229
TASAWUF DI KALANGAN INTELEKTUAL MUHAMMADIYAH KOTA SEMARANG T E S I S Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam Oleh: A. SYA’RONI TISNOWIJAYA NIM : 5202069 PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) WALISONGO SEMARANG 2008

Tasawuf Di Kalangan Intelktual Muhammadiyah Kota Semarang

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tasawuf

Citation preview

  • TASAWUF DI KALANGAN INTELEKTUAL

    MUHAMMADIYAH KOTA SEMARANG

    T E S I S

    Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam

    Oleh:

    A. SYARONI TISNOWIJAYA

    NIM : 5202069

    PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) WALISONGO

    SEMARANG 2008

  • 2

    DR. H. ABDUL MUHAYYA, MA. Gedung Dekanat Fakultas Ushuluddin Jl. Prof. Dr. HAMKA, Kampus II IAIN Walisongo Semarang 50189, Telp. 024-7625443 & 08122804394 ---------------------------------------------------------

    NOTA PEMBIMBING

    Dengan ini saya menerangkan bahwa Tesis Saudara: H. AHMAD SYARONI,

    NIM: 5202069, Konsentrasi Etika Islam/Tasawuf, berjudul TASAWUF DI

    KALANGAN INTELEKTUAL MUHAMMADIYAH KOTA SEMARANG, telah

    memenuhi syarat untuk diujikan sebagai tesis pada Program Pascasarjana IAIN

    Walisongo Semarang, tahun akademik 2008/ 2009.

    Semarang, 21 Juli 2008

    Pembimbing

    DR. H. ABDUL MUHAYYA, MA. NIP. 150245380

  • 3

    DEKLARASI

    DENGAN PENUH KEJUJURAN DAN TANGGUNG JAWAB, PENULIS

    MENYATAKAN BAHWA TESIS INI TIDAK BERISI MATERI YANG TELAH

    DAN ATAU PERNAH DITULIS DAN DITERBITKAN ORANG LAIN KECUALI

    INFORMASI YANG TERDAPAT DALAM REFERENSI YANG DIJADIKAN

    BAHAN RUJUKAN.

    Semarang, 20 Juli 2008

    Penulis,

    H. ACHMAD SYARONI NIM : 5202069

  • 4

    ABSTRAKS

    Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimanakah persepsi dan

    implementasi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap ajaran tasawuf. Tujuan umum yang akan dicapai adalah untuk mengungkap, mengetahui dan mendeskripsikan persepsi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap tasawuf, serta mengungkapkan implementasi dari persepsi tersebut. Jenis penelitian ini adalah kualitatip dengan mengunakan pendekatan naturalistik.

    Muhammadiyah secara formal memang menolak tasawuf, karena tasawuf, menurut Muhammadiyah, seringkali diselewengkan menjadi tarekat dengan praktik-praktik ritual yang sangat ketat. Di Muhammadiyah tidak ada tawash-shulan, yasinan, tahlilan atau manaqiban seperti yang dipunyai NU, tetapi bukan berarti bahwa amalan-amalan tasawuf dan dzikir tidak dilakukan warga Muhammadiyyah. Amalan-amalan tasawuf dapat diterima oleh mereka sepanjang menjadi praktik individual, dengan tujuan untuk meningkatkan akhlaq terpuji. Muhammadiyah juga sangat menganjurkan para anggotanya untuk memperbanyak shalat sunnat, dzikir dan wirid, serta mengedepankan sikap ikhlas dalam beraktivitas. Sampai saat ini sikap hidup yang demikian masih terus dijalankan oleh tokoh dan warga Muhammadiyah.

    Hasil penelusuran terhadap landasan dasar Muhammadiyah tidak dijumpai adanya konsep tasawuf secara formal seperti yang umum dilakukan dikalangan NU, yang ada hanyalah tasawuf substantive atau nilai-nilai tasawuf yang sesuai dengan ajaran dasar al Quran san Sunnah.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum terdapat tiga sikap dikalangan intelektual Muhammadiyah terkait dengan eksistensi tasawuf yaitu menolak secara total, terbuka terhadap keberadaan tasawuf dan sikap yag terakhir adalah akoodatif. Pertama, kelompok yang menolak secara total. Kelompok ini beranggapan bahwa beribadah adalah suatu konsep yang sudah paten dan tidak boleh direkayasa dan mengada-ada. Apabila kedua hal ini yang dilakukan maka beribahah akan menjadi kacau. Dalam perspektif Muhammadiyah, landasan utama yang mendasari setiap ibadah manusia adalah Quran dan Sunnah, sehingga apabila di dalam Quran dan Sunnah tidak ada konsep tertentu tentang suatu ibadah, tasawuf misalnya, secara otomatis maka hal tersebut tidak boleh dilakukan. Kedua, bersikap terbuka terhadap tasawuf. Kelompok ini beranggapan bahwa di Muhammadiyah, konsep tasawuf secara formal tidak dikenal, yang ada hanyalah dzikir. Dzikir ada dalam Muhammadiyah bukan dipahami sebagai salah satu elemen dari tasawuf melainkan memang dzikir diajarkan dalam Islam. Dzikir dalam Muhammadiyah adalah konsep dzikir yang diajarkan oleh Rosulullah. Ketiga, akomodatif terhadap tasawuf. Kelompok ini beranggapan tasawuf tidak sering ditemui di dalam Muhammadiyah. Konsep yang digunakan oleh Muhammadiyah untuk terminology spiritualitas ini lebih sering disebut dengan istilah akal dan hati suci sebagaimana yang diungkapkan oleh Munir Mulkhan atau irfan dalam istilah Amin Abdullah. Tasawuf dalam Muhammadiyah menurut kelompok ketiga ini adalah Spiritualitas yang Syariahistik.

  • 5

    KATA PENGANTAR

    Selama ini para peminat kajian tasawuf cukup kesulitan memberikan batasan

    definitif tentang makna tasawuf itu sendiri. Oleh karenanya, tidak heran bila dari

    diskursus tasawuf lahirlah mazhab intepretasi yang beragam. Secara garis besar minimal

    ada dua pendekatan yang dilakukan dalam membincangkan tasawuf. Pendekatan

    pertama adalah pendekatan yang purifikatif sehingga melahirkan kecendrungan

    ahistoris. Tasawuf dalam mazhab ini dianggap hanyalah sumber malapetaka yang bisa

    menjerumuskan umat Islam ke dalam fase kegelapan. Pendekatan kedua adalah

    pendekatan dengan menggunakan logika akomodatif. Tanpa usaha filterisasi yang

    dalam, mazhab kedua ini cenderung menerima apa saja yang datang dari tasawuf. Oleh

    sebab itu, yang pertama terkesan rigid dan kering spiritual, yang kedua ini cenderung

    gampang tersusupi oleh faham-faham yang tidak jelas landasan teologisnya.

    Tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini selalu ada kesan negatif dalam ranah

    tasawuf. Contohnya adalah ajaran mengenai kesalehan individual yang lebih

    mementingkan dimensi ketuhanan ketimbang care pada aspek kemanusiaan dan

    kemasyarakatan. Dengan karakter yang demikian, tasawuf kemudian menjadi

    cenderung, meminjam bahasa Hasan Hanafi, teosentris. Seolah-olah hidup di dunia

    hanya untuk kepentingan Tuhan saja. Akibatnya adalah dimensi hablu min al-ns

    menjadi banyak terabaikan. Contoh lain dari kesan negatif pada tasawuf adalah ajaran

    non-egaliter dan irasional. Sebagaimana banyak disebutkan dalam literatur-literatur

    tasawuf bahwa seorang murid ketika berhadapan dengan syaikh bagaikan seorang mayit

  • 6

    yang terbujur kaku di depan orang yang memandikannya. Ini tentu bertentangan dengan

    semangat tauhid Islam yang menekankan kesetaraan antar sesama.

    Di sisi lain, diperlukan pengakuan jujur bahwa tasawuf telah melahirkan banyak

    hal positif. Dari tasawuf inilah lahir konsep sistematis tentang zuhud, sabar, ikhlas,

    qanah dan urusan akhlak lainnya. Disamping itu apabila tasawuf digunakan sesuai

    dengan porsinya dan bisa diharmonisasikan secara tepat dengan tarekat, maka dari

    tasawuf ini akan lahir kekuatan revolusi melawan despotisme, imperialisme dan

    diktatorisme seperti yang dilakukan gerakan Sanusiyah di Libiya. Jadi intinya tasawuf

    memang tidak hanya memilih sisi negatif saja. Ia, sama seperti entitas lain, juga

    memiliki sisi positif.

    Sebagai akhir, penulis perlu mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak

    yang telah membantu dalam proses penelitian ini yang diantaranya adalah:

    1. PROF. DR. H. ABDUL DJAMIL, MA, Rektor Institut Agama Islam Negeri

    (IAIN) Walisongo Semarang,

    2. PROF. DR. AHMAD GUNARYO. M.Soc.Sc, Direktur Program Pascasarjana

    IAIN Walisongo Semarang, dan PROF. DR. SUPARMAN SYUKUR, MA, Selaku

    Asdir I Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang dan PROF. DR.

    ISMAWATI. M.Ag, selaku Asdir II Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang

    3. DR. H. ABDUL MUHAYA, MA, sebagai pembimbing yang telah mencurahkan

    waktu, pikiran, tenaga dan kesabaran selama membimbing dan mengarahkan penulis

    dalam penulisan Tesis ini.

  • 7

    4. Seluruh Civitas Akademika Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang yang tidak

    penulis sebutkan satu-persatu yang telah memberikan layanan yang diperlukan

    dalam proses penyelesaian tesis ini.

    5. Seluruh Civitas Akademika Institut Agama Islam NU (Inisnu) Jepara terkhusus

    simbah KH. A. SAHAL MAHFUDZ, selaku Rektor.

    6. Seluruh sahabat karibku yang telah memberikan dorongan dan motivasi sehingga

    Tesis ini dapat diselesaikan sebagaimana diharapkan.

    Akhirnya, penulis berharap semoga penulisan tesis ini bermanfaat kepada para

    pembaca dan memberikan sedikit pencerahan.. Amin.

    Semarang, 10 Juli 2008

    Penulis,

    H. ACHMAD SYARONI NIM: 5202069

  • 8

    TRANSLITERASI

    Tesis ini ditulis dengan menggunakan pedoman transliterasi sebagai berikut:

    = ` = z = q

    = b = s = k

    = t = sy = l

    = ts = sh = m

    = j = dl = n

    = h = th = w

    = kh = zh = h

    = d = = y

    = dz = gh = at/ah

    = r = f

  • 9

    MOTTO:

    "Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan

    kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh." (QS. An-

    Naml : 19)

  • 10

    PERSEMBAHAN

    Tesis ini saya persembahkan kepada:

    1. Istri (Hj. ANI ROHANI), Anak-anakku (SHOFAUSSAMAWATI,

    S.Ag. M.SI dan keluarga, SUSI AMALIA, S.Ag dan keluarga serta

    M. NASRUL HAQQI), cucu-cucuku (M. AZKA AZKIA, M.

    AHDA MANIHTADA, NAJWA IMANIA dan M. AUVA

    BIAHDIH), terima kasih atas semangat, doa dan motivasinya

    sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

    2. Civitas Akademika Institut Agama Islam NU (INISNU) Jepara,

    terima kasih atas kepercayaan dan kerjasamanya selama ini.

    3. Peminat kajian tasawuf semuanya, semoga penelitian ini dapat

    memberikan setitik pencerahan.

  • 11

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL i

    HALAMAN NOTA PEMBIMBING ii

    HALAMAN PENGESAHAN iii

    HALAMAN DEKLARASI iv

    HALAMAN ABSTRAKSI v

    HALAMAN KATA PENGANTAR vi

    HALAMAN TRANSLITERASI ix

    HALAMAN MOTTO x

    HALAMAN PERSEMBAHAN xi

    DAFTAR ISI xii

    BAB I : PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah 1

    B. Perumusan Masalah 8

    C. Tujuan Penelitian 8

    D. Kajian Pustaka 8

    E. Metode Penelitian 15

    F. Sistematika Penulisan 19

    BAB II : DESKRIPSI TENTANG BERBAGAI PEMAHAMAN YANG

    TERKAIT DENGAN TASAWUF, MAQOMAT DAN THAREKAT

    A. Deskripsi Tentang Tasawuf 23

    B. Deskripsi Tentang Kemunculan Tasawuf 34

    C. Maqomat: Perjalanan Menuju Hakekat 37

  • 12

    D. Tharekat: Berbagai Jalan Menuju Tuhan 48

    E. Rekonstruksi Terhadap Tasawuf 67

    BAB III : TASAWUF DALAM PERSPEKTIP MUHAMMADIYAH:

    SEBUAH PENELUSURAN AWAL

    A. Historisitas Muhammadiyah 74

    B. Identitas Dasar Muhammadiyah 79

    C. Misi Muhammadiyah 83

    D. Penelusuran Landasan Dasar Muhammadiyah

    1. Substansi Muqodimah Anggaran Dasar 87

    2. Substansi Kepribadian Muhammadiyah 88

    3. Substansi MKCHM 90

    4. Substansi Hakekat Muhammadiyah 92

    5. Substansi Khittah Perjuangan Muhammadiyah 95

    6. Substansi Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah 100

    E. Deskripsi Tentang Zhawhir al-Afkr al-Muhammadiyyah 103

    F. Melacak Tasawuf dalam Akar idiologi Muhammadiyah 113

    G. Tasawuf Muhammadiyah: Sebuah Hasil penelusuran 120

    BAB IV : TASAWUF DALAM PERSPEKTIP INTELEKTUAL

    MUHAMMADIYAH KOTA SEMARANG

    A. Deskripsi Historis-geografis kota Semarang 127

    B. Deskripsi Tentang Tasawuf Dalam Perspektip Intelektual

    Muhammadiyah Kota Semarang 132

    1. Menolak Secara Total Eksistensi Tasawuf 134

    2. Bersikap terbuka Terhadap Tasawuf 149

    3. Akomodatif terhadap Tasawuf 160

    C. Spiritualitas Syariahistic: Formulasi Tasawuf Muhammadiyah 188

    1. Urban Sufisme 188

    2. Neo Sufisme 191

    3. Tasawuf Positif 194

  • 13

    4. Tasawuf Modern Hamka 197

    D. Analisis terhadap Tasawuf Dalam Perspektip Intelektual

    Muhammadiyah Kota Semarang 199

    1. Tasawuf itu Bidah? 200

    2. Penggolongan Tasawuf dalam Kategori-Kategori 208

    3. Muhammadiyah Menolak Tasawuf? 211

    BAB V : PENUTUP

    A. Kesimpulan 216

    B. Saran 219

    C. Penutup 219

  • 14

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Realitas kehidupan manusia akhir-akhir ini apabila dicermati telah

    mengalami kejenuhan-kejenuhan yang pada tingkat tertentu mengakibatkan manusia

    mengambil tindakan yang oleh rasionalitas dianggap sangat mustahil. Ini terefleksi

    setidaknya dengan memperhatikan peristiwa bunuh diri massal atas nama agama1

    serta fenomena kekerasan yang menjadi kecenderungan akhir-akhir ini2. Dari kedua

    hal itu, bisa dipahami bahwa kehidupan kemanusiaan mengalami sebuah tantangan

    besar untuk mempertahankan eksistensinya. Tantangan tersebut bukanlah merupakan

    suatu ancaman, tetapi realitas yang harus disikapi dan dihadapi. Apabila

    diformulasikan tantangan kemanusiaan tersebut mengarah pada dua hal yaitu krisis

    modernitas dan krisis pemahaman agama.

    Krisis modernitas oleh Nasir (1997: 3) dimaknai sebagai mewabahnya

    anomi bagi kehidupan bermasyarakat. Anomi adalah suatu keadaaan di mana setiap

    individu kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan dengan

    1 Fenomena Falun Gong merupakan salah satu contoh proses irrasionalitas ini. Falun Gong

    adalah organisasi keagamaan yang lebih dimonopoli ajaran meditasi yang mengabungkan ajaran Budhis dan Taois, di Cina pada tahun 1996 dan dipimpin oleh Li Hongzhi. Menurut Azra (1999: 75-78), Falun Gong merupakan fenomena baru dalam beragama yang menitik beratkan pada aspek kultus. Organisasi semacam ini diantaranya adalah The Moorish Science Temple di Amerika Serikat, serta The International Society for Khrisna Consciousness, The Children of God, The Peoples Temple (Jim Jones), dan The Unification of Church (The Moonies) yang kesemuanya oleh beberapa kalangan disebut sebagai New Religions.

    2 Kekerasan sebagai sebuah tren bisa dirujuk dalam peristiwa-peristiwa seperti rentetan kerusuhan dan kekerasan di Sampit, Ambon, Aceh, Maluku, serta banyak tempat lainnya di Indonesia maupun dunia diantaranya peruntuhan WTC dan pembantaian atas mana agama di Israel serta Bosnia yang kesemuanya menggunakan kekerasan sebagai piranti utama untuk aksi mereka.

  • 15

    manusia yang lain, sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang memberikan

    petunjuk tentang tujuan dan arti kehidupan di dunia ini. Proses ini dalam

    perjalanannya akan mengarah pada rusaknya norma serta kaidah kamasyarakatan

    yang menjadi acuan umum dalam kehidupan. Haidar Nasir memberikan deskripsi

    menarik tentang hal ini dengan mengatakan:

    Daniel Bell telah lama menyurakkan kegelisahan dan penyesalan atas modernisasi yang telah mencerabut dan melenyapkan nilai-nilai luhur kehidupan tradisional yang digantikan oleh nilai-nilai kemodernan masyarakat borjuis-perkotaan yang penuh keserakahan dan seribu nafsu untuk menguasai bagaimana sebagaimana watak masyarakat modern kapitalis. Para sosiolog melihat gejala krisis manusia modern itu dalam skala kehidupan masyarakat yaitu mengambarkan kemunduran sebagai lawan dari kemajuan, sebagai kenyataan sosial yang tidak terbantah. Terdapat kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat, pertama-tama berlangsung pada level pribadi yang berkaitan dengan motif, persepsi, dan respon, termasuk didalamnya konflik status dan peran. Kedua, berkenaan dengan norma yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang harus menjadi patokan kehidupan prilaku yang oleh Durkheim disebut dengan kehidupan tanpa acuhan norma. Pada level kebudayaan, krisis itu berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat yang oleh Ogburn disebut gejala kesenjangan kebudayaan, atau cultural lag. Bahwa nilai-nilai dan pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat jauh melampaui hal-hal yang bersifat spiritual, sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan. Tidak berlebihan, jika Ali Syariati secara tegas melukiskan fenomena penyakit manusia modern sebagai malapetaka modern yang menyebabkan kemerosotan dan kehancuran manusia (Nasir, 1997: 3).

    Selain anomi, yang merupakan salah satu dari indikasi krisis modernitas, hal

    lain yang sangat menonjol dalam realitas adalah munculnya berbagai penyakit

    keterasingan, yang menurut Heradi Nurhadi (1997: 6) mewujud dalam beberapa

    penyakit keterasingan yang terdiri dari keterasingan ekologis, etologis, masyarakat

    dan kesadaran.

  • 16

    Keterasingan ekologis. Dalam keterasingan ini manusia secara mudah

    merusak alam dan kekayaan yang terkandung di bumi ini dengan penuh kerakusan

    tanpa peduli kelangsungan hidup di masa depan bagi semua orang. Keterasingan

    etologis, dimaknai sebagai sebuah gejala dimana manusia mengingkari hakekat

    dirinya hanya karena perebutan materi dan mobilitas kehidupan. Keterasingan

    masyarakat, dalam posisi ini ditandai dengan munculnya keretakan dan kerusakan

    dalam hubungan antar manusia dan antar kelompok, sehingga lahir disintegrasi

    sosial. Keterasingan kesadaran, yang ditandai oleh hilangnya keseimbangan

    kemanusiaan, karena meletakkan akal pikiran sebagai satu satunya penentu

    kehidupan yang menafikan rasa dan akal budi (Nurhadi, 1997: 6).

    Dari berbagai sikap keterasingan inilah manusia modern seringkali

    melakukan perbuatan-perbuatan yang sering dianggap irasional dan bahkan

    bertentangan dengan norma dan kaidah yang berlaku umum di masyarakat yang oleh

    Kuntjaraningrat (1997: 9) diasumsikan sebagai mentalitas menerabas3. Haidar Nasir

    dalam telaahnya tentang kehidupan modern mengatakan bahwa :

    Apa yang patut dibanggakan dalam kehidupan modern saat ini jika manusia saling memangsa sesama dengan penuh kesadaran, sehingga hidup nyaris tanpa pencerahan dan kehormatan. Kehormatan apa saja yang diraih dalam kehidupan yang disebut modern apabila manusia modern itu sendiri saling menjatuhkan diri pada budaya materi, rasio dan teknologi yang mematikan manusia. Humanisme apa lagi yang masih kokoh dijadikan sandaran manusia modern manakala pada saat yang sama krisis demi krisis kemanusiaan tumbuh dengan mekar dan menjadi panorama keseharian di setiap sudut kehidupan, sehingga manusia modern menjadi tidaj berharga

    3 Menurut Koentjaraningrat (1997: 21) mentalitas menerabas adalah suatu mentalitas yang

    bernafsu untuk mencapai tujuan dengan secepat-cepatnya tanpa banyak kerelaan berusaha dari permulaan secara bertahap. Mentalitas ini merupakan jenis penyakit atau kerusakan mental sebagai kelanjutan atau akibat dari alam pikiran dan sikap mental yang meremehkan mutu dan kualitas dalam hidup. Mentalitas menerabas ini bukanlah perilaku kebetulan, tetapi merupakan cerminan dan manifestasi dari alam pikiran dan sikap mental yang memandang hal-hal yang dilakukannya secara jalan pintas itu sebagai sesuatu yang baik dan benar serta dianggap sebagai kelaziman umum. Pola ini bermuara pada sikap pragmatisme.

  • 17

    sama sekali karena kehilangan jati diri. Rasionalisme apalagi yang patut dijadikan acuan hidu ketika kemodernan itu manusia kehilangan makna hidup yang membuat manusia rentan terhadap penyakit kehidupan. Bahagiakah manusia modern dengan kemodernan yang diciptakannya sendiri dengan penuh keyakinan dan keangkuhan?. (Nasir, 1997: 9)

    Perkataan Haidar Nasir ini merupakan refleksi modernitas yang menilai

    secara jujur tentang hilangnya makna hidup dalam kehidupan. Pendapat senada

    diungkapkan pula oleh Hanna Djumhana Bastaman (1995: 191) bahwa satu hal

    pokok dari kehidpan modern adalah hilangnya makna hidup yang berakibat pada

    hilangnya orientasi, hilangnya tujuan hidup, hilangnya moralitas dan kesemrawutan

    pola kehidupan, yang akhirnya bermuara pada menjalarnya stres4 dalam dimensi

    yang semakin komplek.

    Kehidupan modern yang materialis-hedonistic dan hanya menekankan pada

    aspek lahiriyah semata, berakibat pada kegersangan spiritual dan dekandensi moral

    serta stress menjadi fenomena yang lumrah. Pada titik jenuhnya, manusia akan

    kembali mencari kesegaran rohaniyah untuk memenuhi dahaga spiritualnya. Oleh

    4Stres dapat mewujud dalam anxiety neurosis atau disebut juga neurosa kecemasan yaitu

    bentuk neurosa dengan gejala paling mencolok adalah ketakutan yang terus menerus terhadap bahaya yang seolah-olah terus mengancam, yang sebenarnya tidak nyata tetapi hanya dalam perasaan penderita saja. Senada dengan definisi ini, Hanna Djumhana Bastaman (2001: 156) memberikan pengertian tentang kecemasan yaitu ketakutan terhadap hal-hal yang belum tentu terjadi. Perasaan cemas biasanya muncul bila kita berada dalam suatu keadaan yang kita duga akan merugikan dan kita rasakan akan mengancam diri kita dimana kita merasa tidak bberdaya menghadapinya. Sebenarnya apa yang kita cemaskan iru belum tentu terjadi. Dengan demikian, rasa cemas itu sebenarnya ketakutan yang kita ciptakan sendiri. Hampir dalam segala hal, seorang pencemas selalu khawatir dan takut, Sedangkan Zakiyah Daradjat (2001: 20) memberikan pengertian tentang kecemasan bahwa kecemasan adalah : manifestasi dari berbagai proses yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Kecemasan itu mempunyai segi yang disadari yaitu seperti rasa takut, tidak berdaya, rasa berdosa/bersalah, terancam dan sebagainya. Oleh karena itu rasa cemas terdapat dalam semua gangguan dan penyakit jiwa. Dengan demikian anxiety neurosis ialah; symptom ketakutan dan kecemasan terhadap bahaya yang seakan-akan mengancam, yang sebenarnya tidak nyata tetapi hanya dalam perasaan penderitanya saja. Perasaan cemas ini berasal dari perasaan tidak sadar yang berada di dalam kepribadian sendiri, jadi tidak berhubungan dengan objek yang nyata atau keadaan yang benar-benar ada

  • 18

    karena itu banyak diantara mereka yang kembali ke dunia mistisisme, Tao, Budhis

    dan Tasawuf.

    Selain krisis modernitas manusia modern juga dihadapkan pada sebuah

    kenyataan, bahwa agama yang selama ini diharapkan mampu memberikan solusi

    terbaik terhadap persoalan-persoalan modernitas juga mengalami persoalan internal

    yang cukup rumit. Diantaranya adalah persoalan krisis indentitas yang sejak awal

    sudah mempertanyakan mampukah agama secara realitas memberikan alternatif

    pemecahan bagi krisis yang dialami oleh ideologi kapitalisme dan sosialisme

    (Maksum, 1994: 1). Pertentangan dan perumusan tentang formulasi jawaban belum

    menemukan titik temu yang maksimal sampai sekarang ini.

    Persoalan lain dari permasalahan keagamaan yang akhir-akhir ini

    menggejala adalah kekerasan atas nama agama5. Pertanyaannya kemudian adalah

    mengapa bisa demian?. Mengapa tiba-tiba manusia yang beragama berubah menjadi

    manusia yang brutal?. Mengapa tiba-tiba sesama saudara harus saling menerkam,

    membunuh dan menghancurkan?. Mengapa perilaku manusia beragama yang semula

    religius berubah dalam waktu yang singkat menjadi seperti binatang?. Mengapa

    perayaan agama yang begitu meriah tidak mampu membawa perubahan perilaku?.

    Pertanyaan lebih lanjut adalah adakah yang salah mengenai cara beragama yang

    selama ini dilakukan?.

    Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul, dikarenakan ada persoalan

    mengenai cara beragama yang selama ini dilakukan. Permasalahan itu adalah adanya

    5 Agama sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan lebih-lebih di Indonesia akhir-akhir ini, sinyalemen ini disanggah melalui pernyataan apogetis (membela diri) yakni agama mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan tetapi manusia menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi maupun golongannya sehingga menyulut kekerasan. Padahal agama baru menjadi konkrit sejauh dihayati oleh pemeluknya. Bisakah memisahkan begitu saja agama dari pemeluknya? (Haryatmoko, 2000: 4).

  • 19

    keterjebakan keberagamaan manusia dalam bahasa simbol yang masih kaku. Hal ini

    dalam realitas nantinya akan mengarah pada keterjebakan formalisasi agama.

    Apabila hal ini terjadi maka agama justru menjadi terasing dengan persoalan

    kehidupan manusia, karena fungsi agama menjadi kabur. Agama yang seharusnya

    menjadi pembebas akan terperosok dan terjebak pada aspek romantisme formal. Oleh

    sebab itu sangat wajar, apabila ketika kesalehan dijadikan alat politik untuk mencari

    popularitas, posisi, kedudukan, dan kekuasan konsekuensi logis yang akan

    ditanggung oleh umat beragama adalah ketidak berdayaan eksistensi.

    Dari deskripsi ini jelas, bahwa beragama tidak cukup hanya bersifat ritual

    dan mementingkan diri sendiri, diperlukan sikap keberagamaan yang menyeluruh,

    sehingga menyentuh aspek-aspek kehidupan. Menurut Romo Mangunwijaya (1999:

    4), beriman bukan sekedar orang sembahyang. Bagi dia orang beriman berarti harus

    berani menanggung resiko dengan cara ikut ambil bagian untuk memanusiakan

    manusia. Orang beriman tidak terjebak persoalan hukum normatif tentang sah dan

    tidah sah, layak atau tidak layak. Agama harus kembali kepada semangat awal yakni

    berfungsi profetis. Agama harus kritis terhadap kekuasaan, harus mampu

    membebaskan masyarakat dari kebodohan, ketakutan, kemiskinan, dan sistem yang

    menindas. Dalam realitas banyak masyarakat yang menghayati agama secara

    formalis. Mereka rajin beribadah, tetapi juga rajin menjelekkan orang lain. Mereka

    rajin berdoa tetapi juga rajin menindas sesama. Mereka rajin berziarah, tetapi juga

    rajin korupsi dan manipulasi.

    Kenyataan seperti ini muncul karena penghayatan keagamaan mereka

    menurut Romo Mangun (1999: 5) amat kekanak-kanakan. Tuhan hanya dimengerti

  • 20

    sebagai alat untuk mencari perlindungan dari segala perbuatan yang tercela. Tuhan

    dimengerti hanya untuk mencuci dosa. Cara pandang beragama seperti inilah yang

    perlu dikoreksi. Tugas umat beriman adalah menyucikan dunia dengan menegakkan

    kemanusiaan manusia dan keadilan yang bermoral. Keberagamaanya bukan hanya

    untuk kepentingan diri sendiri tetapi sebaliknya. Romo Mangunwijaya (1999: 5)

    mengatakan, orang yang memiliki religiusitas itu tidak memikirkan diri sendiri justru

    memberikan diri untuk keselamatan orang lain. Iman harus menghasilkan buah

    kebaikan, perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan. Intinya beragama secara benar

    adalah bila kita mampu mengendalikan organ tubuh kita sendiri untuk tidak

    memuaskan diri sendiri.

    Adanya kenyataan bahwa, manusia modern mengalami krisis modernitas di

    satu sisi dan sisi lain agama yang diharapkan memberikan pencerahan ternyata

    terjebak pada aspek formalisasi ajaran dan fenomena kekerasan yang bercorak agama

    maka diperlukan pemikiran ulang secara terus menerus untuk lebih mengarahkan

    agama supaya efektif dalam memberikan petunjuk bagi kehidupan manusia.

    Pada posisi seperti inilah tasawuf menjadi hal yang patut untuk ditawarkan.

    Hal ini dikarenakan tasawuf menurut Syeikh Hisyam Kabbani (2007: 16), lebih

    mengutamakan kedamaian bagi umat manusia. Tasawuf menganjurkan agar antar

    umat manusia saling bekerja sama. Tasawuf menjembatani semua kebudayaan

    seperti tenda besar yang bisa memayungi para musafir yang datang dari berbagai

    penjuru dunia dan berbagai latar belakang. Oleh karena itu, pengamal tasawuf bisa

    berdampingan mesra dengan siapapun.

  • 21

    Persoalannya kemudian adalah timbul asumsi bahwa tasawuf merupakan

    ajaran dan perilaku yang menyimpang dari Islam dikarenakan banyaknya muatan

    bidah dan khurafat. Hal inilah yang mendorong Muhammadiyah sebagai organesasi

    pembaharuan mengadakan gerakan pemurnian ajaran Islam dari segala bentuk bidah

    dan khurafat, tetapi dalam perkembangannya banyak tokoh Muhammadiyah yang

    adaptip terhadap tasawuf sehingga hubungan tasawuf dan Muhammadiyah yang

    awalnya berada pada posisi yang berhadapan menjadi posisi yang sejalan. Perubahan

    inilah yang layak untuk diteliti lebih lanjut dalam tesis ini.

    B. Rumusan Masalah

    Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah:

    1. Bagaimanakah persepsi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap

    ajaran tasawuf?

    2. Bagaimana implementasi intektual Muhamadiyah Kota Semarang terhadap

    ajaran tasawuf tersebut.

    C. Tujuan Penelitian

    Sesuai dengan permasalahan di atas, tujuan umum yang akan dicapai adalah

    untuk mengungkap, mengetahui dan mendeskripsikan persepsi intelektual

    Muhammadiyah Kota Semarang terhadap tasawuf, serta mengungkapkan

    implementasi dari persepsi tersebut.

    D. Kajian Pustaka

    Untuk memperjelas posisi penulis dalam penelitian ini, maka terlebih dahulu

    dideskripsikan beberapa penelitian yang pernah dilakukan, beberapa diantaranya

    adalah:

  • 22

    1. Penelitian yang dilakukan oleh Khozin dari Muhammadiyah and Islamic Study

    Center, (MISC-UMM) dan dipublikasikan oleh JIPTUM tahun 2001 yang

    berjudul : Muhammadiyah and Reconstruction of Islamic Spirituality: (The

    Study of Tasawuf form and its Pactice in Muhammadiyah). Penelitian ini

    mengkaji persoalan spiritualitas Islam dalam Muhammadiyah, yang secara

    umum lazim dikenal dengan istilah tasawuf. Persoalan ini kemudian dirumuskan

    dalam bentuk pertanyaan yaitu, 1) Adakah tasawuf dalam Muhammadiyah, dan

    2) kalau ada, bagaimana bentuk dan praktik tasawuf dalam Muhammadiyah6.

    Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa dalam gerakan Muhammadiyah

    terdapat elemen-elemen tasawuf, yang bentuknya adalah seperti spiritualitas

    Islam pada umumnya sesuai tuntunan al-Qur'an dan al-Sunnah. Bentuk dan

    praktiknya, misalnya anjuran untuk ber-muhasabah, pengendalian hawa nafsu

    dengan menjalankan ibadah ritual. Bentuk lainnya adalah memandang kematian

    sebagai bahaya besar. Persepsi tentang kematian ini mendorong orang-orang

    Muhammadiyah untuk melakukan amal dan kerja secara produktif dan bukan

    melakukan ibadah atau menyepi untuk berhidmat dengan Tuhan. Itulah agaknya

    yang dapat disebut sebagai tasawuf Muhammadiyah, atau ajaran spiritualitas

    Islam sesuai tuntunan al-Qur'an dan al-Sunnah. Tasawuf Muhammadiyah adalah

    6Prosedur pencarian data penelitian di atas dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan

    tertulis baik dari hasil penelitian, tulisan lepas maupun dokumen kegiatan yang terkait dengan aspek spiritualitas Islam dalam Muhammadiyah. Dari bahan yang ada, dilakukan seleksi mana yang layak, serta mana yang dipandang kurang layak. Pembacaan secara mendalam terhadap bahan yang terkumpul adalah tahap selanjutnya hingga penyusunan draf laporan. Penulisan adalah tahap yang membutuhkan waktu paling lama. Dimulai dengan membuat pohon penelitian, hingga memberikan ilustrasi yang sedapat mungkin menggambarkan ada tidaknya tasawuf dalam Muhammadiyah hingga bentuk dan prakteknya. Tahap ini sekaligus merupakan tahap analisis hasil penelitian, dengan mendeskripsikan secara induktif dan melakukan penarikan kesimpulan sementara, sehingga menggambarkan suatu uraian secara deskriptif-kualitatif.

  • 23

    tasawuf akhlaki-transformatif, atau tasawuf aktual. Berikut adalah kesimpulan

    dari penelitian tersebut.

    The research result asserts that the tasawuf elements exist in Muhammadiyah movement whose form such as islamic spiritual as it is commonly known in accordance with Qur'anic value and sunnah. Its form and practice such as advise to be introspective, to control the passion by conducting ritual worship. Another form is regarding a death as a great danger. The perception of death supports the members of Muhammadiyah to perform the program and work productively and not just to worship the God respectively and hide from everyone. Thus, what is probably able to be concsidered as tasawuf of Muhammadiyah of teaching of islamic spirituality in accordance with al-Qur'an and al-Sunnah. Muhammadiyah's tasawuf is moral transformation tasawuf or actual tasawuf (Khozin: 2001,1)

    Penelitian di atas merupakan kerangka dasar yang memberi gambaran

    awal bahwa Muhammadiyah ternyata juga mengamalkan tipologi tasawuf

    meskipun dengan karakteristik yang berbeda dengan yang dipraktekkan secara

    umum. Penelitian ini mencoba mempertegas penelitian terdahulu dengan

    mencari bentuk dan praktik tasawuf dalam perspektip intelektual

    Muhammadiyah Kota Semarang. Dengan lokalitas dan pembatasan wilayah

    yang lebih spesifik diharapkan penelitian di atas dapat teruji secara proporsional

    dan memadai untuk mempertegas kesimpulan mengenai tasawuf akhlaki-

    transformatif, atau tasawuf aktual.

    2. Penelitian yang dilakukan oleh Khozin dari Muhammadiyah and Islamic Study

    Center, (MISC-UMM) dan dipublikasikan oleh JIPTUM tahun 2002 dengan

    judul: Rekonstruksi Spiritualitas Tokoh Muhammadiyah (Studi Tentang

    Apresiasi Dan Refleksi Keagamaan KH. Ahmad Dahlan Dan KH. AR.

    Fachruddin). Studi ini berawal adanya suatu fenomena sejarah tentang

  • 24

    keberagamaan tokoh-tokoh Muhammadiyah sebagai penganut Islam puritan

    yang apresiasi keagamaannya menurut pencermatan peneliti agak tipikal.

    Apresiasi keagamaan ini sebagaimana yang terefleksi dalam semangat

    perjuangan, kesederhanaan, kejujuran dan keikhlasan dalam beramal. Dari

    fenomena sejarah ini kemudian fokus penelitian ini dirumuskan: Pertama,

    mengapa tokoh-tokoh Muhammadiyah memiliki apresiasi keagamaan yang

    tipikal?. Kedua, bagaimana apresiasi keagamaan ini direfleksikan dalam

    kehidupan sehari-hari ?7.

    Penelitian ini menunjukkan bahwa menurut KH. Ahmad Dahlan,

    beragama adalah menghadapkan jiwa hanya kepada Allah serta menghindarkan

    diri dari ketertawanan terhadap hal-hal yang bersifat kebendaan dengan bukti

    penyerahan harta dan jiwa kepada Allah. Menurut KH. AR. Fachruddin

    memandang agama sebagai peraturan hidup lahir dan batin yang harus

    direfleksikan dalam hidup sehari-hari sebagai wujud dari kesadaran yang dalam

    tentang adanya pembalasan di hari akhir. Refleksi dari pandangan keagamaan ini

    semangat juang yang tinggi disertai kerelaan berkorban harta benda, pikiran

    serta tenaganya sebagai wujud penyerahan diri yang total. Lebih dari itu adalah

    hidup dalam kesederhanaan, kejujuran dan keikhlasan.

    7Penelitian di atas dimaksudkan untuk mendeskripsikan apresiasi keagamaan, yaitu

    pandangannya terhadap agama yang terefleksi dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara akademik dengan memberikan sumbangan teoritik tentang wacana spritualitas Muhammadiyah. Penelitian ini secara praktisnya dapat dimanfaatkan pihak-pihak yang berwenang di persyarikatan untuk mendisain dan mengembil kebijakan yang berkenaan dengan pengembangan spiritualitas Muhammadiyah. Penelitian ini menggunakan metode sejarah beografis yaitu, penelitian yang berusaha menangkap fenomenna masa lalu yang bersifat individual. Dalam hal ini peneliti berusaha untuk melakukan konstruksi masa lalu dari apresiasi keagamaan beberapa tokoh Muhammadiyah dan refleksinya dalam kehidupan sehari-hari. Subyek penelitian sengaja dipilih KH. Ahmad Dahlan dan KH. AR. Fachruddin keduanya adalah tokoh yang sangat berpengaruh di Muhammadiyah

  • 25

    Penelitian di atas memberikan antitesa bahwa Muhammadiyah yang lahir

    dari semangat puritan dan anti tasawuf ternyata dalam perspektip pendirinya

    yaitu Ahmad Dahlan dan AR. Fahrudin memiliki pemahaman spiritualitas

    ketasawufan yang kurang begitu banyak diekspose. Inilah yang menjadi titik

    tekan penelitian ini untuk mencari dan merumuskan secara detail spiritualitas

    Muhammadiyah pada generasi yang lebih baru terutama di Kota Semarang.

    3. Artikel yang ditulis oleh Rizqon Khamami8 yang berjudul : Fenomena

    Intelektual Muda NU dan Muhammadiyah yang dimuat di harian Duta

    Masyarakat, 13 November 2003. Menurutnya pada satu dekade terakhir dapat

    ditengarai sebuah kebangkitan intelektual di kalangan anak-anak muda Islam

    yang berpayung pada organisasi beraliran tradisional, dan disusul oleh anak-

    anak muda dari kalangan Islam modernis. Arah angin di kemudian hari kedua

    organasasi Islam ini perlahan terciptanya tipis batasan antara istilah tradisional

    dan modern. Pada tataran lain, anak-anak muda Muhammadiyah menunjukkan

    gejala kebangkitan yang sama. Sebagai salah satu organisasi massa Islam yang

    mendasarkan pada semangat pembaharuan Muhammad Abduh, dan semangat

    puritanisme Ibnu Taymiyah,

    Muhammadiyah telah mengalami "pergeseran" pergerakan. Meskipun

    berhasil memajukan amal usaha yang berhubungan langsung dengan denyut

    8Rizqon Khamami beralamat di Ponpes Syekh Abdul Qodir Al-Jailani, Rangkang, raksaan,

    Probolinggo, Jawa Timur, Indonesia. Terlahir di kabupaten Batang, Jawa Tengah, kini sehari-hari mengelola pesantren Ponpes Syekh Abdul Qodir Al-jailani, Rangkang, Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur. Selain mengajar di Universitas Zainul Hasan, Genggong, ia adalah direktur Pokjar Syekh Abdul Qodir Al-Jailani menyelenggarakan PGSD, UPBJJ-UT Malang. Pendidikan Menengah Atas diselesaikan di SMA Takhasus Al-Qur'an (TAQ) dan Ponpes Al-Asy'ariyyah, Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah. Ia adalah alumnus Saddam University for Islamic Studies, Baghdad, Iraq, untuk S1 pada tahun 1998. Sedangkan S2 diselesaikan dari Jamia Millia Islamia, New Delhi, India dalam bidang Islamic Studies.

  • 26

    kehidupan masyarakat, seperti rumah sakit, universitas, sekolah dan lain

    sebagainya, namun terkesan melupakan sisi kajian keislaman. Pengembangan

    wacana keislaman di tubuh organisasi modernis ini selama beberapa waktu

    tampak mandeg. Keberhasilan Muhammadiyah dalam bidang amal usaha belum

    membuat kalangan mudanya terpuaskan. Gesekan-gesekan kaum muda

    Muhammadiyah dengan fakta sosial, tak terelakkan, adalah pemicu geliat

    keintelektualan mereka, karena kaum tua Muhammadiyah lamban dalam

    mengantisipasi. Wacana-wacana anyar yang dimunculkan oleh kalangan muda

    Muhammadiyah merupakan bentuk kritik tak langsung dan sebagai ekspresi

    pemberontakan kepada kalangan tua Muhammadiyah. Jaringan Intelektual Muda

    Muhammadiyah (JIMM)9 berdiri.

    Dalam Musyawarah Nasional XXIV Majelis Tarjih dan Pengembangan

    Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Malang pada bulan Januari

    2000 telah diputuskan agar manhaj tarjih dan pemikiran Islam dalam

    Muhammadiyah tidak hanya didominasi oleh pengkajian masalah-masalah

    akidah dan fikih yang dianalisa dengan pendekatan tekstual, tetapi harus

    menembus ke berbagai wilayah pemikiran keislaman, baik teologi (kalam),

    9Pada 18-20 November 2003, JIMM, menyelenggarakan Tadarus Pemikiran Islam-

    Muhammadiyah (TPI-Muh) di Malang, yang memiliki tujuan memetakan pemikiran Islam kontemporer, khususnya yang berkaitan dengan dialog Islam-Barat dan membangun kunci hermeneutik untuk turut andil memecahkan problem kekinian. Muncul nama-nama seperti Zuly Qodir, Happy Susanto, A Fuad Fanani, Piet A Khaidir, Zakiyuddin Baidhawy, Pradana Boy, Ai Fatimah Nur Fuad dan lain-lain. Bahkan disebut-sebut TPI-Muhammadiyah merupakan upaya awal membedah problem sosial, kemiskinan, keterbelakangan, krisis multidimensional yang memunculkan kegelisahan religius, keprihatinan sosial, dan moral. Intelektual muda Muhammadiyah terpacu untuk melakukan aksi penyadaran dan pencerahan kepada rakyat. Persentuhan anak-anak muda Muhammadiyah dengan fakta kekinian dengan mengangkat isu-isu kontemporer seperti demokratisasi, hubungan antaragama, hak asasi manusia, kesetaraan gender, civil society, globalisasi, dan multikulturalisme adalah sebuah sikap kritis dalam memahami persoalan sosial yang memerlukan "penyelesaian agama". Semangat kembali kepada Al Quran dan Sunah Nabi Muhammad Saw (al-ruju' ila al-Quran wa al-Sunnah al-Nabawiyah) dalam ranah agama, bagi kalangan muda Muhammadiyah belumlah cukup, tanpa melibatkan diri dalam ranah sosial dan moral.

  • 27

    falsafah, fikih, tasawuf, dan agenda-agenda sosial kemasyarakatan. Tak pelak,

    pilihan ini harus dibarengi dengan peninjauan kembali metodologi. Semangat

    tajdid al din (pembaharuan pemikiran keagamaan) yang digagas Abduh

    mendapatkan tempat.

    Menariknya, ketika angkatan muda NU dan Muhammadiyah secara

    bersamaan mengangkat isu-isu tersebut di atas, maka batas antara tradisionalis

    NU dan modernis Muhammadiyah semakin kabur, kecuali dari kenyataan bahwa

    anak-anak muda NU mengembangkan wacana keislaman berangkat dari warisan

    tradisi yang ditularkan secara turun temurun, dan angkatan muda

    Muhammadiyah menggali kajian keislaman dari semangat tajdid al-din.

    Akhirnya, warisan persengketaan intelektual masa lalu dua kelompok Islam ini

    sebagai akibat desakan identitas dan kuatnya kepentingan lambat laun mulai

    menghilang. Arus balik intelektual muda Muhammadiyah inilah yang menjadi

    titik tekan penelitian tesis ini untuk mempertegas keberadaan bentuk dan praktik

    tasawuf di Muhammadiyah Kota Semarang.

    4. Artikel yang ditulis oleh Dalail Ahmad dan Muhammad Qorib yang berjudul

    Tasawuf Di Tengah Nestapa Manusia Modern yang dimuat di majalah Suara

    Muhammadiyah pada tanggal 15 April 2008. Menurutnya ada beberapa

    indikator kuat dari kebutuhan manusia terhadap tasawuf, baik di dunia pada

    umumnya maupun khususnya di dunia Islam. Di Indonesia kecenderungan

    terhadap spiritualitas juga dapat dilihat dari maraknya berbagai pengajian

    tasawuf. Beberapa pengajian yang bercorak tasawuf dapat menyedot jamaah

    lebih banyak daripada pengajian lainnya, bahkan sebagian masyarakat sanggup

  • 28

    membayar mahal untuk mengikuti kursus-kursus tasawuf di berbagai tempat.

    Spiritualitas di dalam Islam disebut tasawuf. Meskipun para ahli memberikan

    definisi terhadap kosa kata itu secara beragam, namun intinya adalah sama yakni

    kesadaran manusia akan dimensi spiritualnya. Di dalam tasawuf, manusia

    diarahkan untuk memiliki visi dan misi hidup yang jelas. Visi dan misi itu,

    mengharuskan manusia melakukan pendakian demi pendakian untuk meraih

    kualitas dirinya agar semakin baik. Dengan mengutip pendapat Annemarie

    Schimmel, kedua penulis tersebut berpendapat bahwa tasawuf akan

    mengantarkan manusia sedekat mungkin dengan Tuhan. Tasawuf dapat

    diejawantahkan melalui berbagai aktivitas umat manusia, yang mengindikasikan

    bahwa tasawuf tidak menolak kehidupan dunia, malah kehidupan itu harus

    diraih. Tasawuf hanya mengarahkan agar setiap orang tidak terpengaruh atasnya.

    Tasawuf juga tidak mengajarkan agar seseorang melakukan ekskomunikasi dari

    masyarakat. Lebih dari itu, tasawuf bisa melahirkan orang yang tercerahkan dan

    mencerahkan, terbimbing dan membimbing, terdidik dan mendidik.

    Artikel ini menjadi menarik karena ditulis oleh tokoh Muhammadiyah

    yang banyak dicitrakan anti tasawuf. Penulis pertama adalah Ketua PW.

    Muhammadiyah Sumatera Utara periode 2005-2010, sedangkan penulis kedua

    adalah Wakil Ketua MTDK. PWM Sumatra Utara, yang kini sedang

    menyelesaikan program doktor di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

    Jakarta. Tulisan ini mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan paradigma

    tentang tasawuf yang dalam perjalannnya kemudian diadopsi menjadi satu hal

    yang menyatu dengan Muhammadiyah.

  • 29

    E. Metode Penelitian

    1. Jenis Penelitian

    Sesuai rumusan masalah yang ada dengan pertimbangan bahwa dalam

    penelitian ini tidak mengejar yang terukur, menggunakan logika matematik dan

    membuat generalisasi atas neraca maka jenis penelitian di sini adalah penelitian

    kualitatif (Muhajir, 1996: 9). Dalam konteks penelitian ini, peneliti dalam

    memperoleh data tidak diwujudkan dalam bentuk angka, namun data itu

    diperoleh dalam bentuk penjelasan dan berbagai uraian yang berbentuk lisan

    maupun tulisan. Penelitian kualitatif secara garis besar dikelompokkan menjadi

    3 yaitu : penelitian kualitatif naturalistik, penelitian kualitatif teks dan penelitian

    kualitatif historis (Yahya, 2003: 33-38). Dari ketiga model diatas penelitian ini

    sesuai dengan judulnya masuk pada model pertama yaitu penelitian kualitatif

    naturalistik.

    2. Pendekatan Penelitian

    Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

    naturalistic yaitu pendekatan yang memandang kenyataan sebagai sesuatu yang

    berdimensi jamak dan merupakan suatu kesatuan yang utuh, serta berubah (open

    ended). Oleh sebab itu dalam melakukan, antara peneliti dan yang diteliti saling

    berinteraksi sehingga dalam konteks ini peneliti sekaligus berfungsi sebagai alat

    penelitian yang tentunya tidak dapat melepaskan diri secara multak dari unsur

    subjektifitas. Pendekatan naturalistic sering juga disebut sebagai pendekatan

    kualitatif, post-positivistic, etnografic, humanistic dan case study (Sudjana dan

    Ibrahim, 2000: 6)

  • 30

    3. Populasi dan Sampel

    Populasi atau universe adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang

    ciri-cirinya akan diduga (Sofyan, 1983: 108), atau juga dapat dipahami sebagai

    sesuatu yang terkait dengan elemen yakni tempat diperolehnya informasi yang

    bisa berbentuk individu, keluarga, kelompok social ataupun organisasi. Dengan

    kata lain populasi adalah kumpulan dari sejumlah elemen sedangkan sample

    merupakan sebagian dari populasi terjangkau yang memiliki sifat yang sama

    dengan populasi (Sudjana dan Ibrahim, 2006: 84).

    Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan dari intelektual

    Muhammadiyah kota semarang. Intelektual dalam hal ini dipahami sebagai

    kelompok terpelajar (Purwodarminto, 1976: 384), atau menurut Ali Syariati

    (1985: 15) didefinisikan sebagai orang yang selalu memanfaatkan potensi akal

    yang merasa terpanggil untuk memperbaiki kondisi masyarakatnya,

    mengungkap aspirasi mereka, merumuskan dalam bahasa yang dapat dipahami

    oleh setiap anggota masyarakat. Secara praktis intelektual Muhammadiyah kota

    Semarang adalah seluruh warga Muhammadiyah yang memiliki latar belakang

    akademik yang memadai.

    Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk memformulasikan pemikiran

    Intelektual Muhammadiyah kota Semarang secara keseluruhan tetapi mencoba

    memotretnya dengan sample unsur dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah

    (PDM) Kota Semarang dan dan unsur dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah

    (PWM) Jawa Tengah. Pemilihan sample ini mempertimbangkan pengelompokan

  • 31

    intelektual Muhammadiyah Kota Semarang dalam kategori menolak tasawuf

    secara total, bersikap terbuta dan akomodatip.

    4. Metode Pengumpulan Data

    Ada tiga metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini,

    keduanya yaitu :

    a. Metode Wawancara.

    Metode wawancara yaitu suatu metode pengumpulan data dengan

    jalan mengajukan pertanyaan secara langsung kepada seseorang yang

    berwenang tentang suatu masalah (Arikunto, 1993: 104). Wawancara dalam

    hal ini dilakukan kepada sample penelitian yang terkait dengan pandangan

    mereka terhadap tasawuf dan hal-hal lain yang terkait dengan fokus

    penelitian.

    b. Metode Dokumentasi

    Dalam penelitian ini, pengumpulan data-data yang berkaitan

    dengan masalah yang dibahas akan dilakukan dengan jalan dokumentasi

    yaitu mengumpulkan data yang bersifat primer maupun sekunder dalam

    bentuk buku, majalah, artikel dan lainnya (Hadi, 1983: 9)

    c. Metode Observasi

    Metode ini digunakan untuk mencari data dengan datang langsung

    ke-obyek penelitian dengan memperhatikan dan mencatat segala hal penting

  • 32

    untuk mendapatkan gambaran dan persepsi yang maksimal dari obyek

    tersebut.

    5. Metode Analisis Data

    Setelah proses memperoleh data-data dari hasil observasi, wawancara

    dan domumentasi, langkah selanjutnya adalah mengklasifikasi sesuai dengan

    permasalahan yang diteliti, kemudian data-data tersebut disusun dan dianalisa

    dengan metode analisis data. Metode analisis data adalah jalan yang ditempuh

    untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan pemerincian

    terhadap objek yang diteliti atau cara penanganan terhadap suatu objek ilmiah

    tertentu dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan

    pengertian yang lain guna memperoleh kejelasan mengenai halnya (Sudarto,

    2000: 59). Setelah itu, perlu dilakukan telaah lebih lanjut guna mengkaji secara

    sistematis dan objektif.

    Metode deskriptif adalah sebuah metode yang mendeskripsikan dan

    menafsirkan data yang ada, misalnya tentang sesuatu yang diteliti, satu

    hubungan kegiatan, pandangan, sikap yang nampak atau proses yang sedang

    berlangsung (Surahmat, 1970: 131). Setelah data terdeskripsikan, langkah

    selanjutnya adalah menganalisisnya dengan mencari faktor-faktor penyebab

    terjadinya atau munculnya suatu fenomena tertentu (Nasir, 1998: 68) yang

    dalam hal ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi pandangan intelektual

    Muhammadiyah terhadap ajaran tasawuf.

    F. Sistematika Penulisan

  • 33

    Dalam penelitian ini penulis membagi pokok bahasan menjadi lima bab

    dan setiap bab terdiri beberapa sub bab. Adapun rincian dari kelima bab tersebut

    adalah sebagai berikut :

    Bab I : Pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, penegasan

    judul, pokok permasalahan, tujuan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan

    sistematika penulisan

    Bab II : Diskripsi tentang Tasawuf, Maqomat dan Thariqah. Bab ini akan

    membahas tentang pengetian tasawuf, deskripsi tentang kemunculan tasawuf,

    maqomat, tarekat dan rekonstruksi terhadap tasawuf. Bab ini dimaksudkan sebagai

    landasan teori untuk pembahasan yang lebih tajam dan akurat agar sesuai dengan

    pokok permasalahan yang menjadi focus penelitian agar tidak keluar dari landasan

    teori yang telah dibangun.

    Bab III : Diskripsi tentang penelusuran paham tasawuf dalam landasan

    dasar perserikatan Muhammadiyah, yang terdiri dari pembahasan tentang pencitraan

    tasawuf secara umum, historisitas Muhammadiyah, penolakan Muhammadiyah

    terhadap takhayul, bidah dan churofat, deskripsi tentang misi Muhammadiyah,

    yang dilakukan dengan penelusuran paham tasawuf dalam landasan dasar

    muhamadiyah yang meliputi penelusuran dalam muqodimah anggaran dasar,

    kepribadian Muhammadiyah, Matan keyakinan dan Cita-Cita Hidup

    Muhammadiyah, hakkat Muhammadiyah, khittah perjuangan Muhammadiyah dan

    pedoman hidup islami warga Muhammadiyah. Bab ini juga menelusuri paham

    tasawuf dalam zhawahir al afkar al muhammadiyah dan pelacakan dalam idiologi

    Muhammad Dahlan. Uraian bab ini dimaksudkan untuk memaparkan hasil

  • 34

    pengumpulan data lapangan, yang kemudian dijadikan bahan analisis setelah

    dipadukan dengan landasan teori yang ada.

    Bab IV : Deskripsi tentang tasawuf dalam perspekrif intelektual

    Muhammadiyah kota Semarang yang terdiri dari deskripsi histories-geografis Kota

    Semarang, formulasi tasawuf menurut intelektual Muhammadiyah kota Semarang

    yang mengarah pada konsep Urban sufisme, Neo-sufisme dan Tasawuf Positif serta

    pembahasan tentang faktor penyebab deviasi pemahaman intelektual

    Muhammadiyah kota Semarang terhadap tasawuf. Dalam bab ini dimaksudkan

    untuk menganalisis data yang ada kemudian membandingkan dengan landasan teori

    yang ada.

    Bab V : Penutup, yang berisi kesimpulan dan saran.

    BAB II

    DISKRIPSI TENTANG BERBAGAI PEMAHAMAN TENTANG TASAWUF,

    MAQOMAT DAN TAREKAT

  • 35

    Tasawuf10 merupakan praktik spiritual dalam tradisi Islam. Tasawuf memandang

    ruh sebagai puncak dari segala realitas, sementara jasad tidak lebih sebagai kendaraan

    saja (Aceh, 1984: 28). Oleh sebab itu, jalan spiritualitas lebih banyak menekankan pada

    aspek ruhani, bersifat personal dan berangkat dari pengalaman yang juga bersifat

    personal. Berbeda dengan agama yang bersifat umum (dalam Islam di kenal dengan

    istilah syariah/syariat), jalan tasawuf kemudian dikenal dengan istilah tarekat (dekat

    dengan istilah tirakat). Dalam perspektip tarekat setiap pendaki akan melewati level dan

    kondisi (maqomat dan ahwal) di bawah bimbingan guru spiritual (dalam Islam dikenal

    dengan istilah Mursyid) (Arberry, 1979: 84). Di antara satu guru dengan guru yang lain

    sangat dimungkinkan menggunakan metode yang berbeda.

    Murid diajarkan untuk berlatih membuka mata batinnya (ainul qolb). Ada yang

    menyebut istilah ini dengan Mukasyafah (menyingkap) atau hudhuri (menghadirkan)

    atau tawajjuh (berhadap-hadapan). Murid dilatih membersihkan diri melalui tarekat tadi

    dengan menempuh dari level tertentu ke level yang lebih tinggi, dari kondisi tertentu ke

    kondisi yang lebih yang lain, hingga murid mampu mencapai tingkatan fana

    (kosong/hampa) tidak ada lagi ego dalam diri murid sehingga murid sampai pada

    sebuah kondisi tersingkap, menghadirkan, atau berhadap-hadapan (Nicholson,

    1979: 30).

    Disinilah antara tasawuf moral dan tasawuf falsafi berbeda jalan. Tasawuf

    moral, setelah melewati fase tadi, mengajak kembali sang murid untuk hidup dalam

    dunia nyata dan kembali masuk dalam aturan syariat, namun syariat yang telah diisi

    10Kaum sufi yang merupakan kaum elit dan kaum terdepan. Merupakan roda penggerak utama

    Islam pada masanya. Sepanjang abad ke-18, ke-19 dan awal abad ke-20, gerakan-gerakan sufi besar di Afrika dan Asia sering dihubungkan dengan gerakan-gerakan Islam umumnya. Kaum sufi adalah kaum elit masyarakatnya, dan sering memimpin gerakan pembaruan, atau perlawanan terhadap penindasan dan dominasi asing atau kolonial.

  • 36

    dengan pengalaman dan pengetahuan bertuhan, sehingga syariat yang dijalankan akan

    lebih mantap dan bermakna dari sebelum ia melakukan perjalanan. Misalnya, sang

    murid sudah mengerti apa hakikat sholat, puasa dan zakat lalu bisa mempraktikannya

    dengan lebih baik dan penuh makna. Sang murid sudah mengerti bahwa pada sisi yang

    paling esoterik semua agama memiliki tujuan yang sama sehingga mampu untuk hidup

    toleran serta tidak memperbesar perbedaan sisi eksoterik satu agama dengan agama

    yang lain. Sang murid sudah mengerti bagaimana cara bergaul dan menghargai antara

    sesama manusia bahkan seluruh makhluk hidup. Sang murid sudah mengerti dari mana

    ia berasal dan kemana ia akan kembali (Zuhri, 1979: 30).

    Berbeda dengan tasawuf falsafi. Setelah sampai pada fase tersebut, sang murid

    atau bahkan sang guru, tidak mau pulang, tetapi mau tetap menikmati ekstase

    keindahan dan kenikmatan bersatu dengan Tuhan (Nicholson, 1979: 30). Terucaplah

    perkataan yang tidak terkontrol tadi (syathohat) dalam kondisi ekstase. Dari sinilah

    akhirnya terucap pengakuan sebagai Sang Kebenaran atau memuji dirinya sendiri

    sebagai Tuhan, atau menuangkan pengalaman bertuhannya dalam karya/tulisan (Bazsur

    Ilahi, 1986: 99). Di level sesama praktisi spiritualitas (kalangan khas atau khawasul

    khawas) mungkin tidak menjadi persoalan, tetapi bagaimana di kalangan awam yang

    memang hanya menjalankan syariat tanpa dibarengi dengan praktek tasawuf?

    Disinilah problem selanjutnya muncul. Mau tidak mau, atas nama menjaga

    kemaslahatan umum, menjaga keimanan dari kalangan umum, dan alasan-alasan yang

    sejenis, maka para praktisi tasawuf falsafi ini diklaim sesat dan berakhir dengan

    hukuman mati. Syihabuddin Syuhrawardi yang bergelar al-maqtul (terbunuh), Abu

    Mansyur Al-Hallaj dan Ainul Qudhat Hamadani adalah sufi falsafi yang hidupnya

  • 37

    berakhir dengan hukuman mati. Bahkan Syuhrawardi dan Ainul Qudhat dihukum mati

    dalam usia yang cukup muda. Apa yang terjadi dengan Syekh Siti Djenar (jika kisah ini

    juga memang benar dan bukan sebagai mitos serta terlepas dari persoalan politik) adalah

    termasuk dalam kategori ini. Bertemu dan bersatu dengan Tuhan ini merupakan klaim

    kaum sufi yang juga diperdebatkan dikalangan teologis dan ahli fikih, bahkan bagi

    sebagian kalangan Islam yang agak keras, praktik tasawuf dianggap bidah (Fauzan,

    1998: 39).

    Apa yang dicontohkan Al-Ghazali dan Jalaludin Rumi yaitu untuk segera pulang

    setelah bertemu Tuhan, bisa menjadi teladan yang baik bagi para praktisi tasawuf

    dewasa ini. Al-Ghazali menghiasi syariat yang kaku dengan nilai-nilai hakikat, atau

    Rumi yang mengekspresikan kebahagian dan rasa cinta serta rindu kepada Tuhan

    melalui simbol-simbol (cinta, mawar, cawan dll) yang terlukiskan dalam karya sastra.

    Mungkin tidak mudah untuk serta merta diterima oleh rasio karena memang tasawuf

    tidak menggunakan alat ukur rasionalitas. Tasawuf menggunakan alat ukur yang

    berbeda yang bernama ainul qolb (mata batin) yang diyakini juga ada dalam diri

    setiap manusia yang kadang sepintas ia muncul dan kita tidak mengenalinya lalu

    tertutup lagi oleh potensi lain dalam diri kita (Aceh, 1984: 28).

    A. Deskripsi Tentang Tasawuf

    Sebagai pengantar kajian tentang tasawuf alangkah baiknya kita simak

    pendapat Wahid B. Rabbani yang menyatakan:

    Sufisme and science are striving for the same destination. Science wants to know: how did the universe come into being and what is its nature? Is there any creator? What is He like? Where is He? How is He related to the universe? How is He related to the man? Is it possible for man to approach

  • 38

    Him? Sufi has found the answers and invite the scientist to come and have that knowledge (Rabbani:1995, 1)

    Kutipan diatas adalah sebuah ilustrasi yang memberitahu kepada kita bahwa

    tasawuf (dalam penelitian ini penulis menggunakan istilah sufisme, tasawuf dan

    mistisisme secara bergantian untuk maksud yang sama) adalah suatu hal yang sangat

    penting. Bukan hanya dalam konteks sebagai entitas dari ajaran Islam karena ia

    adalah innerdimension of the Islamic relevation (Nasr, 1980: 31), namun lebih dari

    itu sufisme menjadi hal yang sangat utama dalam rangka pencarian terhadap makna

    hidup yang bersifat universal dan perennial (Lings, 1993: 22-23).

    Tasawuf dalam hal ini dapat disandingkan dengan ilmu pengetahuan (sains)

    dalam upaya mencari cara pandang terhadap kehidupan. Oleh sebab itu tidak heran

    apabila, dalam tradisi Islam, tasawuf menjadi fenomena yang sangat complicated

    dan penuh dengan dinamika.

    Historisitas Islam sangatlah dipengaruhi akan keberadaan mistisisme baik

    sejak awal berdirinya agama ini sampai saat sekarang. Tasawuf dalam sejarah Islam

    mengalami perkembangan dan modifikasi yang sangat variatif, maka tidak heran

    apabila dalam setiap periode sejarah umat Islam, selalu muncul para tokoh sufi dan

    kelompok-kelompok sufi (sufi orde) pada hampir seluruh wilayah umat Islam.

    Islam merupakan agama yang menghendaki kebersihan lahiriah sekaligus

    batiniah. Hal ini tampak misalnya melalui keterkaitan erat antara niat (aspek

    esoterik) dengan beragam praktek peribadatan seperti wudhu, shalat dan ritual

    lainnya (aspek eksoterik). Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian studi Islam

    yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan aspek batiniah manusia

  • 39

    (Aceh, 1984: 28) yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi

    sebagai ilmu sejak awal tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari tazkiyah al-nafs

    (penjernihan jiwa). Upaya inilah yang kemudian diteorisasikan dalam tahapan-

    tahapan pengendalian diri dan disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap

    berikutnya sehingga sampai pada suatu tingkatan (maqam) spiritualitas yang

    diistilahkan oleh kalangan sufi sebagai syuhud (persaksian), wajd (perjumpaan),

    atau fana (peniadaan diri).

    Dengan hati yang jernih, menurut perspektif sufistik seseorang dipercaya

    akan dapat mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara perilaku hidupnya

    karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang senantiasa mengawasi

    setiap langkah perbuatannya. Jadi pada intinya, pengertian tasawuf merujuk pada

    dua hal: penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) dan pendekatan diri (muraqabah) kepada

    Allah (Umari, 1961: 123).

    Sesungguhnya tasawuf secara formal belum dikenal pada zaman Nabi

    Muhammad. Istilah ini secara tehnis baru berkembang setelah abad kedua hijriah

    (Basyuni, 1960: 111). Pendapat ini diamini dari Saleh Fauzan (1998: 1).

    Menurutnya kata tasawuf dan sufi tidak dikenal pada awal Islam. Ia terkenal (ada)

    setelah itu atau masuk kedalam Islam dari umat-umat yang hidup di belakang hari.

    Menurut Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa-nya dituliskan: Adapun kata sufi

    tidak dikenal di 3 masa yang utama ( shahabat, tabiin, tabiit tabiin) dan hanya

    dikenal setelah masa itu (dalam Fauzan, 1998: 1). Hal ini banyak dinukil oleh para

    imam, seperti Imam Ahmad bin Hambal dan Abu Sulaiman Ad-Darani. Lebih lanjut

    Saleh Fauzan menjelaskan.

  • 40

    Dan Sufi itu tidak ada dalam Islam. Ada yang mengatakan bahwa asalnya adalah dari kata Shuuf (bulu domba) dan inilah yang terkenal di kalangan banyak orang. Dan sufi yang pertama muncul adalah dinegeri Basrah. Orang yang pertama kali mengadakan gerakan sufi ini adalah sebagian dari sahabat Abdul Wahid bin Zaid, ia adalah seorang sahabat Al Hasan Al Basri. Ia (Abdul Wahid) populer di Basrah dengan sifatnya yang keterlaluan dalam zuhud, ibadah, rasa takut dll. Tidak ada penduduk kota itu yang seperti dia. Abu Syaikh telah meriwayatkan dengan sanad-sanadnya dari Muhammad bin Sirin bahwa telah sampai berita kepadanya tentang sebagian kaum yang lebih mengutamakan pakaian dari bulu domba. Ia berkata: sesungguhnya ada suatu kaum yang lebih mengutamakan memakai pakaian bulu domba. Mereka mengatakan ingin meniru pakaian Isa bin Maryam, sedangkan bimbingan dari nabi kita lebih kita cintai. Nabi juga memakai pakaian dari katun dan lain-lain, atau komentar yang senada dengan itu (Fauzan: 1998, 1).

    Para peneliti pemikiran keislaman berbeda pendapat mengenai asal mula

    kata al tasawuf. Sebagian peneliti ada yang mengatakan ia berasal dari kata shaf

    yang berarti baju dari bulu domba kasar yang biasa dipakai oleh orang saleh yang

    tidak lagi menghiraukan kehidupan dunia. Sebagian yang lain berpendapat berasal

    dari shafa yang berarti bersih dan suci karena orang sufi senantiasa membuat lahir

    batinnya dalam keadaan suci. Sebagian yang lain ada yang menyandarkannya

    kepada al-shuffat yaitu serambi masjid tempat Rosulullah mengajar dan tempat

    ibadah sahabat yang terkenal keshalihannya seperti Abu Zar al-Ghifari, sedangkan

    ada yang lain namun minoritas yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata

    Yunani shopos (Hidayat, 2003: 542).

    Secara etimologis, tasawuf setidaknya dapat dirujuk dari tujuh kata asal

    yaitu: shafa (suci), saff (barisan shalat), saufanah (buah-buahan kecil berbulu yang

    banyak dijumpai dipadang pasir), safwah (yang terbaik), suf (bulu domba kasar),

    theosophy (hikmat ketuhanan) dan shuffah,. Menurut Al-Kalabazi (1969: 1), kata

    shuffah, dapat dipahami dalam dua pengertian yaitu pelana kuda yang dipergunakan

  • 41

    oleh para sahabat nabi untuk bantal tidur disamping masjid nabawi atau juga dapat

    dipahami sebagai suatu kamar di serambi Masjid Nabawi yang ditempati oleh

    beberapa sahabat Anshar. Pendapat Al-Kalabazi ini dipertanyakan oleh Mir

    Valiuddin (1987: 2) menurutnya jika memang asal kata tasawuf berasal dari shuffah

    maka panggilan bagi pelaku tasawuf bukannya sufi melainkan shuffi. Pendapat Al-

    Kalabazi mendapat penegasan dari Al-suhrawardi (1985: 445) yang mengatakan

    mekipun secara ilmu bahasa tasawuf berasal dari kata shuffah, namun secara

    maknawi dapat dibenarkan.

    Dari berbagai istilah itu ada kecenderungan bahwa tasawuf berasal dari kata

    shuff. Kelompok yang mendukung pendapat ini adalah Al Suhrawardi (1985: 326),

    dengan beberapa alasan: pertama, didasarkan pada hadis dari Anas yang

    menyatakan Rasulullah mendatangi undangan hamba sahaya naik Himar dan

    memakai pakaian bulu domba. Serta didasarkan pada pernyataan hasan Basri yang

    pada intinya dia telah bertemu tujuh puluh pasukan badar yang mengenakan pakaian

    bulu domba. Pendapat ini juga disetujuai oleh HAR. Gibb (1964: 110), menurutnya

    sebutan mutashawwif diperuntukkan bagi orang yang memakai pakaian dari bulu

    domba dan perilakunya disebut tasawuf. Lebih lanjut menurutnya, secara histories

    asal mula pakaian bulu domba ini sebagai lambang penebusan dosa seseorang yang

    diidentikkan dengan pakaian Isa (Gibb: 1964, 110). Dukungan juga diberikan oleh

    Ibnu Khaldun (tt: 370-371) dan Noldeke, sebagaimana dikutip oleh Nicholson

    (1975: 3-4) dia menjelaskan bahwa sebutan shuff awalnya dinisbatkan kepada

    orang-orang Islam yang hidup asketis, meniru kehidupan para biarawan Nasrani

  • 42

    yang biasanya mengenakan pakaian dari anyaman bulu domba yang kasar sebagai

    tanda tobat dan niat yang kuat untuk meninggalkan kehidupan duniawi.

    Dari deskripsi di atas dapat dipahami bahwa inti dari perbedaan pendapat

    mengenai asal kata tasawuf bermula dari perbedaan sudut pandang. Ada kelompok

    yang menitikberatkan pada aspek lahiriah yaitu pakaian yang dipakai oleh pelaku

    tasawuf (shuf) sedangkan kelompok yang lain menekankan pada aspek batiniah

    yaitu kondisi jiwa yang bersih dari sifat-sifat tercela (shafa), sedangkan yang lain

    menitikberatkan pada aspek perilaku yaitu adanya kesamaan amaliah antara ahli

    tasawuf dengan ahli shuffah dan juga kebanyakan ahli tasawuf selalu berpuasa dan

    bangun malam melaksanakan sholat malam sehingga badannya kurus seperti pohon

    shufanah.

    Secara terminologis, istilah tasawuf diungkapkan secara beragam, Junaid al

    Baghdady berpendapat bahwa tasawuf adalah penyerahan kehendak dan tujuan

    hanya kepada Allah bukan kepada yang lain (dalam Zachner, 1969: 46). Untuk

    mencapai sebuah penyerahan kehendak dan tujuan secara total kepada Allah

    mensyaratkan adanya proses pembersihan terhadap hati, karena hati adalah bagian

    dari Tuhan. Oleh sebab itu esensi dari tasawuf sesungguhnya adalah penyucian hati

    dari segala kotoran dan entitas-entitas keduniawian. Penyucian jiwa ini akan

    berdampak pada kedamaian dan kesejukan karena kehadiran Tuhan senantiasa

    dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Dari sini dapat dipahami bahwa pada

    dasarnya tasawuf memuat dua entitas penting yaitu, pertama: kesucian jiwa untuk

    menghadap Tuhan sebagai zat yang maha suci dan kedua: upaya pendekatan diri

    secara individual kepada-Nya (Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, 2004: 307).

  • 43

    Secara terminology, definisi tentang tasawuf juga dapat dirujuk dari banyak

    tokoh. Menurut Abu Qosim Abdul Karim al-Qusyairi (tt: 56-57), tasawuf adalah

    menjabarkan ajaran al-Quran dan Sunnah, berjuang mengendalikan nafsu, menjahui

    perbuatan Bidah, mengendalikan syahwat dan menghindari sikap meringankan

    ibadah. Menurut Maruf ak-Karkhi sebagaimana dikutip oleh Al-Syuhrawardi

    (1985: 326) tasawuf adalah mengambil hakekat dan tidak tamak dari apa yang

    dimiliki oleh makhluk. Menurut al-Nuri sebagaimana dikutip oleh Ibrahim Basuni

    (1969: 18), tasawuf adalah akhlak mulia. Abu Wafa al-Ghanimi al-Taftazani (1974:

    3-12) mendefinisikan tasawuf sebagai sikap menempuh kehidupan zuhud,

    menghindarkan diri dari kehidupan duniawi, melakukan berbagai macam ibadah,

    melemahkan dimesndi jasmani dan memperkuat dimensi ruhani.

    Dari berbagai definisi di atas dapat dipahami bahwa tasawuf merupakan

    perilaku yang dilandasi oleh akhlak mulia, mampu mengisi waktu yang ada untuk

    beribadah kepada Allah dan menghindarkan diri dari semua perbuatan tercela.

    Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa

    sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-

    Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Ibn al-Khaldun (1966: 231)

    pernah menyatakan bahwa tasawuf para sahabat bukanlah pola ketasawufan yang

    menghendaki kasyf al-hijab (penyingkapan tabir antara Tuhan dengan makhluk)

    atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa belakangan. Corak

    sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba dan iqtida (kesetiaan meneladani)

    perilaku hidup Nabi.

  • 44

    Islam sekalipun mengajarkan tentang ketakwaan, qanaah, keutamaan

    akhlak dan juga keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup

    kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi mistisisme agama-

    agama lainnya (An-Nadwi, 1987: 61). Abdul Qadir Mahmud menyatakan bahwa

    pola hidup sufistik yang diteladankan oleh sirah hidup Nabi dan para sahabatnya

    masih dalam kerangka zuhud (dalam An-Nadwi, 1987: 68). Menurut Ahmad

    Sirhindi, tujuan tasawuf bukanlah untuk mendapat pengetahuan intuitif, melainkan

    untuk menjadi hamba Allah. Menurutnya, tidak ada tingkatan yang lebih tinggi

    dibanding tingkat abdiyyat (kehambaan) dan tidak ada kebenaran yang lebih tinggi

    di luar syariat. Jadi, orientasi fundamental dalam perilaku sufistik generasi salaf

    adalah istiqamah menunaikan petunjuk agama dalam bingkai ittiba dan bukannya

    mencari karomah atau kelebihan-kelebihan supranatural (dalam An-Nadwi: 1987,

    68).

    Adapun tasawuf yang berkembang pada masa berikutnya sebagai suatu

    aliran (mazhab), maka sejauh hal itu tidak bertentangan dengan Islam dapat

    dikatakan positif (ijabi), tetapi apabila telah keluar dari prinsip-prinsip keislaman

    maka tasawuf tersebut menjadi mazhab yang negatif (salbi). Tasawuf ijabi

    mempunyai dua corak: tasawuf salafi, yakni yang membatasi diri pada dalil-dalil

    naqli atau atsar dengan menekankan pendekatan interpretasi tekstual, dan tasawuf

    sunni11, yakni yang sudah memasukkan penalaran-penalaran rasional ke dalam

    11Dalam bidang tasawuf tidak ada perbedaan antara Syiah dengan Sunni. Karena, pertama, tidak

    dikenal dalam terminologi Islam, yang disebut dengan tasawuf Syi'i yang ada hanya tasawuf dan tasawuf dibagi dua. Yang pertama tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang menekankan aspek filosofis dari tasawuf. Tentu tasawuf ini berkenaan dengan konsep mahabbah, ma'rifah, hulul, wihdatul wujud, dan lain-lain. Karena falsafi, sebagaimana corak filsafat, cenderung spekulatif. Filsafat apa pun adalah spekulatif. Tasawuf yang falsafi juga spekulatif.

  • 45

    konstruk pemahaman dan pengamalannya. Perbedaan mendasar antara tasawuf

    salafi dengan tasawuf sunni terletak pada takwil12. Salafi menolak adanya takwil,

    sementara sunni menerima takwil rasional sejauh masih berada dalam kerangka

    syariah, sedangkan tasawuf salbi atau disebut juga tasawuf falsafi adalah tasawuf

    yang telah terpengaruh secara jauh oleh faham gnostisisme Timur maupun Barat

    (Nasution, 1990: 56).

    Terdapat beberapa pendapat tentang pengaruh luar yang membentuk tasawuf

    Islam, ada yang menyebutkannya dari kebiasaan rahib Kristen yang menjauhi dunia

    dan kehidupan materiil. Ada pula yang menyebutkannya dari pengaruh ajaran Hindu

    dan juga filsafat neoplatonisme. Dalam Hindu misalnya terdapat ajaran asketisme

    dengan meninggalkan kehidupan duniawi guna mendekatkan diri kepada Tuhan dan

    menggapai penyatuan antara Atman dan Brahman. Pythagoras juga mengajarkan

    ajakan untuk meninggalkan kehidupan materi dengan memasuki dunia kontemplasi

    (Al-Afifi, 1989: 40). Demikian juga teori emanasi dari Plotinus yang dikembangkan

    untuk menjelaskan konsep roh yang memancar dari dzat Tuhan dan kemudian akan

    kembali kepada-Nya. Pada konteks ini, tujuan mistisisme baik dalam maupun di luar

    Islam ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog langsung antara roh

    manusia dan Tuhan, kemudian mengasingkan diri dan berkontemplasi.

    Apabila kita membahas tasawuf logikanya memang tidak lagi terkotak-kotak kepada Susy (Suni

    Syiah), alasannya tasawuf adalah dimensi spiritual Islam yang membahas perjalanan salik menuju Allah. Artinya dimensi ini bersifat spirit (rohani) lain dengan corak keagamaan yang terdogma dalam aturan-aturan dunia (syariat). Walaupun dominasi ajaran mereka memiliki corak khusus, bahkan Ibnu Arabi seorang Sufi yang Suni, pendapatnya yang berbau filosofis kurang diterima dikalangan suni tetapi sebaliknya di Syii diterima dengan penghormatan khusus, bahkan mendapatkan sebutan Syaihul Akbar. Ilmu hakikatnya satu demikian juga kebenaran karena berangkat dari sumber yang satu, jadi ini hanya masalah sudut pandang saja. Bisa saja sejarah tasawuf dipandang dari sudut pencampuran kebudayaan, bisa saja tasawuf dipandang dari sudut faktor sosial dan ekonomi, masing-masing punya sudut bahasan yang unik bahkan memperkaya khasanah pengetahuan kita. Tak perlu berapriori bahwa sejarah tasawuf harus sama dan seragam.

  • 46

    Secara histories lahirnya tasawuf didorong oleh beberapa faktor: (1) reaksi

    atas kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat, (2) perkembangan

    teologi yang cenderung mengedepankan rasio dan kering dari aspek moral-spiritual,

    (3) katalisator yang sejuk dari realitas umat yang secara politis maupun teologis

    didominasi oleh nalar kekerasan (Al-Afifi, 1989: 30). Oleh karena itu sebagian

    ulama memilih menarik diri dari pergulatan kepentingan yang mengatasnamakan

    agama dengan praktek-praktek yang berlumuran darah.

    Menurut Hamka (1978: 75), kehidupan sufistik sebenarnya lahir bersama

    dengan lahirnya Islam itu sendiri, sebab ia tumbuh dan berkembang dari pribadi

    Nabi saw. Tasawuf Islam sebagaimana terlihat melalui praktek kehidupan Nabi dan

    para sahabatnya itu sebenarnya sangatlah dinamis. Hanya saja sebagian ulama

    belakangan justru membawa praktek kehidupan sufistik ini menjauh dari kehidupan

    dunia dan masyarakat. Tasawuf kemudian tak jarang dijadikan sebagai pelarian dari

    tanggung jawab sosial dengan alasan tidak ingin terlibat dalam fitnah yang terjadi di

    tengah-tengah umat. Mereka yang memilih sikap uzlah ini sering mencari-cari

    pembenaran (apologi) atas tindakannya pada firman Allah. Padahal dapat diketahui

    bersama bahwa nabi dan para sahabatnya sama sekali tidak melakukan praktek

    kehidupan kerahiban, pertapaan atau uzlah. Mereka tidak lari dari kehidupan aktual

    umat, tetapi justru terlibat aktif mereformasi kehidupan yang tengah dekaden agar

    menjadi lebih baik dan sesuai dengan cita-cita ideal Islam ((Hamka: 1978, 76).

    Sebagaimana halnya fikih dan kalam, tasawuf memang sering dipandang

    sebagai fenomena baru yang muncul setelah masa kenabian. Tetapi tasawuf dapat

    berfungsi memberi wawasan dan kesadaran spiritual atau dimensi ruhaniah dalam

  • 47

    pemahaman dan pembahasan ilmu-ilmu keislaman. Seperti diungkap R.A.

    Nicholson (1979: 23), bahwa tanpa memahami gagasan dan bentuk-bentuk

    mistisisme yang dikembangkan dalam Islam, maka hal tersebut serupa dengan

    mereduksi keindahan Islam dan hanya menjadi kerangka formalitasnya saja.

    Dimensi mistis dalam tiap tradisi keagamaan cenderung mendeskripsikan langkah-

    langkah menuju Tuhan dengan imaji jalan (the path). Misalnya, di Kristen dikenal 3

    (tiga) jalan: the via purgativa, the via contemplativa, dan the via illuminative

    (Russel, 1927: 28). Hal serupa ada pula dalam Islam, dengan mempergunakan istilah

    sharia, tariqa, dan haqiqa (Valiuddin, 1981: 56). Praktik kesufian sebagaimana

    dipahami secara umum dewasa ini memang menuntut disiplin laku-laku atau

    amalan-amalan yang merupakan proses bagi para salik menemukan kesucian

    jiwanya. Salik adalah istilah yang diberikan kepada para pencari Tuhan, yaitu orang-

    orang yang berusaha mengadakan pendekatan (taqarrub) untuk mengenal Allah

    dengan sebenar-benarnya.

    Jalan spiritual yang ditempuh para sufi tidaklah mudah. Dalam tradisi

    kesufian, tingkatan-tingkatan spiritual digambarkan dalam analogi titik

    pemberhentian (station atau maqam) yang antara sufi satu dengan lainnya sering

    terdapat perbedaan pendapat. Station ini antara lain: taubat, zuhud, sabar, tawakkal,

    ridha, mahabbah, marifah, fana, ittihad, hulul. Selain maqam, tradisi sufi

    mengenal apa yang disebut dengan hal (jamaknya ahwal, state) yakni situasi

    kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia dari Allah atas riyadhah atau

    disiplin spiritual yang dijalaninya. Suatu situasi kejiwaan tertentu terkadang terjadi

    hanya sesaat saja (lawaih), adakalanya juga relatif cukup lama (bawadih), bahkan

  • 48

    jika hal tersebut sudah terkondisi dan menjadi kepribadian, maka hal inilah yang

    disebut sebagai ahwal. Beberapa ahwal yang banyak dianut oleh kalangan sufi

    rumusannya sebagai berikut: muraqabah, khauf, dan raja, Syauq, Uns, tumaninah,

    musyahadah, dan yakin (Nasution, 1974: 79).

    Dalam wacana kesufian, takhalli an al-radzail atau membersihkan diri dari

    perbuatan tercela merupakan langkah awal untuk membersihkan hati seseorang,

    sedangkan tahalli bi al-fadail atau menghiasi diri dengan sifat-sifat luhur adalah

    tangga berikutnya untuk mencapai tingkat spiritualitas yang lebih tinggi yaitu tajalli.

    Jadi disini, tarekat (dari kata tariq = anak jalan) digambarkan sebagai jalan yang

    berpangkal pada syariat (dari kata syari=jalan utama) (Triminghan, 1971: 51).

    B. Deskripsi tentang Kemunculan Tasawuf

    Menurut al-Dzahabi (1987: 23), istilah sufi mulai dikenal pada abad ke-2

    Hijriyah, tepatnya tahun 150 H. Orang pertama yang dianggap memperkenalkan

    istilah ini kepada dunia Islam adalah Abu Hasyim al-Sufi atau akrab disebut juga

    Abu Hasyim al-Kufi, tetapi pendapat lain menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul

    di dunia Islam pada awal abad ke-3 hijriyah yang dipelopori oleh al-Kurkhi, seorang

    masihi asal Persia. Tokoh ini mengembangkan pemikiran bahwa cinta (mahabbah)

    kepada Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh melalui belajar, melainkan karena

    faktor pemberian (mauhibah) dan keutamaan dari-Nya. Adapun tasawuf baginya

    adalah mengambil kebenaran-kebenaran hakiki. Tesis ini kemudian menjadi suatu

    asas dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam (Al-Taftazani, 1979: 72).

    Beberapa tokoh lainnya yang muncul pada periode ini adalah al-Suqti (w.253 H), al-

    Muhasibi (w. 243 H) dan Dzunnun al-Hasri (w. 245 H).

  • 49

    Tasawuf kemudian semakin berkembang dan meluas ke penjuru dunia Islam

    pada abad ke-4 H dengan sistem ajaran yang semakin mapan. Belakangan, al-

    Ghazali menegaskan tasawuf atau hubbullah (cinta kepada Allah) sebagai keilmuan

    yang memiliki kekhasan tersendiri di samping filsafat dan ilmu kalam. Pada abad

    ke-4 dan ke-5 hijriyah inilah konflik pemikiran terjadi antara kaum sufi dan para

    fuqaha. Umumnya, kaum sufi dengan berbagai tradisi dan disiplin spiritual yang

    dikembangkannya dipandang oleh para fuqaha sebagai kafir, zindiq dan

    menyelisihi aturan-aturan syariat. Konflik ini terus berlanjut pada abad berikutnya,

    terlebih lagi ketika corak falsafi masuk dalam tradisi keilmuan tasawuf dengan

    tokoh-tokohnya seperti Ibn al-Arabi dan Ibn al-Faridl pada abad ke-7 H .

    Realitas inilah yang kemudian menimbulkan pembedaan dua corak dalam

    dunia tasawuf, yaitu antara tasawuf amali (praktis) dan tasawuf nazari (teoritis).

    Tasawuf praktis atau yang disebut juga tasawuf sunni atau akhlaki merupakan

    bentuk tasawuf yang memagari diri dengan al-Quran dan al-Hadith secara ketat

    dengan penekanan pada aspek amalan dan mengaitkan antara ahwal dan maqamat.

    Sedangkan tasawuf teoritis atau juga disebut tasawuf falsafi13 cenderung

    menekankan pada aspek pemikiran metafisik dengan memadukan antara filsafat

    dengan ketasawufan (Shihab, 2001: 120). Di antara tokoh yang dianggap sebagai

    pembela tasawuf sunni adalah al-Haris al-Muhasibi (w. 243H/858 M), al-Junaid (w.

    13Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (marifat) dengan

    pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (marifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. kalau tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis ( ), sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis ( ) sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendektan-pendekatan filosofis yang ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.

  • 50

    298/911), al-Kalabadzi (385/995), Abu Talib al-Makki (386/996), Abu al-Qasim Ab

    al-Karim al-Qusyaeri (465/1073), dan alGhazali (505/1112). Sedangkan tokoh yang

    sering disebut sebagai penganut tasawuf falsafi adalah Abu Yazid al-Bustami

    (261/875), al-Hallaj (309/992), al-Hamadani (525/1131), al-Suhrawardi al-Maqtul

    (587/1191) dengan puncaknya pada era Ibn Arabi14.

    Secara mendasar kemunculan pemikiran tasawuf adalah sebagai reaksi

    terhadap kemewahan hidup dan ketidakpastian nilai (Al-Afifi, 1989: 20). Tetapi

    secara umum tasawuf pada masa awal perkembangannya mengacu pada tiga alur

    pemikiran: (1) gagasan tentang kesalehan yang menunjukkan keengganan terhadap

    kehidupan urban dan kemewahan; (2) masuknya gnostisisme Helenisme yang

    mendukung corak kehidupan pertapaan daripada aktif di masyarakat; dan (3)

    masuknya pengaruh Buddhisme yang juga memberi penghormatan pada sikap anti-

    dunia dan sarat dengan kehidupan asketisme. Terdapat 3 sasaran antara dari tasawuf:

    (1) pembinaan aspek moral; (2) marifatullah melalui metode kasyf al-hijab dan (3)

    bahasan tentang sistem pengenalan dan hubungan kedekatan antara Tuhan dan

    makhluk. Konsep kedekatan dalam hal ini dapat berarti: merasakan kehadiran-Nya

    14Namun dalam sejarah, seperti dicatat Alwi Shihab, Islam tasawuf sendiri tidak sepi konflik,

    khususnya antara tasawuf sunni dan tasawuf falsafi, tatkala pada akhir abad ke-6 H bermunculan tarekat-tarekat yang sebagian besar mulai mengorientasikan pandangannya pada fiqih dan syari'at. Tasawuf sunni dengan tokoh pertamanya yang menonjol, Ar-Raniri, menolak dan mencela tasawuf falsafinya Hamzah Fansuri. Dengan fatwa yang menyeramkan ia menjatuhkan veto kafir atas ajaran Fansuri. Menurut Ar-Raniri, tasawuf falsafi tak lebih sebagai ajaran kebatinan dan kejawen, dan bahkan Nasrani yang berbaju Islam. Dalam babakan sejarah peradaban Islam awal, tasawuf falsafi tak ubahnya anak haram; selalu dikejar-kejar dan disingkirkan seperti anjing kurap penyebar virus berbahaya bagi akidah. Puncak dari perseteruan itu tatkala Sitti Jenar dieksekusi mati oleh dewan Wali (Wali Songo) karena dianggap telah keluar dari rel ajaran Islam murni. Benarkah tasawuf falsafi telah menyimpang? Tampaknya tidak. Dari sinilah kita melihat bagaimana Alwi Shihab dengan jenial dan piawai melakukan rangkaian pembelaan dan anotasi kesalahan persepsi Ar-Raniri atas ajaran tasawuf Fansuri. Menurut Alwi, Ar-Raniri menyerang Fansuri dengan tidak mengikuti pendekatan "ilmiah obyektif" melainkan cara-cara propaganda apologetik. Ia menghujat penganut tasawuf falsafi sebagai murtad yang kemudian dihalalkan darahnya dan menyebabkan jatuhnya ribuan korban yang tak berdosa. Adalah benar, kata Alwi, Ar-Raniri cukup berjasa dalam menancapkan akar tasawuf sunni, tetapi jasa baik itu tak lantas membuat kita menutup mata dari kesewenang-wenangan fatwanya yang menyeramkan (Shihab, 2001: 121)

  • 51

    dalam hati, berjumpa dan berdialog dengan-Nya, ataupun penyatuan makhluk dalam

    iradah Tuhan (Al-Afifi, 1989: 20).

    Dari segi sejarah, sufisme sebenarnya dapat dibaca dalam 2 tingkat: (1)

    sufisme sebagai semangat atau jiwa yang hidup dalam dinamika masyarakat

    muslim; (2) sufisme yang tampak melekat bersama masyarakat melalui bentuk-

    bentuk kelembagaan termasuk tokoh-tokohnya. Perluasan wilayah kekuasaan Islam

    tidak semata-mata berimplikasi pada persebaran syiar Islam melainkan juga

    berimbas pada kemakmuran yang melimpah ruah. Banyak di kalangan sahabat yang

    dahulunya hidup sederhana kini menjadi berkelimpahan harta benda. Menyaksikan

    fenomena kemewahan tersebut muncul reaksi dari beberapa sahabat seperti Abu

    Dzar al-Ghifari, Said bin Zubair, Abd Allah bin Umar sebagai bentuk protes

    dari perilaku hedonistic yang menguat pada masa kekuasaan Umayyah.

    Disintegrasi sosial yang parah mempengaruhi umat mencari pedoman

    doktrinal yang mampu memberi mereka ketenangan jiwa dan sekaligus memberi

    kesadaran yang mengukuhkan ikatan yang damai sesame muslim di antara mereka

    (Effendi