View
6
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Peran dan Fungsi Keluarga
1. Pengertian orang tua
Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu,
dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat
membentuk sebuah keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk
mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai
tahapan tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan
bermasyarakat. Sedangkan pengertian orang tua di atas, tidak terlepas dari
pengertian keluarga, karena orang tua merupakan bagian keluarga besar yang
sebagian besar telah tergantikan oleh keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu
dan anak-anak. Menurut Arifin keluarga diartikan sebagai suatu kelompok
yang terdiri dari dua orang atau lebih yang dihubungkan dengan pertalian
darah,perkawinan atau adopsi (hukum) yang memiliki tempat tinggal
bersama.
( diunduh dari http://berkarya.um.ac.id/2011/04/peran-orang-tua-terhadap-
anak/.senin.08:45wib.23.03.2015 )
2. Peran Keluarga dalam Pengasuhan Anak
Dalam buku Syamsu Yusuf (2012:37) Keluarga memiliki peranan yang
sangat penting dalam upaya mengembangkan pribadi anak. Perawatan orang
tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan,
baik agama maupun sosial budaya yang diberikanya merupakan faktor yang
kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat
yang sehat.
Syamsu Yusuf (2012:38) Keluarga juga dipandang sebagai institusi
(lembaga) yang dapat memenuhi kebutuhan insan (manusiawi), terutama
kebutuhan bagi pengembangan kepribadiannya dan pengembangan ras
manusia. Apabila mengaitkan peranan keluarga dengan upaya memenuhi
kebutuhan individu dari maslow, maka keluarga merupakan lembaga pertama
yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Melalui perawatan dan perlakuan
yang baik dari orangtua, anak dapat memenuhi kebutuhan – kebutuhan
dasarnya, baik fisik-biologis maupun sosiopsikologisnya. Apabila anak telah
memperoleh rasa aman, penerimaan sosial dan harga dirinya, maka anak
dapat memenuhi kebutuhan tertingginya, yaitu perwujudan diri (self-
sctualization).
Menurut Erick Erickson dalam bukunya Syamsu Yusuf (2012:38)
mengajukan delapan tahap perkembangan psikologis dalam kehidupan
seorang individu dan itu semua bergantung pada pengalaman yang
diperolehnya dalam keluarga. Selama tahun pertama, seorang anak harus
mengembangkan suatu kepercayaan dasar (basic trust), tahun kedua dia harus
mengembangkan otonomi-nya, dan pada tahun berikutnya dia harus belajar
inisiatif dan industry yang mengarahkannya ke dalam penemuan identitas
dirinya. Iklim keluarga yang sehat atau perhatian orangtua yang penuh kasih
sayang merupakan faktor esensial yang memfasilitasi perkembangan
psikologis anak tersebut.
Menurut Rifa Hidayah (2009:21) ada beberapa peran keluarga dalam
pengasuhan anak adalah sebagai berikut:
a. Terjalinya hubungan yang harmonis dalam keluarga melalui penerapan
pola asuh islam sejak dini.
1) Pengasuhan dan pemeliharaan anak dimulai sejak pra konsepsi
pernikahan. Ada tuntutan bagi orang tua laki-laki maupn perempuan
untuk memilih pasangan yang terbaik sesuai tuntutan agama dengan
maksud bahwa orang tua yang baik kemungkinan besar akan mampu
mengasuh anak dengan baik pula.
2) Pengasuhan dan perawatan anak saat dalam kandunganya, setelah
lahir dan sampai masa-masa dewasa dan seterusnya diberikan dengan
memberikan kasih sayang sepenuhnyadan membimbing anak
beragama menyembah Allah SWT.
3) Memberikan pendidikan yang terbaik pada anak, terutama pendidikan
agama. Orang tua yang salih adalah model terbaik untuk memberi
pendidikan agama kepada anak-anak. Penanaman jiwa agama yang
dimulai dari keluarga, semenjak anak masih kecil dengan cara
membiasakan anak dengan tingkah laku yang baik.
4) Agama yang ditanamkan pada anak bukan hanya karena agama
keturunan tetapi bagaimana anak mampu mencapai kesadaran pribadi
untuk ber-Tuhan sehingga melaksanakan semua aturan agama
terutama implementasi rukun iman, rukun islam, dan ihsan dalam
kehidupan sehari-hari.
Pengasuhan yang diberikan dengan memperhatikan setiap tahap
perkembangan`anak. Sesuai tahap perkembangan, maka anak diajarkan untuk
melaksanakan kewajiban pribadi dan sosial, diantara kewajiban tersebut
adalah sebagiamana firman Allah Swt dalam (QS. Luqman: 17)
Artinya: “ hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka ) dari perbuatan yang mungkar
dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”.
b. Kesabaran dan ketulusan hati. Sikap sabar dan ketulusan hati orangtua
dapat mengantarkan kesuksesan anak. Begitu pula memupuk kesabaran
anak sangat diperlukan sebagai meningkatkan pengendalian diri.
Kesabaran menjadi hal yang penting dalam hidup manusia sebab bila
kesabaran tertanam dalam diri seseorang dengan baik maka seorang akan
mampu mengendalikan diri dan perbuat yang terbaik untuk kehidupanya.
Secara psikologi dapat ditelusuri bahwa bila anak dilatih untuk memiliki
sifat sabar dengan bekal agama yang dimiliki akan berimplikasi positif
bagi kehidupan anak secara pribadi dan bagi orang lain /masyarakat secar
luas, diantaranya:
1) Mewujudkan kesalehan sosial dan kesalihan individu, yaitu dengan
terwujudnya kualitas keimanan pada individu dan masyarakat yang
bertaqwa, dan beramal slaeh. Seorang yang memiliki kesalehan
sosial yang tinggi memiliki empati, sosialisasi diri,
kesetiakawanan, keramahan, mengendalikan amarah, kemandirian,
sikap ketenangan dan teratur berpikir serta cermat bertindak. Sikap
yang ditunjukan akibat kesabaran diri akan membuat individu
mudah bergaul, dengan rasa aman dan damai, tanpa kekerasan.
Sikap tersebut akan mampu memupuk konsep diri seseorang.
2) Dapat membina hubungan yang baik anatar individu dan punya
semangat persaudaraan.
3) Saat seorang dalam kesabaran akan tertumpu pada nilai-nilai
ketaqwaan dan ketaatan pada Allah Swt. Seseorang yang berada
dalam keimanan dan ketaqwaan sebagaimana janji Tuhan akan
memiliki jiwa yang tenang. Dalam jiwa seorang yang tenang akan
menstabilikan tekanan pada amygdale (system syaraf emosi),
sehingga emosi stabil. Dalam keadaan emosi yang stabil, seorang
akan mudah menegendalikan diri dengan baik.
Selain melatih kesabaran, pembentukan kepribadian mental dan fisik
anak perlu disiapkan sejak dini, begitu pula bagi anak agar selalu berbuat baik
pada sesama manusia perlu ditanamkan sejak awal, sebab ada kewajiban bagi
manusia untuk selalu berbuat baik kepada manusi lain. Sebagaiman firman
Allah Swt dalam (QS. An-Nisaa:36).
Artinya : “ sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri”.
Orang tua wajib mengusahakan kebahagiaan bagi anak dan menerima
keadaan anak apa adanya, mensyukuri nikmat yang diberikan Allah Swt, serta
mengembangkan potensi yang dimiliki oleh anak. Orang tua perlu tahu
bahwa anak memiliki potensi yang luar biasa dan kesuksesan seseorang
bukan mutlaq ditentukan oleh kecerdasan intelektual saja (hanya sekedar IQ
Tinggi). Akan tetapi kecerdasan itu bersifat majemuk.
c. Mendisiplinkan anak dengan kasih sayang serta bersikap adil.
d. Komunikatif dengan anak. Membicarakan hal yang ingin diketahui anak,
dengan menjawab pertanyaan anak secara baik, misalkan: membicarakan
pendidikan seks dan orang tua penting memberikan pendidikan seks sejak
dini.
e. Memahami anak dengan segala aktivitasnya, termasuk pergaulanya.
3. Fungsi Keluarga
Syamsu Yusuf (2012:37) Keluarga yang bahagia merupakan suatu hal
yang sangat penting bagi perkembangan emosi para anggotanya (terutama
anak). Kebahagiaan ini diperoleh apabila keluarga data memerankan
fungsinya secara baik. Fungsi dasar keluarga adalah memberikan rasa
memiliki, rasa aman, kasih sayang, dan mengembangkan hubungan yang baik
diantara anggota keluarga. Hubungan cinta kasih dalam keluarga tidak
sebatas perasaan, akan tetapi juga menyangkut pemeliharaan, rasa tanggung
jawab, perhatian, pemahaman, respek dan keinginan untuk menumbuh
kembangkan anak yang dicintainya. Keluarga yang hubungan antara
anggotanya tidak harmonis, penuh konflik, atau gap communication dapat
mengembangkan masalah-masalah kesehatan mental (mental illness) bagi
anak.
Mengkaji lebih jauh tentang fungsi keluarga menurut Syamsu Yusuf
(2012:38) ini dapat dikemukakan bahwa secara psikologis keluarga berfungsi
sebagai (1) pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainya, (2)
sumber pemenuh kebutuhan, Bik fisik maupun psikis, (3) sumber kasih
sayang dan penerimaan, (4) model pola perilaku yang tepat bagi anak untuk
belajar menjadi anggota masyarakat yang baik, (5) pemberi bimbingan bagi
pengembangan perilaku yang secara sosial dianggap tepat, (6) pembentuk
anak dalam memecahkan sosial masalah yang dihadapinya dalam rangka
menyesuaikan dirinya terhadap kehidupan, (7) pemberi bimbingan dalam
belajar keterampilan motorik, verbal dan sosial yang dibutuhkan untuk
penyesuaian diri, (8) stimulator bagi pengembangan keampuan anak untuk
mencapai prestasi, baik di sekolah maupun di masyarakat, (9) pembimbing
dalam mengembangkan aspirasi, dan (10) sumber persahabatan/teman
bermain bagi anak sampai cukup usia untuk mendapatkan teman di luar
rumah, atau apabila persahabatan di luar rumah tidak memungkinkan.
Sedangkan dari sudut pandang sosiologis, fungsi keluarga ini dapat
diklasifikasikan ke dalam fungsi-fungsi berikut, Syamsu Yusuf (2012:39):
a. Fungsi Biologis
Keluarga dipandang sebagai pranata sosial yang memberikan legalitas
kesempatan dan kemudahan bagi para angotanya untuk memenuhi kebutuhan
dasar biologisnya. Kebutuhan itu meliputi (a) pangan, sandang, dan papan,
(b) hubungan seksual suami istri,dan (c) reproduksi atau pengembangan
keturunan (keluarga yang dibangun melalui pernikahan merupakan tempat
“penyemaian” bibit-bibit insane yang fitrah). Dalam memenuhi kebutuhan
pangan, perlu diperhatikan tentang kaidah “ halalan thoyyiban” (halal dan
bergizi). Nilai halal sangat diutamakan, karena dalam agama dikemukakan
bahwa “ kullu jasadin nabata min sahaqin fannaru aula bihi ” (setiap yang
tumbuh dari yang haram, maka neraka lebih utama baginya) (H.R. Turmidzi,
dalam Panitia Mudzakarah Ulama, 1998:16).
b. Fungsi Ekonomi
Keluarga (dalam hal ini ayah) mempunyai kewajiban untuk
menafkahi anggota keluarganya (istri dan anak). Dalam Alqur’an (surat Al-
Baqarah:23) dikemukakan : wa’alal mauludi lahu rizquhunna,
wakiswatuhuna bilma’ruf, la tukalafu nafsun illa wus’aha”. Artinya, “ dan
kewajiban suami member makan dan pakaian kepada istri dengan cara yang
ma’ruf (baik), seorang (suami) tidak dibebani (dalam memberi nafkah),
melainkan menurut kadar kesanggupanya”
c. Fungsi Pendidikan (Edukatif)
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan utama bagi
anak. Keluarga berfungsi sebagai “transmitter budaya atau mediator” sosial
budaya bagi anak (Hurlock, 1956; Dan Pervin,1970) Dalam Bukunya
(Syamsu Yusuf, 2012:39). Menurut UU No. 2 Tahun 1989 Bab IV Pasal 10
Ayat 4 (Syamsu Yusuf, 2012:39): “ Pendidikan Keluarga merupakan bagian
dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan
yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan
ketrampilan”. Berdasarkan pendapat dan dictum undang-undang tersebut,
maka fungsi keluarga dalam pendidikan adalah menyangkut penanaman,
pembimbingan,atau pembiasaan nilai-nilai agama, budaya, dan ketrampilan –
ketrampilan tertentu yang bermanfaat bagi anak. Berkaitan dengan tanggung
jawab orang tua adalam mendidik anak, agama telah memberikan kaidah-
kaidah yang menjadi rujukan dalam rangka mengembangkan “ waladun
shalihun” (anak yang shaleh). Diantara kaidah-kaidah agama itu adalah (a)
hadis rasulullah Saw:” setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah
(tauhidulah), maka pengaruh pendidikan orangtuanyalah dia menjadi
yahudi, nasrani, atau majusi.: (H.R.Bukhari dan Muslim); hadis riwayat
Imam Hakim “ kewajiban orangtua terhadap anaknya adalah mengajarinya
tulis baca, berenang, memanah dan member rizki yang baik”.
Hadis riwayat Imam Baihaqi: “ kewajiban orangtua kepada anaknya
adalah member nama yang baik dan mendidiknya akhlak yang mulia”, dan
hadis riwayat Imam Abu Daud: “suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat
ketika mereka sudah berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka jika tidak
mau mengerjakanya ketika mereka sudah berusia 10 tahun dan pisahlah
tempat tidur merreka”. (b) Al-qur’an surat Luqman: yang menurut Zakiah
Daradjat ayat-ayat ini berisi: pembinaan jiwa orangtua (kewajiban bersyukur
kepada Allah): pembinaan/pendidikan kepada anak yang menyangkut aspek-
aspek: iman dan tauhid (tidak memusyrikan Allah), akhlak/kepribadian
(bersyukur kepada Allah dan kepada kedua orangtua, bersikap sabar dalam
menghadapi musibah, tidak bersikap sombong/angkuh kepada oranglain),
ibadah (menegakan salat, bertaubat, rajin beramal shaleh dan da’wah
memerintah atau mengajak orang lain untuk melakukan kebaikan dan
melarang atau mencegah orang lain berbuat kejahatan/keburukan).
Uraian di atas menunjukan bahwa tanggung jawab orangtua dalam
mendidik anak tidak hanya sebatas anak mampu mempertahankan hidupnya,
namun lebih dari itu adalah mampu memaknai hidupnya atau memahami misi
suci hidupnya sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi ini.
d. Fungsi Sosialisasi
Keluarga merupakan buaian atau penyemaian bagi masyarakat masa depan,
dan lingkungan keluarga merupakan faktor penentu (determinant factor) yang
sangat mempengaruhi kualitas generasi yang akan dating. Keluarga berfungsi
sebagai miniatur masyarakat yang mensosialisasikan nilai-nilai atau peran-
peran hidup dalam masyarakat yang harus dilaksanakan oleh para
anggotanya. Keluarga merupakan lembaga yang mempengaruhi
perkembangan kemampuan anak untuk mentaati peraturan (disiplin), mau
bekerjasama dengan orang lain, bersikap toleran, menghargai pendapa
gagasan orang lain, mau bertanggung jawab dan bersiakap matang dalam
kehidupan yang heterogen (etnis, ras, budaya, dan agama).
e. Fungsi Perlindungan (Protektif)
Keluarga berfungsi sebagai pelindung bagi para anggota keluarganya dari
gangguan, ancaman atau kondisi yang menimbulkan ketidaknyamanan (fisik-
psikologis) para anggotanya.
f. Fungsi Rekreatif
Untuk melaksankan fungs ini keluarga harus diciptakan sebagai
lingkungan yang memberikan kenyamanan, keceriaan, kehangatan, dan penuh
semangat bagi anggotanya. Sehubungan dengan hal itu, maka keluarga harus
ditata sedemikian rupa, seperti menyangkut aspek dekorasi interior rumah,
hubungan komunikasi yang tidak kaku (kesempatan berdialog bersama
sambil santai), makan bersama, bercengkrama dengan penuh suasana humor,
dan sebagainya.
g. Fungsi Agama (Religius)
Keluarga berfungsi sebagai peranan nilai-niali agama kepada anak
agar mereka memiliki pedoman hidup yang benar. Dalam Alqur’an, surat Al-
Tahrim:6, difirmankan:
Artinya ”hai orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamudari
siksa api neraka”. Ayat ini memberiakn isyarat kepada para orangtua bahwa
mereka diwajibkan memelihara diri dan keluarganya dari muka Tuhan. Satu-
satunya cara untuk menghindari siksa api neraka atau murka Tuhan adalah
dengan beragama yang benar. Keluarga yang berkewajiban mengajar,
membimbing atau membiasakan anggotanya untuk mempelajari dan
mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. Para anggota keluarga yang
memilik keyakiann yang kuat terhadap Tuhan akan memiliki mental yang
sehat, yakni mereka akan terhindar dari beban psikologi dan mampu
menyesuaikan dirinya secara harmonis dengan orang lain, serta berpartisipasi
aktif dalam memberikan kontribusi secara kontruktif terhadap kemajuan atau
kesejahteraan masyarakat.
Mengingat pentingnya peranan agama dalam pengembangan mental
yang sehat, maka sepatutnyalah dalam keluarga diciptakan situasi kehidupan
yang agamis.
Pengokohan penerapan nilai-nilai agama dalam keluarga merupakan
landasan fundamental bagi perkembangan kondisi atau tatanan masyarakat
yang damai dan sejahtera. Namun sebaliknya, apabila terjadi pengikisan atau
erosi nilai-nilai agama dalam keluarga atau masyarakat, akan timbul
malapetaka kehidupan yang dapat menjungkirbalikan nilai-nilai kemanusiaan.
(suara pembaharuan: 27 november 1997) dikutip dari buku (Syamsu
Yusuf,2012:42).
4. Pola hubungan orang tua-anak (sikap atau perlakuan orang tua
terhadap anak)
Terdapat beberapa pola sikap atau perlakuan orang tua terhadap anak yang
masing-masing mempunyai pengaruh tersendiri terhadap kepribadian anak
(Hurlock, 1956:504-512; schneiders, 1964: 150-156; lore, 1970:145) dalam
buku (Syamsu Yusuf, 2012:48) . Pola-pola tersebut dapat disimak pada tabel
berikut.
Tabel 2.1
Sikap atau perlakuan orang tua dan dampaknya terhadap kepribadian anak
Pola Perlakuan
Orangtua
Perilaku Orangtua Profil Tingkah Laku Anak
1. Overprotection
(terlalu
melindungi)
1. Kontak yang
berlebihan dengan
anak.
2. Perawatan/pemberi
an bantuan kepada
anak yang terus-
menerus, meskipun
anak sudah mampu
merawat dirinya
sendiri.
3. Mengawasi
kegiaatan anak
secara berlebihan.
4. Memecahkan
masalah anak
1. Perasaan tidak aman
2. Agresif dan dengki
3. Mudah merasa gugup
4. Melarikan diri dari
kenyataan
5. Sangat tergantung
6. Ingin menjadi pusat
perhatian
7. Bersikap menyerah
8. Lemah dalam “ego
strength’ aspiratif dan
toleransi terhadap frustasi
9. Kurang mampu
mengendalikan emosi
10. Menolak tanggung jawab
11. Kurang percaya diri
12. Mudah terpengaruh
13. Peka terhadap kritik
14. Bersiakp “ yes men”
15. Egois/selfish
16. Suka bertengkar
17. Troublemaker (pembuat
onar)
18. Sulit dalam bergaul
19. Mengalami “ homesick”
2. Permissiveness
(pembolehan)
1. Memberikan
kebebasan untuk
berpikir atau
berusaha
2. Menerima
gagasan/pendapat
3. Membuat anak
merasa diterima
dan merasa kuat
4. Toleraan dan
memahami
kelemahan anak
5. Cenderung lebih
suka member yang
diminta anak
daripada menerima
1. Pandai mencari jalan
keluar
2. Dapat bekerjasama
3. Percaya diri
4. Penuntut dan tidak sabaran
3. Rejection
(penolakan)
1. Bersikap masa
bodoh
2. Bersikap kaku
3. Kurang
memperdulikan
1. Agresif (mudah murah,
gelisah, tidak patuh/keras
kepala, suka bertengkar
dan anak)
2. Submissive (kurang dapat
kesejahteraan anak
4. Menampilkan sikap
permusuhan atau
dominasi terhadap
anak
mengerjakan tugas,
pemalu, suka
mengasingkan diri, mudah
tersinggung dan penakut)
3. Sulit bergaul
4. Pendiam
5. Sadis
4. Acceptance
(penerimaan)
1. Memberikan
perhatian dan cinta
kasih yang tulus
kepada anak.
2. Menempatkan anak
dalam posisi yang
penting di dalam
rumah
3. Mengembangkan
hubungan yang
hangat dengan anak
4. Bersikap respek
terhadap anak
5. Mendorong anak
untuk menyatakan
perasaan atau
pendapatnya
6. Berkomunikasi
dengan anak secara
terbuka dan mau
mendengarkan
masaalahnya
1. Mau bekerjasama
(kooperatif)
2. Bersahabat (friendly)
3. Loyal
4. Emosinya stabil
5. Ceria dan bersikap optimis
6. Mau menerima tanggung
jawab
7. Jujur
8. Dapat dipercaya
9. Memiliki perencanaan
yang jelas untuk mencapai
masa depan
10. Bersikap realistic
(memahami kekuatan dan
kelemahan dirinya secara
objektif)
5. Domination Mendominasi anak 1. Bersikap sopan dan sangat
(dominasi) berhati-hati
2. Pemalu, penurut, interior
dan mudah bingung
3. Tidak dapat bekerjasama
6. Submission
(penyerahan)
1. Senantiasa
memberikan
sesuatu yang
diminta anak
2. Membiarkan anak
berperilaku
semaunya di rumah
1. Tidak patuh
2. Tidak bertanggung jaawab
3. Agresif dan teledor/lalai
4. Bersikap otoriter
5. Terlalu peercaaya diri
7.punitiveness/
overdiscipline
(terlalu disiplin)
1. Mudah
memberikan
hukuman
2. Menanamkan
kedisiplinan secara
keras
1. Implusif
2. Tidak dapat mengambil
keputusan
3. Nakal
4. Sikap bermusuhan atau
agressif
Dari ketujuh sikap atau perlakuan orangtua itu, tampak bahwa sikap
“acceptance” merupakan yang baik untuk dimiliki atau dikembangkan oleh
orangtua. Sikap seperti ini ternyata telah memberikan kontribusi kepada
pengembangan kepribadian anak yang sehat.
Maka dari itu peneliti mengacu pada kategori atau sikap orang tua
yang acceptance untuk meneliti bagaimana orang tua membimbing anaknya.
Mengkaji hal yang sama, Weiten dan Lioyd dalam bukunya syamsu
yusuf (2012:49) mengemukakan lima prinsip “effective parenting” (perlakuan
orangtua yang efektif), yaitu:
a. menyusun/membuat standar (aturan perilaku) yang tinggi, namun
dapat dipahami. Dalam hal ini, anak diharapkan untuk berperilaku
dengan cara yang tepat sesuai dengan usianya.
b. Menaruh perhataian terhadap perilaku anak yang baik dan
memberikan reward / ganjaran. Perlakuan ini perlu dilakukan
sebagai pengganti dari kebiasaan orangtua pada umumnya, yaitu
bahwa mereka suka menaruh perhatian kepada anak pada saat anak
berperilaku menyimpang, namun membiarkannya ketika melakukan
yang baik.
c. Menjelaskan alasanya (tujuannya), ketika meminta anak untuk
melakukan sesuatu.
d. Mendorong anak untuk menelaah dampak perilakunya terhadap
orang lain.
e. Menegakan aturan secara konsisten.
B. Pembelajaran Bahasa Indonesia di MI/SD
1. Pembelajaran Bahasa Indonesia di MI/SD
Bahasa Indonesia adalah bahasa bangsa yang harus dikuasai oleh setiap
warga negara Indonesia. Dan Pembelajaran Bahasa Indonesia adalah salah
satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar untuk meningkatkan
kemampuan siswa dalam berkomunikasi baik secara lisan maupun secara
tertulis. Oleh karena itu, sangat penting untuk memberikan dasar-dasar
berbahasa yang baik sedari usia dini. Sekolah Dasar (SD) sebagai bagian dari
wadah pendidikan anak usia dini menjadi salah satu tonggak yang penting
bagi keberlangsungan dan keberadaan Bahasa Indonesia, baik itu dalam
bahasa tulis maupun bahasa lisan.
Berdasarkan Panduan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
SD/MI mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan sebagai berikut :
a. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku,
baik secara lisan maupun tulis.
b. Menghargai dan bangga menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan dan bahasa negara.
c. Memahami Bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan
kreatif untuk berbagai tujuan.
d. Menggunakan Bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan
intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.
e. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperhalus budi
pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.
f. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah
budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Berdasarkan teori tersebut, secara umum tujuan pembelajaran
Bahasa Indonesia adalah untuk berkomunikasi baik secara lisan maupun
tulisan. Akan tetapi tujuan yang lainnya juga sangat penting, baik itu yang
berhubungan dengan identitas bangsa kita maupun dengan tujuan bahasa
yang berkaitan dengan sastra dan budaya.
Diunduh dari (http://adamarihandhokoe.blogspot.com/2013/12/tujuan-
pembelajaran-bahasa-indonesia-di.html.14.06.2015.20.00wib).
2. Membaca nyaring
a. Pengertian Membaca Nyaring
Ditinjau dari segi terdengar atau tidaknya suara pembaca waktu dia
membaca, proses membaca dapat dibagi atas:
1) Membaca nyaring, membaca bersuara, dan membaca lisan (reading
out loud, oral reading, reading aloud);
2) Membaca dalam hati (silent reading).
Pada membaca dalam hati, kita hanya mempergunakan ingatan visual
(visual memory). Dalam hal ini, yang aktif adalah mata
(pandangan;penglihatan) dan ingatan. Sedangkan pada membaca nyaring,
selain penglihatan dan ingatan, juga turut aktif auditory memory (ingatan
pendengaran) dan motor memory (ingatan yang bersangkut paut dengan otot
kita). (Moulton, 1970:15) dalam buku (Guntur Tarigan, 2008:23). .
Membaca nyaring adalah suatu aktivitas atau kegiatan yang merupakan
alat bagi guru, murid, ataupun pembaca bersama-sama dengan orang lain atau
pendengar untuk menangkap serta memahami informasi, pikiran, dan
perasaan seseorang pengarang.
Orang yang membaca nyaring pertama-tama haruslah mengerti makna
serta perasaan yang terkandung dalam bahan bacaan. Dia juga harus
mempelajari ketrampilan-ketrampilan penafsiran atas lambang-lambang
tertulis sehingga penyusunan kata-kata serta penekanan sesuai dengan ujuran
pembicaraan yang hidup. Membaca nyaring yang baik menuntut agar
pembaca memiliki kecepatan mata yang tinggi serta pandangan matayang
jauh, karena dia haruslah melihat pada bahan bacaan untuk memelihara
kontak mata dengan para pendengar. Dia juga harus dapat mengelompokan
kata-kata dengan baik dan tepat agar jelas maknanya bagi para pendengar.
(cole, 1950;226), (dalam Guntur Tarigan, 2008:25).
Di awal, telah diutarakan mengenai pengertian serta manfaat membaca
nyaring. Kalau kita perhatikan dalam kehidupan sehari-hari, kita harus sadar
serta mengakui bahwa sebenarnya kegunaan ketrampilan membaca nyaring
memang sangat terbatas. Sesungguhnya, sedikit orang yang terlibat atau
dituntut untuk membaca nyaring sebagai kegiatan rutin setiap hari, seperti
penyiar radio, pembicara televise, pendeta, pastor, ulama, atau actor.
Demikianlah, dari segi mayoritas, kegunaan atau kepentingannya memang
terbatas benar-benar.(broughton, (et al) 1978 : 92) (dalam Guntur Tarigan,
2008:25).
b. Keterampilan-Ketrampilan Yang Dituntut dalam Membaca Nyaring
Pembicaraan terdahulu mengemukakan bahwa membaca nyaring
merupakan suatu aktivitas yang menuntut aneka ragam ketrampilan. Di
bawah ini, dikemukakan sejumlah ketrampilan yang dituntut dalam membaca
pada setiap kelas sekolah dasar, kita khususkan di sini sekolah dasar dengan
keyakinan bahwa apabila ketrampilan-ketrampilan tersebut telah dilatih sejak
awal maka apabila para pelajar meningkat atau melanjutkan pelajaran ke
sekolah lanjutan, mereka telah mempunyai modal yang sangat penting.
Ketrampilan-ketrampilan pokok telah di tanam di sekolah lanjutan (permata
dan atas). Guntur Tarigan, (2008:25)
Daftar ketrampilan berikut ini sangat menolong para guru dalam
menjalankan tugasnya untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dalam
membaca nyaring.
Kelas I:
1) Mempergunakan ucapan yang tepat.
2) Mempergunakan frase yang tepat (bukan kata demi kata).
3) Mempergunakan intonasi suara yang wajar agar makna mudah terpahami.
4) Memiliki perawakan dan sikap yang baik serta merawat buku dengan baik.
5) Meenguasai tanda-tanda baca sederhana, seperti:
Titik ( . ) Koma ( , ) Tanda Tanya ( ? ) Tanda seru ( ! )
Kelas II
1) Membaca dengan terang dan jelas.
2) Membaca dengan penuh perasaan, ekspresi.
3) Membaca tanpa tertegun-tegun, tanpa terbata-bata.
Kelas III
1) Membaca dengan penuh perasaan, ekspresi.
2) Mengerti serta memahami bahan bacaan
Kelas IV
1) Memahami bahan bacaan pada tingkat dasar.
2) Kecepatan mata dan suara : 3 patah kata dalam satu detik.
Kelas V
1. Membaca dengan pemahaman dan perasaan.
2. Aneka kecepatan membaca nyaring bergantung pada bahan bacaan.
3. Dapat membaca tanpa terus-menerus melihat pada bahan bacaan.
Kelas VI
1) Membaca nyaring dengan penuh perasaan atau ekspresi.
2) Membaca dengan penuh kepercayaan (pada diri sendiri) dan
mempergunakan frase atau susunan kata yang tepat.
(barbe and abbott : 156 – 167; dawson (et al) 1963 : 216) (dalam Guntur
Tarigan, 2008:26)
C. Aspek-Aspek Membaca Sebagai Ketrampilan Bahasa Indonesia
1. Pengertian Membaca
Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta digunakan oleh
pembaca untuk memperoleh pesan yang disampaikan penulis melalui media
bahasa tulis (Guntur Tarigan, 1984:7). Pengertian lain dari membaca adalah
suatu proses kegiatan mencocokkan huruf atau melafalkan lambang-lambang
bahasa tulis.
Membaca adalah suatu kegiatan atau cara dalam mengupayakan
pembinaan daya nalar (Tampubolon, 1987:6). Dengan membaca, seseorang
secara tidak langsung sudah mengumpulkan kata demi kata dalam
mengaitkan maksud dan arah bacaannya yang pada akhirnya pembaca dapat
menyimpulkan suatu hal dengan nalar yang dimilikinya.
2. Macam-macam membaca
Berdasarkan cara membaca, membaca dibedakan menjadi:
a. Membaca Bersuara (membaca nyaring).
Membaca nyaring yaitu membaca yang dilakukan dengan bersuara,
Sebenarnya apabila kita berpegang pada batasan-batasan tentang membaca,
semua perbuatan membaca tentu saja kedengaran orang lain. Perbedaannya
terletak pada persoalan berapa jauh suara bacaan dapat didengar orang lain.
Istilah membaca keras maksudnya membaca dengan suara nyaring. Oleh
karena itu adalah istilah, "membaca nyaring". Mengapa harus bersuara keras
atau nyaring karena perlu didengar oleh orang lain. Biarpun membaca untuk
diri sendiri, bagi anak kelas I mempunyai kebiasaan keras atau nyaring.
Tujuan membaca keras agar guru dan kawan sekelas dapat menyimak.
Dengan menyimak guru dapat memperbaiki bacaan siswa. Pelaksanaan
membaca dapat memperbaiki bacaan siswa. Pelaksanaan membaca keras bagi
siswa Sekolah Dasar dilakukan seperti berikut:
1) Membaca Klasikal
Yaitu membaca yang dilakukan secara bersama-sama dalam satu
kelas. Membaca klasikal biasa dilaksanakan di kelas I. Dengan tujuan supaya
anak yang belum lancar membaca bisa menirukannya lebih dahulu.
2) Membaca Berkelompok
Yaitu membaca yang dilakukan oleh sekelompok siswa dalam satu
kelas. Biasanya dilakukan secara berderet. Satu deret dijadikan satu
kelompok. Dengan membaca kelompok guru dapat memperhatikan lebih
serius (khusus) anak-anak yang sudah lancar membaca ataupun yang belum
lancar membaca. Bagi anak-anak yang belum lancar membaca biasanya
cenderung diam (tidak menirukan).
3) Membaca Perorangan
Yaitu membaca yang dilakukan secara individu. Membaca
perorangan diperlukan keberanian siswa dan mudah dikontrol oleh
guru. Biasa dilaksanakan untuk mengadakan penilaian.
b. Membaca dalam Hati
Membaca dalam hati yaitu membaca dengan tidak mengeluarkan
kata-kata atau suara. Dengan membaca dalam hati siswa dapat lebih
berkonsentrasi, sehingga lebih dapat memahami isi yang terkandung dalam
sebuah bacaan. Membaca dalam hati sebenarnya membaca bagi orang dewasa
atau orang tua. Tidak semua siawa SD dapat membaca dalam hati. Membaca
dalam hati siswa SD tetap dilakukan dengan membaca bersuara atau
membaca secara berbisik-bisik. Tidak dapat dilaksanakan secara sempurna.
Khusus kelas I dan kelas II tidak ada pembelajaran membaca dalam hati.
Kelas III-IV dapat dilatih membaca dengan suara bisik-bisik. Sedang kelas V-
VI dapat membaca dalam hati secara lebih baik. Tujuan pembelajaran
membaca dalam hati agar siswa dapat berkonsentrasi fisik dan mental,
membaca secepat-cepatnya, memahami isi, menghayati isi dan
mengungkapkan kembali isi bacaan.
c. Membaca Teknik
Membaca teknik hampir sama dengan membaca keras. Pembelajaran
membaca teknik meliputi pembelajaran membaca dan pembelajaran
membacakan. Membaca teknik lebih formal, mementingkan kebenaran
pembaca serta ketepatan intonasi dan jeda. Dengan mengacu pada pelafalan
yang standar, Amin mengemukakan kegiatan membaca teknikser langsung
memasuki kegiatan pembaca berita, pengumuman, ceramahi, berpidato, dsb.
Pembelajaran membaca dimaksudkan agar siswa dapat membaca untuk
keperluan diri sendiri dan untuk keperluan siswa lain. Pembaca lebih
bertanggung jawab kepada lafal dan lagu, serta isi bacaan. Pembelajaran
membacakan pembaca bertanggung jawab atas lagu dan lafal. Tetapi kurang
bertanggun jawab akan isi bacaan. Yang lebih baik akan isi bacaan ialah
pendengar atau para pendengarnya. Membaca teknik ialah cara membaca
yang mencakup sikap, dan intonasi bahasa. Latihan-latihan yang diperlukan
diantaranya seperti, Latihan membaca di tempat duduk, Latihan membaca di
depan kelas, Latihan membaca di mimbar dan Latihan membacakan.
Diunduh dari http://s-surya62.blogspot.com/2012/05/pengertian-jenis-dan-
tujuan-membaca.html.1.06.2015.20.30wib.
3. Tujuan Membaca
Guntur Tarigan (2008:9) tujuan utama dalam membaca adalah
untuk mencari serta memperoleh informasi, mencakup isi, memahami makna
bacaan. Makna, arti (meaning) erat sekali berhubungan dengan maksud
tujuan, atau intensif kita dalam membaca. Berikut ini, kita kemukakan
beberapa yang penting.
a. Membaca untuk menemukan atau mengetahui penemuan-penemuan
yang telah dilakukan oleh tokoh; apa-apa yang telah dibuat oleh tokoh;
apa yang telah terjadi pada tokoh khusus, atau untuk memecahkan
masalah-masalah yang dibuat oleh tokoh. Membaca seperti ini disebut
membaca untuk memperoleh perincian-perincian atau fakta-fakta
(reading for details or fact).
b. Membaca untuk mengetahui mengapa hal itu merupakan topic yang
baik dan menarik, masalah yang terdapat dalam cerita, apa-apa yang
dipelajari atau yang dialami tokoh, dan merangkumkan hal-hal yang
dilakukan oleh tokoh untuk mencapai tujuannya. Membaca seperti ini
disebut membaca untuk memperoleh ide-ide utama (reading for main
ideas).
c. Membaca untuk menemukan atau mengetahui apa yang terjadi pada
setiap bagian cerita, apa yang terjadi mula-mula pertama, kedua, dan
ketiga/seterusnya –setiap tahap dibuat untuk memecahkan suatu
masalah, adegan-adegan dan kejadian, kejadian buat dramatisasi. Ini
disebut membaca untuk mengetahui urutan atau susunan, organisasi
cerita (reading for sequence or organization).
d. Membaca untuk menemukan serta mengetahui apa-apa yang tidak
biasa, tidak wajar mengenai seseorang tokoh, apa yang lucu dalam
cerita, atau apakah cerita itu benar atau tidak benar. Ini disebut
membaca untuk mengelompokan, membaca untuk mengklasifikasikan
(reading to classify)
e. Membaca untuk menemukanapakah tokoh berhasil atau hidup dengan
ukuran-ukuran tertentu, apakah kita ingin berbuat seperti yang
diperbuat oleh tokoh, atau bekerja seperti cara tokoh bekerja dalam
cerita itu. Ini disebut membaca menilai, membaca mengevaluasi
(reading to evaluate)
f. Membaca untuk menemukan bagaimana caranya tokoh berubah,
bagaiman hidupnya berbeda dari kehidupan yang kita kenal,
bagaimana dua cerita mempunyai persamaan, dan bagaimana tokoh
menyerupai pembaca. Ini disebut membaca untuk memperbandingkan
atau mempertentangkan (reading to compare or contrast). (Anderson,
1972:214) (dalam Guntur tarigan, 2008:11).
4. Membaca Sebagai Suatu Ketrampilan Bahasa Indonesia
Setiap guru bahasa haruslah menyadari serta memahami benar bahwa
membaca adalah suatu ketrampilan yang kompleks, yang rumit, yang
mencakup atau melibatkan serangkaian ketrampilan-ketrampilan yang lebih
kecil. Dengan perkataan lain, ketrampilan membaca memncakup tiga
komponen, (Broughton) (et al) 1978 : 90) (dalam Guntur Tarigan, 2008: 12)
yaitu:
a. Pengenalan terhadap aksara serta tanda-tanda baca;
b. Korelasi aksara beserta tanda-tanda baca dengan unsur-unsur
linguistic yang formal; Sesuai dengan hakikat unsur-unsur linguistic
yang formal tersebut, pada hakikatnya sifat ketrampilan itu akan selalu
mengalami perubahan-perubahan pula. Unsur-unsur itu dapat
merupakan kelompok bunyi kompleks yang dapat disebut sebagai
kata, frase, kalimat, paragraph, bab, atau buku. Unsur itu dapat pula
berupa usur yang paling dasar, yaitu bunyi-bunyi tunnggal yang
disebut fonem.
c. Hubungan lebih lanjut dari A dan B dengan makna atau (Broughton
(et al) 1978 : 90). mencakup keseluruhan ketrampilan membaca, pada
hakikatnya merupakan ketrampilan intelektual ini merupakan
kemampuan atau abilitas untuk menghubungkan tanda-tanda hitam di
atas kertas melalui unsur-unsur bahasa yang formal, yaitu kata-kata
sebagai bunyi, dengan makna yang dilambangkan oleh kata-kata
tersebut.
5. Aspek-Aspek Membaca
Telah diutarakan di muka bahwa membaca merupakan suatu ketrampilan
yang kompleks yang melibatkan serangkaian ketrampilan yang lebih kecil
lainya. Sebagai garis besarnya, menurut (Broughton (et al) 1978 : 211) dalam
buku (Guntur Tarigan, 2008:13) terdapat dua aspek penting dalam membaca,
yaitu.
Skema I
Aspek-aspek membaca meliputi dua ketrampilan , yaitu:
a. Keterampilan mekanis (urutan lebih rendah):
1) pengenalan bentuk huruf
2) pengenalan unsure-unsur linguistik
3) Pengenalan hubungan bunyi dan huruf
b. Ketrampilan pemhaman (urutan lebih tinggi):
1) Kecepatan membaca lambat
2) Pemahaman pengertian sederhana
3) Pemhaman signifikasi/makna
4) Evaluasi/penlaian isi dan bentuk
5) Kecepatan membaca
Skema II
Membaca survei
Membaca membaca sekilas
Membaca nyaring membaca
Ekstensif membaca dangkal
Membaca
dalam hati membaca
teliti
membaca - membaca
pemahaman
membaca telaah isi - membaca
kritis intensif -
membaca ide-ide
membaca membaca
bahasa telaah
bahasa
membaca
sastra
kriteria yang dibuat oleh peneliti tentang kemampuan membaca
adalah siswa dapat membaca dengan lancar, ketepatan membaca dan
memahami isi bacaan. Dengan setiap kategori mempunyai kriteria yaitu,
lancar, sedang dan lambat. Dan setiap criteria mempunyai nilai tersendiri
lacar bernilai 5, sedang 3, dan lambat 1.
D. Penelitian Terdahulu
Pertama skripsi dari IIS ISTIANAH program study Pendidikan
Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiya Nurul Hikmah Cianjur dengan
judul “ PENGARUH BIMBINGAN ORANG TUA TERHADAP
MOTIVASI BELAJAR SISWA (STUDI DESKRIPTIF TERHADAP
ORANG TUA SISWA MI SWASTA AS-SA’IDIYAH CIPANAS
KABUPATEN CIANJUR Th PELAJARAN 2010-2011)” Program Studi
Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Nurul Hikmah
Cianjur. Skripsi tersebut di dalamnya menggunakan sampel random diambil
dari kelas I,II,III dan setiap kelas diambil 7 orang untuk sampel. Dan
skripsinya meneliti bagaimana motivasi siswa dalam kegiatan pembelajaran
dan dikaitkan dengan bimbingan orang tua sehari-harinya.
Yang kedua skripsi dari AEP SAEPULAH program study pendidikan
guru madrasah ibtidaiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati
Cirebon dengan judul “HUBUNGAN ANTARA BIMBINGAN
ORANGTUA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATA
PELAJARAN IPA DI MI AN-NUR KECAMATAN PEKALIPAN
KOTA CIREBON ” Skripsi tersebut di dalamnya menggunakan
pengambilan sample, dalam penelitian ini dilakukan dengan cara Kluster
sample, yang dimaksud kuster sample ini adalah satuan-satuan sample tidak
terdiri dari individu melainkan dengan kelompok- kelompok individu atau
kluster. Penelitian ini sampelnya yaitu kelas V. Skripsi kedua ini yang
dimiliki oleh AEP SAEPULAH meneliti tentang hasil belajar ipa dan
bimbingan orang tua di rumah. jadi intinya penelitian ini ingin mengetahui
bagaimana pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa
pada mata pelajaran ipa.
Dari penelitian terdahulu dengan skripsi peneliti dengan judul “
PENGARUH BIMBINGAN ORANG TUA TERHADAP KEMAMPUAN
MEMBACA SISWA KELAS RENDAH DI SD NEGERI CIMOHONG
02 SEMESTER GANJIL TAHUN 2015/2016 KECAMATAN
BULAKAMBA KABUPATEN BREBES” yang membedakan adalah
skripsi peneliti menggunakan purposive sampling. Sampelnya mengambil
kelas III dan meneliti bimbingan orang tua dalam memberi perhatian,
bimbingan belajar terutama membimbing untuk mahir membaca dan meneliti
kemampuan membaca siswa di kelas rendah.
E. Kerangka Berfikir
Menurut Soekanto, Peran adalah aspek dinamis dari kedudukan
(status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai
dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peran. Sedangkan
Biddle dan Thomas, Peran adalah serangkaian rumusan yang
membatasi perilaku-
perilaku yang diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu.
Misalnya dalam keluarga, perilaku ibu dalam keluarga diharapkan bisa
memberi anjuran, memberi penilaian, memberi sangsi dan lain-
lain.(diunduh dari http://fahir-blues.blogspot.com/2013/06/teori-peran-dan-
definisi-peran-menurut.html senin_09:05_23.03.2015).
Menurut peneliti Salah satu dari peranan orang tua terhadap keberhasilan
pendidikan anaknya adalah dengan memberikan perhatian atau bimbingan
terutama pada kegiatan belajar mereka di rumah. Perhatian orang tua
memiliki pengaruh psikologis yang besar terhadap kegiatan belajar anak.
Dengan adanya perhatian dari orang tua, anak tersebut mempunyai motivasi
dari dalam dirinya maka anak akan lebih giat dan lebih bersemangat dalam
belajar karena orang tuanya menginginkan kesuksesanya bukan dirinya
sendiri saja. Maka dari itu Orang tua memberi perhatian kepada anaknya dan
dari perhatian, orang tua memberi bimbingan belajar membaca sehingga
anak rajin membaca dan hasilnya anak dappat membaca dengan mahir sesuai
dengan tahapan kelasnya.
Orang tua memegang peranan yang amat penting untuk meningkatkan
perkembangan dan prestasi anak, terutama membimbing anak untuk
membaca karena membaca adalah kunci segalanya. Dan tanpa dorongan dan
motivasi orangtua, maka prestasi belajar anak akan mengalami hambatan dan
menurun. Pada umumnya ada sebagian orang tua yang kurang memahami
betapa pentingnya peranan mereka dalam prestasi belajar anaknya. Bila
semakin sedikit perhatian orangtua terhadap prestasi belajar anak-anaknya
maka semakin rendah pula prestasi yang akan dicapai sang anak dalam
sekolahnya.
Tabel 2.2
BAGAN KERANGKA BERFIKIR
Orang Tua
Orangtua
membimbing
anaknya belajar
membaca
Perhatian Orang
Tua
Anak rajin
belajar di rumah
Anak dapat membaca
dengan mahir sesuai
dengan tahapan
kelasnya
F. Hipotesis Penelitian
Menurut Sugiyono (2013:96) Hipotesis merupakan jawaban
sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah
penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan
sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang
relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui
pengumpulan data. Menurut Fred N.Kelinger 1973 dalam buku Sumanto
(2014:51) hipotesis didefinisikan sebagai pernyataan yang merupakan
“dugaan” mengenai hubungan antara dua variable atau lebih.
Berdasarkan permasalahan yang diajukan dengan ditunjang kerangka berfikir
maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
1. Hipotesis Alternatif (Ha )
Diduga terdapat pengaruh antara variabel X (bimbingan orangtua) dengan
variabel Y (kemampuan membaca siswa kelas rendah).
2. Hipotesis Nihil ( H0 )
Diduga tidak terdapat pengaruh antara variabel X (bimbingan orangtua)
dengan variabel Y (kemampuan membaca siswa kelas rendah).
Recommended