Upload
galuh-tiara-akbar
View
31
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
Referat
PRINSIP PENGGUNAAN ANTIJAMUR UNTUK PENGOBATAN DERMATOFITOSIS
Oleh :
Galuh Tiara AkbarNadya Fatma Rosalin
Ratika WidyastutiRedho
Sri Utari MasyitahTrigen Rahmat Yulis
Pembimbing :dr. T. Sy. Dessi Indah Sari. A, Sp.KK
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMINFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARIFIN ACHMADPEKANBARU
2014
ABSTRACT
THE PRINCIPLE USE OF ANTIFUNGAL TREATMENT IN DERMATOFITOSIS
Galuh Tiara Akbar1, Nadya Fatma Rosalin1, Ratika Widyastuti1,Redho1, Sri Utari Masyitah1, Trigen Rahmat Yulis1
dr. T. Sy. Dessi Indah Sari. A, Sp.KK 2
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan KelaminFakultas Kedokteran Universitas Riau / RSUD Arifin Achmad, Pekanbaru
The dermatophytosis is skin infections in keratinized tissue including stratum
corneum, hairs and nails caused by fungal infection of dermatophytes.The main
objective in the treatment of fungal infections is to remove or kill pathogenic
organisms that can restore the normal flora of the skin by way of fixing the
mucous membranes which is where the growing colonies of fungus. At this time
the drug discovery a new antifungal drugs have undergone rapid developments
either topical or systemic shaped and expected disease prevalence of fungal
infection can be reduced. Patients with limited fungal infections confined to
glabrous skin are usually best treated with topical agents. Conversely, those with
extensive or recalcitrant disease, or with involvement of terminal hair or nails,
may be better suited for systemic management. The treatment of fungal infection
that is often used among other classes of antibiotics, azol, alilamine/benzilamine,
and other topical groups.
Keywords :Treatment, Anti Fungal, Dermatophytosis
ABSTRAK
PRINSIP PENGGUNAAN ANTI JAMUR UNTUK PENGOBATAN DERMATOMIKOSIS
Galuh Tiara Akbar1, Nadya Fatma Rosalin1, Ratika Widyastuti1,Redho1, Sri Utari Masyitah1, Trigen Rahmat Yulis1
dr. T. Sy. Dessi Indah Sari. A, Sp.KK 2
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan KelaminFakultas Kedokteran Universitas Riau / RSUD Arifin Achmad, Pekanbaru
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk,
misalnya stratum korneum pada epidermis,rambut dan kuku yang disebabkan
golongan jamur dermatofita. Tujuan utama pada pengobatan infeksi jamur adalah
menghilangkan atau membunuh organisme patogen yang dapat memulihkan
kembali flora normal kulit dengan cara memperbaiki membran mukosa yang
merupakan tempat berkembangnya koloni jamur. Pada saat ini penemuan obat –
obat anti jamur yang baru telah mengalami perkembangan yang pesat baik
berbentuk topikal maupun sistemik dan diharapkan prevalensi penyakit infeksi
jamur dapat berkurang. Pasien dengan infeksi jamur yang terbatas pada kulit yang
tidak berambut, pengobatan yang terbaik adalah pengobatan topikal. Sedangkan
penyakit jamur yang luas, atau melibatkan rambut dan kuku lebih baik
menggunakan pengobatan sistemik. Pengobatan pada infeksi jamur yang sering
digunakan antara lain golongan antibiotik, azol, alilamin/benzilamin, dan
golongan topikal yang lain.
Kata kunci: Pengobatan, Anti Jamur, Dermatofitosis
Koresponden : 1Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau dan Fakultas
Kedokteran Abdurab 2Bagian Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Riau
dan Fakultas Kedokteran Abdurab
PENDAHULUAN
Dermatomikosis terbagi menjadi mikosis superfisial dan mikosis
profunda. Mikosis superfisial terbagi menjadi dermatofitosis dan non
dermatofitosis. Dermatofitosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
jamur pada kulit,rambut dan kuku.1,2
Dermatofitosis cukup banyak diderita penduduk negara tropis. Indonesia
merupakan salah satu negara beriklim tropis yang memiliki suhu dan kelembaban
tinggi, merupakan suasana yang baik bagi pertumbuhan jamur, sehingga jamur
dapat ditemukan hampir di semua tempat.1 Telah dilakukan penelitian di Divisi
Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama
tahun 2003 sampai dengan 2005, kasus dermatofitosis terbanyak yang dijumpai
adalah tinea kruris diikuti oleh tinea korporis.2
Angka kejadian infeksi jamur yang cukup banyak membutuhkan diagnosa
dan penatalaksanaan infeksi jamur yang tepat. Tujuan utama pengobatan infeksi
jamur adalah menghilangkan atau membunuh organisme yang patogen dan
memulihkan kembali flora normal kulit dengan cara memperbaiki ekologi kulit
atau membran mukosa yang merupakan tempat berkembangnya koloni jamur.
Pada saat ini penemuan obat-obat anti jamur yang baru telah mengalami
perkembangan yang pesat baik yang berbentuk topikal maupun sistemik dan
diharapkan prevalensi penyakit infeksi jamur dapat berkurang. Ada empat
golongan obat-obat anti jamur yang utama yaitu poliene, azol, alilamin, dan
echinocandin dan ada juga obat anti jamur yang bukan kelompok diatas seperti
flusitosin, griseofulvin dan sebagian obat- obat anti jamur topikal. Pengetahuan
tentang mekanisme kerja, aktifitas spektrum, farmakokinetik, efek samping
maupun interaksi obat – obat anti jamur sangat diperlukan dalam memberikan
pengobatan. 4
PRINSIP PENGGUNAAN ANTIJAMUR UNTUK PENGOBATAN
DERMATOFITOSIS
I. OBAT ANTI JAMUR TOPIKAL
Obat anti jamur topikal digunakan untuk pengobatan infeksi lokal pada
kulit tubuh yang tidak berambut (glabrous skin), namun kurang efektif untuk
pengobatan infeksi pada kulit kepala dan kuku, infeksi pada tubuh yang kronik
dan luas, infeksi pada stratum korneum yang tebal seperti telapak tangan dan
kaki. Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat anti jamur topikal lebih
sedikit dibandingkan obat anti jamur sistemik.4 Jenis golongan obat anti jamur
topikal yang sering digunakan yaitu :3,4
1. Azole - Imidazol: Klotrimazol, Ekonazol, Mikonazol, Ketokonazol,
Sulkonazol, Oksikonazol, Tiokonazol, Sertakonazol
3. Alilamin / benzilamin : Naftifin, Terbinafin, Butenafin
4. Obat anti jamur topikal lain : Amorolfin, Siklopiroks, Haloprogin
A. GOLONGAN AZOL – IMIDAZOL
Golongan azol – imidazol relatif berspektrum luas, bersifat fungistatik dan
bekerja dengan cara menghambat sintesis ergosterol jamur yang mengakibatkan
timbulnya defek pada membran sel jamur. Obat anti jamur golongan azol seperti
klotrimazol, ketokonazol, ekonazol, oksikonazol, sulkonazol dan mikonazol,
mempunyai kemampuan menggangu kerja enzim sitokrom P-450 lanosterol 14-
demethylase yang berfungsi sebagai katalisator untuk mengubah lanosterol
menjadi ergosterol.5,6
Klotrimazol
Klotrimazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, kandidosis oral,
kutaneus dan genital. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan
klotrimazol cream 1%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi
pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.3,4
Ekonazol
Ekonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan
kandidosis oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit
digunakan ekonazol cream 1%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari
kondisi pasien biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.
3,4
Mikonazol
Mikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis
versikolor dan kandidosis oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan infeksi
jamur pada kulit digunakan mikonazol cream 2%, dosis dan lamanya pengobatan
tergantung dari kondisi pasien biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan
dioleskan 2 kali sehari. 3,4
Ketokonazol
Ketokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis
versikolor, kutaneous kandidiasis dan dapat juga untuk pengobatan seboroik
dermatitis. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan ketokonazol 1%
cream. Dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien biasanya
diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan sekali sehari sedangkan pengobatan
seborrrheic dermatitis dioleskan 2 kali sehari.10
Sulkonazol
Sulkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis
kutaneus. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan sulkonazol 1%
cream. Dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya
untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris ataupun pitiriasis versikolor
dioleskan 1 atau 2 kali sehari selama 3 minggu dan untuk tinea pedis dioleskan 2
kali sehari selama 4 minggu.11
Oksikonazol
Oksikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis
kutaneous. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan oksikonazol 1%
cream atau lotion. Dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien,
biasanya untuk pengobatan tinea korporis dan tinea kruris dioleskan 1 atau 2 kali
sehari selama 2 minggu dan untuk tinea pedis dioleskan 1 atau 2 kali sehari
selama 4 mingggu dan pitiriasis versikolor dioleskan 1 kali sehari selama 2
minggu.12
Tiokonazol
Tiokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis
kutaneous dan genital. Untuk infeksi pada kulit digunakan tiokonazol 1% cream.
Dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya untuk
pengobatan tinea korporis dioleskan 2 kali sehari selama 2-4 minggu. Dan untuk
tinea pedis dioleskan 2 kali sehari selama 6 minggu, untuk tinea kruris dioleskan 2
kali sehari selama 2 minggu.13
Sertakonazol
Sertakonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan
kandida spesies. Sertakonazol 2% cream, dioleskan 1-2 kali sehari selama 4
minggu. 3,4
B. GOLONGAN ALILAMIN / BENZILAMIN
Golongan alilamin yaitu naftifin, terbinafin dan golongan benzilamin yaitu
butenafin, bekerja dengan cara menekan biosentesis ergosterol pada tahap awal
proses metabolisme dan enzim sitokrom P-450 akan mengambat aktifitas squalene
eposidase. Dengan berkurangnya ergosterol, akan menyebabkan penumpukan
squalene pada sel jamur dan akan mengakibatkan kematian sel jamur. Alilamin
dan benzilamin bersifat fungisidal terhadap dermatofit dan bersifat fungistatik
terhadap Candida albicans. 3,5,9
Naftifin
Naftifin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan Candida
spesies. Untuk pengobatan digunakan naftifine hydrochloride 1% cream dioleskan
1 kali sehari selama 1 minggu.3
Terbinafin
Terbinafin (Lamisil) dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis,
pitiriasis versikolor dan kandidiasis kutaneus. Terbinafin 1% cream yang
dioleskan 1 atau 2 kali sehari, digunakan untuk pengobatan tinea korporis dan
tinea kruris diberikan selama 1-2 minggu, Pada tinea pedis diberikan selama 2-4
minggu.6
Butenafin
Butenafin merupkan golongan benzilamin dimana struktur kimia dan
aktifitas anti jamurnya sama dengan golongan alilamin. Butenafine bersifat
fungisidal terhadap dermatofit dan dapat digunakan untuk pengobatan tinea
korporis, tinea kruris dan tinea pedis dan bersifat fungisidal. Dioleskan 1 kali
sehari selama 4 minggu.3,6
C. GOLONGAN ANTI JAMUR TOPIKAL YANG LAIN
Amorolfin
Amorolfin merupakan derivat morpolin yang bekerja dengan cara
menghambat biosintesis ergosterol jamur. Aktifitas spektrumnya yang luas dapat
digunakan untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis dan
onikomikosis. Untuk infeksi jamur pada kulit amorolfin dioleskan satu kali sehari
selama 2-3 minggu sedangkan untuk tinea pedis selama > 6 bulan. Untuk
pengobatan onikomikosis digunakan amorolfine 5% nail laquer. Untuk kuku
tangan dioleskan satu atau dua kali setiap minggu selama 6 bulan sedangkan
untuk kuku kaki harus digunakan selama 9-12 bulan. 3,6,9
Siklopiroks
Siklopiroks merupakan anti jamur sintetik hydroxypyridone, bersifat
fungisida, sporosida dan mempunyai penetrasi yang baik pada kulit dan kuku.
Siklopiroks efektif untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis,
onikomikosis, kandidosis kutaneus dan pitiriasis versikolor. Untuk pengobatan
infeksi jamur pada kulit harus dioleskan 2 kali sehari selama 2-4 minggu
sedangkan untuk pengobatan onikomikosis digunakan siklopiroks nail laquer 8%.
Lakukan setiap 2 hari sekali selama bulan pertama, setiap 3 hari sekali pada bulan
ke dua dan seminggu sekali pada bulan ke tiga hingga bulan keenam pengobatan.
Dianjurkan pemakaian cat kuku siklopiroks tidak lebih dari 6 bulan.3,9
Haloprogin
Haloprogin merupakan halogenated phenolic, efektif untuk pengobatan
tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis dan pitiriasis versikolor, dengan
konsentrasi 1% dioleskan 2 kali sehari selama 2-4 minggu.3,8
II. OBAT ANTI JAMUR SISTEMIK
Pemberian obat anti jamur sistemik digunakan untuk pengobatan infeksi
jamur superfisial dan sistemik (deep mikosis), obat-obat tersebut yaitu :
A. GRISEOFULVIN
Griseofulvin merupakan antibiotik antijamur yang berasal dari spesies
Penicilium mold. Griseofulvin merupakan obat anti jamur yang pertama diberikan
secara oral untuk pengobatan dermatofitosis. Griseofulvin merupakan drug of
choice pengobatan dermatofita yang sering digunakan.3,14
Interaksi Obat
Efektifitas griseofulvin berkurang jika diberikan bersama golongan barbiturat.3,15
Aktifitas spektrum
Griseofulvin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas hanya untuk spesies
Epidermophyton floccosum, Microsporum spesies dan Trichophyton
spesies,yang merupakan penyebab infeksi jamur pada kulit, rambut dan kuku.
Griseofulvin tidak efektif terhadap kandidosis kutaneus dan pitiriasis
versikolor.3,15
Efek samping
sakit kepala, mual, muntah, dan erupsi karena obat. Obat ini tidak boleh diberikan
pada ibu hamil, pasien dengan gangguan fungsi hati, dan porfiria.3,15
B. KETOKONAZOL
Ketokonazol merupakan antijamur golongan imidazol yang pertama
diberikan secara oral. 5,6,10
Aktifitas spektrum
Ketokonazol mempunyai spekrum yang luas dan efektif terhadap
Blastomyces dermatitidis, Candida spesies, Coccidiodes immitis, Histoplasma
capsulatum, Malassezia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis. Ketokonazol juga
efektif terhadap dermatofit tetapi tidak efektif terhadap Aspergillus spesies dan
Zygomycetes. 5,6,10
Efek samping
Anoreksia, mual dan muntah merupakan efek samping yang sering di
jumpai. Ketokonazol juga dapat menimbulkan efek hepatotoksik yang ringan
tetapi kerusakan hepar yang serius jarang terjadi. Untuk pengobatan jangka waktu
yang lama, dianjurkan dilakukan pemeriksaan fungsi hati. Dosis tinggi
ketokonazol (>800mg/hari) dapat menghambat sintesis human adrenal dan
testikular steroid yang dapat menimbulkan alopesia, ginekomasti dan
impoten.3,5,6,10
Interaksi obat
Konsentrasi serum ketokonazol dapat menurun pada pasien yang
mengkonsumsi obat yang dapat menurunkan sekresi asam lambung seperti
antasid, antikolinergik dan H2-antagonis sehingga sebaiknya obat ini di berikan
setelah 2 jam pemberian ketokonazol. Ketokonazol dapat memperpanjang waktu
paruh seperti terfenadin, astemizol dan cisaprid sehingga sebaiknya tidak
diberikan bersama dan juga dapat menimbulkan efek samping kardiovaskular
seperti pemanjangan Q-T interval dan torsade de pointes.3,6,10
Ketokonazol juga dapat memperpanjang waktu paruh dari midazolam dan
triazolam dan dapat meningkatkan level siklosporin dan konsentrasi serum dari
warfarin. Pemberian bersama ketokonazol dengan rifampicin dapat menurunkan
efektifitas ke dua obat. 3,6,10
C. ITRAKONAZOL
Itrakonazol merupakan sintesis derivat triazol. Efektif dalam pengobatan
dermatofita, yeast, mold, dan jamur dimorfik.5,6,9
Indikasi
Pasien onikomikosis karena dermatofita atau candida sp, tinea kruris, tinea
pedis, tinea capitis. 3,5,6,9
Kontraindikasi
Pasien dengan hipersensitivitas itrakonazol dan vehikulumnya. Hati-hati
penggunaan obat pada pasien dengan gangguan fungsi hati, gagal jantung
kongestif, ppok, gangguan fungsi ginjal, dan ibu hamil atau menyusui.3,9
Aktifitas spektrum
Itrakonazol mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap
Aspergillosis spesies, Blastomyces dermatitidis, Candida
spesies,Coccidiodes immitis, Cryptococcus neoformans, Histoplasma
capsulatum, Malassezia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis,
Scedosporium apiospermum dan Sporothrix schenckii. Itrakonazol juga
efektif terhadap dematiaceous moulds dan dermatofit tetapi tidak efektif
terhadap Zygomycetes. 3,5,6,9
Efek samping
Efek samping yang sering dijumpai adalah masalah gastrointestinal seperti
mual, sakit pada abdominal dan konstipasi. Efek samping lain seperti sakit kepala,
pruritus dan ruam allergi. Efek samping yang lain yaitu kelainan test hati yang
dilaporkan pada 5% pasien yang ditandai dengan peninggian serum transaminase,
ginekomasti dilaporkan terjadi pada 1% pasien yang menggunakan dosis tinggi,
impotensi dan penurunan libido pernah dilaporkan pada pasien yang
mengkonsums itrakonazol dosis tinggi 400 mg /hari atau lebih. 3,9
Interaksi obat
Absorbsi itrakonazol akan berkurang jika diberikan bersama dengan obat-
obat yang dapat menurunkan sekresi asam lambung seperti antasid, H2-antagonis,
omeprazol dan lansoprazol. Itrakonazol dapat memperpanjang waktu paruh dari
obat-obat seperti terfenadin, astemizol, midazolam, triazolam, lovastatin,
simvastatin, cisaprid, pimozid, quinidin. Itrakonazol juga dapat meningkatkan
konsentrasi serum digoxin, siklosporin, takrolimus dan warfarin.3,9
D. FLUKONAZOL
Flukonazol merupakan suatu hidrofilik dari sintetik triazol, terdapat dalam
bentuk oral dan parenteral. Flukonazol paling aktif terhadap Candida spesies,
Coccidioides imminitis dan Cryptococcus neoformans. Mempunyai aktifitas yang
terbatas terhadap Blastomyces dermatitidis, Histoplasma capsulatum dan
Sprothrix schenckii. Flukonazol juga efektif terhadap dermatofit tetapi tidak
efektif untuk moulds termasuk Aspergillus spesies dan Zygomycetes. Walaupun
flukonazol efektif terhadap Candida spesies tetapi resisten untuk Candida krusei
dan Candida glabrata. 3,6
Indikasi
Digunakan pada pasien onikomikosis dengan dermatofita atau candida sp,
tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis, tinea kapitis. 3,6
Kontraindikasi
Pasien dengan hipersensitivitas itrakonazol dan vehikulumnya. Hati-hati
pada pasien dengan gangguan hepar gangguan aritmia jantung, gangguan
ginjal, serta ibu hamil dan menyusui. 3,6
Efek samping
Efek samping yang sering di jumpai adalah masalah gastrointestinal
seperti mual, muntah, diare, sakit pada abdominal dan juga sakit kepala. Efek
samping lain yaitu hipersensitiviti, agranulositosis, exfoliatif skin disoders seperti
Steven Johnson-sindrom, hepatotoksik, trombositopenia dan efek pada sistem
saraf pusat. 3,6
Interaksi obat
Flukonazol dapat meningkatkan efek atau level dari obat yaitu astemizol,
amitriptilin, kafein, siklosporin, fenitoin, sulfonilureas, terfenadin, theofilin,
warfarin dan zidovudin. Pemberian bersama flukonazol dengan cisapride ataupun
terfenadin merupakan kontra indikasi oleh karena dapat menimbulkan disaritmia
jantung yang serius dan torsade de pointes. Flukonazol juga dapat berinteraksi
dengan tolbutamid,glipizid dan gliburid yang menimbulkan efek hipoglikemi.
Level atau efek flukonazol dapat menurun oleh karbamazepin,isoniazid,
phenobarbital,rifabutin dan rifampin serta akan meningkat pada simetidin dan
hidroklorothiazid.3,6
E. TERBINAFIN
Terbinafin merupakan anti jamur golongan alilamin yang dapat diberikan
secara oral dan lebih efektif pada penggunaan untuk infeksi dermatofita namun
kurang efektif terhadap mold, jamur demorfik, dan yeast.6,9
Indikasi
Terbinafin lebih efektif pada pengobatan tinea korporis dan tinea kapitis.
Selain itu dapat juga digunakan pada onikomikosis karena candida, tinea
kruris, dan tinea pedis.3,6,9
Kontraindikasi
Reaksi hipersensitivitas terhadap terbinafin atau vehikulumnya. Terbinafin
tidak direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit hepar yang kronik atau
aktif. Harap diperhatikan pemberian untuk ibu hamil dan menyusui, pasien
dengan riwayat SLE, dan pasien dengan imunodefisiensi seperti neutropenia. 3,6,9
Aktifitas spektrum
Terbinafin merupakan anti jamur yang berspektrum luas. Efektif terhadap
dermatofit yang bersifat fungisidal dan bersifat fungistatik untuk Candida
albicans tetapi bersifat fungisidal untuk beberapa species candida seperti Candida
parapsilosis. 3,6,9
Efek samping
Efek samping pada gastrointestinal seperti diare, dyspepsia, sakit di
abdominal sering dijumpai. Jarang dijumpai pasien yang menderita kerusakan
hepar dan meninggal akibat mengkonsumsi terbinafin untuk pengobatan infeksi
kuku. 3,6,9
Interaksi obat
Konsentrasi darah akan menurun jika terbinafin di berikan bersama
rifampicin yang merupakan suatu inducer yang poten terhadap sistem enzim
hepatik sitokrom P-450. Level darah pada terbinafin dapat meningkat jika
pemberiannya bersama cimetidin yang merupakan sitokrom P-450 inhibitor. 3,6,9
Terapi pada dermatofitosis3
Penyakit Pengobatan Topikal Pengobatan SistemikTinea kapitis Terapi tambahan
Selenium sulfideZinc pyrithionePovidone iodineketoconazole
Griseofulvin, 20-25 mg/kgBB/hariFluconazole, 6 mg/kgBB/hariItraconazole 3-5 mg/kgBB/hariTerbinafine 3-6 mg/kgBB/hari
Tinea barbae Terapi tambahanAntijamur topikal
Griseofulvin 1 gr/hariItraconazole, 200 mg/hariTerbinafine, 250 mg/hariFluconazole, 200 mg/hari
Tinea corporis/cruris AllylaminesImidazoleTolnaftateButenafineCiclopirox
Dewasa: Flukonazole, 150 mg/minggu Itraconazole, 100 mg/hari Terbinafine, 250 mg/hari Griseofulvin, 500 mg/hariAnak: Griseofulvin, 10-20 mg/kgBB/hari Itraconazole, 5 mg/kgBB/hari Terbinafine, 3-6 mg/kgBB/hari
Tinea pedis/manuum AllylaminesAzoleCiclopiroxBenzylamineTolnaftateUndecenoic acid
Dewasa: Terbinafine, 250 mg/hari Itraconazole, 200 mg, 2x/hari Fluconazole, 150 mg/mingguAnak: Itraconazole, 5 mg/kgBB/hari
Onikomikosis CyclopiroxAmorolfine
Terbinafine, 250 mg/hariItraconazole, 200 mg/hariFluconazole, 150-300 mg 1x/minggu
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:
1. Dermatofitosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur pada
kulit,rambut dan kuku.
2. Tujuan utama pada pengobatan infeksi jamur adalah menghilangkan atau
membunuh organisme patogen yang dapat memulihkan kembali flora normal
kulit dengan cara memperbaiki membran mukosa yang merupakan tempat
berkembangnya koloni jamur.
3. Pemilihan obat pada dermatomikosis baik sistemik maupun topikal harus
mempertimbangkan bagaimana mekanisme kerja, aktivitas spektrum,
farmakokinetik, efek samping, serta kontra indikasi dari obat tersebut.
Pemilihan obat pada anak-anak harus disesuaikan dengan berat badan, dan
hati-hati pada obat antijamur yang tidak boleh diberikan pada anak.
Daftar Pustaka
1. Hidayati AN, Suyoso S, Hinda D. Mikosis Superfisialis di Divisi Mikologi Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD dr. Soetomo Surabaya Tahun 2003-2005. BIPKK 2009; 21(1). Page 6-7.
2. Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia; 2007. Page
3. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick 7 Dermatology in General Medicine 7th ed. Mc Grawhill Medical; 2008. Page
4. Lubis RD. Pengobatan Dermatomikosis. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2009. Page
5. Dismukes EW, Pappas GP, Sobel DJ. Clinical Mycology. Oxford University; 2003. Page 64-100.
6. Arndt AK, Hsu TS. Manual of Dermatologic Therapuetics 7th ed. Lippincott Williams & Wilkins; 2007.
7. Siregar RS. Penyakit Jamur Kulit. Ed/IIJakarta: Penerbit Buku Kedokteran.EGC; 2005.
8. Kwon-Chung KJ, Bennet JE. Priciples of Antifungal Therapy. In : Medical Mycology, Philadelphia London, 1992 : 81-100.
9. Jawetz E. Antifungal Agents.In:Katzung BG. Basic & Clinical Pharmacology, sixth edition, Appleton & Lange, 1995 : 723-29.
10. Ketoconazole (Topical). Medline Plus Drug Information. Available at http://www.nlm.nih.gov/medline plus/druginfo.
11. Sulconazole (Topical). Medline Plus Drug Information. Available at http://www.nlm.nih.gov/medline plus/druginfo.
12. Oxiconazole (Topical). Medline Plus Drug Information. Available at
http://www.nlm.nih.gov/medline plus/druginfo.
13. Tioconazole (Topical). Medline Plus Drug Information. Available at http://www.nlm.nih.gov/medline plus/druginfo.
14. Griseofulvin (Systemic). In : Medline Plus drug Information. Available at http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/uspdi/202268.html.