merupakan kriteria performansi pembantu dalam melihat performansi perubahan tata letak.

c. Mean flow time dari tata letak teknologi kelompok lebih kecil dari tata letak konvensional. Pengurangan mean flow time sangat dipengaruhi oleh pengurangan waktu mengantri (queue time) dan pengurangan waktu transportasi (travel time ).

d. Yang paling mempengaruhi pengurangan mean flow time adalah waktu mengantri di setiap mesin, sedangkan waktu transportasi walaupun berkurang, tetapi tidak mempengaruhi pengurangan mean flow time secara keseluruhan. Tidak berpengaruhnya waktu transportasi disebabkan jarak antara mesin dalam kasus ini tidak terlalu jauh.

e. WIP system tata letak teknologi kelompok umumnya lebih kecil dari tata letak konvensional. Dalam kasus ini peningkatan WIP di setiap mesin bukanlah pengaruh dari tata letak, melainkan disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan antara mesin di dalam kelompokan mesin.

f. Utilitas tiap mesin untuk tata letak teknologi kelompok lebih tinggi dari tata letak konvensional. Pengaruh langsung perubahan langsung perubahan tata letak terhadap utilitas mesin hampir tidak ada. Dalam kasus ini penurunan ataupun kenaikan utilitas mesin disebabkan oleh pengelompokan mesin komponen yang belum memperhatikan keseimbangan lintasan antara mesin dalam kelompok mesin juga antara kelompok mesin.

g. Perubahan ukuran lot menyebabkan menurunnya troughput time dan mean flow time serta menaiknya travel time, WIP system, dan utilitas mesin. Dalam kasus ini perubahan ukuran lot malah menyebabkan bertambahnya waktu mengantri pada mesin-mesin tertentu. Penambahan waktu mengantri disebabkan oleh belum adanya keseimbangan lintasan antarmesin dalam kelompok mesin.

Page 12: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

8

TINDAK LANJUT PENELITIAN 1. Jika PT STALLON ingin mengubah tata

letaknya dari konvensial ke teknologi kelompok, maka terlebih dahulu harus memperbaiki keseimbangan lintasan baik antarmesin dalam kelompok mesin maupun keseimbangan antarkelompok mesin.

2. Untuk lebih memperjelas perbedaan antara kedua tata letak dengan mempergunakan performansi yang sama, maka sebelum dilakukan simulasi, sebaiknya dilakukan studi untuk membuat keseimbangan lintasan untuk tata letak konvensional maupun tata teknologi kelompok.

3. Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, sebaiknya dilakukan penelitian yang lebih rinci dalam menentukan variasi dan volume produk yang akan digunakan dalam penelitian

4. Untuk menghasilkan hasil yang lebih realistis, maka sebaiknya: a. Penjadwalan untuk produk dilakukan

dengan memperhatikan break down elemen operasi pengaturan jam kerja.

b. Waktu set-up mesin lebih diperinci, misalnya dengan waktu “loading“ dan “unloading“.

5. Dalam penelitian ini, metode pengelom-pokan untuk mesin dan komponen meng-gunakan formulasi matriks. Untuk kasus yang lebih kompleks dapat digunakan for-mulasi matematik atau formulasi yang lain

DAFTAR PUSTAKA

Abdou George. 1990. A New Efficient Algorithm for The Group Technology. Pacific Conference, Australia.

Apple, James M. 1990. Tata Letak dan Pemindahan Bahan. Bandung: Penerbit ITB.

Banks, Jerry and John S. C. 1984. Discreate-Event System Simulation. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Bedworrth David D. dan James E. 1987. Bailey Integrade Production Control System: Management, Analysis, Desig., Second Edition. Canada: John Wiley & Sons Inc.

Bowker Albert H. dan Lieberman Gerald J. 1972. Engineering Statistics. Prentice Hal, Inc.

Chang Tien-Chein, Wysk Ricard A. Wang Hsu-Pin. 1970. Computer-Aided Manufacturing. New York: Printice-Hall, Inc.

Emshoff, James R. Roger L. Simon. 1970. Design and Use of Computer Simulation. New York: Macmillan Publishing Co. Inc.

Gallagher, C. C. and Knight , W.A. 1973. Group Technology. London: Butterworth & C.o. Ltd.

Groover Mikell P. 1989. Automation, Production System and Computer-Integrated Manufacturing. New Delhi: Printice Hall of India.

Gudnason, C.H. and Corlett, E. N. 1974. Development of Production Sistem and the Need for Future Researc. London: Taylor and Francis.

Inyong Ham, Group Technology.

JT. Black. 1974. The Design of the Factory with A Future Research. London: Taylor and Francis.

Kuisak Andrew. 1990. Intellgent Manufacturing System. Englewood Cliffs: Prentice Hall Inc.

Low Averill M. dan Kelton David W. 1991. Simulation Modelling And Analysis. Second Edition. Singapore: Mc Graw Hill Inc.

Mamangkey Leonard. 1983. Penyusunan Tata Letak Mesin dan Peralatan Di PT INTI Dengan Pengembangan Algoritma Komputer “Group Technology Layout“. Tugas akhir, Jurusan Teknik Industri ITB.

Marcelly. 1992. Study Pemilihan Aturan Prioritas untuk Persoalan Penjadwalan N Job pada M Mesin. Tugas Akhir, Jurusan Teknik Industri ITB.

Ma’ruf, Anas. 1992. Mempelajari Metode dan Karekteristik operasional OPT menggunakan Simulasi Komputer. Tugas Akhir, Jurusan Teknik Industri ITB.

Pegden C. Dennis, Shannon Rogert E. dan Sadowski Randal P. 1991. Introduction to Simulation Using SIMAN, International Edition. Singapore: Mc Graw Hill Inc.

Radharamanan, R. 1992. Group Technology Concept as Applied to Flexible Manufacturing System. Pacific Conference on Manufacturing, Tokyo.

Sarper Huseyin dan Greene Timothy J. 1993. Comparison of Equivalent Pure Cellular ang Fuctional Environments Using Simulation. Int.J. Computer Integred Manufacturing,

Vol .6, No. 4, 221-236.

Siscka, Mierela J. 1993. Penggunaan Algoritma CRAFT untuk Perbaikan Tata Fasilitas PT Prapanca Mitra Sentra. Tugas Akhir Jurusan Teknik dan Manajemen Industri UNPAS.

Sullivan S. Robert dan Yih-long Chang. 1991. Quant System. Version, 2,0. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Walpole, Ronald E. 1985. dan Raymond H.M. Probability and Statistics For engineers and Scientists, Third Edition. New York: Collier Macmillan Publishers.

Page 13: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

9

PENGKAJIAN SISTEM IMBALAN ANGGOTA POLRI PADA TINGKAT BINTARA

Meilita Tryana S. Staf Pengajar Jurusan Teknik Industri FT USU

Abstrak: Ritme aktivitas masyarakat pada berbagai bidang semakin cepat dikarenakan laju pembangunan dan fenomena globalisasi, sebagaimana tercermin pada peningkatan mobilitas manusia dan barang, pertukaran informasi, dan transaksi ekonomi maupun transaksi sosial yang lain. Di samping dampak positif pada kesejahteraan, peningkatan ini membawa pula dampak sosial yang kompleks. Kuantitas tindak kriminalitas semakin meningkat, diikuti pula oleh tingginya intensitas dan modus kejahatan, serta timbulnya kerusuhan di berbagai tempat akhir-akhir ini. Semua fenomena tersebut menuntut peran yang lebih besar dari pihak Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sebagai unsur terdepan dalam penanganan Kamtibmas. Harapan masyarakat terhadap Polri adalah mendapatkan perlindungan Polri yang semakin maksimal dan pelayanan yang lebih baik dari Polri. Untuk memenuhi harapan tersebut, maka ada lima unsur yang utama untuk membangun polri yang kuat yaitu: mutu personil, kesejahteraan personil, jumlah personil, sarana, dan prasarana, dan sistem politik negara. Penelitian ini mengkaji salah satu dari kelima unsur tersebut, yaitu kesejahteraan personil yang menjadi prioritas dalam membangun kepolisian yang kuat di Indonesia. Abstract: The rhythm of community activity in various fields are faster as consequence of development rate and globalization phenomenon, as reflected of increasing of human and goods mobility, information exchange, and transaction, both economic, and social transactions. Beside its positive impact on prosperity, this increase is also followed by high criminal intensity and mode, as well as occurrence of riot in currently various places. All these phenomenon of course require for a larger role from Polri party as the foremost element in handling of community security and order (Kambtibmas). The community expectation on the Polri is to obtain the most maximal Polri’s protection and it’s better services. To fulfill these expectations, therefore, there are five primary elements of personnel quality, personnel prosperity, number of personnel, means and infrastructures as well as state politics. This study evaluate one of these fie elements, personnel prosperity that become priority in developing a strong police institution in Indonesia. I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

Laju pembangunan dan fenomena globalisasi telah membuat kehidupan masyarakat Indonesia semakin dinamis. Ritme aktivitas masyarakat pada berbagai bidang semakin cepat, sebagaimana tercermin pada peningkatan mobilitas manusia dan barang, pertukaran informasi, dan transaksi, baik transaksi ekonomi maupun transaksi sosial lainnya. Di samping dampak positif pada kesejahteraan material dan spiritual, peningkatkan ritme kehidupan ini membawa pula dampak sosial yang kompleks. Kuantitas tindak kriminalitas semakin meningkat, diikuti pula oleh tingginya intensitas dan modus kejahatan.

Harapan masyarakat terhadap Polri ada dua hal, yaitu pertama mereka membutuhkan keamanan dan perlindungan Polri yang semakin maksimal baik atas dirinya, keluarganya, dan harta bendanya, dan kedua, mereka menginginkan pelayanan yang lebih baik dari Polri.

Walaupun organisasi Polri sudah berubah memberikan imbalan melalui beberapa komponen

imbalan tetapi hal ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, hal ini juga dapat dilihat dari penyimpangan yang dilakukan seperti memanfaatkan kesempatan dan kewenangan yang diberikan kepada anggota Polri untuk kepentingan yang bersifat pribadi, bukan untuk kepentingan dan tujuan organisasi Polri yang sangat mempengaruhi kinerja anggota Polri maupun organisasi Polri.

Sehubungan dengan kondisi tersebut, maka dalam rangka meningkatkan kesejahteraan anggota Polri agar dapat hidup layak perlu dilakukan suatu kajian mengenai sistem imbalan anggota Polri berdasarkan kebutuhan hidupnya dengan mempertimbangkan komponen yang selama ini diterapkan oleh organisasi Polri. 1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka masalah-masalah yang ingin dijawab dalam penelitian (research question) ini adalah: 1. Apakah sistem imbalan yang diberikan untuk

anggota Polri sudah dapat memenuhi kebutuhan hidup saat ini?

2. Komponen apakah yang perlu diperbaiki agar

Page 14: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

10

dapat mengurangi kesenjangan kebutuhan hidup?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengkaji variabel-variabel sistem imbalan yang

selama ini diterapkan dalam organisasi Polri. 2. Mempelajari proporsi kebutuhan hidup anggota

Polri pada tingkat Bintara. 3. Menyusun sistem imbalan yang sesuai dengan

pemenuhan kebutuhan hidup anggota Polri. 4. Menyusun kebijakan sistem imbalan yang

diperlukan. 1.4. Manfaat Penelitian

Berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari hasil penelitian, maka diharapkan penelitian ini bermanfaat: 1. Untuk dapat meningkatkan kepuasan kerja bagi

anggota Polri. 2. Bahan informasi untuk mengadakan kajian lebih

mendalam. 3. Sebagai pedoman bagi pengambil keputusan

(decision maker) untuk menyusun kebijakan yang berkenaan dengan upaya pembinaan dan pengembangan organisasi Polri di masa yang akan datang.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian imbalan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1999) adalah sebagai berikut: a. Upah yang dijadikan sebagai balas jasa

(honorarium). b. Balasan berupa pujian, hukuman, dan

sebagainya atas tindakan yang dilakukan. Istilah ‘imbalan’ penulis gunakan untuk

meng-Indonesiakan istilah ‘compensation’ yang datang dari buku-buku manajemen sumberdaya manusia yang diimpor dari Amerika. Bahasa Inggris maupun organisasi buruh Internasional (International Labor Organization/ILO) menyebutkan renumeration mempunyai cakupan yang lebih luas daripada upah dan gaji. Imbalan mencakup semua pengeluaran yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk pekerja dan diterima atau dinikmati oleh pekerja, baik secara langsung, rutin, atau tidak langsung (pada suatu hari nanti).

Pemberian imbalan atau kompensasi merupakan masalah yang sangat penting, mengingat setiap pekerja dalam organisasi mempunyai pengharapan atas sesuatu dari organisasi, sebagai penghargaan atas jerih payahnya selama bekerja. Imbalan selain berbentuk upah (uang) dapat juga berupa fasilitas perumahan, fasilitas kendaraan, atau bentuk-bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang. Masalah pengelolaan imbalan bukan hanya penting karena merupakan dorongan utama seseorang untuk menjadi karyawan, tetapi juga karena imbalan yang

diberikan ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap semangat dan kegairahan kerja para personil organisasi (Siregar & Samadhi, 1987: 37).

Istilah imbalan sering digunakan secara bergantian dengan administrasi gaji dan upah. Bagaimanapun, istilah imbalan sesungguhnya merupakan konsep yang lebih luas. Imbalan diartikan sebagai semua bentuk kembalian (return) finansial, jasa-jasa berwujud, dan tunjangan-tunjangan yang diperoleh karyawan sebagai bagian dari sebuah hubungan kepegawaian.

Imbalan finansial langsung (direct financial compentation), terdiri dari bayaran (pay) yang diperoleh seseorang dalam bentuk gaji, upah, bonus, komisi. Imbalan finansial tidak langsung (indirect financial compentation) yang disebut juga dengan tunjangan, meliputi semua imbalan langsung. Komponen dari keseluruhan program imbalan disajikan dalam gambar II.1. berikut ini:

Gambar II.1. Komponen-Komponen Keseluruhan

Program Imbalan (Sumber: Simamora Henry, Manajemen Sumberdaya Manusia, edisi 1, cetakan 1, 1995:413).

Sistem imbalan yang baik adalah sistem yang mampu menjamin kepuasan para anggota organisasi yang pada gilirannya memungkinkan organisasi memperoleh, memelihara, dan mempekerjakan sejumlah orang yang dengan berbagai sikap dan perilaku positif bekerja dengan produktif bagi kepentingan organisasi (Siagian, 1992: 253).

Menurut Nitisemito, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam sistem pemberian imbalan antara lain sebagai berikut: 1. Agar imbalan yang diberikan mempunyai

dampak yang positif, maka jumlah minimum yang diberikan haruslah dapat memenuhi

Page 15: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Pengkajian Sistem Imbalan Anggota Polri pada Tingkat Bintara

11

kebutuhan secara minimal dan sesuai dengan peraturan yang sedang berlaku.

2. Selain harus dapat memenuhi kebutuhan minimal, maka imbalan yang diberikan hendaknya dapat mengikat personil yang ada, sehingga kemungkinan terjadinya keluar masuknya karyawan dapat ditekan sekecil mungkin.

3. Imbalan yang diberikan harus mampu pula meningkatkan semangat dan kegairahan kerja, sehingga kerja dapat dipertahankan dan ditingkatkan.

4. Untuk dapat menimbulkan semangat dan kegairahan kerja, maka dalam menetapkan jumlah imbalan harus selalu bersifat dinamis, artinya sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi yang terjadi.

5. Selain jumlah imbalan yang diberikan, perlu dipikirkan komposisi dari imbalan yang diberikan, sebab dengan komposisi yang tepat maka akan memberikan dampak yang positif baik terhadap personil maupun terhadap organisasi secara keseluruhan.

Davis (1987) menyatakan bahwa ada beberapa hal yang dibutuhkan untuk merancang sistem imbalan yang lengkap dan ekonomis, diantaranya adalah job evaluation untuk menentukan gaji dasar yang diperoleh sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya, performance appraisal untuk memberikan intensif yang besarnya sesuai dengan performansi kerja karyawan dan profit sharing. Ketiga sistem ini merupakan landasan untuk merancang program imbalan. Secara garis besar perancangan sistem imbalan dapat dilihat pada gambar II.2.

(Sumber : Dais, Keith. Human Behaviour at Work: Organizational Behaviour, sixth edition. The Grolier, 1987, p.573). III. METODOLOGI PENELITIAN

Hasil yang diperoleh dari suatu penelitian selalu memberi kemungkinan untuk diteliti lebih lanjut. Demikian pula dengan hasil yang diperoleh dari penelitian ini. Penelitian lain yang lebih

mendalam atau penelitian dengan sudut pandang yang berbeda akan melengkapi kesimpulan penelitian.

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik diperlukan urutan langkah penelitian yang terstruktur. Adapun tahapan penelitian ini secara garis besarnya dapat dilihat pada gambar III.1.

Gambar III.1. Tahapan Proses Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka berpikir dalam melakukan penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1. Analisis kondisi eksisting sistem imbalan adalah

analisis kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah selama ini dalam pemberian sistem imbalan kepada anggota Polri. Untuk melakukan analisis kebijakan pemerintah tersebut, maka tahapan yang dilakukan dimulai dengan mengidentifikasi dan mendeskripsikan komponen sistem imbalan yang diterima oleh anggota Polri dari organisasi/pemerintah.

2. Analisis kebijakan sistem imbalan dengan pendekatan kebutuhan hidup anggota Polri tingkat bintara, adalah analisis yang didasarkan pada pendekatan kebutuhan hidup anggota Bintara Polri dan keluarganya, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan indikator komponen kebutuhan hidup primer, sekunder, dan tersier.

IV. PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

Pada tabel IV.2. menunjukkan komposisi anggota polisi berdasarkan usia. Yang mempunyai proporsi paling besar adalah polisi dengan usia 35 – 44 tahun berjumlah 23 orang atau 46% dan diikuti dengan polisi usia 25-34 tahun sebanyak 17 orang atau 34%.

Page 16: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

12

No. Usia Frekuensi Persentase (%) 1 20-24 7 14 2 25-34 17 34 3 35-44 23 46 4 > 45 3 6 Jumlah 50

Table IV. 2 Komposisi Responden Berdasarkan Usia (Sumber: Diolah dari kuesioner).

IV.1.6.2. Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Berdasarkan tingkat pendidikan, anggota polisi sebagian besar berpendidikan SLTA. Secara lengkap dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel IV.3. Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pendidikan No Kepang- katan SMA SMEA STM SMK Jumlah

1 Aiptu 3 - - - 3 2 Aipda 8 - - - 8 3 Bripka 11 1 - - 12 4 Brigadier 9 - 1 - 10 5 Briptu 6 - 1 - 7 6 Bripda 9 - - 1 10 (Sumber: Diolah dari kuesioner). IV.1.6.3 Komposisi Responden Berdasarkan Lama Bekerja

Dari tabel IV.4. dapat dilihat bahwa sebagian besar anggota polisi di Polres Langkat bekerja antara 16-20 tahun, yaitu sebesar 16 responden atau 32%. Urutan kedua yang telah bekerja 6-10 tahun sebanyak 12 responden atau 24%. Komposisi anggota polisi berdasarkan lama bekerja dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel IV.4. Komposisi Responden Berdasarkan Lama Bekerja

No. Lama bekerja Frekuensi Persentase( %) 1 1-5 tahun 10 20 2 6-10 tahun 12 24 3 11-15 tahun 6 12 4 16-20 tahun 16 32 Lebih dari 20 tahun 6 12

(Sumber: Diolah dari kuesioner). IV. 1.6.4. Komposisi Responden Berdasarkan Pangkat dan Golongan

No. Kepangkatan Golongan Frekuensi Presen

tase (%)

1 AIPTU 2F 3 6 2 AIPDA 2E 8 16 3 BRIPKA 2D 12 24 4 BRIGADIR 2C 10 20 5 BRIPTU 2B 7 14 6 BRIPDA 2A 10 20

(Sumber: Diolah dari kuesioner).

IV.1.6.5 Komposisi Responden Berdasarkan Status Perkawinan

Dari tabel IV.8. berikut ini akan menunjukkan data mengenai jumlah anak yang bersekolah dan jenjang pendidikan anak yang bervariasi dimulai dari TK hingga SMU. Tabel IV. 8. Komposisi Responden Berdasarkan Jenjang Pendidikan

Pendidikan

No. Pangkat Belum

Sekolah TK

SD SMP SMU

1 Aiptu 4 3 2 Aipda 2 9 7 5 3 Bripka 2 12 12 4 4 Brigadier 8 5 2 1 5 Briptu 1 3 3 6 Bripda 1 1 1 Jumlah 1 16 30 26 13

(Sumber: Diolah dari kuesioner). V. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi analisis dan pembahasan hasil dari pengolahan data yang telah dilakukan pada bab sebelumnya. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui secara lebih jelas unsur-unsur dalam sistem imbalan dan kebutuhan hidup sehingga dapat menentukan sistem imbalan berdasarkan tingkat kepentingan pada kebutuhan hidup anggota Polri. Analisis ini akan menjadi masukan bagi organisasi Polri dalam merumuskan sistem imbalan yang sesuai bagi kebutuhan hidup anggota Polri.

V.1. Analisis Biaya Kebutuhan Hidup

Biaya kebutuhan hidup yang dimasukkan di sini adalah biaya yang dikeluarkan oleh anggota Polri dan keluarganya selama sebulan untuk mengkonsumsi 3 komponen kebutuhan hidup (kebutuhan dasar), yaitu: o Kebutuhan primer: pangan, perumahan, dan

pakaian. o Kebutuhan sekunder: pendidikan, kesehatan, dan

transportasi. o Kebutuhan tersier: kebutuhan telekomunikasi

dan rekreasi/ hiburan. Apabila dirinci lebih detail, maka biaya

kebutuhan hidup yang dimaksud dalam analisis hasil penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu: 1) Biaya kebutuhan hidup anggota Polri; 2) Biaya kebutuhan hidup keluarga anggota Polri.

Dalam menganalisis masing-masing biaya kebutuhan hidup anggota Polri dan keluarganya, maka dilakukan tahapan sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan item pertanyaan dalam

komponen kebutuhan hidup yang terdapat pada kuesioner dan proporsi masing-masing komponen.

2. Mendeskripsikan hasil pengolahan data.

Page 17: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Pengkajian Sistem Imbalan Anggota Polri pada Tingkat Bintara

13

Untuk membandingkan besarnya gaji pokok yang diterima oleh anggota Polri dengan biaya kebutuhan hidup anggota Polri dan keluarganya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel V.11. Perbandingan Rata-Rata Gaji pokok Dengan Total Biaya Pengeluaran Keluarga.

No.

Pangkat

Rata-rata gaji pokok

(Rp)

Rata-rata total biaya rutin (Rp)

1 AIPTU 1,086,567 2,159,069 2 AIPDA 1,071,000 2,365,699 3 BRIPKA 1,027,875 2,224,275 4 BRIGADIR 957,250 2,030,043 5 BRIPTU 859,510 1,610,489 6 BRIPDA 789,510 1,335,270

(Sumber: Data diolah) Pola perbandingan antara rata-rata gaji

pokok yang diterima dari organisasi dengan rata-rata total biaya pengeluaran rutin keluarga dapat dilihat pada grafik di bawah ini:

Gambar V.3. Grafik Perbandingan Gaji Pokok Biaya Pengeluaran Rutin Keluarga

Dari gambar tersebut di atas, dapat dilihat

besarnya gap antara gaji pokok yang diterima oleh anggota Bintara Polri dari pemerintah (dalam hal ini organisasi polri) dengan biaya total pengeluaran rutin yang dikeluarkan oleh anggota Polri dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, maka perlu adanya kajian oleh pemerintah dalam menetapkan besarnya gaji pokok yang diterima oleh anggota Polri khususnya pada tingkatan bintara. V.2. Formulasi Sistem Imbalan Polri

Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas, penulis mendapatkan beberapa komponen baru yang diperlukan oleh anggota Polri dan keluarganya, sehingga dalam merumuskan sistem imbalan yang baru, yang tentunya akan sangat menunjang kebutuhan hidup anggota Bintara Polri.

Sehingga formulasi sistem imbalan baru bagi anggota Bintara Polri di masa yang akan datang, dapat diilustrasikan pada gambar berikut ini:

Gambar V.7. Formulasi Sistem Imbalan Baru Anggota Polri Berdasarkan Kebutuhan Hidup

Dari gambar tersebut di atas, dapat dilihat bahwa terdapat komponen yang perlu dimasukkan untuk sistem imbalan yang baru. Secara rinci komponen-komponen tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1. Komponen-komponen sistem imbalan yang

lama tetap dipertahankan, penulis berpendapat bahwa tidak semua komponen yang ada pada sistem imbalan yang lama tidak relevan dengan kebutuhan hidup anggota Bintara Polri dan keluarganya. Akan tetapi, ada beberapa komponen yang nilai nominalnya memiliki gap yang cukup besar dengan nilai nominal pengeluaran, sehingga pada komponen-komponen tersebut hanya perlu penyesuaian nilai nominalnya saja. o Gaji Pokok, nilai nominal perlu ditinjau

kembali, minimalnya disesuaikan dengan biaya kebutuhan hidup anggota keluarganya.

o Tunjangan istri/suami, nilai nominal perlu ditinjau kembali, minimalnya disesuaikan dengan pengeluaran anggota kelurganya.

o ULP, selama ini Polri menggunakan istilah ULP untuk memberikan kompensasi bagi anggota Bintara Polri dalam memenuhi keperluan perlengkapan dinas, transportasi, telekomunikasi, hiburan, dalam melaksanakan tugas dan keperluan lain yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas. Istilah ini tetap dipertahankan atau diubah menjadi ‘Tunjangan Operasional’ sehingga lebih tepat, sesuai dengan peruntukannya, akan tetapi nilai nominalnya disesuaikan.

Page 18: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

14

2. Tunjangan Pangan. Selama ini Polri memasukkan komponen tunjangan beras dalam sistem imbalan, akan tetapi berdasarkan yang diperlukan oleh anggota Bintara Polri, sehingga akan lebih tepat jika komponen ini diganti dengan komponen tunjangan pangan, nilai nominal dari tunjangan ini perlu ditinjau kembali.

3. Tunjangan fungsional untuk Bintara Polri. Selama ini Polri hanya memberikan tunjangan fungsional bukan untuk pangkat Bintara Polri, padahal jika dilihat dari beban kerja dan resiko yang ditanggung oleh pangkat ini sangat berat, oleh karena itu masuk dalam komponen sistem imbalan baru.

4. Tunjangan Pendidikan Anak. Selama ini Polri memberikan tunjangan anak, akan tetapi berdasarkan hasil penelitian ternyata muncul komponen lainnya yang lebih penting untuk kelangsung hidup anggota Polri dan keluarganya agar lebih kompetitif, yaitu pendidikan. Tunjangan anak yang diberikan tidak mencukupi untuk kebutuhan pendidikan anak dewasa ini, sehingga nilai nominal untuk tunjangan anak perlu ditinjau kembali dan namanya disesuaikan dengan peruntukannya. o Tunjangan lainnya berupa tunjangan untuk

kesejahteraan anggota Polri seperti kesehatan, perumahan secara terperinci, dan seragam sesuai dengan kebutuhan anggota Polri dalam rangka melaksanaan tugasnya. Sehingga komponen sistem imbalan selain yang tersebut di atas, perlu dikaji lebih lanjut terhadap fasilitas-fasilitas kesejahteraan yang selama ini diterapkan oleh organisasi kepada anggotanya.

o Fasilitas kesehatan: Diharapkan fasilitas kesehatan yang diberikan oleh organisasi selama ini dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggota Polri dan keluarganya sehingga anggota tidak lagi mengeluarkan dana untuk kebutuhan kesehatan. Berdasarkan penelitian, seluruh responden masih harus mengeluarkan biaya untuk kebutuhan kesehatan.

o Fasilitas perumahan, selama ini masih ada dana yang harus dikeluarkan oleh anggota untuk mendapatkan fasilitas perumahan bahkan jumlah fasilitas rumah dinas bagi anggota masih sangat minim, hal ini dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan sebanyak 0 orang responden anggota polisi, yang menempati rumah dinas hanya 9 orang atau 18%. Bahkan ada 16 orang atau 32 % yang mengeluarkan dana untuk kebutuhan perumahan berupa sewa/kontrak. Kondisi ini merupakan hal yang perlu dilakukan, suatu kajian yang lebih mendalam terhadap pengadaan fasilitas perumahan bagi anggota, sehingga diharapkan anggota Polri

tidak mengeluarkan lagi biaya untuk kebutuhan perumahan.

o Selanjutnya, perlunya dirancang suatu kompensasi berupa asuransi terhadap resiko kesehatan dan resiko jiwa bagi anggota yang mengalami kecelakaan atau cedera, bahkan kehilangan jiwa pada saat melaksanakan tugas. Mengenai hal ini perlu dilakukan suatu rumusan yang seragam dan lebih terperinci penerapannya, sehingga seluruh anggota yang mengalami cedera bahkan kehilangan jiwa pada saat melaksanakan tugasnya dapat menerima kompensasi yang sesuai dengan resiko tugasnya.

V.3. Usulan Kebijakan yang Diberikan Kepada Pemerintah

1. Dasar Pertimbangan Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ada

beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan pemerintah dalam menyusun struktur imbalan Polri yaitu: a. Menyusun sistem imbalan berdasarkan merit

sistem. b. Menata sistem kepegawaian organisasi Polri

yang didasarkan merit seperti klasifikasi persyaratan tugas dan jabatan, uraian tugas dan jabatan, persyaratan tugas dan jabatan, serta penilaian kinerja tugas secara objektif, sehingga dapat menghasilkan suatu sistem kompensasi yang adil berdasarkan beban tugas dan tanggung jawab pada masing-masing fungsi dalam organisasi Polri.

c. Penyempurnaan sistem penggajian perlu didukung oleh: - Penataan organisasi dan penetapan jumlah

personil Polri secara lebih rasional. - Penyempurnaan sistem pengadaan dan

pembinaan karir anggota Polri. - Penyempurnaan fasilitas kesejahteraan

organisasi Polri berdasarkan kebutuhan anggota, seperti fasilitas kesehatan anggota Polri dan keluarganya agar lebih diperhatikan, fasilitas perumahan maupun fasilitas lain yang mendukung motivasi anggota dan melaksanakan tugasnya.

- Penerapan anggaran operasional Polri berbasis pada kinerja.

2 Arah Kebijakan

a. Upaya penyempurnaan sistem imbalan diarahkan pada penyusunan sistem. Layak dan transparan melalui kegiatan sebagai berikut: 1. Melaksanakan analisis jabatan. 2. Melakukan evaluasi jabatan. 3. Melakukan struktur gaji pokok

berdasarkan klasifikasi tugas dan jabatan:

Page 19: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Pengkajian Sistem Imbalan Anggota Polri pada Tingkat Bintara

15

- Merumuskan jenis tunjangan yang dianggap layak untuk diberikan kepada anggota Polri (hal ini dapat dilihat dari usulan penulis).

- Menetapkan besaran masing-masing tunjangan dengan memperhatikan tugas, wewenang, dan tanggung jawab serta prinsip-prinsip keadilan.

- Mengupayakan agar penghasilan anggota Polri disesuaikan dengan tingkat inflasi, antara lain dengan membuat indeks untuk dijadikan dasar bagi penyesuaian dan tunjangan.

b. Mengupayakan agar tunjangan fungsional khususnya bagi anggota Bintara Polri dimasukkan ke dalam komponen sistem imbalan.

c. Mengupayakan penyusunan anggaran operasional anggota Polri yang lebih tepat sesuai dengan kebutuhan tugas, sehingga mengurangi KKN yang sering terjadi.

d. Merumuskan secara seragam tunjangan kompensasi berupa tunjangan kesehatan dan asuransi yang diterima oleh anggota Polri yang mengalami kecelakaan seperti penyakit yang akut, cacat, dan meninggal akibat melaksanakan tugas. Hal ini sangat perlu diperhatikan apabila dilihat dari besarnya resiko tugas anggota Polri.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1. Kesimpulan Berdasarkan pada bab sebelumnya, maka

dalam menyusun formulasi kebijakan sistem imbalan bagi anggota Bintara Polri, berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Sistem imbalan yang diberikan organisasi Polri

saat ini terdiri dari komponen gaji pokok, tunjangan istri/suami, tunjangan beras, tunjangan anak, tunjangan jabatan struktural/fungsional, dan tunjangan lauk-pauk masih belum dapat memenuhi kebutuhan anggota Bintara Polri saat ini. Hal ini dapat dilihat dari adanya gap yang cukup besar antara gaji yang diterima oleh anggota Bintara Polri dengan pengeluaran kebutuhan hidup angota Polri dan keluarganya, sehingga perlu dipertimbangkan untuk ditinjau kembali yaitu dengan cara menaikkan nilai komponen yang ada seperti gaji pokok, tunjangan istri/suami, dan tunjangan operasional/ULP.

2. Berdasarkan penelitian survai kebutuhan hidup anggota Polri, maka dapat ditemukan beberapa komponen kebutuhan hidup yang dapat dijadikan komponen baru dalam penyusunan sistem imbalan anggota Polri. Adapun

komponen yang baru pada sistem imbalan, berdasarkan penelitian melalui survai kebutuhan hidup anggota Polri mencakup kebutuhan yang diusulkan antara lain adalah:

Tunjangan Pangan Tunjangan Fungsional Tunjangan Pendidikan Anak

3. Rumusan strategi dan kebijakan bagi sistem imbalan baru anggota Polri yang didasarkan pada tingkat kepentingan kebutuhan hidup di masa mendatang, yang ditunjukkan pada gambar V.7. memberikan ilustrasi bahwa terdapat variabel-variabel baru yang perlu ditambahkan dalam penyusunan sistem imbalan yaitu: Tunjangan Pangan, Tunjangan Fungsional, dan Tunjangan Pendidikan Anak.

4. Kebijakan sistem imbalan yang diusulkan adalah gaji pokok, di mana nilainya yang harus disesuaikan dengan biaya kebutuhan hidup minimum, tunjangan fungsional, tunjangan istri/suami di mana nilai disesuaikan dengan kebutuhan istri/suami, tunjangan anak diganti dengan tunjangan pendidikan anak, tunjangan beras diganti menjadi tunjangan pangan di mana nilainya disesuaikan dengan kebutuhan pangan minimum, tunjangan uang lauk-pauk berupa tunjangan operasional Polri di mana nilainya disesuaikan dengan kebutuhan minimum operasional anggota Polri. Untuk tunjangan lainnya yang perlu mendapatkan perhatian bagi organisasi yaitu fasilitas yang selama ini diberikan organisasi kepada anggota berupa pengalokasian potongan tunjangan wajib, yaitu fasilitas kesehatan, perumahan, dan asuransi. Khusus untuk asuransi, diharapkan organisasi lebih memfokuskan kompensasi ini kepada anggota berkaitan dengan resiko yang dialami oleh anggota pada saat melaksanakan tugasnya.

VI.2. Saran-saran 1. Hasil penelitian ini memberikan gambaran

bahwa sistem imbalan angota Polri berdasarkan kebutuhan hidup anggota Polri masih harus diuji kembali dengan menggunakan jumlah sampel anggota Polri bukan hanya pada tingkat Bintara tapi level atau tingkatan anggota Polri yang lain.

2. Hasil perhitungan ini merupakan analisis berdasarkan perhitungan statistik yang memiliki berbagai keterbatasan, sehingga ada kalanya hasil perhitungan tidak sesuai dengan kenyataan.

3. Penelitian ini hanya mengeluarkan sistem imbalan berdasarkan tingkat kepentingan kebutuhan hidup, sedangkan nilai untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut tidak dilakukan karena terbatasnya waktu penulis. Untuk itu penulis mengharapkan penelitian lanjutan yang dapat mengeluarkan suatu

Page 20: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

16

rumusan kebijakan mengenai sistem imbalan Polri sampai kepada nilai yang dibutuhkan.

4. Berdasarkan temuan penelitian diperoleh besarnya gap antara besarnya gaji yang diterima oleh Bintara Polres Langkat dengan biaya kebutuhan hidup, sehingga hal ini cukup menarik untuk dilakukan kajian yang lebih mendalam, seperti pengaruh kurangnya imbalan dengan munculnya tindakan korupsi di lingkungan Polri dan kajian lain yang berkaitan dengan data penelitian yang ada.

Daftar Pustaka Anonim. 1992. Buku Petunjuk Administrasi Tentang

Penggunaan Prajurit Polri.

Anonim. 1995. Laporan Penelitian Studi Eksploratif Profesionalisme dan Kinerja Polri.

Anonim. 1998. Buku Petunjuk Administrasi Pengurusan Penghasilan Personil di Lingkungan Polri.

Anonim. 2001. Harian Pikiran Rakyat, Bulan Februari.

Anonim. 2002. Tinjauan dan Penataan Kembali Organisasi Polri (Naskah Akademik). Mabes Polri.

Anonim. 2002. Statistik Kesejahteraan Rakyat (Walfare Statistic). Survai Sosial Ekonomi Nasional.

Anonim. 2003. Harian Kompas, Bulan Juni.

Anonim. 2004. Ringkasan Eksekutif Desain Sistem Penggajian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Kementrian Aparatur Negara.

Davis, Keith. 1987. Human Behaviour at Work: Organizational Behaviour, Sixth Edition.

Djoyohadikusumo, S. 1983. Ilmu Ekonomi. Jakarta: UI Press.

Indrawan, R. 2002. Analisis Realisasi Kompensasi Terhadap Keluarga Anggota Polri Yang Gugur Saat Melaksanakan Tugas di Polda Lampung. Skripsi Mahasiswa PTIK, Jakarta.

Kunarto. 2001. Perilaku Organisasi Polri. Jakarta: PT Cipta Manunggal.

Keputusan Kapolri No. Pol: Kep/ 28/III/2003 tentang Tunjangan Jabatan Struktural di Lingkungan Polri

Milkovich, Et Al. 2002. Compesation. USA: Mc Graw Hill.

Moekijat. 1992. Administrasi Gaji Dan Upah. Bandung: CV Mandar Maju.

Poerwadarminta. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakrta: Balai Pustaka.

Peraturan Pemerintahan No.14. Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2001.

Renny R. 2000. Identifikasi Faktor-Faktor Dalam Sistem Imbalan yang Berpengaruh Terhadap Kepuasan Kerja Tenaga Penjual. Tesis. Bandung.

Siagian, S. 1992. Manajemen Sumberdaya Manusia. Jakarta: PT Cipta Manunggal.

Siregar, S.B. Samadhi, TMA, A. 1987. Manajemen ITB. Bandung

Simamora , H. 1997. Manajemen Sumberdaya Manusia. Yogyakarta: Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN.

Tabah, A. 1996. Menatap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.

Tabah A. 1996. Polisi (Budaya Dan Politik). Cetakan Kedua. Klaten: CV Sahabat.

Tabah, A. 2002. Membangun Polri yang Kuat (Belajar dari Macam-Macam Asia). Jakarta: PT Sumbersewu Lestari.

Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Walpole. 1995. Pengantar Statistik, Cetakan Keenam. Jakarta: PT Gramedia.

Page 21: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

17

ANALISIS KINERJA BANK DENGAN DEA

Juliza Hidayati

Staf Pengajar Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik USU

Abstrak: Ukuran produktivitas merupakan suatu indikator dalam menilai kemampuan bersaing dari suatu perusahaan. Besaran ini menunjukkan seberapa jauh perusahaan tersebut dapat memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas (input) untuk mencapai hasil (output). Peningkatan kinerja dari suatu periode ke periode berikutnya merupakan tahapan untuk mencapai tujuan yang diinginkan, sehingga perlu dilakukan pengukuran kinerja. Umumnya, pengukuran kinerja suatu bank dengan menggunakan rasio finansial. Namun belum dapat menunjukkan kondisi operasional bank tersebut. Sehingga diperlukan suatu penemuan metode yang lebih baik. Salah satu teknik yang digunakan yaitu teknik pemrograman matematika, Data Envelopment Analysis (DEA), sebuah model program matematis nonparametrik yang digunakan untuk mengevaluasi produktivitas relatif dari sebuah grup yang terdiri dari unit-unit pembuat keputusan (Decision Making Unit/DMU) di dalam menggunakan input dan output yang beragam dan relatif sama, yang dalam hal ini bentuk fungsi produksinya tidak diketahui atau tidak ditentukan. Kata kunci: Kinerja Bank, model, Data Envelopment Analysis (DEA), produktivitas relatif, operasional. 1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang panjang mengharuskan perusahaan untuk memiliki kemampuan bertahan di segala bidang. Hal ini menuntut perusahaan untuk mampu menilai kemampuan bersaingnya dan melakukan tindakan-tindakan perbaikan yang diperlukan berdasarkan hasil evaluasi. Salah satu indikator utama dalam menilai kemampuan bersaing suatu perusahaan adalah ukuran produktivitas. Ukuran ini nantinya akan menunjukkan seberapa jauh sebuah perusahaan dapat memanfaatkan sumber-sumber terbatas yang dimiliki (input) terhadap hasil (output) yang akan diperoleh. Secara umum, sebelumnya ukuran rasio finansial selalu menjadi titik tolak untuk mengukur kinerja suatu bank. Namun, jika hanya memperhatikan ukuran rasio finansial tentunya hasil yang diperoleh hanya akan menggambarkan posisi keuangan saja serta tidak mampu untuk menunjukkan seberapa besar sumberdaya bank tersebut yang digunakan dalam upaya untuk mendapatkan hasil kerja yang bermanfaat.

1.2. Rumusan Masalah

Dalam dunia perbankan kita mengetahui bahwa begitu cepatnya perubahan dan cukup kuatnya pengaruh lingkungan, sehingga sangat penting untuk mengetahui, menilai, memantau, dan memperbaiki kinerja perusahaan berdasarkan nilai terhadap produktivitasnya. Hal tersebut dapat dicapai dengan mengetahui tingkat produktivitas yang dihasilkan oleh bank tersebut relatif terhadap tingkat produktivitas bank lainnya dalam melakukan kegiatannya pada bidang pelayanan jasa perbankan.

Berdasarkan laporan keuangan yang digunakan untuk menilai kinerja suatu bank, maka hal tersebut tentunya belum menunjukkan sejauh

mana perusahaan tersebut telah menggunakan sumberdayanya (input) dengan baik untuk memperoleh hasil (output) yang diinginkan. Sehingga diperlukan suatu analisis untuk memperlihatkan kemampuan perusahaan menggunakan sumberdaya tersebut. Untuk itu digunakan Data Envelopment Analysis (DEA). Sehingga akan diperoleh suatu target yang harus dicapai dalam upaya peningkatan kinerja berdasarkan nilai produktivitas tersebut.

Hal ini akan membantu pihak manajemen bank untuk dapat melakukan perbaikan serta menata kembali kondisi operasional agar dapat mencapai produktivitas relatif yang lebih baik dengan merujuk kepada bank lainnya yang menghasilkan kinerja terbaik pada ruang lingkup kegiatan pelayanan jasa yang sama. 1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian untuk memberikan gambaran terhadap nilai produktivitas relatif serta target yang harus dicapai sebagai dasar perbaikan kinerja bank. 1.4. Batasan Masalah

Ruang lingkup permasalahan sebagai berikut: Pengukuran kinerja bertujuan untuk membandingkan berdasarkan produktivitas relatif dan bukan untuk mendapatkan nilai produktivitas yang sebenarnya (absolut).

Identifikasi dilakukan terhadap beberapa variabel input dan output yang menjadi parameter untuk mendapatkan nilai produktivitas relatif.

Variabel-variabel input dan output yang akan dianalisis berhubungan dengan kegiatan pelayanan jasa perbankan.

Pendekatan pemecahan masalah menggunakan

Page 22: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

18

metode DEA dengan model CCR. Penelitian dilakukan berdasarkan data beberapa kantor unit salah satu kantor cabang PT Bank Rakyat Indonesia (persero) pada tahun 2003.

1.5. Asumsi Perubahan perbandingan terhadap input maupun output dalam suatu kantor unit bank tidak mempengaruhi produktivitas yang mungkin dicapai, yaitu CRS (Constant Return to Scale).

Produktivitas relatif yang dimiliki oleh kantor unit pada suatu kantor cabang bank bernilai antara 0 sampai dengan 1.

Masing-masing kantor unit pada suatu kantor cabang bank melakukan kegiatan pelayanan jasa perbankan yang sama.

2. Dasar Teori 2.1. Pengukuran Kinerja

Keberhasilan setiap organisasi bisnis tergantung pada keberhasilan proses bisnis yang diselaraskan dengan tujuan dan strategi organisasi perusahaan secara keseluruhan. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan, perusahaan haruslah meningkatkan kinerja dari periode ke periode berikutnya.

Dalam suatu organisasi, kinerja merupakan kemampuan yang dimiliki dalam menerapkan strategi secara efektif untuk memastikan semua tujuan yang ingin dicapai dapat diwujudkan.

Untuk mengetahui apakah suatu perusahaan sudah menjalankan aktivitasnya dengan benar dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, perlu dilakukan pengukuran kinerja. Pengukuran kinerja merupakan suatu proses evaluasi terhadap kumpulan indikator kinerja yang merupakan informasi yang penting dan berguna bagi perusahaan. Kinerja suatu program dapat dinyatakan dalam persentase, indeks, rating, atau perbandingan lain yang dipantau pada kurun waktu tetap dan dibandingkan terhadap satu atau lebih kriteria.

Pengukuran kinerja dengan pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA) ini merupakan penggunaan program matematis dalam konteks manajemen. Biasanya program matematis digunakan untuk mengevaluasi suatu kumpulan alternatif tindakan yang mungkin untuk mendapatkan yang terbaik. Dengan kata lain, program matematis berfungsi sebagai perencana untuk membantu manajemen. Sehingga dalam hal ini, program matematis digunakan sebagai alat kontrol dan evaluasi dari hasil yang telah dicapai sebelumnya, serta sebagai alat bantu dalam merencanakan aktivitas masa depan.

Dalam proses perhitungan dilakukan perbandingan langsung antara data-data hasil observasi ataupun yang direncanakan, sehingga hasil pengukuran kinerja yang kita dapat nantinya adalah berdasarkan produktivitas relatif sesuai dengan data observasi atau data rencana yang kita masukkan.

Pengukuran kinerja berdasarkan produktivitas

relatif ini digunakan karena lebih praktis. Suatu perusahaan akan lebih tertarik untuk mengetahui produktivitas yang dicapainya jika dibandingkan dengan produktivitas dari perusahaan sejenis dalam kondisi yang sama dan menghasilkan kinerja lebih baik. Namun perlu diingat bahwa hasil dari pengukuran kinerja ini hanya menggambarkan tingkat kinerja dari kantor unit bank yang diamati, bukan menjelaskan bagaimana kantor unit dapat mencapai tingkat kinerja tersebut.

2.2. Produktivitas Relatif

Peningkatan kinerja dalam suatu organisasi atau perusahaan dapat dicapai antara lain dengan ukuran produktivitas. Produktivitas merupakan ukuran yang menunjukkan seberapa jauh sebuah perusahaan dapat memanfaatkan sumber-sumber terbatas yang dimiliki (input) terhadap hasil (output) yang akan diperoleh.

Ada berbagai jenis pengukuran produktivitas yang dikenal yaitu berdasarkan ruang lingkup, dikenal sebagai pengukuran produktivitas antarnegara, nasional, industri, dan perusahaan. Demikian juga dari segi pendekatan , kita mengenal pendekatan indeks, pendekatan fungsi, pendekatan input-output, pendekatan utilitas, pendekatan servo-system, pendekatan rasio keuangan, dan lain-lain. Untuk mengetahui apakah suatu perusahaan sudah menjalankan aktivitasnya dengan benar dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, perlu dilakukan pengukuran terhadap tingkat kinerja.

Istilah produktivitas dalam bidang teknik menunjukkan rasio antara keluaran (output) suatu sistem dan masukan (input) sistem tersebut. Pengukuran-pengukuran dalam bidang teknik dan fisika selalu mengasumsikan bahwa ada suatu situasi ideal yang menyatakan kuantitas output yang dihasilkan persis sama dengan kuantitas input yang diberikan, sehingga rasio antara output dan input sama dengan satu (=1).

Produktivitas dalam situasi yang ideal akan memiliki nilai sebesar 100% (full efficient), sedangkan produktivitas pada keadaan tidak ideal bisa lebih kecil dari 100% (in efficient). Berdasarkan sekumpulan data yang diperoleh, maka dapat dilakukan perbandingan tingkat kinerja antarperusahaan. Pengukuran terhadap kinerja ini dilakukan dengan cara menghitung nilai produktivitas relatif masing-masing kantor unit. Dalam proses penghitungan dilakukan perbandingan langsung antara data-data hasil observasi ataupun yang direncanakan, sehingga hasil yang didapat berdasarkan produktivitas relatif sesuai dengan data observasi atau data rencana yang kita masukkan. Adapun hubungan antarvariabel harus didasarkan pada sifat exclusivity and exhaustiveness yang berarti bahwa hanya variabel input yang dapat mempengaruhi variabel output dan hanya variabel output yang digunakan dalam pengukuran saja yang dipengaruhi.

Page 23: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Analisis Kinerja Bank dengan DEA

19

2.3. Data Envelopment Analysis (DEA)

Salah satu metode yang dikembangkan dalam upaya pengukuran produktivitas perusahaan atau unit kerja tertentu adalah Data Envelopment Analysis (DEA). Metode ini dikembangkan pertama kali oleh Charnes, merupakan metode pengukuran produktivitas dengan pendekatan fungsi produksi secara nonparametrik. Sejak awal diperkenalkan, pendekatan ini telah menjadi metode yang digunakan dalam mengevaluasi produktivitas berbagai unit kerja pada berbagai bidang kerja seperti perbankan, rumah sakit, sektor industri, dan perguruan tinggi.

Metode ini juga menggunakan perbandingan yang menggunakan data-data yang berada dalam batas-batas terluar dari kemungkinan produksi yang merupakan bagian dari selubung (envelopment) dari kemungkinan produksi.

Dalam pengukuran produktivitas dengan pendekatan DEA digunakan perbandingan langsung antara data-data hasil observasi ataupun yang direncanakan sehingga nilai produktivitas yang akan diperoleh adalah relatif sesuai dengan data observasi atau data yang direncanakan.

Berdasarkan konsep pengukuran produktivitas relatif, Farell (1957) memperkenalkan istilah produktivitas relatif-produktivitas suatu organisasi diukur relatif terhadap produktivitas organisasi-organisasi yang sejenis. Alasan utamanya adalah kesulitan dalam menentukan hubungan antarvariabel secara pasti. Sehingga dengan cara ini profil ideal itu tidak ditentukan sendiri oleh organisasi yang bersangkutan tetapi merujuk kepada organisasi-organisasi yang menghasilkan kinerja terbaik (the best practice organisation).

Dalam metode ini produk atau organisasi yang akan diukur produktivitasnya ini disebut sebagai DMU (Decision Making Unit). Metode ini berdasar pada rumus produktivitas yaitu perbandingan antara output dan input yang masing-masing input dan output tersebut memiliki bobot.

Produktivitas dari setiap unit diukur dengan membandingkan input dan output yang digunakan dengan sebuah titik yang terdapat pada garis yang disebut dengan garis frontir efisien (efficient frontier). Garis tersebut akan mengelilingi atau menutupi (envelop) data dari organisasi yang bersangkutan. Garis frontir efisien ini diperoleh dari unit yang full efficient. Beberapa unit yang berbeda pada garis ini dianggap memiliki nilai produktivitas sama dengan satu (=1), sedangkan unit yang berada di bawah garis frontir efisien memiliki nilai produktivitas lebih kecil dari satu (<1) dan merupakan unit yang in efficient.

Berdasarkan konsep program linier, metode ini juga terdiri dari fungsi tujuan dan fungsi pembatas sebagai berikut: a. Fungsi tujuan

Fungsi tujuan merupakan fungsi dari variabel keputusan, yaitu rasio antara output dan input

dari unit yang akan diukur produktivitas relatifnya.

b. Fungsi pembatas Fungsi pembatas merupakan kendala yang dihadapi, yaitu rasio antara output dan input dari semua unit yang ada serta jumlah input dari unit yang akan diukur produktivitas relatifnya.

Beberapa model yang sering digunakan yaitu: 1. Model CCR (Charnes, Cooper, and Rhodes) ,

Model ini digunakan jika berasumsi bahwa perbandingan terhadap input maupun output suatu perusahaan tidak mempengaruhi produktivitas yang mungkin dicapai, yaitu Constant Return to Scala (CRS). Model ini terdiri dari fungsi tujuan yang berupa maksimisasi jumlah output dari unit yang akan diukur produktivitas relatifnya dan selisih dari jumlah output dan input dari semua unit yang akan diukur produktivitas relatifnya.

Formulasi matematis sebagai berikut:

=

== m

iiji

s

rrjr

vx

uyihMaksimisas

10

10

0

toSubject :

sryr ,...,2,1;0 =≥

mrxi ,...,2,1;0 =≥ Untuk menyelesaikan model di atas, maka model tersebut harus diubah ke bentuk linier agar metode tersebut dapat diterapkan. Bentuk linier dari model di atas adalah:

∑=

=s

rrjruyhiMaksimisas

100

toSubject :

njvxuym

iiji

s

rrjr ,...,2,10

11

=≤−∑∑==

0;0 ≥≥ ir xy

Keterangan: jo = unit yang sedang diuji j = unit lainnya yang diperbandingkan n = jumlah unit yang dianalisis m = jumlah masukan yang digunakan s = jumlah keluaran yang dihasilkan vi = jumlah masukan i yang digunakan unit

njvx

uy

m

iiji

s

rrjr

,...,2,11

1

1 =≤∑

=

=

∑=

=m

iijivx

10 1

Page 24: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

20

yang dianalisis ur = jumlah keluaran r yang dihasilkan unit

yang dianalisis yr = bobot dari keluaran r yang dihasilkan

unit yang dianalisis xi = bobot dari masukan yang digunakan unit

yang dianalisis ho = nilai yang dioptimalkan sebagai

indikator produktivitas relatif

2. Model BCC (Banker, Charnes, and Cooper) Model ini digunakan jika kita berasumsi

bahwa perbandingan terhadap input maupun output suatu perusahaan akan mempengaruhi produktivitas yang mungkin dicapai, yaitu VRS (Variable Returns to Scale).

Formulasi model sebagai berikut: 00 wWMinimisasi =

toSubject :

∑=

=≥n

jijji mivvw

100 ,...,2,1,λ

∑=

=≥=n

jjj nj

1

,...,1,0;1 λλ

Berdasarkan rumus di atas, wo adalah suatu nilai yang jika dikalikan dengan input v, maka akan menghasilkan nilai maksimum pengurangan input untuk menghasilkan nilai output yang sama. Sedangkan λj merupakan suatu variabel yang memfokuskan seberapa besar kemungkinan untuk membuat suatu DMU baru (virtual DMU) dari DMU yang sedang dihitung produktivitas relatifnya sebagai kombinasi dari DMU yang lainnya.

Dalam hal ini, selain menetapkan garis frontir efisien metode DEA juga menetapkan suatu target sesuai dengan garis frontir efisien (efficient frontier) untuk setiap DMU yang in efficient serta menetapkan satu atau beberapa unit yang dapat digunakan sebagai acuan untuk unit yang in efficient yang dalam hal ini disebut sebagai peer unit. 2.4. Program LINDO

LINDO merupakan singkatan dari Linear, Interactive, and Discrete Optimizer, yaitu sebuah paket program komputer yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus linear programming. Selama variabel-variabel dalam model goal programming juga memiliki sifat linier maka LINDO juga dapat menyelesaikan kasus-kasus goal programming. Hal ini disebabkan karena model linear programming ternyata memiliki keterbatasan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang memiliki lebih dari satu sasaran yang hendak dicapai. Penggunaan program mudah dibaca dan diikuti serta cara pengoperasian yang sederhana karena memiliki format hasil olahan.

Program LINDO pada dasarnya menghasilkan olahan yang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1. Bagian pertama, berisi informasi mengenai

penyelesaian optimal, yaitu nilai fungsi tujuan, nilai optimal variabel keputusan, nilai variabel slack dan surplus, dan nilai dual price.

2. Bagian kedua, berisi informasi mengenai analisis sensitivitas nilai ruas kanan kendala dan parameter fungsi tujuan.

Untuk menyelesaikan program linier yang ada pada metode DEA, hasil olahan yang digunakan adalah hasil olahan yang terdapat pada bagian pertama.

Adapun uraian terperinci tentang hasil olahan program LINDO untuk bagian pertama adalah sebagai berikut: 1. Nilai Fungsi Tujuan

Nilai ini menunjukkan nilai ekstrim fungsi tujuan berupa nilai maksimum atau minimum.

2. Nilai Optimal Variabel Keputusan Nilai ini pada hasil olahan LINDO berada di bawah kolom value, dan menunjukkan nilai variabel keputusan yang akan memberikan nilai ekstrim terhadap fungsi tujuan.

3. Nilai Variabel Slack atau Surplus yaitu: a. Variabel slack digunakan jika nilai ruas kiri

lebih kecil dari nilai ruas kanan persamaan yang terdapat pada kendala. Kehadiran variabel slack akan membuat seluruh pertidaksamaan kendala berubah menjadi persamaan sehingga nilai ruas kiri pasti akan selalu sama dengan nilai ruas kanannya.

Apabila terjadi perbedaan maka perbedaan tersebut akan ditampung oleh variabel slack. Oleh karena itu variabel slack akan selalu bernilai positif atau 0 (nol).

b. Variabel surplus digunakan jika nilai ruas kiri lebih besar dari nilai ruas kanan persamaan yang terdapat pada kendala. Sama seperti variabel slack, variabel surplus juga akan menyebabkan seluruh pertidaksamaan kendala berubah menjadi persamaan sehingga nilai ruas kiri sama dengan nilai ruas kanannya. Variabel surplus akan selalu bernilai negatif atau 0 (nol).

Untuk nilai variabel slack atau surplus pada hasil olahan LINDO akan berada di bawah kolom slack or surplus.

4. Nilai Dual Price Dual price akan memperlihatkan seberapa besar kemungkinan untuk membuat suatu DMU baru (virtual DMU) dari DMU yang sedang dihitung produktivitas relatifnya sebagai kombinasi dari DMU lainnya. Dan untuk nilai dual price pada hasil olahan LINDO berada di bawah kolom dual prices.

Berdasarkan penggunaan metode DEA, perumusan secara terpisah untuk tiap DMU dengan perhitungan secara manual sulit dilakukan apalagi untuk masalah yang berskala besar. Sehingga hal tersebut dapat ditentukan melalui hasil olahan dengan program LINDO.

Untuk mengetahui peer unit dari unit (DMU) yang in efficient maka dapat dilihat dari nilai variabel slack atau surplus dari masing-masing fungsi pembatas (unit lainnya). Sesuai dengan ketentuan di atas, apabila suatu fungsi pembatas memiliki variabel

Page 25: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Analisis Kinerja Bank dengan DEA

21

slack atau surplus sebesar 0,0000 maka unit tersebut merupakan peer unit dari DMU. Namun jika target untuk unit yang in efficient dapat dihasilkan dari jumlah dari hasil kali harga dual (dual prices) dengan nilai input dan output masing-masing peer group/peer unit untuk DMU yang in efficient.

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat diperoleh suatu hasil olahan yang akurat dengan penggunaan program komputer berdasarkan data-data output dan input yang diperoleh.

3. Metodologi Penelitian 3.1. Identifikasi Masalah dan Penetapan Tujuan Masalah yang akan dibahas adalah pengukuran kinerja berdasarkan produktivitas relatif antarkantor unit bank pada suatu kantor cabang dalam upaya mengetahui sejauh mana perusahaan telah memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki (input) serta hasil (output) yang dihasilkannya. Setelah adanya identifikasi terhadap masalah yang akan diteliti, diperlukan penetapan tujuannya agar dapat diperoleh gambaran produktivitas relatif antarkantor unit pada suatu kantor cabang bank untuk perbaikan kinerja bank tersebut. 3.2. Studi Pustaka dan Studi Orientasi

Melakukan studi kepustakaan tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan dan metode-metode yang mendukung penyelesaian masalah. Serta dengan studi orientasi ini juga sebagai pemahaman tentang kegiatan pelayanan jasa dalam bidang perbankan dan hal-hal lain yang terkait dengan pengukuran kinerja berdasarkan produktivitas relatif. 3.3. Identifikasi Data yang Digunakan Data yang digunakan terdiri dari data primer dan

data sekunder, antara lain mengenai kegiatan bank tersebut dalam melakukan kegiatan pelayanan jasa dan bagaimana perusahaan mengetahui tingkat kinerja dari masing-masing kantor unit pada suatu kantor cabang bank. Selain itu juga digunakan data input maupun data output. 3.4. Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh akan diolah serta dianalisis berdasarkan metode Data Envelopment Analysis (DEA) dengan menggunakan software LINDO (Linear, Interactive and Discrete Optimizer) sehingga diperoleh target yang harus dicapai sebagai upaya peningkatan produktivitas terhadap kinerja. 4. Pengumpulan dan Pengolahan Data a. Data Input

Data input merupakan sumberdaya yang digunakan oleh masing-masing kantor unit pada suatu kantor cabang bank untuk melakukan kegiatannya dalam pelayanan jasa perbankan. Data input ini terdiri dari: Jumlah pegawai Jumlah simpanan (deposits) dalam Rp juta Jumlah biaya (expenses) dalam Rp juta

b. Data Output Data output merupakan hasil yang diperoleh dari

masing-masing kantor unit bank dengan menggunakan input yang mereka miliki. Data output ini terdiri dari: Jumlah nasabah Jumlah kredit yang diberikan (loans) dalam Rp juta

Jumlah pendapatan (income) dalam Rp juta

Tabel 1. Jumlah Input dan Output Pada Masing-Masing Kantor Unit di Salah Satu Cabang PT Bank Rakyat Indonesia (persero) Selama Tahun 2003

Data Input Data Output Kantor

Unit (DMU)

Jumlah Pegawai

Jumlah Simpanan (Deposits) (Rp Juta)

Jumlah Biaya (Expenses) (Rp Juta)

Jumlah

Nasabah

Jumlah Kredit yang Diberikan

(Loans) (Rp Juta)

Jumlah Pendapatan

(Income) (Rp Juta)

DMU 1 7 13.218,4 3.111,4 13.879 9.982,5 3.861,2 DMU 2 6 27.329,3 2.129,5 21.108 6.355,8 2.670,1 DMU 3 5 8.075,2 1.130,1 11.434 5.701,6 1.255,7 DMU 4 6 7.865,7 1.006,2 9.742 4.776,4 1.141,3 DMU 5 7 21.632,8 3.346,5 16.694 8.175,6 3.608,6 DMU 6 5 12.148,5 1.363,3 12.242 5.311,5 1.568,3 DMU 7 7 14.507,0 928,4 15.120 4.524,3 1.073,2 DMU 8 8 27.147,4 1.871,9 21.730 5.369,1 2.096,1 DMU 9 6 23.648,5 1.658,6 24.708 5.270,0 1.849,1 DMU 10 7 19.477,7 2.726,2 18.363 10.597,8 3.926,4 DMU 11 8 29.277,4 2.863,4 19.568 7.203,1 3.623,0 DMU 12 6 9.579,6 926,5 11.332 5.814,6 1.172,5 DMU 13 5 11.520,6 813,1 10.527 4.237,9 963,8 DMU 14 7 20.921,6 826,7 19.661 3.059,3 941,2 DMU 15 8 26.673,3 3.239,3 26.522 9.738,5 4.283,7 DMU 16 7 23.690,5 894,3 23.113 4.988,1 1.092,6 DMU 17 6 28.603,8 2.779,2 21.915 6.374,1 2.921,1 DMU 18 5 17.409,6 1.569,4 20.742 6.608.2 1.916,4

Page 26: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

22

Pada penelitian ini, salah satu kantor cabang PT Bank Rakyat Indonesia (persero) ini memiliki 18 buah kantor unit dan tiap kantor unit dinyatakan dalam DMU (Decision making Unit). Dan berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh nilai produktivitas relatif tiap DMU tersebut.

Tabel 2. Nilai Produktivitas Relatif Tiap DMU

DMU Nilai Produktivitas Relatif

1 1,0000 2 1,0000 3 1,0000 4 0,9562 5 0,9190 6 0,8868 7 0,8769 8 0,8177 9 1,0000 10 1,0000 11 1,0000 12 1,0000 13 0,9191 14 0,9557 15 1,0000 16 1,0000 17 1,0000 18 1,0000

5. Analisis dan Evaluasi

Merupakan salah satu kelebihan dari metode Data Envelopment Analysis (DEA) adalah ditetapkannya suatu peer group/peer unit untuk masing-masing kantor unit yang relatif in efficient. Seperti yang telah diketahui bahwa metode DEA menerapkan program linier untuk memudahkan penyelesaiannya. Dengan demikian untuk menentukan peer unit atau peer group tersebut, maka kita juga dapat menggunakan program linier tersebut.

Untuk menyelesaikan program linier dari masing-masing DMU, proses penyelesaiannya akan berusaha untuk menghasilkan nilai fungsi objektif yang terbaik (bobot yang dihasilkan adalah bobot yang akan mengoptimalkan fungsi objektif) untuk DMU yang akan diukur berdasarkan nilai produktivitas relatifnya. Proses penyelesaian ini akan berhenti jika nilai produktivitas dari fungsi objektif atau nilai produktivitas dari satu atau beberapa DMU lainnya adalah 1 (satu). Sehingga untuk setiap unit yang relatif in efficient setidaknya ada satu unit yang akan full efficient dengan menggunakan bobot dari DMU tersebut. Unit yang full efficient tersebut akan dikatakan sebagai peer unit atau peer group.

Tabel 3. Peer Group DMU

DMU Peer Group 4 DMU 3, DMU 10, DMU 12 5 DMU 10 6 DMU 3, DMU 10, DMU 12, DMU 18 7 DMU 10, DMU 12 8 DMU 10, DMU 16 13 DMU 10, DMU 12, DMU 16 14 DMU 3, DMU 16

Untuk mengetahui peer unit/peer group dari

masing-masing DMU atau kantor unit yang relatif in efficient maka dapat dilihat dari nilai variabel slack atau surplus dari masing-masing fungsi pembatas, yang dalam hal ini nilai dari variabel slack atau surplus dari peer unit adalah 0,0000. Dikatakan demikian sebab dengan nilai variabel slack atau surplus yang sama dengan 0,0000 maka DMU tersebut telah mampu menghasilkan output sebesar nilai input yang digunakannya.

Berdasarkan analisis kinerja kantor unit tersebut dengan menggunakan metode DEA, maka diperoleh beberapa DMU yang full efficient (nilai produktivitas relatif=1) sebanyak 11 (sebelas) DMU. Sedangkan beberapa DMU yang in efficient (nilai produktivitas relatif < 1) sebanyak 7 (tujuh) DMU.

Untuk memperbaiki kinerjanya dalam upaya peningkatan produktivitasnya, dalam hal ini kantor unit bank, maka metode Data Envelopment Analysis (DEA) memberikan suatu target yang harus dicapai oleh kantor unit sehingga dapat memiliki produktivitas yang lebih baik. Target yang akan ditetapkan itu diperoleh dari kinerja peer group/peer unit untuk masing-masing kantor unit bank.

Adapun target yang dimaksud dapat berupa penambahan jumlah output yang dihasilkan atau penurunan pada jumlah input yang digunakan saja, atau kedua-duanya. Jumlah target yang ditetapkan bagi DMU atau kantor unit diperoleh dari perhitungan antara actual output atau actual input dengan virtual output atau virtual input.

Yang dimaksud dengan actual output dan actual input adalah output dan input kantor unit saat ini. Sedangkan virtual output dan virtual input adalah output dan input yang diharapkan dapat dicapai oleh kantor unit untuk meningkatkan produktivitasnya. Virtual output dan virtual input merupakan jumlah dari hasil kali harga dual (dual prices) dengan nilai output dan input masing-masing peer group/peer unit untuk DMU yang relatif in efficient.

Target input adalah actual input dikurangi virtual input dan target output adalah virtual output dikurangi actual output.

Page 27: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Analisis Kinerja Bank dengan DEA

23

Tabel 4. Target Produktivitas Tiap DMU Target Produktivitas

DMU Input Output 1 Pengurangan jumlah pegawai

Pengurangan jumlah biaya (expenses) Pengurangan jumlah simpanan (deposits

Peningkatan jumlah kredit yang diberikan (loans)

2 Pengurangan jumlah pegawai Pengurangan jumlah biaya (expenses) Pengurangan jumlah simpanan (deposits)

Peningkatan jumlah nasabah Peningkatan jumlah kredit yang diberikan (loans)

3 Pengurangan jumlah pegawai Pengurangan jumlah biaya (expenses) Pengurangan jumlah simpanan (deposits)

------------

4 Pengurangan jumlah pegawai Pengurangan jumlah biaya (expenses) Pengurangan jumlah simpanan (deposits)

Peningkatan jumlah nasabah

5 Pengurangan jumlah pegawai Pengurangan jumlah biaya (expenses) Pengurangan jumlah simpanan (deposits)

Peningkatan jumlah nasabah Peningkatan jumlah kredit yang diberikan (loans)

6 Pengurangan jumlah pegawai Pengurangan jumlah biaya (expenses) Pengurangan jumlah simpanan (deposits)

------------

7 Pengurangan jumlah pegawai

Pengurangan jumlah biaya (expenses) Pengurangan jumlah simpanan (deposits)

Peningkatan jumlah kredit yang diberikan (loans) Peningkatan jumlah pendapatan (income)

6. Kesimpulan dan Saran 6.1. Kesimpulan Penelitian ini memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut: Metode DEA dapat digunakan untuk berbagai pengukuran produktivitas relatif suatu DMU, yang memiliki karakter operasional (input dan output) yang relatif sama, termasuk di dalamnya untuk membandingkan produktivitas relatif seluruh kantor unit suatu kantor cabang bank.

Metode DEA dapat memberikan gambaran berdasarkan nilai produktivitas relatif suatu kantor unit bank dibandingkan dengan kantor unit lainnya atau keseluruhan unit bank sehingga pihak manajemen dapat menata kembali kondisi operasional bank agar dapat mencapai kinerja yang lebih baik lagi.

Dapat memberikan gambaran target-target untuk perbaikan sehingga pihak manajemen dapat menghemat tenaga dan waktu dengan hanya memantau kantor unit bank yang in efficient saja.

6.2. Saran Kantor cabang PT Bank Rakyat Indonesia (persero) sebaiknya menggunakan ukuran produktivitas relatif untuk menilai kinerja dari masing-masing kantor unit bank yang dimilikinya sebab dengan nilai produktivitas relatif dapat diketahui perbandingan kinerja setiap kantor unit relatif terhadap kantor unit bank lainnya.

Dalam menetapkan target yang full efficient untuk kantor unit bank, kantor cabang PT Bank Rakyat Indonesia (persero) sebaiknya tidak langsung menggunakan hasil analisis yang telah dilakukan, tetapi sebaiknya dilakukan evaluasi terlebih dahulu untuk melihat apakah hasil tersebut dapat diterapkan pada kantor unit yang bersangkutan sesuai dengan kondisi yang ada di kantor unit

tersebut. Daftar Pustaka Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu

Pendekatan Praktek, Edisi Revisi V. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Bowlin, W F. Measuring Performance: An Introduction to Data Envelopment Analysis (DEA). University of Northern Iowa, Cedar Falls, Ia. 50614-0127.

Fethi, Meryem D., Jackson Peter M., Jones, and Weymann, Thomas G. An Empirical Study of Stocastic DEA and Financial Perfomance: The Case of the Turkish Commercial Banking Industry. United Kingdom: Management Centre, University of Leicester.

Nugroho, Purwantoro R. Penerapan Data Envelopment Analysis (DEA) Dalam Kasus Pemilihan Produk Inkjet Personal Printer. Dalam Manajemen Usahawan Indonesia No. 10/TH.XXXII edisi Oktober/2003. Jakarta: LPMFE-UI.

Siswanto. 1993. Goal Programming Dengan Menggunakan LINDO. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Sumanth, D.J. 1984. Productivity Engineering and Management. USA: McGraw-Hill.

Temenggung, D.Y.A. 2001. Pengukuran Performansi Operasi Industri Kecil Manufaktur Dengan Metoda Data Envelopment Analysis (DEA). Dalam Proceedings Seminar Sistem Produksi V, Institut Teknologi Bandung.

Page 28: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

24

PELUMASAN DAN DAYA GESEKAN PADA BANTALAN LUNCUR

Adil Surbakti Staf Pengajar Jurusan Teknik Industri FT USU

Abstrak: Bantalan luncur digunakan untuk menumpu proses yang berputar. Untuk mengurangi gesekan di antara bagian yang berputar digunakan minyak pelumas dan ini mengurangi keausan, panas, dan kerugian daya gesekan. Sungguh pun lapisan minyak akan mengurangi gesekan persentuhan antara metal ke metal tetapi gesekan pada lapisan minyak harus diperhitungkan di antara alat bagian yang berputar. Koefisien gesekan antara etal dengan metal jauh lebih besar dibandingan dengan gesekan antara lapisan minyak. Faktor lain yang mempengaruhi gesekan adalah ukuran bantalan luncur, putaran, beban, dan temperatur operasi. Karena itu kerugian daya gesekan bantalan luncur dipengaruhi oleh banyak faktor yang harus dimasukkan ke dalam perhitungan.

Kata kunci: Viskositas, gesekan, dan daya gesekan. Abstract: Journal bearing is used to support rotary shaft. To reduce friction between rotary parts is to use lubricant and this also diminish wear, heat and power lost of friction. Although a layer of oil will eliminates the excessive friction of metal to metal contact, the friction with in the oil film must be taken into account between rotary part. Other factors affect friction are size of journal bearing, speed of rotation, load, and temperature of operations. Thus, power lost of friction in journal bearing are effected by many factors must be taken into account.

Key words: Viscosity, friction, and power of friction. I. PENDAHULUAN

Bantalan gunanya untuk menumpu proses yang berputar. Pada bantalan luncur proses meluncur dalam bidang tumpuannya. Bila dua buah bidang logam yang kering diletakkan satu di atas yang lain maka bagian-bagian yang tidak rata pada bagian yang satu akan bersentuhan dengan bagian yang tidak rata pada bagian yang lain. Bila bidang ini digesekkan satu terhadap yang lain maka banyak di antara bagian-bagian yang tidak rata ini putus dan keadaan ini dinamakan pengausan. Makin besar bidang-bidang ini makin besar pula pengausannya dan makin besar pula gaya yang dibutuhkan untuk menggerakan bidang yang satu terhadap yang lainnya.

Tahanan untuk menggerakan bidang-bidang ini dikerjakan makin berkurang pula tahanan gesekannya. Sesungguhnya penyelesaiannya rapi sekali, bagian-bagian yang tidak rata itu masih ada walaupun kecil. Jadi bila proses dibiarkan berputar kering dalam tumpuannya maka pengausan yang terjadi biasanya terlalu tinggi dan untuk mengatasinya digunakan bahan pelumas di antara bidang yang bergesekan. Bahan pelumas ini untuk mencegah atau mengurangi persentuhan permukaan yang menyebabkan berkurangnya keausan dan koefisien gesekan. Bahan pelumas yang biasa adalah minyak dan gemuk dan dapat dibedakan dalam viskositasnya.

II. TUJUAN Memperkirakan kerugian daya gesekan dan

faktor-faktor yang berpengaruh pada bantalan luncur.

III. TINJAUAN PUSTAKA

1. Viskositas Pelat di atas lapisan ketebalan h dan

digerakkan dengan kecepatan U dibawah pengaruh gaya F. Minyak melekat secara kuat pada pelat dan gesekan disertai dengan luncuran atau kuat pada pelat dan gerakan disertai dengan luncuran atau gesekan antara partikel minyak melalui keseluruhan tinggi lapisan minyak. Karena itu apabila pelat dan lapisan persentuhan minyak bergerak dengan kecepatan U, kecepatan pada pertengahan tinggi secara langsung dengan jarak dari pelat tetap atau pelat bawah.

Berdasarkan Newton, tegangan geser pada lapisan minyak minyak bervariasi secara langsung terhadap kecepatan U dan berbanding terbalik dengan tebal lapisan minyak h.

Maka: hU

AF μτ == …………………… 1)

Faktor kesebandingan μ disebut viskositas. Viskositas adalah ukuran dari kemampuan minyak pelumas untuk menahan tegangan geseran. Ini adalah peristiwa molekuler dan usaha yang dilakukan gaya

Page 29: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Pelumasan dan Daya Gesekan pada Bantalan Luncur

25

F dirubah menjadi panas yang menaikkan temperatur minyak pelumas dari peralatan sekitar.

Satuan dari μ = sec)/()2(ln)()1(

inUAinhbF

= in2

ilSec AU

Fh……2)

Secara angka, viskositas minyak pelumas adalah suatu angka yang kecil. 2. Daya Gesekan Pada Bantalan

Persamaan 1) untuk pelat datar dapat diangkat terhadap bentuk silinder ataupun bantalan luncur, dilengkapi dengan kecepatan dan viskositas tinggi serta beban ringan, sehingga poros berada pada posisi sepusat dengan bantalan. Apaila 2r atau d adalah diameter poros dan 1 adalah panjang bantalan dalam arah aksial maka luas A = 2 π.r.1.

Ketebalan h menjadi kelonggaran c atau perbedaan antara radius bantalan dan radius poros. Dengan menggantikan harga A dan h ke dalam persamaan 1) menghasilkan:

)3................../1.....2cU.r.1.2

..

crUf

hUAF

hU

AF

μπ

πμ

μ

μ

=

=

=

=

Apabila F1 ditentukan sebagai gaya gesekan

tangensial persatuan panjang, maka: F = F1. 1

Dengan menggantikan F dalam persamaan 3) diperoleh,

F1.1= 2π. U r. 1/c F1 = 2 π.μ.U.r/c…………………….4) Kecepatan tangensial poros U adalah:

60.. ndU μ= …………………………5)

di mana: n = putaran per menit d = diameter poros

Gaya gesek tangensial untuk bantalan, F = F1.1. Apabila gaya ini bergerak pada kecepatan U in/sec, selama satu detik, maka usaha yang telah dilakukan adalah F1,1,U (ln.in) atau F.U (ln:in) Satu daya kuda (HP) ditetapkan 33000 ft/l/min atau 33000 x 12/60 in/l/sec. Daya gesekan untuk bantalan luncur adalah Ng.

1233000..1.60

1233000..60

XUIF

xUFNg ==

)6..................).........( 6600

.1.1 HPUF=

Apabila persamaan 4) dan persamaan 5) disubstitusikan ke dalam persamaan 6) maka diperoleh,

)(766296

1.2.3 HPxc

ndNg μ=

di mana: Ng = daya gesekan (HP) μ = viskositas pelumas, lb.sec/in2 d = diameter poros, inci n = putaran permenit (rpm) l = panjang bantalan, inch c = kelonggaran radial, inch 3. Koefisin Gesekan Bantalan Luncur f

Koefisien gesekan bantalan luncur, f ditetapkan sebagai perbandingan gaya tangensial F terhadap gaya normal W. Maka:

)8.............................WFf =

di mana, F = gaya tangensial (l) W = gaya normal (lb) Tekanan bantalan = P

)9..............................ld

wP =

Di mana: P = tekanan bantalan, lb/in2 W = gaya normal, lb D = diameter poros, in L = panjang bantalna, in

Dengan mensubstitusikan pers 3), pers 5) dan pers 9) ke dalam persamaan 8), maka diperoleh koefisien gesekan:

)10.....................

)(22cP

rnF μπ=

di mana: μ = viskositas pelumas, lb.sec/in2 r = radius poros, inci c = kelonggaran radial, inci p = tekanan lb/in2

Dengan gesekan Ng untuk bantalan diperoleh dengan mensubstitusikan pers 4) dan pers 8) ke pers 6) dan diperoleh,

)11.......).........(126051

... HPndWfNg =

di mana: F = koefisien gesekan W = beban normal, lb D = diameter poros, inci N = putaran, rp

Page 30: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

26

IV. PEMBAHASAN Tentukan pengaruh bahan pelumas dan

temperatur terhadap daya gesekan untuk bantalan luncur beban ringan dengan diameter poros 4 inci dan panjang bantalan 6 inci. Kelonggaran radial 0,002 inci dan kecepatan putaran 1000 rpm. Pelumas yang digunakan SAE 10, SAE 20, dan SAE 30 pada temperatur operasi berturut-turut 170:175:180:185: dan 1900F.

Perubahan temperatur operasi menyebabkan perubahan viskositas bahan pelumas bantalan luncur. Perubahan viskositas untuk masing-masing pelumas karna perubahan temperatur operasi diperoleh sebagai berikut:

1 Untuk SAE 10: Temperatur (0F) Viskositas (lb.sec/in2)

170 175 180 185 190

11x10-7

10,5 x10-7

9,7 x10-7

9,0 x10-7

8,4 x10-7

2. Untuk SAE 20:

Temperatur (0F) Viskositas (lb.sec/in2) 170 175 180 185 190

18,6 x10-7

17 x10-7

15,6 x10-7

14,5 x10-7

13,5 x10-7

3. Untuk SAE 10: Temperatur (0F) Viskositas (lb.sec/in2)

170 175 180 185 190

18,6 x10-7

24,2 x10-7

22 x10-7

20,2 x10-7

18,4 x10-7 Untuk bantalan luncuran yang ditentukan, ditetapkan data sebagai berikut: Diameter d= 4 inci Panjang bantalan l=6 inci Kelonggaran radial c=0,002 inci Putaran n=900 rpm

Apabila data bantalan di atas dimasukkan ke pers 7), daya gesek Ng,

)(766296

.2.3 HPxclndNg μ=

diperoleh:

Ng = μ x 202,950296 x 103 HP Daya gesek Ng untuk masing-masing bahan

pelumas pada temperatur operasi tertentu diperoleh dengan memasukkan besaran viskositas bahan pelumas ke dalam persamaan di atas dan hasilnya diperoleh sebagai berikut:

1. Untuk bahan pelumas SAE 10: Temperatur (0F) Daya gesek Ng (HP)

170 175 180 185 190

0,223 0,209 0,197 0,183 0,171

2. Untuk bahan pelumas SAE 20:

Temperatur (0F) Daya gesek Ng (HP) 170 175 180 185 190

0,379 0,345 0,317 0,294 0,274

3. Untuk bahan pelumas SAE 10:

Temperatur (0F) Daya gesek Ng (HP) 170 175 180 185 190

0,536 0,491 0,447 0,410 0,373

Dari uraian dan perhitungan di atas ternyata untuk bantalan luncur tertentu daya gerak yang timbul dipengaruhi oleh viskositas bahan pelumas, maka makin tinggi gaya gesekan yang terjadi. Hal ini dapat dilihat dari minyak pelumas SAE menghasilkan daya gesekan yang lebih besar dari yang dihasilkan SAE 20 dan SAE 10 pada temperatur operasi yang sama.

Temperatur operasi bantalan luncur dipengaruhi viskositas minyak pelumas. Apabila temperatur operasi makin tinggi maka viskositas makin kecil dan daya gesekan Ng pada temperatur 1700F hingga temperatur 1900F untuk masing-masing minyak pelumas SAE 10, SAE 20, dan SAE 30 yang diuraikan di atas. Dari pers 7) untuk daya gesek,

)(766296

1.2.3 HPxc

ndNg μ=

Ternyata apabila viskositas, diameter poros,

kecepatan putaran, dan panjang bantalan makin besar maka daya gesekan makin besar. Apabila kelonggaran radial (c) mendekati atau sangat besar. Hal ini terjadi apabila tidak terjadi lapisan (film) minyak atau terjadi gesekan antara metal dengan metal dari pers 11) untuk daya gesekan Ng, yaitu:

)(126051

21.3. HPxc

ndfNg =

Dapat dilihat bahwa daya gesekan

sebanding dengan koefisien gesekan bantalan luncur 9f), beban normal bantalan (W), diameter poros (d) dan kecepatan putaran (n).

Daya gesekan bantalan luncuran tertentu bertambah besar apabila beban W dan kecepatan putaran n bertambah besar.

Page 31: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Pelumasan dan Daya Gesekan pada Bantalan Luncur

27

V. KESIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa

kerugian daya gesekan Ng pada bantalan luncur dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Ukuran bantalan luncur meliputi diameter poros

(d) dan panjang bantalan (1) 2. Kelonggaran radial bantalan © 3. Viskositas bahan pelumas (μ) 4. Kecepatan putaran poros (n) 5. Temperatur operasi bantalan 6. Beban normal bantalan (W) 7. Koefisien gesekan bantalan luncur (f) DAFTAR PUSTAKA Allen S. Hall. 1961. Teory and Problem of Machine

Design. New York: Schaum Publishing Co. M. F. 1981. Spots Design of Machine Elemen., New

Delhi. Victor L. Streeter. 1971. Fluid Mechanics. Tokyo:

Mc. Graw Hill, Kogakusha, Ltd.

Page 32: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

28

Desain Repeater Saluran Telepon Kapasitas Satu Saluran

Suherman dan Hasdari Helmi Staf Pengajar Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik USU

Abstrak: Pada jaringan telepon, sering terdapat parameter ideal yang tidak terpenuhi, sehingga menyebabkan beberapa kekurangan pada kualitas suara telepon. Efek gangguan yang menyebabkan turunnya kualitas suara telepon diantaranya adalah suara yang lemah. Suara lemah disebabkan redaman pada jaringan yang terlalu besar, terutama karena panjang jaringan kabel yang melebihi standar yang diperbolehkan. Efek suara lemah ini pada umumnya tidak dapat di atasi, kecuali dengan mengganti kabel telepon dengan diameter inti yang lebih besar. Tentunya hal ini akan sangat mahal. Solusinya adalah dengan memakai repeater untuk saluran telepon. Tulisan ini akan memaparkan desain repeater saluran telepon kapasitas 1 saluran. Kata kunci: Repeater, telepon, rangkaian. Abstract: There are several factors affect the voice quality in telephone network. They make the voice degradation under acceptable level. One of them is the voice signal has too much losses. It makes telephone conversation is uncomforted. It becomes worst when the cable is longer. The voice signal cannot be improved but replacing the cable with the larger diameter. Off course it pays more money and too expensive. Than, a repeater is a cheaper way to resolve the problem. This paper explain how to develop a telephone repeater for single line. 1. Pendahuluan

Telepon secara konvensional adalah untuk alat komunikasi suara, namun demikian telah banyak telepon yang difungsikan untuk komunikasi data. Pada dasarnya pesawat telepon terdiri dari alat pengirim suara (mikropon) dan alat penerima suara (speaker). Pesawat ini dihubungkan dengan sentral telepon menggunakan sepasang kabel tembaga yang dikenal sebagai saluran dua kawat. Untuk mengaktifkannya, pesawat telepon dicatu tegangan oleh sentral telepon. Tegangan telepon dicatu dari sentral sebesar 48V. Tegangan ini dipilih agar cukup untuk mencatu pesawat telepon sampai beberapa kilometer, sehingga rugi-rugi tegangan pada saluran dua kawat tidak mempengaruhi kerja pesawat telepon. Tegangan 48V mudah dihasilkan dari baterai (4x12V) yang digunakan sebagai catu daya back up di sentral.

Di beberapa tempat tegangan yang digunakan bervariasi dalam range 36V sampai 60V. Sedangkan pada perangkat PABX ada yang menggunakan tegangan 24 volt. Dari sentral telepon, tegangan melalui 2000 sampai 4000 ohm (tidak termasuk tahanan pesawat telepon). Tahanan minimal pesawat telepon pada kondisi on hook (tidak aktif) adalah 30.000 ohm, sedangkan pada kondisi off hook (aktif) maksimal 600 Ohm. Sedangkan arus yang mengalir pada saat off hook berkisar 20-50 mA. Sinyal suara dari pesawat telepon dibatasi antara frekuensi 400 Hz sampai 3400 Hz. Pembatasan frekuensi rendah disebabkan adanya penggunaan komponen transformator dan kapasitor dalam rangkaian, juga menghindari harmonisa frekuensi tegangan listrik 60 Hz. Sedangkan pembatasan

frekuensi tingginya atas pertimbangan noise serta bandwidth pada sisi transmisinya.

2. Peredaman Sinyal Telepon Peredaman sinyal telepon terjadi

dipengaruhi oleh impedansi saluran telepon. Efek karakteristik saluran transmisi berupa faktor induktansi dan kapasitansi yang tersebar (lumped) di sepanjang saluran, tidak begitu berpengaruh untuk frekuensi audio. Namun resistansi bahan kabel akan menyebabkan rugi-rugi tegangan. Rugi-rugi ini akan bertambah dengan semakin bertambahnya panjang kabel, sehingga sinyal 48V yang dicatu sentral akan mengalami peredaman. Beberapa pesawat telepon standar memiliki sensitivitas tinggi, sehingga penurunan level tegangan saluran telepon tidak menyebabkan masalah yang berarti. Namun kebanyakan pesawat telepon juga memberikan redaman yang signifikan, sehingga kebanyakan pesawat telepon akan tidak berfungsi dengan baik jika redaman saluran terlalu besar.

Solusi utama mengurangi redaman kabel adalah dengan menggganti kabel transmisi dengan kabel yang berdiameter lebih besar. Ini disebabkan diameter penampang konduktor yang lebih besar menyebabkan tahanan yang lebih kecil. PT Telkom selaku penyedia jasa telepon publik (Public Service Telephone Network), menggunakan diameter inti kabel sebesar 0,8, 0,6, dan 0,4 mm. Penggunaannya disesuaikan dengan spesifikasi transmisi jaringan kabel. Contoh, untuk penggunaan sentral di wilayah Sumatera, PT Telkom menetapkan spesifikasi transmisi tahanan kabel sebesar 1.050 ohm. Hal ini menyebabkan kabel dengan tahanan 100 ohm/km hanya mampu melayani pelanggan 10,5 km.

Page 33: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Desain Repeater Saluran Telepon Kapasitas 1 Saluran

29

Keterbatasan ini menyebabkan operator telekomunikasi harus membagi daerah layanan menjadi daerah Multi Exchange Area (MEA) atau menggunakan perangkat konsentrator untuk melayani daerah dengan jarak lebih dari 10,5 km.

Secara ekonomi tentunya hal ini akan sangat tidak ekonomis. Penambahan sentral membutuhkan investasi lebih kurang sama dengan sentral utama. Penggunaan repeater akan sangat jauh mengurangi biaya yang diperlukan. Sebuah repeater untuk saluran tunggal dapat didesain dengan harga kurang dari Rp100.000,-. Untuk melayani 100 pelanggan hanya dibutuhkan dana tak lebih dari 10 juta rupiah. Harga ini sangat jauh lebih murah dibandingkan harus membangun sebuah sentral atau konsentrator.

Repeater atau penguat diperlukan untuk memperkuat suara pada saluran telepon serta mengulang sinyal-sinyal signaling telepon. Suara diperkuat dalam dua arah, yakni dari telepon ke sentral dan dari sentral ke telepon. Sinyal signaling yang diperkuat antara lain sinyal dering, sinyal ring back tone, serta tegangan catuan.

Repeater dapat direalisasikan dalam jumlah kapasitas besar maupun kapasitas tunggal. Pemilihan komponen penguat disesuaikan dengan kebutuhan penguatan, sedangkan pemilihan frekuensi signaling harus disesuaikan dengan frekuensi standar yang digunakan.

3. Metodologi Untuk memberikan solusi yang tepat untuk

mengatasi masalah redaman, parameter yang digunakan harus bersesuaian dengan parameter utama saluran telepon. Parameter tersebut antara lain tegangan, arus, nada dering, dan ring back tone. Untuk nada suara dan DTMF dilakukan penguatan menggunakan amplifier, sedangkan tegangan, nada dering, dan ring back tone harus dilakukan perulangan dengan rangkaian pembangkit tersendiri.

Desain juga diusahakan menggunakan sumberdaya yang rendah, karena pada implementasinya nanti, rangkaian akan ditempatkan pada tempat dengan sumber listrik yang terbatas, dapat berupa listrik ataupun catuan jala-jala listrik PLN.

Nilai penguatan sinyal harus dapat ditala secara variabel agar dapat disesuaikan dengan level sinyal yang dibutuhkan pelanggan. Penguatan yang berlebihan akan menyebabkan suara overloading pada pesawat telepon pelanggan. Hal ini akan memperparah keadaan yang akan di atasi.

4. Pembahasan dan Hasil Rancangan Gambar 1 menunjukkan blok rangkaian repeater yang direncanakan. Repeater terdiri atas komponen hybrid, amplifier, ring detector, ringing back tone detector, line voltage, ring generator, dan ringing back tone generator, ditambah beberapa rele. Adapun prinsip kerja rangkaian adalah sebagai berikut:

H H

RBT D

RD

RBT G

RGRelay

LV

RG

RGRelay

TELKOM

HDOHRelay

OHRelay

H : Hibrid LV : Line Voltage Amp : Amplifier RG : Ringing Generator RD : Ringing Detector RBT G : Ringing Back Tone Generator RBT D : Ringing Back Tone Detector HD : Hook Detector

Gambar 1. Blok Rangkaian

Saat Menerima Panggilan

Saat menerima panggilan, nada dering yang dikirimkan sentral ke telepon, dideteksi oleh ringing detector RD, menyebabkan line telepon di-switch ke ring generator RG, sehingga telepon berdering. Saat

telepon diangkat, hook detector HD aktif dan saluran telepon terhubung ke hibrid H, yang memiliki impedansi rendah. Hal ini menyebabkan sentral mendeteksi bahwa telepon telah diangkat dan sinyal dering kemudian dihentikan. Telepon terhubung

Page 34: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

30

dengan pemanggil. Suara pemanggil akan memasuki hibrid dan diperkuat oleh amplifier penerima Amp Rx. Suara diteruskan ke rangkaian hibrid menuju telepon. Suara dari telepon dikirimkan melalui hibrid dan diperkuat oleh amplifier pengirim Amp Tx. Suara kemudian diteruskan melalui hibrid menuju sentral telepon. Saat pembicaraa berakhir, hook detector kembali mati dan menyebabkan saluran telepon terputus dari hibrid. Saat Melakukan Panggilan Pada saat memanggil, telepon diangkat menyebabkan hook detector aktif dan menghubungkan saluran telepon ke hibrid. Suara tone pada telepon diterima dari catuan 48 volt line voltage LV. Nomor yang di-dial akan diteruskan melalui hibrid dan amplifier pengirim ke sentral. Saat menerima ringing back tone, ringing back tone mendeteksinya dan menyebabkan ringing back tone generator RGT G membangkitkan sinyal ring back tone dan mengirimnya ke telepon, penelepon akan mendengar ringing back tone. Saat telepon yang dipanggil telah diangkat, sentral akan menghentikan ringing back tone, maka kedua telepon terhubung. Jalannya suara persis sama dengan saat menerima panggilan. Proses di atas melibatkan semua rangkaian pada blok rangkaian. Catu daya untuk mensuplai rangkaian tidak ditunjukkan pada blok rangkaian.

Rangkaian Hibrid Rangkaian hibrid adalah rangkaian yang digunakan untuk memisahkan sinyal kirim dan sinyal terima, maupun sebaliknya. Pada telepon, sinyal kirim dan sinyal terima menggunakan kabel yang sama (dua kabel), untuk dapat diperkuat, maka sinyal kirim dan terima harus dipisahkan (masing-masing dua kabel). Rangkaian hibrid sering disebut juga rangkaian konversi 2 wire to 4 wire (2W/4W). Trafo banyak digunakan sebagai pembentuk rangkaian hibrid. Rangkaian hibrid yang baik memiliki sekitar redaman 3,5dB dan memiliki isolasi antara sinyal kirim dan terima sekitar 30dB. Gambar 2. menunjukkan contoh rangkaian hibrid yang sederhana.

Gambar 2. Rangkaian Hibrid

Sinyal kirim dan terima dalam dua kawat di sisi kiri yang berasal dari pesawat telepon dipisahkan dengan menggunakan trafo. Polaritas gulungan yang berbeda menyebabkan sinyal kirim dan terima dapat dipisahkan. Impedansi ZB adalah impedansi balans, yang besarnya sama dengan impedansi input saluran kirim dan terima.

1K2

1K2

1K2

1K2 Ke

Amp

DariAmp

KeSaluran

Gambar 3. Rangkaian hibrid yang digunakan. Saluran telepon memiliki impedansi tipikal 600 Ohm. Sehingga agar diperoleh kondisi di atas, maka impedansi hibrid menggunakan resistansi 600 ohm. Hal ini direalisasikan dengan menggunakan dua buah resistor 1K2 paralel. Impedansi input ke penguat diparalelkan dengan resistansi yang sama, sehingga diperoleh kondisi mendekati nilai impedansi beban 600 ohm. Sedangkan impedansi dari output penguat diharapkan sekitar 600 ohm. Gambar 3. menunjukkan rangkaian hibrid yang digunakan pada repeater.

Rangkaian Amplifier Rangkaian amplifier menggunakan tiga tingkat penguatan. Penguatan tingkat 1 menggunakan penguat OpAmp, tingkat 2 menggunakan penguat BJT Common Emitter yang di-swamp, dan tingkat akhir menggunakan pasangan darlington BJT. Penguat operasional menggunakan OpAmp 741 dengan konfigurasi non-inverting amplifier catu daya tunggal. Tujuannya untuk memperoleh penguatan yang mudah diatur dengan impedansi input yang cukup tinggi, sehingga impedansi input parallel 600 ohm tidak terlalu terpengaruh. Penguatan OpAmp diatur dengan menggunakan resistor variable sehingga pelanggan mudah menyesuaikan penguatan suara. Rangkaiannya ditunjukkan pada gambar 4. Nilai penguatan diperoleh dari rumus non-inverting amplifier:

in

f

RR

Av +=1 (1)

Karena Rin = 10 K dan Rf resistor variable 0-100K, maka penguatan yang diperoleh 1 – 11 kali.

Page 35: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Desain Repeater Saluran Telepon Kapasitas 1 Saluran

31

Rin10 K

Rf100K

12 V

0,1uF

100K

100K

741

Gambar 4. Rangkaian non-inverting amplifier dengan catu daya tunggal.

Gambar 5. merupakan penguat tingkat 2 yang menggunakan transistor BJT dengan bias pembagi tegangan, konfigurasi common emitter yang di-swamping dengan resistor 4K7 dan dikopling langsung ke penguat tingkat 3 pasangan darlington. Dengan pendekatan ideal, diperoleh tegangan basis transistor penguat common emitter swamp berkisar:

VxVb 124710

10+

=

VoltVb 2≈

Vdd 12V

47K

10K

2x47

K

9013

9013

9013

100nF

4K7

4K7

10uF

C

Hibrid

Vdd

1K2

Gambar 5. Rangkaian Penguat BJT

Dan arus Ic diperoleh:

Re

7,0−=≈ VbIeIc (2)

KVoltIc

7,4)7,02( −=

mAIc 27,0=

Resistansi collector Rc adalah hasil paralel 2 resistansi 47K dengan impedansi input pasangan darlington. Tetapi karena impedansi input pasangan darlington terlalu besar (dalam orde MΩ), maka:

darlingtonZinKKRc //47//47= (3) KKRc 47//47=

KRc 5,23= Akibat adanya resistor swamp emitter, maka resistansi emitter adalah:

KKeR 7,4//7,4= KeR 35,2=

Dari teori penguat common emitter dengan resistor swamp, diperoleh penguatan tegangan:

ReRcAv = (4)

35,25,23=Av

kaliAv 10= Penguat tingkat 3 menggunakan penguat darlington dalam konfigurasi common collector. Seperti diketahui, common collector lebih bersifat sebagai penyangga yang memberikan impedansi input tinggi dan penguatan mendekati 1. Karena beban penguat adalah trafo audio yang memberikan impedansi rendah (impedansi hibrid 600 ohm), maka pasangan darlington digunakan sebagai penguat penyangga (buffer amplifier) yang memberikan impedansi beban yang tinggi bagi penguat tingkat 2.

Karena Av1 bernilai 1–11, maka total penguatan audio amplifier adalah dari 10 sampai: 321 AvxAvxAvAv = (5)

kalixx

11011011

==

Dalam decibel: AvLogdBAv .20)( = (6)

dBLog

40110.20

≈=

Penguatan 0 sampai 100 kali identik dengan penguatan 20-40 dB. Jika rangkaian hibrid memiliki redaman minimal 3,5 dB, maka sinyal telepon akan mengalami redaman 7 dB pada rangkaian (rangkaian repeater menggunakan 2 buah hybrid). Maka rangkaian repeater dapat memperkuat sekitar 13-33dB. Penguatan 13-33 dB sangat cukup untuk memperbaiki kualitas suara telepon. Selain sebagai buffer amplifier, pasangan darlington juga memberikan nilai impedansi output berkisar 600 ohm, agar kondisi rangkaian hibrid sesuai. Nilai impedansi output pasangan darlington diperoleh dari:

'.reZout β= (7) di mana:

3

25'QIemVre = (8)

IeQ3 adalah arus yang mengalir pada kaki emitter transistor terakhir dan mengalir ke rangkaian hybrid 600 ohm. IeQ3 diperoleh dari:

Zhibrid

xVbIe Q

Q

7,0223

−= (9)

VbQ2 adalah tegangan pada basis transistor pasangan darlington pertama, diperoleh dari pendekatan:

Page 36: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

32

VoltKmAxVVbQ

65,55,2327,0122

=

−=

Sehingga IeQ3 = 7mA dan re’ = 3,5 Ohm. Dengan nilai β = 166 maka diperoleh impedansi output sebesar:

Ω==

5815,3.166Zout

Impedansi mendekati 600 ohm, keadaan ini cukup baik untuk kondisi rangkaian hybrid yang sesuai.

4.5 Rangkaian Ringing Detector

Rangkaian ringing detector pada gambar 6. digunakan untuk mendeteksi nada dering yang dikirimkan oleh sentral telepon. Pada rangkaian di bawah, kapasitor 1 uF berfungsi untuk mencegah tegangan 48V masuk ke rangkaian. Saat nada dering dikirimkan oleh sentral telepon, tegangan AC akan disearahkan oleh dioda jembatan dan mengalir melalui optocoupler 4N25.

1uF 250V

4N25

4 x 1N4001

10 K

Ke RGRelayDriver

5 V

1 K

KeSaluranTelepon

Gambar 6. Rangkaian Ringing Detector

Pada saat tiada dering, tegangan output 5V, tetapi saat arus mengalir ke optocoupler 4N25, arus akan mengalir dan tegangan output akan jatuh mendekati 0 volt.

4.6 Rangkaian Ringing Generator

Sinyal dering diperoleh langsung dari output transformator catu daya dengan tegangan AC 55 V. Tegangan ini cukup tinggi untuk membunyikan ringer pada telepon. Arus dibatasi dengan men-serikan 3 resistor 470 ohm. Kemudian dihubungkan kedua kaki rele ring generator (RG Relay).

Pada rele ini terhubung juga input dari RG relay (ring detector), saluran ke telepon, saluran ke rangkaian hibrid, tegangan dari line voltage dan rangkaian hook detector.

Pada kondisi normal, telepon tidak dipakai atau sedang bicara, saluran telepon dihubungkan ke rangkaian hibrid dan line voltage. Line voltage dan rangkaian hibrid dipisahkan oleh sebuah kapasitor polar agar arus dari line voltage tidak masuk ke rangkaian hibrid. Saat sentral mengirimkan dering,

maka rele akan menghubungkan saluran telepon ke ring generator, sehingga telepon berdering. Gambar 7. menunjukkan rangkaian ring generator dan rele.

4x1N4001

C 55V

470470470

Ringing Generator

Ke Line Voltage48V

10uF/100V

Dari RG Relay

KeHibrid

Ke Line Voltage Generator

Ke Telepon

Ke Hook Detector

RG relay

Gambar 7. Rangkaian Ringing Generator

dan Rele 4.7 Rangkaian Ringing Back Tone Detector Sinyal ringing back tone dikirimkan oleh sentral sebagai tanda telepon yang dihubungi telah berdering. Sinyal ini adalah kombinasi sinyal berfrekuensi 440 Hz dan 480 Hz, namun telkom sebagai penyelenggara jasa PSTN menggunakan sinyal tunggal 425Hz. Untuk memindahkan sinyal ini, diperlukan rangkaian yang dapat mendeteksi dan membangkitkan kembali. Untuk mendeteksi sinyal 425 Hz digunakan IC LM567. IC ini mampu mendeteksi sinyal input pada kaki 3 dan memberikan output rendah pada kaki 8 jika sinyal terdeteksi. Rangkaian ditunjukkan pada gambar 8.

C13,3uF

1

5

6

7

8

4

3

2

LM567

5V

5 V

R1 10 K

0,02uF

5nF

0,01uF

0,01uF

input

10K

Gambar 8. Rangkaian Ringing Back Tone Detector Nilai frekuensi yang dapat dideteksi ditentukan oleh nilai R dan C. Untuk dapat mendeteksi frekuensi 425 Hz, nilai R1 dan C1 menggunakan:

1.11,11

CxRfin = (10)

4.8 Rangkaian Ringing Back Tone Generator Rangkaian ringing back tone generator digunakan untuk membangkitkan sinyal berfrekuensi 425 Hz untuk dikirim ke telepon. Gambar 9. menunjukkan rangkaian ringing back tone generator dengan menggunakan IC multivibrator LM555.

Page 37: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Desain Repeater Saluran Telepon Kapasitas 1 Saluran

33

Dari RingDetector

5 V

1N4148

Ra120K

C10 uF

Rb560K

0,01nF

LM555 1uF

16

74 8

3

52

Ke Telepon

Gambar 9. Rangkaian Ringing Back Tone Generator

Frekuensi diatur sebesar 425Hz yang diperoleh dari:

CRbRafin

)..2(44,1

+= (11)

Sinyal ring back tone dikendalikan oleh output rangkaian ring back tone detector dengan kondisi 2 detik on dan 4 detik off. Namun perlu dicatat bahwa, sinyal ringing back tone 425 Hz juga diperkuat oleh amplifier, sehingga penggunaan rangkaian RBT detector dan RBT Generator adalah opsional, pemasangannya menggunakan switch manual. Rangkaian ringing back tone digunakan jika sinyal terlalu kecil. 4.9 Rangkaian Hook Detector Rangkaian pada gambar 10. digunakan untuk mendeteksi diangkat atau tidaknya gagang telepon, baik saat menerima panggilan maupun saat akan memanggil. Pada saat telepon tidak diangkat, arus tidak mengalir dari sumber tegangan 48V. Alur melalui telepon terblok akibat hook switch terbuka, sedangkan alur melalui hibrid diblok kapasitor 10 uF. Transistor rangkaian hook detector dibias dioda 1N4148 seri, menghasilkan tegangan basis 1,4V. Tegangan ini cukup besar untuk membias transistor, sehingga transistor aktif dan siap mengalirkan arus kolektor.

48 V

10uF/100VKe

HibridKe Telepon

RG relay

4

5

2

1

4N25

5 V

5 V

Q4BD139

100K

2x1N

414810

0nF

10uF 10K

10K

10K

4K7

DriverOH Relay

RangkaianHook Detector

Gambar 10. Rangkaian Hook Detector

Pada saat telepon diangkat, selain mengaktifkan telepon, tegangan 48V juga mencatu kolektor transistor, sehingga transistor yang telah dibias, akan menarik arus dari tegangan 48V dan mengaktifkan IC optocoupler 4N25. Output hook detector dari kaki 5 optocoupler akan bertegangan 5V saat telepon tidak diangkat, dan akan bertegangan 0V saat telepon diangkat. Keluaran hook detector ini akan menggerakkan rele OH. 4.10 Relay Driver Relay driver digunakan untuk menggerakkan rele. Pada rangkaian repeater digunakan 2 buah rele 8 pin 12 volt. Driver menggunakan sebuah transistor yang berfungsi sebagai switch yang dipicu oleh level logika 0 (0 volt). Pada saat input driver bertegangan 0 volt, inverter akan menghasilkan output 5 volt dan akan membias transistor. Hal ini menyebabkan arus kolektor mengalir dan mengaktifkan rele. Gambar 11. menunjukkan rangkaian driver rele.

12 V

9013

1N4001

10 K

Gambar 11. Rangkaian Driver Rele

4.11 Line Voltage Generator Rangkaian pada gambar 12. membangkitkan tegangan 48V untuk mencatu tegangan ke telepon. Rangkaian terdiri dari regulator transistor.

4x1N4001

48VAC 55V

10K

Q3BD139

Q29013

Q1BD139

100nF

10K47K

100k

10K

1000uF

Gambar 12. Line Voltage Generator

Transistor Q1 dan Q2 dalam susunan konfigurasi darlington memiliki impedansi input tinggi. Q2 digunakan untuk umpan balik menstabilkan tegangan keluaran. Arus untuk mencatu beban diperoleh dari arus kolektor Q1 dan Q3. Kapasitor 100nF digunakan untuk mentanahkan tegangan ripple.

Page 38: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

34

4.12 Kopling Audio

Ke TeleponKeHibrid

OT600

48V12V

10K

10K

10uF

10uF/100V

Gambar 13. Rangkaian Kopling Audio

Kopling audio menghubungkan sinyal output hibrid ke saluran telepon. Kopling ini digunakan agar rangkaian hook detector tidak membebani rangkaian hibrid.

4.13 Catu Daya

Catu yang dibutuhkan untuk mengaktifkan rangkaian adalah tegangan 5V dan 12V menggunakan IC regulator 7805 dan 7812.

4x1N 400 1

12 V A C

78120,33uF

0 ,1 uF

+ 12V

4 x1N 4001

6 V A C

78050 ,33uF

0 ,1 uF

+5V

Gambar 14. Rangkaian Catu Daya

Rangkaian pada gambar 14 memiliki jembatan dioda yang terpisah karena mengambil tegangan AC yang berbeda, selain itu menjamin ketersediaan arus yang cukup tinggi. Tranfo daya yang dibutuhkan adalah trafo center tap yang memiliki output tegangan 6 dan 12 volt untuk catu daya, serta 55 volt untuk line voltage dan ringing generator. 5. Penutup Rangkaian-rangkaian di atas disusun berdasarkan blok diagram membentuk rangkaian lengkap seperti yang ditunjukkan oleh gambar 15. Komponen yang dibutuhkan terdapat pada tabel 1. Rancangan repeater telepon berkapasitas 1 saluran hanya dapat melayani kebutuhan tunggal. Untuk kebutuhan perbaikan jaringan, akan lebih baik jika didesain dalam kapasitas yang lebih besar. Untuk mencegah penguatan suara yang tidak seimbang, penguatan antara amplifier terima dan amplifier kirim harus diterima sesuai kebutuhan. Agar signaling sesuai dengan aslinya, perlu disesuaikan level tegangan yang dibutuhkan. Perbaikan lebih lanjut, meliputi penggunaan komponen yang lebih presisi serta rangkaian yang lebih akurat.

Gambar 15. Rangkaian Lengkap

Page 39: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Desain Repeater Saluran Telepon Kapasitas 1 Saluran

35

Tabel 1. Daftar komponen

OpAmp LM741 1 buah Trafo Daya 1 buah Capasitor 100nF 2 buah Transistor BD139 4 buah Trafo OT600/OT200 4 buah Capasitor 10nF 1 buah Transistor 9013 8 buah Resistor 1K2 9 buah Capasitor 10uF 2 buah Opto Coupler 4N25 2 buah Resistor 47K 11 buah Capasitor 0,1uF 2 buah PLL LM567 1 buah Resistor 10K 15 buah Capasitor 1 uF 250V 1 buah Logik Not Gate 2 buah Resistor 4K7 2 buah Capasitor 3,3uF 1 buah Timer LM555 1 buah Resistor 100K 2 buah Capasitor 0,02uF 1 buah Dioda 1N4148 3 buah Resistor 1K 1 buah Capasitor 0,01uF 2 buah Dioda 1N4001 18 buah Resistor 470 3 buah Capasitor 5nF 1 buah IC Regulator 7812 1 buah Resistor 120K 1 buah Capasitor 10 uF 2 buah IC Regulator 7805 1 buah Resistor 560K 1 buah Capasitor 1uF 1 buah Relay 12V 2 buah Resistor 100K 2 buah Capasitor 1000uF 100V 1 buah Trafo audio 1 buah Pot 10K dan 100K 1 buah Capasitor 0,33uF 1 buah

Daftar Pustaka Albert Paul Malvino. 1979. Electronic Principles,

2nd edition. California: McGraw-Hill.

Ramakan A. Gayakwad. 2000. Op-Amp and Linear Integrated Circuit, Fourth edition. New Jersey: Pentice Hall.

Suherman, ST. 2004. Teknik Jaringan Telekomunikasi. Pekanbaru: Politeknik Caltex Riau.

Sigit Haryadi, Ir. 1986. Dasar Teknik Penyambungan Telepon. Pendidikan Ahli Teknik Telekomunikasi.

Suherman, ST. 2004. Modifikasi Sistem Pemrograman PABX Mini. Dalam Ensikom, Vol.2 No.2, Desember.

Agus Wibowo, Ir., Andre Poupart. 1999. Design and Collaboration, Access Network. Medan: Pramindo Ikat Nusantara.

Page 40: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

36 36

OPTIMALISASI PENGOPERASIAN SISTEM DENGAN BANYAK RESERVOAR MENGGUNAKAN PROGRAM DINAMIK YANG DIPERBAHARUI

Torang Sitorus Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil FT USU

Abstrak: Program dinamik dianggap suatu teknik yang baik untuk pengoperasian secara optimal reservoar karena dapat menangani fungsi objektif dan kostrain nonlinier. Dalam program dinamik yang biasa menggunakan kondisi awal berupa lintasan awal trial. Pada tulisan ini program dinamik yang diperbaharui diusulkan karena dapat mengatasi masalah-masalah yang sulit. Walaupun menggunakan suatu proses iterasi, tetapi tidak ada lintasan awal secara coba-coba (trial) sebagai syarat-syarat untuk memulainya. Jadi jumlah iterasi independen terhadap setiap kondisi awal. Algoritma yang dikembangkan digunakan pada sistem reservoar secara hipotetis. Hasil yang diperoleh dibuat dalam suatu grafik penyimpanan reservoar. Kata kunci: Algoritma, program dinamik, pengoperasian banyak reservoar, optimasi. 1. PENDAHULUAN Penerapan program dinamik pertama sekali diusulkan oleh Bullman (1957) dan digunakan secara luas pada aliran yang bervariasai pada hidrolika serta manajemen teknik. Pada sistem dengan banyak reservoar, sangat perlu untuk memperoleh kebijakan dalam pengoperasian untuk seluruh reservoar secara serentak, karena kondisi optimum dari sistem tidak dapat diselidiki dengan menganggap reservoar terpisah satu dengan yang lainnya. Pada program dinamik diskrit, variabel bagian (reservoar penyimpanan ) secara biasa didiskrit (dibagian dalam bagian kecil). Pembagian kecil padat lebih disukai daripada yang kasar, untuk memperoleh kebijakkan pengoperasian yang terdekat terhadap optimum secara global. Ada dua faktor penyelidikan secara serentak dari semua reservoar (dimensionalitas tinggi) dari sistem dan pembagian yang padat dari variabel penyimpanan secara umum program dinamik diskrit dapat dijelaskan sebagai berikut: Telah diketahui untuk persamaan berulang ke belakang yang konvensial adalah sebagai berikut: ƒt (St)= max [ L t ( St, Rt ) + ƒ t-1 (St-1-)] untuk t = 0,1,….., T – 1 di mana ƒt (ST) = 0 dengan Si,t –1 = Si,t – I I,t – Ri,t untuk ∀= 1,…., M di mana St adalah vektor dari M dimensi penyimpanan pada M reservoar pada awal periode waktu t. ada T periode waktu. Pada pengoperasian, ditunjukkan oleh 0,1,…, T – 2, T- 1. ƒt (St) adalah pengembalian total maksimum selama t,t + 1, ….,T – 1 dengan St adaah vektor penyimpanan awal pada M reservoar.

Lt (St , Rt ) adalah sungai pengembalian dari sistem dengan pengoperasian selama periode waktu t dengan St adalah penyimpanan awal, Rt adalah pengurangan selama periode waktu t. Atadalah harga pengurangan maksimum (kapasitas kanal). Jika hara lain diambil, tidak banyak perubahan dalam menemukan nilai yang optimal. Perilaku dinamik pada tiap-tiap reservoar dalam sistem ditunjukan dengan persamaan keseimbangan air reservoar. Si,t adalah penyimpanan reservoar i pada awal periode waktu t. Ii,t adalah kombinasi dari aliran masuk independen dan berkurang dari reservoar yang lain terhadap reservoar i selama periode waktu t. Ri,t adalah pengurangan dari reservoar i selama periode waktu t. kehilangan yang bervariasi seperti evaporasi, rembesan, dan lain diabaikan untuk menyederhanakan pemecahan. 2. PROGRAM DINAMIK YANG

DIPERBAHARUI Sebelum menjelaskan masalah algoritma program dinamik yang diperbaharui, perlu dijelaskan cara untuk mencari penyimpanan maksimum dan minimum yang mungkin pada awal dari setiap periode waktu selanjutnya disebut step waktu, dari keseluruhan pengoperasian reservoar. Waktu selama pengoperasian dianggap sebagai langkah dan penyimpanan resevoar dianggap sebagai variabel pada formula program dinamaik yang diperbaharui. Variabel penyimpanan dapat pada setiap titik antara level penyimpanan kosong dan reservoar penuh.

Pada algoritma yang diperbaharui sekarang, ruang penyimpanan keseluruhan pada tiap periode waktu perlu dibagi untuk kedalam empat pertambahan yang sama untuk membentuk lima titik grid. Penyimpanan dapat dibuahi dari setiap titik grid

Page 41: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Optimalisasi Pengoperasian Sistem dengan Banyak Reservoar Menggunakan Program Dinamik yang Diperbaharui

37

dari sekali langkah ke setiap titik grid dari langkah waktu yang bersebelahan. Prosedur dari algoritma program dinamik yang diperbaharui adalah sebagai berikut: i. Ketergantungan pada aliran masuk, kapasitas

pengurangan dan kondisi batas dari penyimpanan, harga penyimpanan maksimum dan minimum yang mungkin dari setiap reservoar pada setiap langkah waktu dari pengoperasian dapat diketahui

ii. Dengan mempertimbangkan penyimpanan maksimum dan minimum yang mungkin sebagai dua titik grid yang ekstrim, tiga titik grid antara (tengah) dapat ditentukan dengan mengambil pertambahan yang seragam. Ini berarti ruang pada penyimpanan yang mungkin pada setiap langkah waktu dibagi dalam empat pertambahan yang sama untuk memperoleh lima titik grid. Jadi akan ada total 5* M titik grid untuk setiap langkah waktu. Pertambahan adalah berbeda untuk langkah waktu yang berbeda seperti juga pada reservoar yang berbeda. Pembagian dari titik grid ini untuk keseluruhan operasional pada seluruh reservoar membentuk suatu koridor.

iii. Program dinamik konvensial dijalankan melalui koridor untuk memperoleh lintasan P, yang memberikan harga fungsi objektif maksimum, f.

iv. Untuk memperoleh lintasan untuk iterasi berikutnya, jika lintasan ini baik untuk nilai penyimpanan maksimum ataupun minimum contoh: titik grid ekstrim pada setiap langkah waktu, pada titik-titik ini diubah ke titik grid bagian dalam berikutnya untuk membentuk lintasan yang diperbaiki (direvisi). Lintasan yang diperbaiki akan menjadi pusat koridor untuk iterasi berikutnya

v. Pada iterasi berikutnya, pertambahan dibagi dua pada setiap langkah aktu. Koridor dibentuk degan mengambil dua pertambahan atau titik grid pada setiap sisi lintasan. Kemudian langkah (iii) diulang untuk memperoleh lintasan yang terbaik, P’ yang mempunyai harga fungsi objektif F’.

vi. Iterasi dilanjutkan dengan setengah harga dari pertambahan dari yang terdahulu pada setiap langkah waktu. Ada dua aturan untuk penghentiannya.

Pertama pengurangan pada suatu waktu dihentikan, di mana penambahan terjadi lebih kecil dari harga yang didefinisikan terdahulu. Iterasi berhenti, ketika pengurangan pada proses pertambahan berhenti pada setiap langkah waktu.

Kedua, iterasi berhenti ketika F”< ξ adalah cukup memadai, di mana dari F” adalah (F`- F) / F. Dan ξ faktor yang didefinisikan terdahulu, pada khusus ini penghentiannya digunakan aturan kedua.

3. APLIKASI DARI PROGRAM DINAMIK YANG DIPERBAHARUI

Program dinamik ini digunakan untuk sistem reservoar hipotetis oleh Larson. Sejumlah metode terdahulu digunakan untuk sistem ini. Jadi lebih baik untuk menggunakan algoritma berikut untuk sistem yang sama. Pada masalah ini pengoperasian optimum 24 jam dari sistem dengan empat reservoar untuk berbagai keperluan. Jaringan resevoar yang mempunyai sambungan pararel dan seri ditunjukkan seperti pada gambar 1. pada optimasi ini, penggunaan air untuk tenaga pembangkit, irigasi, pengendalian banjir dipertimbangkan. Penyimpanan pada reservoar dianggap sebagai variabel untuk masalah ini. Volume air pada reservoar i pada periode waktu t ditulis sebagai Si,t,

I=1,2,3,4 di mana Si,t dinyatakan sebagai satuan normal. Gambar 1. Jaringan sistem dengan banyak reservoar Dua belas periode waktu dari tiap dua jam dianggap dalam pengoperasian, dinyatakan dengan 0,1,……., 11. Konstrain dari vektor empat dimensi penyimpanan adalah : 0 ≤ Si,t ≤10, 0 ≤ S2,t ≤10, 0 ≤ S3,t ≤ 10, 0 S4,t ≤ 15 untuk t = 0,1,……, 12. (1) Variabel pengendalian diambil sebagai pengurangan dari setiap empat reservoar. Jumlah ini juga dinyatakan dalam satuan yang normal. Variabel Ri,t

,= 1,2,3,4, menentukan pengurangan dari reservoar i selama periode waktu. Pada kasus ini tiap periode waktu adalah dua jam. pengurangan maksimum untuk tiap reservoar ditentukan oleh kapasitas dari tubin dan pengurangan maksimum ditentukan dengan menganggap penggunaan pada aliran bawah (downstrem)untuk navigasi, konservasi, dan penyediaan air untuk industri. Konstrain pengurangan dari keempat reservoar adalah sebagai berikut: 0 ≤ R1,t ≤ 3, 0 ≤ R2,t ≤4, 0 ≤ R3,t ≤4, 0 ≤ R4 ,t ≤7 untuk t = 0,1,…11 (2)

I1

I2

Reservoar 2

Reservoar 3 Reservoar 1

Reservoar 4

Page 42: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

38

Persamaan dinamik sistem untuk resevoar, dapat ditulis sebagai berikut. Itu dapat digunakan untuk keseluruhan pengoperasian reservoar seperti t = 0,1,…..,11 Pada dasar pertimbangan pengendalian banjir, satu level air maksimum pada tiap reservoar ditetapkan. S1,t –1= S1,t + I 1,t – R1,t Untuk t = 0,1,…..,11 (3) S2,t –1 = S2,t + I 2,t – R 2,t Untuk t = 0,1,…..11 (4) S3,t–1 = S3,t+ R3,t– R 3,t Untuk t = 0,1,…..11 (5) S4,t–1 = S4,t+ R4,t– R 4,t Untuk t = 0,1,…..11 (6) Dimana I1,t dan I 2,t adalah aliran masuk ke Dalam reservoar 1 dan 2 secara bersama vektor yang diharapkan pada awal dan akhir dari pengoperasiam adalah :

So =

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

5555

S12 =

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

7555

(7)

Sasaran dari sistem dengan banyak resevoar adalah untuk memaksimalkan manfaat dari irigasi dan pembangkit tenaga air. Jadi fungsi objektif adalah ;

F= ∑=

1

0t∑ ∑

= =ℜ∗ ℜ∗+

4

1,4

,5

11

0, ,

it

titi bb

ti (8)

Dimana bi,t adalah yang dapat dimanfaatkan per unit aliran untuk reservoar i selama periode waktu t. Besar aliran di atas periode dua jam diasumsikan merupakan fungsi linear aliran. Besar aliran dianggap hanya untuk pengurangan dari reservoar 4, dinyatakan dengan b 5,t 4. HASIL PERHITUNGAN Sangat penting untuk menemukan penyimpanan maksimum dan minimum yang mungkin tiap reservor pada tiap step waktu. Pada setiap step waktu dari keseruluhan operasi, penyimpanan berhubungan dengan dua titik grid yang ekstrim, yang mungkin pada kondisi level penyimpanan kosong. Atau penuh ditemukan dengan sedemikian dimaa

mempunyai kesempatan untuk jatuh kedalam penyimpanan yang sama pada akhir dari step waktu seperti juga pada step waktu pertama pengoperasian dari proses dapat dihindari. Persamaan berikut untuk menemukan penyimpanan yang berhubungan dengan dua titik ekstrem ini adalah: Smax, t-1= Smax, i,t + Ii,t

∀ i dan t = 0,1,………..T-2 (9) Smin, i-t = Smin, I, t + Ii,t – Ri,t ∀ i dan t = 0,1,………..T-2 (10) Smax, t-1= Smax, i,t + Ii,t - Ri,t ∀ i dan t = 0,1,………..T-2 (11) Smin, t-1= Smin, i,t + Ii,t ∀ i dan t = 0,1,………..T-2 (12) Ri,t < RCi,t ∀ I, t (13) SDSL, i < Dmax, i,t < SFRL,i ∀ i, t (14) SDSL, i < Dmin, i,t < SFRL,i ∀ i, t (15) Di mana Smax, I,t = penyimpanan maksimum yang mungkin dari reservoar i pada awal dari periode waktu t. Smin, I,t = penyimpanan minimum yang mungkin dari reservoar i pada awal dari periode waktu t I I,t= volume aliran masuk ke reservoar i selama periode waktu t Pada level penyimpanan penuh persamaan 9 dan 10 digunakan selama proses ke depan lewat dan persamaan 11 dan 12 digunakan selama proses ke belakang lewat. Tujuan dari empat persamaan ini untuk memperoleh penyimpanan maksimum serendah mungkin. Persamaan 13 menunjukkan batas dari pengurangan dari tiap reservoar pada tiap step waktu. Dalam semua tiap persamaan, penyimpanan juga akan menukupi batasan fisik, umumnya level penyimpanan kosong dan level reservoar penuh dengan persamaan 14. Sebagai gambaran, batas penyimpanan diperoleh dari reservoar 1 untuk setiap step waktu seperti gambar2. Di sini operasi adalah 12 periode waktu dari tiap dua jam memberikan 13 step waktu dari 0 sampai 12. Penyimpanan yang diinginkan adalah 5 satuan dari kedua step waktu 0 dan 12. Jadi kedua penyimpanan maksimum dan minimum yang mungkin pada step 0 dan 12 adalah tetap 5 satuan.

Gambar 2. Penyimpanan maksimum dan minimum yang mungkin untuk reservoir 1 untuk proses ke depan dan

proses ke belakang.

Page 43: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Optimalisasi Pengoperasian Sistem dengan Banyak Reservoar Menggunakan Program Dinamik yang Diperbaharui

39 39

Selama proses ke depan, maksimum penyimpanan yang mungkin untuk waktu yang berurutan diperoleh dari persamaan (9) dan ditunjukkan pada kurva A pada gambar 2. itu bervariasi dari 5 sampai 10 satuan selam step waktu 0-3 dan kemudian berlanjut menjadi 10 sampai 12 step waktu. Secara sama untuk penyimpanan minimum yang mungkin dengan menggunakan persamaan (10) dan ditunjukkan pada kurva B. itu bervariasi dari 5 sampai 0 satuan selama 0-5 step waktu dan berlanjut menjadi 0-12 step waktu. Penyimpanan dibatasi pada 0 dan 10 untuk mencukupi kondisi oleh konstrain penyimpanan untuk reservoar 1 (persamaan 1) Kemudian penyimpanan maksimum final yang mungkin didapat dengan mengambil harga yang lebih tinggi dari penyimpanan minimum yang mungkin sehingga diperoleh dengan proses ke depan dan ke belakang dilalui (membandingkan kurva B dan D dari gambar 2), yang ditunjukkan seperti pada

kurva A pada gambar 3. Penyimpanan akhir maksimum yang mungkin diperoleh dari proses ke depan dan ke belakang dilalui (membandingkan kurva A dan C dari gambar 2), yang ditunjukkan pada kurva E dari gambar 3. Pada setiap step waktu ruangan penyimpanan antara penyimpanan maksimum dan minimum penyimpanan yang diinginkan pada step waktu 12 adalah 5 seperti pada persamaan (7), contoh: penyimpanan maksimum dan minimum yang mungkin pada step waktu ini akan menjadi 5. Pada akhir dari proses ke depan dilalui, karena penyimpanan maksimum dan minimum yang mungkin didapat dari persamaan adalah 10 dan 0 berurutan , proses ke belakang selesai. Selama proses ke belakang dilalui, kurva C dan D dari gambar 2, diperoleh untuk penyimpanan maksimum dan minimum yang mungkin menggunakan persamaan-persamaan (11) dan (12) berurutan.

Gambar 3 Mesh titik grid dari reservoir 1 untuk iterasi pertama

Yang mungkin AE, dibagi ke dalam 4

pertambahan yang sama, dengan membentuk 3 titik grid antara (bagian tengah). Dengan menggabungkan titik-titik yang berhubungan dari semua step waktu dari 0 sampai 12, kurva B,C, dan D dibentuk. Dengan cara ini mesh dari 5 titik grid

pada setiap step waktu untuk seluruh 12 periode reservoar pertama ditemukan. Mesh dari seluruh 4 reservoar diperoleh secara sama, membentuk koridor untuk iterasi yang pertama dari program dinamik yang diperbaharui.

Table 1. penyimpanan maksimum/minimum yang mungkin untuk setiap reservoar pada tiap step waktu.

Step Waktu Reser Voar 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 5/5 7/4 9/3 10/2 10/1 10/0 10/0 10/0 9/0 8/0 7/1 6/3 5/5 2 5/5 8/4 10/3 10/2 10/1 10/0 10/0 10/0 9/0 8/0 7/0 6/2 5/5 3 5/5 9/1 10/0 10/0 10/0 10/0 10/0 10/0 10/0 10/0 10/0 9/1 5/5 4 5/5 12/0 15/0 15/0 15/0 15/0 15/0 15/0 15/0 15/0 15/0 14/0 7/7

Page 44: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

40

Bergantung pada rentang penuh dari aliran masuk yang mungkin dn pengurangan mungkin pada reservoar, harga penyimpanan maksimum dan minimum yang mungkin dilihat dari tabel 1. Walaupun, kenaikan dari lintasan pada setiap iterasi diperoleh dari persamaan, lintasan untuk iterasi alternatif seperti: 1,3,5 dari tiap reservoar dapat dilihat pada gambar 4. Gambar 4. lintasan dari sistem pada berbagai iterasi

untuk setiap reservoar.

5. KESIMPULAN

Program dinamik yang di perbaharui telah dibuat dalam tulisan ini untuk mengatasi masalah kondisi awal berupa lintasan awal trial. Lintasan trial (coba-coba) bergerak ke depan pada optimum global dalam pertambahan grid. Lintasan mungkin jatuh pada optimum lokal jika berada antara lintasan awal trial dan global. Bellman telah menyarankan pemecahan dengan lintasan trial (coba-coba) yang berada. Tetapi jika dimensi terlalu besar contohnya: jumlah resevoar dalam sistem adalah besar maka tidak dapat ditentukan lintasan trial untuk memenuhi syarat yang meyakinkan untuk kondisi global optimum. Hal yang tidak menguntungkan tersebut dapat dihindar dengan algoritma pada tulisan ini, di mana lintasan awal tidak diperlukan. Algoritma yang disajikan memerlukan hanya lima iterasi untuk masalah dimensi yang lebih besar, program dinamik yang diperbaharui dapat memperkirakan secara cepat dan akurat. DAFTAR PUSTAKA

Bellman, R. 1957. Dynamic Programming. Princeton, N. J.: Princeton University Press.

D. Nagesh Kumar and Falguni Balliarsingh. 2003. Folded Dynamict Programming for Optimal Operation of Multireservoir System. Dalam Water Resorues Management 17: 3370353, 2003.

Hall, W. A tauxe, G. W and Yeh, W W-G. 1969. An Alternate procedure for the optimization of operations for planning wit multiple river, multiple purpose systems. Water Resoru. Res. 5(6), 1367-1372.

Heidari, M., Chow, V. T., Kokotovic, P. V. and Meredith, D. D. 1971. Discrete differential dynamic programming approach to water resources systems optimization. Water Resourr res. 7 (2), 273-282.

Larson, R. E. 1968. State Increment Dyanmic Programming. New York, U.S.A.: Elsevier.

Perera, B. J. C and Codner, G. P. 1998. Comptutational improvement for stochastic dynamic programming models of urban water supply reservoirs. J. Amer, Water Resour, Assoc. 34 (2), 267-278.

Yakowitz, S. 1982. Dynamic Programming Applications in Water Resources. Water Resour. Res. 18(4), 673-696.

Page 45: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

41

MEMERINGKAT SUBJEK MENGGUNAKAN PERBANDINGAN BERPASANGAN

Sutarman dan Open Darnius

Staf Pengajar Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara Medan

Abstrak: Artikel ini memaparkan satu tata cara pemeringkatan subjek. Pemeringkatan didasarkan pada nilai hasil perbandingan antara dua subjek secara berpasangan untuk keseluruhan subjek. Ukuran kemiripan ataupun perbedaan antara dua subjek diukur dalam interval 0 hingga 1 menggunakan satu fungsi. Keseluruhan nilai perbandingan berpasangan ini diagregat untuk mendapatkan satu nilai yang menyatakan posisi satu subjek terhadap subjek-subjek lain. Abstract: The article discusses a procedure to rank subjects. The ranking is based on the results of pair comparisons among the subjects. The similarities or differences between two subjects are measured in 0-1 interval using a function. All results of the pair comparisons are aggregated to obtain a value that indicates a subject position over the other subjects. Key wordss: Rank, pair comparisons, similarities or differences, subject domination. 1. Pendahuluan

Memeringkat subjek (individu, pilihan keputusan, organisasi, kawasan, dan lain-lain) kerap ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini biasanya berkaitan dengan memilih satu dari beberapa subjek tersebut. Memilih satu kecamatan dari beberapa kecamatan di satu kabupaten, memilih seorang camat dari beberapa camat, dan memilih tempat berlibur dari beberapa pilihan tempat, adalah beberapa contoh proses memeringkat.

Sebelum melakukan pilihan, sudah tentu, kecamatan, seorang camat, atau tempat berlibur, disusun atau diperingkat berdasarkan keutamaan dengan kriteria-kriteria tertentu. Pemeringkatan beberapa kecamatan dalam satu wilayah mungkin didasarkan, misal, pada tingkat kebersihan, keberhasilan pada bidang keluarga berencana, tingkat kriminal, dan lain-lain. Manakala memeringkat beberapa tempat liburan boleh berdasarkan pada kriteria, misal, jarak dari tempat tinggal, biaya yang harus dikeluarkan, tingkat kemudahan, keindahan, dan lain-lain.

Pemeringkatan adalah penyusunan beberapa subjek dari yang “terbaik” hingga “terburuk” atau sebaliknya berdasarkan satu kriteria atau lebih. Kriteria dalam kaitan ini merupakan satu landasan atau dasar penetapan peringkat. Peringkat terbaik atau terburuk merupakan satu keadaan, persyaratan, atau skala yang telah didefinisikan dengan jelas, baik secara kualitatif ataupun kuantitatif. Dalam pemeringkatan, kriteria-kriteria yang digunakan mungkin saling “bertentangan” satu dengan yang lain. Sebagai contoh ialah antara kriteria tingkat kenyamanan dan biaya yang harus dikeluarkan dalam memilih tempat berlibur. Jelas bahwa tingkat kenyamanan yang diinginkan ialah maksimum.

Namun sebaliknya biaya yang harus dikeluarkan ialah minimum.

2. Penggunaan

Permasalahan pemeringkatan bisa dijumpai pada hampir semua bidang, misal bidang olahraga, ekonomi, sosial-politik, pendidikan, dan lain-lain. Hampir semua organisasi dunia pada bidang-bidang ini membuat daftar tentang prestasi, baik secara individu maupun negara-negara anggota organisasi tersebut berdasarkan satu atau lebih kriteria. Pemeringkatan tidak hanya dilakukan semata-mata untuk memberi gambaran prestasi pada sesuatu bidang, tetapi juga bisa dimanfaatkan oleh pembuat keputusan untuk mengambil satu tindakan bagi perencanaan pada masa depan.

Pada bidang olahraga bisa didapati beberapa organisasi, secara rutin, membuat daftar prestasi negara-negara anggotanya. Pembuatan daftar ini bertujuan untuk memberi gambaran prestasi selama masa tertentu. Sebagai contoh, organisasi sepak bola dunia setiap bulan mengeluarkan daftar peringkat negara-negara anggotanya (FIFA, 2002). Penetapan peringkat ini didasarkan pada pertandingan-pertandingan yang diadakan secara resmi oleh organisasi tersebut. Beberapa kriteria yang digunakan di antaranya ialah kedudukan menang-kalah sesuatu pertandingan, jumlah gol, pentingnya sesuatu pertandingan, dan kekuatan tim-tim yang bertanding. Selain organisasi sepak bola dunia, organisasi tennis dunia (ITTF 2002) dan badminton (IBF 2002) juga membuat daftar pemain dari negara-negara anggotanya berdasarkan prestasi selama masa tertentu.

Penggunaan pemeringkatan juga boleh ditemui pada proses pemilihan satu lokasi dari beberapa

Page 46: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

42

lokasi pembangunan sesuatu projek. Tujuan daripada pemilihan satu lokasi ini ialah untuk mendapatkan satu lokasi yang betul-betul sesuai berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Beberapa contoh bagi pemilihan lokasi ini ialah pemilihan lokasi bagi pembangunan tempat pembuangan sampah yang dihasilkan oleh masyarakat (Vuk et al. 1990), pembangunan pembangkit tenaga listrik (Barda et al. 1990; Mladineo et al. 1990), dan pembangunan gudang (Keeney 1979). Kriteria-kriteria yang digunakan dalam memilih satu lokasi dari beberapa lokasi bergantung pada jenis proyek yang akan dibangun. Secara umum kriteria yang digunakan diantaranya berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan, dampak terhadap lingkungan, dampak sosio-ekonomi, jumlah buruh, biaya pembangunan, dan lain-lain.

Dalam konteks Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional (2000) setiap tahun membuat daftar sekolah-sekolah berdasarkan peringkat prestasi. Daftar itu meliputi daftar Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMTP), dan Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA). Kriteria-kriteria yang digunakan dalam ranking ini ialah total prestasi di kalangan pelajar dalam Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Selain daftar sekolah, departemen ini juga, berdasarkan prestasi tersebut, membuat daftar Daerah Tingkat I (Dati I) di seluruh Indonesia. Daftar sekolah dan Dati I ini bertujuan untuk memberi gambaran prestasi sekolah-sekolah dan kemajuan Dati I berdasarkan prestasi pelajar. Selain itu penyusunan ini juga merupakan satu bentuk penilaian kualitas sekolah-sekolah dan Dati I dalam bidang pendidikan. Dalam perkataan lain pembuatan daftar peringkat ini merupakan satu bentuk pengukuran derajat kecemerlangan (Grant & Leavenworth, 1996) terhadap satu standar pengajaran yang telah digariskan oleh Departemen Pendidikan Nasional.

Bagi dunia pendidikan, daftar peringkat institusi seperti daftar peringkat sekolah, akademi, atau universitas akan memberi gambaran prestasi institusi-institusi tersebut berdasarkan kriteria tertentu. Gambaran prestasi ini merupakan satu sumber informasi bagi masyarakat khususnya pelajar. Dengan informasi ini tentu pelajar bisa melakukan perbandingan di antara institusi-institusi tersebut. Oleh karena itu informasi ini bisa membantu seorang pelajar dalam memilih salah satu institusi-institusi tersebut sesuai dengan sumber dana dan kemampuan yang dimilikinya.

Pada bagian-bagian berikut akan diurai konsep dasar pemeringkatan, derajat penguasaan, indeks penguasaan, dan nilai asas pemeringkatan (NAP). Hal ini semua didasarkan pada metode pemeringkatan Preference Ranking Organization Method for Enrichment Evaluation (Promethee) yang dikembangkan oleh Brans et.al (1986).

3. Landasan Teori

3.1. Konsep Dasar Pemeringkatan Pemeringkatan subjek menggunakan

perbandingan berpasangan secara umum terdiri beberapa fase. Fase pertama ialah menetapkan satu fungsi yang bisa menentukan nilai penguasaan satu subjek terhadap subjek lain. Fungsi ini haruslah strictly increased. Ini bermakna bahwa jika ii xx ′<

maka )()( ii xfxf ′< . Dalam hal ini xi dan ix ′ masing-masing adalah suatu nilai yang berkaitan dengan subjek i dan subjek i′ .

Fase kedua ialah menentukan indeks penguasaan subjek. Indeks penguasaan subjek ini adalah nilai penguasaan sesuatu subjek terhadap subjek-subjek lain berdasarkan beberapa kriteria sekaligus. Cara yang biasa digunakan untuk menentukan indeks penguasaan ini ialah dengan meng-agregat nilai-nilai penguasaan yang telah diperoleh pada fase pertama.

Fase ketiga dalam pemeringkatan ialah menetapkan peringkat. Peringkat sesuatu subjek ditentukan berdasarkan tinggi atau rendah nilai indeks penguasaan di kalangan subjek-subjek. Peringkat pertama akan diduduki oleh subjek dengan nilai indeks penguasaan tertinggi pertama. Sedangkan peringkat kedua diduduki oleh subjek dengan nilai indeks penguasaan tertinggi kedua, dan seterusnya.

Untuk mempermudah pemeringkatan menggunakan kaedah perbandingan. Tabel 1. berikut ini menyajikan data pengamatan dengan mempertimbang p kriteria dan n subjek. Seterusnya nilai pengukuran yang berkaitan dengan subjek i (i = 1, 2, …, n) pada kriteria j (j = 1, 2, …, p) disimbolkan dengan xij. Sedangkan fj(Xj) menyatakan fungsi penguasaan berdasarkan kriteria j.

Tabel 1. Data Bagi Keperluan

Pemeringkatan Metode Perbandingan

Kriteria

Subjek, i X1 X2 … Xp

1 x11 X12 … x1p 2 x21 X22 … x2p

… … … … …

N xn1 xn2 … xnp

Fungsi Penguasaan

f1(X1) f2(X2) … fp(Xp)

Secara matriks data pengamatan di atas bisa

dinyatakan sebagai berikut:

Page 47: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Memeringkat Subjek Menggunakan Perbandingan Berpasangan

43

⎥⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢⎢

=

npnn

p

p

xxx

xxxxxx

L

MOMM

L

L

21

22221

11211

X

Untuk memahami tatacara pemeringkatan menggunakan metode perbandingan, pada bagian ini akan diurai pemodelan pemeringkatan, yaitu berdasarkan satu kriteria dan beberapa kriteria.

3.2. Fungsi, Derajat, dan Indeks Penguasaan

Suatu Subjek Telah dikemukakan pada bagian sebelum ini

bahwa sesuatu subjek menguasai, dikuasai, atau sama dengan subjek lain sebagai hasil perbandingan subjek. Oleh karena itu hasil perbandingan dua subjek berdasarkan sesuatu kriteria tidak memberi makna sejauh mana perbedaan dua subjek tersebut jika derajat penguasaan satu subjek terhadap subjek lain tidak diketahui.

Pada bagian berikut ini akan diurai beberapa hal berkaitan dengan fungsi, derajat, dan indeks penguasaan sesuatu subjek.

3. 3 Fungsi Derajat Penguasaan Sesuatu Subjek

Fungsi derajat penguasaan sesuatu subjek, ),( iiDj ′ , adalah satu fungsi yang memberi satu

nilai atau derajat hasil perbandingan antara dua subjek berdasarkan hanya satu kriteria. Fungsi ini akan mempunyai nilai atau derajat daripada 0 hingga 1, 1),(0 ≤′≤ iiDj . Oleh karena itu nilai ini memberi gambaran perbedaan mulai tidak berbeda secara mutlak, nilai 0, hingga berbeda secara mutlak, nilai 1. Untuk seterusnya nilai yang menyatakan perbedaan antara dua subjek dipanggil dengan derajat penguasaan. Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa derajat penguasaan satu subjek i terhadap subjek i′ lain bermakna sebagai berikut:

a. Dj(i, i′ ) = 0 bermakna berdasarkan kriteria ke-j tiada perbedaan antara subjek i dan subjek i′ ;

b. Dj (i, i′ ) ≈ 0 bermakna berdasarkan kriteria ke-j penguasaan yang lemah subjek i terhadap subjek i′

c. Dj(i, i′ ) ≈ 1 bermakna berdasarkan kriteria ke-j penguasaan kuat subjek i terhadap subjek i′

d. Dj(i, i′ ) = 1 bemakna berdasarkan kriteria ke-j penguasaan mutlak subjek i terhadap subjek i′

Dalam penerapannya, derajat penguasaan satu subjek terhadap subjek lain ditentukan berdasarkan satu fungsi dari perbedaan dua fungsi nilai subjek. Jadi jika d menyatakan perbedaan nilai dua fungsi nilai maka fungsi derajat penguasaan berdasarkan

kriteria ke-j boleh dinyatakan sebagai berikut: Dj(i, i′ ) = Dj(d) (3.1)

dengan d = )()( jijijj xfxf ′− . Sehingga jika fj(xij)

= xij maka d = ijx - jix ′ . Dengan menggunakan fungsi ini, derajat penguasaan sesuatu subjek ditentukan hanya berdasarkan perbedaan nilai dua subjek.

Di samping fungsi (3.1) di atas, derajat penguasaan juga boleh ditentukan berdasarkan fungsi-fungsi yang lain. Salah satunya ialah fungsi rasio antara dua fungsi nilai, yaitu:

)(),( rDiiD jj =′ (3.2)

dengan ji

ij

jij

ijj

xx

xfxf

r′′

==)()(

. Dengan menggunakan

fungsi ini, derajat penguasaan diperoleh berdasarkan rasio antara dua nilai subjek sahaja.

Gambar 4.1 berikut ini ialah salah satu bentuk fungsi penguasaan satu subjek terhadap subjek yang lain berdasarkan perbedaan nilai antara dua subjek.

1

0 d

Dj (d)

Pada Gambar 3.1 terlihat bahwa derajat

penguasaan bergantung pada perbedaan nilai antara dua subjek. Semakin besar perbedaan nilai dua subjek maka semakin besar pula derajat penguasaannya. Pada Gambar tersebut juga terlihat bahwa jika tidak ada perbedaan nilai dua subjek maka derajat penguasaan sama dengan kosong. Seterusnya penguasaan akan mempunyai derajat sama dengan satu apabila perbedaan dua nilai subjek tersebut melebihi satu nilai tertentu.

Derajat penguasaan yang diperoleh menggunakan fungsi pada Gambar 3.1 hanya berlaku pada satu sisi saja, yaitu dari sisi subjek pertama menguasai subjek lain. Namun fungsi di atas boleh juga dilihat dari sisi subjek pertama dikuasai subjek kedua. Sekarang jika diandaikan ),( iiD j ′+ dan

),( iiD j ′− masing-masing adalah derajat menguasai dan dikuasai satu subjek terhadap satu sembarang subjek lain maka fungsi derajat penguasaan boleh dinyatakan sebagai berikut:

⎪⎩

⎪⎨⎧

<′=′>′=′

= −

+

0 jika),,(),(0 jika),(),(

)(*

diiDiiDdiiDiiD

dDjj

jjj

(3.3)

Dengan demikian gambar fungsi derajat penguasaan ini mengambil bentuk seperti terlihat pada Gambar 3.2.

Gambar 3.1 Fungsi Derajat Penguasaan Subjek

Page 48: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

44

4. INDEKS PENGUASAAN SESUATU SUBJEK

Pada bagian sebelum ini, derajat penguasaan sesuatu subjek terhadap subjek lain hanya didasarkan pada satu kriteria saja. Sekarang pada bagian ini akan dipertimbang derajat penguasaan satu subjek i terhadap satu subjek lain i′ jika terdapat p kriteria. Derajat penguasaan berdasarkan p kriteria ini disebut dengan indeks penguasaan

Andaikan bobot kriteria-kriteria wj ≥ 0 (j = 1, 2, …, p). ),( iiD j ′+ dan ),( iiD j ′− masing-masing adalah derajat-derajat menguasai dan dikuasai berdasarkan satu kriteria j, indeks menguasai dan dikuasai satu subjek i ∈ ℵ terhadap subjek lain i′ ∈ ℵ masing-masing didefinisikan sebagai berikut:

∑=

++ ′=′Πp

jjj iiDwii

1),(),( (4.1)

dan

∑=

−− ′=′Πp

jjj iiDwii

1),(),( , (4.2)

dalam kaitan ini ∑=

=p

jjw

11 dan wj ≥ 0.

Oleh sebab nilai fungsi menguasai, ),( iiD j ′+ , bernilai 0 hingga 1 maka indeks menguasai subjek juga akan bernilai 0 hingga 1, yaitu 0 ≤ ),( ii ′Π + ≤ 1: a. ),( ii ′Π + ≈ 0, menunjukkan penguasaan yang sangat lemah daripada i terhadap i′ b. ),( ii ′Π + ≈ 1, menunjukkan penguasaan yang sangat kuat i terhadap i′ Hal yang sama juga berlaku bagi indeks subjek i dikuasai subjek lain i′ , ),( ii ′Π − .

Gambar 4.1 berikut ini ialah gambaran perbandingan sembarang dua subjek i dan i′ dengan melibatkan p kriteria. Gambar ini menggambarkan penguasaan satu subjek terhadap subjek lain dengan indeks menguasai dan dikuasi ),( ii ′Π + dan

),( ii ′Π − . Arah penguasaan ditandai dengan arah lintasan. Menguasai ditandai dengan lintasan yang meninggalkan sesuatu subjek. Manakala dikuasai, lintasan menuju ke subjek tersebut.

),( ii ′Π +

),( ii ′Π −

5. NILAI ASAS PRINGKAT

Dengan mempertimbangkan aspek menguasai dan dikuasai, Gambar 4.1. memperlihatkan bahwa, subjek i sebagai rujukan, subjek i menguasai subjek i′ dengan indeks ),( ii ′Π + dengan arah lintasan meninggalkan subjek i dan sebaliknya, lintasan akan menuju subjek i jika subjek i dikuasai oleh subjek i′ dengan indeks ),( ii ′Π − . Jadi untuk sembarang dua subjek kita mempunyai hanya dua lintasan, yaitu yang menuju atau yang meninggalkan sesuatu subjek. Sekarang jika kita membanding n subjek, jumlah lintasan yang menuju dan meninggalkan satu subjek masing-masing ialah 2(n-1). Lintasan-lintasan yang meninggalkan satu subjek ditafsir sebagai peringkat sesuatu subjek tersebut melebihi peringkat subjek-subjek lain dan lintasan yang menuju ke subjek tersebut menunjukkan bahwa peringkat subjek tersebut lebih rendah daripada peringkat subjek yang lain. Dengan demikian terdapat kekerapan menguasai dan kekerapan dikuasai subjek lain. Dengan menggunakan tafsiran ini kita bisa mendefinisi nilai penguasaan satu subjek terhadap subjek lain.

Dengan mengandaikan bahwa sembarang satu subjek i dan satu subjek lain i′ ∈ ℵ maka nilai menguasai daripada satu subjek didefinisi sebagai rata-rata indeks-indeks menguasai subjek-subjek lain, yaitu:

∑′≠

++

−′Π=

ii niii

1),()(φ (5.1)

Dengan cara yang sama nilai dikuasai satu subjek oleh subjek-subjek lain boleh didefinisikan sebagai berikut:

∑′≠

−−

−′Π=

ii niii1

),()(φ (5.2)

Pada (5.1) dan (5.2) terlihat bahwa nilai penguasaan satu subjek merupakan jumlah daripada indeks-indeks penguasaan satu subjek terhadap subjek-subjek lain secara terpisah. Sekarang dengan menggunakan kedua-dua nilai penguasaan di atas,

i

Gambar 4.1. Hubungan Antara Dua Subjek i dan i′

),( ii ′Π + =

),( ii ′Π −

Page 49: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Memeringkat Subjek Menggunakan Perbandingan Berpasangan

45

penguasaan bersih, dipanggil juga Nilai Asas Peringkat (NAP) sesuatu subjek i boleh didefinisi sebagai perbedaan nilai menguasai dan nilai dikuasai, yaitu sebagai berikut:

)()()( iii −+ −= φφφ (5.3) 6. CONTOH

Berikut ini ialah satu contoh penggunaan kaedah perbandingan yang telah diuraikan pada bagian-bagian sebelum ini. Permasalahan yang dihadapkan kepada pembuat keputusan ialah

memeringkat enam pilihan, yaitu A1, …, A6 dengan kriteria pembuatan keputusan masing-masing ialah X1, …, X6. Data yang berkaitan dengan pilihan-pilihan, fungsi penguasaan, dan parameter yang akan digunakan ditampilkan pada Tabel 2. Manakala untuk mengira NAP yang akan digunakan dalam memeringkat pilihan-pilihan akan disaji juga satu contoh tatacara pengiraan nilai-nilai menguasai dan dikuasai. Dalam contoh perhitungan ini akan dibanding pilihan A3 dan A4.

Tabel. 2 . Contoh data yang berkaitan dengan fungsi penguasaan

Pilihan Parameter

Kriteria

Nilai

Terbaik A1 A2 A3 A4 A5 A6

Fungsi

Penguasaan

X1 Minimum 80 65 83 40 52 94 Tangga q=10

X2 Maksimum 90 58 60 80 72 96 Linear p=30

X3 Minimum 600 200 400 1000 600 700

Linear dan

Tangga q=50;t=500

X4 Minimum 54 97 72 75 20 36 Tangga q1=10;q2=60

X5 Minimum 8 1 4 7 3 5 Ringkas -

X6 Maksimum 5 1 7 10 8 6 Gaussian σ=5

Untuk X1: d = x31 – x41 = 83-40 = 43

Berdasarkan asas minimum diperoleh:

0)4,3()4,3()( 11*1 === +DDdD

1)4,3()3,4()( 11*1 === −DDdD

Untuk X2:

d = 60 – 80 = -20 Berdasarkan asas maksimum diperoleh:

0)4,3()4,3()( 22*2 === +DDdD

3020)4,3()3,4()( 22

*2 === −DDdD

= 0.6666

Untuk X3:

d = 400 – 1000 = -600 Berdasarkan asas minimum diperoleh:

1)4,3()4,3()( 33*3 === +DDdD

0)4,3()3,4()( 33*3 === −DDdD

30 -30 0

1

-20

50 -50 0

1

600

-600 500 -500

Page 50: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

46

Untuk X4:

d = 72 - 75 = -3 Berdasarkan asas minimum diperoleh:

0)4,3()4,3()( 44*4 === +DDdD

0)4,3()3,4()( 44*4 === −DDdD

Untuk X5:

d = 4 – 7 = -3 Berdasarkan asas minimum diperoleh:

1)4,3()4,3()( 55*5 === +DDdD

0)4,3()3,4()( 55*5 === −DDdD

Untuk X6: d = 7 – 10 = -3 Berdasarkan asas maksimum diperoleh:

0)4,3()4,3()( 66*6 === +DDdD

1647.0)4,3()3,4()( 66*6 === −DDdD

Berdasarkan pengiraan di atas dan dengan

menggunakan persamaan (4.1) dan (4.2) dengan pengandaian semua kriteria mempunyai bobot yang sama maka indeks menguasai dan dikuasai bagi pilihan ke-3 terhadap pilihan ke-4 ialah sebagai berikut.

}{ 333.001010061

)4,3(61)4,3(

6

1

=+++++=

=Π ∑=

++

jjD

}{305.0

165.0000667.0161

)4,3(61)4,3(

6

1

=

+++++=

=Π ∑=

−−

jjD

Dengan melanjutkan perhitungan bagi perbandingan pilihan-pilihan lain dan dengan menggunakan persamaan (6.1), (6.2), dan (6.3) diperoleh hasil seperti yang ditampilkan pada tabel 3.

TABEL 3. Hasil Pengiraan Indeks Penguasaan Pilihan dan Pemeringkatan

A1 A2 A3 A4 A5 A6 )(i+φ )(iφ Peringkat

A1 - 0.30 0.25 0.27 0.10 0.18 0.220 - 0.164 6

A2 0.48 - 0.39 0.33 0.30 0.50 0.396 +0.017 2

A3 0.24 0.18 - 0.33 0.06 0.43 0.247 - 0.090 5

A4 0.40 0.50 0.31 - 0.23 0.21 0.329 - 0.020 3

A5 0.44 0.51 0.49 0.38 - 0.45 0.455 +0.293 1

A6 0.36 0.40 0.25 0.43 0.13 - 0.300 - 0.055 4

)(i−φ 0.384 0.379 0.336 0.349 0.162 0.355 - - -

10 -10 0

1

60

1/2

-60

-3

0

1

-3

-3 0

1

43

Page 51: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Memeringkat Subjek Menggunakan Perbandingan Berpasangan

47

DAFTAR PUSTAKA

Barda, O. H., Dupuis, J., & Lencoini, P. 1990. Multicriteria location of thermal power plants. Dalam European Journal of Operational Research 45: 332-346.

Brans, J. P. Vincke, Ph., & Mareschal, B. 1986. How to select and how to rank projects: The PROMETHEE method. Dalam European Journal of Operational Research, 24: 228-238.

Departmen Pendidikan Nasional. 2000. Ebtanas. (on line) http://www.websamba.com/infoebtanas/ebta2000.htm (22 Agustus 2000).

FIFA 2002. Country Rank. (on line) http://www.fifa.com/rank/index_E.html (29 Oktober 2002).

Grant, E. L. & Leavenworth, R. S. 1996. Statistical Quality Control. New York: McGraw-Hill.

IBF. 2002. Rank. (on line) http://www.jvc-abc-.com/jvc-abc-2000/html/rankings.html (29 Oktober 2002).

ITTF. 2002. Rank. (on line) http://66.34.52.140/gen/country/col_en.html (29 Oktober 2002).

Keeney, R. L. 1979. Evaluating of proposed storage sites. Operation Research 27: 49-64.

Mladineo, N., Margeta, J., Brans, J., & Mareschal, B. 1987. Multicriteria ranking of alternatives location for small scale hydro plants. Dalam European Journal of Operation Research 31: 215-222.

Vuk, D., Koželj, B., Mladineo, N. 1991. Application of multicriterional analysis on selection of the location for disposal of communal waste. Dalam European Journal of Operation Research 55: 211-217.

Page 52: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

48

Lampiran

1. Bentuk Ringkas

⎩⎨⎧

≠=

= 0 d jika,

0 jika,0)(*

Cd

dD j

2. Bentuk Tangga

⎪⎪⎩

⎪⎪⎨

>≤<≤<

≤<−

=

3

322

211

11

*

||1||||

||0

)(

qdqdqCqdqC

qdq

dD j

3. Bentuk Linear

⎩⎨⎧

>−<≤≤

=tdtd

tdttddD j atau jika1

-jika/)(*

4. Bentuk Linear dan Tangga

⎪⎩

⎪⎨

<≤<−−

≤=

||jika1||jika)/()|(|

||jika0)(*

dttdqqtqd

qddDj

5. Bentuk Gausian

*jD(d) = 1 – exp{-d2/2σ2}.

1

0 d

*jD

RAJAH 5.7 Penguasaan Gaussian

Grafik Penguasaan Linear dan Tangga

)(* dDj

0 - t d

1

q -A. C

Grafik Penguasaan Ringkas

d 0

)(* dD j

0

)(* dD j

-q2 q1

Grafik Penguasaan Tangga

d

B.

q2 q3 -q1 -q3

C

C

Grafik Penguasaan Linear

)(* dD j

0t t d

1

Page 53: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

49

PEMILIHAN BAHAN ALTERNATIF DALAM KONSTRUKSI Penggunaan Ferrosmen Dalam Pembuatan Rumah Murah

Andalucia

Abstrak: Ferrosmen merupakan bahan struktur yang masih jarang digunakan secara luas di Indonesia walaupun dari segi sejarahnya ferrosmen telah lama ditemukan dan diaplikasikan di negara-negara maju. Ferrosmen dibentuk dari gabungan dua bahan yang awam digunakan, yaitu tetulang (rangka besi) dan adukan semen. Berbeda dengan adukan semen bertulang yang lain, ferrosmen lebih mudah dibentuk dan mempunyai kekuatan dan fleksibilitas dalam bentuk yang tinggi. Salah satu kelebihan campuran ferrosmen ini adalah ketahanannya terhadap getaran.

I. Pendahuluan

Kekurangan rumah disertai dengan permintaan perumahan yang meningkat dan biaya pembangunan rumah yang tinggi merupakan masalah utama di negara berkembang. Di wilayah perkotaan masalah ini akan bertambah besar dengan adanya migrasi dari desa ke wilayah perkotaan.

Di negara-negara yang telah maju biasanya masalah ini dapat di atasi dengan cara-cara mekanikal dengan bantuan penggunaan teknologi yang tinggi. Bagi negara-negara sedang berkembang tentunya jalan penyelesaian seperti ini tidak awam dilakukan, terlebih lagi jika perumahan tersebut diperuntukkan bagi masyarakat dengan tingkat penghidupan yang sederhana. Dengan demikian masalah yang ada harus dicari penyelesaiannya dengan menggunakan cara-cara yang dapat menghemat biaya, terutama dalam pemilihan bahan bangunan.

Tulisan ini membahas mengenai ferrosmen sebagai bahan alternatif dalam konstruksi, yang akan memberikan gambaran terhadap bahan pengganti dalam pembangunan rumah, khususnya alternatif terhadap kebutuhan batu bata.

Ferrosmen juga diakui cocok untuk mengatasi kelangkaan sumberdaya alam seperti penghematan pemakaian kayu serta daerah-daerah yang harga baja terlalu mahal.

A. Pengertian dan Sejarah Ferrosmen

Ferrosmen seperti yang dikemukakan Mahyuddin Ramli (1998) adalah sejenis bahan campuran alternatif pengganti yang terdiri dari campuran semen pasir yang tipis dan diperkuat dengan rangka yang dibentuk dari jaringan kawat anyam yang dibuat dalam beberapa lapis.

Selanjutnya Mahyuddin menyatakan terdapat berbagai pengertian yang diberikan terhadap ferrosmen yang didasarkan kepada ciri-ciri tekniknya, American Concrete Institute menyatakan bahwa ferrosmen adalah sejenis dinding tipis buatan dan campuran beton yang menggunakan semen dan lapisan kawat kecil berbentuk jaringan. Sedangkan

Biro Perkapalan Amerika menjelaskan pengertian ferrosmen sebagai campuran dinding beton tipis yang berangka baja dengan dilumuri merata di seluruh bidang permukaan dengan adukan semen supaya bahan ini bersifat homogen apabila diberi beban

Berbeda dengan beton bertualang yang lain, ferrosmen lebih mudah dibentuk dan mempunyai kekuatan yang lebih, serta ciri khas dan kegunaan yang berbeda sifatnya.

Susunan rangkanya yang menyatu pada adukan semen lebih padu dan tidak mudah retak. Hal ini juga merupakan satu faktor yang sangat penting dalam konstruksi bangunan secara umum. Selain dari itu, struktur ferrosmen juga tida memerlukan keterampilan yang tinggi di dalam pembuatannya. Ini secara tidak langsung memperlihatkan bahwa biaya pembuatannya lebih rendah.

Pada umumnya ferrosmen adalah suatu bentuk bahan campuran berkekuatan tinggi yang dihasilkan dari adukan semen yang dihasilkan dari adukan semen yang diperkuat dengan jaring kawat yang berdiameter kecil. Posisi dan cakupan jaring kawat adalah merata keseluruh permukaan adukan semen tersebut, dengan ketebalan tertentu sesuai dengan yang dibutuhkan.

Di Eropa, ferrosmen awalnya dikenalkan oleh J. R. Lambot di Prancis. Lambot telah menggunakan sistem ferrosmen dalam membuat perahu, pot bunga, dan barang lainnya. Lambot juga membuktikan bahwa penggunaan perahu ferrosmen tersebut lebih baik, karena perahu yang terbuat dari ferrosmen dapat menggantikan perahu yang terbuat dari kayu yang dapat mudah rusak jika terus menerus bersentuhan dengan air serta tidak tahan terhadap kelembaban.

Tidak lama setelah ferrosmen diperkenalkan, orang Belanda juga telah membina tongkang dengan bahan adukan semen dan kerangka ini, dengan kapasitas yang dapat memuat sebanyak 50 ton hingga 60 ton muatan yang digunakan sebagai sarana untuk mengangkut limbah abu, untuk dibuang ke dalam terusan.

Page 54: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

50

Ferrosmen selanjutnya digunakan di dalam pembuatan perahu-perahu di dalam pembuatan perahu-perahu yang menggunakan mesin sebagai tenaga penggerak. Di awal tahun 1940-an seorang pakar bangunan sekaligus arsitek Italia, Pier Luigi Nervi telah membuat kajian tentang penggunaan ferrosmen sebagai bahan struktur atap.

Profesor Nervi menemukan bahwa adukan semen yang diberi rangka yang mengandung beberapa lapisan jaring kawat dapat menghasilkan satu bahan yang sifatnya sama seperti bahan homogen lainnya, namun di samping itu juga mempunyai daya tahan dan kekuatan yang lebih tinggi. Selain itu Professor Nervi juga telah mem buktikan dengan membuat berbagai perahu, yang terbesar dinamai “Irene”, dengan bobot 165 ton. Dengan bagian dasar pembuat perahu ini mempunyai ketebalan 36 mm dan mempunyai berat 5% lebih ringan dari perahu yang dasarnya terbuat dari kayu serta dengan harga 40% lebih murah.

Professor Nervi adalah orang pertama yang menggunakan ferrosmen di dalam pembuatan bahan bangunan. Semenjak itulah, ferrosmen mulai digunakan di dalam pembangunan kubah dan atap stadion (gelanggang olahraga), rumah opera (termasuk kuba Sydney Opera), restoran dan lain-lain bangunan gedung yang ada di Eropa.

Ferrosmen mulai secara massal digunakan di negara-negara maju sekitar tahun 1960-an. Pada awal tahun 1960-an ini, ferrosmen sebagian besar digunakan umumnya hanya dalam lingkup yang sangat terbatas, yakni sebagai bahan untuk pembuatan perahu/kapal.

Melihat mekanisme penggunaan struktur ferrosmen tidak memerlukan kecakapan yang khusus, maka penggunaannya kemudian mulai merata di negara-negara maju ini. Ferrosmen secara perlahan mulai digunakan di dalam pembangunan rumah dengan biaya rendah, tempat menyimpan makanan, wadah tempat menyimpan air, dan lain-lain.

Di berbagai Negara, pengenalan terhadap bahan ferrosmen ini digunakan secara beragam, misalnya di Inggris, ferrosmen mulai digunakan di dalam pembuatan perahu, sementara di Rusia, ferrosmen awalnya digunakan sebagai struktur atap untuk pasar di Leningrad. Saat ini, penggunaan ferrosmen di negara-negara tersebut telah dikenal di berbagai bidang dan sebuah pusat kajian ilmu pengetahuan telah didirikan khusus untuk mengkaji penggunaan struktur ferrosmen di dalam bidang Sipil dan Arsitektur.

B. Komponen Pembuatan Ferrosemen

Bahan-bahan utama yang digunakan di dalam membentuk campuran bahan-bahan ferrosmen ini adalah semen, pasir, air, dan kawat anyam.

Di samping itu sejenis bahan tambahan dicampurkan dalam adukan yang bertujuan untuk meningkatkan tingkat kepadatan adukan yang

disiapkan. Bahan ini juga bertujuan untuk mengurangi penyerapan air pada permukaan strukturnya yang telah selesai dikerjakan. Kondisi ini sangat bermanfaat terhadap struktur ferrosmen jika ia akan digunakan pada lingkungan yang berair atau digunakan pada bidang kelautan.

Secara garis besar, komponen yang harus disiapkan dalam pembuatan ferrosmen adalah sebagai berikut: - Kawat Anyam

Kawat Anyam ini terdapat di dalam berbagai bentuk dan ukuran. Diantaranya jenis anyaman yang berbentuk segi enam ataupun bentuk heksagon. Kegunaan kawat anyam di dalam pengerjaan struktur ferrosmen bukan hanya karena kawat anyam ini mudah diperoleh, tetapi juga karena berat bahannya yang relatif ringan serta mudah dilenturkan mengikuti bentuk seperti yang diinginkan. Namun kegunaannya yang utama adalah untuk sebagai penyangga adukan semen yang akan dilekatkan kepadanya.

- Besi Beton Berbagai jenis besi beton yang digunakan di dalam pembuatan struktur ferrosmen ini, tidak berbeda dengan yang biasa digunakan di dalam pengerjaan struktur adukan semen seperti biasanya. Besi beton ini di beberapa tempat dikenali juga sebagai tulang rangka, yang sangat diperlukan sebagai penyangga dan memperkokoh bentuk struktur ferrosmen dengan beberapa macam ukuran ketebalan disesuaikan seperti apa yang diinginkan.

- Semen Adukan/campuran semen (konkret) adalah bahan terpenting dalam setiap kegiatan pembangunan yang bersifat konstruksi. Salah satu dari kandungan konkret ini adalah semen itu sendiri. Dengan sifat perekat yang terdapat pada semen ini, membuat ia dapat membentuk suatu benda padat tersendiri dengan tergabungnya bahan-bahan konstruksi biasa yang lain, seperti pasir, air, dan bahan tambahan yang biasa digunakan di dalam pengadonan adukan semen tersebut.

- Pasir Pasir adalah komponen yang juga penting untuk menghasilkan adukan semen.

- Air Air yang digunakan dalam adukan semen bertujuan untuk memberikan rangsangan daya serap antarpartikel-partikel semen untuk pembentukan matriks adukan semen yang dimaksud.

- Bahan Tambahan Bahan tambahan adalah bahan-bahan yang digunakan untuk dicampur bersama-sama dengan sejumlah adukan semen. Biasanya bahan-bahan tambahan inilah yang akan berfungsi sebagai pengubah posisi suatu adukan

Page 55: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Pemilihan Bahan Alternatif dalam Konstruksi

51

semen. Bahan tambahan lebih bersifat kepada bahan kimia. Di antara bahan tambahan yang biasa digunakan di dalam adukan semen ialah bahan mempercepat, bahan memperlambat, bahan penamah kedap air, dan bahan AE (Air Entraining agent).

C. Ferrosemen Sebagai Bahan Pembangunan

untuk Rumah Murah Perumahan dengan biaya rendah telah menjadi

satu isu global, di mana sangat penting untuk menyediakan unit-unit perumahan yang wajar didukung kemudahan infrastruktur yang mendasar bagi seluruh lapisan masyarakat, utamanya masyarakat miskin.

Tuntutan yang ditujukan kepada peneliti serta praktisi bidang struktur dan desain bangunan agar menghasilkan jenis struktur murah untuk rumah-rumah berbiaya rendah telah menggalakkan penggunaan bahan-bahan perumahan alternatif seperti ferrosmen.

Dengan pengenalan komponen ferrosmen “tuang siap” dalam perumahan, biaya dapat ditekan dengan jumlah yang relatif besar. Ferrosmen menghasilkan penghematan dalam penggunaan sejumah bahan bangunan dan upah pekerja yang harusnya dialokasikan untuk pengerjaan penyambungan unit-unit yang lebih kecil. Hasil dari penggunaan ferrosmen adalah suatu struktur yang lebih stabil, dengan dinding yang lebih tipis tahan lama dan memerlukan lebih sedikit kerja pembangunan.

Praktisi bidang bangunan dan desain bangunan di Pakistan telah banyak mengemukakan keuntungan yang didapat dengan mengaplikasikan ferrosmen untuk pembangunan perumahan biaya rendah yang telah sejak lama mereka kembangkan. Atap dan sistem tembok dinding ferrosmen telah memberikan suatu jalan keluar yang lebih murah dan tahan lama. Demikian juga halnya yang dilakukan di Filipina, Baino, mengemukakan suatu gambaran ringkas mengenai desain dan pembangunan perumahan tentara dengan aplikasi teknik ferrosmen yang dibangun oleh Angkatan Laut Tentara Filipina.

D. Penutup

Teknologi ferrosmen telah menjadi bertambah menarik seiring dengan tuntutan untuk melestarikan lingkungan, sesuai dengan kemampuan dan bidang kehidupan tiap manusia di bumi. Teknologi ferrosmen mengambil peran yang sangat menarik dalam pengawetan lingkungan ini, di mana ia memberikan alternatif terhadap penggunaan bahan-bahan yang telah menjadi kebiasaan manusia untuk mengeruknya dari alam tanpa memperdulikan keawetan lingkungan alami tersebut.

Dalam pembangunan perumahan teknologi ini bahkan mampu mengurangi biaya konstruksi dengan jumlah yang relatif besar dan memperkecil biaya yang dikeluarkan untuk gaji tenaga kerja, karena

dengan sistem pembangunan ferrosmen ini, komponen-komponen dapat dihasilkan dengan jumlah yang besar sehingga dapat mengurangi waktu pembangunan secara keseluruhan.

E. Kesimpulan

Penyediaan perumahan yang terjangkau pada lapisan masyarakat kebanyakan seringkali terhambat masalah biaya konstruksi yang tinggi, teknologi ini mampu mengurangi biaya konstruksi dengan jumlah yang relatif besar dan memperkecil biaya yang dikeluarkan untuk gaji tenaga kerja, karena dengan sistem pembangunan ferrosmen ini, komponen-komponen dapat dihasilkan dengan jumlah yang besar sehingga dapat mengurangi waktu pembangunan secara keseluruhan.

Teknologi ferrosmen ini juga dapat diaplikasikan pada bangunan tahan goncangan, sehingga dapat digunakan pada pembangunan gedung-gedung di daerah yang rawan bencana gempa bumi.

Melihat keunggulan yang dijumpai pada teknologi ferrosmen ini, perlu usaha-usaha untuk dapat menyosialisasikan teknologi ferrosmen kepada masyarakat umum dan pihak-pihak yang terkait.

DAFTAR PUSTAKA

Andalucia. 2000. Bahan Binaan Ferrosmen dan Kenyamanan Manusia di Dalamnya (Tesis Master of Science pada Teknologi Bangunan dan Perancangan). Pulau Pinang, Malaysia: University Sains.

Mangunwijaya, Y.B. 2000. Pengantar Fisika Bangunan. Jakarta: Djambatan.

Ramli, Mahyuddin. 1998. Forresmen dalam Teknologi Binaan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

_______________. 1989. Kaedah Binaan. Pulau Pinang, Malaysia: University Sains.

_______________. 2000. Ferrocement and Stabilized Block for Affordable Housing. Pulau Pinang, Malaysia: University Sains.

Rivas, Hugo. Low Cost Housing Build With Ferrocement Precast Elements. Jurnal of Ferrocement Vol. 24 No.1/Januari 1994.

Soerjani, Muhammad dkk (editor). 1987. Lingkungan: Sumber-daya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. Jakarta: UI Press.

Page 56: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

52

ANALISIS PERILAKU DAN KEPUASAN PELANGGAN BMI (BANK MUAMALAT INDONESIA) CABANG SURABAYA

DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS REGRESI LOGISTIK

Suparto Jurusan Teknik Industri - ITATS

Abstrak: Dalam penelitian ini, akan diteliti hubungan antara variabel identitas dan perilaku nasabah yang mempengaruhi tingkat kepuasannya terhadap pelayanan BMI (Bank Muamalat Indonesia).

Dari analisis regresi logistik disimpulkan bahwa laki-laki cenderung merasa puas terhadap pelayanan BMI, sebesar 2,503 kali dibandingkan perempuan. Nasabah yang pegawai negeri/ABRI cenderung merasa puas 1,833 kali, yang wiraswasta/pengusaha sebesar 0,288 kali, dan pegawai swasta 0,480 kali bila dibandingkan dengan nasabah yang bekerja sebagai lainnya. Nasabah yang kurang dari 1 tahun cenderung memiliki kemungkinan merasa puas sebesar 0,246 kali dan yang sudah 1-2 tahun sebesar 2,333 kali dibandingkan nasabah yang sudah lebih dari 2 tahun. Nasabah atas saran sendiri merasa puas 1.919 kali, atas saran keluarga 0.96 kali, dan atas saran teman 0.1 kali bila dibandingkan dengan nasabah yang atas saran lainnya.

Kata kunci: Variabel identitas, tingkat kepuasan, regresi logistik.

Abstract: In this research, it will be known relation between identity variable and customer behavior that influence their satisfaction level to BMI services. From logistic regression analysis, has been conclude that male’s trend felt satisfied 2.503 times than female on BMI services. The customer who have occupation as public officer or in the army seems felt satisfied 1.883 times, and the customer who have occupation in private company, 0.480 times if were compared with the other. The customer who less than 1 year seems have probability to feel satisfied 0.246 and the customer who between 1-2 year, 2.333 times compared customer who more than 2 years. The customer who become an BMI customer as himself/herself felt satisfied 1.919 times, with family recommendation 0.96 times, and want as himself, with friend recommendation 0.1 times if are compared with the other.

Key words: Identity variable, satisfaction level, logistic regression.

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dalam era globalisasi ini persaingan bisnis menjadi sangat tajam, baik di pasar domestik (nasional) maupun di pasar internasional/global. Untuk memenangkan persaingan, perusahaan harus mampu memberikan kepuasan kepada para pelanggannya, misalnya dengan memberikan produk yang mutunya lebih baik, harganya lebih murah, penyerahan produk yang lebih cepat, dan pelayanan yang lebih baik dari para pesaingnya. Jika konsumen (pelanggan) merasa puas ia akan memperlihatkan peluang yang besar untuk melakukan pembelian ulang atau membeli produk lain di perusahaan yang sama di masa datang. Seorang pelanggan yang merasa puas cenderung akan menyatakan hal-hal yang baik tentang produk dan perusahaan yang bersangkutan kepada orang lain. Selain itu, kepuasan pelanggan pada waktu sekarang menjadi faktor yang sangat penting dalam hal mutu produk, baik manufaktur maupun jasa. Dalam penghargaan nasional untuk mutu yang

disebut Malcom Baldrige National Quality Award di Amerika Serikat, kriteria kepuasan pelanggan menduduki peringkat pertama dengan bobot sebesar 100. Agar suatu produk dapat memberikan kepuasan pelanggan dan mempertahankannya, maka pihak perusahaan harus mengetahui dan memahami perilaku konsumennya. Sebab, dengan dipahaminya perilaku konsumen, perusahaan dapat memberikan kepuasan secara lebih baik kepada konsumennya (Kotler,et al , 1996).

BMI (Bank Muamalat Indonesia) merupakan bank yang pertama kali di Indonesia yang pengelolaan dananya tidak berdasarkan bunga, tapi berdasarkan konsep bagi hasil. Di Surabaya, BMI diresmikan pada tahun 1994. Sebagai perusahaan jasa yang baru berdiri, tentunya ingin berkembang dan dapat bersaing dengan bank-bank umum. Untuk tujuan tersebut maka BMI harus dapat memberikan kepuasan kepada pelanggannya (nasabah), yang merupakan faktor yang terpenting mengenai mutu suatu produk.

Page 57: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Analisis Perilaku dan Kepuasan Pelanggan BMI (Bank Muamalat Indonesia) Cabang Surabaya dengan Menggunakan Analisis Regresi Logistik

53

I.2. Permasalahan Dengan didasari pada latar belakang di atas,

permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Faktor-faktor (variabel-variabel ”identitas diri dan perilaku”), apa saja yang berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan (nasabah) BMI?

2. Bagaimana pola hubungan antara variabel “identitas diri dan perilaku” pelanggan dengan tingkat kepuasan (puas tidaknya) pelanggan?

I.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah: 1. Menentukan faktor-faktor (variabel-variabel

”identitas diri dan perilaku”) yang berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan (nasabah) BMI.

2. Membentuk model persamaan (pola hubungan) antara variabel “identitas diri dan perilaku” pelanggan dengan tingkat kepuasan (puas tidaknya) pelanggan.

II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Tinjauan Umum Sekilas Tentang BMI (Bank Muamalat Indonesia)

BMI adalah bank yang kegiatan operasionalnya, baik penghimpunan dana masyarakat, penyaluran dana, atau pembagian keuntungannya berdasarkan syariah (bagi hasil), dengan dasar penentuannya adalah nisbah yang telah diperjanjikan sebelumnya.

Kegiatan penghimpunan dana masyarakat oleh BMI antara lain dalam bentuk: Tabungan Ummat, Tabungan Haji Arafah, Simpanan Idul Fitri, Simpanan Qurban, Simpanan Giro Wadiah, dan lain-lain. Sedangkan panyaluran (pembiayaan) dana ke masyarakat antara lain: pembiayaan murabahah, musyarakah, qardhul hasan, dan lain-lain.

II.2. Definisi Perilaku Konsumen dan Kepuasan Pelanggan

Definisi Perilaku Konsumen

Perilaku konsumen merupakan tindakan-tindakan individu yang secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh, menggunakan, dan menentukan produk dan jasa, termasuk proses pengambilan yang mendahului dan mengikuti tindakan-tindakan tersebut (Engel et al., 1990). Dari pengertian ini dapat diketahui bahwa pemahaman terhadap perilaku konsumen bukanlah pekerjaan yang mudah, tetapi cukup sulit dan kompleks. Meskipun demikian, bila hal tersebut dilakukan, maka perusahaan yang bersangkutan akan dapat meraih keuntungan yang jauh lebih besar daripada para pesaingnya,

karena dengan dipahaminya perilaku konsumen, perusahaan dapat memberikan kepuasan secara lebih baik kepada konsumennya (Kotler,et al., 1996).

Definisi Kepuasan Pelanggan Ada beberapa pakar yang memberikan definisi mengenai kepuasan/ketidakpuasan pelanggan. Day (dalam Tse dan Wilton, 1988) menyatakan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan adalan respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya. Wilkie (1990) menyatakan sebagai suatu tanggapan emosional pada evaluasi terhadap pengalaman konsumsi suatu produk atau jasa. Kotler (1996) menandaskan, bahwa kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (hasil) yang ia rasakan dibandingkan dengan harapannya.

Dari berbagai definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya pengertian kepuasan pelanggan mencakup perbedaan antara harapan dan kinerja (hasil) yang dirasakan (Oliver dalam Engel et al., 1990, Pawitra, 1993).

Dalam mengevaluasi kepuasan terhadap jasa yang bersifat intangible, konsumen umumnya menggunakan atribut atau faktor berikut (Parasuraman, et al., 1985 dalam bukunya Fandy Tjiptono halaman 26, cetakan ke-2, 1998): 1. Bukti langsung (tangible), meliputi fasilitas

fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi.

2. Keandalan (reliability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan.

3. Daya tanggap (responsiveness), yakni keinginan para staf dan karyawan untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap.

4. Jaminan (assurance), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan.

5. Empati, meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para pelanggan.

II.3. Tinjauan Statistika

Model Regresi Logistik Model Regresi logistik digunakan untuk mencari hubungan variabel respon yang bersifat biner atau dikotomus, dengan faktor satu atau lebih variabel independen berskala kontinu atau kategori. Outcome dari variabel respon Y dengan dua kategori yaitu “sukses” atau “gagal” yang dinotasikan dengan Y=1 (sukses) dan Y=0 (gagal). Dalam keadaan demikian, maka variabel Y mengikuti distribusi

Page 58: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

54

Bernoulli untuk setiap observasi. Fungsi probabilitas distribusi Bernoulli untuk setiap observasi adalah: f(yi ) = pi

yi (1-pi )1-yi , yi = 0,1 ........(2.1) Di mana pi = P(yi = 1) Fungsi regresi logistik dapat dituliskan sebagai berikut:

zezf −+

=1

1)( atau ekuivalen

dengan z

z

eezf+

=1

)( ……………...(2.2)

Nilai z berkisar antara - ∞ ddaann ++ ∞ .. Nilai dari f(z) pada rumus (2.2) akan berkisar

antara 0 dan 1 berapapun nilai z. Hal ini menunjukan bahwa model logistik ini sebenarnya menggambarkan probabilitas, atau resiko dari seorang individu.

Model peluang regresi logistik dengan p variabel penjelas sebagai berikut:

)...exp(1

)...exp()(

110

110

XXXX

pp

ppi βββ

βββπ

++++

+++=x

..…………… ..........(2.3) Dengan menggunakan transformasi logit dari π(x), maka model regresi logistik dapat ditulis sebagai berikut: g(x) = ln π(x) - ln [ 1 - π(x)] = β0 + β1X1 + ... + βpXp

………….(2.4) yang merupakan fungsi linier dalam parameter-parameternya. III. METODOLOGI PENELITIAN III.1. Sumber data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, yang berasal dari hasil kuisioner yang ditanyakan dan diisi oleh nasabah BNI yang diambil sebagai sampel. Data yang didapat berupa identitas diri dan perilaku serta persepsi nasabah terhadap mutu pelayanan yang diberikan oleh BMI. III.2. Identifikasi Obyek, Populasi, dan Sampel Penelitian a. Obyek Penelitian Obyek peneliatian yang digunakan dalam penelitian ini adalah BMI (Bank Muamalat Indonesia) cabang Surabaya, Jl. Raya Darmo 81, Surabaya. b. Populasi Penelitian Pada penelitian ini populasi yang akan diteliti hanya nasabah BMI yang melakukan

transaksi. c. Sampel Penelitian Disebabkan oleh besarnya populasi, maka pengumpulan data dilakukan dengan mengambil sejumlah sampel. Cara pengambilan sampel adalah secara acak sederhana, yaitu waktu kerja tiap harinya dibagi menjadi beberapa interval. Masing-masing interval adalah 10 menit, sehingga ada sekitar 36 interval (setelah dikurangi waktu istirahat), sebagai berikut:

1. 08.30 – 08.40 2. 08.40 – 08.50 3. 08.50 – 09.00 …………….

36. 15.20 – 15.30 III.3. Identifikasi Variabel Penelitian Setelah melakukan pengamatan dan studi literatur, maka didapat variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian. Variabel-variabel ini berjumlah 31 di mana terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama (variabel 1-variabel 13) akan digunakan untuk analisis regresi logistik, sedangkan variabel 14 sampai 31 digunakan untuk menentukan puas tidaknya nasabah terhadap layanan BMI Untuk lebih jelasnya variabel-variabel tersebut adalah:

a. Variabel-variabel identitas dan perilaku pelanggan (nasabah):

1. Jenis kelamin 2. Usia 3. Status perkawinan 4. Tingkat pendidikan terakhir 5. Pekerjaan 6. Pengeluaran rata-rata per bulan 7. Motivasi menjadi nasabah BMI 8. Media informasi 9. Kendaraan yang dipakai 10. Status nasabah BMI 11. Frekuensi kedatangan 12. Lamanya menjadi nasabah BMI 13. Saran menjadi nasabah BMI

b. Variabel untuk menentukan kepuasan pelanggan, variabel-variabelnya: 1. Pelayanan bagian marketing 2. Palayanan bagian kasir/teller 3. Pelayanan customer service 4. Pelayanan petugas satpam 5. Cara penampilan/pakaian karyawan

bank 6. Tegur sapa/tutur kata karyawan bank 7. Informasi jelas/tepat 8. Bantuan dan perhatian khusus 9. Proses penyelesaian transaksi 10. Fasilitas ATM 11. Informasi saldo 12. Jalur antrian 13. Kelengkapan brosur dan formulir

Page 59: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Analisis Perilaku dan Kepuasan Pelanggan BMI (Bank Muamalat Indonesia) Cabang Surabaya dengan Menggunakan Analisis Regresi Logistik

55

14. Kenyamanan ruang tunggu 15. Sarana parkir 16. Waktu operasional 17. Kemudahan dihubungi via telepon 18. Adanya bonus SSeeddaannggkkaann uunnttuukk vvaarriiaabbeell rreessppoonnnnyyaa ((YY))

ddeennggaann kkaatteeggoorrii ppuuaass ((== 11:: jjiikkaa ttoottaall sskkoorr ppeenniillaaiiaann tteerrhhaaddaapp ppeellaayyaannaann BBMMII bbeerrkkiissaarr aannttaarraa 7711,,66 –– 112266)),, ttiiddaakk ppuuaass((== 00:: jjiikkaa ttoottaall sskkoorr ppeenniillaaiiaann tteerrhhaaddaapp ppeellaayyaannaann BBMMII bbeerrkkiissaarr aannttaarraa 1188 –– 7711,,55 ))..

III.4. Rancangan Kuisioner KKuuiissiioonneerr ddaallaamm rraannccaannggaann iinnii ddiibbaaggii ddaallaamm 33 bbaaggiiaann,, yyaaiittuu:: iiddeennttiittaass rreessppoonnddeenn,, ppeerriillaakkuu rreessppoonnddeenn,, ddaann ppeerrsseeppssii rreessppoonnddeenn tteerrhhaaddaapp BBMMII..

III.5. Uji Validilitas dan Reliabilitas Validilitas menunjukan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Reliabilitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten III.6. Pengolahan Data

Dalam penelitian ini, dilakukan tahap analisis yang meliputi: 11..IIddeennttiiffiikkaassii vvaarriiaabbeell––vvaarriiaabbeell yyaanngg rreelleevvaann ((uujjii

vvaalliiddiittaass ddaann rreelliiaabbiilliittaass)).. 22..MMeennggeelloommppookkaann vvaarriiaabbeell.. 33..MMeennggaannaalliissiiss vvaarriiaabbeell yyaanngg mmeemmppeennggaarruuhhii

ppeenniillaaiiaann rreessppoonnddeenn tteerrhhaaddaapp ppeellaayyaannaann yyaanngg ddiibbeerriikkaann oolleehh BBMMII..

44..MMeennggaannaalliissiiss hhuubbuunnggaann aannttaarraa vvaarriiaabbeell–– vvaarriiaabbeell ““IIddeennttiittaass ddaann PPeerriillaakkuu PPeellaannggggaann”” ddeennggaann ttiinnggkkaatt kkeeppuuaassaann ((ppuuaass ttiiddaakknnyyaa)) ppeellaannggggaann..

55.. DDaarrii llaannggkkaahh 33 ddaann 44,, kkeemmuuddiiaann mmeennyyiimmppuullkkaann..

IV. PEMBAHASAN Pada bagian ini, dibahas model yang menyatakan hubungan antara variabel independen (jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, status nikah, pengeluaran, motivasi, informasi, kendaraan, status nasabah, frekuensi, lama, dan saran) dengan variabel dependen (puas dan tidak puas). Dari hasil pengolahan data yang dilakukan, menerangkan bahwa tidak semua variabel signifikan atau berpengaruh secara nyata terhadap puas tidaknya nasabah. Hanya ada lima variabel yang berpengaruh terhadap variabel respon, yaitu: jenis kelamin, pekerjaan, pengeluaran, lama menjadi nasabah, dan saran. Dengan model regresi logistiknya sebagai berikut: Pengaruh Jenis Kelamin

π(x) = 1 .

1+ exp(-0.67 – 0.92Jekel)

Yang artinya bahwa laki-laki cenderung mengalami

tingkat kepuasan sebesar 2,503 kali dibanding perempuan, akan pelayanan BMI.

Pengaruh Pekerjaan

π(x)=(1+exp(1.79-

0.60kerja(1)+0.73kerja(2)+1.24kerja(3))-1

Artinya bahwa responden yang berprofesi sebagai pegawai negeri/ABRI mempunyai kemungkinan merasa puas sebesar 1,833 kali dibanding responden yang bekerja di bidang lainya. Sedangkan untuk nasabah yang bekerja sebagai pegawai swasta berpeluang merasa puas sebesar 0,4804 kali dibanding dengan nasabah yang berstatus kerja lainnya. Dan untuk nasabah yang bekerja sebagai wiraswasta memiliki kemungkinan merasa puas sebesar 0,2879 kali dari nasabah yang bekerja sebagai lainnya. Pengaruh Pengeluaran

π(x) = 1 / (1+ exp(-2.53+1.35Belanja (1) +

1.64Belanja(2)))

Artinya bahwa responden yang mempunyai pengeluaran ≤ Rp 250.000,- mempunyai kemungkinan merasa puas sebesar 0,26 kali, sedangkan untuk nasabah yang pengeluaranya Rp 250.001,- sampai Rp 750.000,- cenderung merasa puas sebesar 0,194 kali, masing-masing jika dibandingkan dengan nasabah yang pengeluarannya lebih dari Rp750.000,-.

Pengaruh Variabel Lama π(x) = 1 / (1+ exp(-1.595+1.40Lama(1) –

0.85Lama(2))) Artinya responden yang menjadi nasabah selama kurang dari satu tahun mempunyai kemungkinan rasa puas sebesar 0,2456 kali dibandingkan dengan responden yang sudah menjadi nasabah BMI selama lebih dari 2 tahun. Dan untuk yang menjadi nasabah selama 1-2 tahun kemungkinan merasa puas sebesar 2,3332 kali dibandingkan dengan nasabah yang sudah lebih dari 2 tahun. Pengaruh Variabel Saran π(x) = 1/(1+exp(-0.92–0.65Saran(1) + 0.04Saran(2)

+ 2.3Saran (3)) Yang artinya bahwa responden yang menjadi nasabah BMI atas saran sendiri memiliki kemungkinan merasa puas sebesar 1,9198 kali dibandingkan dengan responden yang menjadi nasabah BMI atas saran lainnya. Sedangkan yang atas saran keluarga mempunyai kemungkinan merasa puas sebesar 0,96 kali dibandingkan dengan atas

Page 60: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

56

saran lainnya. Dan yang atas saran teman memiliki kemungkinan merasa puas sebesar 0,1 kali dibandingkan dengan saran lainnya.

Model Regresi Logistik Secara Serentak Setelah secara individu diperoleh variabel-variabel yang signifikan masuk dalam model, maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis regresi logistik secara serentak dari variabel-variabel yang signifikan tersebut di atas. Kemudian untuk

menguji apakah model mempunyai arti, dilakukan pengujian dengan hipotesa sebagai berikut: H0: β1 = 0 H1: paling sedikit ada satu β1 yang tidak sama dengan nol. Berikut ini ditampilkan tabel yang berisi hasil dari analisis regresi logistik secara serentak untuk lima variabel di atas.

Tabel. 4.9. Hasil regresi logistik yang berpengaruh secara serentak

Variabel Nilai koefisien Uji Wald Significant Exp(β) Belanja 6.4226 0.0403 * Belanja(1) -2.1346 2.9001 0.0886 0.1183 Belanja(2) -2.9478 5.5711 0.0183 0.0525 Saran 10.8302 0.0127 * Saran(1) 0.5565 0.2413 0.6233 1.7446 Saran(2) -0.1818 0.0196 0.8887 0.8338 Saran(3) -2.9549 3.7761 0.0520 0.0521 Lama 12.1902 0.0023 * Lama(1) -1.5041 7.1456 0.0075 0.2222 Lama(2) 1.9863 3.1126 0.0777 7.2883 Jekel 1.9056 11.1790 0.0008 6.7232* Kerja 12.8336 0.0050 * Kerja(1) 1.1170 0.6178 0.4319 3.0558 Kerja(2) -0.9844 1.9965 0.1577 0.3737 Kerja(3) -2.6767 9.8014 0.0017 0.0688 Constan 3.7226 4.5686 0.0326

*) Signifikan pada α =0.05 Berdasarkan tabel di atas, maka dapat dikatakan bahwa secara serentak kelima variabel tersebut masuk dalam model, dengan kata lain variabel-variabel tersebut signifikan (α < 0.05). Sehingga model lengkapnya (best model) adalah sebagai berikut:

π(xi) = 1/(1+exp(-3.72-1.91X1+2.13X21+2.95X22–

1.12X31+0.98X32+0.68X33+1.50X41–1.99X42-

0.56X51+0.18X52 + 2.95X53 ))

di mana;

X1 = jenis kelamin X2 = belanja

X3 = kerja X4 = lama X5=saran V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil pengolahan, analisis, dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Dari hasil analisis regresi logistik yang menyatakan hubungan antara faktor identitas diri-perilaku nasabah dengan rasa puas tidaknya nasabah

disimpulkan bahwa ada lima faktor yang mempengaruhi puas tidaknya nasabah BMI, yaitu jenis kelamin, pekerjaan, pengeluaran rata-rata perbulan, lama menjadi nasabah, dan atas saran siapa menjadi nasabah BMI. 2. Dari persamaan regresi logistik yang terbentuk, disimpulkan bahwa laki-laki cenderung merasa puas terhadap pelayanan BMI, sebesar 2,503 kali dibandingkan perempuan. Nasabah yang pegawai negeri/ABRI cenderung merasa puas 1,833 kali, yang wiraswasta/pengusaha sebesar 0,288 kali, dan yang pegawai swasta 0,480 kali bila dibandingkan dengan nasabah yang bekerja sebagai lainnya. Nasabah yang kurang dari 1 tahun cenderung memiliki kemungkinan merasa puas sebesar 0,246 kali dan yang sudah 1-2 tahun sebesar 2,333 kali dibandingkan nasabah yang sudah lebih dari 2 tahun. Nasabah atas saran sendiri merasa puas 1.919 kali, atas saran keluarga 0.96 kali, dan atas saran teman 0,1 kali bila dibandingkan dengan nasabah yang atas saran lainnya.

Page 61: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Analisis Perilaku dan Kepuasan Pelanggan BMI (Bank Muamalat Indonesia) Cabang Surabaya dengan Menggunakan Analisis Regresi Logistik

57

VI. DAFTAR PUSTAKA

Afif, Faisal. 1996. Strategi dan Operasional Bank. Bandung: PT ERESCO.

Agresti, Alan. 1990. Catagorical Data Analysis. New York: John Wiley & Sons.

Kotler, Philip. 1996. Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, Implementasi, dan Pengendalian. Buku Satu edisi kedelapan. Jakarta: Penerbit Salemba Empat– PrenticeHall.

Lemeshow, Hosmer. 1989. Applied Logistic Regression. New York: John Wiley & Sons.

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofyan. 1985. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES.

Tjiptono, Fandy. 1998. Strategi Pemasaran. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Page 62: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

58

PENETRASI FLUKS MAGNETIK AKIBAT PENAMBAHAN LAPISAN CuO2 PADA BAHAN SUPERKONDUKTOR BERBASIS KRISTAL HgBa2CaCu2O6+δ

Timbangan Sembiring Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

Abstrak: Metode muon spin relaxation telah digunakan untuk mempelajari kedalaman penetrasi fluks pada bahan superkonduktor HgBa2CaCu2O6+δ suhu kritis tinggi dalam keadaan bercampur untuk sampel kristal tunggal yang kelebihan (overdoped) dan kekurangan (underdoped) atom oksigen. Dalam suatu medan magnet luar yang tegak lurus sebesar 0,308 tesla, kedalaman penetrasi medan magnetik λ diperoleh sebesar 120 ±1.0 nm pada suhu 6,0 K yang bertambah seiring dengan pertambahan suhu di bawah suhu kritis Tc (83,3 K). Abstract: The muon spin relaxation technique has been used to study the flux penetration depth in the high-critical superconductor HgBa2CaCu2O6+δ in the mixed state for underdoped and overdoped single crystal samples. In an external transverse magnetic field of 0,308 Tesla, the magnetic field penetration depth λ was found to be 120.1 ±1.0 nm at temperature of 6.0 K which increased with increasing temperature below Tc (83.3 K). Key words: Superconductors, doping, magnetization, μ-spin rotation 1. LATAR BELAKANG

Superkonduktor adalah suatu bahan (material) yang pada suhu tertentu yang sangat rendah (critical temperature) nilai hambatan listriknya (electrical resistivity) berubah secara drastis menjadi sangat kecil bahkan hampir sama dengan nol. Fenomena ini pertama sekali ditemukan oleh seorang ilmuan Belanda yaitu Kamerlingh Onnes pada tahun 1991. Pada suhu kritis ini, material superkonduktor mengalami transisi fase dari hambatan listrik normal menjadi keadaan superkonduktif. Dengan demikian, sesuai dengan Hukum Ohm maka arus yang mengalir pada suatu material superkonduktor sangat besar dan bahkan dapat mencapai tak berhingga (infinity). Material pertama yang menunjukkan sifat superkonduksi ini ditemukan pada bahan merkuri dengan suhu kritis, Tc = 4,2 K. Berkat penelitian yang gigih oleh para ilmuan dari berbagai negara maju, dewasa ini sudah ada beberapa senyawa material superkonduktor yang mempunyai Tc yang lebih tinggi hingga 135 K yang disebut bahan superkonduktor suhu tinggi (high-temperature superconductors). Penelitian dalam bidang superkonduksi ini terus dilakukan hingga saat ini yaitu untuk mendapatkan bahan dengan Tc mencapai suhu kamar, sifat magnetisasi yang baik dan senyawa pembangun yang mudah diperoleh, sehingga aplikasi bahan superkonduktor dapat dilakukan dengan kondisi normal.

Salah satu kegunaan penting bahan superkonduktor adalah bahwa bahan ini dapat menghasilkan medan magnet yang sangat besar di samping dapat mengalirkan arus listrik yang cukup besar. Sebagai contoh adalah pada penggunaan magnetic resonance image (MRI) dalam teknologi kesehatan. Instrumen ini merupakan pendeteksi tak

merusak yang dapat mendiagnosa berbagai penyakit serta mendeteksi secara dini penyakit tumor dan lain sebagainya. Aplikasi lainnya adalah terdapat pada superconducting quantum interference device (SQUID) yaitu suatu alat yang dapat mengukur medan magnet yang sangat kecil sekalipun berdasarkan prinsip efek Josepshon, dan berbagai macam instrumen lainnya. Oleh karena pada suhu rendah bahan superkonduktor mempunyai tahanan listrik yang kecil, maka akan dapat menghasilkan arus listrik yang sangat besar dengan demikian medan magnet dapat ditimbulkan dalam jumlah yang besar.

Semua peralatan yang disebut di atas membutuhkan medan magnet yang besar, tersedia setiap saat dan untuk itu diperlukan material superkonduktor. Tidak kalah pentingnya adalah pemakaian bahan superkonduktor suhu rendah (low-temperature superconductor) berbasis lapisan keramik tembaga oksida (CuO2) yang beroperasi pada kisaran suhu 20-30K. Bahan superkonduktor tipe ini dapat menghasilkan medan magnet yang sangat besar pada suhu rendah.

Struktur lapisan tembaga oksida (CuO2) ini memberikan sifat-sifat magnetik dan elektronik anisotropic yang sangat unik. Berdasarkan percobaan-percobaan sebelumnya diketahui bahwa hanya blok lapisan CuO2 secara instrinsik mempunyai sifat superkonduktif, sementara pemisahan blok CuO2 pada jarak tertentu hanya berperan sebagai insulator, lapisan penghalang maupun penyimpan muatan (charge reservoir). Struktur kristal superkonduktor HgBa2CaCu2O6+δ atau disingkat HBCCO dapat dilihat seperti Gambar 1.

Page 63: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Penetrasi Fluks Magnetik Akibat Penambahan Lapisan CuO2 pada Bahan Superkonduktor Berbasis Kristal HgBa2CaCu2O6+δ

59

Gambar 1. Struktur atom kristal supe-rkonduktor berbasis merkuri HgBa2CaCu2 O6+δ. Proses doping atom oksigen pada lapisan CuO2 merupakan kajian yang menarik karena memberikan sifat magnetik yang menjanjikan.

Pada fase ini sangat penting diketahui yaitu

perubahan dimensi dari vorteks ketika medan magnet terapan diperbesar yang mengakibatkan perubahan pada perubahan fluks struktur dari lapisan CuO2. Percobaan dengan metode muon spin relaxation (μSR) dan hamburan neutron memberikan informasi langsung tentang perubahan dimensi keadaan vorteks secara mikroskopik akibat perubahan medan magnetik eksternal. Pada percobaan ini bahan superkonduktor yang akan dipelajari perubahan sifat megnetiknya adalah HgBa2CaCu2O6+δ di mana jumlah atom oksigen dibuat bervariasi yang membangun ikatan lapisan CuO2.

2. TUJUAN DAN MANFAAT Adapun tujuan dari penelitian ini adalah

untuk mengetahui lebih jelas tentang perubahan sifat magnetik (magnetic penetration depth) bahan superkonduktor akibat penambahan atom oksigen pada lapisan CuO2 (proses doping). Perubahan sifat magnetik ini berkaitan langsung dengan perubahan dimensi vorteks kristal akibat medan magnet eksternal, besar medan magnet crossover dan rasio anisotropik pada luar bidang (out-of plane) dan dalam bidang (in-plane) dari kedalaman penetrasi London. Sedangkan manfaat dari penelitian ini

adalah bahwa dengan mengetahui sifat-sifat fisis tersebut di atas maka dapat dijustifikasi apakah campuran bahan superkonduktor dengan campuran tersebut di atas layak dipertimbangkan sebagai material pembangun utama dari industri teknologi yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.

Selanjutnya, manfaat lain yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai pemicu penelitian lanjutan dalam mencari material baru berbasis lapisan CuO2 dengan suhu kritis, Tc yang mendekati suhu kamar, sehingga memudahkan dalam aplikasinya. 3. TINJAUAN PUSTAKA

Superkonduktivitas terjadi karena interaksi antara elektron-elektron yang ditransmisikan (diteruskan) oleh fonon di dalam kristal superkonduktor. Menurut teori yang diusulkan oleh Barden, Copper, dan Schrieffer (BCS) bahwa elektron-elektron bergerak secara berpasangan dan berinteraksi satu sama lain melalui vibrasi kisi, mempunyai spin atas (spin up) dan spin bawah (spin down). Elektron-elektron yang dimaksud sangat mobil (dapat bergerak secara aktif) terutama antara lapisan yang satu dengan lapisan lain dari CuO2 sehingga vorteks kisi menjadi terkungkung. Jika lapisan-lapisan CuO2 tidak terjajarkan (alligned) dengan baik maka arah penetrasi medan magnet cenderung condong (tidak lurus). Jarak lapisan CuO2 satu dengan lainnya (a) berhubungan dengan kuantum fluks (Φ) dan medan magnet crossover (B*) yang secara matematis ditulis sebagai berikut:

20

)(*

sB

γΦ

=

di mana γ adalah perbandingan antara anisotropi bidang luar (out-of plane) dan bidang dalam (in-plane), s adalah jarak antara lapisan CuO2. Dari percobaan magnetisasi pada kristal tunggal Bi-2212 dinyatakan bahwa puncak kedua dari distribusi medan magnet disebabkan oleh medan crossover dimensi pada vorteks kisi kristal. Hal ini tidak terlepas dari ketidaksempurnaan kristal (imperfection).

Dari persamaan di atas diketahui bahwa medan magnet crossover B* sangat bergantung kepada anisotropi γ dari sistem tersebut. Pada umumnya anisotropi pada bahan kuprat superkonduktor suhu hingga berubah secara sistematis dengan penambahan (doping) atom oksigen pada bidang CuO2.

Hasil yang sama telah dipublikasi yaitu bahwa sifat anisotropik berkurang dengan bertambahnya doping atom oksigen, menurut percobaan Wu, et al., pada bahan superkonduktor suhu tinggi berbasis lantanium stronsium kuprat oksid (La2SrxCuO4) dan bismuth stronsium kalsium kuprat oksid (Bi2Sr2CaCu2O8+δ ) atau Bi-2212.

Page 64: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

60

Dalam kerangka tiori Ginzburg-Landau, penetrasi medan magnetik, λ pada suhu T=0 untuk superkonduktor yang isotropis diberikan oleh persamaan:

ss nm

nem **)0( 2

0∝=

μλ (2)

di mana m*=massa efektif, ns=kerapatan carrier, e=muatan elektron, μ0= permeabilitas ruang hampa. Untuk bahan superkonduktor konvensional s-wave, nilai λ umumnya dinyatakan oleh rumus empiris atau model fluida dua dengan p=4 sebagai berikut:

( ) 2/11

)0()(

⎥⎦⎤

⎢⎣⎡ −

=p

TcT

T λλ (3)

Persamaan ini berlaku untuk bahan superkonduktor tipe BCS. Persamaan (2) di atas dapat diperoleh dari bentuk Gaussian spektrum asimetri, G(t) yang dinyatakan dengan persamaan:

( )22.exp)( ttG σ−= (4) di mana σ adalah laju relaksasi partikel muon yang sampai pada sampel, t adalah waktu relaksasi. Dengan demikian diperoleh hubungan antara kedalaman penetrasi medan magnetik, λ dengan laju relaksasi, σ sebagai berikut:

σμ

σλ

2/1))((4,236tan −== snmkons

(5)

Nilai konstanta diperoleh dari perhitungan numerik antara medan magnet terapan, medan eksternal dan faktor demagnetisasi. 4. PROSEDUR EKSPERIMEN

Bahan kristal tunggal superkonduktor HgBa2CaCu2O6+δ ditumbuhkan dengan metode floating zone di mana bubuk Bi2O3, SrCO3, CaCO3 dan CuO dilebur pada suhu 1050º C hingga diperoleh sampel yang homogen. Dengan demikian konsentrasi atom oksigen menjadi lebih bervariasi sehingga ikatan senyawa bidang CuO2 yang akan memberikan sifat-sifat magnetik dapat dipelajari secara lebih mendalam. Dua jenis kristal sampel dengan komposisi atom oksigen yang berbeda dipanaskan secara perlahan (proses annealing) pada suhu 765 °C dalam aliran gas oksigen berkadar 0,02 % dan gas nitrogen dan kemudian dicelupkan secara tiba-tiba (proses quenching) untuk memperoleh sampel kristal underdoping (kekurangan atom oksigen). Sementara itu, untuk memperoleh sampel kristal yang overdoping (kelebihan atom oksigen) dilakukan pendinginan secara bertahap dari suhu 550°C menjadi 350°C dan akhirnya pada suhu kamar di bawah tekanan 60 atm.

Eksperimen dilakukan dengan metode relaksasi spin muon tegak lurus (transverse muon spin relaxation, μSR). Di sini muon positif dengan spin terpolarisasi “ditanam” (implanted) pada sampel

kristal, yang mana medan magnet eksternal diterapkan sepanjang sumbu-c dan tegak lurus terhadap polarisasi awal dari spin muon. Partikel muon berhenti pada lokasi interstisial acak r dan spin partikel muon mulai mengitari medan lokal B(r) dengan frekuensi Larmor sebesar:

)(rBμγω = (6)

di mana γμ = 2π 135,5 MHz/T. Evolusi waktu dari polarisasi spin muon P(t) diukur dengan memonitor positron yang dipancarkan sepanjang arah spin ketika partikel muon meluruh. Distribusi probabilitas dari medan magnetik lokal n(B) dipisahkan dari fungsi polarisasi eksperimen P(t) dengan teknik transformasi fourier. 5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2. menunjukkan amplitudo riil spektrum fourier (distribusi medan magnet) untuk sampel merkuri underdoped yang diambil pada suhu 10K dan medan magnet terapan (a) 0,2 tesla dan (b) 20 mTesla. Tanda panah menunjukkan puncak frekuensi medan terapan. Dengan cara yang sama diperoleh hasil untuk sampel overdoping yang diambil pada suhu 13K dan medan magnet terapan (a) 9,6 mTesla dan (b) 5,5 mTesla.

Gambar 2. Amplitudo riil spektrum Fourier untuk sampel merkuri underdoped yang diambil pada suhu 10 K dan medan magnet terapan (a) 0,2 Tesla dan (b) 20 mTesla. Tanda panah menunjukkan puncak frekuensi medan terapan.

Dari kedua gambar tersebut terlihat bahwa

bentuk spektrum pada medan magnet terapan tinggi lebih simetri dengan apa yang diperoleh pada medan terapan yang rendah. Pada kondisi ini puncak distribusi medan magnet hampir simetris. Momen

Page 65: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Penetrasi Fluks Magnetik Akibat Penambahan Lapisan CuO2 pada Bahan Superkonduktor Berbasis Kristal HgBa2CaCu2O6+δ

61

kedua secara substansi menjadi berkurang, serta posisi puncak spektrum berimpit dengan posisi medan terapan. Hal tersebut terlihat pada pengecilan lebar puncak spektrum dan pergeseran nilai distribusi medan terhadap medan terapan. Hal ini dapat dijelaskan dengan model statis hanya ketika vorteks dalam keadaan tidak teratur (disordered state) sama sekali dalam arah longitudinal melewati lapisan blok dan juga ketika lapisan tersebut masih teratur (ordered state) dalam setiap blok dari lapisan CuO2.

Ketidakteraturan (disorder) dalam bidang CuO2 selalu mempunyai dampak berlawanan. Hal ini menyebabkan pertambahan lebar puncak distribusi medan magnet. Perubahan bentuk spektrum seperti dijelaskan di atas menandakan adanya medan crossover dari kisi garis fluks 3 dimensi (3D) ke struktur vorteks 2 dimensi (2D) dari vorteks pancake, di mana koheren fase yang melewati lapisan CuO2 yang berdekatan dilenyapkan sepanjang kedalaman penetrasi London (London penetration depth, λab) .

Gambar 3. Amplitudo riil spektrum Fourier untuk sampel merkuri overdoped yang diambil pada suhu 13 K dan medan magnet terapan (a) 9,6 mTesla dan (b) 5,5 mTesla. Tanda panah menunjukkan puncak frekuensi medan terapan

Dalam eksperimen ini juga terlihat bahwa

nilai distribusi medan pada suhu 5K tidak terpengaruh dalam selang beberapa jam ketika medan eksternal dikurangi menjadi 10 miliTesla. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kedua fluks struktur (3D dan kuasi 2D) adalah bersifat statis dan indikasi adanya transisi pada B* juga statis dan bukan dinamis.

Gambar 4. Laju relaksasi sebagai fungsi suhu untuk sampel superkonduktor berbasis merkuri. Garis tebal menunjukkan model fluida dua (a) dan model Bose bermuatan (b).

Distribusi medan yang disebabkan oleh struktur

fluks pada kedua jenis sampel underdoping maupun overdoping menunjukkan karakteristik dari struktur fluks 3 dimensi, yaitu: a) Puncak tambahan (cut off peak) pada medan

rendah disebabkan minimnya distribusi medan pada pusat ketiga vorteks terdekat.

b) Puncak tertinggi berhubungan erat dengan titik pemberat (saddle point) dalam distribusi medan magnet.

Page 66: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

62

c) Ekor panjang pada medan yang melewati medan magnet terapan berasal dari partikel muon yang diam dalam daerah inti vorteks yang diteruskan hingga melebihi λab.

Gambar 5. Kedalaman penetrasi medan magnetik sebagai fungsi suhu untuk sampel superkonduktor berbasis merkuridiukur pada medan magnet terapan sebesar 0,308 Tesla (FC). Garis tebal menunjukkan formula empiris dari (a) model fluida dua dan (b) model Bose bermuatan Puncak terendah pada medan yang lebih tinggi merupakan sinyal background oleh karena partikel muon tidak berhenti di dalam sampel kristal, yang selanjutnya mengitari suatu frekuensi yang ditentukan oleh medan eksternal. Ketidaksempurnaan dalam struktur kisi dan resolusi instrumen disebabkan oleh konvolusi Gauss dengan lebar puncak sebesar 0,11 Tesla.

Gambar 4 menunjukkan laju relaksasi σ sebagai fungsi suhu untuk sampel superkonduktor berbasis merkuri. Garis tebal menunjukkan model fluida dua (a) dan model Bose bermuatan (b). Laju relaksasi partikel muon terlihat naik di bawah suhu Tc dengan berkurangya suhu sampel dan menunjukkan saturasi (kejenuhan) pada suhu rendah, serta tidak berpengaruh terhadap suhu di atas suhu Tc.

Tabel. 1. Laju relaksasi, σ dan penetrasi medan magnet, λ sebagai fungsi suhu di bawah medan magnet terapan sebesar 0,308 Tesla.

Suhu (K)

Laju relaksasi, σ (μs)-1

Penetrasi, λ(nm)

6,0 3,872 120,34 13,3 3,881 120,17 20,1 3,776 121,72

Suhu (K)

Laju relaksasi, σ (μs)-1

Penetrasi, λ(nm)

31,2 3,412 128,04 44,1 2,783 141,52 60,1 2,104 163,28 74.2 0,943 243,51

Kenaikan σ di bawah Tc adalah akibat

rendahnya kedalaman penetrasi magnetik λ dengan penurunan suhu dalam keadaan superkonduktif. Nilai kedalaman penetrasi magnetik λ sebagai fungsi suhu ditunjukkan pada Tabel 1 dan Gambar 5. Garis tebal menunjukkan power law (hukum kepangkatan) dengan p=4, yang dikenal dengan model fluida dua, persamaan (3). Namun demikian, hanya titik data yang mendekati Tc yang memenuhi kurva tersebut. Titik data ternyata lebih mengikuti kurva tebal dengan nilai p=2 yaitu model yang diprediksi model Bose bermuatan di mana titik-titik data tidak jauh dari garis tebal. Suhu kritis Tc diperkirakan berdasarkan kurva model Bose ini sebesar 85,1K yang sesuai dengan suhu kritis (Tc) sampel yang dipelajari. Gambar 6. Frekuensi sebagai fungsi suhu untuk sampel bahan superkonduktor berbasis merkuri. Frekuensi background (■) dan superkonduktor (●).Suhu kritis Tc =85,1 K ditandai oleh garis vertikal putus-putus.

Gambar 6. menunjukkan adanya sifat atau

gejala superkonduktif pada bahan superkonduktor merkuri. Dari gambar terlihat bahwa frekuensinya superkonduktor lebih rendah dari frekuensi background partikel muon dibawah suhu kritis, Tc dan perlahan naik seiring kenaikan suhu sampel. Pada suhu Tc kedua frekuensi nyaris berimpit yang berarti bahwa sifat superkonduktif bahan menjadi hilang. 6. KESIMPULAN

Dari hasil pengamatan yang diuraikan di atas pada bahan kristal superkonduktor berbasis HgBa2CaCu2O6+δ, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan: a) Berdasarkan hasil eksperimen μSR pada kedua

jenis sampel baik underdoping dan overdoping maka distribusi medan lokal pada keadaan bercampur (mixed state) berubah dengan kenaikan medan magnet terapan.

b) Penambahan atom oksigen dalam bentuk lapisan CuO2 sebagai doping pada sistem kristal HgBa2CaCu2O6+δ mengakibatkan adanya perubahan magnetik pada kedua jenis sampel yang ditandai dengan perubahan lebar puncak amplitude riil pada kedua jenis sampel.

c) Nilai laju relaksasi σ dan kedalaman penetrasi magnetik λ juga berubah terhadap perubahan lapisan CuO2 dan suhu sampel.

Page 67: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Penetrasi Fluks Magnetik Akibat Penambahan Lapisan CuO2 pada Bahan Superkonduktor Berbasis Kristal HgBa2CaCu2O6+δ

63

d) Nilai distribusi medan magnet yang begitu tinggi pada kedua jenis kristal terutama pada medan terapan yang rendah akan memberikan sesuatu yang bermanfaat pada penerapan superkonduktor pada beberapa produk teknologi canggih.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis sangat berterima kasih kepada Prof. Carey E. Stronach, Pimpinan Proyek Material Superkonduktor, Virginia State University, Petersburg, USA, Dr. M. Kishio, University of Tokyo, yang telah mempersiapkan program fitting data selama penelitian. Dr. M. Takahashi atas bantuan pemakaian alat VSM di Laboratorium Material Magnetik, Institute of Applied Physics, University of Tsukuba, Japan.

DAFTAR PUSTAKA

R. Cubitt, et al., Nature (London) 365, (1993) 407.

C. Bernhard, et al., Phys. Rev. B Rapid Communication 52, (1995), R2354.

K. Kishio, et al., Proceeding of the 7th International Workshop on Critical Currents in Superconductors, edited by H. W. Weber (World Scientific, Singapore, 1994), p. 339.

M. K. Wu, et al., Phys. Rev. Lett. 58, (1987), 908.

E. Gregory, in Encyclopedia of Material Science and Engineering (edited by R. W. Cahn), Vol. 2, pp. 1080-1086 Pergamon, Elmsford, New York: 1990).

G. R. Kumar and P. Chaddah, Phys. Rev. B 39, (1989) 4706.

T. P. Sheahen, Introduction to High Temperature Superconductivity, Plennum Press, New York, 1994.

G. Yang et al., Proceeding of the 7th International Workshop on Critical Currents in Superconductors, edited by H. W. Weber (World Scientific, Singapore, 1994), p. 339.

T. Kimura, et al., Physica C 192, (1992) 247

N. Motohira et al., J. Ceram. Soc. Jpn. 97, (1989) 994.

H. Mukai, Third ISS Coference (Sendai, Japan, November 1990)

A. M. Wolsky, et al., Advanceds in Applied Superconductivity: Goals and Impacts: A prelemenary Evaluation,” Argonne Report to DEO (September 25, 1997).

V. M. Vinokur et al., Physica C 168, (1996) 39.

Sembiring. T, Master Thesis, Virginia State University, Petersburg, USA, 1996.

Page 68: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

64

ANALISIS RESIDU PIRETROID PADA SAMPEL WORTEL DI DAERAH SENTRA PRODUKSI KAB. KARO SUMUT

Karya Sinulingga Staf Pengajar Jurusan Fisika F-MIPA UNIMED

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kandungan residu pestisida khususnya dari golongan piretroid terhadap sampel wortel yang merupakan hasil panen dari beberapa lahan milik petani di mana sampel I diduga adalah petani pemakai pestisida dosis/frekuensi relatif tinggi sedangkan sampel II diduga adalah petani pemakai pestisida dosis/frekuensi relatif sedang/rendah. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Kromatografi Gas (KG) yang diuji di Laboratorium Pestisida Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Utara, Padang. Hasil analisis menunjukkan pada sampel I dan II terdapat residu dari golongan piretroid yakni dengan bahan aktif Deltametrin (D) dan Beta Siflutrin (B), di mana residu dari bahan aktif D sampel I telah melampaui Batas Maksimum Residu (BMR) sesuai dengan SK Bersama Menkes dan Mentan. Kata Kunci: BMR, efek residu, pencemaran lingkungan. Abstract: The aims of the research is to analysis the content of pesticide especially piretroid residu at carrot sample. The method used in this study is quantitative analysis method with the gas chromatograph to analysis the pesticide residu at carrot sample. The result of analysis show that residu of pesticide piretroid in carrot sample for the assumption of high usage pesticide namely deltametrin and beta siflutrin, from second this type deltamerin at sample 1 (one) which residu for exceed the maximum boundary of residu (BMR) whereas beta siflutrin with the certain rate and still under BMR. However in sample 2 (two) for the assumption of low usage pesticide indication the second type there is but it is not detected. For the faction of piretroid residu deltametrin in carrot of high pesticide usage assumption have obysmal of BMR. Key words: BMR, residual effect, environmental toxicology. I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Seiring dengan bertambahnya jumlah

penduduk dan meningkatnya kebutuhan manusia akan pangan, maka pertanian harus dikembangkan menjadi pertanian yang menerapkan berbagai teknologi (termasuk pengendalian hama dengan penggunaan bahan kimia atau pestisida). Pada awal abad ke-20, revolusi pengendalian hama berkembang dengan menggunakan pestisida. Hampir semua kegiatan pertanian di seluruh dunia menerapkan pengendalian hama dengan menggunakan pestisida. Bersamaan dengan hal tersebut, bermunculannya pabrik pestisida secara besar-besaran di negeri maju.

Pada awal tahun 1990-an, pengendalian hama dengan penggunaan pestisida dianggap cara yang paling aman dan baik. Namun anggapan tersebut berkurang dengan adanya laporan penelitian dan kasus-kasus yang terjadi akibat penggunaan pestisida yang berlebihan. Beberapa jurnal penelitian entomologi dan ahli lingkungan melaporkan bahwa pestisida dapat menimbulkan resistensi hama, ledakan hama, timbulnya hama sekunder, kontaminasi pada lingkungan, terdapatnya efek residu pada hasil pertanian dan peternakan, dan juga menganggu kesehatan manusia.

Pestisida yang memiliki persistensi/beresidu tinggi dikategorikan sebagai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang merupakan suatu bahan yang karena sifat dan konsentrasi, atau jumlahnya baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan membahayakan atau merusak lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.

Oleh karena masyarakat umum telah merasa puas dengan penggunaan pestisida, maka sulit sekali untuk mengubah pola pikirnya, sehingga penyalahgunaan dalam penggunaan pestisida sudah menyebar. Seperti yang sering diberitakan dalam berbagai media cetak di tanah air, bahwa sikap keras Pemerintah Singapura yang mengimpor sayur-mayur dari Indonesia khususnya, dari Tanah Karo, Sumatera Utara, di mana mereka menganggap sayur-mayur tersebut tidak memenuhi standar. Sebaliknya Pemerintah Indonesia belum cukup berani membuat perlakuan keras terhadap buah-buahan impor yang terbukti mengandung residu pestisida yang terlarang di Indonesia.

Peneliti tertarik untuk menganalisis residu pestisida pada wortel (daucus carota) di mana wortel termasuk salah satu jenis sayuran berumbi yang

Page 69: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Analisis Residu Piretroid pada sampel Wortel di Daerah Sentra Produksi Kab. Karo Sumut

65

banyak diusahakan petani di Kabupaten Karo. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Karo tahun 2002 luas panen wortel adalah 2.321 ha, produksinya 56.259 ton dengan rata-rata produktivitas 242,9 kw/ha. Wortel juga termasuk salah satu tanaman umbi komoditi ekspor dan termasuk jenis sayuran umbi yang sering dikonsumsi langsung tanpa dimasak terlebih dahulu. 2. Perumusan Masalah

Masalah yang dirumuskan adalah sejauh mana kandungan residu piretroid pada hasil panen wortel milik petani. 3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis kandungan residu piretroid pada hasil panen wortel milik petani. 4. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian adalah bahwa residu piretroid pada sampel wortel hasil panen diduga kadarnya masih melebihi batas maksimum residu yang ditetapkan oleh Menkes/Mentan. 5. Batasan Penelitian

Peneliti membatasi penelitian dalam hal sebagai berikut: o Daerah lokasi penelitian yang ditetapkan adalah

pada daerah sentra produksi komoditi wortel. o Kriteria lahan pada lokasi penelitian ditetapkan

dengan kemiringan (slope) 0-3% (termasuk kategori lahan datar).

o Jenis pestisida yang diuji dalam analisis adalah termasuk golongan pestisida penting yakni piretroid yang merupakan pestisida yang sering digunakan di kalangan petani pada lokasi penelitian.

5. Kegunaan Penelitian

Adapun nilai guna dari penelitian adalah: o Sebagai bahan informasi penting bagi

masyarakat pemerhati lingkungan, Dinas Pertanian, dan Dinas Kesehatan Kabupaten Karo.

II. TINJAUAN PUSTAKA 1. Definisi dan Klasifikasi Pestisida

Senyawa kimia yang digunakan untuk membasmi semua jenis jasad penganggu dikenal sebagai pestisida. Bagi para petani, jasad pengganggu ini meliput: hama, penyakit, dan gulma yang merugikan tanaman. Sedangkan bagi orang kota, jasad pengganggu ini meliputi serangga pembawa kuman (vector) penyakit, merusak bangunan, alat-alat rumah tangga dan lain-lain.

Dalam Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1973 tentang Peredaran, Penyimpanan, dan Penggunaan Pestisida, pada pasal 1 disebutkan

bahwa pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk memberantas atau mencegah hama atau penyakit yang merusak tanaman, atau hasil pertanian, memberantas hama ternak, hama air, hama dalam rumah tangga, vektor penyakit pada manusia atau hewan yang dilindungi, dan juga memberantas gulma serta mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman. Sesuai dengan definisi tersebut dibuat, diedarkan, atau disimpan untuk maksud penggunaan seperti di atas.

Untuk memperoleh pyrethrum alami cukup mahal dan bersifat tidak stabil apabila terkena cahaya matahari, maka orang mencari pestisida yang lebih murah dan stabil. Munculah pestisida piretroid. Generasi pertamanya adalah alletrin yang cukup efektif untuk lalat rumah dan nyamuk. Generasi kedua adalah tetrametrin yang lebih manjur dari alletrin. Generasi ketiga adalah fenvalerat dan permitrin. Piretroid yang lain adalah sipermetrin yang mempunyai spektrum luas. Fenpropatrin sebagai insektisida dan akarisida. 2. Nasi dan Translokasi Pestisida di Lingkungan

Di dalam lingkungan, pestisida diserap oleh berbagai komponen lingkungan, kemudian terangkut ke tempat lain oleh air, angin, atau organisme yang berpindah tempat. Ketiga komponen lingkungan ini kemudian mengubah pestisida tersebut melalui proses kimiawi atau biokimia menjadi senyawa lain yang masih meracun atau senyawa yang bahkan telah hilang sifat meracunnya. Yang menjadi perhatian utama dalam toksikologi lingkungan ialah berbagai pengaruh dinamis pestisida dan derivat-derivatnya setelah mengalami perubahan oleh faktor lingkungan secara langsung atau oleh faktor hayati terhadap sistem hayati dan ekosistemnya.

Air merupakan medium utama bagi transportasi pestisida. Pindahnya pestisida dapat bersama partikel air atau debu pembawa. Pestisida dapat pula menguap karena suhu yang tinggi (pembakaran). Pestisida yang di udara bisa kembali ke tanah oleh hujan atau pengendapan debu. Dalam menelaah dinamika pestisida di lingkungan terdapat dua istilah yang berhubungan yakni deposit dan residu. Deposit ialah materi yang terdapat pada permukaan segera setelah aplikasi, sedangkan residu merupakan materi yang terdapat di atas atau di dalam benda lain setelah beberapa saat atau mengalami penuaan (aging), perubahan kimia (alteration) atau keduanya. Residu permukaan atau residu efektif ialah banyaknya materi yang tertinggal, misalnya pada tanaman setelah aplikasi. Residu permukaan dapat hilang karena pencucian (pembilasan), penggosokan, hidrolisis, tetapi juga yang lipofilik. Dalam waku 1-2 jam setelah aplikasi pestisida, kemungkinan besar 90% deposit telah hilang karena pencucian oleh air hujan. Sisanya bisa terurai oleh sinar ultraviolet. Banyak jenis pestisida lipofilik yang cenderung berakumulasi (menumpuk) pada lapisan

Page 70: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

66

malam (lilin) dan lema tanaman, terutama di bagian kulit. Itu sebabnya sayuran atau buah terutama yang dimakan mentah perlu dicuci atau dikupas dahulu agar insektisida yang tersimpan dalam lemak tidak atau kecil kemungkinannya untuk berdegradasi karena yang lipofilik bisanya bersifat stabil atau persisten. Ada tujuh faktor yang mempengaruhi nasib deposit pestisida dalam tanah yaitu: o Pencucian oleh air hujan. o Penguapan, terutama karena penguapan air. o Degradasi atau aktivitas oleh mikro-organisme

dalam tanah. o Dekomposisi fisiokimia maupun aktivitas yang

terjadi karena kondisi dan komponen tanah yang bersifat katalis.

o Dekomposisi oleh cahaya surya (fotodekomposisi) dan

o Translokasi melalui sistem hayati baik tanaman maupun hewan ke lingkungan yang lain.

3. Efek Negatif dan Persistensi Pestisida di

Lingkungan Pestisida yang banyak digunakan para

petani di Indonesia dalam usaha-usaha pengolahan lahan pertanian, sebenarnya memiliki banyak dampak negatif yang ditimbulkannya di lingkungan. Dampak negatif tersebut antara lain adalah: a. Menimbulkan resistensi pada hama pertanian,

misalnya beberapa etnis ordo lepidoptera. b. Menurunkan populasi predator baik dari

golongan serangga, burung maupun ikan yang sebenarnya bukan sasaran.

c. Menurunkan populasi organisme-organisme yang berperan penting dalam menjaga kesuburan tanah (cacing tanah), jamur-jamur, dan serangga tanah.

d. Menghambat aktivitas fiksasi nitrogen pada kacang-kacangan (menghambat aktivitas bakteri nitra dan nitri).

e. Tidak terdegradasi di lingkungan sehingga residunya akan terdistribusi melalui rantai makanan

f. Menimbulkan keracunan pada hewan ternak dan manusia.

g. Racun pestisida dapat terakumulasi melalui rantai makanan dan dapat mengkonsentrasikan pestisida pada tubuhnya hingga mencapai 20 kali konsentrasi pestisida pada tanah sekitarnya.

h. Karena peristiwa akumulasi tersebut (bio-akumulasi) melalui rantai makanan, pestisida cenderung untuk lebih terkonsentrasi pada organisme yang menempati piramida makanan yang lebih tinggi. Salah satu organisme itu adalah manusia. Hal ini menyebabkan manusia rawan untuk teracuni oleh pestisida, yang menurut penelitian diduga kuat termasuk bahan karsinogenik atau penyebab kanker.

4. Peraturan-Peraturan yang Berkaitan Dengan Pestisida

Untuk menjamin penggunaan bahan kimia agar ramah lingkungan dan meningkatkan keamanan yang tinggi maka diperlukan peraturan dan perundang-undangan sebagai upaya pengelolaan penggunaan bahan kimia tersebut baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional untuk mengurangi resiko terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Sampai saat ini terdapat peraturan pengelolaan bahan kimia berbahaya dan beracun, akan tetapi belum cukup memadai terutama untuk mencegah terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan. Misalnya, pada peraturan tentang pengelolaan B3 No. 74/2001, permasalahan dititikberatkan pada pengelolaan B3 untuk bahan kimia di bidang industri dan perdagangan pada kegiatan sebagai penghasil, pengedar, pengangkut, penyimpan, penggunaan, dan pembuangan khususnya untuk bahan kimia tertentu sesuai dengan lampiran dalam peraturan tersebut. Sedangkan pestisida juga dikategorikan sebagai B3 diatur dalam UU tentang Sistem Budidaya Tanaman No.12/1992, yang ditindaklanjuti dengan PP No.7/1973 serta Kepmentan sebagai turunannya mengatur penggunaan pestisida. Di samping itu, untuk limbah industri pestisida maupun pemakaian pestisida telah kadaluarsa di lapangan diatur oleh undang-undang lingkungan hidup yang ditindaklanjuti dengan PP tentang pengelolaan limbah pada PP No18/1995 jo. No. 85/1995. Berikut ini adalah berbagai kebijakan dan perundang-undangan Indonesia mengenai bahan kimia berbahaya beracun dan pestisida: 1. Stockholm Convention tentang POPS (23 Mei

2001). 2. UU No.12/1992 tentang Sistem Budidaya

Tanaman. 3. UU No.23/1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup. 4. PPRI No.7/1973 tentang Pengawasan Distribusi,

Penyimpanan, dan Penggunaan Pestisida. 5. PPRI No.85/1999 tentang perubahan undang-

undang yang berkaitan dengan bahaya serta penanggulangan limbah B3

6. PPRI No.6/1995 tentang Perlindungan Tanaman. 7. PP No74/2001 tentang Pengelolaan Bahan

Berbahaya dan Beracun (B3). 8. Kepmentan No.434/Kpts/TP. 270/2001 tentang

Syarat-Syarat dan Prosedur Pendaftaran Pestisida.

9. Kepmentan bulan September 2002 tentang Manajemen Pengawasan Pestisida.

10. Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian Nomor : 881/Menkes/SKB/VIII/1996 711/Kpts/TP. 270/8/96

Page 71: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Analisis Residu Piretroid pada sampel Wortel di Daerah Sentra Produksi Kab. Karo Sumut

67

III. BAHAN DAN METODE 1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada daerah sentra produksi utama wortel di Kabupaten Karo Sumatera Utara. 2. Metode Penelitian

Sesudah sampel diambil untuk kemudian diuji dan dianalisis dengan metode analisis yang menggunakan kromatografi gas untuk golongan

piretroid di mana metode pengujian residu pestisida dalam hasil pertanian yang dikeluarkan oleh Komisi Pestisida Departemen Pertanian, dan selanjutnya sampel tersebut dianalisis di Laboratorium Pestisida BPTPH Sumbar (di mana: Sampel 1 [satu] diasumsikan berasal dari lahan petani pemakai pestisida relatif tinggi sedangan Sampel 2 [dua] diasumsikan berasal dari lahan petani pemakai pestisida relatif rendah/sedang).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel Hasil Analisis Residu Pestisida (ppm)

No. Sampel Uji

Parameter Metode Analisis

Batas Penetapan (ppm)

Hasil Analisis (ppm)

Batas Maksimum Residu (ppm)

1. Wortel Sampel I

Piretroid - Dieltrametrin - Beta

Siflutrin

Kromatografi Gas

0,120 0,012

*0,2351 0,0295

0,10 0,05

2. Wortel Sampel II

Piretroid - Deltrametrin - Beta

Silflutrin

Kromatografi Gas

0,120 0,012

ttd ttd

0,10 0,05

Keterangan : ttd = tidak terdeteksi

• = Melampaui BMR sesuai dengan SK Bersama Menkes dan Mentan. Dari hasil analisis residu dapat dilihat bahwa pada sampel I dan II terdapat residu dari golongan piretroid yakni deltametrin dan beta siflutrin. Pada sampel I untuk beta siflutrin residunya masih di bawah Batas Maksimum Residu (BMR), sedangkan residu deltrametrin telah melampaui BMR yang ditetapkan pemerintah. Pada sampel II ada indikasi residu deltametrin dan beta siflutrin, namun kandungan residunya tidak terdeteksi karena berada di bawah batas penetapan. Di sini juga dapat dibedakan bahwa untuk residu pada sampel I yakni asumsi pemakaian pestisida yang relatif tinggi lebih signifikan residunya ketimbang sampel II yakni asumsi pemakaian pestisida yang rendah. Pestisida piretroid ini merupakan jenis yang banyak diformulasikan dan sering digunakan di kalangan petani. Berdasarkan hasil analisis ditemukan residu dengan bahan aktif deltametrin dan beta siflutrin di mana kedua bahan aktif ini sesuai dengan merek dagang yang sering digunakan petani yakni Devis 2,5 EC, Buldok 25 EC dalam pengendalian kutu daun Aphis spp, hostathion 40 EC dalam pengendalian ulat tanah (agrotis epsilon). Pestisida-pestisida tersebut memang sering digunakan petani melalui pengamatan langsung penulis.

Kenyataan yang terjadi di lapangan adalah petani kita jarang melakukan sistem monitoring terhadap hama/penyakit, artinya penggunaan pestisida dilakukan secara terjadwal, ini disebabkan pengetahuan petani yang sangat minim tentang sistem pemantauan populasi hama/penyakit, kurangnya pemahaman tentang predator hama atau serangga berguna, rasa takut berlebihan akan kehilangan hasil panen berupa kualitas dan kuantitas. V. KESIMPULAN 1. Masih adanya residu golongan piretroid yakni deltametrin 0,02351 ppm pada wortel (sampel I) yang melampaui BMR = (0,10 ppm), yang juga residu beta siflutrin 0,0295 ppm yang kandungannya masih di bawah BMR (=0,05 ppm). 2. Residu pada hasil panen wortel yang berasal dari petani pemakai pestisida relatif tinggi lebih signifikan dibandingkan dengan residu pada hasil panen wortel yang berasal dari petani pemakai. Pestisida relatif rendah.

Page 72: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

68

DAFTAR PUSTAKA Karmisa, I. Kebijakan Pemerintah Mengenai Bahan

Berbahaya dan Beracun (B3). Dalam Seminar untuk Training-Workshop Prosedur Inventarisasi POPs, 13 Januari 2003, bagian Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan, KLH, Jakarta.

Mulianingsih, L. 2003. Bahan Pencemar Organik

yang Persisten. Dalam Seminar Training, Workshop Prosedur Inventarisasi POPs, Jakarta 12 halaman.

Sastroutomo, S. 1992. Pestisida dan Dampak

Penggunaannya. Halaman 1-26. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sudarmo, S. 1991. Pestisida. Halaman 9-34.

Yosgyakarta: Kanisius. Suryaman, G.E. 1995. Pengamanan Penggunaan

Pestisida. Halaman 3-9. Jakarta: Balai Pustaka Tarumingkeng, Rudy C. 1992. Insektisida: Sifat

Mekanisme Kerja dan Dampak Penggunaannya. Jakarta: Universitas Kristen Krida Wacana.

Page 73: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

69

PEMBUATAN ANGGUR PEPAYA DENGAN PROSES FERMENTASI

Renita Manurung Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik USU – Medan

Abstrak: Produksi minuman anggur pepaya dapat dilakukan melalui proses fermentasi alkohol dari sari buah pepaya. Proses fermentasi ini dapat berjalan dengan bantuan mikroba yang mengubah karbohidrat atau gula menjadi alkohol. Mikroba yang digunakan dalam penelitian ini adalah mikroba saccharomyces cerevisiae. Fermentasi alkohol ini dilakukan secara anaerobik, yaitu mula-mula dengan inokulasi ragi roti dengan nutrien (NH4)2SO4, (NH4)3PO4, dan bahan baku sari buah pepaya dalam proses pembuatan starter. Setelah diperoleh starter maka dilakukan proses fermentasi terhadap sari buah pepaya steril yang telah mengandung (NH4)2SO4 dan (NH4)3PO4. Untuk mempertahankan pH 4,0 sampai 4,5 digunakan HCl2N yang diteteskan ke dalam sari buah pepaya. Lingkup penelitiannya adalah dengan waktu fermentasi 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 hari, suhu fermentasi 250C, 300C, dan 350C, konsentrasi khamir 1%, 2%, dan 4%. Setelah diperoleh anggur buah pepaya dilakukan analisis kadar etil alkohol, metil alkohol, dan asam asetat. Dari hasil penelitian diperoleh lama fermentasi buah pepaya yang baik untuk setiap variasi khamir dalam menghasilkan minuman anggur adalah 3 hari dan dengan penambahan gula sampai 16% dapat meningkatkan produksi etil alkohol sebesar 320%. Minuman anggur buah pepaya yang dihasilkan dengan penambahan gula sampai 16% termasuk golangan B (kadar alkohol antara 5-20%) dan yang tidak ditambahkan gula sampai 16% golongan A (kadar alkohol 1-5%). Kata kunci: Anggur pepaya, proses fermentasi, starter. Abstract: The production of papaya wine by fermentation has been studied. The fermentation process was carried out in anaerobic condition by using saccharomyces cerevisiae and (NH4)2SO4 , (NH4)3PO4 as nutrient. Initially, making starter from papaya concentrate followed by fermentation process. HCl 2N is used to get pH 4,0 up to 4,5. The variation of time are 1, 2, 3 , 4, 5, 6 and 7 days with variable of temperature which is conducted with variation are 25oC, 30oC anf 35oC. Meanwhile concentration of leavened which used are 1%, 2% and 4%. The best condition for the largest product were found as result of this research. They are duration of process: 3 days, sugar added: 16% step up production of papaya wine about 320%. Papaya wine which was obtained classified in class B with concentration of alcohol about 5 to 20%. Key words: Papaya Wine, fermentation process, starter. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Tanaman pepaya tergolong tanaman yang banyak diusahakan oleh petani Indonesia. Indonesia termasuk penghasil pepaya (carica papaya) kedua terbesar di Asia. Perlakuan yang teliti akan diproduksi hasil berkisar antara 6-12 ton/hektar (Baga Kalie, 1994). Kehilangan hasil buah pepaya selama penyimpanan dan transportasi setelah panen tergolong masih tinggi mencapai 45,6-100 %. Kondisi ini disebabkan oleh daya kesegaran buah yang rendah (3-4 hari setelah panen). Buah makin cepat rusak dan tidak layak dikonsumsi jika indeks panennya makin rendah. Disamping itu varietas-varietas yang pupoler di masyarakat menunjukkan ciri tidak terus menerus berbuah, sehingga ditemukan panen raya yang menyebabkan pasokan buah melebihi permintaan (Efendy, 2002) sehingga banyak buah pepaya terlalu matang dan rusak. Salah

satu alternatif teknologi pengolahan buah pepaya yang terlalu matang atau rusak yang potensial untuk dikembangkan adalah pembuatan anggur dari buah pepaya yang diperoleh dengan cara fermentasi.

Produksi minuman anggur buah pepaya dapat dilakukan melalui proses fermentasi alkohol dari sari buah pepaya. Proses fermentasi ini dapat berjalan dengan bantuan mikroba yang mengubah karbohidrat atau gula menjadi alkohol. Mikroba yang digunakan dalam penelitian ini adalah mikroba saccharomyces cerevisiae. Fermentasi alkohol ini dilakukan secara anaerobik yaitu mula-mula dengan inokulasi ragi roti dengan nutrien (NH4)2SO4, (NH4)3PO4, dan bahan baku sari buah pepaya dalam proses pembuatan starter. Setelah diperoleh starter maka dilakukan proses fermentasi terhadap sari buah pepaya steril yang telah mengandung (NH4)2SO4 dan (NH4)3PO4. Untuk mempertahankan pH 4,0 sampai 4,5 digunakan HCl 2 N yang diteteskan ke dalam sari buah pepaya.

Page 74: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

70

1.2. Perumusan Masalah Yang menjadi permasalahan adalah sejauh

mana sari buah pepaya dapat dimanfaatkan menjadi bahan dasar minuman anggur dengan melakukan variasi terhadap lamanya waktu fermentasi, suhu, dan konsentrasi ragi yang ditambahkan ke dalam sari buah untuk memperoleh kualitas anggur yang baik. 1.3. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Adapun variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Variasi waktu fermentasi: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 hari

2. Variasi suhu: 25 0C, 30 0C, 35 0C 3. Konsentrasi khamir: 1%, 2%, 4%

1.4. Parameter Uji 1.4.1. Secara Kimia

Uji Kuantitatif • Kadar etil alkohol: Perbandingan berat jenis

destilat. • Kadar metil alkohol: Dengan

spektrofotometri • Kadar asam asetat: Dengan metode titrasi

1.5. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui lamanya waktu fermentasi yang optimum pada pembuatan anggur buah pepaya.

2. Untuk mengetahui suhu fermentasi yang optimum pada pembuatan anggur buah pepaya.

3. Untuk mengetahui konsentrasi khamir yang optimum dalam proses fermentasi buah pepaya.

1.6. Manfaat Penelitian

1. Sebagai informasi awal bagi peneliti selanjutnya dalam pengembangan pembuatan minuman anggur.

2. Memberikan informasi pada masyarakat tentang penggunaan buah pepaya busuk atau rusak agar dapat bernilai lebih ekonomis.

I. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, Medan. Sedangkan sumber bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari pasar Sei Sikambing dengan pengambilan sampel secara random (sembarang).

2.2. Bahan dan Peralatan 2.2.1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah:

Bahan baku (buah pepaya matang atau rusak) Ragi roti (yeast instant) Aquadest Amonium phosphat Amonium sulfat HCl 2N NaOH 0,2 N Larutan Gula 12 % KOH 30 %

2.2.2. Peralatan

Peralatan pada penelitian ini adalah: • Pisau • Timbangan • Blender • Labu erlenmeyer • Beaker glass • Batang pengaduk • Pipet tetes • Timbangan digital • Oven • Termometer • Gabus, lilin • Kain saring • pH meter • Piknometer • Biuret • Gelas ukur • Corong • Labu suling • Spektrofotometer

2.3 Prosedur Percobaan Penelitian 2.3.1. Pembuatan starter

Starter dibuat berdasarkan yang telah dilakukan oleh Muljohardjo (1984) yaitu ke dalam 1000 ml sari buah ditambahkan 1%, 2%, dan 4% ragi roti (sesuai dengan perlakuan masing-masing), kemudian dimasukkan aktivator 0,33 gram (NH4)SO4 dan 0,05 gram (NH4)3PO4. Setelah itu diinkubasi selama 24 jam atau kalau jumlah selnya sudah mencapai 106-108 / ml (Amerine, Berg, Kunkee, Ough, 1982).

2.3.2. Penentuan berat ragi (Saccharomyces cerevisiae) yang digunakan. Berat ragi yang dibutuhkan dalam tiap

variasi konsentrasi ditentukan dengan cara:

Berat ragi roti = % ragi roti x berat sampel 100% - % ragi roti

2.3.3. Pengamatan jumlah sel khamir

Jumlah sel khamir ditentukan pada awal dan setiap hari fermentasi dengan menggunakan hemositometer. Sebelum sel-sel khamir dihitung, maka terlebih dahulu dilakukan pengenceran sampai konsentrasi 10-4. Suspensi dengan konsentrasi 10-4 ini diteteskan pada alat hemositometer dan ditutup

Page 75: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Pembuatan Anggur Pepaya dengan Proses Fermentasi

71

dengan gelas penutup, kemudian diamati di bawah mikroskop. Untuk menentukan jumlah sel khamir saccharomyces cerevisiae dalam 1 ml sampel dipakai rumus seperti yang dikemukakan oleh Hadioetomo (1985) yaitu:

Y = X * 50 * p * 103 Y = Jumlah sel khamir dalam 1 ml

sampel. X = Jumlah sel khamir yang dihitung pada

lima buah petak ruang kecil. P = Pengenceran.

2.3.4. Penyediaan sampel untuk fermentasi Buah pepaya dipilih yang sudah sangat

matang/rusak atau hampir busuk, lalu dikupas dan dihancurkan (diblender) dengan penambahan air sebanyak 40 %, lalu disaring dan diambil sarinya. Kemudian diatur pHnya 4,0-4,5 lalu ditambahkan amonium fosfat sebanyak 0,25 g/l, terus dipasteurisasi pada suhu 80 0C selama 15 menit. Kemudian didinginkan (suhu sekitar 20 0C-25 0C) dan secara aseptis dimasukkan ke dalam botol fermentasi sebanyak 100 ml. Lalu ditambahkan starter saccharomyces cerevisiae sebanyak 10 ml pada masing-masing botol fermentasi. Fermentasi dilakukan sampai tujuh hari sesuai dengan perlakuan.

2.4. Prosedur Analisis Hasil 2.4.1. Kadar etil alkohol

Dimasukkan 100 ml sampel ke dalam labu distilasi 1000 ml, lalu ditambahkan 150 ml air suling. Campuran didistilasi. Distilat, ditampung dengan piknometer sampai garis tanda. Kemudian piknometer didinginkan pada suhu 20 0C selama 15 menit, miniskus diatur sampai garis tanda dan diangkat lalu didiamkan selama 15 menit kemudian ditimbang. Lalu hitung berat kosong piknometer dan berat air pada 20 0C (sebagai pembanding).

BJ etil alkohol 20/200C = Berat etil alkohol (sulingan) pada 20 0C Berat air pada 20 0C

2.4.2. Analisis Kadar Asam Asetat

Hasil sulingan sebanyak 50 ml ditambahakn phenolfthalen 2-3 tetes (sebagai indikator). Kemudian dititrasi dengan NaOH 0,1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah jambu (pink).

Kadar Asam Asetat dihitung dengan menggunakan rumus:

% Asam Asetat =

%1000*

100*** xsampelVolume

asetatAsamBMNaOHNNaOHVolume

2.4.3. Kadar metanol dengan menggunakan metode Spektrofotometri

2.4.3.1. Penentuan λ (panjang gelombang) maksimum. Diambil 50 ml metanol absolut 99%

kemudian dimasukkan ke dalam kotak kuvet sampai garis standar lalu diukur resapannya (absorbansi) pada panjang gelombang 250-300 nm dan dibuat kurva resapannya. Lamda (λ) maksimum adalah nilai puncak resapan dari metanol absolut 99% yang paling tinggi.

2.4.3.2. Pembuatan kurva kalibrasi metanol

Dipipet 50,5 ml metanol absolut 99% kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml lalu di ad-kan sampai garis standar dengan aquadest dan dikocok sampai larut. Maka diperoleh metanol 50 % (baku induk II).

Dari larutan baku induk II dipipet sebanyak 20 ml kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml lalu di ad-kan sampai garis standar dengan aquadest dan dikocok sampai larut. Maka diperoleh metanol 10 % (baku induk III).

Dari larutan baku induk III dipipet sebanyak 10 ml kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml lalu di ad-kan sampai garis standar dengan aquadest dan dikocok sampai larut. Maka diperoleh metanol 1 % (baku induk IV).

Dipipet dari larutan baku induk IV masing-masing 0,5, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10 ml kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml lalu di ad-kan sampai garis standar dengan aquadest dan masing-masing dikocok sampai larut. Maka akan diperoleh metanol dengan konsentrasi 0,005 %, 0,01 %, 0,02 %, 0,03 %, 0,04 %, 0,05 %, 0,06 %, 0,07 %, 0,08 %, 0,09 %, dan 0,1 %.

Metanol dengan konsentrasi masing-masing 0,005 %, 0,01 %, 0,02 %, 0,03 %, 0,04 %, 0,05 %, 0,06 %, 0,07 %, 0,08 %, 0,09 %, dan 0,1 % kemudian diukur resapannya (absorbansi) pada panjang gelombang (λ) maksimum.

Pembuatan kurva kalibrasi antara absorbansi (Abs) VS konsentrasi (%) agar diperoleh persamaan garis regresi standar metanol.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari grafik 3.1 sampai 3.7 terlihat bahwa

fase pertumbuhan saccharomyces cerevisiae terhadap lamanya fermentasi yang dilakukan adalah:

3.1. Fase permulaan

Pada fase ini saccharomyces cerevisiae masih sedikit menggunakan substrat yang ada pada sari buah pepaya, sehingga larutan gula yang dikonversi menjadi minuman anggur masih sedikit. Fase permulaan pada khamir dengan konsentarasi 4% terjadi beberapa jam setelah pencampuran starter ke dalam medium sehingga dihasilkan kadar alkohol

Page 76: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

72

yang lebih tinggi dibandingkan khamir 1% dan 2%. Hal ini terjadi karena lebih banyaknya sel saccharomyces cerevisiae/ml pada khamir 4% yaitu 493,7 x 105/ml dibandingkan jumlah sel khamir 1 % yaitu 90,1 x 105/ml dan 2% yaitu 264,2 x 105/ml.

3.2. Fase pertumbuhan logaritma

Dari grafik 3.1 sampai 3.7 dapat dilihat bahwa fase pertumbuhan logaritma terjadi pada hari pertama sampai kedua, di mana pada fase ini kecepatan pembelahan paling tinggi dan khamir melakukan metabolisme sangat pesat. Keadaan ini berlangsung terus sampai salah satu atau beberapa nutrien habis atau sampai terjadi penimbunan hasil-hasil metabolisme yang bersifat racun yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan perkembangbiakan saccharomyces cerevisiae (Jutono dkk, 1980). Sedangkan hari ketiga merupakan kondisi konversi (penguraian) substrat maksimum.

3.3. Fase pertumbuhan yang terhambat

Setelah melalui fase pertumbuhan logaritma, kecepatan pembelahan khamir akan berkurang. Hal ini dapat dilihat pada grafik 3.1 sampai 3.7 yang mengalami fase pertumbuhan terhambat pada selang hari kedua sampai ketiga. Hal ini mungkin disebabkan oleh penimbunan hasil ekskresi khamir atau berkurangnya nutrien sehingga mengganggu pertumbuhan khamir tersebut. Akibatnya konversi larutan gula membentuk alkohol (etanol dan metanol) akan menurun dibandingkan fase sebelumnya.

3.4. Fase kematian

Pada fase ini jumlah khamir yang mati akan semakin banyak dan melebihi jumlah yang membelah diri. Hal ini dapat dilihat pada grafik 3.1 sampai 3.7 yang mengalami fase kematian pada hari ketiga sampai ketujuh. Kecepatan kematian khamir meningkat secara terus-menerus sedangkan perkembangbiakannya semakin berkurang dan menjadi nol sehingga kemampuan khamir meng-konversi gula menjadi alkohol (etanol dan metanol) akan menurun dan semakin sedikit sehingga dapat diabaikan.

Dari grafik 3.1 sampai 3.7 terlihat bahwa masing-masing perlakuan memperlihatkan perbedaan yang nyata untuk jumlah kadar etanol dan metanol. Pengaturan suhu fermentasi ke arah suhu pertumbuhan optimum 300C (Desrosier, 1998) akan meningkatkan pertumbuhan khamir yang diikuti pula dengan peningkatan kadar alkohol yang dihasilkan. Dari grafik 3.5 dapat dilihat bahwa dengan konsentrasi khamir 4 %, penambahan gula sampai 16% suhu 300C, lama fermentasi tiga hari diperoleh tingkat produksi etanol maksimum 12,81 %. Dari grafik 3.2 dengan konsentrasi khamir 4 % suhu 300C lama fermentasi tiga hari dan tanpa penambahan gula diperoleh tingkat produksi etanol maksimum 3,05 %.

Dari grafik 3.1 dengan penambahan gula sampai 16 %, konsentrasi khamir 2 %, suhu 300C, dan lama fermentasi 3 hari diperoleh tingkat produksi metanol maksimum 0,07826241 %. Dari grafik 3.7 dengan konsentrasi khamir 4 %, suhu 300C, lama fermentasi tiga hari dan tanpa penambahan gula diperoleh tingkat produksi metanol maksimum 0,05955322 %.

Dengan meningkatnya pertumbuhan khamir dan pembentukan produk diikuti pula dengan meningkatnya evolusi panas (reaksi eksoterm), sehingga suhu medium dapat mencapai 37 0C. Dalam keadaan demikian alkohol yang dihasilkan dapat hilang melalui penguapan dan terikut keluar dengan keluarnya CO2 (Ayres, 1980). Penurunan alkohol juga terjadi karena etanol dan metanol yang dihasilkan teroksidasi menjadi asetaldehid dan oksidasi lanjut akan menghasilkan asam asetat (Buckle, K. A, 1987). Oksidasi ini dapat terjadi karena kondisi fakultatif anaerob. Asam asetat yang dihasilkan akan menambah keasaman medium yang berakibat tidak baik bagi kehidupan khamir saccharomyces cerevisiae. Jika kondisi ini berlangsung lebih lama maka akan semakin banyak etanol dan metanol yang terkonversi menjadi asetaldehid yang dengan demikian persentasi alkohol (etanol dan metanol) semakin menurun dan konsentrasi asam asetat meningkat.

Pada grafik 3.3 sampai 3.8 dapat dilihat bahwa konsentrasi asam asetat terbesar terjadi pada khamir 4% di mana kadar alkohol rata-ratanya lebih besar dibandingkan kadar alkohol yang dihasilkan khamir 1% dan 2%. Hal ini dapat terjadi karena banyaknya alkohol (metanol dan etanol) yang teroksidasi dalam jumlah yang besar. Maka dapat disimpulkan pembentukan asam asetat dipengaruhi oleh besarnya konsentrasi alkohol yang teroksidasi. Bila alkohol yang teroksidasi semakin besar jumlahnya maka jumlah asam asetat yang dihasilkan semakin besar pula dan akan memperburuk kualitas minuman anggur yang dihasilkan.

Page 77: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Pembuatan Anggur Pepaya dengan Proses Fermentasi

73

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

1 2 3 4 5 6 7Lama Fermentasi (hari)

Kon

sent

rasi

Met

anol

(x 1

0-2

%)

Khamir 1%

Khamir 2%

Khamir 4%

Grafik 3.1. Hubungan lama fermentasi terhadap konsentrasi metanol dengan penambahan gula 16% pada suhu 350C.

0

0,005

0,01

0,015

0,02

1 2 3 4 5 6 7Lama Fermentasi (hari)

Kon

sent

rasi

Asa

m A

seta

t (x1

0-2

%)

Khamir 1%

Khamir 2%

Khamir 4%

Grafik 3.2. Hubungan lama fermentasi terhadap konsentrasi Asam asetat tanpa penambahan gula 16% pada suhu 250C.

0

0,005

0,01

0,015

0,02

1 2 3 4 5 6 7

Lama Fermentasi (hari)

Kons

entra

si as

am A

seta

t (x

10-

2 %

)

Khamir 1%

Khamir 2%

Khamir 4%

Grafik 3.3. Hubungan lama fermentasi terhadap konsentrasi Asam asetat tanpa penambahan gula 16% pada suhu 300C.

0

0,005

0,01

0,015

0,02

1 2 3 4 5 6 7

Lama Fermentasi (hari)

Kon

sent

rasi

Asa

m A

seta

t (x

10-2

%)

Khamir 1%Khamir 2%

Khamir 4%

Grafik 3.4. Hubungan lama fermentasi terhadap konsentrasi Asam asetat tanpa penambahan gula 16% pada suhu 350C.

0

0,005

0,01

0,015

0,02

0,025

1 2 3 4 5 6 7Lama Fermentasi (hari)

Kon

sent

rasi

Asa

m A

seta

t ( x

10-

2 %

)

Khamir 1%

Khamir 2%

Khamir 4%

Grafik 3.5. Hubungan lama fermentasi terhadap konsentrasi Asam asetat dengan penambahan gula 16% pada suhu 250C.

0

0,005

0,01

0,015

0,02

0,025

1 2 3 4 5 6 7Lama Fermentasi (hari)

Kon

sent

rasi

Asa

m A

seta

t (x

10-2

%)

Khamir 1%

Khamir 2%

Khamir 4%

Grafik 3.6. Hubungan lama fermentasi terhadap konsentrasi Asam asetat dengan penambahan gula 16% pada suhu 300C.

0

0,005

0,01

0,015

0,02

0,025

1 2 3 4 5 6 7

Lama Fermentasi (hari)

Kon

sent

rasi

asam

Ase

tat

(x 1

0-2

%)

Khamir 1%

Khamir 2%

Khamir 4%

Grafik 3.7. Hubungan lama fermentasi terhadap konsentrasi Asam asetat dengan penambahan gula 16% pada suhu 350C.

Page 78: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

74

IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan

1. Lama fermentasi sari buah pepaya yang baik untuk setiap variasi khamir dalam menghasilkan minuman anggur adalah tiga hari.

2. Penambahan gula sampai dengan 16% pada sari buah pepaya dapat meningkatkan produksi etanol sebesar 320%.

3. Penambahan gula sampai dengan 16% pada sari buah pepaya dapat meningkatkan produksi metanol sebesar 31,42 %.

4. Penambahan gula sampai dengan 16% pada sari buah pepaya dapat meningkatkan produksi asam asetat sebesar 42,31 %.

5. Kadar metanol dan asam asetat yang diperoleh masih memenuhi standar nasional Indonesia 1993 (Anggur).

6. Berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan No. 86 tahun 1977, minuman anggur yang dihasilkan dengan panambahan gula sampai 16% termasuk golongan B (kadar alkohol antara 5-20 %) sedangkan minuman anggur yang dihasilkan dengan tidak menambahkan gula ke dalam sari buah pepaya termasuk golongan A (kadar alkohol 1-5%).

4.2. Saran

Untuk mendapatkan minuman anggur dari sari buah pepaya yang siap untuk dikonsumsi perlu dilakukan analisis terhadap kandungan mikroba bahan dasar minuman anggur. 4.3. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dedy N. dkk. (Mahasiswa Program Studi Teknik Kimia/Program Ekstension) yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Amerine, M.A. and Ough, C.S. 1980. Methods For

Analysis of Must and Wine. New York: John Wiley & Sons.

Amerine, M. A. Berg, H. Kunkee, R.E., Ough, C.S., Singleton, V.L., and Webb, A.D.1982. Technology of Wine Making. 4 th ed. Wesport, Connecticut: The AVI Publishing Company Inc.

Anonymous, 1977. The Preparation of Pried of Pried Ginger. London: Mc. Compile by TPI.

Aries, R. S. 1947. Encyclopedia of Chemichal Technology I. New York: The Interscience Encyclopedia Inc.

Baga Kalie. M. 1989. Bertanam Pepaya. Jakarta: Penerbit Penebar Swadaya.

Baga Kalie, M. 2000. Bertanam Pepaya (Revisi). Jakarta: Penerbit Penebar Swadaya.

Bilford, H. R., Sclaf, R.E., Stark, and Kolachov,P.J. 1942. Alcoholic Fermentation of Mollase. New York: Rapid Continous Fermentation Process Inc, Eng, Chem.

Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H., and Wootton, M. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan oleh Purnomo, H. dan Adiono. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Departemen Perindustrian. 1993. Mutu dan Cara Uji Minuman Beralkohol. Jakarta: Standar Industri-Industri.

Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bharata Karya Aksara.

Desrosier, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Terjemahan oleh Muchji Muljohardjo. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Efendi, K. 2002. Pusat Penelitian Holtikultura dan Aneka Tanaman. Jakarta.

Hadioetomo, R.S. 1985. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. Jakarta: PT Gramedia.

Judoamidjojo, M. Darwis, A.A., Sa”id, E.G. 1992. Teknologi Fermentasi. Jakarta: Penerbit Rajawali Pers.

Muljohardjo, M. 1984. Nenas dan Teknologi pengolahannya. Yogyakarta Liberty.

Pelczar, M. Z. Reid, and Chan. 1983. Microbiology, 4 th edition. New Delhi: ta Mc Graw Hill Publishing Co. Ltd.

Prescott, S.C. and Dunn, C.G. 1959. Industrial Microbiology, Third Edition. New York: Mc Graw Hill Book Company Inc.

Sa”id, G.A. 1987. Bio Industri, Penerapan Teknologi Fermentasi. PAU Bioteknologi, IPB. Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa.

Setyohadi. 1982. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol dari Bahan Air Kelapa Segar. Medan: Fakultas Pertanian, USU.

Winarno, F.G. dan Fardiaz, S. 1992. Biofermentasi dan Biosintesa Protein. Bandung: Penerbit Angkasa.

Page 79: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

75

Rancangan dan Penerapan Kontrol Logika Kabur untuk Industri

Kasmir Tanjung Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik USU

dan

Mahyuddin Jurusan Matematika FMIPA USU dan Program Ilmu Komputer USU

[email protected]

Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk meninjau rancangan dan penerapan kontrol kabur yang dapat diimplementasikan ke sektor industri, dengan mengungkapkan beberapa karakteristik dari dunia industri secara riil.

Kata kunci: himpunan kabur, logika kabur, kontrol, pengendali.

1. Pendahuluan Sejak prinsip dasar: Himpunan kabur (fuzzy

set) diungkapkan [5], penerapannya terhadap berbagai bidang kehidupan sehari-hari terus menerus dikaji. Logika kabur (fuzzy logic) disingkat FL, dengan dasar teori himpunan yang sama [2], pada dekade terakhir telah diterapkan di sektor industri baik di Timur maupun di Barat. Penerapan FL terhadap produk-produk konsumer dengan mana benefit dihasilkan secara profesional didasarkan atas keistimewaan-keistimewaan FL, terutama berkaitan dengan antarmuka kontrol mutu seperti detektor warna produk misalnya. Kemampuan FL untuk memodelkan tidak secara tepat pasti dan dugaan-dugaan subjektif memungkinkan untuk meniru manusia bersama kemampuan automata [8], sehingga kombinasi beragam jenis berbeda informasi dibolehkan dan dapat digunakan untuk mengendalikan proses nyata hidup. Pada dunia industri diperlukan pendekatan untuk merancang suatu kontrol. Penglibatan pendekatan paling akurat sebagai pendekatan pertama, dengan melibatkan model bersifat fisik tentang sistem. Walaupun pendekatan ini menghasilkan penyelesaian yang baik, tetapi hanya proses paling sederhana yang dapat dikendalikan dengan cara ini. Pendekatan kedua, menggunakan model identifikasi proses. Melalui model multi-peubah dinamik, atau model yang dimodifikasi sehingga respon secara tertutup mendekati proses riil, dan tentunya diperlukan sekumpulan data sebagai dasar acuan [6]. Persoalan kontrol bagi industri secara riil selalu berkaitan dengan banyak parameter dan tak semuanya dapat diukur seakurat mungkin: interaksi-interaksi tidak selalu transparan atau mempunyai hubungan tak linier yang kuat, dan skala waktu yang tentunya tidak juga mengijinkan untuk menilai waktu nyata sistem. Pada satu sisi, seringkali data tidak

dapat dikumpulkan untuk membuat suatu identifikasi, atau perlu waktu yang cukup untuk membuat proses statistika, sehingga kedua pendekatan terdahulu tidak dapat diterapkan. Pada sisi lain, untuk mengendalikan proses perlu didapatkan suatu operator pakar yang mampu mengungkapkan dan mempelajari suatu keadaan yang bebas dari ketersediaan proses percobaan. Berdasarkan ini, banyak aplikasi dalam sektor dan bidang berbeda menggunakan kontrol FL, terutama dalam industri, dengan menggabungkan metode-metode yang ada. Namun demikian, kontrol proses yang melibatkan ketidaktentuan atau bersifat mendua melalui perubahan parameter-parameter karena alasan bahan baku, campuran bahan bakar, dan akibat lingkungan eksternal, yang menyulitkan pengukuran, dapat di atasi melalui pendekatan ketiga: logika kabur dengan memodelkan perilaku dengan operasi pakar. Oleh karena itu, perlu ditentukan suatu strategi untuk mendapatkan kontrol lebih baik melalui tinjauan terhadap kontrol FL. 2. Kendali Kabur

Himpunan-himpunan kabur selalu berupa fungsi berbentuk segitiga yang dinyatakan atas titik-titik pada ruang yang sama. Aturan-aturan kendali akan berbentuk: (a) Jika x adalah A dan y adalah B maka z adalah P, atau (b) jika x adalah C dan y adalah D maka z adalah Q. Pelaksanaan operasi irisan himpunan kabur, akan bersangkut paut dengan α = 1, BA∩μ ( )()(), 0000 yxyx BA μμ= [4]. Sedangkan aturan operasi perkalian akan digunakan untuk implikasi logika kabur dan karena itu jika x = x0, y = y0 maka himpunan-himpunan kabur dihasilkan dari (a,b) menjadi PBA yx μμμ )()( 00

dan QDC yx μμμ )()( 00 [3].

Page 80: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

76

Berdasarkan kombinasi dari dua aturan (a,b) dan untuk melakukan defuzifikasi dari hasil apabila x = x0, y = y0, digunakan

+)()(( 0 oBA yxp μμ

)/())()( 0 qpyxq oDC +μμ , (1) dengan mana p dan q adalah pusat dukungan untuk masing-masing himpunan kabur P dan Q. Walaupun kontrol kabur didasarkan atas pemodelan tentang pengetahuan dengan menggunakan ilmu bahasa [8] atau peubah-peubah kabur, tidaklah berarti bahwa untuk mengukur parameter-parameter proses yang keakuratannya rendah hanya dengan cara memperlemah sensor. Pengalaman yang berkaitan dengan logika kabur menyatakan bahwa tidak terjadi reduksi keperluan bagi pengukuran dan akurasi sensor. Keistimewaan logika kabur terletak dalam kemampuannya untuk menggunakan pengetahuan kualitatif (aturan-aturan kendali) untuk mengumpulkan tindakan-tindakan pengendali. Penerapan logika kabur dalam merancang suatu pengendali mempunyai keistimewaan berbeda dibandingkan dengan metode-metode lain [1]:

a. Banyak peubah masukan dan keluaran dapat ditangani secara simultan.

b. Semua aturan pengetahuan dalam sistem pakar kabur diterapkan secara simultan; inferensi dapat dengan mudah dipetakan atas sistem multi-pengolah. Walaupun pertentangan aturan dapat diakomodasi dengan formal.

c. Eliminasi data penting dapat dilakukan dengan mereduksi jumlah tak terhingga nilai yang secara fisik jumlah itu dapat mengambil jumlah berhingga, apalagi berkaitan dengan jumlah bobot yang rendah atau bersifat bahasa. Lagi pula secara umum tidak perlu untuk menyatakan status keluaran bagi semua kombinasi peubah masukan, sebab pemilihan secara hati-hati peubah dan bagian divisi dalam strategi bagian akan mereduksi jumlah aturan secara besar-besaran.

d. Informasi kendali secara jelas “dilokalisasikan” pada kontrol kabur, yang berarti bahwa jika salah satu tidak dipenuhi oleh tindakan pengendali untuk kombinasi tertentu masukan-masukan sistem, aturan-aturan aktif menyebabkan tindakan pengendali dapat secara langsung dikenali dan koreksi dapat dibuat, tanpa berdampak bagi perilaku pengendali pada masukan-masukan lain. Secara ortogonal aturan-aturan kendali membuatnya hal ini mungkin dengan menambahkan sehimpunan aturan terhadap pengendali kabur yang ada atau pelaksanaan zoom atas roman tertentu dari pengendali tanpa mengganggu perilaku

pengendali dalam situasi lain. Ini berkaitan dengan konstras yang halus dengan situasi pengendali-pengendali didasarkan atas jaringan syaraf. Pada semua pengendali berjenis “kotak hitam” informasi kendali diganggu melalui semua syaraf dalam jaringan [7,9].

e. Roman ‘zooming’ mengakibatkan dimungkinkan untuk menggabungkan pengedali-pengendali berbasis logika kabur dengan pengendali-pengendali konvensional yaitu dengan menyertakannya bersama berdasarkan tujuan kelengkapan melalui dan/atau menambah perilaku pengendali yang telah ditempatkan.

Secara skematik dinyatakan bahwa logika kabur

dapat digunakan dalam kendali sederhana. Sedangkan pada industri sebenarnya, akan seringkali diperlukan lebih dari pengendali-pengendali yang telah ada, namun semua pengendali ini dapat dikonstruksikan dengan menggunakan kontrol FL yang sederhana dengan cara memprioritaskan grup aturan kendali.

3. Perancangan Kontrol FL

Pada pasal ini, diasumsikan bahwa pengendali terpadu secara proporsi berkaitan dengan sistem masukan tunggal, yaitu

,0 nnn sewu βα −−= (3)

dengan mana ne = nilai masukan – himpunan titik,

nu = keluaran pengendali, ∑ == n

i in ss1

dan

000 euw α−= pada periode pemindaian ke-n. Berikut akan dirancang suatu kontrol FL yang menghasilkan hal yang sama dengan pengendali terpadu secara proporsional untuk periode n pemindaian: a. Fuzifikasi peubah

Penerapan praktis memerlukan neα , nsβ dan

0uun − yang didefinisikan dalam rentang [-M,M] dan bilangan M>0 yang asumsikan. Misalnya katakan bilangan bulat positif m, dapat dinyatakan bahwa v = M/m, αλ /v= , dan

βμ /v= untuk α dan β positif dan karena itu λ dan μ juga positif. Dalam rancangan kontrol FL yang setara dengan pengendali terpadu secara proporsional ditentukan ukuran m ≥ 1, jika digunakan tiga atau lebih himpunan kabur. Peubah masukan ne dapat difuzifikasi dengan 2m+1 himpunan. Semua himpunan kabur ini dinomori dari kiri ke kanan dengan 1 sampai 2m+1. Hasil jumlah kumulatif ns juga dapat dinyatakan. Akan tetapi, untuk keluaran

Page 81: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Rancangan dan Penerapan Kontrol Logika Kabur untuk Industri

77

pengendali nu digunakan 4m+1 himpunan kabur. Berdasarkan itu, diperoleh

Mmm == βμαλ dan dari pilihan M,

neα dan nsβ berada dalam rentang [-M,M]. Jadi

untuk nilai ne terdapat bilangan bulat j, -m ≤ j ≤ m sedemikian hingga

λφλφ )1)(1()( +−+= jjen (3)

untuk 10 ≤≤ φ . Dengan cara yang sama, diperoleh

μψμψ )1)(1()( +−+= kksn (4)

untuk 10 ≤≤ψ dan mkm ≤≤− .

b. Aturan dan inferensi kontrol kabur. Apabila pasangan himpunan kabur bagi ne dan

ns diberikan, himpunan kabur ditugaskan untuk keluaran pengendali yang sesuai sebagai berikut:

⎟⎟⎟⎟⎟⎟⎟⎟

⎜⎜⎜⎜⎜⎜⎜⎜

+++

++++++++

++++

11212

1...1222...132...2232...23

12...1323...14

mmm

mmmmmmmm

mmmm

MMMM

MMMM

dengan mana ne berposisi pada baris matrik 1

sampai 2m+1 dan ns ditempatkan pada kolom dari 1 sampai 2m+1.

c. Defuzifikasi dan perbadingan Keluaran himpunan kabur diperoleh dengan menggabung-kan empat himpunan:

),'(),,'( ψφ kj , )1,1')(,'( ψφ −+kj , ),')(1,1'( ψφ kj −+ , dan

)1,1'(),1,1'( ψφ −+−+ kj sehingga dapat dilakukan defuzifikasi bersama relasi (1), dengan pembagi φψ + )1( ψφ − + ψφ)1( − + )1)(1( ψφ −− = 1 dan pusat dukungan untuk himpunan 4m + 3 – j’ – k’ adalah (4m + 3 – j’ – k’ – (2m+1))v = (2m + 2 –(m+1+j) – (m+1+k))v = -(j+k)v. Dengan demikian, pembilang dari (1) menjadi –(j+k)vφψ - (j+k+1)v( )1( ψφ − + )1( φψ − ) – (j+k+2)v )1)(1( ψφ −−

vkj )2( −−++−= ψφ (4) Oleh karena itu, (3) dan (4) masing-masing dapat diungkapkan, dan pengendali logika kabur yang dirancang akan menghasilkan (-2+φ +ψ -

j - k)v sebagai keluaran pengendali 0uun − . Dengan kata lain, keluaran dari kontrol terpadu secara proporsional yang berasal dari (2), adalah kebalikan identik dari (4):

=−−=− nnn seuu βα0 .

vkj )2( ++−−− ψφ Yang berarti bahwa untuk suatu pengendali terpadu secara proporsional dengan sistem masukan tunggal, jika keluarannya secara seragam dibatasi untuk setiap pemindaian periode n, maka dapat dirancang suatu pengendali logika kabur yang mempunyai keluaran identik dengan pengendali terpadu secara proporsional. Asumsikan bahwa aturan pengendali diberikan melalui r = ap + bq + c, p dan q adalah bilangan himpunan kabur bagi masing-masing e(t) dan s(t). Dapat diperlihatkan bahwa untuk

λφλφ )1)(1(0 jje −−+= dan =0s

+μψk μψ )1)(1( +− k , keluaran pengendali r(e0,s0) diberikan dengan

+−+ + ))1( ,1, kjkj rr φφψ

1,11, )1()(1( +++ −+− kjkj rr φφψ (5)

kjr , = keluaran pengendali pada e(t) = j λ , s(t) = k ,μ dan r(e0,s0) adalah keluaran pengendali

pada e(t) = e0 dan .)( 0sts =

d. Pengendali logika kabur Pengendali logika kabur dapat dirancang dalam bentuk algoritma kecepatan sehingga keluaran identik dengan pengendali terpadu perangkat keras yang diperlukan, yaitu

,nnn eeu βα −Δ−=Δ .' 000 euu α−= (6) Untuk sistem yang sama )(),(' tuytfy += , algoritma secara numerik (2) dan (6) akan menghasilkan selesaian yang sama untuk y dengan styte −= )()( untuk sebarang tetapan s.

4. Penerapalan Kontrol FL

Dengan menerapkan (6) terhadap suatu sistem diperoleh nu yang menghasilkan penerapan yang sama dengan (2). Oleh karena itu, cukuplah menggunakan (2) untuk merancang kendali logika kabur yang menghasilkan (6). Misalkan diambil

Page 82: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

78

batas umum L untuk neΔα , neβ , nuΔ , dan bilangan bulat positif l, diperoleh v = L/l,

,/ βλ v= dan αμ /v= . Akibatnya himpunan

kabur dinyatakan untuk ne secara pasti sama,

kecuali hanya nilai λ yang berbeda. Himpunan kabur untuk neΔ dinyatakan dengan nilai baru dari

μ , sedangkan yang lain harus menggunakan nuΔ .

Aturan kendali kabur yang sama digunakan seperti pada bentuk matrik di atas, inferensi kabur menghasilkan hal yang sama seperti telah digunakan di atas, demikian juga metode defuzifikasi yang sama melalui ungkapan (1). Jika neΔ = +)( λφ j λφ )1)(1( +− j dan

μψμψ )1)(1()( +−+= kken , maka berdasarkan argumen yang sama diperoleh

vkjur nn )2( −−++−=Δ= ψφ . Untuk kasus kendali terpadu secara proporsional, dapat disubsitusikan neΔ dan ne ke dalam (6) untuk memperoleh nilai yang sama. 5. Penutup

Apabila kontrol FL dapat secara skematis digunakan dengan meninjau kembali persediaan proses kuantitatif dan kualitatif, atau apabila kerumitan (yaitu bilangan masukan) atau frekuensi perubahan dan persediaan kualitatif tinggi, maka perlulah kontrol FL dipertingkatkan, seperti halnya manusia dapat menangani persediaan kualitatif rendah dengan presisi tinggi, agar secara sebaliknya dapat melengkapkan kemampuan komputer-komputer yang dapat menangani persediaan kuantitas tinggi dengan kualitas rendah relatif. Oleh karena itu, FL dapat mengakomodasi kedua-duanya secara simultan: Jika untuk himpunan kabur, fungsi berbentuk segitiga atas titik-titik pada ruang sama digunakan, aturan kontrol kabur akan bersifat linier, aturan operasi perkalian digunakan untuk implikasi kabur, dan defuzifikasi dilakukan dengan (1), maka keluaran pengendali adalah fungsi linier dengan dua peubah e(t) dan s(t).

Akhirnya, pilihan berdasarkan atas dan hanya ditentukan oleh permintaan-permintaan waktu nyata dari sistem yang dikendalikan. Sedangkan implementasi perangkat lunak melalui perangkat keras dapat dilakukan, jika waktu cukup tersedia, disebabkan oleh keluwesan warisannya (menuruf inferensi).

Daftar Pustaka A. J. van der Wal, Application of fuzzy logic control

in industry, Fuzzy Sets and Systems. 74, 1995, 33-41.

C. C. Lee, Fuzzy logic in control system: fuzzy logic controller – Part I, IEEE Trans. Systems Man Cybernet. 20(2), 1990: 404-418.

C. C. Lee, Fuzzy logic in control system: fuzzy logic controller – Part II, IEEE Trans. Systems Man Cybernet. 28(2), 1990: 419-435.

G. J. Klir dan T. A. Folger, Fuzzy sets, uncertainty and information, Prentice Hall, Englewood Cliffs, NJ, 1988.

L. A. Zadeh, Fuzzy Sets, Inform. And Control 8, 1965: 338-353.

Mahyuddin, Senibina alat gapai untuk sistem inventori, Laporan Metode Penelitian, Fakulti Teknologi dan Sains Maklumat Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, 2003.

Mahyuddin, Metodologi heuristik, Jurnal Matematika dan Terapannya, Vol. 5 No. 1. April 2004: 31 – 37.

Mahyuddin dkk, Konstruksi pengolah bahasa pemrograman visual berdasarkan sifat-sifat aljabar, Laporan Penelitian Dana Rutin, Lembaga Penelitian USU, Medan, 2004.

Mahyuddin, Pembakuan prosedur algoritma genetika, Jurnal Matematika dan Terapannya, Vol. 5 No. 2. November 2004: 1 – 10.

Page 83: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

79

MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DI PROYEK INDUSTRI JASA KONSTRUKSI

Syahril Effendy Pasaribu Staf Pengajar Fakultas Ekonomi UMSU

Abstrak: Pengembangan sistem keselamatan dan kesehatan kerja pada Proyek Industri Jasa Konstruksi harus ditangani secara serius dengan berpedoman kepada ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja. Untuk melaksanakan hal ini maka perusahaan jasa kontsruksi harus menerapkan sistem keselamatan dan kesehatan kerja di proyek dengan melibatkan pihak manajemen dan pekerja dengan pengawasan dari pemerintah. Penerapannya harus dilaksanakan secara terintegrasi dengan mengacu kepada keadaan dan perkembangan proyek yang sedang dikerjakan oleh perusahaan

Kata kunci: Manajemen K3, Proyek Industri Jasa Konstruksi

I. Pendahuluan

Penerapan Sistem keselamatan dan kesehatan kerja memiliki banyak dimensi keterkaitan di mana keterkaitan itu tidak hanya dengan tenaga kerja sebelum, selama, dan sesudah kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Dalam GBHN 1999-2004 bidang Kesehatan dan Kesejahteraan sosial disebutkan bahwa arah kebijakan yang harus dilaksanakan pemerintah adalah mengembangkan sistem jaminan sosial tenaga kerja bagi seluruh tenaga kerja untuk meningkatkan perlindungan, keselamatan dan kesehatan kerja yang memadai yang pengelolaannya melibatkan pemerintah, perusahaan, dan pekerja. Kebijakan tersebut di atas erat kaitannya dengan sistem keselamatan dan kesehatan kerja yang harus diterapkan pada setiap perusahaan.

Menurut pasal 86 dan 87 (Undang-Undang No.13 tahun 2003) tentang ketenagakerjaan bahwa setiap pekerja/buruh berhak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan, dan kesehatan moral dan kesusilaan serta perlakukan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia dan nilai-nilai agama. Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan Untuk mewujudkan perlindungan tenaga kerja tersebut maka pemerintah melakukan upaya pembinaan norma di bidang ketenagakerjaan yang mencakup pengertian pembentukan, penerapan, dan pengawasan norma itu sendiri. Lalu Husni (2000)

Sistem keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu norma ketenagakerjaan yang penerapannya bertujuan untuk mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja di perusahaan tempat kerja. Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan masalah yang berkaitan dengan berbagai aspek

antara lain ekonomi, hukum, dan sosial.

Pada dasarnya semua orang tidak menghendaki terjadinya kecelakaan kerja karena apabila seseorang ditimpa musibah kecelakaan kerja maka selain dirinya pribadi, keluarganya juga akan turut merasakan akibatnya. Bagi diri pribadi yang terkena kecelakaan akan menderita phisiknya dan khusus kecelakaan yang menimbulkan cacat membuat cahaya kehidupannya menjadi cenderung menurun atau suram. Bagi keluarga, akan menimbulkan beban moril, adakalanya menjadi beban materil jika yang mengalami kecelakaan kerja merupakan anggota keluarga yang menjadi tulang punggung kehidupan keluarga. Khusus bagi perusahaan, jika timbul kecelakaan kerja terhadap pekerjanya, selain kehilangan tenaga kerja, juga perusahaan akan mendapat beban tanggung jawab materi sesuai dengan peraturan perundang-undangan berlaku (Sumakmur PK, 1989). Penyelenggaraan perkerjaan konstruksi wajib memenuhi ketentuan teknik tentang keteknikan, keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan tenaga kerja, serta tata lingkungan setempat untuk menjamin terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan kontstruksi. Kesadaran hukum dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi perlu ditingkatkan termasuk kepatuham para pihak dalam pemenuhan kewajibannya serta pemenuhan terhadap ketentuan yang terkait dengan aspek keamanan, keselamatan, dan kesehatan kerja serta lingkungan (UU No.18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi)

Penerapan sistem keselamatan dan kesehatan kerja di setiap perusahaan harus dilaksanakan secara berkelanjutan sehingga semboyan keselamatan dan kesehatan kerja “utamakan keselamatan” terwujud.

Page 84: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

80

II. Peraturan Perundang-Undangan dengan tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Pada prinsipnya, tanggung jawab terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (K3) berada pada setiap orang. Setiap pekerja harus berpartisipasi dalam setiap kegiatan keselamatan dan kesehatan kerja serta bertanggung jawab atas keselamatan dan kesehatan dirinya masing-masing. Karena dalam suatu proyek jasa konstrusi senantiasa terdapat kegiatan teknik yang melibatkan juga berbagai peralatan teknik dan sumber daya manusia, maka secara keseluruhan beban tanggung jawab atas operasi perusahaan berada pada pimpinan perusahaan/kontraktor. Penerapan sistem manajemen K3 dapat menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja maupun orang lain yang berada di tempat kerja (Eugenua Liliawati Muljono, 1997). Untuk mendukung sistem keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan-perusahaan, pemerintah telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja antara lain: 1. Undang-Undang N0.13 Tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan. 2. Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang

keselamatan kerja. 3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI PER

07/MEN/1964 tentang kesehatan kerja. 4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. PER-

04/MEN/1995 tentang perusahaan jasa keselamatan dan kesehatan kerja

5. Instruksi Menteri Tenaga Kerja RI No. INST 05/M/RW/96 tanggal 28-10-1996 tentang pengawasan dan pembinaan keselamatan kerja pada kegiatan konstruksi bangunan.

6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.04/MEN/1987 tentang tata tata cara pembentukan P2K3 dan pengangkutan ahli K3.

7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.PER 05/MEN/1996 tentang sistim manajemen keselamatan dan kesehatan kerja.

8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Kep 19/M/BW/97 tanggal 26-2-1997 tentang pelaksanaan audit sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja.

9. Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No.Kep 04/MEN/80 tentang syarat-syarat pemasangan dan pemeliharaan alat pemadam api ringan (APAR).

10. Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No.01/MEN/82 tentang bejana bertekanan.

11. Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No.02/MEN/82 tentang pengawasan instalasi penyalur petir.

12. Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No.04/MEN/85 tentang pesawat tenaga dan produksi.

13. Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No.05/MEN/85 tentang pesawat angkat dan angkut.

14. Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No.01/MEN/1996 tentang pelaksanaan tata cara pembuatan KKB. Dalam Setiap Pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) harus dicantumkan sistem keselamatan dan kesehatan kerja.

15. Instruksi Dirjen Hubungan-Perburuhan dan Perlindungan tenaga kerja No. INS.8/PP/1980 tanggal 16-4-1981 tentang pedoman pembuatan peraturan perusahaan, yang juga harus menetapkan bahwa tunjangan kecelakaan kerja, tunjangan kematian akibat kecelakaan kerja, keselamatan kerja dan perlindungan kerja harus dimuat dalam peraturan perusahaan.

Demikian juga untuk penanganan kecelakaan kerja pemerintah telah menerbitkan UU No.3 tahun 1992 tentang Jamsostek di mana kecelakaan kerja merupakan salah satu program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) yang yang dijabarkan dengan PP No.14 Tahun 1993 tentang penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja. Kemudian khusus untuk perkerjaan industri jasa kontruksi diterbitkan lagi pertunjuk pelaksaannya yaitu Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenga Kerja serta di daerah Keputusan Gubernur Kepala Daerah yang menerapkan bahwa setiap kontraktor induk maupun subkontraktor yang melaksanakan proyek-proyek industri jasa konstruksi wajib mempertangungjawabkan semua tenaga kerja borongan harian lepas dan musiman dengan mendaftarkannya ke PT Jamsostek (persero) selambat-lambatnya 1 (satu) minggu sebelum pekerjaan dimulai dengan mengisi formulir 1/I K dengan lampiran Surat Perintah Kerja ataupun perjanjian borongan/kontrak atau surat pernyataan melengkapi SPK/surat perjanjian borongan/ kontrak. Adapun besaran tarif iuran Jamsostek bagi pekerjaan industri jasa konstruksi adalah: - 0,20% dari harga kontrak untuk proyek di atas

Rp 500 juta - 0,35% dari harga kontrak untuk proyek di atas

Rp 100 juta - 0,50% dari harga kontrak dibawah Rp 100 juta

Page 85: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Proyek Industri Jasa Konstruksi

81

III. Manajemen K3 di Proyek Industri Jasa Kontruksi

Keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu program yang harus diterapkan dan dilaksanakan disetiap tempat kerja di proyek industri jasa kontruksi. Menurut G. Kartasapoetra (1985) yang dimaksud tempat kerja ialah ruangan atau lapangan baik yang tertutup ataupun yang terbuka, yang bergerak atau yang tetap, di mana para tenaga kerja (buruh) atau yang sering dimasuki para tenaga kerja (buruh) untuk keperluan suatu usaha dan di mana terdapat sumber sumber bahaya . Tempat kerja ialah adalah setiap tempat yang di dalamnya terdapat 3 unsur, yaitu: a. Adanya suatu usaha, baik itu usaha yang bersifat

ekonomi maupun usaha sosial. b. Adanya sumber daya. c. Adanya tenaga kerja yang berkerja di dalamnya

baik secara terus menerus maupun hanya sewaktu waktu. Lalu Husni (2000)

Kecelakaan kerja pada proyek biasanya timbul dari beberapa faktor yaitu peralatan teknis, lingkungan kerja, dan pekerja itu sendiri misalnya akibat jeleknya pengaturan sirkulasi udara menyebabkan terkumpulnya uap beracun yang mengakibatkan kecelakaan karena pekerja yang ada dirungan tersebut akan menghirup udara yang tercemar. Bisa juga kalau lingkungan kerja sedemikian bisingnya tidak bisa terdengar isyarat terjadinya bahaya. Dapat dipastikan bahwa setiap kecelakaan akan berakibat buruk bagi korbannya yaitu manusia. Data dari Annual Report mengenai keselamatan dan kesehatan kerja tahun 2002 yang diterbutkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, menunjukkan bahwa sektor usaha bangunan menduduki peringkat ke-4 yang mempunyai kasus kecelakaan tertinggi. Selengkapnya peringkat untuk 5 sektor adalah: 1. Sektor Pertanian dan Peternakan 13,60 % 2. Industri kecil 8.65 % 3. Indutri Pakaian Jadi dan Bahan Jadi 5,68% 4. Bangunan 5,67 % 5. Penebangan Kayu 5,58 % Data di atas diperoleh dari data kecelakaan dari tahun 1995 s/d 1999 dengan jumlah kecelakaan kerja 412,652 kasus dengan nilai kerugian Rp 340 Milyar dan pembayaran santunan dan ganti rugi sebesar kurang lebih Rp 329 milyar Bambang Triwibowo dkk (2003). Oleh karena itu para kontraktor perlu menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di setiap proyek jasa konstruksi Sebenarnya yang disebut kecelakaan K3 bukan hanya yang mengakibatkan cedera/saaitnya tenaga kerja tetapi juga rusak/berkurangnya produktivitas

bahan/peralatan. Penanganan K3 yang tidak baik akan berakibat pada turunnya produktivitas Dalam pelaksanaan kerja di proyek ada beberapa bahaya yang harus dihindari, dijauhkan, atau dicegah dan dikendalikan, yaitu bahaya yang dapat timbul pada waktu pekerja sedang aktif melaksanakan kerjanya: a. Mesin kerja dan alat perlengkapannya. b. Pesawat baik yang dijalankan tenaga uap

ataupun listrik beserta perlengkapannya. c. Sarana perlengkapan kerja lainnya beserta

perlengkapannya d. Lingkungan kerja yang sesak dan kurang teratur e. Metoda penanganan pekerjaan f. Sifat fisik dan mental daripada pekerjanya Untuk itu maka setiap perusahaan diwajibkan menetapkan standar dan ketentuan tertentu untuk menjadi pedoman dan pegangan pokok dalam pelaksanaan pekerjaan agar kecelakaan bisa dihindarkan atau minimalkan. Disamping hal-hal di atas juga harus ditetapkan norma kesehatan kerja di perusahaan yang meliputi: a. Pemeliharaan dan mempertinggi derajat

kesehatan pekerja. b. Pemberian pengobatan, perawatan bagi pekerja

yang sakit. c. Pengaturan, penyediaan tempat kerja, cara, dan

syarat yang memenuhi persyaratan kesehatan di perusahaan.

d. Kesehatan kerja untuk mencegah timbulnya penyakit yang akan menimpa para pekerja baik sebagai akibat pelaksanaan kerja maupun penyakit umum.

e. Ketetapan syarat-syarat kerja bagi perusahaan yang tertuju pada perlindungan kesehatan bagi pada buruhnya.

Dalam masalah kesehatan kerja di proyek harus diperhatikan sumber-sumber bahaya bagi kesehatan tenaga kerja yang bersumber dari faktor fisik, faktor kimia, faktor biologis, faktor faal, dan faktor psikologis. Kelima faktor tersebut akan mempengaruhi, kesehatan tenaga kerja berupa gangguan fisik, mental, dan sosial yang menyebabkan mereka tidak bisa bekerja optimal. Mengingat masalah keselamatan dan kesehatan kerja ini berkaitan dengan berbagai aspek yaitu hukum, ekonomi, dan sosial, maka pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja ini tidak mungkin hanya diserahkan kepada pengusaha tetapi harus dilakukan secara bersama-sama oleh jajaran manajemen perusahaan dengan seluruh tenaga kerja dengan dengan diawasi langsung oleh panitia Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada setiap perusahaan yang bersangkutan. Pelaksanaan peraturan perundang-undangan tentang keselamatan dan kesehatan kerja diawasi oleh pihak pemerintah/Depnaker atau tenaga teknis yang

Page 86: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

82

ditunjuk oleh pemerintah/Depnaker. Pengusaha berkewajiban memberi penjelasan khusus kepada setiap buruh terutama yang baru tentang: a. Kondisi dan bahaya yang dapat timbul dalam

tempat kerja. b. Tentang semua alat pengaman dan pelindung

yang ada disetiap ruang kerja serta metode penggunaannya.

c. Tentang semua alat peralatan pelindung diri bagi buruh dalam hal terjadinya bahaya.

d. Tentang cara-cara dan sikap serta perlakuan yang aman dalam pelaksanaan kerja.

Suatu kewajiban bagi pengusaha untuk segera melakukan tindakan penyelamatan darurat apabila terjadi kecelakaan, berupa tindakan darurat di lingkungan perusahaan atau mengirim pekerja tersebut ke rumah sakit atas biaya perusahaan. Kejadian tersebut harus dilaporkan kepada Depnaker untuk diteliti penyebabnya. Berdasarkan pasal 12 (Undang-Undang No.1 Tahun 1970) tentang keselamatan kerja untuk kepentingan pekerja dan keamanan kerja, serta untuk perbaikan-perbaikan agar tidak terulang kembali kecelakaan pada waktu yang akan datang pekerja berkewajiban untuk: 1. Memberikan keterangan yang benar secara

penuh tanggung jawab apabila diminta oleh petugas suatu ahli keselamatan kerja yang mengemban tugas dari kantor Depnaker.

2. Memakai alat pelindung diri yang diwajibkan oleh pengusaha.

3. Memenuhi dan menaati semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan meminta dengan secara baik kepada pengusaha agar semua persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja dipenuhi oleh pengusaha.

4. Menyampaikan keberatan melakukan tugas kerja di mana syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat perlindungan diri yang diwajibkan telah dinyatakan meragukan oleh pegawai pengawas.

Dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.PER 05/MEN/1996 tanggal 12-12-1996 komunikasi dua arah yang efektif dan pelaporan rutin merupakan sumber penting dalam penerapan sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja. Untuk itu perusahaan harus mempunyai prosedur yang dapat menjamin bahwa tujuan keselamatan dan kesehatan yang terbaru, dikomunikasikan kepada semua pihak di proyek. Segala sesuatu tentang kesehatan kerja yang tersebut pada setiap peraturan Menteri Tenaga Kerja harus diperhatikan dengan sebaik-baiknya oleh pengusaha karena pegawai pengawas perburuhan yang ditunjuk oleh Menteri berhak untuk memberi perintah sebagai upaya paksa untuk pelaksanaan norma-norma perlindungan kerja sebagai upaya mewujudkan perlindungan kerja di perusahaan sehingga setiap orang yang berada di tempat kerja terjamin keselamatannya.

Diluar ketentuan perundang-undangan tentang keselamatan dan kesehatan kerja ada aspek lain yang sangat penting yang ada relevansinya dengan sistem keselamatan dan kesehatan kerja serta berpengaruh terhadap produktivitas yaitu aspek Ergonomics. Ergonomics adalah hubungan antara orang dan pekerjaannya, perlengkapannya, dan lingkungannya dan terutama penerapan dari pengetahuan mengenai anatomi, fiisiologi, dan ilmu jiwa terhadap masalah-masalah yang timbul daripadanya (LAN, Ergonomic, 1994). Sasaran dari ergonomics adalah tercapainya produktivitas setinggi-tingginya dalam suasana tenteram, aman, dan menyenangkan. Peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan cara mekanisasi, penerapan kepegawaian yang sehat dan penyempurnaan metode kerja, penghematan gerak. Mekanisasi dapat dilakukan dengan mengganti tenaga manusia dengan mesin dengan sasaran peningkatan produktivitas namun akan mengurangi tenaga kerja. Penerapan manajemen yang sehat antara lain melalui seleksi yang ketat dalam penerimaan tenaga kerja, pengembangan karir yang jelas dan pengendalian yang ketat dan terkontrol. Penyempurnaan metode kerja dengan penghematan gerak: 1. Yang berhubungan dengan penggunaan tubuh

manusia. 2. Yang berhubungan dengan pengusunan tempat

kerja. 3. Yang berhubungan dengan peralatan kerja. Hal-hal lain yang dapat meningkatkan produktivitas dan kegairahan kerja adalah: - Tata ruang tempat kerja. - Penerangan yang cukup dan tepat sehingga

akan sedikit kesalahan dan tidak cepat merasa lelah.

- Warna ruangan dan perlengkapannya. - Udara yang sesuai suhu dan kelembabannya. - Sarana yang membuat konsentrasi tidak

terganggu. Untuk mencapai tujuan dari penerapan keselamatan dan kesehatan kerja dalam kegiatan proyek secara terintegrasi maka pengelolaan K3 harus melibatkan unsur manajer mulai dari level atas sampai level terendah beserta jajarannnya dengan dukungan dari para pekerja. Untuk melaksanakan dan menerapkan sistem keselamatan dan kesehatan kerja di proyek industri jasa konstruksi ada beberapa hal penting yang harus menjadi perhatian pihak manajemen/kontraktor antara lain: 1. Memenuhi kelengkapan admnistrasi K3 yang

terdiri dari: 1.1 Pendaftaran proyek ke Kantor Depnaker

setempat. 1.2 Pendaftaran dan pembayaran premi Jamsoste 1.3 Pendaftaran dan pembayaran asuransi lainnya

Page 87: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Proyek Industri Jasa Konstruksi

83

misalnya Construction All Risk (CAR) untuk bangunan/fisik proyek dan peralatan kerjanya, atau Personal Accident (PA) untuk pertugas/orang yang melaksanakan, bila ada disyaratkan dalam proyek

1.4. Izin pengunaan jalan dan jembatan menuju lokasi proyek yang akan digunakan untuk lalu lintas alat berat dari kantor Dinas PU

1.5. Keterangan laik pakai alat-alat berat/ringan yang akan dioperasikan diproyek khususnya peralatan proyek yang menyangkut keselamatan umum seperti mobil bus/truk, lift, elevator, escalator, lift pekerja, lift bahan, tower crane ,dll.

1.6 Pemberitahuan kepada Muspida setempat tentang keberadaan/kegiatan proyek

2. Penyusunan Safety Plan (Rencana K3) untuk

Proyek. Safety Plan bertujuan agar proyek dalam

pelaksaannya aman dari kecelakaan dan penyakit sehingga menghasilkan produktivitas yang tinggi yang berisi antara lain: 2.1 Pembukaan:

a. Gambaran proyek b. Pokok perhatian untuk kegiatan K3

2.2. Risiko kecelakaan dan pencegahannya (risiko yang mungkin terjadi di proyek)

2.3. Tata cara pengoperasian alat 2.4. Alamat Instansi yang terkait dengan proyek

Safety Plan yang telah disusun dan diteliti secara cermat kemudian disahkan oleh manajer proyek sebagai bukti pelaksanaan.

3. Kegiatan K3 di lapangan

Kegiatan K3 di lapangan adalah merupakan pelaksanaan Safety Plan yang harus dilaksanakan kontraktor dalam setiap proyek yang menyangkut kegiatan-kegiatan: 3.1. Kerjasama dengan instansi yang terkait K3.

Instansi yang dimaksud di sini adalah Depnaker, Polisi, dan Rumah Sakit yang tujuannya adalah kalau ada masalah K3 masalahnya bisa cepat ditangani dengan baik karena adanya hubungan kerjasama tersebut.

3.1.1. Pengawasan pelaksanaan K3

Pengawasan pelaksanaan K3 dilaksanakan oleh tim yang dibentuk dengan kegiatan: a. Safety Patrol, melaksanakan patroli

selama kira-kira 1 atau 2 jam yang dilakukan secara rutin sekali seminggu di lingkungan proyek yang terdiri dari 2 atau 3 orang dengan tugas mencatat hal-hal yang tidak sesuai ketentuan/yang memiliki risiko kecelakaan yang tolak ukurnya ada di dalam: - Safety Plan - Panduan Pelaksanaan K3

- Hal-hal yang secara teknis mengandung risiko bahaya

b. Safety Supervisor, yaitu petugas yang ditunjuk oleh manajer proyek untuk mengadakan pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan. Dengan wewenang menegur dan memberikan instruksi langsung kepada kepala pengawas (superintendent) bila ada pelaksanaan pekerjaan yang mengandung bahaya terhadap keselamatan kerja

c. Safety Meeting, yaitu rapat dalam proyek yang membahas hasil/laporan dari Safety Patrol maupun hasil/laporan dari Safety Supervisor.

Yang dihasilkan pada Safety Meeting adalah: - Perbaikan atas pelaksanaan kerja

yang tidak sesuai dengan ketentuan K3;

- Perbaikan sistem kerja untuk mencergah penyimpangan tidak terulang kembali.

d. Pelaporan dan penanganan kecelakaan, yang terdiri dari: - Pelaporan dan penanganan

kecelakaan ringan. - Pelaporan dan penanganan

kecelakaan berat. - Pelaporan dan penanganan

kecelakaan dengan korban meninggal dunia.

- Pelaporan dan penanganan kecelakaan peralatan berat.

4. Pelatihan Program K3

Pelatihan Program K3 terdiri dari dua bagian yaitu Pelatihan Secara Umum dan Pelatihan Khusus Proyek. 4.1 Pelatihan Secara Umum, materinya bersifat umum yaitu tentang panduan tentang K3 di proyek misalnya:

- Pedoman praktis pelasksanaan K3 pada proyek bangunan gedung.

- Penanganan, penyimpanan, dan pemeliharaan material.

- K3 dalam perkejaan Sipil. - K3 dalam pekerjaan finishing luar. - K3 dalam pekerjaan mekanikal dan elektrikal. - K3 dalam pekerjaan finishing dalam - K3 dalam pekerjaan pembesian. - K3 dalam pekerjaan sementara. - K3 dalam pekerjaan rangka. - K3 dalam pekerjaan struktur khusus. - K3 dalam pekerjaan pembetonan. - K3 dalam pekerjan Pondasi Pile dan Strutting. - K3 dalam pekerjaan pembongkaran - Dll.

Page 88: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

84

4.2. Pelatihan Khusus Proyek diberikan pada: - Saat awal proyek - Saat di tengah periode pelaksanaan proyek

Materi pelatihan adalah meliputi pengetahuan umum K3 dan Safety Plan proyek yang bersangkutan serta penjelasan tentang kegiatan proyek dan kemungkinan-kemungkinan bahaya/risiko yang akan terjadi.

5. Perlengkapan dan peralatan penunjang

program K3 Perlengkapan dan peralatan penunjang program

K3 dalam pelaksanaan proyek meliputi beberapa hal antara lain: 5.1 Promosi Program K3, yang terdiri dari:

a. Pemasangan Bendera K3, Benderra RI, Bendera perusahaan dengan cara pemasangan adalah Bendera RI ditengah diapit oleh bendera K3 sebelah kiri dan Bendera perusahaan sebelah kanan dengan ketentuan bendera RI lebih tinggi dan bendera K3 dan bendera perusahaan sama tingginya.

b. Pemasangan sign board K3 yang dapat berisi antara lain: Sloganm-slogan K3 yang mengingatkan perlunya bekerja dengan selamat. Gmbar-gambar/pamlet tentang bahaya/kecelakaan yang mungkin terjadi di lokasi pekerjaan. Slogan maupun pamlet dapat dipasang di kantor proyek atau lokasi pekerjaan di lapangan.

5.2. Sarana peralatan untuk K3

Sarana peralatan untuk K3 adalah meliputi: a. Yang melekat pada orang:

- Topi helm - Sepatu lapangan - Sabuk pengaman untuk pekerja di

tempat yang tinggi - Sarung tangan untuk pekerja tertentu - Masker pengaman untuk gas beracun

untuk pekerja tertentu - Kacamata las goggle - Obat-obatan untuk P3K - Pelampung renang untuk lokasi tertentu

b. Sarana lingkungan: - Tabung pemadam kebakaran parangan

ruang-ruangan seperti kantor proyek, gudang bahan bakar, gudang material, ruang genset, gudang bahan peledak mess tenaga kerja, barak tenaga kerja di tiap lantai bangunan proyek.

- Pagar pengaman, yang terdiri dari: Pagar/railing yang kuat dan tali warna kuning sebagai tanda pembatas/ peringatan yang diperlukan untukb lobang di lantai, lubang di sumur, galian tanah, dan tepi bangunan.

- Penangkal petir darurat.

- Pemeliharaan jalan kerja dan jembatan kerja.

- Jaringan pengamanan pada bangunan tinggi.

c. Pagar pengaman lokasi proyek Rambu-rambu peringatan yang fungsinya antara lain untuk: - Peringatan bahaya dari atas. - Peringatan bahaya benturan kepal. - Peringatan bahaya longsoran. - Peringatan bahaya api/kebakaran. - Peringatan tersengat listrik. - Penunjuk ketinggian untuk bangunan

yang lebih dari 2 lantai. - Penunjuk jalur instalasi listrik. - Penunjuk batas ketinggian penumpukan

material. - Larangan memasuki area tertentu. - Larangan membawa barang-barang

berbahaya. - Petunjuk untuk melapor (keluar masuk

proyek). - Peringatan uintuk memakai alat

pengaman kerja. - Peringatan ada alat/mesin yang

berbahaya (untuk lokasi tertentu). - Peringatan/larangan untuk memasuki

kelokasi genset/power listrik (untuk orang tertentu).

Walaupun peralatan/sarana K3 tersebut sudah cukup lengkap belum berarti persyaratan K3 sudah memenuhi semua peryaratan K3, karena bekerja dengan K3 yang benar adalah apabila telah memenuhi 3 hal sebagai berikut: 1. Orangnya, yaitu pengawas dan tenaga kerja

harus punya sikap yang benar yaitu: a. Punya pengetahuan dan ketrampilan K3 b. Berperilaku sesuai ketentuan K3 c. Sehat jasmani dan rohani

2. Mesin/alat kerja seta sarana perlatan K3 sesuai ketentuan.

3. Lingkungan kerja sesuai ketentuan, yaitu: a. Lay out planning (perencanaan tata letak). b. House keeping (pemeliharaan alat-alat

rumah tangga). c. Penerangan dan ventilasi.

6. Penataan Lingkungan Penataan lingkungan adalah meliputi perencanaan tata letak fasilitas-fasuilitas untuk melaksanakan pekerjaan dan pengelolaan kebersihan lingkungan kerja (house keeping) yang meliputi: 6.1. Lay out planning (perencanaan tata letak) Perencanaan tata letak harus diatur sedemikian rupa sehingga orang dan alat yang bekerja tidak saling terganggu, tetapi justru saling mendukung agar pelaksanaan kerja dengan produktivitas tinggi dan aman dapat dicapai. Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan tata letak adalah:

Page 89: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Proyek Industri Jasa Konstruksi

85

- Dimensi (ukuran), posisi, elevasi (ketinggian)

- Gerakan manusia dan alat - Suara (kebisingan) - Getaran - Cahaya dan sirkulasi udara

6.2 House keeping Kebersihan dan kerapian tempat kerja

merupakan syarat K3. Adapun sarana kebersihan dan kerapian untuk program K3 adalah

a. Penyediaan air bersih yang cukup b. Penyediaan toilet/WC yang bersih,

penyediaan ruang mushola yang bersih dan terawat

c. Penyediaan WC/toilet untuk pekerja proyek d. Penyediaan bak-bak sampah pada lokasi

yang diperlukan e. Pembuatan saluran pembuangan air limbah f. Pembersihan sampah-sampah secara teratur g. Kerapian penempatan alat-alat kerja di

lapangan setelah dipakai Pada tabel dibawah ini kami cantumkan contoh isi dari safety plan yang berkaitan dengan kecelakaan dan pencegahannya dalam tata cara pengoperasian alat.

Kecelakaan dan pencegahannya (Tabel -1) No Lokasi & Risiko kecelakaan Pencegahan/Penanganan Penanggung

Jawab 1. 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 2. 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 3. 3.1 3.2 3.3 3.4

Pekerjaan fondasi Franki Orang jatuh dari crane Kejatuhan split/beton Crane amblas Orang terperosok/jatuh ke lubang franki pile Sling crane putus Galian Basement Lokasi banjir Bekisting batako ambruk Tanah galian longsor Terjatuh ke dalam galian Jalan depan lokasi proyek kotor Kecelakaan mobil waktu akan keluar/masuk proyek Erection Tower Crane Crane service amblas Crane TC miring Baut/kunci-kunci jatuh Orang kejatuhan baut

- pakai sabuk pengaman waktu naik - pakai helm pengamanan sewaktu kerja - ratakan tanah sebelum crane masuk proyek - pakai H-beam untuk dudukan crane - urung segera setelah dicor - cek kondisi sling sebelum mulai kerja setiap hari - buat side ditch (galian tepi), arahkan ke sum-pit, lalu

pompa airnya keluar lokasi - pasang batako ½ dari tinggi rencana - urug segera bekas galian samping dan bagian atasnya

diplester - tutup segera dengan terpal bila akan hujan - buat kemiringan pada galian - tutup segera dengan terpal bila akan hujan - buat pagar pengaman - buat tangga turun ke lokasi galian - pasang rambu-rambu peringatan - buat tempat (kolom) cuci ban kendaraan, dan buang

tanah yang mengendap secara periodik - tutup bak kendaraan tanah dengan terpal - pasang rambu peringatan lalu lintas di jalan raya - atur lalu lintas bila ada kendaraan keluar/masuk - perkuat tanah dengan matras - pasang angkur pondasi sehingga benar-benar “level”

(di-waterpass) - cek pengelasan angkur sehingga yakin kuat - taruh di keranjang TC - cegah selama erection agar orang tidak berada di

bawah langsung - pasang rambu “Awas benda Jatuh !” - pakai helm selama bekerja

Page 90: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

86

3.5 4. 4.1 4.2

Tower crane ambruk Universal Lift Kabin lift meluncur melewati rel Orang jatuh

- periksa pondasi agar sesuai ketentuan - pasang sabuk/labrang pada tiap empat lantai - pasang rambu beban - dipasang switch otomatis bila over cut - pasang penangkal petir - cek kondisi lift - pasang rel lebih tinggi 6 meter dari pemberhentian lift - pasang switch otomatis agar lift-pit berhenti

maksimum pada posisi lantai teratas - cek dudukan lift pada pondasi agar “level” (di-

waterpass) - pasang labrang pegangan tiap 2 lantai - atur/tempatkan kabin lift sedekat mungkin dengan

pemberhentian - pasang pagar pengaman pada daerah pemberhentian

Tata Cara Pengoperasian Alat (Tabel – 2) No Pemeriksaan Elemen Penanganan Selama Operasi Keterangan 1. 2. 3. 4. 5.

Alat Pancang a. Periksa semua sling b. Periksa beam landasan alat pancang c. Periksa roda penggerak alat pancang d. Periksa selang hidrolik e. Periksa air pendingin air pengerak f. Periksa tutup kipas mesin Exavator a. Periksa semua sling hidrolik b. Periksa oli hidrolik c. Periksa tutp kipas angin d. Periksa pen-pen exavator e. Periksa switch hidrolik Tower Crane a. Periksa pen-pen boom/section b. Periksa oli hidrolik c. Periksa sling angkat d. Periksa panel listrik e. Periksa switch otomatis f. Periksa kanvas rem g. Periksa seluruh bearing h. Periksa poli-sling Bar Cutter a. Periksa pisau potong b. Periksa switch c. Periksa kabel-kabel d. Periksa baut-baut e. Periksa kelencengan van belt f. Cek stop limit switch g. Periksa pelumas Bar Bender a. Periksa kabel-kabel b. Periksa switch-switch c. Periksa stop limit swicth d. Periksa van belt e. Periksa baut-baut f. Periksa oli

a. Jalan perlahan-lahan pada besi H-beam b. Posisi hammer selalu si bawah setelah

selesai atau istirahat c. Utamakan keselamatan kerja d. Pakai helm e. Pakai sarung tangan f. Sepatu kerja a. Hindari sewaktu alat memutar b. Memberikan kode (klakson) sewaktu

alat memutar c. Utamakan keselamatan kerja d. Istirahat alat keruk ke posisi bawah a. Angkat sesuai dengan kapasitas b. Sewaktu swing sling angkut dalam

posisi aman c. Aba-aba sesuai dengan alat HT d. Pengikat bahan-bahan yang mau

diangkut dalam keadaan kuat e. Bucket cor dalam keadaan tidak bocor f. Sewaktu istirahat dalam keadaan

terkunci g. Utamakan keselamatan kerja a. Pemotongan sesuai dengan kapasitas b. Memakai sarung tangan c. Memakai helm d. Memakai sepatu kerja a. Pembengkokan sesuai dengan kapasitas b. Memakai sarung tangan c. Memakai sepatu kerja d. Memakai helm

Page 91: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Proyek Industri Jasa Konstruksi

87

6.

Generating Set a. Periksa oli mesin b. Periksa air radiator c. Periksa bahan bakar d. Periksa tutup kipas mesin e. Periksa van belt f. Periksa baut-baut g. Cek warna gas

a. Jauhkan tempat bahan bakar b. Memakai tutup telinga c. Menyediakan tabung d. Tidak boleh ada jemuran dekat kipas

radiator e. Sewaktu membersihkan alat mesin

dalam keadaan mati f. Periksa panel listrik g. Utamakan keselamatan kerja

Bambang Tribowo dkk (2003) Untuk mencapai tujuan dari upaya keselamatan dan kesehatan kerja di proyek industri jasa konstruksi berbagai unsur dan sumber yang ada perlu ditata dan diatur kedalam suatu sistem pengaturan sesuai dengan tugas dan fungsi serta jenjang yang ada melalui sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja guna tercapainya tempat kerja yang aman, effisien, dan produktif. Pihak kontraktor harus yakin bahwa dengan menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja perusaahaan akan bisa mencapai kecelakaan nihil (zero accident) dan memperoleh keuntungan yang optimal dari pelaksanaan proyek. Beberapa manfaat penerapan Sistem Manajemen K3 di proyek: 1. Manfaat bagi pengusaha:

a. Perusahaan akan menjadi tempat kerja yang aman, efesien, dan produktif sehingga produk/karya yang dihasilkan akan meningkatkan keuntungan secara maksimal dengan kerugian minimal.

b. Pengusaha akan terhindar dari kerugian yang timbul berupa kehilangan harta benda, modal, dan aset perusahaan lainnya termasuk pekerja karena terjadinya kecelakaan kerja di perusahaan.

C. Standar kinerja bagi perusahaan sehingga akan berpeluang untuk memperoleh penghargaan Internasional ISO.

2. Manfaat bagi pekerja a. Pekerja akan bekerja di perusahaan dengan

gairah, efesien, dan produktif karena adanya jaminan keselamatan dan kesejahteraan kerja.

b. Pekerja mendapat kepastian akan memperoleh santunan kecelakaan kerja apabila terjadi musibah kecelakaan kerja di perusahaan.

c. Pekerja memiliki kemampuan teknis pencegahan bahaya dan kewaspadaan yang tinggi dalam menghadapi kemungkinan terjadinya kecelakaan.

d. Peningkatan produktivitas perusahaan akan mempengaruhi positif terhadap keuntungan perusahaan dan taraf hidup pekerja sehingga upah yang diterima pekerja cukup untuk biaya hidup bersama keluarganya

IV. Kesimpulan 1. Pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja di

proyek industri jasa konstruksi bertujuan melindungi pekerja dan sekaligus melindungi tempat kerjanya serta peralatan kerjanya agar perusahaan berdiri kokoh dan berkembang dan tidak terganggu karena kecelakaan kerja maupun karena gangguan kesehatan yang berakibat mengurangi kondisi fisik pekerja.

2. Audit Keselamatan (Safety Audit) perlu dilaksanakan untuk mengetahui kinerja keselamatan kerja di perusahaan dan menemukan bahaya-bahaya potensial yang belum terungkap serta mencari alternatif yang tepat guna bagi upaya pengendalian bahaya tersebut.

3. Pembuatan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja menunjukkan bahwa faktor keselamatan dan kesehatan kerja harus menjadi perhatian pihak pemerintah sebagai pengawas perburuhan pengusaha sebagai pemilik perusahaan dan pekerja sebagai aset perusahaan.

4. Penerapan sistem K3 diperusahaan memiliki kaitan erat dengan aspek hukum, ekonomi dan sosial untuk itu diperlukan kerjasama yang erat dan rasa tanggung jawab yang tinggi untuk kepentingan bersama atas kelangsungan perusahaan.

Daftar Pustaka Bambang Triwibowo dkk. 2003. Referensi Untuk

Kontraktor Bangunan Gedung dan Sipil. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Husni Lalu. 2000. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT Raja Gratindo Persada.

Kartasapoetra, G, Kartaspoetra, R.G, Kartasapoetra, A.G. 1985. Hukum Perburuhan di Indonesia. Bandung: Bina Aksara.

Lembaga Administrasi Negara RI. 1994. Himpunan Materi Pokok Pelajaran-Pelajaran Pelatihan Analisis Jabatan.

Eugenia Liliawati Mulyono. 1997. Peraturan Sistem Manajemen Keselamatanan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Harvarindo.

Page 92: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

88

Sumakmur P.K. 1981. Kecelakaan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: CV Haji Masagung.

Undang-Undang RI No.16 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Undang-Undang RI No.18 Tahun1999 tentang Jasa Konstruksi.

Undang-Undang RI No.14 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Page 93: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

89

PEMBUATAN DIODA DARI BAHAN LAPIS TIPIS CdTe YANG DITUMBUHKAN MELALUI METODE PENGUAPAN (VACUUM DEPOSITION)

Ahmad Mulia Rambe

Abstrak: Telah dilakukan pembuatan Dioda Schottky yang berstruktur kontak logam-semikonduktor. Bahan yang digunakan sebagai substrat adalah grafit. Semikonduktor yang digunakan sebagai source adalah CdTe. Dan sebagai dopant adalah logam In dan Al sedangkan sebagai kontak pembentukan dioda digunakan Al. Alat yang digunakan untuk menumbuhkan lapisan tipis semikonduktor CdTe dan penguapan logam In dan Al adalah vacuum tinggi Edward coating System E306 A yang kevakumannya dapat mencapai sekitar 10-5Torr. Karakteristik deviasi yang dipabrikasi dilakukan dengan pengukuran arus tegangan (I-V) dan pengukuran kapasitansi tegangan (C-V). Dari pengukuran arus- tegangan (I-V) diperoleh harga arus nstursdi (Is) sebesar 4.73 x 10-5A, harga ketinggian penghalang (φBN) adalah 0,91eV, faktor idealitas dioda jauh lebih besar dari harga ideal yaitu n > 20. Dari pengukuran kapasitansi tegangan (C-V) diperoleh harga tegangan difusi (Vbi) adalah 0,89V, harga konsentrasi donor (ND) adalah 2.82 x 1016cm-3, dan harga ketebalan lapisan deplesi (W) adalah 0,18μm. PENDAHULUAN Perkembangan elektronika saat ini maju sangat pesat dan menjadi tulang punggung dalam dunia modernisasi. Kemajuan yang sangat cepat terjadi setelah ditemukannya komponen semikonduktor (zat padat) yang memberikan banyak sifat-sifat listrik yang unik yang hampir dapat memecahkan semua persoalan elektronika. Dengan ditemukannya semikonduktor maka komponen menjadi sangat ringan, sangat kompak, dan persatuan luas mempunyai kepadatan rangkaian yang sangat tinggi, misalnya pada rangkaian terpadu (IC) yang terdapat dalam perangkat komputer. Pada saat ini telah dikenal banyak semikonduktor, diantaranya adalah Silikon, Germanium, GaAs, CdS, CdTe, dan lain sebagainya. Cadmium Telluride (CdTe) merupakan suatu semikonduktor paduan (compound semiconcutor) dari golongan IIB (Cd) dan VIA (Te) dalam tabel unsur-unsur periodik yang menurut teori dapat dibuat dalam bentuk konduktivitas tipe-n dan tipe-p. Semikonduktor CdTe mempunyai sejumlah besar penggunaan dalam alat optoelektronika, foto detektor, laser CO2 daya tinggi dan solar sell. Dalam penelitian ini semikonduktor yang digunakan adalah CdTe. Hal ini karena penggunaan CdTe lebih menguntungkan dibandingkan bahan semikonduktor lainnya. Dan juga biaya memproduksi lapisan tipis CdTe jauh lebih murah CdTe mempunyai harga celah energi yang cukup ideal, dan juga mempunyai koefisien absorbsi yang tinggi sehingga sangat tepat bila digunakan sebagai bahan untuk solar sell. Pembuatan dioda dari lapisan tipis CdTe yang berstruktur loga-

semikonduktor, kontak logam-semikonduktor adalah merupakan divais yang memiliki satu jenis pembawa dominan yang terjadi dalam proses konduksi. Dalam teknologi pembuatan lapisan tipis semikonduktor dikenal berbagai metode penumbuhan antara lain: metode Chemical Vapour Deposition (CVD), metode Penguapan (Vacuum Deposition), metode Plasma Deposition, metode Molecular Beam Epitaxy (MBE), dan lain sebagainya. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi ini menjelaskan prosedur penelitian yang dilakukan secara bertahap yang dimulai dari pemotongan substrat, pemolesan substrat, pembersihan/pengeringan substrat, pembuatan masker holder (tempat dudukan substrat), pembuatan masker pembentuk dioda, proses penguapan, dan diakhiri dengan karakterisasi dioda yang terbentuk, yaitu karakterisasi C – V. HASIL PENGUKURAN DAN ANALISIS Dari semua cuplikan yang dihasilkan, hanya dua cuplikan yang memenuhi sebagai sebuah dioda, yaitu cuplikan I dan cuplikan II yang terdiri dari 3 buah dioda dengan masing-masing diameter dioda 3 mm, 2 mm, dan 1 mm. Pada tabel 1 ditampilkan hasil cuplikan I dan cuplikan II, sedangkan hasil dari cuplikan lainnya ditampilkan pada lembar lampiran.

Page 94: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

90

Tabel 1. Dioda hasil dari cuplikan I dan cuplikan II

Tahap Nama Dopant Pemb. dioda Temperatur

Lama Perlakuan (menit)

Ket

I I – DALING - 1 I – DALING - 2 I – DALING - 3 I – DALING - 4

In

A1

100 150 200 250

120 120 30 10

ya x ya x

II II – DALING - 1 II – DALING - 2 II – DALING – 3 II – DALING - 4

A1

A1

400 450 400 -

60 31 10 -

x ya x x

Keterangan Tabel : ya = karakteristik dapat diukur x = karakteristik belum dapat diukur I. Pengukuran Arus-Tegangan (I – V) Dioda

Schottky Pengukuran arus-tegangan (I – V) Dioda Schottky pada temperatur kamar dilakukan untuk mencari arus saturasi pada bias balik (reserve saturation current, I0), harga ketinggian penghalang (barrier height, φBn), dan faktor keidealan dioda (Diode’s ideality factor, n). Data dari hasil pengukuran arus-tegangan untuk dioda I-DAILING-1 diameter 3 mm dapat dilihat pada Tabel 2, sedangkan data untuk dioda yang lain masing-masing diameter 3 mm, 2 mm, dan 1 mm dapat dilihat pada lembar lampiran. Dengan menggunakan hasil pengukuran pada Tabel 2, maka dapat dibuat kurva I-V. Dari kurva tersebut dapat ditentukan besar arus saturasi I0. I0 didapat dengan mengektrapolasi kurva antara In I dengan V pada V = 0 sehingga sesuai dengan rumus I = I0 pada V = 0. Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa kurva karakteristik I-V dioda Schottky hampir sesuai dengan teori pada karakteristik dioda Schottky. Bila dioda Schottky diberi bias maju, hampir tidak ada arus mengalir sampai tegangan 0,5 volt, lewat harga ini, arus naik dengan cepat. Untuk harga V yang kecil harga arus hampir nol, ini disebabkan perkalian n dan p dalam CdTe kecil sehingga kadar pembawa minoritas sangat kecil. Akibatnya aras-aras tak murnian di daerah logam belum terisi penuh. Aras-aras ini berfungsi sebagai penangkap elektron. Jadi setelah elektron-elektron menyeberang dari daerah semikonduktor tipe – n ke logam, segera terjadi penangkapan dan tidak ada lagi elektron-elektron bebas untuk membawa arus. Aras-aras tersebut hanya menjadi terisi penuh bila jumlah elektron di pita konduksi daerah logam cukup banyak, dan ini akan terjadi pada harga V sekitar 0,6 volt. Baru pada harga tegangan ini ada persediaan elektron untuk hantaran.

Tabel 1. Data hasil pengukuran arus-tegangan (I-V) dengan diameter 3 mm

V (volt) I (mA) 5.0 75.30 4.5 35.30 4.0 15.20 3.5 5.80 3.0 3.20 2.5 2.20 2.0 1.80 1.5 0.60 1.0 0.10 0.5 0.00 -0.0 0.00 -0.5 0.00 -1.0 0.00 -1.5 0.00 -2.0 0.00 -2.5 0.00 -3.0 0.00 -3.5 0.00 -4.0 0.00 -4.5 0.00 -5.0 0.00

Dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa dioda Schottky yang dhasilkan belumlah dioda ideal, karena terlihat dari gambar besar arus baru sebesar 1,8 mA pada tegangan 2 volt, yang diperkirakan diakibatkan oleh besarnya hambatan seri dioda tersebut. Sehingga harga n juga jauh lebih besar dari harga ideal n-1. Selain hal itu yang menyebabkan harga n sangat besar, antara lain adalah adanya lapisan oksida dipermukaan sampel. Sebagai contoh untuk dioda I – DALING-1 dengan diameter 3 mm, harga n dapat diperoleh sebagai berikut:

Page 95: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Pembuatan Dioda dari Bahan Lapis Tipis CdTe yang Ditumbuhkan Melalui Metode Penguapan (Vacuum Deposition)

91

Dari Gambar 2 dapat dilihat persamaan garis kurva In I – V yaitu: In I = 1,466 V – 9,9594 jika V = 0 maka ln I = -9,9594, maka I = e-9,9594 jadi diperoleh harga

I = I0 4,73 x 10-5 A.

Perhitungan di atas adalah untuk dioda I=DALING-1 dengan diameter 3 mm sedangkan untuk dioda yang lain masing-masing diameter, harga I0 dapat dilihat pada Tabel 4.3. Sebagai perbandingan maka sebuah dioda yang ada di pasaran dengan tipe 1N4006 juga telah diukur di mana diperoleh harga arus saturasi I0 = 9,70 x 10-4 A. Dan secara jelas dapat dilihat pada lampiran 13, bahwa untuk dioda 1N4006 terlihat pada tegangan 2 volt besar arus adalah sebesar 2,36 ampere. Sedangkan pada dioda Schottly lapisan tipis CdTe ini pada tegangan 2 volt besar arus 1,80 mA. Sehingga dengan jelas dapat dilihat dari gambar kurva katrakteristiknya, di mana untuk dioda 1 N4006 arus naik dengan cepat mulai tegangan 1 volt sedangkan pada dioda Schottky lapisan tipis CdTe yang dibuat baru pada tegangan 5 volt arus naik dengan cepat. Tabel 3. Harga arus saturasi untuk masing-masing dioda

Dioda Diameter (mm) I0 (A)

I-DALING-1

3 2 1

4,73x10-5 2,88x10-5

1,33x10-5 I-DALING-3

3 2 1

5,29x10-5 4,47x10-6

8,32x10-7 II-DALING-2

3 2 1

1,60 x10-5 1,80x10-6

1,84x10-9 Untuk mencari harga faktor keidealan dioda (n) maka dipakai cara sebagai berikut. Untuk dioda I-DALING-1 diameter 3 mm pada harga V = 5 volt diperoleh I = 75, 30 10-3 A

Maka persamaan ditulis: In (I/I0) = (qV/nkT)

In (75,30x10-3/4,73 x 10-5) = {n (1,38 x 10-23) (300 K)) }

In 4706,25 = { (8,01 x 10-19)/(414 x 10-23n)}

(8,46) (n) (414 x 10-23) = 8,01 x 10-19

n = { (8,01 x 10-19)/(3501,05 x 10-23)}

n = 22, 85

Untuk dioda 1N4006 diperoleh harga n yang sangat ideal yaitu 1,01. Sedangkan harga n untuk dioda yang lain dapat dilihat pada Tabel 4. Dari sini jelas bahwa dioda yang dibuat ini masih jauh dari kesempurnaan khususnya untuk

menurunkan harga resistansi yang besar di mana hal ini terutama disebabkan oleh adanya lapisan oksida pada lapisan dioda.

Tabel 4 harga n untuk dioda yang diperoleh dari perhitungan

Dioda Diameter (mm) N

I-DALING-1

3 2 1

22,855 28,71

29,01 I-DALING-3

3 2 1

30,18 25,26

34,60 II-DALING-2

3 2 1

39,42 34,36

16,68

Dari harga n yang diperoleh untuk semua dioda yang dihasilkan sangatlah jauh dari harga n yang ideal yaitu 1. Dioda yang dihasilkan hanya dapat digunakan untuk divais dengan daya tinggi (high power diode).

Dari harga I0 dapat juga dihitung ketinggian penghalang (φBn). dapat dicari ketinggian penghalang (barrier height, φBn) yaitu:

φBn = (kT/q) In {(A* T2)/I0}

φBn = {(1,38 x 10-23) (300)/1,6 x 10-19} In {(1,2 x 106) (300)2/(4,73 x10-5)}

φBn = 0,0258 In 2,2832 x 1015 eV

φBn = 0,91 eV

Perhitungan di atas adalah untuk dioda I-DALING-1 diameter 3 mm sedangkan untuk dioda yang lain dapat dilihat pada Tabel 3.5. Dari pengukuran terhadap dioda 1N4006

Tabel 5 Nilai ketinggian penghalang yang diperoleh dari perhitungan

Dioda Diameter (mm) φBn

I-DALING-1

3 2 1

0,91 0,92

0,94 I-DALING-3

3 2 1

0,91 0,96

1,01 II-DALING-2

3 2 1

0,94 1,00

1,17

Page 96: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

92

Pengukuran Kapasitansi-Tegangan (C – V) Dioda Schottky Pengukuran kapasitansi-tegangan dilakukan untuk mencari besarnya konsentrasi donor (donor concentration, ND), harga tegangan difusi (built-in voltage, Vbi), dan lebar daerah deplesi (region depletion width, W). Hasil pengukuran kapasitansi-tegangan untuk dioda I-DALING-1 dengan diameter 3 mm dapat dilihat pada Tabel 4.6, sedangkan data untuk dioda yang lain dapat dilihat pada lembar lampiran. Dengan menggunakan data dari Tabel 4.6 dapat dibuat kurva hubungan antara 1/C2 dengan V,

seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3.3 untuk dioda I-DALING-1 diameter 3 mm. Dari kurva 1/C2 dengan V terlihat bahwa perpotongan antara kurva dengan sumbu tegangan (V) terlihat bahwa perpotongan antara kurva dengan sumbu tegangan (V) jika kurva diinterpolasikan, menunjukkan harga tegangan difusi (Vbi). Misalnya untuk dioda I-DALING-1 diameter 3 mm akan diperoleh harga tegangan difusi 0,89 volt dan untuk dioda yang lain dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Data hasil pengukuran Kapasitansi-Tegangan dioda Schottky

V (Volt) C (nF) 5.0 1.2893 4.5 1.3317 4.0 1.3909 3.5 1.4755 3.0 1.5962 2.5 1.7381 V (volt) 1/C2 x 1018

2.0 1.8731 5.0 0.602 1.5 1.9862 4.5 0.564 1.0 2.0758 4.0 0.517 0.5 2.1460 3.5 0.459 0.0 2.1976 3.0 0.392 -0.5 2.2050 2.5 0.331 -1.0 2.3421 2.0 0.285 -1.5 2.4750 1.5 0.253 -2.0 2.2050 1.0 0.232 -2.5 2.1909 0.5 0.217 -3.0 2.1422 0.0 0.207 -3.5 2.0860 -4.0 1.9236 - 4.5 1.7562 -5.0 1.5223

Sedangkan untuk dioda 1N4006 diperoleh harga tegangan difusi Vbi 0,75 volt.

Tabel 7 Harga tegangan difusi untuk masing-masing dioda

Dioda Diameter (mm) Vbi (volt)

I-DALING-1

3 2 1

0,89 0,92

0,95 I-DALING-3

3 2 1

3,36 3,52

3,09 II-DALING-2

3 2 1

8,35 16,19

33,51

Secara teori bahwa untuk dioda yang baik (mempunyai tahanan seri yang rendah sehingga dapat diabaikan), tinggi penghalang seharusnya tidak akan berbeda lebih dari beberapa elektro volt dengan nilai tegangan difusi, kalaupun tidak persis sama, hal ini juga terbukti dari dioda 1N4006 di mana diperoleh harga tegangan difusi yang sebanding dengan tinggi penghalang. Sedangkan untuk dioda yang dihasilkan masih jauh dari kesempurnaan khususnya untuk dioda I-DALING-3 dan terutama sekali untuk dioda II-DALING-2 di mana diperoleh harga tahanan seri dari dioda tersebut. Hal lain yang menyebabkan kurva 1/C2 – V terjadi penyimpangan adalah konsentrasi doping yang belum merata pada

Page 97: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Pembuatan Dioda dari Bahan Lapis Tipis CdTe yang Ditumbuhkan Melalui Metode Penguapan (Vacuum Deposition)

93

semikonduktor dan adanya celah (ruang kosong) di dalam lapisan tipis tersebut.

Selanjutnya lebar lapisan deplesi (W) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

W = ( )( )biDs VNq/2ε

Sedangkan untuk mencari harga konsentrasi donor (ND) dapat diperoleh dengan mengambil slope kurva 1/C2 dengan V, sbb :

Slope = 2/(εs q ND A2) Untuk dioda 1 – DALING –1 dengan diameter 3 mm diperoleh harga slope (S) adalah 0,1045 x 1018 (1/F2.V), sehingga ND dapat dihitung. ND = 2/(εs q S A2) ND = 2/{(9,6) (8.85 x 10-14) (1.602 x 10-19)

(0.1045 x 1018) (49,91x10-4) ND = 2,82 x 1016 cm-3

Dalam Tabel 3.8. terlihat harga ND untuk masing-masing dioda. Dan untuk dioda 1N4006 diperoleh harga konsentrasi pembawa adalah 6,59 x 1010 cm-3. Tabel 8. Harga dari ND untuk masing-masing dioda

Dioda Diameter (mm) ND(cm-3)

I-DALING-1

3 2 1

2,82 x 1016

1,14 x 1016

1,95 x 1016

I-DALING-3

3 2 1

4,91 x 1015

2,22 x 1015

3,18 x 1015 II-DALING-2

3 2 1

0,75 x 1015

0,16 x 1015

0,17 x 1015 Sehingga harga lebar deplesi (W) diperoleh:

( ) ( ){ }314 10x518,4/10x739,151W −−=

cm10x588,33W 11−=

m18,0W μ= Perhitungan di atas adalah untuk dioda I-DALING-1 dengan diameter 3 mm, sedangkan untuk dioda yang lain dan untuk masing-masing diameter dapat dilihat pada Tabel 3.9. Dioda 1N4006 diperoleh harga W sebesar 0,12 μm.

Tabel 9 Harga lebar lapisan deplesi untuk masing-masing dioda

Dioda Diameter (mm) W (μm)

I-DALING-1

3 2 1

0,18 0,25 0,21

I-DALING-3

3 2 1

0,85 1,30 1,02

II-DALING-2

3 2 1

3.42 3.19 4.50

Harga ketinggian penghalang (φBn) yang diperoleh dari pengukuran I-V dengan harga tegangan difusi yang diperoleh dari pengukuran C-V untuk dioda I-DAILING-1 tidak jauh berbeda tetapi untuk dioda yang lain jauh berbeda. Hal ini disebabkan antara lain oleh adanya lapisan oksida pada permukaan sampel, adanya celah (ruang kosong) pada lapisan tipis dan juga doping yang tidak berdifusi secara merata pada semikonduktor CdTe yang diketahui dari harga resistansi yang besar.

Timbulnya lapisan oksida ini kemungkinan besar muncul sewaktu alat sistem pelapisan lama sebelum lapisan berikutnya dilakukan, juga sewaktu proses perlakuan panas yang dilakukan pada ruang tekanan 1 atm yang memberikan peluang besar untuk timbulnya lapisan oksida pada permukaan sampel. KESIMPULAN Setelah penelitian tentang pembuatan dioda dari lapisan tipis CdTe yang ditumbuhkan dengan metode Penguapan, maka hal-hal yang dapat diutarakan sebagai kesimpulan dari penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1. Harga n yang diperoleh dari pengukuran arus-

tegangan (I-V) jauh dari harga n ideal, di mana harga ideal adalah 1 sedangkan dalam penelitian ini diperoleh n antara 16-40. Hal ini disebabkan oleh besarnya harga resistansi seri dioda tersebut.

2. Tingi penghalang (φBn) untuk dioda I-DALING – 1 diperoleh 0,91 eV tidak jauh berbeda dengan harga tegangan difusi (Vbi) yang besarnya 0,89 volt. Hal ini bersesuaian dengan harga yang diperoleh untuk dioda 1N4006 di mana φBn diperoleh 0,89 eV dan harga Vbi adalah 0,75 volt. Tetapi untuk dioda 1-DALING-3 dan II-DALING-2 diperoleh harga Vbi yang jauh lebih besar dari harga φBn. Di mana harga φBn untuk dioda 1-DALING-3 diperoleh 0,91 eV sedangkan harga Vbi sebesar 3,36 volt dan untuk dioda II-DALING –2 harga φBn diperoleh 0,94 eV sedangkan harga Vbi diperoleh 8,35 volt. Hal ini juga disebabkan oleh harga resistansi seri dioda tersebut yang terlalu besar, menyebabkan

Page 98: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

94

terjadinya penyimpangan pengukuran kapasitansi.

3. Temperatur dan lamanya perlakuan panas sangat mempengaruhi untuk memperoleh dioda yang baik. Dioda yang baik maksudnya mempunyai tahanan seri yang rendah sehingga dapat diabaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Kitel C. Introduction to Solid State Physics, fifth edition. New Delhi: Wiley Eastern Limited.

Fonash, J. Stephen. 1981. Solar Cell Device Physics. Academic Press, Inc.

Ginting, Masno. 1996. Laporan Pengembangan Lapisan Tipis CdTe untuk Bahan Solar Cell dan Sensor Infra Merah. Puslitbang Fisika Terapan.

Reka Rio,S. dan Masamori, Iida. 1980. Fisika dan Teknologi Semikonduktor. Jakarta: Pradnya Paramita.

Rhoderich, E.H. 1980. Metal-Semiconductor Contacs. Oxford : Claredon Press.

Cyril Hilsum. 1972. Handbook on Semiconductors, Device Physics Volume 4. Oxford.

Richard Dalven. Introduction to Applied Solid State Physics. New York and London: Plenium Press.

Physics Journal of the Indonesian Physical Society, Vol. I, Nuber I, 1996.

Morosanu, C.E. 1990. Thin Films by Chemical Vapour Deposition. Vol. 7 Elsevier.

Page 99: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

95

HUBUNGAN PERILAKU KEPEMIMPINAN DENGAN IKLIM ORGANISASI (Studi Pada Karyawan Beberapa Perusahaan Manufaktur di Medan)

Rinaldy Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Graha Nusantara Tapanuli Selatan

Abstract: Leadership is important factor in organization as process in instructing human resource to reach specific-purpose. Good leadership will support creation of organization climate that is conducive. This research is aimed to understand behavioral relation of leadership with job climate. Responder in this research is employees of some manufacturing business in Medan. Data collecting use questioner technique, while data analyzer is correlation or product moment. Research findings show there is positive and significant relation between leadership behavioral with organization climate. Key word: Leadership, Leadership Behavioral, Organizational Climate. PENDAHULUAN

Bila kita membahas masalah iklim, sebenarnya sedang berbicara mengenai sifat-sifat atau ciri-ciri yang dirasa terdapat dalam lingkungan kerja dan timbul terutama karena kegiatan organisasi, yang dilakukan secara sadar atau tidak, dan yang dianggap mempengaruhi perilaku kemudian. Dengan kata lain iklim yang dipandang sebagai kepribadian organisasi seperti yang dilihat oleh para anggotanya.

Seorang peneliti Rensis Likert mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi iklim kerja diantaranya, kepemimpinan, motivasi, komunikasi, interaksi pengaruh, pengambilan keputusan. Lebih lengkap Likert menyatakan faktor-faktor tersebut adalah: kualitas kepemimpinan, imbalan yang adil, kadar kepercayaan, tekanan pekerjaan, komunikasi ke atas ke bawah, kesempatan, perasaan melakukan pekerjaan yang bermanfaat, pengendalian, struktur, birokrasi yang nalar, tanggung jawab keikutsertaan, dan keterlibatan pegawai (Davis dan Newstroom, 1996:24).

Dari faktor di atas terlihat kepemimpinan sebagai faktor yang mempengaruhi iklim kerja di dalam sebuah organisasi. Dalam mencapai tujuannya, perusahaan memerlukan sebuah kepemimpinan yang efektif yakni kepemimpinan yang mampu mengarahkan seluruh sumber daya perusahaan. Masalah-masalah yang sering timbul dalam sebuah proses kepemimpinan adalah adanya pemimpin yang otoriter, selalu mementingkan pendapat sendiri, tidak menghargai bawahan sebagai seorang manusia, tidak memberi contoh yang baik dalam pelaksanaan kerja, seperti datang bekerja selalu mementingkan pendapat sendiri, tidak menghargai bawahan sebagai seorang manusia, tidak memberi contoh yang baik dalam pelaksanaan kerja, seperti datang bekerja selalu terlambat, tidak memiliki kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin, dan masalah-masalah lain yang dapat menjadikan organisasi menjadi buruk akibat dipimpin oleh orang yang tidak tepat.

Pemimpin merupakan faktor kritis (crucial factor) yang dapat menentukan maju mundurnya, serta hidup matinya suatu usaha yang merupakan kegiatan bersama, baik yang berbentuk organisasi sosial, lembaga pemerintah maupun badan-badan dan usaha-usaha perdagangan. (Kartini Kartono, 1998: 6).

Pada dasarnya, baik buruknya organisasi perusahaan tergantung bagaimana cara seorang memimpin dan proses kepemimpinan di dalam suatu organisasi memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk iklim kerja yang kondusif di dalam perusahaan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Field dan Abelson, bahwa salah satu determinan yang mempengaruhi iklim kerja adalah perilaku manajerial (pemimpin) kepada bawahan (Hasibuan, 2000: 376). RUMUSAN MASALAH

Untuk mengarahkan penelitian ini, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Apakah perilaku kepemimpinan memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan iklim kerja.

KAJIAN PUSTAKA a. Kepemimpinan

Kepemimpinan pada intinya merupakan suatu proses mengarahkan para anggota untuk mencapai suatu tuuan tertentu. Untuk melihat lebih jelas makna dari kepemimpinan dapat dilihat pada bagian berikut. Pemimpin adalah individu dalam kelompok yang bertugas membimbing dan mengkoordinir aktivitas-aktivitas kelompok yang relevan dengan tugas orang yang jika ada, pemimpin ditunjuk memikul tanggung jawab primer untuk melaksanakan fungsi-fungsi ini di dalam kelompok. (Kast dan Rosenzweig, 2000: 515).

Mengutip pendapat Kimbal Young seperti dikutip Kartono (1998: 40), kepemimpinan adalah bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan

Page 100: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

96

pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu berdasarkan akseptansi/penerimaan kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi khusus. Menurut Gibson et al (1992: 2630), kepimpinan adalah suatu usaha mempengaruhi orang antarperseorangan (interpersonal), lewat proses komunikasi, untuk mencapai sesuatu atau beberapa tujuan. Stoner (1992: 294) mengemukakan bahwa kepemimpinan manajerial dapat didefinisikan sebagai suatu proses pengarahan dan pemberian pengaruh pada kegiatan-kegiatan dari sekelompok anggota yang saling berhubungan tuagsnya. Davis dan Newstrom (1996: 152) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah proses mendorong dan membantu orang lain untuk bekerja dengan antusias mencapai tujuan. Faktor manusialah yang mempertautkan kelompok dan memotivasinya untuk mencapai tujuan.

Ralph M. Stodgill seperti dikutip Stoner (1992: 114) menyatakan ada tiga implikasi yang penting dari kepemimpinan: o Pertama, kepemimpinan harus melibatkan orang

lain (bawahan/pengikut). o Kedua, kepemimpinan melibatkan distribusi

yang tidak merasa dari kekuasaan di antara pemimpin dan anggota kelompok.

o Ketiga, selain secara sah dapat mengarahkan bawahan atau pengikut mereka, pemimpin juga dapat mempunyai pengaruh.

Dalam teori kepemimpinan terdapat beberapa tipe kepemimpinan, yang menggambarkan bagaimana karakter yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Menurut Siagian (1996: 17), tipe kepemimpinan dikategorikan pada lima tipe, yaitu: 1. Tipe pemimpin otokratis

Seorang pemimpin otokratis ialah pemimpin yang memiliki ciri, yakni menganggap organisasi milik pribadi, mengidentifiksi tujuan pribadi dengan tujuan organisasi, menganggap bawahan seagai alat semata-mata, tidak mau menerima kritik, saran, dan pendapat, terlalu tergantung pada kekuasaan formalnya, dalam tindakan menggunakan approach yang menganut unsur paksaan dan punitive (bersifat menghukum). Dengan demikian dapat dilihat bahwa tipe pemimpin demikian tidak tepat untuk organisasi modern. Sifat tersebut tidak menghargai hak asasi manusia.

2. Tipe pemimpin yang militeristis Seorang pemimpin yang bertipe militeristis

ini ialah seorang pemimpin yang menggunakan sistem perintah untuk menggerakan bawahannya, sering bergantung pada pangkat dan jabatan dalam memberikan perintah kepada para bawahannya, senang pada formalitas yang berlebihan, sukar menerima kritikan dari bawahan, menggemari upacara-upacara untuk

berbagai keadaan. Dari sifat-sifat tersebut seorang pemimpin yang militeristis bukanlah seorang pemimpin yang ideal.

3. Tipe pemimpin yang paternalistis Pemimpin yang tergolong paternalistis ini

adalah seorang yang menganggap bawahannya seorang manusia yang dewasa, bersifat terlalu melindungi, jarang memberikan kesempatan bawahannya untuk mengambil kesimpulan, jarang memberikan kesempatan pada bawahan untuk mengambil inisiatif, sering bersikap mau tahu.

Dengan demikian seorang pemimpin yang bersikap demikian sangat diperlukan, akan tetapi sifat–sifat negatif mengalahkan sifat-sifat positif.

4. Tipe pemimpin yang karismatik

Sering dikatakan bahwa pemimpin yang karismatik diberkahi dengan kekuatan gaib (supernatural power), tipe pemimpin ini belum diketahui sifat-sifat dan sebabnya mengapa seorang pemimpin memiliki karismatik dan daya tarik yang sangat besar dan umumnya memiliki pengikut yang jumlahnya besar.

5. Tipe pemimpin yang Demokratis

Kepimpinan gaya ini telah membuktikan bahwa tipe pemimpin seperti ini paling tepat untuk sebuah organisasi moderen karena dalam proses penggerakan bawahannya selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu adalah makluk yang mulia, ia senang menerima saran, pendapat, dan kritikan-kritikan dari bawahannya, selalu berusaha mensikronisasikan kepentingan dengan kepentingan pribadi dan tujuan daripada bawahannya, lebih mengutamakan kerja sama dalam usaha mencapai tujuan, memberi kebebasan kepada bawahannya untuk memperbaiki apabila bawahan membuat kesalahan, selalu berusaha membuat bawahan lebih sukses daripadanya, berusaha mengembangan kapasitas diri pribadinya sebagai seorang pemimpin.

Dari uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi pemimpin yang tipe demokratis bukanlah suatu hal yang mudah, tetapi karena pemimpin seperti ini yang ideal, maka alangkah baiknya jika semua pemimpin berusaha menjadi seorang pemimpin yang demokratis.

Fungsi dan Azas Kepemimpinan

Ada beberapa fungsi dan azas kepemimpinan yang dapat dilihat pada uraian dibawah ini.

Kartini Kartono (1998: 64) menyatakan

Page 101: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Hubungan Perilaku Kepemimpinan dengan Iklim Organisasi (Studi pada Karyawan Beberapa Perusahaan Manufaktur di Medan)

97

fungsi kepemimpinan ialah memandu, menuntun, membimbing, membangun, memberi, atau membangunkan motivasi-motivasi kerja, mengemudikan organisasi, menjalin jaringan-jaringan komuniksi yang baik, memberikan supervise (pengawasan) yang efisien, dan membawa para pengikutnya kepada sasaran yang ingin dituju sesuai dengan ketentuan waktu dan perencanaan.

Fungsi kepemimpinan di atas pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yakni mengarahkan orang lain atau para bawahannya untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu.

T. Hani Handoko (1993: 299) menyatakan ada dua fungsi utama kepemimpinan: 1. Fungsi-fungsi yang berhubungan dengan tugas

(task related) atau pemecahan masalah. 2. Fungsi-fungsi pemeliharaan kelompok (group

maintenance) atau sosial. Fungsi pertama menyangkut pemberian saran penyelesaian, informasi, dan pendapat. Fungsi kedua mencakup segala sesuatu yang dapat membantu kelompok berjalan lebih lancar, persetujuan dengan kelompok lain, penengahan perbedaan pendapat, dan sebagainya.

Kartini Kartono (1998: 65) menyebutkan: Azas kepemimpinan yang baik: 1. Kemanusian, yaitu mengutamakan sifat-sifat

kemanusian, pembimbingan manusia oleh manusia, untuk mengembangkan potensi dan kemampuan setiap individu, demi tujuan-tujuan kemanusiaan.

2. Efisiensi, yakni efisiensi teknis maupun sosial, berkaitan dengan terbatasnya sumber-sumber, materil dan manusia, atau prinsip penghematan, dan adanya nilai-nilai ekonomis, serta azas-azas manajemen modern.

3. Kesejahteraan dan kebahagian yang lebih merata menuju pada taraf kehidupan yang lebih tinggi.

Jika seorang pemimpin memiliki azas di atas maka dapat dikatakan bahwa seorang pemimpin memiliki kepemimpinan yang baik. IKLIM KERJA Pengertian Iklim Kerja

Swamsburg (1995: 25) menyatakan, iklim organisasi adalah status emosi yang ditunjukkan oleh anggota sistem. Iklim ini dapat formal, rileks, defensive, berhati-hati, menerima, percaya , dan sebagainya. Iklim ini adalah subyektif karyawan atau persepsi mereka tentang organisasi mereka. Steers (1995: 120) menyatakan, bila sebenarnya sedang berbicara mengenai sifat-sifat atau ciri-ciri yang terdapat dalam lingkungan kerja dan timbul terutama karena kegiatan organisasi, yang dilakukan secara sadar atau tidak, dan yang dianggap mempengaruhi perilaku kemudian. Dengan kata lain iklim yang dipandang sebagai kepribadian organisasi seperti

yang dilihat oleh para anggotanya. Menurut Payne & Pugh dalam Steers (1995: 123), yang dimaksud dengan iklim kerja adalah sikap, nilai, norma, dan perasaan yang lazim dimiliki para pekerja sehubungan dengan organisasi mereka.

Menurut Heidhrachman Ranupandojo dan Suad Husnan (1992: 150), unsur-unsur yang terdapat di dalam iklim kerja adalah sebagai berikut: 1. Komunikasi 2. Hubungan kerja

- Hubungan antara para karyawan. - Hubungan antara karyawan. - Hubungan antara para manajemen

Dimensi Iklim

Kesulitan pokok yang timbul dalam usaha memahami peranan iklim dalam susunan organisasi adalah ketidakmampuan umum di antara para analis untuk mencapai kesepakatan mengenai apa yang sebenarnya membentuk iklim tersebut. Jadi, walaupun relatif mudah menyetujui suatu definisi umum, tetapi masih terdapat perbedaan pendapat yang besar mengenai dimensi atau komponen khusus mana yang terlibat. Sebagian masalah ini karena keanekaan lingkungan yang teliti (misalnya, organisasi bisnis, laboratorium penelitian dan pengembangan, sekolah dasar, perwakilan pemerintah).

Dimensi-dimensi iklim kerja adalah: 1. Struktur tugas. Tingkat perincian metode yang

dipakai untuk melaksanakan tugas oleh organisasi.

2. Hubungan imbalan hokum. Tingkat batas pemberian imbalan tambahan seperti promosi dan kenaikan gaji didasarkan pada prestasi dan jasa dan bukan pada pertimbangan-petimbangan lain seperti senioritas, favoritisme, dan seterusnya.

3. Sentralisasi keputusan, batas keputusan-keputusan penting dipusatkan pada manajemen atas.

4. Tekanan pada prestasi keinginan pihak pekerjan organisasi untuk melaksanakan pekerjaan organisasi untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik dan memberikan sumbangannya bagi sasaran karya organisasi.

5. Tekanan pada latihan dan pengembangan. Tingkat batas organisasi berusaha meningkatkan prestasi individu melalui kegiatan latihan dan pengembangan yang tepat.

6. Keamanan versus risiko tingkat batas tekanan dalam organisasi menimbulkan perasaan kurang aman dan kecemasan pada para anggotanya.

7. Keterbukaan versus ketertutupan. Tingkat batas orang-orang lebih berusaha menutupi kesalahan mereka dan menampilan diri secara baik daripada berkomunikasi bebas dan bekerjasama.

8. Status dan semangat. Perasaan umum di antara para individu bahwa organisasi merupakan tempat bekerja yang baik.

Page 102: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

98

9. Pengakuan dan umpan balik tingkat batas seorang individu mengetahui apa pendapat atasannya dan manajemen mengenai pekerjaannya serta tingkat atas dukungan mereka atas dirinya.

10. Kompetensi dan keluwesan organisasi secara umum tingkat batas organisasi mengetahui apa tujuannya dan mengejarnya secara luwes dan kreatif. Termasuk juga batas organisasi mengantisipasi masalah, mengembangkan metode baru, dan mengembangkan keterampilan baru pada pekerja sebelum masalahnya menjadi gawat. (Steers, 1995: 122).

HUBUNGAN KEPEMIMPINAN DENGAN IKLIM KERJA

Iklim dapat digambarkan sebagai gejala organisasi yang berhubungan dengan kerja kepemimpinan. Hal ini menggarisbawahi pengaruh kepemimpinan yang kuat atas iklim organisasi yang telah ditetapkan banyak studi. Riset juga menunjukkan bahwa perbedaan gaya kepemimpinan menyebabkan perbedaan iklim dalam kelompok kerja. Para pemimpin yang mempunyai iklim emosional yang baik dalam bidang kepemimpinan menegaskan pendapat itu, bahwa suatu tugas pemimpin yang utama adalah untuk iklim organisasi. (Ekvall, 1993)

Pada sisi lain harus selalu diingat bahwa iklim juga mempunyai suatu pengaruh atas kepemimpinan, hal ini karena kedua hal tersebut bukan merupakan hubungan searah tetapi merupakan suatu sistem kompleks. (Dormeyer, 2004). Dengan demikian hubungan antara kepemimpinan dengan iklim kerja atau iklim organisasi adalah hubungan yang resiprokal. METODE PENELITIAN

Responden dalam penelitian ini adalah karyawan-karyawan perusahaan swasta di kota Medan, operasional yang bekerja di beberapa perusahaan manufaktur.

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan angket instrumen. Angket disusun dalam skala Likert berbentuk pilihan ganda. Instrumen berlaku berdasarkan indikator hubungan pimpinan dengan anggota, tugas pimpinan, kekuasaan dari pemimpin, sedangkan instrumen iklim kerja diindikasikan dengan sifat kepemimpinan, motivasi yang ada, hubungan komunikasi, interaksi para karyawan, pengambilan keputusan penetapan tujuan, dan pengendalian.

Instrumen yang telah disusun, diuji validitas dan reliabilitasnya dengan mengujicobakan kepada 50 orang responden. Hasil pengujian validitas butir untuk instrumen perilaku kepemimpinan dan iklim kerja semuanya valid, demikian juga hasil pengujian

reliabilitas memiliki reliabilitas yang cukup tinggi yakni 0,87 untuk instrumen perilaku kepemimpinan dan 0,84 untuk iklim kerja.

Angket disebar kepada 200 orang responden, dan responden yang mengembalikan angket sebanyak 138 orang, sedangkan kuisioner yang layak untuk dianalisis hanya sebanyak 72 buah. Pengujian korelasi product moment dari Pearson.

HASIL PENELTIAN Nilai koefisien korelasi diperoleh sebesar 0,65, nilai koefisien korelasi tersebut memiliki arah hubungan positif, artinya baiknya sikap pimpinan diikuti dengan baiknya iklim kerja. Melalui koefisien korelasi tersebut diperoleh nilai koefisien determinasi sebesar 0,4225, secara praktis ini bermakna bahwa iklim kerja dipengaruhi oleh perilaku kepemimpinan sebesar 42,25%, sedangkan sisanya dipengaruhi faktor lain di luar penelitian.

Correlation Iklim

kerja Per kepemimpinan

Iklim kerja Pearson correlation Sig. (2-tailed) N

1 . 76

.651

.000 76

Per kepemimpinan

Pearson correlation Sig. (2-tailed) N

.651**

.000 76

1 . 76

Hasil pengujian signifikan, diperoleh nilai

signifikansi (2-tailed) sebesar 0,000, sehingga nilai tersebut lebih kecil dari probabilitas 0.05. Dengan demikian hasil ini menunjukkan adanya hubungan signifikan perilaku kepemimpinan dengan iklim kerja.

Sesuai dengan analisis dari Rensis Likert bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi iklim kerja diantaranya kualitas kepemimpinan, imbalan yang adil, kadar kepercayaan, tekanan pekerjaan, komunikasi ke atas dan kebawah, kesempatan, perasaaan melakukan pekerjaan yang bermanfaat, pengendalian struktur dan birokrasi yang nalar, tanggung jawab keikutsertaan, dan keterlibatan pegawai. (Davis dan Newstroom, 1996: 24).

Faktor-faktor di atas memperlihatkan salah satu yang mempengaruhi iklim kerja adalah kepemimpinan, yang dalam penelitian ini difokuskan kepada perilaku kepemimpinan. Peran perilaku kepemimpinan ini sangat penting dalam membentuk iklim kerja yang kondusif di dalam organisasi, sebab pengambil keputusan dalam organisasi adalah para pemimpin. Lebih lanjut, pemimpin merupakan teladan bagi para bawahan.

Hasil yang positif dalam penelitian ini memperlihakan bahwa dengan perilaku kepemimpinan yang baik maka iklim organisasi juga akan baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ekvall, bahwa para pemimpin mempunyai kesempatan untuk

Page 103: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Hubungan Perilaku Kepemimpinan dengan Iklim Organisasi (Studi pada Karyawan Beberapa Perusahaan Manufaktur di Medan)

99

membangun suatu iklim emosional yang baik. Demikian juga pemimpin dapat merusak iklim organisasi. Hasil penelitian dalam bidang kepemimpinan menegaskan pendapat itu bahwa suatu tugas pemimpin yang utama adalah untuk menciptakan suatu hal positif untuk iklim organisasi. (Ekvall, 1993).

Koefisien determinasi yang menunjukkan 42,25% iklim kerja diperngaruhi oleh faktor perilaku kepemimpinan, berarti faktor lain juga berpengaruh, diantaranya yang sangat penting adalah motivasi berprestasi. Seperti dikatakan Herlina (2003), sukses atau tidak usaha dalam mencapai tujuan perusahaan atau organisasi tersebut berpangkal tolak pada tinggi rendahnya motivasi berprestasi karyawan dalam melakukan pekerjaan, dan diduga salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi motivasi berprestasi tersebut adalah iklim organisasi. Dengan demikian pada kajian-kajian berikutnya, selain perilaku kepemimpinan, motivasi juga perlu disertakan dengan kajian yang utuh. KESIMPULAN

Hasil penelitian ini memperlihatkan koefisien korelasi yang positif sebesar 0,65 menunjukan baiknya sikap pimpinan diikuti dengan baiknya iklim kerja. Nilai koefisien determinasi sebesar 0,4225, hal ini bermakna bahwa iklim kerja dipengaruhi perilaku kepemimpinan sebesar 42,25%. Pengujian signifikansi hipotesis memperlihatkan nilai signifikansi (2-tailed) sebesar 0,000 lebih kecil dari probabilitas 0,05. Hasil ini menunjukkan adanya hubungan signifikan perilaku kepemimpinan dengan iklim organisasi. DAFTAR PUSTAKA

Davis, Keith dan John W. Newstrom, 1996. Perilaku Dalam Organisasi. Edisi Ketujuh. Jakarta: Erlangga.

Dormeyer, Sophia, 2004. A Study about the Leadership Style and the Organization Climate at The Swedish civil Air Aviation Administrasion in Malmostrup. http://www.socbetbib.lu,se/epubl/psypdf/PSY3063.pdf.

Ekvall, G. 1993. Ideer, Organizationsklimat. Stocklom: CE Fitzes AB.

Gibson, et al 1992: Organisasi dan Manajemen: Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Erlangga.

Glueck, w.F. dan Jauch, Lawrence R. 1994. Manajemen Strategis dan Kebijakan Perusahaan. Jakarta: Erlangga.

Hasibuan, Melayu S.P. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.

Hasibuan, S.P. Malayu. 2001. Manajemen:

Pengertian, Dasar, dan Masalah. Jakarta: Bumi Aksara.

Heididdjracham Ranupandojo, dan Suad Husnan. 1992. Manajemen Personalia.Yogyakarta: BPFE.

Herlina, 2003. Hubungan Antara Iklim Organisasi Dengan Motivasi Berprestasi pada Karyawan. Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara. Tidak Dipublikasikan.

Kartini Kartono. 1998. Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal itu. Jakarta: Rajawali.

Siagian, Sondang P. 1996. Fungsi-Fungsi Manajerial. Jakarta: Bumi Aksara.

Steers, Richard M. 1995. Efektivitas Organisasi. Jakarta: Erlangga.

Suharsimi Arikunto. 1991. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Swanburg, R.C. 1995. Pengembangan Staf Keperawatan. Jakarta: EGC.

T. Hani Handoko. 1993. Manajemen. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi-BPFE.

Thoha, Miftah. 2000. Perilaku Organisasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Page 104: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

100

STUDI EMPIRIS KEPUTUSAN - KEPUTUSAN DEVIDEN, INVESTASI, DAN PENDANAAN EKSTERNAL PADA PERUSAHAAN-

PERUSAHAAN INDONESIA YANG GO PUBLIC DI BURSA EFEK JAKARTA

(Empirical Study toward Dividend, Investment, and Financing Decision Indonesian Companies Listed in Jakarta Stock Exchange)

Apridar Dosen Universitas Malikussaleh

Abstrak: Dari perilaku finansial perusahaan-perusahaan dari berbagai negara yang berbeda dapat diperoleh perspektif yang lebih luas dan menyeluruh tentang masalah keuangan dan bisnis. Tujuan dari penelitian ini adalah menguji secara empiris hubungan antara keputusan dividen (dividend decision), investasi (investment decision), dan pendanaan eksternal (external financing decision) pada perusahaan-perusahaan Indonesia yang listed di Bursa Efek Jakarta. Penelitian ini menggunakan rancangan causal comparatif analitic karena akan menguji secara empirik pengaruh timbal balik antara keputusan-keputusan dividen, investasi, dan pendanaan eksternal pada perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia yang terwakili dalam Bursa Efek Jakarta. Signifikansi variabel lagged dividend dalam menentukan tingkat pembayaran dividen menunjukkan bahwa perusahaan cenderung memperhatikan stabilitas dividen dalam menyusun kebijakan dividennya. Ini berarti bahwa teori stabilitas dividen berlaku dalam mempertimbangkan tingkat pembayaran dividen pada perusahaan-perusahaan Indonesia. Kondisi ini dapat diartikan bahwa telah terjadi signaling efek di mana keputusan dividen perusahaan dapat memberikan signal tentang prospek perusahaan di masa datang yang terjadi akibat adanya asimetri informasi antara pemegang saham dan pihak manajemen. Estimasi dari model investasi menunjukkan bahwa profit, likuiditas, leverage financial, dan pendanaan eksternal lebih signifikan dengan metode OLS daripada 2SLS. Sedangkan variabel akselerator kapasitas atau perubahan penjualan dan dividen tidak menunjukkan determinasi yang signifikan dalam model investasi ini. Sementara itu, terjadi kondisi yang berlawanan dengan model dividen di mana pada model investasi ini, tingkat signifikansi hubungan variabel independen terhadap variabel dependen nampak lebih tinggi perusahaan defensif daripada perusahaan agresif. Terindikasi pula adanya perilaku pecking order, di mana perusahaan-perusahaan di Indonesia cenderung mendahulukan dana internalnya melalui laba ditahan dalam mendanai investasi dan membayarkan dividennya daripada dana eksternalnya melalui hutang jangka panjang. Abstract: Behavior of companies financial from various different state can be obtained broader in perspective and totally about problem of business and finance. Intention of this research is to test empirically relation between decision of dividend (decision dividend), investment (decision investment), and financing of external (external of decision financing) at companies of Indonesia which is listed in Effect Exchange of Jakarta. This research use device of causal analytic comparative because will test by empiric reciprocal influence among/between decision of dividend, investment, and financing of external at company exist in Indonesia deputized Effect Exchange of Jakarta. Variable significance of lagged dividend in determining storey, level payment of dividend indicate that company tend to pay attention dividend stability in compiling policy of its dividend. This means that dividend stability theory go into effect in considering storey, level payment of dividend at companies of Indonesia. This condition can be interpreted also that have happened effect signaling where decision of company dividend can give signal about company prospect in a period to coming that happened effect of existence of information asymmetry between management side and stockholder. Estimation of investment model indicate that profit, liquidities, financial leverage and financing of external more significant with method of OLS from at 2SLS. While variable of accelerator capacities or change of dividend and sale do not show determinacy which is significant in this investment model. Meanwhile, happened adversative condition with dividend model where at this investment model, storey, level of signification independent variable relation/link to variable of dependent look higher of company of defensive from at aggressive company. Indication also the existence of behavior of pecking of order, where companies in Indonesia tend to prioritize internal fund of him pass/through retained earning in investment fund and pay for its dividend from at its fund of him pass/through long term liabilities.

Page 105: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Studi Empiris Keputusan-keputusan Deviden, Investasi dan Pendanaan Eksternal pada Perusahaan-perusahaan Indonesia yang Go Publik di Bursa Efek Jakarta

101

)1..(..........431

210 υ+++++= −

SFa

SIaS

DaSPaa

SD t

)2........(6543210 υ+++++++=SFb

SDb

SLTDb

SWkbS

PbS

dSbbSI

)3(..........543210 υ++++++=S

LTDcS

WkcSPcS

DcSIcc

SF

PENDAHULUAN Tujuan dari penelitian ini adalah menguji secara

empiris hubungan antara keputusan dividen (dividend decision), investasi (invesment decision), dan pendanaan eksternal (external financing decision) pada perusahaan-perusahaan Indonesia yang listed di Bursa Efek Jakarta.

Dengan memahami perilaku finansial perusahaan-perusahaan dari berbagai negara yang berbeda dapat diperoleh perspektif yang lebih luas dan menyeluruh tentang masalah keuangan dan bisnis (Mc Donnald, Jacquillat, Nussenbaum, 1975).

Maksimisasi nilai perusahaan sangat bergantung pada pilihan berbagai keputusan mengenai investasi, pendanaan, dan dividen yang merupakan fungsi bagaimana keputusan berdampak pada harapan arus kas masa depan (expected future cash flow), resiko, dan keseimbangan antara pengembalian yang diharapkan (expected return) dan biaya yang dikeluarkan.

Dari hasil penelitian Mc Donnald, Jackuillat, dan Nussenbaum (1975) pada perusahaan-perusahaan Perancis dan dengan adanya beberapa perbedaan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, yang diantaranya dilakukan oleh Dhrymes dan Kurz (1967) serta Higgins (1972) pada perusahaan-perusahaan Amerika, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan: 1. Apakah keputusan dividen perusahaan

dipengaruhi oleh profit dan keputusan dividen sebelumnya serta keputusan investasi dan pendanaan eksternal.

2. Apakah keputusan investasi perusahaan dipengaruhi oleh keputusan dividen, pendanaan eksternal, hutang jangka panjang, profit, net working capital dan perubahan penjualan.

3. Apakah keputusan pendanaan eksternal dipengaruhi oleh keputusan investasi, keputusan dividen, profit, net working capital, dan hutang jangka panjang.

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui apakah keputusan dividen

perusahaan dipengaruhi oleh profit dan keputusan dividen sebelumnya serta keputusan investasi dan pendanaan eksternal.

2. Untuk mengetahui apakah keputusan investasi dipengaruhi oleh keputusan dividen, keputusan pendanaan eksternal, hutang jangka panjang, profit, net working capital, dan perubahan penjualan.

3. Untuk mengetahui apakah keputusan pendanaan eksternal dipengaruhi oleh keputusan investasi, keputusan dividen, profit, net working capital, dan hutang jangka panjang.

Model Dividen, Investasi, dan Pendanaan Eksternal

Model keputusan Dividen, Investasi dan Pendanaan Eksternal dapat di tunjukkan sebagai berikut:

(Sumber: Mc Donald, Janckuillat, dan Nussenbaum, 1975).

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang akan diuji sebagai berikut: 1. Keputusan dividen perusahaan dipengaruhi oleh

profit dan keputusan dividen sebelumnya serta keputusan investasi dan pendanaan eksternal.

2. Keputusan investasi dipengaruhi oleh keputusan dividen, keputusan pendanaan eksternal, hutang jangka panjang, profit, net working capital, dan perubahan penjualan.

3. Keputusan pendanaan eksternal dipengaruhi oleh keputusan investasi, keputusan dividen, profit, net working capital, dan hutang jangka panjang.

METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan cara observasi terhadap kenyataan sosial yang terwujud khususnya terhadap keputusan-keputusan keuangan perusahaan diantaranya keputusan dividen, keputusan investasi, dan keputusan pendanaan eksternal. Penelitian ini menggunakan rancangan causal comparatif analitic karena akan menguji secara empirik pengaruh timbal balik antara keputusan-keputusan dividen, investasi, dan pendanaan eksternal pada perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia yang terwakili dalam Bursa Efek Jakarta.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini sebagai berikut : 1. Pembahasan dibatasi hanya pada hubungan

kausalitas antara keputusan dividen dan keputusan investasi, keputusan dividen dan keputusan pendanaan eksternal, serta keputusan investasi dan keputusan pendanaan eksternal.

2. Analisis terhadap perilaku ketiga bentuk keputusan manajemen tersebut hanya pada aspek keuangan.

Obyek dan Lokasi Penelitian

Obyek penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan yang go public dan list di Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang menerbitkan laporan keuangan selama periode penelitian dari tahun 1999 sampai dengan tahun buku yang berakhir pada 31 Desember

Page 106: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

102

2001. Sedangkan lokasi penelitian adalah di Pojok BEJ

Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.

Populasi dan Penentuan Sampel Populasi dari penelitian ini adalah perusahaan-

perusahaan dalam semua bidang usaha yang meliputi perusahaan produksi pertanian, peternakan, mining, konstruksi, manufaktur, wholesale, retail, dan sebagainya. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling.

Perusahaan-perusahaan yang bersifat jasa seperti jasa transportasi, perbankan, asuransi, komunikasi dan real estate tidak dimasukkan sebagai bahan kajian dan dikeluarkan dari sampel.

Dari perusahaan yang go public di Bursa Efek Jakarta selama periode tahun 1999-2001, diperoleh sejumlah 227 perusahaan yang bersifat nonjasa. Dari jumlah ini dipilih perusahaan-perusahaan yang mengeluarkan dividen selama tiga tahun berturut-turut dari tahun 1999 sampai tahun 2001 dan diperoleh sebanyak 33 perusahaan sebagai target sampel. Mengingat kecilnya jumlah target sampel, maka digunakan semua target sampel sebagai sampel penelitian dengan melakukan pooling data selama tiga tahun berturut-turut pada masing-masing sampel. Dengan cara ini akan diperoleh sebanyak 99 pengamatan. Hasil pengamatan inilah yang nantinya akan dianalisis untuk memperoleh hasil penelitian. Sumber dan Pengumpulan Data

Data diperoleh dari Pojok Bursa Efek Jakarta yang berupa data sekunder dari Indonesia Capital Market Directory, dan sumber-sumber lain seperti internet, majalah, buku, serta jurnal yang memuat informasi yang berkaitan dengan masalah-masalah investasi, dividen, dan pendanaan eksternal. Jenis data yang dikumpulkan adalah perkembangan laporan keuangan dari masing-masing perusahaan sampel untuk periode tahun 1999-2001 serta data-data yang dipublikasikan lainnya seperti laporan penelitian, majalah, dan jurnal dengan melakukan proses dokumentasi. Sedangkan data disusun baik secara pooling maupun cross section selama tiga tahun terhadap semua sampel perusahaan. Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel

Identifikasi variabel-variabel yang akan diamati dalam penelitian, berikut definisi operasionalnya. 1. Variabel dividen (dividend decision) dengan

notasi D, dihitung dari total dividen tunai (cash dividend) yang dibagikan perusahaan pada para pemegang sahamnya (dividen per share x jumlah saham beredar).

2. Variabel investasi (investment decision) dengan notasi I diukur dari investasi aktiva tetap perusahaan (net fixed asset) dalam lembar neraca yang dipublikasikan dalam Indonesia Capital Market Directory.

3. Variabel pendanaan eksternal (eksternal financing decision) dengan notasi F, diukur dengan hutang jangka panjang bersih (net long term borrowing), yaitu perubahan hutang jangka panjang tahun bersangkutan dengan tahun sebelumnya dalam lembar neraca yang dipublikasikan dalam Indonesia Capital Market Directory.

4. Variabel perubahan penjualan (dS) atau akselerator kapasitas dihitung dari selisih antara volume penjualan tahun bersangkutan dikurangi volume penjualan tahun sebelumnya.

5. Profit atau laba bersih (P) diukur dari laba setelah bunga dan pajak (EAT)

6. Net Working Capital (Wk) yang merupakan proksi dari tingkat likuiditas merupakan pengurangan Hutang Lancar (Current Liabilities) atas aktiva lancar (current asset).

7. Hutang jangka panjang /Long Term Debt (LTD) dihitung dari total hutang jangka panjang perusahaan (long term liabilities) dalam lembar neraca yang tercantum dalam Indonesia Capital Market Directory.

Tabel 1. Deskripsi Variabel-Variabel Penelitian

No

Variabel Me-an

Minimum

Maksimum

Standard deviasi

1. Dividen (D/S) 0,051

0,001

0,380 0,064

2. Investasi (I/S) 0,283

0,030

1,659 0,295

3. Pendanaan (F/S) 0,014

-0,2

6

0,423 0,084

4. Profit (P/S) 0,110

0,006

0,269 0,071

5. Lagged Dividen (Dt-1/S)

0,050

0,000

0,380 0,075

6. Perubahan Penjualan (dS/S)

0,163

-0,4

7

0,774 0,187

7. Net Working Capital (Wk/S)

0,299

-0,2

6

1,221 0,301

8. Hutang Jgka Panjang (LTD/S)

0,108

0,000

0,795 0,157

Sumber : Data Diolah

Teknik Analisis Data Alat analisis ekonometrik dengan metode

regresi kuadrat terkecil dua tahap (two-stage least squares) digunakan dalam menganalisis data dalam penelitian ini. Sebagai bahan perbandingan dan pengujian stabilitas hubungan variabel-variabel penelitian, penulis juga melakukan estimasi dengan regresi kuadrat terkecil biasa (ordinary least

Page 107: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Studi Empiris Keputusan-keputusan Deviden, Investasi dan Pendanaan Eksternal pada Perusahaan-perusahaan Indonesia yang Go Publik di Bursa Efek Jakarta

103

squere/OLS). Penerapan kedua metode tersebut dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS versi 10.

Adapun tahap-tahap yang perlu dilakukan dalam menganalisis data menggunakan metode 2SLS ini yaitu: Tahap 1: Membuang korelasi yang tampak terjadi antara variabel terikat endogen (Y) dan error term (u) dengan meregresikan semua variabel endogen terhadap semua variabel yang ditetapkan lebih dahulu (predetermined variables) dalam sistem. (Gujarati, 1978). Dalam penelitian ini langkah pertama yang dilakukan peneliti adalah meregres semua variabel endogen (Dt ,It ,Ft ) terhadap varibel eksogen (Pt ,Dt-1 ,dSt ,Wkt ,LTDt ) yang nampak sebagai berikut: Tahap 2: Mensubstitusikan hasil estimasi variabel dependen ke dalam persamaan asli (struktural) yang kemudian dilakukan proses OLS. (Gujarati, 1978). Untuk melengkapi hasil analisis terhadap model dividen, investasi dan pendanaan eksternal di atas, akan dilakukan pula proses analisis dengan menggunakan uji kausalitas Granger (Granger Causality Test).

HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Variabel-Variabel Penelitian Berikut ini ringkasan deskripsi variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini: Hasil Analisis dengan Metode Kuadrat Terkecil Biasa (OLS) dan Metode Kuadrat terkecil Dua Tahap (2SLS) a. Model Dividen (D/S) Tabel 2. Hasil Regresi Berganda Kuadrat Terkecil Biasa (OLS) Terhadap Model Dividen (D/S)

Cross Section No Variabel Th. 1999 Th. 2000 Th. 2001

Konstanta

0,0135 (1,188)

0,0234 (0,794)

-0,0106 (-0,009)

0,0029 (0,335)

P/S

0,317 (3,667)***

0,349 (1,231)

0,421 (4,917)***

0,409 (5,177)***

Dt-1/S 0,215 (2,711)***

0,442 (2,108)**

0,125 (2,033)**

-0,0566 (-0,468)

I/S -0,238 (-1,196)

-0,0383 (-0,639)

-0,0238 (-0,979)

-0,025 (-1,70)*

F/S -0,0872 (-1,281)

-0,126 (-0,643)

0,0223 (0,236)

-0,104 (-2,1)**

Adj.R2 0,221 0,111 0,526 0,556 Sig. 0,000 0,122 0,000 0,000 F 7,934 1,998 9,866 11,004

Tabel 3. Hasil Regresi Berganda Kuadrat Terkecil Dua Tahap (2SLS) Terhadap Model Dividen (D/S)

Cross Section No Variabel Th.

1999 Th. 2000

Th. 2001

Konstanta

0,0111 (0,870)

0,0252 (0,844)

0,00623 (-0,491)

0,00886 (0,884)

P/S

0,296 (2,471)**

0,146 (0,469)

0,470 (5,513)***

0,439 (5,184)***

Dt-1/S 0,224 (2,611)**

0,489 (2,318)**

0,125 (2,101)**

-0,0439 (-0,357)

I/S -0,006457 (-0,102)

7,2E-11 (0,631)

-3,E-11 (-1,486)

5,2E-11 (1,271)

F/S -0,133 (-0,394)

7,9E-11 (0,121)

1,8E-10 (1,280)

-6,E-10 (-2,1)**

Adj.R2

0,202 0,103 0,551 0,547

Sig. 0,000 0,135 0,000 0,000 F 7,125 1,917 10,818 10,674

b. Model Investasi (I/S) Tabel 4. Hasil Regresi Berganda Kuadrat Terkecil Biasa (OLS) terhadap Model Investasi (I/S)

Cross Section Pooling Th. 1999

Th. 2000

Th. 2001

Konstanta

0,05436 (1,156)

0,02329 (0,303)

0,04111 (0,470)

0,06177 (0,690)

P/S 2,061 (5,316)***

3,090 (4,129)***

2,565 (3,368)***

2,253 (2,783)***

dS/S -0,144 (-1,27)

-0,152 (-0,643)

-0,181 (-0,897)

-0,164 (-0,803)

Wk/S -0,28(-3,2)***

-0,51(-2,6)***

-0,38 (-2,2)**

-0,204 (-1,432)

LTD/S

1,326 (8,899)***

1,084 (3,244)***

0,934 (2,873)***

1,212 (5,153)***

D/S -0,474 (-1,322)

-0,559 (-1,453)

-0,739 (-0,638)

-1,247 (-0,754)

F/S -0,77(-2,8)***

-1,08 (2,50)**

1,096 (1,554)

-1,5(-3,3)***

Adj. R2

0,529 0,586 0,541 0,516

Sig. 0,000 0,000 0,000 0,000 F 19,365 8,560 7,298 6,695

Page 108: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

104

Tabel 5. Hasil Regresi Berganda Kuadrat Terkecil Dua Tahap (2SLS) terhadap Model Investasi (I/S)

Cross Section Pooling Th.

1999 Th. 2000

Th. 2001

Konstanta

0,218 (1,414)

0,03985 (0,166)

0,157 (2,02)**

-0,0216 (-0,124)

P/S 3,558 (2,485)**

2,678 (2,244)**

0,127 (0,144)

1,553 (0,879)

dS/S -0,151 (-1,169)

-0,307 (-0,579)

-0,192 (-1,159)

-0,0287 (-0,096)

Wk/S -0,49(-2,35)**

-0,505 (-1,029)

-0,0678 (-0,406)

-0,046 (-0,194)

LTD/S

-0,906 (-0,452)

0,965 (0,572)

1,993 (7,668)***

0,651 (0,803)

D/S -3,301 (-1,215)

2,1E-10 (0,20)

8,5E-10 (0,572)

-1,E-09 (-0,810)

F/S 7,840 (1,012)

-2,E-10 (-0,041)

-4,E-10 (-3,7) ***

1,9E-09 (-0,380)

Adj. R2

0,490 0,465 0,670 0,332

Sig. 0,000 0,001 0,000 0,009 F 16,123 5,629 11,810 3,654

b. Model Pendanaan Eksternal (F/S)

Tabel 6. Hasil Regresi Berganda Kuadrat Terkecil Biasa (OLS) Terhadap Model Pendanaan Eksternal (F/S)

Cross Section Pooling Th. 1999 Th.

2000 Th. 2001

Konstanta

-0,0064 (-0,407)

-0,0143 (-0,553)

-0,0106 (0,536)

-0,01214 (-0,405)

P/S 0,216 (1,355)

0,587 (1,624)

0,407 (-1,81)*

0,803 (2,732)***

Wk/S -0,0148 (-0,449)

-0,0710 (-0,973)

-0,0673 (1,495)

-0,04688 (-0,898)

LTD/S

0,353 (5,514)***

0,373 (2,720)***

0,237 (2,819)***

0,307 (2,992)***

D/S -0,154 (-1,186)

-0,163 (-1,041)

-0,0503 (-0,169)

-0,871 (-1,503)

I/S -0,1(-2,8)***

-0,18(-2,7)***

0,0782 (1,625)

-0,196 (-3,32)***

Adj. R2

0,228 0,156 0,579 0,280

Sig. 0,000 0,085 0,000 0,015 F 6,779 2,186 9,813 3,491

Tabel 7. Hasil Regresi Berganda Kuadrat Terkecil Dua Tahap (2SLS) Terhadap Model Pendanaan Eksternal (F/S)

Cross Section Pooling Th. 1999 Th.

2000 Th. 2001

Konstanta

-0,027 (-1,043)

-0,0221 (-0,707)

0,0105 (0,536)

-0,0256 (-0,556)

P/S -0,562 (-0,669)

0,04228 (0,089)

-0,0551 (-0,160)

-0,359 (-0,795)

Wk/S -0,0693 (0,688)

0,02754 (0,322)

-0,0272 (-0,489)

-0,0029 (-0,043)

LTD/S

0,06369 (0,168)

0,220 (1,501)

0,543 (3,668)***

-0,210 (-0,961)

D/S 0,508 (1,793)

5,8E-11 (0,18)

3,2E-10 (-0,679)

3,8E-10 (0,742)

I/S 0,172 (0,514)

-5,E-12 (-0,039)

-1,E-10 (-1,437)

3,4E-10 (1,86)*

Adj.R2

0,160 -0,075 0,589 0,054

Sig. 0,001 0,733 0,000 0,0269 F 4,733 0,555 10,158 1,362

Keterangan : - Angka dalam kurung merupakan nilai t-hitung

(nilai absolut), nilai t tabel adalah t 0,10=1,67 ; t 0,05=2,00 ; t 0,01=2,66

*** Signifikan pada tingkat 0,01 (1%) Tabel 10. Sebagian Hasil Uji Kausalitas Granger

Hipotesis Nol F Stat

Prob.

Kesim pulan

I/S tidak mempengaruhi D/S

0,180

0,83 Diterima

D/S tidak mempengaruhi I/S

0,237

0,79 Diterima

F/S tidak mempengaruhi D/S

1,075

0,34 Diterima

D/S tidak mempengaruhi F/S

0,274

0,76 Diterima

I/S tidak mempengaruhi F/S

0,537

0,58 Diterima

F/S tidak mempengaruhi I/S

5,476

0,01 Ditolak

** Signifikan pada tingkat 0,05 (5%) • Signifikan pada tingkat 0,10 (10%)

Page 109: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Studi Empiris Keputusan-keputusan Deviden, Investasi dan Pendanaan Eksternal pada Perusahaan-perusahaan Indonesia yang Go Publik di Bursa Efek Jakarta

105

Hasil Uji Kausalitas Granger (Granger Causality Test) Pengujian Hipotesis a. Model Dividen (D/S)

Dari tabel hasil analisis regresi di atas sebagian besar menunjukkan bahwa variabel dividen (D/S) dipengaruhi oleh variabel profit secara positif dan signifikan dalam poolled data dengan tingkat signifikansi 1% dan dalam dua tahun dari tiga tahun secara cross section dengan tingkat signifikansi yang juga 1%. Kondisi yang sama terjadi juga pada analisis dengan menggunakan metode 2SLS dengan perbedaan tingkat signifikansi pada data pooled.

Signifikansi yang tinggi variabel profit dalam menentukan tingkat pembayaran dividen menunjukkan bahwa tingkat profit menjadi pertimbangan utama perusahaan dalam memutuskan tingkat pembayaran dividennya. Ini berarti pula bahwa perusahaan cenderung memupuk dana internalnya dalam membagi keuntungan perusahaan pada para pemegang sahamnya.

Sementara itu keputusan dividen tahun sebelumnya (Dt-1/S) juga secara positif dan signifikan berpengaruh terhadap tingkat pembayaran dividen. Hal ini tampak pada hasil estimasi yang menunjukkan bahwa variabel lagged dividend (Dt-

1/S) berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dividen (D/S) pada data poolled dengan tingkat signifikansi 1% dan secara cross section dengan tingkat signifikansi 5%. Secara cross section, signifikansi variabel dividen sebelumnya dalam mempengaruhi keputusan dividen terjadi pada tahun 1999 dan 2000, sedangkan pada tahun 2001, negatif namun tidak signifikan. Hasil tersebut relatif sama terjadi pada analisis data dengan metode 2SLS dengan tingkat signifikansi yang lebih rendah pada data poolled

Signifikansi variabel lagged dividend dalam menentukan tingkat pembayaran dividen menunjukkan bahwa perusahaan cenderung memperhatikan stabilitas dividen dalam menyusun kebijakan dividennya. Ini berarti bahwa teori stabilitas dividen berlaku dalam mempertimbangkan tingkat pembayaran dividen pada perusahaan-perusahaan Indonesia. Kondisi ini, dapat diartikan pula bahwa telah terjadi signaling efek di mana keputusan dividen perusahaan dapat memberikan signal tentang prospek perusahaan di masa datang yang terjadi akibat adanya asimetri informasi antara pemegang saham dan pihak manajemen. Di samping itu dividen juga membawa muatan informasi tentang ekspektasi manajer terhadap cash flow perusahaan di masa yang akan datang. Meningkatnya pembayaran dividen akan dianggap sebagai kabar baik tentang prospek perusahaan, sebaliknya, penurunan jumlah dividen (dividend cut) akan diterjemahkan sebagai kabar buruk tentang prospek perusahaan. Dengan adanya signaling effect ini, perusahaan enggan untuk

menaikkan ataupun menurunkan tingkat pembayaran dividennya bila tidak memiliki keyakinan tentang kenaikan laba pada tahun berikutnya.

Signifikannya variabel profit dan lagged dividend dalam menentukan tingkat pembayaran dividennya ini menunjukkan bukti positif tentang validitas empiris model dividen Lintner (1956) di Indonesia. Hasil tersebut juga berlaku pada perusahaan-perusahaan Perancis oleh Mc Donald, Jackuillat dan Nussenbaum (1975). b. Model Investasi (I/S)

Variabel profit (P/S) mempengaruhi variabel investasi (I/S) secara positif dan signifikan di hampir semua jenis penyajian data. Secara pooled data, variabel tingkat profit secara positif, dan signifikan menentukan keputusan investasi dengan tingkat signifikansi 1%. Demikian pula yang terjadi pada data cross section, nampak variabel profit (P/S) signifikan positif di semua tahun dengan tingkat signifikansi 1%. Namun hasil ini tidak terjadi pada analisis data dengan metode 2SLS, di mana variabel profit hanya signifikan pada penyajian data secara pooled dan signifikan pada satu dari tiga tahun secara cross section.

Signifikannya variabel profit (P/S) dalam menentukan tingkat investasi perusahaan menunjukkan bahwa manajer lebih menitikberatkan pada profit sebagai patokan untuk melakukan investasi. Dengan kata lain perusahaan cenderung melakukan pemupukan dana secara internal melalui laba ditahan untuk melakukan investasi. Hasil ini identik dengan hasil penelitian Mc Donnald Jackuillat dan Nussenbaum (1975) yang menunjukkan hasil positif di empat dari tujuh tahun secara cross section namun dari empat tahun tersebut hanya dua tahun yang signifikan.

Variabel perubahan penjualan/akselerator kapasitas (dS/S) tidak memiliki koefisien yang signifikan di hampir semua jenis penyajian data dan metode analisis. Terdapat kecenderungan pengaruh yang negatif variabel perubahan penjualan (dS/S) terhadap tingkat investasi (I/S) perusahaan namun tidak signifikan.

Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terjadinya kondisi di mana kenaikan tingkat investasi jangka panjang perusahaan yang disebabkan oleh meningkatnya volume penjualan. Hal ini masuk akal karena meningkatnya volume penjualan tidak otomatis akan meningkatkan laba bersih perusahaan. Salah satu penyebabnya kemungkinan adalah karena meningkatnya biaya produksi dan biaya operasional lainnya.

Variabel likuiditas (Wk/S) yang ditunjukkan dengan nilai net working capital, menunjukkan hasil signifikan dan kesemuanya negatif. Ini terutama terjadi pada jenis penyajian secara pooling dengan tingkat signifikansi 1% dan pada data cross section dengan tingkat signifikansi 1% pada tahun 1999 dan 5% pada tahun 2000. Sementara itu, dengan metode

Page 110: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

106

2SLS, variabel ini hanya signifikan pada data pooling dengan tingkat signifikansi 5%.

Ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki tingkat investasi yang lebih tinggi, pada gilirannya akan memiliki likuiditas yang rendah pada akhir tahun. Dan sebaliknya, perusahaan akan memiliki likuiditas yang tinggi di akhir tahun jika tingkat investasinya rendah.

Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Mc Donald dan kawan-kawan (1975) yang menunjukkan hasil signifikan dan negatif hanya pada satu dari tujuh tahun. Perbedaan hasil antara metode OLS dan 2SLS ini menurut Dhrymes dan Kurz (1967) dianggap sebagai kelemahan estimasi persamaan tunggal. Namun menurut Gujarati (1978), untuk data yang relatif kecil, model persamaan tunggal ini masih efisien dan tidak bias dalam mengestimasi populasi data yang diduga mengalami problem simultanitas. Variabel leverage atau yang diwakili oleh hutang jangka panjang (LTD/S), pada metode estimasi persamaan tunggal mempengaruhi tingkat investasi (I/S) secara positif dan signifikan baik secara pooling maupun pada semua tahun secara cross section dengan tingkat signifikansi 1%. Sementara itu dengan metode 2SLS, variabel leverage, secara signifikan dan positif mempengaruhi variabel investasi hanya pada tahun 2000, sedangkan pada tahun 1999 dan 2001 serta secara pooled, tidak ditemukan pengaruh yang signifikan.

Penemuan ini mendukung hipotesis Mc Donnald, Jackuillat dan Nussenbaum (1975) yang menyatakan bahwa jika biaya marginal dari modal perusahaan merupakan sebuah fungsi leverage yang menurun berdasarkan asumsi bunga kena pajak dan biaya kepailitan nol, maka tingkat investasi yang lebih tinggi akan terkait dengan leverage yang lebih tinggi. Hasil ini juga relatif sama bahkan lebih meyakinkan dari penelitian Mc Donnald dan kawan-kawan karena terjadi dengan tingkat signifikansi yang lebih tinggi. c. Model Pendanaan Eksternal (F/S) Variabel profit (P/S) secara signifikan dan positif mempengaruhi pendanaan eksternal (F/S) perusahaan hanya pada tahun 2000 dan 2001 pada data cross section dengan tingkat signifikansi 10% dan 1%. Sedangkan dalam kerangka persamaan simultan, variabel profit (P/S) ini tidak menentukan tingkat pendanaan eksternal (F/S) secara signifikan baik secara pooling, maupun secara cross section. Hal ini selaras dengan bukti-bukti terdahulu tentang pola hubungan profit dengan dividen maupun dengan investasi bahwa tingkat profit menjadi pertimbangan utama perusahaan dalam memutuskan tingkat dividen dan investasinya yang berarti perusahaan cenderung memupuk dan internalnya sehingga keberadaan dana eksternal kurang diperlukan.

Variabel likuiditas (Wk/S) juga demikian, ia

tidak menunjukkan pengaruh yang berarti di hampir semua jenis penyajian data serta metode analisis. Terdapat pengaruh negatif di sebagian jenis penyajian data dan positif di sebagian lainnya namun tidak signifikan.

Tidak signifikannya variabel likuiditas dalam menentukan tingkat pendanaan eksternal menunjukkan dukungan terhadap bukti-bukti sebelumnya bahwa pendanaan eksternal bukan merupakan hal yang signifikan dalam keputusan keuangan perusahaan. Terbukti bahwa ketika likuiditas menurun maupun naik, pendanaan eksternal tidak berubah secara meyakinkan.

Sedangkan variabel leverage yang diwakili dengan hutang jangka panjang (LTD/S) menunjukkan hasil yang signifikan dan positif dengan tingkat signifikansi 1% yang berlaku pada semua jenis penyajian data dengan metode kuadrat terkecil biasa. Sementara dalam kerangka persamaan simultan, variabel leverage ini hanya signifikan pada tahun 2000 dengan tingkat signifikansi 1%. Pola hubungan tersebut dapat dianggap positif dan negatif. Hal ini terjadi karena memang pendanaan eksternal dihitung dari perubahan hutang jangka panjang.

Hubungan Kausalitas Antara Keputusan-Keputusan Dividen, Investasi, dan Pendanaan Eksternal Seperti yang telah dihipotesiskan di awal penelitian tentang terjadinya pola hubungan yang simultan dua arah antara keputusan dividen, investasi, dan pendanaan eksternal, pada bagian berikut akan diulas lebih lanjut pola hubungan antara keputusan dividen dengan keputusan investasi, keputusan dividen dengan pendanaan eksternal, serta keputusan investasi dengan keputusan pendanaan eksternal.

Hubungan Kausalitas Antara Keputusan Dividen dan Keputusan Investasi

Dari penelitian ini ditemukan bahwa keputusan dividen tidak dipengaruhi oleh keputusan investasi dan sebaliknya keputusan investasi (aktiva tetap) perusahaan juga tidak ditentukan oleh keputusan dividennya. Dengan kata lain bahwa antara keputusan dividen dengan keputusan investasi perusahaan terdapat independensi. Namun secara umum terjadi kecenderungan hubungan dua arah yang negatif namun tidak signifikan antara variabel dividen dan investasi.

Dalam model dividen diperoleh koefisien -0,238 pada variabel investasi. Ini berarti bahwa jika investasi naik sebesar 1%, maka dividen akan turun sebesar 0,238% dan seterusnya. Sementara dalam model investasi diperoleh koefisien -0,474 pada variabel dividen yang berarti bahwa jika dividen naik sebesar 1%, maka investasi akan menurun sebesar 0,47% dan seterusnya. Namun sekali lagi kondisi ini

Page 111: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Studi Empiris Keputusan-keputusan Deviden, Investasi dan Pendanaan Eksternal pada Perusahaan-perusahaan Indonesia yang Go Publik di Bursa Efek Jakarta

107

nampak kurang signifikan. Sementara itu dari hasil analisis dengan

menggunakan uji kausalitas Granger, diperoleh kesimpulan yang mendukung kondisi tersebut bahwa antara keputusan dividen dan investasi terjadi independensi. Keputusan investasi tidak mempengaruhi (secara Granger) keputusan dividen dengan probabilitas 0,83 atau 83%. Ini berarti bahwa kemungkinan terjadi kesalahan jika menolak hipotesis nol (dividen tidak mempengaruhi investasi) adalah sebesar 83%. Sebaliknya, keputusan investasi juga tidak mempengaruhi (secara Granger) keputusan dividen dengan probabilitas 79%.

Dan temuan ini sesuai dengan teorema Miller dan Modigliani dalam kerangka pasar modal sempurna. Hasil ini otomatis menolak hipotesis tentang adanya hubungan dua arah positif antara keputusan dividen dan keputusan investasi perusahaan. Menurut Higgins (1972), yang temuannya juga menunjukkan bahwa didapati koefisien negatif signifikan variabel investasi pada model dividennya, menyatakan bahwa kondisi demikian mendukung adanya hipotesis bahwa terjadi trade-off antara keputusan dividen dan investasi. Dengan kata lain, dengan adanya pengeluaran modal untuk investasi (capital expenditure) akan mengurangi pembayaran dividen untuk jangka waktu tertentu. Di sisi lain, peningkatan jumlah pembayaran dividen pada saat ini akan menghambat pengeluaran investasi perusahaan, paling tidak dalam jangka pendek.

Hasil temuan ini juga berbeda dengan penelitian terdahulu dari Mc. Donnald, Jackuillat, dan Nussenbaum (1975) yang menyatakan bahwa keputusan dividen tidak ditentukan oleh investasi, namun keputusan investasi dipengaruhi oleh keputusan dividen dengan kecenderungan positif. Yang menarik, Mc Donnald dan kawan-kawan menyatakan bahwa meskipun variabel dividen signifikan menentukan investasi pada penelitiannya, namun mereka tidak menganggap hasil temuannya berlawanan dengan teorema Miller Modigliani, karena dividen, menurut mereka dapat dianggap sebagai proksi dari lagged capital stock dalam model akselerator Chenery atau proksi dari “pendapatan ekonomis yang sebenarnya” dari perusahaan-perusahaan Perancis. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kondisi di Indonesia ternyata sangat berbeda dengan di Perancis di mana variabel dividen bukanlah proksi dari lagged capital stock ataupun pendapatan ekonomi seperti pada perusahaan-persahaan Perancis tersebut.

Sedangkan menurut Mboja mukherjee (1994), pola hubungan negatif antara keputusan dividen dan investasi disebabkan kemampuan perusahaan untuk memupuk dana internalnya menjadi berkurang dan adanya suatu keinginan untuk memelihara tingkat borrowing capacity. Di mana pemupukan borrowing capacity memerlukan waktu dalam rangka untuk menjaga Debt to Equity ratio perusahaan. Mboja

Mougue dan Mukherjee (1994) dalam model kausalitas Granger-nya menyatakan adanya hubungan dua arah negatif antara perubahan dalam dividen dan perubahan dalam investasi. Hasil penelitian ini juga mendukung temuan Smirlock dan Marshall (1983) tentang independensi hubungan yang menurut Mboja Mukerjee (1994) dianggap bias karena tidak menyertakan variabel pendanaan.

Sementara itu, kondisi demikian sangat berlawanan dengan hasil pengamatan Sudarma (1997) yang dilakukan pada sampel perusahaan di BES tahun 1990-1996. Dari penelitian ini didapati hubungan dua arah yang positif antara dividen dan investasi yang diantaranya diakibatkan kondisi pasar modal ketika itu yang masih belum didukung oleh infrastruktur hukum sebagai instrumen untuk melindungi investor terutama investor individual. Dari kondisi ini mengakibatkan perusahaan dapat melakukan pendanaan eksternal tanpa memperdulikan kapasitas meminjamnya yang telah menipis bahkan telah habis.

Dari hasil temuan terhadap pola hubungan dividen dan investasi tersebut, secara umum memiliki kesesuaian dengan teori yang ada tentang adanya trade off antara keputusan dividen dengan keputusan investasi akibat adanya keinginan perusahaan untuk memupuk dana internalnya guna menjaga tingkat borrowing capacity-nya. Namun sekali lagi, pola hubungan tersebut tidak begitu signifikan. Dalam kerangka asimetris information, adanya independensi ini masih belum bisa dianggap sebagai argumen bahwa pasar modal relatif sempurna dan tidak adanya asimetri informasi. Dengan kata lain, kondisi ini bukan berarti menunjukkan bahwa informasi tentang kondisi perusahaan telah bersifat transparan dan diketahui secara bebas baik oleh pihak manajemen, investor, maupun stakeholder, namun kemungkinan terjadi lebih karena kodisi pasar modal yang masih dalam masa transisi setelah adanya krisis ekonomi dan moneter awal tahun 1998. Hubungan Kausalitas Antara Keputusan Dividen Dengan Keputusan Pendanaan Eksternal

Keputuasan dividen, dalam penelitian ini juga tidak berpengaruh terhadap keputusan pendanaan eksternal (pengaruh negatif untuk OLS dan positif untuk 2SLS tapi tidak signifikan) dan sebaliknya keputusan pendanaan eksternal juga tidak mempengaruhi keputusan dividen (pengaruh negatif tapi tidak begitu signifikan). Dengan kata lain, terjadi independensi keputusan antara dividen dan pendanaan eksternal.

Dalam model dividen diperoleh koefisien -0,0872 pada variabel pendanaan eksternal. Ini berarti bahwa jika pendanaan eksternal naik sebesar 1%, maka dividen akan turun sebesar 0,087% dan seterusnya. Sementara dalam model pendanaan eksternal diperoleh koefisien -0,154 pada variabel

Page 112: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

108

dividen yang berarti bahwa jika dividen naik sebesar 1%, maka pendanaan eksternal akan menurun sebesar 0,154% dan seterusnya. Namun sekali lagi kondisi ini nampak kurang signifikan.

Sementara itu dari hasil uji kausalitas Granger diperoleh kesimpulan yang juga mendukung kondisi tersebut bahwa antara keputusan dividen dan pendanaan eksternal terjadi independensi. Keputusan dividen tidak mempengaruhi (secara Granger) keputusan pendanaan eksternal dengan probabilitas 0,76 atau 76%. Ini berarti bahwa kemungkinan terjadi kesalahan jika menolak hipotesis nol (dividen tidak mempengaruhi investasi) adalah sebesar 76%. Sebaliknya, keputusan pendanaan eksternal juga tidak mempengaruhi (secara Granger) keputusan dividen dengan probabilitas 34,5%.

Temuan ini relatif sama dengan hasil temuan Mc Donnald, Jackuillat, dan Nussenbaum (1975) yang menunjukkan koefisien negatif dua arah baik pada variabel dividen maupun pendanaan eksternal namun tidak signifikan. Ini berarti bahwa pada tingkat profit, lagged dividen dan investasi tertentu, tidak ditemukan adanya sebagian perusahaan di Indonesia (listed di BEJ) yang membayar dividen tinggi dan menggunakan pendanaan eksternal sementara sebagian lainnya membayar dividen rendah dan tidak menggunakan pendanaan eksternal. Dengan kata lain tidak didapati adanya hubungan yang positif antara keputusan dividen dengan pendanaan eksternal perusahaan di Indonesia.

Hasil ini kemungkinan diakibatkan oleh kondisi perekonomian di Indonesia setelah krisis moneter di mana perusahaan-perusahaan lebih berhati-hati dalam menggunakan pendanaan eksternal. Disamping itu juga, hasil ini kemungkinan akibat pengambilan sampel dengan menyeleksi hanya perusahaan-perusahaan yang aktif membayarkan dividen minimal tiga tahun berturut-turut yang dimasukkan sebagai sampel penelitian.

Kondisi ini berbeda dengan hasil penelitian Mboja Mukerjee (1994) yang menyatakan adanya hubungan kausalitas positif dua arah antara perubahan dalam dividen dan perubahan dalam pendanaan eksternal. Aliran positif dari pendanaan eksternal (hutang) ke dividen menurut Mboja Mukherjee menunjukkan bahwa terdapat kondisi di mana perusahaan menggunakan hutang untuk mendanai pembayaran dividennya ketika kapasitas meminjamnya berlebihan. Hubungan Kausalitas Antara Keputusan Investasi dengan Keputusan Pendanaan Eksternal Dari hasil estimasi terhadap tiga model keputusan tersebut, diperoleh hasil bahwa antara keputusan investasi dan keputusan pendanaan eksternal terjadi hubungan negatif dua arah. Ini berarti peningkatan investasi perusahaan diikuti oleh menurunnya pendanaan eksternal dan sebaliknya meningkatnya pendanaan eksternal perusahaan tidak diikuti oleh meningkatnya investasi.

Dalam model investasi diperoleh koefisien –0,772 pada variabel pendanaan eksternal. Ini berarti bahwa jika pendanaan eksternal naik sebesar 1%, maka investasi akan turun sebesar 0,772% dan seterusnya. Sementara dalam model pendanaan eksternal diperoleh koefisien –0,104 pada variabel investasi yang berarti bahwa jika investasi naik sebesar 1%, maka pendanaan eksternal akan menurun sebesar 0,104% dan seterusnya. Dan kondisi ini terjadi dengan tingkat signifikansi 1%.

Sementara itu dari hasil uji kausalitas Granger diperoleh kesimpulan yang sedikit berbeda di mana keputusan investasi dipengaruhi oleh keputusan pendanaan eksternalnya namun keputusan pendanaan eksternal tidak dipengaruhi keputusan investasi. Dengan kata lain terjadi hubungan searah antara keputusan investasi dan pendanaan eksternal. Keputusan investasi tidak mempengaruhi (secara Granger) keputusan pendanaan eksternal dengan probabilitas 0,59 atau 59%. Ini berarti bahwa kemungkinan terjadi kesalahan jika menolak hipotesis nol (dividen tidak mempengaruhi investasi) adalah sebesar 59%. Sebaliknya, keputusan pendanaan eksternal juga tidak mempengaruhi (secara Granger) keputusan investasi dengan probabilitas 0,005 atau 0,5%. Karena nilai probabilitas yang dibawah 5%, maka hipotesis tersebut ditolak, sehingga keputusan investasi dipengaruhi pendanaan eksternalnya. Namun secara umum hasil tersebut tidak dapat dianggap berlawanan dengan hasil dengan metode OLS dan 2SLS karena dalam kedua metode analisis tersebut terdapat perbedanaan di mana pada analisis dengan OLS diperoleh pola hubungan dua arah yang negatif signifikan, sementara dengan metode 2SLS tidak diperoleh hasil yang signifikan.

Hasil ini sangat berbeda dengan kondisi perusahaan-perusahaan Perancis oleh Mc Donnald, Jackuillat, dan Nussenbaum (1975) yang ditemukan hubungan dua arah yang positif antara keputusan pendanaan eksternal dan investasi. Dan temuan ini juga berbeda dengan kondisi di Amerika pada penelitian Mboja Mukherjee (1994) yang menyatakan adanya hubungan kausalitas dua arah positif pada kedua keputusan ini.

Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa hipotesis tentang keadaan di mana perusahaan-perusahaan (di Indonesia) menggunakan pendanaan eksternal untuk melakukan investasi ditolak dalam penelitian ini. Hal ini kemungkinan diakibatkan adanya kondisi pada saat data ini diambil, di mana masih berhati-hatinya perusahaan melakukan pendanaan eksternal dalam mendanai investasinya.

Kemungkinan lainnya diakibatkan kondisi perekonomian ketika itu di mana hutang luar negeri pihak swasta yang membengkak akibat menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar US. Kondisi ini mengakibatkan perusahaan-perusahaan berusaha untuk mengurangi pendanaan eksternalnya berapa pun jumlah investasinya dan perusahaan hanya

Page 113: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Studi Empiris Keputusan-keputusan Deviden, Investasi dan Pendanaan Eksternal pada Perusahaan-perusahaan Indonesia yang Go Publik di Bursa Efek Jakarta

109

menggunakan dana internal akibat terhambatnya pengucuran kredit. Dalam pandangan Kwik Kian Gie (1999), kondisi semacam ini dapat disebut sebagai overinvestment, yaitu kondisi di mana terlalu besarnya investasi yang dipicu modal asing dalam bentuk hutang, karena tabungan nasional sudah lebih dari habis untuk berinvestasi.

Implikasi Hasil Penelitian Dalam kerangka pasar modal yang tidak sempurna, yang ditandai dengan adanya pajak, asimetri informasi, dan biaya transaksi, pengujian hipotesis pertama tentang terjadinya hubungan negatif namun tidak signifikan antara keputusan dividen dengan keputusan investasi menunjukkan adanya perilaku pecking order pada perusahaan-perusahaan Indonesia namun belum signifikan. Hal ini bisa dilihat dari adanya trade-off antara keputusan dividen dan investasi di mana jika perusahaan meningkatkan pembayaran dividen, investasinya akan berkurang akibat berkurangnya dana. Sebaliknya jika perusahaan meningkatkan investasinya, pembayaran dividen cenderung menurun karena berkurangnya dana untuk pembayaran dividen dan perusahaan berusaha memupuk dana internalnya melalui laba ditahan untuk meningkatkan kapasitas meminjamnya (borrowing capacity).

Kondisi tentang adanya perilaku pecking order ini juga didukung oleh hubungan kausalitas antara keputusan dividen dengan keputusan pendanaan eksternal. Hubungan kausalitas antara keputusan dividen dan pendanaan eksternal yang menunjukkan kondisi di mana peningkatan dividen tidak diikuti oleh peningkatan pendanaan eksternal dan sebaliknya bahwa perusahaan tidak menggunakan pendanaan eksternal untuk meningkatkan pembayaran dividennya mengindikasikan adanya penggunaan dana internal.

Perilaku ini juga didukung oleh adanya hubungan kausalitas negatif dua arah antara keputusan pendanaan eksternal dan investasi. Ini berarti kenaikan investasi perusahaan tidak diikuti oleh naiknya jumlah hutang jangka panjang sehingga dapat disimpulkan juga bahwa perusahaan tidak menggunakan dana eksternal untuk mendanai investasi aktiva tetapnya melainkan dengan menggunakan dana internal. Kesimpulan ini didukung dengan adanya pengaruh positif variabel profit pada model investasi maupun model pendanaan eksternal.

Perilaku ini merupakan antiklimaks dari yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Indonesia khususnya manufaktur di BES dengan sampel laporan keuangan perusahaan tahun 1990-1996 hasil penelitian Sudarma (1998), yang menunjukkan hubungan kausalitas positif dan signifikan antara dividen dan investasi, serta pendanaan eksternal dan dividen yang berarti bahwa perusahaan cenderung melakukan pemupukan borrowing capacity-nya

dengan melakukan right issue, yang mana hal ini merupakan alternatif terakhir dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Amerika pada penelitian Mboja Mukerjee (1994).

Kecenderungan penggunaan dana internal (self finnacing) tersebut kemungkinan diakibatkan masih adanya berbagai hambatan dalam aliran dana dari tabungan menjadi investasi terutama di sektor riil. Ini disebabkan belum berjalannya restrukturisasi kredit, sehingga perusahaan-perusahaan besar yang berpotensi menyerap dana tabungan masih belum bisa merealisasi kreditnya. Disamping itu, masalah keamanan juga memegang peranan penting terhadap terciptanya kondisi ini (Widoatmojo, 2001). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penelitian ini mencoba mengestimasi model-model dividen, investasi dan pendanaan eksternal dari perusahaan-perusahaan yang go public di Bursa Efek Jakarta dari tahun 1999-2001 baik secara pooling maupun secara cross section pada masing-masing tahun. Hasil estimasi menunjukkan bahwa keputusan dividen pada perusahaan-perusahaan Indonesia kesemuanya dapat dideskripsikan dengan baik dengan menggunakan model dividen Lintner (1956) yang validitas empirisnya telah teruji secara luas. Variabel investasi dan pendanaan eksternal menunjukkan hasil tidak signifikan untuk persamaan dividen baik pada kerangka persamaan tunggal (OLS) maupun dalam kerangka persamaan simultan (2SLS) serta dalam uji Kausalitas Ganger. Estimasi dari model investasi menunjukkan bahwa profit, likuiditas, leverage financial, dan pendanaan eksternal lebih signifikan dengan metode OLS daripada 2SLS. Sedangkan variabel akselerator kapasitas atau perubahan penjualan dan dividen tidak menunjukkan determinasi yang signifikan dalam model investasi ini. Sementara itu, terjadi kondisi yang berlawanan dengan model dividen di mana pada model investasi ini, tingkat signifikansi hubungan variabel independen terhadap variabel dependen nampak lebih tinggi perusahaan defensif daripada perusahaan agresif. Pendanaan eksternal, merupakan fungsi dari profit, hutang jangka panjang, dan investasi. Variabel likuiditas dan dividen tidak signifikan dalam menentukan tingkat pendanaan eksternal. Dalam hal kausalitas hubungan, terjadi independensi hubungan antara keputusan dividen dan keputusan investasi. Independensi hubungan juga terjadi antara keputusan dividen dengan keputusan investasi. Sedangkan antara keputusan investasi dan keputusan pendanaan eksternal terjadi hubungan sebab akibat dua arah yang negatif. Secara umum, temuan kami mendukung hipotesis Miller dan Modigliani bahwa antara keputusan dividen dan investasi terjadi independensi. Kesimpulan ini juga sesuai dengan hipotesis Mc

Page 114: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

110

Donnald Jackuillat, dan Nussenbaum (1975) meskipun hasil estimasinya berbeda. Sementara itu, temuan kami juga mendukung argumen Mc Donnald dan kawan-kawan yang mempertanyakan pendapat Dhrymes dan Kurz (1972) yang mendukung penggunaan kerangka persamaan simultan dalam mengestimasi persamaan dividen, investasi, dan pendanaan. Hal ini karena adanya hasil yang tidak berbeda secara signifikan antara penerapan metode OLS tunggal dengan 2SLS. Dalam kerangka ketidaksempurnaan pasar, diperoleh indikasi adanya asimetri informasi dengan keengganan manajemen menaikkan ataupun menurunkan tingkat dividennya karena membawa muatan informasi tentang prospek perusahaan. Di samping, itu terindikasi pula adanya perilaku pecking order, di mana perusahaan-perusahaan di Indonesia cenderung mendahulukan dana internalnya melalui laba ditahan dalam mendanai investasi dan membayarkan dividennya pada dana eksternalnya melalui hutang jangka panjang. Namun fenomena ini relatif belum begitu signifikan. Hal ini kemungkinan merupakan manifestasi perubahan perilaku perusahaan-perusahaan dalam masa peralihan dari sebelum krisis moneter dan setelahnya. Saran-saran Diharapkan pada para emiten untuk benar-benar menerapkan prinsip-prinsip keuangan khususnya yang berhubungan dengan masalah dividen, investasi, dan pendanaan eksternal secara konsisten. Hal ini penting untuk diperhatikan karena disamping maksimalisasi nilai perusahaan sangat tergantung pada tiga hal tersebut, prinsip-prinsip keuangan tersebut dapat menghindarkan perusahaan dari kebangkrutan akibat perubahan kondisi perekonomian secara radikal seperti krisis moneter dan sebagainya. Ditemukannya independensi antara keputusan dividen dan investasi, dividen, dan pendanaan eksternal serta hubungan negatif antara investasi dan pendanaan eksternal menunjukkan kondisi yang cukup baik pada perusahaan-perusahaan di Indonesia dengan mulai menerapkan prinsip-prinsip keuangan setelah terjadinya krisis akibat membengkaknya investasi yang didanai dengan pendanaan eksternal. Kondisi ini hendaknya dipertahankan dengan tidak menghilangkan inovasi dalam melakukan kegiatan bisnis. Perilaku pecking order yang telah mulai diterapkan merupakan isyarat yang cukup baik terhadap perkembangan pasar modal di Indonesia karena merupakan salah satu prinsip penting dalam kebijakan keuangan perusahaan sehingga kondisi ini harus dipertahankan. Bagi para investor dan calon investor diharapkan untuk tidak ragu dalam melakukan investasi di Indonesia dengan tetap waspada dan ikut melakukan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan khususnya dalam masalah keuangan.

Bagi pihak yang berwenang dalam mengelola pasar modal di Indonesia maupun pemerintah untuk benar-benar melakukan regulasi secara konsisten dengan membuat instrumen perundang-undangan yang mampu menjadi kontrol bagi para emiten di pasar modal dengan tetap memungkinkan berkembangnya pasar modal dalam negeri. Disamping itu diharapkan agar pemerintah mendukung proses pemulihan kepercayaan investor asing maupun dalam negeri untuk melakukan investasi di Indonesia Penulis menyarankan agar peneliti selanjutnya yang tertarik mengulas masalah ini perlu kiranya untuk mempertajam pembahasan dengan disamping mengestimasi ketiga model, juga secara khusus meneliti pola hubungan ketiga variabel endogen tersebut dalam kerangka kausalitas.

Akhirnya, kami menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna karena masih adanya keterbatasan-keterbatasan. Untuk itu masih perlu dilakukan perbaikan-perbaikan baik dalam hal alat analisis, ruang lingkup pnelitian, populasi, sampel, dan sebagainya sehingga kesimpulan yang diambil nantinya bisa lebih mencerminkan realitas yang ada. Penelitian ini juga terbatas hanya pada persepktif keuangan dalam mengestimasi kondisi empiris, sementara masih begitu banyak aspek yang perlu diteliti yang melingkupi sebuah obyek. DAFTAR PUSTAKA Born, Jeffery A. and James N. Rimbey. 1993. A Test

of The Easterbrook Hypotesis Regarding Dividend Payments and Agency Costs. Dalam The Journal of Financial Research, Vol XVI. No. 3: 251-321.

Brigham, Eugene and Louis C. Gapensky. 1996. Intermediate Financial Management, fifth edition.

Chen, Carl R. and Thomas L. Steiner. 1999. Managerial Ownership and Agency Costs: A Non Linear Simultaneous Equation Analysis of Managerial Ownership, Risk Taking, Debt Policy and Dividend Policy. Dalam The Financial Review 34: 119-136.

Cleary, Sean. 1999. The Relationship between Firm Invesment and Financial Status. Dalam The Journal of Finance, Vol I, IV No 2: 673-692.

Easterbrook. 1984. Two Agency Cost Explanation of Dividend. Dalam American Economic Review 72: 650-58.

Gie, Kwik Kian. 1999. Ekonomi Indonesia Dalam Krisis dan Transisi Politik. Penyunting Priyo Utomo dan Dwi Helly Purnomo, Gramedia Pustaka Utama.

Gujarati, Damodar. 1978. Basic Econometric. Mc Graw- Hill, Inc.

Husnan, Suad. 1996. Dasar-Dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas. Edisi ketiga. Yogyakarta: Penerbit UPP AMPYKPN.

Page 115: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Studi Empiris Keputusan-keputusan Deviden, Investasi dan Pendanaan Eksternal pada Perusahaan-perusahaan Indonesia yang Go Publik di Bursa Efek Jakarta

111

Harris, Milton and Artur Raviv. 1990. Capital Struktur and The Informational Role of of Debt. dalam The Journal of Finance Vol XIV No.2, June, halaman 321-348.

Jensen, Michael C. and William H. Meckling. 1976. Theory of The Firm: Managerial Behavior, Agency Cost, and Ownership Strukture. Dalam Journal of Finance: 78-115.

Jones, Charles P. 1996. Investments Analysis and Management, Sixth Edition. Wiley.

Makidakis, Spyros, Steven C. Wheel Wright, Victor E Mc Gee. 1995. Metode dan Aplikasi Peramalan. Alih bahasa Untung Sus Andriyanto, MSc dan Abdul Basith MSc. Edisi ke 2 jilid 1. Jakarta: Erlangga..

Mougue, Mboja and Tarun K. Mukherjee. 1994. An Investigation into The Causality among Firms’ Dividend, Investment, and Financing Decision. Dalam The Journal of Financial Research, Vol XVII No.4, halaman 512-530.

Miller, Merton H. and Franco Modigliani. 1961. Dividend Policy, Growth, and The Valuation of Shares. Dalam Journal of Business, 34, Okt, halaman 392-414.

Mc Donnald, Jcquillat, and Nussenbaum. 1975. Dividend, Investment and Financing Decisions Empirical Evidence on French’ Firms. Dalam Journal of Financial and Quantitative Analysis: 741-753.

Hair, Anderson, Tatham, and Black. 1998. Multivariate Data Analysis, Fifth Editio. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice-Hall International.

Noronha, K. Shome, Morgan. 1996. The Monitoring Rationale for Devidend and Interaction of Capital Structure and Dividend Decisions. Dalam Journal of Banking and Finance, 20 halaman 439-454.

Pertiwi, Indah Bekti. 2000. Analisis Kausalitas Kebijakan Investasi, Dividen dan Pembiayaan Pada Perusahaan Asuransi di Bursa Efek Jakarta, Tesis.

Rodriguesz, Richardo J. 1992. Quality Dispersion and The Feasibility of Dividend as Signals. Dalam The Journal of Financial Research, Vol XV No.4.

Subekti, Imam. 1997. Asosiasi antara Set Kesempatan Investasi dengan Kebijakan Pendanaan dan Dividen Perusahaan serta Implikasinya pada Perubahan Harga Saham. Tesis.

Sudarma, Made, Ubud Salim, Hari Susanto. 1998. Analysis Kausalitas Keputusan Dividen, Investasi dan Pendanaan pada Perusahaan Manufaktur di BES. Dalam Wacana Vol I, No.2.

Scooley, Diane K and L. Dwayne Barney Jr.. 1994. Using Dividend Policy and Managerial Ownership to Reduce Agency Cost. Dalam Journal of Financial Research, Vol XVII,

No.3, halaman 363-373. Stefanus, Daniel Sugama. 2001. Studi Empirik

Pengaruh Konsep Pecking Order Theory dalam Pengambilan Keputusan Pendanaan. Tesis.

Sugeng, Bambang. 2000. Pengaruh Stabilitas Dividen terhadap Kinerja Portofolio Saham di Bursa Efek Jakarta. Tesis.

Sharpe, William E and G. Alexander, and J.V. Bailey. 1997. Investasi, Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Prenhallindo.

Solimun. 2002. Multivariate Analysis, Structural Equation Modelling. Lisrell dan Amos. Universitas Negeri Malang Press.

Weston J Fred, Thomas E Copeland. 1997. Manajemen Keuangan. Alih Bahasa: A Jaka Wasana dan Kibrandoko. Bina Aksara.

Widoatmodjo, Sawidji. 2001. Dana Menganggur meningkat. Dalam Pilar Bisnis No 14/ThIV/01-14 Agustus, halaman 74.

Page 116: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

112

ANALISIS KARAKTERISTIK PEKERJA KOMUTER DAN NONKOMUTER

Roswita Hafni Dosen Fakultas Ekonomi

Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Abstrak: Banyak pekerjaan yang terpaksa bekerja jauh dari daerah tempat tinggalnya atau terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya untuk sebuah pekerjaan, hal ini disebabkan oleh faktor pilihan terhadap pekerjaan yang lebih memberikan upah yang lebih tinggi dan banyak faktor lainnya. Kata Kunci: Komuter, NonKomuter PENDAHULUAN Umumnya pekerja komuter adalah pekerja yang tingkat pendidikannya relatif baik, karena lapangan usaha yang tersedia relatif kurang sesuai dengan tingkat pendidikannya dan pekerja ini tidak mau bekerja di sektor pertanian (sebagai petani), oleh karena itu mereka cenderung untuk berkomuter. Bagi penduduk miskin yang tinggal di desa dekat dengan pusat kota banyak bermobilisasi sebagai pekerja komuter (mobilitas ulang alik). Meskipun mereka menyadari di kota tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Mereka memiliki harapan baik pekerjaan maupun fasilitas, tanpa mempermasalahkan jenis pekerjaan atau status pekerjaan apa yang mereka tekuni. Pekerja wanita lebih cenderung untuk bermigrasi atau menetap di kota karena pertimbangan daya tahan fisik. Dengan melaksanakan komuter mereka berharap akan memperoleh pendapatan yang lebih baik dalam rangka mengatasi beban ekonomi yang pada akhirnya dapat meningkatkan tarif hidup keluarga mereka secara layak sehingga terhindar dari kemiskinan. Ciri-ciri masyarakat miskin di Indonesia adalah kebanyakan mereka tinggal di pedesaan dengan pendidikan di tingkat rendah, bahkan tidak tamat sekolah dasar, tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah yang cukup, modal, atau keterampilan kurang, sehingga kemampuan untuk memperoleh terbatas, sedangkan yang hidup di kota berusia muda dan tidak mempunyai keterampilan, sehingga tidak jarang mereka ini tetap menjadi miskin dan akhirnya terdampar dalam kantong-kantong kemelaratan (slum area) di tengah-tengah masyarakat maju akibat dorongan modal, keterampilan, dan kemajuan teknologi (Salim, 1980: 42-43). Pendapat yang mereka peroleh barvariasi sesuai dengan tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan yang mereka kerjakan. Dari uraian di atas penulis mencoba menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan orang untuk berkomuter, yang berjudul Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Berkomuter di kota Medan.

PERMASALAHAN Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan maka penulis mencoba merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah pendapat, tingkat pendidikan, dan jarak ke tempat bekerja mempengaruhi keputusan pekerja untuk berkomuter pada sektor formal di kota medan.

2. Apakah jenis kelamin mempengaruhi keputusan pekerja untuk berkomuter pada sektor formal di kota Medan.

3. Apakah status dan jenis pekerjaan mempengaruhi keputusan pekerja untuk berkomuter pada sektor formal di kota Medan.

4. Apakah usia mempengaruhi keputusan pekerja untuk berkomuter pada sektor formal di kota Medan.

5. Apakah pemilikan rumah mempengaruhi keputusan pekerja untuk berkomuter pada sektor formal di kota Medan.

6. Apakah kepemilikan tanah mempengaruhi keputusan pekerja untuk berkomuter pada sektor formal di kota Medan.

7. Faktor apakah yang paling dominan mempengaruhi keputusan pekerja untuk berkomuter pada sektor formal di kota Medan.

TEORI MIGRASI MODEL TODARO Model ini berawal dari teori perpindahan tenaga kerja Lewis yang berasumsi bahwa migrasi dari desa ke kota pada dasarnya merupakan suatu fenomena ekonomi dan arus migrasi yang berlangsung sebagai tanggapan terhadap adanya perbedaan pendapatan antara kota dengan desa yakni pendapatan yang diharapkan (expected income) yang diukur dari besar kecilnya angka selisih antara pendapatan riil dari pekerjaan di kota dengan di desa. Model Todaro juga beranggapan bahwa seluruh angkatan kerja baik yang faktual maupun yang potensial selalu membandingkan penghasilan yang diharapkan dalam kurun waktu tertentu di sektor perkotaan. Artinya yang dilihat oleh pekerja migrasi

Page 117: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Analisis Karakteristik Pekerja Komuter dan Non-Komuter

113

dari desa ke kota adalah selisih pendapatan yang dihasilkan dari bekerja di kota dengan biaya migrasi dengan rata-rata penghasilan di desa. Mereka akan memutuskan untuk bermigrasi bila penghasilan bersih di kota lebih besar dari penghasilan bersih di desa, teori ini didukung oleh asumsi bahwa dalam perekonomian terdapat kondisi kesempatan kerja penuh atau hampir penuh. Menurut teori todaro bahwa terjadinya migrasi dilatarbelakangi oleh perbedaan tingkat upah yang sangat signifikan antara desa dengan kota, dan perpindahan itu akan terus berlangsung meskipun masyarakat desa mengetahui bahwa pengangguran di kota terus bertambah. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Gantjang (1999:175), memperlihatkan bahwa saat krisis ekonomi 44,7% dari 1662 RT yang dijadikan sample adalah migran kembali (return migrant), 15,4% merupakan migran yang baru tiba dan 4,6% adalah migran sirkuler. Selanjutnya ia juga menyatakan sedikitnya migran sirkuler yang ditemukan pada studi ini menunjukkan indikasi bahwa krisis membuat mereka tidak dapat tinggal di suatu tempat, karena mereka harus mencari kesempatan ekonomi kemanapun mereka pergi. PEMBAHASAN Untuk melihat hubungan antara variabel pekerja komuter dan nonkomuter sebagai variabel dependen dengan variabel-variabel pendapatan, tingkat pendidikan, jarak, jenis kelamin, umur, status

kepemilikan rumah dan luas lahan, jenis pekerjaan, status pekerjaan para pekerja komuter dan non komuter sebagai variabel independen digunakan persamaan regerasi logistic yang diformulasi sebagai berikut : Y = α+ β1P +β2 TP + β3 J +β 4 JK +β5 U+ β6

SKR + β7 LH +β8 JP +β 9 SP + ε Di mana : Y = P = Pendapatan TP = Tingkat J = Jarak JK = Jenis Kelamin U = Usia SKR = Status Kepemilikan Rumah LH = Luas Tanah JP = Jenis Pekerjaan SP = Status Pekerjaan ε = Error Term α = Intersep Fungsi untuk menganalisis peluang seseorang menjadi seorang komuter atau nonkomuter diestimasi dengan menggunakan persamaan regerasi logistik yaitu suatu persamaan yang digunakan jika variabel independennya bersifat kualitatif atau dummy dan pengolahan serta datanya digunakan program Shaazam. Dari model akhir yang akan dianalisis maka diperoleh hasil estimasi yang dapat dilihat pada tabel I.

Tabel I Hasil Pendugaan Model Regresi Probit

Variabel Koefisien Estimasi Nilai t- ratio Elastitas X1 - 0,028645 -0,64693 -0,41992 X2 - 0,16170 -0,19136 -0,0079649 X3 - 0,00048276 - 0,000054151 X4 -2,3877 0,00061271 -0,23815 X5 1,0003 -3,3376 0,11806 X6 0,00000068066 1,0772 0,077333 X7 1,0566 0,54804 0,092756 X8 -0,013208 1,5868 -0,091429 X9 0,40256 -4,2030 0,93192 KONSTANTA -5,6692 6,0354 -0,75692 DW = 1,4672 MADDALA R- SQUARE = 0,60724 CRAGG- UHLER R- SQUARE 0,80977 MCFADDENN R- SQUARE 0,67435

Sumber: Olahan Lampiran 1 Berdasarkan hasil perhitungan di atas, dapat dijelaskan bahwa dengan menggunakan Maddala R2 = 60,72%, ini berarti 60,72 % keputusan berkomuter dipengaruhi oleh faktor: usia, jenis kelamin,

pendidikan, status pekerjaan, jenis pekerjaan, pendapatan pribadi dan pasangan, status kepemilikan rumah, luas lahan, jarak, dan pengeluaran, sedangkan selebihnya yaitu sebesar 39,28% dipengaruhi oleh

Page 118: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

114

faktor lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil perhitungan di atas dapat dijelaskan bahwa dengan menggunakan Cragg–Uhler R2 = 80, 97 %, ini berarti 60,97 % keputusan berkomuter dipengaruhi oleh faktor: usia, jenis kelamin, pendidikan, status pekerjaan, jenis pekerjaan, pendapatan pribadi dan pasangan , status kepemilikan rumah, luas lahan, jarak dan pengeluaran, sedangkan selebihnya yaitu sebesar 19,03% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil perhitungan di atas dapat dijelaskan bahwa dengan menggunakan Mc Faddem R2 = 67, 43 % keputusan berkomuter dipengaruhi oleh faktor: usia, jenis kelamin, pendidikan, status pekerjaan, jenis pekerjaan, pendapatan pribadi dan pasangan, status kepemilikan rumah, luas lahan, jarak, dan pengeluaran, sedangkan selebihnya yaitu sebesar 22,57% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam penelitian ini. Dari hasil perhitungan di atas dapat dilihat bahwa faktor yang paling dominan yang mempengaruhi keputusan orang untuk berkomuter adalah faktor status pekerjaan dengan koefisien estimasinya sebesar –2,3877. Usia tidak memberi pengaruh yang tidak signifikan bahkan pada taraf signifikansi 10% terhadap keputusan melakukan komuter. Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan t-hitung sebesar 0,64693 lebih kecil dari t-tebal sebesar 1,645. Namun keputusan melakukan komuter yang berusia 40 tahun ke bawah memberi peluang sebesar 2,86% dan keputusan usia 40 tahun ke atas untuk melakukan komuter memberi peluang sebesar 87,14%. Jenis kelamin tidak memberi pengaruh yang signifikan bahkan pada taraf signifikansi 10% terhadap keputusan melakukan komuter. Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan t- hitung sebesar --0,19136 lebih kecil dari t-tabel sebesar 1,645, namun keputusan melakukan komuter bagi jenis kelamin laki–laki memberi peluang sebesar 16,17 % dan keputusan perempuan untuk melakukan komuter memberi peluang sebesar 83,83%. Tingkat pendidikan seseorang juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terrhadap keputusan seseorang untuk berkomuter. Hal ini dapat dilihat dari perhitungan t-hitung sebesar 0,00061 lebih kecil dari t- tabel sebesar 1,645. Namun, keputusan melakukan komuter bagi seseorang yang berpendidikan di bawah SLTA memberi peluang sebesar 0,48% dan keputusan seseorang yang berpendidikan SLTA ke atas untuk melakukan komuter memberi peluang sebesar 99,52 %. Status pekerjaan memberi pengaruh yang berarti pada taraf signifikasi 1% terhadap keputusan melakukan komuter. Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan t– hitung sebesar –3,3376 lebih besar

dari t-tabel sebesar –1,645, namun keputusan melakukan komuter yang berstatus sebagai buruh memberi peluang lebih besar jika dibandingkan dengan yang tidak buruh. Dalam penelitian ini, jenis pekerjaan yang dimaksud adalah jenis pekerjaan pada sektor industri dan non-industri. Jenis pekerjaan seseorang tidak memberi pengaruh yang signifikan, bahkan pada taraf signifikansi 10% terhadap keputusan melakukan komuter. Hal ini dapat dilihat dari perhitungan t-hitung sebesar 1,0772 lebih kecil dari t-tabel sebesar 1,645, namun keputusan melakukan komuter yang bekerja pada sektor industri memberi peluang lebih daripada keputusan seorang pekerja pada sektor non-industri untuk melakukan komuter. Pendapatan seseorang memberi pengaruh positif terhadap keputusan menjadi seorang komuter namun pendapatan tidak signifikan berpengaruh bahkan pada taraf signifikansi 10% terhadap keputusan melakukan komuter. Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan t-hitung sebesar 0,54804 lebih kecil dari t0 tabel sebesar 1,645, namun keputusan yang positif yang ditunjukkan oleh koefisien pendapatan, artinya semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang maka semakin besar keinginannya untuk berkomuter. Status kepemilikan rumah tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap keputusan seorang untuk berkomuter bahkan pada taraf signifikansi 10%. Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan t-hitung sebesar 1,5868 lebih kecil dari t–tabel sebesar 1,645, namun keputusan melakukan komuter yang memiliki rumah sendiri memberi peluang lebih besar dibandingkan seseorang yang tidak memiliki rumah untuk menjadi komuter. Lahan yang dimiliki oleh seseorang berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan melakukan komuter bahkan pada taraf signifikansi 1%. Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan t-hitung sebesar 6,0354 lebih besar dari t–tabel sebesar 2,576. Tanda koefisien yang positif menunjukkan semakin jauh jarak rumah dari tempat tinggal maka akan semakin memberikan peluang menjadi komuter lebih besar kepada seseorang. DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Furqon Ukon. 1998. Urbanisasi dan Hubungan Desa Kota di Indonesia. Bandung: ITB.

Aris, Ananta. 1993. Ciri Demograsi Kualitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

C, Supartomo dan Edi Rusdyanto. 2002. Profil Sektor Informal Pedagang Kaki Lima di Kawasan Pinggiran Perkotaan, (Studi Kasus : Pedagang Kaki Lima di Pinggir Jalan Raya Pamulang – Cirendeu, Tangerang). Jakarta: Universitas Terbuka.

Page 119: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Analisis Karakteristik Pekerja Komuter dan Non-Komuter

115

Chotib. 2001. Krisis Ekonomi dan Mobilitas Pendudukan Indonesia. Dimuat dalam Media Ekonomi edisi Agustus/2001, hal.173. Jakarta: LPFE Universitas Trisakti.

Michael P., Todaro. 2000. Pemba-ngunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.

Prijono, Tjiptoherijanto. 1997. Migrasi Urbanisasi dan Pasar Kerja di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia.

Todaro Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.

Page 120: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

116

KENAIKAN TARIF PARKIR DAN PEMILIHAN MODA PERJALANAN KE PUSAT KOTA MEDAN

Joni Harianto Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik USU

Abstrak: Kebijakan menaikkan tarif parkir hingga Rp 7.500,- yang pernah ingin diterapkan oleh pemerintah kota Medan adalah salah satu strategi untuk membatasi penggunaan mobil pribadi sehingga meningkatkan penggunaan angkutan umum, dengan demikian diharapkan jumlah kendaraan yang menuju pusat kota Medan dapat berkurang. Untuk itu sangat diperlukan adanya suatu penelitian mengenai pengaruh kebijakan tersebut terhadap pemilihan moda perjalanan yang menuju ke pusat kota Medan.Dengan menggunakan metode survai pada enam lokasi parkir yang ada di pusat kota Medan, data primer dikumpulkan dan diolah dengan menggunakan teknik perhitungan analisis regresi berganda untuk kemudian mendapatkan suatu model berupa formulasi matematika yang mencerminkan utilitas individu dalam memilih moda perjalanan. Adapun formulasi yang didapat untuk masing-masing moda adalah: - Mobil Pribadi (UMP ) = 0,753 – 0,006685*time + 0,00006284*trip – 0,00003912*cost - Angkutan Kota (UAK ) = -0,05763 + 0,01407*time + 0,0007661*trip + 0,000005420*cost - Taksi ( UTA ) = 0,120 – 0,0004310*time + 0,03296*trip + 0,000003231*cost Aplikasi model dalam prediksi probabilitas pemilihan moda perjalanan menggunakan model logit multinomial dengan skenario kenaikan tarif parkir hingga Rp 7.500,- diperoleh bahwa probabilitas pemilihan mobil pribadi untuk tarif parkir Rp 7.500,- menurun sebesar 5,73% dari probabilitas pemilihan mobil pribadi untuk tarif parkir Rp 1.000,-, sedangkan probabilitas pemilihan angkutan kota dan taksi meningkat masing-masing sebesar 3,13% dan 2,60%.

Abstract: The policy of increasing parking fare to Rp 7.500,- by local government of Medan is one of strategies to restrict the use of individual car and to raise the use of public transportation in order to reduce vehicles to Medan city center. There fore it is important to conduct research about the influence of the policy. Survey method were conducted in 6 (six) parking location at Medan city center. Primary data analysis of multiple regression to achieve a model in the form of mathematic formulation which are: - Individual car (UMP ) = 0,753 – 0,006685*time + 0,00006284*trip – 0,00003912*cost - city transport (UAK ) = -0,05763 + 0,01407*time + 0,0007661*trip + 0,000005420*cost - Taxi ( UTA ) = 0,120 – 0,0004310*time + 0,03296*trip + 0,000003231*cost I. Pendahuluan Bahwa untuk memenuhi kebutuhannya manusia akan melakukan perjalanan. Pemenuhan kebutuhan merupakan kegiatan yang biasa dilakukan setiap hari, misalnya, pemenuhan kebutuhan akan ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan, rekreasi atau liburan, dan kebudayaan. Semakin jauh perjalanan kita, semakin tinggi pula peluang kita memberikan konstribusi terhadap kemacetan lalu-lintas kota tersebut. Dalam melakukan perjalanan untuk memenuhi kebutuhan tersebut kita mempunyai dua pilihan, yaitu bergerak dengan moda transportasi atau tanpa moda transportasi (berjalan kaki). Perjalanan tanpa moda transportasi biasanya berjarak pendek, sedangkan perjalanan dengan memakai moda transportasi berjarak sedang atau jauh. Perjalanan dengan moda transportasi menggunakan mobil pribadi, taksi, bus, kereta api, sepeda motor, pesawat terbang, kapal laut, dan lain sebagainya.

II. Perumusan Masalah Pemilihan moda merupakan tahap yang sangat penting dalam perencanaan dan kebijakan transportasi. Hal ini menyangkut efisiensi pergerakan di daerah perkotaan, ruang yang harus disediakan kota untuk dijadikan sarana transportasi, dan banyaknya pilihan moda perjalanan yang akan dipilih oleh penduduk. Moda angkutan umum menggunakan ruang jalan jauh lebih efisien daripada moda angkutan pribadi. Pertumbuhan kendaraan pribadi merupakan cermin hasil interaksi antara peningkatan taraf hidup dan kebutuhan mobilitas penduduk didaerah perkotaan yang akan membutuhkan ruang jalan yang sangat luas, termasuk ruang parkir. Usaha pemerintah kota untuk menanggulangi masalah transportasi di perkotaan telah banyak dilakukan, baik dengan meningkatkan kapasitas jaringan jalan yang ada maupun dengan pembangunan jalan baru ditambah dengan rekayasa dan manajemen lalu lintas berupa pengaturan

Page 121: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Kenaikan Tarif Parkir dan Pemilihan Moda Perjalanan ke Pusat Kota Medan

117

efisiensi trasportasi angkutan umum. Salah satu strategi pemerintah kota dalam rangka mengalihkan penggunaan angkutan pribadi ke angkutan umum adalah dengan menerapkan kebijakan perparkiran, yaitu memberlakukan tarif parkir yang tinggi. I. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh kenaikan tarif parkir terhadap pemilihan moda angkutan yang menuju pusat kota Medan. Penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan apakah kebijakan memberlakukan tarif parkir yang tinggi dapat mempengaruhi pengguna mobil pribadi untuk beralih menggunakan angkutan kota dan taksi sebagai moda perjalanan. II. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi peneliti untuk menambah wawasan baru

tentang penerapan model Logit Modal Split multinomial dalam permasalahan transportasi.

2. Sebagai bahan masukan bagi instansi terkait, yaitu Pemerintah Kota Medan, khususnya Badan Pengelola Perparkiran (BPP) dan DLLAJ, sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan dalam pengembangan sistem transportasi perkotaan.

III. Permasalahan Transportasi Perkotaan Permasalahan transportasi perkotaan dikota Medan telah bertambah parah seperti kemacetan, tundaan, kecelakaan, dan permasalahan lingkungan yang sudah di ambang batas. Kurangnya investasi pada sistem jaringan jalan dalam waktu yang cukup lama dapat mengakibatkan sistem prasarana transpotasi tersebut menjadi sangat rentan terhadap kemacetan yang terjadi apabila volume arus lalu lintas meningkat melebihi dari kapasitas yang ada. Hal ini dapat terlihat pada gambar V.1. dibawah ini.

Gambar V.1. Situasi trasportasi pada masa sekarang. Gambar V.1a. memperlihatkan kondisi ideal di mana kebutuhan akan transportasi seimbang dengan kapasitas sistem prasarana transportasi yang tersedia. Kondisi ideal ini kemungkinan tidak akan terjadi pada kota-kota besar di Indonesia sekarang ini disebabkan karena tingkat pertumbuhan kebutuhan akan transportasi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan sistem prasarana transportasi yang ada ( lihat gambar V.1b.). Secara umum permasalahan transportasi di perkotaan dipengaruhi oleh beberapa kondisi berikut ini:

a. Sarana dan prasarana lalu lintas masih terbatas. b. Manajemen lalu lintas belum berfungsi secara

optimal. c. Pelayanan angkutan umum penumpang belum

memadai. d. Disiplin pemakai jalan masih rendah. IV. Alternatif Pemecahan Masalah Transportasi Masalah ini sebenarnya dapat dipecahkan melalui peran serta pemerintah, swasta, masyarakat, dan merupakan tanggung jawab bersama. Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah tersebut antara lain adalah: a. Meredam atau memperkecil tingkat

pertumbuhan kebutuhan akan transportasi. b. Meningkatkan pertumbuhan prasarana

transportasi itu sendiri, terutama penanganan masalah fasililtas prasarana yang tidak berfungsi sebagaimana geometrik jalan yang seharusnya.

c. Memperlancar sistem pergerakan melalui kebijakan rekayasa dalam mengoptimalkan peran angkutan umum dan manjemen lalu lintas yang baik.

V. Keuntungan dan Pengaruh Dalam Penerapan

Kebijakan Kenaikan tarif Parkir Kebijakan kenaikan tarif parkir adalah salah satu alternatif dalam pemecahan masalah transportasi. Dengan penerapan kebijakan kenaikan tarif parkir, diharapkan pengguna kendaraan pribadi akan beralih menggunakan angkutan umum. Gambar VII.1. berikut memperlihatkan konsep perubahan mobilitas yang digunakan dalam konsep manajemen kebutuhan akan transportasi (MKT).

Gambar VII.1. Konsep perubahan mobilitas MKT. Beberapa keuntungan yang diharapkan dengan penerapan kebijakan kenaikan tarif parkir ini antara lain adalah: a. Berkurangnya kemacetan, sehingga mempercepat. b. Penghematan biaya transportasi. c. Perlindungan lingkungan. d. Meningkatkan keamanan jalan raya lalu lintas

yang sangat padat sering menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas.

e. Menciptakan kenyamanan pengguna transportasi. f. Peningkatan pendapatan daerah.

Page 122: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

118

VIII . Metodologi Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data dikumpulkan melalui wawancara langsung dan penyebaran kuesioner pada orang-orang yang mengunjungi lokasi parkir. Pengunjung yang disurvai adalah pengunjung yang menggunakan mobil pribadi, angkutan kota, dan taksi sebagai sarana pengangkutan. Pengumpulan data dilakukan di enam lokasi parkir yang ada di pusat kota Medan yaitu: Jalan Cirebon Jalan Pandu (Jalan Ani Idrus) Jalan Jendral Ahmad Yani ( Kesawan ) Jalan K. S. Tubun Jalan Sutomo (mulai dari simpang Jalan

Rahmatsyah hingga Jalan Perintis Kemerdekaan)

Jalan Thamrin (mulai dari simpang Jalan Sutomo sampai Simpang Jalan Asia).

Data yang sudah ditabulasikan selanjutnya diolah dengan teknik perhitungan analisis regresi berganda menggunakan. Pengolahan data ini dimaksudkan untuk mendapatkan suatu model berupa formulasi yang mencerminkan utilitas individu untuk memilih moda angkutan. Selanjutnya model tersebut diaplikasikan untuk memprediksi probabilitas pemilihan moda angkutan dengan menggunakan model logit multinominal.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian mengikuti diagram alir sebagai

berikut :

IX. Analisis Pemilihan Moda

1. Umum Data yang diperoleh dari lapangan, diolah menggunakan Analisis Regresi Berganda. Pengolahan data ini dimaksudkan untuk mengkalibrasi model dalam memperoleh fungsi utilitas dari masing-masing alternatif moda. Model yang dihasilkan akan diaplikasikan untuk memprediksi perubahan probabilitas penggunaan moda apabila tarif parkir dinaikkan. Berikut ini disajikan hasil dari pengolahan data dari masing-masing moda. 2. Hasil Pengolahan Data Tabel Menyajikan estimasi parameter-parameter statistik dari masing-masing moda. Tabel tersebut merepresentasikan estimasi akhir koefisien variabel, nilai R square, standard error of estimate, dan parameter lainnya. Tabel IX.1 Hasil Pengolahan Data

Statistik Mobil Angkutan

Taksi

R 0,863 0,945 0,807 R-square 0,744 0,892 0,651 Adjust R- square 0,717 0,881 0,613

Std.Error of Estimate 3,580E-02

3,448E-02

3,357E-02

Regrassion 0,104 0,275 3,882E-02

Residual 3,589E-02

3,329E-02

3,156E-02

Sum of Square

Total 0,104 0,309 3,039E-02

Regrassion 3 3 3 Residual 28 28 28 df Total 31 31 31

Latar Balakang

Tujuan Penelitian

Pembatasan Masalah

Studi Literatur

Pengumpulan Data

Tabulasi Data

Pengolahan data

Perhitungan Probabilitas Pemilihan Moda

Kesimpulan dan Saran

Page 123: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Kenaikan Tarif Parkir dan Pemilihan Moda Perjalanan ke Pusat Kota Medan

119 119

Pengaruh Kenaikan Tarif Parkir Terhadap Pemilihan Moda Perjalanan ke Pusat Kota Medan

Lanjutan Tabel IX.1

Statistik Mobil Angkutan Taksi Regrassion 3,482E-02 9,183E-02 1,961E-02 Residual 3,282E-03 1,189E-02 1,127E-03 Mean square Total Regrassion 27,165 77,226 17,394 Residual F Total Regrassion 0,000 0,000 0,000 Residual Siq Total

Constant 0,753 -5,763E-02 0,120 Time -6,685E-03 1,407E-02 -4,317E-03 Trip 6,284E-05 7,661E-04 3,296E-02 B

Cost -3,912E-05 5,420E-06 3,231E-06 Constant 0,042 0,032 0,102 Time 0,008 0,005 0,006 Trip 0,001 0,001 0,015

Unstandarized Coefficients

Std. Error

Cost 0,000 0,000 0,000 Constant Time -0,457 0,922 -0,434 Trip 0,012 0,038 0,610

Standarized Coefficients Beta

Cost -0,405 0,014 0,219 Constant 17,913 -1,797 1,174 Time -0,824 2,928 -0,751 Trip 0,113 0,591 0,464 T

Cost -0,738 0,591 0,337 Constant 0,000 0,083 0,250 Time 0,417 0,007 0,459 Trip 0,911 0,559 0,039 Siq

Cost 0,466 0,965 0,739

3.Analisis Variabel Yang Diperoleh Hasil pengolahan data menghasilkan empat bagian output regresi, maka analisis hasil regresi dibahas sebagai berikut: a. Bagian Variables Entered b. Bagian Model Summary c. Bagian Anova dan Coefficients

Page 124: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

120

Tabel IX.2 Analisis dan Pembahasan Model

II. Model Pada Pilihan

Moda Mobil Pribadi Angkutan Kota Taksi

Koefisien determinasi ( R2 ): Besar pengaruh seluruh atribut terhadap utilitas pemilihan moda

Atribut mempengaruhi utilitas pemilihan moda sebesar 74,4%, selebihnya dipengaruhi oleh faktor lain

Atribut mempengaruhi utilitas pemilihan moda sebesar 89,2%, selebihnya dipengaruhi oleh faktor lain

Atribut mempengaruhi utilitas pemilihan moda sebesar 65,1%, selebihnya dipengaruhi oleh faktor lain

Uji t: Pengaruh seluruh atribut secara individu terhadap utilitas pemilihan moda -Siq.<0,05: Signifikan -Siq.>0,05: Tidak signifikan

Constant = 0,000 (signifikan)

Time = 0,417 (tidak signifikan) Trip = 0,911 (tidak signifikan) Cost = 0,466 (tidak signifikan)

Constant = 0,083 ( tidak signifikan) Time = 0,007 (signifikan) Trip = 0,559 ( tidak signifikan) Cost = 0,965 ( tidak signifikan)

Constant = 0,250 (tidak signifikan) Time = 0,459 (tidak signifikan) Trip = 0,039 (signifikan) Cost = 0,739 (tidak signifikan)

Uji F: Pengaruh seluruh atribut secara simultan terhadap utilitas pemilihan moda -Siq.<0,05: Signifikan -Siq.>0,05: Tidak signifikan

0,000: Signifikan 0,000: Signifikan 0,000: Signifikan

Koefisien korelasi (R ): Hubungan antara pelayanan moda dan utilitas responden (keeratan)

0,863: Korelasi baik 0,945: Korelasi baik 0,807: Korelasi baik

Tabel IX.3 Interpretasi Model

III. Model Pada Pilihan Moda Mobil Pribadi Angkutan Kota Taksi

Konstanta: Nilai paling kecil, paling baik.

0,753 -5,763E-02 0,120

Koefisien: Nilai paling besar, kontribusi paling besar.

time: -4,310E-03 trip: 3,296E-02 cost: 3,231E-06

time: 1,407E-03 trip: 7,661E-04 cost: 5,420E-06

time: -6,685E-03 trip: 6,284E-05 cost: -3,912E-05

Tanda Koefisien: Negatif: Tidak

disenangi Positif:

Disenangi

time: -4,310E-03 trip: 3,296E-02 cost: 3,231E-06

time: 1,407E-03 trip: 7,661E-04 cost: 5,420E-06

time: -6,685E-03 trip: 6,284E-05 cost: -3,912E-05

Page 125: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Kenaikan Tarif Parkir dan Pemilihan Moda Perjalanan ke Pusat Kota Medan

121 121

Dari hasil output regresi pada tabel diperoleh rumusan fungsi utilitas untuk masing-masing moda yaitu:

UMP = 0.753 – 0.006685*time + 0,00006284*trip- 0.00003912*cost

UAK = -0.05763 + 0.01407*time + 0,0007661*trip+ 0.000005420*cost

UTA = 0.120 – 0.004310*time + 0,03296*trip+ 0.000003231*cost

Di mana:UMP: Utilitas mobil pribadi UAK: Utilitas Angkutan kota

UTA: Utilitas taksi Time: Waktu perjalanan (menit) Trip: Jumlah perjalanan Cost: Biaya/ongkos (rupiah)

Setelah fungsi utilitas diperoleh dari pengolahan data maka, probabilitas pemilihan moda dapat dihitung dengan menggunakan model logit multinominal. Probabilitas masing-masing moda adalah sebagai berikut:

PMP = TAAKMP

MP

UUU

U

eeee

++.......................... ...........

(II.2)

PAK=TAAKMP

AK

UUU

U

eeee

++......................................

(II.3)

PTA=TAAKMP

TA

UUU

U

eeee

++......................................

(II.4) Di mana:PMP: Probabilitas mobil pribadi PAK: Probabilitas angkutan kota

PTA: Probabilitas taksi UMP: Fungsi utilitas mobil pribadi UAK: Fungsi utilitas angkutan kota UTA: Fungsi utilitas taksi Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan Dari hasil pengolahan data diperoleh rumusan fungsi utilitas untuk masing-masing moda adalah sebagai berikut: UMP = 0.753 – 0.006685*time + 0,00006284*trip-

0.00003912*cost UAK = -0.05763 + 0.01407*time + 0,0007661*trip+

0.000005420*cost UTA = 0.120 – 0.004310*time + 0,03296*trip+

0.000003231*cost Dari hasil rumusan utilitas di atas terlihat koefisien variabel cost untuk mobil pribadi bernilai negatif, sedangkan untuk angkutan kota, dan taksi bernilai

positif. Nilai negatif menunjukan variabel tersebut tidak disenangi oleh responden sedangkan nilai positif menunjukan variabel tersebut disenangi oleh responden. Hal ini sejalan dengan tujuan kebijakan kenaikan tarif parkir, bahwa variabel cost (bahan bakar dan tarif parkir) akan mengurangi nilai utilitas mobil pribadi yang berarti akan mengurangi probabilitas pemilihan mobil pribadi dan sebaliknya meningkatkan nilai probabilitas angkutan kota dan taksi. Tabel X.1. Probabilitas Pemilihan Moda

Probabilitas ( % ) Tarif Parkir (Rp)

Mobil Pribadi

Angkutan Kota

Taksi

1.000,- 37.49 34.27 28.24 2.000,- 36.58 34.77 28.65 3.000,- 35.68 35.26 29.06 4.000,- 34.79 35.75 29.46 5.000,- 33.91 36.23 29.86 6.000,- 33.04 36.70 30.26 7.500,- 31.76 37.40 30.84

Dari tabel X.1. Bisa dilihat, terjadi

pergeseran pemilih moda dari mobil pribadi ke angkutan kota dan taksi. Probabilitas pemilihan mobil pribadi menurun seiring dengan kenaikan tarif parkir, sedangkan probabilitas pemilihan angkutan kota dan taksi meningkat. Pada tarif parkir Rp 4.000,- probabilitas pemilihan angkutan kota melebihi probabilitas pemilihan mobil pribadi dan terus meningkat hingga tarif parkir Rp 7.500,-. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, kebijakan kenaikan tarif parkir dapat menimbulkan pergeseran pemilihan moda dari mobil pribadi ke angkutan kota dan taksi. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk meninjau faktor-faktor pemilihan moda yang lain berdasarkan sifat-sifat sosial ekonomi seperti; pendapatan, jenis pekerjaan, umur, jenis kelamin, kepemilikan kendaraan, dan lain-lain, sifat-sifat pelayanan seperti; kenyamanan, aksesibilitas, jarak perjalanan, dan lain-lain, jenis moda yang lain seperti; sepeda motor, pick-up, dan jenis kendaraan lainnya yang bisa digunakan sebagai moda perjalanan. Perlu dilakukan penelitian mengenai kebijakan rekayasa dan manajemen lalu lintas yang lainnya seperti; kebijakan road pricing, car pooling, batasan waktu pergerakan untuk angkutan barang, dan kebijakan-kebijakan yang lainnya.

Page 126: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

122

Perlu dilakukan penelitian manyangkut dampak penerapan kebijakan kenaikan tarif parkir terhadap fungsi dan peran lokasi parkir, seperti fungsi pendidikan, pemerintahan, rumah sakit, perdagangan, industri, dan pariwisata. Dalam rangka memindahkan penggunaan angkutan pribadi ke angkutan umum, selain dengan penerapan kebijakan-kebijakan yang menghambat penggunaan mobil pribadi, perlu juga diimbangi dengan peningkatan pelayanan angkutan umum yang baik dari segi kualitas maupun kuantitas, dari hasil survai terlihat adanya keengganan masyarakat untuk menggunakan angkutan umum kota (angkutan kota dan taksi) melihat kondisi angkutan umum yang ada dikota Medan kecuali bagi sebagian masyarakat yang tidak mempunyai pilihan. Tanpa perbaikan kondisi angkutan umum di kota Medan, maka tujuan dari menaikkan tarif parkir yang ada tidak akan pernah tercapai. Daftar Pusataka Bruton, M. J. Introduction to Transportation

Planning. London Melbourne Sydney Aucland Johannesburg: Hutchinson and Co. (Publisher) Ltd.

Hobbs, F. D. 1995. Perencanaan dan Teknik Lalulintas Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Kanafani, Adib. 1983. Transportation Demand Analysis. United States of Amerika: Mc Graw – Hill Book Company.

Mannering, Fred L. Nd Kilreski, Walter P. 1990. Prinsiples of Highway Engineering and Traffic Analysis. Canada: Jhon Wiley & Sons, Inc.

O Flaherty, C. A. 1986. Highways Third Edition Volume I: Traffic Planning and Engineering. London: Edward Arnold (Publisher ) Ltd.

Oglesby, Clarkson Hill and Hicks, Gary R. 1982. Highways Engineering. Canada: Jhon Wiley & Sons, Inc

Pandia, Indra Jaya. 2003. Parkir dan Kemacetan Lalu Lintas. Medan: Harian Waspada, 2 Desember 2003.

Santoso, Singgih. 1999. SPSS Mengolah data Statistik Secara Profesional Versi 7.5. Jakarta: Penerbit PT Elex Medi Komputindo.

Sugiono, Dr. 1999. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Penerbit CV Alfabeta.

Tamin, 0. Z. 1997. Perencanaan dn Pemodelan Transportasi. Bandung: Penerbit ITB Bandung.

Page 127: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Kenaikan Tarif Parkir dan Pemilihan Moda Perjalanan ke Pusat Kota Medan

123 123

ZONA AIR MINUM PRIMA (ZAMP)

Sjahril Effendy Pasaribu Staf Pengajar Universitas Muhammadiyah Medan

Abstrak: PDAM Tirtanadi Propinsi Sumatera Utara selalu berusaha meningkatkan pelayanan kepada pelangganannya dalam rangka mewujudkan visi dan misi perusahaan yang selalu mengutamakan kepuasan pelanggan. Perpamsi sebagai wadah Persatuan Air Munum Seluruh Indonesia telah menjalin kerjasama dengan USAID untuk membantu PDAM-PDAM dalam melakukan pengembangan (improvement) dan pembaharuan (innovation) guna meningkatkan pelayanan tersebut. Program Zona Air Minum Prima (ZAMP) adalah suatu program peningkatkan kualitas air yang didistribusikan kepada pelanggan suatu kawasan (zona) tertentu sehingga dapat diminum secara langsung sesuai dengan standar kualitas air minum yang ditetapkan pemerintah dengan PERMENKES R.I.No.907/ MENKES/ SK/VII/2002 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum.

Untuk menindaklanjuti program yang dimaksud, kemudian dilakukan Survai Kepuasan Pelanggan (SKP) untuk mengetahui tanggapan dan komitmen masyarakat pelanggan terhadap pembaharuan (innovation), sekaligus untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab ketidakpuasan (dissatisfaction customer) serta mengetahui kemauan dan kemampuan membayar (willingness and ability to pay) pelanggan tersebut.

Perumahan Malibu Indah Medan yang dipilih sebagai pilot project dalam program ini diambil berdasarkan beberapa pertimbangan teknis dengan kriteria antara lain mempunyai jaringan perpipaan yang relatif baru dan terisolasi dengan jaringan distribusi lainnya, sehingga memudahkan pengontrolan kualitas air. Kemudian sumber air baku yang berasal dari mata air Sibolangit, mempunyai kualitas air yang relatif baik dan sehat untuk diminum.

Laporan akhir dari SKP ZAMP Malibu menunjukkan bahwa 71,11% pelanggan di perumahan Malibu Indah menggunakan air PDAM untuk minum, tetapi secara dominan (53,56%) pelanggan masih memasak sebelum diminum. Kemudian terdapat keluhan utama terhadap pelayanan PDAM adalah tekanan aliran (44,44%), tetapi bila akan dilakukan peningkatkan pelayanan PDAM, maka 84,44 % pelanggan menyatakan bersifat dikenakan kenaikan tarif.

Kata kunci: Zona Air Minum Prima (ZAMP), USAID, PERPAMASI, PDAM, kepuasan Pelanggan.

Abstract: PDAM Tirtanadi Of Sumatera Utara always does it’s best to improve it’s customer to materialize the enterprise vision and mission that always priority customer’s satisfaction. The Prime Drinking - Water Zone is program of improving the quality of water distributor to the customer in certain zone in accordance with the standard drinking water quality. That the water can be directly drunk. In this program , the Malibu Indah residential complex Medan is chosen as the pilot project based on several technical considerations and criteria such as having a relatively new piping network which are isolated from the other distributing network that is easy to control the water quality.

Key words: Prime Drinking, Water Zone. 1. Latar Belakang Sampai dengan tahun 2003, di seluruh Indonesia terdapat kurang lebih 300 PDAM dengan kapasitas terpasang sebesar kurang lebih 95.000 liter per detik. Tingkat kehilangan air rata – rata secara teknis mencapai 39%. Kehilangan air ini disertai pula dengan tekanan yang rendah pada pipa distribusi, dan pendistribusian masih banyak yang kurang dari 24 jam. Akibatnya konsumsi rata-rata secara nasional tergolong rendah (rata-rata 14 meter kubik per pelanggan perbulan). Permasalahan lain adalah kualitas air yang didistribusikan kepada konsumen kurang memenuhi

syarat yang telah diterapkan. Kinerja seluruh PDAM di Indonesia masih harus ditingkatkan kerena terdapat beberapa kelemahan seperti yang tersebut di atas. Di lain pihak terdapat tuntutan konsumen untuk meningkatkan pelayanan, baik dari segi kuantitas maupun dari kualitas air minum yang sehat dan memenuhi syarat, seperti yang disyaratkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan. Di dalam peraturan ini dinyatakan PDAM bertanggung jawab terhadap pemeriksaan mutu air. Rambu berikutnya adalah Undang–Undang Perlindungan Konsumen No.9 tahun 1999 yang pada intinya mendorong PDAM

Page 128: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

124

untuk melayani masyarakat dengan mutu air yang dijanjikan. Untuk memenuhi tujuan menyalurkan air minum yang sehat dan memenuhi syarat—seperti yang disyaratkan oleh peraturan ini—dinyatakan bahwa PDAM bertanggung jawab terhadap pemeriksaan mutu air. Rambu berikutnya adalah Undang –Undang Perlindungan Konsumen, No.9 tahun 1999 yang pada intinya mendorong PDAM untuk melayani masyarakat dengan mutu air yang dijanjikan. Untuk memenuhi tujuan menyalurkan air minum yang memenuhi baku mutu air minum, manajemen dan pemeliharaan PDAM terutama dalam bidang perpipaan distribusi harus ditingkatkan kualitasnya dan diperbaiki, sehingga PDAM bisa menjamin mutu air secara berkelanjutan. Pada saat ini PERMASI (Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia) bekerja sama dengan USAID untuk membantu PDAM-PDAM melakukan inovasi dalam rangka usaha peningkatan (improvement) pelayanan air air minum kepada pelanggan dan mewujudkan visi–misi penyediaan air yang berkualitas. Program tersebut merupakan produk air siap minum langsung dan dilakukan pada tiga kota di Indonesia, salah satunya PDAM Tirtanadi Propinsi Sumatera Utara Program pengadaan produk air minum secara langsung disebut Program ZAMP (Zona Air Minum Prima) di Perumahan Malibu Indah yang merupakan zona khusus untuk percontohan layanaan air siap minum PDAM Tirtanadi Propinsi Sumatera Utara. PDAM Tirtanadi dalam memberikan kualitas air yang baik kepada pelanggan di mulai dari kualitas air yang dihasilkan instalasi pengolahan, harus sudah memenuhi standar khusus kualitas air minum sesuai dengan Permenkes No.907/MENKES/ SK/VII/2002 pada umumnya air yang dihasilkan instalasi pengolahan PDAM Tirtadi sudah memenuhi syarat. Program ZAMP di perumahan Malibu Indah mendapatkan sumber mata air Sibolangit yang kualitas airnya sudah memenuhi syarat-syarat peraturan air siap minum. Suatu perusahaan bisa dikatakan berhasil melakukan inovasi produk bila produk tersebut diterima dan sangat laku di pasar, kadang–kadang untuk produk yang bersifat inovatif, pelanggan bersedia membayar lebih mahal dari produk yang sejenis. Inovasi bukan berarti harus penemuan terbaru, tetapi bisa juga rekayasa terhadap produk yang lain. Kepuasan pelanggan merupakan hal yang sangat penting bagi kelanjutan hidup perusahaan karena kepuasan pelanggan merupakan indikator yang menunjukkan seberapa jauh perusahaan dapat memenuhi tuntutan pelanggan.

2. Landasan Teori a. Definisi ZAMP

Zona air minum Prima (ZAMP) adalah zona khusus yang ditetapkan oleh PDAM untuk layanan siap air minum. Artinya, air yang disalurkan ke kawasan tersebut sudah sehat dan aman untuk diminum langsung.(3)

b. Kriteria pemilihan zona Di tahap awal, belum semua zona mendapatkan pelayanan ZAMP. Perumahan Malibu Indah dipilih lebih pada pertimbangan teknis dan kemampuan investasi PDAM di tahap awal. Pemilihan perumahan Malibu Indah sebagai program ZAMP, karena sudah memenuhi kriteria pemilihan zona. Adapun kriteria pemilihan zona tersebut adalah (4) • Jaringan pipa distribusi PDAM di zona

tersebut relatif baru, kondisi sangat baik, dan terpisah (terisolasi) dari jaringan pipa lain sehingga mempermudah pengawasan. Pengaliran 24 jam, ada alternative supply dan tekanan cukup baik.

• Air baku yang diolah berasal dari mata air, sehingga menghasilkan kualitas yang sehat dan aman

• Dari hasil survai penjajakan (September 2003) warga perumahan Malibu Indah siap menerima ZAMP (bersedia menerima inovasi dan mau membayar lebih).

c. Keuntungan ZAMP bagi konsumen

Dengan ZAMP air dapat diminum langsung dari kran rumah, tanpa perlu pengolahan lain seperti perebusan atau penyulingan ulang. Keuntungan ZAMP bagi konsumen antara lain (7) • SEHAT: Air ZAMP telah melewati

proses pengolahan untuk menjamin kualitas yang bebas dari bakteri dan bahan kimia berbahaya (sesuai standar KEPMENKES No.907/2002).

• AMAN: Air ZAMP disalurkan melalui jaringan perpipaan yang aman dan terjaga dari pencemaran sampai dengan meter pelanggan.

• PRAKTIS: Tinggal buka keran, langsung dapat diminum

• HEMAT: Harga relatif sangat murah dibanding air kemasan, isi ulang, maupun penggunaan alat pengolahan air rumah tangga yang relatif mahal. Untuk saat ini PDAM Tirtanadi belum melaksanakan penyesuaian tarif sampai proses berjalan dengan baik. Diperkirakan kenaikan tidak akan lebih dari biaya pemakaian per meter kubik.

d. Tahapan pelaksana ZAMP di PDAM

Tirtanadi Adapun pelaksanaan ZAMP di PDAM Tirtanadi memiliki tahapan seperti dibawah ini:

Page 129: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Zona Air Minum Prima (ZAMP)

125

1. Kunjungan lapangan ketiga PDAM untuk menjajaki komitmen dan kesiapan SDM, sarana, dan prasarana.

2. Survai penjajakan ke pelanggan kedua zona usulan.

3. Retreat (workshop) tiga PDAM untuk menentukan zona pilihan dan perencanaan ke depan

4. Studi banding ke PDAM Bulelang Bali dan Lippo Karawaci, dua lokasi yang telah memiliki sistem pelayanan air siap minum.

5. Pelatihan Manajemen Mutu (SOP=Standard Operation Procedure) dan persiapan penyusunan buku panduan mutu ZAMP

6. Pelatihan staf laboratorium untuk sistem manajemen mutu laboratorium, ISO/IEC 17025.

7. Sosialisasi internal kepada karyawan dan bagian terkait: Direksi, kepala devisi, kepala cabang, kepala bagian, kepala seksi, dan karyawan cabang utama

8. Pelatihan komunikasi dan pelayanan pelanggan kepada staf cabang utama (petugas sosialisasi)

9. Pembekalan kepada staf tranmisi dan distribusi.

10. Pembuatan media sosialisasi seperti brosur, buku paduan, info kualitas air, kaset suara, dan VCD

11. Sosialisasi ZAMP kepada developer dan pelanggan di lokasi

12. Perbaikan fisik jaringan pipa distribusi : pembuatan blok-blok wash out (pembuangan ), pencucian pipa, dan penambahan hydrant.

13. Pemasangan alat pemantauan kualitas: Chlorine analyzer, ORP Controler,

14. Monitoring proses ZAMP setiap hari kerja sejak bulan Juni 2004 karena proses perbaikan sudah disesuaikan

15. Informasi kualitas air per bulan (Customer Confidence Report).

16. Survai kepuasan pelanggan. 17. Evaluasi proses dan action plan.

e. Standar Operasional Prosedur (SOP) ZAMP Dalam menjamin air layak minum langsung di perumahan Malibu Indah, maka perlu dibuat suatu standar dalam prosedur operasional ZAMP yang terdiri dari: 1. Standar Operasional Prosedur (SOP)

Distribusi. 2. Standar Operasional Prosedur (SOP)

Sosialisasi. 3. Standar Operasional Prosedur (SOP)

Laboratorium.

f. Instruksi Kerja (IK) ZAMP Untuk mendukung dari standar operasional prosedur tersebut di atas, juga disusun Instruksi kerja (IK) ZAMP. Instruksi kerja meliputi antara lain: • Tujuan • Ruang lingkup. Ruang lingkup metode ini

meliputi: Cara pengujian Penggunaan metode Standard metode

• Peralatan dan bahan • Tata cara/langkah-langkah pengujian • Rekaman data

3. Metode Penelitian

Ruang Lingkup Survai Survai ini menitikberatkan kajian pada kepuasan pelanggan khusus di perumahan Malibu Indah yang mempunyai 294 pelanggan, dengan pemakian rata-rata 294 NPA sebesar 51 m3 tiap bulan, dan merupakan pelanggan tunggakan rekening yang sedikit. (1,2) Rumusan Pengambilan Sampel Dengan Responden = 15% x Jumlah Pelanggan =0,15 x 294 =44.1 ~ 45 pelanggan

Jenis dan Sumber Data Metode pengumpulan data disesuaikan

dengan data yang dibutuhkan PDAM Tirtanadi Propinsi Sumatera Utara. Data yang digunakan yaitu: (4,5,6) Data Primer, dikumpulkan melalui observasi

langsung ke objek lokasi ZAMP di perumahan Malibu Indah, yaitu dengan melakukan wawancara langsung degan daftar pertanyaan yang telah disiapkan.

Data Sekunder, dikumpulkan dengan melakukan review kepustakaan, yang meliputi referensi tentang pengambilan keputusan.

Teknik Pengambilan Sampel

Pemilihan metode penelitian sangat penting. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode sampling acak berstrata (stratified random sampling). Kriteria responden adalah pendudukan perumahan Malibu Indah dengan segmentasi pada seluruh blok di sana. Hal ini dipilih dengan pertimbangan luasnya populasi penelitian dan keterbatasan waktu. Selain itu pemilihan metode sampling acak sangat terjamin dari sisi objektivitasnya.

Instrumen Data

Setiap tim peneliti harus memahami maksud dan tujuan pertanyaan yang terdapat dalam

Page 130: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

126

kuesioner. Pemahaman tersebut akan menentukan keberhasilan responden dalam pengisiannya, terutama berhubungan dengan maksud pertanyaan yang mungkin kurang dipahami responden. Pedoman wawancara untuk responden disusun dengan garis besar instrumen sebagai berikut:

Pertanyaan tentang fakta, misalnya pada kuesioner bagian A nomor 1-7. meskipun demikian masih diperlukan informasi lain mengenai fakta responden, misalnya mengenai umur, pendidikan, dan sebagainya.

Pertanyaan tentang perilaku dan persepsi pelanggan kawasan ZAMP di perumahan Malibu Indah, misalnya pada kuesioner bagian B nomor 1-10.

Tujuh pertanyaan tentang pandangan dan komunikasi PDAM pelanggan, misalnya pada kuesioner bagian C nomor 1-9. meskipun responden telah menjawab pertanyaan–pertanyaan informatif, tidak menutupi kemungkinan untuk menggali informasi dengan wawancara mendalam (indepth interview). Setiap isi pertanyaan dapat memuat lebih dari satu maksud jawaban. Sebuah pertanyaan kadang menghendaki jawaban yang lebih informatif. Tetapi hal tersebut secara tidak langsung juga mencerminkan persepsi seseorang tentang dirinya.

Tehnik Pengolahan Data Data yang dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan metode statistik. Pengolahan data dilakukan dengan memasukkan data menggunakan perangkat lunak SPSS.

4. Hasil penelitian a. Karakteristik pelanggan

Pekerjaan utama pelanggan terdiri dari: Wiraswasta 46.67%, pegawai swasta 42.22%, ibu rumah tangga 8.89%, dan pegawai negeri 2.22%.

Kelompok usia pelanggan di atas 40 tahun 40%, usia 26-39 tahun 13.33%, usia 16-25 tahun 6.67%, dan di bawah 16 tahun 40%.

Status pelanggan adalah kepala rumah tangga dengan persentase 60%, ibu rumah tangga 31.11%, status ana 6.67%, dan status lainnya 2.22%.

Tingkat pendidikan pelanggan: SMA/D3 53.22%, sarjana S1/S2 33.34%, serta SD/SMP 13.44%.

Jumlah anggota penggunaan air terdiri dari 3-6 orang sebesar 73.33 %, 7-10 orang 17.78%, lebih dari 10 orang 4.44%, dan kurang dari 3 orang 4.45%.

Tingkat penghasilan pelanggan yang paling dominan adalah: Rp 10-20 juta 36%, Rp 5-

10 juta sebesar 28.44%, kurang dari Rp 5 juta 28.895, dan lebih dari Rp 20 juta 6.67%.

Status kepemilikan rumah terdiri dari: milik sendiri 95.5% dan kontrak 4.5%.

b. Perilaku pelanggan

Pelanggan di perumahan Malibu seluruhnya sudah menggunakan air PDAM Tirtanadi. Namun 68.89% menggunakan air hanya dari PDAM Tirtanadi, sedangkan sisanya 31.11% juga menggunakan air sumur bor.

Penggunaan air sumur bor tersebut adalah untuk mencuci mobil/lainnya 91.12%, air minum sebesar 4.44%, serta untuk keperluan memasak sebesar 4.44% pelanggan.

Sistem penampungan air minum terdiri dari menara sebanyak 13.33%, bak penampang dari semen 20.00% drum fiber glass/ stainless 57.78%, dan lainnya (tidak ada) sebesar 8.89% pelanggan.

Sumber konsumsi air minum rumah pelanggan meliputi: air kemasan 13.33%, air isi ulang 8.89%, air PDAM (dimasak) 53.33%, dan air siap minum 24.455 pelanggan.

c. Penggunaan air setelah dilaksanakan ZAMP

Penggunaan utama air PDAM terdiri dari: Untuk air minum 71.11%, keperluan memasak 26.67%, mandi dan mencuci mobil/lainnya 0% pelanggan.

Cara penggunaan air minum dari PDAM meliputi: untuk air minum langsung 26.675, air minum (disaring) 17.78%, air minum (dimasak) 55.55%, dan lainnya sebesar 0%

Frekuensi aliran air mati: Sering 6.67%, jarang 71.11%, hanya waktu pagi hari 2.22%, dan tidak pernah sebesar 20% pelanggan.

5. Kesimpulan Dan Saran

Kesimpulan Hasil pembahasan serta analisis data yang telah dilakukan terhadap SKP-ZAMP Perumahan Malibu Indah dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Sebanyak 68,89% penghuni Malibu Indah hanya

menggunakan air PDAM Tirtanadi sebagai satu-satunya sumber air, selebihnya (31,11%) masih menggunakan sumur bor sebagai sumber air tambahan/cadangan.

2. Penggunaan utama dari air PDAM adalah untuk air minum, yaitu 71,11% pelanggan, tetapi secara dominan, yaitu 53,56% pelanggan masih memasak air minum tersebut.

3. Hanya 24,44% pelanggan di perumahan Malibu Indah yang tidak mempunyai keluhan terhadap pelayanan PDAM. Sementara keluhan utama pelanggan yaitu 44,44% mengeluh tentang

Page 131: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Zona Air Minum Prima (ZAMP)

127

tekanan air (rendah atau mati), selanjutnya 24,44% mengeluh tentang kualitas air (keruh, berbau, dan endapan), dan selebihnya 6,68% mengeluh tentang tarif yang tidak terjangkau.

4. Sebagian besar pelanggan, yaitu 84% pelanggan menyatakan setuju dinaikkan tarif untuk peningkatan pelayanan, bahkan 82,22% pelanggan setuju kenaikkan tarif sebesar 33,33%.

Saran

Survai kepuasan pelanggan ZAMP Malibu ini diharapkan memberikan pada pihak PDAM Tirtanadi Sumatera Utara dalam peningkatan pelayanan kepada pelanggan, maka disarankan hal–hal berikut:

1. Persepsi pelanggan mengenai PDAM Tirtanadi sebagai pelaksana Zona Air Minum Prima (ZAMP) di perumahan Malibu Indah masih perlu disempuranakan lagi secara berkelanjutan, khususnya cara sosialisasi dengan melakukan komunikasi terus–menerus kepada pelanggan di perumahan Malibu Indah. Hal ini agar PDAM Tirtanadi mempunyai sistem peningkatan pelayanan untuk memberikan jaminan kuantitas, kualitas, dan kontinuitas air minum yang memadai dan berkelanjutan.

2. Disarankan kepada PDAM Tirtanadi agar melakukan sosialisasi dengan media informasi surat pemberitahuan setiap bulan mengenai aliran dan kualitas air ZAMP di perumahan Malibu Indah, sehingga pelanggan mempunyai kepercayaan yang tinggi kepada PDAM Tirtanadi dan aman mengkonsumsi air minum langsung dari kran rumah mereka.

3. Untuk mengetahui keluhan dan ketidakpuasan pelanggan PDAM Tirtanadi perlu melakukan survai kepuasan pelanggan air ZAMP perumahan Malibu Indah.

Daftar Pustaka Mangkusubroto, Kontoro dan Trisnadi, Listiarini.

1987. Analisis Keputusan. Bandung: Genesa Exact.

Mochammad, Ichsan dan Kusnadi. 2003. Studi Kelayakan Proyek Bisnis. Malang: Unibraw.

Pasaribu, Sjahril Effendy. 2004. PDAM Operator Pelayanan Air Bersih & Air Minum. Bina Teknik Press.

Saaty, Thomas L. 1993. Pengambilan Keputusan. PT Pustaka Binaman Pressindo.

Schroeder, Roger G. 1994. Operation Management, Third Edition Singapore: Mc. Grow Hill Inc.

Soeharto, Iman. 1997. Management Proyek. Jakarta: Erlangga.

Supranto, Johannes. 1998. Teknik Pengambilan Keputusa. Jakarta: PT Rineka Citra.

Sweeny, Andrson Denis, And Williams, Thomas. A. 1991. Introduction to Management Science, 6th Edition. St Paul: West Publishing Company.

_______. Survai Kepuasan Pelanggan tahun 2004. PDAM Tirtanadi bekerja sama dengan LPPM USU, Medan, Sumatera Utara

_______. Peraturan Daerah Propinsi Daerah tingkat I Sumatera Utara. 1999. Perusahaan Daerah Air Minum Tirtanadi Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara No. 3 Tahun 1999. Medan, Sumatera Utara

_______. 2002. Corporate Plan 2001-2005. Revisi Kedua, PDAM Tirtanadi Sumatera Utara.

_______. 2004. Gambaran Umum PDAM Tirtanadi Propinsi Sumatera Utara. Website: http://www.PDAMtirtanadi. co.id.

Page 132: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

128 128

ANALISIS PELAKSANAAN PENGENDALIAN MUTU PADA PERUSAHAAN PABRIK GULA

Sa’ir Tumanggor Abstrak: Pabrik gula adalah salah satu perusahaan makanan yang termasuk dalam sembilan bahan pokok, maka mutu produk haruslah sangat diperhatikan. Pengendalian mutu pada perusahaan pabrik gula dimulai dari pengadaan bahan baku sampai pada proses produksinya yang merupakan kegiatan saling terkait sehingga setiap tahap kegiatan haruslah diarahkan sedemikan rupa untuk dapat memperoleh produksi maksimal dengan tingkat kehilangan seminimal mungkin. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa perusahaan pabrik pada umumnya telah melaksanakan kebijaksanaan kualitas dengan menjalankan pengendalian kualitas dalam bentuk gugus kendali mutu secara kontinu dan terkoordinir dibawah pengawasan bagian pabrikasi. Berdasarkan hasil pengijian Control Char, khususnya x chart yang dilakukan pada tahun 2000 secara keseluruhan semua data berada dalam batas pengendalian statistik belum begitu baik. Grafik pengendali pada tahun 2000 dapat digunakan untuk pemetaan data tahun 2001. Hanya pada analisis polarisasi yang terdapat data di luar batas pengendalian berarti secara keseluruhan proses berjalan terkendali dan konsisten. Kata kunci: Pengendalian Mutu, Kualitas Gula. 1. PENGENDALIAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

Dalam situasi pemasaran yang semakin ketat persaingannya, peran mutu produk perusahaan akan semakin besar dalam kaitannya dengan perkembangan perusahaan tersebut. Untuk dapat bertahan maka perusahaan dituntut untuk melakukan tindakan- tindakan yang mengarah pada kegiatan efisiensi. Nama kegiatan efisiensi ini harus tetap memperhatikan mutu dari barang atau jasa yang dihasilkan, pelaksanaan efisiensi ini bertujuan untuk menekan biaya, sehinga dapat memberikan harga yang dapat dijangkau oleh konsumen. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan tindakan pengendalian mutu, pengendalian mutu mengandung dua pengertian utama, yaitu menentukan standar mutu untuk masing-masing produk yang bersangkutan dan usaha perusahaan untuk dapat memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan dengan memperhatikan tujuan-tujuan sebagai berikut: kepuasan konsumen dan harga produk serendah-rendahnya serta proses produksi yang dapat menekan baiya dan waktu seminimal mungkin.

Pabrik gula adalah salah satu perusahaan makanan yang termasuk dalam sembilan bahan pokok, maka mutu produk haruslah sangat diperhatikan. Pengendalian mutu pada perusahaan pabrik gula dimulai dari pengadaan bahan baku sampai pada proses produksinya yang merupakan kegiatan haruslah diarahkan sedemikian rupa untuk dapat memperoleh produksi maksimal dengan tingkat kehilangan seminimal mungkin. 1.2. Rumusan Masalah

Pengadaan mutu mengandung dua pengertian utama yaitu: menentukan standar mutu dan usaha perusahaan yang telah ditetapkan. Karena

dalam pengolahan gula standar mutunya sudah ada, maka penelitian lebih ditentukan pada upaya untuk mencapai standar. Jadi permasalahannya adalah melihat sampai sejauh mana pelaksanaan pengendalian mutu yang dilakukan pada perusahaan pabrik gula untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan. 1.3. Batasan Masalah

Dibatasi pada kegiatan-kegiatan pengen-dalian mutu yang berjalan pada perusahaan pabrik gula pada umumnya dan kemudian dilakukan analisis secara kuantitatif terhadap standar mutu gula yang terdiri dari: kadar air, polarisasi besar jenis butir, dan nilai remisi direduksi. Serta menganalisis secara kualitatif pelaksanaan pengendalian mutu dengan cara menganalisis faktor-faktor pengendali mutu yang meliputi bahan baku, sumberdaya manusia, mesin, dan peralatan serta faktor lainnya. 1.4. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis pelaksanaan pengendalian mutu

oleh perusahaan untuk menge-tahui sejauh mana mutu yang telah dilaksanakan.

2. Mengindentifikasi perma-salahan yang dihadapi perusahaan dalam pengendalian mutu.

3. Membahas berbagai alternatif pemecahan masalah, untuk mengurangi hasil produksi yang tidak sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan oleh perusahaan.

1.5. Manfaat Penelitian

a. Bagi Penulis Memberi gambaran bagi penulis bagaimana

pelaksanaan pengendalian mutu dan

Page 133: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Analisis Pelaksanaan Pengendalian Mutu pada Perusahaan Pabrik Gula

129

permasalahannya dalam praktek yang sebenarnya. b. Bagi Perusahan

Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan berkenaan dengan pengendalian mutu yang telah ditetapkan.

1.6. Metodologi Penelitian 1. Subjek penelitian adalah pabrik gula. Objek

yang akan diteliti adalah kegiatan pengendalian mutu produk yang terdiri dari beberapa tahap pemroses tersebut.

2. Data yang diperlukan - Data produksi terdiri dari: bahan baku yang

digunakan, proses produksi, jenis produksi yang dihasilkan, jumlah produk, jumlah mesin, dan peralatan yang digunakan.

- Standar mutu dan proses pengendalian mutu produk yang digunakan oleh perusahaan.

3. Variabel yang diukur - Kadar air (%) - Polarisasi (%) - Berat jenis butir (mm) - Nilai remisi direduksi.

4. Cara Pengumpulan Data - Telaah pustaka mengenai pengendalian mutu. - Wawancara terhadap pihak-pihak yang terkait

dengan pelaksanaan pengendalian mutu di perusahaan.

- Pengamatan pelaksanaan pengendalian mutu. 2. Landasan Teori 2.1. Pengertian Pengendalian Mutu

Pengendalian mutu adalah suatu penetapan tujuan atau target dan penemuan cara untuk mewujudkan target tersebut secara efisien.

Agar pengendalian mutu dapat dilakukan dengan efektif maka perlu kriteria-kriteria tertentu antara lain: a. Akurat: Informasi tentang pelaksanaan kegiatan

harus akurat data yang tidak akurat dari sistem pengendalian dapat menyebabkan organisasi mengambil tindakan koreksi yang keliru.

b. Realistik secara ekonomis biaya pelaksanaan sistem pengendalian harus lebih rendah atau paling tidak sama dengan kegunaan yang diperoleh dari sistem tersebut.

c. Realistik secara organi-sasional: sistem pengen-dalian harus cocok dengan kenyataan-kenyataan organisasi.

2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mutu

Secara khusus faktor-faktor yang mem-pengaruhi mutu dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pasar atau tingkat persaingan. 2. Tujuan organisasi. 3. Testing produk 4. Desain produk 5. Proses produksi 6. Kualitas input 7. Perawatan perlengkapan

8. Standar kualitas. 9. Umpan balik.

Lingkup kegiatan pengendalian mutu sangat luas, banyak hal yang menentukan atau mempengaruhi mutu produk. Pengendalian mutu produk meliputi tiga pendekatan, yaitu: 1. Pendekatan bahan baku

Dalam pengendalian mutu terhadap bahan baku tedapat beberapa hal yang sebaiknya dikerjakan oleh manajemen perusahaan agar bahan baku yang diterima perusahaan dapat dijaga mutunya. Beberapa hal tersebut antara lain seleksi sumber bahan, pemeriksaan penerimaan bahan, dan penjagaan gudang bahan baku perusahaan.

2. Pendekatan proses produksi Walaupun bahan baku yang digunakan oleh perusahaan sudah dipilih bahan-bahan dengan mutu tinggi, namun bila proses produksi dilaksanakan dengan baik maka besar kemungkinan produk akhir perusahaan akan mempunyai mutu yang rendah.

3. Pendekatan produk akhir Dalam hal ini diharapkan pengendalian dapat mengumpulkan informasi tentang tanggapan konsumen terhadap produk yang dihasilkan perusahaan. Informasi sangat penting untuk menghadapi atau mengetahui di mana kekurangan produk tersebut, sehingga dapat digunakan sebagai umpan balik untuk perusahaan melakukan tindakan perbaikan di masa yang akan datang.

2.2. Manajemen Mutu a. Evaluasi Paradigma Manajemen Mutu

Hasil kombinasi dari ajaran tentang mutu oleh pakar dan pengalaman praktek menghasilkan suatu model sederhana yang sangat efektif untuk mengimplementasikan manajemen mutu terpadu atau total Quality Manajemen (TQM) filosofi manajemen mutu terpadu berusaha menerapkan semua konsep yang mengarah pada perbaikan terus-menerus dan perusahaan dengan konsep Plan Do Check Action (PDCA). b. Biaya Mutu

Mutu sutu produk atau jasa bukan hanya penting bagi pemakai, namun juga bagi pemasok. Biaya mutu produk tersebut pada umumnya diklasifikasikan ke dalam empat kategori, yaitu: 1. Biaya pencegahan (prevention cost)

Biaya-biaya ini terjadi guna mencegah kerusakan produk di dalam proses produksi.

2. Penilaian (Appraisal cost) Biaya yang timbul untuk mengidentifikasi apakah produk yang dihasilkan telah sesuai dengan persyaratan mutu, pengujian laboratorium, melakukan pengendalian proses secara statistik, pemeriksaan bahan baku, dan pelaporan mutu.

Page 134: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

130

3. Biaya kegagalan internal (Internal Failur Cost) Biaya ini terjadi akibat produk gagal mencapai standar mutu desain dan terdeteksi pada waktu proses produksi atau sebelum dikirim kepada pelanggan.

4. Biaya kegagalan eksternal (External Failure Cost) Biaya ini terjadi akibat produk gagal mencapai standar mutu desain dan tidak terdeteksi sampai dikirim kepada pelanggan. Keempat biaya ini dapat dibagi menjadi biaya pengendalian yang terdiri dari biaya kegagalan internal dan eksternal.

2.3. Manajemen Proses Konsep dari manajemen proses berkaitan

dengan perbaikan kualitas. Dalam manajemen proses ini terdapat enam komponen penting, yaitu: 1. Kepemilikan (ownership), menugaskan

tanggung jawab untuk desain, operasi dan perbaikan proses.

2. Perencanaan (planning), menetapkan suatu pendekatan terstruktur dan terdisiplin untuk mengerti, mengidentifikasi dan mendoku-mentasi semua komponen utama dalam proses hubungan antara komponen utama itu.

3. Pengendalian (control), menjamin output dapat diperkirakan dan konsisten dengan ekpetasi pelanggan.

4. Pengukuran (measurement), memetakan performansi atribut dan variabel dari produk terhadap kebutuhan pelanggan dan menetapkan kriteria untuk akurasi, presisi, dan frekuensi perolehan data.

5. Perbaikan atau peningkatan (improvement), mening-katkan efektivitas dari proses melalui perbaikan-perbaikan yang diidentifikasi secara tetap.

6. Optimasi (optimization), meningkatkan efisiensi dan produktivitas melalui perbaikan-perbaikan yang diidentifikasikan secara tetap.

Keenam komponen di atas merupakan landasan untuk keberhasilan manajemen dari suatu proses apa saja, komponen-komponen itu dibutuhkan untuk proses apa saja, komponen-komponen itu dibutuhkan untuk proses kerja yang menghasilkan dan menyerahkan produk ke pelanggan. Dalam proses produksi ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi derajat pengendalian kualitas, faktor-faktor tersebut antara lain: 1. Kemampuan proses, hal ini dimaksudkan

bahwa batas-batas yang ingin dicapai haruslah disesuaikan kemampuan proses yang sudah ada.

2. Apkiran yang diterima, derajat pengendalian kualitas yang dilakukan akan tergantung pada banyaknya bahan atau barang di bawah standar yang dapat diterima.

3. Spesifikasi yang berlaku, ditinjau dari segi kemampuan proses dan keinginan konsumen yang ingin dicapai dari hasil produksi tersebut.

4. Ekonominya kegiatan produksi, untuk mengetahui tingkat efisiensi dari kegiatan produksi tergantung pada seluruh proses yang ada di dalamnya.

2.5. Pengendalian Mutu Statistik

Teknik pengendalian mutu statistik digunakan untuk mengendalikan pelaksanaan suatu proses apakah sesuai dengan spesifikasinya, serta untuk menentukan apakah barang atau bahan yang diterima dari supplier mempunyai mutu yang dapat diterima.

Pengendalian meliputi beberapa macam teknik, salah satunya adalah dengan metode statistik. Keuntungan dari metode statistik ini adalah: 1. Teknik pengawasan mutu diterapkan dengan

jalan mengambil sampel-sampel sehingga tidak semua dari komponen harus diperiksa, cukup hanya dengan mengambil bagian-bagian tertentu saja secara acak.

2. Pengawasan adalah sebagai alat untuk mencegah kemungkinan adanya penyimpanan-penyimpangan sebelum terjadi lebih serius, jadi hal ini bisa disamakan dengan tindakan preventif.

Salah satu pendekatan yang digunakan dalam pengendalian mutu untuk mengendalikan ketidakseragaman dalam proses produksi adalah Statistikal Proses Control (SPC). SPC dapat mendeteksi dan mengeliminasi variasi yang tidak random yang muncul selama proses berlangsung. 2.6. Proses Pembuatan Gula Pasir

Proses pemurnian yang digunakan menentukan produksi = I gula yang dihasilkan yang lazim di Indonesia adalah: o Proses defkasi raw sugar (gula tanjung) o Proses sulfitasi gula putih SHS o Proses karbonatasi gula putih SHS

Terdapat beberapa prinsip atau metode analisis mutu gula yang penting untuk menentukan mutu gula tersebut, antara lain: polarisasi, kadar air, besar jenis butir, dan nilai remisi direduksi jenis gula pasir produksi dalam negeri terdiri dari: gula konsumsi rumah tangga (kualitas SHS standar, SHS IB, dan SHS IA) dan gula industri. 3. Pembahasan

Pada perusahaan pabrik dalam melak-sanakan pengawasan mutu produknya adalah dengan cara memeriksa kadar air, kadar polarisasi, dan besar jenis butir. 3.1. Analisis Kuantitatif Metode yang digunakan dalam Analisis kuantitatif adalah dengan Control Chart. 1. Analisis Kadar Air

Page 135: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Analisis Pelaksanaan Pengendalian Mutu pada Perusahaan Pabrik Gula

131

Dalam perdagangan umum gula dikatakan kering apabila kadar air sebesar 0,1-0,15% atau apabila digenggam, gula tersebut tidak akan menempel di tangan. Berdasarkan hasil perhitungan kadar air tahun 2000, diperoleh hasil untuk batas atas (UCL) dan batas bawah (Llcl) seperti tertera pada table 3.1. Dari tabel tersebut dilihat bahwa rata-rata kadar air masih berada dalam batas standar yang ditentukan perusahaan.

Table 3.1. Batas Pengawasan Kadar Air (%) Tahun 2000

Batas Pengendalian

Hasil Analisis

Standar Perusahaan

CL 0.06 01-015 UCL 0.09 LCL 004

2. Analisis Polarisasi Dari hasil perhitungan polirasi tahun 2000 diperoleh batas pengendalian seperti pada table 4.2 dari tabel tersebut rata-rata polarisasi sebesar 99,86% karena P3GI sudah menentukan standar gula konsumsi rumah tangga untuk polarisasi yaitu minimal 99,7%. Apabila hasil pemeriksaan sampel dibandingkan, antara batas pengawasan dengan standar yang sudah ditentukan P3GI dan SK Kabulog 314/KA/06/1995 maka produk gula tersebut telah memenuhi kualitas gula pada jenis SHS 1 A hal ini yang dapat mempengaruhi polarisasi, yaitu proses produksi terutama pada proses pemurnian, di mana apabila tenaga kerjanya kurang terampil dalam memberikan kapur dan belerang yang tepat, maka mutu produk yang dihasilkan kurang memenuhi standar.

Tabel 3.2. Batas Pengawasan Polarisasi Tahun 2000

Batas Pengendalian

Hasil Analisis

Standar Perusahaan

CL 99.86 >= 99.7 UCL 100 LCL 99.71

3. Analisis Besar Jenis Butir

Kategori ini merupakan visualisasi yang sering mendapat perhatian utama konsumen di samping warna yang putih. Besar jenis butir adalah ukuran atau besaran kristal-kristal gula.

Berdasarkan hasil perhitungan besar jenis butir pada tahun 2000, diperoleh hasil untuk batas atas (uCLo dan batas bawah LCL) seperti tertera apabila dibandingkan dengan batas standar perusahaan yaitu 0,9-1,0 mm, maka pengawasan yang dilakukan perusahaan saat ini sangat longgar, karena nilai rata-rata yang diperoleh

sebesar 10,5 mm. Nilai tersebut melebihi nilai yang sudah di standarkan oleh perusahaan.

Hal yang dapat mempengaruhi besar jenis butir pada proses produksi adalah: pada proses kristalisasi di mana pada proses ini sangat tergantung pada keterampilan tenaga kerja dalam pemasakan. Karena merupakan proses penguapan, maka pengendalian suhu dan tekanan pemasakan harus dilakukan dengan selalu mengontrol thermometer yang ada di pan-pan kristalisasi tersebut. Faktor mempengaruhi besar jenis butir adalah: lama masakan yang dilakukan, untuk mendapatkan besar jenis butir yang lebih besar dibutuhkan waktu masakan yang lebih lama.

Konsumen tertentu menyukai gula kristalnya relatif besar, karena untuk mencairkannya relatif lebih lama dibandingkan dengan gula yang jenis kristalnya besar lebih disukai di Indonesia terutama untuk pemakaian langsung dalam minuman.

4. Analisis Nilai Remisi diReduksi.

Nilai remisis direduksi merupakan ukuran keputihan gula yang ditetapkan laboratories, dengan menggunakan choromatograph mikroskop. Dengan meng-gunakan alat tersebut suatu contoh gula ditetapkan kepada suatu tingkatan nilai remisi direduksi (NRD) misalnya 59,1 dan 6,00. Dengan demikian orang awam sukar membedakan besaran NRD atas dua jenis gula di atas tetapi hal ini penting ditetapkan sebagai salah satu faktor penentu kualitas karena dapat diuji secara laborati. Nilai remisi direduksi dipengaruhi oleh banyak hal antara lain mutu baku dan semua tahapan proses produksi karena NRD merupakan ukuran keputihan gula.

Tabel 3.4. Batas Pengawasan Nilai Remisi Direduksi

Batas Pengendalian

Hasil analisis

Standard perusahaan

CL 0.06 0.4-0.15 UCL 0.09 LCL 0.04

3.2. Analisis Kualitatif Produksi gula yang tidak sesuai dengan

standar kualitas mengakibatkan kerugian bagi perusahaan, karena proses produksi gula yang tidak memenuhi standar kualitas tersebut harus diproses kembali sehinga membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit.

Pengendalian mutu tebu sebagai bahan baku yang meliputi: a. Pemasokan bahan baku

Bahan baku untuk pengolahan gula pada pabrik gula adalah berupa batang tebu yang dihasilkan

Page 136: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

132

dari perkebunan yang terdiri dari: - TRI murni, yaitu petani mengusahakan

sendiri penanaman tebu, menebang, dan mengangkut tebu dibawah bimbingan PG, yang pembiayaan melalui paket kredit bimas.

- TRI pola kerjasama, yaitu petani yang menyerahkan lahannya kepada pabrik gula dengan imbalan petani mendapat jaminan hasil minimal yang harus diterima.

- TRI nonkredit, adalah penanaman tebu dilakukan oleh rakyat dengan tidak menggunakan paket kredit bimas. Adapun pengadaannya melalui sistem perjanjian pengolahan dengan hasil sama seperti pada TRI atau pembelian langsung oleh PG.

- Penanganan bahan baku Dalam hal bahan baku beberapa faktor yang memegang peranan penting adalah masalah penebangan dan pengangkutan. Mutu tebangan yang rendah mengakibatkan tingginya kehilangan tebu dalam ampas. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka pada penebangan dilakukan pengeletakan terlebih dahulu sebelum di tebang. Dalam hal ini cara pengangkutan dan transportasi maka untuk menghindari terjadinya penurunan kadar nira perusahaan tidak memperoleh tebu disimpan lebih dari 2x24 jam. Selain dalam sistem pemurnian ditemukan bahan pembantu pemurnian seperti batu gamping dan lain-lain. Untuk mengatasi hal tersebut perusahaan melakukan beberapa contoh bahan yang diinginkan kepada pemasok dan memperketat mutu bahan tersebut.

3.3. Tenaga Manusia

Sumberdaya manusia yang dimiliki oleh perusahaan dirasakan masih kurang baik dalam hal penyediaan bahan baku maupun dalam proses produksi, karena masih banyak sumberdaya manusia yang tidak siap terutama dalam proses produksi sehingga sering terjadi kesalahan.

3.4. Lingkungan Kerja

Dalam pengolahan gula sanitasi juga memegang peranan penting dalam usaha peningkatan mutu produk gula sanitasi lingkungan kerja perlu mendapat perhatian. Usaha sanitasi yang harus dilakukan adalah lingkungan produksi, pekerja peralatan produksi, dan penanganan bahan sisa.

4. Kesimpulan dan Saran 4.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis data yang diperoleh maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Perusahaan pabrik pada umumnya telah

melaksanakan kebijaksanaan kualitas dengan

menjalankan pengendalian kualitas dalam bentuk gugus kendali mutu secara kontinu dan terkoordinir dibawah pengawasan bagian pabrikasi.

2. Berdasarkan hasil pengujian Control Chart khususnya x chart yang dilakukan pada tahun 2000 secara keseluruhan semua data berada dalam batas pengendalian statistik. Namun pada analisis kadar air memperlihatkan grafik yang tidak random, sehingga hal ini menunjukkan bahwa pengendalian mutu secara statistik belum begitu baik.

3. Grafik pengendali pada tahun 2000 dapat digunakan untuk pemetaan data tahun 2001. Hanya pada analisis polarisasi yang terdapat data di luar batas pengendalian,s berarti secara keseluruhan proses berjalan terkendali dan konsisten.

4. Masih adanya data-data yang tidak terkendali secara statistik dapat disebakan oleh beberapa hal berikut:

- Kurang baiknya pengendalian mutu tebu sebagai bahan baku yang meliputi: umur tebu, pelaksanaan penebang-an, dan pengangkutan serta keterampilan karyawan dalam penebangan yang masih rendah.

- Faktor alat atau mesin yang sudah tua yang masih digunakan termasuk kondisi mesin putaran SHS yang masih manual dan alat pengukur suhu yang tidak stabil.

- Sumberdaya manusianya yang kurang terampil baik dalam usaha penyediaan bahan baku, maupun karyawan pada produksi misalnya dalam proses pemurnian, kristalisasi, dan pengeringan.

4.2. Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut maka

disampaikan saran-saran yang sekiranya dapat menjadi bahan pertimbangan. Adapun saran-saran yang disampaikan adalah sebagai berikut: 1. Perusahaan disarankan untuk melakukan

pengendalian mutu secara statistik, dengan memanfaatkan alat analisis SQC khususnya x chart dan r chart untuk dapat mengetahui seberapa jauh pengendalian mutu yang telah dilakukan.

2. Pengendali mutu bahan baku perlu ditingkatkan dengan cara peningkatan pemeliharaan tanaman dan melakukan pengawasan terhadap waktu penebangan, sedangkan pengendalian mutu dalam proses produksi terutama perlu dilakukan pada proses pemurnian, kristalisasi, dan proses pengeringan.

3. Secara terus menerus batas-batas toleransi diperbaiki diperketat pada titik paling optimal, sehingga akan mendorong dan

Page 137: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Analisis Pelaksanaan Pengendalian Mutu pada Perusahaan Pabrik Gula

133

memberi rangsangan untuk mempertahankan tingkat mutu secara lebih baik, demi peningkatan mutu produksi secara terus menerus dan berkesinambungan.

4. Untuk memperlancar proses produksi dan peningkatan mutu hasil produksi sebaiknya perusahaan secara kontinu mengadakan pengawasan terhadap mesin-mesin yang digunakan dalam proses produksi.

5. Untuk meningkatkan mutu produksi perlu peningkatan dan pengembangan mutu sumberdaya manusia yang berupa peningkatan pengetahuan dan keterampilan khususnya karyawan di bidang produksi.

Daftar Pustaka

Ahyari A. 1987. Manajemen Produksi Pengendalian Produksi II. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada.

Anonim, 1997. Studi Tentang Pemasaran dan Prospek Investasi Industri Gula Indonesia. Jakarta: PT Internasional Contact Bussines Sistem, Inc.

Bufa E. S. 1991. Manajemen Produksi dan Operasi, Jilid II, Edisi 6. Jakarta.

Darmawan D.H.A. 1998. Pokok-Pokok Pikiran Menuju Perbaikan Industri Gula. Jurnal Litbang Pertanian.

Ferdy, 1999. Industri Gula Tebu, Produksi Lokal Menurun Impor Meningkat. Manajemen Usahawan Indonesia.

Handoko H. 1992. Dasar-dasar Manajemen Produksi dan Operasi. Yogyakarta: BPFE.

Ishikawa K. 1992. Pengendalian Mutu Terpadu. Penerjemah Budi Santoso. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Martinich, J.S. 1997. Production and Operation Management, An Applied Modern Approach. John Wiley & Sons Inc.

Meredith, J.R. 1992. The Management of Operation a Conceptual Emphasis, 4 ed. John Eiley & Sons Inc.

Yamit Z. 1998. Manajemen Produksi dan Operasi Ekonomi. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UII.

Page 138: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

134

KAJIAN PENGEMBANGAN PABRIK KELAPA SAWIT (PKS) SUPERMINI DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI

KELAPA SAWIT DI SUMATERA UTARA (The Study on The Development of Supermini Palm Oil Factory in Order

To Increase The Palm Oil Farmers Income in North Sumatera)

Terip Karo-Karo

Abstrak: Pengkajian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui penyebaran kebun kelapa sawit rakyat di Sumatera Utara dan menetapkan lokasi PKS Supermini yang sesuai dengan penyebaran kebun kelapa sawit rakyat di daerah kajian (Kabupaten Asahan, Labuhan Batu, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, dan Tapanuli Tengah), mengetahui dampak pengembangan PKS Supermini terhadap peningkatan pendapatan petani kelapa sawit di daerah kajian, dan menyusun arahan pengembangan dalam bentuk arahan prioritas lokasi dan arahan program pengembangan PKS Supermini di daerah kajian. Metode analisis yang digunakan yaitu metode deskriptif yang didukung dengan tabulasi. Penetapan lokasi PKS Supermini dilakukan dengan bantuan kriteria teknik penentuan lokasi. Penetapan jumlah PKS di suatu wilayah sampai tahun 2012 dilakukan atas dasar prediksi produksi dengan mempertimbangkan hubungan kapasitas PKS Supermini dan luas lahan pertanaman kelapa sawit pendukung. Analisis dampak terhadap pendapatan petani dilakukan dengan metode deskriptif yang didukung oleh perhitungan nilai tambah bersih produk olahan gabungan. Sementara itu, penetapan prioritas lokasi dan arahan pengembangan dilakukan secara deskriptif melaui skoring terhadap beberapa parameter. Hasil survai terhadap kinerja perkebunan kelapa sawit rakyat di daerah kajian menyatakan bahwa penyebaran lahan pengembangan kelapa sawit rakyat dan PKS tidak merata, sementara itu produktivitas dan pendapatan petani kelapa sawit bervariasi dalam rentang relatif rendah. Peningkatan pendapatan yang akan diperoleh petani dengan adanya pengembangan PKS Supermini rata-rata adalah sekitar 5,74%-32,76%. Hasil skoring menyatakan bahwa kecamatan-kecamatan yang perlu diprioritaskan pengembangannya adalah Sei Kepayang (Asahan), Merbau (Labuhan Batu), Sosa (Tapanuli Selatan), Batang Natal (Mandailing Natal), dan Lumut (Tapanuli Tengah). Untuk mendorong pengembangan PKS Supermini dalam rangka merealisasikan dan memberdayakan perekonomian rakyat maka program-program yang mendesak untuk dilakukan adalah pelatihan teknis bagi para petani, pengembangan kelembagaan petani (seperti kelompok tani sawit dan koperasi agribisnis), penyederhanaan prosedur perizinan, pengaturan perpajakan/retribusi., pengembangan sistem insentif ,dan pengembangan infrastruktur pendukung.

Kata kunci: PKS Supermini, pendapatan petani, perkebunan rakyat kelapa sawit. Abstract: The study was conducted to know the spreading of palm oil small holders in North Sumatera and to determine the location of supermini palm oil factories according to the palm oil small holders spreading in the study area (Asahan, Labuhan Batu, South Tapanuli, Mandailing Natal and Central Tapanuli), to know the impact of supermini palm oil factory development on the farmer income increase, to arrange the development direction of supermini palm oil factories.The analysis methods that was used to study the performance of palm oil small holder was descriptive analysis that was supported by tabulation. Identification of factory location was done by technical criteria for location. The total of supermini palm oil factory in a region up to 2012 was determined by prediction of production and supported by the relationship between capacity of supermini palm oil factory and total area of palm oil land. The impact of the development of supermini palm oil factory on the farmer income was analyzed by descriptive methods that was supported by calculation of net value added of processed product. Determination of the priority location was done by scoring for some parameters. The results of this study indicated that the spreading of palm oil small holders in the study area and palm oil factories are unbalanced, on the other hand the productivity and farmer income showed the variation but within the relative low range. After the development, the farmers income will increase around 5.74 up to 32.76 %. The result of scoring showed that the priority subdistricts are Sei Kepayang (Asahan), Merbau (Labuhan Batu), Sosa (South Tapanuli), Batang Natal (Mandailing Natal) and Lumut (Central Tapanuli). The urgent programs that will support the development of supermini palm oil factories in the study area are technical training for farmers, farmer institutions development (farmer groups and agribusiness cooperation), deregulation of dispensation procedures, tax regulation, incentive system improvement and infrastructures development.

Key words: Supermini palm oil factory, farmer income, palm oil small holder.

Page 139: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Kajian Pengembangan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Supermini dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Petani Kelapa Sawit di Sumatera Utara

135

PENDAHULUAN Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir,

telah terjadi pergeseran secara bertahap dalam pengusahaan perkebunan kelapa sawit, yaitu dari usaha yang hanya dilaksanakan oleh perusahaan besar swasta maupun BUMN menjadi usaha yang dilaksanakan oleh petani perkebunan (swadaya) di luar petani perkebunan yang bermitra dengan perusahaan besar swasta atau BUMN (Deptan, 2002).

Pembangunan areal kebun kelapa sawit yang dilakukan oleh petani perkebunan atau perkebunan kelapa sawit rakyat terus mengalami peningkatan cukup signifikan, sejalan dengan semakin membaiknya bisnis produk olahan kelapa sawit baik di pasar domestik maupun di pasar internasional. Pada umumnya perkebunan kelapa sawit rakyat ini dibangun secara bertahap dan terpencar dengan skala usaha 0,5 sampai 2 ha dan beberapa tahun terakhir terlihat adanya gejala ketidakmampuan sarana yang dimiliki oleh perusahaan besar dan BUMN dalam mengolah hasil perkebunan kelapa sawit rakyat yang semakin melimpah. Kalaupun mereka menampung dengan harga yang sangat rendah pada tingkat petani.

Salah satu solusi menghadapi permasalahan tersebut adalah melaksanakan pembangunan unit pengolahan kelapa sawit di lokasi atau di sekitar perkebunan kelapa sawit rakyat. Mengingat lokasi perkebunan kelapa sawit rakyat relatif menyebar dan dalam skala luasan yang relatif kecil maka unit pengolahan kelapa sawit yang memungkinkan untuk dibangun adalah yang berskala kecil atau supermini yaitu dengan kapasitas ≤ 1 ton TBS per jam (PPKS, 2000). Dalam kenyataannya, kebun kelapa sawit rakyat memiliki keterbatasan luasan dan jarak antarkebun saling berjauhan, sehingga tidak memungkinkan (kurang sesuai) apabila dibangun satu pabrik kelapa sawit berkapasitas standar.

Untuk mengatasi permasalahan di atas maka perlu dilakukan kajian mengenai prospek pengembangan PKS Supermini untuk mengolah tandan buah segar kelapa sawit rakyat yang tersebar di Sumatera Utara. Adapun tujuan kajian ini adalah: 1. Untuk mengetahui penyebaran kebun kelapa

sawit rakyat di Sumatera Utara dan menetapkan lokasi PKS Supermini yang sesuai dengan penyebaran kebun kelapa sawit rakyat di daerah kajian.

2. Untuk mengetahui dampak pengembangan PKS Supermini terhadap peningkatan pendapatan petani kelapa sawit di daerah kajian.

3. Menyusun arahan pengembangan dalam bentuk arahan prioritas lokasi dan arahan program pengembangan PKS Supermini di daerah kajian.

Daerah kajian yang dimaksud dalam hal ini meliputi Kabupaten Asahan, Labuhan Batu, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, dan Tapanuli Tengah. Asahan dan Labuhan Batu merupakan dua kabupaten di wilayah Pantai Timur yang merupakan daerah

pengembangan kelapa sawit yang sudah relatif lama, sementara itu Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, dan Tapanuli Tengah adalah tiga kabupaten di wilayah Pantai Barat yang merupakan daerah pengembangan kelapa sawit yang relatif baru.

METODE PENGKAJIAN

Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif yang didukung dengan tabulasi. Penetapan lokasi PKS Supermini dilakukan dengan bantuan kriteria teknik penentuan lokasi, sedangkan penetapan jumlah PKS di suatu wilayah sampai tahun 2012 dilakukan atas dasar prediksi produksi sampai dengan tahun tersebut serta mempertimbangkan hubungan kapasitas PKS Supermini dan luas lahan pertanaman kelapa sawit pendukung yang dibutuhkan. Analisis dampak terhadap pendapatan petani dilakukan dengan metode deskriptif yang didukung oleh perhitungan nilai tambah bersih produk olahan gabungan (kernel dan minyak sawit).

Penentuan lokasi prioritas pengembangan dilakukan melalui skoring terhadap wilayah kecamatan menggunakan beberapa parameter yaitu luas areal pertanaman, produksi, produktivitas, jumlah petani kelapa sawit, peningkatan luas areal, laju peningkatan produksi, peningkatan produktivitas kelapa sawit rakyat selama 5 tahun terakhir, jumlah PKS, kapasitas olah PKS, rasio antara produksi dengan jumlah PKS, rasio antara produksi dengan kapasitas olah PKS, dan jumlah desa tertinggal setiap kecamatan. Adapun langkah-langkah skoring adalah sebagai berikut: a. Menyusun nilai atau kinerja setiap parameter

skoring pada setiap kecamatan di daerah kajian. b. Menyusun ranking nilai setiap parameter

skoring dari ranking pertama sampai yang terakhir, menurut karakteristik hubungan setiap parameter dengan ranking.

c. Menjumlahkan nilai rank semua parameter skoring di setiap kecamatan.

d. Menyusun urutan prioritas pengembangan bagi semua kecamatan yang dikaji dan menetapkan kecamatan dengan total skor tertinggi sebagai kecamatan prioritas pengembangan.

KINERJA DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT RAKYAT DI DAERAH KAJIAN

Total luas perkebunan kelapa sawit rakyat pada tahun 2001 di wilayah Kabupaten Labuhan adalah 79.000,50 ha tersebar pada 22 kecamatan, Kabupaten Asahan 17.680 ha tersebar pada 20 kecamatan, Kabupaten Tapanuli Selatan 21.168,47 ha tersebar pada 16 kecamatan, Kabupaten Mandailing Natal 310,88 ha tersebar pada 8 kecamatan, Kabupaten Tapanuli Tengah 1785 ha tersebar pada 8 kecamatan. Total produksi kelapa sawit rakyat pada tahun 2001di Kabupaten Labuhan Batu 1.057.994

Page 140: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

136

ton dan produktivitas 13,39 ton/ha, Kabupaten Asahan 232.826 ton dan produktivitas 13,17 ton/ha, Kabupaten Tapanuli Selatan 157.224,24 ton dan produktivitas 7,43 ton/ha, Kabupaten Mandailing Natal 66,11 ton dan produktivitas 0,21 ton/ha, Kabupaten Tapanuli Tengah 19.623,90 ton dan produktivitas 10,99 ton/ha (Dinas Perkebunan Propinsi Sumatera Utara, 2001). Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa produksi dan produktivitas perkebunan kelapa sawit rakyat antarwilayah di daerah kajian tidak merata. Hal ini lebih dipengaruhi oleh usia pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat. Produktivitas tanaman perkebunan kelapa sawit rakyat masih jauh di bawah tanaman yang dikelola oleh perkebunan besar. Hal ini antara lain disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan petani dan adanya kendala penyerapan terhadap paket teknologi oleh petani, belum terlaksananya intensivikasi secara baik dan kurangnya modal petani. Kelembagaan petani masih lemah. Sampai saat ini kemitraan antara lembaga di tingkat petani dengan lembaga-lembaga yang ada di Sumatera Utara seperti lembaga penelitian, perguruan tinggi, asosiasi pengusaha dan organisasi profesi, lembaga keuangan, penangkaran benih, masih sangat terbatas. Berdasarkan survai sampel terhadap petani kelapa sawit maka diperoleh hasil rata-rata pendapatan usaha tani kelapa sawit per ha di Kabupaten Asahan Rp 4.691.714 (merupakan yang tertinggi) dan Mandailing Natal Rp 474.000 (yang terendah). Rendahnya pendapatan usaha tani kelapa sawit per ha di Kabupaten Mandailing Natal disebabkan oleh masih rendahnya produktivitas (yaitu rata-rata hanya 0,28 ton/ha). Sementara itu, didasarkan atas luas areal rata-rata per petani maka rata-rata pendapatan usaha tani setiap petani di setiap kabupaten didaerah kajian seperti disajikan pada Tabel-1. Tabel-1. Rata-Rata Pendapatan Usaha Tani Kelapa Sawit di Daerah Kajian Kabupaten Luas

Lahan/ Petani (ha/KK)

Pendapatan Usaha Tani Per ha (Rp)*

Pendapatan Usaha Tani Per KK (Rp)*

Labuhan Batu 2.6 4.582.045 11.913.317

Asahan 1.8 4.691.714 8.445.085

Tapanuli Selatan

2.3 2.260.702 5.199.615

Mandailing Natal

2.5 474.000 1.185.000

Tapanuli Tengah

3.5 3.260.982 11.413.437

Berdasarkan analisis tentang kinerja kelapa

sawit rakyat di daerah kajian maka permasalahan pengembangan pemasaran dan pengolahan hasil panen kelapa sawit rakyat di daerah kajian

diidentifikasi sebagai berikut: 1. Rendahnya aksesibilitas lokasi kebun kelapa

sawit rakyat ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) akibat terbatasnya alat transportasi, topografi wilayah yang bervariasi dan kondisi jalan yang tidak memadai. Hal ini berpengaruh terhadap tingginya biaya input pertanian dan penurunan kualitas TBS pascatransportasi.

2. Penyebaran lahan pengembangan tidak merata dan sering berada pada kondisi geografis yang berawa-rawa, top soil yang tipis, gambut, dan lain-lain.

3. Keterbatasan pengetahuan tentang berbagai aspek budidaya dan kurangnya modal petani yang berdampak terhadap rendahnya tingkat penyediaan input pertanian dan kurang tuntasnya sistem pengelolaan lahan oleh petani.

4. Penetapan harga TBS oleh pabrik atau pedagang pengumpul sering lebih rendah dari harga pasar.

5. Pendapatan pekebun kelapa sawit masih relatif rendah dibanding dengan biaya produksinya.

6. Belum tersedianya strategi yang memadai dalam upaya meningkatkan pendapatan petani pekebun.

SKENARIO PENGEMBANGAN PKS SUPERMINI DI DAERAH KAJIAN 1. Strategi Pengembangan PKS Supermini

Orientasi sektor agribisnis petani harus harus berubah dari orientasi produksi kepada orientasi pasar, yang artinya untuk mengembangkan sektor agribisnis yang modern dan berdaya saing maka agroindustri menjadi penentu kegiatan pada subsistem usaha tani dan selanjutnya menentukan subsistem agribisnis hulu.

Strategi pengembangan agroindustri sebagai motor penggerak sektor agribisnis harus dilaksanakan melalui pengembangan strategi pemasaran, pemantapan sumberdaya, pengembangan pusat-pusat pertumbuhan dan pengembangan infrastruktur agribisnis. Pembangunan pertanian dengan pendekatan agribisnis perlu disertai dengan pengembangan organisasi bisnis petani yaitu koperasi agribisnis, baik koperasi primer maupun koperasi sekunder, agar mampu berperan sebagai aktor utama pada kegiatan non-usaha tani sehingga nilai tambah dapat direbut para petani di masa mendatang (Dinas Perkebunan Propinsi Sumatera Utara, 2001) Selanjutnya strategi pengembangan teknologi pengolahan dalam hal ini pengolahan kelapa sawit dan juga pengembangan teknologi produk pada subsektor agribisnis hilir (agroindustri hilir) diarahkan untuk peningkatan efisiensi, pengembangan diversifikasi teknologi pengolahan untuk menghasilkan diversifikasi produk, meminimumkan hasil buangan (waste) serta bahan polusi (pollutan), dan lain-lain. Percepatan pengembangan agroindustri dalam agribisnis diharapkan akan menarik pertumbuhan kegiatan pertanian yang tersebar luas di Indonesia, sehingga

Page 141: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Kajian Pengembangan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Supermini dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Petani Kelapa Sawit di Sumatera Utara

137

dapat meningkatkan pendapatan penduduk secara lebih adil dan merata. Teknologi pengolahan yang ditawarkan dalam mengatasi permasalahan petani kelapa sawit adalah yang disebut dengan PKS Supermini. Teknologi ini diharapkan segera diadopsi oleh petani sehingga mereka dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya.

2. Kriteria Penetapan Lokasi PKS Supermini

Mempertimbangkan adanya keharusan Tandan Buah Segar sampai di pabrik tepat pada waktunya (dalam rentang waktu kurang dari 6 jam), maka sebaiknya letak PKS Supermini berada di tengah areal/kawasan kebun kelapa sawit rakyat. Pengertian berada di tengah-tengah hamparan kebun rakyat yang dimaksud dalam hal ini mengandung implikasi luas dan fleksibel dalam arti bukan semata-mata hanya ditentukan oleh jarak. Namun juga perlu diperhitungkan waktu tempuh yang sangat dipengaruhi oleh kondisi jalan dan moda transportasi yang ada. Hal ini penting diperhatikan untuk tujuan mendapatkan kualitas minyak yang baik (mengantisipasi pembentukan asam lemak bebas yang lebih banyak) serta efisiensi biaya transportasi bahan baku. Faktor lain yang juga perlu diperhitungkan dalam penempatan pabrik adalah aksesibilitas dengan jaringan jalan utama, supaya hasil olahan pabrik mudah dibawa ke luar atau ditransportir ke konsumen. Dari sisi ekologis, perlu diperkirakan aspek penanganan limbah, sehingga hasil buangan limbah mudah ditangani dan tidak memberikan dampak negatif yang berati bagi lingkungan (Apple, 1990; Smith, 1980).

Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengembangunan PKS Supermini adalah: Dalam konteks kajian mekanika tanah, pabrik seharusnya di bangun di tempat yang datar atau daya dukung lahan kuat, tapak tidak terletak di lokasi banjir dan perlu dipertimbangkan adanya kemungkinan perluasan dikemudian hari.

3. Hubungan Luas Areal dengan Kapasitas PKS Supermini

Sesuai dengan kondisi wilayah dan masyarakatnya, pengembangan PKS Supermini di daerah kajian dapat dilakukan dengan memilih 2 alternatif kapasitas, yaitu 500 Kg/Jam atau 1000 Kg/Jam. PKS Supermini kapasitas 500 Kg TBS/jam memerlukan bahan baku 10 ton TBS/hari atau 3000 ton TBS/tahun yang dihasilkan dari pertanaman kelapa sawit seluas 300 ha. Sedangkan, PKS Supermini kapasitas 1000 kg TBS/Jam memerlukan bahan baku 20 ton TBS/hari atau 6000 ton TBS/tahun yang dihasilkan dari pertanaman kelapa sawit seluas 600 ha. (Perkiraan rata-rata produktivitas: 10 ton/ha/tahun).

Sebelum membangun PKS Supermini yang perlu diperhatikan adalah luas areal kelapa sawit rakyat yang telah menghasilkan (TM) di kawasan tersebut minimal seluas 300 ha untuk PKS Supermini kapasitas 500 kg TBS/jam atau 600 ha untuk kapasitas 1 ton/jam. Untuk mencapai jumlah bahan baku (produksi dan luas areal) yang diperlukan untuk 1 (satu) unit PKS Supermini, dapat diperoleh dari beberapa kecamatan lain yang berdekatan dengan lokasi.

4. Rencana Penyebaran PKS Supermini di

Daerah Kajian

Berdasarkan data yang ada dan dengan mengacu pada keterkaitan antara luas areal dan kapasitas tersebut maka dapat dilihat bahwa di Kabupaten Asahan hampir setiap kecamatan memiliki luas areal tanaman kelapa sawit rakyat lebih dari 300 ha dan produksi lebih dari 3.000 ton/tahun, kecuali Kecamatan Tanjung Balai, Sei Balei, Air Putih, Kisaran Barat, dan Kisaran Timur. Artinya pada umumnya kecamatan-kecamatan tersebut memiliki potensi bahan baku Tandan Buah Segar (TBS) yang cukup untuk mendukung pengembangan PKS Supermini dengan kapasitas 0,5 ton/jam.

Dari 22 kecamatan yang ada, 16 kecamatan mempunyai potensi TBS untuk mendukung didirikannya PKS Supermini sampai ke PKS Mini (kapasitas ≥ 1 ton/jam), 1 kecamatan punya potensi TBS untuk mendukung didirikannya PKS Supermini (kapasitas 0,5 ton/jam), sedangkan 5 kecamatan mempunyai potensi yang belum cukup mendukung untuk pendirian PKS Supermini. Di Kabupaten Labuhan Batu, semua kecamatan (22 kecamatan) telah mempunyai potensi untuk mendukung pendirian PKS Supermini dengan kapasitas 0,5 ton/jam. Bahkan telah banyak kecamatan yang memiliki potensi TBS untuk mendukung PKS mini, PKS kecil, PKS sedang maupun PKS besar. Di Kabupaten Tapanuli Selatan, terdapat 6 kecamatan yang telah mempunyai potensi produksi TBS untuk mendukung pendirian PKS, 3 kecamatan diantaranya dapat mendukung PKS Supermini dengan kapasitas 0,5 ton/jam dan 3 kecamatan lagi telah mampu menyediakan bahan baku untuk PKS Supermini dengan kapasitas 1 ton/jam hingga PKS Mini. Sementara 10 kecamatan lainnya baru mengembangkan tanaman kelapa sawit dan beberapa tahun mendatang baru memerlukan PKS.

Di Kabupaten Tapanuli Tengah, ada 3 kecamatan yang telah mempunyai potensi produksi TBS untuk dapat mendukung PKS yaitu, Kecamatan Manduamas memerlukan 1 unit PKS Supermini dengan kapasitas 0,5 ton/jam, Kecamatan Sibabangun memerlukan 1 unit PKS Supermini dengan kapasitas 0,5 ton/jam, dan Kecamatan Lumut memerlukan 1 unit PKS Supermini dengan kapasitas 1 ton/jam. Sedangkan kecamatan lainnya

Page 142: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

138

memerlukan PKS Supermini 2-5 tahun mendatang. Di Kabupaten Mandailing Natal, belum ada kecamatan yang telah mempunyai potensi produksi TBS yang cukup untuk mendukung pendirian PKS Supermini. Berdasarkan hasil prediksi total produksi TBS per wilayah sampai dengan tahun 2012 (sepuluh tahun ke depan), maka selanjutnya dapat diperkirakan kebutuhan PKS Supermini pada setiap wilayah tersebut.

Hasil perkiraan jumlah PKS Supermini menyatakan bahwa sampai pada tahun 2003, perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Labuhan Batu membutuhkan sekitar 465 unit PKS Supermini, sementara itu Kabupaten Asahan membutuhkan 122 unit, Tapanuli Selatan 113 unit, dan Tapanuli Tengah 14 unit. Berdasarkan hasil perhitungan, sampai dengan tahun 2005 Kabupaten Mandailing Natal belum membutuhkan PKS Supermini dan tim menyarankan agar mulai tahun 2008 di wilayah tersebut dibangun 1 unit PKS Supermini yang didukung oleh produksi TBS beberapa kecamatan.

Tahun 2012 diperkirakan Kabupaten Labuhan Batu membutuhkan sekitar 968 unit PKS Supermini yang tersebar pada semua kecamatan. Kecamatan yang terbanyak membutuhkan adalah Kecamatan Merbau (135 unit) dan paling sedikit Kualuh Hilir (6 unit). Kabupaten Asahan membutuhkan 319 unit PKS Supermini yang tersebar pada semua kecamatan di luar wilayah Kisaran dan Tanjung Balai. Kecamatan yang terbanyak membutuhkan adalah Kecamatan Buntu Pane (85 unit), sementara yang membutuhkan paling sedikit Kecamatan Sei Bale dan Air Putih (masing-masing 2 unit). Kabupaten Tapanuli Selatan membutuhkan

388 unit PKS Supermini yang tersebar pada 7 kecamatan. Kecamatan yang terbanyak membutuhkan adalah Kecamatan Sosa (216 unit) dan paling sedikit Sosopan dan Dolok (masing-masing 1 unit). Kabupaten Mandailing Natal hanya membutuhkan 1 unit PKS Supermini di Kecamatan Batang Natal. Namun sebagai respon terhadap perkembangan luas areal dan produktivitas yang kemungkinan cukup pesat untuk masa yang akan datang tim menyarankan agar ditambahkan satu unit tambahan di Kecamatan Batang Natal atau Natal. Kabupaten Tapanuli Tengah membutuhkan 48 unit PKS Supermini yang tersebar pada semua kecamatan. Kecamatan yang terbanyak membutuhkan adalah Kecamatan Lumut (216 unit) dan paling sedikit Sibolga (1 unit).

5. Dampak Pengembangan PKS Supermini Terhadap Pendapatan Petani

Dampak pengembangan PKS Supermini dapat dilihat dari besarnya nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan TBS menggunakan teknologi PKS Supermini. Nilai tambah dapat dihitung menggunakan pendekatan nilai bahan baku dan nilai produksi olahan per tahun pada industri PKS Supermini kapasitas 1 ton/jam. Nilai Tambah (NT) bersih dari produksi gabungan (CPO + kernel) adalah Rp 388,67 per kg.

Berdasarkan perhitungan di atas maka dapat diperkirakan besarnya nilai tambah yang akan diperoleh tiap petani per kabupaten disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkiraan Tambahan Pendapatan Yang Diperoleh Petani Tiap Kabupaten Sebagai Dampak Penerapan

Teknologi PKS Supermini

Kabupaten

Luas Lahan/Petani (ha/KK)

Rata-Rata Produktivita

s (Ton/ha)

Total NT dgn PKS Super-mini (Rp)

Pendapatan Usaha

Tani (Rp)

Pendapatan Usaha Tani + NT (Rp)

Labuhan Batu 2,6 12,99 3.282.833 11.913.317 15.196.150

Asahan 1,8 13,23 2.314.721 8.445.085 10.759.806

Tapanuli Selatan 2,3 7,91 1.768.360 5.199.615 6.967.974

Mandailing Natal 2,5 0,28 68.040 1.185.000 1.253.040

Tapanuli Tengah 3,5 10,99 3.738.798 11.413.437 15.152.235

Dari tabel terlihat bahwa dengan adanya pengembangan PKS Supermini maka pendapatan petani di daerah kajian diperkirakan akan meningkat rata-rata sebesar 5,74 - 32,76 % dibanding pendapatan tanpa pengembangan PKS Supermini. ARAHAN PRIORITAS PENGEMBANGAN PKS

Page 143: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Kajian Pengembangan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Supermini dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Petani Kelapa Sawit di Sumatera Utara

139

SUPERMINI DI DAERAH KAJIAN 1. Lokasi Pengembangan Prioritas

Lokasi atau kecamatan yang diprioritaskan dalam kajian ini dapat diinterpretasikan sebagai kecamatan yang memiliki potensi cukup besar bagi pengembangan agribisnis kelapa sawit, sementara itu pada sisi lain kapasitas sosial ekonominya sangat terbatas.

Berdasarkan hasil skoring ternyata pada Kabupaten Labuhan Batu terdapat 3 kecamatan yang perlu diprioritaskan pengembangannya yaitu kecamatan Merbau, Kualuh Hulu dan Torgamba. Untuk wilayah Kabupaten Asahan adalah Kecamatan Sei Kepayang, Meranti, dan Air Joman. Kabupaten Tapanuli Selatan kecamatan yang perlu diprioritaskan adalah Kecamatan Sosa, Padang Bolak, dan Halongonan; wilayah Kabupaten Mandailing Natal adalah Batang Natal, Penyabungan, dan Batahan; sedangkan untuk Kabupaten Tapanuli Tengah adalah Kecamatan Lumut, Sorkam, Barus, dan Manduamas.

2. Arahan Program Pengembangan PKS Supermini

Untuk mendorong pengembangan PKS Supermini dalam rangka merealisasikan dan memberdayakan perekonomian rakyat maka program-progran yang mendesak untuk dilakukan adalah: a. Program pengembangan kemampuan dan

pelatihan bagi para petani atau kelompok tani dengan materi yang berkenaan dengan: • Pengembangan kelembagaan petani (seperti

kelompok tani sawit dan koperasi). • Tahapan pembangunan PKS Supermini,

meliputi antara lain pengkajian lapangan dan pemilihan lokasi, pembuatan desain dan perhitungan kapasitas dan rendemen, pembebasan lahan, ketersediaan dana, tender, negosiasi, pembangunan fisik, uji coba, perizinan, faktor-faktor nonteknis, penggunaan/pemeliharaan alat dan mesin, pengangkutan, sistem evaluasi kinerja, dan lain sebagainya.

b. Program pengembangan kemampuan perangkat kelembagaan penunjang dan pemerintahan, dengan materi berkenaan dengan evaluasi kinerja petani kelapa sawit dan pabriknya, sistem perizinan, sistem insentif, aspek ketataruangan, aspek lingkungan, penyusunan produk peraturan yang sesuai, sistem perpajakan/retribusi, pengembangan infrastruktur pendukung, dan sebagainya.

c. Pengembangan kerjasama antara Pemerintah Daerah, petani dan perguruan tinggi dalam rangka pengembangan PKS Supermini beserta

pembangunan pranata sosial-ekonomi pendukungnya.

d. Penetapan prosedur perizinan yang sesuai. Hal ini sangat perlu mengingat sampai saat ini konsep perizinan untuk PKS Supermini ini masih terus menjadi bahan diskusi pada banyak kalangan. Masalahnya adalah bagaimana menciptakan prosedur perizinan yang tidak bertele-tele dan tidak sulit dijangkau oleh petani atau kelompok tani. Dengan demikian, hal-hal yang perlu menjadi pertimbangan pokok dalam penentuan prosedur perizinan antara lain: • PKS Supermini lebih berorientasi kepada

skala usaha kecil, sehingga penetapan prosedur perizinan harus benar-benar didasari semangat kerakyatan.

• Diperkirakan akan terjadi peningkatan pesat jumlah PKS Supermini di berbagai daerah dalam waktu yang relatif singkat, sehingga Pemerintah Daerah perlu segera menetapkan prosedur perizinan beserta perangkat pendukungnya.

• PKS Supermini bersifat ramah lingkungan sehingga prasyarat analisis dampak lingkungan yang memerlukan biaya tinggi menjadi kurang relevan.

e. Pengembangan koperasi-koperasi agribisnis dan PKS-PKS Supermini pada wilayah-wilayah non prioritas. Pengembangan ini mengacu pada seluruh hasil perbaikan sistem yang telah disempurnakan berdasarkan hasil evaluasi terhadap kinerja PKS-PKS Supermini di wilayah prioritas.

PENUTUP

Berdasarkan hasil kajian di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan PKS Supermini pada 5 kabupaten (Labuhan Batu, Asahan, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, dan Tapanuli Tengah) diperkirakan akan dapat meningkatkan pendapatan petani kelapa sawit.

Agar pengembangan tersebut dapat dilaksanakan dengan segera dan benar-benar mencapai sasarannya, maka dibutuhkan spirit kerakyatan dan kerjasama antarsemua pihak yang terkait, pelatihan teknis bagi para petani, pengembangan kelembagaan petani (seperti kelompok tani sawit dan koperasi agribisnis), penyederhanaan prosedur perizinan pengembangan, pengaturan perpajakan/retribusi, dan pengembangan infrastruktur pendukung.

Page 144: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

140

DAFTAR PUSTAKA

Apple, J.M. 1980. Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan. Bandung: Penerbit ITB.

Deptan. 2000. Program Pengembangan Unit

Pengolahan Kelapa Sawit Skala Kecil (Mini Plant) Dalam Rangka Penyelamatan Hasil Panen Kebun Kelapa Sawit Rakyat Swadaya. Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Jakarta: Departemen Pertanian.

Dinas Perkebunan Propinsi Sumatera Utara. 2001.

Data Statistik Perkebunan Sumatera Utara Tahun 2001. Medan: Bagian Statistik Dinas Perkebunan Propinsi Sumatera Utara.

Dinas Perkebunan Propinsi Sumatera Utara. 2002.

Rencana Strategis Dinas Perkebunan Propinsi Sumatera Utara.

PPKS. 2000. Pemberdayaan Pekebun Kecil,

Perkebunan Besar Skala Kecil, dan Menengah Melalui Pabrik Kelapa Sawit Supermini. Medan: PPKS.

Smith, David. 1980. Industrial Location, An

Economic Geographical Analysis. New York: John Wiley and Sons Inc.

Page 145: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

141

ANALISIS PEMBUATAN CETAKAN PADA TEKNIK PENGECORAN LOGAM

M. Ichwan Nasution Staf Pengajar Teknik Industri Fakultas Teknik USU

Abstrak: Pada umumnya cara pembuatan cetakan (moulding) di Indonesia masih dilakukan dengan tangan (hand moulding), termasuk untuk pekerjaan-pekerjaan produksi yang seharusnya dapat dikerjakan dengan mesin cetak (moulding machine) dan secara serial (work in line). Kata kunci : Metalurgi, metalurgi pengecoran, cetakan. Abstract: In general, the making of moulding in Indonesia still uses hand moulding, including for the production works which should be done with moulding machine and with work in line. Key words: Metalurgy, foundry metallurgy, moulding. Pendahuluan Pembuatan cetakan yang paling sederhana adalah cetakan pasir (sand moulding) yang dapat dilakukan dengan tangan, cetakan tangan (hand moulding), dan dapat dengan mesin cetak (moulding machine). Penggunaan mesin cetak oleh beberapa pabrik pengecoran dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas cetakan. Namun disebabkan oleh beberapa faktor lainnya maka usaha peningkatan efisiensi dan kualitas cetakan belum menanjak pesat. Begitu pula halnya untuk teknik pembuatan cetakan lainnya seperti cetakan minyak (shell moulding) dan CO2 proses. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah bahan baku seperti bentonite, waterglass, mesin yang diperlukan dan lain sebagainya. Untuk pengembangan cara membuat cetakan pabrik pengecoran logam yang dapat dikategorikan besar adalah untuk mengecor besi cor kelabu (gray cast iron) yang beratnya berkisar 100-500kg cetakannya pada umumnya dipakai komposisi dry sand seperti pada tabel 1. Tabel 1.

No. Bahan (%)

Dry Sand (%)

Green sand (%)

Shell Mould (%)

1. Pasir biasa

91 86 -

2. Glotin - 5 - 3. Gula

tetes 4 4 -

4. Pasir Biliton

- - 95

5. Bakelit - - 5 6. Serbuk

Gargaji 5 5 -

Pembahasan

1. Alat-alat yang digunakan (Sand Preparation Equipment)

Untuk mendapatkan pasir cetakan yang memenuhi syarat-syarat teknis pada umumnya belum terlaksana dengan baik, belum memenuhi syarat minimum dari peralatan yang digunakan, hanya pada beberapa pabrik pengecoran yang cukup besar yang menggunakan alat-alat pasir cetak, seperti:

1. Mix muller 2. Sifter (screenerator) 3. Magnetic separator 4. Disintegrator 5. Aerator

2. Teknik pembuatan cetakan (mould making

technique) a. Pembuatan cetakan dengan tangan (hand

mould). Pembuatan cetakan dengan tangan

adalah paling banyak digunakan di Indonesia. Pneumatic rammer untuk mempercepat hand moulding telah digunakan oleh beberapa pabrik pengecoran tetapi belum secara luas. Di samping itu beberapa pabrik pengecoran pembuatan cetakan dengan memakai mesin cetak (moulding machine) khususnya untuk seri produksi telah dilaksanakan pembuatan cetakan dengan mesin cetak. Mesin cetak yang banyak dipakai adalah volting machine dan jolt squeeze machine. Di samping itu, untuk pabrik pengecoran yang besar telah pula membuat cetakan dengan proses vakum (vacuum process moulding). b. Teknik Pembuatan Cetakan lainnya.

1 Shell Moulding Shell moulding karena permintaan yang kurang, proses ini tidak digunakan lagi (FOMA tipe Shell moulding buatan Jerman).

Page 146: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6 No. 2 April 2005

142

2 CO2 Moulding Proses ini secara komersil telah dipakai di beberapa pabrik pengecoran. Hal ini disebabkan oleh makin meningkatnya permintaan hasil produksi dari cetakan yang memakai proses CO2.

3 Cetakan lilin (wax process) sama halnya dengan shell moulding belum berkembang.

3. Pelaksanaan Praktis

a. Cara tradisional Pembuatan cetakan dengan tangan pada umumnya dilaksanakan oleh pembuat cetakan yang pelaksanaannya kurang efisien, hal ini disebabkan oleh karena fasilitas dan kesempatan pelatihan yang dapat dikatakan tidak ada, maka akibatnya adalah banyak hasil pengecorannya rusak (casting defect) yang disebabkan oleh kesalahan teknik pencetakan yang menyebabkan kenaikan ongkos produksi dan mengakibatkan pula hasil produksi pengecorannya tidak dapat bersaing. Hal yang menguntungkan dari cetakan tangan adalah modal investasi yang rendah.

b. Cara baru Cara baru dalam pembuatan cetakan adalah seperti penggunaan shell moulding dan proses CO2. Hal ini dilakukan untuk mencapai hasil yang optimal di mana hasil produksinya akan dapat bersaing dan memenuhi persyaratan teknis (technical requirement) serta produksi yang seragam (uniformity of product). Kelemahan yang masih terdapat secara umum adalah: 1. Pengolahan bahan baku yang

kurang sempurna seperti pengontrolan pasir (tidak adanya klasifikasi pasir silica).

2. Kontrol kualitas untuk cetakan sangat terbatas karena tidak adanya alat-alat pengaji untuk pasir dan cetakan seperti permeability, green compression dan sebagainya.

3. Jarangnya diadakan upgrading dan vocational training untuk semua tingkat di pabrik yang menyebabkan tertinggalnya teknologi baru dalam pembuatan cetakan.

Kesimpulan

1. Untuk mempertinggi mutu dan efisiensi, dalam pembuatan pasir cetak perlu disosialisasikan

penggunaan cetakan baru seperti penggunaan moulding machine.

2. Mempromosikan industri yang membuat dan mengolah bahan baku yang diperlukan seperti klasifikasi pasir silica (silica sand), tanah liat, waterglass, CO2, dan resin-resin.

3. Meningkatkan skill dan know how bagi semua tingkat karyawan, kesempatan untuk mengikuti vocational training dan in plant training.

Daftar Pustaka

Heine, R.W.C.S. 1987. Principle of Metal Casting. New York: Mc Graw Hill Book Campany.

Surdia, T.K Chijiwa. 1986. Teknik Pengecoran Logam. Jakarta: PT Praduya Paramita.

Anonum. 1993. Fomudry Hand Book American Foundrymenis Social Fy.USA. (1992)

Flimn R.A. 1992. Fundamentals Of Metal Casting. London: Addisonn Wesley Publishing Co Inc.

Kazuot. 1978. Moulding Sand Test. Japan: Industrial Research Institute, Aichi Prof.

Kenji C, Surdia T. Teknik Pengecoran Logam, 5th ed. Jakarta: Pradunya Paranita.

Ninomiya, M. 1978. Foundry Sand and Moulding Processes. Nagoya: Cov. Industrial Research Institute.

Page 147: 2 Sistem Teknik Industri Vol_ 6 No_ 2 April 2005

143

Volume 6 No. 2 April 2005

SURAT PENGANTAR No. /JO5.1.31/TI/STI/2004-

Kepada Yth : ……………………………….. ……………………………….. di Tempat

No. Isi Surat / Barang Banyaknya Keterangan 1. JURNAL SISTEM TEKNIK

INDUSTRI Jurnal Ilmiah Terakreditas Vol. 6 No. 2 April 2005

1 (satu) eksemplar

Disampaikan dengan hormat sebagai tukar informasi ilmiah, mohon lembar di bawah ini dikirim kembali

Medan, April 2005

Pemimpin Umum,

Ir.H.A.Jabbar M.Rambe, M.Eng NIP. 130 517 496

TANDA TERIMA Telah diterima dari : Redaksi Jurnal Sistem Teknik Industri Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155 Berupa : JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI Vol. 5 No. 4, Oktober 2004 Tanggal diterima : ………………………………………………………………………… Nama : ………………………………………………………………………… Jabatan : ………………………………………………………………………… Institusi : ………………………………………………………………………… Alamat : ………………………………………………………………………… Telepon : ………………………………………………………………………… Tanda tangan/cap : …………………………………………………………………………

JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI Jurnal Keilmuan dan Penggunaan Terhadap Sistem Teknik Industri ISSN 1411-5247 Terakreditasi No. 52/DIKTI/KEP/2002 Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155 Homepage: http://www.geocities.com/jurnalsti_usu E-mail: [email protected]