26
RINOSINUSITIS KRONIK BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rinosinusitis kronis (RSK) adalahpenyakit radansinusdenan pre!alensi yan dilaporkan "# di Kanada ($hen % dkk& ' & *oe SA dkk& ' +& ,a-donald KI dkk& ' Pre!alensi terse/ut 0eninkat sesuai usia dan le/ih serin ter1adi pada 2anita& as0a& indi!idu denan penyakit paru o/strukti3 kronik& dan indi!idu denan ri2ay % dkk& ' ). Penyakit ini 0e0iliki e3ek yan /esar terhadap kualitas hidup pasi se/uah penelitian 0elaporkan /ah2a status kesehatan adalah serupa antara pasien dan oran4oran denan kanker& as0a atau artritis (,a-donald KI dkk& ' +). Pene 0elaporkan /ah2a 3unsi sosial le/ih /uruk dan nyeri tu/uh yan le/ih parah pada di/andinkan denan 0ereka yan anina& nyeri punun& penyakit paru o/strukti3 aal 1antun konesti3 (5likli-h RE dan,etson R& 677"). 8idak 0enherankan& RSK 0enha/iskan su0/er dana peno/atan kesehatan yan /esar. Pada tahun ' kun1unan tuas di/uat untuk RSK di A0erika Serikat (National A0/ulatory ,edi-al Sur!ey& ' +). Data se/uah penelitian pada tahun ' 9 dari ,edi-al E:penditure Pa 0e0perkirakan /iaya peno/atan kesehatan untuk RSK di A0erika Serikat yaitu ; +& per tahun (Bhatta-haryya N& ' 66). ,eskipun RSK adalah penyakit yan /er/eda denan rinosinusitis /akteri akut data reko0endasi dari Kanada 0enunkapkan /ah2a ke/iasaan pe0/erian res anti/iotik se/andin antara kedua 1enis penyakit ini ($anadian Disease and 8her =' 4 =' >). 8er/itan ter/aru Pedo0an Kanada& (Desrosiers , dkk& ' 66 dan De , (Suppl ')& ' 66) untuk 0endianosa dan 0eno/ati RSK 0e0/antu 0en1elaskan tent perke0/anan pe0aha0an dan stratei peno/atan RSK. Karena si3at kronis dari R denan penyakit ini harus se-ara akti3 dikelola dan 0endapat tindak lan1ut se-ar Kaplan& ' 6 ). Rinosinusitis kronis (RSK) adalah suatu kondisi u0u0 denan i0plikas sini3ikan yan dise/a/kan oleh karena hilannya 1a0 ker1a. Deno0inator pato3isi untuk ha0pir se0ua /entuk RSK adalah peradanan& yan 3ar0akoterapinya

RINOSINUSITIS KRONsdsdIK

Embed Size (px)

DESCRIPTION

asa

Citation preview

RINOSINUSITIS KRONIK BAB IPENDAHULUAN

Latar BelakangRinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit radang sinus dengan prevalensi yang dilaporkan 5% di Kanada (Chen Y dkk, 2003, Joe SA dkk, 2008, Macdonald KI dkk, 2008). Prevalensi tersebut meningkat sesuai usia dan lebih sering terjadi pada wanita, individu dengan asma, individu dengan penyakit paru obstruktif kronik, dan individu dengan riwayat alergi (Chen Y dkk, 2003). Penyakit ini memiliki efek yang besar terhadap kualitas hidup pasien, dimana sebuah penelitian melaporkan bahwa status kesehatan adalah serupa antara pasien dengan RSK dan orang-orang dengan kanker, asma atau artritis (Macdonald KI dkk, 2008). Penelitian lain melaporkan bahwa fungsi sosial lebih buruk dan nyeri tubuh yang lebih parah pada pasien RSK dibandingkan dengan mereka yang angina, nyeri punggung, penyakit paru obstruktif kronik atau gagal jantung kongestif (Gliklich RE dan Metson R, 1995). Tidak mengherankan, RSK menghabiskan sumber dana pengobatan kesehatan yang besar. Pada tahun 2008, 12,5 juta kunjungan tugas dibuat untuk RSK di Amerika Serikat (National Ambulatory Medical Care Survey, 2008). Data sebuah penelitian pada tahun 2007 dari Medical Expenditure Panel Survey memperkirakan biaya pengobatan kesehatan untuk RSK di Amerika Serikat yaitu $ 8,6 milyar per tahun (Bhattacharyya N, 2011).Meskipun RSK adalah penyakit yang berbeda dengan rinosinusitis bakteri akut (ABRS), data rekomendasi dari Kanada mengungkapkan bahwa kebiasaan pemberian resep dengan antibiotik sebanding antara kedua jenis penyakit ini (Canadian Disease and Therapeutic Index, 03/2003-03/2004). Terbitan terbaru Pedoman Kanada, (Desrosiers M dkk, 2011 dan Desrosiers M (Suppl 2), 2011) untuk mendiagnosa dan mengobati RSK membantu menjelaskan tentang perkembangan pemahaman dan strategi pengobatan RSK. Karena sifat kronis dari RSK, pasien dengan penyakit ini harus secara aktif dikelola dan mendapat tindak lanjut secara teratur (Alan Kaplan, 2013).Rinosinusitis kronis (RSK) adalah suatu kondisi umum dengan implikasi sosial yang signifikan yang disebabkan oleh karena hilangnya jam kerja. Denominator patofisiologis umum untuk hampir semua bentuk RSK adalah peradangan, yang farmakoterapinya luas tersedia. Sayangnya, tidak semua pasien sembuh atau mencapai kontrol dari gejalanya bahkan dengan manajemen medis yang maksimal. Dalam kasus tersebut, bedah sinus endoskopi fungsional (Functional Endoscopic Sinus Surgery/ FESS) diperlukan. Modalitas manajemen, meskipun bervariasi, dapat bermanfaat pada pasien yang patuh. Namun, adanya variabilitas yang signifikan dan kurangnya standarisasi pedoman sehubungan dengan modalitas tersebut. Artikel ini mencoba untuk memberi pembaca sebuah gambaran tentang metodologi pemeriksaan dan pengobatan masalah THT yang ada di mana-mana ini (N.V Deepthi dkk, 2012).Rinosinusitis kronis (RSK) adalah salah satu dari penyakit otorinolaringologik yang paling sering ditemui dalam praktek sehari-hari. Dengan demikian penyakit ini adalah kondisi medis yang cukup umum, tetapi merupakan salah satu penyakit dimana diagnosis dan prognosisnya tergantung pada gejala, tanda-tanda, penilaian klinis dan evaluasi radiologis. Hal ini sering tidak sangat mudah; banyak peneliti telah berusaha untuk mengkarakterisasi kondisi ini berdasarkan pada berbagai faktor. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut: Skor gejala, skor Computed Tomography, temuan endoskopi, temuan bedah, hasil kultur dan hasil Histopatologi (N.V Deepthi dkk, 2012).RSK adalah sekelompok gangguan yang ditandai dengan peradangan pada mukosa hidung dan sinus paranasal dengan durasi minimal 12 minggu berturut-turut. Selain itu, osteitis pada tulang didasarnya dapat pula terjadi. Beberapa faktor, baik intrinsik dan ekstrinsik berkontribusi pada perkembangan RSK (N.V Deepthi dkk, 2012).Pendekatan manajemen untuk pasien yang menunjukkan RSK yaitu dengan membentuk tahapan yang logis dengan tujuan memaksimalkan manajemen medis dan meringankan gejalanya. Pada keadaan kegagalan manajemen medis, bedah sinus endoskopi fungsional merupakan modalitas bedah yang diterima secara luas saat ini (N.V Deepthi dkk, 2012).

BAB IIPEMBAHASAN

2.1.InsidenRinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit umum yang mempengaruhi lebih dari 30 juta orang secara global setiap tahun dengan lebih dari 200.000 orang setiap tahunnya membutuhkan intervensi atau perantara bedah (Murugappan Ramanathan dkk, 2007). Hal ini dilaporkan lebih sering dibandingkan artritis atau hipertensi, yang mempengaruhi antara 5% dan 15% dari populasi yang diteliti (Hopkins et al, 2009) menurut literatur negara Barat. Penyakit ini adalah masalah umum yang memerlukan biaya tinggi dalam hal perawatan kesehatan secara langsung seperti halnya pada hilangnya produktivitas.

2.2.DefinisiRinosinusitis adalah sekelompok gangguan yang ditandai dengan peradangan pada mukosa hidung dan sinus paranasal. Rinosinusitis kronis adalah sekelompok gangguan yang ditandai dengan peradangan pada mukosa hidung dan sinus paranasal dengan durasi minimal 12 minggu berturut-turut (Benninger et al, 2003).

2.3.Faktor Etiologi (Benninger et al, 2003)a. Faktor Host :Faktor host sistemikAlergi, Imunodefisiensi, Genetik/ kongenital, Disfungsi mukosiliar, dll.Faktor host lokalKelainan anatomis, neoplasma dan disfungsi mukosiliar yang didapat.b. Lingkungan :Mikroorganisme, bahan kimia berbahaya, polutan, merokok, obat-obatan, dll.

c. Faktor lain yang berhubungan :Asma, alergi, penyakit gigi, poliposis, fibrosis kistik, dan sindrom imunodefisiensi.

2.4.PatofisiologiRinosinusitis kronik adalah sebuah penyakit inflamasi yang kompleks yang belum jelas dimengerti. Dikemukakan bahwa kontribusi bakteri dalam menyebabkan penyakit menetap melalui infeksi kronik, strain resisten antibiotik atau adanya biofilm bakteri. Namun, peran dan kontribusi dari inflamasi berat, bakteri, jamur, mekanisme imunopatologi, remodeling saluran napas, faktor kerentanan dan kontribusi lingkungan tetap tidak jelas. Karena subtipe RSK timbul dengan mekanisme patogenik yang berbeda, telah dibuktikan bahwa RSK menunjukkan sindrom gejala yang spesifik dari penyakit yang nyata (Schleimer RP dkk, 2009).Meskipun terdapat ketidakpastian dalam hal patofisiologi, diketahui bahwa gambaran bakteri pada RSK berbeda dari ABRS, dengan Staphylococcus aureus, Enterobacteriaceae spp, dan Pseudomonas spp (terutama Pseudomonas aeruginosa) mendominasi daripada Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus infuenzae, yang merupakan patogen penting dalam ABRS. Namun, peran bakteri pada RSK tidak pasti mengingat bahwa hanya sekitar setengah dari pasien yang menjalani operasi RSK memiliki hasil kultur bakteri positif (Desrosiers M dkk, 2007).Patologi penting pada RSK terdiri dari inadekuat atau terhambatnya drainase sinus paranasal (SPN) yang menyebabkan stasis dan/ atau infeksi sekunder. Tempat yang terhambat selalu daerah yang digambarkan sebagai ostiomeatal kompleks (OMK). Sistem anatomi-fisiologis normal dari SPN yang berisi udara, mengalirkan cairan sekret dan mukusnya melalui ostia kecil ke daerah yang relatif kecil pada dinding lateral hidung (Gambar 1), dapat cenderung diserang dan juga secara mudah, oleh sejumlah faktor host. Sebagian besar telah disebutkan dalam daftar sebelumnya. Satu atau banyak dari mereka dapat berkontribusi untuk mengganggu baik anatomi atau fisiologi dari sistem SPN.

Gambar 1. Gambaran bagan dari kompleks ostiomeatal dan klirens mukosiliar yang normal

2.5.Temuan terbaruLiteratur Rinologis telah menjelaskan keterlibatan komponen inflamasi yang signifikan yang sebagian besar telah dikaitkan dengan sitokin dan sel-sel inflamasi yang dimediasi oleh sistem imun yang adaptif. Makalah terbaru ini telah melibatkan antigen super staphylococcal, biofilm bakteri dan kolonisasi jamur sebagai elemen kunci dari RSK (Cryer J dkk, 2004).

2.6.Gambaran klinis, standarisasiPada bulan Agustus 1996, American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAOHNS) mengadakan konvensi multi disiplin Rhinosinusitis Task Force (RSTF) untuk menghadapi masalah-masalah yang sulit yang berkaitan dengan mendefinisikan, pembagian dan penelitian tentang rinosinusitis (Cryer J, 2004). Artikel yang dihasilkan "Adult Rhinosinusitis Defined," muncul pada tahun 1997 dan disahkan oleh AAOHNS, American Academy of Allergy Otolaryngologic (AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS) (Alexandria, Virginia, August 17, 1996. Otolaryngol Head Neck Surg 1997).Artikel "Adult Rhinosinusitis Defined" menggolongkan rinosinusitis menjadi 5 kategori klinis terpisah : RSK akut, sub akut, kronis, akut berulang dan eksaserbasi akut. Rinosinusitis akut adalah suatu kondisi klinis yang berlangsung kurang dari 4 minggu; rinosinusitis subakut, lebih dari 4 minggu, tetapi kurang dari 12 minggu. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, RSTF selanjutnya mendefinisikan rinosinusitis kronis dengan yang berlangsung lebih dari 12 minggu (Lanza DC dan Kennedy DW, 1997).Gejala serta tanda mayor dan minor yang dijelaskan RSTF dijelaskan pada Tabel 1.

Tabel 1. Faktor yang berkaitan dengan diagnosis rinosinusitis (memerlukan dua faktor mayor atau satu faktor mayor dan dua faktor minor)Faktor MayorFaktor Minor

Nyeri atau tekanan pada wajah (hal ini saja tidak mendasari riwayat sugestif untuk rinosinusitis pada ketiadaan gejala atau tanda hidung mayor lainnya)Nyeri Kepala

Obstruksi atau sumbatan pada hidungDemam (Semua yang non akut)

Kotoran atau purulensi hidungHalitosis

Saluran postnasal yang berubah warnaLelah

Hiposmia atau anosmiaNyeri gigi

Purulensi pada rongga hidung saat pemeriksaanBatuk

Demam (pada sinusitis akut saja tidak mendasari riwayat sugestif secara kuat untuk rinosinusitis pada ketiadaan gejala atau tanda hidung mayor lainnya)Nyeri, tekanan dan rasa penuh telinga

2.7.DiagnosisPedoman mengusulkan perangkat mnemonic, CPODS (Congestion or fullness; facial Pain, pressure, or fullness; nasal Obstruction or blockage; purulent anterior or posterior nasal Drainage; and Smell disorder) atau Sumbatan atau rasa penuh, Nyeri wajah, tekanan atau rasa penuh; Obstruksi atau penyumbatan hidung; Drainase hidung anterior atau posterior yang purulen dan gangguan Pembauan, untuk membantu mengingat gejala penting dari RSK (Gambar 2) (Desrosiers M dkk, 2011 dan Desrosiers M (Suppl 2), 2011). Diagnosis RSK membutuhkan adanya minimal 2 gejala penting selama minimal 8 minggu, ditambah dokumentasi secara objektif adanya inflamasi sinus dengan endoskopi atau Computed Tomography (CT), (Bousquet J dkk, 2001; Fokkens W dkk, 2005; Lanza DCdan Kennedy DW, 1997; Meltzer EO dkk, 2004; Meltzer EO dkk, 2006; Rosenfeld RM dkk, 2007; Small P dkk, 2007) Baik gejala atau temuan obyektif saja cukup untuk membuat diagnosis karena gejalanya mirip dengan infeksi saluran pernapasan atas dan nyeri kepala migrain dan hasil pencitraan positif dapat ditemukan pada orang yang sehat. Dengan demikian, diagnosis memerlukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh dan riwayat medis (Alan Kaplan, 2013).Untuk pemeriksaan fisik, sebuah otoskop atau lampu kepala dan spekulum hidung, dapat memberikan penyinaran yang cukup untuk memeriksa septum hidung, daerah meatus tengah dan konka inferior. Suatu evaluasi yang sistematis pada daerah-daerah tersebut harus dilakukan (Kotak 1). Endoskopi sinonasal harus dilakukan oleh seorang otolaringologis untuk memastikan dugaan RSK. Penilaian ini memberikan pemeriksaan inspeksi yang lebih menyeluruh dari rongga hidung dan sinus dan memungkinkan deteksi polip stadium awal (Alan Kaplan, 2013).

Kotak 1. Pemeriksaan fisik : dekongestan topikal (misalnya oxymetazoline atau xylometazoline) dapat membantu dalam penggambaranEvaluasi secara sistemik pada septum hidung, daerah meatus tengah dan konka inferiorMengidentifikasi : Ulserasi, ulserasi yang berdarah, lapisan kulit yang mengering dan perforasi pada septum hidung Obstruksi anatomik Defleksi septal yang substansial Gambaran yang tidak biasa dari mukosa hidung Warna dan kondisi yang tidak biasa dari mukosa hidung (yang secara sehat adalah oranye kemerah-merahan dan lembab) Kekeringan atau hipersekresi dari mukosa hidung Hipertrofi konka Adanya massa atau sekresi hidung

Tanda penting yang menunjukkan rujukan Lapisan kulit kering yang menetap (pertimbangan dari kondisi lain seperti Wegener granulomatosis) Permukaan yang ireguler Daerah hemoragik yang difus Malformasi vaskular ektasias Perdarahan akibat trauma minor

Rinosinusitis kronis dapat disubkategorikan menjadi RSK dengan polip hidung (CRSwNP) atau RSK tanpa polip hidung (CRSsNP) (Meltzer EO dkk, 2006) (Gambar 2) (Desrosiers M dkk, 2011 dan Desrosiers M (Suppl 2), 2011).

Gambar 2. Algoritma untuk penanganan dan pengobatan RSK

Meskipun kedua subtipe berbagi gejala yang serupa, telah dicatat bahwa hiposmia lebih sering pada CRSwNP, sedangkan nyeri wajah, tekanan atau rasa penuh lebih sering dikaitkan dengan CRSsNP (Alan Kaplan, 2013).Peran pencitraan dan uji lainnya: Dalam kasus CRSsNP, endoskopi dapat digunakan untuk mendokumentasikan tanda-tanda inflamasi (misalnya, edema pada meatus tengah, edema pada daerah etmoid atau perubahan warna mukus) dan purulen pada kompleks ostiomeatal diperlukan untuk diagnosis. Sebagai alternatif, CT scan dapat digunakan untuk memberikan bukti inflamasi. Ketika CT scan dilakukan, gambaran coronal lebih disukai (Alan Kaplan, 2013).Dalam kasus CRSwNP, dokumentasi obyektif meliputi adanya polip yang dipastikan dengan endoskopi dan adanya penyakit mukosa bilateral yang dipastikan dengan CT (Alan Kaplan, 2013).Perlu diingat bahwa pencitraan yang mengkonfirmasi rujukan untuk inflamasi pada RSK ditemukan pada sampai dengan 42% dari individu yang asimtomatik (Bolger WE dkk, 1991; Flinn J dkk, 1994). Untuk alasan ini, temuan obyektif saja tidak cukup untuk membuat diagnosis RSK. Temuan harus didukung dengan gejala klinis (Alan Kaplan, 2013).Pencitraan juga diindikasikan untuk RSK yang tidak merespon manajemen medis maksimal. Dalam kasus tersebut, CT Scan coronal nonkontras dari sinus diperlukan. Selain itu, CT scan yang rinci mungkin diperlukan oleh seorang otolaringologis yang merencanakan intervensi bedah (Alan Kaplan, 2013).Kultur bakteri dari pasien dengan RSK tidak diperlukan kecuali dalam situasi komplikasi serius (misalnya, ekstensi intrakranial, infeksi orbital) atau untuk pasien dengan sinusitis nosokomial. Dalam kasus ini, rujukan ke otolaringologis direkomendasikan untuk kultur endoskopi pada meatus tengah. Hasilnya kemudian dapat digunakan untuk membantu pengobatan langsung. Sinusitis jamur invasif, sementara jarang pada populasi yang sehat, bisa mengancam jiwa dan harus dipertimbangkan pada mereka yang immunocompromise; hal ini membutuhkan rujukan mendesak untuk penilaian dan pengobatan (Alan Kaplan, 2013).Diagnosa Alternatif: Untuk pasien dengan RSK yang tidak memberi respon terhadap terapi medis, kondisi lain harus dipertimbangkan, termasuk rinosinusitis jamur alergik, rinosinusitis jamur invasif, rinitis alergika, rinitis nonalergika, rinitis vasomotor, deformasi septum hidung, nyeri wajah atipikal, migrain atau nyeri kepala, disfungsi sendi temporomandibular dan neuralgia trigeminal (Rosenfeld RM dkk, 2007).

2.8.Langkah Untuk Mendiagnosis RSK Untuk Perawatan Klinis Dewasaa. Riwayat :Durasi penyakit dibatasi dengan gejala yang terus menerus selama > 12 minggu berturut-turut atau > 12 minggu pada temuan fisik.b. Pemeriksaan klinis :Salah satu dari tanda inflamasi berikut harus ada dan teridentifikasi dalam hubungannya dengan gejala yang berlangsung terus menerus secara konsisten pada RSK. a. Drainese hidung yang berubah warna yang timbul pada bagian hidung, polip nasal atau pembengkakan polipoid seperti yang diidentifikasi pada pemeriksaan fisik, baik dengan rinoskopi anterior pada hidung yang tersumbat atau dengan endoskopi hidung. (Gambar 3)

Gambar 3. Tampilan endoskopik hidung pada polip meatus tengah kanan.b. Edema atau eritema pada meatus tengah atau bula etmoid yang diidentifikasi dengan endoskopi hidung.c. Eritema generalisata atau lokal, edema, atau jaringan granulasi. Jika tidak melibatkan meatus tengah atau bula etmoid, pencitraan radiologis diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis (kondisi rinologis kronis lain seperti rinitis alergik dapat memiliki temuan tersebut dan karena itu hal tersebut tidak dapat dikaitkan dengan rinosinusitis. Disarankan bahwa diagnosis rinosinusitis membutuhkan konfirmasi radiologis dalam situasi seperti ini) (A.K. Devaiah, 2004).c. Pemeriksaan :Modalitas pencitraan untuk mengkonfirmasikan diagnosis : i. Radiografi sinus secara polosgambaran Caldwells dan Waters mengungkapkan :a) Penebalan selaput lendir > 5 mmb) Opasifikasi lengkap satu atau lebih sinus

Gambar 4. Gambaran Coronal dari Computed tomography sinus paranasal menunjukkan opasifikasi dan penebalan mukosa difus dari sinus maksilaris dan etmoid, kanan > kiri.c) Air-fluid level - lebih prediktif pada rinosinusitis akut, tetapi juga dapat dilihat pada rinosinusitis kronis(X-ray sinus polos tanpa tanda-tanda yang meragukan yang tercantum dalam a, b, atau c tidak dianggap diagnostik. Selain air-fluid level, radiografi sinus polos memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang rendah) ii. Computed Tomography (CT) scan menunjukkan penebalan mukosa yang terisolasi atau difus, perubahan tulang dan air-fluid level (Gambar 4). Ini adalah pemeriksaan gold standard untuk RSK. iii. Magnetic Resonance Imaging (MRI) tidak dianjurkan sebagai alternatif untuk CT untuk diagnosis rutin RSK karena sensitifitas yang berlebihan dan kurangnya spesifisitas (Benninger et al, 2003).

d. Pemeriksaan Lain :Sejumlah tes lain yang mungkin penting untuk penyelidikan dan protokol individu meliputi berikut ini : Tes alergi : Ada bukti yang baik bahwa kejadian RSK meningkat pada pasien dengan alergi. Oleh karena itu tes alergi dengan Skin prick test atau IgE spesifik atau RAST dapat diukur pada sebagian besar pemeriksaan. Alat hasil yang sah untuk mengukur kualitas hidup dan persepsi pasien terhadap kecacatan. Rinomanometri dan rinometri akustik untuk mengukur secara obyektif patensi dan resistansi hidung. Tes pembersihan mukosiliar termasuk metode sakarin atau radioisotop Evaluasi penciuman dengan tes ambang dan supra ambang yang valid. Sitologi hidung. Evaluasi laboratorium yang tepat untuk mendeteksi hal yang mendasari penyakit sistemik terkait seperti pengukuran eosinofilia serum, kadar IgE, dan uji genetik.

e. Endoskopi Hidung :Endoskop yang paling umum digunakan adalah 4.0 mm, bidang kaku 30 derajat dan/ atau bidang 0 derajat. Pada orang dewasa dengan lubang hidung yang sempit atau pada anak-anak, sebuah endoskop kaku 2.7 mm, 30 derajat atau nasofaringoskop fleksibel mungkin lebih baik ditoleransi. Bidang 30 dan 45 derajat memberikan penglihatan seperti berhadapan langsung dan visualisasi miring.Sebuah endoskopi hidung yang terorganisir pada 3 jalur adalah metode yang secara umum disetujui.Jalur yang pertama adalah sepanjang dasar hidung. Meatus inferior, Orifisium tuba eustachius, Torus tubarius, lapisan adenoid dan seluruh nasofaring dapat divisualisasikan. Sekret yang berasal dari OMC biasanya akan mengalir ke bawah lubang tuba Eustachius, sedangkan yang berasal dari ethmoid posterior atau sinus sphenoid akan lewat di atas torus tubarius.Untuk jalur yang kedua, endoskopi dimasukkan kembali diantara konka tengah dan bawah dan dilanjutkan ke arah posterior. Bagian inferior dari konka tengah, meatus tengah, fontanel dan ostia aksesori diperiksa. Resesus Spenoetmoidalis, konka superior dan os spenoid yang normal juga dapat divisualisasikan.Tampilan jalur ketiga adalah dengan rotasi lateral endoskopi dibawah sisi posterior konka tengah untuk mendapatkan akses ke daerah-daerah yang lebih dalam dari meatus tengah, bula etmoidalis, hiatus semilunaris dan pintu masuk infundibular. Ketika bidang ditarik, pandangan utama selanjutnya dari prosesus uncinate dapat diperoleh.Setelah didiagnosis, cobalah untuk mendefinisikan keparahan RSK termasuk metode untuk menilai gejala pasien. Di sini sekali lagi, berbagai kelompok studi hadir dengan sistem evaluasi yang berbeda.Kriteria gejala Mayor dan Minor Rinosinusitis Task Force (Bradely DT dan Kountakis SE, 2005)20 hal tes hasil sinonasal (SNOT20) (Basu S dkk, 2005)Survei Sinusitis Kronik (CSS) (Bradely DT, Kountakis SE, 2005)Inventaris Gejala Rinosinusitis (RSI) (Basu S dkk, 2005)Kuesioner Skor Analog Visual (VAS) (Neil Bhattacharyya, 2006)

Gambar 5. Sebuah algoritma yang diperkirakan pada kasus RSK dapat berupa sebagai berikut

2.9.Peran dan relevansi dari pemeriksaan CT SPN Untuk mengkonfirmasi diagnosis rinosinusitis. Untuk menilai keparahan kasus yang susah diatasi dengan terapi medis sebelum operasi. Untuk memberikan gambaran anatomi yang teliti yang diperlukan untuk panduan bedah sinus endoskopi. Untuk menilai respon terhadap intervensi bedah (Gambar 4 a, b)Sistem pengelompokan Lund-Mackay, diajukan pada 1993, dipertimbangkan sebagai sistem pengelompokan yang paling banyak di terima untuk RSK (Tabel 2).Sistem sinusKananKiri

Maksilaris0, 1 dan 20, 1 dan 2

Etmoidalis anterior0, 1 dan 20, 1 dan 2

Etmoidalis posterior0, 1 dan 20, 1 dan 2

Spenoidalis0, 1 dan 20, 1 dan 2

Frontal0, 1 dan 20, 1 dan 2

Kompleks ostiomeatal0, dan 20, dan 2

Total poin untuk setiap sisi0-120-12

Skoring : untuk semua sistem sinus, kecuali kompleks ostiomeatal :0 tidak ada kelainan, 1 opasifikasi parsial, 2 opasifikasi totalUntuk kompleks ostiomeatal :0 tidak tersumbat, 2 tersumbat

2.10. Modalitas pengobatanLangkah pertama dalam mengelola pasien dengan RSK melibatkan identifikasi dan penanganan faktor yang berkontribusi (Kotak 2) (Schleimer RP dkk, 2009; Van Cauwenberge P dkk, 2006). Alergi umumnya berkaitan dengan RSK yang tidak memberi respon terhadap pengobatan (Emanuel IA dan Shah SB, 2000), dan uji alergi dapat mengidentifikasi pasien yang gejalanya dapat sebagian merespon terhadap pengobatan alergi. Demikian pula, pada kasus pengobatan RSK yang resisten, uji fungsi kekebalan tubuh dapat mengungkapkan disfungsi seperti defisiensi imunoglobulin G (Chee L dkk, 2001; Vanlerberghe L dkk, 2006).Kotak 2. Faktor yang mendukung perkembangan rinosinusitis kronik Asma Rinitis alergik Fibrosis kistik Disfungsi imun Disfungsi siliar Hilangnya ostia secara nyata Kerusakan bersihan mukosiliar Penyakit respirasi eksaserbasi akibat asam asetilsalisilik

Disesuaikan dari Schleimer et al dan Van cauwenberge et al.

Tujuan terapi adalah untuk mengurangi gejala dan komplikasi dengan meminimalkan peradangan dan mengendalikan komponen infeksius pada RSK. Terapi untuk RSK didasarkan pada kortikosteroid intranasal (INCSs) dengan atau tanpa antibiotik, tergantung pada ada atau tidak adanya gejala infeksi (Gambar 2) (Desrosiers M dkk, 2011; Desrosiers M dkk (Suppl 2), 2011). Rinosinusitis kronis tanpa polip hidung sering dikaitkan dengan infeksi bakteri, sehingga terapi awal meliputi INCSs dan antibiotik. Karena terapi biasanya empiris, pusat pemilihan antibiotik pada agen dengan spektrum luas yang menargetkan organisme Gram-negatif enterik, S aureus, dan anaerob, serta yang jarang ditemui S pneumoniae, H infuenzae, dan Moraxella catarrhalis. Dengan demikian, fluoroquinolones atau kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat direkomendasikan untuk pengobatan awal CRSsNP. Selain itu, steroid oral jangka pendek harus dipertimbangkan untuk pasien dengan gejala yang parah atau persisten (Alan Kaplan, 2013).Terapi awal untuk CRSwNP adalah INCSs, dengan penambahan steroid oral pada pasien simptomatik. Untuk pasien dengan sensitivitas terhadap asam asetilsalisilat, uji antagonis reseptor leukotrien perlu dipertimbangkan. Untuk pasien dengan CRSwNP dan nyeri, dengan bukti purulensi, atau episode berulang dari sinusitis, infeksi bakteri harus dicurigai dan antibiotik dimulai (diarahkan baik secara empiris atau dengan kultur) (Alan Kaplan, 2013).Steroid juga telah ditemukan berguna dalam mengobati RSK. Untuk pasien dengan penyakit polipoid yang parah yang tidak responsif terhadap terapi INCS, prednison jangka 2 minggu (misalnya, 30 mg/ d selama 4 hari, kemudian dosis dikurangi 5 mg setiap 2 hari selama 10 hari) mengurangi ukuran atau derajat polip, dengan INCSs kemudian digunakan untuk mempertahankan perbaikan ini (Alobid I dkk, 2006; Bentez P dkk, 2006; Patiar S dan Reece P, 2011). Prednison sistemik (misalnya, 30 mg/ d) yang diberikan 5 hari sebelum dan 9 hari setelah operasi sinus endoskopik (ESS) telah terbukti memberikan manfaat (Wright ED dan Agrawal S, 2007). Ketika memberi resep steroid oral, dosis efektif secara minimal harus selalu digunakan untuk mengurangi risiko kejadian efek samping yang serius (Fokkens W dkk, 2007). Selain itu, selalu diperlukan untuk mendokumentasikan pembicaraan dengan pasien tentang risiko steroid sistemik untuk menghindari kemungkinan proses pengadilan selama perjalanan pengobatan (Nash JJ dkk, 2011).Bukti untuk terapi: Kortikosteroid intranasal telah ditunjukkan untuk mengecilkan polip hidung dan memperbaiki gejala hidung pada pasien dengan CRSwNP (Filiaci F dkk, 2000; Jankowski R dkk, 2001; Small CB dkk, 2005; Stjrne P dkk, 2006; Msges R dkk, 2006). Selain mengurangi ukuran polip, penelitian furoate mometasone telah melaporkan perbaikan pada hidung tersumbat dan obstruksi hidung (Small CB dkk, 2005; Stjrne P dkk, 2006; Msges R dkk, 2006), anterior rinorea, postnasal drip dan hilangnya rasa pembauan (Small CB dkk, 2005). Demikian pula, mengurangi ukuran polip dan perbaikan gejala telah dilaporkan dalam penelitian budesonide dibandingkan plasebo (Filiaci F dkk, 2000; Jankowski R dkk, 2001).Efisasi dari INCSs dalam mengobati pasien dengan CRSsNP masih kurang jelas (Lund VJ dkk, 2004; Parikh A dkk, 2001), terutama karena ukuran penelitian yang kecil dan keterbatasan dalam desain penelitian. Karena tidak adanya efek samping jangka panjang yang dilaporkan dengan INCS yang digunakan, obat ini dianjurkan untuk pengobatan CRSsNP karena sifat anti-inflamasinya. Perannya dalam pengobatan dapat berkembang sebagai uji klinis yang lebih ketat dalam menjelaskan efisasinya pada populasi pasien ini (Alan Kaplan, 2013).Tidak ada penelitian plasebo-terkontrol yang tepat mengenai antibiotik dalam pengobatan RSK. Tingkat pengobatan klinis dan pemberantasan bakteriologis adalah 58,6% dibandingkan 51,2% dan 88,9% dibandingkan 90,5% untuk ciprofloxacin dan amoxicilin-asam klavulanat secara berturut (Legent F dkk, 1994), dan 65% dibandingkan 68% dan 95% dibandingkan 98% untuk amoxicilin-asam klavulanat dan cefuroxime (Namyslowski G dkk, 2002). Namun, sensitivitas telah berubah sejak studi ini dilakukan.Terapi tambahan: Irigasi Saline ditunjukkan untuk memperbaiki gejala pada pasien dengan RSK (Harvey R dkk, 2007). Meskipun tidak ada data yang tepat untuk mendukung penggunaan mukolitik, antihistamin atau dekongestan pada RSK, agen ini secara teoritis akan membantu memperbaiki gejala. Perlu diperingatkan bahwa penggunaan jangka panjang dekongestan topikal harus dihindari untuk mencegah eksaserbasi RSK melalui pengembangan rinitis medikamentosa (Graf P dkk, 1999). Terdapat keterbatasan bukti bahwa pengubah leukotriene mengurangi gejala pada pasien dengan polip hidung, menunjukkan obat ini dapat dipertimbangkan untuk beberapa pasien jika sesuai (Parnes SM dan Chuma AV, 2000; Ulualp SO dkk, 1999).Bedah: Bedah sinus endoskopi disediakan untuk pasien dengan RSK yang tidak merespon terhadap terapi medis. Bedah sinus endoskopi digunakan untuk menghilangkan mukosa yang sakit, meringankan obstruksi dan mengembalikan ventilasi. Meskipun efisasi dari ESS dalam jangka panjang telah diperdebatkan (Khalil HS dan Nunez DA, 2006), penelitian melaporkan peningkatan substansial dalam kualitas hidup pasien (Durr DG dan Desrosiers M, 2003; Smith TL dkk, 2005; Macdonald KI dkk, 2009). Ketika mempertimbangkan operasi, risiko jangka panjang steroid oral dan antibiotik harus dipertimbangkan terhadap risiko komplikasi yang cukup besar dari ESS, seperti yang baru-baru ini dilaporkan 1% (Ramakrishnan VR dkk, 2012). Penelitian lain melaporkan tingkat komplikasi keseluruhan 5,8% setelah ESS, dengan 0,1% merupakan komplikasi yang substansial (Asaka D dkk, 2012).Di antara kasus RSK yang terbukti sulit untuk disembuhkan menggunakan manajemen medis saja, kebanyakan pasien memiliki kombinasi faktor patofisiologis dan anatomi yang mendukung inflamasi kronis dan adanya bakteri (Evans KL, 1998). Rujukan ke otolaringologis diperlukan untuk mengevaluasi ESS yang mungkin dan mencoba terapi medis maksimal (jika belum diberikan). Jika operasi dilanjutkan, terapi medis yang tepat sebelum dan setelah operasi sangat penting untuk memastikan keberhasilan dan harus dipesan oleh dokter bedah. Penggunaan steroid sistemik pra operasi dan pasca operasi telah terbukti menghasilkan rongga sinus yang lebih sehat secara klinis dibandingkan dengan pasien yang tidak menerima prednison dalam periode perioperatif (Wright ED dan Agrawal S, 2007).Perawatan pasca operasi untuk pasien ESS bervariasi antara dokter bedah (Portela RA dkk, 2012; Sindwani R dkk, 2003). Penggunaan antibiotik segera setelah operasi, irigasi saline dan debridement di ruang kerja secara relatif konsisten terhadap pendekatan pasca-ESS (Portela RA dkk, 2012). Nyeri berat, demam atau onset baru sekresi berwarna memerlukan rujukan segera ke dokter bedah operasi. Untuk pengelolaan jangka panjang setelah ESS, irigasi saline dianjurkan dan INCSs merupakan pilihan. Kortikosteroid intranasal setelah ESS telah menunjukkan efisasi pada pasien dengan RSK. Dalam sebuah penelitian pada pasien dengan alergi dan RSK, 85% dari mereka yang menerima budesonide dilaporkan terjadi perbaikan gejala (Lavigne F dkk, 2002). Penelitian lain pada pasien dengan CRSwNP dilaporkan tingkat keberhasilan 89% (yaitu, sehubungan dengan risiko kegagalan) 5 tahun setelah ESS (Rowe-Jones JM dkk, 2005). Namun, penelitian lain melaporkan tingkat yang sama dari kekambukan polip kekambuhan pada 1 tahun dengan atau tanpa penggunaan INCS (Dijkstra MD dkk, 2004). Dalam penelitian lain, waktu untuk kambuh (didefinisikan sebagai peningkatan 1 poin pada skala sistem skoring polip 0 sampai 6 poin) lebih panjang untuk pasien yang menerima INCS dibandingkan dengan plasebo setelah ESS ( 175 hari vs 125 hari, P = 0,049) (Stjrne P dkk, 2009).Peran dokter keluarga. Dokter keluarga memainkan peran penting dalam pengelolaan pasien dengan RSK. Pemantauan untuk eksaserbasi akut dari RSK, mengarahkan terapi bila diperlukan, menyediakan tambahan spesialis rujukan dan pengujian pada saat yang tepat, memberikan pendidikan dan dukungan kepada pasien dan berinteraksi dengan spesialis lain sebagai bagian dari tim pengobatan klinis dapat membantu meningkatkan kehidupan pasien dengan penyakit kronis. Pasien dengan RSK harus dianjurkan untuk menghindari pemicu alergi, lingkungan yang mungkin menjadi tempat paparan agen infeksi (misalnya, pusat hari peduli, pusat kesehatan), merokok, dan eksaserbasi akut. Dokter harus memonitor pasiennya yang mengalami asma, RSK mukosa leukosit eosinofilik atau dengan jumlah leukosit eosinofilik yang tinggi, karena mereka beresiko terhadap kekambuhan (Matsuwaki Y dkk, 2008). Rujukan ke otolaringologis harus dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis, untuk memperoleh kultur endoskopi untuk secara langsung mengarahkan terapi medis, dan untuk mengatasi dan mencegah komplikasi (Kotak 3).Kotak 3. Indikasi untuk merujuk : bukti grade D (berdasarkan persetujuan ahli) dan rekomendasi kuatRujukan mendesak Gejala berat dari nyeri atau bengkak dari sinus Pasien immunocompromise Dugaan sinusitis jamur invasif

Rujukan Kegagalan terapi medis maksimal (tindakan menghindari alergen, steroid topikal, irigasi hidung, antibiotik sistemik) Mengalami 4 atau lebih infeksi sinus per tahun

Terapi medis (Metson R dkk, 1997). Pengobatan mutlakMenghindari alergen atau iritan, 3 minggu sediaan kultur yang tepat atau antibiotik spektrum luas dan 8 minggu sediaan spray steroid hidung yang topikal Pengobatan SuportifDekongestan sistemik, Antihistamin dan kortikosteroid sistemik yang ditapering.

2.11. Peran dan relevansi dari bedah sinus ekdoskopikPada pasien yang gagal dengan manajemen medis, bedah sinus endoskopi fungsional (FESS) telah terbukti dan diterima secara luas untuk memberikan peningkatan dalam menghilangkan gejala dan kualitas hidup yang lebih baik. Meskipun ada beberapa kontroversi mengenai teknik bedah terbaik atau yang paling tepat untuk mengobati pasien dengan RSK dengan poliposis (CRSwP) sebagian besar ahli bedah akan merekomendasikan agar pasien menjalani polipektomi, etmoidektomi lengkap dan antrostomi meatus tengah dengan atau tanpa sinusotomi frontal atau spenoidotomi.Anatomi bedahDari semua sinus paranasal, sinus etmoid adalah yang paling kompleks dan tepat disebut sebagai sebuah labirin. Etmoid mencapai ukuran dewasa pada usia dua belas tahun. Namun, ketika infeksi menyebar dari daerah ostiomeatal yang melibatkan maksila dan sinus frontal, hal ini menjadi gejala dan perubahan rontgenografik pada sinus yang terakhir ini mendominasi. Dengan demikian ahli bedah dapat berusaha untuk memperbaiki perubahan patologis sekunder ketika menghadapi masalah yang mendasar pada kompleks ostiomeatal.Pengenalan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional oleh Messerklinger dan Wigand secara umum mengubah cara pengobatan sinusitis para Ahli THT (Proctor DF, 1982). Tujuan bedah sinus endoskopi fungsional adalah untuk membangun kembali ventilasi dan bersihan mukosiliar pada sinus. Hal ini dicapai dengan menghilangkan penyakit pada daerah kunci dari etmoid anterior dan meatus tengah. Konka tengah dipertahankan dan spenoetmoidektomi dilakukan. Teknik ini memungkinkan untuk visualisasi yang sangat baik, sementara menyebabkan perdarahan yang minimal dan morbiditas yang rendah (Raju Polavaram dkk, 2004).Pada tahun 1978 Messerklinger memperkenalkan konsep bedah sinus endoskopi fungsional berdasarkan pengamatan endoskopi dan dokumentasi anatomi dan patologi di daerah meatus tengah dan bersihan mukosiliar sinus pada mukosa normal dan penyakit (Stammberger H dan Micheal Hawke). Pada tahun 1980 Stammberger menerbitkan serangkaian makalah tentang FESS.Prinsip dari teknik ini adalah reseksi terbatas jaringan inflamasi atau defek anatomi yang mengganggu bersihan mukosiliar normal dan mengakibatkan peradangan persisten lokal.Secara rutin dilakukan langkah-langkah FESS untuk CRS w/wo Polip akan mencakup :Uncinectomi : menghilangkan potongan berbentuk koma pada tulang di tepi anterior meatus tengah.Infundibulotomi : memasuki ruang sempit hanya pada anterior dari sel udara ethmoidEtmoidektomi : eksentrasi anterior penyakit, sel-sel udara ethmoid tengah dan posterior.Spenoidotomi : membuka sinus sphenoid untuk membersihkan penyakit didalamnya dan pelebaran ostium normal.Antrostomi meatus tengah : pelebaran ostium normal dari antrum maksila dan membersihkan penyakit di dalamnyaPembersihan resesus frontal dan sinus : identifikasi yang cermat dan pembersihan area ostium sinus frontal untuk memastikan drainase sinus didalam hidungGambar 6. a dan b

2.12. Kemajuan terbaruPeran berbagai mediator inflamasi CD3, CD25, IFN-r, TGF-B, IL-1, MMP dalam patogenesis RSK dan oleh karena itu peran untuk terapi bertarget mendapatkan perhatian (Messerklinger W, 1978).Ramanathan et al mendemonstrasikan IL-22R1 mRNA dan ekspresi protein sel epitel hidung. Kegagalan terapi medis dan bedah pada CRSwNP berhubungan dengan penurunan secara signifikan ekspresi IL-22R118.Penelitian telah menunjukkan peran deteksi biofilm dalam karakterisasi RSK. BacLight/ mikroskop laser pemindaian confocal (CSLM) dan hibridisasi in situ flouresensi (FISH)/ CSLM adalah tekhnik yang melengkapi untuk deteksi biofilm pada spesimen mukosa sinus pada pasien RSK (Andrew Foreman dkk, 2010).Untuk lebih memahami anatomi sinus paranasal, Tolsdorff et al menunjukkan simulator realitas virtual untuk operasi sinus endonasal berdasarkan model volume. Ini adalah simulator operasional sepenuhnya untuk operasi sinus didasarkan pada perangkat keras PC standar (Boris Tolsdorff, 2010).Sinuplasti balon adalah teknik bedah terbaru untuk mengelola RSK, yang dilakukan sebagai prosedur kerja di banyak Pusat.

BAB IIIPENUTUP

KesimpulanRinosinusitis kronis adalah penyakit yang menantang untuk dikelola karena pengetahuan yang tidak lengkap tentang banyak faktor yang berinteraksi yang berkontribusi terhadap pengembangan dan persistensinya. Selain itu, uji klinis yang tepat yang menilai efikasi dan keamanan terapi pada jenis RSK yang berbeda masih kurang. Meskipun terdapat tantangan ini, dokter keluarga memainkan peran penting dalam membantu pasien dengan RSK dengan secara proaktif mengelola penyakit dan eksaserbasi akut. Pedoman Kanada untuk RSK menawarkan panduan terkini untuk membantu dokter dengan proses diagnostik dan rekomendasi untuk pengobatan.Pemahaman yang meningkat dari proses penyakit yang mendasari telah menyebabkan evolusi dalam pengobatan RSK.Pencatatan yang rinci dari gejala klinis dan temuan fisik, diikuti dengan endoskopi hidung diagnostik (DNE) dan CT scan SPN memainkan peran penting dalam diagnosis, prognosis dan tindak lanjut pasien RSK.Terapi medis sudah mulai bergeser dari antibiotik dan dekongestan menjadi kombinasi steroid topikal, steroid sistemik, dekongestan, antihistamin dan antibiotik. Pengobatan bedah CRS, masih merupakan komponen penting dari rencana perawatan keseluruhan, telah bergeser dari radikal menjadi pendekatan yang lebih konservatif namun lengkap. Meskipun penting, pembedahan saja tidak mengarah ke keadaan bebas penyakit jangka panjang.

Sebuah rencana manajemen yang komprehensif menggabungkan antara perawatan medis dan bedah tetap merupakan cara yang paling mungkin untuk memberikan kontrol penyakit jangka panjang untuk RSK. Kombinasi yang tepat terus diperdebatkan. Namun demikian, penggunaan steroid topikal jangka panjang dan tindak lanjut yang teratur dari semua pasien tampaknya menjadi pilihan terbaik sampai saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

1) A.K. Devaiah / Otolaryngol Clin N Am 37 (2004) 24352.2) Alan Kaplan. Canadian guidelines for chronic rhinosinusitis. Can Fam Physician 2013;59:1275-813) Alobid I, Benitez P, Pujols L, Maldonado M, Bernal-Sprekelsen M, Morello A, et al. Severe nasal polyposis and its impact on quality of life. The effect of a short course of oral steroids followed by long-term intranasal steroid treatment. Rhinology 2006;44(1):8-13.4) Andrew Foreman, Deepti Singhal, Alkis J. Psaltis, Peter-John Wormald.Targeted Imaging Modality Selection for Bacte-rial Biofilms in Chronic Rhinosinusitis Laryngoscope 2010; 120:427-315) Asaka D, Nakayama T, Hama T, Okushi T, Matsuwaki Y, Yoshikawa M, et al. Risk factors for complications of endoscopic sinus surgery for chronic rhinosinusitis. Am J Rhinol Allergy 2012;26(1):61-4. Epub 2013 Jan 9.6) Bachert etal.Important research questions in allergy and related diseases: Chronic Rhinosinusitis-A galen study;Allergy2009;64:520-337) Basu S, Georgalas C, Kumar BN, Desai S. Correlation between symptoms and radiological findings in patients with Chronic Rhinosinusitis: an evaluation study using the Sino nasal Assessment Questionnaire and Lund-Mackay grading system. Eur Arch Otorhinolaryngeology. 2005: 262 (9): 751-48) Bentez P, Alobid I, de Haro J, Berenquer J, Bernal-Sprekelsen M, Pujols L, et al. A short course of oral prednisone followed by intranasal budesonide is an effective treatment of severe nasal polyps. Laryngoscope 2006;116(5):770-5.9) Benninger et al Adult Chronic rhino sinusitis: Definitions, diagnosis, epidemiology, and pathophysiology. Otolaryngol Head Neck Surg 2003; 129S:S1-S32.10) Bhattacharyya N. Incremental health care utilization and expenditures for chronic rhinosinusitis in the United States. Ann Otol Rhinol Laryngol 2011;120(7):423-711) Bolger WE, Parsons DS, Butzin CA. Paranasal sinus bony anatomic variations and mucosal abnormalities: CT analysis for endoscopic sinus surgery. Laryngoscope 1991;101(1 Pt 1):56-64.12) Boris Tolsdorff, Virtual Reality: A New Paranasal Sinus Surgery Simulator Laryngoscope 2010; 120:420-713) Bousquet J, Van Cauwenberge P, Khaltaev N; Aria Workshop Group; World Health Organization. Allergic rhinitis and its impact on asthma. J Allergy Clin Immunol 2001;108(5 Suppl):S147-334.14) Bradely DT, Kountakis SE. Correlation between computed tomography scores and symptomatic improvement after Endoscopic sinus surgery. Laryngoscope 2005:115(3): 466-915) Canadian Disease and Therapeutic Index. 03/2003-03/2004. Danbury, CT: IMS Health. Available from: www.imsservicecatalog.com. Accessed 2009 Jul 1.16) Chee L, Graham SM, Carothers DG, Ballas ZK. Immune dysfunction in refractory sinusitis in a tertiary care setting. Laryngoscope 2001;111(2):233-5.17) Chen Y, Dales R, Lin M. The epidemiology of chronic rhinosinusitis in Canadians. Laryngoscope 2003;113(7):1199-205.18) Cryer J, Schipor I, Perloff JR, Palmer JN. Evidence of bacterial biofilms in human chronic sinusitis. ORL J Otorhinolaryngol Relat Spec 2004; 66:1558.19) Deepthi N.V, Menon U.K, Madhumita K. Review Article : Chronic Rhinosinusitis An Overview. Amrita Journal Of Medicine. 2012: 1-4420) Desrosiers M, Evans GA, Keith PK, Wright ED, Kaplan A, Bouchard J, et al. Canadian clinical practice guidelines for acute and chronic rhinosinusitis. Allergy Asthma Clin Immunol 2011;7(1):2.21) Desrosiers M, Evans GA, Keith PK, Wright ED, Kaplan A, Bouchard J, et al. Canadian clinical practice guidelines for acute and chronic rhinosinusitis. J Otolaryngol Head Neck Surg 2011;40(Suppl 2):S99-193.22) Desrosiers M, Hussain A, Frenkiel S, Kilty S, Marsan J, Witterick I, et al. Intranasal corticosteroid use is associated with lower rates of bacterial recovery in chronic rhinosinusitis. Otolaryngol Head Neck Surg 2007;136(4):605-9.23) Dijkstra MD, Ebbens FA, Poub lon RM, Fokkens WJ. Fluticasone propionate aqueous nasal spray does not infuence the recurrence rate of chronic rhinosinusitis and nasal polyps 1 year after functional endoscopic sinus surgery. Clin Exp Allergy 2004;34(9):1395-400.24) Durr DG, Desrosiers M. Evidence-based endoscopic sinus surgery. J Otolaryngol 2003;32(2):101-6.25) Emanuel IA, Shah SB. Chronic rhinosinusitis: allergy and sinus computed tomography relationships. Otolaryngol Head Neck Surg 2000;123(6):687-91.26) Evans KL. Recognition and management of sinusitis. Drugs 1998;56(1):59-71.27) Filiaci F, Passali D, Puxeddu R, Schrewelius C. A randomized controlled trial showing effcacy of once daily intranasal budesonide in nasal polyposis. Rhinology 2000;38(4):185-90.28) Flinn J, Chapman ME, Wightman AJ, Maran AG. A prospective analysis of incidental paranasal sinus abnormalities on CT head scans. Clin Otolaryngol Allied Sci 1994;19(4):287-9.29) Fokkens W, Lund V, Bachert C, Clement P, Hellings P, Holmstrom M, et al. EAACI position paper on rhinosinusitis and nasal polyps executive summary. Allergy 2005;60(5):583-601. Epub 2005 Apr 6.30) Fokkens W, Lund V, Mullol J; European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps group. European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2007. Rhinol Suppl 2007;(20):1-136.31) Gliklich RE, Metson R. The health impact of chronic sinusitis in patients seeking otolaryngologic care. Otolaryngol Head Neck Surg 1995;113(1):104-9.32) Graf P, Enerdal J, Halln H. Ten days use of oxymetazoline nasal spray with or without benzalkonium chloride in patients with vasomotor rhinitis. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1999;125(10):1128-32.33) Harvey R, Hannan SA, Badia L, Scadding G. Nasal saline irrigations for the symptoms of chronic rhinosinusitis. Cochrane Database Syst Rev 2007;(3):CD006394.34) Hopkins et al.: Surgery Audit for Nasal Polyposis and CRS. Laryngoscope 2009:119:24596535) Jankowski R, Schrewelius C, Bonfls P, Saban Y, Gilain L, Prades JM, et al. Effcacy and tolerability of budesonide aqueous nasal spray treatment in patients with nasal polyps. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2001;127(4):447-52. Epub 2005 Sep 26.36) Joe SA, Thambi R, Huang J. A systematic review of the use of intranasal steroids in the treatment of chronic rhinosinusitis. Otolaryngol Head Neck Surg 2008;139(3):340-7.37) Khalil HS, Nunez DA. Functional endoscopic sinus surgery for chronic rhinosinusitis. Cochrane Database Syst Rev 2006;(3):CD004458.38) Lanza DC, Kennedy DW. Adult rhinusitis defined. OtolaryngolHead Neck Surg 1997; 117(3 Pt 2):S1-7.39) Lavigne F, Cameron L, Renzi PM, Planet JF, Christodoulopoulos P, Lamkioued B, et al. Intrasinus administration of topical budesonide to allergic patients with chronic rhinosinusitis following surgery. Laryngoscope 2002;112(5):858-64.40) Legent F, Bordure P, Beauvillain C, Berche P. A double-blind comparison of ciprofoxacin and amoxycillin/clavulanic acid in the treatment of chronic sinusitis. Chemotherapy 1994;40(Suppl 1):8-15.41) Lund VJ, Black JH, Szab LZ, Schrewelius C, Akerlund A. Effcacy and tolerability of budesonide aqueous nasal spray in chronic rhinosinusitis patients. Rhinology 2004;42(2):57-62.42) Macdonald KI, McNally JD, Massoud E. Quality of life and impact of surgery on patients with chronic rhinosinusitis. J Otolaryngol Head Neck Surg 2009;38(2):286-93.43) Macdonald KI, McNally JD, Massoud E. The health and resource utilization of Canadians with chronic rhinosinusitis. Laryngoscope 2009;119(1):184-9. Epub 2008 Dec 31.44) Matsuwaki Y, Ookushi T, Asaka D, Mori E, Nakajima T, Yoshida T, et al. Chronic rhinosinusitis: risk factors for the recurrence of chronic rhinosinusitis based on 5-year follow-up after endoscopic sinus surgery. Int Arch Allergy Immunol 2008;146(Suppl 1):77-81. Epub 2008 May 27.45) Meltzer EO, Hamilos DL, and Hadley JA, et al. Rhinosinusitis: establishing definitions for clinical research and patient care. Otolaryngol Head Neck Surg 2004; 131(Suppl 6): S162. 46) Meltzer EO, Hamilos DL, Hadley JA, Lanza DC, Marple BF, Nicklas RA, et al. Rhinosinusitis: developing guidance for clinical trials. J Allergy Clin Immunol 2006;118(5 Suppl):S17-61.47) Meltzer EO, Hamilos DL, Hadley JA, Lanza DC, Marple BF, Nicklas RA, et al. Rhinosinusitis: establishing defnitions for clinical research and patient care. J Allergy Clin Immunol 2004;114(6 Suppl):155-212.48) Messerklinger W.Endoscopy of the nose. Baltimore: Urban and Schwarzenberg; 1978.49) Metson R, Gliklich RE. Stankiewicz JA. Et al. Comparison of sinus staging systems. Otolaryngol Head Neck Surg 1997;117:372-950) Murugappan Ramanathan, Jr, MD; Ernst W. Spannhake, PhD; Andrew P. Lane, MD. Chronic Rhinosinusitis with Nasal Polyps is Associated with Decreased Expression of Mucosal Interleukin 22 Receptor. Laryngoscope October 2007;117:1839-4251) Namyslowski G, Misiolek M, Czecior E, Malafej E, Orecka B, Namyslowski P, et al. Comparison of the effcacy and tolerability of amoxycillin/clavulanic acid 875 mg b.i.d. with cefuroxime 500 mg b.i.d. in the treatment of chronic and acute exacerbation of chronic sinusitis in adults. J Chemother 2002;14(5):508-17.52) Nash JJ, Nash AG, Leach ME, Poetker DM. Medical malpractice and corticosteroid use. Otolaryngol Head Neck Surg 2011;144(1):10-5.53) National Ambulatory Medical Care Survey: 2008 summary tables. Hyattsville, MD: National Center for Health Statistics; 2008. Available from: www.cdc.gov/nchs/data/ahcd/namcs_summary/2008_namcs_web_tables.pdf. Accessed 2013 Oct 2954) Neil Bhattacharyya Clinical and symptom criteria for the accurate diagnosis Chronic Rhinosinusitis. Laryngoscope 2006 ;116 no7 part2,supplement no.11055) Parnes SM, Chuma AV. Acute effects of antileukotrienes on sinonasal polyposis and sinusitis. Ear Nose Throat J 2000;79(1):18-20, 24-556) Patiar S, Reece P. Oral steroids for nasal polyps. Cochrane Database Syst Rev 2007;(1):CD005232. Update in: Cochrane Database Syst Rev 2011;(7):CD005232.57) Portela RA, Hootnick J, McGinn J. Perioperative care in functional endoscopic sinus surgery: a survey study. Int Forum Allergy Rhinol 2012;2(1):27-33. Epub 2011 Oct 24.58) Proctor DF; The nose, paranasal sinuses and pharynx, in Walters W (ed): Lewis- Walters practice of surgery. Boston, Little Brown and co;1982:1-3759) Ramakrishnan VR, Kingdom TT, Nayak JV, Hwang PH, Orlandi RR. Nationwide incidence of major complications in endoscopic sinus surgery. Int Forum Allergy Rhinol 2012;2(1):34-9. Epub 2011 Nov 8.60) Raju Polavaram, Anand K. Deviah, Osamu Sakai, Stanley M. Shapshay, Anatomic variants and pearls-Functional endoscopic sinus surgery; Otolaryngol Clin N Am;37(2004):221-4261) Report of the Rhinosinusitis Task Force Committee Meeting. Alexandria, Virginia, August 17, 1996. Otolaryngol Head Neck Surg 1997; 117(3 Pt 2):S1-68.62) Rosenfeld RM, Andes D, Bhattacharyya N, Cheung D, Eisenberg S, Ganiats TG, et al. Clinical practice guideline: adult sinusitis. Otolaryngol Head Neck Surg 2007;137(3 Suppl):S1-31.63) Rowe-Jones JM, Medcalf M, Durham SR, Richards DH, Mackay IS. Functional endoscopic sinus surgery: 5 year follow up and results of a prospective, randomised, stratifed, double-blind, placebo controlled study of postoperative futicasone propionate aqueous nasal spray. Rhinology 2005;43(1):2-10.64) Schleimer RP, Kato A, Peters A, Conley D, Kim J, Liu MC, et al. Epithelium, infammation, and immunity in the upper airways of humans: studies in chronic rhinosinusitis. Proc Am Thorac Soc 2009;6(3):288-94.65) Sindwani R, Wright ED, Janzen VD, Chandarana S. Perioperative management of the sinus patient: a Canadian perspective. J Otolaryngol 2003;32(3):155-9.66) Small CB, Hernandez J, Reyes A, Schenkel E, Damiano A, Stryszak P, et al. Effcacy and safety of mometasone furoate nasal spray in nasal polyposis. J Allergy Clin Immunol 2005;116(6):1275-81.67) Small P, Frenkiel S, Becker A, Boisvert P, Bouchard J, Carr S, et al. Rhinitis: a practical and comprehensive approach to assessment and therapy. J Otolaryngol 2007;36(Suppl 1):S5-28.68) Smith TL, Mendolia-Loffredo S, Loehrl TA, Sparapani R, Laud PW, Nattinger AB. Predictive factors and outcomes in endoscopic sinus surgery for chronic rhinosinusitis. Laryngoscope 2005;115(12):2199-205.69) Stammberger H, Micheal Hawke, Functional endoscopic sinus surgery:1-1370) Stjrne P, Blomgren K, Cay-Thomasen P, Salo S, Sderstrm T. The effcacy and safety of once-daily mometasone furoate nasal spray in nasal polyposis: a randomized, double-blind, placebo-controlled study. Acta Otolaryngol 2006;126(6):606-12.71) Stjrne P, Msges R, Jorissen M, Passli D, Bellussi L, Staudinger H, et al. A randomized controlled trial of mometasone furoate nasal spray for the treatment of nasal polyposis. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2006;132(2):179-85.72) Stjrne P, Olsson P, Alenius M. Use of mometasone furoate to prevent polyp relapse after endoscopic sinus surgery. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2009;135(3):296-302.73) Timothy L, Smith. Objective testing and quality of life evaluation in candidates with Chronic Rhinosinusitis; Am J Rhinol 2003;17(6):351-674) Ulualp SO, Sterman BM, Toohill RJ. Antileukotriene therapy for the relief of sinus symptoms in aspirin triad disease. Ear Nose Throat J 1999;78(8):604-6, 608, 613, passim.75) Van Cauwenberge P, Van Hoecke H, Bachert C. Pathogenesis of chronic rhinosinusitis. Curr Allergy Asthma Rep 2006;6(6):487-94.76) Vanlerberghe L, Joniau S, Jorissen M. The prevalence of humoral immunodefciency in refractory rhinosinusitis: a retrospective analysis. B-ENT 2006;2(4):161-6.77) Wright ED, Agrawal S. Impact of perioperative systemic steroids on surgical outcomes in patients with chronic rhinosinusitis with polyposis: evaluation with the novel Perioperative Sinus Endoscopy (POSE) scoring system. Laryngoscope 2007;117(11 Pt 2 Suppl 115):1-28.