of 35 /35
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hak seluruh warga Indonesia. Mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu diperlukan bagi peningkatan kualitas hidup setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali. Pendidikan bahasa adalah salah satu pendidikan dasar yang sangat penting untuk didapatkan oleh setiap orang terutama anak-anak. Kemampuan berbahasa yang baik dapat menuntun anak-anak dalam menguasai kegiatan membaca, menulis, berbicara, dan mendengar. Namun, tidak semua orang di dunia ini dapat mengikuti kegiatan belajar secara umum. Ada beberapa dari sebagian anak mengalami kesulitan belajar, sehingga menghambat proses pembelanjaran ke jenjang selanjutnya. Selain itu, anak akan mengalami kesulitan dalam bersosialisasi dengan lingkungannya. 1

Tanda dan Gejala Disleksia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Artikel ini membahas rangkuman mengenai tanda dan gejala disleksia pada anak

Text of Tanda dan Gejala Disleksia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hak seluruh warga Indonesia. Mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu diperlukan bagi peningkatan kualitas hidup setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali. Pendidikan bahasa adalah salah satu pendidikan dasar yang sangat penting untuk didapatkan oleh setiap orang terutama anak-anak. Kemampuan berbahasa yang baik dapat menuntun anak-anak dalam menguasai kegiatan membaca, menulis, berbicara, dan mendengar. Namun, tidak semua orang di dunia ini dapat mengikuti kegiatan belajar secara umum. Ada beberapa dari sebagian anak mengalami kesulitan belajar, sehingga menghambat proses pembelanjaran ke jenjang selanjutnya. Selain itu, anak akan mengalami kesulitan dalam bersosialisasi dengan lingkungannya.

Gambar I.1 Anak Disleksia (Sumber: Film Taare Zameen Par)

Salah satu kesulitan belajar yang dapat mempengaruhi kegiatan berbahasa adalah disleksia. Keadaan disleksia ini seringkali sulit terdiagnosis oleh orangtua, keluarga maupun guru di sekolah. Istilah disleksia bisa jadi tidak sepopuler autisme, tetapi masalah disleksia sama sulitnya seperti autisme. Orangtua akan memiliki pandangan

1

yang sama dengan lingkungan sekitar, yakni menganggap anak bodoh atau malas. Sehingga tak jarang anak dengan disleksia akan dibedakan dengan kakak atau adik mereka yang terlihat lebih pintar. Hal ini akan membuat anak disleksia menjadi seseorang yang memiliki rasa percaya diri rendah, mengisolasi diri sehingga hanya memiliki sedikit teman bahkan tidak memiliki teman.

Gambar I.2 Bentuk Kesalahpahaman Orang Tua Terhadap Anak Disleksia (Sumber: Film Taare Zameen Par)

Meskipun penderita disleksia memiliki kelebihan dibidang lain seperti seni atau musik. Penderita disleksia akan melihat dirinya sebagai seorang yang berbeda dari teman sebayanya, membuat mereka meragukan kelebihannya. Bersosialisasi dengan lingkungan sekitar akan menjadi hal yang sama menakutkannya dengan belajar di kelas atau belajar di rumah bersama orang tua. Hal tersebut juga dapat memicu anak untuk menghindar dari kegiatan belajar di sekolah dan melakukan hal lain yang lebih menyenangkan daripada mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan pelajaran di sekolah yang sulit untuk dimengerti, sehingga anak akan diberi label nakal oleh lingkungan sekolah ataupun orang tua. Tidak ada kata sembuh untuk orang dengan disleksia. Hanya saja, seiring waktu tanda dan gejalanya akan semakin samar. Saat mereka berhasil menemukan cara lain untuk membaca, menulis, dan berbicara, disleksia tidak akan menjadi hambatan bagi mereka untuk

2

bisa bersaing, karena kemampuan intelegensi mereka normal atau bahkan diatas rata-rata. Karena itu, disleksia menjadi sangat penting untuk diketahui masyarakat terutama para orang tua dalam

memahami tanda dan gejala disleksia pada anak. Penanganan sejak dini diharapkan dapat memperbaiki kondisi yang dialami penderita disleksia sebagai bentuk perhatian orang tua agar anak disleksia tetap memiliki semangat dan rasa percaya diri dalam mencapai impiannya. 1.2 Identifikasi Masalah Sosialisasi mengenai keberadaan gangguan disleksia di Indonesia masih belum menyeluruh. Kepedulian masyarakat Indonesia tentang kesehatan masih sangat minim. Kurangnya peran serta orang tua dalam mengevaluasi kegiatan belajar anak. 1.3 Fokus Masalah Pembahasan ini akan difokuskan kepada tanda dan gejala disleksia pada anak beserta cara penanganannya untuk saat ini. 1.4 Batasan Masalah Melihat penjelasan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, penelitian ini akan dibatasi dan disesuaikan dengan permasalahan yang akan diteliti, yakni: Tanda dan gejala disleksia pada anak. Bentuk dukungan serta tindakan nyata orang tua dan kalangan pendidik dalam menangani anak disleksia. 1.5 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gangguan disleksia pada anak-anak berupa tanda, gejala beserta penanganannya agar dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat terutama orang tua.

3

1.6 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Pencarian data yang dilakukan melalui 3 tahapan yakni: a. Studi Pustaka Sebagai landasan teori dalam penelitian ini, definisi, karakteristik, gejala, dan penanganan anak disleksia diambil dari buku Apa itu Disleksia? Panduan Untuk Ibu Bapa, Guru, & Kaunselor. karya Sheila Devaraj dan Samsilah Roslan. Kemudian sebagai bahan pelengkap dalam pemahaman dan penanganan orang tua terhadap anak disleksia, buku pendukung yang digunakan yaitu Dyslexia Pocketbook karya Julia Bennett. b. Pencarian Data di Internet Melakukan pencarian melalui mesin telusur Google dengan kata kunci Dyslexia, Disleksia, Kesulitan Belajar, Gangguan pada anak, Learning Disability, Learning Disorder c. Wawancara Melakukan wawancara kepada Kristiantini Dewi,dr.,SpA selaku dokter spesialis anak pada child development center atau layanan klinik tumbuh kembang anak di Santosa Hospital Bandung. Selain itu wawancara juga dilakukan kepada para orang tua yang memiliki peran dalam mengasuh dan mendidik anak disleksia.

4

BAB II DISLEKSIA 2.1 Pengertian Disleksia Kata disleksia berasal dari bahasa Yunani, yakni dys kesulitan dan lexis huruf atau leksikal, disleksia mengacu pada orang yang mengalami kesulitan mengenal huruf dan kata yang kemudian mempengaruhi kemampuan membaca dan mengeja. Disleksia

merupakan salah satu bentuk kesulitan belajar yang paling sering ditemui. Oleh sebab itu secara tidak langsung gangguan disleksia dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menuliskan buah pikirannya.

Gambar II.1 Visualisasi Buah Pikiran Anak Disleksia (Sumber: Film Taare Zameen Par)

Disleksia bukan disebabkan oleh keterbelakangan intelektual, kerusakan indra, dan faktor emosional. Selain itu gangguan disleksia juga bukan disebabkan oleh faktor eksternal misalnya lingkungan atau sebab-sebab sosial. Secara umum, disleksia dipahami sebagai akibat neurologis (cabang ilmu kedokteran yang menangani kelainan saraf), dimana beberapa bagian otak tidak bekerja secara efisien untuk memproses bahasa yang tertulis. Hingga saat ini para ahli neurologis belum dapat mengetahui bagaimana otak manusia berfungsi secara keseluruhan tetapi untuk5

beberapa kawasan otak manusia, sudah dapat dikenali fungsinya secara pasti. Meskipun setiap kawasan memiliki fungsinya tersendiri, namun demikian setiap kawasan di dalam otak, berkaitan antara satu sama lain. Hemisfera pada otak manusia terdiri dari dua bagian yang dihubungkan oleh saraf penghubung, saraf itu dikenal sebagai corpus collosum. Himesfera sebelah kiri didominasi oleh kegiatan yang bersifat (verbal, logical, and controling half) sedangkan himesfera dibagian kanan didominasi oleh aktifitas (non-verbal, practical, and intuitive). Kemudian kawasan wernickle dan kawasan broca menjadi bagian utama saat seseorang melakukan pemprosesan bahasa. (Hornsby dalam Devaraj, 2006).

Gambar II.2 Hemisfera Otak Manusia Tampak Atas (Sumber: Buku Apakah Itu Disleksia?)

Gambar II.3 Himesfera Otak Manusia Tampak Samping (Sumber: Buku Apakah Itu Disleksia?)

6

Pada umumnya, saat manusia melakukan kegiatan yang bersifat verbal atau pemprosesan bahasa, aktifitas pada himesfera bagian kiri akan tampak lebih kecil daripada hemisfera bagian kanan. Namun hal itu sangat berbeda dengan aktifitas orang yang mengidap gangguan disleksia dimana aktifitas himesfera di kedua bagian menjadi sama besar. (Hornsby dalam Devaraj, 2006). Hal tersebut memberikan gambaran kepada para ahli neurologis bahwa anak disleksia membutuhkan proses yang lebih lama dalam membedakan tampilan tulisan yang memiliki kesamaan dan bersifat dua dimensi seperti huruf b dengan d. Kemudian mencoba berhenti mengidentifikasi huruf dikarenakan keletihan yang diakibatkan

semakin terpusatnya proses perpindahan di dalam saraf penghubung. sehingga proses penginformasian antar sarafnya menjadi sangat lama serta tidak jelas arahnya. (Hornsby dalam Devaraj, 2006). Berikut adalah hasil scanning FMRI (functional Magenetic

Resonance Imaging) berupa tampilan kegiatan otak manusia saat melakukan pemprosesan verbal antara anak normal dengan anak disleksia. Anak disleksia sangat mudah merasakan kelelahan karena efektifas yang dilakukan otaknya lebih rumit dalam melakukan kegiatan verbal. (Hornsby dalam Devaraj, 2006).

Gambar II.4 Perbandingan Isyarat Syaraf (Sumber: Buku Apakah Itu Disleksia?)

7

Banyak ahli yang mengemukakan pengertian disleksia antara lain: a. Disleksia sebagai gangguan kesulitan membaca pada anak yang memiliki kecerdasan normal dan bermotivasi cukup. Latar budaya penderita disleksia juga memadai dan berkesempatan

memperoleh pendidikan (Guszak dalam Imandala, 2009). b. Disleksia adalah suatu bentuk kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen data dan kalimat, yang secara historis menunjukan perkembangan bahasa yang lambat dan hampir selalu bermasah dalam menulis dan mengeja serta kesulitan dalam mempelajari sistem berurutan atau pengulangan seperti waktu , arah, dan masa (Bryan dan Mercer dalam Imandala, 2009). c. Disleksia adalah bentuk kesulitan belajar membaca dan menulis terutama belajar mengeja dengan benar dan mengungkapkan pikiran secara tertulis, memanfaatkan kesempatan bersekolah dengan normal serta tidak memperlihatkan keterbelakangan dalam mata pelajaran lainya (Corsini dalam Imandala, 2009). d. Disleksia merujuk pada kesulitan membaca baik itu penglihatan atau pendengaran. Intelegensinya normal dan usia keterampilan bahasanya sesuai. Kesulitan belajar tersebut akibat faktor neurologis yang bersifat biologis. (Hornsby dalam Devaraj, 2006). Diantara sekian banyak definisi, ada kesamaan secara umum mengenai definisi dan penjelasannya yang disusun ke dalam empat bagian yaitu: a. Disleksia memiliki dasar biologis atau keturunan. b. Masalah disleksia bertahan hingga dewasa. c. Disleksia memiliki kepekaan panca indera, pola pikir dan bahasa. d. Disleksia mengarah pada ganguan berbahasa yang di akibatkan sebagian fungsi otak tidak bekerja secara baik.

8

2.1.1 Karakteristik Anak Disleksia Karakteristik anak disleksia sangat bervariasi, tergantung dari gangguan yang menyertainya (Shodiq dalam imandala, 2009), berikut adalah ciri-ciri anak yang mengalami gangguan disleksia adalah sebagai berikut: a. Ketidak akuratan dalam membaca seperti membaca lambat kata demi kata jika dibandingkan dengan anak seusianya, intonasi suara turun naik tidak teratur. b. Tidak dapat ,mengucapkan irama perkataan secara benar dan proporsional. c. Sering terbalik dalam mengenali huruf dan kata, misalnya antara kuda dengan daku. d. Sering mengulangi dan menebak kata-kata atau frasa. e. Ketidakberaturan dalam mengolah kata yang hanya memiliki sedikit perbedaan misalnya buah dan bau. f. Kesulitan dalam memahami isi cerita/teks yang dibacanya. g. Kesulitan dalam mengurutkan huruf dan kata. h. Kesulitan dalam menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan memadukannya menjadi sebuah kata. i. Kesulitan dalam mengeja. Kemungkinan besar anak akan mengeja satu kata dengan bermacam-macam ucapan. j. Membaca satu kata dengan benar di satu halaman namun salah di halaman lainya. k. Kesulitan dalam penulisan kata seperti terbalik dalam menuliskan atau mengucapkan kata. Misalnya, kucing duduk diatas kursi menjadi kursi duduk di atas kucing. l. Kesulitan dalam menggunakan kata-kata yang singkat, misalnya ke, dari, dan, jadi. m. Lupa memetakan titik dan tanda baca lainya. Berikut ini adalah bentuk-bentuk kesulitan membaca pada anak yang mengalami gangguan disleksia (subini dalam Imandala, 2009):

9

a. Melakukan penambahan huruf dalam suku kata (addition), misalnya batu menjadi baltu. b. Menghilangkan huruf dalam suku kata (ommition), misalnya masak menjadi masa. c. Membalikan huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik kiri atau kanan (inversion/mirroring), misalnya dadu menjadi babu. d. Membalikan bentuk huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik atas atau bawah (reversal), misalnya papa menjadi qaqa. e. Mengganti huruf atau angka (substitution), misalnya lupa menjadi luga, dan 3 menjadi 8.

Gambar II.5 Tulisan Anak Disleksia (Sumber: Film Taare Zameen Par)

Penyandang disleksia tidak dapat dikenali dalam wujud fisik yang berbeda dengan orang normal. Disleksia sebagai ketidakmampuan belajar khusus (specific learning Disability) ini biasanya baru terdeteksi setelah penyandang disleksia, memasuki dunia sekolah. Masalah tersebut tampak saat anak-anak mulai menerima atau mengirim bahasa dalam kegiatan komunikasi. Kegiatan berbahasa dalam konsep komunikasi ini dibagi kedalam aspek, empat yakni (bennet, 2006): Encoding atau pengubahan pesan baik itu lambang, atau bahasa kedalam bentuk lisan terjadi ketika menuturkan kembali pesan menjadi bahasa lisan dikenal dengan istilah berbicara. Sebagai

10

contoh ketika menyebutkan huruf yang membentuk kata topi, yaitu t, o, p, dan i. Decoding atau menerima sebuah pesan baik itu lambang, atau bahasa kedalam bentuk lisan terjadi ketika menerima bentuk

tulisan menjadi bahasa lisan dikenal dengan istilah menyimak. Reading fluency atau kelancaran dalam membaca, terjadi ketika mengenali kata demi kata dengan cepat, membaca kalimat atau wacana yang lebih panjang sehingga dapat dengan mudah menghubungkannya. Kemampuan ini mengindikasikan bahwa anak mengerti materi yang dibacanya. Comprehension atau pemahaman terjadi ketika memahami arti bacaan.

2.1.2 Faktor Penyebab atau Etimologi Penyebab disleksia dilihat dari konteks biologis (Hornsby dalam Devaraj, 2006), faktor-faktornya adalah sebagai berikut: a. Faktor genetik atau keturunan. Penelitian yang dilakukan oleh Grigorenko menghasilkan 20-65% anak disleksia juga memiliki orang tua yang mengalami gangguan serupa. b. Masalah dalam pergerakan neuron (saraf), penelitian ini dilakukan oleh Simos yang menunjukan bahwa anak disleksia memiliki pola aktifitas yang berbeda dengan anak normal biasanya yang menggunakan hemisfer (bagian otak) kiri sedangkan anak disleksia hemisfer kanan. c. Pengaruh hormon prenatal atau kromosom.

2.2 Membaca dan Pemahaman Membaca Menurut Lim Imandala dalam situsnya http://pendidikankhusus.

wordpress.com yang diakses pada tanggal [23 Januari 2013]. Seorang

ahli membaca, steve Stahl (Santrock, 2006), mengemukakan ada tiga tujuan utama dalam instruksi membaca yakni, pertama membantu

11

anak mengenali kata-kata secara otomatis. Kedua, memahami teks bacaan dan yang ketiga membuat seseorang termotivasi untuk membaca dan menghargai bacaan. Ketiga jika anak tidak mengerti bacaan, maka anak tidak akan termotivasi untuk membacanya.

Gambar II.6 Hilangnya Motivasi Membaca Pada Anak Disleksia (Sumber: Film Taare Zameen Par)

Analisis terkini dari Rich Mayer (Santrock, 2006), bahwa ada proses kognitif yakni proses kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses berpikir untuk membaca kata-kata yang tercetak, prosesnya adalah: a. Sadar akan unit suara dalam kata-kata, dimana terdiri dari mengenal, menghasilkan, dan memanupulasi fonem. b. Decoding word, artinya mengubah kata-kata yang tercetak dalam suara. c. Dapat mengakses arti kata, artinya dapat mendefinisikan arti kata dalam memori. Membaca adalah suatu proses yang berkembang sejak manusia lahir, dari tidak menguasai hingga benar-benar memahami. Sebelum itu ada tahapan-tahapan yang dilalui oleh seorang anak sepanjang mereka belajar membaca (Lerner dalam Imandala, 2009), yakni sebagai berikut:

12

a. Logographic reading. Pada tahapan ini, anak mulai mengenali kosakata yang terbatas dari seluruh kata melalui isyarat yang tidak disengaja misalnya sebuah logo, gambar, warna, atau bentuk. Sebagai contoh, orang tua yang memiliki anak pada tahapan ini mungkin menemukan bahwa anak dapat memutuskan untuk memakan makanan yang diinginkanya dikarenakan sebuah iklan yang menunjukan merek yang mereka kenal. Pada awal tahap ini, anak tidak dapat mengasosiasikan suara dengan simbol atau menyadari bahwa kata yang diciptakan oleh fonem atau kata yang disuarakan. b. Early alphabetic. Untuk dapat berkembang dalam membaca, anak perlu memahami wawasan dari tulisan alfabet yang

merepresentasikan fonem. Pada tahap ini, anak menggunakan tulisan alfabet untuk menulis kata-kata. Sebagai contoh anak

mungkin menulis PTZU untuk pizza. c. Mature Alphabetic reading. Pada tahap ini, anak mengetahui asosiasi pengejaan dengan suaranya, anak juga dapat yang

menggunakannya sederhana.

untuk menguraikan pada

kata-kata

d. Orthographic stages: Recognizing syllables and morphemes. Pada tahap ini, anak menggunakan analogi kata yang diketahui sebelumnya untuk membaca kata yang baru, misalnya perang, serang. e. Gaining fluency. Pada tahapan ini anak mulai mudah untuk membaca materi. 2.3 Fluency dalam Pemahaman Membaca Anak Disleksia Sebelumnya dijelaskan bahwa anak disleksia memiliki kecerdasan rata-rata bahkan ada yang diatas rata-rata. Artinya, anak disleksia seharusnya tidak memiliki kesulitan ketika belajar membaca. Namun dalam kenyataanya meskipun cerdas dan kemampuan berbicara

13

cukup lancar, anak disleksia tetap memiliki hambatan dalam belajar membaca terutama dalam masalah pemahaman. Hal tersebut berbanding terbalik dengan tujuan akhir dari membaca. Memahami materi yang dibaca dari susunan huruf yang tercetak menjadi tujuan utama dari proses pengambilan informasi yang dilihat oleh anak. Sebagai sebuah kemampuan yang

mengantarkan anak pada pemahaman, yakni fluency. Didalam kegiatan membaca fluency didefinisikan sebagai kemampuan

mengenali kata dengan cepat, membaca kalimat dalam bacaan yang lebih panjang dengan cara yang mudah sebagai indikasi pemahaman materi bacaan atau reading comprehension (Lerner dalam Imandala, 2009).

Gambar II.7 Dukungan Orang Tua Pada Anak Disleksia (Sumber: Film Taare Zameen Par)

Penangan dini yang dilakukan oleh orang-orang terdekat terhadap penderita disleksia sebenarnya dapat membantu meminimalisir hambatan anak dalam memahami materi bacaan. Pemberian program linguistik yang memuaskan kepada semua anak dan terus melakukan latihan, maka semakin banyak anak membaca akan semakin besar kemungkinannya untuk menjadi pembaca yang baik. Orang tua menjadi sangat penting perananya dalam memposisikan anak tertutama anak yang mengalami gangguan disleksia agar mau tetap berlatih membaca dengan berbagai macam cara yang dianjurkan.

14

BAB III TANDA DAN GEJALA DISLEKSIA 3.1 Tanda dan Gejala Disleksia Pada Anak Disleksia merupakan gangguan yang berbasis neurologis. Cara mereka membaca tidak sama dengan otak individu yang tidak mengalami disleksia. Masalah utama yang timbul hanya yang terkait dengan membaca, mengeja dan menulis. Kesulitan lain yang mengikuti, antara lain, kesulitan konsentrasi, daya ingat jangka pendek kurang, tidak terorganisasir, dan kesulitan dalam menyusun atau mengurutkan sesuatu. Oleh karena itu, tanda dan gejala yang muncul untuk mendukung diagnosis disleksia pada anak akan berkaitan dengan kesulitan dalam membaca, mengeja dan menulis. Sedangkan tanda dan gejala lain yang timbul di luar hal tersebut merupakan kesulitan lain yang mengikuti dikarenakan anak disleksia mengalami kesulitan dalam membaca, mengeja dan menulis. Sehingga, anak dengan disleksia dapat dibedakan dari anak dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas, autisme atau anak dengan keterbelakangan mental. 3.1.1 Tanda Anak Disleksia Menurut Ronald Davis dalam situsnya http://www.dyslexia.com/ yang diakses pada tanggal [21 Januari 2013]. Berikut ini adalah tandatanda disleksia yang mungkin dapat dikenali oleh orang tua atau guru: A. General Tingkat intelegensi tinggi tetapi tidak dapat membaca, menulis atau mengeja pada level dasar. Memiliki kemampuan pada bidang drama, musik, olahraga, mesin, bercerita, bisnis, designing, building dan engineering.

15

Lebih mudah untuk mempelajari sesuatu secara langsung dengan tangan sendiri, demonstrasi, bereksperimen dan observasi.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa anak disleksia cenderung aktif dalam mengenal sesuatu dengan caranya sendiri. Disisi lain anak yang menderita gangguan disleksia lebih paham atau menguasai sesuatu diatas rata-rata orang normal. B. Membaca, mengeja dan menulis Sangat lambat kemajuannya dalam ketrampilan membaca. Sulit menguasai / membaca kata-kata baru. Kesulitan melafalkan kata kata yang baru dikenal. Kesulitan membaca kata-kata singkat seperti : di, pada, ke Kesulitan dalam mengerjakan tes pilihan ganda. Kesulitan mengeja. Membaca sangat lambat dan melelahkan. Sering terbalik dalam mengenali huruf dan kata, misalnya antara kuda dengan daku. Melakukan penambahan huruf dalam suku kata (addition), misalnya batu menjadi baltu. Menghilangkan huruf dalam suku kata (ommition), misalnya masak menjadi masa. Membalikan huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik kiri atau kanan (inversion/mirroring), misalnya dadu menjadi babu. Membalikan bentuk huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik atas atau bawah (reversal), misalnya papa menjadi qaqa. Mengganti huruf atau angka (substitution), misalnya lupa menjadi luga, dan 3 menjadi 8. Sulit dalam menggunakan alat tulis.

16

Tulisan tangan berantakan. Lupa memetakan titik dan tanda baca lainya.

Dalam bidang akademis terutama yang berkaitan dengan kegiatan tekstual seperti membaca, menulis dan mengeja, anak disleksia jauh tertinggal dengan anak-anak normal lainya. C. Mendengar dan berbicara Mudah terganggu oleh suara. Telat berbicara. Pada umur dua tahun, misalnya, anak baru dapat mengucapkan satu atau dua patah kata. Kesulitan mencerna serta mengikuti beberapa instruksi yang disampaikan secara verbal, cepat, dan berurutan. Berbicara dengan kalimat yang tidak lengkap.

Dengan kata lain anak disleksia sangat sulit berkonsentrasi saat mendengar suara. Ketidaktahuan masyarakat akan gangguan ini akan membuat anak disleksia mendapatkan label nakal yang terkesan seenaknya. D. Matematika dan manajemen waktu Kesulitan dalam menyebutkan waktu, mengatur waktu ataupun melakukan sesuatu dengan tepat waktu. Kesulitan dalam melakukan penghitungan diatas kertas. Lebih pintar jika menghitung dengan menggunakan tangan atau trik lain yang tidak berkaitan dengan tulis menulis. Dapat menghitung, tetapi memiliki kesulitan dalam menghitung objek atau berurusan dengan uang. Anak disleksia bukanlah tidak dapat melakukan perhitungan matematika, hanya saja mereka memiliki caranya sendiri dalam meyelesaikan persoalan tersebut. Sebagai pendidik ada baiknya untuk tidak memaksakan anak disleksia ketika mengajarkan

perhitungan menggunakan metode konvesional. Kesabaran tenaga

17

pendidik pun sangat dibutuhkan dalam menangani anak disleksia yang membutuhkan waktu lebih dalam proses berhitung terutama yang bersifat soal cerita.

Gambar III.1 Metode Alternatif Pembelajaran Anak Disleksia (Sumber: Film Taare Zameen Par)

E. Ingatan dan pengetahuan Ingatan yang buruk atau lemah terhadap informasi yang tidak pernah dialami sebelumnya. Pertama kali berpikir, yang diingat adalah gambar dan perasaan, bukan suara atau kata. Anak disleksia memiliki perasaan yang sangat sensitif, kemudian anak disleksia sangat tertarik dengan hal-hal yang bersifat visual. Maka tampilan visual yang baik dapat digunakan sebagai alat dalam menyampaikan informasi terhadap anak disleksia. F. Perilaku, kesehatan, perkembangan dan kepribadian Terlihat pendiam, banyak berulah, malas atau tidak pernah berusaha keras. Biasanya memiliki perkembangan yang lamban (berbicara, berjalan, mengikat tali sepatu) Sensitif terhadap makanan dan produk kimiawi.

18

Memiliki rasa keadilan yang tinggi, sensitif secara emosional dan selalu berusaha mencapai kesempurnaan. Kesalahan akan sering muncul secara dramatis manakala anak dalam keadaan bingung, diburu oleh waktu, stres secara emosional atau kesehatan yang menurun.

Secara kasat mata sangatlah sulit membedakan anak normal dengan anak yang mengalami disleksia. Namun jika orang tua mau mengikuti proses perkembangan anak dengan baik maka mereka akan mengerti, kesulitan apa saja yang dialami sang anak. Melakukan konsultasi kepada para ahli terutama yang berkaitan dengan tumbuh dan kembang pada anak sangatlah dianjurkan, agar dalam

menanganinya pun tidak akan begitu sulit karena telah mengetahui sebab-sebab ganguan yang terdapat pada anak.

3.1.2 Gejala Anak Disleksia Menurut Kristiani Dewi S.pA selaku dokter spesialis anak, gejala yang timbul pada anak disleksia cenderung sulit untuk diketahui karena biasanya hal ini tidak akan disampaikan secara langsung oleh anak yang menderita disleksia kepada orang tua, guru ataupun tenaga kesehatan yang mereka temui. Gejala tersebut antara lain: Mengeluh pusing, nyeri kepala atau sakit perut saat membaca. Mengeluh melihat atau merasakan gerakan-gerakan yang sebenarnya tidak ada saat membaca, menulis atau menyalin. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa anak disleksia membutuhkan perhatian lebih, terutama disaat mereka melakukan kegiatan

membaca. Menemani dan memberikan semangat kepada mereka sangatlah diperlukan, kemudian memberikan banyak waktu untuk beristirahat dan sedikit kesempatan untuk melakukan kegiatan yang mereka senangi. Orang tua pun meski memiliki kepintaran, dalam memilih permainan yang mereka gunakan agar tetap menunjang faktor tumbuh dan kembang anak.

19

3.2 Bentuk Dukungan dan Tindakan Nyata Pada Anak Disleksia Kristiani Dewi S.pA mengutarakan bahwa hal yang paling penting pada disleksia adalah kapan dan bagaimana orag tua harus bereaksi ketika mereka melihat ada sesuatu yang tidak benar dalam kondisi akademis dan perilaku anak mereka?. Penolakan orang tua terhadap kesulitan dalam membaca, mengeja dan menulis pada anak mereka adalah hal yang paling sering dilakukan oleh orang tua, sekalipun mereka mengetahui bahwa hal tersebut terjadi pada anak mereka. Hal ini terjadi karena anak dianggap masih dalam proses belajar yang mana hal tersebut akan berbeda bagi tiap individu. Tidak jarang orang tua dari anak dengan disleksia akan mencari pertolongan atau memeriksakan anaknya kepada petugas kesehatan ketika kondisi mereka sudah parah bahkan, anak sudah mengalami stress hingga depresi. Hal ini terjadi karena orang tua tidak mengenali atau bahkan terlambat mengenali bahwa kesulitan belajar yang dialami oleh anak mereka adalah disleksia. Sehingga prestasi akademis anak akan terus menurun, anak kesulitan dalam ujian, mendapat stigma negatif, diganggu (bullying), serta kesulitan dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan membaca dan menulis.

Gambar III.2 Stigma Negatif Terhadap Anak Disleksia (Sumber: Film Taare Zameen Par)

20

Mengingat demikian kompleksnya keadaan disleksia ini, maka sangat disarankan bagi orang tua yang merasa anaknya menunjukkan tanda-tanda seperti tersebut di atas, agar segera membawa anaknya berkonsultasi kepada tenaga medis profesional yang kapabel di bidang tersebut. Karena semakin dini kelainan ini dikenali, semakin mudah pula intervensi yang dapat dilakukan sehingga anak tidak terlanjur larut dalam kondisi yang lebih parah. Peran orang tua tidak hanya berhenti hingga anak tersebut didiagnosis oleh dokter serta psikolog menderita disleksia. Peran orang tua juga sangat dibutuhkan untuk membantu anak melewati proses belajar. Meskipun banyak orang tua yang menerima sepenuhnya keadaan disleksia yang dialami anaknya, banyak pula orang tua yang merasa stres. Pemicu stres yang paling umum adalah mereka mulai memikirkan rencana belajar ulang anak mereka yang akan menyita waktu para orang tua, pekerjaan rumah yang harus mereka selesaikan setiap harinya, serta kewajiban untuk mengurus anak-anak mereka yang lain. Hal-hal tersebut diatas akan mempengaruhi orang tua dalam keterlibatan serta pemberian dukungan pada anak dengan disleksia yang justru sangat dibutuhkan. Karena bagaimana pun, keadaan disleksia ini bukanlah penyakit yang dapat sembuh jika diobati namun gangguan yang bersifat permanen. Penelitian retrospektif menunjukkan disleksia merupakan suatu keadaan yang menetap dan kronis. Ketidak mampuannya di masa anak yang nampak, seperti menghilang atau berkurang di masa dewasa bukanlah karena disleksia tersebut telah sembuh namun, karena individu tersebut berhasil menemukan solusi untuk mengatasi kesulitan yang diakibatkan oleh keadaan disleksia tersebut. Melihat keadaan tersebut, maka muncul beragam terapi alternatif yang diberikan kepada orang tua anak disleksia. Padahal, semestinya anak hanya boleh mendapatkan terapi berbasis bukti (evidence based therapy). Tetapi, beragam alternatif tersebut sebenarnya mengacu

21

pada tiga model strategi pembelajaran yang terdiri dari metode multisensori, metode fonik (bunyi), dan metode linguistik. Metode Multisensori mendayagunakan kemampuan visual

(kemampuan penglihatan), auditori (kemampuan pendengaran), kinestetik (kesadaran pada gerak), serta taktil (perabaan) pada anak. Metode Fonik atau Bunyi memanfaatkan kemampuan auditori dan visual anak dengan cara menamai huruf sesuai dengan bunyinya. Misalnya, huruf B dibunyikan eb, huruf C dibunyikan dengan ec. Adapun Metode Linguistik adalah mengajarkan anak mengenal kata secara utuh. Cara ini menekankan pada kata-kata yang bermiripan. Penekanan ini diharapkan dapat membuat anak mampu

menyimpulkan sendiri pola hubungan antara huruf dan bunyinya.

Gambar III.3 Metode Fonik (Sumber: Film Taare Zameen Par)

Menerapkan model strategi pembelajaran tersebut diatas pada proses belajar anak disleksia diharapkan dapat membantu anak disleksia memahami apa yang tidak mereka pahami. Namun, terdapat beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan kepada anak disleksia sehingga, proses penyamaran ketidakmampuan yang terjadi akan lebih maksimal, hal tersebut antara lain: Adanya komunikasi dan pemahaman yang sama mengenai anak disleksia antara orang tua dan guru. Anak duduk di barisan paling depan di kelas.

22

Guru senantiasa mengawasi/ mendampingi saat anak diberikan tugas, misalnya guru meminta membuka sebuah halaman, pastikan anak tidak tertukar dengan membuka halaman lain.

Guru dapat memberikan toleransi pada anak disleksia saat menyalin soal di papan tulis sehingga mereka mempunyai waktu untuk menyiapkan latihan. Anak disleksia yang sudah

menunjukkan usaha keras untuk berlatih dan belajar harus diberikan penghargaan yang sesuai dan proses belajarnya perlu diseling dengan waktu istirahat yang cukup. Melatih anak menulis sambung sambil memperhatikan cara anak duduk dan memegang pensilnya. Tulisan sambung memudahkan murid membedakan antara huruf yang hampir sama misalnya b dengan d. Murid harus diperlihatkan terlebih dahulu cara menulis huruf sambung karena kemahiran tersebut tidak dapat diperoleh begitu saja. Pembentukan huruf yang betul sangatlah penting dan murid harus dilatih menulis huruf huruf yang hampir sama berulang kali. Misalnya huruf-huruf dengan bentuk bulat: g, c, o, d, a, s, q, bentuk zig zag:k, v, x, z, bentuk linear:J, t, l, u, y, j, bentuk hampir serupa:r, n, m, h. Guru dan orang tua perlu melakukan pendekatan yang berbeda ketika belajar matematika dengan anak disleksia, kebanyakan mereka lebih senang menggunakan sistem belajar yang praktikal. Selain itu kita perlu menyadari bahwa anak disleksia mempunyai cara yang berbeda dalam menyelesaikan suatu soal matematika. Anak disleksia dapat menjadi sangat sensitif, terutama jika mereka merasa bahwa mereka berbeda dibanding teman-temannya dan mendapat perlakukan yang berbeda dari gurunya. Lebih buruk lagi jika prestasi akademis mereka menjadi demikian buruk akibat perbedaan yang dimilikinya tersebut. Kondisi ini akan membawa anak menjadi individu dengan self -esteem yang rendah dan tidak percaya diri.

23

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Dalam menangani disleksia orang tua dan guru seyogyanya adalah orang-orang terdekat yang dapat membangkitkan semangatnya, memberikan motivasi dan mendukung setiap langkah usaha yang diperlihatkan anak disleksia. Jangan sekali sekali membandingkan anak disleksia dengan temannya, atau dengan saudaranya yang tidak mengalami gangguan disleksia. Disadari atau tidak itu bisa terjadi pada siapa saja. Meskipun sulit dalam mengenali anak disleksia orang tua dapat berkonsultasi dengan para ahli terutama mereka yang menangani kegiatan tumbuh dan kembang anak. Meninggalkan caracara klasik atau konvesional adalah bagian yang terpenting dalam mendukung kegiatan belajar anak disleksia. Selalu mencari informasi dan berpartisipasi dalam forum-forum yang membahas gangguan disleksia juga sangat dianjurkan agar orang tua tidak putus asa dalam memberikan motivasi serta dukungan nyata terhadap anak disleksia.

4.2 Solusi Yang Bisa Dilakukan Gangguan disleksia memang bersifat permanen atau dengan kata lain tidak dapat disembuhkan. Namun orang tua tak dapat menutup mata akan kelebihan yang mereka miliki dalam kesehariannya. Meski lemah dibidang akademis terutama yang berkaitan dengan kegiatan membaca, mereka dapat diarahkan untuk tetap beraktifitas seperti mengenalkan anak dengan metode pembelajaran yang menarik dan tidak membosankan, terdapat unsur-unsur permainan didalamnya dan lebih mengedepankan visual serta audio. Adapun cara umum dimana mereka dapat dididik melalui sekolah khusus yang mengedepankan bakat yang dimiliki anak dan mengenalkan metode-metode khusus dalam menangani kegiatan belajar bagi anak disleksia.

24