50
JURNAL TEKNIK ELEKTRO Vol. 3, No. 2 – Desember 2005 ISSN: 1693 – 6787 SUSUNAN REDAKSI Penanggung Jawab : Ketua Departemen Teknik Elektro FT USU Pemimpin Redaksi : Prof. Dr. Ir. Usman S. Baafai Redaksi Ahli : 1. Ir. Mustafrind Lubis 2. Ir. R. Sugih Arto Yusuf 3. Ir. Bonggas L. Tobing 4. Ir. Djendanari Sembiring 5. Ir. Risnidar Chan, MT 6. Ir. T. Ahri Bahriun, MSc 7. Ir. Syafruddin HS, MS 8. Ir. M. Zulfin, MT Redaksi Pelaksana : 1. Ir. Zulkarnaen Pane 2. Ir. Syahrawardi 3. Ir. Surya Hardi, MSc 4. Ir. Arman Sani, MT 5. Soeharwinto, ST, MT 6. Rejeki Simanjorang, ST, MT Sirkulasi/Publikasi : Ir. Surya Tarmizi Kasim Bendahara : Ir. Satria Ginting Administrasi : Marthin Luther Tarigan, AMd Alamat Redaksi : Fakultas Teknik USU Jl. Almamater Kampus USU Medan Telp./Fax: (061) 8213246 – 8213250 Frekuensi terbitan : 2 (dua) kali setahun

Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

  • Upload
    yeyeb

  • View
    131

  • Download
    6

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

JURNAL TEKNIK ELEKTRO

Vol. 3, No. 2 – Desember 2005 ISSN: 1693 – 6787

SUSUNAN REDAKSI

Penanggung Jawab : Ketua Departemen Teknik Elektro FT USU Pemimpin Redaksi : Prof. Dr. Ir. Usman S. Baafai Redaksi Ahli : 1. Ir. Mustafrind Lubis 2. Ir. R. Sugih Arto Yusuf 3. Ir. Bonggas L. Tobing 4. Ir. Djendanari Sembiring 5. Ir. Risnidar Chan, MT 6. Ir. T. Ahri Bahriun, MSc 7. Ir. Syafruddin HS, MS 8. Ir. M. Zulfin, MT Redaksi Pelaksana : 1. Ir. Zulkarnaen Pane 2. Ir. Syahrawardi 3. Ir. Surya Hardi, MSc 4. Ir. Arman Sani, MT 5. Soeharwinto, ST, MT 6. Rejeki Simanjorang, ST, MT Sirkulasi/Publikasi : Ir. Surya Tarmizi Kasim Bendahara : Ir. Satria Ginting Administrasi : Marthin Luther Tarigan, AMd Alamat Redaksi : Fakultas Teknik USU Jl. Almamater Kampus USU Medan Telp./Fax: (061) 8213246 – 8213250 Frekuensi terbitan : 2 (dua) kali setahun

Page 2: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

JURNAL TEKNIK ELEKTRO

TEKNIK ENERGI – TEKNIK TELEKOMUNIKASI – TEKNIK KOMPUTER

VOl. 3, NO. 2 – DESEMBER 2005 ISSN : 1693 - 6787

DAFTAR ISI

Salam Redaksi ...................................................................................................................... i Perancangan Switch Matrik Besar Menggunakan Array Switch Analog Zarlink M. Zulfin................................................................................................................................. 36 – 38 Unjuk Kerja Koreksi Kesalahan Tipe-II Hybrid ARQ dengan Menggunakan Kaskade Kode Hamming Naemah Mubarakah............................................................................................................... 39 – 49 Desain dan Implementasi Jaringan Akses Kabel Telepon Suherman............................................................................................................................... 50 – 56 Transceiver Daya Rendah untuk Komunikasi Audio Jarak Dekat Suherman ............................................................................................................................... 57 – 62

Rancangan Alat Ukur Waktu Tunda Rele Arus Lebih

T. Ahri Bahriun ...................................................................................................................... 63 – 69

Pengukuran Tahanan Pembumian dengan Menggunakan Metode Fall-of-Potential Alternatif Zulkarnaen Pane dan Mustafrind Lubis ................................................................................ 70 – 78 Pedoman Penulisan Naskah Jurnal ENSIKOM................................................................ 79 – 80

DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 3: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

SALAM REDAKSI Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rida-Nya Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM, Volume 3, No. 2 – Desember 2005 yang merupakan edisi terakhir pada tahun ini telah dapat diterbitkan dan sampai ke hadapan para pembaca yang budiman. Jurnal ENSIKOM adalah suatu jurnal ilmiah yang berisi hasil penelitian, kajian pustaka maupun rekayasa peralatan yang digunakan oleh laboratorium serta informasi yang berkaitan dengan Energi, Sistem Telekomunikasi, dan Komputer. Jurnal ENSIKOM ini diterbitkan setiap 6 (enam) bulan sekali, untuk itu kami harapkan partisipasi dari para ilmuwan maupun praktisi untuk mengisi tulisan pada Jurnal ini demi kemajuan Ilmu Teknik Elektro. Saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan demi keberhasilan penerbitan Jurnal ini pada edisi berikutnya. Dengan segala kerendahan hati, kami ucapkan banyak terima kasih atas perhatian dan partisipasinya. Selamat membaca.

i

Page 4: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005
Page 5: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 2 – DESEMBER 2005 (36 – 38)

36

PERANCANGAN SWITCH MATRIK BESAR MENGGUNAKAN ARRAY SWITCH ANALOG ZARLINK

M. Zulfin1)

1) Staf Pengajar Fakultas Teknik USU

Abstrak Secara tradisional, perancangan sebuah switch matrik yang besar dilakukan dengan menggunakan switch-switch elektromekanik. Dengan demikian, banyak bagian yang bergerak yang digunakan untuk membangun switch matrik ini. Dengan kemajuan bidang elektronik, switch elektromekanik saat ini dapat digantikan dengan switch-switch semikonduktor yang ekivalen yang menawarkan solusi yang lebih ekonomis dan memiliki keandalan yang lebih baik. Rumpun switch crosspoint analog Zarlink dapat disusun dengan mudah ke dalam berbagai ukuran konfigurasi switch array dan memiliki kinerja elektrik yang baik. Kata kunci: Switch matrik, Array switch analog Zarlink 1. Pendahuluan

Cara yang paling umum yang digunakan untuk merancang sebuah switch adalah space division switching yang mana sinyal-sinyal secara fisik di-switch dari satu saluran ke saluran lain. Tidak seperti time division switching di dalam matrik digital, ada delay yang kecil yang disumbangkan kepada sinyal karena mekanisme switching. Delay yang sesungguhnya ditentukan oleh waktu perambatan melalui switch semikonduktor dan rangkaian lokal. Ini dikopel dengan resistor bernilai rendah, sehingga dengan demikian matrik-matrik dari susunan yang berbeda dapat dibangun dengan degradasi sinyal yang kecil. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk memperlihatkan bagaimana matrik switch non-blocking 3 tingkat dapat diimplementasikan dengan menggunakan array switch Zarlink yang jumlahnya minimum. Teori pengoptimasian matrik switch 3 tingkat dibahas dan contoh-contoh disajikan. Switch crosspoint MT8816 berukuran 8 x 16 yang telah dipabrikasi oleh Zarlink Semikonduktor digunakan sebagai contoh karena ukurannya yang besar akan mengurangi jumlah keseluruhan divais yang dibutuhkan dalam perancangan matrik switch. 2. Perancangan Satu Tingkat

Susunan switch yang paling sederhana adalah susunan satu tingkat yang terdiri dari M x N rectangular array dari crosspoint-crosspoint.

Switch matrik ini selalu dapat membuat hubungan dari satu M ke satu N tanpa memandang hubungan-hubungan yang telah dibangun, untuk membangun matrik switch berukuran 32 x 32 menggunakan MT8816 dibutuhkan 32 + 16 = 2 MT8866 dalam arah vertikal (Y) dan dibutuhkan 32 : 8 = 4 MT8816 dalam arah horizontal (X). Jadi seluruhnya dibutuhkan MT8816 sebanyak 8 (4 x 2).

3. Perancangan Banyak Tingkat

Bila jumlah saluran sangat besar, jumlah array switch dapat bertambah dengan cepat. Matrik switch yang berukuran 128 x 128 akan membutuhkan 128 MT8816 untuk N x N matrik tingkat satu (di mana N menyatakan ukuran saluran matrik switch) dan 512 x 512 matrik switch akan membutuhkan 512 MT8816. Jumlah crosspoint dapat dikurangi dengan menggunakan matrik switch multi-stage (banyak tingkat). Keuntungannya, matrik switch non-blocking bertingkat akan memberikan penghematan yang berarti dalam hal jumlah crosspoint dengan mengorbankan kenaikan redaman sinyal (resistansi RON adalah tiga kali lebih besar dari switch satu tingkat), dan keruwetan software pengendalinya. Persoalan utama dapat diatasi dengan menambahkan penguatan sinyal di antara matrik 3-state dan pada waktu yang sama perancangan software yang teliti dapat mengurangi kompleksitasnya.

Page 6: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Perancangan Switch Matrik Besar Menggunakan Array Switch Analog Zarlink (M. Zulfin)

37

Gambar 1. Matrik switch 3-tingkat dengan saluran N x N

Gambar 2. Matrik switch non-blocking 3-tingkat berukuran 128 x 128

Gambar 1 mengilustrasikan rancangan 3 tingkat matrik switch N x N. Tingkat pertama dan ketiga dari matrik sama, masing-masing terdiri dari (N + n) array switch yang berukuran (n x k). Tingkat tengah berisi array switch berukuran (N + n) x (N + n). Pada bagian berikut akan dijelaskan bahwa untuk matrik yang non-blocking nilai k haruslah sama dengan (2n-1). Jumlah total crosspoint diberikan oleh:

Cn = 2(N + n) nk + k(N + n)2 = 2(N + n) n (2n – 1) + (2n – 1) (N + n)2 = (2n – 1) [2n + (N + n)2] .................(1)

Untuk memperoleh nilai n yang optimal, Cn.w.r.t.n didiferensialkan dan persamaan dibuat sama dengan nol, ini memberikan: dCn/dn = 2[2N + (N+n)2] – 2(2N – 1)(N + n)3 = 0 2n3 – nN + N = 0 ........................................(2) Karena N sangat besar, persamaan 2 dapat didekati dengan: 2n3 – nN = 0 n(op) = √ N/2 .............................................(3) di mana n(op) = menyatakan nilai n yang optimum.

Page 7: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 2 – DESEMBER 2005 (36 – 38)

38

Nilai optimum dari Cn (Cn(op)) dapat diperoleh dengan mensubstitusikan persamaan 3 ke dalam persamaan 1: Cn(op) = 4N √ 2N -1.......................................(4) di mana Cn(op) menyatakan jumlah minimum crosspoint.

Tabel 1 membandingkan jumlah crosspoint di dalam sebuah matrik satu tingkat terhadap matrik tiga tingkat untuk berbagai ukuran saluran.

Tabel 1. Perbandingan jumlah crosspoint matik satu

tingkat dengan tiga tingkat

Jumlah Saluran

Satu Tingkat (N x N)

Tiga Tingkat (Cn(op))

32 1024 896 64 4096 2640 128 16384 7680 256 65536 22147 512 261632 63488

1024 1,0E06 181268 2048 4,2E06 516096

Sebagai contoh, sebuah matrik switch 3-

tingkat yang berukuran 128 x 128 dibangun. Untuk itu, secara bertahap dihitung: • Ukuran array (nxk) pada tingkat 1 dan

tingkat 3 adalah: n(op) = √ 128 + 2 = 8 k = 2n – 1 = 2 x 8 – 1 = 15

• Jumlah MT8816 pada t ingkat 1 dan t ingkat 3

• Ukuran array pada tingkat 2 (N + n) x (N + n) adalah: 16 x 16.

• Setiap array menghendaki 2 x MT8816. Total jumlah state 2 array adalah: 2 x k = 2 x 15 = 30.

• Jumlah total crosspoint MT8816 adalah: 30 + 32 = 62

• Penghematan crosspoint MT8816 terhadap hanya satu tingkat adalah: 128 – 62 = 66.

Gambar 2 mengilustrasikan matrik switch

3-tingkat berukuran 128 x 128.

4. Kesimpulan Dari analisis yang dilakukan, tampak

bahwa perancangan matrik switch satu tingkat dengan jumlah saluran N x N akan tidak ekonomis, karena membutuhkan banyak crosspoint. Solusinya adalah dengan membuat susunan matrik switch bertingkat, sehingga banyak sekali penghematan crosspoint yang dilakukan.

Daftar Pustaka Charles Clos, A Study of Non-Blocking

Switching Networks, Bell System Technical Journal, March 1953, pp. 406-424.

John Bellamy, Digital Telephony, John Wiley & Sons, 1982, pp. 220 – 242.

Page 8: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Unjuk Kerja Koreksi Kesalahan Tipe-II Hybrid ARQ dengan Menggunakan Kaskade Kode Hamming (Naemah Mubarakah)

39

UNJUK KERJA KOREKSI KESALAHAN TIPE-II HYBRID ARQ DENGAN MENGGUNAKAN KASKADE KODE

HAMMING

Naemah Mubarakah1) 1) Staf Pengajar Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik USU

Abstrak Keandalan dan throughput adalah dua aspek penting yang menunjukkan unjuk kerja dari sistem komunikasi data. Kontrol kesalahan seperti Forward Error Control (FEC) dan Automatic Repeat Request (ARQ) kurang memberikan solusi unjuk kerja yang optimum. Kontrol kesalahan hybrid ARQ merupakan gabungan FEC dan ARQ sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan unjuk kerja sistem. Kontrol kesalahan tipe-II hybrid ARQ (adaptive ARQ) dengan menggunakan kaskade kode Hamming dimaksudkan untuk menyediakan throughput yang tinggi mengatasi kemungkinan kesalahan bit pada kanal. Ini dapat dilihat dari penggunaan kaskade kode Hamming (7,4) dengan tingkat kaskade satu memiliki throughput yang lebih baik dibandingkan GH–ARQ, sedangkan tingkat kaskade dua memiliki keandalan yang cukup baik. Dari hasil simulasi diperoleh pada BER 10-6 sampai dengan 7,5.10-5, sistem Hamming (7,4) dengan tingkat kaskade level kedua memberikan throughput yang setara dengan tingkat kaskade level pertama. Sedangkan pada BER > 7,5.10-5, sistem dengan tingkat kaskade level kedua memiliki throughput lebih rendah dari sistem dengan tingkat kaskade level pertama, tetapi memiliki keandalan yang lebih baik. Dengan demikian terlihat sistem tipe-II hybrid ARQ memiliki peningkatan unjuk kerja yang optimal. Kata kunci: Throughput, Keandalan, Kode Hamming, tipe-II hybrid ARQ 1. Pendahuluan

Pada sistem komunikasi diupayakan agar informasi yang diterima sama dengan informasi yang dikirimkan. Tetapi pada kenyataannya sering terjadi kesalahan sehingga informasi yang diterima berbeda dengan informasi yang dikirimkan.

Dalam bentuk digital, bit informasi dapat dikodekan oleh sebuah pengkode sebelum ditransmisikan, dan dikembalikan ke bit informasi asal oleh pendekode pada sisi penerima. Pada kedua alat tersebut dilengkapi dengan pengontrol kesalahan.

Secara mendasar, ada dua teknik kontrol kesalahan bit informasi, yaitu Automatic Repeat Request (ARQ) dan Forward Error Control (FEC). ARQ hanya mampu mendeteksi kesalahan dan meminta transmisi ulang, sementara FEC hanya mendeteksi dan mengoreksi kesalahan bit informasi (Kausa, Maan A. and Rahman, Mushfiqur, 1991).

Untuk mengevaluasi unjuk kerjanya, digunakan dua parameter penting yaitu throughput dan keandalan. Throughput adalah perbandingan jumlah rata-rata bit informasi

yang berhasil diterima oleh penerima setiap satuan waktu terhadap jumlah seluruh bit yang dapat ditransmisikan setiap satuan waktu. Keandalan adalah ukuran kebenaran data yang dikodekan oleh penerima.

Sistem FEC menyediakan efisiensi throughput yang tetap, tergantung pada tingkat kode dan tidak terpengaruh oleh kondisi kanal. Ketika kesalahan bit yang terjadi melebihi kemampuan sistem FEC tersebut seiring dengan menurunnya kualitas kanal, maka keandalan sistem berkurang.

Sistem ARQ menyediakan keandalan yang tinggi, tidak tergantung kualitas kanal. Tetapi ARQ memiliki throughput yang sangat tergantung pada jumlah permintaan transmisi ulang karena terjadi kesalahan, dan throughput menurun karena meningkatnya kesalahan yang terjadi seiring dengan menurunnya kualitas kanal (Lin, Shu and Yu, Philip S., 1982).

Sistem yang memiliki kelebihan sistem FEC dan ARQ, dan terhindar dari kekurangan sistem tersebut adalah hybrid ARQ. Ada dua skema hybrid ARQ:

Page 9: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 2 – DESEMBER 2005 (39 – 49)

40

1. Type-I hybrid ARQ atau fixed-rate hybrid ARQ.

2. Type-II hybrid ARQ atau adaptive ARQ. Pada penerima type-I hybrid ARQ, blok

yang didekodekan diuji oleh detektor kesalahan dan pendekode mengoreksi setiap kesalahan pada blok yang diterima. Karena itu koreksi kesalahan ini berdasarkan kode yang sama, skema ini disebut juga fixed-rate hybrid ARQ. Tingkat kode koreksi kesalahan yang tetap memiliki kelemahan terhadap kanal yang memiliki kualitas berubah-ubah. Jika kualitas kanal sangat baik, kemampuan sistem pengoreksi kesalahan mungkin lebih daripada nilai optimalnya. Jika kualitas kanal buruk, lebih banyak kesalahan yang mungkin terjadi daripada kesalahan yang dapat diatasi sesuai dengan kapasitas kode pengoreksi kesalahan. Akibatnya terlalu banyak transmisi ulang yang diminta dan throughput menurun.

2. Landasan Teori 2.1. Kontrol Kesalahan

Secara mendasar, ada dua teknik kontrol kesalahan bit informasi, yaitu Automatic Repeat Request (ARQ) dan Forward Error Control (FEC). Terdapat dua kategori ARQ yaitu stop-and-wait ARQ (SW ARQ), dan continuous ARQ yang terdiri dari dua tipe yaitu go-back-N ARQ (GBN ARQ) dan selective-repeat ARQ (SR ARQ). SW ARQ dirancang untuk kanal half-duplex, sedangkan continuous ARQ dirancang untuk kanal full-duplex (Lin, Shu, Costello, Daniel J. and Miller, 1984). 2.1.1 Stop and Wait ARQ

Teknik SW ARQ adalah prosedur ARQ yang paling sederhana. Pada SW ARQ, pengirim mentransmisikan suatu vektor kode (code word) ke penerima dan menunggu dari penerima suatu acknowledgment untuk setiap vektor kode. Positive acknowledgment (ACK) dari penerima menunjukkan bahwa vektor kode yang dikirim telah diterima dengan sukses. Pengirim kemudian mentransmisikan vektor kode berikutnya. Jika negative acknowledgment (NAK) yang diterima, maka ada suatu kesalahan pada vektor kode yang terdekteksi dan pengirim mentransmisikan ulang vektor kode tersebut. Transmisi ulang dilakukan terus-menerus sampai pengirim menerima ACK.

Teknik yang sederhana ini kurang efisien, karena adanya waktu kosong (idle time) yang terjadi selama menunggu acknowledgment setiap pengiriman vektor kode.

Gambar Stop and wait ARQ (Stallings, William, 1985)

2.1.2 Go Back N ARQ

Dengan teknik GBN ARQ, pengirim mentransmisikan vektor kode dan menerima acknowledgment secara terus-menerus, tidak perlu menunggu acknowledgment sebelum mentransmisikan vektor kode berikutnya.

Round trip delay adalah interval waktu antara pengiriman vektor kode dan penerimaan acknowledgment untuk vektor kode tersebut. Pada interval ini, ada N-1 vektor kode lain yang juga ditransmisikan. Jika pengirim menerima NAK untuk vektor kode ke-i maka pengirim berhenti mentransmisikan vektor kode dan mentransmisikan ulang vektor kode ke-i, beserta N-1 vektor kode selama round trip delay. Di bagian penerima, dilakukan pembuangan vektor kode ke-i yang mengandung kesalahan beserta N-1 vektor kode yang telah diterima. Pentransmisian ulang dilakukan terus-menerus sampai pengiriman menerima ACK untuk vektor kode ke-i, dan setelah itu pengiriman mentransmisikan vektor kode dalam antrian berikutnya.

Teknik GBN ARQ menjadi tidak efisien jika round trip delay besar dan laju pengiriman data tinggi. Hal ini disebabkan pentransmisian ulang vektor kode yang mengandung kesalahan diikuti dengan N-1 vektor kode yang telah diterima.

Gambar Go Back N ARQ (Stallings, William, 1985)

2.1.3 Selective Repeat ARQ

Kekurangan pada teknik GBN ARQ dapat diatasi dengan teknik SR ARQ. Pada teknik SR ARQ, vektor kode dan acknowledgment ditransmisikan terus-menerus. Jika pengirim menerima NAK untuk vektor kode ke-i, maka pengirim berhenti mentransmisikan vektor kode dan mentransmisi ulang vektor kode ke-i, tidak

Page 10: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Unjuk Kerja Koreksi Kesalahan Tipe-II Hybrid ARQ dengan Menggunakan Kaskade Kode Hamming (Naemah Mubarakah)

41

termasuk vektor kode selama round trip delay. Kemudian pengirim meneruskan lagi pentransmisian vektor kode baru setelah penghentian tersebut.

Gambar Selective Repeat ARQ (Stallings, William, 1985)

Di sisi penerima dibutuhkan suatu buffer

untuk menyimpan vektor kode selama round trip delay yang bebas dari kesalahan. Teknik SR ARQ merupakan teknik ARQ yang paling efisien, namun SR ARQ membutuhkan perangkat yang rumit dan berkemampuan tinggi. 2.1.4 Hybrid ARQ

Keuntungan utama ARQ daripada FEC adalah perangkat pengkodean ARQ lebih sederhana daripada FEC, dan keluwesan ARQ karena informasi ditransmisikan ulang hanya ketika terjadi kesalahan. Sistem ARQ menyediakan keandalan yang tinggi, tidak tergantung kualitas kanal, tetapi memiliki throughput yang tergantung pada kesalahan transmisi sehingga throughput menurun ketika tingkat kesalahan kanal tinggi karena transmisi ulang yang dilakukan terlalu sering.

Sistem FEC menyediakan efisien throughput yang tetap dan tidak terpengaruh oleh kondisi kanal tetapi tergantung pada tingkat kemampuan kode. Ketika kesalahan bit informasi yang terjadi melebihi kemampuan sistem FEC tersebut seiring dengan menurunnya kualitas kanal, maka keandalan sistem berkurang.

Hybrid ARQ, yaitu kombinasi antara ARQ untuk pola kesalahan yang jarang terjadi dan FEC untuk pola kesalahan yang sering terjadi, lebih efisien dibandingkan ARQ saja. Strategi kontrol kesalahan hybrid ARQ ini jelas memiliki potensi meningkatkan throughput pada sistem dua arah untuk mengatasi tingginya tingkat kesalahan bit kanal.

2.2 Kode Hamming

Kode Hamming adalah tingkat pertama dari kode linier yang dirancang untuk koreksi kesalahan. Untuk sembarang bilang positif m > 3, ada suatu kode Hamming dengan parameter berikut:

Panjang kode : n =2m – 1 Jumlah simbol informasi : k = 2m – m – 1 Jumlah simbol parity check : m = n – k Kapasitas koreksi kesalahan : t = 1 (dmin = 3)

Matriks parity check H dari kode ini terdiri

dari semua m–tuple bukan–nol sebagai kolomnya. Pada bentuk sistematik, kolom dari H disusun sebagai berikut: H = [ In-k PT ] = [ Im Q ] ......................... (2.1)

Di mana Im adalah matriks identitas m x m dan submatriks Q terdiri dari k kolom yang merupakan m–tuple dengan bobot 2 atau lebih. Sebagai contoh m = 3. Matriks parity check dari kode Hamming dengan panjang kode 7 disusun dengan bentuk:

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

⎡=

111010001110101101001

H

yang merupakan matriks parity check dari kode linier (7,4).

Kolom dari Q dapat disusun dengan sembarang cara tanpa mempengaruhi sifat jarak dan bobot dari distribusi kode. Dalam bentuk sistematik, matriks pembangkit dari kode adalah:

G = [QT I 2

m – m – 1 ] = [P Ik] ...................... (2.2)

di mana Q T = P adalah transpose dari Q dan I2

m - m – 1 = Ik adalah suatu matriks identitas

k x k. Kolom dari H bukan–nol dan berbeda

sehingga jika dua kolom ditambahkan tidak akan menghasilkan nol. Jarak minimal dari kode Hamming adalah 3. Karena jarak minimal dari kode Hamming tepatnya adalah 3, maka kode ini memiliki kemampuan mengoreksi semua pola kesalahan dengan satu kesalahan atau mendeteksi semua pola kesalahan dengan dua kesalahan atau kurang.

Distribusi bobot dari suatu kode Hamming dengan panjang n = 2m – 1 telah diketahui. Jumlah vektor kode dengan bobot i, Ai secara sederhana merupakan koefisien dari zi pada ekspansi dari polinomial berikut:

( ) ( )( )( ){ }2/12111

11)( −−−+++

= nn zznzn

zA ........... (2.3)

Page 11: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 2 – DESEMBER 2005 (39 – 49)

42

Polinomial ini adalah bobot enumerator untuk kode Hamming (Kausa, Maan A. and Rahman, Mushfiqur, 1991). Jika suatu kode Hamming digunakan untuk deteksi kesalahan terhadap suatu BSC, probabilitas kesalahan tak terdeteksinya, Pu (E) adalah:

Pu (E) = 2-m { 1 + (2m – 1) (1 – 2p)2m-1 .........(2.4)

Probabilitas Pu (E) untuk kode Hamming

memenuhi batas atas 2-(n-k) = 2-m untuk p< ½, yaitu Pu ( E ) < 2-m. 3. Koreksi Kesalahan Tipe-II Hybrid ARQ

Berdasarkan Kaskade Kode Hamming 3.1 Pengkode Kaskade Kode Hamming

Suatu rentetan bit dengan panjang N digunakan sebagai masukan di mana rentetan itu belum dikodekan untuk koreksi kesalahan, dan N bit tersebut sebagai level ke-nol dari kaskade. Kode Hamming (n, k) tertentu digunakan untuk koreksi kesalahan di mana N bit informasi dibagi menjadi grup-grup k bit.

Gambar Pengkodean untuk dua level kaskade (Kausa, Maan A. and Rahman, Mushfiqur, 1991)

Setiap grup dengan panjang k bit kemudian

dikodekan ke n bit dengan pengkode Hamming (n, k). Jumlah total bit pada tingkat ini adalah (N/k)n. Tingkat ini adalah level pertama dari kaskade. Level kedua dari kaskade dibentuk dengan membagi (N/k)n bit yang ada menjadi grup-grup lagi yang terdiri dari k bit. Bit-bit ini membentuk (N/k2)n grup yang serupa. Setiap grup dikodekan lagi menjadi n bit oleh pengkode yang sama. Pada akhir tingkat ini ada (N/k2)n2 = N(n/k)2 bit. Proses ini dilanjutkan sampai mencapai level kaskade tertentu. Gambar di atas (Kausa, Maan A. and Rahman, Mushfiqur, 1991) menggambarkan proses ini untuk dua level kaskade (M = 2).

3.2 Pendekode Kaskade Kode Hamming Penerima menerima rentetan bit yang telah

dikodekan ke level ke–M dengan N(n/k)2 bit. Pada tingkat ini kesalahan bit kanal adalah ε. Kemudian penerima membagi bit yang diterima sebagai blok-blok bit dengan panjang n bit, dan sindrom dihitung dari setiap blok untuk koreksi kesalahan.

Gambar Pendekatan untuk dua level kaskade

(Kausa, Maan A. and Rahman, Mushfiqur, 1991) Setelah dilakukan pengecekan tingkat

pertama, penerima membuang bit cek sehingga tinggal k informasi, tetapi sekarang dengan probabilitas kesalahan bit yang berbeda, yaitu ε’. Probabilitas kesalahan bit setelah pendekodean adalah sama untuk semua posisi n pada blok, dan pembuangan bit cek tidak mengubah probabilitas kesalahan per posisi untuk bit informasi. Bit yang tersisa berhubungan dengan level ke-(M–1) dari kaskade. Penerima membagi lagi bit-bit ini menjadi blok-blok yang terdiri dari n bit, mengecek kesalahan pada setiap blok, dan membuang bit cek. Pendekodean level kaskade yang lebih rendah memiliki probabilitas kesalahan bit ε“. Proses ini berlanjut sampai penerima mendekodekan N bit informasi yang asli. Gambar di atas (Kausa, Maan A. and Rahman, Mushfiqur, 1991) menggambarkan proses pendekodean untuk dua level kaskade.

3.3 Probabilitas Kesalahan Bit yang

Didekodekan Vektor kode yang didekodekan adalah

salah bila paling sedikit satu bit salah, dan tidak berarti setiap bit pada vektor kode yang diterima adalah salah. Tingkat kesalahan bit setelah pendekodean ε‘ digunakan untuk menghitung kesalahan, di mana tingkat kesalahan bit kanal adalah ε. Tingkat kesalahan bit ε‘ untuk suatu kode Hamming (n, k) adalah:

( ) ( ) ( ) inn

iii εεinAA

in

iε −

=−∑ ⎥

⎤⎢⎣

⎡+−−−⎟⎟

⎞⎜⎜⎝

⎛+= - 1.121

n1' i

01

.... (3.1)

Page 12: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Unjuk Kerja Koreksi Kesalahan Tipe-II Hybrid ARQ dengan Menggunakan Kaskade Kode Hamming (Naemah Mubarakah)

43

di mana: Ai = distribusi bobot kode linier dan i = 0,…,n Misalnya untuk kode Hamming (7,4) dengan M = 1 dan ε = 10-1, didapatkan : ε’ = 0,06688 3.4 Penyebaran Bit

Pengambilan keputusan yang sederhana pada level kedua dari kaskade dapat membuat k bit yang berdekatan pada suatu waktu dianggap sebagai sebuah blok. Hal ini mengakibatkan kesalahan karena pengecekan level kedua pendekodean tidak bisa memberikan keputusan yang benar tanpa rentetan yang diterima bebas dari kesalahan atau mengandung satu kesalahan per blok. Di lain pihak, jika ada kesalahan tertinggal pada grup ini dari bit-bit setelah pengecekan tingkat pertama, akan ada paling sedikit tiga kesalahan per blok, dan ini terjadi bila kanal memiliki lebih dari satu kesalahan per blok. Kebanyakan kesalahan yang tertinggal terbatas pada bagian informasi, dan pengecekan tingkat kedua tidak dapat mengoreksinya. Solusi dari masalah ini adalah menyebarkan bit cek tingkat pertama dari blok yang sama (bit interleaving). Proses ini ekuivalen dengan mengacak kesalahan setelah proses pendekodean. Pada sisi pengirim, untuk melakukan level kedua dari pengkodean, setiap k bit informasi dipilih dari k blok yang berbeda dari level pertama pengkodean. Proses ini diperlukan untuk menjaga bit informasi pada tingkat yang sama.

Jika proses pengkodean kaskade diatur oleh interleaving yang sesuai, maka kesalahan bit pada setiap blok sesudah deinterleaving adalah bebas secara statistik, karena setiap bit didekodekan berasal dari blok yang berbeda. Sehingga probabilitas kesalahan bit yang didekodekan dengan dua level pendekodean adalah:

( ) ( ) ( ) in

n

iii εεinAA

in

iε −

=−∑ ⎥

⎤⎢⎣

⎡+−−−⎟⎟

⎞⎜⎜⎝

⎛+= ' - 1'.121

n1'' i

11

....(3.2)

di mana ε‘ diberikan oleh persamaan (3.1). Misalnya untuk kode Hamming (7,4) dengan M = 2 dan ε’ = 0,06688, diperoleh: ε’’ = 0,033063.

Gambar Penyebaran 4 x 16 bit untuk dua level

kaskade menggunakan kode Hamming (7,4) (Kausa, Maan A. and Rahman, Mushfiqur, 1991)

3.5 Probabilitas Pendekodean yang Tepat dari Kaskade Kode Hamming Jika k bit ditransmisikan melalui suatu BSC

yang memiliki tingkat kesalahan bit ε, maka probabilitas penerimaan bit secara benar adalah: (1-ε )k .......................................................... (3.3)

Page 13: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 2 – DESEMBER 2005 (39 – 49)

44

Jika digunakan kode Hamming (n,k), maka probabilitasnya menjadi:

( 1 - ε )n + nε ( 1 - ε )n – 1 ............................................(3.4)

Bila digunakan dua level kaskade, maka

pada penerima, setelah langkah pendekodean pertama, tingkat kesalahan bit berkurang menjadi ε‘. Sehubungan adanya interleaving, diperoleh n bit independen. Probabilitas pendekodean yang tepat dari suatu blok setelah langkah pendekodean kedua adalah:

(1 - ε’)n + nε’ (1 - ε’) n – 1 ..............................(3.5)

Jika digunakan tiga level kaskade, maka probabilitas pendekodean yang tepat dari satu blok dengan n bit adalah: (1 - ε “) n + nε “ (1 - ε “) n – 1..........................(3.6)

Di mana ε “ diperoleh dari persamaan (3.2). Teknik ini diaplikasikan pada sembarang level dari kaskade di bawah kondisi interleaving yang sempurna.

Pada prinsipnya untuk sembarang level kaskade, jika dimulai dengan N bit, maka tepat sebelum langkah final pendekodean ada N/k dengan n bit yang didekodekan.

Probabilitas pendekodean yang tepat dari superblok adalah Pcj, di mana bit-bit dikodekan untuk level i. Dan untuk M = 1: Pc.1 = [(1 - ε)n + nε (1 - ε)n – 1]N / k...................(3.7)

Hal ini sesuai kenyataan bahwa semua N/k sub–blok secara lengkap independen. Tetapi ini tidak berlaku untuk M > 1 karena meskipun semua n bit dalam satu blok adalah independen, bit-bit pada blok yang berbeda tergantung satu sama lain sehubungan langkah pendekodean yang lalu. Probabilitas pendekodean yang tepat dari superblok tidak dapat diperoleh dengan mengalikan masing-masing probabilitas dari sub–blok. Satu solusi untuk masalah ini adalah menggunakan batas berikut ini. Jika: Pc ≡ probabilitas pendekodean yang tepat dari

suatu sub–blok PC ≡ probabilitas pendekodean yang tepat dari

superblok Pe = 1 – Pc ≡ probabilitas pendekodean yang

salah dari suatu sub–blok Maka: PE = probabilitas keputusan yang salah dari superblok < Pe + Pe . . . . + Pe = ( N / k ) Pe

dan PC > 1 – PE . Jika diterapkan untuk M = 2 menghasilkan: Pc,2 > 1– ( ) ( )[ ]{ }1'1''11 −−+−− nn εnεε

kN ...... (3.8)

Ketatnya batas ini tergantung pada nilai Pe

dan jumlah sub–blok N/k. Perlu ditekankan bahwa nilai PC yang diperoleh dengan batas tersebut merupakan pendekatan konservatif dan nilai aktualnya akan selalu lebih besar. 3.6 Koreksi Kesalahan Tipe-II Hybrid ARQ

Jika sistem kaskade digunakan pada skema hybrid ARQ, rentetan bit awal (N) memiliki beberapa redundant bit untuk deteksi kealahan berdasarkan kode deteksi kesalahan (n,k) yang dibangkitkan oleh suatu kode polinomial. Hal ini dibutuhkan hanya untuk suatu message pada transmisi pertamanya.

Ketika penerima mendeteksi kehadiran kesalahan pada word yang diterima, penerima menyimpan word yang mengandung kesalahan pada suatu buffer, dan meminta transmisi ulang. Transmisi ulang terdiri dari superblok dari sub–blok parity check bit, yang berdasarkan pada message asli dan suatu kode koreksi kesalahan Hamming pada level pertama pengkodean. Superblok parity check bit yang diterima ini digunakan untuk mengoreksi kesalahan pada word yang mengandung kesalahan yang tersimpan pada buffer penerima. Blok yang didekodekan diperiksa kesalahannya oleh kode deteksi kesalahan. Jika koreksi kesalahan tidak berhasil, penerima penyimpan level pertama parity check bit dan meminta transmisi ulang kedua. Transmisi ulang kedua adalah superblok lainnya dari sub–blok parity check bit berdasakan message asli, bit cek level pertama seperti yang tersimpan pada pengirim, dan kode koreksi kesalahan yang sama. Sebelum pengkodean dilakukan interleaving dan sesudahnya pendekodean dilakukan deinterleaving yang sesuai. Blok bit–cek level kedua yang diterima ini digunakan lagi untuk mengoreksi message yang mengandung kesalahan yang tersimpan pada penerima. Proses ini diulang bila perlu sampai parity check bit level ke-M ditransmisikan.

Jika NAK masih dikirimkan balik dan transmisi ulang ke-(M+1) masih dibutuhkan, penerima membuang semua bit yang telah tersimpan. Kemudian pengirim mentransmisikan seluruh data seperti yang telah tersimpan pada buffer. Transmisi ulang ini terdiri dari bit

Page 14: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Unjuk Kerja Koreksi Kesalahan Tipe-II Hybrid ARQ dengan Menggunakan Kaskade Kode Hamming (Naemah Mubarakah)

45

informasi ditambah dengan parity check bit dari semua level. Transmisi ulang berikutnya dilakukan untuk seluruh message dan semua parity bit sampai ke–M . Sehingga rentetan dari transmisi ulang adalah I, P1, P2, …. ,PM, (I + P1 + P2 + . . . . +PM ), ( I + P1 + P2 + . . . . +PM ), . . . , sesuai dengan jumlah NAK yang dikirim oleh penerima. Jadi pada sistem ini, setelah transmisi ulang ke-M dilakukan pembaharuan seluruh data tanpa melalui pengkodean setingkat demi setingkat.

4. Analisis dan Simulasi Proses Unjuk

Kerja Koreksi Kesalahan Tipe-II Hybrid ARQ

4.1 Keandalan Keandalan adalah suatu ukuran kebenaran

data yang diterima. Probabilitas word yang dikirim telah diterima dan mengandung kesalahan dinotasikan dengan P(E). Supaya diperoleh sistem dengan keandalan tinggi, kode deteksi kesalahan yang digunakan harus mampu membuat P(E) sangat kecil. Pada suatu sistem ARQ, P(E) adalah:

fu

u

PPP

EP+

=)( ..............................................(4.1)

di mana: Pu = Probabilitas suatu kesalahan tak

terdeteksi pada n-bit word yang didekodekan.

Pf = Probabilitas n-bit word yang didekodekan bebas dari kesalahan

Untuk membuat P(E) sangat kecil, Pu

dibuat jauh lebih kecil dibandingkan Pf. Batas Pu yang digunakan pada kebanyakan kode adalah:

Pu < 2 – ( n - k ) ...............................................(4.2) di mana: n = Panjang bit vektor kode = 7 k = Panjang bit massage = 4

Misalnya untuk kode Hamming (7,4) diperoleh: Pu < 0,125.

Batas ini adalah batas yang sederhana menurut Korzhik. Beberapa kode bahkan memiliki batas yang lebih ketat yaitu:

[ ]nnn

u εεP )1(2)21(12 )1( −−−+≤ −− ..............(4.3) Jika kode yang memenuhi salah satu dari

batas tersebut digunakan untuk deteksi

kesalahan, probabilitas suatu kesalahan tidak terdeteksi dapat dibuat sangat kecil dengan menggunakan jumlah parity bit yang tidak terlalu banyak. 4.2 Analisis Throughput

Pada sistem ini diasumsikan kanal transmisi memiliki kesalahan acak dengan tingkat kesalahan bit (Bit Error Rate [BER]) ε, dan kanal umpan balik bebas dari kesalahan. Karena SR ARQ adalah skema ARQ yang paling efisien, maka analisis throughput dilakukan untuk sistem kaskade dengan SR ARQ. Throughput dari skema ini diasumsikan penerima memiliki buffer tanpa batas.

Untuk menghitung throughput, terlebih dahulu ditentukan jumlah rata-rata bit yang perlu ditransmisikan sebelum N bit informasi berhasil diterima oleh penerima. Jika jumlah ini adalah T, maka throughput η adalah:

TNη = ........................................................... (4.4)

Jika sampai dilakukan transmisi ke-i, i = 0, 1, 2,... (di mana i = 0 adalah transmisi pertama), dan: Ec,i = penerima menerima blok dengan tepat Ed,I = penerima mendeteksi kesalahan dan

meminta transmisi ulang Ee,I = penerima tidak mendeteksi adanya

kesalahan maka: Pr (Ec,i) + Pr (Ed,i) + Pr(Ee,i) = 1 i = 0, 1, 2,.. .... (4.5) Jika diasumsikan Pr(Ee,i) = 0, maka untuk level M = 2: a. Pr (Ec,3) = Pr (Ec,4) = . . .= Pc,2 ............... (4.6)

Dan akibatnya: Pr (Ed,3) = Pr (Ed,4) = ... = 1 - Pc,2 = Pd,2 . (4.7)

b. Kejadian ini antara satu sama lain dan kejadian sebelumnya adalah bebas statistik. Sehingga jumlah rata-rata transmisi V adalah: V = 1.Pr(Ec,0) + 2.Pr (Ed,0 Ec,1) + 3.Pr(Ed,0 Ed,1 Ec,2) + 4.Pr (Ed,0 Ed,1 Ec,2)Pc,2

+ 5.Pr(Ed,0 Ed,1 Ec,2)Pd,2Pc,2 + 6 . Pr (Ed,0 Ed,1 Ec,2)P2

d,2Pc,2 + … .............................. (4.8) Jika dilakukan evaluasi probabilitas di atas dengan memasukkan persamaan lain: a. Pr(Ec,0) atau Pc,0 diberikan oleh persamaan:

Pc,0 = (1 – ε)N ......................................... (4.9) b. Pr(Ed,0 Ec,1) = Pr(Ec,1|Ed,0) Pr(Ed,0) ........ (4.10)

Pr(Ec,1|Ed,0) adalah probabilitas dari pendekodean yang tepat pada level pertama,

Page 15: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 2 – DESEMBER 2005 (39 – 49)

46

jika terdeteksi suatu kesalahan pada data informasi. Probabilitas ini dihitung sebagai: Pr(Ec,1|Ed,0) = [(probabilitas pendekodean yang tepat pada tingkat ini) – (probabilitas pola yang dapat dikoreksi yang tidak terjadi karena sudah dikoreksi pada transmisi sebelumnya)]/(probabilitas pola yang dapat terjadi pada tingkat ini). Untuk kode Hamming (n,k) probabilitas Pr(Ec,1|Ed,0) adalah:

[ ] [ ]2

)1(1)1()()1() - (1 n ) - (1

1-1nn

k

knnk knε

εεεεεε−−

−−+−−+ −

(4.11) Jika sejumlah B blok dengan k2 bit digunakan sebagai bit informasi pada rentetan awal, maka blok-blok ini bebas statistik setelah pendekodean, sehingga )|Pr( 01 d,c, EE dipeoleh:

[ ] [ ] B

k

knnk kn⎪⎭

⎪⎬⎫

⎪⎩

⎪⎨⎧

−−−−+−−+ −

2

)1(1)1()()1() - (1 n ) - (1

11-nn

εεεεεεε

(4.12) c. Probabilitas berikutnya adalah:

Pr(Ed,0 Ed,1 Ec,2) = Pr(Ed,0) Pr(Ed,1| Ed,0). Pr(Ec,2| Ed,0 Ed,1) .....................................(4.13) Faktor persamaan tersebut adalah : Pr(Ed,0) = 1 - Pc,0 ...................................(4.14) Pr(Ed,1| Ed,0) = 1 – Pr(Ec,1| Ed,0) ..............(4.15) Yang diperoleh dari persamaan (4.9) dan (4.12) Faktor persamaan berikutnya menggunakan batas: Pr(Ec,2| Ed,0 Ed,1) >

B

c

cc

PPP

⎪⎭

⎪⎬⎫

⎪⎩

⎪⎨⎧

−−

1,

1,2,

1...............(4.16)

d. Probabilitas dari faktor persamaan yang

terakhir adalah:

Pr(Ed,0 Ed,1 Ed,2) = Pr(Ed,0) Pr(Ed,1| Ed,0). Pr(Ed,2| Ed,0 Ed,1) ....................................(4.17) di mana: Pr(Ed,2| Ed,0 Ed,1) = 1 – Pr(Ec,2| Ed,0 Ed,1) (4.18)

< 1 - B

c

cc

PPP

⎪⎭

⎪⎬⎫

⎪⎩

⎪⎨⎧

−−

1,

1,2,

1

Untuk mengevaluasi throughput dari

sistem, harus dilakukan perhitungan panjang bit dari setiap transmisi. Panjang bit transmisi pertama adalah N bit. Ketika digunakan suatu kode Hamming (n,k), dengan m = n - k parity

check bit, panjang bit transmisi ulang ke-i, ℓi, adalah:

ℓi = ⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

km

knN

i 1

i < M ............................. (4.19)

Untuk i > M, pengirim akan mentransmisikan semua bit cek seperti yang telah tersimpan sebagai tambahan bagi bit informasi, sehingga: ℓi =

M

knN ⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ i > M ...................................... (4.20)

Pada kasus ini, penerima hanya tergantung pada blok yang sekarang diterima, dan mengabaikan semua bit sebelumnya. Kemudian, untuk M = 2:

( ) ( )2,1,0,1,0,0, Pr.1Pr.1 cddcdc EEE

kn

km

kmNEE

kmNNPT ⎥

⎤⎢⎣

⎡⎟⎠⎞

⎜⎝⎛+++⎥⎦

⎤⎢⎣⎡ ++=

( ) 2,2,1,0,

2

Pr1 cddd PEEEkn

kn

km

kmN

⎥⎥⎦

⎢⎢⎣

⎡⎟⎠⎞

⎜⎝⎛+⎟

⎠⎞

⎜⎝⎛+++

( ) ...Pr21 2,2,2,1,0,

2

+⎥⎥⎦

⎢⎢⎣

⎡⎟⎠⎞

⎜⎝⎛+⎟

⎠⎞

⎜⎝⎛+++ cdddd PPEEE

kn

kn

km

kmN

( ) ( )⎩⎨⎧

⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡⎟⎠⎞

⎜⎝⎛+++⎥⎦

⎤⎢⎣⎡ ++= 2,1,0,1,0,0, Pr.1Pr.1 cddcdc EEE

kn

km

kmEE

kmPNT

( ) ( )⎪⎭

⎪⎬⎫⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛⎟⎠⎞

⎜⎝⎛+⎥

⎤⎢⎣

⎡⎟⎠⎞

⎜⎝⎛+++

2,2,1,0,

2

2,1,0,1PrPr1c

dddddd PEEE

knEEE

kn

km

km [1]

(4.21)

Kemudian throughput η dapat dihitung dengan harga T pada persamaan (4.21). Panjang bit transmisi ulang dengan digunakannya kode Hamming (7,4) dan panjang informasi N = 16 bit adalah ℓ1 = 12, ℓ2 = 21 dan ℓ3 = 49 bit.

Misalnya bila digunakan kode Hamming (7,4), level kaskade M = 2, jumlah bit informasi 4x16 bit dan BER = 10-1, sehingga n = 7, k = 4, ε = 10-1 dan N = 64. Komponen-komponen dari persamaan (4,21) adalah:

Pc,0 = 0,4782969 Pr(Ed,0 Ec,1) = 0,01931211412 Pr(Ed,0 Ed,1 Ec,2) ≈ 0,02511954929 Pr(Ed,0 Ed,1 Ed,2) ≈ 0,4772714366 Pc,2 = (1- ε’’)n = 0,7902913933

Jumlah rata-rata bit yang ditransmisikan adalah: T = 249,6105789 ≈ 250 bit Dan throughput-nya adalah 256,0

25064 ===

TNη

4.3 Perancangan Simulasi Proses

Program simulasi proses digunakan untuk menggambarkan proses pengkodean, transmisi

Page 16: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Unjuk Kerja Koreksi Kesalahan Tipe-II Hybrid ARQ dengan Menggunakan Kaskade Kode Hamming (Naemah Mubarakah)

47

data, deteksi kesalahan, transmisi ulang (ARQ), koreksi kesalahan (FEC), dan pendekodean.

4.3.1 Menu Masukan

Masukan bit informasi berjumlah 4 x 16 bit dengan proses masukan dilakukan secara acak (random), bit 0 atau bit 1 seluruhnya. Masukan tingkat kaskade (level pengkodean) dibatasi untuk M = 1 dan M = 2, di mana bit informasi sebelum pengkodean dihitung sebagai level M = 0. Fungsi masukan lain adalah tingkat kesalahan bit ε (BER) dengan harga 10-6 sampai 10-1. 4.3.2 Pegkodean dan Interleaving

Level pengkodean yang digunakan berdasarkan masukan yang telah dilakukan sebelumnya, dengan level maksimal M = 2. Pada proses pengkodean ini digunakan kode Hamming (7,4) dengan matriks pembangkit G. Pada masing-masing tingkat kaskade dilakukan proses penyebaran bit (interleaving) yang sesuai. Juga dilakukan penghitungan jumlah total bit T yang telah ditransmisikan, untuk keperluan menghitung throughput. 4.3.3 Transmisi Data

Pada proses transmisi data dilakukan suatu proses acak untuk membuat beberapa bit mengalami kesalahan. Jumlah bit yang salah disesuaikan dengan fungsi masukan tingkat kesalahan bit ε (BER). Bit-bit yang ditransmisikan adalah bit informasi ditambah beberapa redundant bit untuk deteksi kesalahan berdasarkan kode deteksi kesalahan (7,4) yang dibangkitkan oleh kode polinomial g(X) = 1 + X + X3.

4.3.4 Pendekodean dan De-interleaving

Pada bit-bit yang telah diterima dilakukan proses deteksi dan koreksi kesalahan. Matriks parity check H yang digunakan oleh kode Hamming (7,4). Pengoreksi kesalahan dilakukan berdasarkan penjumlahan biner antara vektor r yang diterima dengan vektor kesalahan e, v = r + e. Untuk suatu kesalahan yang terdeteksi tetapi tidak dapat dikoreksi, dilakukan suatu prosedur SR-ARQ, seperti tersebut pada bagian 3.6. Pada bagian penerima, diasumsikan kapasitas buffer tanpa batas dan kanal umpan balik untuk mengirim acknowledgment tanpa derau. Setelah dilakukan proses ARQ dan FEC, sehingga vektor-vektor yang diterima dianggap telah bebas dari kesalahan, maka dilakukan proses pendekodean dan de-interleaving yang

sesuai dengan tingkat kaskade M yang digunakan. 4.3.5 Diagram Blok Program Simulasi Proses

Gambar Diagram blok simulasi proses kaskade kode Hamming untuk koreksi kesalahan tipe-II hybrid ARQ

4.3.6 Diagram Alir Program Simulasi Proses

Pada diagram alir program simulasi proses, mula-mula dimasukkan tingkat level kaskade. Dalam hal ini simulasi proses-proses hanya menggunakan level kaskade tingkat 1 dan 2 saja. Kemudian dimasukkan tingkat kesalahan BER, dalam hal ini BER dibatasi antara 10-1 – 10-6. Proses acak 64 bit informasi dikodekan dengan menggunakan generator hamming. Pada pentransmisian diberikan error yang acak yang sesuai dengan tingkat BER.

Sebelum didekodekan, dilakukan pengecekan. Jika terdapat kesalahan pada data transmisi, dilakukan perbaikan dengan koreksi kesalahan FEC, apabila koreksi kesalahan FEC tidak mampu untuk memperbaiki kesalahan, maka akan dilakukan koreksi kesalahan SR-ARQ. Sehingga akan diperoleh throughput dan keandalan yang tinggi.

Page 17: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 2 – DESEMBER 2005 (39 – 49)

48

Gambar Diagram alir simulasi proses kaskade kode Hamming untuk koreksi kesalahan tipe-II hybrid

ARQ 4.3.7 Hasil Simulasi Proses

Pada bagian ini diperoleh 4 x 16 bit informasi. Untuk mengetahui kondisi dan unjuk kerja setiap dilakukan eksperimen terhadap simulasi proses, maka dibuat satu laporan hasil simulasi proses dan parameter yang digunakan pada simulasi proses tersebut. Hal-hal yang ditampilkan pada laporan tersebut adalah tingkat kaskade M yang digunakan, tingkat kesalahan bit ε (BER), keandalan dan throughput η, yaitu:

Keandalan = (bit informasi yang benar) (jumlah bit informasi) Throughput: η = (jumlah bit informasi) (total bit ditransmisikan) 4.4 Analisis Unjuk Kerja Hasil Program

Simulasi Proses Program simulasi proses ini digunakan

untuk penghitungan unjuk kerja (keandalan dan throughput) tipe-II hybrid ARQ (adaptive ARQ) berdasarkan kaskade kode Hamming (7,4).

Untuk mengetahui unjuk kerja sistem ini, dilakukan beberapa percobaan simulasi proses yang mencakup throughput dan keandalan.

Dari hasil simulasi diperoleh bahwa pada BER 10-6 sampai dengan 7,5.10-5, sistem Hamming (7,4) dengan M = 2 memberikan throughput yang setara sistem Hamming (7,4) dengan M = 1. Sedangkan pada BER > 7,5.10-5,

sistem ini hanya memiliki throughput lebih rendah dari sistem Hamming (7,4) dengan M = 1.

Sistem dengan tingkat kaskade M = 1 memiliki keandalan satu hanya sampai pada BER = 7,5.10-2. Sedangkan sistem dengan tingkat kaskade M = 2 andal dalam mengoreksi kesalahan bit sampai pada BER = 8.10-2. Hal ini menunjukkan bahwa sistem Hamming (7,4) dengan tingkat kaskade M = 2 memiliki keandalan lebih tinggi daripada sistem Hamming (7,4) dengan tingkat kaskade M = 1.

Dengan demikian tingkat kaskade yang efisien dan efektif adalah M = 1 pada BER < 7,5.10-2, dan M = 2 pada 7,5.10-2 < BER < 8.10-2. Sedangkan pada BER > 8.10-2 sistem dengan tingkat kaskade M = 1 maupun M = 2 tidak cukup andal dalam mengoreksi kesalahan bit. Karena tidak dilakukan simulasi proses untuk tingkat kaskade M > 2, maka tidak diketahui dibutuhkannya tingkat kaskade M > 2 pada BER > 8.10-2 untuk mendapatkan tingkat keandalan yang tinggi.

5. Kesimpulan 1. Keterbatasan unjuk kerja (throughput dan

keandalan) ARQ dan FEC dapat diatasi dengan koreksi kesalahan tipe-II hybrid ARQ yang menggunakan kaskade kode Hamming.

2. Tingkat kaskade kode Hamming yang efisien dan efektif untuk koreksi kesalahan tipe-II hybrid ARQ (adaptive ARQ) dalam mengatasi perubahan tingkat kesalahan bit adalah M = 1 pada BER < 7,5.10-2 dan M = 2 pada 7,5.10-2 < BER < 8.10-2.

3. Pada koreksi kesalahan tipe-II hybrid ARQ, penggunaan FEC dan ARQ yang bersamaan mengakibatkan sistem memiliki throughput dan keandalan yang lebih baik daripada penggunaan sistem ARQ atau FEC saja.

Daftar Pustaka Andrew S. Tanenbaum, “Jaringan Komputer”,

Edisi Bahasa Indonesia dari Computer Network Edisi III, Prenhallindo, Jakarta.

Kausa, Maan A. and Rahman, Mushfiqur, “An Adaptive Error Control Scheme Using Hybrid ARQ Schemes”, IEEE Trans.Commun, Vol.39 No.7, July 1991.

Law, Averill M. and Kelton, W.David, “Simulation Modeling & Analysis”, McGraw-Hill, Inc, 1991.

Page 18: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Unjuk Kerja Koreksi Kesalahan Tipe-II Hybrid ARQ dengan Menggunakan Kaskade Kode Hamming (Naemah Mubarakah)

49

Lin, Shu and Yu, Philip S., “A Hybrid ARQ Scheme with Parity Retransmission for Error Control of Satellite Channels”, IEEE Trans. Commun.vol.COM-30 no.7, July 1982.

Lin, Shu and Costello, Daniel J., Jr., “Error Control Coding, Fundamentals and Applications”, Prentice Hall, New Jersey, 1983.

Lin, Shu, Costello, Daniel J. and Miller, Michael J., “Automatic-Repeat-Request Error-Control Shemes”, IEEE Commun. Magazine, vol.22 no.12, December 1984.

Poli, Alain and Huguet Llorenc, “Error Correcting Codes, Theory and Applications”, Prentice Hall, Masson, 1992.

Stallings, William, “Data and Computer Communication”, Macmillan, New York, 1985.

Yu, Philip S. and Lin, Shu, “An Efficient Selective-Repeat ARQ Scheme for Satellite Channels and Its Throughput Analysis”, IEEE Trans. Commun, vol.COM-29 no.3, March 1981.

Page 19: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 2 – DESEMBER 2005 (50 – 56)

50

DESAIN DAN IMPLEMENTASI JARINGAN AKSES KABEL TELEPON

Suherman1)

1) Staf Pengajar Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik USU

Abstrak Jaringan akses kabel merupakan teknologi lama yang digunakan untuk menghubungkan sentral telepon ke pelanggan. Dalam perkembangannya, teknologi akses serat optik mulai menggantikan. Namun demikian, teknologi akses kabel masih banyak digunakan di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia. Teknologi DSL dan jaringan akses untuk layanan multimedia dibangun berdasarkan jaringan kabel, baik sebagai peningkatan kualitas saja, maupun dibangun secara campuran. Beberapa jaringan akses juga menggunakan teknik desain yang relatif sama. Artikel ini membahas teknik perencanaan jaringan kabel dari peramalan permintaan, rancangan dasar, sampai implementasi (rancangan rinci). Kata kunci: Jaringan, Akses, Telepon, Kabel Abstract Cable network is an anchient technology that connect public telephone network to its subcribers. Optical network then will replace it. Even it’s a conventional technology without any significant techniques, cable networks are still the primary subscriber networks in many developing countries. DSL technology for TV cable or Internet access, and optical network for multimedia services are developed based on the cable network, on it, mixed, or using the same technique.This article describes design technique to develop a cable network, including demand forecasting, basic design, and detil design. This article also give a basic knowledge to design the other access network technology. Keywords: Networks, Access, Telephone, Cable 1. Pendahuluan

Jaringan akses adalah jaringan yang menghubungkan sentral telepon dengan pesawat telepon pelanggan. Jaringan akses secara umum terdiri atas: jaringan akses kabel, jaringan akses radio, jaringan akses optik, serta jaringan akses campuran (hibrid).

Jaringan akses kabel merupakan jaringan akses tertua sejalan dengan lahirnya teknologi telepon itu sendiri. Jaringan akses kabel (jarkab) pada dasarnya terdiri dari sepasang kabel tembaga terpilin yang ditarik dari sentral sampai ke pesawat telepon pelanggan melalui beberapa titik persambungan. Titik persambungan tersebut antara lain MDF (Main Distribution Frame), RK (Rumah Kabel), DP (Distribution Point), KTB (Kotak Terminal Bagi) dan rowset. Tempat penyambungan opsional lain adalah titik persambungan kabel serta manhole/handhole.

Gambar 1 menunjukkan gambar jaringan kabel sederhana.

Instalasi jaringan kabel luar dari MDF sampai DP, sedangkan instalasi jaringan kabel pelanggan (Instalasi Kabel Rumah/Gedung [IKR/G]) dari KTB hingga pesawat telepon.

2. Elemen Jaringan Kabel 2.1 Main Distribution Frame (MDF)

MDF (Main Distribution Frame) atau Rangka Pembagi Utama (RPU) adalah tempat terminasi antara kabel telepon ke sentral dan kabel telepon ke pelanggan (kabel primer). Komponen utama adalah LSA kapasitas 10 pair. Dalam beberapa aplikasi, MDF dibagi atas 2 blok, yaitu CDF dan MDF. CDF terminasi kabel dari sentral, sedangkan MDF terminasi kabel primer. CDF dan MDF dihubungkan dengan menggunakan kabel jumper.

Page 20: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Desain dan Implementasi Jaringan Akses Kabel Telepon (Suherman) 51

Gambar 1. Konfigurasi jaringan kabel

Gambar 2. Konstruksi dan sambungan MDF-CDF

Jumpering MDF-CDF dimaksudkan agar memudahkan memindahkan sambungan telepon pelanggan ke nomor tertentu sentral telepon. Juga memudahkan dalam proses instalasi, perawatan dan perbaikan.

2.2 Kabel Primer

Kabel primer di tempatkan dan didistribusikan dari MDF di dalam gedung sentral ke arah Rumah Kabel (RK). Penempatan kabel melalui tanam langsung atau duct, dan menggunakan titik penarikan manhole atau handhole. Terdapat juga daerah yang dicatu secara langsung (DCL), di mana penarikan kabel langsung dari MDF ke DP.

Kabel primer diaplikasikan dengan cara tanam langsung atau menggunakan pipa dan dicor beton (kabel duct). Kapasitas kabel primer terdiri dari 100 pair sampai 2400 pair.

Gambar 3. Konstruksi Rumah Kabel (RK)

2.3 Rumah Kabel Rumah kabel atau cross connect cabinet

menjadikan distribusi kabel primer fleksibel dan berfungsi menghubungkan jaringan kabel primer dengan jaringan kabel sekunder. Rumah kabel ditempatkan pada tempat yang mudah diakses, seperti di pinggir jalan. Kapasitas penyambungan kabel sampai 2400 pair. Gambar 3 menunjukkan bentuk fisik RK.

Page 21: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 2 – DESEMBER 2005 (50 – 56)

52

2.4 Daerah Catuan Langsung Daerah Catuan Langsung (DCL) adalah

daerah layanan di mana kabel dari MDF langsung dicatukan ke DP. Daerah ini adalah wilayah pelanggan yang terletak di sekitar sentral, sehingga instalasi kabel relatif sederhana, tanpa melalui rumah kabel. 2.5 Kabel Sekunder

Kabel sekunder ditempatkan dan didistribusikan dari Rumah Kabel (RK) ke arah Distribution Point (DP). Pendistribusiannya melalui sistem kabel udara dan sistem kabel bawah tanah. Distribusi sekunder kabel udara menggunakan tiang. Kapasitas kabel sekunder terdiri dari 10 pair sampai 200 pair.

2.6 Distribution Point (DP)

Distribution point digunakan untuk menghubungkan kabel sekunder ke kabel dropwire ke rumah pelanggan, yang nantinya diteruskan ke pesawat telepon. DP diletakkan di atas tiang maupun di dinding. Gambar 4 menunjukkan instalasi DP pada t iang. Komponen penyambungan saat ini banyak yang menggunakan LSA.

Gambar 4. Konstruksi Distribution Point (DP)

2.7 Instalasi Kabel Rumah/Gedung (IKR/G) Instalasi kabel rumah/gedung adalah

tatacara pemasangan jaringan telepon di dalam rumah atau gedung. Titik hubungannya dimulai dari Kotak Titik Bagi (KTB) sampai ke pesawat telepon. Untuk instalasi rumah dengan 1 pesawat telepon relatif mudah, sedangkan instalasi gedung (bertingkat) dengan banyak pesawat telepon relatif sulit serta menggunakan kabinet/panel sambungan pembantu.

3. Metodologi

Untuk dapat merencanakan dan mengimplementasikan jaringan kabel harus dipertimbangkan aspek historis kebutuhan untuk

meramalkan kebutuhan yang akan datang. Peramalan kebutuhan (demand forecasting) ini menentukan kapasitas jaringan untuk beberapa waktu mendatang. Perencanaan dapat dilakukan untuk 5, 10, 15, atau 20 tahun mendatang, namun implementasinya tetap memperhitungkan biaya. Jika implementasi dilakukan untuk kebutuhan sampai beberapa tahun mendatang, maka biaya investasi akan menjadi besar. Sedangkan jika implementasi jaringan hanya berdasarkan kebutuhan sesaat, maka akan terjadi pembangunan kembali jika kapasitas jaringan tidak mencukupi.

Selain perencanaan kapasitas berdasarkan peramalan kebutuhan, standardisasi komponen dan instalasinya juga dilakukan. Hal ini penting agar implementasi berdasarkan pada standar yang telah dikaji sebelumnya.

Untuk merealisasikan perencanaan dan implementasi jaringan kabel, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: - Peramalan kebutuhan (demand forecasting)

berdasarkan data-data historis kebutuhan telepon dan jumlah pelanggan (peramalan kebutuhan makro), serta peramalan yang didasarkan survei langsung ke lapangan (peramalan kebutuhan mikro).

- Perencanaan dasar (basic design) komponen dan instalasi jaringan kabel.

- Perencanaan detil (detail design) untuk panduan implementasi jaringan.

4. Pembahasan 4.1 Peramalan Kebutuhan Makro

Peramalan kebutuhan makro didasarkan pada data jumlah kebutuhan jaringan yaitu satuan sambungan telepon per 100 penduduk (SST/100jiwa) serta data perkembangan jumlah penduduk. Dari kedua data tersebut akan diperoleh pola atau trend perkembangan tertentu. Pola atau trend ini dianalisa dengan metode analisa statistik, salah satunya metode trend.

Tabel 1. Data penduduk dan kepadatan telepon

(Suherman, 2000)

Tahun Jumlah Penduduk (jiwa)

Kepadatan Telepon (SST/100jiwa)

1991 1174 0.8184 1992 1332 1.0586 1993 1592 2.1027 1994 1895 3.3493 1995 2375 4.0796 1996 2411 5.5291 1997 2698 5.7335 1998 3335 7.9996 1999 3813 8.857 2000 4437 9.9817

Page 22: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Desain dan Implementasi Jaringan Akses Kabel Telepon (Suherman) 53

Gambar 5. Grafik peramalan demand makro dengan metode trend

Beberapa metode analisa statistik trend yang umum digunakan antara lain trend linier, least square, quadratis, exponensial, logistic, dan trend gompertz. Masing-masing trend memiliki karakteristik yang berbeda. Sebagai contoh, untuk data pada Tabel 1 (Andre Poupart, 1997), setelah dilakukan analisis statistik trend, akan diperoleh persamaan untuk masing-masing trend. Grafik karakteristik dari masing-masing persamaan trend diperoleh seperti pada Gambar 5 (Suherman, 2000).

Dari masing-masing persamaan trend yang terbentuk, dilakukan uji korelasi untuk menentukan trend terbaik. Uji korelasi dilakukan dengan membandingkan data sebenarnya dengan data perhitungan setiap trend. Uji yang dilakukan menggunakan persamaan korelasi (Andre Poupart, 1997):

∑ ∑∑

−−

−−=

})"'()'({

))"')('(((22 YiYiYiYi

YiYiYiYir .........................(1)

di mana: Yi : Data ke-i Yi’ : Data peramalan ke-i Yi” : Rata (Yi+Yi’)/2 r : Koefisien korelasi

Parameter r masing-masing trend diuji,

nilai terdekat r = 1 adalah trend yang dipilih. Dari analisis trend tabel di atas, untuk peramalan jumlah penduduk diperoleh trend eksponensial dengan persamaan:

UiY )0758,1.(3065,2298'= .......................................(2)

sedangkan untuk peramalan kepadatan telepon diperoleh trend quadratis dengan persamaan:

2.0084,05307,06745,4 UiUiYi ++= ......................... (3)

Di mana Ui adalah parameter peramalan tahun ke-i (nilai i dimulai i =1 pada tahun 1991). Jika perencanaan dilakukan untuk jangka waktu 5 tahun (tahun 2004, i = 15), akan diperoleh jumlah penduduk 9.205 jiwa dan kepadatan telepon 17,78 SST/100jiwa. Sehingga jumlah kebutuhan jaringan telepon pada tahun 2004 adalah 1.637 SST. Nilai ini adalah hasil akhir peramalan kebutuhan makro. 4.2 Peramalan Kebutuhan Mikro

Peramalan kebutuhan mikro didasarkan pada data survei di lapangan. Data-data tersebut antara lain, t ipe dan jumlah bangunan, pelanggan lama (existing subcriber), pelanggan yang terdaftar namun belum dilayani (waiting list), dan penduduk yang belum meminta tetapi berpotensi menjadi pelanggan (suppressed demand).

Karena kemampuan penduduk dapat didekati dengan melihat kondisi fisik bangunan, maka tingkat kebutuhan juga didasarkan oleh tipe bangunan. Tipe bangunan didasarkan pada konstruksi dan fungsi bangunan, sebagai contoh, untuk rumah tinggal diklasifikasikan atas R1, R2, dan R3. Perkantoran, sekolah, sarana umum, sampai lapangan kosong memiliki klasifikasi tersendiri.

Untuk masing-masing tipe bangunan, diperhitungkan Faktor Penetrasi (FP), yaitu faktor yang menunjukkan tingkat kebutuhan telepon. Misal, untuk FP = 1 berarti dibutuhkan 1 SST. Faktor penetrasi dihitung berdasarkan rumus (Andre Poupart, 1997):

bangunanJumlahdemandSupprlistWaitsubcExistFPt

....)0(

++== ....... (4)

Page 23: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 2 – DESEMBER 2005 (50 – 56)

54

Untuk data 5 tahun ke depan, faktor penetrasi juga harus diramalkan. Peramalan dapat dilakukan dengan mengacu pada laju pertumbuhan penduduk atau kebutuhan telepon. Untuk trend quadratis dan eksponensial diperoleh persamaan:

t

tt rFPFP )1()0()( += =.............................................(5)

Di mana t adalah periode peramalan dan r tingkat pendapatan PDRB. Nilai FP(t) dihitung untuk masing-masing tipe bangunan. Jumlah total SST yang dibutuhkan adalah total hasil kali FP(t) dengan jumlah bangunan. Hasil total ini adalah hasil akhir peramalan kebutuhan mikro. 4.3 Hasil Akhir Peramalan

Untuk mendapatkan hasil akhir peramalan kebutuhan adalah dengan membandingkan persentase perbedaan peramalan kebutuhan makro dan mikro. Asumsi persentase yang dapat diterima adalah bergantung kebijaksanaan pemilik jaringan. Namun umumnya jika persentase perbedaan di bawah 15%, maka hasil peramalan dapat digunakan. Jika lebih besar, maka harus dilakukan pengkajian ulang.

Setelah diambil keputusan, maka hasil akhir peramalan adalah angka FP(t) untuk masing-masing tipe bangunan. Angka ini selanjutnya akan digunakan dalam rancangan detail.

4.4 Perancangan Dasar

Perancangan dasar meliputi penetapan standar komponen jaringan, identifikasi, instalasi, standar batas layanan, analisis transmisi, dan analisis ekonomi. Standar komponen, standar batas layanan, identifikasi, dan analisis transmisi bergantung pada vendor produk jaringan yang digunakan, namun demikian, satu sama lain memiliki prinsip yang sama. Sedangkan analisis ekonomi meliputi analisa pengadaan jaringan, baik material maupun jasa.

Salah satu rancangan dasar yang dibahas adalah identifikasi jaringan. Berikut ini identifikasi jaringan dari MDF sampai DP.

1. MDF (Main Distribution Frame) Lambang : Penomoran : - 2. Kabel Primer Lambang : Penomoran, contoh :

)10001(110006,0/200

−−−

PmKV

di mana: KV : Kabel duct, KT = Kabel Tanah 200 : 200 pair 0,6 : Diameter inti kawat 0,6 mm 1000 m : Panjang kabel P1 : Kabel primer pertama ke luar dari MDF 1 –1000 : urutan pair dalam kabel 3. Rumah Kabel

Lambang : Penomoran :

1200/10002400RB

di mana: RB : Nama sentral, contoh sentral

rumbai. 2400 : Tipe box RK, ada 1200, 2400, dll. 1000/2000 : Kabel yang diterminasi. Kabel

primer maks. 1.000 pair, kabel sekunder maks. 1.200 pair.

4. Kabel Sekunder Lambang : Penomoran :

)1001(11006,0/40

−−−

SmKT

di mana: KT : Kabel tanah, KU = Kabel Udara 40 : Kapasitas 40 pair 0,6 : Diameter inti kawat 0,6 mm S1 : Kabel sekunder pertama ke luar dari

RK 1 – 100 : Urutan pair dalam kabel

5. Distribution Point

Lambang : DP Tiang

DP Dinding Penomoran : RB 1 : DP ke-1 dari rumah kabel RB 10” : Kapasitas 10 pair S2 : Diambil dari kabel sekunder S1 91 – 100 : Nomor urut pair yang berada di DP

6. Kabel Cadangan Lambang : Penomoran :

)10091(1"10

−SCAD

CAD : Cadangan 10” : Kapasitas 10 pair S2 : Diambil dari kabel sekunder S1 91 – 100 : Nomor urut pair yang berada di DP Contoh penamaan jaringan ditunjukkan pada Gambar 6.

)10091(1"101

−SRB

Page 24: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Desain dan Implementasi Jaringan Akses Kabel Telepon (Suherman) 55

Gambar 6. Contoh penamaan jaringan kabel

Tabel 2. Contoh klasifikasi rumah

Jenis Luas Bangunan Fasilitas Bahan Bangunan Keterangan

R1 > 120m2 Garasi Semen (Permanen) Perumahan>2200W

R2 55 - 120m2 Dengan/tanpa garasi Semen/kayu permanen Perumahan 900-2200W

R3 <55m2, <T40m2 Tanpa garasi Semen/kayu (semi permanen) BTN dan Perumnas

A Tidak jelas Tanpa garasi Tanpa semen Daerah kumuh. Non PLN

OH >3000m2 Tempat parkir Permanen Perkantoran

O1 500 – 3000m2 Tempat parkir Permanen Perkantoran

O2 (15x16) m2 Tanpa garasi/Kompleks Permanen Perkantoran (900-2200W)

S1 500 – 3000 m2 Tempat parkir Permanen Perkantoran>2200W

4.4 Perancangan Detail Perancangan detail merupakan implementasi

rancangan dasar ke pekerjaan lapangan. Rancangan detail meliputi penentuan letak perangkat jaringan (DP dan RK), batas layanan, penentuan jalur kabel sekunder dan primer, penentuan dan perhitungan pekerjaan sipil, implementasi dan pengawasan, serta pelaporan.

Penentuan letak perangkat didasarkan nilai Faktor Penetrasi (FP) setiap bangunan yang diperoleh dari hasil peramalan kebutuhan (demand forecasting) serta kapasitas perangkat (komponen jaringan). Tabel 2 (Telkom, 1997) menunjukkan beberapa tipe rumah, terdiri dari R1, R2, R3, A, OH, O1, O2, S1, S2, S3, I1, I2, HTL1, HTL2, SU1, SU2, RS1, RS2, AP, LU, PSC, TH dan TI.

Proses penentuan batas dan peletakan DP diilustrasikan seperti pada Gambar 7a dan 7b. Sebagai contoh, jika faktor penetrasi yang diperoleh dari peramalan demand adalah

R1=1,2, R2=0,8, R3=0,5, A=0,1, S1=2,5, S2=1,5. Kebijaksanaan vendor jaringan menggunakan DP berkapasitas 10 nomor pelanggan yang dialokasikan 8 nomor digunakan, dan 2 nomor sebagai cadangan.

Pada Gambar 7b, DP1 diletakkan di pinggir jalan dengan melingkupi 2 rumah tipe S1, 1 S2, dan 1 R1 sehingga total nilai FP 7,7 (berarti jumlah potensi pelanggan hampir 8). Meskipun cakupan DP1 meliputi 4 rumah, namun berdasarkan nilai FP, hampir 8 nomor yang dibutuhkan dengan cadangan 2 saluran, maka DP1 yang berkapasitas 10 pelanggan dianggap memenuhi kebutuhan. Proses yang sama dilakukan untuk DP lainnya. Tanah kosong juga dapat dipertimbangkan dengan mencari informasi rencana pembangunan saat melakukan survei lapangan. DP diletakkan di pinggir jalan untuk mempermudah penarikan kabel sekunder.

Page 25: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 2 – DESEMBER 2005 (50 – 56)

56

Gambar 7. Contoh penerapan batasan DP

Setelah dilakukan penentuan letak dan

batasan masing-masing DP, maka ditentukan peletakan RK. Peletakan RK ditentukan berdasarkan kemudahan penarikan kabel dari DP ke RK. Kemudian ditentukan batas cakupan RK. Sebagai contoh, untuk RK berkapasitas 400 kabel sekunder dapat mencakup 40 unit DP kapasitas 10 pelanggan. Dari masing-masing DP kemudian ditarik kabel sekunder ke arah RK. Agar diperoleh efektivitas penarikan kabel, dilakukan kombinasi sambungan kabel 10 pair ke kapasitas yang lebih besar, misalnya 40, 60, 80, 100 pair, dan 200 pair. Selain itu dapat dilakukan kabel cadangan untuk daerah-daerah yang berpotensi di kemudian hari.

5. Kesimpulan

Konfigurasi jaringan kabel digunakan sebagai dasar untuk memahami penerapan teknologi jaringan akses. Konfigurasi dimulai dari MDF sampai DP, namun dalam perencanaannya harus dimulai dari daerah cakupan DP. Penilaian kapasitas pelanggan, yakni angka penetrasi, diperoleh dari perpaduan

peramalan permintaan (demand forecasting) makro dan mikro.

Metode peramalan yang tepat dan metode implementasi yang akurat memaksimalkan dan mengefektifkan implementasi dan biaya. Tingginya teknologi akan sia-sia jika dalam implementasinya tidak sesuai kebutuhan. Oleh karenanya implementasi jaringan memiliki bidang tersendiri untuk dikaji. Daftar Pustaka Andre Poupart, Agus Wibowo, 1997, Access

Network Design, Presentation and Colaboration, PIN.

Consultative Committee International for Telephony and Telegraph, 1983, General Network Planning, Genewa.

Divlat PT.Telkom, 1997, Network Planning, Bandung.

Suherman, 2000, Perencanaan Jaringan Lokal Akses Serat Optik Berbasis Teknologi Passive Optical Network, Tugas Akhir Teknik Elektro FT. USU, Medan.

Page 26: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Transceiver Daya Rendah untuk Komunikasi Audio Jarak Dekat (Suherman)

57

TRANSCEIVER DAYA RENDAH UNTUK KOMUNIKASI AUDIO JARAK DEKAT

Suherman1)

1) Staf Pengajar Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik USU Abstrak Beberapa aplikasi teknologi saat ini membutuhkan aplikasi radio berdaya rendah untuk jarak yang dekat. Contohnya seperti wireless headset, mouse, dan keyboard wireless untuk komputer, aplikasi tracking, radio penyadap, dan lainnya. Aplikasi sistem analog tidak lagi populer, disebabkan ukuran yang menjadi masalah, serta teknologinya yang memungkinkan kurangnya keamanan data. Saat ini sistem populer adalah menggunakan pemancar digital berdaya rendah. Kata kunci: Radio, Daya rendah, Frekuensi, Rangkaian 1. Pendahuluan

Untuk merealisasikan sistem radio jarak dekat, hal yang paling penting adalah penghematan daya, sebab penggunaan daya diharapkan bersasal dari baterai dengan daya yang sangat kecil. Hal lain adalah digitalisasi suara sangat penting, hal ini disebabkan kualitas suara digital lebih unggul dibandingkan suara analog. Juga memudahkan pemrosesan enkripsi ataupun penyimpanan pada memori.

Arsitektur sederhana dari sistem radio wireless digital ditunjukkan pada Gambar 1. Sinyal suara dari mikropon memasuki rangkaian ADC agar dapat dikonversikan menjadi bit-bit digital, kemudian diolah oleh mikrokontroler jika diperlukan proses enkripsi. Mikrokontroler juga mengendalikan proses chip radio, seperti pengaturan frekuensi pancar, mode pancar, level daya pancar, dan fungsi lainnya. Chip radio mengirimkan data suara menjadi sinyal radio juga menerima sinyal radio menjadi bit-bit digital yang nantinya diproses oleh mikrokontroler dan diubah DAC menjadi suara. Proses modulasi dan demodulasi di chip radio menggunakan modulasi digital. Sedangkan fungsi pemancaran duplex pada antena biasanya menggunakan komponen pasif minim yang membentuk duplexer sederhana. Berikut ini tinjauan teknologi chip radio model CC1000 RF transceiver from chipcon. 2. RF Transceiver CC1000

Chip CC1000 merupakan chip radio berdaya rendah, dibuat berdasarkan teknologi CMOS (complementary-metal-oxide-semiconductor) 0.35-µm. Dirancang dengan sistem modulasi FSK pada band frekuensi ISM 315, 433, 868,

and 915 MHz, dan dapat diprogram untuk bekerja pada frekuensi 300 to 1000 MHz. Beroperasi dengan daya rendah dari catudaya +2.1 to +3.6 VDC, konsumsi arus hanya 7.4 mA at +3 VDC. Sensitivitas transceiver − 110 dBm (pada frekuensi 433 MHz dan kecepatan 1.2 kb/s), serta mampu melayani data rate dari 0.6 sampai 76.8 kb/s.

Diagram IC CC1000 ditunjukkan pada Gambar 2, terdiri dari komponen Tx, Rx, frequency synthesizer, dan fungsi-fungsi pengontrolan. Komponen eksternal juga dibutuhkan, tetapi jumlahnya minim.

Tx dan Rx beroperasi secara bergantian dengan prinsip Time Division Duplex (TDD). Phase-Locked Loop (PLL) memiliki turn-around times kurang dari 200 µs. Pada saat idle, nilai turne-arround time sangat penting untuk mengecek incoming call. Saat panggilan datang, rangkaian RSSI (Receive Signal Strength Indicator) dapat digunakan secepatnya. Sinyal RSSI juga dapat berbentuk analog dan dapat dihubungkan dengan Analog-to-Digital Converter (ADC). PLL dapat diprogram ke beberapa channel frekuensi, jika satu channel telah digunakan radio lain, maka terdapat algoritma automatic channel-selection untuk mencari kanal kosong guna mencegah interferensi dengan radio lain yang berfrekuensi sama.

Pada saat proses TDD, waktu yang digunakan untuk Tx maupun Rx disebut dwell time, sedangkan jarak antara waktu Tx dan Rx disebut guard time. Overhead dapat dikurangi

Page 27: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 2 – DESEMBER 2005 (57 – 62)

58

jika dwell time panjang atau guard time pendek, tetapi dapat menyebabkan latency lebih panjang. Dwell time terbaik adalah 50 ms, sehingga repetition rate untuk Tx dan Rx adalah 100 ms atau 10 Hz. Buffer first-in, first-out (FIFO) digunakan untuk menyimpan sementara data kirim dan data terima selama proses TDD. Buffer FIFO dapat diimplementasikan di RAM mikrokontroler. TDD dan kontrol lainnya dikendalikan melalui mikrokontroler. Sementara data suara berkecepatan 32 kb/s ditransmisikan pada kecepatan 76.8 kb/s termasuk informasi kendali dan guard time. Gambar 3 menunjukkan dwell time dan guard time.

Frame data berisi preamble untuk sinkronisasi, start of frame untuk memisahkan

preamble dengan alamat dan informasi kontrol, kemudian diikuti data suara dan check sum. Bentuk frame data pada transceiver CC1000 ditunjukkan pada Gambar 4. Untuk meningkatkan kualitas data, quality-of-service (QoS), Cyclic Redundancy Checksum (CRC) dapat ditambahkan. Scrambling ataupun enkripsi dapat ditambahkan melalui programming mikrokontroler. Dalam kondisi mode idle, IC menunggu incoming call di mana Rx dihidupkan pada interval teratur seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Nilai tipikal polling adalah 1 detik. Pertama kali rangkaian RSSI dicek, jika ada sinyal, maka mikrokontroler akan mencari preamble data. Jika telah sesuai, komunikasi dapat dilanjutkan.

Gambar 1. Arsitektur sistem radio sederhana

Gambar 2. Blok diagram IC CC1000

Gambar 3. Blok diagram IC CC1000

Page 28: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Transceiver Daya Rendah untuk Komunikasi Audio Jarak Dekat (Suherman)

59

Gambar 4. Bentuk frame data transceiver

Gambar 5. Proses locking PLL dari kondisi idle

Gambar 6. Rangkaian aplikasi transceiver CC1000

3. Sistem Transceiver Radio CC1000 3.1 Rangkaian Aplikasi CC1000

Untuk merealisasikan sistem transceiver CC1000 dibutuhkan komponen eksternal. Rangkaian tipikal ditunjukkan pada Gambar 6. Komponen eksternal yang dibutuhkan sangat sedikit, dan disarankan memakai komponen SMD agar diperoleh presisi dan ukuran minimal.

Input matching impedance receiver menggunakan C31/L32. L32 juga digunakan

sebagai DC choke untuk biasing. C41, L41, and C42 digunakan untuk matching transmitter. Komponen duplexer ini didukung dengan rangkaian switch T/R internal. L101 merupakan VCO inductor yang besarnya disesuaikan dengan frekuensi yang akan digunakan. Filter tambahan dapat digunakan untuk mempertajam pemisahan band frekuensi. Komponen lengkap pendukung diberikan pada Tabel 1.

Page 29: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 2 – DESEMBER 2005 (57 – 62)

60

Tabel 1. Komponen pendukung IC CC1000

Gambar 6. Antarmuka pemrogram IC CC1000

3.2 Konfigurasi IC Transceiver Konfigurasi dapat dilakukan menggunakan

software yang disediakan oleh pabrik. Beberapa parameter yang dapat diprogram antara lain receive/transmit mode, RF output power, frequency synthesiser key parameters, RF output frequency, FSK frequency separation (deviation), crystal oscillator reference frequency, power-down/power-up mode, crystal oscillator power-up/power down, data rate and data format (NRZ, Manchester coded or UART interface), synthesiser lock indicator mode, optional RSSI atau external IF.

Untuk IC CC1000, Chipcon sebagai pabrikan menyediakan program software SmartRFStudio. Bentuk interface-nya ditunjukkan pada Gambar 6.

3.3 Antarmuka dengan Mikrokontroler Untuk antarmuka atau interfacing,

mikrokontroler yang digunakan harus memiliki kemampuan antara lain: - Memprogram IC dengan 3 mode melalui 3

pin (PDATA, PCLK and PALE). - Interface to the bi-directional synchronous

data signal interface (DIO and DCLK). - Opsional data encoding/decoding. - Opsion lain, mikrokontroler dapat

memonitor status frekuensi terkunci dari pin CHP_OUT (LOCK).

- Opsion tambahan mikrokontroler dapat memonitor kuat sinyal dari pin RSSI.

Untuk menghubungkan mikrokontroler

menggunakan 3 pin interface konfigurasi (PDATA, PCLK and PALE). PDATA adalah

Page 30: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Transceiver Daya Rendah untuk Komunikasi Audio Jarak Dekat (Suherman)

61

bidirectional, untuk transmisi serial data kirim dan terima. Pin lain adalah untuk kendali dan informasi. Gambar 7 menunjukkan antarmuka IC CC1000 dengan mikrokontroler. 4. Rancangan Digitalisasi Suara

Untuk merealisasikan sistem transceiver radio digital yang mengirimkan suara. Dapat menggunakan blok sistem pada Gambar 8.

Dengan teknologi pulse-code modulation (PCM), menggunakan langkah sampling, quantizing, dan coding akan menghasilkan 64 kb/s. Dengan sistem TDD dibutuhkan minimal data link 128 kb/s untuk dua arah, belum termasuk overhead. Untuk mengurangi data rate dapat menggunakan Adaptive Differential Pulse Code Modulation (ADPCM) atau Continuous Variable Slope Delta coding (CVSD). Alokasi data pada IC CC1000 dapat menampung data suara 32 kb/s, namun ini juga masih dapat

direduksi dengan menggunakan IC ADC dan DAC lain, sehingga rate data suara dapat dikurangi.

ADC/DAC dapat digunakan secara terpisah, maupun dengan menggunakan mikrokontroler yang dilengkapi dengan Digital Signal Processing (DSP). IC ADC terpisah dapat dimanfaatkan untuk mempermudah desain program mikrokontroler, sebagai contoh IC ADC CMX639 menggunakan teknologi CVSD, sedangkan IC CMX649 menggunakan ADM. MC145540 dan MC145481 menggunakan ADPCM. IC ML7029 dan MSM7540L/7560L/ 7570L/7590L menggunakan ADPCM dengan dilengkapi compander. Jika hanya menggunakan mikrokontroler yang dilengkapi DSP, dapat menggunakan IC ADSP-21ESP202 atau IC ADSP-218x.

Gambar 7. Antarmuka mikrokontroler

Gambar 8. Blok lengkap komunikasi audio radio digital

Page 31: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 2 – DESEMBER 2005 (57 – 62)

62

5. Penutup Pemanfaat IC radio terintegrasi dengan

daya pancar rendah sangat dibutuhkan saat ini, mengingat banyaknya sistem yang memanfaatkan teknologi ini. Terlebih dengan adanya alokasi frekuensi ISM yang memungkinkan penggunaan kanal dengan bebas.

IC CC1000 produksi Chipcon dengan fasilitas memadai dan alokasi frekuensi ISM serta catudaya rendah merupakan contoh aplikasi IC transceiver daya rendah yang memenuhi kebutuhan. Selain dibutuhkan komponen eksternal yang minim, IC ini juga memberikan keleluasaan pengolahan suara baik melalui mikrokontroler, DSP processor, ataupun menggunakan ADC/DAC terpisah. Daftar Pustaka Datasheet CC1000 Single Chip Very Low

Power RF Transceiver, SmartRFCC1000 Datasheet (rev. 2.2) 2004-04-22, 2004.

ERC/REC 70-03E, Relating to the Use of Short Range Devices (SRD); CEPT, April 2002.

ETSI EN 300 220-1, Electromagnetic Compatibility and Radio Spectrum Matters (ERM); Short Range Devices (SRD); Radio equipment to be used in the 25 MHz to 1000 MHz frequency range with power levels ranging up to 500 mW; Part 1: Technical characteristics and test methods, September 2000.

Peder Martin Evjen, Low-Power Transceiver Targets Wireless Headsets, A low-power CMOS Transceiver Uses TDD Techniques within Unlicensed ISM Bands in Support of Compact, Low-Cost Wireless Headset Designs. Microwaves and RF, October 2002.

P.M. Evjen, "SRD Regulations," Application Note: AN001; Chipcon, October 2001.

Page 32: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Rancangan Alat Ukur Waktu Tunda Rele Arus Lebih (T. Ahri Bahriun)

63

RANCANGAN ALAT UKUR WAKTU TUNDA RELE ARUS LEBIH

T. Ahri Bahriun1)

1) Staf Pengajar Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik USU

Abstrak Rele arus lebih berfungsi untuk membuka circuit breaker jika terjadi gangguan berupa arus lebih. Pembukaan circuit breaker ini bertujuan untuk menghindari kelebihan arus yang berkepanjangan. Rele ini umumnya dilengkapi dengan penunda waktu yang akan menunda pembukaan circuit breaker selama waktu tertentu. Ini dimaksudkan agar circuit breaker tidak dibuka jika gangguan arus lebih hanya berlangsung untuk saat yang singkat. Lamanya tundaan waktu ini umumnya merupakan fungsi dari besarnya arus lebih. Salah satu alat ukur yang dibutuhkan oleh laboratorium distribusi adalah alat ukur waktu tunda rele arus lebih. Alat ini berguna untuk mengukur selang waktu antara mulai terjadinya arus lebih dengan dibukanya circuit breaker. Alat ukur ini umumnya merupakan suatu timer yang akan di-start dan di-stop oleh kontak bantu dari rele yang diuji. Tulisan ini mencoba membahas suatu rangkaian pengukur waktu pembukaan rele arus lebih yang sederhana, yang menggunakan rangkaian logika sebagai intinya. Kata kunci: Rele arus lebih, Waktu tunda 1. Pendahuluan

Laboratorium Distribusi Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik USU menggunakan sejumlah rele pada rangkaian-rangkaian percobaan. Salah satu rele yang digunakan adalah rele arus lebih. Rele arus lebih ini dilengkapi dengan penunda waktu guna menunda bekerjanya rele tersebut. Lamanya waktu tunda ini merupakan fungsi dari besarnya arus lebih dan dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Semakin besar kelebihan arus semakin singkat tundaan waktunya.

Salah satu besaran yang harus diukur dalam pengujian rele arus lebih adalah lamanya waktu tunda rele tersebut. Dalam pengujian ini, perlu diukur lamanya waktu tunda sebagai fungsi besarnya arus lebih. Pengukuran ini bisa dilakukan dengan menggunakan stopwatch biasa namun dalam pelaksanaannya tentu saja akan sulit, karena stopwatch harus di-start tepat pada saat dimulainya arus lebih dan harus di-stop tepat pada saat rele bekerja atau pada saat CB (circuit breaker) membuka. Cara ini membutuhkan kecepatan dan kesigapan dari orang yang memegang stopwatch tersebut. Dalam hal ini kesalahan pengukuran terbesar adalah disebabkan oleh faktor manusia, di mana kecepatan refleks manusia sangat menentukan.

Metode yang lebih baik ialah men-start dan men-stop stopwatch dengan menggunakan kontak bantu (auxiliary contact) dari rele yang diuji. Dengan cara ini kesalahan yang disebabkan kelambanan manusia dapat dihindari. Agar dapat di-start dan di-stop secara listrik maka stopwatch yang digunakan haruslah stopwatch elektronik. Kesulitan dari metode ini ialah cara menghubungkan stopwatch yang digunakan ke rele yang akan diuji. Seperti diketahui, stopwatch elektronik umumnya bekerja pada tegangan rendah. Rangkaian seperti ini sangat peka terhadap kelebihan tegangan, khususnya pada bagian masukannya, Oleh karena itu dibutuhkan suatu cara untuk mengisolasi rangkaian stopwatch dari rele yang diuji. Salah satu cara ialah dengan menggunakan optocoupler, seperti diperlihatkan pada Gambar 1 (Bouwens, 1986).

Gambar 1. Rangkaian pengisolasi stopwatch

Page 33: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 2 – DESEMBER 2005 (63 – 69)

64

Pada rangkaian ini, stopwatch sama sekali tidak berhubungan secara listrik dengan rele yang diuji. Hubungan hanya terjadi secara optik. Jika kontak bantu rele menutup maka LED pada optocoupler akan memancarkan cahayanya pada phototransistor sehingga transistor ini akan menghantar. Menghantarnya transistor ini akan menutup switch start dari stopwatch.

Kesulitan lain dari cara ini ialah bahwa stopwatch umumnya memiliki dua tombol yang terpisah untuk start dan stop sehingga harus ada suatu rangkaian yang dapat memberikan sinyal start dan stop yang terpisah berdasarkan menutup dan membukanya kontak bantu dari rele yang diuji.

Kesulitan-kesulitan di atas menimbulkan gagasan untuk merancang dan merakit suatu stopwatch yang dapat di-start dan di-stop oleh kontak bantu dari rele arus lebih. Komponen-komponen yang digunakan pada rancangan ini adalah komponen-komponen yang umum dan mudah diperoleh di pasaran. Tulisan ini mencoba membahas secara ringkas rancangan stopwatch ini. 1. Prinsip Kerja Dasar

Prinsip kerja dasar dari alat ukur waktu tunda rele yang dirancang ini ialah menghitung jumlah pulsa yang masuk ke suatu pencacah BCD (Binary Coded Decimal) dari suatu rangkaian basis waktu selama kontak bantu rele menutup, yaitu selama waktu tunda rele. Alat ukur waktu tunda rele ini terdiri dari beberapa bagian seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2 (Bartee, 1985).

Gambar 2. Diagram blok alat ukur

Rangkaian basis waktu berfungsi untuk membangkitkan pulsa clock dengan frekuensi yang stabil dan presisi. Pulsa keluaran dari basis waktu ini dikirimkan ke pencacah BCD. Selama kontak bantu rele terbuka maka masukan INH (Inhibit) dari pencacah akan bernilai logika

rendah sehingga pulsa clock yang masuk ke pencacah akan diabaikan. Apabila terjadi arus lebih maka kontak bantu rele akan menutup. Ini akan membuat masukan INH dari pencacah bernilai logika tinggi sehingga pencacah akan mencacah pulsa clock yang masuk. Dengan demikian maka selama kontak bantu rele tertutup, isi pencacah akan bertambah satu untuk setiap pulsa yang masuk.

Pada akhir tundaan waktu, rele akan membuka CB sehingga arus lebih akan hilang dan kontak bantu rele akan terbuka kembali sehingga masukan INH dari pencacah kembali bernilai rendah pencacahan dihentikan. Dengan demikian maka pencacahan akan berlangsung selama waktu tunda dari rele. Pada akhir proses pencacahan, isi pencacah adalah sama dengan jumlah pulsa yang telah diterimanya. Banyaknya pulsa yang masuk ke pencacah ditentukan oleh lamanya waktu tunda dan frekuensi pulsa clock dan dapat dinyatakan sebagai: di mana : P = TD.fCLOCK P = Jumlah pulsa TD = Lamanya waktu tunda fCLOCK = Frekuensi clock

Isi pencacah ini selanjutnya diubah dari format BCD ke format 7-segmen oleh suatu dekoder untuk selanjutnya ditampilkan oleh peraga LED (Light Emitting Diode) 7-segmen sehingga dapat dilihat. 2.1 Rangkaian Pencacah dan Peraga

Sesuai dengan kebutuhan, maka alat ukur waktu tunda rele ini dirancang untuk dapat mengukur waktu sampai dengan 100 detik dengan resolusi 0,01 detik sehingga nilai yang terbesar yang harus dapat ditampilkan adalah 99,99 detik. Untuk itu dibutuhkan peraga 4-digit yang terdiri dari 4 buah peraga LED 7-segmen. Setiap digit dari peraga ini mendapat masukan dari sebuah pencacah BCD yang masing-masing dapat menghitung mulai dari nol sampai dengan sembilan. Agar rangkaian menjadi lebih sederhana maka pencacah yang digunakan pada rancangan ini adalah pencacah yang sudah dilengkapi dengan pengubah BCD ke 7-segmen yang dilengkapi pula dengan penggerak (BCD to 7-segment decoder/driver). Rangkaian lengkap dari pencacah dan peraga diperlihatkan pada Gambar 3 (Fairchild Semiconductor, 1988). Switch RESET (S2) berfungsi untuk mengosongkan isi pencacah

Page 34: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Rancangan Alat Ukur Waktu Tunda Rele Arus Lebih (T. Ahri Bahriun)

65

yang timbul pada saat catudaya dinyalakan ataupun yang merupakan hasil pengukuran sebelumnya. Aliran pulsa masukan ke pencacah diatur oleh nilai logika dari masukan INH (inhibit) pada pencacah yang pertama. Pencacah akan mencacah pulsa pada masukan CP jika masukan INH bernilai (logika) rendah dan sebaliknya pencacahan akan dihentikan apabila masukan INH ini bernilai tinggi. Dengan kata lain, pencacahan dapat diatur dengan mengatur nilai logika dari masukan INH ini. Oleh karena itu maka masukan CP dari pencacah dapat disambungkan secara permanen ke sumber pulsa, yaitu rangkaian basis waktu. Seperti telah

dinyatakan sebelumnya, agar rangkaian menjadi lebih sederhana maka pencacah yang digunakan adalah pencacah BCD yang dilengkapi dengan pengubah BCD ke 7-segmen dan penggerak. Oleh karena itu format keluaran dari setiap unit pencacah adalah format 7-segmen dan mampu untuk menyalakan satu segmen dari tampilan LED. Karena sifat keluaran dari penggerak adalah aktif tinggi (active high) maka tampilan LED 7-segmen yang digunakan adalah jenis katoda bersama (common cathode). Besarnya arus segmen akan menentukan kecerahan segmen tersebut. Semakin besar arus segmen semakin cerah nyala segmen tersebut.

Gambar 3. Rangkaian pencacah dan peraga

Gambar 4. Rangkaian ekivalen satu segmen

Gambar 5. Rangkaian basis waktu

Page 35: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 2 – DESEMBER 2005 (63 – 69)

66

Untuk menghindari kerusakan dari penggerak dan peraga 7-segmen, maka arus setiap segmen harus dibatasi agar lebih kecil dari nilai maksimum yang diperkenankan (Millman, Halkias, 1979). Hal ini dapat dilakukan dengan menyisipkan sebuah tahanan di antara setiap segmen dengan penggeraknya sehingga rangkaian ekivalen dari setiap segmen dan penggeraknya menjadi seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4.

Besarnya arus segmen adalah:

IS = (VDD – VEC – VF) / RS ...............................(1) di mana:

VDD : Tegangan catuan VEC : Tegangan jatuh emiter kolektor

transistor penggerak VF : Tegangan jatuh pada LED

segmen 2.2 Rangkaian Basis Waktu

Rangkaian basis waktu terdiri dari sebuah osilator kristal kwarsa dan sejumlah pencacah yang difungsikan sebagai pembagi frekuensi, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5 (Bouwens, 1986). Osilator terdiri dari sebuah gerbang NAND (IC5a) yang dioperasikan pada daerah liniernya dengan memberikan umpan balik DC melalui tahanan R35. Sebagai penentu frekuensi digunakan sebuah kristal kwarsa dengan frekuensi 4MHz. Keluaran dari osilator ini disangga (buffer) oleh IC5b guna mengurangi efek pembebanan pada IC5a dan selanjutnya diteruskan ke rangkaian pembagi frekuensi yang terdiri dari IC6 hingga IC8. Untuk mendapatkan resolusi pengukuran sebesar 0,01 detik maka frekuensi masukan (clock) dari pencacah haruslah 100Hz.

Untuk mendapatkan sinyal dengan frekuensi 100Hz maka frekuensi keluaran dari osilator yang besarnya 4MHz harus dibagi dengan faktor pembagi sebesar 40.000 sehingga diperoleh:

fCLOCK = fOSC/40000 = 4.000.000Hz/40.000 = 100Hz

Pembagian frekuensi dilakukan dengan

menggunakan 8 buah pencacah BCD yang dihubungkan secara cascade. Pencacah IC6a, IC6b, IC7a, dan IC7b difungsikan sebagai pembagi 10 sehingga berturut-turut akan menghasilkan pulsa dengan frekuensi 400 kHz, 40 kHz, 4 kHz dan 400 Hz. Suatu pencacah

BCD akan membagi frekuensi masukannya dengan faktor pembagi 10 jika keluaran diambil dari QC ataupun QD. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Diagram pewaktuan pencacah BCD

Dari Gambar 6 terlihat bahwa dalam satu periode yang terdiri dari sepuluh pulsa CP, keluaran QC dan QD hanya naik dan turun satu kali. Hal ini akan terus berulang sehingga hubungan antara CP, QC, dan QD dapat dinyatakan sebagai:

TC = TD = 10.TC di mana:

TC = perioda QC TD = perioda QD TCP = perioda CP

atau, fC = fD = fCP / 10

di mana: fC = frekuensi QC fD = frekuensi QD fCP = frekuensi CP

IC8a dirangkai menjadi pencacah modulus

4 dengan menghubungkan keluaran QC ke masukan CLR (clear) sehingga pencacah ini akan mereset dirinya sendiri pada setiap pulsa masukannya yang keempat, yaitu pada saat keluaran QC naik sesaat seperti terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Diagram pewaktuan dari pencacah

modulus 4

Dari Gambar 7 terlihat bahwa dalam satu siklus yang terdiri dari empat pulsa CP, keluaran QB dan QC hanya naik dan turun satu kali. Hal ini akan terus berulang sehingga hubungan CP, QB, dan QC dapat dinyatakan sebagai:

TB = TC = 4.TCP

Page 36: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Rancangan Alat Ukur Waktu Tunda Rele Arus Lebih (T. Ahri Bahriun)

67

di mana: TB = perioda QB TC = perioda QC TCP = perioda CP

atau, fB = fC = fCP /4

di mana: fB = frekuensi QB fC = frekuensi QC fCP = frekuensi CP

Dengan demikian maka IC8a akan

berfungsi sebagai pembagi 4 sehingga menghasilkan pulsa keluaran dengan frekuensi 100 Hz. Sinyal 100 Hz ini selanjutnya dibagi sepuluh oleh pencacah IC8b yang berfungsi sebagai pembagi 10 sehingga menghasilkan pulsa keluaran dengan frekuensi 10 Hz.

Sinyal keluaran 100 Hz dan 10 Hz ini dapat dipilih oleh switch S1a untuk diteruskan ke pencacah utama IC1. Jika yang dipilih adalah 10 Hz maka resolusi pengukuran adalah 0,1 detik sehingga tundaan maksimum yang dapat diukur adalah 999,9 detik. Sebaliknya jika yang dipilih adalah 100 Hz maka resolusi pengukuran adalah 0,01 detik sehingga tundaan maksimum yang dapat diukur adalah 99,99 detik. Oleh karena itu titik desimal yang harus dinyalakan untuk kedua kisar pengukuran ini adalah berbeda. Pemilihan titik desimal ini dilakukan oleh switch S1b. 2.3. Rangkaian Pengisolasi

Rangkaian ini berfungsi untuk mengisolasi masukan INH dari pencacah utama (IC1) dari kontak bantu rele yang akan diuji. Hal ini sangat penting guna mengamankan pencacah ini dari tegangan lebih, agar terhindar dari kerusakan. Rangkaian ini menggunakan sebuah optocoupler (OC1), seperti yang diperlihatkan pada Gambar 8.

Gambar 8. Rangkaian pengisolasi

Jika terjadi arus lebih maka kontak bantu rele akan menutup sehingga LED pada OC1 akan dialiri arus dan menyinari phototransistor-nya sehingga phototransistor ini akan menghantar. Menghantarnya phototransistor ini akan mengakibatkan tegangan kolektornya menjadi rendah sehingga masukan INH dari pencacah IC1 akan bernilai logika rendah dan pencacah akan mencacah pulsa yang masuk.

Pada saat tundaan waktu berakhir maka bersamaan dengan membukanya CB, arus lebih akan hilang sehingga kontak bantu rele akan membuka. Ini akan menyebabkan LED pada optocoupler tidak dialiri arus sehingga phototransistor dari OC1 tidak mendapatkan penyinaran. Hal ini akan mengakibatkan phototransistor menyumbat (cut-off) sehingga tegangan kolektornya menjadi tinggi. Akibatnya masukan INH dari IC1 akan bernilai logika tinggi sehingga aliran pulsa ke pencacah akan dihentikan. Dioda D1 berfungsi untuk melindungi LED dari tegangan reverse.

2.4. Rangkaian Catu Daya

Rangkaian pengukur waktu tunda ini direalisasikan dengan menggunakan perangkat logika jenis CMOS (Complementary Metal Oxide Semiconductor). Jenis ini dipilih karena lebih kebal terhadap derau dan mengkonsumsi daya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan jenis TTL (Transistor Transistor Logic). Kelebihan lain dari perangkat CMOS ialah kisar tegangan catu yang lebih lebar, yaitu berkisar dari +3 VDC hingga +15 VDC. Untuk rangkaian ini ditentukan besarnya tegangan catuan adalah +5 VDC.

Besarnya arus yang dikonsumsi perangkat CMOS ditentukan oleh tegangan catuan dan frekuensi kerja. Semakin tinggi tegangan catuan dan frekuensi kerja, semakin besar konsumsi arus. Frekuensi kerja tertinggi hanya terjadi pada IC5a dan IC5b yang bekerja pada frekuensi 4 MHz. Frekuensi kerja tertinggi kedua adalah pada IC6a yang bekerja pada frekuensi 400 kHz. Pada rangkaian yang dirancang, besarnya konsumsi arus dari seluruh perangkat CMOS adalah sekitar 50 mA.

Besarnya arus yang dikonsumsi oleh peraga ditentukan oleh arus setiap segmen dan nilai yang ditampilkan. Dari persamaan (1) dapat dilihat bahwa besarnya arus segmen dapat diatur dengan mengatur nilai tahanan RS. Semakin besar arus segmen semakin terang nyala segmen tersebut. Untuk peraga 7-segmen dengan ketinggian segmen 8 mm, arus segmen

Page 37: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 2 – DESEMBER 2005 (63 – 69)

68

sebesar 5mA sudah cukup untuk menghasilkan kecerahan segmen memadai. Dengan demikian jika semua segmennya menyala maka setiap digit akan mengkonsumsi arus sebesar 35 mA, yaitu pada saat menampilkan angka 8. Jika keempat digit menampilkan nilai 8 maka besarnya arus yang dikonsumsi peraga adalah 140 mA.

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa konsumsi arus total untuk rangkaian yang dirancang adalah 190 mA maksimum. Untuk membangkitkan tegangan catuan digunakan catudaya seperti yang diperlihatkan pada Gambar 9.

Gambar 9. Rangkaian catudaya

Tegangan masukan dari jala-jala

diturunkan oleh suatu trafo stepdown (T1) yang memiliki tegangan sekunder sebesar 18 VRMS dengan CT (centre tap). Keluaran dari trafo disearahkan oleh penyearah gelombang penuh yang terdiri dari dioda D2 dan D3. Keluaran dari penyearah ini selanjutnya ditapis oleh kapasitor C3 guna menghilangkan kerut (ripple) yang ada. Besarnya tegangan yang dihasilkan masih dipengaruhi oleh arus beban sementara arus beban berubah-ubah karena dipengaruhi oleh jumlah segmen yang menyala pada peraga. Oleh karena itu untuk menstabilkan tegangan catudaya digunakan IC9 yang merupakan suatu regulator seri. IC9 ini akan mempertahankan tegangan keluarannya sebesar +6 VDC selama tegangan masukannya lebih besar dari +8 VDC dan arus keluarannya lebih kecil dari 1 Ampere (Fairchild Semiconductor, 1988).

Besarnya daya yang hilang atau disipasi daya pada regulator ini adalah:

PD ≅ (VIN – VOUT).IL Watt

di mana: PD : disipasi daya VIN : tegangan masukan regulator VOUT : tegangan keluaran regulator IL : arus beban

Disipasi daya ini akan diubah menjadi

panas oleh regulator. Untuk menghindari panas

yang berlebihan maka panas yang timbul ini harus dibuang dengan menggunakan pendingin atau heatsink.

Agar daya yang hilang tidak terlalu besar maka VIN harus dibuat serendah mungkin, namun harus dapat mengantisipasi turun naiknya VIN yang disebabkan oleh perubahan arus beban dan turun naiknya tegangan jala-jala.

Keluaran dari regulator ini selanjutnya ditapis oleh kapasitor C6 untuk menghilangkan kerut sehingga pada keluaran regulator akan diperoleh tegangan searah sebesar +6 VDC yang benar-benar stabil dan bebas kerut.

Kapasitor C4 dan C5 berfungsi untuk menstabilkan IC regulator agar tidak berosilasi, sesuai dengan yang dianjurkan oleh pabrik pembuatnya (Fairchild Semiconductor, 1988).

3. Kalibrasi

Kalibrasi dari alat yang dibuat membutuhkan suatu frequency counter yang mampu mengukur frekuensi paling tidak hingga 5 MHz dengan resolusi 1 Hz atau lebih baik. Satu-satunya bagian yang harus ditala pada proses kalibrasi adalah kapasitor C1.

Sebelum alat ukur tundaan waktu dinyalakan, masukan dari frequency counter dihubungkan pada keluaran dari IC5b. Selanjutnya alat ukur dapat dinyalakan dan dibiarkan menyala hingga 5 menit guna pemanasan. Pemanasan ini perlu agar semua komponen mencapai temperatur kerja yang stabil sebelum kalibrasi dilakukan. Selanjutnya proses kalibrasi dapat dilakukan dengan menala kapasitor C1, sampai frequency counter menampilkan nilai 4.000.000 Hz. Apabila diperlukan maka nilai kapasitor C1 dapat diubah. Jika kalibrasi telah selesai maka alat ukur ini siap untuk digunakan. 4. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain ialah: 1. Alat ukur tundaan waktu rele arus lebih

dapat dibuat dengan menggunakan rangkaian elektronik yang sederhana.

2. Jumlah digit dari peraga dan akan menentukan lamanya waktu tunda yang dapat diukur.

3. Frekuensi clock yang digunakan akan menentukan resolusi dari pengukuran.

Daftar Pustaka Bartee, T., “Digital Computer Fundamentals”,

McGraw-Hill, New York, 1985.

Page 38: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Rancangan Alat Ukur Waktu Tunda Rele Arus Lebih (T. Ahri Bahriun)

69

Bouwens A. J., “Digital Instrumentation”, McGraw-Hill, New York, 1986.

Fairchild Semiconductor, 1988, CMOS Integrated Circuits Data Book.

Millman, J., Halkias, “Microelectronics, Digital, and Analog Circuits and Systems”, McGraw-Hill, New York, 1979.

Page 39: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 2 – DESEMBER 2005 (70 – 78)

70

PENGUKURAN TAHANAN PEMBUMIAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE FALL-OF-POTENTIAL

ALTERNATIF

Zulkarnaen Pane1) Mustafrind Lubis1)

1) Staf Pengajar Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik USU Abstrak Suatu analisis yang diperluas dari pengukuran tahanan pembumian dengan menggunakan metode fall-of-potential akan dipaparkan. Pertama-tama akan diperoleh suatu kurva yang menyatakan lokasi eksak dari probe potensial apabila probe potensial dan probe arus berada pada arah yang berbeda. Kurva-kurva yang menggambarkan kesalahan pengukuran juga ditampilkan untuk kasus apabila probe potensial ditempatkan di mana tahanan pembumian yang benar tidak dapat diukur. Studi yang dibahas pada artikel ini telah memperluas teori metode fall-of-potential konvensional dan hasil yang diperoleh dapat menjadi petunjuk praktis untuk pengukuran tahanan pembumian yang dilakukan dengan menggunakan metode ini.

Kata kunci: Fall-of-potential, Pengukuran tahanan pembumian, Pembumian Abstract An extended analysis of ground resistance measurement using the fall-of-potential method will be presented. A curve that represents the exact locations of the potential probe when the potential and current probes are in different directions is obtained for the first time. Curves representing measurement error are also presented for the case when the potential probe is placed in locations where the correct ground resistance cannot be measured. The study presented in this paper has extended the theory of the conventional fall-of-potential method and the results obtained can serve as a practical guide for ground resistance measurements made using this method. Keywords: Fall-of-potential, Ground resistance measurement, Grounding 1. Pendahuluan

Metode fall-of-potential merupakan teknik dasar yang secara luas digunakan untuk pengukuran tahanan pembumian (IEEE Std. 81, !983). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan tiga titik pengukuran yaitu elektroda pembumian (elektroda yang diuji), elektroda potensial (probe potensial) dan elektroda arus yang diletakkan pada posisi yang segaris dengan jarak yang telah ditentukan. Jarak antara probe potensial dengan elektroda pembumian (LP) adalah sama dengan 0,618 kali jarak antara elektroda arus dengan elektroda pembumian (LC) atau LP = 0,618 LC.

Meskipun secara teoretis elektroda-elektoda yang diuji dapat ditempatkan segaris dengan probe potensial dan elektroda arus, namun dalam kenyataannya di lapangan tidak

selalu elektroda-elektroda yang diuji tersebut bisa diletakkan segaris dengan probe potensial dan elektroda arus. Hal ini disebabkan karena di lapangan selalu saja ada halangan yang mengakibatkan probe pengujian tidak bisa diletakkan segaris, seperti adanya bangunan-bangunan, batu-batuan, atau pipa metalic pada titik-titik pengujian. Hal seperti ini juga perlu dilakukan untuk mereduksi pengaruh kopling induktif di antara kabel-kabel yang digunakan dalam pengukuran yaitu kabel untuk elektroda arus dan kabel untuk probe potensial (Ma, 2001). Untuk mengatasinya, salah satu titik pengujian dalam hal ini probe potensial, diletakkan pada posisi yang tidak segaris dengan elektroda pengujian dan elektroda arus dan metode seperti ini disebut metode fall-of-potential alternatif. Akan tetapi berapa jarak

Page 40: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Pengukuran Tahanan Pembumian dengan Menggunakan Metode Fall-of-Potential Alternatif (Zulkarnaen Pane dan Mustafrind Lubis)

71

antara probe potensial dengan elektroda pembumian yang diuji sekarang? Apakah masih sama dengan jarak semula?

Studi mengenai pengukuran tahanan pembumian dengan metode “fall-of-potential” dengan posisi probe-probe yang tidak segaris ini sudah pernah dilakukan oleh Jinxi Ma dan Farid P. Dawalibi (2002). Studi tersebut dilakukan untuk menentukan lokasi probe potensial di mana pengukuran yang akurat masih dapat diperoleh (selanjutnya disebut dengan “lokasi probe eksak”). Studi tersebut juga menghasilkan kurva untuk menentukan kesalahan pengukuran jika probe potensial ditempatkan pada lokasi di mana tahanan pembumian yang sebenarnya tidak dapat diukur dengan tepat. Tertarik akan hal tersebut penulis mencoba menerapkan hasil studi tersebut untuk mengukur tahanan pembumian grid pada sebuah bak air.

2. Metode “Fall-of-Potential” Alternatif

(Dimcev, 2002) Pengukuran tahanan pembumian dengan

menggunakan metode “fall-of-potential alternatif” diperlihatkan dalam Gambar 1. Arus I diinjeksikan di antara elektroda E (elektroda pembumian) dan elektroda C (elektroda arus). Kemudian diukur tegangan V di antara elektroda E dan elektroda P (elektroda potensial). Nilai tahanan pembumian adalah sama dengan V/I. 2.1 Penentuan Lokasi Probe Eksak (Ma,

2002)

Gambar 1. Ketentuan umum pengukuran tahanan

pembumian

Diasumsikan bahwa elektroda pembumian, elektroda arus dan probe potensial adalah elektroda setengah bola dengan radius r. GPR (ground potential rise) dari elektroda pembumian (VE) diberikan oleh:

VE = C

I I2 r 2 Lρ ρ−π π

.............................................(1)

Di mana ρ adalah tahanan jenis tanah dan I adalah arus yang diinjeksikan ke elektroda

pembumian. Potensial bumi pada lokasi probe potensial (Vp) adalah:

Vp = 2 2

P C P C P

I I2 L 2 L L 2 L L cos

ρ ρ−π π + − θ

........... ( 2 )

Perbedaan di antara VE dan Vp merupakan tegangan yang diukur (ΔV). Tahanan pembumian yang diukur adalah Rm = ΔV/I. Jadi:

Rm = 2 2

C P C P C P

1 1 1 12 r L L L L 2 L L cos θ

⎡ ⎤ρ ⎢ ⎥− − +π ⎢ ⎥+ −⎣ ⎦

...... (3)

Karena tahanan pembumian sebenarnya dari elektroda pembumian secara pendekatan adalah:

Rg = 2 rρπ

........................................................ (4)

maka kesalahan pengukuran Re = Rm - Rg adalah:

Re = 2 2

C PC P C P

1 1 12 L LL L 2 L L cos

⎡ ⎤ρ ⎢ ⎥− −π ⎢ ⎥+ − θ⎣ ⎦

........... (5)

di mana:

LC = jarak antara titik tengah elektroda pembumian ke elektroda arus

LP = jarak antara titik tengah elektroda pembumian ke probe tegangan

θ = sudut antara LC dan LP ρ = tahanan jenis tanah

Kesalahan pengukuran ini diakibatkan oleh adanya tahanan bersama antara elektroda pembumian dan probe tegangan, tahanan bersama antara elektroda arus dan probe potensial dan tahanan bersama antara elektroda arus dan elektroda pembumian (Wang, 1998). Untuk mengurangi kesalahan yang diakibatkan oleh tahanan bersama ini dapat dilakukan dengan cara mengubah jarak antara elektroda pembumian ke probe potensial dan jarak elektroda pembumian ke elektroda arus.

Misalkan Re = 0, diperoleh:

2PP P

1 11 0L '1 L ' 2L 'cos

− − =+ − θ

............................. ( 6 )

atau

LP’ = ( 1 + LP’ ) 2P P1 L ' 2L 'cos+ − θ .................. ( 7 )

di mana LP’ = LP / LC

Jika LP’ = 1, diperoleh |sin θ/2| = 0,25 yang menghasilkan sudut |θ| = 28,9550. Sudut 28,9550 ini merupakan batas sudut di mana ketelitian

Page 41: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 2 – DESEMBER 2005 (70 – 78)

72

pengukuran masih dapat diperoleh dan lokasi probe potensial pada posisi ini disebut lokasi probe eksak. Pengukuran dengan sudut θ yang lebih besar dari 28,9550 akan menghasilkan tahanan pembumian yang selalu lebih kecil dari nilai yang sebenarnya.

Untuk nilai θ yang lain, dengan |θ| < 28,9550, lokasi probe potensial eksak (jarak LP’) sebagai fungsi sudut θ dapat diperoleh dengan menyelesaikan persamaan (7) secara numerik. Lokasi probe potensial eksak yang dinyatakan dalam (θ,LP’) digambarkan dalam Gambar 2.

Gambar 2. Posisi probe potensial eksak untuk

lapisan tanah yang uniform

Tabel 1. Posisi probe potensial eksak

Sudut |θ|

(derajat)

Jarak LP1’

(LP1’ < 1)

Jarak LP2’

(LP2’ > 1)

0 .618037 1.618036

2 .618750 1.616166

4 .620908 1.610546

6 .624560 1.601132

8 .629785 1.587855

10 .636699 1.570595

12 .645498 1.549198

14 .656416 1.523417

16 .669824 1.492919

18 .686240 1.457216

20 .706445 1.415546

22 .731718 1.366659

24 .764375 1.308261

26 .809531 1.235292

28 .884921 1.130038

28,955 1.000000 1.000000

Perlu dijelaskan bahwa meskipun posisi probe potensial eksak yang diperoleh dari Tabel 1 diturunkan dan dihitung dengan asumsi bahwa elektroda pembumian dan elektroda arus berbentuk setengah bola, namun Tabel 1 masih berlaku untuk sistem pembumian sebenarnya asalkan pengukuran dilakukan dengan jarak elektroda arus dan sistem pembumian jauh lebih besar dari ukuran sistem pembumian itu sendiri.

Dari Gambar 2 terlihat bahwa ketika θ < 28,955o, ada dua akar nyata dari persamaan (7) dari setiap sudut θ, yang satu lebih kecil dari satu, sedangkan yang lainnya lagi lebih dari satu. Untuk θ > 28,955o tidak terdapat akar nyata, ini menyatakan bahwa posisi probe potensial eksak tidak bisa didapatkan lagi.

Menarik untuk dicatat bahwa setiap pasangan akar yang terdapat dalam Tabel 1 berkaitan dengan sepasang titik simetris pada suatu lingkaran dengan jari-jari 1 dengan titik tengahnya terletak pada (0,0), karena hubungan LP1’ x LP 2’ = 1 selalu terpenuhi. Kita ambil θ = 100 sebagai contoh. Dari Tabel 1 kita dapatkan 0,636699 x 1,570595 = 1. Pada kenyataannya, hanya akar yang lebih kecil atau sama dengan 1 yang diperlukan. Pengukuran pada lokasi-lokasi ini menggunakan kabel yang lebih pendek daripada lokasi untuk LP’>1.

Sebagai catatan bahwa tempat kedudukan titik-titik akar tersebut tidak berupa sebuah lingkaran, melainkan sebuah elips dengan persamaan:

( )2 2

02 2

X X YA B−

+ = 1 ............................................ (8)

Di mana X dan Y adalah sumbu koordinat Gambar 3 dengan X0 = 1,105 serta A dan B adalah konstanta dengan A = 0,5 dan B = 0,54. Perbandingan antara tempat kedudukan akar-akar dan elips dijelaskan pada Gambar 3. Kelihatannya bahwa posisi probe potensial eksak yang sesuai dengan sudut θ tertentu kira-kira bisa dilihat di titik perpotongan antara elips dan garis sepanjang arah radial dari sudut θ. Bisa diamati bahwa ketika titik pengukuran berada di luar elips, tahanan pembumian yang diukur selalu lebih kecil dari tahanan pembumian yang sebenarnya, karena Re dalam kasus ini negatif. Sebaliknya ketika titik pengukuran berada di dalam elips, tahanan pembumian yang diukur akan selalu lebih besar dari tahanan pembumian yang sebenarnya.

Penjelasan fisik dari hal yang disebutkan di atas adalah sebagai berikut: Pertama, posisi

Page 42: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Pengukuran Tahanan Pembumian dengan Menggunakan Metode Fall-of-Potential Alternatif (Zulkarnaen Pane dan Mustafrind Lubis)

73

probe potensial eksak bersesuaian dengan posisi di mana tegangan terukur sama dengan tegangan elektroda pembumian tanpa elektroda arus (GPR yang sebenarnya). Tegangan terukur adalah perbedaan antara tegangan elektroda pembumian dengan potensial bumi pada posisi probe yang berada di sekitar elektroda arus. Adanya elektroda arus ini akan mengurangi tegangan elektroda pembumian dan juga potensial bumi. Pada posisi probe eksak, perbedaan antara penurunan tegangan elektroda pembumian dan penurunan potensial bumi yang terjadi akan sama dengan tegangan elektroda pembumian tanpa adanya elektroda arus (GPR yang sebenarnya).

Gambar 3. Elips yang merepresentasikan jejak akar

Sekarang bisa dipahami bahwa ketika lokasi

pengukuran terletak di luar elips, pengaruh elektroda arus terhadap potensial bumi tidak cukup kuat untuk mengurangi potensial bumi ke nilai yang diharapkan. Sebaliknya, ketika posisi pengukuran di dalam elips, pengaruh elektroda arus terhadap potensial bumi begitu besar sehingga pengurangan potensial bumi terlalu besar, hasilnya adalah tegangan yang diukur lebih besar dari GPR sebenarnya dari elektroda pembumian, tanpa adanya elektroda arus.

. 2.2 Kesalahan Pengukuran untuk θ > 28,955o

Dari uraian sebelumnya, telah dijelaskan bahwa untuk sudut yang lebih besar dari 28,955o tidak ada posisi probe yang cocok. Artinya tahanan pembumian akan memiliki error pada kondisi ini. Kesalahan relatif (ε) bisa diperoleh dari eR R di mana Re adalah kesalahan pengukuran yang didapat dari persamaan (5), dan R adalah tahanan pembumian yang sebenarnya yang dihitung dari ρ /2πr , dan r adalah jari-jari ekuivalen dari elektroda setengah bola yang diuji, sehingga diperoleh:

ε = eRR

= r’ 2

P P P

1 11L ' 1 L ' 2L 'cos

⎛ ⎞⎜ ⎟+ −⎜ ⎟+ − θ⎝ ⎠

.......... (9)

di mana r’ = r/LC

Untuk elektroda grid, tahanan

pembumiannya dihitung berdasarkan rumus pendekatan Sverak (IEEE Std., 80 - 1986], sehingga jari-jari ekuivalen elektroda setengah bolanya adalah: r = 1

1 1 12 1L 20A 201 h A

⎡ ⎤⎛ ⎞⎢ ⎥⎜ ⎟π + +⎢ ⎥⎜ ⎟

⎜ ⎟+⎢ ⎥⎝ ⎠⎣ ⎦

................... (10)

Gambar 4 menunjukkan variasi kesalahan

pengukuran terhadap θ untuk LP’ = 1 dan untuk beberapa nilai r’ yang berbeda. Bisa dilihat bahwa pada θ = 28,955o, kesalahan relatif adalah nol untuk semua nilai r’. Semakin besar nilai r’ maka kesalahan pengukuran juga akan semakin besar. Ini dapat dipahami karena r’ adalah indikasi ukuran relatif sistem pembumian terhadap jarak antara elektroda arus dan titik tengah sistem pembumian. Sebagai contoh untuk r’ = 0,5 artinya diameter sistem pembumian adalah sama dengan jarak antara elektroda arus dengan titik tengah sistem pembumian. Tak pelak lagi, elektroda arus pada kasus ini tidak cukup jauh dari elektroda pembumian. Kesalahan pengukuran relatif meningkat dengan cepat dengan meningkatnya θ ketika θ > 28,955o. Pada θ = 90o, kesalahan pengukuran relatif lebih dari 65%. Untuk r’ yang lebih kecil, kesalahan pengukuran lebih kecil. Ketika r’ = 0,1, artinya jarak antara elektroda arus dan titik tengah dari sistem pembumian adalah lima kali ukuran sistem pembumian tersebut, kesalahan pengukuran relatif maksimumnya adalah sebesar 10% pada θ = 180o. Bisa dilihat bahwa di antara kisaran θ = 90o dan θ = 180o, perubahan kesalahan pengukuran relatif tidak berbeda jauh.

Gambar 4. Kesalahan pengukuran relatif untuk

LP’= 1 dalam koordinat kartesian

Page 43: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 2 – DESEMBER 2005 (70 – 78)

74

Gambar 5. Kesalahan pengukuran relatif untuk

r’ = 0,1

Gambar 5 menunjukkan variasi kesalahan pengukuran relatif terhadap θ untuk r’ = 0,1 dan Lp’ yang berbeda. Bisa dilihat bahwa semakin besar LP’, kesalahan pengukuran akan lebih kecil. Kenyataannya ketika LP’ = ∞, dari persamaan (9), diperoleh ε = r’. Pada kasus ini, r’ = 0,1 artinya kesalahan pengukuran relatif untuk LP’ = ∞ adalah sebesar 10% untuk semua nilai θ. Kenyataannya, meskipun LP’ = 2,5 menunjukkan jarak antara probe potensial dan titik tengah sistem pembumian adalah 2,5 kali jarak antara elektroda arus dan titik tengah sistem pembumian, kesalahan pengukuran maksimum adalah sebesar 11,6%, di mana nilainya hampir mendekati ketika LP’ = ∞. Ketika LP’ adalah satu, artinya jarak antara probe potensial dan titik tengah sistem pembumian adalah sama dengan jarak antara elektroda arus dan titik tengah sistem pembumian, kesalahan pengukuran relatif maksimum adalah sebesar 15,1%. Sama seperti Gambar 4, pada kisaran θ = 90o dan θ = 180o, kesalahan pengukurannya tidak jauh berbeda.

3. Pengukuran Tahanan Pembumian

Model Grid pada Bak Air Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya

bahwa Jinxi Ma dan Farid P. Dawalibi telah melakukan studi mengenai pengukuran tahanan pembumian dengan metode “fall-of-potential” untuk probe-probe arus dan potensial yang tidak segaris. Studi tersebut dilaksanakan untuk dua sudut θ. Pertama untuk sudut θ ≤ 290 dan kedua untuk sudut θ > 290. Hasil studi tersebut menyatakan bahwa untuk sudut θ ≤ 290 masih bisa diperoleh hasil yang akurat jika dipenuhi

hubungan yang dinyatakan dalam Tabel 1, untuk sudut θ > 290 diperoleh kesalahan pengukuran yang dapat ditentukan berdasarkan persamaan (9). Untuk membuktikan hasil studi tersebut maka dilakukan pengukuran dengan metode yang sama pada beberapa model grid pada bak air. 3.1 Peralatan Pengujian dan Bahan-Bahan

yang Digunakan Adapun peralatan-peralatan yang

dipergunakan dalam pengukuran tahanan pembumian pada bak air ini adalah:

1. 1 set bak air atau bak elektrolitik ukuran : 1 m x 1 m x 0,5 m bahan : plat seng setebal 3,5 mm 2. 1 unit pengatur tegangan bolak-balik (variac) input : 220 V AC, 50 Hz output : 0 – 240 V AC kapasitas : 1 KVA 3. 1 buah kapasitor AC 10μF, 300 VAC 4. 1 buah ampere meter digital 5. 1 buah volt meter digital yang mempunyai

impedansi 10 MΩ 6. 1 batang aluminium penggantung probe

dari model elektroda berukuran 2,5 cm x 2,5cm x 115cm

7. Kabel secukupnya.

Sedangkan bahan-bahan yang diperlukan untuk pengujian ini ialah: 1. Empat buah model elektroda grid dengan

diameter konduktor = 0,9 mm masing-masing berukuran: Grid 1: Ukuran 8 cm x 8 cm: Jumlah Mesh 16 Grid 2: Ukuran 8 cm x 8 cm: Jumlah Mesh 64 Grid 3: Ukuran 16 cm x 16 cm: Jumlah Mesh 16

Grid 4: Ukuran 16 cm x 16 cm: Jumlah Mesh 64

2. Dua buah probe: diameter probe : 1 mm bahan probe : baja

3. Air sebagai medium: jumlah : secukupnya sumber : air ledeng

3.2 Rangkaian Pengujian

Gambar 6 memperlihatkan rangkaian pengujian yang digunakan. Kapasitor C, 10 μF, berfungsi untuk mencegah mengalirnya arus DC yang dapat ditimbulkan karena ketidaksamaan bahan yang digunakan, yaitu model grid pembumian yang terbuat dari tembaga dan dinding bak yang terbuat dari plat bergalvanis,

Page 44: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Pengukuran Tahanan Pembumian dengan Menggunakan Metode Fall-of-Potential Alternatif (Zulkarnaen Pane dan Mustafrind Lubis)

75

serta menghindari terjadinya polarisasi. Selama pengujian dioperasikan arus sebesar 10 mA.

Bak air atau bak elektrolitik yang digunakan berukuran 100 cm x 100 cm x 50 cm yang terbuat dari plat bergalvanis (galvanized iron) dengan ketebalan 0,35 mm. Untuk memperkecil pengaruh terbatasnya ukuran bak, maka ukuran model sistem pembumian harus lebih kecil atau sama dengan 1/5 ukuran bak. Dengan ukuran bak yang tidak kurang dari 5 kali ukuran model grid pembumian ternyata aliran distribusi arus yang diinjeksikan dan garis-garis ekipotensial yang timbul tidak akan terganggu oleh dinding bak tersebut (Thapar, 1987).

(a)

(b)

Gambar 6. Rangkaian pengujian tahanan pembumian: a. Gambar rangkaian pengujian; b. Tampak atas bak air

3.3 Prosedur Pengujian 3.3.1 Pengukuran dengan θ ≤ 290 1. Ukur tahanan jenis air dengan

menggunakan metode Wenner. 2. Buat rangkaian seperti Gambar 6a. 3. Masukkan elektroda arus dan probe

potensial ke dalam air sedalam 3 mm. 4. Masukkan model elektroda grid 1 ke dalam

air sedalam 1 cm. 5. Atur jarak elektroda arus dengan model

elektroda grid (LC) sejauh 20 cm.

6. Atur jarak probe potensial dan model elektroda grid sejauh LP, di mana LP = 0,618LC dengan sudut θ = 00.

7. Injeksikan arus pengujian sekitar 10 mA dengan cara mengatur variac.

8. Catat nilai tegangan dan arus pada voltmeter dan amperemeter dan catat hasilnya pada tabel data.

9. Hitung nilai tahanan pembumian dengan menggunakan rumus Rukur = V

I

10. Ulangi langkah 5 sampai dengan langkah 9 dengan LP’ yang bersesuaian dengan sudut tersebut yang dapat dilihat pada Tabel 1 dengan parameter-parameter sebagai berikut:

Tabel 2. Parameter-parameter pengujian untuk θ ≤

290

Model Elektroda LC Sudut θ

Elektroda Grid 1 20 cm

Elektroda Grid 2 20 cm

Elektroda Grid 3 40 cm

Elektroda Grid 4 40 cm

00, 80, 160 , 240, dan 290

3.3.2 Pengukuran dengan θ > 290

1. Ulangi kembali langkah 5 sampai dengan langkah 9 dengan sudut θ > 290 dengan parameter-parameter sebagai berikut:

Tabel 3. Parameter-parameter pengujian untuk θ >

290

Model Elektroda LC

LP' Sudut θ (0)

Elektroda Grid 1 20 cm

Elektroda Grid 2 20 cm

Elektroda Grid 3 40 cm

Elektroda Grid 4 40 cm

0,6; 0,8; 1

300; 450 600; 900; 1200;

1350;1500;1800

4. Data Hasil Pengujian Pada bagian ini akan ditunjukkan data hasil

pengukuran dengan sudut probe potensial yang berbeda-beda. Harga tahanan pembumian hasil pengukuran ditentukan sesuai dengan langkah 9.

Page 45: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 2 – DESEMBER 2005 (70 – 78)

76

Dari hasil pengukuran yang dilakukan dengan metode Wenner terhadap tahanan jenis air diperoleh ρ = 58,67 Ω. Kemudian harga tahanan hasil teori untuk elektroda grid dihitung berdasarkan rumus pendekatan Sverak dengan tahanan jenis air 58,67 Ω. Perbedaan di antara kedua harga (persen kesalahan) dapat dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut:

Persen Kesalahan (error) = hitung ukur

hitung

R RR

− x 100% ....(11)

Harga-harga persen kesalahan untuk keempat model elektroda pembumian tersebut dapat dilihat dalam tabel kolom error (%). 4.1 Hasil Pengukuran Tahanan Pembumian

dengan θ ≤ 290

Hasil pengujian untuk elektroda grid dengan ρ = 68,3 Ω-m; h = 1 cm dan I = 10 mA dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Tahanan pembumian elektroda grid

Model Grid

LC

(cm) θ LP = LP’LC V (Volt) Rukur Rhitung % error

00 12,36074 3,88 388 398,73 2,69

80 12,5957 3,89 389 398,73 2,44

160 13,39648 3,89 389 398,73 2,44

240 15,2875 3,91 391 398,73 1,94

Grid 1 8 cm x 8 cm

16 mesh d = 0,9 mm

20

290 20 3,90 390 398,73 2,19

00 12,36074 3,70 370 360,78 -2,56

80 12,5957 3,71 371 360,78 -2,83

160 13,39648 3,72 372 360,78 -3,11

240 15,2875 3,71 371 360,78 -2,83

Grid 2 8 cm x 8 cm

64 mesh d = 0,9 mm

20

290 20 3,72 372 360,78 -3,11

00 12,36074 2,10 210 212,74 1,29

80 12,5957 2,08 208 212,74 2,23

160 13,39648 2,09 209 212,74 1,76

240 15,2875 2,08 208 212,74 2,23

Grid 3 16 cm x 16 cm

16 mesh d = 0,9 mm

40

290 20 2,09 209 212,74 1,76

00 12,36074 1,92 192 193,77 1,02

80 12,5957 1,92 192 193,77 1,02

160 13,39648 1,92 192 193,77 1,02

240 15,2875 1,91 191 193,77 1,33

Grid 4 16 cm x 16 cm

64 mesh d = 0,9 mm

40

290 20 1,91 191 193,77 1,33

Page 46: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Pengukuran Tahanan Pembumian dengan Menggunakan Metode Fall-of-Potential Alternatif (Zulkarnaen Pane dan Mustafrind Lubis)

77

4.2 Hasil Pengukuran Tahanan Pembumian dengan θ > 290 Dengan harga-harga r untuk model-model

elektroda yang diperoleh dari persamaan (10), maka akan didapatkan nilai r’ dan dengan diketahuinya harga-harga LC, LP serta besarnya sudut θ maka akan diperoleh kesalahan pengukuran relatif (ε) dengan cara menyelesaikan persamaan (9).

Elektroda Grid 1

Kesalahan pengukuran relatif dari hasil pengujian untuk elektroda grid 1 (8 x 8 cm; 16 mesh) dengan ρ = 57,86 Ω-m; I = 10 mA; LC = 20 cm; h = 1 cm dan r’ = 0,1365 dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Kesalahan pengukuran relatif elektroda

grid 1 untuk LC = 20 cm dengan LP’ yang berbeda

Elektroda Grid 2

Kesalahan pengukuran relatif dari hasil pengujian untuk elektroda grid 2 (8 x 8 cm; 64 mesh) dengan ρ = 55,23 Ω-m; I = 10 mA; LC = 20 cm; h = 1 cm dan r’ = 0,1506 dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Kesalahan pengukuran relatif elektroda

grid 2 untuk LC = 20 cm dengan LP’ yang berbeda

Elektroda Grid 3 Kesalahan pengukuran relatif dari hasil

pengujian untuk elektroda grid 3 (16 x 16 cm; 16 mesh) dengan ρ = 57,86 Ω-m; I = 10 mA; LC = 40 cm; h = 1 cm dan r’ = 0,1277 dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Kesalahan pengukuran relatif elektroda

grid 3 untuk LC = 40 cm dengan LP’ yang berbeda

Elektroda Grid 4

Kesalahan pengukuran relatif dari hasil pengujian untuk elektroda grid 4 (16 x 16 cm; 64 mesh) dengan ρ = 57,86 Ω-m; I = 10 mA; LC= 40 cm; h = 1 cm dan r’ = 0,1402 dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Kesalahan pengukuran relatif elektroda grid 4 untuk LC = 40 cm dengan LP’ yang berbeda

Page 47: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 2 – DESEMBER 2005 (70 – 78)

78

5. Analisis Hasil Pengujian Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa ukuran

dan jumlah mesh dari suatu grid sangat mempengaruhi besarnya tahanan pembumian. Semakin besar ukuran grid, maka nilai tahanan pembumian akan semakin kecil, begitu juga jumlah mesh, semakin banyak jumlah mesh dari suatu grid maka tahanan pembumian dari sebuah elektroda grid akan semakin kecil.

Dari tabel tersebut bisa juga dilihat bahwa nilai tahanan yang diperoleh dari pengujian ini sudah cukup akurat dengan persentase kesalahan di bawah 5%. Hal ini juga menunjukkan bahwa untuk pengukuran dengan menggunakan elektroda grid sudah sesuai dengan hasil studi yang dilakukan oleh Jinxi Ma dan Farid P. Dawalibi. Sehingga hasil studi yang dilakukan oleh Jinxi Ma dan Farid P. Dawalibi juga bisa diterapkan di lapangan.

Dari Gambar 7 s.d. Gambar 10 dapat dilihat bahwa hasil pengukuran sudah sesuai dengan hasil studi yang dilakukan oleh Jinxi Ma dan Farid P. Dawalibi. Di mana kesalahan pengukuran relatif akan semakin besar apabila sudut θ semakin besar, dan untuk sudut θ > 290, hasil pengukuran sudah tidak akurat.

Untuk LP’ ≤ 1 semakin kecil nilai LP’, maka kesalahan pengukuran relatif akan semakin besar, dan sebaliknya semakin besar nilai LP’, maka kesalahan pengukuran relatif akan semakin kecil.

Untuk LC yang sama, semakin banyak jumlah mesh pada suatu elektroda grid, maka kesalahan pengukuran relatif juga akan semakin besar. Ini dapat dipahami karena semakin banyak jumlah mesh, maka akan berpengaruh pada panjang total konduktor grid (L), sehingga dari analisis rumus pendekatan Sverak, dengan bertambahnya panjang total konduktor grid akan mempengaruhi nilai r dan r’, dan dari persamaan (9) dengan bertambahnya nilai r dan r’ maka kesalahan pengukuran relatif juga akan semakin bertambah. Dan hal ini juga diperlihatkan dalam Gambar 7 s.d. Gambar 10 di mana semakin besar nilai r’ maka kesalahan pengukuran relatif juga akan semakin besar. 6. Kesimpulan 1. Hasil pengukuran yang akurat masih bisa

diperoleh apabila posisi probe potensial dan probe arus tidak segaris dengan syarat sudut yang dibentuk antara elektroda pembumian dengan probe potensial adalah

≤ 28,9550 dengan ketentuan Lp’ sesuai dengan Tabel 1.

2. Semakin besar sudut θ yang dibentuk pada elektroda grid, maka akan semakin besar juga persentase error yang didapatkan.

3. Semakin besar ukuran grid dan semakin banyak jumlah mesh pada grid pembumian maka nilai tahanan pembumian akan semakin kecil.

4. Dengan mengetahui persentase error hasil pengukuran, maka kita dapat mengetahui berapa besar tahanan pembumian yang sebenarnya.

Daftar Pustaka An American National Standard, “IEEE Guide

for Safety In AC Substations Grounding”, ANSI/IEEE Std. 80-1986.

Dimcev, V., Handjiski, B., Vrangalov, P., Sekerinska, R., “Impedance Measurement Systems with Alternative Fall-of Potential Method”, Electrotechnical Faculty, University Sts. Cyril and Methodius, Skopje, Macedonia, 2002.

“IEEE Guide for Measuring Earth Resistivity, Ground Impedance, and Earth Surface Potentials of Ground System”, IEEE Stand. 81-1983, 1983.

Ma, J. and Dawalibi, F. P., “Influence of Inductive Coupling between Leads on Ground Impedance Measurements Using the Fall-of-potential Method,” IEEE Transactions on Power Delivery, Vol. 16, No. 4, October 2001.

Ma, J. and Dawalibi, F. P., “Extended Analysis of Ground Impedance Measurements Using the Fall-of-Potential Method,” IEEE Trans. On Power Delivery, Vol. 17, No.4, Oct. 2002.

Wang, C., Takasima, T., Sakuta, T., and Tsubota, Y., “Grounding Resistance Measurements Using Fall-of-potential Method with Potential Probe Located in Opposite Direction to the Current Probe”, IEEE Trans. Power Delivery, vol. 13, pp. 1128-1135, Oct 1998.

Thapar, B., Goyal, S.L., “Scale Model Studies of Grounding Grids in Non-Uniform Soils”, IEEE Trans. Power Delivery, Vol. PWRD-2, No. 4, Oct 1987.

Page 48: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

79

PEDOMAN PENULISAN NASKAH JURNAL ENSIKOM

(Bold, 14 Times New Roman (TNR))

Usman Baafai1), Zulkarnaen Pane1) (12 TNR Bold) 1) Staf Pengajar Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik USU

(10 TNR) Abstrak (Bold, 10 TNR) Pedoman penulisan ini dipersiapkan sebagai contoh tulisan yang dapat dijadikan acuan bagi penulis yang ingin memasukkan tulisannya ke Jurnal Teknik Simetrika. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan atau Bahasa Inggris. Isi abstrak berisi tujuan, cakupan kajian dan kesimpulan terpenting. Isinya tidak lebih dari 200 kata dan ditulis dengan huruf miring serta rata kanan kiri.

Kata-kata kunci: Pedoman penulisan, Contoh acuan (10 TNR) 1. Pendahuluan (Bold, 12 TNR) Jurnal Teknik Simetrika terbuka untuk umum sepanjang berkaitan dengan bidang teknik. Naskah dapat berupa a) hasil penelitian, b) studi literatur, atau c) komentar maupun kritik tentang naskah yang pernah dimuat di Jurnal Teknik Simetrika, Falkultas Teknik USU. Naskah tidak boleh pernah dipublikasikan di jurnal ataupun di media penerbitan lainnya. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. Naskah dikirim berupa rekaman dalam disket disertai 1 eksemplar cetakannya dengan panjang maksimum 12 halaman dan ukuran kertas A4. Pengetikan dilakukan satu spasi dan dua kolom yang menggunakan jenis huruf Times New Roman dengan ukuran 10 pt. Naskah diketik dengan menggunakan pengolah kata dalam bentuk MS Word untuk memudahkan penyuntingan. 2. Umum Format penulisan secara ringkas dan umum

dicantumkan berikut ini: • Ukuran kertas : A4 • Jastifikasi : rata kiri kanan • Spasi baris : satu spasi • Kolom : 1 kolom untuk judul

dan abstrak, 2 kolom untuk isi tulisan

• Batas : atas 3 cm, bawah 2 cm kiri 3 cm, kanan 2 cm

• Jenis huruf : Times New Roman • Nomor halaman : Tidak perlu, tapi ditulis

halus dengan pinsil di kanan bawah

• Panjang halaman : Tidak lebih dari 12 halaman termasuk gambar, dll.

• Identasi : 0,7 cm untuk setiap paragraf baru.

• Sub judul utama : diketik 12 pt, bold, rata kiri dan diberi nomor dengan huruf besar kecil tanpa diakhiri titik.

• Ukuran teks : 10 TNR 3. Kerangka Tulisan Kerangka tulisan terdiri dari judul tulisan, abstrak dan isi paragraf: 3.1 Bagian Judul Tulisan (Bold, 10 TNR) Judul tulisan harus sesingkat mungkin tapi jelas menunjukkan dengan tepat masalah yang hendak dikemukakan dan tidak memberi peluang penafsiran yang beraneka ragam (Hamid, 2004). Judul ditulis huruf besar dengan bold, 14 TNR. Selanjutnya nama penulis dengan bold 12 TNR, boleh ditambahkan alamat e-mail untuk komunikasi. Gelar dan posisi penulis tidak perlu dicantumkan. 3.2 Bagian Abstrak Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris yang memuat tidak lebih dari 200 kata dan ditulis dengan huruf miring. Isi abstrak berisi tujuan, cakupan kajian dan kesimpulan terpenting.

Page 49: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005

80

3.3 Isi Paragraf Penulisan simbol matematik memakai simbol yang umum dipakai dan sistem satuan yang digunakan adalah Sistem Internasional (SI). Kecuali untuk naskah yang sudah terlanjur memakai sistem lain, perlu dilampirkan tabel konversinya ke SI. Naskah Bahasa Indonesia diketik sesuai EYD dan kata-kata yang digunakan merupakan bahasa baku. Naskah Bahasa Inggris perlu diperiksa menggunakan spell checker. Format penulisan harus disesuaikan dengan yang sudah ditetapkan, dengan tanpa ada pemenggalan kata pada akhir baris. Tabel dan gambar harus diberi keterangan yang jelas. Gambar harus dapat dibaca dengan jelas jika diperkecil sampai dengan 50%. Sumber rujukan ditulis dalam uraian yang hanya terdiri dari nama akhir penulis dan tahun penerbitan. Namun nama akhir penulis tersebut harus tepat sama dengan nama akhir yang tertulis dalam daftar pustaka. Setiap sumber yang dirujuk harus tercantum di dalam daftar pustaka, demikian pula sebaliknya. 4. Nomor, Judul Gambar dan Tabel serta

Persamaan Penulisan nomor gambar dan tabel ditulis lengkap: Gambar 1: ……… tidak ditulis dengan Gb. 1: ….. Penulisan nomor, judul gambar diletakkan di bawah dan tengah gambar. Sedangkan untuk tabel ditulis di atas dan tengah tabel. Penulisan nomor dan judul gambar dan tabel menggunakan huruf 10 TNR bold. Sebagai contoh, lihat Persamaan 1, Tabel 1 dan Gambar 1 yang menunjukkan hal-hal yang diperlukan untuk satu naskah yang baik. Persamaan 1 misalnya adalah

∑=

=10

1iixy (1)

dimana y adalah nilai total suatu naskah dan x materi naskah.

Tabel 1: Contoh isi naskah yang baik No. Materi naskah Keterangan 1 Judul Singkat dan padat 2 Nama penulis Tanpa posisi dan gelar 3 Abstrak Tidak lebih dari 200 kata 4 Pendahuluan Sub judul 1 5 Metodologi penelitian Sub Judul 2 6 Hasil penelitian Sub Judul 3 7 Diskusi Sub Judul 4 8 Kesimpulan Sub Judul 5 9 Ucapan terima kasih (jika ada) 10 Daftar Pustaka Mutakhir

Gambar 1: Skema isi tulisan yang baik

(sumber: Hernowo, 2004) 5. Penulisan Daftar Pustaka Penulisan daftar pustaka mencantumkan hal-hal berikut: • untuk buku: lihat contoh yang ada di daftar

pustaka untuk buku oleh Hernowo (2004). • untuk karangan dalam buku (suntingan): lihat

contoh yang dibuat di daftar pustaka (misal: L.J. Carpenter dan L. G. Levoy Jr, 1955).

• untuk karangan dalam pertemuan : lihat contoh untuk tulisan prosiding di dalam daftar pustaka oleh Baafai, (2003).

• untuk karangan dalam majalah/jurnal : lihat contoh untuk tulisan jurnal di dalam daftar pustaka (misal: A.F. Zobaa, 2004).

• Untuk karangan yang diambil dari internet : lihat contoh, Clinton Ober A., 2000

6. Kesimpulan Naskah harus diakhiri dengan kesimpulan yang berisi tentang implikasi-implikasi penting dari informasi yang dipresentasikan pada badan tulisan atau isi paragraf. Daftar Pustaka 1. A.F. Zobaa, 2004, A new approach for voltage

harmonic distortion minimization, Journal Of Electric Power System Research, 70 (3), 253-260.

2. Baafai Usman, 2003, Pengaruh Pemaparan Medan Magnet terhadap Aktifitas Mencit, Buletin Utama Teknik UISU, Terakreditasi, No.52/Dikti/Kep/2002, ISSN.1410-4520, Vol. 7, No. 1, Januari, 6 – 12.

3. Clinton Ober A., 2000, ESD Journal, Grounding Human Body to Neutralizer Bioelectrical Stress From Static Electricity & EMF, www.esdjournal.com, February.

4. Hernowo, H. 2004, Main-main dengan Teks. Kaifa, PT Mizan Pustaka, Bandung, 184 p.

5. L.J. Carpenter dan L. G. Levoy Jr, 1955, System Grounding, In, DONALD Beeman editor, in Industrial Power Systems Handbook, McGraw Hill, New York,374 – 387.

Isi tulisan ilmiah

Memenuhi kaidah penalaran

Memilih kata (diksi) dan kalimat yang baik dan akurat

Mengandung koherensi dan komposisi gagasan yang baik

Page 50: Ensikom Vol_ 3 No_ 2 Desember 2005