Upload
red-ant
View
228
Download
18
Embed Size (px)
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Istilah cacingan yang paling populer di Indonesia adalah cacingan
oleh cacing kremi (Oxyorus vermicularis) yaitu sejenis cacing famili Vermes
Annelida yang juga termasuk parasit bagi manusia.
Enterobiasis (Oxiyuriasis, cacing kremi, dan infeksi Seatworm) adalah
kondisi medis yang disebabkan oleh cacing kremi ( Enterobius vermicularis/
Oxyuris). Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan yang paling sering
terinfeksi adalah anak-anak. Enterobiasis ditandai dengan sering
ditemukannya rasa gatal pada anus (pruritis ani) yang timbul pada malam
hari, anoreksia, penurunan berat badan, sulit tidur, diare, dan nyeri perut.
Infeksi Enterobiasis vermicularis terjadi melalui makanan, jari dan inhalasi
udara yang terkontaminasi telur Enterobiasis vermicularis serta secara
retroinfeksi dari daerah sekitar anus. Cacing Enterobius vermicularis paling
banyak ditemukan di daerah dingin karena pada umumnya di daerah dingin
orang-orang jarang mandi dan berganti pakaian dalam.
Hasil penelitian menunjukan angka prevelensi pada berbagai golongan
manusia sekitar 3-8 %. Peneliyian di daerah Jakarta Timur menunjukan
bahwa kelompok usia terbanyak yang menderita Enterobiasis adalah
kelompok usia 5-9 tahun yaitu terdapat 46 anak (54,1 %) dari 85 anak yang
diperiksa. Penularan penyakit Enterobiasis paling sering terjadi pada keluarga
atau kelompok yang hidup pada lingkungan yang sama (asrama, dan rumah
piatu). Pada anak-anak sering terinfeksi Enterobiasis karena sering
memasukan jari tangannya ke mulut dan jarang cuci tangan sebelum makan.
Untuk menghindari terkena Enterobiasis, kebersihan perorangan harus
dilakukan, memotong kuku, mencuci tangan sebelum makan terutama pada
anak-anak dan selalu menjaga kebersihan makanan.
2. Rumusan Masalah
1) Apakah yang dimaksud dengan Enterobiasis (cacing kremi) dan
penyebabnya?
2) Bagaimanakah patogenesis dan siklus penularan dari penyakit
Enterobiasis?
3) Bagaimana daur hidup Enterobiasis vermicularis (Oxyuris)?
4) Bagaimanakah gejala dan tanda yang timbul pada penyakit
Enterobiasis?
5) Mengapa di daerah perianal pada anak tersebut terlihat kemerahan
bekas luka garukan?
6) Mengapa rasa gatal di dubur hanya terjadi pada waktu malam hari dan
mengapa terjadi pruritis ani?
7) Bagaimana diagnosis, diagnosis banding, dan pemeriksaan penunjang
dari Enterobiasis?
8) Bagaimana prognosis dari penyakit Enterobiasis?
9) Bagaimana pengobatan dan terapi yang dapat dilakukan pada penyakit
Enterobiasis?
10) Bagaimana pencegahan yang dapat dilakukan untuk penyakit
Enterobiasis?
3. Manfaat
1) Mampu menjelaskan pengertian dan etiologi penyakit enterobiasis
2) Mampu menjelaskan patogenesis penyakit enterobiasis
3) Mampu menjelaskan manifestasi klinis penyakit enterobiasis
4) Mampu menjelaskan diagnosis, diagnosis banding dan pemeriksaan
penunjang penyakit enterobiasis
5) Mampu menjelaskan pengobatan dan pencegahan penyakit enterobiasis
6) Mampu menjelaskan prognosis dan komplikasi dari penyakit malaria
tertiana maligna
7) Mampu menjelaskan penyelidikan epidemiologi dan terapi penyakit
enterobiasis
4. Tujuan
1) Mahasiswa mampu dan mengenal dasar – dasar hak penyakit infeksi
tropis
2) Mahasiswa mampu menggali potensi dalam pemahaman penyakit
enterobiasis
3) Mahasiswa mampu dalam memahami gambaran umum dan pola
perawatan mengenai penyakit enterobiasis
4) Mahasiswa mampu menjelaskan pencegahan dan prognosis penyakit
penyakit enterobiasis
5) Menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca
6) Menunjang wawasan tentang penyakit enterobiasis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. EnterobiasisEnterobiasis (Infeksi Cacing Kremi) adalah suatu infeksi parasit yang
terutama menyerang anak-anak, dimana cacing Enterobius vermicularis
tumbuh dan berkembangbiak di dalam usus. (Sudoyo, 2006)
1. Etiologi
Penyebab penyakit Enterobiasis adalah Enterobius vermicularis
atau Oxyuris vermicularis yang berukuran 1 cm dan berwarna putih.
Dalam sekali bertelur cacing ini dapat menghasilkan 11.000 butir telur.
Telurnya bebentuk asimetris, eclipse pada satu sisi dan datar pada sisi
lainnya dengan ukuran 30-60 µm. Setelah melalui proses pematangan
larva dapat bertahan hidup dalam telur sampai 20 hari.
Infeksi cacing Enterobius vermicularis bisa terjadi melalui 2 cara
yaitu, yang pertama telur cacing berpindah dari daerah sekitar anus
(perianal) penderita kemudian pindah ke pakaian, sprei atau mainan,
kemudian melalui jari-jari tangan telur cacing pindah ke mulut dan
akirnya tertelan. Kemudian cara yang kedua dapat terhirup melalui udara
kemudian tertelan. (Widoyono, 2008)
2. Morfologi Enterobius vermicularis
a. Telur Enterobius vermicularis
Telur berbentuk elipsoid atau
lonjong dan mempunyai dua sisi
yaitu sisi lengkung dan sisi mendatar
atau lebih datar pada satu sisi
(asimetrik). Dinding telur bening dan
agak lebih tebal berdinding hialin
transparan, biasanya sudah diketemukan embrio dalam stadium
tadpole (kecebong). Telur jarang dikeluarkan melalui tinja dan tahan
disinfektan dan suhu dingin.
b. Cacing betina Enterobius vermicularis
Cacing betina Enterobius vermicularis berukuran 8-13 mm x
0,4 mm dan berbentuk silindris. Pada ujung anterior ada pelebaran
kutikulum seperti sayap yaitu 1 pasang alae yang disebut cephalic
alae dan terdapat 3 labia. Bulbus esofagus ganda jelas sekali,
ekornya panjang dan runcing, Vulva terletak kira ½ bagian anterior.
Uterus cacing yang gravid melebar dan penuh dengan telur.
Gambar : Cacing dewasa jantan dan betina
c. Cacing jantan Enterobius vermicularis
Cacing jantan Enterobius
vermicularis berukuran 2-5 mm
berbentuk silindris juga
mempunyai 3 labia dan
sepasang alae yang disebut
chepalic alae pada ujung
anterior. Bulbus esofagus ganda, ujung posterior sangat melengkung
jelas dengan spikulum kopulatoris yang jelas. Tidak ada
gubernaculums. Mempunyai bursa kecil yang tampak sebagai alae
kaudal.
Kopulasi cacing jantan dan betina kemungkinan terjadi di
sekum. Habitat cacing dewasa biasanya di rongga sekum, usus besar,
usus halus yang berdekatan dengan rongga usus. Makanannya adalah
isi dari usus penderitanya. Cacing jantan mati setelah kawin dan cacing
betina mati setelah bertelur. Cacing betina yang mengandung 11.000-
15.000 butir telur akan bermigrasi ke daerah sekitar anal (perianal)
untuk bertelur. Migrasi ini berlangsung 15 – 40 hari setelah infeksi.
Telur akan matang dalam waktu sekitar 6 jam setelah dikeluarkan,
pada suhu tubuh. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13
hari.
3. Patogenesis
a. Telur berada di lipatan perianal. Telur ini memerlukan waktu 4-6
jam untuk menjadi telur yang infektif
b. Telur tertelan manusia, misal menggaruk anus lalu menggunakannya
untuk makan tanpa cuci tangan
c. Sesampainya di duodenum telur ini menetas dan menjadi larva
rhabditiformis dan berkembang menjadi cacing dewasa
d. Cacing dewasa akan menuju jejunum, coecum dan kolon
e. Cacing betina akan bermigrasi ke daerah perineum/perianal untuk
bertelur lalu mati setelah bertelur. Cacing jantan mati setelah
kopulasi. Motilitas cacing betina saat bertelur di anus, dapat
menyebabkan gatal-gatal di anus. Jika telur menetas di anus, larva
akan masuk ke kolon lagi (retrofeksi). Telur enterobius vermicularis
biasa menempel di manapun, di lantai, meja, kursi dan mudah
diterbangkan bersama debu dan menginfeksi orang yang menghisap
debu ini (infeksi inhalasi).
(Widoyono, 2008)
Gambar : Siklus hidup Enterobius vermikularis
4. Manifestasi klinis
Beberapa gejala dan tanda dari Enterobiasis (infeksi cacing kremi) adalah
a. Rasa gatal pada anus (pruritis ani), karena adanya deposit atau
tumpukan telur Enterobius vermicularis di daerah sekitar anus
(perianal) dan arena cacing Enterobius vermicularis suka bergerak
di daerah anus terutama pada malam hari.
b. Luka garuk di sekitar anus, karena adanya rasa gatal pada daerah
perianal sehingga menyebabkan penderita menggaruk pada daerah
perianal tersebut sampai terjadi luka
c. Insomnia (susah tidur), karena rasa gatal (pruritis ani) sering
terjadi pada waktu mlam hari sehingga penderita terganggu
tidurnya dan menjadi lemah
d. Kurang nafsu makan (terutama pada infeksi yang berat) sehingga
menyebabkan penurunan berat badan
e. Kadang-kadang cacing dewasa dapat bergerak ke usus halus bagian
proksimal sampai ke lambung, esophagus dan hidung sehingga
menyebabkan gejala nyeri perut, rasa mual, muntah dan diare.
f. Vaginitis (radang saluran telur), terjadi karena cacing betina gravid
mengembara dan bersarang di vagina dan di tuba fallopi.
5. Diagnosis dan diagnosis banding
a. Diagnosis
Diagnosis enterobiasis ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan
penunjang.
1) Gejala klinis
a) Anamnesis
Keluhan utama yang sering kali muncul dari infeksi cacing
sering diduga pada anak yang menunjukkan rasa gatal di
sekitar anus pada waktu malam hari. Disamping itu sumber
penyakit harus ditelusuri.
b) Pemeriksaan fisik
Pasien mengalami nyeri pada perutnya, nafsu makan dan
berat badan turun, dan diare, anoreksia, badan menjadi
kurus, sukar tidur. Disamping itu juga timbul rasa mual,
muntah, disebabkan karena iritasi cacing dewasa pada
sekum, apendiks, dan sekitar muara anus.
2) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah tepi umumnya normal, hanya ditemukan
sedikit eosinofilia.
3) Pemeriksaan penunjang
Diagnosis pasti enterobiasis dengan cara menemukan telur atau
cacing dewasa di daerah perianal dengan swab atau di dalam
tinja. Anal swab di tempelkan di sekitar anus pada waktu pagi
hari sebelum anak buang air besar dan mencuci pantat.
(Widoyono, 2008)
b. Diagnosis banding
Pruritus ani merupakan gejala enterobiasis yang menonjol,
yang juga dijumpai pada hampir semua kelainan kulit, misalnya
psoriasis dan dermatitis atopik. Reaksi alergi, misalnya dermatitis
kontak yang disebabkan oleh bahan obat bius yang dioleskan di
kulit, berbagai jenis salep atau bahan kimia dalam sabun. Infestasi
parasit seperi cacing kremi dan skabies atau pedikulosis. Selain itu,
penyakit-penyakit, seperti kencing manis atau penyakit hati, kelainan
anus (misalnya tanda di kulit atau skin tags, kriptitis, pengeringan
fistula) dan kanker (contohnya penyakit Bowen). (Sudoyo, 2006)
6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah dengan
pemeriksaan laboratorium yaitu dengan Anal Swab. Pemeriksaan Anal
swab dilkukan untuk menemukan telur atau cacing dewasa di daerah
perianal di dalam tinja. Pemeriksaan Anal swab dilakukan pada waktu
pagi hari sebelum anak buang air besar dan mencuci pantat (cebok)
Anal Swab adalah suatu alat dari batang gelas atau spatel lidah
yang pada ujungnya dilekatkan pita perekat atau Scoth adhesive tape.
Bila adhesive tape ini ditempelkan di daerah sekitar anus (perianal), telur
cacing akan menempel pada perekatnya. Kemudian adhesive tape
diratakan pada kaca benda dan dibubuhi sedikit toluol untuk pemeriksaan
mikroskopik. Satu tes tidak selalu cukup untuk berhasil mendiagnosa
enterobiasis dan lebih dari satu mungkin harus dilakukan. A repeated test
done everyday for three days straight will diagnose enterobiasis over
90% of the time. is usually the preferred treatment for enterobiasis.
Sebuah tes ulang dilakukan setiap hari selama tiga hari berturut-turut
akan mendiagnosis enterobiasis lebih dari 90% dari waktu. (Corwin,
2001)
7. Pencegahan
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk pencegahan
atau mengendalikan infeksi cacing kremi (Enterobius vermicularis)
antaralain :
a. Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar
b. Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku
c. Mencuci sprei minimal 2 kali seminggu
d. Membersihkan kamar mandi atau jamban setiap hari
e. Sebaiknya pakaian dicuci bersih dan diganti setiap hari
f. Makanan hendaknya dihindarkan dari debu dan tangan yang
mengandung parasit
(Hassan, 2007)
8. Pengobatan
a. Perawatan umum
1) Pengobatan sebaiknya dilakukan juga terhadap keluarga
serumah atau yang sering berhubungan dengan pasien
2) Kesehatan pribadi perlu diperhatikan terutama kuku, jari-jari
dan pakaiain tidur
3) Toilet sebaiknya dibersihkan dan disiram dengan desinfektan,
bila mungkin setiap hari
b. Pengobatan spesifik
1) Mebendazole
Pemberian mebendazole dengan dosis tunggal 500 mg,
diulang setelah 2 minggu. Kerjanya merusak subseluler dan
menghambat sekresi asetilkolinesterase cacing, menghambat
ambilan glukosa. Absorpsi oral buruk, ekskresi terutama lewat
urin dalam dalam bentuk utuh.
2) Albendazole
Albendazole diberikan dosis tunggal 400 mg diulang
setelah 2 minggu.
3) Piperazin sitrat
Piperazin sitrat diberikan dengan dosis 2 x 1 g/hari
selama 7 hari berturut-turut dapat diulang dengan interval 7 hari.
Kerjanya menyebabkan blokade respon otot cacing terhadap
asetilkolin sehingga terjadi paralisis dan cacing mudah
dikeluarkan oleh peristaltik usus. Absorpsi melalui saluran
cerna, ekskresi melalui urine.
4) Pirvium pamoat
Obat ini diberikan dengan dosis 5 mg/kg berat badan
(maksimum 0,25 g) dan diulangi 2 minggu kemudian. Obat ini
dapat menyebabkan rasa mual, muntah dan warna tinja menjadi
merah. Bersama mebendazole efektif terhadap semua stadium
cacing Enterobius vermicularis.
5) Pirantel pamoat
Pirantel pamoat diberikan dengan dosis 10 mg/kg berat
badan sebagai dosis tunggal dan maksimum 1 gram. Kerjanya
menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan
frekuensi impuls, menghambat enzim kolinesterase. Absorpsi
melalui usus tidak baik, ekskresi sebagian besar bersama tinja,
<15% lewat urine.
9. Prognosis
Infeksi cacing ini biasanya tidak begitu berat, dan dengan
pemberian obat-obat yang efektif maka komplikasi dapat dihindari.
Pengobatan yang secara periodik akan memberikan prognosis yang baik.
Yang sering menimbulkan masalah adalah infeksi intra familiar, apalagi
dengan keadaan higienik yang buruk.
Baik dan biasanya tidak menimbulkan bahaya, terutama dengan
pengobatan yang baik. Yang perlu diperhatikan adalah kebersihan dan
pencegahan auto atau hetero-infection kembali. (Markum, A.H. dkk.
2007)
10. Epidemiologi
Penyebaran dan penularan penyakit cacing kremi (enterobiasis)
terutama terjadi pada suatu keluarga atau kelompok-kelompok yang
hidup di dalam suatu lingkungan yang sama (asrama, rumah piatu). Di
berbagai rumah tangga dengan beberapa anggota keluarga yang
mengandung cacing kremi, telur cacing dapat ditemukan (92%) di lantai,
meja, kursi, buffet, tempat duduk kakus (toilet seats), bak mandi, alas
kasur dan pakaian. Kelompok usia yang rentan terinfeksi Enteobius
vermicularis adalah kelompok usia 5-9 tahun (anak-anak).
11. Kompilkasi
Bila jumlah cacing dewasa cukup banyak akan dapat
menyebabkan apendisitis. Cacing dewasa pada wanita dapat bermigrasi
ke dalam vagina, uterus dan tuba falopi, dan dapat menyebabkan
peradangan di daerah tersebut. (Corwin, 2001)
- Salpingitis (peradangan saluran indung telur).
- Vaginitis (peradangan vagina).
- Infeksi ulang.
(Sudarmo, S.S, dkk, 2009)
B. Cara infeksi dan penularan
Penularan dapat dipengaruhi oleh:
a. Penularan dari tangan ke mulut sesudah menggaruk daerah perianal (auto
infeksi) atau tangan dapat menyebarkan telur kepada orang lain maupun
kepada diri sendiri karena memegang benda-benda yang terkontaminasi.
b. Debu merupakan sumber infeksi oleh karena mudah diterbangkan oleh
angin sehingga telur melalui debu dapat tertelan.
c. Retrofeksi melalui anus, larva dari telur menetas di sekitar anus kembali
masuk melalui anus terus naik sampai sekum dan tumbuh menjadi
dewasa ke usus.
d. Anjing dan kucing bukan mengandung cacing kremi tetapi dapat
menjadi sumber infeksi oleh karena telur dapat menempel pada bulunya.
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam skenario empat ini membahas infeksi parasit yang berwujud cacing
Enterobius vermicularis awal pembahasan diperlukan pengetahuan tentang hidup
dari cacing Enterobius vermicularis. Cacing Enterobius vermicularis adalah
cacing yang temasuk golongan spesies nematoda usus. Dalam penyebaran
penyakit, cacing Enterobius vermicularis hanya menginfeksi manusia dan disebut
penyakit enterobiasis atau oxyuriasis. Enterobius vermicularis mempunyai daur
hidup dapat berkembang biak di tubuh manusia langsung jadi tidak melewati
tanah sebagai media transmisinya (STH). Enterobius vermicularis berkembang
biak dan tumbuh di tubuh manusia, selain manusia sebagai inanganya belum
diketahui apakah ada hewan atau makhluk lain yang dapat sebagai inang.
Dalam skenario Satrio terinfeksi Enterobius vermiculari. Cacing ini
merupakan salah satu Nematoda usus, dan merupakan parasit umum bagi manusia
(manusia adalah satu-satunya hospes bagi cacing ini) terutama anak-anak. Infeksi
ini lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan orang dewasa, terutama pada
usia sekolah.
Infeksi dapat terjadi pada suatu kelompok-kelompok yang hidup pada
suatu lingkungan yang sama (keluarga, asrama, sekolah, dll. Bila tidak dilakukan
kontrol dan pemeliharaan, infeksi bertendensi penularan dari satu orang ke orang
lain sehingga infeksi dapat mengenai seluruh keluarga, asrama atau sekolah.
Seperti pada Satrio yang kesehariannya bermain dikebun dan sungai serta jarang
mencuci tangan dan memotong kuku menyebabkan Satrio mudah terinfeksi
Enterobius vermiculari, karena penularannya dapat secara autoinfeksi (penularan
dari tangan ke mulut, sesudah menggaruk daerah perianal baik ke diri sendiri
maupun ke orang lain), retrofeksi (larva migrasi kembali ke usus besar), inhalasi
debu dan makanan/minuman/tanah yang terkontaminasi.
Enterobiasis ini relatif tidak berbahaya, karena jarang menimbulkan lesi
yang berarti dan pada infeksi ini dapat sembuh sendiri (limited disease). Tapi
gejala klinis yang sangat mengganggu adalah adanya pruritus lokal (gatal) yang
disebabkan adanya iritasi sekitar anus, perineum dan vagina oleh cacing betina
gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina. Cacing betina sendiri dapat
menginfeksi saluran genital hospes wanita. Sehingga pada anak perempuan, dapat
terjadi adanya vulvovaginitis (radang pada vulva dan vagina), infeksi sekunder
saluran urin dan eneuresis sekunder serta dalam penelitian lebih lanjut adanya
cacing Enterobius vermicularis di rongga peritonium tanpa menembus usus, yaitu
dengan jalan bermigrasi lewat vagina masuk ke uteru lalu ke tubafalopi dan
akhirnya sampai ke rongga peritonium, di peritonium ada juga yang bertelur.
Pruritus ani yang terjadi menyebabkan Satrio sering menggaruk daerah
sekitar anus, sehingga timbul luka garuk di sekitar anus. Keadaan ini membuat
Satrio atau penderita lain menjadi terganggu, karena gejala ini sering timbul di
malam hari. Satrio menjadi kurang tidur, dan karena kualitas kuantitas tidur
terganggu, maka Satrio tidak dapat berisitirahat dengan semestinya dan
mempengaruhi aktivitas harian.
Kondisi yang tidak mengenakkan ini membuat nafsu makan Satrio
berkurang sehingga berat badannya berkurang. Sedangkan diare Satrio karena
adanya cacing dewasa pada usus halus Satrio sehingga mengiritasi mukosa,
mengakibatkan sensifitasi terhadap pleksus sub mukosa/meisner menyebabkan
peningkatan sekresi H2O dan HCO3- yang merupakan adaptasi reflek homeostasis
berupa peningkatan H2O dalam feces sehingga terjadi peningkatan frekwensi
buang air besar, terjadilah diare. Gangguan lain pada anak usia sekolah, dapat
terjadi penurunan kemampuan menerima pelajaran karena kondisi tubuh yang
lemah dan kurang energic.
Saat satrio dibawa ke puskesmas didapatkan pemeriksaan bahwa kuku jari
tangan satrio panjang dan kotor dan kebiasaan bermain dikebun dan disungai,
dapat diperjelas Enterobius vermicularis menular lewat berbagai cara yaitu :
1. Penularan dari tangan ke mulut sesudah menggaruk daerah perianal (auto
infeksi) atau tangan dapat menyebarkan telur kepada orang lain maupun
kepada diri sendiri karena memegang benda-benda yang terkontaminasi.
2. Debu merupakan sumber infeksi oleh karena mudah diterbangkan oleh angin
sehingga telur melalui debu dapat tertelan.
3. Retrofeksi melalui anus, larva dari telur menetas di sekitar anus kembali
masuk melalui anus terus naik sampai sekum dan tumbuh menjadi dewasa ke
usus.
4. Anjing dan kucing bukan mengandung cacing kremi tetapi dapat menjadi
sumber infeksi oleh karena telur dapat menempel pada bulunya.
Untuk pemeriksaan cacing, telur cacing dapat diambil dengan mudah
dengan alat anal swab yang ditempelkan di sekitar anus pada pagi hari sebelum
anak buang air besar dan mencuci pantat. Anal swab adalah suatu alat dari batang
gelas atau spatel lidah yang pada ujungnya dilekatkan Scotch adhesive tape. Bila
adhesive tape ini ditempelkan di daerah sekitar anus, telur cacing akan menempel
pada perekatnya. Kemudian adhesive tape diratakan pada kaca benda dan
dibubuhi sedikit toluen untuk pemeriksaan mikroskopik. Sebaiknya pemeriksaan
dilakukan 3 hari berturut-turut.
Infeksi cacing ini dapat sembuh sendiri, bila tidak ada reinfeksi, tanpa
pengobatan pun infeksi akan berakhir. Obat pilihan untuk infeksi ini adalah
pemberian Pyrantel Pamoat dengan dosis 10mg/kgbb, dosis tunggal, serta
Mebendazol, pengobatan harus diulang setelah 10 hari untuk membunuh cacing
yang masih hidup pada pengobatan pertama. Pengobatan sebaiknya dilakukan
secara menyeluruh pada kelompok tempat tinggal dan dilakukan secara periodic.
Perincian obat antara lain :
1. Mebendazole
Pemberian mebendazole dengan dosis tunggal 500 mg, diulang setelah 2
minggu. Kerjanya merusak subseluler dan menghambat sekresi
asetilkolinesterase cacing, menghambat ambilan glukosa. Absorpsi oral
buruk, ekskresi terutama lewat urin dalam dalam bentuk utuh.
2. Albendazole
Albendazole diberikan dosis tunggal 400 mg diulang setelah 2 minggu.
3. Pirantel pamoat
Pirantel pamoat diberikan dengan dosis 10 mg/kg berat badan sebagai dosis
tunggal dan maksimum 1 gram. Kerjanya menimbulkan depolarisasi pada
otot cacing dan meningkatkan frekuensi impuls, menghambat enzim
kolinesterase. Absorpsi melalui usus tidak baik, ekskresi sebagian besar
bersama tinja, <15% lewat urine.
Pencegahan penularan infeksi Enterobius vermicularis dapat dilakukan
sebagai berikut yaitu :
1. Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar
2. Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku
3. Mencuci seprei minimal 2 kali/minggu
4. Mencuci jamban setiap hari
5. Menghindari penggarukan daerah anus karena bisa mencemari jari-jari tangan
dan setiap benda yang dipegang/disentuhnya
6. Menjauhkan tangan dan jari tangan dari hidung dan mulut
Hal terpenting adalah menjaga kebersihan pribadi. Sebagai contoh,
biasakan anak untuk menjaga kebersihan tangan dan kaki, memotong kuku
pendek, mencuci tangan dan kaki sebelum makan dan tidur, sering membersihkan
daerah perianal, dan bagi penderita,disarankan untuk memakai celana panjang
sewaktu tidur, supaya kasur tidak terkontaminasi.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
1. Infeksi Enterobius vermicularis ( enterobiasis, oxyuriasis) adalah suatu
infeksi parasit yang terutama menyerang anak-anak, dimana cacing
Enterobius vermicularis tumbuh dan berkembangbiak di dalam usus.
2. Enterobius vermicularis atau Oxyuris vermicularis adalah cacing kecil
(1cm) berwarna putih. Dalam sekali bereproduksi cacing dapat
menghasilkan 11.000 butir telur. Setelah mengalami proses pematangan,
larva dapat bertahan hidup dalam telur sampai 20 hari.
3. Morfologi telur berbentuk elipsoid atau lonjong dan mempunyai dua sisi
yaitu sisi lengkung dan sisi mendatar atau lebih datar pada satu sisi
(asimetrik), cacing Enterobius vermicularis berukuran 8-13 mm x 0,4 mm
dan berbentuk silindris sedang yang jantan juga sama berbentuk silindris
walaupun lebih kecil dengan berukuran 2-5 mm. Kopulasi cacing jantan
dan betina kemungkinan terjadi di sekum, Migrasi ini berlangsung 15 – 40
hari setelah infeksi. Telur akan matang dalam waktu sekitar 6 jam setelah
dikeluarkan, pada suhu tubuh. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup
sampai 13 hari.
4. Epidemiologi penularan penyakit Enterobius vermicularis (enterobiasis)
terutama terjadi pada suatu keluarga atau kelompok-kelompok yang hidup
di dalam suatu lingkungan yang sama
5. Penularan dapat dipengaruhi oleh :
a. Penularan dari tangan ke mulut sesudah menggaruk daerah perianal.
b. Debu merupakan sumber infeksi oleh karena mudah diterbangkan oleh
angin
c. Retrofeksi melalui anus.
d. Anjing dan kucing bukan mengandung cacing kremi tetapi dapat
menjadi sumber infeksi oleh karena telur dapat menempel pada
bulunya
6. Manifestasi klinis berupa rasa gatal pada daerah perianal terjadi pada
malam hari sehingga si anak tidak dapat tidur atau gelisah terus – menerus
mengakibatkan napsu makan kurang dan badan kurus, dapat juga terjadi
pruritus ani.
7. Anal swab adalah suatu alat dari batang gelas atau spatel lidah yang pada
ujungnya dilekatkan Scotch adhesive tape. Bila adhesive tape ini
ditempelkan di daerah sekitar anus, telur cacing akan menempel pada
perekatnya. Kemudian adhesive tape diratakan pada kaca benda dan
dibubuhi sedikit toluen untuk pemeriksaan mikroskopik. Sebaiknya
pemeriksaan dilakukan 3 hari berturut-turut.
B. SARAN
1. Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar
2. Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku, mencuci jamban setiap
hari, mencuci seprei minimal 2 kali/minggu
3. Menghindari penggarukan daerah anus karena bisa mencemari jari-jari
tangan dan setiap benda yang dipegang/disentuhnya
4. Menjauhkan tangan dan jari tangan dari hidung dan mulut
5. Pelihara kebersihan lingkungan, baik di dalam maupun halaman rumah
6. Lakukan toilet training pada waktunya dan ajarkan cara menjaga
kebersihan saat BAB dan BAK.
7. Bila ingin makan sayuran mentah (lalapan) atau buah-buahan, cucilah
dengan air bersih yang mengalir. Bila perlu gunakan sabun yang bisa
digunakan untuk mencuci sayuran dan buah-buahan agar bersih dari
hama.
8. Biasakan anak untuk selalu menggunakan sandal atau sepatu bila keluar
rumah, terutama bila berjalan di tanah. Tanah, terutama yang lembab,
merupakan tempat cacing untuk berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Kliegman and Nelson Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol.1 Edisi 15. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Corwin, Elizabeth. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Dorland, W.A,dkk. 2002. Kamus Kedokteran Dorland – Ed 25. Jakarta : EGC
Hassan, Rusepno. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Latief, dkk., 2007. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Markum, A.H. dkk. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Media Aesculaplus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Prasetyo, Heru. 2003. Atlas Berwarna Helmintologi Kedokteran. Surabaya : Airlangga University Press.
Soedarno, S P, dkk. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Pediatric Tropis edisi kedua.
Jakarta : FKUI
Soeparman. 1993. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Sudarto. 2009. Pengobatan Penyakit Parasit. Jakarta : Sagung Seto.
Sudoyo, A,W. dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid ke-3. Jakarta :
EGC
Sutanto, I,dkk. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran – Ed.4. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
Tjokroprawiro, A, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya :
Airlangga University Press.
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasan. Jakarta : Erlangga
Yamaguchi, Tomio. 1992. Atlas Berwarna Parasitologi Klinik. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Oleh :
PRIAMBODO ILHAM A
J 5000 800 88
Tutor :
dr Ellya latifah
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta