Upload
hamdan-hariawan
View
111
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
System persarafan dan system hormonal merupakan bagian-bagian tubuh yang
saling berkomunikasi dan saling berhubungan. System ini mempunyai kemampuan
untuk mengoordiansi, menafsirkan, dan mengontrol interaksi antara individu dan
lingkungan sekitarnya. System persarafan mengatur kebanyakan aktivitas system
tubuh lainnya. Pengaturan saraf tersebut memungkinkan terjalinnya komunikasi
antara berbagai system tubuh hingga menyebabkan tubuh berfungsi sebagai unit
yang harmonis.
Namun jika salah satu dari system saraf itu terganggu dapat menimbulkan tanda
dan gejala yang sistemik. Salah satu penyakit pada system saraf adalah syndrome
Gillaen Bear yang dibahas dalam makalah ini
B. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Syndrom Guillaen Bear
2. Mengetahui Patofisiologi Syndrom Gullaen Bear
3. Mengetahui Konsep Asuhan Keperawatan Syndrom Gullaen Bear
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Sindrom Guillain-Barre merupakan sindrom klinis yang di tunjukkan oleh onset
akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan cranial. Proses penyakit
mencakup demielinasi dan degenari selaput myelin dari saraf perifer dankranial. (Sylvia
A. Price dan Lorraine M. Wilson, 1995).
Etiologinya tidak diketahui, tetapi respon alergi atau respon autoimun sangat
mungkin sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa sindrom tersebut berasal dari
virus. Akan tetapi tidak ada virus yang diisolasi sejauh ini. Sindrom Guillain Barre paling
banyak ditimbulkan oleh adanya infeksi(pernafasan ataugastrointestinal) 1 sampai 4
minggu sebelum terjadi serangan penurunan neurologis. Pada beberapa keadaan
dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedahan. Hal ini juga dapat diakibatkan oleh
infeksi virus primer,reaksi imun dan beberapa proses lain,atau sebuah kombinasi
proses. Salah satu hipotesis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi
autoimun yang menyerang saraf perifer. Myelin merupakan substansi yang ada di
sekitar atau menyelimuti akson-akson saraf dan berperan penting pada transmisi impuls
saraf.
B. Patofisiologi
Akson bermielin menginduksi impuls saraf lebih cepat dibanding akson tidak
bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terjadi gangguan dalam
selaput(nodus ranvier) tempat kontak langsung antara membrane sel akson dengan
cairan ekstraseluler. Membrane sangat permiabel pada nodus tersebut,sehingga
konduksi menjadi baik.
Gerakan ion masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat banyak pada
nodus ranvier,sehingga impuls saraf sepanjang serabut bermielin dapat melompat
pada satu nodus ke nodus lain (konduksi saltatori) dengan cukup kuat. Kehilangan
selaput myelin pada Sindrom Guillain Barre membuat konduksi saltatori tidak mungkin
terjadi dan transmisi impuls saraf dibatalkan. (Gambar 3.6).
C. Anamnesis
Pengkajian terhadap komplikasi Sindrom Guillain Barre meliputi pemantauan
terus-menerus terhadap ancaman gangguan gagal nafas akut yang mengancam
kehidupan. Komplikasi lain mencakup disritmia jantung,yang terlihat melalui
pemantauan EKG dan mengobservasi klien terhadap tanda thrombosis vena profunda
dan emboli paru-paru,yang sering mengancam klien,imobilisasi dan paralisis.
I. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan berhubungan
dengan kelemahan otot baik kelemahan fisik secara umum maupun local seperti
melemahnya otot-otot pernafasan
II. Riwayat Penyakit Sekarang
Factor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang
keluhan utama klien . Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan
mulai serangan,sembuh,atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien Guillain Barre
Sindrom (GBS) biasanya didapatkan keluhan yang berhubungasn dengan proses
demielinisasi. Keluhan tersebut diantaranya gejala-gejala neurologis diawalidengan
parestisia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke
ekstremitas atas,batang tubuh,dan otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan
cepat adanya paralisis yang lengkap.
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan merupakan
komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal nafas. Melemahnya otot
pernafasan membuat klien dengan gangguan ini beresiko lebih tinggi terhadap hipo
ventilasi dan infeksi pernafasan berulang. Disfagia juga dapat timbul,mengarah pada
aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas atas dan bawah hamper sama seperti
keluhan klien yang terdapat pada klien stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan dari
fungsi kardiovaskular,yang memungkin kan terjadunya gangguan saraf otonom pada
klien GBS yang dapat mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan drastis yang
mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.
III. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkin kan adanya
hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien
mengalami ISPA, infeksi gastro intestinal, dan tindakan bedah saraf.
Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien,seperti pemakaian
obat kortikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotic dan reaksinya (untuk menilai
resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah komprhensifnya pengkajian.
Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan
selanjutnya.
IV. Pengkajian psikososialspiritual
Pengkajian psikologis klien Sindrom Guillain Barre meliputi beberapa penilaian
yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi,kognitif dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien
juga penting untuk menilai respon emosi klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti
ketakutan akan kecacatan, ketidakmampuan melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai
mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien selama masa stress,
meliputi : kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang
telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stress.
V. Pemeriksaan fisik
Pada klien Sindrom Guillain Barre biasanya didapatkan suhu tubuh normal.
Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda penurunan denyut
jantung. Peningkatan frekuensi nafas berhubungan dengan peningkatan peningkatan
laju metabolism umum dan adanya infeksi pada system pernafasan serta akumulasi
secret akibat insufisiensi pernafasan. Tekanan darah didapatkan ortostatik. Hipotensi
atau tekanan darah meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan oenurunan
reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
1. B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk,peningkatan produksi sputum, sesak nafas,
penggunaan otot bantu nafas dan peningkatan frekuensi pernafasan karena infeksi
saluran pernafasan dan yang paling sering didapatkan pada klien Sindrom Guillain
Barre adalah penurunan frekuensi pernafasan karena melemahnya fungsi otot-otot
pernafasan. Palpasi biasanay taktil fremitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi
nafas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan Sindrom Guillain barre berhubungan
akumulasi secret dari infeksi saluran nafas.
2. B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskular pada klien Sinrom Guillain Barre menunjukkan
bradikardia akibat penurunan fungsi perifer. Tekanan darah didapatkan ortostatik
hipotensi atau TD meningkat (hipertensi transien) akibat penurunan reaksi saraf
simpatis dan parasimpatis.
3. B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap dibandingkan
pengkajian pada system lainnya.
Pengkajian tingkat kesadaran. Pada klien Sindrom Guillain Barre biasanya kesadaran
klien komposmentis. Apabila klien mengalami penurunan tingkat kesadaran maka
penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi
untuk monitoring pemberian asuhan.
Pengkajian fungsi serebral. Status mental : observasi penampilan, tingkah laku, nilai
gaya bicara,ekspresi wajah dan aktivitas motorik klien. Pada klien Sindrom Guillain
Barre tahap lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran biasanay status mental klien
mengalami perubahan .
Pengkajian saraf kranial. Pengkajian saraf kranial meliputi pengkajian saraf cranial I-
XII .
Saraf I. Biasanya pada klien Sindom Guillain Barre ada kelainan dan fungsi
penciuman.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak
mata,paralisis okuler.
Saraf V. Pada klien Sindom Guillain Barre didapatkan paralisis pada otot wajah
sehingga mengganggu proses mengunyah.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena
adanya paralisis unilateral.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X. Paralisis otot orofaring,kesulitan berbicara,mengunyah,dan
menelan. Kemampuan menelan kurang baik,sehingga mengganggu pemenuhan
nutrisi via oral.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Kemampuan mobilisasi otot leher baik.
Saraf XII. Lidah simetris,tidak deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi.
Indra pengecapan normal.
Pengkajian system motorik. Kekuatan otot menurun,control keseimbangan dan
koordinasi pada Sindrom Guillain Barre tahap lanjut mengalami perubahan. Klien
mengalami kelemahan motorik secara umum sehingga mengganggu mobilitas fisik.
Pengkajian reflek. Pemeriksaan reflex propunda,pengetukan pada
tendon,ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons normal.
Gerakan involunter. Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, tic dan distonia.
Pengkajian system sensorik. Parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki,
yang dapat berkembang ke ekstremitas atas,batang tubuh, dan otot wajah. Klien
mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu.
4. B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume
pengeluaran urine,hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah
jantung ke ginjal.
5. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis menurun karena anoreksia dan kelemahan
otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via
oral menjadi berkurang.
6. B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien
secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari – hari klien lebih banyak dibantu
oleh orang lain.
VI. Pemeriksaan diagnostic
Diagnosis GBS sangat bergantung pada riwayat penyakit dan perkembangan gejala-
gejala klinik dan tidak ada satu pemeriksaan pun yang dapat memastikan GBS ;
pemeriksaan tersebut hanya menyingkirkan dugaan gangguan.
Lumbal fungsi dapat menunjukan kadar protein normal pada awalnya dengan
kenaikan pada minggu ke-4 sampai ke-6. Cairan spinal memperlihatkan adanya
peningkatan konsentrasi protein dengan menghitung jumlah sel normal.
Pemeriksaan konduksi saraf mencatat transmisi inpuls sepanjang serabut
saraf.Pengujian elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk lambatnya laju konduksi
saraf.
Sekitar 25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibody terhadap
sistomegalovirus atau virus Epstein-Barr. Telah ditunjukan bahwa suatu perubahan
respon imun pada antigen saraf perifer dapat menunjang perkembangan gangguan.
VII. Pengkajian penatalaksanaan medis
Tujuan utama dapat merawat klien dengan GBS adalah untuk memberikan
pemeliharaan fungsi sistem tubuh,dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang
mengancam jiwa,mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas,serta memberikan
dukungan psikologis untuk klien dan keluarga.
Sindrom Guillain-Barre di[pertimbangkan sebagai kedaruratan medis dank lien
diatasi diunit perawatan intensif. Klien mengalami masalah pernafasan yang
memerlukan ventilator, kadang untuk periode yang lama. Plasmaferesis (perubahan
plasma) yang menyebabkan reduksi antibiotic kedalam sirkulasi sementara, dapat
digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada
klien dan demielinasi. Di[perlukan pemantauan EKG kontinu, untuk kemungkinan
adanya perubahan kecepatan atau ritme jantung. Disritmia jantung dihubungkan
dengan keadaan abnormal autonom yangb diobati dengan propanolol untuk mencegah
takikardi dan hipertensi. Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode bradikardia
selama penghisapan endotrakeal dan terapi fisik.
VIII. Diagnosis Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif yang berhubungan dengan melemahnya otot-otot
pernafasan
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan akumulasi
secret, kemampuan batuk menurun akibat penurunan kesadaran
3. Risiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan perubahan
prekuensi jantung ritme dan irama bradikardia
4. Risiko perubahan kebutuhan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan ketidak mampuan menelan, keadaan hipermetabolik.
5. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungandengan kerusakan neoromuskular,
penurunan kekuatan otot, penurunan kesadaran,kerusakan persepsi/kognitif.
6. Gangguan persepsi sensori yang berhubungan dengan kerusakan penerima
rangsang sensori,transmisi sensori,dan integrasi sensori.
7. Ansietas yang berhubunga dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang
jelek.
IX. Perencanaan
1. Diagnosa keperawatan : pola napas tidak efektif berhubungan dengan
kelemahan progreif cepat otot otot pernapasan, dan ancaman gagal napas.
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan tindakan
pola nafas kembali efektif.
Kriteria : secara subjektif sesak napas (0), frekuensi napas
16=20 kali/menit. Tidak menggunakan otot batu napas, gerakan dada normal.
Intervensi :
a. Kaji fungsi paru adanya fungsi napas tambahan, perubahan irama dan
kedalaman, penggunaan otot otot aksesori.
(menjadi bahan parameter monitoring serangan gagal napas dan menjadi
data dasar intervensi selanjutnya)
b. Evaluasi keluhan sesak napas, baik secara verbal dan nonverbal
(tanda dan gejala meliputi adanya kesulitan bernapas saat bicara,pernapasan
dangkal dan ireguler,penggunaan otot-otot aksesoris,takikardia dan
perubahan pola napas.)
c. Beri ventilasi mekanik
(ventilasi mekanik digunakan jika pengkajian sesuai kapasitas vital,klien
memperlihatkan perkembangan kearah kemunduran,yang mengindikasikan
kearah memburuknya kekuatan otot-otot pernapasan.)
d. Lakukan pemeriksaan kapasitas vital pernapasan
(kapasitas vital pasien di pantau lebih sering dan dengan interval yang teratur
dalam penambahan kecepatan pernapasan dan kualitas
pernapasan,sehingga pernapasan yang tidak efektif dapat
diantisipasi.penurunan kapasitas vital karena kelemahan otot-otot yang
digunakan saat menelan,sehingga hal ini menyebabkan kesulitan saat batuk
dan adanya indikasi memburuknya fungsi pernapasan.)
e. Kolaborasi : pemberian humidifikasi oksigen 3 liter/menit
(membantu pemenuhan oksigen yang sangat diperlukan tubuh dengan
kondisi laju metabolism sedang meningkat.)
2. Diagnose Keperawatan : Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang
berhubungan dengan akumulasi secret, kemampuan batuk menurun akibat
penurunan kesadaran
Intervensi :
a. Catat adanya kelelahan pernapasan selama berbicar (kalau pasien masih
dapat berbicara).
(merupakan indicator yang baik terhadap gangguan fungsi fungsi
pernapasan/menurunnya kapasitas paru
b. Tinggikan kepala tempat tidur atau letakkan pasien pada posisi duduk
bersandar
(meningkatkan ekspansi paru dan usaha batuk, menurunkan kerja
pernapasan dan membatasi terjadinya risiko aspirasi secret)
c. Evaluasi reflex batuk, atau reflex menelan secara periodic. Lakukan
penghisapan secret, catat warna dan jumlah dari secret (sputum).
(kehilangan kekuatan dan fungsi otot mungkin mengakibatkan
ketidakmampuan pasien untuk mempertahankan dan/atau membersihkan
jalan napas)
d. Pantau kapasitas vital, volume tidal, dan kekuatan pernapasan sesuai
kebutuhan.
(mendeteksi perburukan dari paralisis otot dan penurunan upaya
pernapasan)
3. Diagosa keperawatan : Resiko tinggi penurunan curah jantung
berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama, dan konduksi elektrikal.
Tujuan : penurunan curah jantung tidak terjadi.
Kriteria : stabilitas hemodinamik baik (tekanan darah dalam
batas normal, curah jantung kembali meningakat, input dan output sesuai, tidak
menunujukkan tanda tanda disritmia.
Intervensi :
a. Auskultasi TD. Bandingkan kedua lengan, ukur dalam keadaan berbaring,
duduk, atau berdiri bila memungkinkan.
(hipotensi dapat terjadi s/d disfungsi fentrikel,hipertensi juga fenomena umum
s/d nyeri cemas pengeluaran katekolamin)
b. Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi
(penurunan curah jantung mengakibatkan menurunnya kekuatan nadi)
c. Catat murmur
(menunjukkan gangguan aliran darah dalam jantung(kelainan
katup,kerusakan septum, atau vibrasi otot papilar )
d. Pantau frekuensi jantung dan irama
(perubahan frekuensi dan irama jantung menunjukkan komplikasi disritmia)
e. Kolaborasi : berikan O2 tambahan seseuai indikasi
(oksigen yang dihirup akan langsung meningkatkan saturasi oksigen darah)
4. Diagnosa keperawatan : Resiko perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan asupan yang tidak adekuat
Tujuan : pemenuhan nutrisi klien terpenuhi
Kriteria : setelah dirawat selama 3 hari klien tidak terjadi
komplikasi akibat penrunan asupan nutrisi
Intervensi :
a. Kaji kemampuan klien dalam pemenuhan nutrisi oral
(perhatian yang diberikan untuk nutrisi yang adekuat dan pencegahan
kelemahan otot karena kurang makan)
b. Monitor komplikasi akibat paralisis akibat insufisiensi aktivitas parasimpatis
(ileus paralisis dapat disebabkan oleh insufisiensi aktifitas parasimpatis.dalam
kejadian ini , makanan melaui intravena dipertimbangkan diberikan oleh
dokter dan perawat memantau bising usus sampai terdengar)
c. Berikan nutrisi via selang ansogatrik
(jika klien tidak mampu menelan,makanan diberikan melalui selang lambung)
d. Berikan nutrisi via oral bila paralisis menelan berkurang
(bila klien dapat menelan,makanan melalui oral diberikan perlahan-lahan dan
sangat hati-hati)
5. Diagnosa keperawatan : hamabatan mobilitas fisik berhubungan dengan
kerusakan neuromuskular, penurunan kekuatan otot, dan penurunan kesadaran.
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan tindakan
mobilitas klien meningkat atau teradaptasi
Kriteria : peningkatan kemampuan dan tidak terjadi
trombosis vena profunda dan emboli paru merupakan ancaman klien paralisis,
yang tidak mampu menggerakkan ekstremitas. Dekubitus tidak terjadi
Intervensi :
a. Kaji tingkat kemampuan klien dalam melakukan mobilitas fisik
(merupakan data dasar untuk melakukan intervensi selanjutnya)
b. Dekatkan alat dan sarana yang dibutuhkan klien dalam pemenuhan aktivitas
sehari hari
(bila pemulihan mulai untuk dilakukan klien dapat mengalami hipotensi
ortostatik(dari disfungsi autonom) dan kemungkinan membutuhkan meja
tempat tidur untuk menolong mereka mengambil posisi duduk tegak)
c. Hindari faktor yang memungkinkan terjadinya trauma pada saat klien
melakukan mobilisasi
(Individu paralisis mempunyai kemungkinan mengalami kompresi neuropati,
paling sering saraf ulnar dan perineal. Bantalan dapat ditempatkan di siku
dan kepala fibula untuk mencegah terjadinya masalah ini.)
d. Sokong ekstremitas yang mengalami paralisis
(Ekstremitas paralisis disokong dengan posisi fungsional dan memberikan
latihan rentang gerak secara pasif paling sedikit dua kali sehari)
e. Monitor komplikasi hambatan mobilitas fisik
(Deteksi dini trombosis vena profunda dan dekubitus sehingga dengan
penemuan yang cepat, penanganan lebih mudah dilaksanakan)
f. Kolaborasi dengan tim fisioterapis
(Kolaborasi dengan ahli terapi fisik untuk mencegah deformitas kontraktur
dengan mengguanakan pengubahan posisi yang hati hati dan latihan rentang
gerak.)
6. Diagnosa keperawatan : Ansietas berhubungan dengan ancaman, kondisi
sakit, dan perubahan kesehatan
Tujuan : ansietas hilang atau berkurang.
Kriteria : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi
penyebab atau faktor yang memengaruhinya dan menyatakan ansietas
berkurang/hilang
Intervensi :
a. Bantu klien mengekspresikan perasaan marah, kehilangan, dan takut
(Ansietas berkelanjutan memberikan dampak serangan jantung selanjutnya)
b. Kaji tanda verbal dan nonverbal ansietas, dampingi klien dan lakukan
tindakan bila menunjukkan perilaku merusak
(Reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah dan
gelisah)
c. Hindari konfrontasi
(Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama dan
mungkin memperlambat penyembuhan.)
d. Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan. Beri lingkungan
yang tenang dan suasana penuh istirahat
(Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu)
e. Tingkatkan kontrol sensasi klien
(Kontrol sensasi klien dengan cara memberikan informasi tentang keadaaan
klien, menekankan pada penghargaan terhadap sumber sumber koping
(pertahanan diri) yang positif, membantu latihan relaksasi, dan teknik teknik
pengalihan dan memberikan respons baik yang positif)
f. Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan
(Orientasi dapat menurunkan ansietas)
g. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan ansietasnya
(Dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak
diekspresikan.)
h. Berikan privasi untuk klien dan orang tedekat
(Memberi waktu untuk mengekspresikan perasaan, menghilangkan cemas
dan perilaku adaptasi. Adanya keluarga dan teman teman yang dipilih klien
melayani aktivitas dan pengalihan akan menurunkan perasaan terisolasi)
7. Koping individu dan keluarga tidak efektif berhubungan dengan prognosis
penyakit yang tidak jelas, perubahan peran keluarga, dan status sosioekonomi
yang tidak jelas.
Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan tindakan
koping individu kembali efektif
Kriteria : ekspresi wajah klien rileks dan menerima
penjelasan yang diberikan. Klien koopertif dengan program pengobatan dan
perawatan.
Intervensi :
a. Kaji mekanisme koping yang klien gunakan
(Intervensi awal bisa mecegah distress psikologis pada klien)
b. Lakukan pendekatan terapeutik dalam mengkaji koping yang klien gunakan
(Pendekatan yang baik dapat membantu menggali lebih jauh kemampuan
klien dalam mencari mekanisme koping yang akan digunakan)
c. Anjurkan pemilihan koping yang positif
(Mekanisme koping yang positif dapat membantu klien lebih percaya diri,
lebih kooperatif terhadap tinadakan yang akan dilakukan dan mencegah
terjadinya kecemasan tambahan)
d. Berikan dukungan moral
(Menambah rasa percaya diri klien akan koping yang akan digunakan.)
e. Diskusikan secara rasional pentingnya tindakan pengobatan dan perawatan
yang akan diberikan
(Teknik pengalihan yang secara rasional membantu klien memilih sendiri
koping positif yang akan digunakan)
f. Evaluasi mekanisme koping yang dipakai setelah dilakukan tindakan
(Pemantauan sederhana terhadap kemampuan klien dalam memilih
mekanisme koping yang telah digunakan.)
Tujuan utama pada Asuhan keperawatan klien mencakup mempertahankan fungsi
pernafasan, mecapai mobilitas,terpenuhinya kebutuhan nutrisi normal,mampu
berkomunikasi,menurunnya ketakutan dan ansietas,serta tidak ada komplikasi.
Pendidikan klien dan Pertimbangan perawatan di Rumah
Banyak klien sindrom guillin-Berr mengalami pemulihan yang sempurna dalam
beberapa minggu atau bulan. Klien yang pernah mengalami paralisis total atau lama
mungkin membutuhkan beberapa tiperehabilitasi yang dilakukan terus setelah
keluar dari rumah sakit. Program yang luas akan bergantung pada pengkajian yang
dibutuhkan dibuat oleh anggota tim kesehatan. Alternatif program yang
komprehensif bagi klien jika dikurangi adalah penting dan dukungan social dibatasi
untuk program dirumah terhadap terapi fisik dan okupasi. Fase pemulihan mungkin
lama dan akan membutuhkan kesabaran serta keterlibatan pihak klien dan keluarga
untuk mengembalikan kemampuan sebelumnya. Onset akut dan perkembangan
yang dramatic dari gejala-gejala yang ada tidak dapat dilakukan penyelesaiannya
denga tiba-tiba dalam mengubah fungsi-fungsi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sindrom Guillain-Barre merupakan sindrom klinis yang di tunjukkan oleh onset
akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan cranial. Etiologinya tidak
diketahui, tetapi respon alergi atau respon autoimun sangat mungkin sekali