71
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA Fakultas Kedokteran REFERAT RINOSINUSITIS Pembimbing : dr.H.Wiendyawati, Sp.THT-KL Disusun Oleh: Samsu Buntoro (112014114) Sylvia Wijaya KEPANITERAAN KLINIK

Referat Rinosinusitis -samsu.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

Fakultas Kedokteran

REFERAT

RINOSINUSITIS

Pembimbing :

dr.H.Wiendyawati, Sp.THT-KL

Disusun Oleh:

Samsu Buntoro (112014114)

Sylvia Wijaya

KEPANITERAAN KLINIK

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN

KEPALA DAN LEHER

KOAS THT RUMAH SAKIT TARAKAN TOMANG

Periode 28 September 2015- 31 Oktober 2015

Page 2: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

KATA PENGANTAR

Pertama-tama, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa,

karena atas berkat-Nya lah kami diberikan kemampuan raga untuk dapat menyelesaikan

referat ini tepat waktu dengan segala daya upaya yang sudah kami curahkan.

Kami berharap dengan segala keterbatasan kami, kami mampu menghasilkan sebuah

referat yang berbobot sekaligus bermanfaat tidak hanya untuk kalangan medis saja namun

juga ditujukan kepada masyarakat. Besar harapan kami bahwa referat ini mampu menjadi

jendela untuk membuka wawasan bagi setiap orang yang membacanya. Untuk segala

kekurangan yang ada, kami berharap dapat dimaklumi, karena tentunya masih banyak

kesalahan baik dari segi penulisan maupun dari segi pemahaman, yang disengaja maupun

yang tidak disengaja. Akhir kata, kami ucapkan terimakasih atas kesediaan Anda untuk

membaca referat ini. Semoga Anda, para pembaca, bisa mendapatkan apa yang Anda

butuhkan di dalam referat kami ini. Sekian dan terima kasih.

21 Oktober 2015,

Penulis

2

Page 3: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………. 2

DAFTAR ISI …………………………………………………………… 3

BAB I PENDAHULUAN …………………………………................... 4

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Anatomi-Fisiologi Sinus Paranasalis …………………………… 5

2.1.1 Sinus Maksilaris ………………………………………….. 6-7

2.1.2 Sinus Frontalis ……………………………………………. 7-8

2.1.3 Sinus Etmoidalis ………………………………………….. 8-9

2.1.4 Sinus Sfenoidalis …………………………………………. 9

2.1.5 Kompleks Ostio-Meatal ………………………………….. 9-10

2.1.6 Fisiologi Sinus Paranasalis ……………………………….. 10-11

2.2 Pemeriksaan Sinus Paranasalis …………………………………. 11-12

2.3 Definisi Rinosinusitis Kronik …………………………………… 12-15

2.4 Etiopatogenesis

2.4.1 Etiologi …………………………………………………….. 15-26

2.4.2 Patogenesis ………………………………………………… 26

2.5 Epidemiologi …………………………………………………….. 27

2.6 Manifestasi Klinis ……………………………………………….. 27-28

2.7 Pemeriksaan Penunjang …………………………………………. 28-32

2.8 Tatalaksana ……………………………………………………… 32-33

2.8.1 Tatalaksana Farmakologi ………………………………….. 33-37

2.8.2 Tatalaksana Non-farmakologi …………………………….. 37-40

2.9 Komplikasi ………………………………………………………. 40

2.10 Prognosis ………………………………………………………… 40-41

2.11 Kesimpulan ……………………………………………………… 41-42

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 43

3

Page 4: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

BAB I

PENDAHULUAN

Rinosinusitis ialah suatu keadaan klinis yang mencakup sekelompok kondisi infeksi

dan inflamasi yang terjadi pada hidung dan sinus paranasal. Rinosinusitis dapat terbagi

menjadi 3 jenis, yaitu rinosinusitis yang bersifat akut, subakut dan rinosinusitis yang bersifat

kronik. Gejala yang bervariasi terkait dengan penyakit ini menjadikan rinosinusitis terutama

rhinosinusitis kronik cukup sulit didefinisikan secara akurat. Banyak aspek dari diagnosis

rinosinusitis kronik yang masih kurang dipahami dengan baik saat ini, sehingga etiologi dari

penyakit ini seringkali diperdebatkan dan tetap menjadi area signifikan peneliti untuk terus

mencari tahu mengenai penyakit ini. Diagnosis rinosinusitis, masih didasarkan pada gejala

subjektif, durasi gejala dan bukti objektif terdapatnya peradangan pada mukosa paranasal

penderita. Setiap kriteria ini sebaiknya dipenuhi untuk membuat diagnosis rinosinusitis pada

satu individu, sehingga penatalaksanaan selanjutnya dapat terfokus untuk mengobati

rinosinusitis.

Sebagai masalah kesehatan global yang umum, rinosinusitis telah menjadi suatu

morbiditas yang signifikan pada seorang individu tidak terbatas usia dan jenis kelamin,

sekaligus menimbulkan dampak jangka panjang yang dapat menurunkan kualitas hidup

penderitanya. Penurunan kualitas hidup ditandai dengan gangguan seseorang dalam

melakukan fungsinya sehari-hari dan kebutuhan seseorang untuk mencari pengobatan setiap

harinya, yang mana waktu untuk mencari pengobatan sebenarnya dapat digunakan untuk

bekerja. Produktivitas penderita yang kian menurun, berdampak pada kondisi finansial

penderita yang memburuk. Oleh karena itu, pengenalan yang baik mengenai rinosinusitis

kronik beserta dengan berbagai proses perjalanan penyakitnya di dalam tubuh dapat

membantu menuntun klinisi agar dapat memberikan tatalaksana yang baik sembari ikut

melakukan pencegahan serangan berulang pada penderita.

4

Page 5: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Anatomi-Fisiologi Sinus Paranasalis

Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral

rongga udara hidung dengan jumlah, bentuk, ukuran dan simetri yang bervariasi,

sehingga sulit untuk dideskripsikan pada tiap individu. Sinus-sinus ini yang kemudian

disebut sebagai sinus paranasal membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah

dan diberi nama yang sesuai, yaitu sinus maksilaris sebanyak 1 pasang, sfenoidalis 1

pasang, frontalis 1 pasang, dan etmoidalis 1 pasang. Yang terakhir biasanya berupa

kelompok-kelompok sel etmoidalis anterior dan posterior yang saling berhubungag,

masing-masing kelompok bermuara ke dalam hidung. Seluruh sinus dilapisi oleh

epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, dan mampu menghasilkan

mukus, dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat,

sinus-sinus ini terutama berisi udara. Sinus maksilaris atau biasa disebut antrum,

umumnya telah ditemukan pada saat lahir. Sinus paranasalis lainnya timbul pada masa

kanak-kanak dalam tulang wajah. Tulang-tulang ini bertumbuh melebihi kranium

yang menyangganya. Dengan teresorpsinya bagian tengah yang keras, maka membran

mukosa hidung menjadi tersedot ke dalam rongga-rongga yang baru terbentuk ini.

Sejatinya, sinus paranasal ini merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus ini mempunyai muara

(ostium) ke dalam rongga hidung.1

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga

hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus

sfenoidalis dan sinus frontalis. Sinus maksilaris dan sinus etmoidalis telah ada saat

bayi lahir, sedangkan sinus frontalis berkembang dari sinus etmoidalis anterior pada

anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoidalis dimulai pada

usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus

ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.2

Bila dilihat anatomi secara mikroskopis, hidung dan sinus paranasalis dibatasi

oleh epitelium kolumner bersilia dengan pseudostratified. Ada 4 sel yang dicatat

terdapat di dalam kavitas sinonasal: sel-sel epitel kolumner bersilia, sel-sel kolumner

tidak bersilia, sel goblet dan sel basal. Sel-sel epitelial bersilia memiliki 50-200 silia

5

Page 6: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

per selnya, yang akan bergerak 700-800 kali/menit. Silia-silia ini menggerakkan palut

lendir kira-kira 9 mm/menit. Sel-sel tidak bersilia memiliki mikrovili di permukaan

apikal yang membantu humidifikasi dan menghangatkan udara sebelum masuk ke

dalam jalur napas yang lebih bawah. Sel-sel goblet memproduksi glikoprotein, yang

mempengaruhi karakter mukus. Input parasimpatis kepada kelenjar-kelenjar ini akan

menyebabkan kelenjar memproduksi mukus yang lebih tebal, sedangkan persarafan

simpatis akan memproduksi mukus yang lebih encer dan lebih tipis. Fungsi dari sel

basal hingga saat ini masih belum diketahui.3

2.1.1 Sinus Maksilaris

Sinus maksilaris merupakan sinus paranasalis yang terbesar dan terletak di

bawah mata tepatnya di dalam tulang maksilaris. Saat lahir sinus maksilaris memiliki

volume 6-8 ml, sinus ini kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai

ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus ini ialah sinus yang berkembang

6

Gambar 1. Sinus paranasalis3

Page 7: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

paling pertama dan diisi dengan cairan saat seseorang pertama kali lahir. Pertumbuhan

dari sinus ini mengikut pola bifasik, dimana fase pertama terjadi selama usia 0-3

tahun dan fase kedua terjadi saat usia 6-12 tahun.

Sinus maksilaris berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan

fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan

infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung,

dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus

alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksilaris berada di sebelah superior dinding

medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.

Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksilaris adalah

(1) dasar sinus maksilaris sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu

premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan

gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus,

sehingga infeksi gigi-geligi mudah naik ke atas, menyebabkan sinusitis; (2) sinusitis

maksilaris dapat menimbulkan komplikasi orbita; (3) ostium sinus maksilaris terletak

lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia,

lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah

bagian dari sinus etmoidalis anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi

pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksilaris dan selanjutnya

menyebabkan sinusitis.

Perdarahan sinus maksilaris disuplai oleh cabang dari arteri maksilaris interna,

yang mencakup arteri infraorbital, arteri alveolar, arteri palatina mayor, dan arteri

sfenopalatina. Innervasi saraf dilakukan oleh cabang kedua dari nervus trigeminus,

nervus infraorbital dan nervus palatina mayor.2,3

2.1.2 Sinus Frontalis

Sinus frontalis yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat

fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.

Sesudah lahir, sinus frontalis mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan

mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.

Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari

pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih

15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontalis dan kurang lebih 5% sinus

frontalisnya tidak berkembang

7

Page 8: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

Ukuran sinus frontalis adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya

2 cm. Sinus frontalis biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak

adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen

menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontalis dipisahkan oleh tulang yang relatif

tipis dan orbita dan fossa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontalis mudah

menjalar ke daerah ini.

Sinus frontalis berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus

frontalis, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.

Perdarahan sinus frontalis disuplai oleh arteri supraorbital dan supratroklearis

dari arteri oftalmika. Innervasi saraf dilakukan oleh nervus supraorbital dan

supratroklearis yang merupakan cabang pertama dari nervus trigeminus.2,3

2.1.3 Sinus Etmoidalis

Dari semua sinus paranasalis, sinus etmoidalis yang paling bervariasi, dan

akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi

sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa, bentuk sinus etmoidalis seperti piramid

dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm,

tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.

Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel udara yang menyerupai

sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di

antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi dan

terisi cairan saat seseorang lahir untuk kemudian tumbuh dan mengalami

pneumatisasi hingga usia 12 tahun. Berdasarkan letaknya, sinus etmoidalis dibagi

menjadi sinud etmoidalis anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus

etmoidalis posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoidalis

anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang

menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina

basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoidalis posterior biasanya lebih besar dan lebih

sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis.

Di bagian terdepan sinus etmoidalis anterior ada bagian yang sempit, disebut

resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontalis. Sel etmoid yang terbesar

disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang

disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksilaris. Pembengkakan

atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontalis dan

pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksilaris.

8

Page 9: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

Atap sinus etmoidalis yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina

kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan

membatasi sinus etmoidalis dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoidalis

posterior berbatasan dengan sinus sfenoidalis.

Perdarahan sinus etmoidalis disuplai oleh arteri etmoidalis anterior dan

posterior dari arteri oftalmika (sistem karotis interna), juga oleh arteri sfenopalatina

yang merupakan cabang akhir dari arteri maksilaris interna (sistem karotis eksterna).2,3

2.1.4 Sinus Sfenoidalis

Sinus sfenoidalis terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoidalis

posterior. Sinus sfenoidalis dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.

Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm.

Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah

dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga

sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoidalis. Sinus ini terbentuk

bukan karena kantung-kantung yang meluas dari kavum nasi, melainkan dari batas-

batas embrionik nasal. Sinus ini akan mencapai ukuran maksimalnya di usia remaja

akhir. Sinus ini memiliki tingkat pneumatisasi yang bervariasi dan dapat meluas

hingga sejauh foramen magnum pada beberapa pasien. Ketebalan dari dinding sinus

sfenoidalis bervariasi, dengan dinding anterosuperior dan atap dari sinus sfenoidalis

(planum sfenoidale) menjadi bagian tulang yang paling tipis.

Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fossa serebri media, dan

kelenjar hipofisa, sebelahnya inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan

dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna (sering tampak sebagai indentasi)

dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.

Vaskularisasi sinus sfenoidalis disuplai oleh arteri sfenopalatina, kecuali

planum sfenoidale, yang disuplai oleh arteri etmoidalis posterior. Innervasi dari sinus

sfenoidalis dilakukan oleh cabang pertama dan kedua dari nervus trigeminus.2.3

2.1.5 Kompleks Ostio-Meatal

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus medius, ada

muara-muara saluran dari sinus maksilaris, sinus frontalis, dan sinus etmoidalis

anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM),

terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,

resesus frontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoidalis anterior dengan ostiumnya dan

ostium sinus maksilaris. Kompleks ini digambarkan sebagai ruangan 3 dimensi yang

9

Page 10: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

dibatasi secara lateral oleh lamina papirasea, konka media secara medial, resesus

frontalis secaea superior, dan ostium sinus maksilaris secara inferior. Ruangan ini

mencakup prosesus unsinatus, infudibulum etmoid, hiatus semilunaris, dan celah

antara unsinatus dan konka media dan antara bulla etmoid dan konka media. Inflamasi

kronik dan edema dari kompeks ini dapat menyebabkan obstruksi anatomis dan

fungsional, yang selanjutnya menyebabkaninflamasi kronik dari sinus yang

mengeluarkan drainasenya ke area ini.2,3

2.1.6 Fisiologi Sinus Paranasalis

Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan

palut lendir di atasnya. Di dalam sinus, silia bergerak secara teratur untuk

mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah

tertentu polanya.

Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transpor mukosiliar dari sinus.

Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum

etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal

dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke

nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati

sekret pasca nasal (post-nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung.

Sampai saat ini belum ada penyesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus

paranasalis. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasalis ini tidak mempunyai

fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka

Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasalis, antara lain

(1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu

keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan

udara, dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.2

Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning), sinus berfungsi sebagai

ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi.

Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara

yang definitif antara sinus dan rongga hidung.

Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume

sinus pada tiap kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran

udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan

kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.

10

Page 11: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

Sebagai penahan suhu (thermal insulators), sinus paranasalis berfungsi

sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga

hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak

terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.

Sinus juga membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang

muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan

memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini

dianggap tidak bermakna.2

Sinus mungkin juga berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan

mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan

ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif.

Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-

hewan tingkat rendah.

Fungsi sinus sebagai peredam perubahan tekanan udara baru berfungsi bila

ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau

membuang ingus.

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasalis memang jumlahnya kecil

dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan

partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus

medius, tempat yang paling strategis.2,3

2.2. Pemeriksaan Sinus Paranasalis

Untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus paranasal dilakukan inspeksi

dari luar, palpasi, rinoskopi anterior, rinoskopi posterior, transiluminasi, pemeriksaan

radiologik dan sinoskopi sebagai pemeriksaan untuk menunjang diagnosis.

Pada tahap inspeksi, yang diperhatikan ialah adanya pembengkakan pada

muka. Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerah-

merahan mungkin menunjukkan sinusitis maksila akut. Pembengkakan di kelopak

mata atas mungkin menunjukkan sinusitis frontal akut.

Sinusitis etmoid akut jarang menyebabkan pembengkakan di luar, kecuali bila

telah terbentuk abses.

Pada tahap palpasi, nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan

adanya sinusitis maksilaris. Pada sinusitis frontalis, terdapat nyeri tekan di dasar

sinus frontalis, yaitu pada bagian medial atap orbita. Sinusitis etmoid menyebabkan

rasa nyeri tekan di daerah kantus medius.2

11

Page 12: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

Dengan pemeriksaan transiluminasi, manfaat yang didapatkan terbatas, hanya

dapat dipakai untuk memeriksa sinus maksilaris dan sinus frontalis, bila fasilitas

pemeriksaan radiologik tidak tersedia. Bila pada pemeriksaan transiluminasi tampak

gelap di daerah infraorbita, mungkin berarti antrum terisi oleh pus atau mukosa

antrum menebal atau terdapat neoplasma di dalam antrum.2

Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus maksilaris, akan tampak terang

pada pemeriksaan transiluminasi, sedangkan pada foto rontgen tampak adanya

perselubungan berbatas tegas di dalam sinus maksilaris.

Transiluminasi pada sinus frontalis hasilnya lebih meragukan. Besar dan

bentuk kedua sinus ini seringkali tidak sama. Gambaran yang terang berarti sinus

berkembang dengan baik dan normal, sedangkan gambaran yang gelap mungkin

berarti sinusitis atau hanya menunjukkan sinus yang tidak berkembang.

Transiluminasi dilakukan terutama harus di dalam ruangan yang gelap.

Sumber cahaya (transiluminator sinus) diletakkan di dalam rongga mulut untuk

memeriksa sinus maksilaris. Cahaya yang ditransmisikan melalui sinus akan terlihat

bercahaya seperti bulan sabit di daerah sekitar pupil dan infraorbital. Untuk sinus

frontalis, sumber cahaya diletakkan di dasar sinus, dan kemudian cahaya yang

ditransmisikan akan terlihat bersinar di dinding anterior sinus. Tes ini tidak banyak

membantu karena mukosa yang menebal, mukopus, pus atau tumor, akan terlihat

opak pada sinus. Tes ini juga tidak dimungkinkan untuk sinus sfenoidalis dan tidak

membantu pula untuk melihat sel-sel etmoid yang berjumlah banyak.2,4

2.3. Definisi Rinosinusitis

Sejarahnya, sinusitis ialah terminologi yang sudah diterima secara umum

untuk inflamasi dari sinus paranasalis. Namun terminologi ini secara berkala sudah

ditinggalkan karena istilah rinosinusitis lebih banyak diterima, hal ini disebabkan

oleh karena inflamasi dari hidung hampir selalu melibatkan inflamasi dari sinus

paranasalis juga. Secara jelas, bahkan terminologi ini lebih deskpritif. Oleh karena

itu, rinosinusitis saat ini menjadi istilah yang lebih dipilih dibandingkan sinusitis

dikarenakan istilah ini dapat lebih menjelaskan patofisiologi yang mendasarinya.

Rinosinusitis dibagi menjadi akut, subakut dan kronis. Rinosinusitis akut dapat

disebabkan oleh virus, bakteri atau campuran keduanya. Rinosinusitis virus akut

biasanya diderita selama 5 sampai 7 hari, sedangkan rinosinusitis bakteri akut

biasanya diderita sampai 4 minggu lamanya. Rinosinusitis subakut merupakan

Rinosinusitis dengan rentang waktu 4 sampai 12 minggu, dimana lebih dari 12

12

Page 13: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

minggu dapat disebut dengan Rinosinusitis kronis. Rinosinusitis virus akut biasanya

sembuh dalam 5 sampai 7 hari tanpa pengobatan, sedangkan pada Rinosinusitis

bakteri akut yang dinilai dari gejalanya akan memburuk setelah 5 hari atau gejalanya

menetap di atas 10 hari. Gejala yang muncul juga sulit dibedakan dengan rhinitis

simpleks dan rhinitis alergi yang meliputi nyeri pada wajah, sakit kepala, sekret

hidung purulen, penurunan penciuman dan demam. Adanya riwayat rhinitis dan

sekret purulen, nyeri saat menunduk dan nyeri maksila unilateral dan nyeri pada gigi

merupakan temuan yang umum pada sinusitis maksila. Rinosinusitis akut rekuren

didefinisikan bila terdapat 4 atau lebih serangan rinosinusitis akut dalam 12 bulan.

Rinosinusitis kronik didefinisikan sebagai suatu kondisi klinis yang berkaitan dengan

inflamasi persisten dari mukosa hidung dan sinus paranasalis selama 12 minggu atau

lebih dan dicirikan dengan adanya beberapa gejala seperti hidung tersumbat (nasal

obstruction), sekret keluar dari hidung (nasal discharge), batuk, gangguan penghidu,

dan sakit kepala. Walaupun prevalensinya cukup tinggi, namun rinosinusitis kronik

masih menjadi suatu penyakit yang cukup menantang dan kontroversial saat ini,

dikarenakan mekanisme etiologinya pun saat ini masih menjadi sumber perdebatan

dan banyak pemikiran yang berbeda mengenai langkah-langkah menatalaksana

penyakit ini. Konsensus yang ada saat ini, mengemukakan bahwa kriteria objektif

rinosinusitis kronik didasarkan pada endoskopi dan/atau CT-Scan yang dibutuhkan

untuk mendiagnosis secara definitif rinosinusitis kronik. Rinosinusitis kronik dapat

pula terjadi pada individu yang sehat atau pada individu dengan penyakit alergik dan

inflamasi lainnya ataupun pada individu yang memiliki faktor predisposisi seperti

rinitis alergika, asma, kistik fibrosis, dan abnormalitas anatomis. Pasien rinosinusitis

kronik selanjutnya dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu rinosinusitis kronik

dengan polip nasal, dan rinosinusitis kronik tanpa polip nasal tergantung pada

ada/tidaknya polip nasal. Rinosinusitis kronik terjadi baik pada dewasa dan anak, dan

dihubungkan dengan efek samping yang buruk terhadap kualitas hidup pasien, hal ini

telah dilaporkan terjadi pada populasi pediatrik khususnya.5-9

Usaha-usaha terdahulu untuk mendefinisikan rinosinusitis telah banyak yang

hanya berdasarkan gejala saja. Setidaknya ada 87% kunjungan yang dilakukan untuk

mendiagnosis dan menatalaksana rinosinusitis di layanan kesehatan primer, dimana

endoskopi nasal dan pencitraan dengan CT tidak rutin dilakukan. Sehingga, banyak

konsensus nasional dan internasional dilakukan untuk mengembangkan definisi yang

berbasis gejala untuk mendiagnosis rinosinusitis di awal pertemuan dengan pasien.

13

Page 14: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

Sebagai contoh di tahun 1997, the Task Force for Rhinosinusitis of the American

Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS) mengidentifikasi

faktor mayor dan minor, juga durasi gejala untuk mendiagnosis dan

mengklasifikasikan rinosinusitis. Rinosinusitis menurut AAO-HNS ini dibagi lagi

menjadi 4 jenis, yaitu akut (hingga 4 minggu), subakut (4 hingga 12 minggu), kronik

(>12 minggu), akut rekuren (≥4 episode/tahun ditambah setiap episode berlangsung

≥7 hingga 10 hari ditambah tidak adanya tanda-tanda rinosinusitis kronik), dan

kronik eksaserbasi akut (rinosinusitis kronik yang memburuk secara tiba-tiba,

kembali ke fase awal penyakit setelah dilakukan perawatan). Untuk tujuan praktis,

maka praktisi kesehatan lebih menyukai 2 kategori saja, yaitu akut dan kronik.

Rinosinusitis akut biasanya sebab aslinya ialah infeksi, sedangkan bentuk kroniknya

mungkin ialah hasil dari proses inflamasi dengan rentang yang luas. Rinosinusitis

kronik lebih jarang disebabkan oleh sebab bakterial dan secara luas dibagi kembali

menjadi 2 kategori umum, seperti yang sudah dikemukakan di atas yaitu perubahan

mukosa hiperplastik dengan polip dan yang tanpa polip.5,9

Mendiagnosis secara klinis rinosinusitis kronik selalu terbilang cukup sulit,

kesulitan timbul dari mendefinisikan penyakit ini secara akurat serta akibat tanda-

tanda yang muncul bervariasi pada pasien dengan rinosinusitis kronik. Bahkan,

seringkali gejalanya dapat meniru kondisi klinis lainnya dengan onset yang seringkali

tidak diketahui. Selain itu, rinosinusitis kronik merupakan penyakit yang terbentuk

dari fenotipe yang multipel, tiap fenotipe dengan karakteristik yang unik. Dikatakan

dahulu bahwa diagnosis rinosinusitis kronik dapat dibuat bila pasien memiliki 2 atau

lebih faktor mayor atau 1 mayor dan 2 faktor minor dan ke semua gejala ini

berlangsung selama lebih dari 12 minggu. Namun, tentu saja kriteria ini masih

memiliki objektivitas yang rendah.9

14

Gambar 2. Faktor mayor dan minor rinosinusitis5

Page 15: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

Beberapa studi yang dilakukan belakangan ini, mendemonstrasikan bahwa

definisi berbasis gejala untuk rinosinusitis kurang sempurna untuk memprediksikan

apakah pasien benar mengalami rinosinusitis. Sekitar 73% pasien rinosinusitis kronik

yang didiagnosis dengan menggunakan skema gejala, tidak memiliki gambaran

endoskopi objektif atau temuan CT yang mendukung diagnosis. Terdapat korelasi

yang lemah dan cukup signifikan antara skor gejala dan kehadiran penyakit seperti

yang sudah didiagnosis melalui CT, dengan beberapa faktor mayor yang sudah

diungkapkan sebelumnya. Secara keseluruhan, ada lebih dari setengah pasien yang

memiliki kriteria diagnosis rinosinusitis, namun ternyata tidak memiliki bukti

penyakit setelah dilakukan pemeriksaan CT-Scan. Dapat disimpulkan bahwa,

instrumen diagnosis berbasis gejala, memiliki sensitivitas yang baik namun

spesifisitasnya sangat buruk untuk mendeteksi pasien yang positif pada pemeriksaan

CT-Scan. Keterbatasan inilah yang menimbulkan pertanyaan mengenai reliabilitas

kriteria yang digunakan dalam definisi berbasis gejala untuk rinosinusitis.5,9

Beranjak dari keterbatasan itulah, maka saat ini diagnosis akurat rinosinusitis

didasarkan pada kombinasi dari gejala dan investigasi objektif. European Position

Paper on Rhinosinusitis baru-baru ini merekomendasikan diagnosis rinosinusitis

sebaiknya didasarkan pada hal-hal berikut ini:

Dua atau lebih gejala, salah satu di antaranya ialah sumbatan

hidung/kongesti hidung/nasal obstruction atau nasal discharge:

o ± Nyeri tekan fasial

o ± Berkurang atau hilangnya kemampuan menghidu

Sebagai tambahan, sebaiknya ada tanda-tanda objektif penyakit pada

endoskopi nasal dan/atau CT-Scan paranasalis.

o Tanda endoskopik terdapatnya polip; dan/atau sekret mukopurulen

yang secara primer berasal dari meatus medius; dan/atau

edema/sumbatan mukosa yang secara primer terdpaat di meatus

medius

o Bukti CT adanya perubahan mukosa dalam kompleks ostiomeatal

dan/atau sinus5

15

Page 16: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

2.4. Etiopatogenesis

2.4.1 Etiologi

Saat ini, studi etiologis untuk penyakit ini terutama lebih ditingkatkan pada

sumbatan ostiomeatal, alergi, polip, keadaan immunodefisiensi yang tidak begitu

jelas, dan penyakit gigi. Mikroorganisme lebih sering diketahui sebagai penyebab

sekunder. Semua jenis penyakit yang memproduksi toksin yang dapat mempengaruhi

silia, umumnya memiliki efek negatif terhadap rinosinusitis kronik.10

Rinosinusitis memiliki penyebab yang bermacam-macam, mencakup sebab

infeksi (viral, bakterial dan fungal), anatomis, allergika, disfungsi mukosilier genetik

ataupun kongenital (kistik fibrosis, diskinesia silia primer atau yang didapat), dan

gangguan sistemik. Kehadiran adanya bakteri di dalam rongga hidung dan sinus

paranasalis pada populasi penderita rinosinusitis telah dilaporkan dan sebagian besar

klinis menganggap bahwa peran bakteri cukup besar dalam banyak kasus. Apakah

bakteri memegang peranan langsung atau tidak langsung terhadap perkembangan

penyakit rinosinusitis kronik ini, belum dapat dipastikan.(ballenger)

16

Gambar 3. Etiologi terkait patogenesis rinosinusitis 9

Page 17: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

Faktor lingkungan

Faktor lingkungan yang berpotensi untuk menyebabkan rinosinusitis pada

seorang individu, antara lain ialah patogen mikroba infeksius, alergi, dan polusi

udara.5

Pasien dengan rinosinusitis melaporkan bahwa gejala mereka dimulai pertama

kali setelah sebuah keadaan infeksi viral akut. Lebih jauh, virus-virus ini dapat

menyebabkan perubahan yang beragam di tingkat seluler, seperti peningkatan adhesi

bakterial dan produksi dari mediator inflamasi oleh sel-sel epitelial hidung. Beragam

studi telah mengevaluasi kehadiran virus pernapasan pada sampel yang diambil dari

pasien dengan rinosinusitis kromik. Ramadan et al menemukan bahwa respiratory

syncytial virus (RSV) terdapat pada 20% sampel yang diambil. Namun studi ini tidak

melaporkan kelompok kontrol, juga waktu pengambilan spesimen, karena RSV lebih

sering muncul pada bulan-bulan di musim dingin. Jang et al melaporkan hal yang

serupa dengan sampel yang diambil pada bulan-bulan musim panas, yang

menunjukkan bahwa rinovirus terdapat pada 21% sampel dari pasien rinosinusitis

dan 0% pada kelompok kontrol, namun sampel ini diambil dari konka inferior dan

bukan dari mukosa sinus paranasal. Kontras dengan studi yang sudah dikerjakan

sebelumnya, Wood et al mengumpulkan sampel mukosa sinus dari 13 pasien

rinosinusitis kronis dan 2 kontrol. Tidak ada virus pernapasan, mencakup RSV, dan

rinovirus yang teridentifikasi pada sampel-sampel ini. Oleh karena itu, peran virus-

virus ini masih belum dapat dijelaskan secara pasti.8

Rinosinusitis bakterial akut dapat membuat infeksi traktus respiratorius pada

dewasa maupun anak menjadi lebih berat, sekitar 0,5% pada dewasa, dan 5% pada

kasus infeksi pernapasan viral pada anak. Lining mukosa dan sistem pertahanan

hidung dan sinus paranasal dapat dirusak oleh infeksi virus (common cold) yang

menyebabkan lebih mudahnya superinfeksi oleh bakteri, yang menjadi sebab penting

dari rinosinusitis akut. Spesies yang paling umum menjadi penyebab ialah

Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae¸dan Moraxella catarrhalis. Hal

ini tidak mengejutkan karena memang patogen-patogen ini berkoloni di nasofaring

dan karena itu sangat berpotensi untuk menyebabkan infeksi sekunder. Untuk kasus-

kasus nosokomial, maka Pseudomonas aeruginosa lah yang berperan, juga pada

individu yang imunokompromais. Rinosinusitis fungal lebih umum ditemui pada

populasi pasien imunokompromais dan diabetes. Telah dipostulasikan juga bahwa

rinosinusitis kronik dapat merupakan hasil lanjutan dari rinosinusitis akut, walaupun

17

Page 18: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

belum dapat dibuktikan secara definitif. Peranan bakteri dalam perkembangan

selanjutnya rinosinusitis kronik masih kontroversial. Hasil isolasi dari bakteri

menunjukkan bahwa terdapat bakteri aerobik dan anaerobik pada pasien dengan

rinosinusitis kronik. Beberapa studi sudah secara konsisten mengisolasi beragam

jenis patogen yang diyakini menjadi penyebab dari infeksi sinus pada rinosinusitis

kronik. Kebanyakan ialah bersifat aerobik (86%), dan sisanya anaerobik pada sekitar

8% pasien. Ada perbedaan yang cukup terlihat antara bakteri yang terdapat pada

studi mikrobiologis rinosinusitis kronik, jika dibandingkan dengan jenis akutnya.

Organisme yang paling sering dapat diisolasi pada rinosinusitis kronik ialah

Staphylococcus aureus (36%), dan Staphylococcus koagulase negatif (20%).

Streptococcus pneumoniae (9%) lebih jarang ditemui pada rinosinusitis kronik

dibandingkan dengan yang akut. Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis

nampaknya bukanlah patogen mayor pada rinosinusitis kronik. Seiring dengan durasi

penyakit yang semakin lama, organisme aerobik akan mulai digantikan oleh bakteri

anaerobik, hal ini secara potensial diperantarai oleh perubahan tekanan oksigen di

dalam lingkungan sinonasal yang kian berkurang dan perubahan pH. Kolonisasi

polimikroba juga menjadi gambaran yang umum ditemui pada rinosinusitis kronik.5

Pada penelitian yang dilakukan oleh Nadel et al, dengan identifikasi bakteri

pada 507 kultur yang diambil secara endoskopik, organisme predominan yang

ditemui mencakup S.aureus (31,3%), Stafilokokus koagulase negatif (44,2%), dan

batang Gram negatif (34,3%), mencakup Pseudomonas aeruginosa,

Stenotrophomonas maltophilia, Escherichia coli, dan Serratia marcescens. Bakteri-

bakteri ini ditemukan pada isolasi namun seringkali polimikrobial dengan 2 atau

lebih spesies bakteria yang ko-eksis.8

Staphylococcus aureus dapat ditemukan pada pasien dengan dan tanpa

rinosinusitis, yang menempati vestibulum hidung pada sekitar sepertiga dari populasi

manusia di waktu tertentu. Bakteri ini selain sering diidentifikasi pada pasien dengan

rinosinusitis kronik, juga terdapat pada infeksi yang melibatkan banyak komunitas

dan hospital-acquired, seperti sepsis dan endokarditis. Perannya terhadap etiologi

rinosinusitis kronis masih belum jelas. Namun diketahui bahwa pasien dengan

S.aureus memiliki skor gejala yang lebih buruk dan kualitas hidup yang lebih rendah

dengan hasil endoskopi nasal post-operasi yang lebih buruk dibandingkan dengan

pasien tanpa biofilm S.aureus.8

18

Page 19: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

Hipotesis superantigen menyatakan bahwa S.aureus mensekresikan protein

dengan berat molekul tinggi yang diketahui sebagai enterotoksin. Enterotoksin ini

memiliki aktivitas stimulatorik yang signifikan yang dapat mendukung perubahan

respons jaringan pada pasien dengan polip. Sekitar 50% pasien rinosinusitis kronik

dengan polip, menunjukkan respon limfosit yang konsisten terhadap pajanan

superantigen. Tambahan lagi, antibodi IgE spesifik terhadap toksin stafilokokal telah

dideteksi pada 18 dari 23 pasien dengan polip hidung. Hubungan antara superantigen

dengan rinosinusitis kronik tanpa polip hidung masih belum diketahui.

Batang Gram negatif sering diidentifikasi pada pasien yang telah menjalani

pembedahan sebelumnya. Pseudomonas aeruginosa ialah organisme yang

problematik, telah lama dikenali sebagai patogen yang penting pada pasien dengan

kistik fibrosis. Salah satu tantangan dalam menghadapi P.aeruginosa ialah

kemampuannya untuk membentuk biofilm yang selanjutnya dapat berakibat

refrakternya bakteri ini pada pasien rinosinusitis kronik. Dengan terbatasnya

antibiotik oral yang dapat digunakan secara efektif terhadap kuman ini, maka

pengobatan terhadap kuman ini menjadi penting untuk diselidiki terutama pada

eksaserbasi rinosinusitis kronik infeksius.

Stenotrophomonas maltophilia ialah basilus Gram negatif yang bersifat multi-

drug resistanti dan seringkali ditemukan pada pasien dalam keadaan

imunokompromais dan pasien ICU. Kuman ini telah dikultur dari sinus paranasal,

sering pada keadaan dimana pasien sudah pernah menjalani pembedahan endoskopik

sinus sebelumnya dan terapi antimikroba. Masih belum jelas apakah kuman ini

merupakan berperan dalam infeksi sebenarnya atau kolonisasinya terjadi setelah

eradikasi kuman lain oleh terapi antimikroba. Mengingat kuman ini yang resisten

terhadap banyak obat, maka kuman ini patut dipertimbangkan pada pasien yang

mengalami kegagalan dalam terapi yang diberikan.

Jamur juga sudah diisolasi dari rongga sinus pada pasien rinosinusitis, tapi

tidak ada bukti yang dapat menjelaskan kausalitasnya. Walaupun proliferasi fungal

dan invasi dari spesies-spesies seperti Mucor, Alternaria, Candida, Curvularia,

Bipolaris, Sporothrix schenckii, dan Pseudallescheria boydii dapat terjadi pada

pasien imunokompromais, kaskade respons inflamatorik yang dipicu oleh jamur

nampaknya lebih penting menjadi faktor etiologik pada rinosinusitis kronik. Secara

bertahap, melakukan desensitisasi terhadap antigen fungal telah terbukti berguna

dalam mengatasi gejala di antara beberapa pasien dengan rinosinusitis. Namun

19

Page 20: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

penggunaan obat antijamur masih memiliki efikasi yang tidak konsisten pada pasien

rinosinusitis kronik.8

Kaitan yang menunjukkan hubungan antara atopi dan rinosinusitis didasarkan

pada konsep bahwa mukosa dari jalan napas nasal berkelanjutan dengan sinus

paranasal. Pembengkakan mukosa dan edema di sekitar regio kompleks ostiomeatal

dapat memfasilitasi obstruksi dari ostium sinus, mengurangi ventilasi dan

menyebabkan tekanan negatif di dalam rongga sinus.5

Tekanan oksigen yang berkurang di dalam sinus akan mengganggu fungsi

silier, dan kemudian akan menyebabkan gangguan pada drainase mukus; tentu saja

hal ini akan meningkatkan risiko infeksi sekunder. Pajanan berulang terhadap

allergen lebih jauh akan mengurangi ambang respons mukosa terhadap allergen

lainnya, polutan dan iritan, yang secara berkelanjutan akan meningkatkan edema dan

secara efektif meningkatkan kerentanan mukosa terhadap infeksi sekunder bakteri.

Ada beberapa bukti hubungan antara alergi dan rinosinusitis. Sekitar 50% hingga

84% pasien dengan rinosinusitis kronik atau rekuren paling tidak memiliki satu

positif pada skin prick test. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Benninger,

melaporkan bahwa 54% pasien dengan rinosinusitis kronik memiliki uji skin prick

test yang positif pula.

Enam puluh persen pasien pada studi alergik kohort menunjukkan sensitivitas

alergik yang signifikan, dengan 52% positif untuk sensitivitas terhadap allergen yang

bermacam-macam, terutama terhadap tungau debu rumah. Yang lebih menarik lagi,

walaupun banyak studi melaporkan insidens yang lebih tinggi dari temuan CT positif

pada pasien rinosinusitis dengan derajat lebih tinggi sensitivitas, namun studi lain

mengindikasikan bahwa derajat alergi tidak berkorelasi dengan keparahan

penyakitnya seperti yang sudah dikaji dengan CT-Scan. Hal ini dapat diartikan

bahwa walaupun alergi dapat menjadi predisposisi rinosinusitis, perkembangan

gejala yang sebenarnya, melibatkan proses yang multifaktorial. Tambahan lagi, studi

epidemiologis yang menyelidiki rinosinusitis kronik mengungkap tidak adanya

peningkatan insidens selama musim penyerbukan pada pasien yang tersensitisasi

serbuk sari, sehingga hubungan antara alergi dan rinosinusitis kronik bukanlah

berupa hubungan kausatif.

Secara keseluruhan, peran alergi dalam rinosinusitis masih belum jelas,

sebelum dapat dilakukan studi prospektif yang dapat menunjukkan secara jelas

hubungan antara alergi dengan rinosinusitis infektif.5,8

20

Page 21: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

Beberapa studi pernah dilakukan untuk memeriksa hubungan antara polutan di

udara dan insidens atau prevalensi rinosinusitis kronik. Bhattacharyya melakukan

analisis kros-seksional untuk memeriksa hubungan antara prevalensi dari hay fever

dan sinusitis dan pengukuran kualitas udara Amerika Serikat selama periode 1997-

2006. Menggunakan National Health Interview Survey dan data tingkat polutan dari

US Environmental Protection Agency, sebuah hubungan langsung ditemukan antara

baik hay fever dan sinusitis dan kadar polutan karbonmonoksida, nitrous dioxide,

sulfur dioksida, dan partikel-partikel lainnya. Sebagai perbandingan yang cukup

jelas, kondisi gagal ginjal pada kelompok kontrol justru menunjukkan hubungan

yang sangat lemah dengan parameter ini. Studi ini tidak memeriksa perbedaan

regional dari hay fever, sinusitis, dan kadar polutan, seperti pada area pedesaan

dengan area perkotaan. Polusi udara yang bersifat iritan mencakup sulfur dioksida,

ozon, dan formaldehid (polutan indoor) telah dilaporkan mempengaruhi secara

negatif klirens mukosilier.11

Banyak studi juga telah mengeksplor hubungan antara polusi udara luar

ruangan dan rinosinusitis kronik. Studi epidemiologis dari Brazil mendemonstrasikan

bahwa pajanan kronik terhadap polusi udara daerah padat penduduk berhubungan

dengan prevalensi rinosinusitis dan infeksi saluran napas atas yang lebih tinggi,

daripada pada anak yang didiagnosis dari area pedesaan, yang merupakan lingkungan

bebas polusi. Efek ini nyatanya telah diobservasi berkaitan dengan peningkatan

kerusakan ultrastruktural dari silia epitelium jalan napas pada tikus yang terpajang

pada kadar polusi yang sama. Sebagai perbandingan yang kontras, sebuah laporan

dari Korea menemukan bahwa tidak ada perbedaan signifikan pada prevalensi antara

rinosinusitis kronik di area perkotaan dan di area pedesaan. Baru-baru ini, sebuah

investigasi terhadap kaitan antara polusi udaran dan rinosinusitis kronik dilakukan di

Jerman mengungkap bahwa distribusi spasial dari rinosinusitis kronik berkorelasi

dengan area dimana polusi udaranya melebihi ambang batas bawah. Merokok juga

dikaitkan berhubungan dengan prevalensi rinosinusitis yang lebih tinggi, walaupun

studi yang lebih jauh gagal mengkonfirmasi temuan ini. Faktor lingkungan tidak

diragukan lagi memainkan peranan dalam patofisologi rinosinusitis, tapi bukti

histopatologik in vitro yang konfirmatorik masih jarang ditemukan.5

Faktor anatomis

Variasi anatomis tertentu seperti deviasi septal, sel Haller, konka media yang

melengkung secara paradoksikal, dan sel agger nasi telah dilaporkan menjadi

21

Page 22: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

predisposisi sumbatan dari kompleks ostiomeatal, yang menyebabkan rinonsinusitis

kronik. Namun, saat ini bukti yang masih ada cukup sedikit bahwa kesemua hal ini

memainkan peran pada sebagian besar kasus sinusitis kronik. Lebih jauh, studi baru-

baru ini pada populasi pediatrik menemukan tidak adanya korelasi antara

abnormalitas anatomis dan rinosinusitis kronik pada gambaran CT sinus.11

Faktor anatomis yang juga dikatakan berperan sebagai faktor berkembangnya

rinosinusitis kronik ialah konka media yang mengalami pneumatisasi (concha

bullosa), dan variasi dari prosesus unsinatus. Walaupun banyak mekanisme

variabilitas anatomis yang berujung pada rinosinusitis kronik, namun beberapa studi

justru telah menunjukkan tidak adanya perbedaan prevalensi antara variasi anatomis

pasien dengan rinosinusitis kronik dan pasien tanpa rinosinusitis kronik. Sebuah

review sistematis mengenai peran deviasi septal terhadap rinosinusitis kronik,

menyimpulkan bahwa peningkatan sudut defleksi septal diasosiasikan dengan

peningkatan sejumlah kecil prevalensi rinosinusitis kronik yang signifikan. Namun

berdasarkan informasi yang ada sekarang, peran pasti dari variasi anatomis masih

belum jelas. Nampaknya, ventilasi sinus yang terganggu dapat merupakan akibat dari

variasi anatomis, tapi faktor ini bila hanya berdiri sendiri tidak cukup untuk dapat

menyebabkan berkembangnya rinosinusitis kronik.8

Dalam beberapa kasus, rinosinusitis kronik berkembang dari infeksi bakteri

kronis di dalam rongga sinus terutama pada ostium yang tersumbat secara anatomis.

Abnormalitas anatomis akan menyebabkan saluran yang sempit sehingga akan

mempredisposisi individu untuk mengalami rinosinusitis kronik, khususnya bila

terdapat peradangan yang reversibel. Variasi anatomis tertentu dapat juga

mempredisposisi seseorang pada rinosinusitis kronik, mencakup sel-sel Haller

(infundibuler), silent sinus syndrome, atau traktus aliran keluar sinus frontal yang

sempit dari agger nasi yang besar atau sel-sel frontal. Sekali ostium teroklusi,

hipoksia lokal akan terjadi di dalam rongga sinus dan sekresi sinus akan

terakumulasi. Kemudian akan tercipta lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan

bakteri yang cepat. Toksin bakteri dan mediator endogen secara bertahap akan

merusak epitelium saluran napas yang bersilia, sehingga menyebabkan penurunan

pembersihan mukosilier. Stasis sekresi sinus akan menyebabkan siklus yang terus

berlanjut dan infeksi akan terus berlanjut.

Klirens mukosilier khususnya penting untuk menjaga homeostasis sinus-sinus

paranasal dan membutuhkan penjelasan lebih jauh. Pergerakan silier dari epitelium

22

Page 23: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

akan membuang allergen, bakteri dan polutan yang terperangkap di dalam mukus

atau lapisan gel dari palut mukosilier melalui jalur drainase alami. Mukus akan

tersimpan di dalam cairan perisilier atau lapisan sol yang memudahkan eliminasi

secara cepat sekresi yang kental. Klirens mukosilier dapat terganggu akibat fungsi

silier yang defektif, karena faktor intrinsik atau ekstrinsik atau karena gangguan dari

produksi dan kekentalan mukus. Faktor intrinsik yang menyebabkan disfungsi silier,

antara lain diskinesia silier primer atau sindroma Kartagener. Faktor ekstrinsik yang

menganggu klirens mukosilier mencakup cidera oleh karena iritan lingkungan,

mediator endogen inflamasi, atau cidera bedah. Pasien dengan kistik fibrosis

memiliki mukus dengan kekentalan tinggi akibat gangguan dari transpor air dan

elektrolit. Lapisan gel dan sol dari palut lendir ialah yang paling terkena, sehingga

akan mengganggu penghilangan bakteri. Iritan airborne, alergen, pajanan terhadap

udara dingin, atau infeksi saluran napas atas akibat virus dapat menyebabkan

peningkatan produksi mukus dan melebih kadar yang bisa dibersihkan melalui sistem

klirens mukosilier. Semua faktor ini akan berujung pada akumulasi mukus di dalam

sinus, menurunkan pembersihan bakteri, dan menciptakan lingkungan yang sangat

mendukung pertumbuhan bakteri.9

Fungsi silier yang utuh ialah mekanisme pertahanan kunci untuk melawan

infeksi dari sinus paranasal dan mukosa nasal. Aliran mukosilier dapat menurun

akibat rinosinusitis viral, yang menyebabkan kerusakan silia selama minggu pertama

infeksi. Regenerasi fungsi silier dapat terjadi, tapi mulanya hanya terdiri dari silia

yang pendek dan immatur yang tidak begitu efisien dalam menjaga aliran mukosilier.

Secara bertahap, risiko superinfeksi bakteri meningkat, yang akan menyebabkan

hilangnya silia lebih banyak, dan semakin mendukung infeksi yang sedang

berlangsung. Hasilnya, diskinesia silier sekunder terjadi akibat rinosinusitis kronik,

memungkinkan persistensi infeksi. Pentingnya fungsi klirens mukosilier terutama

dapat dilihat pada diskinesia silier primer, seperti yang sudah disebutkan di atas yaitu

sindroma Kartagener, yang terjadi pada pasien dengan keluhan rinosinusitis kronik

dan rekuren.5,9

Faktor kelainan sistemik individu

Beberapa kelainan sistemik invididu yang menjadi predisposisi rinosinusitis

kronik, antara lain berupa keadaan imunodefisiensi dan penyakit-penyakit sistemik

lainnya seperti kistik fibrosis, sarkoidosis, imunodefisiensi primer, granulomatosis

Wegener, dan diskinesia silier.

23

Page 24: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

Sarkoidosis ialah penyakit multisistemik yang cukup umum. Khas dari

penyakit ini ialah keberedaan granuloma non-caseating. Mukosa nasal terlibat pada

hingga 20% pasien. Selain keterlibatan sinus nasal, tanda dan gejala lain yang tipikal

juga melibatkan paru-paru. Temuan hidung yang paling umum ialah kongesti nasal.

Sarkoidosis sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan penyakit multisistemik

atau pada penderita yang dapat diatasi dengan perawatan standar.

Granulomatosis Wegener ialah penyakit autoimun sistemik yang

dikarakteristikan dengan adanya vaskulitis nekrotisasi dari traktus respiratorius atas

dan bawah. Pasien datang dengan keluhan epistaksis, sinusitis refrakter, otitis serosa,

infiltrat paru noduler, dan focal necrotizing glomerulonephritis. Sinusitis kronik

dapat mendahului manifestasi di paru dan ginjal selama bertahun-tahun sebelum

penyakit menjadi fatal. Diagnosis ini harus dipertimbangkan pada pasien dengan

rinosinusitis kronik yang tidak dapat diatasi dengan terapi konvensional. Diagnosis

dapat dikonfirmasi dengan keberadaan c-ANCA. Spesimen dari hasil biopsi

menunjukkan adanya vaskulitis dari arteri-arteri kecil dan vena dengan pembentukan

granuloma.

Diskinesia silier secara khas terlihat sebagai pasien dengan sinusitis persisten

atau rekuren. Dikarenakan kemampuan untuk membersihkan mukus dan bakteri

terganggu, infeksi saluran napas atas dan bawah yang muncul biasanya berlangsung

cukup lama. Pasien sering bergejala sebagai batuk yang produktif dengan

bronkiektasis yang mendasarinya. Subgrup spesifiknya ialah Kartagener yang

dicirikan dengan sinusitis rekuren, polip nasal, situs inversus, infertilitas, dan

bronkiektasis. Tes screening untuk fungsi silier ialah dengan menggunakan tes

sakarin, yang mengukur jumlah waktu yang diperlukan pasien untuk merasakan

sakarin setelah diletakkan di konka inferior. Waktu umumnya ialah 15-20 menit.

Persepsi sakarin yang tertunda sugestif untuk gangguan motilitas. Pemeriksan

mikroskop elektron silia yang diambil dengan sampel sikat juga dapat menjadi cara

untuk mendokumentasikan struktur silia yang abnormal.12

Keadaan imunokompromais juga telah dikaitkan dengan peningkatan risiko

rinosinusitis, dan biasanya pemeriksaan imunologis menjadi komponen penting

dalam pemeriksaan diagnostik rinosinusitis kronik atau rekuren. Kadar

imunoglobulin yang rendah baik IgG, IgA, dan IgM telah ditemukan secara berurutan

pada 17,9%, 16,7%, dan 5,1% pasien dengan rinosinusitis yang refrakter. Defisiensi

IgA selektif juga ditemukan pada 6% kasus. Faktor defisiensi imun ini sebaiknya

24

Page 25: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

dipertimbangkan pada pasien rinosinusitis kronik dengan pola infeksi rekuren yang

purulen. Pada populasi pediatrik yang dipelajari oleh Shapiro et al, menemukan

bahwa 34 dari 61 anak-anak dengan sinusitis refrakter nyatanya memiliki hasil

abnormal ketika dilakukan studi imun, dengan kadar IgG3 yang menurun dan respons

yang buruk terhadap antigen pneumokokal. Pada pasien dewasa, Vanlerberghe et al

menemukan bahwa IgG2, IgG3 atau defek kombinasi atau subkelas IgG mayor atau

minor terjadi pada 22,8% pasien dengan rinosinusitis kronik.5,11

Empat puluh persen studi kohort telah mengkaji secara bertahap fungsi

limfosit T, dan menemukan bahwa 54,8% kasus menunjukkan adanya respons

proliferasi abnormal terhadap antigen. Ataksia telangiektasia dan

agammaglobulinemia terkait X juga dikaitkan dengan rinosinusitis. Dengan

peningkatan insidens dari AIDS, beberapa investigator telah mempelajari hubungan

antara infeksi HIV dengan risiko rinosinusitis. Keadaan imunitas seluler dan humoral

yang tersupresi, klirens mukosilier yang terganggu, dan peningkatan kadar IgE pada

pasien AIDS secara teoritis meningkatkan risiko rinosinusitis. Yang lebih menarik,

rinosinusitis tidak secara konsisten dikaitkan dengan infeksi HIV, walaupun kadar

hitung CD4 yang rendah nampaknya menjadi predisposisi penyakit sinus.

Peningkatan risiko infeksi dan kolonisasi sinus akibat mikroba oportunistik seperti

spesies Aspergillus dan Pseudomonas aeruginosa pada pasien AIDS nampaknya ikut

bertanggung jawab terhadap gejala sinonasal pada beberapa individu.5

Refluks gastroesofageal, secara spesifik refluks laringofaringeal telah diyakini

sebagai faktor kontributif terjadinya rinosinusitis kronik. Mekanisme terjadinya

diyakini disebabkan oleh karena efek langsung refluksat ke mukosa hidung/sinus,

walaupun tidak ada efek LPR terhadap klirens mukosilier hidung yang dapat

dibuktikan. Pasien dengan refluks yang menjalani monitoring pH sering

menunjukkan adanya refluks asam intermiten hingga ke nasofaring. Anak-anak

umumnya cenderung lebih rentan, dengan adanya pepsin lambung yang terdeteksi

pada sekret otits media efusi. Satu studi menemukan bahwa pasien dengan LPR

memiliki skor yang lebih tinggi pada Sinonasal Outcome Test (SNOT-20) bahkan

ketika tidak ada diagnosis rinosinusitis kromik dan studi lainnya menunjukkan bahwa

pasien dengan LPR memiliki skor yang lebih tinggi untuk drainase post-nasalnya.

Walau begitu, tidak ada studi yang dilakukan untuk menunjukkan perbaikan

rinosinusitis kronik dengan terapi antirefluks. Sehingga, diperlukan lebih banyak

studi untuk menunjukkan bukti kausalitas antara refluks laringofaringeal dan

25

Page 26: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

rinosinusitis, yang mana hasilnya dapat benar-benar secara potensial mempengaruhi

manajemen sejumlah pasien.5,11

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa gangguan mukosilier dapat

merupakan komponen dari kistik fibrosis dan diskinesia silier primer. Kistik fibrosis

adalah suatu kondisi autosom resesif. Oleh karena tingginya prevalensi dari mutasi

F508 pada populasi Kaukasia, maka diagnosis ini sebaiknya selalu dipertimbangkan

pada pasien rinosinusitis dengan/atau tanpa polip nasal. Rinosinusitis kronik dan

polip hidung ditemukan pada 25% hingga 40% pasien kistik fibrosis di atas umur 5

tahun.5

Perubahan hormonal yang terjadi pada masa kehamilan dikaitkan dengan

peningkatan kongesti hidung pada sekitar 20% wanita selama masa hamilnya.

Mekanisme pastinya di balik pengamatan ini masih belum dapat dijelaskan, namun

secara potensial mencakup efek dari progesteron, estrogen dan human placental

growth hormone pada mukosa hidung dan vaskulatur yang mendukungnya. Pada

studi prospektif, 61% wanita hamil mengalami kongesti nasal selama trimester ketiga

namun hanya 3% saja yang didiagnosis dengan rinosinusitis.5

2.4.2 Patogenesis

Stasis sekresi di dalam sinus dapat dipicu oleh (1) obstruksi mekanis di

kompleks ostioematal oleh karena faktor anatomis atau (2) edema mukosa yang

disebabkan oleh etiologi yang bervariasi (misal: rinitis alergika atau viral akut)

Stagnasi mukus di dalam sinus akan membentuk suatu medium yang potensial

untuk pertumbuhan sejumlah besar patogen. Fase awal sinusitis sering berupa infeksi

viral yang berlangsung hingga 10 hari dan biasanya akan mengalami perbaikan

sempurna dalam 99% kasus. Walau begitu, sejumlah kecil pasien dapat mengalami

infeksi bakteri sekunder yang umumnya disebabkan oleh bakteri aerobik (misal:

Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis).

Mulanya, sinusitis akut hanya melibatkan satu jenis bakteri aerobik. Dengan

persistensnya infeksi, maka patogen yang ditemukan akan bervariasi, mulai dari

organisme anaerobik, dalam beberapa kasus jamur, yang ikut berpartisipasi dalam

patogenesis sinusitis kronik, dengan baktero anaerobik atau flora yang berasal dari

mulut biasanya mendominasi. Dalam satu studi, perubahan bakteri ini dibuktikan

dengan aspirasi endoskopik berulang pasien dengan sinusitis maksilaris. Sebagian

besar kasus sinusitis kronik disebabkan karena sinusitis akut yang tidak terobati atau

tidak berespon terhadap perawatan.

26

Page 27: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

Peran bakteri dalam patogenesis sinusitis kromik saat ini masih dikaji ulang.

Infeksi yang berulang dan persisten dapat berkembang pada individu dengan keadaan

imunodefisiensi kongenital atau didapat yang berat, atau pada pasien dengan kistik

fibrosis. Pemikiran saat ini masih terbatas pada pemahaman bahwa rinosinusitis

kronik secara dominan disebabkan oleh penyakit inflamatorik multifaktorial. Faktor-

faktor yang berperan antara lain infeksi persisten (mencakup biofilm atau osteitis,

kelainan alergi atau imunologis lainnya, faktor intrinsik dari saluran napas atas,

superantigen, kolonisasi fungsi yang menginduksi inflamasi eosinofilik, abnormalitas

metabolik seperti sensitivitas aspirin. Kesemua faktor ini dapat memainkan peranan

dalam menyebabkan gangguan dalam sistem transpor mukosilier. Patensi ostium

sinus yang terganggu, fungsi silier, dan kualitas sekret lah yang memicu stagnasi

sekret, menurunnnya pH, dan tekanan oksigen di dalam sinus. Perubahan-perubahan

inilah yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri yang selanjutnya semakin

meningkatkan derajat peradangan mukosa.10

2.5. Epidemiologi

Prevalensi yang ada saat ini masih terbatas data prevalensi rinosinusitis kronik

di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, rinosinusits kronik ialah satu dari sekian

penyakit kronik yang umum dijumpai, yang terjadi pada semua kelompok usia.

Prevalens keseluruhan dari rinosinusitis kronik di Amerika Serikat ialah 146 per

1000 populasi. Untuk alasan yang tidak diketahui, insidensi dari penyakit ini

nampaknya meningkat setiap tahunnya. Hal inilah yang menyebabkan paling tidak

adanya 18-22 juta kunjungan pasien ke dokter di Amerika Serikat setiap tahun dan

biaya pengobatan yang dihabiskan mencapai 3,4- 5 juta milyar dollar Amerika

Serikat tiap tahunnya. Sinusitis kromik ialah penyakit kelima paling umum yang

diterapi dengan menggunakan antibiotik. Enam puluh empat persen pasien dengan

AIDS umumnya akan mengalami sinusitis kronik.

Sebagai penyakit yang umum terjadi secara luas di belahan dunia manapun,

rinosinusitis kronik terutama terjadi di tempat-tempat dengan kadar polusi atmosferik

yang tinggi. Di belahan dunia utara, iklim dengan suhu yang lembab disertai dengan

konsentrasi serbuk yang tinggi dikorelasikan dengan prevalensi sinusitis kronik yang

lebih tinggi.

Rinosinusitis tergolong cukup umum pada populasi pediatrik karena istilah ini

mencakup infeksi bentuk akut dan kroniknya, dan baik penyakit yang karena bakteri

27

Page 28: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

ataupun karena virus. Nampaknya hal ini disebabkanya oleh karena meningkatnya

pajanan, sekunder terhadap infeksi saluran napas pada populasi pediatrik.9,10

2.6. Manifestasi Klinis

Riwayat pasien ialah hal yang penting dalam rinosinusitis kronik karena

tumpang tindihnya gejala sinus dan proses penyakit lainnya, juga karena korelasi

yang buruk antara gejala dengan temuan endoskopik atau radiografik. Sinusitis

kronik memiliki manifestasi yang lebih subtle dibandingkan dengan sinusitis akut.

Walaupun sinusitis kronik ini dapat mulai secara tiba-tiba, sebagai infeksi saluran

napas atau sinusitis akut yang tidak membaik, atau dapat pula berprogresi secara

lambat selama berbulan-bulan atau tahun. Gejala khas yang terdapat pada sinusitis

akut, seperti demam dan nyeri tekan fasial biasanya tidak ada pada sinusitis kronik.

Demam, bila pun ada, biasanya hanya berupa demam ringan. Pasien dengan sinusitis

kronik dapat memiliki gejala sumbatan hidung/rasa penuh di hidung, keluar sekret

dari hidung (sekret dengan konsistensi apapun, mulai dari sekret tipis hingga tebal,

dan sekret jernih hingga purulen), postnasal drip, rasa penuh pada muka atau rasa

nyeri/tidak nyama dan sakit kepala (lebih berat dengan poliposis hidung), batuk

kronik yang tidak produktif (umumnya pada anak), hiposmia atau anosmia, sakit

tenggorokan, napas bau, malaise, mudah lelah, anoreksia, eksaserbasi asma, nyeri

gigi (gigi atas), gangguan penglihatan, bersin-bersin, hidung terasa penuh, demam

tanpa sebab yang jelas.

Pada kasus-kasus pediatrik, halitosis dilaporkan lebih umum terjadi oleh orang

tua yang memiliki anak kecil. Sumbatan hidung dengan pernapasan mulut disertai

sakit tenggorokan dapat pula ditemukan. Pada beberapa individu dengan sinusitis

kronik, orangtua dapat mencatat adanya pembengkakan pada mata di pagi hari yang

tidak sakit. Anak yang lebih besar dapat mengeluh hilangnya pengecapan akibat

sumbatan hidung dan anosmia. Gejala malam hari mencakup mendengkur, dan batuk

akibat adanya postnasal drip. Riwayat pasien sebaiknya difokuskan pada faktor-

faktor kunci berikut ini, dimulai dengan kriteria diagnostik mayor dan minor yaitu

adanya gejala mayor (mencakup drainase purulen dari hidung anterior, drainase

purulen dari hidung posterior, sumbatan hidung, nyeri tekan wajah atau terasa penuh,

hiposmia atau anosmia), adanya gejala minor (mencakup sakit kepala, nyeri telinga

atau rasa penuh pada telinga, halitosis, nyeri dental, batuk, demam, kelelahan), durasi

gejala, faktor yang memperberat dan memperingan, pengobatan saat ini, pembedahan

hidung atau sinus paranasal sebelumnya, gambaran radiografi sebelumnya, masalah

28

Page 29: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

kesehatan lainnya (mencakup asma, alergi, dan gangguan imunokompromais),

merokok aktif atau pasif, dan pajanan terhadap alergen. Lokasi nyeri alih ada di

beberapa tempat, antara lain nyeri dental/pipi untuk sinus maksilaris, nyeri di antara

mata untuk sinus etmoidalis, nyeri di dahi untuk sinus frontalis, dan nyeri pada ubun-

ubun/vertex untuk sinus sfenoidalis.10,13,14

2.7. Pemeriksaan Penunjang

Sebelum melakukan pemeriksaan penunjang, pemeriksaan fisik pada pasien

harus dilakukan secara menyeluruh. Pemeriksaan harus mencakup pemeriksaan

kepala dan leher secara lengkap untuk mengkonfirmasi diagnosis dan untuk

menyingkirkan kelainan yang serius. Palpasi sinus dilakukan untuk mengevaluasi

nyeri tekan atau pembengkakan. Nyeri atau nyeri tekan pada palpasi sinus frontalis

dan sinus maksilaris sebaiknya dicatat. Pemeriksaan transiluminasi mungkin berguna

namun memiliki sensitivitas yang rendah, pada pemeriksa yang berpengalaman,

hasilnya dapat bermakna. Pemeriksaan rongga mulut dan orofaring digunakan untuk

mengevaluasi integritas palatum dan kondisi gigi sekaligus untuk mencari bukti

postnasal drip. Eritema orofaringeal dan sekret purulen sebaiknya dicatat. Karies

dentis dapat saja ada. Rinoskopi anterior dengan menggunakan spekulum nasal

digunakan untuk mengevaluasi kondisi mukosa hidung dan untuk melihat bukti

drainase purulen atau adanya polip atau massa lainnya. Faktor lain yang

berkontribusi terhadap rinosinusitis kronik yang dapat dievaluasi ialah deviasi

septum nasal dan hipertrofi konka. Pemeriksaan hidung harus dilakukan sebelum dan

sesudah digunakan dekongestan topikal. Pemeriksaan hidung dengan menggunakan

endoskopi hidung dapat menemukan adanya mukosa hidung yang kemerahan dan

bengkak, sekret purulen, sumbatan hidung akibat deviasi septum atau konka yang

hipertrofi dan polip hidung. Pemeriksaan telinga untuk mencari adanya cairan di

telinga tengah dapat dilakukan dan merupakan tanda adanya massa di nasofaring.

Pemeriksaan mata untuk mengetahui persebaran penyakit ke orbita dan fungsi otot

penggerak bola mata sebaiknya dilakukan. Manifestasi mata dapat mencakup

kongesti konjungtival, lakrimasi, proptosis, palsi otot ekstraokuler, gangguan

penglihatan. Pemeriksaan laringeal digunakan untuk melihat patologi saluran napas

atas apabila terdapat gejala refluks laringofaringeal. Pemeriksaan paru dilakukan

untuk menentukan apakah terdapat penyakit saluran napas bawah yang telah ada

sebelumnya. Pemeriksaan saraf kranialis dilakukan untuk melihat keganasan sinus

29

Page 30: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

atau kelainan neurologis yang mungkin ada. Misetoma atau fungus ball dapat saja

ditemukan, dan biasanya dikorelasikan dengan keadaan sinusitis fungal alergika.10,14

Dalam merencanakan pemeriksaan penunjang maka selalu pertimbangkan

kondisi yang mendasari, seperti tumor dan keadaan imunodefisiensi. Umumnya, foto

polos memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. CT-Scan dipertimbangkan

sebagai standar pencitraan untuk mengevaluasi sinusitis kronik. Hitung sel darah

rutin dan laju endap darh umumnya tidak membantu namun mungkin saja meningkat

pada pasien dengan demam. Pemeriksaan penunjang diagnostik paling penting pada

kasus sinusitis kronik ialah pemeriksaan radiologik. Endoskopi hidung

direkomendasikan pada sebagian besar kasus sebelum melakukan pemeriksaan

pencitraan, karena dapat digunakan untuk memperlihatkan kondisi mukosa hidung

dan mengevaluasi drainase purulen dari hidung. Temuan radiologis pada individu

dengan sinusitis kronis dapat menunjukkan adanya respon osteoblastik pada dinding

sinus yang terkena, penebalan mukoperiosteal, opasifikasi rongga sinus, dan bahkan

pengurangan ukuran rongga sinus. Anak yang lebih kecil dengan gejala pernapasan

persisten mungkin saja memiliki abnormalitas signifikan yang dapat diobservasi

dengan radiografi sinus. Radiograf ini memberikan evaluasi yang cepat dan non-

invasif untuk kesemua sinus paranasal.10

Umumnya pemeriksaan lab hanya dilakukan bila memang hasilnya secara

potensial dapat mempengaruhi pembuatan keputusan dalam menatalaksana pasien.

Sebagai tambahan, pemeriksaan lab dapat dilakukan untuk menegaskan temuan atau

justru menyingkirkan temuan. Pemeriksaan alergi ialah salah satu jenis pemeriksaan

lab yang dapat mendukung diagnosis, dan membantu menjelaskan etiologi yang

mendasari. Pemeriksaan serum total dan spesifik IgE dan hitung darah lengkap dapat

digunakan untuk mengkaji eosinofilia pada pasien rinosinusitis kronik dengan polip

hidung. Peningkatan IgE ialah marker yang sesuai untuk penyakit atpik dan dapat

membantu membedakan pasien dengan rinosinusitis kronik fungal alergik dengan

rinosinusitis kronik eosinofilik. Eosinofilia serum dapat menjadi marker untuk

penyakit yang lebih luas dan dapat membantu mengidentifikasi individu yang lebih

refrakter terhadap terapi pembedahan. Pemeriksaan imunologis dapat juga dilakukan

untuk rinosinusitis kromik khususnya pada anak. Pengkajian serum untuk total IgE,

IgE spesifik, IgA, IgG, dan subkelas IgG (IgG1, IgG2, IgG3, dan IgG4) dan titer

pneumokokal dapat membantu menentukan apakah pasien memiliki defisiensi

imunoglobulin atau memiliki respon imun yang lemah.9,12

30

Page 31: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

Pemeriksaan kultur ialah pemeriksaan yang dilakukan untuk melihat

keberadaan infeksi sinus. Sampel bisa didapatkan dari rongga sinus atau secara

endoskopik dari ostium. Studi sinusitis kronik mengungkap bahwa tidak ada korelasi

antara flora hidung dan kultur dari sinus. Kultur apus hidung oleh karena itu tidak

memiliki nilai diagnostik.10,12

Pemeriksaan foto polos dapat menunjukkan adanya penebalan mukosa atau

perselubungan pada sinus. Namun, hal ini tidak cukup untuk mendiagnosis

rinosinusitis kronik karena kelainan yang dideteksi pada foto polos tidak sensitif dan

tidak spesifik untuk sinusitis. Pemeriksaan foto polos dilakukan dengan

memposisikan kepala pasien di lateral. Pandangan ini akan memproyeksikan hidung

dan area sekitar muka. Bayangan dari kartilago hidung juga dapat dilihat. Pada

pandangan superoinferior, pasien menahan suatu film dental occlusion di antara gigi-

geligi. Sinar akan diarahkan dari atas melalui atap hidung ke bagian tengah film.

Cukup sulit untuk memeriksa kesemuan sinus paranasal hanya dengan menggunakan

satu proyeksi, sehingga pemeriksaan pada sinus biasanya membutuhkan banyak

pandangan. Beberapa pandangan standar dapat dilakukan untuk memeriksa kondisi

sinus paranasal, antara lain dengan pandangan oksipitomental (posisi Waters),

pemeriksaan dilakukan pada posisi hidung-dagu dan mulut yang terbuka. Film

terutama didemonstrasikan utamanya di sinus maksilaris, rongga hidung, septum,

sinus frontalis dan beberapa sel-sel etmoidalis. Pandangan yang diambil pada posisi

berdiri dapat menunjukkanya ada fluid level di antrum. Dapat pula dengan padangan

oksipitofrontal (posisi Caldwell), dimana dahi pasien dan ujung hidung dijaga agar

bersentuhan dengan film. Pandangan ini terutama berguna untuk sinus frontalis.

Sebagian antrum maksilaris dan rongga hidung juga dapat diperlihatkan. Ada pula

pemeriksaan dengan pandangan submentovertikal, dimana leher dan kepala

diekstensikan secara maksimal sehingga ubun-ubun menghadap film, dan sinar

diarahkan di bawah mandibula. Pandangan ini berguna untuk mendemonstrasikan

sinus sfenoidalis, etmoidalis, nasofaring, apex petrosus, dinding posterior dari sinus

maksilaris dan fraktur lengkung zigomatikus. Pemeriksaan terakhir ialah dengan

pandangan lateral dimana posisi kepala pasien ditempatkan lateral sehingga

berlawanan dengan film dan sinar diarahkan di belakang kantus luar mata menuju

film. Pada foto polos, sinus normal akan tampak terisi udara dengan rongga yang

translusen. Perselubungan sinus dapat disebabkan oleh cairan, penebalan mukosa

atau tumor. Erosi tulang dapat terjadi akibat tumor, osteomielitis atau mukokel.4,10,12

31

Page 32: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

Air-fluid levels jarang ditemukan pada sinusitis kronik. Sinus etmoid dan

kompleks ostiomeatal tidak dapat digambarkan dengan baik pada foto polos. CT Scan

sinus multiplanar ialah teknik pencitraan yang lebih dipilih untuk mengevaluasi

rinosinusitis kronik. Sinusitis dicirikan dengan adanya penebalan mukosa sinus,

obstruksi ostial sinus, dan perselubungan pada sinus. Temuan lain dapat berupa polip,

mukokel, dan perubahan tulang oleh karena rinosinusitis kronik (sklerosis, septasi,

dan erosi). CT-Scan dengan kontras ialah kriteria radiologik standar yang digunakan

untuk mengevaluasi sinus, walaupun pemeriksaan ini biasanya mahal dan tidak

dibutuhkan secara medis. CT-Scan umumnya dilakukan setelah terjadi kegagalan

terapi, sebelum melakukan pembedahan, dan ketika dicurigai terdapat neoplasma. CT-

Scan dengan bantuan pemeriksaan endoskopik dapat membantu dokter bedah untuk

membuat keputusan operatif. Pemeriksaan CT-Scan juga memberikan detail yang

baik khususnya pada kasus lesi-lesi awal yang tidak terlihat hanya dengan foto polos.

Pemeriksaan CT juga pemeriksaan yang paling sensitif untuk mengevaluasi penyakit

sinus, dan sangat berguna untuk melihat perubahan struktur tulang dan kelainan

sinus.4,10

Pemeriksaan biopsi pada mukosa sinus maksilaris pada pasien dengan sinusitis

kronik biasanya akan menunjukkan adanya penebalan membran basal, formasi

32

Gambar 4. Variasi posisi pada pemeriksaan foto polos sinus paranasal4

Page 33: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

kelenjar atipikal, hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel mononuklear, dan edema

subepitelial. Infiltrat sel MN seringkali didominasi oleh eosinofil pada kasus-kasus

kronik.

Pemeriksaan sinoskopi ialah pemeriksaan yang dilakukan untuk

memperlihatkan visualisasi langsung interior dari sinus maksilaris dengan

menggunakan endoskop fiberoptik yang disebut antrumskopi maksilaris. Endoskopi

ini dimasukkan melalu kanula yang dimasukkan ke dalam sinus maksilaris setelah

biasanya dilakukan penusukan antrum, baik melalui rute meatus inferior atau melalui

fosa kanina. Metode diagnostik ini bersifat spesifik dan akurat dibandingkan

pemeriksaan radiologis untuk sinus maksilaris.4,10

2.8. Tatalaksana

Tujuan dari terapi medis pada pasien rinosinusitis kronik ialah untuk

mengurangi edema mukosa, memperbaiki drainase sinus, dan mengeradikasi infeksi

yang ada. Seringkali dibutuhkan kombinasi glukokortikoid oral maupun topikal,

antibiotik, dan irigasi salin hidung. Bila semua tatalaksana ini gagal, pasien

sebaiknya segera dirujuk ke ahli THT untuk dipertimbangkan pembedahan sinus.

Peran bakteri dalam patogenesis sinusitis kronik sampai saat ini masih diperdebatkan

walau begitu, diagnosis dini dan perawatan yang intensif dengan antibiotik oral,

steroid hidung topikal, dekongestan, dan spray hidung salin, biasanya akan

memberikan pemulihan gejala yang baik dalam beberapa pasien, banyak di antaranya

sembuh. Ketika terapi medikamentosa tidak berhasil, maka pasien perlu dirujuk

untuk dilakukan evaluasi bedah. Rawat inap diperlukan bagi pasien sinusitis kronik

dimana pasien mengalami komplikasi orbital dan intrakranial. Pasien imunosupresif

dan pasien anak dengan sinusitis kronik mungkin memerlukan perawatan rawat inap,

tergantung derajat beratnya penyakit.

Tatalaksana yang digunakan menggunakan 2 pendekatan, yaitu tatalaksana

farmakologis dan tatalaksana non-farmakologis.

33

Page 34: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

2.8.1 Tatalaksana Farmakologi

Tatalaksana yang dilakukan dapat berupa tatalaksana untuk mengontrol faktor

predisposisi dan dapat pula berupa tatalaksana suportif-simtomatis sekaligus dengan

terapi antibiotik yang diperlukan.

Tatalaksana untuk mengontrol faktor predisposisi diperlukan pada sinusitis

kronik karena penyakit ini memiliki banyak faktor risiko dan etiologi yang potensial.

Untuk infeksi saluran napas atas akibat virus, pasien dapat disarankan untuk

mengurangi pajanan virus dengan meningkatkan kebersihan diri. Peran zink dan

vitamin C dalam mencegah infeksi saluran napas atas akibat virus masih

kontroversial sehingga masih belum dapat dianjurkan rutin. Faktor lingkungan

dan/atau faktor alergi dapat menjadi faktor risiko untuk beberapa individu dengan

sinusitis kronik. Mengurangi pajanan terhadap debu, ngengat, asap rokok dan iritan

kimia di lingkungan lainnya sebaiknya dianjurkan. Untuk pasien dengan alergi

hidung, terapi antialergi mencakup antihistamin oral atau topikal, kromolin, steroid

topikal, dan imunoterapi juga dapat dilakukan untuk mengurangi rekurensi dan gejala

rinitis alergika. Berhenti merokok nampaknya memegang pernana penting dalam

34

Gambar 5. Evaluasi bertahap untuk rinosinusitis kronik11

Page 35: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

meningkatkan kesuksesan terapi medikamentosa dan terapi bedah karena produk

tembakau merupakan iritan bagi mukosa hidung normal dan fungsi silia.

Gejala dapat dipulihkan dengan menggunakan dekongestan topikal, steroid

topikal, antibiotik, salin hidung, kromolin topikal atau mukolitik. Inhalasi uap dan

irigasi salin hidung dapat membantu melembutkan sekret kering, mengurangi edema

mukosa dan mengurangi kekentalan mukus. Terapi steroid oral di awal diikuti

dengan terapi topikal steroid terbukti efektif dibandingkan hanya terapi steroid

topikal saja dalam mengurangi ukuran polip dan meningkatkan fungsi penghidu

pasien dengan rinosinusitis kronik.

Terapi antibiotik yang adekuat pada rinosinusitis kronik biasanya dicoba

minimum selama 3-4 minggu, lebih baik apabila sudah dilakukan kultur sebelumnya.

Regimen antibiotik oral umumnya digunakan untuk mengobati sinusitis kronik,

karena biasanya kondisi ini seringkali secara primer diobati secara rawat jalan. Untuk

kasus-kasus resisten mungkin diperlukan terapi antibiotik intravena. Pilihan

antibiotik awal yang digunakan biasanya bersifat empiris. Kultur sinus tidak secara

umum diambil apabila dicurigai terdapat infeksi community-acquired kecuali terapi

empiris gagal untuk memberikan respons. Obat yang dipilih sebaiknya efektif untuk

melawan sejumlah besar bakteri, mencakup patogen aerobik maupun anaerobik. Bila

terdapat bakteri resisten, seperti bakteri MRSA maka pemberian antibiotik dipilih

yang dapat membunuh bakteri ini pula. Riwayat alergi obat bila ada dan biaya

perawatan juga harus dipikirkan. Bila pasien sudah menerima antibiotik 3 bulan

sebelumnya, maka antibiotik yang berlainan kelas sebaiknya digunakan. Penggunaan

antibiotik menurut rekomendasi konsensus sebenarnya masih kontroversial karena

masih kurangnya bukti ilmiah yang ada. Pasien-pasien yang layak mendapatkan

terapi antibiotik ialah pasien dengan drainase purulen persisten dan adanya bukti

organisme patogen sebagai penyebab infeksi.8,10,11,14

Regimen terapeutik yang digunakan biasanya mencakup kombinasi dari

penisilin (mis: amoksisilin) dengan inhibitor beta laktamase (mis: asam klavulanat),

kombinasi metronidazol dengan makrolid atau dapat pula sefalosporin generasi dua

atau tiga, dan yang paling baru ialah golongan kuinolon (mis: moksifloksasin).

Semua obat ini tersedia dalam bentuk oral maupun parenteral. Bila organisme

aerobik Gram negatif terlibat (mis: Pseudomonas aeruginosa), maka terapi parenteral

dengan aminoglikosida, sefalosporin generasi keempat (sefepim atau seftasidim) atau

fluorokuinolon oral atau parenteral (hanya untuk pasien postpubertas) ditambahkan.

35

Page 36: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

Terapi parenteral dengan karbapenem (mis: imipenem, meropenem) lebih mahal

namun memberikan coverage spektrum untuk sebagian besar patogen potensial.

Terapi antimikroba parenteral terutama dilakukan untuk pasien-pasien yang gagal

atau tidak dapat mentoleransi penggunaan antibiotik oral dan untuk pasien dengan

komplikasi ekstrasinus, mis: abses epidural. Pemberian terapi makrolid jangka

panjang juga telah direkomendasikan oleh EP3OS berdasarkan studi-studi yang

dianggap sebagai bukti Ib, dan hal ini didasarkan pada keunikan makrolid yang

nyatanya memiliki properti antiinflamasi di samping antiinfeksi. Pada studi yang

dilakukan terhadap makrolid didapatkan hasil bahwa subjek studi mengalami

perbaikan skor gejala, endoskopi nasal, waktu transit sakarin, dan kadar IL-8 setelah

diberikan roksitromisin selama 3 bulan.

Rinosinusitis kronik tanpa polip hidung diobati dengan prednison 20-40 mg

setiap hari dan di-tapper selama 10 hari ditambah dengan steroid intranasal. Terapi

antibiotik biasanya diperlukan selama lebih dari 6 minggu dan tidak berhenti hingga

pasien asimtomatis. Pemberhentian antimikroba sebelum resolusi penuh akan

memicu relaps.10

Terapi kortikosteroid sistemik masih menjadi terapi yang digunakan untuk

rinosinusitis kronik berat dan rinosinusitis dengan polip nasal (polipektomi medis).

Kortikosteroid sistemik ialah agen antiinflamatorik yang poten dengan aktivitas yang

luas dan efektif untuk seluruh kondisi inflamasi. Walaupun terapi ini masih belum

banyak diuji dengan percobaan kontrol-plasebo terkait efikasinya untuk gangguang

inflamasi sinonasal, namun terapi ini telah disetujui berguna untuk memulihkan

secara cepat nyeri tekan pada wajah dan sumbatan hidung dengan mengurangi edema

mukosa. Di tingkat seluler, kortikosteroid menghambat sintesis sejumlah besar

mediator inflamasi sehingga akan menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan

influks sel-sel inflamatorik. Efek dari produksi mediator inflamasi ini khususnya

terlihat pada rinosinusitis kronik dengan polip hidung karena eosinofil membutuhkan

sitokin seperti IL-5 untuk tetap bertahan dna berfungsi. Belum ada guideline resmi

yang membahas mengenai terapi kortikosteroid oral namun secara universal

direkomendasikan untuk dilakukkan tappering-off bila kortikosteroid akan diberikan

lebih dari 2 minggu untuk mencegah krisis Addisonian. Terapi untuk dewasa sehat

dengan derajat poliposis sedang hingga berat dimulai di dosis tengah (40 mg

prednison per hari selama 3 sampai 4 hari), yang di-taper untuk 5 hingga 14 hari ke

depan. Pemberian kortikosteroid oral harus dipikirkan secara baik karena banyaknya

36

Page 37: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

efek samping potensial yang dapat timbul seperti supresi aksis hipotalamik-pituitari-

adrenal, ulkus gaster, gangguan psikiatrik, dan eksaserbasi diabetes, juga efek jangka

panjangnya yaitu osteoporosis, peningkatan berat badan, masalah mata dan

hipertensi. Memisahkan penggunaan kortikosteroid dengan interval 3 bulan dapat

mengurangi risiko penggunaan kortikosteroid kronik.8,11,14

Kortikosteroid topikal intranasal ialah terapi lini pertama pada sebagian besar

pasien rinosinusitis kronik atau pasien rinosinusitik kronik dengan polip hidung

karena terapi ini memberikan banyak keuntungan dari penggunaan kortikosteroid

sistemik tanpa adanya efek samping yang sama. Kadar kortisol yang meningkat

secara signifikan dan penghambatan pertumbuhan pada anak-anak prepubertas belum

pernah dideteksi. Lebih jauh, percobaan klinis telah mengkonfirmasi bahwa

kortikosteroid intranasal lebih baik digunakan dibandingkan plasebo untuk

mengurangi ukuran polip, memperbaiki kongesti nasal, dan rinorea, dan

meningkatkan peak nasal airflow pada pasien rinosinusitis kronik dengan polip nasal.

Terapi kortikosteroid topikal juga memberikan pemulihan gejala yang cepat selama

terapi antibiotik dilakukan. Semprot hidung kortikosteroid menurunkan produksi

sitokin pro-inflamasi dan menurunkan edema mukosal dan inflamasi melalui

mekanisme yang sama dengan kortikosteroid oral.

Kortikosteroid topikal intranasal sebaiknya diberikan sekali sehari dengan

follow-up dalam 8 hingga 12 minggu untuk rinosinusitis kronik ringan dan

rinosinusitis kronik dengan polip nasal untuk menentukan efek pada gejala dan

ukuran polip. Memposisikan kepala dengan benar penting untuk penggunaan

kortikosteroid topikal ini, pasien sebaiknya diberitahu teknik penyemprotan yang

benar, yaitu dengan membidik ujung semprot ke kantus terluar ipsilateral atau di atas

aurikel.

Kortikosteroid topikal yang biasa digunakan intranasal, antara lain budesonid,

siklesonid, flutikason furoat, flutikason propionat, mometason furoat dan

triamsinolon asetonid. The British Guidelines merekomendasikan penggunaan

kortikosteroid berupa prednisolon (0,5 mg/kg setiap pagi selama 5-10 hari) diikuti

dengan betametason tetes hidung.8-11,14

Terapi dengan nasal saline juga baiknya dilakukan pada pasien. Terapi ini

dilakukan dengan teknik irigasi hidung dan semprot hidung dengan menggunakan

cairan salin. Terapi ini terbukti efektif sebagai terapi tambahan untuk pasien

rinosinusitis kromik, walaupun kurang efektif sebagai monoterapi dibandingkan

37

Page 38: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

dengan glukokortikoid topikal. Irigasi hidung dengan cairan salin ini

direkomendasikan untuk mengurangi drainase post-nasal, menghilangkan sekret,

membilas alergen dan iritan, dan meningkatkan klirens mukosilier. Lavase hidung

(dengan menggunakan 200 mL cairan salin yang dihangatkan untuk setiap sisi) dapat

dilakukan dengan beragam cara, baik melalui botol, pompa, semprot, atau nebulizer.

Namun perlu diperhatikan bahwa metode ini dapat juga memberikan efek yang

kurang mengenakkan seperti iritasi hidung, rasa penuh pada telinga, dan sakit kepala,

walau begitu metode ini sudah dibuktikan menjadi bagian yang penting dalam

pengobatan rinosinusitis kronik.8,11,14

Metode pengobatan lain yang dapat digunakan ialah irigasi dengan

menggunkan steroid topikal. Sebuah studi kontrol-plasebo mendemonstrasikan

keuntungan dari kortikosteroid topikal berupa tetes hidung untuk mengobati polip

hidung. Pada studi ini, subjek diarahkan untuk berbaring telentang dengan kepala

tergantung di bawah dalam sebuah posisi inverted vertical di ujung tempat tidur

ketika setetes flutikason propionat 200µg diberikan ke setiap lubang hidung sekali

sehari. Kemudian subjek tetap pada posisi ini selama 2 menit. Hasilnya, metode ini

dapat mengurangi kebutuhan pasien untuk melakukan operasi sinus, memperbaiki

hiposmia, dan menurunkan volume polip hidung. Budesonide akuades respul juga

telah digunakan selain tetes hidung flutikason. Keberhasulan terapi ini tergantung

pada cara memberikan steroid topikalnya ke polip dan jaringan polip di sekitar

ostium sinus dan di dalam rongga sinus. Irigasi secara rutin dengan respul budesonid,

0,25 mg per lubang hidung, selama 30 hari dipelajari pada 9 orang dewasa dengan

sinusitis kromik dan hasilnya ialah terjadi perbaikan yang signifikan pada status

kesehatan sinusnya tanpa ada supresi dari aksis hipotalamik-pituitari. Wigh et al,

mendemonstrasikan bahwa tidak ada efek samping serius dari penggunaan

800µg/hari budesonid intranasal selama studi 12 minggu.11

2.8.2 Tatalaksana Non-farmakologi

Tatalaksana bedah yang digunakan salah satunya ialah Functional Endoscopic

Sinus Surgeryi (FESS). Terapi bedah umumnya digunakan sebagai bagian dari terapi

medis pada beberapa kasus, dan biasa dilakukan pada kasus yang refrakter terhadap

terapi medikamentosa dan pasien dengan obstruksi anatomis. Temuan CT preoperatif

dapat dilakukan untuk prediktor hasil operasi. Tujuan dari terapi bedah ialah untuk

mengembalikan ventilasi sinus dan untuk mengkoreksi mukosa dalam rangka

mengembalikan sistem klirens mukosilier. Pembedahan dilakukan untuk merestorasi

38

Page 39: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

fungsi integritas dari mukosa yang telah meradang. FESS dapat dilakukan untuk

menyembuhkan rinosinusitis kronik dalam beberapa area kunci, yaitu merestorasi

aerasi yang adekuat dan drainase sinus dengan mengembalikan patensi dari kompleks

ostiomeatal, mengurangi massa poliposis yang berat sehingga hidung dapat berfungsi

seperti semula. FESS terbukti berhasil dalam mengembalikan kesehatan sinus,

dengan pemulihan gejala sedang hingga komplit pada sekitar 80-90% pasien. Terapi

medikamentosa suportif diberikan sebelum operasi dan setelah operasi. Pada kasus

anak, terapi bedah dilakukan pada kasus-kasus yang berkomplikasi.

Pembedahan bukanlah metode pengobatan dari rinosinusitis kronik melainkan

lebih kepada cara untuk mengembalikan ventilasi dan memfasilitasi drainase yang

baik dari sinus paranasal (sehingga dapat mengoptimalkan pemberian

medikamentosa secara langsung ke mukosa sinonasal), untuk mengurangi

peradangan dengan membuang polip dan bagian-bagian tulang osteitik, dan untuk

mendapatkan informasi diagnostik yang penting berupa sampel kultur dan sampel

histopatologi. Pada studi yang dilakukan oleh Smith et al, mendemonstrasikan bahwa

FESS dapat memperbaiki gejala dan kualitas hidup pasien. Pada studi lain yang

membandingkan terapi medikamentosa dengan rinosinusitis kronik mendapatkan

bahwa FESS secara siginifikan memperbaiki gejala lebih baik dibandingkan pasien

yang dirawat secara medikamentosa. Walau begitu, perlu diperhatikan bahwa

umumnya FESS dikerjakan apabila terapi medikamentosa gagal untuk

menyembuhkan pasien.10,11,14

Teknologi lain yang digunakan ialah dengan teknologi kateter balon, yang saat

ini diyakini secara potensial sebagai metode yang lebih tidak invasif dan merupakan

alternatif bagi pasien yang akan menjalani pembedahan sinus. Dilatasi dengan

menggunakan balon dilakukan dengan memasukkan balon yang non-compliant,

dimana balon ini memiliki kemampuan untuk merubah posisi tulang dan jaringan

sehingga dapat memperbesar ostium sinus. Namun, metode ini nyatanya masih

membuktikan studi lebih lanjut mengenai efektifitas dan efek merugikan yang dapat

ditimbulkannya.11,14

Berikut ini ialah guideline terapi berdasarkan guideline rekomdenasi oleh EP3OS

Untuk pasien dengan rinosinusitis kronik tanpa polip nasal

Dalam guideline EP3OS, bagi pasien dengan gejala ringan (visual analog

scale [VAS] dengan skor 0-3) manajemen awal ialah dengan kortikosteroid

intranasal bersamaan dengan lavase hidung dengan cairan salin. Bila masih belum

39

Page 40: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

dapat memperbaiki kondisi setelah 3 bulan, kultur sebaiknya dilakulan dan diberika

terapi makrolid jangka panjang; pemeriksaan CT-Scan mungkin berguna pada fase

ini. Gagalnya respons setelah 3 bulan dari terapi ini, sebaiknya segera dilakukan

evaluasi lebih jauh dengan CT-Scan dan dipertimbangkan untuk dilakukan

pembedahan sinus. Pada pasien yang berespon, kortikosteroid intranasal diteruskan

dan lavase hidung dengan cairan salin direkomendasikan dengan atau tanpa makrolid

jangka panjang. Untuk pasien dengan gejala sedang-berat (skor VAS >3-10),

manajemen awal mencakup kortikosteroid intranasal, lavase hidung dengan cairan

salin, kultur dan makrolid jangka-panjang. Gagal respon setelah 3 bulan, sebaiknya

segera lakukan evaluasi lebih jauh dengan CT-Scan dan persiapan untuk terapi bedah

Untuk pasien rinosinusitis kronik dengan polip nasal

Guideline EP3OS untuk memanajemen rinosinusitis kronik dengan polip nasal

umumnya sama dengan yang tanpa polip nasal, dengan pengecualian bahwa

anitibotik tidak direkomendasikan untuk rinosinusitis kromik dengan polip nasal.

Untuk pasien dengan derajat ringan (skor VAS 0-3), tatalaksana dilakukan dengan

kortikosteroid intranasal. Untuk pasien yang tidak ada perbaikan dalam 3 bulan,

maka steroid jangka pendek selama 1 bulan direkomendasikan. Bila tidak berhasil,

maka CT-Scan sebaiknya direkomendasikan dan pasien dievaluasi apakah memiliki

kandidat potensial untuk dioperasi. Bagi pasien dengan gejala sedang (skor VAS >3-

7), kortikosteroid topikal tetes hidung direkomendasikan untuk diberikan di awal

selama 3 bulan. Bila tidak ada perbaikan gejala, kortikosteroid oral jangka pendek

ditambahkan selama 1 bulan. Bila strategi ini gagal, maka dilakukan CT-Scan dan

pasien dievaluasi apakah potensial untuk menjadi kandidat terapi pembedahan. Bila

perbaikan terjadi setelah 1 bulan pemberian kortikosteroid oral, pasien dapat

dikembalikan ke kortikosteroid tetes hidung. Kasus yang berat dengan skor VAS >7-

10 sebaiknya diberikan kortikosteroid oral jangka pendek yaitu selama 1 bulan

sebagai terapi awal yang dikombinasi dengan kortikosteroid topikal. Pasien yang

menunjukkan perbaikan untuk regimen ini selanjutnya dikembalikan metodenya

dengan menggunakan kortikosteroid topikal saja. Pasien yang tidak ada perbaikan,

segera dievaluasi dengan CT-Scan, dan dipertimbangkan untuk dioperasi. Setelah

polipektomi, diberikan kortikosteroid intranasal sebagai terapi maintenance.11

2.9. Komplikasi

Komplikasi paling umum dari sinusitis kronik ialah terjadinya sinusitis akut di

saat yang bersamaan. Pada anak-anak, kehadiran pus di nasofaring dapat

40

Page 41: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

menyebabkan adenoiditis dan pasien-pasien dalam keadaan seperti itu memiliki

persentase yang tinggi untuk mengalmi otitis media purulen atau serosa sekunder.

Dakriosistitis dan laringitis juga dapat terjadi sebagai komplikasi sinusitis kronik

pada anak.

Pasien harus segera dirujuk ke dokter spesialis THT apabila pasien mulai

menunjukkan gejala-gejala seperti penglihatan ganda atau berkurang, proptosis,

edema periorbital yang muncul dengan cepat, oftalmoplegia, tanda-tanda neurologis

fokal, demam tinggi, sakit kepala hebat, iritasi meningeal, dan perdarahan hidung

rekuren.

Komplikasi orbital, antara lain ialah selulitis preseptal, abses subperiosteal,

selulitis orbital, abses orbital, dan trombosis sinus kavernosus. Komplikasi

intrakranial mencakup meningitis, abses epidural, abses subdural, dan abses otak.

Komplikasi lain juga dapat terjadi seperti osteomielitis dan pembentukan mukokel.

Beberapa studi telah mempelajari terdapatnya insidens tinggi terjadinya komplikasi

terkait sinusitis fungal. Sinusitis kronik yang tidak ditangani dapat berujung pada

komplikasi yang mengancam nyawa, seperti pada pasien kistik fibrosis.10

2.10. Prognosis

Karena sifatnya yang persisten, sinusitis kromik dapat menjadi penyebab

morbiditas yang signifikan. Bila tidak ditangani, sinusitis kronik dapat mengurangi

kualitas hidup dan produktivitas pasien yang terkena. Sinusitis kronik erat kaitannya

dengan eksaserbasi asma dan komplikasi serius seperti abses otak dan meningitis,

yang dapat memicu morbiditas dan mortalitas yang signifikan.

Perawatan medikamentosa dini dan agresif untuk sinusitis kronik biasanya

memberikan hasil yang memuaskan. FESS dapat mengembalikan kesehatan sinus

secara lengkap atau memulihkan gejala pada 80-90% pasien dengan sinusitis kromik

yang tidak berhasil dengan pengobatan medikamentosa. Sinusitis kronik jarang

mengancam nyawa, walaupun komplikasi serius dapat terjadi karena letaknya yang

berdekatan dengan orbita dan rongga kepala. Sekitar 75% dari semua infeksi orbita

berkaitan dengan sinusitis. Komplikasi intrakranial masih tergolong jarang, dengan

3,7-10% infeksi intrakranial yang berhubungan dengan sinusitis.10

2.11. Kesimpulan

Rinosinusitis kronik ialah penyakit dengan proses yang cukup rumit tanpa

adanya satu patofisiologi yang sama atau satu strategi pengobatan yang sama.

Penyakit ini lebih diterima sebagai suatu penyakit yang bersifat multifaktorial,

41

Page 42: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

dengan kontribusi dari berbagai etiologi seperti alergi, mikroba, biofilm,

superantigen, osteitits dan gangguan dari sistem imun tubuh. Perawatan yang

menyeluruh dari rinosinusitis kronik bertujuan untuk mengontrol peradangan dan

infeksi yang terjadi, dan pembedahan dapat dilakukan apabila memenuhi kriteria.

Sebagai penyakit yang bersifat kronik, maka dibutuhkan hubungan kerjasama yang

baik antara pasien dengan dokter untuk mencapai perbaikan gejala, fisik, dan

psikososial pasien. Penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme patofisiologik dan

metode pengobatan yang terbaik, masih menjadi pekerjaan rumah bagi para klinisi

untuk semakin meningkatkan perawatan pasien.8

42

Page 43: Referat Rinosinusitis -samsu.doc

DAFTAR PUSTAKA

1. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies fundamentals of otolaryngology. Ed ke-6.

Jakarta: EGC; 2013.h.176.

2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan

telinga hidung tenggorok kepala & leher. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2012.h.122-

6.

3. Singh A. Paranasal sinus anatomy. Medscape 2013 Aug 28. Diakses tanggal 23 April

2015. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/1899145-overview#a1

4. Maqbool M, Maqbool S. Textbook of ear, nose and throat diseases. New Delhi:

Jaypee Brothers Medical Publishers; 2013.p.119-20.

5. Thaler ER, Kennedy DW. Rhinosinusitis: a guide for diagnosis and management.

United States of America: Springer; 2008.p.1-12.

6. Mahdavinia M, Grammer LC. Chronic rhinosinusitis and age: is the pathogenesis

different?. Expert Rev. Anti Infect Ther 2013; 11(10), 1029-1040: 1-12.

7. Ocampo CJ, Grammer LC. Chronic rhinosinusitis. J Allergy Clin Immunol 2013

Jun;1(3): 1-8.

8. Manes RP, Batra PS. Etiology, diagnosis, and management of chronic rhinosinusitis.

Expert Rev. Anti Infect Ther 2013; 11(1), 25-35:1-12.

9. Snow JB, Vackym PA, Ballenger JJ. Ballenger’s otorhinolaryngology: head and neck

surgery. United States of America: People’s Medical Publishing House; 2009.p.573-

82.

10. Brook I. Chronic sinusitis. Medscape 2014 Apr 7. Diakses tanggal 25 April 2015.

Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/232791-overview#a0101

11. Leung DYM, Ledford DK. Chronic rhinosinusitis: epidemiology and medical

management. J Allergy Clin Immunol October 2011;128(4):1-16.

12. Volcheck GW. Clinical allergy: diagnosis and management. United States of

America: Mayo Foundation for Medical Education and Research; 2009.p.140-6.

13. Wahab AS, alih bahasa. Ilmu kesehatan anak nelson volume II. Ed ke-15. Jakarta:

EGC; 2005.h.1462.

14. Brown C. Chronic rhinosinusitis: “It’s my sinus doc!’. Australian Family Physician

May 2008;37(5): 1-4.

43