Upload
anies-zhee-fitriatunnisa
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004
1/60
61
Pemberdayaan KomunitaS D A F T A R I S I
Ivan Razali Strategi Pembangunan Masyarakat Pesisir dan Laut... 61–68
Amir Nadapdap The Plantation Land Conflicts in North Sumatra ........ 69–73
Hairani Siregar Analisis Kehidupan Sosial Ekonomi Pengemis diPerempatan Jalan di Medan.........................................
74–80
Rr.Lita H.Wulandari &
Fasti RolaKonsep Diri dan Motivasi Berprestasi Remaja
Penghuni Panti Asuhan................................................
81–86
Rusni Menyiasati Membanjirnya Program Anak-anak di
Televisi ........................................................................
87–91
Tuti AtikaBentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak danDampaknya terhadap Anak ......................................... 92–99
Mastauli Siregar Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyalahguna-
an Narkotik pada Remaja: Studi Deskriptif di Panti
Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan.............................
100–105
Dewi Kurniawati Kekerasan dan Pelecehan Perempuan di Media .......... 106–111
Matias Siagian Kondisi Sosial Ekonomi dan Partisipasi Ekonomi
Isteri Keluarga Nelayan...............................................
112– 118
PK (JIKS) Vol. 3 No. 2 Hal. 61–118 Medan, Mei 2004 ISSN 1412-6133
JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
ISSN 1412-6133
Volume 3 Nomor 2 Mei 2004
Hal. 61 – 118
8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004
2/60
61
STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
PESISIR DAN LAUT
Ivan Razali
Abstract
There are two contradictory facts about seashore and ocean community. The first,
seashore and ocean natural have rich natural resources. The second, seashore and
ocean community are repressed of serious poverty. The national development of
Indonesia must gives priority to seashore and ocean development program. It means,
national development must pay attention to using of seashore and ocean resources and
how to empower the seashore and ocean community, pass through seashore and ocean
sector approach, by using community-based fishing system management is
appropriate. By this policy, seashore and ocean resources can used to increase the
community of seashore and ocean social welfare.
Keywords: poverty, natural resources, community based
Pendahuluan
Negara Indonesia terkenal memiliki
potensi kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini
sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai
negara kepulauan (archipelagic state), yang
memiliki 17.508 gugusan pulau-pulau. Potensi
sumberdaya pesisir di Indonesia dapat
digolongkan sebagai kekayaan alam yang
dapat diperbaharui (renewable resources),
tidak dapat diperbaharui (non-renewable
resources), dan berbagai macam jasa
lingkungan (environmental service).
Kekayaan alam Indonesia tersebut
dibuktikan dengan berbagai ragam sumberdaya
hayati pesisir yang penting seperti hutan
mangrove, terumbu karang, padang lamun dan
rumput laut, dan perikanan.
Hutan mangrove misalnya adalah
daerah/zona yang unik, yang merupakan
peralihan antara komponen laut dan darat,yang berisi vegetasi laut dan perikanan
(pesisir) yang tumbuh di daerah pantai dan
sekitar muara sungai (selain dari formasi hutan
pantai) yang selalu atau secara teratur
digenangi oleh air laut serta dipengaruhi oleh
pasang surut. Vegetasi laut dan perikanan
(pesisir) mangrove dicirikan oleh jenis-jenis
tanaman bakau (rhizopora spp.), api-api
(avicenia spp.), prepat ( sonneratia spp.) dan
tinjang (bruguiera spp.)
Data luas hutan mangrove di dunia ini
sekitar 15,9 juta ha, sedangkan di Indonesiaterdapat 4,25 juta ha (Dahuri, 1997) yang
tersebar di seluruh wilayah pantai di Indonesia
(Wartapura, 1991). Menurut data pada tahun
1993, di Sumatera terdapat hutan mangrove
seluas 856.134 ha (Dahuri, 1997). Dari luas
tersebut di Propinsi Sumatera Utara terdapat
60.000 ha (Wartapura, 1991, Dartius, 1988).
Hutan mangrove di Sumatera terutama
tersebar di Pantai Timur, disebabkan karena:
1) Pantai Timur mempunyai dataran lebih
rendah dibanding pantai Barat Sumatera. 2)
banyak sungai-sungai besar di Sumatera yang
mengalir ke Pantai Timur. Kondisi ini
mendorong pertumbuhan mangrove di muara
sungai makin subur dan makin luas, karena
banyak endapan yang terbawa arus sungai
(Dahuri, 1997).
Selanjutnya potensi laut yang penting
lainnya adalah ekosistem terumbu karang yaitu
ekosistem yang khas untuk daerah tropis.
Terumbu karang merupakan keunikan di
antara asosiasi atau komunitas lautan yangseluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis.
Terumbu adalah endapan-endapan masif yang
penting dari kalsium karbonat yang terutama
dihasilkan oleh karang ( filum Cnidaria, klas
Anthozoa, ordo Medreporaria = Scleractinia)
dengan sedikit tambahan dari alga berkapur
dan organisme-organisme lain yang
mengeluarkan kalsium karbonat. (Nybakken,
1992).
Di Indonesia, ekosistem terumbu karang
menempati kira-kira 7.500 km2
yang
terbentang sepanjang 17.500 km dengan potensi yang dapat dimanfaatkan seperti
Ivan Razali adalah Dosen Departemen Administrasi Negara FISIP USU
8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004
3/60
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2004, Volume 3, Nomor 2, Halaman 61 - 68
62
berbagai jenis ikan hias, lobster, penyu, kima,
teripang, dan lain-lain. Terumbu karang juga
dimanfaatkan untuk bahan bangunan,
pembuatan jalan, pelabuhan udara dan bahan
baku industri pupuk. (Dahuri, 2000).
Potensi laut yang penting lainnya adalah
Padang Lamun ( seagrass), yang merupakan
komponen utama yang dominan di lingkungan
pesisir. Biasanya berkembang pada perairan
dangkal, agak berpasir dan berasosiasi dengan
laut dan perikanan (pesisir) bakau dan terumbu
karang. Komunis padang lamun di Indonesia
merupakan terluas.
Rumput laut berbeda dengan padang
lamun, dimana komunitas rumput laut
berkembang pada substrat yang keras sebagai
tempat melekat. Jadi mereka mampu
mendaurulangkan nutrien kembali ke dalamekosistem agar tidak terperangkap di dasar
laut. (Nybakken, 1992). Beberapa jenis
rumput laut dijadikan makanan ternak, bahan
baku obat-obatan, agar-agar dan lain-lain.
Dari 555 jenis rumput laut di Indonesia, sekitar
4 jenis yang telah dikomersilkan yaitu
Euchema, Gracillaria, Gelidium, dan
Sargasum. Potensi rumput laut di Indonesia
dapat dilihat dari potensi lahan budidaya
rumput laut yang tersebar di 26 propinsi di
Indonesia. Potensi ini secara keseluruhan
mencakup areal seluas 26.700 ha dengan potensi produksi sebesar 482.400 ton per
tahun. (Dahuri, 2000).
Sektor terpenting lainnya di daerah
peisisr dan laut adalah sektor perikanan yang
merupakan suatu sektor penting karena dengan
peningkatan ekspor perikanan, sesuai dengan
tujuan pembangunan dalam sektor perikanan
untuk dapat meningkatkan kesejahteraan dan
pendapatan masyarakat pesisir dan melepaskan
Indonesia dari krisis ekonomi saat ini. Di
sektor perikanan terkandung kekayaan laut
yang sangat beragam, antara lain dari jenis- jenis ikan pelagis (cakalang, tuna, layar) dan
jenis ikan dumersal (kakap, kerapu). Selain
itu, terdapat juga biota lain yang dapat
ditemukan di seluruh pesisir di Indonesia,
seperti kepiting, udang, teripang, kerang dan
lain-lain. Pemanfaatan dan pengelolaan jenis-
jenis biota tersebut, kadang-kadang kurang
begitu dikenal ataupun belum dimanfaatkan
secara optimal untuk meningkatkan
perekonomian nelayan Indonesia dan sebagai
salah satu sumberdaya penting yang dapat
meningkatkan devisa negara.
Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya
Masyarakat Pesisir
Besarnya potensi kelautan tersebut
ternyata tidak diikuti oleh kesejahteraan
masyarakat nelayan. Hal ini terlihat dimana
kondisi sosial ekonomi nelayan kita sangat
jauh berbeda dengan potensi sumberdaya
alamnya. Hal ini dibuktikan dengan masih
rendahnya sumbangan sektor kelautan selama
Pelita VI terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) Nasional yaitu 12,1% dengan laju
pertumbuhan 3,8% jauh di bawah laju
pertumbuhan rata-rata seluruh sektor sebesar
7,4% (Waspada, 18 Maret 2000).
Nelayan adalah suatu fenomena sosial
yang sampai saat ini masih merupakan tema
yang sangat menarik untuk didiskusikan.Membicarakan nelayan hampir pasti isu yang
selalu muncul adalah masyarakat yang
marjinal, miskin dan menjadi sasaran
eksploitasi penguasa baik secara ekonomi
maupun politik.
Kemiskinan yang selalu menjadi “trade
mark” bagi nelayan dalam beberapa hal dapat
dibenarkan dengan beberapa fakta seperti
kondisi pemukiman yang kumuh, tingkat
pendapatan dan pendidikan yang rendah,
rentannya mereka terhadap perubahan-
perubahan sosial, politik, dan ekonomi yangmelanda, dan ketidakberdayaan mereka
terhadap intervensi pemodal, dan penguasa
yang datang.
Hasil penelitian Mubyarto dkk (1984)
menunjukkan bahwa masyarakat nelayan di
daerah Jepara sebagian berasal dari golongan
sedang, miskin, dan miskin sekali. Data dari
Kantor Statistik Propinsi Sumatera Utara juga
menunjukkan bahwa hampir 50% penduduk
Desa Pantai Sumatera Utara berpendapatan 25
- 149 ribu rupiah perbulan (BPS, 1989).
Rata-rata pendapatan perkapita nelayantersebut tidak lebih 15 ribu/bulan. Padahal
pendapatan perkapita penduduk Sumatera
Utara rata-rata 37.267 rupiah/ bulan (BPS,
1989).
Beberapa tulisan mengenai nelayan yang
menggambarkan tentang kemiskinan/ kondisi
ekonomi nelayan seperti berikut ini. Tulisan
Mubyarto (1984) misalnya, menganalisis
perekonomian masyarakat nelayan miskin di
Jepara. Menurut Mubyarto dkk, kemiskinan
nelayan lebih banyak disebabkan oleh adanya
tekanan struktur yaitu nelayan terbagi atas
kelompok kaya dan kaya sekali di satu pihak,
8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004
4/60
Razali, Strategi Pemberdayaan…
63
miskin dan miskin sekali di satu pihak.
Penelitian ini menunjukkan adanya
dominasi/eksploitasi dari nelayan kaya
terhadap nelayan miskin. Hampir sama
dengan penelitian di atas selanjutnya Mubyarto
dan Sutrisno (1988) juga melihat kemiskinan
nelayan di Kepulauan Riau. Menurut
Mubyarto dkk, kemiskinan nelayan lebih
banyak disebabkan oleh adanya tekanan
struktur, yaitu nelayan kaya/penguasa yang
menekan nelayan miskin.
Hampir sama dengan asumsi yang
dibangun oleh Mubyarto tentang pengaruh
struktur, Resusun (1985) juga menemukan data
bahwa nelayan di Pulau Sembilan, Kabupaten
Sinjai, Sulawesi Selatan, ada satu kelompok
nelayan yang hidupnya tidak berkecukupan,
yaitu nelayan yang tidak punya modal (nelayankecil), dan mereka selalu diekspoitasi oleh
nelayan yang punya modal ( punggawa) dan
pedagang ( pa’bilolo) yaitu sawi bagang atau
Pa’bagang atau pembantu utama punggawa
dalam menangani kegiatan operasi
penangkapan ikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Resusun
di atas juga menunjukkan adanya struktur
hubungan sosial yang khas pada masyarakat
nelayan. Hubungan itu adalah adanya ketidak
seimbangan antara yang mempunyai modal
usaha dan para pekerjanya. Hubungan ituadalah antara punggawasawi/pa’bagang yang
bersifat timbal balik (reprocity). Walaupun
sawi perlu sang punggawa sebagai sumber
lapangan kerja, punggawa juga memerlukan
tenaga sawi. Seorang punggawa akan berusaha
supaya sawi yang dipercayai menetap
diusahanya. Akibatnya terjadi hubungan yang
selalu merugikan sawi. Karena seringkali
kerelaan punggawa untuk meminjamkan uang
kepada sawi berdasarkan motivasi agar sawi
tetap berada di lingkaran setan. Hutang yang
tidak bisa dilunasi seringkali harus dibalasdengan jasa yang sangat berlebihan.
Hal ini terlihat dalam penelitian yang
dilakukan oleh Rizal (1985) di Desa Bari,
Kabupaten Bulukumba menyebutkan bahwa
seorang istri sawi mengerjakan apa saja di
rumah isteri punggawa untuk membalas jasa
punggwa membantu suaminya.
Sejalan dengan hal di atas di Propinsi
Sumatera Utara hasil penelitian-penelitian
mengenai nelayan cenderung juga
menunjukkan kondisi yang sama yaitu nelayan
hidup dalam kemiskinan. Misalnya penelitian
yang dilakukan oleh Zulkifli (1989) di Desa
Bagan Deli, Kecamatan Medan Labuhan, yang
menyebutkan akibat struktur patron dan klien
antara pemborong dan nelayan, maka nelayan
Desa Bagan Deli menjadi miskin.
Harahap (1992,1993,1994,) telah
melakukan serangkaian penelitian yang
berkaitan dengan kemiskinan nelayan di tiga
desa di Pantai Timur Sumatera Utara. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa
penyebab kemiskinan nelayan adalah faktor
budaya dan rusaknya sumberdaya alam
khususnya daerah laut dan perikanan (pesisir)
mangrove yang telah diubah menjadi tambak
udang. Selain faktor-faktor di atas yang
mnyebabkan nelayan miskin juga adanya
konflik nelayan tradisional terhadap pemilik
alat-alat tangkap modren seperti pukat
harimau. Konflik itu terjadi karena pukatharimau melakukan penangkapan ikan di zona
penangkapan nelayan tradisional. Salah satu
penyebab konflik adalah adanya penabrakan
nelayan oleh pukat harimau. Menurut catatan
Suhendra (1998) ada sampai 37 kejadian
nelayan ditabrak pukat harimau dengan korban
meninggal 5 orang, hilang 31 orang , sejak
tahun 1993 sampai Juli 1998.
Berbicara kondisi sosial budaya
masyarakat nelayan di Sumatera Utara
khususnya berasal dari etnis Melayu adalah
berbicara mengenai kemiskinan nelayanMelayu yang merupakan salah satu pribumi
(host population) di Sumatera Utara yang
seharusnya dominan, tetapi ternyata juga
mengalami pasang surut kehidupan ekonomi,
politik dan kebudayaan terutama setelah
penyerahan kedaulatan. Menurut catatan
sampai sekarang belum juga bangkit dari
ketenggelamannya dan masih belum ada usaha
untuk menariknya ke luar dari pertapaannya
yang cukup lama.
Sudah barang tentu etnis Melayu
Sumatera Timur ini pernah mempunyai etoskerja yang tinggi. Namun melihat keadaan dan
kondisi suku-bangsa ini pada masa ini
dibanding dengan suku-suku bangsa lain sadar
atau tidak sadar terus berkompetisi, terlihat
dalam kenyataan etnis Melayu terus tertinggal.
Menurut Pelly (1987) kemunduran etos kerja
pada suku-bangsa Melayu harus dilihat dari
proses sejarah sekalipun ironis.
Di satu pihak proses sejarah menun-
jukkan betapa kemakmuran orang Melayu di
zaman kolonial telah merosotkan tanggung
jawab bangsawan Melayu terhadap masa
depan orang Melayu itu sendiri. Di lain pihak
8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004
5/60
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2004, Volume 3, Nomor 2, Halaman 61 - 68
64
kemakmuran itu menaikkan status mereka.
Pelly (1987) juga menyatakan kemunduran
yang mematahkan kebanggaan Melayu itu
adalah karena perubahan ekologi. Perubahan
ekologi akibat migrasi dari berbagai suku-
bangsa dan ras ke Sumatera Timur telah
merombak jumlah dan komposisi penduduk
dan menyebabkan orang Melayu menjadi
kelompok minoritas di negerinya sendiri.
Perubahan ini seumpama air bah yang
digerakkan oleh kekuatan kapitalisme kolonial
yang secara paksa melanda kehidupan sosial
budaya masyarakat Melayu.
Setidaknya ada dua gelombang migrasi
yang terjadi pada penghujung abad ke 19 dan
permulaan abad ke 20 ke Sumatera Timur.
Penguasa Kolonial Belanda membuka
perkebunan yang pada mulanya mendatangkanorang Cina dan Jawa sebagai kuli kontrak yang
merupakan gelombang migrasi pertama. Orang
Cina bekas kuli kebon ini keluar dari
perkebunan menetap di kota-kota Sumatera
Timur, seperti Medan, Pematang Siantar, dan
Tanjung Balai mengembangkan lapangan
perdagangan bersama dengan kelompok etnis
lain, seperti Minangkabau, Mandailing dan
Aceh. Bagian terbesar dari mereka merupakan
migran gelombang kedua, yang tujuannya
selain berdagang juga banyak untuk menjadi
pekerja di kantor, sebagai guru atau ulama.Akibat migrasi yang terjadi dalam dua
gelombang itu Orang Melayu kelihatan
menjadi minoritas dalam jumlah populasi,
walaupun kedudukan mereka dalam bidang
politik dan budaya masih tetap dominan.
Namun akhirnya perubahan demografis diikuti
perubahan ekologi yang paling mendasar yaitu
tanah-tanah Orang Melayu dijadikan
perkebunan. Dengan demikian perubahan
terjadi pada sistem ekonomi rakyat walaupun
kepada Sultan diberikan royalti dan ganti rugi.
Orang Melayu kehilangan tradisimaritimnya karena ketiadaan komoditi. Tradisi
pertanian komoditi eksport dan tradisi maritim
adalah lambang etos kerja Orang Melayu.
Sebagai penunggu tanah bekas, menanti
panen tembakau untuk menanam pala dan
palawija telah menanamkan kebiasaan hidup
santai, karena ketergantungan kepada bantuan
Sultan sebagai kebijakan ( policy) pemerintah
Kolonial Belanda. Sementara perkembangan
kota menuntut pekerjaan baru seperti
pertukangan, perdagangan, jasa, industri dan
kepegawaian.
Selain tidak tertarik dan kalah bersaing
dengan suku-bangsa lain, pendidikan yang
rendah akhirnya dalam okupasi baru itu
Orang Melayu tidak kebagian. Muncullah
tradisi “menepi pada suku-bangsa Melayu itu“.
Seperti diketahui kebudayaan suatu
masyarakat yang faktornya sangat ditentukan
oleh lingkungan fisik dan sosial budaya
memberikan bentuk tentang apa dan
bagaimana kehidupan yang memuaskan.
Kehidupan “di tengah” tidak lagi memberi
kepuasan kepada mereka akibat perubahan
lingkungan tadi. Akhirnya hidup di tepi pantai
lebih memberi kepuasan. Namun laut tidak
menggugah lagi dan tidak dapat meningkatkan
kehidupan yang lebih baik. Kehidupan
diterima dengan pasrah dan mereka tidak dapat
ke luar dari lingkaran setan yang menjeratmereka dalam kehidupan miskin yang
mendasar.
Pendekatan Pembangunan Sektor Kelautan
Pengalaman krisis ekonomi yang
melanda Indonesia menampilkan sisi lain,
bahwa kebijakan pertumbuhan ekonomi
dengan mengambil langkah pembangunan
industri melalui subsitusi impor ternyata
membutuhkan biaya yang mahal dan
ketergantungan yang besar industri Indonesia
terhadap investasi, teknologi, bahan baku,
bahkan ketergantungan politik kepada negara-
negara industri maju. Pergeseran kebijakan
politik yang melawan arus atau kepentingan
negara-negara maju, cenderung ditanggapi
oleh negara-negara maju dengan
memanfaatkan ketergantungan itu untuk
menekan atau memaksakan agenda-agenda
kepentingannya.
Oleh karena itu, pemerintah harus
menggeser strategi pertumbuhan ekonomi dan
proses industrialisasi yang berbasis padaindustri subsitusi impor (berbahan baku impor)
ke proses industrialisasi yang lebih
mengedepankan sektor-sektor yang berbasis
pada kekuatan sumberdaya alam dalam negeri.
Sektor kelautan dan perikanan
menyumbang secara signifikan sekitar 1,87 %
pada Produk Domestik Bruto sampai kuartal
III tahun 1998. Terdepresinya rupiah terhadap
dolar ke titik terendah dan berdampak pada
merosotnya kontribusi ekonomi sektor-sektor
lain, justru meningkatkan kontribusi ekspor
komoditi perikanan pada devisa negara. Haltersebut dicapai karena di sektor perikanan
8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004
6/60
Razali, Strategi Pemberdayaan…
65
pada faktor produksinya menggunakan mata
uang rupiah sementara transaksi penjualan ke
pasar dunia menggunakan nilai dolar.
Sementara itu tingkat kesejahteraan para
pelaku perikanan (nelayan) pada saat ini masih
di bawah sektor-sektor lain. Menurut sumber
terbaru dari BPS, 1998 jumlah masyarakat
miskin di Indonesia mencapai 49.000.000 jiwa,
dari data tersebut sekitar 60 % nya merupakan
masyarakat pesisir.
Agar kita dapat memanfaatkan
sumberdaya perikanan sebagaimana yang kita
harapkan, maka pertama yang harus kita
lakukan adalah menyatukan kesamaaan visi
pembangunan perikanan, yaitu “suatu
pembangunan perikanan yang dapat
memanfaatkan sumberdaya ikan beserta
ekosistemnya secara optimal bagikesejahteraan dan kemajuan bangsa Indonesia,
terutama nelayan dan petani ikan secara
berkelanjutan”.
Untuk mewujudkan visi pembangunan
perikanan tersebut di dalam menghadapi
segenap peluang dan tantangan milenium ke-3
serta untuk menjadikan sektor perikanan
menjadi sektor andalan (leading sector),
terdapat tiga syarat mutlak yang harus
terpenuhi. Pertama, sektor perikanan harus
mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi
secara nasional (makro) melalui peningkatandevisa, peningkatan pendapatan rata-rata para
pelakunya serta mampu meningkatkan
sumbangannya terhadap Produk Domestik
Bruto. Kedua, sektor perikanan harus mampu
memberikan keuntungan secara signifikan
kepada para pelakunya dengan cara
mengangkat tingkat kesejahteraan para pelaku
perikanan yang pada saat ini masih sangat
tertinggal dibanding dengan sektor-sektor lain.
Ketiga, pembangunan perikanan yang akan
dilaksanakan selain dapat menguntungkan
secara ekonomi juga harus ramah secaraekologis, artinya pembangunan harus memper-
hatikan kelestarian dan daya dukung
lingkungan baik terhadap sumberdaya
perikanan itu sendiri maupun ekosistem
lainnya.
Dalam kaitan pemberdayaan masyarakat
nelayan beberapa faktor harus diperhatikan,
misalnya kondisi sosial ekonomi dan budaya
masyarakat nelayan. Untuk alternatif yang
diberikan adalah pemberdayaan masyarakat
nelayan dengan kerangka pengelolaan
sumberdaya kelautan berbasis komunitas
(Community-Based Fishing System
Management ).
Community-Based Fishing System
Management
Pengelolaan laut dan perikanan (pesisir)
yang telah dilakukan negara belum
sepenuhnya mampu melindungi laut dan
perikanan (pesisir) dari eksploitasi manusia,
baik itu dari pengusaha maupun dari
masyarakat sendiri. Bersamaan dengan itu,
partisipasi masyarakat belum secara penuh
terlibat dalam pengelolaan laut dan perikanan
(pesisir). Dengan perkataan lain, pengelolaan
laut dan perikanan (pesisir) dengan perspektif
produksi, efisiensi, sosial, ekonomi dan
lingkungan harus menjadi komitmen dantujuan dari pengelolaan laut dan perikanan
(pesisir). Artinya pengelolaan sumberdaya laut
dan perikanan (pesisir) yang secara turun
temurun dan berkelanjutan telah dipraktekkan
dan dikembangkan oleh masyarakat laut dan
pesisir harus digunakan untuk kesejahteraan
mereka.
Namun konsep sistem laut dan perikanan
(pesisir) kerakyatan pemerintah di atas,
mengabaikan sejarah (ahistoris). Karena
mengabaikan secara hukum keberadaan dan
keterampilan rakyat/ penduduk yang bermukim di dalam dan sekitar laut dan
perikanan (pesisir). Posisi rakyat dalam
berhadapan dengan pemerintah dan pengusaha
sangat lemah. Karena pelestarian laut dan
perikanan (pesisir) (manfaat ekologis) hanya
dimungkinkan bila rakyat dilibatkan secara
maksimal sehingga tingkat kesejahteraan
mereka semakin baik (manfaat ekonomi).
Banyak manfaat yang diperoleh dengan pola
pengembangan Community Based Fishing
System Management , antara lain:
1.
Memelihara fungsi lingkungan denganmemanfaatkan sumberdaya di
dalamnya secara lestari (sustainabili-
ty).
2.
Meningkatkan pendapatan (income
generating ) anggota komunitas yang
taat pada prinsip pemerataan dan
keadilan sosial (equity and social
justice).
3.
Meniingkatkan partisipasi politik
masyarakat lokal yang dilandasi pada
adanya keswadayaan ekonomi dan
politik ( self reliance).
8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004
7/60
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2004, Volume 3, Nomor 2, Halaman 61 - 68
66
Selain manfaat di atas, CBFSM juga
mempunyai manfaat secara ideologis yaitu:
1.
Pembangunan berpusat pada masya-
rakat lokal, tidak lagi semata berbasis
pada negara (pemerintah).
2.
Tanggung jawab mengelola
sumberdaya alam pada masyarakat
lokal, bukan hanya pada negara/
pemerintah.
3.
Akses dan pengendalian sumberdaya
terbuka luas untuk masyarakat lokal,
tidak eksklusif semata di tangan
negara (pemerintah).
Secara sosial dan politik, CBFSM juga
bermanfaat sebagai berikut:
1.
Meningkatkan keadilan sosial.
2.
Meningkatkan partisipasi masyarakatdalam pengambilan keputusan peman-
faatan sumberdaya.
3. Prioritas pembangunan sesuai dengan
kebutuhan lokal.
4.
Manfaat sumberdaya secara langsung
dapat dinikmati penduduk lokal.
5. Sarana produksi cenderung berskala
kecil dan menengah.
6. Dari aspek teknis dan ekonomis lebih
efisien.
7.
Masyarakat lokal langsung dapat lebih
mudah mengendalikan sumberdayanya secara berkelanjutan.
Oleh karena itu agar sistem laut dan
perikanan (pesisir) kerakyatan dapat
memperoleh manfaat secara ekologis dan
ekonomis paling tidak harus memiliki ciri
yaitu:
1.
Aktor utama pengelolaan laut dan
perikanan (pesisir) adalah masyarakat
setempat. Artinya masyarakat harus
diberi hak dan kewajiban secara resmi.
2.
Lembaga pengelolaan dibentuk,dilaksanakan dan dikontrol secara
langsung oleh masyarakat setempat.
3.
Ada wilayah yang jelas, yang memiliki
kepastian hukum yang mendukungnya.
Hukum itu bisa hukum negara atau
hukum adat setempat. Artinya ada
pengakuan negara atas hukum adat
dan hak ulayat komunitas.
4. Interaksi antara masyarakat dengan
laut dan perikanan (pesisir) setempat
bersifat erat dengan langsung (kelang-
sungan hidup mereka memang sangat
ditopang dari pemanfaatan hasil laut
dan perikanan (pesisir).
5.
Pengetahuan lokal posisinya sangat
penting dan melandasi bentuk
pengelolaan laut dan perikanan
(pesisir) setempat.
6.
Teknologi yang digunakan memang
sangat dikuasai masyarakat setempat
dan menjadi tradisi mereka. Artinya
strategi pengelolaan sesuai dengan
kebutuhan aktual dan kapasitas lokal.
7.
Dalam melaksanakan hasil-hasil laut
dan perikanan (pesisir) itu aspek
kelestariannya sangat diperhatikan
sekalipun itu mereka memanfaatkan
untuk mendapatkan uang sebanyak-
banyaknya.
8.
Sistem ekonomi didasarkan padakesejahteraan bersama
9. Keaneka ragaman mendasari berbagai
bidangnya, seperti dalam hal: jenis dan
hayati, pola budaya dan pemanfaatan
sumberdaya, sistem sosial dan lain-
lain. Hal ini juga untuk mengurangi
tekanan eksploitasi terhadap satu jenis
sumberdaya.
Penutup
Berkaitan dengan pemberdayaanmasyarakat pesisir dan laut, yang lebih penting
dari sejumlah prasyarat di atas adalah adanya
pemahaman secara eksternal terutama internal
mengenai pranata-pranata tradisional dalam
pengelolaan sumberdaya alam yang
dipraktekkan masyarakat setempat. Pranata ini
penting dicermati khususnya yang berkaitan
dengan organisasi dan peraturan pemilikan dan
pemanfaatan sumberdaya yang ada. Karena
telah sama-sama kita ketahui bahwa
permasalahan utama pembangunan dalam
rangka meningkatkan taraf kesejahteraanwarga desa, bukanlah bermuara pada persoalan
ketersediaan sarana fisik, teknis dan uang.
Banyak contoh-contoh bagaimana sarana fisik
dibangun dan bantuan keuangan diberikan
kepada warga desa tetapi akhirnya sia-sia. Hal
ini disebabkan oleh keberadaan mereka yang
tidak memiliki kemampuan dalam manajemen
bantuan langsug.
Persoalannya adalah bagaimana menum-
buhkan organisasi-organisasi desa yang baik,
produktif dan mampu bersaing, sehingga dapat
bernegosiasi dan tawar menawar dengan
pemerintah maupun agen-agen pembangunan
8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004
8/60
Razali, Strategi Pemberdayaan…
67
lainnya dalam pelaksanaan pembangunan di
desa mereka sendiri. Bantuan berupa uang atau
sarana fisik tidak akan memberi arti apapun
bagi peningkatan ekonomi penduduk tanpa ada
kemampuan di kalangan penduduk untuk
mengatur secara sosial dalam mengamankan,
memelihara, dan mengembangkan bantuan itu.
Potensi kemampuan berkelompok ini
tergantung pada besarnya persinggungan nilai-
nilai dan norma-norma yang dimiliki bersama
dalam suatu komunitas dan kemampuan
seseorang untuk mendahulukan kepentingan
umum di atas kepentingan pribadi. Dengan
kata lain kemampuan berkelompok hanya
dapat terjadi jika ada saling percaya di antara
anggota kelompok atau komunitas
bersangkutan. Kepercayaan itu sendiri berakar
pada norma sosial, adat istiadat dan etika sosialyang dimiliki setiap kelompok atau komunitas
secara bersama-sama. Pada saat suatu
masyarakat memiliki saling percaya yang kuat
maka pada saat itu modal sosial yang dimiliki
masyarakat tersebut juga tinggi.
Banyak contoh dikemukakan para ahli
pembangunan bahwa masyarakat yang
memiliki modal sosial yang tinggi cenderung
merupakan masyarakat yang berproduktifitas
tinggi. Dengan kata lain, dalam konteks
pembangunan, demokratisasi tidak semata
berarti suatu pembangunan harus mengutama-kan manusia, yang lebih penting adalah di
dalam proses itu selalu mendayagunakan adat
istiadat, nilai-nilai dan etika yang memang
milik masyarakat tersebut. Inilah yang disebut
pembangunan berwawasan kebudayaan.
Daftar Pustaka
Anonimus, 1997, Beberapa Pengertian Ten-
tang Mangrove, Dalam Panduan Pela-
tihan Pelestarian dan Pengembangan
Ekosistem Mangrove Secara Terpadu danBerkelanjutan. Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup, Universitas Brawi-
jaya, Malang.
Anwar, Jazanul, Sengli J. Damanik, Naza-
ruddin Hisyam dan Anthony J. Whitten,
1984, Ekologi Ekosistem Sumatera,
Gadjah Mada University Press,
Yogjakarta.
Batoro, Jati, 1997 , Petunjuk Pembuatan
Herbarium, Dalam Panduan Pelatihan
Pelestarian dan Pengembangan Ekosistem
Mangrove Secara Terpadu dan
Berkelanjutan, Pusat Penelitian Ling-
kungan Hidup Universitas Brawijaya,
Malang.
Dahuri, Rokhmin, 1997, Pengembangan
Rencana Pengelolaan Pemanfaatan Ber-
ganda Ekosistem Mangrove di Sumatera,
Dalam Panduan Pelatihan Pelestarian dan
Pengembangan Ekosistem Mangrove
Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup Universitas
Brawijaya. Malang.
________, 2000, Reposisi Pembangunan Perikanan Indonesia Dalam Rangka
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir ,
Makalah Dalam Seminar Sehari
Kementerian Eksplorasi Laut: Mampukah
Menjamin Hak-hak Nelayan Tradisional,
JALA, SNSU dan FISIP USU, Medan.
________, 2000, Pemberdayaan Wilayah
Pesisir Yang Berbasis Pada Pemberda-
yaan Masyarakat, Makalah disampaikan
pada Rapat Kerja Center For Regional
Resource Development and CommunityEnpowerment (CRES-CENT). Bogor 20 -
23 April 2000, Bogor.
Dartius, 1988, Faktor-faktor Lingkungan
Hidup dan Sosial Ekonomi Dalam
Pengelolaan Mangrove Sepanjang Pesisir
Sumatera Utara (Tahap I ), Laporan
Penelitian Tidak Dipublikasikan,
Lembaga Penelitian USU, Medan.
Harahap, R, Hamdani, 1992, Nelayan dan
Kemiskinan (Studi Antropologis Di Desa Paluh Sibaji, Kecamatan Pantai Labu,
Kabupaten Deli Serdang ), Laporan
Penelitian, Lembaga Penelitian USU.
________, 1993, Kearifan Ekologi Masya-
rakat Nelayan Desa Jaring Halus, Keca-
matan Secanggang, Kabupaten Langkat
Propinsi Sumatera Utara, Laporan
Penelitian. Lembaga Penelitian USU.
8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004
9/60
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2004, Volume 3, Nomor 2, Halaman 61 - 68
68
________, 1994, Orientasi Nilai Budaya
Nelayan Propinsi Sumatera Utara (Studi
Perbandingan Terhadap Masyarakat
Nelayan Desa Jaring Halus, Kecamatan
Secanggang, Kabupaten Langkat dan
Masyarakat Nelayan Cina di Desa Su-
ngai Berombang, Kecamatan Panai Hilir,
Kabupaten Labuhan Batu), Laporan
Penelitian, Lembaga Penelitian USU.
________, 1994, Keterkaitan Faktor Kebu-
dayaan Dalam Pemenuhan Kebutuhan
Masyarakat Nelayan dan Pelestarian
Lingkungan Di Daerah Pantai Timur
Sumatera Utara, Tesis S2, Program
Pascasarjana IPB, Bogor.
Lubis, Kamaluddin, 1991, Hukum SebagaiSarana Rekayasa Konflik Kepentingan
Dalam Pemanfaatan Laut dan perikanan
(pesisir) Mangrove di Sumatera Utara,
Dalam Seminar Nasional Kehidupan
Nelayan dan Aspek Hukumnya di Wilayah
Pantai Pesisir Timur, Fakultas Hukum
USU, Medan.
Mubyarto, Loekman Soetrisno dan Michael
R.Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan
Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa
Pantai. Rajawali. Jakarta.
Mubyarto dan Loekman Soetrisno, 1988,
Studi Pengembangan Desa Pantai di
Provinsi Riau. Pusat Pembanganunan Pe-
desaan dan Kawasan UGM, Yogjakarta.
Nybakken, James, W, 1992, Biologi Laut
Suatu Pendekatan Ekologis, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Pandia Setiaty. 1996. Pengelolaan Laut dan
perikanan (pesisir) Bakau di Kabupaten Langkat Sumatera Utara Yang Berdi-
mensi Sosial Ekonomi, Berwawasan
Lingkungan Serta Menunjang
Pembangunan Daerah. PUSLIT SDAL-
USU. Medan.
Pariwono, John, I, 1997, Dinamika Perairan
Pantai di Daerah Laut dan perikanan
(pesisir) Mangrove, Makalah Dalam
Pelatihan dan Pengembangan Ekosistem
Mangrove Secara Terpadu dan Berke-
lanjutan, Proyek Pengembangan Pusat
Studi Lingkungan Dirjen Dikti
Depdikbud, Malang.
Pelly, Usman, 1987, Etos Kerja Orang Me-
layu Dalam Perubahan Sosial , Kertas
Kerja Simposium LIPI, Jakarta.
Qoid, Abdul dan Mimit Primyastanto, 1997,
Analisis Kelayakan Finansial Proyek Laut
dan perikanan (pesisir) Mangrove,
Makalah Dalam Pelatihan danPengembangan Ekosistem Mangrove
Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Proyek
Pengembangan Pusat Studi Lingkungan
Dirjen Dikti Depdikbud, Malang.
Rambe, Saruhum, 1997, Laut dan perikanan
(pesisir) Desa (Studi Mengenai
Pengelolaan Laut dan perikanan (pesisir)
Oleh Masyarakat Lokal di Desa Jaring
Halus, Kecamatan Secanggang, Langkat ),
Jurusan Antropologi FISIP USU, Medan.
Resusun, Demianus, 1985, Dayung Basah
Periuk Berisi. Studi Tentang Beberapa
Aspek Sosial Ekonomi Nelayan Bagang di
Pulau Sembilan, Dalam Muklis dan
Kathryn Robinson. Masyarakat Pantai.
Lembaga Penelitian Universitas
Hasanuddin, Ujung Pandang.
Rizal, Jufrina, 1985, Kehidupan Wanita Bira.
Dalam Muklis dan Kathryn Robinson.
Masyarakat Pantai, Lembaga Penelitian
Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.
Soewito, 1984, Status Ekosistem Laut dan
Perikanan (pesisir) Mangrove Dalam
Kaitannya Dengan Kepentingan Peri-
kanan di Indonesia dan Kemungkinan
Pengembangannya, Dalam Prosiding
Seminar II Ekosistem Mangrove, LIPI,
Jakarta.
8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004
10/60
69
THE PLANTATION LAND CONFLICTS
IN NORTH SUMATRA
Amir Nadapdap
Abstrak
Implementasi otonomi daerah pada tahun-tahun terakhir ini secara nyata telah
menghasilkan persepsi baru perihal masyarakat lokal atau komunitas. Pada masa yang
cukup panjang, pemerintah secara nyata mendominasi seluruh aktivitas pembangunan
di Indonesia. Hal ini berarti bahwa masyarakat lokal hanya dijadikan sebagai obyek
pembangunan, yang berarti mereka tidak diikutsertakan dalam proses pembangunan.
Akan tetapi, saat ini, implementasi otonomi daerah menuntut partisipasi masyarakat
lokal dalam semua proses pembangunan, mulai dari perencanaan hingga evaluasi.
Dalam konteks yang lebih luas, otonomi daerah dapat dipandang sebagai suatu
peluang bagi pemberdayaan masyarakat lokal, dan pemerintah daerah harus
memandang hal tersebut sebagai suatu keharusan untuk menjalin hubungan kerja samadengan kelompok masyarakat, dan harus menciptakan suatu jaringan kerja sama yang
saling menguntungkan bagi pemerintah dan masyarakat lokal. Implementasi
pemberdayaan masyarakat merupakan suatu paradigma baru yang dapat menciptakan
masyarakat yang kritis, khususnya dalam melihat masalah pembangunan yang ada di
daerah mereka. Dalam kasus ini, masyarakat lokal senantiasa mengevaluasi program
pembangunan, apakah sesuai atau tidak bagi mereka.
Katakunci: otonomi daerah, program pembangunan, masalah pembangunan
Introduction
The East Sumatra region where later
becomes known as a part of the Province of
Sumatra Utara after the Declaration of
Proclamation of The Republic of Indonesia in
17 August 1945 was comprised of Langkat,
Deli, Serdang, Asahan, Batu Bara, Kualu,
Panai, and Bila in the nineteenth century.
According to Reid (1987), the East Sumatra
region has many ethnic groups, such as the
Malay, Karo Batak, and Simelungun who are
the indigenous people. Pelzer said (1978: 3)
“…in fact the greater part of the East Sumatran population consisted of Batak. It is quite
possible that in the past the Karo Batak
occupied the coast of Langkat, Deli and
Serdang and the Simelungun Batak that of
Batu Bara, the way the Toba Batak still hold
the coast between the Asahan and Barumun
rivers, but the they were gradually either
displaced or assimilated by the incoming
Malay element”. The largest part of them was
subsistence peasants. They practiced tradition
cultivation on temporary forest clearings.
In the late nineteenth century, the native people intensively began making contact with
large-scale capitalist societies, represented by
both the Netherland-Indies Government and
European entrepreneurs. Mainly, they
cooperated in making land lease contracts
whereby The Sultans of various kingdoms
represented the local people. Sultan usually
approved those contracts without ordinary
people’s participation. Later, these patterns of
cooperation often became the triggers of
agrarian conflicts.
This paper is trying to explain both the
roots of conflict and its coping strategies from
an historical perspective. Then, the strategy
will compare with current policies of thegovernment. The purpose of this paper is two
fold: (1) to increase public awareness of the
plantation dwellers development issues
involved in plantation management; and (2) to
make a policy recommendation that will,
hopefully, promote good relations between the
plantation companies and plantation dwellers.
Land Conflict in the Past
Below is what Pelzer wrote in his book :
“…. the fall of 1940 when, unexpectedly, Iwas forced to spend seven weeks, instead of
Amir Nadapdap, adalah Dosen Departemen Antropologi Sosial FISIP USU
8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004
11/60
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2004, Volume 3, Nomor 2, Halaman 69- 73
70
an anticipated one week, in Medan, the capital
of the great, prosperous plantation region wich
stretches along the strait of Malacca from the
Aru Bay in Aceh to Labuan Batu on the
Barumun Panei River. During the course of
this enforced stay, I first learned about the
great tug of war, which was going on between
planters, the Indonesian sultans and the
Netherland Indies Government. The object of
this tug of war was the land occupied by the
plantation under lease arrangements, but the
subject of the sultans had alienable rights. All
three parties were anxious to see a
disentanglement of the intertwined agrarian
rights of Westerns planters and Indonesian
peasants, but they could not agree on the terms
necessary to protect the future of both the
planters and the peasantry without affectingthe financial interest of the sultans. (Pelzer,
1978: V)
According to Pelzer, the agrarian conflicts
between the planters, who were usually
protected and supported by the sultans and the
ruling government, and the native peoples goes
back to the old days when land distribution and
its usage rights were unequal. Clashes such as
these have occurred from early days when
plantation-based investors were entering the
East Sumatra in the late nineteenth century.
We would later understand that agroindustry-based investments such as tobacco
plantations have given a range of benefits and
welfare to the planters and the local ruling
elites. Meanwhile, on the other side, the
plantation laborers and native people remain in
a steady state of misery and wholly inadequate
circumstances.
Referring to Pelzer (1978), we can say that
cooperation was going on between the planters
and local ruling elites (the sultans) could be
seen as a political conspiracy. They deceived
local people and manipulated the customarylaw in attempt to get wider concessions for the
planters. Consequently, it has arisen various
confusion and angrily among of the native
people. For example, in 1871 Sultan of the
Deli Kingdom has given a concession to the
planters, there were within:
1. The territory of the Karo Batak
confederation, or urung, Sepuluh Dua
Kuta;
2. The territory of the Datuk of Sunggal, or
the confederation of Serbanyaman;
3. The territory of the Datuk of Kampong
Baru, or the confederation of Suka
Piring; and
4. The territory of the confederation
Senembah Deli.
All four territories (urung ) have been
belonged to the Karo-Batak, which had
become their traditional property rights, and
then, the territories beyond jurisdiction of
Sultan. As I said, commonly in order to give
the concessions, Sultan of Deli did not attempt
to take a participation of the Karo Batak
Datuks which has caused that he was accused
violating the customary law which was
prevailed prior to the incoming of the Europe’s
entrepreneurs.
The Sultan, actually, has two reasons sothat he has the courage to manipulate the
content of customary law. Both are: firstly, in
political reason, he dares because he got full
support from the center ruling government.
Second, in economic reason, he very ambitious
to line of his pockets, which the money was
given by the planters as a payment for the
concessions, and his services.
Datuks and inhabitants became unsatisfied
since the planters and Sultan overacted, so that
they began making a social movement against
the sultan. They attacked the source of thesultan’s newfound income by burning the
planters’ tobacco drying sheds, preferably
when filled with yields. More than that,
ultimately, they declare war on sultan. As
wrote in the historical book, the war occurred
in 1872. It was a big war, later known as the
Sunggal War, because the Dutch authorities
was forced to bring in troops from the Riouw
Islands and from Java who fought from May
until November 1872 before the rebellious
Karo-Batak chiefs surrendered (see, Pelzer
1978: 69).
The Pattern of Conflict
Unpleasant relations between the
plantation companies and dwellers have been
steadily continuing and emerging in
periodically since 1940s, 1950s, 1960s until
present. It is easy to explain the conflicts if we
wish remember the state of affairs in past time.
In late nineteenth century, those conflicts often
had occurred when a number of people had
still infrequent and empty land (tanah kosong )
widely available too. It seems normal if the
8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004
12/60
Nadapdap, The Plantation Land…
71
conflicts recently had become more difficult to
avoid when a number of people gradually
grew-up and the size of the land had stay
permanent.
Nowadays, conflict between the planters
and plantation dwellers usually triggered by
each of them laid claim to the land. The
Plantation dwellers put a claim for the land
based upon their customary rights, whereas the
planters put a claim for the land based upon
their licenses for land use (HGU), which
issued by the government. In the other word, in
two recent years, we saw social protest
movements, which go back to old years, and,
therefore, it is just like a historical circle.
It is interesting to ask: why have those
conflicts been steadily occurring until now and
government seems difficult to settle it? To findout the explanation, in my opinion, it is better
if we see the government’s agrarian policies,
particularly, as long as The Suharto’s regime
(the new order) had been controlling Indonesia
for 32 years.
As we known, the farmers perceive that
land like their second soul. In religious terms,
land is an object which relating to their
ancestors as well as has a prestige values. Its
mean is that someone who has no land either
will difficult to meet of obligations to his/her
ancestors or will has no pride. In the otherwords, the farmers need for owning, at least, a
piece of land in order to maintain their
offspring and to increase their reproductive
capability, so their community will steadily
continue. Unfortunately, the new order regime
did not want to take into account the farmers’
belief regarding to the land. It is mean; in
agrarian policy making process seems that
government has less recognized the existing of
farmers. As a result, even though Indonesia is
an agriculture-based country where
approximately 70% of people as ruraldwellers, in fact, the government did not give a
high priority to produce people-based land and
agricultural policies. Rather, the new order
regime has been implementing liberalized
land-tenure system policies and supporting
capital-intensive activities in rural areas. These
policies had opened some possibilities either
for someone or a certain corporation to get
dominating land resources in wide-scale,
almost unlimited.
Regrettably, the policies such as the green
revolution programs had given some negative
effects, those are: (1) the agricultural sector
has already become as a capital-intensive
industry. Even though the new agricultural
technology more sophisticated and the yields
kept increase, but it has become a causal factor
for many labor forces became unemployment;
and (2) more and more farmers became have
no land again since their land were taken over
by the large-scale industrialists or, at least,
their land-wide became smaller. It happened
since the government did not protect the
farmer’s productive land from the capital
owners who commonly characterized as the
land-hunter. It is ironic situation, when a
number of people who her/his living based on
agriculture-related activities steadily increased,
at the same time the farmlands were converted
to non-agriculture needs in high-speed. Many
wet-rice fields have been converted into a realestate, super market, highway road,
manufacture industries, and otherwise. These
matters occurred due to the capital owners got
support from the government and military
repressive behaviors. As a result, bargaining
positions of the farmers became weaker and
their existence high-risked to the market
system changes.
The farmers perceived that the
government policies, psychologically, had
caused they felt to be abused, ignored, and
disregarded. In sociological terms, thesemarginality processes had structural effects,
which they harder to break away from the
poverty and powerlessness traps. Then, in
culturally, these circumstances had already
maintained the farmers’ rebelliousness to the
regime. Therefore, today we see that as long as
agrarian policies are not reformed, logically, of
course the agrarian conflicts between the
planters and the local people will steadily
occur. It is a historical dilemma and was
became the government’s owe to the farmers.
International statistics showed that the crimerates and political instability most tend to
occur in countries, where were implementing
an unequal land-distribute system.
Theoretically, the kinds of the farmers’
social movements include are: protest actions,
latently social disobedience (i.e. burning the
crops and production hardware facilities,
stealing the yields, destroying the plantation
roads, etc), explicitly harassment, land
occupied, and physical war (see, Scoot,
1983:3). In addition, in doing a rebel action,
there are two patterns of mass mobilizing. First
is the rebellion without a leader. Thus, it is
8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004
13/60
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2004, Volume 3, Nomor 2, Halaman 69- 73
72
autonomous participation of each person to
attack the common enemy. Second, a mass
rebellion was provoked by a certain elite
institution either a local leaders or internal and
external organizations (i.e. the NGOs and
farmer associations).
The grade of rebellion relies on condition
and political context changes. As long as the
New Order regime had been reigning known
that nothing yields of plantations were stolen
and the plantation lands were occupied
because the dwellers feared on military
(TNI/POLRI)) oppression. Adversely,
nowadays, it is happen in frequently because
prior to 1998 Indonesia is an authoritarian
country, and suddenly without sufficiently
transition processes all of the state institution
such as executive, legislative and law enforce
institutions have been being powerless. In
other words, all of the state institutions have
failed making the adjustment in the
transitioning circumstances. Therefore, law
enforcement has been becoming more difficult
to endorse since reform’s era 1998 up to now,
and consequently, the culture of law has
gradually grown weakness. Law order in
changing Indonesian was both full uncertainty
and ambiguity. Second, in three recent years,
the farmer’s chance to make alliances with the political parties and other vested interest
groups was widely open. Most of them, right
now, are affiliating with PDIP (Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan, Struggling
Indonesia Democratic Party), which was
symbolized as the new order regime’s
opponent in a few years ago, and become the
ruling government. In the other side, the
planters and his labors are indistinguishable
with the former ruling party, Golkar. They had
long been taken for granted as the coreconstituents of the Golkar. However, the
intensive contacts between the farmers and
PDIP politicians have been most colored
spirits to complain the social function of the
plantations for dwellers. Similar effects have
also been introduced NGO activists in their
efforts into empowering the plantation
dwellers. Currently, interrelations between the
farmers and external organizations seems will
be enhancing the courage and self-confidence
of the farmers negotiating with the plantersand the government.
Recommendation
The implementing people-based land
policy, such as applying an agrarian reform,
must become the main priority of government
in effort to avoid agrarian conflicts in the
future. The aim is to reorganize the land tenure
systems and its inner resources, so that it will
meet of the principles of fairness, social
equality, and welfare for all people. It is easy
to say, but it will only happen if there is a good
will from all people, mainly from the
government. For example, we may see to the
Egypt’s experience when they had been
making agrarian reform from 1950s until
1960s, which was, redistributed land to the
poor farmers and somebody who has no land
in efforts to increase the citizen’s productivity.It seems that the policy will be creating social
prosperity for the Egypt’s people.
On the contrary, in Indonesia,
implementing an agrarian policy same as
Egypt’s seems still difficult. It needs the
government’s good will as well as will require
a set of capabilities, principally, for negotiating
with all stakeholders, whereas, in the other
side, in the grass-root levels the government
will need continuously promote a cooling-
down situations because disputes between the
dwellers and the planters have still beenoccurring and extending until present. For this
reason, it is better for the local government and
legislative (DPRD) in province as well as in
district levels more creative and proactive to
carry out dispute resettlements especially since
2000 they have new political legalities and a
set of law to do it as good as possible. Their
new authorities mainly based on a set of
regional autonomy laws that were issued after
the fallen of the new order regime, such as: the
Regional Governance Law No. 22/1999 and
the Finances Balancing between Center andLocal Government Law No. 25/1999. Based
on these authorities must be designed the
policies that will give most benefits for all
first-hand stakeholders such as the dwellers,
the companies, and the local governments. We
would like possibly studying of the Dutch’s
policy in coping of the conflicts between the
dwellers and the planters together with the
sultans in early 1870s. At that time, the Karo
Batak’s spokesmen argued that their people
would welcome the establishment of
plantations in their territories, provided that:
(1) enough land remain in their possession to
8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004
14/60
Nadapdap, The Plantation Land…
73
practice tradition cultivation, (2) their fruit
trees and other property would be respected,
and (3) they would not be prevented by the
Europeans from developing new pepper
gardens and wet-rice fields” (Pelzer, 1978: 70).
A solution was given the Dutch resident in
settled the conflict that is by ruling that
payments for concessions in Karo territories
must be divided into three equal parts, one-
third going to the sultan, one-third to the Karo
Batak Datuks, and one-third to the village
chiefs within the concession (see, Pelzer 1978:
70).
The essence of that policy is creating a
win-win solution, that all first-hand
stakeholders get social economic incentives
from the existing plantations within their
region. Its mean, the dwellers have possibilities to access some resources surround
the plantation in order to improve their
income. By existing the incentives will
encourage the dwellers’ participation to protect
the plantation’s resources from destructive
behavior by people, and others.
Conclusion
All stakeholders may recognize that the
basic goal of the plantation companies is to
meet the market demand on the plantation products. Their rights are able to quiet running
their business and gaining improvement in
order to give the salary of their labors and tax
payment to the government, which is as an
income source of the government. However,
they also have an obligation that is giving
contribute in prospering the plantation
dwellers, so that the plantation development
may become an example of the sustainable
management of the environment. The point is
that the community development in recent
years has already increased its attention on
environment issues. In spite of this, the
difficulties in attaining the goal of sustainable
development have not diminished.
References
Fawzi, Noer, 1998, ‘Isue-Isue Utama
Pembaruan Agraria Dewasa Ini Menuju
Membesarnya Peran Masyarakat Sipil’ ,
dalam Pembaruan Agraria. Jalan Rakyat
Indonesia Menuju Masyarakat Adil,
Makmur dan Merdeka, Medan: Federasi
Serikat Petani Indonesia.
Hawes, Gary J., 1978, ‘Theories of Peasant
Revolution: A Critique and Contribution
form the Phillipines’, Dalam World Politics, Vol. XI/3.
Pelzer, Karl J., 1978, Planter and Peasant.
Colonial Policy and the Agrarian Struggle
in East Sumatra 1863-1947, Amsterdam:
‘S-Gravenhage – Martinus Nijhoff.
Reid, Anthoni, 1987, Perjuangan Rakyat:
Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di
Sumatera, Jakarta: Sinar Harapan.
Scott, James C., 1983, Weapons of the Weak. Everyday Form of Peasant Resistance,
New Haven: Yale University Press.
Wiradi, Gunawan, 1998, ‘Reformasi Agraria
dalam Perspektif Transisi Agraris’, dalam
Pembaruan Agraria. Jalan Rakyat
Indonesia Menuju Masyarakat Adil,
Makmur dan Merdeka, Medan: Federasi
Serikat Petani Indonesia.
8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004
15/60
74
ANALISIS KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI PENGEMIS DI
PEREMPATAN JALAN DI MEDAN
Hairani Siregar
Abstract
The income of the beggar bigger than the income of the low or small workers and the
workers of informal economy sector, for example, “abang becak”. They can get more
than 20.000 rupiahs every day for take home. They have orientation for education in
lowest. They have opinion, that the education and life skill are not so important for
their life. They want to maintain their job as the beggar, because they think it is a good
profession, especially in economy crisis. To maintain the profession as the beggar
determines their life in the good condition any time. They use their physical defect to
get the people’s pity.
Keywords: beggar, poverty
Pendahuluan
Setiap manusia ingin memenuhi
kebutuhan hidupnya baik material, spiritual
maupun sosial. Pemenuhan kebutuhan ini
memiliki prioritas karena dalam mencapainya
manusia memiliki keterbatasan. Keterbatasan
inilah yang memunculkan tingkat kepentingan
kebutuhan manusia yang harus segera
dipenuhi.Bila manusia dapat memenuhi semua
kebutuhan hidupnya maka manusia itu dapat
dikatakan hidup dalam kondisi sejahtera. Ini
dapat dilihat dari pengertian kesejahteraan
sosial dalam UU Nomor 6 tahun 1974, yakni:
“Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial,
material, maupun spiritual, yang diliputi oleh
rasa keselamatan, kesusilaan, ketenteraman
lahir dan batin, yang memungkinan bagi setiap
warga negara untuk mengadakan usaha
pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, dan
sosial yang sebaik-baiknya bagi diri sendiri,keluarga, dan masyarakat dengan menjunjung
tinggi hak-hak azasi serta kewajiban manusia
sesuai dengan Pancasila”. (Sumarnonugroho,
1989:33)
Pertumbuhan angkatan kerja di
perkotaan yang tidak sebanding dengan jumlah
permintaan tenaga kerja ini menyebabkan
sebagian penduduk yang termiskin dan
dimarginal memasuki sektor kerja yang dalam
pandangan masyarakat adalah nista atau
merupakan perilaku deviasi. Apalagi mereka
yang mengalami cacat fisik sehinggamobilitasnya dapat bekerja normal
sebagaimana umumnya individu lain
terganggu. Salah satu perilaku yang dianggap
oleh kelompok yang termarginalkan
merupakan pekerjaan adalah mengemis.
Mengemis yang pelakunya disebut pengemis
merupakan pekerjaan yang meminta belas
kasihan dari orang lain dan sangat tergantung
pada orang lain (Galang, 1985:4).
Kota Medan merupakan salah satu kota
besar di Indonesia yang kecenderungan jumlah pengemisnya semakin meningkat. Dalam
harian Waspada terbitan 5 Maret 1999 pada
artikel “Gepeng Manyomak di Persimpangan
Jalan” dikemukakan bahwa pada setiap
persimpangan jalan di kota Medan yang ramai
lalu lintasnya, dipenuhi oleh 7 sampai 8
pengemis bersama dengan pemandunya.
Keadaan ini mengganggu arus lalu lintas dan
membahayakan diri pengemis tersebut, karena
sewaktu-waktu dapat tertabrak kendaraan yang
melintas. Selain berasal dari Medan pengemis
banyak juga berasal dari daerah atau kota lainseperti Sei Buluh, Binjai, dan Perbaungan.
Pada dasarnya Pemerintah Daerah
melalui Dinas Sosial telah melakukan upaya
pemberdayaan bagi para pengemis, melalui
program rehabilitasi dalam bentuk pemberian
keterampilan home industry yang dapat
menunjang pemenuhan kebutuhan. Hal ini
bertujuan untuk merubah jalan hidup pengemis
agar tidak mengemis lagi sebagai sumber
pendapatannya. Pusat penampungan ini ada
pada lokasi penampungan gelandangan dan
pengemis di Sei Buluh dan di Kebun Lada,Kota Binjai. Namun demikian, jumlah
Hairani Siregar adalah Dosen Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU
8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004
16/60
Siregar, Analisis Kehidupan Sosial…
75
pengemis terus meningkat terutama sejak
adanya krisis moneter. Mereka yang berada di
pusat rehabilitas banyak yang melarikan diri
dan kembali menjalankan hidup sebagai
pengemis, sehingga sering terlibat kejar-
kejaran dengan petugas penertiban pengemis
dari Departemen Sosial.
Pekerjaan sebagai pengemis yang tidak
memerlukan keahlian dan keterampilan ini
seperti sudah menjadi trend pada mereka yang
memandang pragmatis untuk mencari uang.
Hal ini tentu saja berbahaya bila terus berlarut,
karena di samping akan menimbulkan citra
negatif pada kota Medan yang diarahkan
menjadi kota pariwisata dan kota pelajar, juga
dapat menarik individu lain untuk masuk pada
kehidupan mengemis tersebut. Hal ini
dibuktikan dengan bertambahnya jumlah pengemis usia anak-anak. Banyak anak yang
tinggal di lokasi perkampungan di Medan,
seperti Kampung Aur dan Kampung Sei Mati
Kota Medan pada sore dan malam hari
menjadi pengemis di persimpangan jalan,
seperti persimpangan jalan Ir. H. Juanda,
pesimpangan jalan Pattimura, persimpangan
jalan Sisingamangaraja XII, dan persimpangan
jalan Polonia. Kondisi ini selanjutnya akan
menimbulkan generasi pemalas yang menjadi
sangat tergantung pada orang lain.
Kecenderungan pengemis di kota Medan jugasemakin banyak yang menggunakan dukungan
anak bayi atau balita sehingga menimbulkan
perasaan iba serta simpati bagi orang lain yang
melihatnya dan segera memberikan uang pada
mereka. Hal ini menjadikan anak dieksploitasi
untuk media mengemis yang bertentangan
dengan Konvensi Hak-Hak Anak yang
melarang keras anak-anak untuk dieksploitasi
demi kepentingan apapun (Unicef, 1994:10).
Kecenderungan meningkatnya jumlah
pengemis di persimpangan jalan di Kota
Medan ini merupakan fenomena sosialtersendiri. Jika dilihat dalam mengemis,
sepertinya mereka memiliki jam kerja, yakni
setiap pengemis yang “dinas” dari pagi hingga
sore ini akan digantikan oleh pengemis lainnya
yang “dinas” dari sore sampai malam hari.
Namun pada malam hari yang mendominasi
justru pengemis anak-anak. Keadaaan inilah
yang mendorong penulis untuk meneliti
bagaimana sebenarnya kehidupan sosial
ekonomi pengemis-pengemis tersebut,
sehingga mereka mampu bertahan dalam
kehidupannya sebaga pengemis.
Soedjono Soekanto mengemukakan
bahwa status sosial ekonomi merupakan suatu
kedudukan yang diatur seseorang pada posisi
tertentu dalam struktur sosial masyarakat, yang
disertai pula dengan seperangkat hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh pembawa
status (Soekanto, 1986:115). Untuk melihat
apakah seseorang memiliki status sosial
ekonomi yang tinggi, sedang, atau rendah
didasarkan pada banyak tidaknya bentuk
penghargaan masyarakat padanya. Semakin
tinggi tingkat status sosial ekonomi seseorang,
maka semakin banyak bentuk penghargaan
masyarakat yang diterimanya dan sebaliknya
semakin rendah tingkat status sosial ekonomi
seseorang, maka semakin sedikit pula bentuk
penghargaan dari masyarakat yang
diterimanya.Krench mengidentifikasikan sosial
ekonomi dari pekerjaan, tingkat pendidikan,
dan jumlah pendapatan (Krenc, 1990: 39).
Bentuk penghargaan yang diterima dalam
masyarakat dipengaruhi oleh pekerjaan,
tingkat pendidikan, serta jumlah pendapatan
yang diterima seseorang. Warner memberikan
ciri-ciri keadaan sosial ekonomi individu dan
masyarakat berupa pekerjaan, pendapatan,
jenis rumah tinggal, dan daerah tempat tinggal
(Moeljanto, 1986:16).
Kedua pendapat di atas menitikberatkantingkat sosial ekonomi yang diukur dari
pekerjaan, pendidikan, pendapatan, jenis
rumah tinggal, dan daerah rumah tinggal.
Pendapat tersebut sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Mahbub UI Hag dari Bank
Dunia bersama dengan James Grant Overseas
Development Council, bahwa kehidupan sosial
ekonomi dititikberatkan pada pendidikan,
pelayanan kesehatan, perumahan, dan air sehat
(Susanto, 1984:20).
Berdasarkan pemaparan pendapat dari
beberapa ahli di atas, maka ukuran yang dapatdigunakan dalam penelitian ini untuk melihat
tingkat status sosial pengemis adalah 1.
Pendidikan, 2. Pekerjaan, serta 3. Pendapatan
yang dimiliki oleh pengemis.
Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan di perempatan
Jalan Ir. Haji Juanda, Kelurahan Sukaraja,
Kecamatan Medan Maimum, Kota Medan.
Lokasi ini selalu ramai dilintasi kendaraan,
sehingga strategis bagi pengemis dalammelakukan pekerjaannya dan seringkali
8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004
17/60
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2004, Volume 3, Nomor 2, Halaman 74 - 80
76
mengganggu arus lalu lintas setiap pagi hingga
sore hari. Pengemis-pengemis tersebut aktif
melakukan pekerjaannya, dengan membawa
bekal, seperti makanan, ataupun pakaian ganti
untuk pulang, terkadang membawa anak yang
masih kecil bahkan bayi/balita.
Tipe penelitian ini adalah penelitian
kualitatif dengan menggunakan analisis kasus.
Metode analisis yang dipergunakan adalah
analisis data kualitatif sehingga setiap data dari
subjek penelitian diharapkan didapat lebih
terperinci sehingga dapat dipaparkan dengan
mendalam.
Subyek penelitian adalah 5 orang
pengemis yang menetap mengemis di
perempatan jalan Ir. Haji Juanda. Data yang
dibutuhkan diperoleh melalui wawancara
mendalam dengan menggunakan guideinterview sehingga wawancara dapat
dikembangkan lebih mendalam. Analisis data
dilakukan dengan teknik analisis deskriptif-
kualitatif dengan mendeskripsikan hasil
penelitian.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Suyoto, 45 tahun
Telah empat tahun berprofesi sebagai
pengemis di bundaran Jalan Ir. Juanda,tepatnya di depan Ramayana Plaza. Suyoto
(dipanggil Oto) mengaku berasal dari desa Sei
Buluh, Kecamatan Sei Buluh, Kabupaten Deli
Serdang. Dengan kondisi fisik kaki kiri
pincang dan dibalut perban, pak Oto memang
terlihat seperti tidak dapat melakukan usaha
lain selain mengemis. Pak Oto tidak pernah
menginjakkan kakinya di sekolah formal. Ia
hanya pernah ikut pendidikan keterampilan
membuat alas kaki dari sabut kelapa, yang
diadakan oleh Dinas Sosial Kabupaten Deli
Serdang. Namun dari hasil menjual alas kakitersebut tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan Pak Oto dan keluarganya.
Pak Oto memiliki empat orang anak, dua
orang di antaranya masih sekolah, yakni Surya
8 tahun kelas satu SD, dan Lia 10 tahun kelas
tiga SD. Dua orang anak lainnya tidak lagi
bersekolah, karena ketiadaan biaya.
Dalam satu hari, Pak Oto bisa
memperoleh pendapatan mencapai Rp 15.000
untuk menghidupi keluarganya. Selain pak
Oto, istri dan anak-anaknya terkadang ikut
mengemis untuk menambah penghasilan.
Pendapatan pak Oto ditambah dengan
pendapatan anak dan istrinya satu hari dapat
mencapai Rp 20.000, namun pak Oto tidak
berminat untuk melanjutkan sekolah anak-
anaknya. Pendapatan pak Oto sebagian
besarnya dipergunakan untuk biaya makan
sehari-hari. Pada waktu melakukan
wawancara, pak Oto sedang makan siang
dengan nasi dan sepotong ayam goreng
ditambah tempe dan segelas teh manis dingin.
Untuk makan satu hari saja bisa mengha-
biskan Rp 15.000 – 20.000. Keadaan ini
dibenarkan oleh Pak Udin pemilik warung nasi
langganan pengemis.
Sisa dari pendapatan pak Oto
dipergunakan untuk membeli keperluan rumah
tangga lainnya. Keadaan rumah pak Oto sangat
sederhana, dan merupakan rumahnya sendiri,
memiliki halaman setengah meter. Di sisikirinya terdapat rumah tetangga pak Oto yang
berprofesi sebagai tukang tambal ban. Dinding
terbuat dari tepas, bagian atas (atap) setengah
rumbia dan setengah seng. Jumlah kamar
hanya satu. Di ruang tamu terdapat dipan,
seperangkat kursi tamu, sebuat bufet, dan
sebuah radio transistor dua band, lantainya
terbuat dari tanah.
Pak Oto mengaku tidak pernah
menabung, karena pendapatannya setiap hari
habis dan hanya tersisa untuk ongkos serta
untuk sarapan. Namun bila istrinya menabungia tidak pernah mengetahuinya.
Sebelum menikah, pak Oto tinggal di
Panti Penderita Cacat dan Kusta yang berada
di Sei Buluh, Jalan Raya Medan-Tebing
Tinggi. Setelah menikah, ia pindah ke luar
karena tidak memungkinkan lagi tinggal di
panti.
Setiap hari pak Oto naik bus umum dari
Sei Buluh menuju terminal Amplas, kemudian
menyambung ke jurusan Jalan Juanda. Biaya
transportasinya setiap hari berkisar Rp 3.000.
pakaian dari rumah menuju tempat dinascukup bagus dan terkesan jauh bahwa mereka
adalah pengemis. Pak Oto saat ditemui sore
hari ketika hendak pulang, memakai jaket yang
membalut kemeja putih, bercelana panjang
yang bersih dan bersepatu. Sementara pakaian
“dinasnya” dimasukkan ke dalam tas. Setiap
pukul tujuh ia sudah berada di tempat dinas
jika tidak ingin lahannya diambil oleh orang
lain.
Pak Oto bertugas sampai pukul lima
sore, setelah itu mereka pulang. Biasanya
lahan mereka ada yang menggantikan tetapi
tidak banyak, kebanyakan anak-anak jalanan.
8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004
18/60
Siregar, Analisis Kehidupan Sosial…
77
Nasrul, 36 tahun
Berasal dari Aceh. Karena sakit kusta, ia
ditempatkan di Panti Penyandang Kusta di Sei
Buluh. Namun, Nasrul lari dari panti tersebut
dan mengontrak rumah di Tanjung Morawa.
“Hidup di panti kusta tidak berkembang”, ujar
Nasrul yang pernah menjadi gelandangan di
Kota Medan selama satu minggu ini.
Uang hasil mengemis ia kumpulkan
untuk mengontrak rumah sebesar Rp 15.000
per bulan. Nasrul yang pernah sekolah sampai
kelas IV SD ini mengaku telah menikah dan
memiliki dua orang anak yang berusia 4 dan 3
tahun. Pendapatan yang diperoleh Nasrul dari
hasil mengemis Rp 15.000, tetapi bila hari
hujan bisa berkurang, itupun sudah bersih ia
bawa pulang. Uangnya digunakan untukmembeli kebutuhan rumah tangganya. Ia
mengaku tidak bisa menabung karena ia boros.
Istrinya yang ia suruh untuk menabung.
Terkadang lima ratus atau seribu sehari atau
tidak sama sekali. Nasrul dan keluarganya
hanya membeli obat-obatan di kedai-kedai bila
ada anggota keluarganya yang sakit.
Nasrul berpendapat bahwa dari kegiatan
mengemis ia mampu menghidupi keluarganya.
“Kalau kerjaan lain belum tentu dapat segini,
kan?” ujarnya. Dilihat dari pakaian dinasnya,
Nasrul patut dikasihani. Memakai peci, bajuyang robek di punggung serta bagian bawah
yang dibalut sarung. Nasrul bersimpuh di sisi
pulau jalan sembari mengacungkan gayung
yang dipergunakannya sebagai tempat
meletakkan uang. Bila uang dilemparkan oleh
pemilik mobil, Nasrul mengutip uang tersebut
dengan terseok-seok, seolah-olah ia tidak dapat
berjalan. Namun ketika ditemui saat makan
siang, ia tampak segar.
Berbicara tentang kepemilikan barang di
rumahnya, Nasrul mempunyai rumah
kontrakan dengan sebuah kamar dan ruangtamu seluas 2 x 3 m. Rumah yang
ditempatinya beratapkan daun rumbia
berdinding papan dan berlantai semen. Nasrul
memiliki sebuah sepeda yang digunakan
istrinya. Nasrul mengatakan ia mempunyai
tanah di Aceh seluas 1 Ha. lebih, tetapi enggan
pulang karena tidak ada biaya dan saudaranya
tidak mau melihatnya.
Sumini, 43 tahun
Lahir di kota Tebing Tinggi. Menikah
dengan Surip, 45 tahun, yang berprofesi
sebagai pengemis di bundaran jalan Juanda,
tepatnya di depan gedung Ramayana Plaza.
Sumini mengaku menemui suaminya
mengemis baru enam bulan. Ia pernah sekolah
hingga kelas dua SD. Sumini pernah ikut
keterampilan membuat alas kaki dari sabut
kelapa yang diadakan oleh Dinas Sosial
Kabupaten Deli Serdang, namun tidak pernah
ia kembangkan.
Sumini mempunyai anak 3 orang, dua di
antaranya sekolah, pendapatan Sumini Rp
10.000 – 20.000 sehari tergantung pada belas
kasihan pemilik kendaraan yang melintas.
Uangnya dipergunakan untuk keperluan rumah
tangga dan keperluan sekolah anak-anaknya.
Satu hari ia bisa menyimpan Rp 2.000 untuk
tabungan dari menyisihkan keperluan sekolah
anaknya.Keadaan rumah Sumini sangat
sederhana, dengan memiliki halam selebar 2
meter sewanya per bulan Rp 15.000 yang telah
ditempatinya selama 3 tahun. Dinding rumah
terbuat dari tepas. Jumlah kamar 1 buah,
mempunyai sebuah dipan dan sehelai tikar.
Sumini mengungkakan ia pernah memiliki
televisi, namun ketika anaknya sakit dan
memerlukan biaya perobatan akhirnya mereka
menjual televisi tersebut. Bila ada anggota
keluarganya yang sakit, Sumini hanya
membelikan obat di kedai. Sumini mengakutidak mempunyai anggaran untuk persiapan
biaya pengobatan bila ada anggota keluarga
yang sakit parah. Sumini hanya bisa berharap
agar masa depan anak-anaknya lebih baik dan
tidak seperti dirinya yang harus mengemis
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia juga
berharap tidak selalu dikejar-kejar petugas.
Darto, 40 tahun
Darto mengemis di depan persim-
pangan Istana Maimun. Ia memiliki seoranganak yang berusia enam tahun dan ia telah
mengemis selama tiga tahun. Darto
berpendidikan SD sampai kelas tiga dan
berasal dari Percut Sei Tuan. Darto mengalami
cacat pada kaki kirinya dan terpaksa
menggunakan tongkat.
Pendapatan Darto sehari sekitar Rp
15.000 – 20.000 per hari. Uang itu diper-
gunakannya untuk membeli kebutuhan rumah
tangga. Ketika ditanyakan apakah ia
menabung, Darto menjawab “Darto tidak bisa
menabung, istriku yang kusuruh menabung”.
8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004
19/60
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2004, Volume 3, Nomor 2, Halaman 74 - 80
78
Melihat kepemilikan barang di rumah
Darto, peneliti mendatangi rumahnya yang
berada di Tanjung Morawa. Sebuah rumah
kontrakan berkamar satu dengan ruang tamu
seluas 2 x 3 m, terdapat sebuah kursi panjang,
bertapkan rumbia, berdinding papan dan
berlantaikan semen.
Aryat, 37 tahun
Suku melayu, mengaku tinggal di
Limapuluh Kota. Aryat memiliki empat orang
anak yang semuanya tidak bersekolah. Setiap
harinya ia menghabiskan ongkos Rp 5.000.
fisik Aryat memang sehat tidak memiliki cacat
tubuh apapun, tetapi agar orang merasa
kasihan, ia membalut kakinya dengan perban
dan membubuhkan obat merah.Ketika ditanyakan mengenai simpanan
keluarga, ia menyatakan tidak memiliki
tabungan, untuk biaya kesehatan ia tidak tahu
menahu, karena hal itu urusan istrinya yang
terkadang menjual kayu di kampung.
Kepemilikan barang di rumah Aryat, diakuinya
hanya memiliki sebuah kursi yang sudah rusak
dan sebuah sepeda mini milik anaknya.
Berdasarkan informasi dari subjek
penelitian dan informasi-informasi tambahan
yang diperoleh penulis, maka dapat dianalisis
dari kehidupan sosial ekonomi pengemis,antara lain:
1. Kondisi Sosial Pengemis
Ditinjau dari kondisi sosial pengemis dapat
dilihat bahwa kelima pengemis tersebut tidak
tamat SD dan bahkan ada yang tidak sekolah
sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat pendidikan mereka sangat rendah.
Dilihat dari motivasi kerja, akibat dari
sempitnya interaksi pengemis ditambah
dengan rendahnya pendidikan membuatmereka memandang bahwa mengemis adalah
satu-satunya alternatif yang terbaik untuk
dijadikan mata pencarian. Pendidikan non
formal seperti pelatihan keterampilan
khususnya membuat alas kaki yang diperoleh
sebagian pengemis, membuat tidak efektif
karena tidak dibarengi dengan pendayagunaan
motivasi hidup dan juga pendidikan
keterampilan tersebut belum dapat mengubah
hidupnya menjadi lebih baik. Mengemis juga
menjadi pekerjaan yang diakui oleh komunitas
para pengemis sebagai mata pencarian dan
mereka tidak merasa takut.
2. Kondisi Ekonomi Pengemis
Ditinjau dari kondisi ekonomi pengemis
di perempatan jalan Ir. Haji Juanda dapat
dilihat bahwa jumlah pendapatan pengemis
yang digolongkan pada pendapat kelas
menengah yaitu sebesar Rp 10.000 – 20.000
per hari. Sehubungan dengan tingkat
pengetahuannya yang sangat rendah serta gaya
hidup yang boros membat mereka terlihat
berjalan di tempat.
Hasil penelitian ini memperlihatkan
bahwa penelitian yang dilakukan oleh Patrick
Guiness tidak sepenuhnya berlaku pada
pengemis di Kota Medan. Pendapatan
pengemis di perempatan jalan Ir. Haji Juanda
ternyata sama atau bahkan jauh lebih besar
daripada pendapatan yang diperoleh seorangtukang becak dayung atau buruh.
Kebiasaan mengemis yang dilakukan
berulang kali menyebabkan tumbuhnya suatu
mekanisme pertahanan diri pada orang-orang
yang terbiasa mengemis. Pada puncaknya
mereka menyatakan mengemis adalah
profesinya. Mereka terus bertahan sebagai
pengemis. Keadaan ini terbukti dengan usaha
awal yang dilakukan oleh beberapa orang
pengemis yakni dengan membuat alas kaki
dari sabut kelapa, namun pada akhirnya
berhenti hanya karena penghasilannya tidaksebesar pendapatan mereka bila mengemis.
Suatu stigma yang salah diterapkan para
pengemis. Dalam hal ini mereka memandan
sumber-sumber ekonomi dalam paradigma
sempit. Informasi ataupun teknologi dapat
mereka akses apabila mereka memiliki materi
yang cukup banyak. Keadaan ini merupakan
kesalahan mendasar dalam pembangunan kita
yang memang menerapkan bahwa mereka
yang menguasai sumber-sumber
kemasyarakatan adalah mereka yang memiliki
materi dalam penguasaan sumber-sumbertersebut. Stigma ini dipergunakan pengemis
dalam bertahan hidup. Hasil analisis yang
dilakukan Hardiman, menyatakan bahwa
munculnya pengemis disebabkan oleh dua
faktor, yakni tidak dapatnya sebagian orang
mengakses sumber-sumber kemasyarakatan
serta faktor kecacatan tubuh, tampaknya
terbukti pada penelitian ini.
Kecacatan tubuh yang dimiliki menjadi
suatu apologi atau alat pembelaan bagi mereka
untuk menjalankan profesinya sebagai
pengemis. Bila pihak pemerintah menggelar
operasi penertiban/razia, satu minggu
8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004
20/60
Siregar, Analisis Kehidupan Sosial…
79
kemudian memang mereka tidak ada yang
terlihat di perempatan jalan Ir. Haji Juanda,
namun pada minggu berikutnya, pengemis-
pengemis tersebut akan muncul kembali
menjalankan profesinya seperti biasa.
Kesimpulan
Setelah dilakukan analisis data-data yang
diperoleh dari hasil observasi dan wawancara
terhadap pengemis di perempatan Jalan Ir. Haji
Juanda, dapat ditarik kesimpulan, yakni:
1. Pada umumnya tingkat pendidikan
pengemis adalah tidak tamat Sekolah
Dasar, sehingga mempengaruhi pola
pikirnya tentang masa depan dan motif
kerja.
2. Kondisi fisik yang cacat dijadikan apologidan pembenaran oleh pengemis untuk
melegitimasi pekerjaannya sebagai
pengemis.
3. Pendidikan-pendidikan non formal yang
diperoleh para pengemis ternyata tidak
efektif dalam upaya merubah
kehidupannya agar tidak menjadi
pengemis.
4. Pada umumnya pekerjaan mengemis
adalah pekerjaan utama bagi para
pengemis sementara sebagian kecil,
keluarganya memiliki pekerjaan tam- bahan.
5. Besar pendapatan pengemis dapat menjadi
berkisar antara Rp 300.000 – 600.000 per
bulan. Ini menunjukkan pendapatan
pengemis sudah cukup lumayan.
6. Besarnya pendapatan ini tidak diikuti oleh
perencanaan dan pola pembagian
pendapatan yang tepat sehingga pengemis
tetap tidak dapat merubah kondisi
hidupnya.
7. Hidup boros menjadi pola umum hidup
pengemis, sehingga rumah tetapmengontrak, tidak ada dana, tidak
mendapatkan kesempatan yang memadai,
dan tidak punya kepemilikan barang-
barang yang dapat mengangkat hidup
mereka.
8. Pandangan tentang pentingnya pendi-
dikan masih sangat rendah di kalangan
para pengemis, sehingga akhirnya mereka
tidak memperdulikan pendidikan dan masa
depan anak-anaknya.
9. Petugas Tramtib (Penjaga Ketenteraman
dan Ketertiban) dari Dinas Sosial adalah
masalah utama yang dihadapi para
pengemis dalam mencari nafkah.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik, 1983, Agama dan Peru-
bahan Sosial , Rajawali, Jakarta.
Arikunto, Suharsimi, 1993, Prosedur Pene-
litian. Suatu Pendekatan, Rineka Cipta,
Yogyakarta.
Barbier, Ellianor, 1995, Komposisi Kaum
Borjuis dan Difrensiasinya ke Dalam,
LP3ES, Jakarta.
Bongkok, Hari, 1995, Perjuangan dan Pe-
nindasan, YLPS Humana, Yogyakarta.
Kartono, Kartini, 1983, Pemimpin dan
Kepemimpinan, Rajawali, Jakarta.
Mahasin, Aswab, 1986, Gelandangan: Pan-
dangan Ilmuwan, LP3ES, Jakarta.
Moeljanto, 1986, Kriminologi, Bina Aksara,
Jakarta.
Nurdin, Fadhil, 1990, Pengantar Studi Ke-
sejahteraan Sosial , Angkasa, Bandung.
Rusman, Roosmalawati, 1998, Dampak Krisis
Moneter dan Bencana El Nino terhadap
Masyarakat, Keluarga, Ibu dan Anak di
Indonesia dan Pilihan Intervensi, Sabena
Utama, Jakarta.
Siagian, Sondang, P, 1990, Manajemen
Sumber Daya Manusia, Gramedia,
Jakarta.
Silas, Johan, 1993, Study tentang Pengem-bangan Potensial Sosial Ekonomi Pen-
duduk Daerah Kumuh Surabaya, ITS,
Surabaya.
Suparlan, 1983, Kamus Istilah Kesejahteraan
Sosial , Pustaka Pengarang, Yogyakarta.
Suhartin, R.I, 1989, Cara Mendidik Anak
Dalam Keluarga Masa Kini, Bharata
Karya Aksara, Jakarta.
8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004
21/60
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2004, Volume 3, Nomor 2, Halaman 74 - 80
80
Sumarnonugroho, T, 1