Upload
riancaem
View
79
Download
17
Embed Size (px)
DESCRIPTION
asssssssssssssssssssssssssssssssssss
Citation preview
i
i
IISSSSNN 11441100--66443344 IINNFFOO KKEESSEEHHAATTAANN MMAASSYYAARRAAKKAATT VVoolluummee XXIIII,, NNoommoorr 11,, JJuunnii 22000088,, HHaallaammaann 11110044
TTeerraakkrreeddiittaassii NNoo.. 5566//DDIIKKTTII//KKeepp//22000055
HASIL PENELITIAN
Hubungan Kondisi Rumah dengan Keluhan ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tuntungan Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2008 (17) Evi Naria, Indra Chahaya, dan Asmawati (Pengajar pada Departemen Kesehatan Lingkungan, FKM USU, Alumni Departemen Kesehatan Lingkungan, FKM USU Medan) Pengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan Cara Pemberian Pangan terhadap Profil Lipid Plasma (817) Albiner Siagian (Pengajar pada Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU Medan) Studi Kualitatif Sosio-psikologi Masyarakat terhadap Penyakit Malaria di Daerah Endemis Malaria (Studi Kasus di Kecamatan Gunungsitoli, Kabupaten Nias) (1825) Fotarisman Zaluchu dan Abdul Jalil Amri Arma (Peneliti di Badan Penelitian dan Pengembangan, Provinsi Sumatera Utara, Pengajar pada Departemen Kependudukan dan Biostatistika, FKM USU Medan) Kepesertaan Perusahaan dan Tenaga Kerja dalam Program Jaminan Kecelakaan Kerja pada PT Jamsostek Cabang Medan Tahun 2006 (2633) Gerry Silaban (Pengajar pada Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja FKM USU Medan) Higiene dan Sanitasi Makanan Jajanan di Simpang Selayang Kelurahan Simpang Selayang, Kecamatan Medan Tuntungan, Sumatera Utara (3444) Surya Dharma dan Gunawan (Pengajar pada Departemen Kesehatan Lingkungan FKM USU, Alumni Departemen Kesehatan Lingkungan FKM USU Medan) Analisis Hubungan Karakteristik Individu, Perilaku, dan Pelayanan Kesehatan Masyarakat dengan Kejadian Penyakit Kaki Gajah di Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2007 (4554) Sori Muda Sarumpaet dan Helifenida (Pengajar pada Departemen Epidemiologi FKM USU, Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu) Pengembangan Sistem Pengelolaan Sampah di Kelurahan Bagan Barat Kecamatan Bangko, Kabupaten Rokan Hilir, Propinsi Riau Tahun 2007 (5561) Devi Nuraini S. dan Sri Wahyuni (Pengajar pada Departemen Kesehatan Lingkungan, FKM USU, Alumni Departemen Kesehatan Lingkungan, FKM USU Medan) Kebiasaan Merokok Hubungannya dengan Sarana Sanitasi Rumah di Kabupaten Serdang Bedagai Propinsi Sumatera Utara Tahun 2006 (6265) Nerseri Barus (Pengajar pada Departemen Epidemiologi FKM USU Medan) Pengaruh Pemberian Mie Instan Fortifikasi pada Ibu Menyusui terhadap Pertumbuhan Bayi (6672) Evawany Aritonang (Pengajar pada Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU) Status Gizi dan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Anak Sekolah Dasar di Desa Namo Gajah, Kecamatan Medan Tuntungan (7378) Jumirah, Zulhaida Lubis, dan Evawany Aritonang (Pengajar pada Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU)
ii
ii
TINJAUAN PUSTAKA
Peranan Karotenoid Alami dalam Menangkal Radikal Bebas di dalam Tubuh (7986) Togar Duharman Panjaitan, Budhi Prasetyo, dan Leenawaty Limantara (Program Magister Biologi, Universitas Kristen Satya Wacana, Solo, Ma Chung Research Center, Universitas Ma Chung) Pengukuran Kinerja Rumah Sakit dengan Balanced Scorecard (8791) Siti Khadijah Nasution (Pengajar pada Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, FKM USU Medan) Developing Decision Support System for Water Resources Management Under Uncertainty (9298) Wirsal Hasan dan Herman Mawengkang (Doctoral Program of Management of Natural Resources and Environment, The University of Sumatera Utara) Mencegah Infeksi Difertikula dengan Asupan Serat Makanan yang Cukup (99104) Zulhaida Lubis (Pengajar pada Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara)
1
HHHAAASSSIIILLL PPPEEENNNEEELLLIIITTTIIIAAANNN
HUBUNGAN KONDISI RUMAH DENGAN KELUHAN ISPA PADA
BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TUNTUNGAN KECAMATAN MEDAN TUNTUNGAN TAHUN 2008
Evi Naria1, Indra Chahaya1 dan Asmawati2
1 Departemen Kesehatan Lingkungan,
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara 2Alumni Departemen Kesehatan Lingkungan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT Acute Respiratory Infection (ARI) is the most diseases affecting the children, especially baby and under five years old children. Every child was estimated suffered 3-6 times of ARI in one year period, and 40-60% visitors of puskesmas with ARI symptoms. Risk factors of ARI are included bad environmental condition and health ineligibility, like housing condition and indoor air pollution. The objective of this study was to identify housing condition: ventilation, indoor relative humidity, over crowding, indoor air pollution sources (fuel for cooking, existence of indoor smoker and using insecticide) related to ARI of under five years old children in work area of Puskesmas Tuntungan, Medan Tuntungan Sub district. The study design was cross sectional. The population were mother having underfive years old children, the number of respondent were 86. Data were analyzed using chi square test with 95% confidence level. The result showed that house condition (ventilation, indoor relative humidity, over crowding) and sources of indoor air pollution (fuel for cooking, existence of indoor smoker and using insecticide) was statistically significant different (p< 0.05). It is recommended to do intensive counseling of healthy housing by sanitarian, and Public Health Service. Keywords: Housing condition, ARI, ISPA
PENDAHULUAN
Penyakit berbasis lingkungan masih merupakan masalah kesehatan. Menurut WHO, pada tahun 1997, diperkirakan lebih dari 50 juta kematian (52.200.000 orang) yang disebabkan oleh karena infeksi (ISPA, Tuberkulosis, Diare, HIV/AIDS dan Malaria). Dan sampai saat ini penyakit ISPA masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama baik di negara maju maupun di negara berkembang (Wahyuni, 2004).
Saat ini penyakit berbasis lingkungan merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Hal ini tercermin dari masih tingginya angka kejadian dan kunjungan
penderita beberapa penyakit berbasis lingkungan seperti penyakit diare, infeksi saluran pernafasan bagian atas (ISPA), penyakit kulit, TB paru, kecacingan ke sarana pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2002).
Penyakit ISPA menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat karena tingginya angka kematian terutama pada bayi dan balita. Dari seluruh kematian balita proporsi kematian yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20-30%, setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 kali episode ISPA tiap tahun dan 40-60% dari kunjungan puskesmas adalah ISPA (Depkes RI, 2002).
Hubungan Kondisi Rumah dengan Keluhan (17) Evi Naria, Indra Chahaya, dan Asmawati
2
Infeksi Saluran Pernafasan Akut disebabkan oleh virus, bakteri dan riketsia. Pada infeksi saluran pernafasan atas 90% - 95% penyebab adalah virus. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ISPA adalah merupakan masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh dalam hal ini saluran pernafasan dan berkembang biak sampai menimbulkan gejala penyakit dalam waktu yang berlangsung sampai 14 hari (Depkes RI, 2002).
ISPA merupakan penyakit yang paling banyak diderita oleh anak. Anak umur < 2 tahun merupakan faktor resiko terjadinya pneumonia karena anak di bawah umur 2 tahun imunitasnya belum sempurna dan saluran pernafasan relatif sempit. Prevalensi ISPA bagian bawah (pneumonia) lebih tinggi pada kelompok umur yang lebih muda. Hasil SDKI tahun 1991 menunjukkan prevalensi pneumonia tertinggi pada kelompok umur 12-23 bulan (Yuliastuti dkk, 1992).
Selain faktor umur, gizi balita dan kekebalan juga merupakan faktor resiko ISPA pada balita. Anak yang gizinya kurang atau buruk akan lebih mudah terjangkit penyakit menular atau penyakit infeksi. Menurut Kartasasmita(1994), pemberian imunisasi campak, DPT, pada anak dapat menurunkan insiden campak sekaligus pneumonia. Lebih dari 90% kematian karena pneumonia kompliasi dengan pertusis.
Faktor resiko kejadian ISPA yang lainnya adalah kondisi lingkungan yang buruk atau tidak memenuhi syarat kesehatan, salah satunya adalah kondisi lingkungan perumahan, termasuk pencemaran udara dalam ruang. Sumber pencemaran udara di luar ruangan antara lain pembakaran untuk pemanasan, transportasi dan pabrik-pabrik. Sedangkan pencemaran udara di dalam ruangan antara lain pembakaran bahan bakar dalam rumah yang digunakan untuk memasak dan asap rokok sera penggunaan bahan pengendali serangga (Kusnoputranto, 2000).
Kondisi lingkungan perumahan yang diharapkan adalah memenuhi syarak kesehatan. Adapun persyaratan kesehatan suatu rumah tinggal, antara lain: (1) Bahan bangunan tidak terbuat dari bahan-bahan yang dapat melepaskan zat-zat yang dapat membahayakan kesehatan, dan
dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen. (2) Kualitas udara di dalam rumah, meliputi suhu udara berkisar antara 18-30 C, kelembaban udara berkisar antara 40-70%, konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8 jam. (3) ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai, ruang dapur harus dilengkapi dengan sarana pembuangan asap. (4) Luas ruang tidur minimal 8 m dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang dalam satu ruang tidur, kecuali anak di bawah usia 5 tahun. Hal di atas diatur dalam Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan (Depkes RI, 1999).
Berdasarkan laporan Tahunan Peskesmas Tuntungan Tahun 2007 terdapat sepuluh pola penyakit terbesar di wilayah kerja Puskesmas Tuntungan. Dari kesepuluh penyakit tersebut ISPA merupakan penyakit tertinggi di Puskesmas Tuntungan. Kejadian penyakit ISPA pada balita di wilayah tersebut adalah 283 balita dari 1134 balita yang ada. Sedangkan untuk kondisi lingkungan rumah masih terdapat rumah yang semi permanen dan papan sejumlah 748 rumah. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan kondisi rumah (ventilasi, kelembaban dan kepadatan hunian kamar tidur) dan sumber polusi udara dalam ruangan (bahan bakar untuk memasak, kebiasaan merokok, dan penggunaan bahan pengendali serangga) dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Tuntungan Kecamatan Medan Tuntungan tahun 2008. Manfaat Penelitian
Sebagai sumbangan pikiran dan pertimbangan bagi Dinas Kesehatan Kota Medan untuk menentukan kebijakan serta perencanaan kesehatan pada masyarakat untuk penganggulangan kejadian ISPA dengan prioritas program kesehatan lingkungan. METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Tuntungan. Puskesmas Tuntungan merupakan puskesmas yang ada
Hubungan Kondisi Rumah dengan Keluhan (17) Evi Naria, Indra Chahaya, dan Asmawati
3
di Kecamatan Medan Tuntungan yang terdiri dari 6 kelurahan yang menjadi wilayah kerja Puskesmas Tuntungan. Enam kelurahan tersebut yaitu Ladang Bambu, Sidomulyo, Laucih, Kemenangan Tani, Namo Gajah dan Tanjung Selamat.
Jenis penelitian adalah survai analitik dengan rancangan cross sectional. Populasi adalah ibu yang mempunyai anak balita berjumlah 627 orang. Perhitungan sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus Taro Yamane, dengan jumlah sampel 86 ibu. Apabila dalam satu rumah terdapat lebih dari satu balita maka diminta informasi tentang balita yang terkecil.
Data primer diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner dan melakukan observasi. Data primer meliputi keluhan ISPA pada balita, dan kondisi rumah yaitu ventilasi, kelembaban, kepadatan hunian kamar tidur. Sumber polusi udara dalam rumah meliputi bahan bakar untuk memasak, kebiasaan merokok di dalam rumah, dan penggunaan bahan pengendali serangga. Data lain yang melengkapi data primer adalah pendidikan ibu, dan pendapatan keluarga, serta data balita yaitu umur balita dan imunisasi. Data dianalisa dengan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95% atau dengan = 0,05. HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden Tingkat pendidikan responden yang
terbanyak adalah tamat SLTP dan tamat SLTA yaitu 42 orang (48.8%). Responden yang tidak sekolah, dan tamat SD sebanyak 32 orang (37,2%) dan tamat Perguruan Tinggi dan akademi sebanyak 12 orang (14,0%).
Pendapatan keluarga responden perbulan Rp. 738.000 Rp. 1.500.000 terdapat pada 49 keluarga (57,0%). Pendapatan perbulan kurang dari Rp.738.000 terdapat pada 24 keluarga (27,9%), dan pendapatan perbulan lebih dari Rp.1.500.000 terdapat pada 13 keluarga (15,1%).
Hal ini menunjukkan bahwa persentase tingkat pendidikan dan jumlah pendapatan keluarga perbulannya dapat diperkirakan bahwa rata-rata kondisi ekonomi masyarakatnya berada pada golongan
menengah kebawah. Tingkat pendidikan seseorang berperan dalam mendapatkan pekerjaan atau mata pencaharian. Tingkat pendidikan yang rendah umumnya menghasilkan pendapatan yang rendah pula. Pendidikan yang tinggi di harapkan membawa pola pikir positif terhadap berbagai masalah terutama masalah kesehatan yang berkaitan dengan kondisi lingkungan rumah dan penanganan penyakit ISPA.
Karakteristik Balita
Balita perempuan lebih banyak yaitu sebesar 52,3% (45 orang) daripada laki-laki 47,7% (41 orang). Umur balita 0-3 tahun sebesar 66.3% (57 orang) dan yang berumur > 3-5 tahun sebesar 33.7% (29 orang). Balita yang diberi imunisasi lengkap (sudah di imunisasi BCG, DPT I-III, Polio I-IV, Hepatitis I-III, Campak) sebesar 43,0% (37 orang), dan imunisasi tidak lengkap (salah satu imunisasi yang harus diperoleh tidak terpenuhi) sebesar 57,0% (49 orang).
Anak dengan umur kurang dari 2 tahun merupakan anak yang sangat beresiko terkena penyakit pneumonia. Hal ini disebabkan karena anak di bawah umur 2 tahun imunitasnya belum sempurna dan saluran pernafasan relatif sempit. Prevalensi ISPA bagian bawah (pneumonia) lebih tinggi pada kelompok umur yang lebih muda. Hasil SDKI tahun 1991 menunjukkan prevalensi pneumonia paling tinggi pada kelompok umur 12-23 bulan (Yuliastuti dkk, 1992). Kondisi Rumah
Kondisi rumah yang diamati pada penelitian ini adalah ventilasi rumah, kelembaban, dan kepadatan hunian kamar tidur. Variabel ini yang diamati, karena merupakan faktor resiko dan memberikan kontribusi terhadap kejadian ISPA.
Ventilasi adalah luas penghawaan yang permanen yang ada pada rumah minimal 10% dari luas lantai menurut Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/ VII/1999. Ventilasi yang memenuhi syarat (lebih dari10% dari luas lantai) sebanyak 35 rumah (40,7%), dan yang tidak memenuhi syarat (kurang dari10% dari luas lantai) sebanyak 51 rumah (59,3%).
Kelembaban adalah kualitas keadaan udara di dalam ruangan rumah, kelembaban yang baik berkisar pada 40%
Hubungan Kondisi Rumah dengan Keluhan (17) Evi Naria, Indra Chahaya, dan Asmawati
4
-70%. Pengukuran dilakukan dengan alat higrometer. Hasil pengukuran menunjukkan kelembaban rumah yang memenuhi syarat (40% -70%) yaitu sebesar 43,0% yaitu 37 rumah dan yang tidak memenuhi syarat (kurang dari 40% dan lebih dari70%) yaitu sebesar 57,0% yaitu 49 rumah.
Kepadatan hunian ruang tidur adalah luas ruang tidur minimal 8 m dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 (dua) orang dewasa (Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/II/1999). Kepadatan hunian ruang tidur dihitung berdasarkan luas ruangan dan penghuni kamar tidur. Hunian kamar tidur yang padat (kurang dari 8 m2 untuk lebih dari 2 orang) terdapat pada 59 rumah (68,6%) dan rumah yang kamar tidurnya tidak padat (8 m2 untuk 2 orang) ada 27 rumah (31,4%).
Ventilasi rumah di wilayah kerja Puskesmas Tuntungan banyak yang tidak memenuhi syarat kesehatan Ventilasi sangat menentukan kualitas udara dalam ruangan karena dengan ventilasi yang cukup akan memungkinkan lancarnya sirkulasi udara dalam rumah dan masuknya sinar matahari ke dalam rumah yang dapat membunuh mikroorganisme pathogen.
Ventilasi yang memenuhi syarat dapat menghindarkan pengaruh buruk yang dapat merugikan kesehatan manusia pada suatu ruangan. Ventilasi yang baik akan memungkinkan gerakan angin dan pertukaran udara bersih menjadi lebih lancar (cross ventilation) (Lubis, 1985). Ventilasi berkaitan dengan kelembaban. Apabila ventilasi rumah tidak baik maka tidak baik pula kelembaban rumahnya. Kelembaban yang tidak baik secara langsung mempengaruhi keberadaan spora jamur dan kemungkinan terjadi peningkatan pertumbuhan pada permukaan yang dapat menyerap air (Pudjiastuti, 1998).
Selain ventilasi, yang perlu diperhatikan juga adalah kelembaban. Keadaan kelembaban rumah memenuhi syarat atau tidak memenuhi syarat dapat terjadi karena keadaan ventilasi rumah. Kurangnya ventilasi rumah akan meningkatkan kelembaban rumah. Kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan untuk rumah tinggal antara 40%-70%. Udara yang lembab akan menimbulkan gangguan kesehatan penghuninya terutama timbulnya penyakit ISPA. Kelembaban yang
tinggi merupakan media yang baik untuk perkembangan mikroorganisme pathogen. Kelembaban rumah yang tinggi akan mendukung terjadinya penyakit dan penularan penyakit (Jawetz E, 1986). Pada rumah rumah di wilayah ini, kamar tidur yang padat penghuninya lebih banyak daripada yang tidak padat. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan rumah tergolong tidak baik. Padahal kepadatan penghuni dalam rumah (over crowding) dapat menyebabkan penularan penyakit semakin cepat.
Kepadatan di dalam kamar tidur merupakan salah satu yang perlu diperhatikan dalam lingkungan rumah. Kamar tidur yang padat menunjukkan tidak seimbangnya jumlah penghuni dengan luas kamar tidur. Menurut Kepmenkes RI No.829/Menkes/SK/VII/1999, standar penghuni dengan luas kamar tidur 8m2 adalah 2 penghuni. Kepadatan yang tidak sesuai dengan standar akan menimbulkan ruangan menjadi tidak nyaman. Kepadatan hunian dapat mempengaruhi kualitas udara di dalam rumah, dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara dalam rumah mengalami pencemaran. Pencemaran Udara dalam Rumah
Pencemaran udara dalam ruang meliputi variabel bahan bakar untuk masak, kebiasaan merokok dalam rumah dan bahan pengendali serangga. Varibel ini dipilih karena merupakan faktor resiko dari kejadian ISPA.
Bahan bakar untuk memasak adalah jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak, terdiri dari kompor gas/elpiji, kompor minyak tanah, dan kayu. Rumah yang menggunakan kayu bakar untuk memasak ada 48 rumah (55,8%), sedangkan yang menggunakan kompor minyak tanah dan kompor gas ada sebanyak 38 rumah (44,2%).
Kebiasaan merokok adalah adanya penghuni rumah yang mempunyai kebiasaan merokok didalam rumah. Kebiasaan merokok dalam rumah terdapat pada 57 rumah (66,3%) sedangkan yang tidak terdapat kebiasaan merokok dalam rumah terdapat pada 29 rumah (33,7%).
Penggunaan bahan pengendali serangga adalah insektisida yang digunakan membasmi serangga dalam
Hubungan Kondisi Rumah dengan Keluhan (17) Evi Naria, Indra Chahaya, dan Asmawati
5
bentuk semprot dan obat nyamuk bakar. Penggunaan bahan pengendali serangga berupa obat nyamuk bakar, dan semprot, terdapat pada 56 rumah (65,1%), dan yang tidak menggunakan obat nyamuk bakar akan tetapi menggunakan kelambu sebesar 30 rumah (34,9%).
Jumlah rumah yang menggunakan bahan bakar kayu lebih banyak dibandingkan yang menggunakan jenis bahan bakar lainnya. Jumlah rumah yang terdapat kebiasaan merokok di dalam rumah lebih banyak dibandingkan yang tidak merokok di dalam rumah. Jumlah rumah yang menggunakan bahan pengendali serangga lebih banyak dibandingkan yang tidak menggunakan bahan pengendali serangga. Hal ini tentunya dapat memicu kejadian penyakit saluran pernapasan pada penghuni rumah.
Pencemaran dalam ruang merupakan perubahan kondisi ruangan yang disebabkan masuknya atau dimasukinya oleh suatu zat/bahan ke dalam ruangan akibat aktivitas manusia. Pencemaran dalam ruangan bisa berasal dari penggunaan bahan bakar untuk memasak, keberadaan perokok dalam rumah dan penggunaan bahan pengendali serangga. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru, sehingga mempermudah timbulnya gangguan pada saluran pernapasan.
Kejadian ISPA pada balita yang tinggal pada rumah yang menggunakan bahan bakar kayu lebih tinggi dari pada balita yang tinggal pada rumah yang menggunakan bahan bakar gas elpiji atau kompor. Hal ini kemungkinan karena ibu rumah tangga pada saat memasak di dapur menggendong anaknya, atau anak bermain disekitar dapur sehingga asap bahan bakar tersebut terhirup oleh balita. Pemaparan yang terjadi dalam rumah juga tergantung lamanya orang berada di dapur atau ruang lainnya yang telah terpapar bahan pencemar.
Kebiasaan anggota keluarga yang merokok di dalam rumah memberikan pengaruh pada anggota keluarga yang lainnya yang tidak merokok. Asap rokok sangat berbahaya bagi kesehatan, khususnya terhadap balita karena bahan-bahan toksik yang terkandung dalam rokok.
Pajanan terhadap orang yang tidak merokok (perokok pasif) hanya dihubungkan
dengan meningkatnya resiko kesakitan pernapasan akut pada 2 tahun pertama usia kehidupan. Pajanan dari ibu merokok adalah sekitar 2 kali resiko penyakit saluran pernapasan bagian bawah pada 2 tahun pertama kehidupan balita (Graham, 1990).
Sumber polutan dalam ruangan yang berasal dari bahan pengendali serangga yaitu penggunaan obat nyamuk bakar. Hal ini kemungkinan terjadi karena penggunaan obat nyamuk bakar untuk menghindari gigitan nyamuk dapat memicu terjadinya ISPA karena menghasilkan asap dan bau yang mengganggu.
Kepadatan hunian kamar tidur pada penelitian ini tergolong tidak baik. Artinya, bahwa masih banyak rumah yang tergolong padat penghuni atau over crowding. Padahal kepadatan penghuni dalam rumah (over crowding) dapat menyebabkan penularan penyakit semakin cepat. Keluhan ISPA
Kejadian ISPA pada balita berdasarkan hasil wawancara dengan pendamping yaitu ibunya. Adapun penentun dilakukan berdasarkan gejala-gejala ISPA ringan yang dikeluhkan seperti batuk, pilek, sakit kepala, sakit tenggorokan, bisa disertai demam dan sesak nafas, dalam 2 (dua) minggu terakhir saat pengambilan data. Balita yang mengalami keluhan sebanyak 57 balita (66,3%), dan yang tidak mengalami keluhan sebanyak 29 balita (33.7%).
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan yang banyak menyerang anak-anak di bawah usia lima tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi resiko kejadian penyakit ISPA adalah faktor sosiodemografi, kondisi rumah dan polusi rumah dalam ruangan (Agustama, 2005). Hubungan Kondisi Rumah dengan Kejadian ISPA
Hasil uji Chi Square untuk variabel kondisi rumah yang meliputi ventilasi, kelembaban rumah, dan kepadatan hunian kamar tidur dengan keluhan ISPA pada tingkat signifikan 0,05 dapat dilihat pada Tabel 1.
Hubungan Kondisi Rumah dengan Keluhan (17) Evi Naria, Indra Chahaya, dan Asmawati
6
Hasil uji Chi Square menunjukkan semua variabel mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian ISPA. Variabel ventilasi dengan keluhan ISPA didapatkan p = 0,043, kelembaban dengan keluhan ISPA didapat p = 0,003, kepadatan hunian kamar tidur dengan keluhan ISPA didapatkan p = 0,000, ternyata semua variabel mempunyai nilai p lebih kecil dari 0,05.
Hal ini berdasarkan penelitian Dewi (1995) di kabupaten Klaten yang menemukan ada hubungan bermakna antara kepadatan hunian dengan penyakit pneumonia pada balita. Balita yang tinggal pada rumah yang padat penghuni mempunyai resiko terkena pneumonia 2,55 kali lebih besar dibandingkan dengan rumah yang tidak padat penghuni.
Hasil uji Chi Square variabel pencemaran udara dalam ruang meliputi bahan bakar untuk memasak, kebiasaan merokok dalam rumah, dan penggunaan bahan pengendali serangga dengan keluhan ISPA dapat dilihat pada Tabel 2.
Hasil uji Chi Square menunjukkan semua variabel mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian ISPA. Variabel penggunaan bahan bakar untuk memasak dengan keluhan ISPA didapatkan p = 0,001, kebiasaan merokok dalam ruangan dengan keluhan ISPA didapatkan p = 0,012 dan penggunaan bahan pengendali serangga dengan keluhan ISPA didapatkan p = 0,010 ternyata semua variabel mempunyai nilai p lebih kecil dari 0,05.
Tabel 1. Hubungan Kondisi Rumah dengan Keluhan ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Tuntungan Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2008
Kejadian ISPA Variabel
ada keluhan tidak ada keluhan Total p
tidak memenuhi syarat (10% dr luas lantai) 19 16 35 Total 57 29 86
0,043
Tidak memenuhi syarat (70%) 39 10 49 memenuhi syarat (40%-70%) 18 19 37
Total 57 29 86
0.003 Padat (< 8 m 2 untuk lebih dari 2 orang) 50 9 59
Tidak padat (> 8 m 2 untuk lebih dari 2 orang) 7 20 27 Total 57 29 86
0,000
Tabel 2. Hubungan Pencemaran Udara dalam Ruang dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Tuntungan Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2008
Kejadian ISPA Variabel
Ada keluhan Tidak ada keluhan
Total p
Kayu 39 9 48
Gas elpiji, Kompor 18 20 38
Total 57 29 86
0,001
Ada yang merokok 43 14 57
Tidak ada yang merokok 14 15 29
Total 57 29 86
0,012
Menggunakan Obat nyamuk 48 17 65 Tidak menggunakan obat nyamuk (menggunakan kelambu)
9 12 21
Total 57 29 86
0.010
Hubungan Kondisi Rumah dengan Keluhan (17) Eva Naria, Indra Chahaya, dan Asmawati
7
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Kondisi rumah di wilayah kerja
Puskesmas Tuntungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu: Ventilasi sebanyak 51 rumah (59,3%), kelembaban sebanyak 49 rumah (57,0%), dan kamar tidur yang padat penghuninya 59 rumah (68,6%). Sumber bahan pencemar dalam ruangan yaitu bahan bakar untuk masak yang menggunakan kayu sebanyak 48 rumah (55,8%), ada yang merokok dalam rumah 57 rumah (66,3%) serta yang menggunakan bahan pengendali serangga 56 rumah (65,1%).
2. Balita yang mengalami keluhan yang berkaitan dengan kejadian ISPA adalah 57 balita (66,3%).
3. Masing-masing variabel kondisi lingkungan rumah yaitu ventilasi, kelembaban, kepadatan hunian kamar tidur, bahan bakar untuk memasak, keberadaan perokok dalam rumah, dan bahan pengendali serangga menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dengan kejadian ISPA.
Saran 1. Bagi masyarakat yang berada di wilayah
kerja Puskesmas Tuntungan perlu memperhatikan kondisi lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan seperti ventilasi untuk sirkulasi udara.
2. Bagi instansi kesahatan terutama Puskesmas Tuntungan untuk
mengupayakan penyuluhan yang intensif tentang perumahan sehat.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI, 1995. Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita dalam Pelita VI, Dirjen PPM dan PLP, Jakarta.
..................., 2002. Buku Pedoman Pemberantasan Diare, Dirjen PPM dan PLP, Jakarta.
..................., 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita, Jakarta.
Kartasasmita, 1995. Morbiditas dan Faktor Resiko Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Cikutra Suatu Daerah Urban di Kotamadya Bandung, Vol 225, No 4, 137-139
Lubis, 1985. Perumahan Sehat, Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Sanitasi Pusat, Depkes RI, Jakarta.
Sarimawar, 1999. Pravalensi Pneumonia dan Demam Pada Bayi dan Anak Balita, Buletin Penelitian Kesehatan.
Wahyuningsih, 1999. Rumah dan Pemukiman. FKM, UNDIP.
Yuliastuti, dkk, 1992. Gambaran Selintas Pasien ISPA di Poliklinik UPA RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Berita Kedokteran Masyarakat.
8
HHHAAASSSIIILLL PPPEEENNNEEELLLIIITTTIIIAAANNN
PENGARUH INDEKS GLIKEMIK, KOMPOSISI, DAN CARA
PEMBERIAN PANGAN TERHADAP PROFIL LIPID PLASMA
Albiner Siagian1
1Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Medan
Jl. Universitas No. 21 Kampus USU Medan, Telepon (061) 8213221
ABSTRACT This research was aimed to analyze the effects of glycemic index, composition, and frequency of serving of food on lipid profile of plasm after lunch. The study design was randomized controlled trial with high glycemic index food as control. The location of the research was in Medan, North Sumatra Province. Total subjects were 64 which consisted of 32 normal and 32 obese subjects, based on their body mass index. The number of male and female subjects were selected equally. Subject aged between 18 to 35 years. Test meals consisted of four types, i.e. high glycemic index food (GI:94), low glycemic index food (GI:52), medium glycemic index (high carbohydrate-low fat, GI:66), and medium glycemic index (low carbohydrate-high fat, GI:64) served at the morning. Reference food was white bread (GI:100). The study showed that there is no significant effect of low glycemic index food served at the morning on the lipid profile of plasm atfter lunch. There was no significant difference (p
Pengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan Cara (817) Albiner Siagian
9
Berbagai cara modifikasi pangan telah diupayakan untuk menangani kelainan akibat kelebihan lipid (hiperlipidemia). Upaya tersebut antara lain adalah pengurangan asupan kalori untuk mendapatkan bobot badan ideal, pengurangan asupan lemak total dan kolesterol, dan peningkatan konsumsi protein nabati sebagai pengganti protein hewani. Modifikasi diet karbohidrat juga menjadi topik penelitian yang hangat (Jenkins et al. 1987).
Landasan dari pendekatan ini adalah hasil penelitian Albrink et al (1979) yang menayatakan bahwa sintesa lipid di hati (hepatic lipogenesis, terutama sinstesa trigliserida) dapat dikurangi dengan meminimalkan peningkatan glukosa dan insulin postprandial.
Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh IG, komposisi, dan cara pemberian pangan pagi hari terhadap profil lipid plasma pada subjek obes dan normal. Manfaat Penelitian Menghasilkan informasi tambahan (bukti
ilmiah) berkaitan dengan modifikasi pangan pada pagi hari dan efeknya pada profil lipid plasma pada siang hari. Menghasilkan data dasar penting untuk
penatalaksanaan diet bagi penderita obesitas dan hipertrigliserida.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Medan
Sumatera Utara. Analisis biokimia darah (hemoglobin, glukosa, trigliserida, dan kolesterol) dilakukan dengan bekerjasama dengan Laboratorium Klinik Gatot Subroto Medan. Sedangkan, analisa komposisi zat gizi pangan dilakukan di Laboratorium Kimia Makanan, Departemen Gizi Masyarakat IPB. Penjaringan subjek penelitian dan pengambilan data berlangsung pada bulan Mei-Oktober 2005.
Penyiapan Pangan Pangan Acuan
Pangan acuan yang digunakan adalah roti tawar (IG:100) yang mengandung 50 gram karbohidrat. Alasannya adalah karena
roti tawar lebih mencerminkan mekanisme fisiologis dan metabolik daripada glukosa murni (Miller et al. 1997).
Pangan Uji Berdasarkan IG-nya, pangan uji dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu pangan yang memiliki IG rendah (IG70). Sedangkan menurut komposisinya, pangan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu rendah karbohidrat-tinggi lemak (persentase sumbangan kalori 60% dari karbohidrat, 25% dari lemak, dan 15% dari protein) dan rendah lemak-tinggi karbohidrat (dengan persentase sumbangan kalori 25% dari karbohidrat, 60% dari lemak, dan 15% dari protein). Kedua jenis komposisi pangan ini juga mewakili pangan dengan IG sedang (IG:55-70). Kuantitas energi pangan uji, masing-masing, adalah 750 kkal.
Pangan uji siang hari adalah pangan yang memiliki IG tinggi (IG:100) yang mengandung 750 kkal. Pangan siang diberikan kepada subjek 4 jam setelah pemberian pangan pagi.
Analisis Zat Gizi Pangan uji yang akan diukur IG-nya
terlebih dahulu dianalisis profil gizi makronya, yaitu karbohidrat (karbohidrat total, available carbohydrate, patiamilosa dan amilopektinserat total, dan serat kasar), protein total dan lemak total.
Komposisi Pangan Uji Pangan uji terdiri atas empat jenis,
yaitu pangan uji IG-rendah, pangan uji IG-sedang komposisi-1 (tinggi karbohidrat-rendah lemak), pangan uji IG-sedang komposisi-2 (rendah karbohidrat-tinggi lemak), dan pangan uji IG-tinggi. Sementara itu, cara pemberian makan juga dibedakan, yaitu satu kali pemberian dan dua kali pemberian. Kuantitas kalori pangan uji adalah 750 kkal. Kuantitas pangan untuk dua kali pemberian masing-masing adalah 375 kkal.
Agar memenuhi kriteria nilai IG, selanjutnya IG pangan uji diperkirakan dengan metode pengukuran IG pangan campuran (Miller et al. 1997). Indeks glikemik masing-masing pangan penyusun pangan uji diperoleh dari International Table of Glycemic Index and Glycemic Load (Foster-Powel et al. 2002).
Pengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan Cara (817) Albiner Siagian
10
Tabel 1. Komposisi Zat Gizi Pangan Uji Setara 750 kkal
Karbohidrat1 Protein Lemak Serat2 Pangan Uji g kkal g kkal G kkal g
IG-rendah 103,5 414,0 38,0 152,0 20,5 184 4,3 IG-sedang (komposisi-1) 112,4 450.0 38,2 152,0 16,2 146,0 4.3 IG-sedang (komposisi-2) 56,4 226,0 43,5 175,0 38,9 350,0 4.2
IG-tinggi 103,2 412,0 37,4 150,0 20,8 188,0 4,6 1by difference; 2serat total; Komposisi-1: tinggi karbohidrat-rendah lemak;Komposisi-2: rendah karbohidrat-tinggi lemak
Pangan uji IG-tinggi disusun oleh kentang rebus, gula, daging sapi rebus, wortel rebus, dan jus semangka, dan secukupnya. Sedangkan pangan uji IG rendah terdiri atas nasi ramos kukus, gula putih, daging sapi rebus, buncis rebus, dan jus apel, dan garam secukupnya.
Kentang rebus (IG:96), gula (IG:74), dan wortel rebus (IG:90) sebagai komponen utama pangan uji IG-tinggi menyumbang IG campuran berturut-turut sebesar 58,6 (65%), 12,9 (14%), dan 10,3 (11%). Sementara itu, pada pangan uji IG rendah, buncis rebus (IG:30) dan jus apel (IG:40) berperan menurunkan IG pangan campuran.
Pangan uji IG-sedang (tinggi karbohidrat-rendah lemak) didasarkan pada porsi sumbangan kalori dari karbohidrat, protein, dan lemak pangan. Proporsi sumbangan kalori tersebut adalah 60% dari karbohidrat, 25% dari lemak, dan 15% dari protein. Pangan uji IG-sedang ini terdiri atas nasi ketan hitam kukus, dada ayam goreng, putih telur bebek rebus, susu tepung, buncis rebus, jus apel, gula, dan garam secukupnya.
Komposisi kalori pangan uji IG-sedang (rendah karbohidrat-tinggi lemak) adalah 60% kalori dari lemak, 25% kalori dari karbohidrat, dan 15% kalori dari protein. Pangan uji ini tersusun dari nasi ketan hitam kukus, dada ayam goreng, lemak kambing, satu porsi susu tepung, buncis rebus, jus apel, dan garam secukupnya.
Subjek Penelitian Subjek penelitian berumur 18-30 tahun
yang terdiri atas dua kelompok, yaitu normal dan kelompok obes. Untuk satu jenis pangan uji (perlakuan) dibutuhkan delapan orang subjek normal dan delapan orang subjek obes (masing-masing empat orang pria dan wanita). Setiap kelompok subjek mengalami perlakuan untuk pemberian pangan sela (dua kali pemberian), setelah tiga hari periode
wash out. Jumlah total subjek adalah 64 orang.
Subjek dilengkapi dengan surat pernyataan kesediaan dan inform consent, serta ethical clearance nomor KS.02.01.2.1.2746 tanggal 16 September 2005. Subjek terlebih dulu menjalani pemeriksaan profil biokimia darah (kadar hemoglobin, glukosa, trigliserida, dan kolesterol total).
Kriteria inklusi subjek adalah: tidak memiliki riwayat penyakit DM, tidak sedang mangalami gangguan pencernaan, tidak menggunakan obat terlarang, dan tidak mengonsumsi alkohol. Indeks massa tubuh (IMT) subjek adalah antara 2025 kg/m2 (normal) dan IMT 25 (obes). Selanjutnya, subjek tidak memiliki riwayat atau sedang mengalami hipertensi dan tidak sedang mengalami tekanan psikologis. Tingkat aktivitas fisik adalah sedang serta mereka berasal dari suku Batak. Subjek dialokasikan secara merata ke dalam setiap kelompok. Penempatan subjek ke dalam kelompok dilakukan secara acak berstrata.
Desain Penelitian
Pengujian efek IG, komposisi zat gizi, dan frekuensi pemberian sarapan pada respons glikemik dan nafsu makan pasca-makan siang dilakukan dengan metode eksperimen dengan studi acak kelompok terkendali (Kelinbaum et al. 1982; Murti 2003). Pemberian pangan uji dan penempatan subjek pada kelompoknya dilakukan secara acak. Pemberian pangan uji (sarapan) dilakukan pada pukul 8.00 WIB, setelah subjek menjalani puasa, kecuali air.
Pemberian Pangan Uji (Satu Kali Pemberian Makan) Pada pagi hari (pukul 8.00 WIB), sebelum pemberian pangan uji (sarapan), sampel darah diambil untuk mengukur kadar
Pengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan Cara (817) Albiner Siagian
11
glukosa puasa. Selanjutnya, sampel darah kembali diambil berturut-turut pada pukul; 8.15, 8.30, 9.00, 10.00, 11.00, dan 12.00 WIB. Hal ini berlaku untuk semua kelompok perlakuan. Pada pukul 12.00 WIB, makan siang diberikan kepada semua kelompok perlakuan. Sampel darah kembali diambil pada pukul 12.15, 12.30, 13.00, 14.00, 15.00, dan 16.00 WIB untuk diukur kadar glukosanya.
Pemberian Pangan Sela (Dua Kali Pemberian Makan)
Tiga hari setelah periode wash-out pangan sela diberikan kepada subjek pada setiap kelompok. Pangan sela diberikan dua jam setelah pemberian sarapan. Pangan diberikan dua kali, yaitu setengah (setara dengan 375 kkal) dari kuantitas pangan pada satu kali pemberian pada pagi hari (pukul 8.00 WIB) dan setengah lagi pada pukul 10.00 WIB. Masing-masing kelompok menerima pangan patokan (IG-tinggi) pada siang hari. Selama pengujian, subjek hanya diperbolehkan duduk-duduk atau berjalan-jalan ringan dan tidak boleh mengonsumsi pangan lain, kecuali minum air. Profil Lipid Sampel darah untuk pengukuran kadar trigliserida dan kolesterol total pasca makan siang diambil pada pukul 12.00 (sebelum pemberian) dan 14.00, dan 16.00 WIB. Analisa kadar trigliserida dan kolesterol total, masing-masing, dilakukan dengan metode enzimatis (Bucolo and David, 1973 dan Allain et al. 1974). Analisis Data
Hasil penelitian disajikan sebagai xSD. Analisis pengaruh pemberian sarapan terhadap profil lipid pasca makan siang dilakukan dengan membandingkan respon glikemik, skor nafsu makan, dan profil lipid pasca makan siang antara pangan uji dan pangan acuan.
Perbedaan rata-rata profil lipid antara kelompok menurut jenis kelamin dan kondisi fisiologis pada awal pengamatan dianalisis dengan uji beda rata-rata sampel terpisah (t-test). Perbedaan profil lipid (trigliserida dan kolesterol total) antara kelompok pangan uji ada pangan acuan dianalisis dengan uji rangking-berpasangan Wilcoxon pada setiap titik pengukuran. Perbedaan efek antar
perlakuan diuji dengan uji One-way ANOVA dengan post hoc test Bonferroni menggunakan SPSS for Windows version 12. Taraf kepercayaan untuk keseluruhan analisis adalah 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Trigliserida dan Kolesterol Total Pasca Makan Siang
Berbagai cara modifikasi pangan telah diupayakan untuk menangani kelainan akibat kelebihan lipid (hiperlipidemia). Upaya tersebut antara lain adalah pengurangan asupan kalori untuk mendapatkan bobot badan ideal, pengurangan asupan lemak total dan kolesterol, dan peningkatan konsumsi protein nabati sebagai pengganti protein hewani. Modifikasi diet karbohidrat juga menjadi topik penelitian yang hangat (Jenkins et al. 1987).
Landasan dari pendekatan ini adalah hasil penelitian Albrink et al (1979) yang menayatakan bahwa sintesa lipid di hati (hepatic lipogenesis, terutama sinstesa trigliserida) dapat dikurangi dengan meminimalkan peningkatan glukosa dan insulin postprandial.
Jenkins et al (1985) mengemukakan bahwa pangan yang memiliki IG yang rendah dapat berperan dalam penanganan kelainan hiperlipidemia, terutama hipertrigliseridemia. Hal ini didasarkan atas pengujian hipotesa yang menyatakan bahwa pemilihan pangan yang meminimalkan peningkatan kadar glukosa darah dan insulin dapat menurunkan rangsangan sintesa trigliserida hepatik.
Harbis et al (2004) menunjukkan bahwa jenis karbohidrat pangan dapat mempengaruhi metabolisme lipid post-prandial. Studi intervensi menunjukkan bahwa subjek yang mengonsumsi pangan ber-IG yang tinggi cenderung memiliki LDL-cholesterol yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang mengonsumsi pangan ber-IG yang rendah. Studi crosssectional juga menunjukkan fenomena yang sama (Ludwig, 2002).
Dewasa ini, perhatian juga diberikan kepada diet sangat tinggi lemak-rendah karbohidrat. Berbagai studi menunjukkan bahwa diet jenis ini dapat menurunkan trigliserida, menaikkan HDL-cholesterol dan memperbaiki sensitivitas insulin (Samaha et al. 2003 dan Foster et al. 2003).
Pengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan Cara (817) Albiner Siagian
12
Sementara itu, diet rendah lemak-tinggi karbohidrat telah lama disarankan sebagai diet untuk menurunkan bobot badan pada penderita obes. Diet rendah lemak-tinggi karbohidrat memiliki densitas energi yang lebih rendah daripada diet tinggi lemak-rendah karbohidrat. Diet ini lebih mengenyangkan dan lebih cepat dioksidasi. Sebaliknya, diet tinggi lemak-rendah karbohidrat kurang mengenyangkan, lebih sulit dioksidasi dan lebih mudah (siap) untuk disimpan (Poppit et al. 2002).
Di pihak lain, Foster et al (2006) menunjukkan bahwa diet rendah karbohidrat dapat menurunkan bobot badan penderita obesitas (IMT:33-35) setelah intervensi
selama 3 bulan. Hal senada juga ditemukan oleh Samaha et al (2006) yang membandingkan diet rendah karbohidrat dengan diet rendah lemak pada penderita obesitas berat (rata-rata IMT:43). Samaha dkk menemukan bahwa penurunan bobot badan lebih besar terjadi pada subjek yang mendapatkan diet rendah karbohidrat daripada diet rendah lemak.
Akan tetapi, efek modifikasi diet terhadap profil lipid postprandial akan menunjukkan hasilnya pada jangka panjang. Penelitian ini mencoba mengevaluasi efek modifikasi diet pada pagi hari terhadap profil lipid (trigliserida dan kolesterol total) sebagai respon terhadap konsumsi makan siang.
IG TINGGI (1 KALI PEMBERIAN)
130
130.5
131
131.5
132
0 2 4WAKTU (jam)
KA
DA
R T
RIG
LISE
RID
A
(mg/
dl)
PgnUji
PgnAcuan
IG TINGGI (2 KALI PEMBERIAN)
122.5
123
123.5
124
124.5
0 2 4WAKTU (jam)
KA
DA
R T
RIG
LISE
RID
A
(mg/
dl)
PgnUji
PgnAcuan
IG RENDAH (1 KALI PEMBERIAN)
113.5114
114.5115
115.5116
116.5117
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R T
RIG
LISE
RID
A
(mg/
dl)
PgnUji
PgnAcuan
IG RENDAH (2 KALI PEMBERIAN)
109
109.5
110
110.5
111
111.5
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R T
RIG
LISE
RID
A
(mg/
dl)
PgnUji
PgnAcuan
TINGGI KH-RENDAH LEMAK (1 KALI PEMBERIAN)
100.4100.6100.8
101101.2101.4101.6101.8
102
0 2 4WAKTU (jam)
KA
DA
R T
RIG
LISE
RID
A
(mg/
dl)
PgnUji
PgnAcuan
TINGGI KH-RENDAH LEMAK (2 KALI PEMBERIAN)
99100101102103104105106
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R T
RIG
LISE
RID
A(m
g/dl
)
PgnUji
PgnAcuan
RENDAH KH-TINGGI LEMAK (1 KALI PEMBERIAN)
111.5112
112.5113
113.5114
114.5115
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R T
RIG
LISE
RID
A
(mg/
dl)
PgnUji
PgnAcuan
RENDAH KH-TINGGI LEMAK (2 KALI PEMBERIAN)
130.8131
131.2131.4131.6131.8
132132.2
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R T
RIG
LISE
RID
A(m
g/dl
)
PgnUji
PgnAcuan
Gambar 1. Kadar Trigliserida Pasca Makan Siang (Subjek Normal)
Pengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan Cara (817) Albiner Siagian
13
IG TINGGI (1 KALI PEMBERIAN)
171
171.5
172
172.5
173
173.5
174
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R T
RIG
LISE
RID
A
(mg/
dl)
PgnUji
PgnAcuan
IG TINGGI (2 KALI PEMBERIAN)
173173.2173.4173.6173.8
174174.2
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R T
RIG
LISE
RID
A
(mg/
dl)
PgnUji
PgnAcuan
IG RENDAH (1 KALI PEMBERIAN)
159
159.5
160
160.5
161
161.5
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R K
OLE
STER
OL
(mg/
dl)
PgnUji
PgnAcuan
IG RENDAH (2 KALI PEMBERIAN)
168169170171172173174
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R K
OLE
STER
OL
(mg/
dl)
PgnUji
PgnAcuan
TINGGI KH-RENDAH LEMAK (1 KALI PEMBERIAN)
153
154
155
156
157
158
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R K
OLE
STER
OL
(mg/
dl)
PgnUji
PgnAcuan
TINGGI KH-RENDAH LEMAK (2 KALI PEMBERIAN)
164165166167168169170171
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R K
OLE
STER
OL
(mg/
dl)
PgnUji
PgnAcuan
RENDAH KH-TINGGI LEMAK (1 KALI PEMBERIAN)
159
160
161
162
163
164
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R K
OLE
STER
OL
(mg/
dl)
PgnUji
PgnAcuan
RENDAH KH-TINGGI LEMAK (2 KALI PEMBERIAN)
169.5170
170.5
171171.5
172
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R K
OLE
STER
OL
(mg/
dl)
PgnUji
PgnAcuan
Gambar 2. Kadar Kolesterol Total Pasca Makan Siang (Subjek Normal)
Dari hasil penelitian diketahui bahwa
pada menit ke-0 (sebelum pemberian makan siang), rata-rata kadar trigliserida untuk perlakuan dengan pangan uji dan pangan acuan, masing-masing adalah 98.4 dan 98,5 mg/dl untuk subjek normal (Gambar 1). Sementara itu, untuk subjek obes, sebelum pemberian makan siang, rata-rata kadar trigliserida pada perlakuan dengan pangan uji dan pangan acuan, masing-masing adalah 115.5 dan 117,6 mg/dl (Gambar 2).
Rata-rata kadar kolesterol total pada menit ke-0 (sebelum pemberian makan siang) untuk perlakuan dengan pangan uji
dan pangan acuan, masing-masing adalah 163,4 dan 163,5 mg/dl untuk subjek normal. Sedangkan rata-rata kadar kolesterol total untuk perlakuan dengan pangan uji dan pangan pada waktu yang sama, masing-masing adalah 161,2 dan 161,6 mg/dl, untuk subjek obes.
Hasil uji beda rata-rata kadar trigliserida menunjukkan tidak ada perbedaan rata-rata kadar trigliserida pada menit ke-0 atau pukul 12.00 antara perlakuan dengan pangan uji dan pangan acuan, baik untuk subjek normal maupun subjek obes (p>0,05). Hal senada juga berlaku untuk kadar
Pengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan Cara (817) Albiner Siagian
14
kolesterol total pada perlakuan dan waktu yang sama. Tidak ada perbedaan rata-rata kadar kolesterol total sebelum pemberian makan siang antara perlakuan dengan pangan uji dan pangan acuan, baik pada subjek normal maupun obes (p>0,05). Data ini mengindikasikan bahwa tidak ada pengaruh modifikasi pangan pada pagi hariIG dan cara pemberian pangan yang berbedapada kadar trigliserida dan kolesterol total pada siang hari (jangka pendek).
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa, baik pada subjek normal maupun obes, tidak ada perbedaan kadar trigliserida dan kolesterol total pasca makan siang (sampai dengan empat jam pasca pemberian makan siang) (p>0,05). Jrvi et al (1999) juga menunjukkan bahwa pemberian pangan dengan komposisi dan IG yang berbeda tidak mempengaruhi komposisi asam lemak pada jangka pendek (Gambar 3 dan 4).
IG TINGGI (1 KALI PEMBERIAN)
93
94
95
96
97
98
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R T
RIG
LISE
RID
A
(mg/
dl)
PgnUjiPgnAcuan
IG TINGGI (2 KALI PEMBERIAN)
100
100.5
101
101.5
102
102.5
0 2 4
WAKTU (jam)K
AD
AR
TR
IGLI
SER
IDA
(m
g/dl
)
PgnUji
PgnAcuan
IG RENDAH (1 KALI PEMBERIAN)
94.5
95
95.5
96
96.5
97
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R T
RIG
LISE
RID
A
(mg/
dl)
PgnUji
PgnAcuan
IG RENDAH (2 KALI PEMBERIAN)
102
102.5
103
103.5
104
104.5
105
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R T
RIG
LISE
RID
A
(mg/
dl)
PgnUji
PgnAcuan
TINGGI KH-RENDAH LEMAK (1 KALI PEMBERIAN)
98.599
99.5100
100.5101
101.5102
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R T
RIG
LISE
RID
A (m
g/dl
)
PgnUji
PgnAcuan
TINGGI KH-RENDAH LEMAK (2 KALI PEMBERIAN)
87.5
8888.5
8989.5
90
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R T
RIG
LISE
RID
A (m
g/dl
)
PgnUji
PgnAcuan
RENDAH KH-TINGGI LEMAK (2 KALI PEMBERIAN)
87
88
89
90
91
92
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R T
RIG
LISE
RID
A
(gr/d
l)))
PgnUji
PgnAcuan
RENDAH KH-TINGGI LEMAK (1 KALI PEMBERIAN)
97.598
98.599
99.5100
100.5101
0 2 4WAKTU (jam)
KA
DA
R T
RIG
LISE
RID
A
(mg/
dl)
PgnUji
PgnAcuan
Gambar 3. Kadar Trigliserida Pasca Makan Siang (Subjek Obes)
Pengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan Cara (817) Albiner Siagian
15
IG TINGGI (1 KALI PEMBERIAN)
160.8161
161.2161.4161.6161.8
162162.2162.4
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R O
LEST
ERO
L (m
g/dl
)
PgnUji
PgnAcuan
IG TINGGI (2 KALI PEMBERIAN)
188.5189
189.5190
190.5191
191.5
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R K
OLE
STER
OL
(mg/
dl)
PgnUji
PgnAcuan
IG RENDAH (1 KALI PEMBERIAN)
158159160161162163164165166
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R K
OLE
STER
OL
(mg/
dl)
PgnUji
PgnAcuan
IG RENDAH (2 KALI PEMBERIAN)
159160161162163164165166167
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R K
OLE
STER
OL
(mg/
dl)
PgnUji
PgnAcuan
TINGGI KH-RENDAH LEMAK (1 KALI PEMBERIAN)
161
162
163
164
165
166
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R K
OLE
STER
OL
(mg/
dl)
PgnUji
PgnAcuan
TINGGI KH-RENDAH LEMAK (2 KALI PEMBERIAN)
158160162164166168
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R K
OLE
STER
OL
(mg/
dl)
PgnUji
PgnAcuan
RENDAH KH-TINGGI LEMAK (1 KALI PEMBERIAN)
150
151
152
153
154
155
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R K
OLE
STER
OL
(mg/
dl)
PgnUji
PgnAcuan
RENDAH KH-TINGGI LEMAK (2 KALI PEMBERIAN)
167167.5
168168.5
169169.5
170
0 2 4
WAKTU (jam)
KA
DA
R K
OLE
STER
OL
(mg/
dl)
PgnUji
PgnAcuan
Gambar 4. Kadar Kolesterol Total Pasca Makan Siang (Subjek Obes)
Hal ini senada dengan temuan Jenkins
et al (1985) yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kadar trigliserida dan kolesterol total sampai dengan dua minggu setelah pemberian pangan yang memiliki IG yang rendah. Mereka juga menemukan bahwa tidak ada hubungan langsung antara penurunan IG pangan individual dengan kadar trigliserida. Mereka menyimpulkan bahwa penurunan IG pangan yang disertai dengan peningkatan kadar serat panganlah yang dapat menurunkan kadar trigliserida dan kolesterol total pada jangka pendek.
Dari penelitian ini juga terbukti bahwa pada jangka pendek, modifikasi pangan pada pagi hari (IG dan rasio karbohidrat terhadap
lemak) tidak dapat menurunkan kadar trigliserida dan kolesterol pada siang hari, baik pada subjek normal maupun obes.
Hal yang bertolakbelakang dengan hasil penelitian ini ditemukan oleh Harbis et al (2004) pada penelitian pada subjek obes yang mengalami resistansi insulin. Pada penelitian ini, Harbis dan rekannya menguji hipotesa apakah perubahan pada lipoprotein hepatik postprandial dipengaruhi oleh respon glikemik dan insulinemik terhadap pangan. Mereka menemukan bahwa mengonsumsi pangan yang kaya karbohidrat yang diserap dengan cepat (pangan IG-tinggi) dapat menaikkan insulin dan akumulasi trigliserida
Pengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan Cara (817) Albiner Siagian
16
yang bersirkulasi dalam darah sampai dengan enam jam pasca pemberian pangan uji.
Perbedaan ini kemungkinan besar berkaitan dengan perbedaan subjek penelitian. Subjek pada penelitian Harbis dan kawan-kawan adalah penderita resistansi insulin. Resistansi insulin adalah suatu kelainan metabolik yang dicirikan oleh menurunnya sensitivitas jaringan terhadap insulin (Kendall and Harmel 2002). Resistansi insulin terjadi ketika jaringan gagal merespon insulin secara normal. Efek resistansi insulin antara lain adalah meningkatnya kadar trigliserida dan menurunnya kadar HDL-cholesterol dalam darah (Kendall and Harmel 2002 dan Bessessen 2001).
Hasil uji ANOVA menunjukkan tidak ada perbedaan kadar trigliserida dan kolesterol total pasca makan siang, setelah didahului oleh pangan dengan IG, komposisi yang berbeda pada pagi hari, antar jenis kelamin dan antar kondisi fisiologis, yaitu normal dan obes (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa, pada jangka pendek, pria dan wanita memiliki responsivitas (perubahan profil lipid) yang sama terhadap modifikasi pangan pada pagi hari. Hal yang sama juga berlaku untuk orang normal atau obes.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Tidak ada perbedaan profil lipid
plasma pada subjek obes dan normal pasca-makan siang setelah mengonsumsi pangan dengan indeks glikemik, komposisi, dan cara pemberian yang berbeda pada pagi hari. Hal ini berarti bahwa modifikasi pangan pada pagi hari tidak dapat menurunkan kadar trigliserida dan kolesterol total pada siang hari. Artinya, pendekatan IG pangan tidak dapat memperbaiki profil lipid pada intervensi jangka pendek
Saran
Perlu dilakukan penelitian (eksperimen) untuk mengetahui efek pemberian pangan dengan indeks glikemik, komposisi, dan cara pemberian yang berbeda pada pagi hari pada efeknya pada profil lipid pasca makan siang pada jangka waktu pemberian yang panjang (long-time study).
DAFTAR PUSTAKA Albrink MJ, Newman T, and Davidson RC.
1979. Effect of high- and low-fiber diets on plasma lipids and insulin. Am J Clin Nutr, Vol.32:1486-1492
Allain CC, Poon LS, Chan CS, Richmond W, and Fu, PC. 1974. Enzimatic determination of total serum cholesterol. Clin Chem, Vo.20:470-475
Ball SD, Keller KR, Moyer-Mileur LJ, Ding YW, Donaldson D and Jackson WD. 2003. Prolongation of satiety after low versus moderately high glycemic index meals in obese adolescent. Pediatrics, Vol.111: 4888-494
Bessesen DH. 2001. The role of carbohydrates in insulin resistance. J Nutr, 131:2782S-2786S
Bucolo G and Davis H. 1973. Quantitative determination of serum triglycerides by the use of enzymes. Clin Chem, Vol.19:476-481
Foster-Powel K, Holt SHA, Miler JCB. 2002. International table of glycemic index and glycemic load: 2002. Am J Clin Nutr, Vol.76:5-56
Harbis A, Perdreau S, Vincent-Baudry S, Charbornnier M, Bernard, MC, Raccah D, Senft M, Lorec AM, Defoort C, Portugal H, Vinoy S, Lang V, and Lairon D. 2004. Glycemic and insulinemic meal responses modulate postprandial hepatic and intestinal lipoprotein accumulation in obese, insulin-resistant subjects. Am J Clin Nutr, Vo.80:896-902
Jenkins DJA, Wolever TM, Kalmusky J, Guidici S, Giordano C, Patten RL, Wong GS, Bird JN, Hall M, Buckley G, and Little JA. 1985. Low glycemic index carbohydrate foods in the management of hyperlipidemia. Am J Clin Nutr, Vol.46:66-71
Jenkins DJA, Wolever TM, Kalmusky J, Guidici S, Giordano C, Patten R, Wong GS, Bird JN, Hall M, Buckley G, Csima A, and Little JA. 1987. Low-glycemic index diet in hyperlipidemia: use of traditional starchy foods. Am J Clin Nutr, Vol.46:66-71
Kendall DM and Harmel AM. 2002. The metabolic syndrome, type 2 diabetes, and cardiovascular disease: Understanding the role of insulin resistance. The Am J Managed Care, Vol.8:633S-653S
Pengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan Cara (817) Albiner Siagian
17
Ludwig DS. 2002. The glycemic index: physiological mechanisms relating obesity, diabetes, and cardiovascular diseases. JAMA, Vol.287:2414-2423
Mayer J. 1953. Glucostatic mechanism of the regulation of food intake. N Engl J Med, Vol.249:6-13
Miller JCB, Powel KF, Colagiuri S. 1997. The GI Factor: The GI Solution. Hodder and Stoughton, Hodder Headline Australia Pty Limited
Samaha FF, Igbal N, Seshadri P, Chicano KL, Daily DA, McGrory J, Williams T, Williams M, Gracely EJ and Stern L. 2003. A low-carbohydrate as compared with low-fat diet in severe obesity. N Engl J Med, Vol.348:2074-2081
Sheard NF et al. 2004. Dietary carboydrate (amount and type) in the prevention and management of diabetes. Diabetes Care, Vol. 27: 2266-2271
Slabber M, Barnard HC, Kuyl JM, Dannhauser A, Schall R. 1994. Effect of a low-insulin-response, energy-restricted diet on weight loss and plasma insulin concentration in hyperinsulinemic obese females. Am J Clin Nutr, Vol.60:48-53
Warren JM, Henry CJK, Simonite V. 2003. Low glycemic index breakfast and reduced food intake in preadolescent children. Pediatrics, Vol 112: e414-e419
Willet WC, Manson JA, Liu S. 2002. Glycemic index, glycemic load, and risk of type 2 diabetes. Am J Clin Nutr, Vol.76:274S-280S
18
HHHAAASSSIIILLL PPPEEENNNEEELLLIIITTTIIIAAANNN
STUDI KUALITATIF SOSIO-PSIKOLOGI MASYARAKAT
TERHADAP PENYAKIT MALARIA DI DAERAH ENDEMIS MALARIA (STUDI KASUS DI KECAMATAN GUNUNGSITOLI,
KABUPATEN NIAS)
Fotarisman Zaluchu1 dan Abdul Jalil Amri Arma2
1Peneliti di Badan Penelitian dan Pengembangan, Provinsi Sumatera Utara 2Pengajar pada Departemen Kependudukan dan Biostatistik FKM USU
ABSTRACT Malaria is one of the most communicable diseases in Indonesia. In Nias District, North Sumatra Province, malaria is prevalent and contributing to the endemic status of malaria. The previous study showed that human behavior had a relationship with this disease. the objective of this study is to analyze the dynamic of this human behavior. This research was designed using qualitative approach. Key informants were people understanding about this problem and having experiences with this disease. Using EZ-Text 3.06 developed by CDC, descriptive method was developed. Located in Gunungsitoli, this study had collected 8 key informants. The result of study showed that people in endemic area tend to manage their problem by using their own perception and knowledge. While they felt fever, for instance, they had their own diagnostic for malaria disease. They were familiar buying pil kina as a drug for malaria. As a culture, they did not thought malaria as a problem. This study recommend that the community behavior towards malaria have to be changed in order to prevent the resistance of malaria drug in Nias. Keywords: Endemic disease, Malaria, Human behavior, Socio psichological factors
PENDAHULUAN
Penyakit malaria merupakan masalah kesehatan masyarakat. Menurut laporan World Health Organization (WHO), pada tahun 1998 setiap tahunnya 1-2 juta penduduk dunia mati karena tertular penyakit ini, dari prevalensi malaria sebanyak 270 juta penduduk setiap tahunnya (Agoes, 1998). Bahkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Departemen Kesehatan RI pada tahun 1996/1997 memperkirakan 40% penduduk dunia terancam infeksi ini dan jumlah prevalensi tercatat 200 - 300 juta tiap tahunnya. Annual Parasite Incidence (API) malaria yang menurun dari 0,21 per 1000 penduduk pada tahun 1989 menjadi 0,09 per 1000 penduduk pada tahun 1996 di Jawa-Bali, meningkat lagi menjadi 0,2 per 1000 penduduk pada
tahun 1998. Parasite Rate (PR) malaria di luar Jawa-Bali yang semula sebesar 3,97 persen pada tahun 1995 meningkat menjadi 4,78 persen pada tahun 1997.
Penyakit ini bahkan disebut sebagai emerging disease, yaitu salah satu penyakit menular yang insidensinya pada manusia bertambah atau meningkat pada dua dekade terakhir ini. Hal ini dikarenakan karena malaria menunjukkan wujud epidemiologis dan klinis yang berbeda dari sebelumnya dan dikhawatirkan akan mengancam jumlah penduduk dunia di masa yang akan datang (Agoes, 1998).
Penyakit malaria merupakan penyakit yang endemis di daerah tropis termasuk di Indonesia. Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2001, terdapat 15 juta kasus malaria dengan 38.000 kematian setiap tahunnya dan diperkirakan 35% penduduk
Studi Kualitatif Sosio-psikologi Masyarakat terhadap Penyakit Malaria (1825) Fotarisman Zaluchu dan Abdul Jalil Amri Arma
19
Indonesia tinggal di daerah berisiko tertular malaria. Dari 293 Kabupeten/Kota yang ada di Indonesia,167 Kabupaten/Kota merupakan wilayah endemis malaria (Depkes, 2006). Angka kesakitan malaria di Jawa dan Bali annual parasite incidence (API) pada tahun 2000 sebesar 0,81 turun menjadi 0,15 pada tahun 2004. Untuk di Luar Jawa dan Bali, annual malaria incidence (AMI) pada tahun 2000 sebesar 31,09 turun menjadi 20,57 pada tahun 2004. Namun sejak 1997-2005 kejadian luar biasa (KLB) malaria masih sering terjadi, dengan jumlah kasus 32.987 penderita dan 559 kematian akibat malaria dan case fatality rate (CFR) malaria berat yang dilaporkan dari beberapa rumah sakit berkisar 10-50% (Depkes, 2006). Di Indonesia, malaria merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena menyebabkan 14% kematian dari jumlah kematian di rumah sakit dan juga menjadi sebab 20% kunjungan ke fasilitas kesehatan (Santoso dkk, 1994).
Di Sumatera Utara sendiri, PR menunjukkan kenaikan, yaitu dari 2,21% pada tahun 1992, dan menjadi 5,67% pada tahun 1993 (SKRT, 1994). Data Dinas Kesehatan Kabupaten Nias diperoleh keterangan bahwa pada tahun 2005 penyakit malaria menempati urutan pertama dari sepuluh penyakit utama di Kabupaten Nias, yaitu sebanyak 23.237 kasus (34,45%). Penyakit malaria merupakan penyakit yang endemis di Kabupaten Nias (Harijanto, 2000). Upaya pemberantasan telah di laksanakan, namun angka kesakitan malaria masih tinggi hal ini terbukti dengan AMI Kabupaten Nias masih tinggi, yaitu tahun 2004 85,78, tahun 2005 52,02 dan tahun 2006 42,12. Di samping tingginya AMI yang memperlihatkan bahwa pelaksanaan program pengendalian malaria belum mencapai hasil yang diharapkan, juga ditunjukkan dengan adanya KLB malaria di Nias tahun 2005 sejumlah 253 kasus, kematian 2 orang dengan AR = 2,97% dan CFR = 0,79% (Dinas Kesehatan Kabupaten Nias, 2006)
Jika dibandingkan dengan jumlah seluruh penderita malaria klinis di Propinsi Sumatera Utara, yaitu sebesar 79.472 orang maka Kabupaten Nias mencapai 63% diantaranya, dengan Annual Malaria Incidence (AMI) tahun 1998 tertinggi diantara seluruh kabupaten di Propinsi
Sumatera Utara, yaitu sebesar 73,01 (Profil Kesehatan Sumatera Utara, 1999).
Tingginya angka kejadian penyakit malaria ini berhubungan erat dengan beberapa faktor, dan yang terpenting diantaranya berkaitan dengan lingkungan. Pemberantasan ditujukan kepada perubahan dan modifikasi lingkungan seperti pembuatan kolam ikan, penggunaan vektor biologi pemakan jentik nyamuk, dan intervensi menggunakan buku petunjuk dan petugas lapangan malaria. Akan tetapi yang pernah dilakukan di atas merupakan tindakan intervensi yang ditujukan kepada upaya mencegah vektor mempengaruhi manusia dan belum pada perubahan manusianya sendiri.
Lingkungan sebagai tempat berkembangnya vektor malaria banyak dipengaruhi oleh faktor sosio psikologi (Belding, 1958; WHO, 1986). Padahal, pengendalian terhadap faktor tersebut akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penyebaran malaria (WHO, 1986). Hasil penelitian ini akan menjadi masukan berarti bagi pengelolaan lingkungan, secara khusus untuk menghasilkan lingkungan yang baik dan what bagi semua orang untuk kelangsungan kehidupannya. Pengetahuan yang lebih baik tentang faktor-faktor ini juga akan dapat memberikan jalan keluar yang lebih baik, efektif, efisien dalam pengendalian malaria (WHO, 1986).
Kabupaten Nias, merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara dan merupakan sebuah pulau yang dikelilingi oleh lautan. Pulau ini yang sekaligus merupakan satu kabupaten memanjang dari Utara ke Selatan dengan panjang 120 km dengan lebar Timur ke Barat 40 km. Luas seluruh pulau ini termasuk pulau-pulau kecil di sekitarnya adalah 5.625 km2 yang sebagian besar masih ditutupi oleh hutan sekunder (Gulo, 1983). Hujan dan kemarau silih berganti sepanjang tahun. Penduduk, yang sebagian besar merupakan penduduk miskin (berdasarkan klasifikasi Bappenas, seluruh desa di Nias merupakan penerima Inpres Desa Tertinggal, 1996) menyesuaikan kegiatan pertanian subsisten mereka dengan musim tersebut. Di pulau ini terdapat beberapa sungai besar, akan tetapi sangat dangkal sehingga tidak merupakan sarana transportasi. Struktur tanah muda membuat banyak sarana jalan rusak cepat. Akibatnya
Studi Kualitatif Sosio-psikologi Masyarakat terhadap Penyakit Malaria (1825) Fotarisman Zaluchu dan Abdul Jalil Amri Arma
20
pada sebagian besar daerah, sulit dijangkau oleh kendaraan umum. Nias mempunyai potensi alam untuk pariwisata dan lingkungan sehingga sektor pariwisata merupakan salah satu sumber pendapatan bagi daerah ini. Dengan demikian, penanggulangan malaria di Kabupaten Nias bukan hanya berdampak positip kepada kesehatan masyarakat namun juga akan mampu untuk menarik kunjungan turis ke daerah ini. Karena malaria erat kaitannya dengan produktivitas masyarakat, maka penanggulangannya diharapkan akan berdampak pada peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sosio-psikologi masyarakat terhadap penyakit malaria. Beberapa penelitian yang dilakukan terdahulu di Kabupaten Nias, antara lain Boewono dan Nalim (1996), Dewi dkk (1996), dan Boewono dkk (1997) telah meneliti keberadaan vektor penyakit malaria ini dan merekomendasikan penelitian sosio-psikologi. Dengan demikian, hasil penelitian ini dibarapkan akan dapat menghasilkan masukan bagi program pemberantasan malaria yang lebih efektif di daerah yang lebih spesifik (WHO, 1986). METODE PENELITIAN
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. Sampel didapatkan dengan menggunakan metode snow ball dan menemukan 8 orang informan kunci (key informan). Analisa menggunakan pendekatan deskriptif dibantu dengan software khusus kualitatif EZ-Text 3,06 dari CDC.
Lokasi penelitian dipusatkan di Kecamatan Gunungsitoli dengan asumsi bahwa komunikasi dengan informan akan lebih mudah dilakukan. Syarat informan adalah tokoh masyarakat yang mengetahui bagaimana perilaku masyarakat di Kecamatan Gunungsitoli, memiliki waktu dan bisa berkomunikasi. Pertanyaan penelitian dipersiapkan dengan menggunakan panduan wawancara dengan alat bantu tape recorder dan catatan wawancara selama wawancara dilakukan. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengetahuan masyarakat mengenai penyakit malaria ini umumnya berdasarkan
gejala. Seperti diuraikan oleh salah seorang informan,
"....jika seseorang mengalami demam tinggi (faaukhu) dan menggigil (o'afu) selama 2-3 hari itu pasti terkena malaria..."
Pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap malaria ini dibandingkan dengan beberapa penelitian memiliki variasi sesuai dengan kondisi setempat. Di Banjanegara dan Temanggung, penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa hanya sedikit masyarakat yang mengetahui dengan benar tentang gejala dan tanda-tanda malaria. Sementara di Berakit, Riau Kepualauan, penelitian yang dilakukan pada tahun 1983 menunjukkan bahwa secara umum masyarakat mengetahui mengenai gejala tanda-tanda malaria. Penelitian yang dilakukan di 3 desa Jawa Tengah juga menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk mengetahui dengan benar permasalahan malaria (Santoso dan Kasnodihardjo, 1991).
Kondisi desa penelitian yang secara umum telah lama menjadi daerah endemis serta transportasi yang mudah dijangkau, menyebabkan informasi dan program kesehatan menjadi lebih mudah didapatkan dan diperoleh masyarakat. Masyarakat dari dirinya sendiri sudah membangun persepsi bahwa yang namanya malaria berhubungan dengan demam dan menggigil.
Salah seorang informan lain mengungkapkan,
....biasanya seluruh sendi kita terasa sakit dan tidak enak. Kadang-kadang disertai dengan sakit kepala yang berkepanjangan.
Manusia memang belajar dari pengalamannya. Informan menyatakan bahwa malaria pernah terjadi pada mereka bahkan ada informan yang pernah terserang lebih dari satu kali.
Secara teoritis, masa inkubasi malaria adalah antara 12 sampai 30 hari. Penularan terjadi dengan perantaraan gigitan nyamuk Anopheles sp. Di Indonesia terdapat 93 spesies Anopheles yang dapat merupakan vektor penyakit malaria, dan 18 diantaranya telah dikonfirmasi (Kirnowardoyo, 1991). Beberapa jenis Anopheles yang terpenting di antaranya adalah Anopheles sundaicus, Anopheles aconitus, Anopheles maculatus, Anopheles leucoshyrus, dan Anopheles
Studi Kualitatif Sosio-psikologi Masyarakat terhadap Penyakit Malaria (1825) Fotarisman Zaluchu dan Abdul Jalil Amri Arma
21
hyrcanus. Penderita memiliki gejala sakit kepala, lesu, diikuti demam tinggi seringkali disertai meracau dan menggigil, diakhiri berkeringat banyak. Plasmodium sp. dapat pula menyerang otak menyebabkan Malaria cerebralis dengan gejela-gejala kaku kuduk, kesadaran menurun seperti pada gejala radang otak lainnya. (Entjang, 1997).
Manusia merupakan cumber utama dari penyebaran parasit malaria. Walaupun ada indikasi bahwa primata yang lain dapat merupakan sumber infeksi, akan tetapi masih belum cukup bukti untuk menyatakan keterlibatan tersebut (McGregor, 1985). Menurut Bruce-Chiralt (1985), jenis kelamin dan umur tidak penting dalam penularan malaria ini, tetapi anak-anak memiliki kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang dewasa.
Penduduk asli di suatu daerah endemik masih juga dapat terkena infeksi; hanya gejala klinik biasanya lebih ringan. Di antara penduduk asli secara alami ada yang tidak mudah dan mudah sekali terkena infeksi malaria. Bayi yang baru lahir di daerah endemik sering sekali masih mempunyai kekebalan yang didapat dari ibunya. Perpindahan penduduk ke dan dari daerah endemik masih menimbulkan masalah malaria (Oemijati, 1991).
Lingkungan sosial budaya dan ekonomi setempat juga mempengaruhi besar kecilnya kontak antara manusia dengan vektor (Oemijati, 1991). Berbagai kebiasaan seperti cara membuat rumah, cara bertani dan adat kebiasaan lainnya dapat menambah kontak antara manusia dengan vektor. Di Indonesia bagian Timur, orang membangun rumah dengan dinding yang dibuat dari gaba-gaba, yaitu batang daun pohon sagu. Dinding rumah seperti itu biasanya tidak rapat sehingga nyamuk dengan mudah dapat masuk ke dalam rumah. Kebiasaan menunggui ladang selama bercocok tanam dan tidur di pondok-pondok yang sangat sederhana sangat menambah pemaparan (exposure). Juga bekerja di hutan dan berburu yang mengharuskan seseorang bermalam di hutan sering kali mengakibatkan terjadinya malaria. Kelambu yang sudah dipunyai sebagian besar masyarakat pedesaan, wring sangat kurang penggunaannya. Karena udara panas orang
lebih suka tidur tanpa kelambu, dan ini menambah pemaparan.
Perilaku manusia terhadap lingkungannya merupakan faktor penting dalam penyakit malaria ini. Penelitian Santoso dan Kasnodihardjo (1991), Kirnowardoyo (1991) dan berbagai penelitian lainnya menunjukkan bahwa perilaku masyarakat terhadap perumahan dan lingkungan merupakan penyebab kerentanan penyebaran malaria di daerah penelitian. Pengetahuan yang rendah menenai malaria, pencegahan dan pengobatannya, sikap dan pandangan budaya yang tidak waspada terhadap malaria serta tindakan di lingkungan pemukiman, merupakan pendukung bagi hadirnya vektor malaria. (Oemijati, 1991).
Uniknya, masyarakat sendiri telah pula mengetahui bagaimana meresponi apa yang dialaminya. Seperti diuraikan oleh salah seorang informan, mengenai pengobatan, informan umumnya telah mengetahui obatnya,
"... dulu, biasanya masyarakat memakai Bintang Tujuh. Tetapi sekarang ini, mereka sudah tahu tentang kholoroquin. Mereka biasanya kalau sudah mengalami demam sampai 3 hari, langsung meminum obat malaria atau biasa juga disebut dengan pil kina tersebut..."
Ketika ditelusuri mengenai sumber pengetahuan tersebut, ternyata mereka mendapatkanya dari pengalaman sendiri dan juga informasi dari teman yang memberikan informasi tersebut kepada mereka. Ungkapan salah seorang informan adalah sebagai berikut,
....biasanya masyarakat yang sudah pernah diberikan obat kina tidak perlu ke dokter lagi. Mereka biasa mendapatkannya di apotek..
Pengobatan dengan cara seperti ini merupakan suatu hal yang tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Banjarnegara dan Temanggung. Ditemukan bahwa bila penduduknya merasa sakit malaria penyembuhannya dengan cara minum pil. Pola yang sama juga ditemukan di 3 desa di Jawa Tengah (Santoso dan Kasnodihardjo, 1991).
Masalah yang menjadi kekhawatiran adalah walaupun mereka tahu bahwa pengobatan malaria adalah dengan
Studi Kualitatif Sosio-psikologi Masyarakat terhadap Penyakit Malaria (1825) Fotarisman Zaluchu dan Abdul Jalil Amri Arma
22
kholoroquin atau sejenisnya, mereka kebanyakan melakukan pengobatan dengan cara yang tidak benar. Seorang informan mengungkapkannya:
"... setelah merasa bahwa demamnya sudah sembuh dan mereka dapat kembali bekerja, biasnya masyarakat mengira bahwa malarianya sudah sembuh. Mereka mengentikan meminum obat tersebut lalu kembali meminumnya jika demam dan panas kambuh lagi..."
Dikhawatirkan, cara pengobatan yang tidak sesuai dengan petunjuk pemakaian obat ini akan dapat menimbulkan resistensi terhadap pengobatan malaria. Penelitian yang dilakukan di sejumlah tempat endemik malaria di Indonesia oleh Din Safrudin dan kawan-kawan (1999-2000) ternyata menemukan bahwa di daerah seperti Lampung, Nias dan Kalimantan Timur 100% dari parasit malarianya mempunyai mutasi gen di tubuh parasit malaria (dalam Majalah Tempo, 19 Maret 2000).
Akibatnya, karena masyarakat sudah mengetahui sendiri obatnya maka masyarakat mengganggap bahwa bahwa malaria tidak berbahaya, atau penyakit biasa dan bahkan menyatakan bahwa malaria bukan penyakit menular yang harus dikuatirkan. Seperti diungkapkan oleh salah seorang informan.
"...malaria dulu menjadi momok bagi penduduk. Tetapi sekarang sudah tidak demikian. Malaria seperti sudah menjadi penyakit masyarakat..." Yang lainnya, ah, tidak perlu kuatirlah, kan hanya tinggal minum obatnya...
Malaria yang telah sekian lama menjadi suatu penyakit masyarakat, dianggap tidak lagi menjadi penyakit yang berbahaya. Salah seorang informan bahkan menyatakan bahwa malaria adalah bagian dari budaya mereka.
"Bagi saya, malaria itu telah menjadi tradisi di masyarakat. Malaria adalah penyakit budaya. Tidak ada seorangpun di masyarakat yang tidak tahu apa itu malaria..."
Anggapan bahwa malaria merupakan penyakit biasa dan tidak menular juga diungkapkan oleh seorang informan.
"Masyarakat menganggap bahwa malaria tidak menimbulkan apa-apa bagi dirinya. Ia
masih tetap bisa bekerja. Kalau demam, ia kan tinggal meminum obat. Jadi, tidak perlu menganggap malaria itu sebagai penyakit yang berbahaya..."
Sarwono (1997) mengutip Sudarti menjelaskan keadaan ini dengan menyatakan bahwa umumnya masyarakat tradisional memandang seseorang sebagai sakit jika orang itu kehilangan nafsu makannya atau gairah kerjanya, tidak dapat lagi menjalankan tugasnya sehari-hari secara optimal atau kehilangan kekuatan sehingga harus tinggal di tempat tidur. Dilanjutkannya, selama seseorang masih mampu melaksanakan fungsinya seperti biasa maka orang itu masih dikatakan sehat. Dan akibatnya, masyarakat cenderung tidak perduli dengan keadaan rumah dan lingkungannya.
"Mengenai rumah, yah apa adanya saja. Masyarakat kita tidak tahu apakah itu memenui syarat kesehatan atau tidak. Yang penting, mereka sudah mempunyai rumah. Soal apakah lingkungan mereka terjaga atau tidak, itu lain hal lagi. Manalah masuk dalam pengertiannya tentang malaria itu"
Temuan-temuan di atas merupakan penemuan yang sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Berakit, Riau dan Jawa Tengah yang merupakan salah satu daerah hiperendemik malaria. Masyarakat di daerah tersebut tidak melakukan tindakan pencegahan terhadap kemungkinan tertular malaria, karena menganggap bahwa malaria bukan merupakan penyakit menular dan tidak berbahaya, dan merupakan penyakit biasa karena dalam kehidupan sehari-hari penderita malaria masih tetap bekerja (Santoso dan Kasnodihardjo, 1991).
Menurut Notoatmodjo (1993), persepsi terhadap keadaan sakit menyebabkan masyarakat tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apa-apa terhadap penyakitnya tersebut. Tetapi jika sakit, perilaku yang dilakukan adalah justru juga tetap tidak bertindak oleh karena kondisi yang demikian tidak menganggu kegiatan atau kerja mereka sehari-hari. Mungkin mereka beranggapan bahwa tanpa bertindak apa-apapun simptom yang dideritanya akan lenyap dengan sendirinya. Tidak jarang pula masyarakat memprioritaskan tugas-tugas lain yang dianggap lebih penting daripada mengobati sakitnya. Atau perilaku yang dilakukan adalah melakukan tindakan
Studi Kualitatif Sosio-psikologi Masyarakat terhadap Penyakit Malaria (1825) Fotarisman Zaluchu dan Abdul Jalil Amri Arma
23
pengobatan sendiri dengan salah satu alasan yaitu kepercayaan pada diri sendiri dan sudah merasa bahwa berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lalu usaha-usaha pengobatan sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan.
Menurut Notoatmodjo, perilaku lain juga dapat terjadi yaitu masyarakat mencari pengobatan dengan membeli obat-obat di warung-warung obat dan sejenisnya. Pilihan terhadap pengobatan ke fasilitas-fasilitas kesehatan modern dan dokter hanyalah pilihan terakhir dari masyarakat. Perilaku tersebut menunjukkan adanya penyimpangan yang akhirnya dapat membahayakan kehidupannya sendiri (Salan, 1988).
Masalah ini merupakan suatu problema kesehatan, oleh karena sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa kesehatan adalah kepentingan sekunder, yang dapat diabaikan oleh kepentingan primer yaitu makanan dan tempat perlindungan. Sajono (1995) menyatakan bahwa dalam masyarakat dimana sebagian anggotanya menderita malaria misalnya, hal itu dipandang normal dalam kehidupan masyarakat tersebut.
WHO (dalam Notoatmodjo, 1993) menganalisa bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku tertentu adalah karena adanya 4 (empat) alasan pokok yaitu Pertama. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling), yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan-kepercayaan, dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek kesehatan. Pengetahuan diperoleh dari pengelaman sendiri atau pengelaman orang lain. Kepercayaan sering diperoleh dari orang tua, kakek atau nenek. Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain. Sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu terwujud dalam tindakan nyata. Akan tetapi, sikap dipengaruhi oleh situasi seat itu, acuan terhadap pengalaman orang lain, pengalaman dan nilai di masyarakat.
Kedua, referensi akan mempengaruhi perilaku orang. Apabila seseorang itu penting
untuknya, maka apa yang ia katakan atau perbuat cenderung untuk dicontoh. Orang-orang yang dianggap penting ini disebut kelompok referensi (referensi group), antara lain guru, kepala adat (suku), kepala desa, dan sebagainya.
Ketiga, sumber daya (resources), mencakup uang, waktu, tenaga, dan sebagainya. Semua itu berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat. Pengaruh sumber-sumber daya terhadap perilaku dapat bersifat positif maupun negatif
Keempat, perilaku normal, kebiasan, nilai-nilai, dan penggunaan somber-somber di dalam masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan ini terbentuk dalam waktu yang lama sebagai akibat dan kehidupan suatu masyarakat bersama. Kebudayaan selalu berubah, baik lambat ataupun cepat, sesuai dengan peradaban umat manusia. Kebudayaan atau pola hidup, masyarakat di sini merupakan kombinasi dari semua yang telah disebutkan sebelumnya. Perilaku normal adalah salah satu aspek dari kebudayaan den selanjutnya kebudayaan mempenyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku ini.
Berkaitan dengan penyakit, maka di masyarakat terdapat perbedaan dalam meresponi interaksi terhadap penyakit. Masyarakat memiliki pandangan yang beraneka ragam mengenai konsep sehat-sakit (Notoatmodjo, 1993). Penyakit (disease) adalah suatu bentuk reaksi biologis terhadap suatu organisme, benda asing, atau luka (injury). Hal ini adalah suatu fenomena yang objektif yang ditandai oleh perubahan fungsi-fungsi tubuh sebagai organisme biologis. Sedangkan sakit (illnes) adalah penilaian seseorang terhadap penyakit sehubungan dengan pengalaman yang langsung dialaminya. Hal ini merupakan fenomena (subjektif) yang ditandai dengan perasaan tidak enak (feeling unwell). Batasan tersebut akan dapat menjelaskan misalnya kenapa seseorang secara objektif dapat terkena penyakit, namun dia tidak merasa sakit. Atau sebaliknya seseorang merasa sakit atau merasakan sesuatu di dalam tubuhnya tetapi dari pemeriksaan klinis tidak diperoleh bukti bahwa is sakit
Perilaku sakit diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang diperlukan oleh
Studi Kualitatif Sosio-psikologi Masyarakat terhadap Penyakit Malaria (1825) Fotarisman Zaluchu dan Abdul Jalil Amri Arma
24
individu yang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan, sedangkan perilaku sehat adalah tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara den meningkatkan kesehatannya, termasuk pencegahan penyakit, perawatan kebersihan diri (personal hygiene); penjagaan kebugaran melalui olahraga den makanan bergizi (Sarwono, 1997).
Secara khusus, menurut Yukaida (1997) pandangan masyarakat mengenai perilaku kuat ini memiliki variasi antara lain merasa kuat bila tidak ada gangguan fisik, merasa kuat walaupun ada gangguan fisik tetapi masih mampu melakukan aktivitas, merasa kuat walaupun ada gangguan psikis tetapi masih mampu melakukan aktivitas, merasa kuat melakukan aktivitas dengan anggota fisik yang tidak lengkap (cacat).
Dari pengertian tersebut, terdapat subjektivitas pengertian sehat di masyarakat, secara khusus untuk ketiga pengertian terakhir. Subjektivitas tersebut, selanjutnya menurut Yukaida (1997) disebabkan oleh faktor ekonomi, faktor budaya, serta faktor sosial. Ketiga faktor ini pulalah yang akan menyebabkan perbedaan pengertian masyarakat mengenai konsep sakit. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat keyakinan di masyarakat bahwa malaria adalah merupakan masalah biasa yang bisa mereka tangani sendiri dengan menggunakan pengetahuan yang sudah mereka dapatkan sebelumnya. Sebagai daerah endemis malaria, masyarakat terbiasa menggunakan obat yang umumnya mudah mereka dapatkan. Hal inilah yang bisa menyebabkan resistensi terhadap program pengobatan.
Disarankan untuk segera mengubah pola perilaku demikian karena akan menimbulkan kegagalan terhadap pencega-han dan pengobatan malaria. Pendekatan pendidikan perilaku bisa diterapkan. DAFTAR PUSTAKA Agoes, R. 1998. Pemanasan Global dan
Antisipasi Dampaknya pada Perubahan pola Sebar Penyakit Menular. Dalam Manusia, Kesehatan dan Lingkungan (Editor Kudwiratni Setiono, Johan Sm, Anna A). Bandung, Alumni: halaman 77-94
Belding, DL. 1958. Basic Clinical Parasitology. Appleton-Century-Crofts, Inc. New York. p87-121
Boewono, DT; S. Nalim; T. Sularto; Mujiono; dan Sukarno. 1997. Penentuan Vektor Malaria di Kecamatan Teluk Dalam Nias. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran No. 118 halaman 9-14
Bruce-Chiralt, L.J. 1985. Essential Malariology. A Wiley-Medical Publication
Depkes RI. 2006. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Jakarta: Depkes RI
Dewi, R.M; HA. Marwoto; S. Nalim; Sekartuti dan E. Tjitra. 1996. Penelitian Malaria di Kecamatan Teluk Dalam, Nias. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran No. 106 halaman 5-9
Dinkes Kabupaten Nias. 2006. Profil Kesehatan Kabupaten Nias Tahun 2005. Gunungsitoli: Dinas Kesehatan
Entjang, I. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: Citra Aditya Bakti
Gulo, W. 1983. Benih Yang Tumbuh BNKP. Salatiga: Percetakan Satya Wacana halaman 3
Kirnowardoyo, S. 1991. Penelitian Vektor Malaria yang Dilakukan Oleh Institusi Kesehatan Tahun 1975-1990. Jakarta: Buletin Penelitian Kesehatan Nomor 19 (4) 1991 halaman 24-31
Majalah Mingguan Tempo. Edisi 13-19 Maret 2000 halaman 48-49 Majalah Mingguan Tempo. Edisi 15-21 Mei 2000 halaman 73
McGregor, LA. 1985. Malaria. Epidemiology and The Community Control of Disease in Warm Climate Countries (Editor Derek Robinson) Churchill Livingstone. Edinburgh London Melbourne and New York.
Notoatmodjo, S. 1993. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Jogjakarta: Andi Offset
Oemijati, S. 1991. Masalah Malaria di Indonesia. Kumpulan Makalah Simposium Malaria (Editor Wita Pribadi, Rusli Muljono dan Inge Sutanto). Jakarta: Fakultas Kedokteran-Universitas Indonesia halaman 1-8
Studi Kualitatif Sosio-psikologi Masyarakat terhadap Penyakit Malaria (1825) Fotarisman Zaluchu dan Abdul Jalil Amri Arma
25
Sajono. 1995. Manusia, Masyarakat dan Kesehatan. Jakarta: Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia, Tahun XXIII, Nomor 7 halaman 479-497
Salan, R. 1988. Perilaku Kesehatan, Perilaku Kesakitan dan Peranan Sakit (Suatu Introduksi). Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran, No. 51 halaman 31-34
Santoso, SS; Bintari Rukmono; Wita Pribadi; Sri Soewasti Soetanto; dan Sudarti. 1994. Pengetahuan, Pengalaman, Pandangan dan Pola Pencarian Pengobatan Tentang Penyakit Malaria di Daerah Hiper Endemik Mimika Timur, Irian Jaya. Jakarta: Buletin Penelitian Kesehatan No. 22(3) halaman 24-38
Santoso, SS dan Kasnodihardjo. 1991. Suatu Tinjauan Aspek Sosial Budaya Dalam Kaitannya Dengan Penularan dan Penanggulangan Malaria. Jakarta: Buletin Penelitian Kesehatan No. 19 (4) halaman 42-50
Santoso, SS; Sunanti Zalbawi, dan Wita Pribadi. 1995. Penanggulangan penyakit Malaria Melalui Peran Serta Masyarakat di Berakit, Riau Kepulauan. Jakarta: Jurnal Jaringan Epidemiologi Nasional, Edisi 2 halaman 21-27
Santoso SS, dan Wita Pribadi. 1996. Pengaruh Buku Panduan Malaria terhadap Pengetahuan, Sikap dan Perilaku di Daerah yang Berdekatan dengan Penelitian. Jakarta: Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia, tahun XXIV, Nomor 8 halaman 514-520
Sarwono, S. 1997. Sosiologi Kesehatan, beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Jogjakarta: GM University Press
WHO. 1986. WHO Expert Committee on Malaria (8th Report), Technical Report Series. Geneva
WHO. 1999. World Health Report 1999. Geneva.
Yukaida, N. 1997. Tinjauan Konsep Sehat dan Sakit Serta Status Kesehatan di Masyarakat. Jakarta: Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia, Tahun XXV, Nomor I halaman 9-12
26
HHHAAASSSIIILLL PPPEEENNNEEELLLIIITTTIIIAAANNN
KEPESERTAAN PERUSAHAAN DAN TENAGA KERJA DALAM PROGRAM JAMINAN KECELAKAAN KERJA PADA PT JAMSOSTEK CABANG MEDAN TAHUN 2006
Gerry Silaban
Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja FKM USU
Jl. Universitas No. 21 Kampus USU Medan, Tel. 061-8213221
AB