Upload
dinhnhan
View
254
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
“STATUS ANAK DI LUAR NIKAH” (Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Sleman Nomor
408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn Tentang Pengesahan Anak Di Luar Nikah)”.
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 ( S.1 )
Dalam Ilmu Syari‟ah
Oleh:
ALFIAN QODRI AZIZI NIM : 0 6 2 1 1 1 0 01
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
ii
Drs. H. Eman. Sulaeman, M.H.
Tugurejo A. 3 Rt. 02./Rw. 01
Tugu Semarang
Nur Hidayati Setyani, S.H, M.H.
JL. Merdeka Utara 1/B.9
Ngaliyan Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 Naskah eks
Hal : Naskah Skripsi
An. Sdr. Alfian Qodri Azizi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari‟ah
IAIN Walisongo
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini
kami kirimkan naskah skripsi Saudara :
Nama : Alfian Qodri Azizi
NIM : 062111001
Jurusan : Ahwal al-Syakhsiyyah
Judul Skripsi : “STATUS ANAK DI LUAR NIKAH” (Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan
Agama Sleman Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn
Tentang Pengesahan Anak Di Luar Nikah)”.
Dengan ini kami mohon kiranya skripsi mahasiswa tersebut dapat segera
dimunaqosahkan. Demikian harap menjadi maklum.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Semarang, 20 Juli 2011
Pembimbing I
Drs. H. Eman. Sulaeman, M.H.
NIP. 196 50605 199203 1 001
Pembimbing II
Nur Hidayati Setyani, S.H, M.H.
NIP. 196 70320 199303 2 001
iii
KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH
PENGESAHAN
Nama : Alfian Qodri Azizi
NIM : 062111001
Jurusan : Ahwal al-Syakhsiyyah
Judul Skripsi : “STATUS ANAK DI LUAR NIKAH” (Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama
Sleman Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn Tentang
Pengesahan Anak Di Luar Nikah)”.
Telah dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari‟ah Institut Agama
Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat
cumlaude / baik / cukup, pada tanggal :
23 DESEMBER 2011
Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S.1)
dalam Ilmu Syari‟ah tahun akademik 2010/2011.
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
Dr. H. Imam Yahya, M. Ag. Nur Hidayati Setyani, S. H, M. H
NIP. 19700410 199503 1 001 NIP. 196 70320 199303 2 001
Penguji I Penguji II
Prof. Dr. H Ahmad Rofiq, M.A. Drs. Sahidin, M. Si.
NIP.19590714 198603 1 004 NIP. 19670321 199303 1 005
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. H. Eman. Sulaeman, M.H. Nur Hidayati Setyani, S.H, M.H.
NIP. 196 50605 199203 1 001 NIP. 196 70320 199303 2 001
Alamat : Jl. Prof. Dr. Hamka Km.2 Ngaliyan Kampus III Telp/Fax : 024-7614454 Semarang 50185
iv
MOTTO
Artinya: “Allah Akan Meninggikan Orang-Orang Yang Beriman Di Antaramu
Dan Orang-Orang Yang Diberi Ilmu Pengetahuan Beberapa Derajat.
Dan Allah Maha Mengetahui Apa Yang Kamu Kerjakan”.
v
PERSEMBAHAN
Alhamdu Lillahi Rabbil „Alamiin , berkat do‟a dan segenap asa nan suci
teruntuk mereka yang arif, maka skripsi ini penulis persembahkan sebagai
ungkapan syukur kepada Allah dan tali kasih pada hambanya, kepada:
Orang tuaku, ayahanda tercinta Drs. H Ali Mas‟ad. yang selalu menjadi
inspirasi kebijaksanaan dalam tutur dan laku penulis. Ibunda tercinta Hj. Sri
Hastuti, S. Pd. yang tak pernah lelah memberikan motivasi wejangan, doa,
cinta, kasih sayang laksana surya dan bak lautan kesabaran yang tak pernah
kering dalam mendidik serta senantiasa mengharapkan kesuksesan untuk
putra-putrinya. Ta‟dzimku teruntukmu ayah dan bunda. Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku
waktu kecil.
Adik-adikku tersayang, Ulfi Azizah dan Ulfiana Qodri‟ah, yang selalu
mengingatkan ku akan tanggung jawab dan arti sebuah cita-cita yang luhur.
Guru-guruku di seluruh jenjang pendidikan yang telah mendidik dengan tulus
ikhlas, mengajari ku untuk tekun belajar dan memberikan do‟a mengiring
setiap jejak langkah ku dalam mencari kelezatan ilmu yang penuh barokah.
Semua sahabat-sahabat ku yang berjihad dengan kearifan ilmu-Nya dan telah
andil dalam mengarahkan penulis ketika penyusunan skripsi ini.
Thank’s to all yang telah menjadi sandaran dan penyejuk hatiku terima kasih
atas segala dukungan, pengertian, dan motivasinya selama ini. Semoga Allah
SWT selalu menyertai kalian semua.
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak
berisi materi yang pernah ditulis oleh orang
lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini
tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain
kecuali informasi yang terdapat dalam
referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 25 Juli 2011
Deklarator
Alfian Qodri Azizi
0 6 2 1 1 1 0 0 1
vii
ABSTRAK
KHI menjelaskan bahwa anak dari hasil hubungan luar nikah hanya
memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya. Kondisi yang demikian itu,
kontradiktif dengan UU perlindungan anak No 23 tahun 2002 yang mengatur hak-
hak anak atas kesejahteraan oleh kedua orang tuanya bukan ibunya saja. Terjadi
bias gender pada Konsep hukum Islam (Fiqh), anak luar nikah (zina) menjadi
tanggung jawab ibunya dengan hanya bernasab pada ibunya saja, sehingga secara
yuridis gugur kewajiban ayahnya untuk memberikan nafkah, warisan dan menjadi
wali anak tersebut. Dalam praktek beracara, penulis menjumpai adanya perkara
pengakuan anak register Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di Pengadilan Agama
Sleman yang mampu menjawab persoalan mengenai perlindungan anak di luar
nikah, dengan tetap menjaga amanat UU No 23 tahun 2002. Pada perkara tersebut,
seorang laki-laki ingin mengakui anaknya yang lahir akibat hubungan seksual
pranikah sehingga memperoleh hubungan nasab (keperdataan) dengan dirinya.
Berdasarkan pemaparan di atas, pokok masalah yang diangkat dalam
skripsi ini adalah Bagaimanakah Putusan Pengakuan Anak Nomor 408/Pdt.G/
2006/PA.Smn di Pengadilan Agama Sleman?. Bagaimanakah Analisis Menurut
Hukum Islam Mengenai Perkara Permohonan Pengakuan Anak Nomor
408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di Pengadilan Agama Sleman?
Untuk menjawab permasalahan tersebut perlu dilakukan sebuah
penelitian, sedangkan metode yang digunakan oleh penulis yaitu dengan library
research. Data primer yang digunakan adalah dokumen-dokumen register dan
berkas perkara Pengadilan Agama (PA) Sleman (yakni putusan Putusan
Pengadilan Agama Sleman Nomor 408/Pdt.G/ 2006/Pa.Smn Tentang Perkara
Pengakuan Anak Tahun 2006.), sedangkan data sekunder adalah semua bahan
informasi yang berkaitan dengan pokok bahasan dalam skripsi ini. Data-data yang
terkumpul disusun dan disistematisir dan selanjutnya dianalisis dengan
pendekatan ushul fiqih dan metode deskriptif analisis.
Setelah pembahasan dilakukan, peneliti mempunyai kesimpulan bahwa
putusan terebut semata-mata bertujuan untuk memberikan perlindungan secara
aktif-ofensif terhadap jiwa anak (hifzh an-Nafs) yang lahir di luar nikah.
Meskipun sang anak tidak ada hubungan nasab dengan ayahnya, namun majelis
hakim mewajibkan ayahnya secara hukum untuk memberikan nafkah sampai anak
tersebut dewasa. Dengan tujuan ke-maslahat-an anak, agar memperoleh kasih
sayang, perawatan dan pendidikan dari ayah dan ibunya secara utuh kepada anak
tersebut. Majelis hakim menetapkan keputusan tersebut berlandaskan
kaidah:“Hukum itu mengikuti ke-maslahat-an yang ada” ( الحكم يتبع المصلحة
kemudian dimanifestasikan dari konsep maslahah mursalah kepada (الراجحة
perlindungan anak luar nikah, sehingga mencerminkan hukum Islam yang mampu
untuk menjawab permasalahan ummat sesuai dengan tuntutan zaman (sahih li
kulli zaman wa makan).
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim,
Segala puji bagi Allah SWT. Yang senantiasa menerima taubat hamba-
hamba-Nya yang ingin kebijakan, kedamaian, dan kesejahteraan hidup di dunia
dan akhirat. Sesungguhnya tiada kasih yang melebihi kasih Allah. Tiada perhatian
yang mengungguli perhatian Allah. Adalah hamba yang bodoh bila tak tahu
berterima kasih atas segala kemurahan dan karunia-Nya. Sholawat dan salam
semoga tetap tercurah untuk baginda Rasulullah Muhammad SAW, keluarga dan
para sahabatnya.
Bagi penulis, penyusunan skripsi merupakan tugas yang tidak ringan.
Tak terlepas dari segala keterbatasan penulis, dengan niat dan tekad yang bulat
akan kerja keras yang tidak akan pernah putus untuk menjinakkan waktu. Selaras
dengan semangat optimisme bahwa “sesungguhnya Allah akan memberikan
kelapangan dari setiap kesulitan” merupakan bekal ampuh untuk menghadapi
ribuan rintangan yang selalu menghadang, Suatu kebanggaan tersendiri bagi
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang merupakan tugas pamungkas setelah di
godok dalam kawah candra dimuka Institusi IAIN Walisongo.
Namun demikian penulis sangat menyadari bahwa hal tersebut tidak akan
terwujud dengan baik manakala tidak ada dukungan moril yang telah penulis
terima dari berbagai pihak. Oleh sebab itu atas segala kerendahan hati penulis
menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya dengan tulus kepada:
ix
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag Selaku Rektor IAIN Walisongo, Drs. H.
Machasin, M.Si selaku PR II, Prof. Dr. H. Erfan Soebahar, M.Ag selaku PR
III.
2. Bapak Dr. Imam Yahya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN
Walisongo Semarang. Bapak Abdul Ghofur M.Ag selaku PD I, Bapak
Saifullah M.Ag selaku PD II, Bapak Arif Budiman M.Ag selaku PD III.
3. Bapak Drs. H. Eman. Sulaeman, M.H.selaku pembimbing I, serta Ibu Nur
Hidayati Setyani, S.H, M.H. Selaku pembimbing II, yang telah bersedia
membimbing dalam proses penulisan skripsi ini. Terima kasih atas bimbingan
dan motivasinya, serta saran-sarannya hingga skripsi ini selesai. Dari revisi-
revisinya, penulis juga bisa mengerti banyak hal tentang bagaimana menulis
dengan baik dan juga mengetahui tentang dunia hukum, baik hukum positif
maupun hukum Islam serta bahasan-bahasan lainnya. sekali lagi saya ucapkan
terima kasih banyak jasa Bapak dan Ibu pembimbing sulit untuk penulis
lupakan.
4. Ibu Anthin Lathifah M.Ag selaku Kepala Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah dan
Ibu Nur Hidayati Setyani, S.H., M.H., selaku Sekretaris Jurusan Ahwal Al-
Syakhsiyah, selamat atas terpilihnya ibu “mengepalai” AS dan semoga bisa
mengemban amanah dengan baik. Semoga Jurusan AS semakin lebih maju
dan lebih baik tentunya.
5. Segenap Dosen Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang terima kasih
yang tak terhingga atas bekal ilmu pengetahuannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan kuliah sekaligus penulisan skripsi ini.
x
6. Seluruh Staf dan Karyawan Perpustakaan IAIN Walisongo dan Perpustakaan
Fakultas Syariah, terimakasih banyak atas pinjaman bukunya Pak.
7. Seluruh Keluarga Besar PMII Rayon Syari‟ah dari LMB, Senior, kader-kader
wabil khusus demisioner pengurus PMII Rayon Syari‟ah periode 2008-2009.
Taufiq, Nikmah, Ubed, Ani “Komting”, Hima, Ani “Bendum”, Uswatun,
Tamam, Yayan , Abdullah Sambengudin, Zama‟, Hambali, Elly, ahnafVia dll
you’re the best my friends. Dan terimakasih juga untuk Adik-adikku pengurus
Rayon Syariah 2009, 2010, 2011 dan seterusnya “Revolusi Never Ending”
8. Demisioner Pengurus PMII Komisariat Walisongo 2009. Sahabat Naryoko,
Rofiq, Arifin, Supri “Nggacuk”, Pidul, Uplik, Intan, Inta‟dll. Tetap semangat
sahabat “Tangan Terkepal Dan Maju Ke Muka”.
9. Rian, Nufus, Sofil, Ambon, Mei risti, Tony lurah PKM dll. Selaku pengurus
SEMA Fakultas Syari‟ah yang selalu setia berjuang bersama pada masa
Bhakti 2009-2010
10. Pengurus DEMA 2010, si Zaki Jeknong, Trio Batang: Arifuddin, Tabi‟in,
Coco, Arifin, Nisa‟, dll. Pengurs SMI 2010 Rofiq dkk. “Maju Terus Pantang
Mundur”.
11. Senior-senior PMII, Mas Ricard, Mas Saifuddin, Mas Gupong, Mbak Evi,
Mbak Ovi, Mas Iman, Mbak Viroh, Mas Qosim (Al-Khos), Mas Koyin, Mas
Yoni, Tomy, Jigug, Rif‟an, Rifa‟i, Hamdani, Ro‟uf, Faizin, Sodiq, Novi,
Agus, Ikha‟ dll. Terima kasih telah memberikan penulis arti tentang
kehidupan kampus.
xi
12. Teman-teman satu angkatan 2006 Jurusan AS A, Khairul Anam, Suyanto,
Mughni, Misbahul Huda, Galih Gendut, Tamam, Syaifuddin Blenko, Khanif
dan Isnan. Women‟s AS A 06„: Ani, Nailul, Irma, Leni, Inayah, Nikmah
kalian semua tidak akan terlupakan, Jadi kangen kumpul-kumpul bareng lagi.
13. “Bolo-Bolo” KOS KORUT 122, Husein, Aqil, Juki, David, Arif Jundan,
Shirot, Inul, Heri Lukman kekocakan dan kepeko‟an kalian tidak pernah aku
lupakan.
14. Thanks to: semua Santri-Santri dan Ustadz Ponpes Roudhotul Tholibin
Bendan Kudus khususnya kepada abah kyai H. Minan Zuhri Alm, Temen-
Temen Alumni MAN 2 kudus angkatan 2003, Rencang-Rencang KMPP,
konco-konco sinau Ahnaf, Ridho, Arif, Anam , adib dll. Maz Tedy, Maz Iman
Fadhillah, Kakek Ibnu Tolkhah, seluruh litbang dan segenap pengurus
Wadyabala Justisia ”Melintas Batas Melanggar Etika”.
15. Dan Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu
yang telah membantu penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.
Semoga amal baik dan keikhlasan yang telah mereka perbuat menjadi
amal saleh dan mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT, Amin. Penulis
sadar atas kekurangan dan keterbatasan yang ada pada diri penulis. Untuk itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran konstruktif demi kesempurnaan
skripsi ini
Semarang, 25 Juli 2011
Penulis,
Alfian Qodri Azizi
0 6 2 1 1 1 0 0 1
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ v
HALAMAN DEKLARASI ....................................................................... vi
HALAMAN ABSTRAK ........................................................................... vii
KATA PENGANTAR ............................................................................... xi
DAFTAR ISI ............................................................................................. Xie
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 9
C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 9
D. Telaah Pustaka ......................................................................... 9
E. Metode Penelitian ..................................................................... 12
F. Sistematika Penulisan ............................................................... 15
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN DI LUAR NIKAH
A. 1. Pengertian Anak..................................................................... 18
2. Definisi Anak Sah ............................................................... 21
3. Status atau Kedudukan Anak Sah ........................................ 30
B. 1. Definisi Anak Luar Nikah...................................................... 33
2. Kriteria Anak Luar Nikah ................................................... 39
3. Kedudukan Anak Luar Nikah.............................................. 41
C. 1. Pengertian Pengakuan Anak ................................................ 42
2. Objek Permasalahan Pengakuan Anak Dalam Islam............ 47
3. Sistem Pengakuan Anak......................................................... 52
xiii
4. Implikasi Pengakuan Anak..................................................... 58
D. Pengesahan Anak Luar Nikah...................................................... 59
BAB III PUTUSAN DI PENGADILAN AGAMA SLEMAN NOMOR:
408/Pdt.G/2006/PA. Smn
A. Sejarah Pengadilan Agama Sleman .......................................... 64
B. Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama Sleman .................... 75
C. Visi dan Misi Pengadilan Agama Sleman ................................. 80
D. Deskripsi Putusan Perkara Nomor: 408/Pdt.G/2006/Pa.Smn
Tentang Permohonan Pengakuan Anak ..................................... 83
BAB IV : ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
SLEMAN NOMOR 408/PDT.G/ 2006/PA.SMN TENTANG
PENGESAHAN ANAK DI LUAR NIKAH
A. Analisis Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Pengesahan Anak Di
Luar Nikah Dalam Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di Pengadilan
Agama Sleman.............................................................................. 92
B. Analisis Istinbat Hukum Hakim Mengenai Pengesahan Anak Di
Luar Nikah Dalam Putusan Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di
Pengadilan Agama Sleman......................................................... 110
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 133
B. Saran-Saran .............................................................................. 134
C. Penutup .................................................................................... 136
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan media untuk mencapai tujuan Syari‟at Islam
yang salah satunya adalah bentuk aktif-ofensif perlindungan keturunan (hifzh
an-nasl), demi melestarikan keturunan dan menghindari kesyubhatan
(tercemar) dalam penentuan nasab. Oleh karena itu, penyaluran nafsu biologis
manusia harus dengan batas koridor agama, sehingga terhindar dari perangkap
perbuatan mesum atau zina di luar pagar pernikahan.1
Bahkan Rasulullah Saw. mendorong untuk menikah bagi kaum muda
yang tak mampu mengendalikan dorongan biologisnya, dengan sabdanya :
Artinya : “Dari Yahya bin Yahya at-Tamimi dan abu Bakar bin abi Syaibah
dan Muhammad bin al-„Ala‟i al-Mahdaniy semunya dari abi
Muawiyyah (sedangkan lafaznya dari yahya). Telah mengabarkan
1 Abu Yasid, Islam Akomodatif: Rekonstruksi Pemahaman Islam Sebagai Agama
Universal,Yogyakart; LKiS, 2004, hlm. 86 2 Imam Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Daar Ihya‟ at-Turats al-„Arabi, t.th, hlm. 1018.
1
2
kepada kita abu Muawiyyah dari A‟masy dai Ibrahim dari „al-
Qomah berkata: kemarin saya dengan „Abdillah di kota Mina
maka Utsman menemuinya kemudian bersamanya mengabarkan
maka berkata Utsman kepada „Abdillah: wahai bapaknya
Abdurrahman, adakah kita telah menikahkan kamu dengan Jariyah
Syabbah semoga dia mengingatkan kamu kepada sebagian perkara
yang telah berlalu dari zaman mu. Maka Abdullah berkata:
Apabila kamu telah berbicara seperti itu telah berbicara kepada
kita Rasulullah Saw: Wahai pemuda, barang siapa di antara
kalian sudah mampu untuk menikah, nikahlah, karena nikah itu
dapat mengendalikan mata (yang jalang) dan memelihara
kesucian kehormatan (dari berzina), dan barang siapa yang
belum siap, hendaknya ia berpuasa, karena puasa bisa menjadi
obat (dari dorongan nafsu)” (H.R. Bukhari Muslim).3( HR.
Muslim)
Status anak dalam hukum keluarga dapat dikategorisasikan menjadi
dua macam yaitu: anak yang sah dan anak yang tidak sah. Pertama, Definisi
mengenai anak sah diatur dalam UU No 1 Tahun 1974 pada Pasal 42 yang
berbunyi: “ Anak yang sah adalah anak yang di lahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah”.4 Sedangkan perkawinan yang diakui di
Indonesia ialah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya, dan di catat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku Pasal 2 UU No.1 tahun 1974.5
Dalam pandangan fikih anak yang dianggap sah, jika terjadi dalam
perkawinan antara suami dan istri yang sah dan kelahiran anak tersebut sesuai
dengan batas minimal kehamilan. Jumhur ulama‟ menetapkan batas minimal
kehamilan adalah selama 6 bulan. Dasarnya adalah firman Allah surah al-
Ahqaf ayat 15
3 Baca lebih lanjut: Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara
Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta; kencana, 2009, hlm 42-44 4 Tim Penyusun: Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Departemen Agama R.I Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000 hlm. 125 5 Ibid, hlm 117
3
Artinya: mengandung dan menyapih itu selama tiga puluh bulan.6
Selanjutnya di dalam surah Luqman ayat 14 Allah SWT. Berfirman:
Artinya: Dan kami perintahkan kepada manusia terhadap dua orang ibu
bapaknya; ibunya telah mengandung dalam keadaan lemah dan
bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukur
kepada-Ku lah kembalimu. 7
Pada surah al-Ahqaf tersebut menjelaskan secara kumulatif, jumlah
mengandung dan menyapih yaitu 30 (tiga puluh) bulan. Sedangkan dalam
surat Luqman menerangkan batas maksimal menyapih adalah 2 tahun (24
bulan). Jadi masa hamil yang paling sedikit adalah 30 bulan dikurangi 24
bulan sama dengan 6 bulan.8 Apabila terjadi perkawinan antara suami dan istri
secara sah, kemudian istri mengandung dan melahirkan anaknya, suami dapat
mengingkari kesahan anak itu apabila:
a. Istri melahirkan anak sebelum masa kehamilan
b. Istri melahirkan anak setelah batas waktu maksimal masa kehamilan dari
masa perceraian.9
6 Khadim Al Haramain Asy Syarifain, Fahd Ibn Abdl Al Aziz Al Sa‟ud, Al-Qur‟an dan
Terjemahnya, Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da‟wah Dan Irsyad Kerajaan Saudi
Arabia. hal. 824 7 Ibid, hlm. 654 8 Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta; Rajawali Pers, 1998,
hlm. 224 9 Faturrahman Djamil, Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat Hukumnya: Problematika
Hukum Islam Kontemporer, Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz Anshari AZ (pd), Jakarta; firdaus,
1999 hlm.109
4
Menurut hukum perdata seorang anak sah (wetig kind) ialah anak yang
dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya, sehubungan
dengan itu, Undang-undang telah menetapkan bahwa tenggang waktu
kandungan seseorang paling lama adalah 300 hari dan paling pendek adalah
180 hari. Maka anak yang dilahirkan sebelum lewat 180 hari setelah hari
perkawinan, suami berhak menyangkal sahnya anak itu. Kecuali, jika ia sudah
mengetahui bahwa istrinya mengandung sebelum pernikahan dilangsungkan
atau jika suami hadir pada waktu dibuatnya surat kelahiran dan surat kelahiran
itu turut ditandatanganinya. Dalam hal tersebut sang suami dianggap telah
menerima dan mengakui anak yang lahir itu sebagai anaknya sendiri.10
Begitu
juga jika seorang anak yang lahir 300 hari setelah perkawinan orang tuanya
dihapuskan, maka anak itu merupakan anak yang tidak sah.
Kedua, Anak hasil hubungan di luar nikah dalam pandangan Islam
disebut dengan istilah anak zina (walad al-zina),11
anak tabi‟y atau anak li‟an
dan dianggap sebagai anak yang tidak sah.12
Sedangkan dalam KUH perdata
(Burgelijk Wetboek) anak tersebut dinamakan “naturlijk kind” anak itu dapat
diakui atau tidak diakui oleh ayah atau ibunya.
Anak dari hasil hubungan luar nikah tersebut menjadi problematika
hukum tersendiri atas kedudukannya dalam hal keperdataannya. Menurut
10 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet ke 31, Jakarta: Inter Massa, 2003 hlm 49 11 Secara etimologis zina berasal dari bahasa Arab yang artinya persetubuhan di luar
pernikahan. Dalam bahasa Inggris kata zina disebut sebagai fornication yang artinya persetubuhan
di antara orang dewasa yang belum kawin dan adultery yang artinya persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan yang bukan suami istri dan salah satu atau keduanya sudah
terikat dengan perkawinan dengan suami/istri lain. Baca lebih lanjut: Fadhel llahi, Zina, (terj),
Qisthi Press, Jakarta; 2004, hal.7, Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana Dalam Prospeksi,
Cet. Ke-2, Erlangga; Jakarta 1976, hal 49-51 12 Tim Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar
Nikah, Jakarta: 2004, hal. 49
5
Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai sumber rujukan hukum umat Islam di
Indonesia sekaligus referensi keputusan hukum di lembaga Pengadilan Agama
menjelaskan: 13
Pada pasal 100 KHI berbunyi: ”Anak yang lahir di luar
hubungan perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya”.14
Maka, anak tersebut hanya ditetapkan sebagai anak dari
seorang ibu. Secara tersurat di jelaskan pula pada Pasal 43 ayat (2) UU No.1
Tahun 1974 yang berbunyi: “Anak yang di lahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya ”.15
Di sinilah letak permasalahannya, di mana anak zina tidak memiliki
hubungan nasab dengan ayah kandungnya maka akan gugur dengan sendirinya
segala kewajiban sang ayah yang merupakan hak dari sang anak. Oleh karena
itu tanggung jawab atas keperluan anak, baik materiil maupun spiritual adalah
ibunya dan keluarga ibunya saja, demikian pula halnya dengan hak waris
mewarisi, 16
sang anak juga akan kehilangan haknya untuk mendapatkan wali
nasab pada saat pernikahan. Hal demikian dikarenakan dalam pandangan
Islam anak di luar pernikahan atau anak zina dianggap sebagai anak yang
tidak sah.
Jika diamati kondisi yang demikian itu akan sangat kontra produktif
dengan UU perlindungan anak No 23 tahun 2002. sebagaimana tercantum di
bawah ini:
13 Amiur Nuruddin , Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih UU No 1/1974 Sampai KHI, Kencaran, Jakarta;
2006, hal. 29 14
Tim Penyusun: Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Departemen Agama R.I Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997. hlm. 48 15 Tim Penyusun : Bahan Penyuluhan Hukum, Op.Cit, hlm. 125 16 Tim Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Op.Cit , hal. 50
6
Pasal 6
“Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir,
dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam
bimbingan orang tua.”
Pasal 7
“Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan
diasuh oleh orang tuanya sendiri.”
Pasal 9
“Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam
rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai
dengan minat dan bakatnya”
Oleh karena itu sudah semestinya anak selaku tunas bangsa mendapat
perlindungan secara hukum baik dari orang tua, keluarga, masyarakat dan
Negara. Sebagaimana diatur dalam Undang-undang yang mengatur hak-hak
anak atas kesejahteraan, yakni sebagai berikut:
a. “Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan
“(pasal 1 angka 32 PP No. 2 Tahun 1988)
b. “Hak atas pemeliharaan dan perlindungan” (Pasal 2 ayat 3 Undang-
undang No. 4 Tahun 1979)
c. “Hak mendapatkan pertolongan pertama” (Pasal 3 Undang-undang No. 4
Tahun 1979)17
d. “Hak memperoleh asuhan” (Pasal 4 ayat 1 Undang-undang No. 4 Tahun
1979)
Hal tersebut menimbulkan paradoks antara UU perlindungan anak No
23 tahun 2002 dengan No.1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Di satu sisi adanya perlindungan terhadap hak-hak anak, namun di sisi lain
justru anak kehilangan haknya karena perbedaan status yang dianggap anak
tidak sah disebabkan karena hubungan luar nikah ia menjadi kehilangan
hubungan nasab (perdata) dengan sang ayah kandungnya.
Akan tetapi ada salah satu alternatif solusi untuk mendapatkan
hubungan nasab antara anak di luar pernikahan dengan ayah kandungnya,
17 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung; 2003 hal 80
7
yaitu dengan cara pengakuan anak. UU perdata mengatur adanya pengakuan
anak pada pasal 280 K.U.H. Perdata, pengakuan itu cukup dilakukan dengan
pernyataan sepihak dari laki-laki yang mengakui. Sebagaimana yang
ditetapkan dalam Pasal 281 K.U.H. Perdata, tidak ada syarat lain untuk
menyepakati pengakuan anak itu dari siapa pun, bahkan jika ibu dari anak
masih hidup ia harus menyetujuinya, “menyetujui” dalam arti “tidak
keberatan”.Jadi, pengakuan tidak didasarkan atas suatu perjanjian.18
KHI sendiri tidak mengatur secara tegas adanya pengakuan anak. Di
dalam KHI hanya mengatur tentang asal usul anak, yang berbunyi:
Pasal 103
(1) “Asal usul seorang anak yang hanya dapat dibuktikan dengan akta
kelahiran atau alat bukti lainnya.”
(2) “Bila akta kelahiran tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah
mengadakan pemeriksaan secara teliti berdasarkan bukti-bukti
yang sah.”
(3) “Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut maka instansi
pencatatan kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan
Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang
bersangkutan.
Akan tetapi dalam praktek beracara, penulis menjumpai adanya
perkara pengakuan anak di Pengadilan Agama Sleman. yang mampu
menjawab persoalan mengenai perlindungan anak di luar nikah, dengan tetap
menjaga amanat UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Hal
tersebut terjadi karena sang suami ingin mengakui anaknya yang lahir atas
hubungan seksual pranikah bersama istrinya sebelum ia menikah secara sah.
Menurut perspektif fikih dan KHI anak tersebut tidak di nasabkan kepada
18 J Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, PT citra
Aditya Bakti, Bandung; 2005 hal. 113-114
8
ayahnya. Begitu juga dalam akta kelahiran anak tersebut berstatus anak ibu.
Setelah pernikahan yang sah, sang ayah mengajukan permohonan pengakuan
anak di Pengadilan Agama Sleman tercatat dalam register Nomor 408/Pdt.G/
2006/PA.Smn, kemudian majelis hakim memutuskan bahwa anak tersebut
diakui sebagai anak dari pemohon secara syah, akan tetapi tidak memiliki
hubungan nasab (keperdataan) dengan pemohon karena lahir di luar
pernikahan yang sah.
Namun, hakim mewajibkan pemohon selaku ayah biologisnya agar
tetap memberikan nafkah dan perawatan sampai anak tersebut telah dewasa.
Hal tersebut dilakukan untuk memberikan tanggung jawab kepada pemohon
yang terikat secara yuridis oleh keputusan hakim tersebut. Putusan tersebut
menunjukkan adanya disparitas antara hukum fikih dan KHI yang menyatakan
anak di luar nikah adalah anak tidak sah, anak hanya di nasabkan kepada
ibunya secara hukum anak luar nikah itu hanya menjadi tanggung jawab sang
ibu saja. Hal itu berarti ada hal yang bertolak belakang antara substansi KHI
dan UUP No 1 Tahun 1974 dengan realitasnya penerapannya. .
Berangkat dari permasalahan di atas, maka penulis bertujuan untuk
mengkaji putusan di Pengadilan Agama Sleman Nomor 408/Pdt.G/
2006/PA.Smn Tentang Perkara Pengakuan Anak Tahun 2006 tersebut,
kemudian penulis tuangkan dalam skripsi yang berjudul: “STATUS
ANAK DI LUAR NIKAH” (Studi Analisis Putusan Terhadap
Pengadilan Agama Sleman Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn Tentang
Pengesahan Anak Di Luar Nika )”.
9
B. Rumusan Masalah
Berpijak dari pembahasan judul tersebut, maka dapat ditarik pokok
permasalahan yang akan menjadi fokus utama, adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Pengesahan Anak
Di Luar Nikah Dalam Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di Pengadilan
Agama Sleman?
2. Bagaimanakah Istinbat Hukum Hakim Mengenai Pengesahan Anak Di
Luar Nikah Dalam Putusan Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di
Pengadilan Agama Sleman?
C. Tujuan Penulisan Skripsi
Tujuan utama dalam pembahasan judul Skripsi ini, dapat dirumuskan
sebagai berikut di bawah ini, yaitu :
1. Untuk mengetahui Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Pengesahan
Anak Di Luar Nikah Dalam Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di
Pengadilan Agama Sleman
2. Untuk Istinbat Hukum Hakim Mengenai Pengesahan Anak Di Luar
Nikah Dalam Putusan Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di Pengadilan
Agama Sleman
D. Telaah Pustaka
Pada tahapan ini penulis mencari landasan teoritis dari permasalahan
penilitiannya sehingga penelitian yang dilakukan bukanlah aktifitas yang
bersifat “trial and error”. Dengan mengambil langkah ini pada dasarnya
bertujuan sebagai jalan pemecahan permasalahan penelitian, dengan harapan
10
apabila peneliti mengetahui apa yang telah dilakukan oleh peneliti lain, maka
peneliti lebih siap dengan pengetahuan yang lebih dalam dan lengkap.19
Kegunaan telaah pustaka ini adalah untuk membantu pemilihan
prosedur penelitian, mendalami landasan teori yang berkaitan dengan
permasalahan, mengkaji kelebihan dan kekurangan peneliti terdahulu,
menghindari duplikasi dan menunjang perumusan masalah.20
Sumber telaah
pustaka ini bisa berupa tulisan-tulisan ilmiah lainnya, antara lain:
Skripsi karya Hamidah dengan judul “Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Gugatan Suami Dalam Mengingkari Keabsahan Anak Yang
dilahirkan Istrinya Menurut Undang-Undang Hukum Perdata”. Dalam skripsi
ini penulis menyoroti, apabila seorang anak lahir dalam usia kurang dari enam
bulan, maka seorang suami berhak untuk mengingkari kelahiran anak tersebut.
Dalam KUH Perdata seorang suami yang mengingkari keabsahan anak harus
mengajukan tuntutan di muka pengadilan dengan disertai dengan bukti-bukti,
kemudian menetapkan tentang sah tidaknya seorang anak adalah hakim,
sedangkan dalam tinjauan hukum Islam penyelesaian seperti itu, sama halnya
dengan penyelesaian perkara penuduhan zina, dengan menggunakan sumpah
li`an sebagai penyelesaian persengketaan perkara tersebut. Sehingga dalam
hukum Islam menetapkan bahwa lahirnya seorang anak akibat dari perbuatan
19 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
Cet. Ke-6, 2003, h. 112. 20 Achmad Arif Budiman, Metodologi Penelitian Ahwal al-Syakhsiyah dalam “Pelatihan
Penelitian Hukum Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Sleman di Bandungan”, pada tanggal 10 Juli
2009
11
zina baik dilakukan oleh orang yang pernah menikah maupun belum itu tetap
dinamakan zina dan kedudukan anak tersebut adalah tidak sah.21
Skripsi karya Sri Rahayu dengan judul “Studi Analisis Tentang
Pendapat Asy Syafi‟i Mengenai Status Anak Hasil Wath‟i Subhat”. Dalam
skripsi ini membahas tentang pendapat Imam Malik dan As-Syafi‟i yang
menyebutkan bahwa jika seorang laki-laki mengawini seorang wanita yang
belum pernah dikumpuli atau sudah pernah dikumpuli, waktunya adalah
kurang dari enam bulan kemudian wanita itu melahirkan anak setelah enam
bulan dari akad perkawinannya, bukan dari masa kumpulnya, maka anak yang
lahir itu tidak dapat dipertalikan nasab kepada laki-laki yang menyebabkan
mengandung. Perhitungan enam bulan itu dimulai dari waktu berkumpul dan
bukan dari akad nikah.22
Skripsi yang ditulis oleh Inayah Yuniastani yang berjudul “Hasil Tes
DNA (Deoxyrbonucleic Acid) Sebagai Alat Bukti Alternatif Dalam Jarimah
Zina”. Dalam skripsi ini membahas tentang pandangan hukum Islam tentang
penggunaan tes DNA sebagai alat bukti khususnya dalam Jarimah perzinaan,
yang tidak terlepas dari Maqasid Asyyari‟ah melalui formulasi pembuktian
dari alat bukti Qarinah. Otentisitas tes DNA sebagai alat bukti tidak diragukan
lagi karena DNA diambil langsung dari yang terkait tanpa bisa di rekayasa
hasilnya. Namun kedudukannya dalam hal penetapan hukum pada Jarimah
zina yaitu hanya sebagai alat bukti sekunder. Walau demikian tes DNA mutlak
21
http:// 192.168.0.251/ go.php? =jptiain-gdl-sl-2004-khamidah3397 &q= tinjauan islam
terhadap gugata suami, diakses tanggal 6 Februari 2011. Pukul: 20.03 Wib 22http://192.168.0.251/go.php?=jtptiain-gdl-sl-2004-srirahayu2 14&q=sri rahayu, Diakses
tanggal. 6 Februari 2011. Pukul: 20.00 Wib
12
dilaksanakan ketika alat bukti primer memiliki banyak kelemahan sehingga
validitasnya diragukan.23
Dari deskripsi di atas nampak bahwa masalah yang akan penulis bahas
mengenai “STATUS ANAK DI LUAR NIKAH” (Studi Analisis
Putusan Terhadap Pengadilan Agama Sleman Nomor 408/Pdt.G/
2006/PA.Smn Tentang Pengesahan Anak Di Luar Nika )”, berbeda dengan
peneliti sebelumnya. Pada penulisan skripsi ini akan lebih menekankan apa
saja yang menjadi dasar alasan majelis hakim Pengadilan Agama Sleman
dalam memutus perkara pengakuan anak di luar nikah, juga akibat hukum
yang terjadi bagi kedudukan anak luar nikah tersebut.
E. Metode Penulisan Skripsi
Pembahasan “Status Anak Di Luar Nikah Dalam Putusan Permohonan
Pengakuan Anak Di Pengadilan Agama Sleman” merupakan penelitian
dokumen yang sifatnya deskriptif–analisis, dalam arti data yang berkaitan
dengan permasalahan yang diteliti akan dideskripsikan disertai analisa-analisa
semaksimal mungkin kemampuan peneliti, sehingga diharapkan benar-benar
valid. Adapun langkah kerja yang ditempuh adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dokumen
(Library research), berupa studi dokumen Putusan Pengadilan Agama
Sleman Nomor 408/Pdt.G/ 2006/Pa.Smn Tentang Perkara Pengakuan
23 http://192.168.0.251/go.php?=jtptiain-gdl-sl-2006-inayahyuni 825&q = hasil tes DNA
sebagai alat bukti, Diakses tanggal. 6 Februari 2011. Pukul: 20.02 Wib
13
Anak Tahun 2006 dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan
kualitatif ini bertujuan untuk menggali dan membangun suatu proposisi
atau menjelaskan makna di balik realita.24
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber-sumber data
sebagai berikut :
a. Data Primer
Data primer merupakan sumber data atau informasi yang
digunakan untuk mengetahui berbagai ketentuan yang berkaitan
dengan Pengakuan Anak dalam penelitian ini adalah dokumen-
dokumen register dan berkas perkara Pengadilan Agama (PA) Sleman
(yakni putusan Putusan Pengadilan Agama Sleman Nomor 408/Pdt.G/
2006/Pa.Smn Tentang Perkara Pengakuan Anak Tahun 2006.), dan
hasil wawancara langsung dari majelis hakim yang bersangkutan.
Adapun hasil wawancara sebagaimana terlampir.
b. Data Sekunder
Sumber data sekunder merupakan sumber data yang tidak
langsung memberikan data kepada pengumpul data. Namun, data-data
ini mendukung pembahasan dari penelitian ini.25
Adapun sumber data
sekunder dalam penulisan skripsi ini adalah lain adalah UU.RI. No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan, PP. No. 9 tahun 1975 tentang
24
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2001, hal. 124 25 Sugiono, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT citra Aditya Bakti, cet.ke-4, 2008,
hal 225
14
pelaksanaan UU.RI. No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Instruksi
Presiden R.I Nomor 1 Tahun 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam,
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU perlindungan anak No 23
tahun 2002 dan peraturan-peraturan pemerintah lainnya yang terkait
masalah ini. Ditambah dengan buku-buku, karya-karya ilmiah dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan di atas.
3. Metode Pengumpulan Data
a. Dokumentasi
Salah satu metode yang digunakan untuk mencari data yang
otentik yang bersifat dokumentasi dilakukan dengan cara mencari dan
mempelajari data-data dari catatan-catatan, transkip, berkas, majalah,
surat kabar dan sebagainya yang berkaitan dengan penelitian skripsi
ini.26
atau catatan penting lainnya. Adapun yang dimaksud dengan
dokumen di sini adalah data atau dokumen dari Pengadilan Agama
Sleman yang berupa dokumen register dan berkas perkara nomor
Nomor 408/Pdt.G/ 2006/Pa.Smn Tentang Perkara Pengakuan Anak
Tahun 2006 Putusan Pengadilan Agama Sleman
b. Wawancara
Wawancara adalah proses Tanya jawab yang berlangsung
secara lisan yang mana dua orang atau lebih bertatap muka
mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-
26 Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka
Cipta, 1993, hlm. 206.
15
keterangan.27
Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Sleman dalam
memutus perkara pengakuan anak yang berkaitan dengan penelitian
ini. Dalam hal ini yang menjadi interviewed adalah Majelis Hakim
Pengadilan Agama Sleman yang menangani perkara tersebut, Hakim
Pengadilan Agama Sleman, Hakim Pengadilan Negeri Sleman dan
Petugas Pencatatan Sipil dan Kependudukan Sleman
4. Metode Analisis Data
Setelah semua data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah
melakukan analisis data. Dalam skripsi ini penulis menggunakan
deskriptif-analitis, yakni suatu penelitian yang bertujuan untuk menyorot
objek penelitian secara utuh kemudian ditarik suatu generalisasi.28
Dengan
menggunakan metode ini, penulis berusaha menganalisa putusan
pengakuan anak di Pengadilan Agama Sleman tahun 2006 dengan nomor
perkara 408/Pdt.G/ 2006/Pa.Smn. Di samping menggunakan deskriptif
analitis, penulis juga menggunakan analisis isi (content analysis), yaitu
penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu objek
yang diteliti.
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk dapat memberikan gambaran secara luas dan memudahkan
pembaca dalam memahami gambaran menyeluruh dari skripsi ini, maka
27
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Jakarta; PT. Bumi Aksara
cet.ke-8, 2007, hal. 83 28 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia (U.I.
Press), 1986, hal. 250
16
penulis memberikan penjelasan secara garis besarnya, dalam skripsi ini dibuat
sistematika penulisan skripsi sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menggambarkan isi dan bentuk penelitian yang meliputi :
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan skripsi,
telaah pustaka, metode penulisan skripsi, dan sistematika penulisan
skripsi.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN ANAK DI
LUAR NIKAH
Dalam bab ini memuat ketentuan umum tentang Status Anak sah,
Anak Luar Nikah, Pengakuan Anak di Luar Nikah dan pengesahan
anak yang menguraikan tentang pengertian Anak, definisi anak
sah, status atau kedudukan anak sah, definisi anak luar nikah,
kriteria anak luar nikah, kedudukan anak luar nikah, pengertian
pengakuan anak, objek permasalahan anak dalam Islam, implikasi
pengakuan anak
BAB III PUTUSAN DI PENGADILAN AGAMA SLEMAN NO.
408/Pdt.G/2006/PA.Smn TENTANG PERMOHONAN
PENGAKUAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA SLEMAN
Dalam bab ini meliputi profil Pengadilan Agama Sleman, yang
menguraikan tentang sejarah Pengadilan Agama Sleman, struktur
organisasi Pengadilan Agama Sleman, serta tugas dan wewenang
Pengadilan Agama Sleman. Juga memuat deskripsi putusan
17
Pengadilan Agama Sleman tentang pengakuan anak, serta
pertimbangan hukum hakim tentang pengakuan anak di Pengadilan
Agama Sleman.
BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
SLEMAN NOMOR 408/PDT.G/ 2006/PA.SMN TENTANG
PENGESAHAN ANAK DI LUAR NIKAH
Bab ini merupakan pemaparan dari Analisis Pertimbangan Hukum
Dalam Putusan Pengesahan Anak Di Luar Nikah Dalam Nomor
408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di Pengadilan Agama Sleman dan
Istinbat Hukum Hakim Mengenai Pengesahan Anak Di Luar Nikah
Dalam Putusan Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di Pengadilan
Agama Sleman
BAB V PENUTUP
Penutup meliputi kesimpulan, saran-saran dan penutup.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN ANAK DI LUAR NIKAH
A. Pengertian Umum Tentang Anak Sah
1. Pengertian Anak
Anak menurut istilah hukum Islam adalah keturunan kedua yang
masih kecil.1 Sifat kecil kalau dihubungkan dengan perwalian, hak milik dan
larangan bertindak sendiri, terbagi menjadi dua tingkatan yaitu:
a. Kecil dan belum mumayyiz . Dalam hal ini, anak sama sekali tidak
memiliki kemampuan untuk bertindak sendiri. Segala perkataan dan
perbuatannya tidak bisa dijadikan pegangan. jika anak tersebut membeli
atau memberikan sesuatu kepada orang lain, perbuatannya tidak sah secara
hukum. Oleh karena itu, segalanya berada di bawah tanggung jawab wali
anak itu.
b. Kecil dan sudah mumayyiz . Dalam hal ini, anak memiliki kemampuan
untuk bertindak meskipun kemampuannya terbatas dan perkataannya
sudah dapat dijadikan pegangan. Apabila ia membeli atau menjual sesuatu
kepada orang lain tindakannya sudah dianggap sah.2
Anak dapat dikategorikan mumayyiz , biasanya telah mencapai usia 7
(tujuh) tahun dan anak tersebut telah mengerti akad transaksi secara
1 Abdul Aziz Dahlan, et al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeven,
1997,hlm.112 2 Zakariya Ahmad Al-Barry, Al-Ahkamul Aulad, alih bahasa Chadidjah Nasution, Hukum
Anak-anak dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, hlm.113
18
19
keseluruhan. Ia memahami maksud dari perkataan yang diucapkannya, bahwa
membeli itu menerima barang sedang menjual itu memberikan barang. Anak
itu juga mengerti tentang untung dan rugi.
Jikalau usianya masih kurang dari tujuh tahun, maka anak itu
hukumnya belum mumayyiz , walaupun ia mengerti tentang istilah-istilah
menjual dan membeli. Sebaliknya, terkadang anak sudah berusia lebih tujuh
tahun akan tetapi masih belum mengerti tentang jual-beli dan sebagainya,
maka belum dapat dikategorikan mumayyiz .3
Hukum kecil terhadap seorang anak tetap berlaku sampai anak itu
dewasa. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat
6 yakni:
Artinya: “Dan hendaklah kamu menguji anak yatim itu sampai mereka
cukup umur untuk menikah, kemudian jika kamu berpendapat
bahwa mereka sudah cerdas sudah pandai memelihara harta,
maka hendaklah kamu serahkan kepada mereka itu harta-
hartanya” ( Q.S. an-Nisa: 6)4
Dalam ayat di atas, yang dimaksud dengan “cukup umur” adalah
seseorang yang telah dipandang dewasa secara fisik dan mampu untuk
menikah atau menghasilkan keturunan. Bagi laki-laki telah berumur 12 tahun,
3 Ibid, hlm.114 4 Khadim Al Haramain Asy Syarifain, Fahd Ibn Abdl Al Aziz Al Sa’ud, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah Dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia.
hlm.115
20
sudah mimpi basah atau terlihat munculnya tanda-tanda lelaki dewasa pada
pria seperti kumis dsb. Begitu juga bagi seorang wanita telah berumur 9
tahun, telah haid, dan nampak perubahan bentuk tubuh sebagai tanda-tanda
wanita dewasa.
Ayat tersebut juga menerangkan ketika seorang anak yatim benar-
benar telah dewasa, maka bagai wali atau orang yang di beri tanggung jawab
untuk merawat harta-harta anak yatim, hendaknya memberikan harta tersebut
kepada anak yatim itu sebagai haknya.5
Jika di cermati, terdapat pluralitas terhadap kategori anak pada
peraturan perundang-undangan di Indonesia, hal itu disebabkan beberapa
undang-undang mengatur secara tersendiri mengenai kriteria tentang anak.
Berikut uraian tentang kriteria anak dalam perundang-undangan: 6
a. Undang-undang pengadilan anak (undang-undang No. 3 tahun 1997) pasal
1 (2) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal
yang telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan
belum pernah menikah.
b. Pasal 1 (1) undang-undang pokok perburuhan (undang-undang No.12
tahun 1948) mendefinisikan anak adalah orang laki-laki atau perempuan
berumur 14 tahun ke bawah.7
5Zakariya Ahmad Al-Barry, op. cit, hlm.114 6 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung; 2003 hlm.2 7 Lies Sugondo, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Perdata Nasional Yang Berperspektif
HAM, dalam jurnal mimbar hukum, X, edisi 03 Maret, 2007, hlm. 48
21
c. Pasal 45 K.U.H.P mendefinisikan anak yang belum dewasa apabila
berumur 16 tahun.
d. Pasal 330 K.U.H. Perdata mengatakan, orang belum dewasa adalah
mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu
telah kawin.8
e. pasal 7 (1) Undang-undang Pokok Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974)
mengatakan seorang pria hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai
usia 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 tahun.
Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat dimintakan dispensasi kepada
Pengadilan Negeri.9
f. Pasal 1 UU Perlindungan Anak (UU No.23 Tahun 2002) menyebutkan
anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.
2. Definisi Anak Sah
Definisi anak sah dalam hukum Islam yaitu anak-anak yang lahir dari
perkawinan yang sah, yang nanti anak tersebut menyandang nama ayahnya.10
Atau dapat dikatakan bahwa anak sah adalah anak yang mempunyai hubungan
8 Muhammadiyah Amin, Kedudukan Anak Di Luar Nikah (Sebuah Analisis Perbandingan
Menurut KUH Perdata, Hukum Islam dan KHI), , dalam jurnal mimbar hukum, X, edisi 42 Mei-Juni,
1999, hlm.20 9 M. Ahmad Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat (Kajian Fiqih Nikah Lengkap),
Jakarta: Rajawali Press, 2009, hlm. 46. 10 Abdur Rahman I. Doi, Karakteristik Hukum Islam Dan Perkawinan, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1996, hlm.342
22
kebapakan dengan seorang lelaki yang berstatus sebagai suami dari wanita
yang melahirkannya (ibunya).11
Menurut Imam asy-Syafi’i barang siapa yang kawin dengan seorang
wanita, lalu wanita itu melahirkan anak, maka anak tersebut bertemu
nasabnya dengannya, dan tidak terhapus nasab (keturunannya) itu kecuali
dengan li’an. Hal ini berarti, anak sah menurut Imam asy-Syafi’i adalah anak
yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah, kecuali apabila suami
melakukan pengingkaran terhadap anak, melalui lembaga li’an.12
Dalam pandangan hukum Islam tentang keabsahan anak, pada
umumnya bertumpu pada sahnya anak itu untuk bapaknya, sebab bagi ibunya,
maka wanita yang melahirkannya adalah otomatis sah sebagai ibunya dan
tidak akan ada perbuatan hukum apapun untuk meniadakan hubungan hukum
antara seorang wanita dengan anak yang dilahirkannya. 13
Hal tersebut berarti sahnya seorang anak di dalam hukum Islam
adalah menentukan ada atau tidaknya hubungan kebapakan (nasab) dengan
seorang laki-laki. Dalam hal hubungan nasab dengan bapaknya tidak
ditentukan oleh kehendak atau kerelaan manusia, namun ditentukan melalui
akad perkawinan yang sah.
11 Ichtijanto, Status Hukum Dan Hak-Hak Anak Menurut Hukum Islam, Mimbar Hukum, No
46 Th,XI, Jakarta: Al-hikmah & Ditbinbapera Islam, 2000, hlm.12 12 Imam Abu Ishaq, Kunci Fiqih Syafi’i, Semarang: CV. Asy Syifa’, 1992, hlm. 259 13 Ibid., hlm.11
23
Pengertian nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan
darah melalui akad perkawinan yang sah.14
Dalam kamus istilah fiqh, nasab
adalah keturunan, ahli waris atau keluarga yang berhak menerima harta
warisan karena pertalian darah atau keturunan, yaitu anak (laki-
laki/perempuan), ayah, ibu, kakek, nenek, cucu (laki-laki/perempuan), saudara
(laki-laki/perempuan) dan lain sebagainya.15
Dalam kamus istilah agama kata
nasab dalam Al-Qur’an yang berarti keturunan dan hubungan kekeluargaan.16
Sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
Artinya: “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia
jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah
Tuhanmu Maha Kuasa”.(QS. Al Furqan: 54)17
Dari pengertian tersebut, untuk dapat menghubungkan nasab seorang
anak kepada ayahnya, dibutuhkan beberapa syarat yang harus dipenuhi di
antaranya:
a. Adanya akad perkawinan yang sah antara ayah dan ibu si anak semenjak
mulai mengandung.
Perkawinan yang sah maksudnya perkawinan yang sudah resmi
antara seorang pria dan seorang wanita. Atau dapat dikatakan perkawinan
14 Memed Humaedillah, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya, cet. I, Gema
Insani Pers, Jakarta, 2002, hlm.44 15 M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafi’adalah A.M, Kamus Istilah Fiqh, cet. I, Pustaka
Firdaus, Jakarta, 1994, hlm.243 16 M. Shodiq, Kamus Istilah Agama, Jakarta: Bonafida Cipta Pratama, 1991, hlm.242 17 Khadim Al Haramain Asy Syarifain, Fahd Ibn Abdl Al Aziz Al Sa’ud, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, loc.cit hlm.567
24
yang syarat dan rukunnya telah terpenuhi. Maka apabila seorang istri
hamil, bayi yang dalam kandungan itu apabila lahir keturunannya
dihubungkan kepada orang tuanya.18
Tetapi perkawinan baru dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan keturunan anak yang sah apabila telah
memenuhi beberapa syarat, yaitu:
1) Dalam hukum Islam terdapat ketentuan batasan kelahirannya yaitu
batasan minimal kelahiran anak dari perkawinan ibunya yaitu minimal
6 (enam) bulan. Hal ini berdasarkan bunyi dalam Al-Qur’an surat Al-
Ahqaaf ayat 15:
Artinya: kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik
kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya
dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai
menyapihnya adalah 30 bulan. 19
Dan dalam surat Luqman ayat 14:
Artinya: Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)
kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-
tambah dan menyapihnya dalam dua tahun bersyukurlah
18 Satria Effendi M. Zein, Makna, Urgensi dan Kedudukan Nasab dalam Perspektif Hukum
Keluarga Islam, dalam jurnal mimbar hukum, X, edisi 42 Mei-Juni, 1999, hlm.10 19 Khadim Al Haramain Asy Syarifain, Fahd Ibn Abdl Al Aziz Al Sa’ud, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, op.cit, hlm. 824
25
kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu20
Dari surat al-Ahqaaf ayat 15 tersebut menjelaskan tentang
masa kehamilan dan masa menyusui digabungkan menjadi 30 (tiga
puluh) bulan. Tidak di rinci dalam ayat ini berapa bulan masa hamil
dan berapa bulan masa menyusui.21
Dan dalam Surat Luqman ayat 14
menjelaskan masa menyusui selama dua tahun dan (24 bulan) ayat ini
sebagai penjelasan dari masa menyusui yang telah di sebut secara
global dalam surat Al- Ahqaaf ayat 15. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa 30 bulan setelah dikurangi 24 bulan masa menyusui, sisanya
tinggal 6 bulan sebagai masa minimal kehamilan.22
Dalam Mazhab Fiqh baik mazhab Sunni maupun Syi’ah
sepakat bahwa batas minimal kehamilan adalah enam bulan.
Sedangkan dalam hal perhitungan antara jarak kelahiran dengan masa
kehamilan terdapat perbedaan. Menurut kalangan mazhab Hanafiyah
di hitung dari waktu akad nikah yang sah, sedangkan menurut
mayoritas ulama’ dihitung dari masa adanya kemungkinan mereka
bersanggama.23
20 Ibid hlm.654 21 Ahmad Ali MD, Syari’ah Dan Problematika Seksualitas, dalam jurnal mimbar hukum, edisi
66 Mei-Desember, 2008, hlm.163 22 Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992, hlm.
54. 23 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: PT lentera Basritama, 2000,
hlm.385
26
Maka berdasarkan pendapat di atas, anak yang dilahirkan pada
waktu kurang dari enam bulan baik setelah akad nikah atau kurang
dari enam bulan semenjak waktunya kemungkinan sanggama, adalah
tidak dapat dinisbatkan kepada laki-laki atau suami dari wanita yang
melahirkannya. Dan anak yang dilahirkan tersebut adalah anak yang
tidak sah karena hanya mempunyai hubungan nasab kepada ibunya
saja. Tetapi apabila anak lahir sekurang-kurangnya enam bulan dari
pernikahan yang sah dari kedua orang tuanya, maka anak tersebut
adalah anak yang sah dan dapat dinasabkan kepada kedua orang
tuanya.24
2) Suami telah mencapai usia baligh atau sekurang-kurangnya mendekati
usia baligh. Karena apabila suami belum mencapai usia baligh,
kemudian istrinya hamil, maka hamilnya istri dari suaminya itu
merupakan suatu hal yang tidak mungkin. Begitu pula sebaliknya
apabila suami telah mencapai usia baligh, dan istrinya hamil, maka
hamilnya istri dari suaminya itu merupakan suatu hal yang wajar.25
3) Suami tidak menyangkal sahnya anak yang dikandung atau dilahirkan
oleh istrinya. Sebaliknya apabila suami mengingkari sahnya anak yang
dikandung atau dilahirkan oleh istrinya, maka harus diadakan li’an.
24 Mengenai Batas maksimal kehamilan Imam Abu Hanifah berpendapat selama dua tahun,
sedangkan Imam asy-Syafi’i berpendapat maksimal kehamilan selama empat tahun. Baca lanjut: Hajar.
M, Legitimasi Ahli Waris Di Pengadilan Agama Dalam Perspektif Fiqh, dalam jurnal mimbar hukum,
IX, edisi 40 November-Desember, 1998, hlm.40 25 Zakaria Ahmad Al-Barry, loc. cit, hlm.10
27
Jika seorang suami ragu tentang batas minimal yang tidak terpenuhi
dalam masalah kehamilan atau batas maksimal kehamilan terlampaui
atau suami menuduh istrinya berzina dan menuduh anak yang di
kandung istrinya bukan benih darinya, maka ada alasan bagi suami
untuk mengingkari anak yang dikandung oleh istrinya dengan cara
li’an.26
b. Pengakuan seorang suami terhadap seorang anak.
Pengakuan anak dalam literatur hukum Islam disebut dengan
“Istilhaq” atau ”ikrar” yang berarti pengakuan seorang laki-laki secara
sukarela terhadap seorang anak bahwa ia mempunyai hubungan darah atau
anak tersebut tidak diketahui asal-usulnya.27
c. Bukti yang sah menurut Islam
Keturunan dapat juga ditetapkan berdasarkan adanya bukti yang
sah menurut agama Islam, yaitu saksi-saksi yang terdiri dari dua orang
laki-laki, atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.28
Misalnya
kalau ada seorang laki-laki mengemukakan pengakuan bahwa A adalah
anaknya, tetapi A sendiri membantah pengakuan itu, maka bapak yang
mengakui boleh menguatkan pengakuannya dengan mengemukakan bukti
yang sah berupa saksi yang lengkap yaitu dua orang laki-laki atau satu
26 Abdul Manan, Masalah Pengakuan Anak Dalam Hukum Islam dan Hubungannya Dengan
Kewenangan Peradilan Agama, dalam jurnal Mimbar Hukum, 59, XIV, 2003, hlm .110 27 Fathurrahman Djamil, pengakuan dan pengesahan anak dalam perspektif hukum Islam,
dalam jurnal Suara Uldilag, edisi 03 Maret, 2007, hlm.86 28 Zakaria Ahmad al-Barry, Op.cit., hlm.34
28
orang laki-laki dengan dua orang perempuan. Kemudian hakim akan
menerima pengakuan itu dan menetapkan sahnya hubungan nasab dan
dinilai sebagai keturunan yang resmi yang telah dikuatkan dengan alasan-
alasan yang sah.29
Sebagai konsekuensi hukum Islam dari seorang anak yang
mempunyai nasab dengan seorang bapak yang secara otomatis berarti
mempunyai nasab dari ibunya maka anak tersebut adalah anak sah
sehingga memiliki hak terhadap kedua orang tuanya yaitu hak radla’ah
(susuan), hak hadlanah (pengasuhan), hak perwalian, hak waris, dan hak
nafkah.30
Sedangkan KHI sendiri menerangkan tentang anak sah pada Pasal
99 Kompilasi Hukum Islam, bahwa anak yang sah adalah:
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b. Anak dari hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan
dilahirkan oleh istri tersebut.31
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 42 juga menerangkan:
“Anak yang sah adalah Anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah”.
Apabila memperhatikan pengertian anak sah di atas baik pada KHI
maupun Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 42, di dalamnya
29 Abdul Aziz Dahlan, Op.cit, hlm.113 30 Satria Effendi M. Zein, Loc.cit, hlm.14-18 baca juga: deasy caroline moch. Dja’is, pelaksanaan
eksekusi nafkah anak di Pengadilan Agama, dalam jurnal mimbar hukum, X, edisi 42 Mei-Juni, 1999,
hlm. 39 31 Departemen Agama RI, Direktorat Jendral Pembinaan Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: 2000, hlm.185
29
memberi toleransi hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang
sah, meskipun jarak antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari
batas waktu minimal usia kandungan yaitu kurang dari enam bulan seperti
yang telah dijelaskan di muka tanpa memperhatikan apakah sebelum
perkawinan istri tersebut telah hamil terlebih dahulu. Dan ini membawa
implikasi bahwa anak yang hakikatnya adalah anak zina, secara formal
dianggap anak sah.32
Definisi anak sah di dalam K.U.H. Perdata tercantum pada Pasal
250 bahwa:
“Anak sah adalah anak yang dilahirkan dan ditumbuhkan sepanjang
perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya.”33
Untuk menentukan keabsahan seorang anak, ditentukan minimal
180 hari setelah pernikahan orang tuanya, sebagaimana disebutkan dalam
K.U.H. Perdata Pasal 251:
“Keabsahan seorang anak yang dilahirkan sebelum hari ke 180 dalam
pernikahan suami-istri, dapat diingkari oleh suami. Namun, pengingkaran
ini tak boleh dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:
1e.Jika seorang suami sebelum pernikahan telah mengetahui akan
mengandungnya istri
2e. Jika telah ikut hadir tatkala akta kelahiran dibuat dan akta itu pun
telah ditandatanganinya atau memuat pernyataan darinya bahwa ia
tak dapat menandatanganinya
3e. Jika anak tak hidup tatkala dilahirkan.34
32 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, Hlm.
226 33 Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Jakarta: PT.
Pranadnya Paramita, 2004, hlm.62 34 Suparman Usman, Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek), Serang: Darul Ulum Press, 1933, hlm.91
30
Pasal 255: “Anak yang dilahirkan 300 setelah pernikahan di bubarkan
adalah tidak sah”.
Sehingga, anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah atau
dilahirkan sebelum 180 hari dari pernikahan orang tuanya, atau lewat 300
hari perceraian pernikahan orang tuanya, di kategorikan sebagai anak
tidak sah atau anak luar nikah (naturlijke kinderen)
3. Status atau Kedudukan Anak Sah
Istilah status itu hampir sama dengan istilah kedudukan secara literal,
kata status berarti kedudukan, term status tersebut berkaitan dengan hukum. 35
sedangkan dalam bahasa Indonesia kata status berarti “keadaan, tingkatan,
organisasi, badan negara, dsb”.36
Adapun kedudukan adalah “keadaan di
bawah mana seorang itu hidup menunjukkan kepada suatu hubungan
kekeluargaan tertentu”.37
Anak yang dilahirkan dalam suatu ikatan perkawinan yang sah
mempunyai hak dalam kedudukannya sebagai anak sah untuk memakai nama
ayah di belakang namanya untuk menunjukkan keturunan dan asal-usulnya.38
Oleh karena Islam menasabkan anak yang sah kepada kedua orang tuanya,
maka kedua orang tuanya tersebut berkewajiban untuk menjaga, merawat,
memberikan nafkah, mendidik, memberi perlindungan dan membesarkannya.
35 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cet. Ke 20, Jakara:
Gramedia, 1992, hlm.554 36 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinanaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia , cet. Ke-2 Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm.214. 37 H.F.A Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata,Jakarta: Rajawali, 1984 hlm 60 38 Abdul Manan, loc.cit, hlm.110
31
Dalam pandangan Al-Qur’an ada tiga kedudukan anak sah:
a. Anak sebagai anugerah yang berarti anak sesungguhnya pemberian gratis
dari Allah SWT yang cenderung menunjukkan aksentuasi makna positif
(baik), yakni anak-anak (keturunan) yang memperoleh hidayah Allah yang
dapat menjadi penyejuk hati orang tuannya. Sebagaimana firman Allah
pada surat Al-An’am ayat 84.39
Artinya: Dan kami Telah menganugerahkan Ishak dan Yaqub kepadanya.
kepada keduanya masing-masing Telah kami beri petunjuk; dan
kepada Nuh sebelum itu (juga) Telah kami beri petunjuk, dan
kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud,
Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah kami
memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.40
b. Anak sebagai amanah: yang berarti anak merupakan suatu yang
dipercayakan kepada orang tua, agar mereka menjaga dan merawatnya.
Berkaitan dengan amanah ini Allah SWT berfirman dalam surat Al-Anfal
ayat 27
39 Saifullah, problematika anak dan solusinya pendekatan sadduzzara’I, dalam jurnal mimbar
hukum, X, edisi 42 Mei-Juni, 1999, hlm 47 40 Khadim Al Haramain Asy Syarifain, Fahd Ibn Abdl Al Aziz Al Sa’ud, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, loc.cit. hlm.200
32
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati
Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu
mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu,
sedang kamu Mengetahui.41
c. Anak sebagai sebagai ujian kepada orang sejauh mana mereka mampu
mengemban amanah Allah tersebut. Beberapa orang tua di antaranya
menjadi sengsara dan malu akibat ulah dan perilaku anak-anaknya. Itulah
mengapa Allah mengingatkan kita bahwa anak juga bisa menjadi fitnah
dalam kehidupan ini.42
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat at-
Taghabun ayat 14-15
Artinya Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya diantara Istri-istrimu
dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, Maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu
memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka)
Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah
cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.43
41 Ibid. hlm.264. 42 H.S.A al-Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka Amani,
1989, hlm. 112. 43 Khadim Al Haramain Asy Syarifain, Fahd Ibn Abdl Al Aziz Al Sa’ud, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, op. cit. hlm, hlm.942
33
B. Pengertian Umum Tentang Anak Luar Nikah
1. Definisi Anak Luar Nikah
Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya supaya melaksanakan
mu’amalat atau hubungan antar manusia sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang telah ditetapkan oleh syara’. Islam menghendaki
terpeliharanya keturunan dengan baik dan terang diketahui sanak kerabat,
tetangga. Dilarang terjadi perkawinan diam-diam (kawin gelap) dan setiap
anak harus dikenal siapa bapak dan ibunya.44
Secara etimologis pengertian anak luar nikah terdiri dari kata “anak”
dan “frase luar nikah”. Anak sebagaimana tertulis dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia diartikan sebagai keturunan kedua. Di samping itu, anak juga
mengandung pengertian sebagai manusia yang masih kecil. 45
selain itu,
terdapat pengertian lain, bahwa anak pada hakikatnya adalah seorang yang
berada pada suatu masa perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk
menjadi dewasa.46
Dalam kaitan ini Al-Qur’an terdapat bermacam-macam kata yang
mengandung arti anak, meskipun demikian di dalam pemakaian terdapat
perbedaan, artinya kata-kata sinonim ini tidak sepenuhnya berarti sama,
misalnya kata walad, hafadah, dzurriyah, ibn, dan bint. kata walad untuk
44 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, cet. I, 1990
, hlm.137. 45 Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet-2, Jakarta: Balai Pustaka, 1988,
hlm.30-31 46 Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, Cet-3, Jakarta: Rineka Cipta, hlm.256
34
menggambarkan adanya hubungan keturunan, sehingga kata walid berarti
ayah kandung, demikian pula kata walidah berarti ibu kandung. Ini berbeda
dengan kata ibn, yang tidak mesti menunjukkan hubungan keturunan.47
Jadi
Ibn bisa berarti anak kandung ataupun anak angkat. Demikian pula kata ab
(ayah), bisa berati ayah kandung atau ayah angkat. Kata bint berarti merujuk
pada pengertian anak perempuan, jamaknya banat. Al-Qur’an juga
menggunakan kata dzurriyah untuk menyebut anak cucu atau anak keturunan,
dan menggunakan kata hafadah dipakai untuk menunjukkan pengertian cucu,
baik cucu yang masih hubungan kerabat atau orang lain.48
Adapun nikah atau pernikahan adalah ikan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang
Maha Esa. 49
Suatu pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.50
Menurut Dr.Wiryono (2002: 40) dalam bukunya “Hakikat Dalam
Hukum Islam”mengatakan bahwa ada kemungkinan seorang anak hanya
mempunyai ibu dan tidak mempunyai bapak. Status anak yang lahir di luar
47 Abdul Mustaqim, Kedudukan dan Hak-Hak Anak dalam Perspektif Al-Qur’an, Musawa
Jurnal Studi Gender dan Islam, vol 4:2 (juli 2006) hlm 148 48 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur’an, Jilid XV,
Jakarta: Lentera Hati, 2004, hlm.614 49 Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami dan Istri, Cet I, Yogyakarta: Academia
bekerjasama dengan Tazzafa, 1996, hlm.16, Baca juga UU No 1 Tahun 1974 pasal 1 50 Pasal 1 dan 2 ayat (1) UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan
35
perkawinan itu menurut hukum Islam adalah anak yang tidak sah yang tidak
mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya, yaitu laki-laki yang
menurunkannya. Namun tetap mempunyai hubungan hukum dengan ibunya;
yaitu wanita yang melahirkannya itu.51
Atau dalam Islam biasa mengenalnya
anak luar nikah dengan istilah anak zina (walad al-zina), atau anak zadah.
Secara definisi fuqha’ merumuskan zina sebagai berikut:
Artinya: Zina adalah memasukkan zakar ke dalam faraj yang bukan istrinya,
bukan campur secara subhat dan menimbulkan kelezatan. 52
Zina juga bisa diartikan hubungan kelamin antara seorang laki-laki dan
perempuan tanpa ikatan pernikahan. Tidak memandang apakah salah satu dari
kedua belah pihak telah memiliki pasangan hidupnya masing-masing atau
belum pernah menikah sama sekali. 53
Fatchur Rahman (1999 : 124) mendefinisikan anak hasil luar nikah
adalah anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang tidak sah menurut
syari’ah.54
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Ahmad Rofiq (1993: 57)
51 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga, Jakarta: Sinar Grafika, 2002 tt,
hlm.40 52 Faturrahman Djamil, Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat Hukumnya: Problematika
Hukum Islam Kontemporer, Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz Anshari AZ (pd), Jakarta; firdaus, 1999
hlm 124 53 A.Rahman I. Doi, loc.cit, hlm.35 54 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, cet. Ke-10, Bandung: PT. Al-Ma’arif , 1981, hlm.221
36
bahwa anak hasil luar nikah adalah anak yang lahir tidak sah menurut
ketentuan agama.55
Di dalam Islam terdapat peraturan yang termasuk dalam kategori anak
yang tidak sah antara lain:
a. Anak yang lahir di luar perkawinan atau hubungan zina, yaitu anak yang
dilahirkan oleh seorang wanita tanpa adanya ikatan perkawinan dengan
seorang laki-laki secara sah.
b. Anak yang lahir dalam suatu ikatan perkawinan yang sah akan tetapi
terjadinya kehamilan itu di luar perkawinannya, yaitu:
1) Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, tapi lahirnya 6 (enam)
bulan sesudah perkawinan dan diketahui sudah hamil sebelum
perkawinan.
2) Anak yang lahir dalam suatu ikatan perkawinan yang sah dan
hamilnya kurang dari 6 (enam) bulan sejak perkawinannya.56
Berdasarkan uraian di atas, maka anak akan berkedudukan sebagai
anak sah, apabila ia dilahirkan oleh seorang ibu yang sejak permulaan
kehamilan itu sudah terjalin suatu perkawinan yang sah, sedangkan anak
yang tidak sah adalah anak yang lahir akibat dari pergaulan yang tidak
sah. Oleh karena, itu hukum Islam memandang kedudukan seorang anak
55 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawawaris , cet-ke 1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993,
hlm.127 56 Zakariya Ahmad Al-Barry, loc. cit., hlm.14 – 15.
37
sah atau tidak dilihat dari perkawinan orang tuanya dan tenggang masa
mengandung. Kapan dan di mana anak itu dilahirkan.57
Apabila dalam pernikahan seorang suami menduga adanya
hubungan perzinaan istrinya dengan orang lain, untuk memecahkan
problema ini dalam ilmu fiqh dikenal dengan nama li’an. Maka barang
siapa yakin atau menuduh bahwa istrinya telah membasahi ranjangnya
dengan orang lain, kemudian sang istri itu melahirkan anak padahal tidak
ada bukti yang tegas, maka seorang suami boleh mengajukan ke
pengadilan kemudian mengadakan mula’anah (sumpah dengan melaknat)
antara kedua belah pihak. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:58
Artinya: “Para suami yang menuduh suaminya padahal mereka tidak
mempunyai saksi melainkan dirinya sendiri, maka kesaksian
tiap orang dari mereka adalah empat kali kesaksian dengan
57 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat “Seri Buku Daras”, Jakarta: Prenada Media,
2003, hlm. 67.
58 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Cet I, Jakarta: Bulan
Bintang, 1974, hlm. 84.
38
nama Allah bahwa ia termasuk orang-orang yang benar.
Sedangkan yang kelimanya ialah bahwa laknat Allah akan
menimpa kepadanya jika ia termasuk orang-orang yang
berdusta dan dihilangkan dari perempuan itu siksa (dera)
lantaran ia bersaksi empat kali kesaksian dengan nama Allah
bahwa dia (laki-laki) itu termasuk orang-orang yang berdusta.
Sedang yang kelimanya bahwa murka Allah akan menimpa
kepadanya (perempuan) jika dia (laki-laki) itu termasuk orang
yang benar. ( Q.S. an-Nur: 6-9).59
Setelah terbukti dalam pemeriksaan di pengadilan, maka
pengadilan memberikan keputusan terhadap keduanya. Dan pengadilan
memberikan penetapan kedudukan terhadap anak. Apakah dia
berkedudukan sebagai anak sah atau tidak sah. Apabila gugatan itu
diterima berarti anaknya mempunyai kedudukan sebagai anak tidak sah
dan apabila gugatan itu tidak diterima (ditolak) maka anak tersebut
berkedudukan sebagai anak sah.60
Berbeda dengan hukum Islam, di dalam BW istilah anak luar nikah
cenderung lebih sempit jika dibandingkan dengan istilah yang sama dalam
hukum Islam. Hal tersebut terjadi karena anak luar nikah menurut BW hanya
terbatas hubungan seksual di luar nikah bagi mereka yang telah menikah saja.
Sesuai dengan Dalam pasal 272 K.U.H. Perdata dijelaskan bahwa, setiap anak
yang dilahirkan di luar nikah (antara gadis dan jejaka), dapat diakui sekaligus
dapat disahkan, kecuali anak-anak yang dibenihkan dari hasil zina atau dalam
59 Yusuf Qardawi, Halal dan Haram Dalam Islam, Bina Ilmu, 1400 H/ 1980 M, hlm.305 60 Slamet Abidin, Fiqih Munakahat Untuk Fakultas Syari’ah Komponen MKDK, Bandung:
Pustaka Setia, 1999, hlm. 99.
39
sumbang (anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan wanita
yang dilarang kawin antara keduanya).61
Apabila diperhatikan secara seksama pasal tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa, hubungan seks di luar nikah yang dilakukan anak yang
lahir sebagai akibat hubungan mereka bisa diakui atau disahkan sebagai anak
yang sah. Sedangkan anak hasil zina tidak dapat diakui atau disahkan sebagai
anak yang sah. Hal ini berarti bahwa, zina menurut K.U.H. Perdata adalah
hubungan seks yang dilakukan di luar nikah oleh mereka yang sudah
bersuami atau beristri.
Konsekuensi yuridis dari pengertian zina, ditinjau dari segi hukum
pidana adalah, bahwa yang dapat dihukumi hanyalah hubungan seks yang
dilakukan oleh orang yang sudah bersuami atau beristri dan mereka yang
melakukan hubungan seks dari kalangan gadis dan jejaka tidak dikenai
hukuman pidana.62
2. Kriteria Anak Luar Nikah
Kriteria sebagaimana terdapat dalam Kamus Ilmiah Populer yang
berarti: prasyarat, ukuran, standar. 63
menurut Soni Dewi J. Budianto (2000:
99-100) menerangkan kriteria anak luar nikah adalah sebagai berikut:
61 R. Subekti dan R. Tjitro sudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cet. 28, Jakarta:
PTpradnya Paramita, 1996 hlm.68 62 Chuzaimah T. Yanggo, Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer 1,
Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm.121-122 63 Achmad Maulana, Kamus Ilmiah Popular, cet. Ke-II, Yogyakarta, Absolut 2004, hlm.251
40
a. Anak yang dilahirkan diketahui dan dikehendaki oleh salah satu orang
atau kedua ibu dan ayahnya, tetapi salah satu atau keduanya masih terikat
dalam ikatan pernikahan pernikahan lain.
b. Anak yang dilahirkan oleh ibu yang masih dalam masa iddah setelah
perceraiannya, sebagai hasil hubungan dengan laki-laki yang bukan
suaminya.
c. Anak yang dilahirkan oleh ibu yang masih dalam proses perceraian (masih
dalam ikatan pernikahan), sebagai hasil hubungan dengan laki-laki yang
bukan suaminya.
d. Anak yang lahir dari seorang ibu yang ditinggal suaminya lebih dari 300
hari dan tidak diketahui sang suami sebagai anaknya.
e. Anak yang dilahirkan oleh orang tuanya akibat ketentuan agama tidak
dapat nikah.
f. Anak yang dilahirkan dari orang tuanya akibat hukum negara tidak dapat
melangsungkan pernikahan.
g. Anak yang sama sekali tidak diketahui orang tuanya sebagai anak
temuan.64
h. Anak yang dibenihkan dan di ahirkan di luar perkawinan yang sah yang
dibuahi ketika ibu dan bapaknya dalam status tidak menikah65
64 Soni Dewi J. Budianto, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Luar Kawin, Jurnal Magister
Hukum ,Vol 2 No 2 Juni 2000, Yogyakarta: PPS Magister Ilmu Hukum UII, hlm.99-100 65 Abdul Wahid, Kedudukan Anak di Luar Nikah, Mimbar Ulama, Tahun III Mei 1978,
Jakarta: Cemara Ladah, 1978. hlm.22
41
3. Kedudukan Anak Luar Nikah
Hukum Islam menetapkan bahwa hubungan seks di luar nikah baik
yang dilakukan oleh orang yang sudah pernah menikah maupun belum
pernah menikah, tetap dinamakan zina. Anak yang dilahirkan akibat hubungan
perzinaan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya yang
melahirkannya. 66
Hal serupa juga ditegaskan pada pasal 100 buku I Hukum Perkawinan
KHI bahwa “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. 67
Dikarenakan anak di
luar nikah tidak dianggap sebagai anak sah, hal itu berakibat hukum sebagai
berikut:
a. Tidak ada hubungan nasab dengan ayahnya, melainkan kepada ibunya.
secara yuridis formal, bapaknya tidak wajib memberikan nafkah kepada
anak diluar nikah, namun secara biologis anak itu adalah anaknya juga. Ini
berarti, hubungan kekerabatannya berlangsung secara manusiawi, bukan
secara hukum.
b. Tidak ada saling mewarisi. Anak di luar nikah (zina) hanya mewarisi dari
pihak ibu dan saudara perempuan dari ibu begitu juga sebaliknya ibu dan
saudara perempuan dari ibunya mewarisi anak itu.
66 Soedharyo Soimin, loc. Cit, hlm. .40 67 Undang-Undang Perkawinan di Indonesia Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Surabaya: Arkola, tt, hlm. 179.
42
c. Tidak adanya wali dari ayah biologisnya. Jika anak di luar nikah kebetulan
adalah wanita dan hendak melangsungkan pernikahan ia tidak dinikahkan
oleh bapaknya tetapi menggunakan wali hakim.68
Kedudukan anak luar kawin dalam hukum perdata lebih inferior (lebih
jelek/rendah) dibanding dengan anak sah. Semisal, anak sah pada asasnya
berada di bawah kekuasaan orang tua (pasal 299 K.U.H. Perdata), sedangkan
anak luar kawin berada di bawah perwalian (pasal 306 K.U.H. Perdata). Hak
bagian anak sah dalam pewarisan orang tuanya lebih besar daripada anak luar
kawin (pasal 863 K.U.H. Perdata.)
C. Pengakuan Anak Luar Nikah
1. Pengertian Pengakuan Anak
Pengakuan anak dalam literatur fikih dikenal dengan istilah “istilhaq”
( ) atau iqraru bin nasab ( ), yang berarti pengakuan
seorang laki-laki secara sukarela terhadap seorang anak bahwa ia mempunyai
hubungan darah dengan anak tersebut, baik anak tersebut berstatus di luar
nikah atau anak tersebut tidak diketahui asal usulnya. 69
68 Tim Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar
Nikah, Jakarta, 2004, hlm.53 69 Ibid, hlm.68
43
Jika ditinjau menurut hukum perdata yang tercantum dalam Burgerlijk
Wetboek (BW), kita akan melihat adanya tiga macam status hukum dari pada
anak di luar perkawinan:
a. Anak wajar/anak alami (naturlijke kinderen) adalah anak hasil hubungan
laki-laki dan perempuan di luar perkawinan dan keduanya tidak terikat
dalam ikatan pernikahan dengan orang lain dan keduanya tidak dilarang
nikah.
b. Anak sumbang (bloedschenning/incest) adalah anak hasil hubungan laki-
laki dan perempuan di luar nikah yang keduanya tidak dalam ikatan
pernikahan dengan orang lain, tetapi keduanya dilarang nikah contohnya
antara saudara sekandung
c. Anak Zina (overspel) adalah anak hasil hubungan laki-laki dan perempuan
yang salah satu atau keduanya sedang dalam ikatan pernikahan dengan
orang lain. 70
Anak wajar yang lahir di luar perkawinan atau “Naturlijke kinderen”
ia dapat diakui oleh ayah ibunya. Menurut sistem yang dianut oleh BW,
dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja, belum terjadi suatu
hubungan keperdataan antara anak dengan orang tuanya. Barulah dengan
pengakuan (Erkenning), lahir suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat-
akibatnya (terutama hak mewaris) antara anak dengan orang tua yang
70 R. Wiryono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1983.
hlm.72
44
mengakuinya. sebagaimana tersebut dalam Pasal 280 K.U.H. Perdata Jika
tidak ada pengakuan dari ibu yang melahirkannya atau bapak yang
menghamili ibunya, maka anak wajar tersebut tidak memiliki keperdataan
dengan ibu dan bapak biologisnya.71
Tetapi suatu hubungan keperdataan antara anak dengan keluarga si
ayah atau si ibu yang mengakuinya belum juga ada. Hubungan itu hanya bisa
diletakkan dengan pengesahan anak (Wettiging), yang merupakan suatu
langkah yang lebih lanjut lagi dari pada pengakuan. Untuk pengesahan ini,
diperlukan kedua orang tua yang mengakui anaknya, kawin secara sah.
Pengakuan yang dilakukan di hari pernikahan juga membawa pengesahan
anak.
Jikalau kedua orang tua yang telah kawin belum melakukan
pengakuan terhadap anaknya yang lahir sebelum nikah. Pengesahan itu dapat
dilakukan dengan surat-surat pengesahan (brieven van wettiging) oleh kepala
negara. Dalam hal ini presiden harus meminta pertimbangan Mahkamah
Agung. 72
Perlu diterangkan bahwa K.U.H. Perdata tidak membolehkan
pengakuan terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perbuatan zina (overspel)
dan anak sumbang (bloedschenning/incest) yang dilahirkan dari hubungan
71 Taufiq, Pengakuan Anak Wajar Menurut Hukum Perdata Tertulis Dan Hukum Perdata
Islam, Jurnal Mimbar Hukum, Nomor 15 tahun V, Dirbinbaperais Dep. Agama, Jakarta, 2006 hlm.17 72 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1995, cet. XVII, hlm.50
45
antara dua orang yang dilarang kawin satu sama lain.73
Hal tersebut
didasarkan pada pasal 283 K.U.H. Perdata, yang berbunyi sebagai berikut:
“Sekalian anak yang dibenihkan dalam zina ataupun dalam sumbang, sekali-
kali tidak boleh diakui, kecuali terhadap anak yang lahir ini apa yang
ditentukan dalam pasal 273”.
Dan pasal 272 K.U.H. Perdata yang berbunyi:
Kecuali anak yang dibenihkan dalam zina atau dalam sumbang, tiap-tiap
anak yang diperbuahkan di luar pernikahan, dengan kemudian nikahnya ayah
dan ibunya, akan menjadi sah, apabila kedua orang itu sebelum menikah
telah mengakuinya menurut ketentuan- ketentuan undang-undang atau
apabila pengakuan dilakukan dalam akta pernikahan sendiri”.
Terhadap anak sumbang terdapat pengecualian, sebagaimana diatur
dalam pasal 273 jo 283, bahwa anak tersebut dapat diakui dan disahkan
melalui izin khusus. Pasal 273 K.U.H. Perdata berbunyi:
“Anak yang dilahirkan dari ayah dan ibu, antara siapa tanpa dispensasi dari
presiden tidak boleh diadakan pernikahan, tidak dapat disahkan, melainkan
dengan cara mengakui dalam akta pernikahan”
Karena anak zina dan anak sumbang ini tidak dapat diakui dan
disahkan, maka anak ini tidak berhak mendapatkan bagian warisan dari laki-
laki atau perempuan yang menyebabkan kelahirannya. Anak zina dan anak
sumbang hanya mungkin untuk mendapatkan bagian nafkah hidup seperlunya
dari orang tua yang menyebabkan kelahirannya.74
73 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang perkawinan, Jakarta: Prenata Media, Cet ke-1, 2006, hlm. 89. 74 Muhammad Fauzil Adhim, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2006.
hlm, 200.
46
Namun kesempatan memperoleh nafkah hidup bagi anak zina dan
anak sumbang ini menjadi semakin kecil. Hal ini disebabkan adanya larangan
bagi anak zina dan anak sumbang untuk menyelidiki siapakah ayah atau
ibunya dari anak tersebut. Sebagaimana pasal 289 K.U.H. Perdata
menerangkan bahwa:
“Tiada seorang anak pun diperbolehkan menyelidiki siapakah ayah atau
ibunya dalam hal-hal bilamana pasal 283 pengakuan terhadapnya tidak
diperbolehkan”75
Kendati hampir sama dengan status kekeluargaan anak di luar nikah
dengan anak sah menurut K.U.H. Perdata, perbedaannya adalah jika anak luar
kawin tersebut tidak ada hubungan dengan ayahnya sebelum diakui.
Sebaliknya, anak sah mempunyai hubungan perdata di samping dengan
ibunya dan keluarga ibunya, juga hubungan dengan bapaknya dan keluarga
bapaknya.76
Pengakuan anak di luar kawin sebagaimana yang diatur dalam BW
yang sering disebut dengan anak wajar (naturlijke kinderen) yang dalam
perkembangan selanjutnya pengertian anak wajar dipakai untuk dua
pengertian yaitu dalam arti luas mencakup semua anak luar kawin yang
75 R. Subekti dan R. Tjitro sudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, loc. cit, hlm.153
76 Sa’id Thalib Al-hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka
Amani, 1989, hlm.69.
47
disahkan, dalam arti sempit hanya mencakup anak yang lahir akibat overspel
dan incest. 77
Ada perbedaan yang prinsip tentang motivasi pengakuan anak menurut
hukum perdata barat dengan motivasi pengakuan anak menurut hukum Islam.
Dalam hukum perdata barat pengakuan anak dapat dilakukan oleh seseorang
merupakan kebutuhan hukum bagi pasangan yang hidup bersama tanpa nikah.
Sedangkan motivasi pengakuan anak menurut hukum Islam adalah:
a. Demi kemaslahatan anak yang diakui
b. Rasa tanggung jawab sosial atau taklif ijtima’i
c. Menyembunyikan aib karena anak tersebut terlahir di luar kawin orang
tuanya.
d. Antisipasi terhadap datangnya madharat yang lebih besar di masa yang
akan datang apabila anak tersebut tidak diakuinya.78
2. Objek Permasalahan Pengakuan Anak Dalam Islam
Adapun yang menjadi objek permasalahan pengakuan anak atau
istilhaq antara lain adalah:
a. Anak luar nikah yakni anak yang lahir di luar perkawinan yang sah
menurut syari’at Islam. Menurut Abdul Manan yang termasuk anak di luar
nikah adalah anak zina, mula’anah (anak li’an) dan anak subhat.79
77 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1986,
hlm. 85. 78 Tim Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, loc.cit, hlm.69
48
Untuk anak li’an dan anak syubhat, ulama’ sepakat dapat menjadi
anak sah melalui pengakuan (istilhaq atau al-Iqrar bin nasab). Hanya saja
mengenai anak zina para ulama berselisih pendapat ada yang
memperbolehkan dan ada yang tidak memperbolehkan. Ibnu Taimiyah,
termasuk ulama’ fiqih yang memperbolehkan anak zina untuk diakui.80
Melihat yang banyak terdapat di masyarakat adalah anak zina
dibandingkan anak li’an dan anak syubhat maka hal ini perlu menjadi
perhatian. Kalau mendasarkan pada asas hukum “la taziru waziratun
wizra ukhra” yaitu seseorang tidaklah
menanggung kejahatan atau kebaikan orang lain dan ( )
asas tidak boleh merugikan dan tidak boleh dirugikan serta bahwa setiap
anak yang lahir itu dalam keadaan suci.
Maka logis kalau anak zina itu dapat dijadikan objek istilhaq
artinya anak zina tidak layak menanggung akibat hukum perbuatan ibu
dan atau ayah biologisnya.81
79 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, cet-I, Jakarta: Kencana
Preneda Media Grp, 2006, hlm 82-84 80 Abdul Aziz Dahlan, loc. cit, hlm.113 81 A. Mukhsin Asyrof, Mengupas Permasalahan Istilhaq dan Hukum Islam, dalam Jurnal
Mimbar Hukum, edisi 66 Desember, 2008, hlm.141
49
b. Anak temuan yang tidak diketahui nasabnya.
Anak temuan dalam istilah fikih dikenal dengan nama (al- laqith)
yang berarti anak kecil yang belum baligh yang ditemukan di jalan atau
sesat dijalan serta tidak diketahui nasabnya. 82
Menurut Sayyid Sabiq yang lebih berhak memelihara anak temuan
itu adalah orang yang menemukannya dan jika anak tersebut mati
meninggalkan harta warisan maka harta warisannya itu menjadi milik
baitul mal/negara. Begitu pula jika anak laqith itu terbunuh maka diyatnya
menjadi milik baitul mal juga. Kemudian selanjuutnya, jika ada orang,
baik laki-laki maupun perempuan, yang mengakui anak temuan itu adalah
anaknya, maka dinasabkanlah (ulhiqa) anak itu kepada orang yang
menemukannya, sepanjang pengakuan itu adalah pengakuan yang wajar.
Hal ini adalah untuk kemaslahatan anak tersebut, dengan
pengakuan itu, maka ditetapkanlah hubungan nasab itu kepada orang yang
mengakuinya. Begitu juga hak-hak kewarisannya. 83
Jika pengakuan terhadap anak laqith tersebut diajukan oleh lebih
dari satu orang maka hubungan nasab diberikan kepada pihak yang dapat
menguatkan gugatan dengan alat bukti. Jika masing-masing pihak tidak
dapat mengajukan alat bukti sama sekali, maka putusan dapat dijatuhkan
82 Sayyid Sabiq, Fiqhu As Sunnah, Alih Bahasa Moh. Tholib, jilid III, Jakarta: PT. Pena
Pundi Aksara, 200, hlm.227. 83 Sayid Sabiq, ibid, hlm.228
50
berdasarkan keterangan seorang Qa-fah, yakni orang yang tahu
menentukan nasab berdasarkan kemiripan jasmani.84
Dilihat dari proses peradilan (qadha-iy), dari penjelasan Sayyid
Sabiq di atas, maka jika seseorang mengakui anak temuan itu adalah anak
kandungnya maka tidak perlu pembuktian. Yang perlu diperiksa adalah
apakah pengakuan itu wajar atau tidak, misalnya: apakah orang yang
mengakui itu gila atau tidak, atau secara selisih umur antara yang
mengakui dengan anak yang diakui memungkinkan anak itu memang
benar anaknya.85
Untuk zaman sekarang, di mana tidak ada lagi orang yang
mengetahui hubungan nasab antara dua orang berdasarkan ciri-ciri
jasmaniahnya, maka barang buktinya berdasarkan hasil pemeriksaan
golongan darah atau hasil pemeriksaan DNA (Deoxyribo Nucleic Acid)
dapat digunakan.
Menurut fukaha’ pengakuan itu ada dua bentuk :
a. Pengakuan Secara langsung oleh diri sendiri yakni nasab anak
ditetapkan karena ayahnya sendiri yang mengakui anaknya. Secara
langsung sang ayah mengatakan bahwa “ini anak saya”
b. Pengakuan anak secara tidak langsung adalah nasab anak ditetapkan
karena pengakuan orang lain lebih dahulu. Ayahnya tidak mengakui
84 Ahmad Kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia,
Jakarta: raja grafindo persada, 2010 hlm. 169 85Ibid, hlm.228
51
setelah anaknya itu lahir, seperti dalam bentuk pengakuan yang
pertama. Dalam bentuk yang kedua ini hubungan anak dan ayah ini
terjadi setelah lebih dahulu diakui oleh orang lain. Misalnya, seorang
laki-laki mengakui bahwa yang lahir adalah cucunya. Maka, anak
tersebut tidak sah sebagai cucunya sebelum ditetapkan bahwa ayah
anak tersebut benar-benar anaknya (anak dari laki-laki yang mengakui
anak tersebut sebagai cucunya) dan ayah tersebut mengakui pula
bahwa cucu yang diakui seseorang tersebut adalah anaknya.86
Fukaha’ juga menetapkan adanya syarat-syarat dalam pengakuan
anak antara lain sebagai berikut:87
a. Anak yang diakui itu tidak diketahui keturunannya, sehingga dengan
demikian ada kemungkinan penetapan bahwa ia adalah anak dari
bapak yang mengakui itu. Sebaliknya jika anak yang diakui itu telah
diketahui keturunannya maka, pengakuan bapak tadi tidak diterima.
b. Ditinjau dari segi umur, anak yang diakui itu pantas sebagai anak dari
bapak yang mengakui dengan demikian pengakuannya dapat diterima
karena tidak bertentangan dengan kenyataan. Sebaliknya jika tinjauan
dari segi umur tidak memungkinkan misalnya, anak yang diakui lebih
tua atau sebaya dengan yang mengakuinya, maka pengakuan dari
86 Husnaini A, Anak Istilhaq Kaitannya Dengan Kaitannya Dengan Kewenangan PA Tentang
Pengangkatan Anak, dalam jurnal Suara Uldilag, XI, edisi 03 September, 2007, hlm. 43 87 Abdul Aziz Dahlan. Op.cit, hlm.113
52
bapak tersebut tidak dapat diterima, karena tidak masuk akal bahwa
dia adalah anaknya.88
c. Bapak yang mengakui anak tersebut tidak mengatakan bahwa anak itu
terjadi hubungan zina.
d. Anak yang diakui itu membenarkan tidak membantah pengakuan laki-
laki yang mengakui itu. Hal ini perlu diperhatikan kalau anak itu sudah
pantas untuk membenarkan atau sudah mumayyiz . Karena, pengakuan
seseorang tentang anak itu harus diterima oleh anak itu sendiri kalau ia
sudah mengerti dan sanggup menyatakan persetujuan terhadap
pengakuan itu yang dianggap sudah benar. Kalau sang anak belum
mumayyiz atau belum mengerti, maka hubungan nasab ditetapkan
cukup dengan pengakuan bapaknya saja.89
3. Sistem Pengakuan Anak
Pengakuan anak menurut K.U.H. Perdata terdiri dari dua jenis yaitu:
a. Pengakuan Secara Sukarela
Pengakuan secara sukarela ini dilakukan oleh seorang ayah atau
ibu biologis anak yang lahir di luar nikah tanpa adanya paksaan dari siapa
88 Hasanuddin AF, Pengangkatan Anak dan Akibat Hukumnya Menurut Hukum Islam, dalam
jurnal Suara Uldilag, edisi 03 Maret, 2007, hlm 32 89 ibid, hlm.113
53
pun atau bukan karena adanya putusan dari pengadilan untuk mengakui
anak yang lahir di luar nikah.90
Pengakuan anak di luar nikah dapat dianggap sah apabila
dilakukan secara autentik dan tegas, tidak boleh disimpulkan. Akta
autentik terhadap pengakuan anak dituangkan dalam akta notaris, akta
kelahiran atau akta yang di buat oleh Pejabat Catatan Sipil dan akta
pernikahan sendiri, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 281 K.U.H.
Perdata:
”Pengakuan terhadap seorang anak luar kawin, apabila yang demikian
itu telah dilakukan di dalam akta kelahiran si anak atau pada waktu
perkawinan berlangsung, dapat dilakukan dengan tiap akta otentik.”91
Kita melihat di sini ada beberapa cara untuk mengakui anak luar
kawin secara sukarela, yaitu:
1) Akta Luar Nikah
Akta ini dikeluarkan karena anak yang sebelum lahir kedua
orang tuanya melangsungkan pernikahan yang sah menurut hukum
negara. Namun tidak berarti keduanya orang tuanya tidak
melangsungkan pernikahan, hanya saja pernikahan dilakukan secara
hukum adat yang berlaku padanya.
Apabila anak yang lahir itu adalah anak luar nikah secara
hukum maka ayahnya terputus ikatan keluarganya secara perdata
90 J Satrio, loc.cit, hlm.113 91 Ibid, hlm.116
54
terhadap anak yang dilahirkannya. Tersebut. Jadi hanya terikat pada
ibunya saja. Akta kelahiran anak tersebut dapat di terbitkan oleh
catatan sipil, dalam akta dimaksud tidak dicantumkan nama ayahnya,
yang dicantumkan hanyalah nama ibunya dan nama anak yang
didaftarkan pencatatannya. 92
2) Akta Perkawinan
Hal itu berarti, bahwa laki-laki dan perempuan yang semula
mengadakan hubungan di luar nikah dan kemudian menghasilkan
anak luar kawin, kemudian memutuskan untuk saling menikahi secara
sah sekaligus mengakui anak luar nikahnya di hadapan romo (pendeta
agama yang menikahkan).93
Jadi, yang diakui diatur di sini adalah
pengakuan anak luar kawin yang sudah dilahirkan dan pada waktu
melaporkan kelahiran, belum diberikan pengakuan oleh ayahnya.
Selanjutnya maka dalam akta pernikahan diberi catatan bahwa telah
lahir anak di luar nikah dan disebutkan pula nama, tempat, dan tanggal
lahir si anak tersebut .94
92 Sulaiman, Akta Luar Nikah, Akta Pengakuan Anak dan Akta Pengesahan Anak, Majalah
Mimbar Hukum, Nomor 15 tahun V, Dirbinbaperais Dep. Agama, Jakarta, 2006, hlm.20 93 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan
ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1988, hlm. 212 94 J Satrio, Op.cit, hlm.118
55
3) Akta Otentik
Adapun akta otentik yang dimaksudkan di sini adalah akta
notaris. Pengakuan dalam akta otentik perlu ditindak lanjuti dengan
melaporkannya kepada Kantor Catatan Sipil di mana kelahiran anak
tersebut telah didaftarkan dan minta agar pengakuan itu dicatat dalam
minit akta kelahiran yang bersangkutan.95
Sehubungan dengan itu,
Pasal 37a P.J.N menetapkan bahwa:
“Notaris wajib melaporkan tiap-tiap anak luar kawin yang dilakukan
di hadapannya kepada balai harta peninggalan, dalam wilayah mana
ia bertempat berkedudukan, dalam waktu 24 (dua puluh empat) jam
dan sekaligus memberitahukan apakah ayah atau ibu yang
mengakuinya sudah dewasa atau belum, dan apakah pengakuan yang
dilakukan oleh ayahnya terjadi sebelum atau sesudah ia meninggal ”
Contoh akta pengakuan sebagai berikut:
Pada hari ini,............................................................................................
Menghadap kepada saya,.........................S.H.,Notaris di........................
Dengan dihadiri oleh saksi-saksi, yang saya, Notaris, kenal dan nama-
namanya akan disebutkan pada akhir akta ini:
1) Tuan
A......................................................................................................
95 Akta minit adalah akta asli yang ada di dalam bundel-bundel kntor catatan sipil, yang
ditandatangani oleh yang melaporkan, para saksi dan pejabat Kantor Catatan Sipil
56
2) Nona
B.......................................................................................................
Para penghadap saya, Notaris, kenal .....................................................
Penghadap Tuan A dengan ini menyatakan mengakui anak luar
kawinnya yang sesuai dengan laporan yang telah disampaikan pada
tanggal.................Kepada Kantor Catatan Sipil di ....................,
dilahirkan oleh penghadap Nyonya B dalam laporan mana telah
diberikan nama kecil X sebagai anaknya.................... penghadap
Nyonya B menyatakan telah menyetujui pengakuan tersebut di atas
oleh Tuan A ............................................................................................
Demikian akta ini ............................dibuat dan......................................
b. Pengakuan Karena Terpaksa
Terhadap prinsip, bahwa pengakuan tidak bisa dipaksakan
pembuat Undang-undang telah memberikan pengecualian melalui pasal
287 ayat 2 K.U.H. Perdata di sebutkan:
“Sementara itu, apabila terjadi salah satu dari kejahatan tersebut dalam
pasal 288, Pasal 294 atau pasal 322 kitab undang-undang hukum pidana
dan saat berlangsungnya kejahatan itu bersesuaian dengan saat
kehamilan perempuan terhadap siapa kejahatan itu dilakukan, maka atas
tuntutan mereka yang berkepentingan, bolehlah si tersalah dinyatakan
sebagai bapak si anak”
57
Untuk berlakunya pasal 287 ayat 2, harus di penuhi beberapa
syarat antara lain, yang pertama adalah adanya kejahatan yang di
rumuskan dalam pasal-pasal tertentu, yang disebutkan di sana. Kalau kita
telusuri pasal-pasal yang disebutkan ketentuan-ketentuan tersebut, terletak
pada buku II Bab XIV K.U.H.P, mengatur terhadap kejahatan kesusilaan,
khususnya yang berhubungan dengan pemerkosaan, hubungan badan, dan
percabulan antara mereka yang bukan suami istri.96
Selanjutnya, perbuatan itu harus menimbulkan kehamilan dan
kejahatan itu haruslah bertepatan dengan saat kehamilan dari perempuan,
dan terhadap siapa kejahatan itu dilakukan. Keputusan hakim berdasarkan
keyakinan dari pembuktian yang diajukan oleh penggugat bahwa logis
laki-laki yang diduga adalah laki-laki yang melakukan perbuatan
kejahatan itu.
Pasal tersebut juga mengisyaratkan adanya tuntutan yang diajukan
kepada pengadilan oleh yang berkepentingan. Karena di sini digunakan
istilah yang longgar, yaitu”yang berkepentingan”, maka selain daripada
anak yang bersangkutan itu sendiri juga bisa ibu si anak.
Karena namanya keputusan pengadilan, tentunya di sini tidak
ditanya apakah penggugat mau atau tidak mengakui anak tersebut. Maka,
dalam peristiwa seperti itu ada pengakuan yang dipaksakan.
96 Ibid, hlm.154-156
58
4. Implikasi Pengakuan Anak
Akibat dari pengakuan anak luar kawin adalah:
a. Lahirnya hubungan hukum dengan yang mengakuinya
b. Adanya akibat hukum yang sangat terbatas dengan keluarga pihak yang
mengakuinya.
Adanya hubungan hukum antara anak yang bersangkutan dengan ayah
dan ibu yang mengakuinya, membawa akibat lebih lanjut seperti:
a. Keharusan minta izin kawin kepada orang tua yang mengakui selama
mereka belum dewasa (pasal 39 dan 47 K.U.H. Perdata)
b. Ada kewajiban alimentasi dari anak terhadap orang tua yang mengakuinya
(Pasal 328 K.U.H. Perdata)
c. Adanya hubungan perwalian dengan ayah atau ibu yang mengakuinya,
yang terjadi demi hukum (Pasal 909 K.U.H. Perdata)
d. Adanya hak mewarisi dari ayah dan ibu yang mengakui, atas harta warisan
dari anak yang diakui olehnya (Pasal 870 K.U.H. Perdata). Dalam pasal
ini hubungan hukum anak luar nikah sangat terbatas sekali, hanya kepada
orang yang mengakui saja. Dengan kata lain jika saudara dari ayah yang
mengakui mereka meninggal maka anak luar nikah tidak dapat mewarisi
harta dari saudara ayah yang mengakui anak luar kawin tersebut begitu
pun sebaliknya.
59
D. Pengesahan Anak Luar Nikah
Pengesahan anak terjadi setelah adanya Akta pengesahan yang
dikeluarkan setelah anak luar nikah disahkan sebagai anak suami istri
bersangkutan oleh Pengadilan negeri dan Kantor Catatan Sipil mencatatkan serta
menerbitkan aktanya.
Akta pengesahan anak dapat di lakukan dengan cara:
1. Pernikahan Orang Tuanya.
Menurut pasal 272 K.U.H. Perdata pengesahan karena pernikahan
orang tua yaitu: bilamana seorang anak dibenihkan di luar pernikahan,
menjadi anak sah apabila sebelum pernikahan orang tuanya telah mengakui
anak luar nikah itu sebagai anaknya. Pengakuan itu dapat dilakukan sebelum
pernikahan atau sekaligus dalam akta pernikahannya.97
Biasanya dengan dilangsungkan pernikahan orang tuanya, diterbitkan
akta pengakuan anak. Bentuk akta pengesahan anak, sebenarnya bukan
merupakan suatu akta dalam bentuk tersendiri. Pada awalnya, berbentuk akta
kelahiran seperti pada umumnya, dengan adanya pengesahan anak kemudian
dicantumkan data pengesahan anak, yang dikenal dengan istilah “catatan
pinggir”.
97 Elise T. Sulistini dan Rudi T Erwin, Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-Perkara
Perdata, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm.108. Dalam peristiwa tersbut diatas sekalipun tindakan
“ayah” anak luar kawin adalah “mengakuinya”tetapi tindakan hukum itu diberikan arti sebagai
“pengesahan anak luar kawin”. Baca lebih lanjut J Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak
Dalam Undang-Undang, PT citra Aditya Bakti, Bandung; 2005, hlm.176
60
Dinamai catatan pinggir karena catatan tentang perubahan status anak
tersebut dicatat pada bagian pinggir akta semula. Catatan pinggir pada suatu
akta catatan sipil pada dasarnya berisi perubahan atas data dan informasi atas
akta semula. 98
catatan pinggir dapat di terapkan pada semua jenis dan macam
akta catatan sipil, dan dengan adanya catatan pinggir pada suatu akta, berarti
data dan informasi tidak berarti lagi, sedangkan data yang dipergunakan
selanjutnya adalah yang tercantum dalam catatan pinggir.
Penerbitan akta bercatatan pinggir, biasanya dilakukan berhubungan
dengan adanya peristiwa baru yang oleh UU dinyatakan mempunyai kekuatan
hukum baru. Misalnya, terjadi karena adanya keputusan pengadilan negeri
karena ganti nama, perubahan atau pembetulan tanggal dan bulan serta tahun
kelahiran, juga karena perubahan kewarganegaraan karena mengikuti suami
ataupun karena pengakuan dan pengesahan anak.
2. Surat Pengesahan
Pengesahan anak luar nikah menggunakan surat pengesahan dapat
dilakukan dalam dua hal yaitu:
a. Apabila orang tua lalai mengakui anak-anaknya sebelum atau pada saat
melangsungkan pernikahan (pasal 274 K.U.H. Perdata)
b. Apabila pernikahan kedua orang tuanya terhalang oleh sebab tertentu,
seperti apabila salah satu dari orang tua itu sudah meninggal, sehingga
98 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di
Indonesia, cet ke-2, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hlm 43
61
pernikahan yang akan dilakukan tidak bisa dilaksanakan (pasal 275
K.U.H. Perdata sub 1e).99
Jika pengesahan itu dilakukan dengan surat pengesahan, maka akan
memperoleh akibat hukum yang lebih terbatas antara lain:
a. Pengesahan itu baru mulai berlaku pada saat surat pengesahan itu
diberikan
b. Pengesahan itu dalam hal pewarisan tidak boleh merugikan anak-anak
sah yang sudah ada sebelum pengesahan itu dilakukan.
c. Pengesahan itu tidak berlaku dalam hak pewarisan terhadap keluarga
sedarah lainnya (bloedver wanten) kecuali kalau mereka telah
menyetujui pemberian surat pengesahan tersebut.100
Pengakuan anak luar nikah bisa dilakukan, bila anak luar nikah yang
dimaksud adalah akibat hubungan perempuan dan laki-laki yang statusnya
adalah:
a. Kedua pihak masih lajang dan tidak dalam ikatan pernikahan yang sah.
b. Akibat adanya pemerkosaan
c. Kedua belah pihak sudah melakukan pernikahan, tapi lalai mengakui anak
luar nikahnya. Kelalaian tersebut dapat diperbaiki dengan surat
99 Elise T. Sulistini, Op.cit, hlm.107-108 100 Abdul Wahid, Op.cit. hlm.33
62
pengesahan Presiden, yang mana akan diberikan setelah didengarnya
nasihat Mahkamah Agung (K.U.H. Perdata Pasal 274)
Pengakuan anak luar nikah tidak boleh dilaksanakan jika:
a. Dilakukan oleh laki-laki yang belum mencapai usia 19 tahun (Pasal 282
K.U.H. Perdata), Khusus bagi perempuan yang belum mencapai usia 19
tahun diperbolehkan mengakui anak di luar nikahnya.
b. Dilakukan dengan paksaan, bujuk rayu, tipu dan khilaf (Pasal 282 K.U.H.
Perdata). Jika terjadi penipuan atau pemalsuan oleh seorang ayah yang
mengakui anak sebenarnya bukan anaknya diancam pidana penjara
maksimal 3 tahun (Pasal 278 KUH Pidana)
c. Ibu dari anak tersebut tidak menyetujui.
d. Terhadap anak yang dilahirkan akibat hubungan antara pihak yang masih
terikat pernikahan (zina) maupun anak sumbang kecuali ada dispensasi
dari presiden.
BAB III
PUTUSAN DI PENGADILAN AGAMA SLEMAN
NOMOR 408/Pdt.G/2006/PA. Smn
A. Profil Pengadilan Agama Sleman
1. Sejarah Pengadilan Agama Sleman
Pengadilan Agama dirintis sejak Sultan Agung.1 Dengan nama
Peradilan Serambi diketuai oleh seorang Penghulu dibantu oleh 4 orang
Hakim dari Alim Ulama yang disebut Pathok Nagari yang diangkat dengan
surat kekancingan dalem, mereka bermukim di empat Masjid Pathok Nagari
yang berlokasi di arah empat penjuru Kraton Yogyakarta.2
Pada masa itu, untuk mengambil keputusan para hakim sumber
hukumnya merujuk pada Al-Qur’an dan Hadis juga kitab-kitab Muharror,
Mahali, Tuhfah, Fatkhul Mu’in dan Fatkhul Wahab, yaitu kitab fiqih yang
disebut kitab kuning. Lembaga Peradilan Serambi menangani masalah-
masalah kehidupan masyarakat yang menyangkut Syari’at Islam seperti
Perkawinan, wasiat, Waris, Hibah dan sebagainya3
1 Kata sultan berasal dari bahasa Arab yang berarti raja/penguasa di Yogyakarta dengan
tambahan gelar Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo Kholifatullah. 2 Disebut Pengadilan Serambi karena pelaksanaan siding biasanya mengambil tempat di
tempat di serambi masjid. Pengadilan ini telah ada di tengah-tengah masyarakat di Indonesia
bersamaan dengan kehadiran agama Islam di negeri ini 3 Diambil dari website PA Sleman http://pa-slemankab.go.id/. Pada hari Jum’at, tanggal 6
Juli 2011, Pukul: 15.00 Wib
64
65
Kedatangan kaum penjajah Belanda di Indonesia menyebabkan
jatuhnya kerajaan Islam satu persatu. Sementara itu di sisi lain, penjajah
Belanda datang dengan sistem peradilannya sendiri yang dibarengi dengan
politik amputasi secara berangsur-angsur mengurang kewenangan Peradilan
Agama.
Di antara pakar hukum kebangsaan Belanda adalah Cristian Van Den
Berg (1845-1927), ia menyatakan bahwa yang berlaku di Indonesia adalah
hukum Islam menurut ajaran Hanafi dan Syafi’i. Dialah yang
memperkenalkan teori Receptio in Complexu. Teori ini mengajarkan bahwa
hukum itu mengikuti agama yang dianut seseorang,4 sehingga hukum Islam
telah diterima (diresepsi) secara menyeluruh dan sebagai satu kesatuan oleh
umat Islam Indonesia.
Pada masa penjajahan Belanda, pendapat yang kuat di kalangan pakar
hukum Belanda tentang hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum
Islam yang menjadi dasar, sehingga penerapan hukum dalam peradilan pun
diberlakukan peraturan-peraturan yang di ambil dari syari’at Islam untuk
orang Islam. Namun kemudian terjadi perubahan pada politik hukum
pemerintah Hindia-Belanda akibat pengaruh dari seorang Orientalis Belanda
bernama Cornelis Van Vollenhoven (1874-1933) yang memperkenalkan Het
Indische Adatrecht (hukum adat Indonesia) dan Cristian Snouck Huogronje
4 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 14
66
(1857-1936) yang memperkenalkan teori Receptie yang mengajarkan bahwa
hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum adat mereka masing-
masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresapi oleh hukum adat.5
Jadi hukum adat lah yang menentukan ada tidaknya hukum Islam. Dalam teori
ini hukum Islam akan mempunyai arti dan manfaat bagi kepentingan
pemeluknya, apabila hukum Islam tersebut telah diresapi oleh hukum adat.6
Pendapat tersebut di ataslah yang akhirnya mendorong pemerintah
Belanda mengeluarkan penetapan yang dimuat dalam Staatblad nomor 152
tahun 1882 tentang Pembentukan Pengadilan yang dinamakan Priesterraad
atau Majelis Pendeta.7 Dengan adanya ketetapan tersebut terdapat perubahan
yang cukup penting, diantaranya adalah bahwa pengadilan itu menetapkan
perkara-perkara yang dipandang masuk dalam kekuasaannya yang umumnya
meliputi pernikahan, kewarisan, hibah, wakaf, shodaqoh, dan baitul mal yang
semuanya erat dengan hukum Islam.8
Sejak dihapusnya Pengadilan Raja, maka secara Yuridis Formal
Pengadilan Surambi tidak berfungsi lagi dan melebur ke dalam Pengadilan
Agama.
5 Ghofur, Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-Undang No 3 Tahun 2006 (Sejarah,
Kedudukan dan Kewenangan), Yogyakarta: UII Press, 2007, hlm 8 6 Ibid, hal. 18 7 Dinamakan Pengadilan Pendeta karena disebabkan penghulu dan bawahannya
berkedudukan sebagai pendeta 8 Jaih Mibarok, Peradilan Agama di Indonesia, Bandung: Pustaka Bumi Quraisy, 2004, hal.
10
67
Sejak zaman Hindia Belanda, pelayanan hukum di bidang Agama
tentang masalah perkawinan untuk daerah Kesultanan Ngayogyokarto
(Daerah Istimewa Yogyakarta) dipusatkan pada satu Pengadilan Agama, yaitu
Pengadilan Agama Yogyakarta. Keadaan semacam ini terus berlangsung
hingga Indonesia merdeka sampai pada tahun 1961.9
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 rakyat Indonesia semakin
lama semakin maju taraf kehidupan dan pendidikannya, yang hal ini semakin
terasa pula peningkatan kebutuhan di bidang pelayanan hukum, termasuk
pelayanan hukum Agama, khususnya hukum keluarga yang mengatur tentang
masalah perkawinan.
Dalam rangka untuk meningkatkan pelayanan hukum Agama yang
mengatur masalah perkawinan ini, maka pemerintah berdasarkan Keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1961 tanggal 25 Juli
1961 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 1961 menetapkan
Pembentukan Cabang Kantor Pengadilan Agama Yogyakarta:10
1. Wonosari, untuk Daerah Tingkat II Gunung Kidul.
2. Wates, untuk Daerah Tingkat II Kulon Progo.
3. Bantul, untuk Daerah Tingkat II Bantul.
4. Sleman, untuk Daerah Tingkat II Sleman
9 Tim Penyusun dari Departemen Agama RI, Yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama
Yogyakarta, Departemen Agama RI, Jakarta, hlm. 29 10 Ibid, hlm. 30
68
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa dasar
pembentukan Pengadilan Agama Kelas I B Sleman berdasarkan Keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1961 tanggal 25 Juli
1961. Sebelum berdirinya Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta yurisdiksi
Pengadilan Agama di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam
hal ini termasuk juga Pengadilan Sleman masuk dalam yurisdiksi Pengadilan
Tinggi Agama Sleman.11
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
1992 tanggal 31 Agustus 1992 dibentuklah Pengadilan Tinggi Agama
Yogyakarta, sehingga sejak berlakunya Undang-Undang tersebut, maka
yurisdiksi Pengadilan Agama di wilayah Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta berpindah dari yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama Sleman ke
yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta, dan baru pada tanggal 30
Januari 1993 Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta diresmikan
pengoperasiannya oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. 12
Dalam tahap perkembangan Pengadilan Agama Sleman tentunya tidak
lepas juga dengan pembahasan perkembangan Peradilan Agama di Indonesia
secara umum. Sebelum berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sesuai dengan wewenangnya pada
11 Ahmad Sukardja, Hukum Keluarga dan Peradilan Keluarga di Indonesia, Jakarta:
Kapuslitbang, 2001, hlm. 51 12 Yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta, Departemen Agama RI, op.cit, hlm. 30
69
waktu perkara yang masuk pada Pengadilan Agama Sleman rata-rata 25
perkara setiap bulan. Akan tetapi setelah berlakunya Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut
meningkat menjadi rata-rata 60 perkara setiap bulan atau lebih 700 perkara
setiap tahun.13
.
Perkara cerai gugat adalah merupakan perkara yang mendominasi,
atau dengan kata lain 75 persen perkara yang masuk ke Pengadilan Agama
Sleman adalah perkara cerai gugat dan selebihnya baru disusul oleh perkara
cerai talak, ijin poligami, wali adhol, penyelesaian harta bersama dan lain-
lain.
Pada awalnya penanganan perkara di Kepaniteraan ataupun
penanganan administrasi di Kesekretariatan Pengadilan Agama Sleman masih
menggunakan sistem manual, namun sejak Desember 2005 penanganan
perkara ataupun administrasi sudah menggunakan sistem komputerisasi, yakni
misalnya untuk sistem di Kepaniteraan menggunakan aplikasi SIADPA
(untuk menyelesaikan perkara dari Meja I sampai terbitnya putusan atau akta
cerai), LIPA (untuk laporan perkara), KIPA (untuk kasir), dan untuk
administrasi kepegawaian menggunakan aplikasi SIMPEG (yang berisi data
seluruh pegawai) dan lain sebagainya.
13 Ibid, hlm. 30
70
Dengan keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
maka kedudukan Peradilan Agama mulai nampak jelas dalam sistem peradilan
di Indonesia. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan diantaranya bahwa
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris, administratif,
dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan.
susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur
dalam undang-undang tersendiri.14
Dengan ketentuan-ketentuan di atas memberikan landasan yang kokoh
bagi kemandirian Peradilan Agama di Indonesia dan memberikan status yang
sama dengan peradilan-peradilan lain di Indonesia. Eksistensi Peradilan
Agama semakin terlihat dengan keluarnya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di dalam Undang-
Undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasal
2 ayat (1) Undang-Undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran
Islam (Hukum Islam). Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan
Peradilan Agama di Indonesia dengan keluarnya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berisi
14 Wahyu Widiana, Akses dan Equitas Pengadilan Agama Kaitannya Dengan Peningkatan
Pelayanan Bagi Pencari Keadilan, dalam jurnal mimbar hukum, edisi 66 Desember, 2008, hlm.153
71
diantaranya struktur organisasi, hukum acara dari Peradilan Agama. Dan
mengenai pelaksanaan Peradilan Agama secara organisatoris, administratif,
dan finansial ada di bawah Departemen Agama.15
Selanjutnya dengan adanya amandemen UUD 1945 yang keempat,
sedikit banyak telah memberikan perubahan bagi Peradilan yang ada di
Indonesia pada umumnya, dan khususnya pada Peradilan Agama.
Perubahan-perubahan itu diantaranya adalah dalam Pasal 24 UUD
1945, inti dari Pasal tersebut menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman
menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan
yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman, sehingga Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 1999 perlu dilakukan penyesuaian dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pada tanggal 15 Januari
15 Soesilo, et. al., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Penerbit: Rhedbook Publisher, Cet.
ke-I, 2008, h. 369.
72
2004 keluarlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman.16
Sesuai dengan bunyi Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 2 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004, dapat kita simpulkan bahwa
penyelenggara kekuasaan kehakiman saat ini tidak hanya dipegang oleh
Mahkamah Agung dan peradilan-peradilan di bawahnya, namun juga
dipegang oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, bahkan menurut Pasal 24B UUD
1945 guna menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku maka dibentuklah sebuah lembaga yang independen yakni Komisi
Yudisial.17
Berkaitan dengan adanya ketentuan dari Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 yang menyatakan organisasi, administrasi,
dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung (Pasal 13 Undang-
Undang Republik Indonesia No.4 Tahun 2004), maka sejak 30 Juni 2004 lalu,
Peradilan Agama resmi berada di bawah naungan Mahkamah Agung.
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama yang semula di bawah
Departemen Agama (Depag)-pun berubah menjadi Ditjen Badan Peradilan
Agama (Badilag) di bawah Mahkamah Agung. Perubahan itu berdasarkan
16 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, Cet. 5, 2008, hlm 5 17 Abdul Gani Abdullah, Paradigma Indonesia Baru Perspektif Pembangunan Hukum Islam,
dalam jurnal mimbar hukum, X, edisi 42 Mei-Juni, 1999, hlm 57
73
Pasal 42 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 2 ayat 2 Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi,
Administrasi dan Finansial di Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata
Usaha Negara dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung.18
Sesuai Pasal 9 Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 13 Tahun
2005, Badilag bertugas membantu Sekretaris Mahkamah Agung dalam
merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
pembinaan tenaga teknis, pembinaan administrasi peradilan, pranata dan tata
laksana perkara dari lingkungan Peradilan Agama.
Untuk urusan teknis yudisial Peradilan Agama, Mahkamah Agung
memiliki institusi bernama Urusan Lingkungan Perdata Agama (Uldilag).
Sejak 1946, Uldilag di bawah Mahkamah Agung, dimana sebelumnya berada
dalam naungan Departemen Kehakiman.19
Struktur organisasi, hukum acara Peradilan Agama yang semula diatur
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989, maka
secara otomatis dengan keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2006 struktur organisasi, hukum acara Peradilan Agama
sekarang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
18 Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktik Pada
Peradilan Agama, Yogyakarta: UII Press, 2009, hlm 5 19 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1988, hlm.
123
74
3 Tahun 2006 tersebut, selain itu dengan keluarnya Undang-Undang Peradilan
Agama yang baru juga memberikan tantangan bagi Peradilan Agama, dimana
kewenangan Peradilan Agama selain seperti apa yang telah ada dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 saat ini bertambah
dalam hal ekonomi syari’ah. 20
Hal yang berkaitan dengan struktur organisasi, hukum acara Peradilan
Agama diatur berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (sekarang telah diubah dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006).
Dengan adanya perubahan-perubahan yang ada pada Peradilan Agama
tersebut, berarti juga membawa perubahan dan perkembangan bagi
Pengadilan Agama Sleman, karena Pengadilan Agama Sleman sebagai bagian
dari Peradilan Agama di Indonesia.
Gedung Pengadilan Agama Sleman terletak di Jalan Candi Gebang
Nomor 1, Kota Sleman Telephone 0274 868201 kode pos 55511, gedung
dibangun pada tahun 1976 di atas tanah seluas 800 m2 dengan hak pakai dan
luas bangunan 72 m2 melalui anggaran DIP Pemda Sleman. Kemudian pada
tahun 1980 dilaksanakan rehabilitasi/perluasan 296 m2 berdasarkan APBN
1978 dengan biaya sebesar Rp.6.694.000,- dilaksanakan oleh CV. Budi Utama
20 Tim Penyusun, Bahan Sosialisasi Tentang Eksistensi Dan Kompetensi Peradilan Agama,
Dilaksanakan Oleh Pengadilan Agama Wonosobo Pada Tanggal 28 Juli 2007, hlm. 83
75
sehingga luas tanah seluruhnya 800 m2 dan luas bangunan seluruhnya 368
m2.
Pada tahun 2006 dengan menggunakan anggaran DIPA Mahkamah
Agung, Pengadilan Agama Sleman membangun gedung baru yang terletak di
Jalan Parasyamya, Beran, Tridadi, Sleman. Berdiri di atas tanah seluas 2537
m2 dengan hak pakai dari Pemda Sleman, luas bangunan 830 m2 yang terdiri
dari tiga laintai. Gedung Kantor Pengadilan Agama Sleman tersebut
diresmikan penggunaannya oleh Ketua Mahkamah Agung RI (Prof. DR.
Bagir Manan,S.H., Mcl) pada tanggal 14 Agustus 2007.21
2. Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama Sleman
a. Tugas Pengadilan Agama Sleman
Pengadilan Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan
kehakiman, mempunyai tugas menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Wewenang
Pengadilan Agama untuk memberikan pelayanan hukum dan keadilan
dalam bidang hukum keluarga dan perkawinan bagi mereka yang
beragama Islam, berdasarkan hukum Islam.
Kompilasi Hukum Islam yang berdasarkan Inpres Nomor 1 tahun
1991 dijadikan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah
21 Dokumen Pengadilan Agama Sleman , didapatkan pada riset tanggal 26 April 2011
76
perkawinan, kewarisan, dan perwakafan menjadi tugas dan wewenang
Pengadilan Agama untuk menyelesaikan semua masalah dan sengketa
yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut, melalui pelayanan
hukum dan keadilan dalam proses perkara. Dengan kata lain, Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang untuk menegakkan Kompilasi Hukum
Islam sebagai hukum materiil yang berlaku bagi masyarakat Islam
Indonesia.22
b. Wewenang Pengadilan Agama Sleman
1) Kekuasaan Absolut (Absolut Competentie)
Kekuasaan absolut adalah kekuasaan pengadilan yang
berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan
pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis
pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya.23
Maksudnya di sini bahwa kewenangan absolut itu merupakan
kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga peradilan
dalam memeriksa perkara-perkara tertentu yang tidak dapat diperiksa
oleh lembaga peradilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang
sama, seperti misalnya antara Pengadilan Agama dengan Pengadilan
Tinggi Agama maupun dalam lembaga peradilan yang lain, misalnya
22 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2004, hal. 1-2 23 Roihan A. Rosyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003,
hal.27
77
antara Pengadilan Umum dengan Pengadilan Militer atau dengan
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Hukum acara Peradilan Agama berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 yakni:
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq, shdaqah, dan ekonomi syari’ah”24
,
Berikut tabel perkara-perkara yang masuk di Pengadilan
Agama Sleman pada tahun 2006:25
NO JENIS PERKARA JUMLAH
1 Ijin Poligami 14
2 Cerai Talak 276
3 Cerai Gugat 499
4 Harta Bersama 1
5 Perwalian 1
6 Isbath Nikah 4
7 Izin Nikah -
8 Dispensasi Nikah 3
9 Wali Adhol 13
10 Kewarisan 6
11 Pengakuan Anak 1
24 Tim Penyusun, Bahan Sosialisasi Tentang Eksistensi Dan Kompetensi Peradilan Agama,
Dilaksanakan Oleh Pengadilan Agama Wonosobo Pada Tanggal 28 Juli 2007, hlm. 83 25 Dokumen Pengadilan Agama Sleman , didapatkan pada riset tanggal 26 April 2011
78
12 Perubahan Ikrar Wakaf dan Nadzir 1
13 Pengesahan Anak Angkat 1
14 Pembatalan Pernikahan 4
15 Penolakan Pernikahan Oleh PPN -
16 Kelalaian Kewajiban Suami/Istri -
17 Nafkah Anak Oleh Ibu -
18 Hak-hak Bekas Istri -
19 Pencabutan Kekuasaan Orang Tua -
20 Pencabutan Kekuasaan Wali -
21 Penunjukan Orang Lain Sebagai Wali -
22 Ganti Rugi Terhadap Wali -
23 Asal-Usul Anak -
24 Penolakan Nikah Campur -
25 Kewarisan -
26 Hibah -
27 Shadaqah -
28 Wasiat -
JUMLAH 824
2) Kekuasaan Relatif (Relatif Competentie)
Kekuasaan relatif adalah kekuasaan pengadilan yang satu jenis
dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan
yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya.26
Lebih ringkasnya di sini
kewenangan relatif merupakan kewenangan pengadilan dalam menangani
26 Riduan Syahrani, HukumAcara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Jakarta:Pustaka
Kartini, 1988 hlm. 77
79
perkara-perkara bukan dilihat dari jenis perkaranya tetapi dari wilayah
kekuasaan masing-masing lembaga peradilan tersebut.
Kekuasaan relatif Pengadilan Agama Sleman adalah meliputi
wilayah :
a) Kecamatan Sleman
b) Kecamatan Mlati
c) Kecamatan Tempel
d) Kecamatan Ngaglik
e) Kecamatan Godean
f) Kecamatan Turi
g) Kecamatan Depok
h) Kecamatan Seyegan
i) Kecamatan Ngemplak
j) Kecamatan Pakem
k) Kecamatan Gamping
l) Kecamatan Minggir
m) Kecamatan Moyudan
n) Kecamatan Kalasan
o) Kecamatan Berbah
p) Kecamatan Prambanan
q) Kecamatan Cangkringan27
27 Diambil dari website PA Sleman http://pa-slemankab.go.id/. Pada hari Jum’at, tanggal 6
Juli 2011, Pukul: 15.00 Wib
80
3. Visi Pengadilan Agama Sleman
a. Terwujudnya Pelayanan Hukum Yang Baik Dan Bersih Untuk Mencapai
b. Perlindungan Hukum Masyarakat Yang Adil Dan Bermartabat.
4. Misi Pengadilan Agama Sleman
1. Mewujudkan Pelayanan Hukum Yang Baik Dan Bersih.
2. Mewujudkan Penanganan Perkara Yang Baik, Sederhana, dan Biaya Ringan.
3. Menciptakan Penyelenggaraan Persidangan Yang Tertib, Cermat, dan
Bermartabat.
4. Menciptakan Putusan Yang Baik Dan Bertanggung jawab Untuk Mewujudkan
Rasa Keadilan dalam Masyarakat.
5. Meningkatkan Aparatur Peradilan Yang Profesional, Bersih dan Bermoral. 28
5. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Sleman
Adapun struktur organisasi sebagaimana terlampir.
28 Ibid, 26 April 2011
81
B. Deskripsi Putusan Perkara Nomor: 408/Pdt.G/2006/Pa.Smn Tentang
Permohonan Pengakuan Anak
Mengenai isi dari putusan dalam perkara pengakuan anak dengan Nomor:
408/Pdt.G/2006/Pa.Smn di Pengadilan Agama Sleman berisi beberapa hal di
bawah ini:
1. Identitas Para Pihak
a) Denny Agustiansyah bin H. Ibramsyah, HS, SH berumur 21 tahun
pekerjaan sebagai mahasiswa, beragama Islam, dan bertempat tinggal di
jalan Wirajaya RT.01 RW.29. No. 308, Kelurahan Condongcatur,
Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, yang selanjutnya disebut
PEMOHON,
b) Ika Oktavianie Zair Binti Ahmad Zair, umur 22 tahun, agama Islam,
pekerjaan Mahasiswi, dan bertempat tinggal di Jalan Wirajaya RT.01
RW.29 No. 308, Kelurahan Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten
Sleman, selanjutnya disebut TERMOHON 29
2. Duduk Perkara
Bahwa Pemohon telah mengajukan surat permohonannya tertanggal
11 Juli 2006 dan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Sleman
tanggal 11 Juli 2006 Nomor: 408/Pdt.G/2006/PA.Smn, dengan tambahan dan
29 Diambil dari putusan Nomor: 408/Pdt.G/2006/PA.Smn Dokumen Pengadilan
Agama Sleman , didapatkan pada riset tanggal 26 April 2011
82
perubahan olehnya sendiri di muka persidangan yang disimpulkan sebagai
berikut:
Pemohon dan Termohon adalah suami istri yang sah, menikah pada
tanggal 20 Agustus 2005 di Kantor Urusan Agama Kecamatan Depok,
Kabupaten Sleman dengan Nomor Kutipan Akta Nikah; 530/42/VIII/2005.
Sebelum tanggal pernikahan tersebut Termohon telah dikaruniai
seorang anak laki-laki yang bernama Ramdhani Deka Azlatan Novtiansyah,
lahir 13 November 2004, bertempat tinggal di Jln. Nuri Blok T No.1 BTN,
RT.17, Desa Belimbing, Kecamatan Bontang Barat.
Pemohon mengakui bahwa anak yang bernama Ramdhani Deka
Azlatan Novtiansyah, lahir 13 November 2004 adalah benar-benar anak dari
hubungan suami istri Pemohon dan Termohon, dan Pemohon mengakui
bahwa anak tersebut anak kandung dari hubungan Pemohon dan Termohon.
Pemohon dan Termohon menikah setelah anak yang bernama
Ramdhani Deka Azlatan Novtiansyah, umur sekitar 9-10 bulan.
Pemohon mengajukan pengakuan anak yang bernama Ramdhani
Deka Azlatan Novtiansyah, lahir 13 November 2004 terhadap Termohon guna
pembuatan Akta Kelahiran tersebut dengan identitas sebagai anak Pemohon
dan Termohon, bukan hanya bernasab pada Termohon saja (Ibunya).
Anak yang bernama Ramdhani Deka Azlatan Novtiansyah, lahir 13
November 2004 tersebut tidak pernah diakui oleh orang lain (pihak ke tiga).
83
Anak tersebut sekarang diasuh oleh orang tua Termohon di Bontang Barat,
Kalimantan Timur.30
Bahwa berdasarkan uraian dan alasan tersebut di atas, Pemohon
mohon kepada Ketua Pengadilan Agama Sleman cq. Majelis Hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menjatuhkan putusan sebagai
berikut.
PRIMAIR::
1) Mengabulkan permohonan Pemohon dan Termohon.
2) Menetapkan anak yang bernama Ramdhani Deka Azlatan Novtiansyah,
lahir 13 November 2004 adalah anak syah dari Pemohon dan Termohon.
3) Membebankan biaya perkara menurut hukum.
SUBSIDAIR:
Mohon putusan yang seadil-adilnya.
Menimbang, bahwa pada hari persidangan perkara ini Pemohon datang
in person dan Termohon in person. Setelah Majelis Hakim berusaha
mendamaikan kedua belah pihak yang beperkara akan tetapi tidak berhasil,
30 Diambil dari putusan Nomor: 408/Pdt.G/2006/PA.Smn Dokumen Pengadilan
Agama Sleman , didapatkan pada riset tanggal 26 April 2011
84
maka kemudian dibacakan surat permohonan Pemohon yang isinya tetap
dipertahankan oleh Pemohon.31
Menimbang, bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut
Termohon mengajukan jawaban secara lisan yang disimpulkan sebagai
berikut:
Bahwa alasan yang dikemukakan Pemohon dalam surat
permohonannya adalah benar semua kalau Pemohon hendak mengakui
terhadap anak tersebut.
Menimbang, bahwa pemohon telah mengajukan bukti tertulis dan
bukti-bukti saksi sebagai berikut:
a) Alat Bukti Tertulis
1) Photocophy Kartu Tanda Penduduk Pemohon bermeterai cukup,
dilegalisir Panitera dan telah sesuai dengan aslinya.
2) Photocophy Kartu Tanda Penduduk Termohon bermeterai cukup,
dilegalisir Panitera dan telah sesuai dengan aslinya.
3) Photocophy keterangan lahir dari rumah sakit bersalin bermeterai
cukup, dilegalisir Panitera dan telah sesuai dengan aslinya.
4) Photocophy kutipan akta nikah Pemohon bermeterai cukup, dilegalisir
Panitera dan telah sesuai dengan aslinya.
31 Diambil dari putusan Nomor: 408/Pdt.G/2006/PA.Smn Dokumen Pengadilan
Agama Sleman , didapatkan pada riset tanggal 26 April 2011
85
b) Alat Bukti Saksi
1) Donny bin H. IBRAMSYAH, HS, SH., yang memberikan keterangan
di bawah sumpahnya sebagai berikut:
Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena
saksi sebagai adik kandung dari Pemohon. Saksi hadir pada saat akad
nikahnya bahwa sebelum Termohon dan Pemohon menikah telah
punya anak RAMDHANI DEKA AZLATAN NOVTIANSYAH (laki-
laki), mereka berpacaran sejak SMA. Pemohon mau mengakui anak
tersebut dan Termohon tidak keberatan serta tidak ada pihak lain yang
keberatan. Sewaktu saksi ditanya ayah Pemohon apakah benar mereka
sudah mempunyai anak? Saksi menjawab benar, lalu mereka
dinikahkan. 32
2) SUAMRTI bin KARTOIJAN yang memberikan keterangan di bawah
sumpahnya sebagai berikut:
Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena
saksi sebagai Bu Lik dari Termohon. Mereka telah melangsungkan
pernikahan bulan Agustus, sekarang mereka telah dikaruniai dua orang
anak. Anak yang pertama bernama RAMDHANI DEKA AZLATAN
NOVTIANSYAH (laki-laki), lahir sebelum nikah yang sekarang
diasuh oleh ibu Termohon karena saat itu Termohon belum siap
32 Diambil dari putusan Nomor: 408/Pdt.G/2006/PA.Smn Dokumen Pengadilan
Agama Sleman , didapatkan pada riset tanggal 26 April 2011
86
mengasuhnya. Pemohon mau mengakui anak tersebut dan Termohon
maupun semua keluarga tidak keberatan.
3. Pertimbangan Hukum Oleh Majelis Hakim
Menimbang, bahwa majelis hakim telah berusaha mendamaikan kedua
belah pihak agar tidak usah Pemohon mengakui anak tersebut akan tetapi
Pemohon tetap mau mengakui anak tersebut.
Menimbang, bahwa dalil-dalil pemohon yang telah menjadi tetap
karena telah diakui oleh Termohon yang dikuatkan dengan saksi-saksi dan
alat bukti tertulis P.1, P.2, P.3, dan P.4 atau setidak-tidaknya telah disangkal
tanpa alasan yang cukup adalah
a. Tempat tinggal Pemohon adalah sebagaimana tersebut dalam surat
permohonannya.
b. Bahwa antara Pemohon degan Termohon telah terjadi perkawinan yang
sah tanggal 20 Agustus tahun 2002 di Kantor Urusan Agama Kecamatan
Depok, Kabupaten Sleman.
c. Bahwa dari perkawinan tersebut telah di karuniai anak sebanyak satu
orang
d. Bahwa Termohon sebelum nikah sudah punya anak bernama
RAMDHANI DEKA AZLATAN NOVTIANSYAH
Menimbang, bahwa menurut kesimpulan majelis hakim pokok
permohonan Pemohon ialah mohon anak Termohon bernama RAMDHANI
87
DEKA AZLATAN NOVTIANSYAH dapat diakui juga sebagai anak
Pemohon dengan alasan:
Bahwa sebelum Pemohon dengan Termohon menikah telah
berhubungan kelamin dan telah lahir anak tersebut sebelum Pemohon dengan
Termohon menikah, alasan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 49
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama harus
dibuktikan hal-hal yang menjadi hal pokoknya yaitu:
a. Apakah benar Pemohon dengan Termohon mengadakan hubungan
kelamin sebelum nikah dan lahir anak tersebut.
b. Apakah Termohon tidak keberatan terhadap pengakuan Pemohon tersebut.
c. Bahwa ada pihak lain yang keberatan33
Menimbang, bahwa atas permohonan pengakuan anak tersebut
Termohon memberikan jawaban secara lisan yang pada pokoknya sebagai
berikut:
Benar antara Pemohon dengan Termohon berhubungan kelamin
sebelum nikah dan telah lahir anak tersebut di luar nikah dan Termohon tidak
keberatan kalau Pemohon mengakui anak tersebut menjadi anaknya dan
semua keluarga setuju serta tidak ada orang lain yang keberatan.
33 Diambil dari putusan Nomor: 408/Pdt.G/2006/PA.Smn Dokumen Pengadilan
Agama Sleman , didapatkan pada riset tanggal 26 April 2011
88
Menimbang, bahwa Pemohon untuk meneguhkan dalil
permohonannya telah mendatangkan alat bukti berupa alat tertulis dan saksi-
saksi:
Donny bin H. IBRAMSYAH, HS, SH. dan SUAMRTI bin
KARTOIJAN keduanya menerangkan Pemohon dengan Termohon sebelum
nikah telah berhubungan kelamin dan telah lahir anak bernama RAMDHANI
DEKA AZLATAN NOVTIANSYAH yang lahir sebelum mereka nikah kini
Pemohon mau mengakui anak tersebut sebagai anaknya dan Termohon
maupun keluarganya tidak keberatan atas pengakuan Pemohon tersebut
Menimbang, bahwa berdasarkan pernyataan Pemohon dan pengakuan
Termohon yang dikuatkan dengan alat bukti tertulis dan kesaksian tersebut
yang secara materiil bersesuaian antara satu dengan lainnya, maka Majelis
Hakim berpendapat bahwa Pemohon telah dapat membuktikan bahwa
pemohon dengan Termohon sebelum menikah telah berhubungan kelamin dan
telah punya anak dan Termohon maupun semua keluarga tidak keberatan
kalau Pemohon mengakui anak yang bernama RAMDHANI DEKA
AZLATAN NOVTIANSYAH, sebagai anaknya
Menimbang, bahwa pengakuan anak dalam Kompilasi Hukum Islam
tidak dengan tegas diatur, namun tersebut dalam Pasal 53 wanita hamil di luar
89
nikah dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya. Pasal tersebut
adalah sebenarnya bersandar pada Al-Qur’an Surat An-Nur ayat 3. 34
Falsafah hukum Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an Surat An-
Nur ayat 3 dan dijadikan landasan pasal 53 Kompilasi Hukum Islam tersebut
adalah dalam rangka perlindungan dan ke-maslahat-an anak yang telah
terjadi proses pembuahannya di luar nikah.35
Hal tersebut muncullah kaidah
hukum:
Artinya: “Hukum itu mengikuti ke-maslahat-an yang ada”.
Berdasarkan fakta-fakta yang telah terbukti telah memenuhi pasal 3
undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak jo. Pasal 49
Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang amandemen Undang-undang
nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama Permohonan Pemohon dapat
dikabulkan.
Menimbang, bahwa karena permohonan, pengakuan Pemohon
terhadap anak bernama RAMDHANI DEKA AZLATAN NOVTIANSYAH
adalah diakui sebagai anak syah dari pemohon dan termohon berdasarkan
pengakuan pemohon.
34 Diambil dari putusan Nomor: 408/Pdt.G/2006/PA.Smn Dokumen Pengadilan
Agama Sleman , didapatkan pada riset tanggal 26 April 2011 35 Wawancara dengan: Ibu Hj. Sri Murtinah, S.H., M.H (Hakim Pengadilan Agaman Sleman),
Hari Kamis, 5 Juli 2011, Pukul: 10.00 Wib, Di Lantai II Gedung PA Sleman
90
Mengingat, segala peraturan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku dan Kompilasi Hukum Islam yang berkaitan dengan perkara ini.
4. Amar Putusan
a. Mengabulkan permohonan Pemohon
b. Menetapkan anak yang bernama RAMDHANI DEKA AZLATAN
NOVTIANSYAH lahir 13 November 2004 adalah diakui sebagai anak
syah dari Pemohon dan Termohon berdasarkan pengakuan Pemohon.
c. Membebankan kepada Pemohon untuk membebankan biaya perkara
sebesar Rp 226.000,00 (dua ratus dua puluh enam ribu rupiah)
Demikian keputusan tersebut di atas dijatuhkan berdasarkan
permusyawarahan Majelis pada 27 Juli 2006 M pada sidang terbuka dan
dihadiri oleh Pemohon dan Termohon, bertepatan dengan tanggal 02
Rajab 1427 H. Oleh Drs. MASLIHAN SAIFURROZI, S.H., M.H sebagai
hakim Ketua. SRI MURTINAH, S.H., dan Drs. LANTJARTO masing-
masing sebagai hakim anggota dibantu oleh SUHARTO, S.H sebagai
panitera pengganti.36
36 Diambil dari putusan Nomor: 408/Pdt.G/2006/PA.Smn Dokumen Pengadilan
Agama Sleman , didapatkan pada riset tanggal 26 April 2011
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SLEMAN
NOMOR 408/PDT.G/ 2006/PA.SMN
TENTANG PENGESAHAN ANAK DI LUAR NIKAH
Terkait masalah keberadaan anak luar nikah yang telah di bahas pada Bab III
mengenai kasus perkara No.408/Pdt.G/2006/PA.Smn tentang pengakuan ayah
biologis terhadap anak yang lahir di luar pernikahan yang sah, dalam perkara tersebut
pemohon yang bernama Denny Agustiansyah bin H. Ibramsyah, HS, SH mengajukan
permohonan pengakuan anak yang bernama Ramdhani Deka Azlatan Novtiansyah
yang lahir pada tanggal 13 november 2004 terhadap termohon yang bernama Ika
Octavianie Zair bin Achmad Zair guna pembuatan akta kelahiran anak tersebut
dengan identitas sebagai pemohon dan termohon bukan hanya bernasab pada
termohon saja.
Majelis hakim memutus perkara tersebut berdasarkan pertimbangan hukum
bahwa pengakuan anak dalam Kompilasi Hukum Islam tidak dengan tegas diatur,
namun tersebut dalam Pasal 53 wanita hamil di luar nikah dapat dinikahkan dengan
pria yang menghamilinya. Pasal tersebut adalah sebenarnya bersandar pada Al-
Qur‟an Surat An-Nur ayat 3.
Falsafah hukum Islam yang terkandung dalam Al-Qur‟an Surat An-Nur ayat 3
dan dijadikan landasan pasal 53 Kompilasi Hukum Islam tersebut adalah dalam
rangka perlindungan dan ke-maslahat-an anak yang telah terjadi proses
91
92
pembuahannya di luar nikah.1 Hal tersebut muncullah kaidah hukum: الحكم يتبع
.”Artinya: “Hukum itu mengikuti ke-maslahat-an yang ada المصلحة الراجحة
Berdasarkan fakta-fakta yang telah terbukti telah memenuhi pasal 3 undang-
undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak jo. Pasal 49 Undang-undang
nomor 3 tahun 2006 tentang amandemen Undang-undang nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama
Oleh karena itu permohonan pemohon yang bernama Denny Agustiansyah bin
H. Ibramsyah, HS, SH terhadap anak bernama Ramdhani Deka Azlatan Novtiansyah
adalah diakui sebagai anak syah dari pemohon dan termohon berdasarkan pengakuan
termohon.
A. Analisis Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Pengesahan Anak Di Luar
Nikah Dalam Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di Pengadilan Agama Sleman
Dalam pertimbangan hukum perkara No.408/Pdt.G/2006/PA.Smn
menyatakan Pasal 53 KHI wanita hamil di luar nikah dapat dinikahkan dengan
pria yang menghamilinya. Pasal tersebut bersandar pada Al-Qur‟an Surat an-Nur
ayat 3 yang berbunyi:
1 Wawancara dengan: Ibu Hj. Sri Murtinah, S.H., M.H (Hakim Pengadilan Agaman Sleman),
Hari Kamis, 5 Juli 2011, Pukul: 10.00 Wib, Di Lantai II Gedung PA Sleman
93
Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang
berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina
tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki
musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
mukmin” (Q.S an-Nur Ayat 3) 2
Ibnu A‟syur berpendapat bahwa ayat ini mendahulukan penyebutan lelaki
pezina atas perempuan pezina, karena ayat ini adalah penjelasan menyangkut
asbabun nuzul-nya yaitu mengenai kasus Murtsid Ibn Abu Murtsid yang sering
kali menyelundupkan tawanan tawanan muslim di Mekkah menuju Madinah.
Sebelum sahabat nabi ini memeluk Islam, ia mempunyai teman yang bernama
A‟naq yang mengajak tidurnya bersama, tetapi ia menolak sambil menyatakan
Bahwa Islam mengharamkan perzinaan. Sang wanita itu marah dan membongkar
rahasia tugas Murtsid sehingga ia dikejar dengan delapan orang kaum musyrikin.
Tetapi akhirnya ia berhasil menghindar bahkan mengantar seorang lagi tawanan
ke Madinah, ia kemudian meminta izin kepada Rasul SAW. Untuk mengawini
bekas teman kencannya itu, Rasul tidak memberi jawaban sampai turunnya ayat
ini, lalu beliau melarang Murtsid mengawininya3
Riwayat lain lagi menyatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan
sahabat nabi ingin menikahi seorang tuna susila yang bernama Ummu Mahzul
dan sekelompok kaum muslimin yang di beri gelar ahl ash-Shuffah, mereka ingin
kawin tetapi tidak memiliki kemampuan sehingga mereka bermaksud mengawini
2 Khadim Al Haramain Asy Syarifain, Fahd Ibn Abdl Al Aziz Al Sa‟ud, Al-Qur‟an dan
Terjemahnya, Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da‟wah Dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia.
hlm 543 3 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur‟an, Jilid VII,
Jakarta: Lentera Hati, 2004 hlm 8
94
wanita-wanita tuna susila Madinah, sekaligus memperoleh kebutuhan pokok
mereka.
Ulama‟ bermazhab Hambali dan Zahiri menetapkan bahwa perkawinan
dengan pelaku zina (laki-laki atau perempuan) tidak dianggap sah sebelum
adanya pengakuan taubat. Beberapa Ulama‟ memahami ayat di atas dalam arti
galibnya, seorang yang cenderung dan senang berzina enggan menikahi orang
yang taat beragama. Demikian juga wanita pezina tidak diminati oleh laki-laki
yang taat beragama. Hal itu tentu saja karena masing-masing ingin mencari
pasangan yang sejalan dengan sifat-sifat mereka masing-masing, sedangkan
perzinaan dengan kesalehan adalah dua hal yang bertolak belakang
Firman Allah pada surat tersebut mengenai ( )
wahurrima dzalika „ala‟ al-mu‟minin yang memiliki arti: “Dan yang demikian
itu diharamkan atas orang-orang mukmin” diperselisihkan juga oleh kalangan
para Ulama‟. Ada yang berpendapat bahwa asbab nuzul-nya ayat ini khusus bagi
kasus Murtsid dan A‟naq yang merupakan seorang pezina juga termasuk wanita
kafir, sehingga ayat tersebut tidak berlaku bagi pezina muslimah. Ada juga yang
mengartikan bahwa kata itu pada penutup pada ayat ini menunjukkan pada
perzinaan bukan perkawinan sehingga ayat ini berarti “perzinaan diharamkan atas
orang-orang mukmin”4
4 Ibid, hlm 9
95
Ada lagi yang memahami kata “diharamkan” bukan dalam pengertian
hukum, tetapi dalam pengertian keabsahan yakni “terlarang” dan dengan
demikian, ayat ini bagaikan berkata itu tidak wajar dan tidak baik
Salah satu implikasi dari ayat ini adalah perkawinan yang didahului oleh
kehamilan. Banyak Ulama‟ yang menilainya sah, sahabat nabi Ibn Abbas
berpendapat bahwa hubungan kedua jenis kelamin yang tidak didahului oleh
pernikahan yang sah, lalu dilaksanakan sesudahnya pernikahan yang sah
menjadikan hubungan tersebut awalnya haram dan akhirnya halal. Atau dengan
kata lain perkawinan seorang yang telah berzina dengan seorang wanita dan
kemudian menikahinya dengan sah adalah seperti keadaan seseorang yang
mencuri buah dari kebun seseorang kemudian membeli dengan sah kebun tersebut
dengan seluruh buahnya. Apa yang dicurinya (sebelum pembelian itu adalah
haram, sedang yang dibelinya setelah itu adalah halal).5
Dalam hal boleh atau tidaknya menikahi wanita hamil, terjadi disparitas
pendapat dikalangan fukaha, di antaranya sebagai berikut:
1. Ulama‟ Hanafiyah berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil
bila yang menikahinya laki-laki yang menghamilinya.
5 Ibid, hlm 9 6 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamiyyu Wa‟adillatuhu, Damaskus: Dar el-Fikr, Cet. II,
Jilid IX. hlm 6648
96
Alasannya adalah wanita hamil akibat zina tidak termasuk ke dalam
golongan wanita-wanita yang haram dinikahi7. Akan tetapi, bila yang
menikahi bukan laki-laki yang menghamilinya, terjadi perbedaan pendapat di
kalangan ulama‟ ini.
a. Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa hukum akad menikahi
wanita hamil dengan laki-laki bukan yang menghamilinya adalah sah
hanya saja wanita tersebut tidak boleh disetubuhi sebelum melahirkan
kandungannya
7 Lihat Q.S an-Nisa‟ 22,23,24 artinya:” Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah
dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat
keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan yang ditempuh”.
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-
saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan
sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang
telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan),
Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan
bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk
berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada
mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu
terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. 8 Wahbah al-Zuhaili, Op. Cit, 6649
97
Alasan sahnya seperti yang telah dikemukakan di atas, namun
mengapa tidak boleh disetubuhi?, hal ini berdasarkan hadits Nabi S.A.W.
Artinya: “Dari Rufai' bin stabit al anshari, berkata: telah berdiri di
hadapan kita seorang khatib, berkata: adapaun saya tidak
berkata kecuali apa yang telah saya dengar dari Rasulullah
Saw, beliau berkata: di hari hunian, beliau berkata: Tidak halal
bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir
menyiramkan airnya pada tanaman orang lain”. (HR Abu
Dawud)
b. Abu Yusuf dan Zafar berpendapat, hukumnya tidak sah menikahi wanita
hamil akibat zina dengan laki-laki lain yang bukan menghamilinya.
Karena, kehamilan itu menyebabkan terlarangnya persetubuhan, maka
terlarang pula akad menikahi wanita hamil tersebut. Sebagaimana
hukumnya tidak sah menikahi wanita hamil bukan karena zina, tidak sah
pula menikahi wanita hamil akibat zina.
9 Abu Dawud Sulaiman bin al-Asyt‟ats bin Ishak, Sunan Abi Dawud, Semarang: CV asy-
Syifa‟ Juz II. hlm 113-114 10 Wahbah al-Zuhaili, Op. Cit 6649
98
2. Ulama‟ Syafi‟iyah berpendapat, hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat
zina, baik yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya maupun yang
bukan menghamilinya.11
Alasannya, karena wanita hamil akibat zina tidak termasuk golongan
wanita yang haram dinikahi. Mereka juga berpendapat, karena akad nikah
yang dilakukan itu hukumnya sah, wanita yang di nikahi tersebut halal (boleh)
untuk disetubuhi walaupun ia dalam keadaan hamil.
Kemudian dalam persoalan adakah „iddah bagi wanita hamil karena
zina Imam Hanafi, as-Syafi‟i, dan mayoritas Ulama‟ mazhab Imamiyah
mengatkan: “ Wanita yang berzina tidak wajib ber-„iddah, sebab sperma laki-
laki yang menzinainya, tidak perlu dihormati”. Dengan demikian seorang
laki-laki boleh melakukan akad dengan wanita yang pernah melakukan zina.13
3. Ulama‟ Malikiyah berpendapat bahwa wanita yang berzina, baik atas dasar
suka sama suka maupun karena di perkosa, hamil atau tidak, ia wajib istibra‟.
Bagi wanita merdeka dan tidak hamil, istibra‟-nya tiga kali haid, sedangkan
bagi amat (bukan wanita merdeka) istibra‟-nya cukup satu kali haid. Tapi,
11 Memed Humaedillah, OP. Cit. hlm. 36 12 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqhu „alal Mazahibul „Arba‟ah (Mesir: al-Maktabah at-
Tijariyah al-Kubra) juz IV. hlm 523 13 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Ja‟far, Hanafi, Maliki, Syafi‟i,
Hambali), Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 474
99
bila ia hamil baik merdeka atau amat istibra‟-nya sampai melahirkan
kandungannya.
Dengan demikian, Ulama‟ Malikiyah berpendapat bahwa hukumnya
tidak sah menikahi wanita hamil akibat zina, meskipun yang menikahi itu
laki-laki yang menghamilinya, apalagi bila ia bukan yang menghamilinya.
Bila akad nikah tetap dilangsungkan dalam keadaan hamil (belum istibra‟),
akad nikah itu fasid dan wajib di fasakh
Pedapat Ulama‟ malikiyah ini di dasarkan pada hadits Nabi SAW.
Artinya: “Dari Rufai' bin stabit al-Anshari, berkata: telah berdiri di hadapan
kita seorang khatib, berkata: adapaun saya tidak berkata kecuali
apa yang telah saya dengar dari Rasulullah Saw, beliau berkata: di
hari hunian, beliau berkata: “Tidak halal bagi seorang yang
14Wahbah al-Zuhaili, Op. Cit, hlm. 7213 15 Ibid, hlm. 6650 16 Abu Dawud Sulaiman bin al-Asyt‟ats bin Ishak, Op.Cit. hlm 113-114
100
beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya pada
tanaman orang lain”. (HR Abu Dawud)
4. Ulama‟ Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita
hamil karena zina, baik laki-laki yang bukan menzinainya maupun laki-laki
yang menzinainya (karena dia tahu pasti bahwa wanita itu telah berbuat zina
dengan dirinya), kecuali wanita tersebut telah memenuhi dua syarat sebagai
berikut:
Pertama, telah habis masa „iddah-nya. Jika ia hamil maka „iddah-nya
sampai ia telah melahirkan kandungannya. Bila akad nikah tersebut
dilangsungkan dalam keadaan hamil maka tidak sah akad nikah tersebut.
Adapun dasar yang digunakan Ulama‟ Hanabilah adalah hadits nabi
yang berbunyi:
Artinya: “Dari abi Sa‟id r.a bahwa Nabi saw. Bersabda tentang tawanan
wanita Authos. Tidak bercampur dengan wanita yang hamil hingga
17 Wahbah al-Zuhaili, Op. Cit, hlm. 6650 18 Abu Dawud Sualiaman bin al-Asy‟ats bin Ishak, Op. Cit. Hlm. 248
101
ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil hingga datang haidnya
sekali”(H.R. Abu Dawud)
Syarat yang kedua, adalah pelaku zina telah bertobat dari perbuatan
zinanya
Di dalam KHI menerangkan hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat
zina bila yang menikahi itu adalah laki-laki yang menghamilinya. Bila yang
menikahi bukan laki-laki yang menghamilinya, hukumnya menjadi tidak sah
karena pasal 53 ayat 1 KHI tidak memberikan peluang untuk itu.
Secara lengkap isi pasal 53 KHI adalah sebagai berikut:
(1) Seorang wanita yang hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat di
langsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahian anaknya
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak di
perlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Sebagaimana yang tertuang pada pasal 53 ayat 1, KHI membatasi
pernikahan wanita hamil hanya dengan pria yang menghamilinya, tidak memberi
peluang dengan laki-laki lain yang bukan menghamilinya. Karena itu, kawin
darurat yang selama ini masih terjadi di Indonesia, yaitu kawin dengan sembarang
laki-laki, yang dilakukan hanya untuk menutupi malu (karena sudah terlanjur
hamil), baik istilahnya kawin “tembelan”, “pattongkogsi sirig”, atau orang sunda
menyebutkan kawin, “nutupan kawirang”, oleh KHI di hukumi tidak sah20
19 Wahbah al-Zuhaili, Op. Cit, hlm. 6650 20 Syarifuddin Amir, Meretas Kebekuan Ijtihad Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer
Di Indonesia, Jakarta: Ciputat Pers, Cet.1, 2002. hlm 199
102
Oleh karena adanya akad nikah wanita hamil maka akan timbul pula status
hukum terhadap anak yang dihamilkan sebelum akad. Para Ulama‟ mazhab fiqh
sependapat dalam hal perkawinan yang sah, bila seorang melahirkan anak, anak
itu bisa dihubungkan nasabnya kepada suaminya.
إ
Akan tetapi dalam hal menghubungkan nasab anak kepada ayahnya,
terdapat beberapa syarat yang harus terpenuhi, di antaranya: anak tersebut
dilahirkan setelah berlalunya waktu enam bulan sejak terjadinya akad nikah
(menurut ulama‟ Hanafiyah) atau enam bulan sejak terjadinya persetubuhan
suami istri (menurut mayoritas Ulama‟ mazhab).21
Bila anak lahir kurang dari
enam bulan dari waktu akad atau dari persetubuhan suami istri anak tersebut
tidak bisa di hubungkan nasabnya kepada suami wanita yang melahirkannya itu,
karena hal ini bisa menjadi petunjuk bahwa kehamilan telah terjadi sebelum
terjadinya perkawinan. Kecuali, jika suami mengakui bahwa anak yang dilahirkan
itu hasil persetubuhan setelah berlangsungnya akad nikah. Apabila suami
mengakui persetubuhan dilakukan sebelum akad nikah maka tidak bisa
dinisbatkan nasabnya kepada suaminya.
21 Memed Humaedillah, OP. Cit. hlm. 45
103
إ
Dalam hal memperbolehkan pernikahan wanita hamil dengan laki-laki
yang menghamilinya sebagaimana yang tercantum pada pasal 53 KHI tersebut di
atas, penulis melakukan otokritik terhadap pasal tersebut, penulis cenderung tidak
sependapat dengan sahnya akad nikah wanita hamil. Jika diamati, wanita yang
melangsungkan pernikahan pada saat hamil, dapat diasumsikan ia telah
melakukan perbuatan zina sebelum akad nikah.22
Padahal perbuatan zina sangat dikecam oleh Allah SWT bahkan kita
dilarang jangan sekalipun mendekati perbuatan zina. sebagaimana firman Allah
dalam Al-Qur‟an surat Al-Isra‟ ayat 32 yang berbunyi:
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.23
Oleh karena itu, untuk mencegah perbuatan amoral tersebut
diberlakukannya hukuman hadd bagi pelaku zina, yakni: pelaku zina ghairu
muhson (laki-laki dan perempuan yang berzina tidak dalam ikatan pernikahan
yang sah oleh siapa pun) diganjar dengan hukuman hadd yaitu dera 100 kali dan
diasingkan (dipenjarakan) selama satu tahun, sedangkan bagi pelaku zina muhson
22 Ibid, hlm. 45 23 Khadim Al Haramain Asy Syarifain, Fahd Ibn Abdl Al Aziz Al Sa‟ud, Al-Qur‟an dan
Terjemahnya, Op.Cit, hlm 429
104
(laki-laki dan perempuan yang berzina telah memiliki hubungan pernikahan
secara sah dengan orang lain) hukuman hadd-nya adalah di rajam sampai mati.24
Seperti halnya firman Allah dalam Al-Qur‟an surat an-Nur ayat 2 yakni:
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-
orang yang beriman.25
عليه
Artinya: “ Dari „Ubadah bin Shomit berkata: Rasulullah SAW bersabda:
ambillah dariku dan terimalah ketentuanku, sesungguhnya kini Allah
telah menetapkan keputusan bagi mereka (para pezina): bagi pezina
yang belum menikah hukumannya dicambuk 100 kali dan diasingkan
(dipenjarakan) satu tahun. Sedang bagi pezina yang telah menikah,
dicambuk 100 kali dan dirajam sampai mati. (HR. Muslim)
Kemudian apabila dikaitkan antara pasal 53 KHI tentang
diperbolehkannya melangsungkan akad nikah wanita hamil dengan Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 pasal 42 yang berbunyi “Anak yang sah adalah Anak
24 A.Rahman I. Doi, Hudud dan Kewarisan (Syariah Ii), alih bahasa Zainuddin dan Rusydi
Sulaiman, cet. Ke 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 41 25 Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Op.Cit, hlm 543 26 Imam Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Daar Ihya‟ at-Turats al-„Arabi, t.th, hlm. 1316.
105
yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah”. Apabila wanita yang
melangsungkan akad nikah ketika hamil kemudian melahirkan anak setelah
adanya akad nikah yang dilangsungkan secara sah, anak tersebut dapat
dinasabkan kepada suami dari wanita tersebut, memang dalam pasal 53 KHI yang
boleh menikahi wanita hamil haruslah laki-laki yang menghamilinya, agar laki-
laki tersebut dapat bertanggung jawab atas perbuatannya. Kendatipun demikian
anak tersebut notebenenya adalah anak dari hasil hubungan di luar pernikahan
yang sah atau hasil dari perbuatan zina.27
Hal ini sangat kontradiktif dengan hadits
nabi yang melarang penasaban anak zina kepada ayah biologisnya.
Artinya: “Dari Aisyah dia berkata: bertikai Sa‟ad bin abi Waqas dan Abdullah
bin Za‟mah terkait dengan budak Sa‟ad berkata: “ini, wahai Rasulullah
anak saudara saya, Utbah bin Abi Waqas, telah berjanji kepada saya
27 Imam asy-Syafi‟i berpendapat anak perempuan hasil zina boleh dinikahi ayahnya, karena
Allah menjadikan pernikahan sebagai nikmat. Sedangkan zina sebagai bencana. Menurut asy-Syafi‟i
anak hasil perbuatan zina tidak layak dianggap sebagai keturunan (nasab) karena itu hubungan dengan
ayahnya adalah hubungan orang lain.
Imam abu Hanifah berpendapat haram laki-laki menikahi perempuan buah perzinaannya,
karena benihnya itu berasal dari dirinya Berdasarkan Q.s an-Nisa‟ayat 23. laki-laki dilarang menikahi
anak perempuannya. Dalam ayat itu anak disebut sebagai “bint” yang artinya anak perempuan secara
umum baik anak sah ataupun anak zina. baca: Assyaukanie Luthfie, politik, HAM dan isu-isu teknologi
dan fikih kontemporer, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998, hlm. 99 28 Imam Muslim, op.cit, hlm. 1080
106
bahwa dia adalah anak saya, lihatlah kemiripannya”. dan Abdullah bin
Zama‟ berkata: “ini saudara saya, wahai Rasulullah, dia telah
dilahirkan di atas kasur bapak saya dari ibunya”. Maka Rasul
melihatnya dari kemiripannya. Kemudian dengan jelas kemiripannya
dengan Utbah, dan Rasulullah berkata: ”dia milikmu wahai Abdu, anak
itu dari hasil diatas kasur (pernikahan) dan bagi yang berzina baginya
adalah batu”.
Oleh karena itu, penulis dapat berpendapat bahwa persoalan penasaban
anak kepada ayahnya memiliki fungsi penting, baik pada dimensi kehidupan
sosial (profan) dan dari segi ubudiyyah kepada Allah SWT. Pada dimensi sosial
(profan) persoalan nasab anak berfungsi untuk mengetahui secara pasti, siapakah
ayah dari anak yang telah dilahirkan seorang wanita, karenanya akan timbul hak-
hak anak yang menjadi kewajiban si ayah akibat penasaban tersebut. Hak anak itu
antara lain adalah mendapatkan nafkah, memperoleh hak perwalian, dan
memperoleh hak sebagai ahli waris dari ayah kandungnya. Hak-hak perlindungan
anak sebagaimana tadi, secara filosofis merupakan salah satu dari tujuan
ditegakkannya syari‟at Islam (maqasid al-syari‟ah) termasuk dalam kategori
Hifzh an-Nasl.29
Di sisi lain, adanya pelarangan penasaban anak akibat perbuatan zina
kepada ayahnya adalah untuk mencegah maraknya perbuatan zina, sekaligus
memberikan sanksi moral terhadap pelakunya. Jika sanksi moral ini diterapkan
eksesnya juga berdampak psikis kepada anak, keluarga dan juga masyarakat
29 Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Terj. Yudian W.
Asmin, Surabaya: Al Ikhlas, 1995, hal. 225
107
sekitar untuk tidak melakukan perbuatan zina karena akan merusak dan
menghilangkan penisbatan anak kepada ayah biologisnya yang melakukan zina.
Menerapkan sanksi moral (pelarangan nasab anak zina kepada ayah
biologisnya) tersebut juga mengandung dimensi ubudiyyah, karena adanya niat
untuk menata kehidupan yang sejalan dengan nilai-nilai agama termasuk dalam
manifestasi penundukkan diri sebagai hamba yang taat terhadap perintah dan
menjauhi segala larangan Allah SWT.30
Nah oleh sebab itu, meskipun nash Al-qur‟an pada surat an-Nisa ayat 22,
23 dan 24 tidak ada pelarangan terhadap nikah hamil. Akan tetapi, penulis menilai
diperbolehkannya pernikahan wanita hamil justru mereduksi nilai-nilai moralitas
dalam hal pelarangan zina. Juga secara normatif , bertentangan dengan hadits nabi
yang melarang penasaban anak dari perbuatan zina, apabila berkiblat pada
Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 42 yang membuka peluang anak hasil
hubungan pernikahan dapat dinasabkan dengan ayah biologisnya jika lahir dalam
ikatan pernikahan yang sah.
Bahayanya, akibat diperbolehkannya melakukan akad nikah hamil, maind
stream yang terbangun pada publik adalah hamil akibat perbuatan zina yang
merupakan aib seseorang, dapat ditutupi dengan cara cepat-cepat melakukan
pernikahan, walaupun wanita itu sebenarnya telah berbadan dua. Kemudian
30 Satria Effendi M. Zein, Artikel: Makna, Urgensi Dan Kedudukan Nasab Dalam Perspektif
Hukum Keluarga Islam, Jurnal Mimbar Hukum, Nomor 42 tahun X, DITBINBAPERA Islam Dep.
Agama, Jakarta, 1999 hlm. 8
108
nantinya, anak dalam kandungannya ketika lahir, dapat di nasabkan kepada suami
wanita tersebut karena lahir dalam pernikahan yang sah.
Sebagai problem solving permasalahan sah tidaknya akad nikah wanita
hamil, Penulis lebih sependapat dengan Ulama‟ Malikiyah dan Hanabillah yang
berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita hamil akibat zina,
meskipun yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya, apalagi bila ia bukan
yang menghamilinya. Bila akad nikah tetap dilangsungkan dalam keadaan hamil
(belum istibra‟), akad nikah itu fasid dan wajib di fasakh, wanita hamil tersebut
boleh dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya jika wanita tersebut telah
memenuhi dua syarat yaitu: Pertama, wanita hamil tersebut telah melahirkan
kandungannya. Kedua, laki-laki dan perempuan pelaku zina telah bertobat dari
perbuatan zinanya.
Untuk itu kedua pendapat Ulama‟ mazhab tersebut perlu di formulasikan
dalam hukum positif, sehingga hukum yang mencakup nilai-nilai ideational (yaitu
kebenaran absolut sebagaimana yang diwahyukan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa)
dapat digunakan sebagai instrumen untuk menata kehidupan sosial masyarakat
(social engineering). Yang dimaksud dalam hal ini adalah larangan pernikahan
wanita hamil merupakan upaya hukum yang bersifat preventif menolak ke-
madharat-an daripada mendahulukan ke-maslahat-an
31 Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliah dan Fiqhiyah: Pedoman Dasar dalam Istinbath
Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cet. 4, hlm 137
109
dan juga mendahulukan kepentingan publik daripada kepentingan pribadi
Lebih jelasnya, sisi madharat yang harus dicegah atau kepentingan publik
yang harus didahulukan adalah terjadinya tren pernikahan hamil pada masyarakat,
akibat asumsi publik bahwa aib wanita yang hamil di luar pernikahan akibat zina
dapat ditutupi dengan melangsungkan pernikahan dan anak tersebut tetap bisa
mendapatkan nasab kepada suaminya, sebagai bukti formilnya dalam akta
kelahiran anak dapat tercantumkan nama ayahnya. Dari sisi ke-maslahahan-nya
atau kepentingan pribadinya yang dikesampingkan adalah mengurangi beban
psikologis ibu yang harus menanggung malu dan merawat anak tersebut
sendirian.
Menurut penulis sisi ke-maslahahan bagi sang ibu bisa tercapai dengan
cara menikahkan dengan pasangan zinanya, asalkan dengan syarat keduanya
telah bertaubat dan menunggu sampai bayi itu lahir. Karena dari sudut dalil aqli
menikahkan pria atau wanita dengan pasangan zinanya akan membawa manfaat
yang lebih besar dibanding dengan tidak menikahkan mereka. Manfaat tersebut di
antaranya adalah:
1. Dapat memperkecil mereka melakukan perbuatan zina dengan orang yang
sama atau dengan orang yang lain lagi.
32 Asjmuni Rahman, Qai‟dah-Qaidah (Qawai‟dul Fiqhiyah), Cet.1, Jakarta: Bulan Bintang,
1976, hlm. 30
110
2. Mendidik rasa tanggung jawab kepada mereka atas perbuatan zinanya karena
itu mereka diikat dengan pernikahan
3. Di antara mereka pelaku perbuatan zina tersebut karena atas dasar suka sama
suka sudah terjalin rasa saling menyukai. Jika mereka tidak dinikahkan
terbuka kesempatan besar bagi mereka berdua untuk mengulangi perbuatan
zina yang telah mereka lakukan.
4. Jika mereka tidak dinikahkan berarti memberi peluang bagi mereka untuk
lebih luas gentayangan mencari mangsa, dijadikan pasangan zina mereka yang
baru. 33
B. Analisis Istinbat Hukum Hakim Mengenai Pengesahan Anak Di Luar Nikah
Dalam Putusan Nomor 408/Pdt.G/ 2006/Pa.Smn Di Pegadilan Agama Sleman
Pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus perkara No.408/Pdt.G/
2006/ PA.Smn menyebutkan bahwa pengakuan anak dalam Kompilasi Hukum
Islam tidak dengan tegas diatur. Kendatipun demikian hakim tidak boleh menolak
untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan dengan alasan bahwa tidak
ada atau tidak jelas hukum yang mengaturnya.34
Hal tersebut sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia No 07
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tercantum pada Pasal 56 ayat (1) yang
berbunyi: ”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu
33 Muhammad Abduh Malik, Menikahkan Pelaku Zina, dalam Jurnal Mimbar Hukum,
Nomor 54 tahun XII, DITBINBAPERA Islam Dep. Agama, Jakarta, 2001 hlm. 95 34 Wawancara dengan Drs. H. Wahdi Afani, M.S.I (Hakim Pengadilan Agama Sleman), Di
lantai II Kantor PA Sleman, Pada Hari Senin, Tanggal 26 april 2011, Pukul: 10.00 Wib.
111
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas,
melainkan wajib memeriksa dan memutusnya”35
Jika merujuk pada Undang-undang Republik Indonesia No 03 Tahun 2006
tentang perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia No 07 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, Pada pasal 49 UU No 3 Tahun 2006 yang menyatakan
bahwa: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shdaqah,
dan ekonomi syari‟ah”36
, Perkara pengakuan anak di luar nikah termasuk dalam
kategori pernikahan yang merupakan kewenangan absolut Pengadilan Agama
Selain itu, ketika tidak ada peraturan yang tegas mengatur suatu perkara
justru di situlah hakim memililiki independensi dalam menggali dan menetapkan
hukum, 37
sebagaimana yang tercantum pada pasal 27 ayat 1 Undang-undang No
14 Tahun 1970 dinyatakan bahwa: “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan
diwajibkan untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang
hidup di masyarakat”.38
Adanya ketentuan tersebut membuktikan bahwa tugas hakim tidak hanya
terbatas pada mengadili berdasarkan hukum-hukum yang ada, akan tetapi juga
35 Tim Penyusun Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: 2000, hlm 85 36 Tim Penyusun, Bahan Sosialisasi Tentang Eksistensi Dan Kompetensi Peradilan Agama,
Dilaksanakan Oleh Pengadilan Agama Wonosobo Pada Tanggal 28 Juli 2007, hlm. 83 37 Wawancara dengan Drs. H. Wahdi Afani, M.S.I (Hakim Pengadilan Agama Sleman), Di
lantai II Kantor PA Sleman, Pada Hari Senin, Tanggal 26 april 2011, Pukul: 10.00 Wib. 38http://118.96.243.50/arsip/uploads/arsip/6UUNo14Thn1970KETENTUAN-KETENTUAN
POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN.pdf
112
mencari dan menemukan hukum untuk kemudian dituangkan di dalam keputusan
sesuai dengan nilai-nilai hukum yang terdapat pada masyarakat.39
Untuk menganalisa pertimbangan hakim dalam rangka perlindungan dan
ke-maslahat-an anak di luar nikah tersebut sehingga muncullah kaidah hukum:
Yang berarti “Hukum itu mengikuti ke-maslahat-an yang ada”, di bawah ini
penulis uraikan tentang konsep maslahah dari berbagai lini. Secara etimologi,
mashlahah mempunyai makna yang identik dengan manfaat, keuntungan,
kenikmatan, kegembiraan, atau segala upaya yang dapat mendatangkan hal itu.40
Adapun mashlahah dalam istilah ahli ushul ialah:
Artinya: “Memberikan hukum syara‟ kepada suatu kasus yang tidak terdapat di
dalam nashdan ijma‟ atas dasar memelihara ke-maslahat-an yang
terlepas yaitu ke-maslahat-an yang tidak ditegaskan oleh syara‟ dan
tidak pula ditolak ”41
Pada tataran terminologi syari‟at, Ulama‟ ushul fiqh berbeda pendapat
mengenai batasan dan definisi mashlahah. Tetapi pada dataran substansi mereka
telah sampai pada suatu kesimpulan bahwa mashlahah merupakan suatu kondisi
39 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006,
hlm 114 40 Abu Yasid, Islam Akomodatif: Rekonstruksi Pemahaman Islam Sebagai Agama
Universal,Yogyakart; LKiS, 2004, hlm. 76 41 H. A Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000, hlm 171
113
dari upaya untuk mendatangkan suatu yang berdampak positif (manfaat) serta
menghindarkan diri dai suatu yang berdampak negatif (madharat)
Oleh karena itu, disyari‟atkannya ajaran Islam tidak lain hanyalah untuk
memelihara ke-maslahat-an di dunia dan akhirat42
. Sehingga, tidak bisa
dipungkiri ke-maslahat-an terus menerus akan muncul, berevolusi sesuai dengan
terjadinya pembaharuan pada situasi dan kondisi manusia akibat perbedaan
lingkungan. 43
Bukti adanya ke-maslahat-an dalam syari‟at Islam dapat diterima
berdasarkan penelitian empiris (istiqra‟) terhadap nash-nashAl-Qur‟an maupun
hadits. Sebagai contoh adanya konsep ke-maslahat-an pada nashAl-Qur‟an
termaktub dalam Al-Qur‟an surat Al-Anbiya: 107, Allah S.W.T berfirman:
Artinya: “Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam” (Qs. Al-Anbiya: 107)44
Dan firman Allah SWT:
42 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jilid II, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. ke-V,
2009, h. 220. 43 Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib, Kitab Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Toha Putra, 1994, hlm
116 44 Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Op.Cit, hlm 508
114
Artinya: “Hai manusia sesungguhnya telah datang ke padamu pelajaran dari
tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam
dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (Qs.
Yunus: 57)45
Pada konteks ke-maslahat-an duniawi yang dihubungkan dengan nash-
nash syara‟, para fuqaha‟ terbagi dalam ketiga golongan, yaitu: Golongan
pertama, berpegang teguh pada ketentuan nash golongan ini memahami nash
hanya dari segi lahiriyahnya semata (tekstual) dan tidak berani memperkirakan
adanyan maslahah di balik suatu nash. Mereka yang dikenal dengan julukan
Zhahiriyyah ini tidak mau menerima dalil qiyas. Karena, itu mereka menyatakan
dengan tegas bahwa tidak ada maslahah kecuali yang dengan tegas di sebut oleh
nash, dan tidak perlu mencari-cari suatu ke-maslahat-an di luar nash. 46
Golongan kedua, mencari ke-maslahat-an dari nash yang diketahui
tujuannya dari „illlat-nya. Karena, mereka meng-qiyas-kan setiap kasus yang jelas
mengandung maslahah, dengan kasus lain yang terdapat ketentuan nash-nya
dalam maslahah tersebut. Meskipun demikian, mereka tidak sekali-kali
mengklaim sesuatu kecuali apabila di dukung adanya bukti dalil khas. Sehingga
tidak terjadi campur aduk antara sesuatu yang dianggap maslahah karena
dorongan hawa nafsu, dengan maslahah yang hakiki (yang sebenarnya). Dengan
demikian tidak ada maslahah yang dipandang mu‟tabarah (dapat di terima)
kecuali apabila dikuatkan oleh nash khas. Dan pada umumnya, yang dijadikan
45 Al-Qur‟an dan Terjemahnya, ibid , hlm 315 46 H. A Djazuli dan Nurol Aen, Op. cit, hlm 174
115
ukuran untuk menyatakan suatu maslahah, ialah „illat qiyas. Imam as-syafi‟I dan
al-Ghozaliy termasuk dalam kelompok ini47
Golongan ketiga, setiap maslahah harus di tetapkan oleh syari‟at Islam,
baik ke-maslahat-an itu diketahui secara ekplisit maupun implisit, yang sesuai
dengan kerangka ke-maslahat-an yang di tetapkan oleh syari‟at Islam, yaitu
dalam rangka terjaminnya keselamatan jiwa, keyakinan agama, keturunan, akal,
dan harta benda. Dalam hal ini, tidak harus di dukung oleh sumber dalil yang
khusus sehingga bisa disebut qiyas, tapi sebagai dalil yang berdiri sendiri yang
dinamakan maslahah mursalah atau istislah. Yang termasuk kelompok ini adalah
Ibnu Qayyim murid dari Ibnu Taymiyyah.48
Meskipun pada faktanya tidak terlepas dari pro-kontra terhadap
kehujjahan konsep maslahah sebagai salah satu metode istinbath hukum Islam.
Perbedaan persepsi tentang maslahah tersebut itu sebenarnya bermula dari
perbedaan intelektualitas antar individu sehingga tidak di temukan hakikat
maslahah yang esensial yang terdapat dalam hukum Islam, atau terpengaruh
keadaan yang bersifat temporal, atau di ambil berdasarkan pandangan yang
bersifat lokalistik atau personal.
Sebagai contoh dalam kasus haram-halanya mengambil “bunga”
(tambahan atas pinjaman). Sebagian menganggap adanya maslahah mengambil
bunga, dengan anggapan bahwa bunga tidak termasuk ke dalam pengertian umum
47 Ibid, hlm 174 48 Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit, ,hlm. 426
116
tentang riba yang diharamkan berdasarkan nash Al-Qur‟an49
. Contoh lain, adanya
stigma negatif ditetapkannya saksi hukuman jilid (dera) bagi pelaku zina laki-laki
dan perempuan dengan asumsi tidak ada ke-maslahat-an sama sekali pada
hukuman jilid. Ada lagi yang menganggap bahwa ke-maslahat-an dalam
meminum arak (khamr) itu melebihi ke-madharat-annya.
Oleh karena itu, dalam rangka menghindari pandangan-pandangan
pemikiran keagamaan yang sempit terhadap ajaran agama terpengaruh oleh
kenyataan relatif dan sekaligus juga menghindari penerapan konsep mashlahah
akibat diperbudak nafsu duniawi.50
al-Ghazali (W. 505 H) memberi barometer
(mi‟yar) terhadap manfaat maupun madharat yang harus dipertimbangkan, yakni
keduanya harus dikembalikan pada kehendak atau tujuan syari‟at (al-maqashid
al-syariah), pada intinya terangkum dalam al-mabadi‟ al-khamsah yaitu
perlindungan terhadap agama, perlindungan terhadap keselamatan jiwa,
perlindungan terhadap keselamatan akal, perlindungan terhadap keselamatan
keluarga dan keturunan, perlindungan terhadap keselamatan harta benda. Kelima
jaminan dasar itu merupakan tiang penyangga kehidupan dunia agar umat
manusia dapat hidup aman dan sejahtera.51
Maslahah mursalah atau istislah memiliki karakteristik yang bersesuaian
dengan tujuan-tujuan syari‟at Islam, dan tidak di topang dengan sumber dalil yang
49 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma‟sum, et. al, Jakarta: PT. Pustaka
Firdaus, Cet. ke-II, 1994, h hlm. 424 50 Ibid, hlm 424 51 Abu Yasid, Op. Cit, hlm. 76
117
khusus, baik bersifat melegitimasi atau membatalkan maslahah tersebut, jika
maslahah di dukung oleh sumber dalil yang khusus, maka termasuk ke dalam
qiyas dalam arti umum. Dan jika terdapat ashl khas (sumber dalil yang khusus)
yang bersifat membatalkan, maka maslahah tersebut menjadi batal mengambil
maslahah dalam pengertian yang terakhir ini bertentangan dengan tujuan-tujuan
syar‟i.52
Imam Malik yang menggunakan dalil maslahah mursalah mencetuskan
tiga syarat untuk menerapkan dalil ini, yaitu:
1. Adanya persesuaian antar maslahah yang dipandang sebagai sumber dalil
yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syari‟at (al-maqashid al--syari‟ah).
Dengan adanya persyaratan ini berarti maslahah tidak boleh menegaskan
sumber dalil yang lain, atau bertentangan dengan dalil qath‟iy. Akan tetapi
harus sesuai dengan maslahah-maslahah yang memang ingin diwujudkan
oleh syar‟I. misalnya maslahah itu tidak asing meskipun tidak diperkuat
dengan adanya dalil khas.53
2. Maslahah itu harus masuk akal (rationable) mempunyai sifat-sifat yang
sesuai dengan pemikiran yang rasional, artinya ke-maslahat-an itu
berdasarkan penelitian yang cermat dan akurat sehingga tidak meragukan
bahwa itu bisa mendatangkan manfaat dan menghindarkan madharat.54
3. Penggunanan dalil maslahah itu adalah dalam rangka menghilangkan
kesulitan (raf‟u haraj lazim). Dalam pengertian, seandainya maslahah yang
52 Ibid, hlm 427 53 Ibid, hlm 427 54 H. A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007, hlm. 29
118
dapat diterima akal itu tidak di ambil niscaya manusia akan mengalami
kesulitan.55
Allah berfirman:
Artinya: “Dan Dia Tidak Sekali-Kali Menjadikan Untuk Kamu Dalam Agama
Sesuatu Kesempitan” (Qs. Al-hajj: 78)
Syarat-syarat di atas dapat mencegah penggunaan sumber dalil maslahah
mursalah tercabut dari akarnya (menyimpang dari essensinya) serta mencegah
dari menjadikan nash-nash tunduk kepada hukum-hukum yang di pengaruhi
dengan hawa nafsu dan syahwat.
Konsep mashlahah dalam syari‟at Islam dapat dikategorikan menurut
sudut pandang yang berbeda-beda
1. Ditilik dari segi penilaian syar‟i (pembuat syari‟at) terhadap eksistensi
mashlahah, dapat dibagi menjadi tiga bagian:
a. Mashlahah yang diakui keberadaanya oleh syara‟ (al-Mashlahah al-
Mu‟tabarah) seperti mashlahah yang terkandung dalam pensyariatan
hukum qishash bagi pembunuhan sengaja, sebagai simbol pemeliharaan
jiwa manusia. Adanya hadd bagi pelaku pencurian baik laki-laki maupun
perempuan sebagai pemeliharaan harta benda. Sebagian Ulama‟ juga
memasukkan produk hukum yang dihasilkan melalui metode qiyas
(analogi) ke dalam jenis mashlahah ini. Seperti terjadinya pengharaman
segala bentuk minuman yang memabukkan dengan jalan di-qiyas-kan
55 H. A Djazuli dan Nurol Aen, Op. cit, hlm 172
119
pada minuman arak (khamr) yang telah di-nash-kan keharamanya oleh Al-
Qur‟an. Maka, muatan mashlahah dalam pengharaman segala bentuk
minuman memabukkan dapat diketahui eksistensinya oleh syara‟ karena
adanya kadar mashlahah yang sama dengan pelarangan jenis minuman
khamr. 56
b. Mashlahah yang keberadaannya tidak diakui syara‟ (mashlahah al
mulghah) jenis mashlahah ini biasanya beradapan secara kontradiktif
dengan bunyi nash baik berupa Al-Qur‟an maupun hadits. Seperti
maslahah bagi seorang peminum khamr yang merasa ringan dari
kesusahan dunia, maslahah bagi seorang pengecut ketika absen dari
medan perang, maslahah bagi pemakan riba dengan bertambahnya harta,
maslahah berupa kesembuhan dengan bunuh diri bagi pasien yang sakit
kronis dan sebagainya berupa maslahah individu yang ditolak oleh syara‟,
para ulama sepakat tidak sah menjadikan maslahah ini sebagai landasan
dalam menetapkan hukum.57
c. Mashlahah yang didiamkan syara‟ (al-Mashlahah al-Mursalah), dalam
wujud tidak adanya pengakuan maupun pembatalan secara eksplisit dari
wahyu seperti pengumpulan dan pembukuan Al-Qur‟an menjadi satu
mushhaf; seperti pemenjaraan bagi pelaku tindak pidana sebagai wujud
56 Moch. Tolchah Mansoer dan Noer Iskandar al-Barsany, Kaidah-Kaidah Hukum Islam,
Bandung: Risalah, cet. 1, hlm. 125 57 Baca lebih lanjut Abu Yasid, Islam Akomodatif: Rekonstruksi Pemahaman Islam Sebagai
Agama Universal,Yogyakart; LKiS, 2004, hlm. 89-90
120
pengejawantahan dari ketentuan hukuman pidana dalam Islam, pengadaan
mata uang berikut sistem sirkulasinya dalam sebuah mekanisme pasar.
Contoh-contoh tersebut tidak ditemukan dalam nash ajaran agama secara
tersurat, namun diakui keberadaannya oleh syara‟ karena memiliki
implikasi cukup jelas untuk mengakomodir ke-mashlahat-an umat. 58
2. Dari segi real power atau tingkat kekuatan yang dimilikinya, bentuk
mashlahah terbagi menjadi tiga macam:
a. al-Mashlahah adh-Dharuriyyah, yaitu mashlahah yang bila diabaikan dan
di vakumkan akan berakibat fatal bagi kehidupan umat manusia, baik di
dunia maupun di akhirat. al-Mashlahah adh-Dharuriyyah ini terbagi
menjadi lima prinsip yaitu:
1) Perlindungan agama (hifzh ad-din)
Perlindungan terhadap agama dalam Islam bisa dalam bentuk
aktif-ofensif (ijabi), tetapi bisa pula dalam bentuk pasif-defensif
(salbi). Perlindungan secara pasif-defensif diwujudkan dalam bentuk
penegakan sendi-sendi agama secara maksimal, seperti menyangkut
prinsip-prinsip keimanan kepada Allah dan hari akhir serta
penghambaan secara total kepada sang pencipta melalui amalan ritual,
semisal shalat, puasa, membayar zakat, dan haji. Sedangkan
perlindungan agama dalam bentuk aktif-ofensif dapat dilihat,
58 ibid , hlm. 90-91
121
misalnya; dalam anjuran jihad membela agama pembasmian aliran-
aliran sesat, pelarangan perbuatan maksiat dan penerapan hukuman
bagi pelanggar ketentuan agama; seperti hukuman zina, hukuman
minum-minuman keras dan hukuman mencuri. Oleh karena itu,
perlindungan agama ini sebenarnya meng-cover pula jenis-jenis
perlindungan terhadap prinsip-prinsip dasar agama yang lain. 59
2) Perlindungan jiwa (hifzh an-nafs),
Bentuk aktif-ofensif perlindungan jiwa ini berupa
pendayagunaan sarana alam yang memang sengaja di proyeksikan
untuk kepentingan umat manusia sebagai khalifah Allah untuk
mengelolanya. Dari sarana alam ini manusia dapat mengupayakan
infra struktur hidup berupa pangan, papan, dan sandang guna
melindungi hidupnya secara lebih detil, bentuk perlindungan ini dapat
dilihat dalam sistem pertanggung jawaban (masu‟liyyah) dalam Islam
seperti seorang bapak, misalnya melindungi dan membesarkan anak-
anaknya, sebagaimana seorang suami mempunyai tanggung jawab
memberikan nafkah kepada istrinya demi kelangsungan hidup rumah
tangga.60
Di sisi lain, perlindungan jiwa dalam bentuk pasif-defensif
dalam Islam dapat dilihat pada pelarangan menumpahkan darah
59 Abu Yasid op.cit , hlm 92 60 Ibid, hlm 92
122
sesamanya, kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu di mana
kepentingan (mashlahah) umum dalam keadaan terancam. Dalam
kondisi terdesak seperti ini, syari‟at membolehkan terjadinya
pertumpahan darah demi menghalau merajalelanya fitnah. Allah
S.W.T. berfirman:
Artinya: “Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan”
Oleh karena tersebarnya fitnah itu dahsyat ketimbang
pembunuhan maka demi menghalau fitnah, boleh menggunakan cara
yang mempunyai risiko setingkat di bawahnya, yaitu pertumpahan
darah lebih taktis lagi, bentuk perlindungan jiwa secara pasif-defensif
dapat dilihat, misalnya, pada pensyariatan qishash, diyat, serta
sejumlah bentuk hukuman pidana lain yang sengaja diproyeksikan
oleh syari‟at untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah.
123
3) Perlindungan akal (hifzh al-aql)
Dalam anatomi manusia, akal merupakan komponen pembeda
manusia dari jenis-jenis lainnya, seperti hewan atau binatang. Sebagai
anugerah paling mulia, akal dalam Islam diposisikan dalam martabat
yang sangat mulia dan strategis. Demi mengoptimalkan fungsi akal
dan nalar manusia, Islam secara aktif-ofensif menggalakkan upaya-
upaya pencerdasan kemampuan akal, misalnya, melalui penggalian
ilmu untuk menemukan sebuah hakikat. Aktivitas penggalian ilmu
bagi akal tak ubahnya seperti mengasah sebuah pisau agar lebih
mampu menjalankan tugas secara baik dan sempurna. Sebaliknya,
secara pasif-defensif, Islam mengutuk segala sesuatu yang bisa
mengakibatkan tersumbatnya fungsi akal, seperti morfin, narkotik,
serta jenis-jenis minuman keras lainnya yang memabukkan dan
mengganggu produktifitas kerja karena tidak berfungsinya akal secara
baik dan optimal. 61
4) Perlindungan keturunan (hifzh an-Nasl)
Bentuk aktif-ofensif perlindungan keturunan dalam Islam bisa
dilihat, misalnya, dalam pensyraiatan nikah. Tujuan asasi anjuran
nikah tidak lain adalah demi melestarikan keturunan dan menghindari
ketercemaran berupa kesyubhatan dan penentuan nasab tentu saja,
61 Ibid, hlm 93
124
tujuan nikah bukan hanya untuk melestarikan keturunan, meskipun hal
itu mungkin hal yang paling pokok. Namun, menurut al-Ghazali
pernikahan juga memiliki tujuan-tujuan lain yang bersifat semi
komplementer yaitu:
a) Penyaluran nafsu biologis sehingga terhindar dari perangkap
perbuatan mesum di luar pagar pernikahan.
b) Menciptakan suasana cinta kasih dan kelapangan hidup dalam
wujud keluarga sakinah, keluarga yang bahagia dan sejahtera
c) Pernikahan yang dilakukan diupayakan dapat membangkitkan
suasana baru yang tidak monolog dan monoton demi termotivasi
daya kreativitas kerja
d) Terciptanya sebuah interaksi sosial suami-istri dalam rangka
melatih saling memenuhi hak dan kewajiban serta mengantarkan
mereka menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
5) Pelindungan harta benda (hifzh al-Mal)
Tidak dapat disangkal bahwa kebutuhan manusia akan harta
benda merupakan keniscayaan demi melangsungkan hidupnya di
dunia sebagai bekal kehidupan akhirat. Dalam Qs. al-Kahfi (18): 46
dinyatakan: “harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia”.
Sebagai perhiasan hidup, harta benda sebenarnya ibarat pisau bermata
dua: ia bisa berdimensi positif bila penggunaannya sesuai prinsip-
125
prinsip keadilan, namun ia juga bisa berdimensi negatif bisa di-
tasharruf-kan secara dzalim dan sewenang-wenang.
Dalam upayanya menghadirkan harta benda yang bisa
berdimensi positif, Islam mengajarkan etika bertransaksi dalam
praktek bermua‟mallah demi memperoleh keuntungan, sekaligus
mengutuk pendayagunaan harta benda secara dzalim dan sepihak,
seperti penimbunan harta benda yang dapat menghambat sistem
sirkulasi secara sehat;62
bermuamallah dengan riba yang dapat
menindas salah satu pihak;63
permainan judi yang mengandung
spekulasi tinggi;64
serta praktek monopoli yang mengarah pada
kesenjangan antara si kaya (the have) dan si miskin (the have not)
b. Al-Mashlahah al-Hajiyah. Yakni mashlahah yang dibutuhkan umat
manusia untuk menciptakan kelapangan dan menghilangkan kesempitan
hidup. Bentuk mashlahah ini bila diabaikan maka akan berujung pada
kesukaran (masyaqqah) walau tidak sampai pada batas kerusakan
(Mafsadah). Sebagai contoh adalah shalat qashar bagi orang yang sedang
62 Lihat Qs at-taubah (9) 34-35.” Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya dijalan allah maka beritahukan lah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapatkan) siksa yang pedih. Pada dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka jahanam lalu
dibakar dengannya dahi, lambung, dan punggung mereka (lalau dikatakan kepada mereka ) inilah harta
benda kalian yang kalian simpan untuk diri sendiri maka rasakanlah sekarang (akibat dari ) apa yang
kalian lakukan itu. 63 Lihat Qs al-baqarah (2) 278: “ dan tinggalkanlah oleh mu apa yang tersisa dari riba jika
kalian orang-orang yang beriman.“ 64 Lihat Qs al-Maidah (5):91:” sesunguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan
permusuhan dan kebencian di antara kalian di dalam (meminum) arak dan (bermain) judi dan ia
hendak menghalangi kalian dari mengingat Allah dan sembahyang maka tidakkah kalian berhenati
(dari perbuatan itu). “
126
dalam perjalanan, tidak berpuasa bagi orang yang sedang sakit atau dalam
perjalanan, dan contoh-contoh keringanan agama (rukhshoh) yang lain.65
c. Al-Mashlahah at-Tahisniyyah. yakni mashlahah yang dibutuhkan umat
manusia sebagai pelengkap agar dapat memberi kemudahan dalam
melaksanakan aktivitas sehari-hari baik untuk beribadah kepada Allah
SWT maupun untuk melakukan hubungan muamallah. Contohnya adalah;
kebutuhan sarana transportasi laiknya mobil dan motor, sarana
komunikasi teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing
seperti telephon, televisi, internet. Juga kebutuhan pelengkap lainnya
semisal kartu kredit, kartu ATM dan sebagainya.
3. Ditilik dari sudut ketercakupannya, mashlahah terbagi menjadi tiga bagian:
a. Mashlahah umum (public interest) berupa kepentingan umat manusia
secara keseluruhan yang mesti ditegakkan bersama. Seperti memelihara
benteng-benteng akidah, memelihara keutuhan Al-Qur‟an sebagai sumber
ajaran suci, dan pemeliharaan tempat-tempat ibadah dan tempat-tempat
suci. Termasuk juga dalam bingkai mashlahah jenis ini adalah berbagai
transaksi yang mesti dilakukan oleh lembaga Negara demi kepentingan
umum, baik dalam level domestik, hubungan bilateral, maupun
multilateral antara Negara;
65 Abu Yasid, Op.Cit, hlm. 96
127
b. Mashlahah yang berkaitan dengan mayoritas umat manusia (majority
interest) contoh dari mashlahah jenis ini adalah keharusan mengganti rugi
bagi tenaga kerja yang berbuat kesalahan atau pelanggaran, dalam sebuah
perusahaan, karena memperhatikan mashlahah para pemilik saham beserta
elemen organik perusahaan lainnya secara keseluruhan;
c. Mashlahah yang berhubungan dengan perorangan dan hanya terjadi pada
peristiwa maupun keadaan tertentu (privat interest), seperti mashlahah
yang terkandung dalam upaya men-fasakh (pembatalan dalam bentuk
perceraian) perkawinan istri yang ditinggal pergi lama oleh sang suami
serta tidak diketahui kabar beritanya. 66
4. Dilihat dari segi kelenturannya menghadapi perubahan zaman dan lingkungan
sosial, mashlahah terbagi menjadi dua macam:
a. Mashlahah yang berwatak konstan, tidak dapat berubah hanya karena
perubahan zaman dan lingkungan sosial. Seperti mashlahah yang
terkandung dalam pengharaman berbuat dzalim, pembunuhan, pencurian,
dan zina;
b. Mashlahah yang beradaptasi dengan perubahan zaman dan lingkungan
sosial seperti mashlahah yang terdapat dalam hukum-hukum kebiasaan.
Menutup kepala bagi laki-laki atau makan di jalan umum, misalnya
dianggap sebagai aib atau (tidak mur‟ah) oleh sebagian komunitas
66 Ibid , hlm. 97-98
128
masyarakat di suatu tempat atau Negara tapi di tempat dan Negara lain,
hal itu bisa jadi dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan tidak merusak
harga diri seseorang. Bahkan tidak jarang jenis pakaian yang oleh bangsa
tertentu di nilai mempunyai kadar seni cukup tinggi, namun dianggap
biasa atau bahkan bernilai rendah oleh bangsa lain. Begitu juga tradisi
pernikahan, disuatu masyarakat tertentu mungkin penyerahan mas kawin
(mahar) di lakukan seketika saat dilangsungkannya akad nikah, sementara
dalam masyarakat yang lain tidak demikian. 67
Kembali menyoal Perkara No.408/Pdt.G/2006/PA.Smn hakim
menetapkan bahwa anak pemohon yang telah diakui tidak bisa mendapat
hubungan nasab (hubungan keperdataan), karena anak pemohon telah lahir di luar
hubungan pernikahan yang sah, hal tersebut sesuai dengan Pasal 100 buku I
Hukum Perkawinan KHI menyatakan bahwa: “Anak yang lahir di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga
ibunya”.68
Begitu juga di dalam Undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974 Pasal
43 disebutkan:
(1). “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
(2). “Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur
dalam Peraturan Pemerintah”.
67 Abu Yasid, op.cit, hlm. 98-99 68 Tim Penyusun Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, Op.Cit hlm.48
129
Menurut penulis keputusan majelis hakim pada perkara
No.408/Pdt.G/2006/PA.Smn semestinya tidak menasabkan (tidak memiliki
hubungan keperdataan) anak pemohon dengan pemohon sudah sesuai dengan
regulasi yang berlaku.
Selanjutnya, berdasarkan teori-teori maslahah mursalah sebagaimana
telah dipaparkan di atas, konsep ke-maslahat-an yang terdapat dalam Putusan
hakim terhadap perkara pengakuan anak luar nikah dapat digolongkan sebagai
berikut:
1. Mashlahah yang keberadaannya tidak diakui syara‟ (mashlahah al mulghah)
jenis mashlahah ini biasanya beradapan secara kontradiktif dengan bunyi
nash baik berupa Al-Qur‟an maupun hadits penasaban anak zina kepada ayah
biologisnya kontraproduktif dengan nash ( ),
dalam hadits tersebut menerangkan secara eksplisit pelarangan bagi
penasaban anak zina kepada ayah biologisnya
2. Di lihat dari segi real powernya, termasuk dalam kategori al-Mashlahah adh-
Dharuriyyah, karena putusan terebut semata-mata bertujuan untuk
memberikan perlindungan secara aktif-ofensif terhadap jiwa anak (hifzh an-
nafs) yang lahir di luar nikah. 69
Dengan alasan, jika kasih sayang, perawatan
dan pendidikan dari ayah dan ibunya tidak dapat dirasakan secara utuh oleh
anak tersebut akan menghambat atau bahkan bisa merusak perkembangan
69 Ibid, Wawancara dengan: Ibu Hj. Sri Murtinah, S.H., M.H
130
mental dan fisiknya, hal tersebut sangat disayangkan, karena secara alamiah
(proses regenerasi) anak merupakan Asset bagi agama dan Negara yang
nantinya akan menjadi “khalifah fil ardh.
Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur‟an surat at-Tahriim ayat 6
sebagai berikut:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.70
Ayat tersebut isinya memerintahkan bagi para suami untuk melindungi
diri dan keluarganya dari api neraka. Jika dikaitkan dengan konteks perkara
pengakuan anak luar nikah pada pembahasan bab IV ini, anak luar nikah
(anak zina) juga harus mendapat perlindungan dari ayah biologisnya karena
ayat tersebut menyebut keluarga secara umum. Anak zina termasuk darah
daging dari ayah biologisnya, oleh karena itu anak zina juga tetap harus
mendapat perlindungan dan perawatan dari ayahnya.
Kemudian jika dianalogikan dengan Pasal 41 Undang-undang
Perkawinan yang menerangkan bahwa meskipun telah terjadi perceraian baik
ibu dan bapak tetap berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anaknya
70 Khadim Al Haramain Asy Syarifain, Fahd Ibn Abdl Al Aziz Al Sa‟ud, Al-Qur‟an dan Terjemahnya,
loc.cit, hlm 951
131
semata-mata untuk kepentingan anak. Dapat ditarik hipotesa bahwa anak
akibat hubungan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan yang telah
lahir, tetap akan menjadi anak keduanya dalam kondisi apapun, meski ada
atau tidaknya pernikahan. Sehingga dalam masyarakat dikenal istilah bekas
istri atau suami akan tetapi tidak ada istilah bekas anak. Oleh karenanya,
kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan memiliki kewajiban yang
setara untuk menjaga, merawat, memberi nafkah dan membesarkan anak
sampai ia telah dewasa.
3. Dari sudut ketercakupannya, putusan tersebut termasuk dalam kategori
mashlahah yang berhubungan dengan perorangan dan hanya terjadi pada
peristiwa maupun keadaan tertentu (privat interest).
4. Dari segi kelenturannya, putusan tersebut termasuk mashlahah yang
beradaptasi dengan perubahan zaman dan lingkungan sosial. Karena dalam
perkara ini belum ada peraturan yang mengatur secara tegas sebelumnya,
sehingga dalam prosesnya hakim melakukan penggalian hukum berdasarkan
kaidah fiqh (“Hukum itu mengikuti ke-maslahat-
an yang ada”).71
Menurut penulis, kewajiban bagi pemohon untuk tetap memberikan
nafkah, merawat, membesarkan dengan rasa kasih sayang kepada anak
71 Wawancara dengan: Ibu Hj. Sri Murtinah, S.H., M.H (Hakim Pengadilan Agaman Sleman),
Hari Kamis, 5 Juli 2011, Pukul: 10.00 Wib, Di Lantai II Gedung PA Sleman
132
pemohon yang notebenenya luar nikah (anak zina) juga selaras dengan apa
yang telah diamanatkan oleh UU No 23 tahun 2002 sebagai regulasi yang
mengatur Perlindungan anak, yang di dalamnya tertulis:
(Pasal 6)
“Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan
orang tua.”
Pasal 7
“Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh
oleh orang tuanya sendiri.”
Pasal 9
“Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat
dan bakatnya”
Dari semua uraian pada bab IV ini, benang merah yang dapat ditarik
adalah putusan hakim pada Perkara No.408/Pdt.G/2006/PA.Smn tentang
pengakuan anak merupakan produk hukum untuk memberikan perlindungan
terhadap anak di luar nikah (anak zina) dengan cara mengimplementasikan
konsep maslahah mursalah, berdasarkan pemahaman yang proporsional akan
nilai-nilai multidimensional ajaran agama Islam terkait dengan persoalan-
persoalan yang terjadi pada masyarakat sekarang ini. Sebab pada umumnya,
teks ajaran agama yang berdimensi sosio-kultural hanya memberikan aturan
pokok secara garis besar sehingga untuk mengimplementasikannya diperlukan
upaya kreatif dari para juris Islam sehingga di situlah akan terpantul nilai-
nilai eternal ajaran agama yang sesuai dengan tuntutan zaman (sahih likulli
zaman wa makan).
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa Majelis hakim mengabulkan permohonan Pemohon, menetapkan
anak bernama Ramdhani Deka Azlatan Novtiansyah lahir pada tanggal 13
November 2004 adalah diakui sebagai anak syah dari Pemohon yang
bernama Denny Agustiansyah bin H. Ibramsyah, HS, SH dan Termohon
yang bernama Ika Octavianie Zair bin Achmad Zair berdasarkan
pengakuan Pemohon, dengan pertimbangan Falsafah hukum Islam yang
terkandung dalam Al-Qur’an Surat An-Nur ayat 3 dan dijadikan landasan
pasal 53 Kompilasi Hukum Islam tersebut adalah dalam rangka
perlindungan dan ke-maslahat-an anak yang telah terjadi proses
pembuahannya di luar nikah. Hal tersebut muncullah kaidah hukum:
Artinya: “Hukum itu mengikuti ke-maslahat-an yang ada”.
2. Bahwa Menurut Hukum Islam anak hasil hubungan di luar nikah tidak
mendapatkan hubungan nasab (keperdataan) dengan ayah biologisnya
sesuai dengan hadits Nabi ( ) yang artinya anak
133
134
itu dari hasil diatas kasur (pernikahan) dan bagi yang berzina baginya
adalah batu. Dari sudut pandang hukum Islam, penggalian hukum untuk
mencari suatu ke-maslahat-an berdasarkan Maqashid al-Syari’ah dapat
dilakukan dengan metode ushul fiqh yakni mashlahah mursalah. Pada
perkara perkara No.408/Pdt.G/2006/PA.Smn tentang pengakuan anak di
lihat dari segi real powernya, termasuk dalam kategori al-Mashlahah
adh-Dharuriyyah, karena putusan terebut semata-mata bertujuan untuk
memberikan perlindungan secara aktif-ofensif terhadap jiwa anak (hifzh
an-nafs) yang lahir di luar nikah.
B. Saran-Saran
Setelah penulis membahas tentang putusan perkara
No.408/Pdt.G/2006/PA.Smn tentang pengakuan ayah biologis terhadap anak yang
lahir di luar pernikahan yang sah, maka perkenankanlah penulis untuk
memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Perlu adanya perubahan atas Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang
Perkawinan No 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang kategori anak sah,
karena kedua peraturan tersebut membuka peluang penasaban anak zina
akibat hubungan di luar pernikahan terhadap ayah biologisnya jika lahir dalam
pernikahan yang sah. Semestinya dalam KHI dan UUP No 1 Tahun 1974
mengatur secara tegas bahwa anak sah adalah anak yang lahir akibat
hubungan pernikahan yang sah dengan batas minimal kehamilan 180 hari.
135
2. Dalam hal pernikahan wanita hamil, pendapat ulama’ Malikiyah dan
Hanabilah perlu diformulasikan kedalam hukum positif yang berisi wanita
hamil dilarang untuk melangsungkan pernikahan. Wanita hamil tersebut boleh
melangsungkan akad nikah asalkan: dengan laki-laki yang menghamilinya,
baik laki-laki maupun perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan
zinanya dan wanita tersebut telah melahirkan kandungannya, hal ini bertujuan
untuk mencegah kerusakan nasab (hifzh an-nasl)
3. Bagi majelis hakim dalam memutus perkara yang tidak diatur dengan tegas
peraturannya dalam perundang-undangan hendaknya menggali sumber-
sumber hukum Islam yang bertujuan untuk mencapai ke-maslahat-an dan
menolak ke-madharat-an secara umum. Sekaligus sebagai upaya untuk
menerapkan hukum Islam yang mencakup nilai-nilai ideational (yaitu
kebenaran absolut sebagaimana yang diwahyukan oleh Tuhan Yang Maha
Kuasa) sebagai instrumen untuk menata kehidupan sosial masyarakat (social
engineering), sesuai dengan sosiso-kultur yang berkembang
4. Kesimpulan di atas janganlah di jadikan pedoman final, tetapi dijadikan
sebagai landasan awal untuk proses pengkajian lebih lanjut, sehingga
pencarian dan pemahaman terhadap pemikiran-pemikiran Islam perlu
dilakukan secara terus menerus agar lebih dinamis.
136
C. Penutup
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah, kehadirat Allah SWT,
serta shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan Nabi
Besar Muhammad SAW, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, hal ini semata-mata merupakan keterbatasan ilmu dan
kemampuan yang penulis miliki. Maka dari saran dan kritik yang konstruktif
dari pembaca sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.
Dengan teriring doa penulis berharap semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya, Amin Ya Robbal `Alamin.
DAFTAR PUSTAKA
A, Husnaini, Anak Istilhaq Kaitannya Dengan Kaitannya Dengan Kewenangan PA Tentang
Pengangkatan Anak, dalam jurnal Suara Uldilag, XI, edisi 03 September, 2007
A.Rahman I. Doi, Hudud dan Kewarisan (Syariah Ii), alih bahasa Zainuddin dan Rusydi
Sulaiman, cet. Ke 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996
Abdul Gani Abdullah, Paradigma Indonesia Baru Perspektif Pembangunan Hukum Islam, dalam
jurnal mimbar hukum, X, edisi 42 Mei-Juni, 1999, hlm 57
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqhu „alal Mazahibul „Arba‟ah (Mesir: al-Maktabah at-Tijariyah al-
Kubra) juz IV. hlm 523
Abidin, Slamet, Fiqih Munakahat Untuk Fakultas Syari‟ah Komponen MKDK, Bandung:
Pustaka Setia, 1999.
Abu Ishaq, Imam, Kunci Fiqih Syafi‟i, Semarang: CV. Asy Syifa‟, 1992,
Abu Zahrah, Muhammad Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma‟sum, et. al, Jakarta: PT. Pustaka
Firdaus, Cet. ke-II, 1994
Adhim, Muhammad Fauzil, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2006
AF, Hasanuddin, Pengangkatan Anak dan Akibat Hukumnya Menurut Hukum Islam, dalam
jurnal Suara Uldilag, edisi 03 Maret, 2007
Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya‟ Ulum Ad-Din, (Beirut: Darul Al-Ma‟rifah, tt), Juz II
-------------, Abu Hamid , syifa‟al-alil, (Beirut: Darul Al-Ma‟rifah, tt).
Al-Barry, Zakariya Ahmad Al-Ahkamul Aulad, alih bahasa Chadidjah Nasution, Hukum Anak-
anak dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997
Al-Hamdani, H.S.A, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 1989
Al-hamdani, Sa‟id Thalib, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka Amani,
1989
Ali MD, Ahmad, Syari‟ah Dan Problematika Seksualitas, dalam jurnal mimbar hukum, edisi 66
Mei-Desember, 2008
Al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqhu al-Islamiyyu Wa‟adillatuhu, Damaskus: Dar el-Fikr, Cet. II, Jilid
IX
Amin, Muhammadiyah, Kedudukan Anak Di Luar Nikah (Sebuah Analisis Perbandingan
Menurut KUH Perdata, Hukum Islam dan KHI), , dalam jurnal mimbar hukum, X, edisi
42 Mei-Juni, 1999
Arikunto, Suharsimi, Prosedur penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta,
1993
Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2004
Assyaukanie Luthfie, politik, HAM dan isu-isu teknologi dan fikih kontemporer, Bandung:
Pustaka Hidayah, 1998
Asy-Syatibi, Abu Ishaq , Al Muwafaqat Fi Ushul Asy-Syari‟ah, Damaskus: Dar el-Fikr Juz II
Asyrof, A. Mukhsin, Mengupas Permasalahan Istilhaq dan Hukum Islam, dalam Jurnal Mimbar
Hukum, edisi 66 Desember, 2008
Budianto, Soni Dewi J, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Luar Kawin, Jurnal Magister
Hukum ,Vol 2 No 2 Juni 2000, Yogyakarta: PPS Magister Ilmu Hukum UII,
Budiman, Achmad Arif, Metodologi Penelitian Ahwal al-Syakhsiyah dalam “Pelatihan
Penelitian Hukum Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Sleman di Bandungan”, pada
tanggal 10 Juli 2009
Budiman, Burhan, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001
Dahlan, Abdul Aziz, et al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeven,
1997
Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan ahlus-
Sunnah dan Negara-Negara Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1988
Djamil, Fathurrahman, pengakuan dan pengesahan anak dalam perspektif hukum Islam, dalam
jurnal Suara Uldilag, edisi 03 Maret, 2007
-----------, Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat Hukumnya: Problematika Hukum Islam
Kontemporer, Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz Anshari AZ (pd), Jakarta; firdaus, 1999
Djazuli, H. A dan Aen, Nurol, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2000
-----------, Kaidah-Kaidah Fiqh: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-
Masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007
Echols, John M, dan Shadily, Hasan, Kamus Inggris Indonesia, cet. Ke 20, Jakara: Gramedia,
1992
Elise, Sulistini dan Erwin, Rudi T, Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-Perkara Perdata,
Jakarta: Bina Aksara, 1987
Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqih Munakahat “Seri Buku Daras”, Jakarta: Prenada Media, 2003
Ghofur, Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-Undang No 3 Tahun 2006 (Sejarah,
Kedudukan dan Kewenangan), Yogyakarta: UII Press, 2007
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, cet. I, 1990
Humaedillah, Memed, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya, cet. I, Gema
Insani Pers, Jakarta, 2002
I. Doi, Abdur Rahman, Karakteristik Hukum Islam Dan Perkawinan, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996
Ichtijanto, Status Hukum Dan Hak-Hak Anak Menurut Hukum Islam, Mimbar Hukum, No 46
Th,XI, Jakarta: Al-hikmah & Ditbinbapera Islam, 2000
Jaih Mibarok, Peradilan Agama di Indonesia, Bandung: Pustaka Bumi Quraisy, 2004
Kamil, Ahmad dan Fauzan, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indonesia,
Jakarta: raja grafindo persada, 2010
Khadim Al Haramain Asy Syarifain, Fahd Ibn Abdl Al Aziz Al Sa‟ud, Al-Qur‟an dan
Terjemahnya, Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da‟wah Dan Irsyad Kerajaan
Saudi Arabia
Khoiruddin, Islam Tentang Relasi Suami dan Istri, Cet I, Yogyakarta: Academia bekerjasama
dengan Tazzafa, 1996
llahi, Fadhel Zina, (terj), Qisthi Press, Jakarta; 2004, hal.7, Oemar Seno Adji, Hukum (Acara)
Pidana Dalam Prospeksi, Cet. Ke-2, Erlangga; Jakarta 1976, hal 49-51
M, Hajar, Legitimasi Ahli Waris Di Pengadilan Agama Dalam Perspektif Fiqh, dalam jurnal
mimbar hukum, IX, edisi 40 November-Desember, 1998
M, Victor, Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di
Indonesia, cet ke-2, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hlm 43
Manan, Abdul Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, cet-I, Jakarta: Kencana
Preneda Media Grp, 2006
-----------, Abdul, Masalah Pengakuan Anak Dalam Hukum Islam dan Hubungannya Dengan
Kewenangan Peradilan Agama, dalam jurnal Mimbar Hukum, 59, XIV, 2003
-----------, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, Cet. 5, 2008
Mansoer, Moch. Tolchah dan Mansoer Noer Iskandar, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Bandung:
Risalah, cet. 1
Mas'ud, Muhammad Khalid, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Terj. Yudian W.
Asmin, Surabaya: Al Ikhlas, 1995
Maulana, Achmad, Kamus Ilmiah Popular, cet. Ke-II, Yogyakarta, Absolut 2004
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1988
Moeliono, Anton M, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet-2, Jakarta: Balai Pustaka, 1988
Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Cet I, Jakarta: Bulan Bintang,
1974
Mughniyah, Muhammad Jawad Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: PT lentera Basritama, 2000
Muhammad Abduh Malik, Menikahkan Pelaku Zina, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Nomor 54
tahun XII, DITBINBAPERA Islam Dep. Agama, Jakarta, 2001
Mujieb, M. Abdul, Mabruri Tholhah, Syafi‟ adalah A.M, Kamus Istilah Fiqh, cet. I, Pustaka
Firdaus, Jakarta, 1994
Muslim, Imam, Shahih Muslim, Beirut: Daar Ihya‟ at-Turats al-„Arabi
Mustaqim, Abdul, Kedudukan dan Hak-Hak Anak dalam Perspektif Al-Qur‟an, Musawa Jurnal
Studi Gender dan Islam, vol 4:2 juli 2006
Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Jakarta; PT. Bumi Aksara cet.ke-8,
2007
Nuruddin, Amiur, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih UU No 1/1974 Sampai KHI, Kencaran,
Jakarta; 2006
Prinst, Darwan, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung; 2003
Prodjodikoro, R. Wiryono, Hukum Warisan Di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1983
Qardawi, Yusuf Halal dan Haram Dalam Islam, Bina Ilmu, 1400 H/ 1980 M
Quraish Shihab, M, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur‟an, Jilid XV,
Jakarta: Lentera Hati, 2004
Rahman, Abdur, Perkawinan Dalam Syari‟at Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992
Rahman, Asjmuni, Qai‟dah-Qaidah (Qawai‟dul Fiqhiyah), Cet.1, Jakarta: Bulan Bintang, 1976
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, cet. Ke-10, Bandung: PT. Al-Ma‟arif , 1981
Rasyid Chatib dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktik Pada Peradilan
Agama, Yogyakarta: UII Press, 2009
Rofiq, Ahmad Fiqh Mawawaris , cet-ke 1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993
-----------, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003
Rosyid, Roihan A, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003
Sabiq, Sayyid, Fiqhu As Sunnah, Alih Bahasa Moh. Tholib, jilid III, Jakarta: PT. Pena Pundi
Aksara, 200
Saifullah, problematika anak dan solusinya pendekatan sadduzzara‟I, dalam jurnal mimbar
hukum, X, edisi 42 Mei-Juni, 1999
Satrio, J, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, PT citra Aditya
Bakti, Bandung; 2005
Shodiq, M, Kamus Istilah Agama, Jakarta: Bonafida Cipta Pratama, 199
Soekanto, Soejono Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia (U.II. Press),
1986, hal. 250
Soekanto, Soerjono Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006
Soemanto, Wasty Psikologi Pendidikan, Cet-3, Jakarta: Rineka Cipta
Soesilo, et. al., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Penerbit: Rhedbook Publisher, Cet. ke-I,
2008
Soimin, Soedharyo, Hukum Orang dan Hukum Keluarga, Jakarta: Sinar Grafika, 2002
Subekti dan Tjitrosudibio, R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Jakarta: PT. Pranadnya
Paramita, 2004
-----------, Pokok-Pokok Hukum Perdata Cet ke 31, Jakarta: Inter Massa, 2003
Sugiono, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, cet.ke-4, 2008
Sugondo, Lies, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Perdata Nasional Yang Berperspektif
HAM, dalam jurnal mimbar hukum, X, edisi 03 Maret, 2007
Sukardja, Ahmad, Hukum Keluarga dan Peradilan Keluarga di Indonesia, Jakarta:
Kapuslitbang, 2001
Sulaiman Abu Dawud bin al-Asyt‟ats bin Ishak, Sunan Abi Dawud, Semarang: CV asy-Syifa‟
Juz II
Sulaiman, Akta Luar Nikah, Akta Pengakuan Anak dan Akta Pengesahan Anak, Majalah Mimbar
Hukum, Nomor 15 tahun V, Dirbinbaperais Dep. Agama, Jakarta, 2006
Syahrani, Riduan, HukumAcara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Jakarta:Pustaka
Kartini, 1988
Syalabi, Mushtafa, Ta‟lil al-Haka, (Beirut: dara n-Nandhal al-Arabiyah, tt).
Syarifuddin Amir, Meretas Kebekuan Ijtihad Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer Di
Indonesia, Jakarta: Ciputat Pers, Cet.1, 2002.
-----------, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan, Jakarta; kencana, 2009
-----------, Ushul Fiqih, Jilid II, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. ke-V, 2009
T. Yanggo, Chuzaimah, Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer 1, Jakarta:
Pustaka Firdaus
Taufiq, Pengakuan Anak Wajar Menurut Hukum Perdata Tertulis Dan Hukum Perdata Islam,
Jurnal Mimbar Hukum, Nomor 15 tahun V, Dirbinbaperais Dep. Agama, Jakarta, 2006
Tihami, M. Ahmad dan Sahrani, Sohari, Fiqih Munakahat (Kajian Fiqih Nikah Lengkap),
Jakarta: Rajawali Press, 2009
Tim Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah,
Jakarta: 2004
Tim Penyusun dari Departemen Agama RI, Yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta,
Departemen Agama RI, Jakarta
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinanaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia , cet. Ke-2 Jakarta: Balai Pustaka, 1989
Tim Penyusun Bahan Sosialisasi Tentang Eksistensi Dan Kompetensi Peradilan Agama,
Dilaksanakan Oleh Pengadilan Agama Wonosobo Pada Tanggal 28 Juli 2007
Tim Penyusun : Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Departemen Agama R.I Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000
-----------, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Departemen Agama R.I Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
Surabaya: Arkola
Usman, Muchlis Kaidah-Kaidah Ushuliah dan Fiqhiyah: Pedoman Dasar dalam Istinbath
Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cet. 4
Usman, Suparman Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek), Serang: Darul Ulum Press, 1933
Vollmar, H.F.A, Pengantar Studi Hukum Perdata,Jakarta: Rajawali, 1984
Wahid, Abdul, Kedudukan Anak di Luar Nikah, Mimbar Ulama, Tahun III Mei 1978, Jakarta:
Cemara Ladah, 1978
Widiana, Wahyu, Akses dan Equitas Pengadilan Agama Kaitannya Dengan Peningkatan
Pelayanan Bagi Pencari Keadilan, dalam jurnal mimbar hukum, edisi 66 Desember,
2008
Yasid, Abu Islam, Akomodatif: Rekonstruksi Pemahaman Islam Sebagai Agama
Universal,Yogyakart; LKiS, 2004
Yunus, Mahmud Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1986
Zein, Satria Effendi M, Makna, Urgensi dan Kedudukan Nasab dalam Perspektif Hukum
Keluarga Islam, dalam jurnal mimbar hukum, X, edisi 42 Mei-Juni, 1999
Zuhri, Moh. dan Qarib, Ahmad, Kitab Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Toha Putra, 1994
http:// 192.168.0.251/ go.php? =jptiain-gdl-sl-2004-khamidah3397 &q= tinjauan islam terhadap
gugata suami, diakses tanggal 6 Februari 2011. Pukul: 20.03 Wib
http://192.168.0.251/go.php?=jtptiain-gdl-sl-2004-srirahayu2 14&q=sri rahayu, Diakses tanggal.
6 Februari 2011. Pukul: 20.00 Wib
http://192.168.0.251/go.php?=jtptiain-gdl-sl-2006-inayahyuni 825&q = hasil tes DNA sebagai
alat bukti, Diakses tanggal. 6 Februari 2011. Pukul: 20.02 Wib
http://118.96.243.50/arsip/uploads/arsip/6UUNo14Thn1970KETENTUAN-KETENTUAN
POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN.pdf