Upload
dewi-husna
View
238
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Hisprung disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam
lapisan dinding usus, mulai dari spingter ani internus ke arah proksimal, 70 %
terbatas di daerah rektosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5 %
dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus. Diduga terjadi karena faktor genetik
sering terjadi pada anak dengan Down Syndrom, kegagalan sel neural pada masa
embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub
mukosa dinding plexus2
.
Pasien dengan penyakit hisprung pertama kali dilaporkan oleh
FrederickRuysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Herald
Hirschsprung tahun 1863, namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui
secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa
megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik
dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion21
.
Penyakit Hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang
paling sering pada neonatus, dengan insidens keseluruhan 1:5000 kelahiran hidup.
Laki-laki lebih banyak dari pada perempuan dengan perbandingan 4:1 dan ada
kenaikan insidens pada kasus-kasus familial yang rata-rata mencapai sekitar 6%1
.
Data Penyakit Hirschprung di Indonesia belum ada. Bila benar insidensnya 1 dari
5.000 kelahiran, maka dengan jumlah penduduk di Indonesia sekitar 220 juta dan
tingkat kelahiran 35 per mil, diperkirakan akan lahir 1400 bayi lahir dengan Penyakit
Hirschsprung7
.
1
Penyakit Hirschsprung harus dicurigai apabila seorang bayi cukup bulan
dengan berat lahir ≥ 3 kg (penyakit ini tidak bisa terjadi pada bayi kurang bulan)
yang terlambat mengeluarkan tinja10
. Trias klasik gambaran klinis pada neonatus
adalah pengeluaran mekonium yang terlambat,yaitu lebih dari 24 jam pertama,
muntah hijau, dan perut membuncit keseluruhan11
.
Diagnosis penyakit Hirschsprung harus dapat ditegakkan sedini mungkin
mengingat berbagai komplikasi yang dapat terjadi dan sangat membahayakan jiwa
pasien seperti enterokolitis, pneumatosis usus, abses perikolon, perforasi, dan
septikimia yang dapat menyebabkan kematian. Enterokolitis merupakan komplikasi
yang amat berbahaya sehingga mortalitasnya mencapai 30% apabila tidak ditangani
dengan sempurna. Diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan rontgen dengan enema barium, pemeriksaan
manometri, serta pemeriksaan patologi anatomi10
.
Penatalaksanaan Penyakit Hirschsprung terdiri dari tindakan non bedah
dan tindakan bedah. Tindakan non bedah dimaksudkan untuk mengobati
komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan
umum penderita sampai pada saat operasi defenitif dapat dikerjakan. Tindakan
bedah pada penyakit ini terdiri dari tindakan bedah sementara yang bertujuan
untuk dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang
mempunyai ganglion normal di bagian distal10
.
Dari sekian banyak sarana penunjang diagnostik, maka diharapkan pada
klinisi untuk segera mengetahui gejala dan tanda pada penyakit Hirschsprung.
2
Karena penemuan dan penanganan yang cepat dan tepat dapat mengurangi
insidensi Penyakit Hirschsprung di dunia, khususnya di Indonesia.
3
BAB IILAPORAN KASUS
2.1 IDENTITASPAISEN
Nama : T
Umur : 8 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Aceh
Alamat : Matang Santet
No. MR : 07.28.93
Tanggal Masuk : 13 Desember 2015
Tanggal Keluar : 21 Desember 2015
A. Identitas Orang Tua
Nama Ayah : Tn. A
Umur : 57 tahun
Pekerjaan : petani
Pendidikan : SD
4
Nama Ibu : Ny. S
Umur : 52 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidkan : SD
2.2 DATA DASAR
ANAMNESIS
Alloanamnesis ( Anamnesis dengan orang tua pasien)
a. Keluhan Utama
Susah BAB dan perut membesar.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien masuk dari IGD RSU Cut Meutia dengan keluhan perut kembung
yang memberat sejak 1 minggu SMRSdan susah BAB dari lahir, ibu pasien
mengaku pasien buang air besar dengan rangsangan obat. BAB berwarna hitam,
hepar dan lien teraba.
c. Riwayat Penyakit dahulu :
Pasien sebelumnya pernah mengalami tidak keluar BAB saat usia 2 hari
setelah lahirdan di rawat di ruang NICU RSU Cut Muetia selama 10 hari,ibu
pasien mengatakan pasien mengeluarkan BAB dengan memakai selang.
d.Riwayat penyakit keluarga
Keluarga pasien mengaku tidak ada keluarga yang mengalami hal serupa
dengan pasien.
5
e. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
1. Riwayat Kehamilan
Pasien adalah anak ke tujuh, ibu mengalami mual-mual dan tidak
terjadimuntah, pasien tidak memiliki riwayat keguguran sebelumnya. TD
(-), asma (-), perdarahan (-), trauma (-).pasien lahir saat usia ibu 44
tahun,pasien lahir ditangan bidan dengan BBL = 4 kg, lahir cukup bulan dan
segera menangi. Kejang, biru, kuning saat lahir disangkal.
2. Riwayat Kelahiran
pasien lahir saat usia ibu 44 tahun,pasien lahir ditangan bidan
dengan BBL = 4 kg, lahir cukup bulan dan segera menangi. Kejang, biru,
kuning saat lahir disangkal.
f. Riwayat nutrisi
Saat lahir sampai usia 6 bulan pasien masih mendapatkan ASI. serta pasien
juga sudah mendapat kan makanan tambahan pisang yang dihaluskan sejak usia 5
bulan.
g. Riwayat Imunisasi
Pasien mendapat imunisasi lengkap, terakhir imunisasi saat usia 5 tahun.
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 21 Desember 2015
a. Kesan Umum :
Keadaan umum ringan-sedang
6
b. Tanda Vital
1. Heart rate : 84 x/menit, regular
2. Laju nafas : 23 x/menit, reguler
3. Tekanan darah : Tidak diperiksa
4. Suhu : 36,70 C
5. Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
6. Tinggi badan : 135 kg
7. Berat Badan : 14 Kg
7
c. Status Gizi
BB aktual : 14 Kg
BB Ideal untuk TB actual (CDC WHO 2000) : 25 Kg
Status Gizi (Waterlow) : 14/25 x100% = 56%
Interpretasi : Gizi buruk (56%)
d. Status General
Kepala
Rambut : Hitam, lurus
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), konjungtiva hiperemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), pupil bulat (+/+), reflek cahaya (+/+), sekret (-/-) oedema (-)
Hidung : Bentuk normal, simetris, sekret (-/-), deviasi septum (-),
pernapasan cuping hidung (-), konka hiperemis (-/-)
Telinga : Bentuk dan ukuran normal, membran timpani intak, hiperemis (-
/-) sekret (-/-) massa (-)
Mulut : Sianosis (-), sariawan (-), beslag (-), karies gigi (+), tonsil dan
faring dalam batas normal
Kulit
Kuning langsat, turgor normal, sianosis (-), ikterik (-) pucat (-)
Leher
Inspeksi : Simetris, luka (-) hiperemis (-)
8
Palpasi : Perbesaran KGB (-), perbesaran tiroid (-), massa (-)
Thorax
Inspeksi : Bentuk simetris, retraksi dinding dada (+) luka (-) memar
(-)pernafasandangkal
Palpasi : krepitasi (-/-), massa (-)
Perkusi : redupataupekak (+/+)
Auskultasi : Vesikuler melemah(-/-), rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak nampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V
Perkusi : Batas atas jantung : ICS III, linea parasternal sinistra
Batas kanan jantung : ICS IV, linea parastesnal dextra
Batas kiri jantung : ICS IV, linea parasternal sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Bentuk simetris (+), cembung (+) luka (-)
Palpasi : distensi(+) hepatomegali (+), splenomegali (+),
Perkusi : Timpani (-), asites (-)
Auskultasi : Bising usus normal
Genitalia
Tidak diperiksa
9
Anus
Tidak Diperiksa
Ekstremitas :
Superior Inferior
AkralDingin -/- -/-
AkralSianosis -/- -/-
Oedem -/- -/-
e. Status Neurologis
1. Tingkat kesadaran : Compos Mentis
2. Reflek Patologis : Negatif
3. Refleks Fisiologis : Normal
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
14 Desember 2015
FUNGSI HATI
Bilirubin total Hasil Nilai Normal
Bilirubin total 0,17 <1,1
Bilirubin direct 0,11 <0,5
SGOT 15 < 38
SGPT 14 < 41
Alkalin fosfatase 153 30-110
10
Ureum 26 10-50
Creatinin 0,12 <1,3
Urin acid 4,5
14 Desember 2015
PEMERIKSAAN WIDAL
Antigen O Antigen H
Salmonella Thypi 1/320 1/160
Salmonella Parathypi A 1/80 (-)
Salmonella Parathypi B 1/160 (-)
Salmonella Parathypi C 1/320 1/80
15 Desember 2015
HEMATOLOGI KLINIK
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hb 7,8 g% 12-16
LED (-) <20
Eritrosit 4,8 x 103/mm3 3,8-5,8 x 103/mm3
Leukosit 6,9 x 103/mm3 4-11
Hematokrit 27,6% 37-47
MCV 57 fl 76-96
MCH 162 pg 27-32
MCHC 28,3 g% 30-35
11
RDW 20,8 % 11-15
Trombosit 687 x 103/mm3 150-450
FOTO POLOS ABDOMEN
2.5 DIAGNOSA BANDING
1. Meconium plug syndrome + Anemia
2. Microcolon + Anemia
3. Sepsis + Anemia
2.6 DIAGNOSA KERJA
12
Hisprung+ Anemia
2.7 PENATALAKSANAAN
1. IVFD Ringer laktat 10 gtt/i
2. Inject cefotaxime 500 mg/12jam
3. Inject ranitidin ½ amp / 12 jam
4. Kalnex ½ amp / 12 jam
5. Paracetamol sirup 3 x cth 1
6. Asam folat 1x1
2.8 PROGNOSIS
1. Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
2.9 STATUS FOLLOW UP
Tanggal S O A & P Terapi14/12/2015H+2
Perut membesar (+), BAB hitam (+), Pucat (+), hepar dan lien teraba (+)
Sens : CM
HR : 110 x/i
RR : 36 x/i
Temp: 370C
DD: hisprung + anemia
Saran Pemeriksaan:Darah rutin, fungsi hati, fungsi ginjal dan foto polos abdomen,test widal
IVFD ringer laktat 10 tetes/menit
IV Cefotaxime 500 mg/12 jam
IV kalnex 1/2 amp/12 jam
Paracetamol 3xcth 1
Asam folat 1x1
Pasang NGT terbuka
Puasa
13
Konsul bedah
15/12/2015H+3
Perut membesar (+), BAB hitam (+), konjungtiva pucat (+), kolik abdomen (+)
Sens : CM
HR : 112x/i
RR : 32 x/i
Temp :36,70C
Dx: hisprung + anemia
Saran Pemeriksaan:SDA
Hasil labHb: 7,8
IVFD ringer laktat 10 tetes/menit
IV Cefotaxime 500 mg/12 jam
IV kalnex 1/2 amp/12 jam
Paracetamol 3xcth 1
Asam folat 1x1
Lavement Nacl 100cc + gliserin 2x1
Ranitidin ½ amp / 12 jam
Pasang NGT terbuka
Puasa
Jika tidak membaik lakukan laparatomi
16/12/2015H+4
Distensi abdomen (+)↓, pucat (+), BAB (+), BAK (+), BAB hijau
Sens : CM
HR : 112x/i
RR : 34 x/i
Temp : 36,20C
Dx: hisprung + anemia
Transfusi prc 1x175 cc
Furosemid ½ amp
Cefotaxime 400 mg /
12 jam
17/12/15H+5
Perut kembung (+)↓, BAB berwarna hijau 2x (+), BAK (+), Pucat (+)
HR : 110x/i
RR : 32x/i
Temp : 36,20C
Dx : hisprung + anemia
Saran pemeriksaan : cek Hb post transfusi
NS
Furosemid ½ amp
Cefotaxime 400 mg
PRC 1x175 cc
14
18/12/15H+6
Perut kembung (+)↓, BAB berwarna kuning kecoklatan (+), stomatitis (+)
HR : 112x/i
RR : 36x/i
Temp : 36,70C
Dx : hisprung + anemia
Hb : 10,4
IVFD ringer laktat 12 gtt/i
IV cefotaxime 400 mg / 12 jam
IV ranitidin ½ amp / 12 jam
constantitia
Laxadine 3x cth 1
PRC 1x125 cc19/12/15H+7
Demam (-), sakit perut (-),perut kembung (+), BAB (+), BAK (+), lemas (-)
HR : 110x/iRR : 34x/iTemp : 36,70C
Dx : hisprung + anemia
IVFD ringer laktat 12 gtt/i
IV cefotaxime 400 mg / 12 jam
Nacl 12 gtt/i
Furosemid ½ amp / 12 jam
Dexametason 1/3 amp / 12 jam
20/12/15H+8
Demam (-), sakit perut (-),perut kembung (+), BAB (+), BAK (+), lemas (-)
HR : 112x/iRR : 36x/iTemp : 360C
Dx : hisprung + anemia
IVFD ringer laktat 12 gtt/i
IV cefotaxime 400 mg / 12 jam
Nacl 12 gtt/i
Furosemid ½ amp / 12 jam
Dexametason 1/3 amp / 12 jam
15
20/12/15H+9
PBJ
Perut kembung (+)↓, BAB berwarna kehijauan (+), BAK (+) stomatitis (-), demam (-)
HR : 104x/i
RR : 32x/i
Temp : 360C
Dx : hisprung + anemia
IVFD ringer laktat 12gtt/i
IV cefotaxime 600 mg / 12 jam
Laxadine 3xcth 1
constantitia
BAB IIITINJAUAN PUSTAKA
3.1 Pengertian
Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel
ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidakadaan ini
16
menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya
evakuasi usus spontan20
.Penyakit hirschprung adalah suatu kelainan tidak adanya
sel ganglion parasimpatis pada usus, dapat dari kolon sampai usus halus13
.
Penyakit Hirschsprung”s (PH) adalah suatu penyakit akibat obstruksi
fungsional yang berupa aganglionis usus, dimulai dari sfingter anal internal ke
arah proximal dengan panjang segmen tertentu, setidak –tidaknya melibatkan
sebagian rektum. Penyakit Hirschprung (PH) dtandai dengan tidak adanya sel
ganglion di pleksus auerbach dan meissner7
.
3.2 Insidensi
Insiden PH pada bayi aterm dan cukup bulan diperkirakan sekitar
1:5000 kelahiran dan lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan dengan perbandingan 4:1.Risiko tertinggi terjadinya hisprung
biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat keluarga PH dan pada
pasien penderita Down Syndrome11
.
Data Penyakit Hirschprung di Indonesia belum ada. Bila benar
insidensnya 1 dari 5.000 kelahiran, maka dengan jumlah penduduk di
Indonesia sekitar 220 juta dan tingkat kelahiran 35 per mil, diperkirakan
akan lahir 1400 bayi lahir dengan Penyakit Hirschsprung7
.
3.3 Etiologi
Ada berbagai teori penyebab dari penyakit hirschsprung, dari
berbagai penyebab tersebut yang banyak dianut adalah teori karena
17
kegagalan sel-sel krista neuralis untuk bermigrasi ke dalam dinding suatu
bagian saluran cerna bagian bawah termasuk kolon dan rektum. Akibatnya
tidak ada ganglion parasimpatis (aganglion) di daerah tersebut. sehingga
menyebabkan peristaltik usus menghilang sehingga profulsi feses dalam
lumen terlambat serta dapat menimbulkan terjadinya distensi dan
penebalan dinding kolon di bagian proksimal sehingga timbul gejala
obstruktif usus akut, atau kronis tergantung panjang usus yang mengalami
aganglion14
.
3.4 Anatomi dan fisiologi colon
Rektum memiliki 3 buah valvula: superior kiri, medial kanan dan inferior
kiri. 2/3 bagian distal rektumterletak di rongga pelvik dan terfiksasi, sedangkan
1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian
ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang
dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari
usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal,
dikelilingi oleh sphincter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot yang mengatur
pasase isi rektum ke dunia luar. Sphincter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas,
medial dan depan22
Persarafan motorik spinchter ani interna berasal dari serabut saraf
simapatis (N. hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan
serabut saraf parasimpatis (N. splanknicus) yang menyebabkan relaksasi
usus. Kedua jenis serabut saraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan
muskulus levator ani dipersarafi oleh N. Sakralis III dan IV. Nervus
18
pudendalis mempersarafi sphincter ani eksterna dan m.puborektalis. saraf
simpatis tidak mempengaruhi otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol
oleh N.splanknikus (parasimpatis). Akibatnya kontinensia sepenuhnya
dipengaruhi oleh N.pudendalis dan N. Splanknikus pelvik (saraf
parasimpatis)22
.
Sistem saraf otonomik instrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :
pleksus auerbach terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal,
pleksus henle terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler, pleksus
meissner terletak di submukosa. Pada penderita penyakit hisprung tidak
dijumpai ganglion pada ketiga pleksus tersebut7
.
3.5 Patofisiologi
Istilah megakolon aganglionik menggambarkan adanya kerusakan
primer dengan tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatik otonom pada
pleksus submukosa (Meissner) dan myenterik (Auerbach) pada satu
segmen kolon atau lebih. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan
atau tidak adanya gerakan tenagapendorong (peristaltik), yang
menyebabkan akumulasi/ penumpukan isi usus dandistensi usus yang
berdekatan dengan kerusakan (megakolon). Selain itu, kegagalan sfingter
anus internal untuk berelaksasi berkontribusi terhadap gejala klinis adanya
obstruksi, karena dapat mempersulit evakuasi zat padat (feses), cairan, dan
gas1
.
Persarafan parasimpatik yang tidak sempurna pada bagian usus
yang aganglionik mengakibatkan peristaltik abnormal, konstipasi dan
19
obstruksi usus fungsional. Di bagian proksimal dari daerah transisi terjadi
penebalan dan pelebaran dinding usus dengan penimbunan tinja dan gas
yang banyak. Penyakit Hirschsprung disebabkan dari kegagalan migrasi
kraniokaudal pada prekursor sel ganglion sepanjang saluran
gastrointestinal antara usia kehamilan minggu ke-5 dan ke-12. Distensi
dan iskemia pada usus bisa terjadi sebagai akibat distensi pada dinding
usus, yang berkontribusi menyebabkan enterokolitis (inflamasi pada usus
halus dan kolon), yang merupakan penyebab kematian pada bayi/anak
dengan penyakit Hirschsprung3
.
3.6 Manifestasi Klinis
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama)
merupakan tanda klinis yang signifikan. Pada lebih dari 90% bayi normal,
mekonium pertama keluar dalam usia 24 jam pertama, namun pada lebih
dari 90% kasus hisprung mekonium keluar setelah 24 jam. Mekonium
normal berwarna hitam kehijauan, sedikit lengket dan dalam jumlah
cukup. Distensi abdomen merupakan gejala penting lainnya, yang
merupakan manifestasi obstruksi usus letak rendah. Tidak keluarnya
mekonium pada 24 jam pertama kehidupan merupakan tanda yang
signifikan mengarah pada diagnosis PH10
.
Pada anak yang lebih besar, pada beberapa kasus dapat mengalami
kesulitan makan, distensi abdomen yang kronis dan ada riwayat
20
konstipasi. PH dapat juga menunjukkan gejala lain seperti adanya fekal
impaction, demam, diare yangmenunjukkan adanya tanda-tanda
enterokolitis, malnutrisi, anemia dan gagal tumbuhkembang (kessman,
2006).Beratnya gejala ini dan derajat konstipasi bervariasi antara pasien
dan sangat individual untuk setiap kasus. Beberapa bayi dengan gejala
obstruksi intestinal komplit dan lainnya mengalami beberapa gejala ringan
pada minggu atau bulan pertama kehidupan (Kartono, 2004).Adanya feses
yang menyemprot pas pada colok dubur merupakan tanda yang khas. Bila
telah timbul enterokolitis nikrotiskans terjadi distensi abdomen hebat dan
diare berbau busuk yang dapat berdarah10
.
Enerocolitis terjadi pada 12-58% pada pasien dengan penyakit
hisprung. Hal ini karena stasis feses menyebabkan iskemia mukosal dan
invasi bakteri juga translokasi disertai perubahan komponen musim dan
pertahanan mukosa, perubahan sel neuroendokrin, meningkatnya aktivitas
prostaglandin E1, infeksi oleh Clostridium difficile atau rotavirus.
Enterocolitis yang berat dapat berupa toxic megacolon yang mengancam
jiwa, yang ditandai dengan demam, muntah berisi cairan empedu, diare
yang menyemprot, distensi abdominal, dehidrasi dan syok. Ulserasi dan
nekrosis iskemik pada mukosa yang berganglion dapat mengakibatkan
sepsis dan perforasi7
.
3.7 Pemeriksaan penunjang
Diagnostik pada PH dapat ditegakkan dengan beberapa
pemeriksaan penunjang :
21
1. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya barium enema
merupakan pemeriksaan diagnostik untuk mendeteksi PH secara dini pada
neonatus. Keberhasilaan pemerikasaan radiologi pasien neonatus sangat
bergantung pada kesadaran dan pengalaman spesialis radiologi pada
penyakit ini, disamping teknik
yang baik dalam memperlihatkan tanda-tanda yang diperlukan untuk penegakkan
diagnosis 9
.
a. Foto polos abdomen
PH pada neonatus cenderung menampilkan gambaran obstruksi usus letak
rendah. Daerah pelvis terlihat kosong tanpa udara. Gambaran obstruksi usus letak
rendah dapat ditemukan penyakit lain dengan sindrom obstruksi usus letak
rendah, seperti atresia ileum, sindrom sumbatan mekonium, atau sepsis. Pada
pasien bayi dan anak gambaran distensi kolon dan gambaran masa feses lebih
jelas dapat terlihat.1 Selain itu, gambaran foto polos juga menunjukan distensi
usus karena adanya gas17
.
Gambar 3.a. Foto polos abdomen pada noenatus dengan PH.
b. Barium enema
22
Pemeriksaan barium enema harus dikerjakan pada neonatus dengan
keterlambatanevakuasi mekonium yang disertai dengan distensi abdomen
dan muntah hijau,meskipun dengan pemeriksaan colok dubur gejala dan
tanda-tanda obstruksi usustelah mereda atau menghilang. Tanda klasik
khas untuk PH adalah segmen sempitdari sfingter anal dengan panjang
segmen tertentu, daerah perubahan dari segmensempit ke segmen dilatasi
(zona transisi), dan segmen dilatasi. Hal terpenting dalam foto barium
enema adalah terlihatnya zona transisi. Zona transisi mempunyai 3 jenis
gambaran yang bisa ditemukan pada foto barium
enema yaitu Abrupt, perubahan mendadak; Cone, berbentuk seperti corong atau
kerucut; Funnel, bentuk seperti cerobong9
.
Gambar 3.b. Barium enema penderitaHirschsprung.penyempitan,dilatasi sigmoid.
2. pemeriksaan histopatologi
Standar diagnosis untuk PH adalah pemeriksaan histopatologi yang
dapatdikerjakan dengan open surgery atau biopsi isap rektum. Pada kolon
yang normalmenampilkan adanya sel ganglion pada pleksus mienterik
23
(Auerbach) dan pleksussub-mukosa (Meissner). Diagnosis histopatologi
PH didasarkan atas absennya selganglion pada kedua pleksus tersebut.
Disamping itu akan terlihat dalam jumlahbanyak penebalan serabut saraf
(parasimpatis). Akurasi pemeriksaan akansemakin tinggi apabila
menggunakan pengecatan immunohistokimiaasetilkolinesterase, suatu
enzim yang banyak ditemukan pada serabut sarafparasimpatis,
dibandingkan dengan pengecatan konvensional dengan haematoxylin eosin
9.
Gambar 3.c. Pengecatan Acetylcholinesterase daribiopsy hisap rectum. Normal rektum menunjukanminimal aktivitas Acetylcholinesterase dari lamina
propia dan ganglion submukosa(puri)
3. Anorectal manometry
Dapat digunakan untuk mendiagnosa penyakit hisprung, gejala yang
ditemukan adalah kegagalan relaksasi sphincter ani interna ketika rectum
dilebarkan dengan balon. Keuntungan metode ini adalah dapat segera dilakukan
dan pasien bisa langsung pulang karena tidak dilakukan anestesi umum 20
24
Gambar 3.d : gambaran manometri anorekatal,yang memakaibalon berisi udara sebagai transducernya. PadapenderitaHirschsprung (kanan),
tidak terlihat relaksasi sfingter ani.
4. Biopsy rectal
Merupakan gold standard untuk mendiagnosis penyakit hisprung. Pada
bayi baru lahir metode ini dapat dilakukan dengan morbiditas minimal karena
menggunakan suction khusus untuk biosy rectum. Untuk pengambilan sampel
biasanya diambil 2 cm diatas linea dentate dan juga mengambil sampel yang
normal jadi dari yang normal ganglion hingga yang aganglionik. Metode ini
menggunakan anestesi umu karena contoh yang diambil pada mukosa rectal lebih
tebal5
.
3.8 Diagnosis banding
Diagnosis banding dari penyakit hirschsprung didasarkan pada beberapa
penyakit yang mempunyai gejala obstruksi letak rendah yang mirip penyakit
hirschsprung. Pada neonatal gejala yang mirip dengan penyakit hirschsprung
dapat berupa meconium plug syndrome, stenosis anus, prematuritas, enterokolitis
25
nekrotikans, dan fisura ani. Sedangkan pada anak-anak yang lebih besar diagnosis
bandingnya dapat berupa konstipasi oleh karena beberapa sebab, stenosis anus,
tumor anorektum, dan fisura anus6
.
3.9 Penatalaksanaan
Penyembuhan penyakit Hirschsprung hanya dapat dilakukan
dengan pembedahan. Tindakan-tindakan medis dapat dilakukan tetapi
untuk menangani distensi abdomen dengan pemasangan pipa anus atau
pemasangan pipa lambung dan irigasi rektum. Pemberian antibiotika
dimaksudkan untuk pencegahan infeksi terutama untuk enterokolitis dan
mencegah terjadinya sepsis. Cairan infus dapat diberikan untuk menjaga
keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa tubuh19
.
Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu
tahap pertamadengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan
melakukan operasi definitif. Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan
darurat untuk mencegah komplikasidan kematian. Pada tahapan ini
dilakukan kolostomi, sehingga akan menghilangkandistensi abdomen dan
akan memperbaiki kondisi pasien. Tahapan kedua adalah dengan
melakukan operasi definitif dengan membuang segmen yang ganglionik
dengan bagian bawah rektum20
.
Terapi untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dapat dilakukan
seperti berikut : berikan diet TKTP rendah,lunak sedikit tapi sering ,
kemudian anjurkan minum hangat / oral higien sebelum makan, pantau BB
tiap 3 hari sekali.
26
3.10 Komplikasi
Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat
digolongkanatas kebocoran anastome, stenosis, enterokolitis dan gangguan
fungsi sfingter. Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus pada
penderita penyakit
Hirschsprung yang diakibatkan oleh karena iskemia mukosa dengan invasi bakteri
dan translokasi. Perubahan-perubahan pada komponen musin dan sel
neuroendokrin, kenaikan aktivitas prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile
atau rotavirus dicurigai sebagai penyebab terjadinya enterokolitis. Pada keadaan
yang sangat berat enterokolitis akan menyebabkan megakolon toksik yang
ditandai dengan demam, muntah hijau, diare hebat, distensi abdomen, dehidrasi
dan syok4
.
Infeksi pada penyakit Hirschsprung bersumber pada kondisi
obstruksi usus letak rendah. Distensi usus mengakibatkan hambatan
sirkulasi darah pada dinding usus, sehingga dinding usus mengalami
iskemia dan anoksia. Jaringan iskemik mudah terinfeksi oleh kuman, dan
kuman menjadi lebih virulen. Terjadi invasi kuman dari lumen usus, ke
mukosa, sub mukosa, lapisan muscular, dan akhirnya ke rongga peritoneal
atau terjadi sepsis12
.
3.11 Prognosis
27
Kelangsungan hidup pasien dengan penyakit Hirschsprung sangat
bergantungpada diagnosis awal dan pendekatan operasi. Secara umum
prognosisnya baik, 90% pasien dengan penyakit Hirschsprung yang
mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya
sekitar 10% pasien yang masih mempunyai masalah dengan saluran
cernanya sehingga harus dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian
akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%18
.
28
BAB IVPENUTUP
4.1 Kesimpulan
Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya
sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Penyakit
hisprung merupakan penyakit anomaly congenital yang bila ditegakkan
secara dini dan ditangani secara tepat dapat menghasilkan prognosis yang
baik.Untuk menegakkan diagnosis dapat dilihat dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, gejalaklinis dan pemeriksaan penunjang. Gejala klinis
yang khas pada PH lebih dari90% kasus PH mekonium keluar setelah 24
jam yang diikuti distensi abdomenserta obtipasi kronik yang merupakan
manifestasi obstruksi usus letak rendah.Sedangkan untuk anak yang lebih
besar mempunyai gejala klinis kesulitan makan,distensi abdomen yang
kronis dan ada riwayat konstipasi berulang serta gagaltumbuh kembang.
Pada beberapa bayi yang baru lahir atau yang lebih besar dapattimbul diare
yang menunjukkan adanya enterokolitis yang bila tidak ditanganidapat
menyebabkan kematian. Enterokolitis ini merupakan komplikasi
terseringPH yang ditandai dengan demam, muntah berisi empedu, diare
29
yang menyemprotserta berbau busuk, distensi abdominal, dehidrasi dan
syok.
Penyembuhan penyakit Hirschsprung hanya dapat dilakukan
dengan pembedahan. Pemberian antibiotika untuk pencegahan infeksi dan
pemberian infus diberikan untuk menjaga keseimbangan cairan, elektrolit,
dan asam basa tubuh
DAFTAR PUSTAKA
1. Betz, Cecily, dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik, Edisi 3. Jakarta :
EGC.
2. Budi. 2010. Asuhan Keperawatan pada Penyakit Hisprung. Disitasi dari
http://www.mediakeperawatan.com/?id=budixtbn. pada tanggal 26 Oktober
2010.
3. Corwin, elizabeth J.2000.Buku saku patofisiologi. Jakarta : EGC
4. Dermawan, Deden dkk, 2010, Keperawatan Medikal Bedah Sistem
Pencernaan. Yogyakarta: Goysen Publishing.
5. Gerson KE. Hirschsprung’s Disease in: Ashcraft Pediatric Surgery 5th
edition. Philadelphia. W.B. Saunders Company;2009:p456-475
6. Izadi M, Mansour MF, Jafarshad R, Joukar F, Bagherzadeh AH, Tareh F.
Clinical Manifestations of Hirschsprung’s Disease: A Six Year Course
Review of Admitted Patients in Gilan, Northern Iran. Middle East Journal of
Digestive Diseases. 2009;1:68-73
30
7. Kartono Darmawan. Penyakit Hirschsprung. Sagung Seto. Jakarta. 2004.
8. Kessman JMD. Hirschsprung Disease: Diagnosis and Management
American Family Physician. 2006;74:1319-1322
9. Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital
Anomalies of The Gastrointestinal Tract In: Caffey’s Pediatric Diagnostic
Imaging 10th edition. Elsevier-Mosby. Philadelphia. Page 148-153
10. Mansjoer, Arif.2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-3, Jakarta : Media
Aesulapius FKUI
11. Munahasrini.2012.askep anak dengan hisprung. Disitasi dari
https://munahasrini.wordpress.com/2012/04/13/askep-anak-dengan-
hisprung/.
12. Nelson, W. ( 2000 ). Ilmu Kesehatan Anak. Alih Bahasa A Samik Wahab.
Jakarta : EGC
13. Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit, Edisi 2. Jakarta : EGC
14. Nurko SMD. Hirschsprung Disease. Center for Motility and Functional
Gastrointestinal Disorders.2007
15. Pasumarthy L and Srour JW. Hirschsprung’s Disease:A Case To Remember.
Practical Gastroenterology. 2008:42-45.
16. Puri P. Hirschsprung’s Disease and Variants in: Pediatric Surgery. London.
Spinger; 2009:page 453-462.
17. Rahman Z, Hannan J, Islam S. Hirschsprung's Disease: Role of Rectal
Suction Biopsy-Data on 216 Specimens. Journal of Indian Association
Pediatric Surgery. 2010;15:56-58.
31
18. Taylor, M. Cynthia, Sheila Sparks Ralph.2010.Diagnosis Keperawatan
dengan Rencana Asuhan Edisi : 10.Jakarta : EGC.
19. Wansjoer A. Tatalaksana Penyakit hirschsprung. Avalaible :
http://www.surgicaltutor.org.uk/pictures/images/hne&p/hirschsprungs3.jpg.
Acces: 5 januari 2010
20. Warner B.W.2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in TOWNSEND
SABISTON TEXTBOOK of SURGERY.17th edition, Elsevier-Saunders.
Philadelphia. Page 2113-2114
21. Wong, Donna L.2003. pedoman klinis keperawatan pediatrik. Sri
Kurnianingsih (Fd), Monica Ester (alih bahasa) edisi – 4, Jakarta : EGC
22. Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. 2003. Hisprung Disease in :
Operative PEDIATRIC Surgery. McGraw-Hill. New York. Page 617-640
32