Upload
fahlevi-qalbi
View
36
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
fungi
Citation preview
I.PENDAHULUAN
Jamur merupakan tanaman sederhana yang tidak memiliki pigmen klorofil
hijau. Mereka termasuk jamur, kapang, khamir dan berkarat. Beberapa spesies
merupakan parasit pada tumbuhan dan hewan dan dapat menyebabkan infeksi
jamur. Infeksi tidak terlalu berbahaya, tetapi bisa tidak menyenangkan dan
memalukan. Gejala umum termasuk kemerahan pada daerah yang terinfeksi,
pembentukan lepuh, perasaan gatal dan terbakar. infeksi jamur berkembang cepat
dan harus dirawat tepat waktu. Yang umum sebagian besar jenis infeksi jamur
adalah tinea,'s kaki atlet dan candida (infeksi jamur). Kegemukan atau orang
diabetes, serta orang-orang yang bekerja dengan air (mesin pencuci piring
misalnya) yang lebih sering terkena.1
infeksi jamur (mycoses), meskipun tidak sesering infeksi bakteri atau
virus, tetap terus meningkat dalam insiden pada populasi manusia selama 20 tahun
terakhir atau lebih, sebagian besar sebagai akibat dari meningkatnya jumlah
pasien kanker dan sistem kekebalan, yang memiliki risiko lebih besar karena
sistem kekebalan tubuh yang lemah dan sifat kronis penyakit.1
Jamur yang bisa menyebabkan penyakit pada manusia antara lain adalah
dermatofita (dermatophyte, bahasa yunani, yang berarti tumbuhan kulit) dan
jamur serupa ragi, candida albican, yang menyebabkan terjadinya infeksi jamur
superficial pada kulit, rambut, kuku, dan selaput lendir. Jamur lainnya dapat
menembus jaringan hidup dan menyebabkan infeksi dibagian dalam. Jamur yang
berhasil masuk bisa tetap berada di tempat (misetoma) atau menyebabkan
penyakit sistemik (misalnya, histoplasmosis).2
Penyakit infeksi jamur di kulit mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia,
oleh karena negara kita beriklim tropis dan kelembabannya tinggi. Dermatofitosis
adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan genus dermatofita, yang dapat
mengenai kulit, rambut dan kuku. Manifestasi klinis bervariasi dapat menyerupai
penyakit kulit lain sehingga selalu menimbulkan diagnosis yang keliru dan
kegagalan dalam penatalaksanaannya. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis
dan identifikasi laboratorik. Pengobatan dapat dilakukan secara topikal dan
sistemik. Pada masa kini banyak pilihan obat untuk mengatasi dermatofitosis, baik
1
dari golongan antifungal konvensional atau antifungal terbaru. Pengobatan yang
efektif ada kaitannya dengan daya tahan seseorang, faktor lingkungan dan agen
penyebab. Prevalensi di Indonesia, dermatosis akibat kerja belum mendapat
perhatian khusus dari pemerintah atau pemimpin perusahaan walaupun jenis dan
tingkat prevalensinya cukup tinggi.3
Dari segi terapeutik infeksi jamur pada manusia dapat dibedakan atas
infeksi sistemik, dermatofit dan mukokutan. Infeksi sistemik dapat dibagi lagi
atas; (1) infeksi dalam (internal) seperti aspergilosis, blastomikosis,
koksidiodomikosis, kriptokokosis, histoplasmosis, mukormikosis, kandiasis dan
parakoksidiodo-mikosis; dan (2) infeksi subkutan misalnya kromomikosis,
misetoma dan sporotrikosis. Infeksi dermatofit disebakan oleh trichophyton,
epidermophyton, microsporum; yang menyerang kulit, rambut, dan kuku. Infeksi
mukokutan disebabkan oleh kandida, menyerang mukosa dan daerah lipatan kulit
yang lembab. Kandidiasis mukokutan dalam keadaan kronis umumnya mengenai
mukosa kulit dan kuku.4
Tujuan utama pengobatan infeksi jamur adalah menghilangkan atau
membunuh organisme yang patogen dan memulihkan kembali flora normal kulit
dengan cara memperbaiki ekologi kulit atau membran mukosa yang merupakan
tempat berkembangnya koloni jamur. Pada saat ini penemuan obat-obat anti jamur
yang barn telah mengalami perkembangan yang pesat baik yang berbentuk topikal
maupun sistemik dan diharapkan prevalensi penyakit infeksi jamur dapat
berkurang.5
Sekarang ini ada empat golongan obat-obat anti jamur yang utama yaitu
poliene, azol, alilamin dan echinocandin dan ada juga obat anti jamur yang bukan
kelompok diatas seperti flusitosin, griseofulvin dan sebagian obat-obat anti jamur
topikal. Pengetahuan tentang mekanisme kerja, aktifitas spektrum,
farmakokinetik, efek samping maupun interaksi obat-obat anti jamur sangat
diperlukan dalam memberikan pengobatan. 2
Secara umum infeksi jamur dibedakan atas infeksi jamur sistemik dan
infeksi jamur topikal (dermatofit dan mukokutan). Dalam pengobatan beberapa
2
anti jamur dapat digunakan untuk kedua bentuk infeksi tersebut. Ada infeksi
jamur topikal yang dapat diobati secara sistemik ataupun topikal.3
II. OBAT ANTI JAMUR TOPIKAL
Obat anti jamur topikal digunakan untuk pengobatan infeksi lokal pada
kulit tubuh yang tidak berambut (glabrous skin), namun kurang efektif untuk
pengobatan infeksi pada kulit kepala dan kuku, infeksi pada tubuh yang kronik
dan luas, infeksi pada stratum korneum yang tebal seperti telapak tangan dan kaki.
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat anti jamur topikal lebih sedikit
dibandingkan obat anti jamur sistemik.3
Jenis golongan obat anti jamur topikal yang sering digunakan yaitu : 3-6
1. Poliene : Nystatin
2. Azole – Imidazol :Klotrimazol, Ekonazol, Mikonazol, Ketokonazol,
Sulkonazol, Oksikonazol, Terkonazol, Tiokonazol,
Sertakonazol
3. Alilamin / benzilamin :Naftifin, Terbinafin, Butenafin
4. Obat anti jamur topikal lain :Amorolfin, Siklopiroks, Haloprogin
2.1 GOLONGAN POLIENE
Mekanisme kerja golongan poliene yaitu berikatan dengan ergosterol secara
irreversibel. Ergosterol merupakan komponen yang sangat penting dari membrane sel jamur.
Golongan poliene ini tidak efektif terhadap dermatofit dan penggunaannya2 secara klinis
juga terbatas yaitu untuk pengobatan infeksi yang disebabkan Candida albicans
dan Candida spesies yang lain. 4
Nystatin 4-9
Nystatin merupakan antibiotik yang digunakan sebagai anti jamur,
diisolasi dari Streptomyces nourse pada tahun 1951 dan merupakan antibiotik
group poliene. Untuk pengobatan candida spesies, nystatin dapat digunakan
secara topikal pada kulit atau membran mukosa (rongga mulut, vagina) dan
dapat juga diberikan secara oral untuk pengobatan kandidosis gastrointestinal.
3
Nystatin biasanya tidak bersifat toksik tetapi kadang-kadang dapat timbul
mual, muntah dan diare jika diberikan dengan dosis tinggi.
Untuk pengobatan kandidosis oral, diberikan tablet nystatin 500000 unit
setiap 6 jam dan untuk pengobatan kandidosis vaginalis diberikan 1 atau 2
vaginal suppositories (100000 setiap unit) yang diberikan selama lebih kurang
14 hari. Suspensi nystatin oral terdiri dari 100000 unit / ml yang diberikan 4
kali sehari dengan dosis pada bayi barn lahir (newborn) : 1 ml, infant yang
usianya lebih tua : 2ml dan dewasa : 5 ml.
Struktur kimia Amfoterisin B
2.2 GOLONGAN AZOL-IMIDAZOL
Golongan azol-imidazol ditemukan setelah tahun 1960, relatif berspektrum
luas, bersifat fungistatik dan bekerja dengan cara menghambat sintesis
ergosterol jamur yang mengakibatkan timbulnya defek pada membran sel jamur.
Obat anti jamur golongan azol seperti klotrimazol, ketokonazol, ekonazol,
oksikonazol, sulkonazol dan mikonazol, mempunyai kemampuan menggangu
kerja enzim sitokrom P-450 lanosterol 14-demethylase yang berfungsi sebagai
katalisator untuk mengubah lanosterol menjadi ergosterol.4
2.2.1 Klotrimazol 4-10
Klotrimazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis,
kandidosis oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan oral kandidosis,
diberikan oral troches (10 mg) 5 kali sehari selama 2 minggu atau lebih. Untuk
pengobatan kandidosis vaginalis diberikan dosis 500, 200 atau 100 mg yang
4
dimasukkan kedalam vagina selama 1, 3, atau 6 hari berturu-turut. Untuk
pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan klotrimazol cream 1%, dosis
dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan
selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.
2.2.2 Ekonazol 4-7,10
Ekonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan
kandidosis oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan kandidosis vaginalis
diberikan dosis 150 mg yang dimasukkan ke dalam vagina selama 3 hari berturut-
turut. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan ekonazol cream
1%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya
diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.
2.2.3 Mikonazol 4-6,9-10
Mikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis
versikolor dan kandidosis oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan
kandidosis vaginalis diberikan dosis 200 atau 100 mg yang dimasukkan ke
dalam vagina selama 7 atau 14 hari berturut-turut. Untuk pengobatan kandidosis
oral, diberikan oral gel (125 mg) 4 kali sehari. Untuk pengobatan infeksi jamur
pada kulit digunakan mikonazol cream 2%, dosis dan lamanya pengobatan
tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan
dioleskan 2 kali sehari.
Struktur Kimia Mikonazol
5
2.2.4 Ketokonazol 3-7,10,14
Ketokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis
versikolor, kandidiasis kutaneus dan dapat juga untuk pengobatan seborrrheic
dermatitis. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan ketokonazol
1% cream, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien,
biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan sekali sehari sedangkan
pengobatan seborrrheic dermatitis dioleskan 2 kali sehari. Untuk pengobatan
pitiriasis versikolor menggunakan ketokonazol 2% shampoo dioleskan sekali
sehari selama 5 hari sedangkan untuk pengobatan dandruff digunakan
ketokonazol 1% shampoo sebanyak 2 kali seminggu selama lebih kurang 8
minggu.
Struktur Kimia Ketokonazol
2.2.5 Sulkonazol 5,6,12
Sulkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis
kutaneus. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan sulkonazol 1%
cream Dosis dan lamanya pengobatan tergantung dan kondisi pasien,
biasanya untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris ataupun pitiriasis
versikolor dioleskan 1 atau 2 kali sehari selama 3 minggu dan untuk tinea pedis
dioleskan 2 kali sehari selama 4 minggu.
2.2.6 Oksikonazol 4-6,13
Oksikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan
kandidosis kutaneous. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan
oksikonazol 1% cream ataau lotion. Dosis dan lamanya pengobatan tergantung
dan kondisi pasien, biasanya untuk pengobatan tinea korporis dan tinea kruris
6
dioleskan 1 atau 2 kali sehari selama 2 minggu, untuk tinea pedis dioleskan 1
tatau 2 kali sehari selama 4 mingggu dan pitiriasis versikolor dioleskan 1 kali
sehari selama 2 minggu.
2.2.7 Terkonazol 4-6,15
Terkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis
kutaneous dan genital. Untuk pengobatan kandidosis vaginalis yang
disebabkan Candida albicans, dapat digunakan terkonazol 0,4% vaginal cream (20
gr terkonazol) yang dimasukkan ke dalam vagina menggunakan applikator
sebelum waktu tidur, 1 kali sehari selama 7 hari berturut-turut, terkonazol
0,8% vaginal cream (40 mg terkonazol) yang dimasukkan ke dalam vagina
menggunakan applikator sebelum waktu tidur, 1 kali sehari selama 3 hari
berturut-turut dan vaginal suppositoria dengan dosis 80 mg terkonazol,
dimasukkan ke dalam vagina, 1 kali sehari sebelum waktu tidur selama 3 hari
berturut-turut.
2.2.8 Tiokonazol 4-6,16
Tiokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis
kutaneous dan genital. Untuk pengobatan kandidosis vaginalis diberikan dosis
tunggal sebanyak 300 mg dimasukkan ke dalam vagina. Untuk infeksi pada kulit
digunakan tiokonazol 1% cream, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dan
kondisi pasien, biasanya untuk pengobatan tinea korporis dan kandidiasis
kutaneus dioleskan 2 kali sehari selama 2-4 minggu, untuk tinea pedis dioleskan
2 kali sehari selama 6 minggu, untuk tinea kruris dioleskan 2 kali sehari selama
2 minggu dan untuk pitiriasis versikolor dioleskan 2 kali sehari selama 1-4
minggu.
2.2.9 Sertakonazol 17
Sertakonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan
kandida spesies, digunakan sertakonazol 2% cream, dioleskan 1-2 kali sehari
selama 4 minggu.
7
2.3 GOLONGAN ALILAMIN / BENZILAMIN
Golongan alilamin yaitu naftifin, terbinafin dan golongan benzilamin
yaitu butenafin, bekerja dengan cara menekan biosentesis ergosterol pada tahap awal
proses metabolisme dan enzim sitokrom P-450 akan mengambat aktifitas squalene
eposidase. Dengan berkurangnya ergosterol, akan menyebabkan penumpukan
squalene pada sel jamur dan akan mengakibatkan kematian sel jamur. Alilamin dan
benzilamin bersifat fungisidal terhadap dermatofit dan bersifat fungistatik
terhadap Candida albicans. 4
2.3.1 Naftifin 4-6,8,17
Naftifin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan
Candida spesies. Untuk pengobatan digunakan naftifine hydrochloride 1%
cream dioleskan 1 kali sehari selama 1 minggu.
2.3.2 Terbinafin 4-6,8,18
Terbinafin (Lamisil) dapat digunakan untuk pengobatan
dermatofitosis, pitiriasis versikolor dan kandidiasis kutaneus. Digunakan
terbinafin 1% cream yang dioleskan 1 atau 2 kali sehari, untuk pengobatan
tinea korporis dan tinea kruris digunakan selama 1-2 minggu, untuk tinea
pedis selama 2-4 minggu, untuk kandidiasis kutaneus selama 1-2 minggu dan
untuk pitiriasis versikolor selama 2 minggu.
2.3.3 Butenafin 4-6.19-20
Butenafin merupkan golongan benzilamin dimana struktur kimia dan
aktifitas anti jamurnya sama dengan golongan alilamin. Butenafine bersifat
fungisidal terhadap dermatofit dan dapat digunakan untuk pengobatan tinea
korporis, tinea kruris dan tinea pedis dan bersifat fungisidal. Dioleskan 1 kali
sehari selama 4 minggu.
2.4 GOLONGAN ANTI JAMUR TOPIKAL YANG LAIN
2.4.1 Amorolfin 4-6,21
Amorolfine merupakan derivat morpolin, bekerja dengan cara
menghambat biosintesis ergosterol jamur. Aktifitas spektrumnya yang luas, dapat
8
digunakan untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis dan
onikomikosis. Untuk infeksi jamur pada kulit amorolfin dioleskan satu kali sehari
selama 2-3 minggu sedangkan untuk tinea pedis selama > 6 bulan. Untuk
pengobatan onikomikosis digunakan amorolfine 5% nail laquer, untuk kuku
tangan dioleskan satu atau dua kali setiap minggu selama 6 bulan sedangkan
untuk kuku kaki hams digunakan selama 9-12 bulan.
2.4.2 Siklopiroks4-6,22-24
Siklopiroks merupakan anti jamur sintetik hydroxypyridone,
bersifat fungisida, sporosida dan mempunyai penetrasi yang baik pada kulit
dan kuku. Siklopiroks efektif untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris,
tinea pedis, onikomikosis, kandidosis kutaneus dan pitiriasis versikolor.
Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit hams dioleskan 2 kali
sehari selama 2-4 minggu sedangkan untuk pengobatan onikomikosis digunakan
siklopiroks nail laquer 8%. Setelah dioleskan pada permukaan kuku yang sakit,
lamtan tersebut akan mengering dalam waktu 30-45 detik, zat aktif akan
segera dibebaskan dari pembawa berdifusi menembus lapisan-lapisan lempeng
kuku hingga ke dasar kuku (nail bed) dalam beberapa jam sudah mencapai
kedalaman 0,4 mm dan secara penuh akan dicapai setelah 24-48 jam pemakaian.
Kadar obat akan mencapai kadar fungisida dalam waktu 7 hari sebesar 0,89 ±
0,25 mikrogram tiap milligram material kuku. Kadar obat akan meningkat
terns hingga 30-45 hari setelah pemakaian dan selanjutnya konsentrasi akan
menetap yakni sebesar 50 kali konsentrasi obat minimal yang berefek fungisidal.
Konsentrasi obat yang berefek fungisidal ditemukan di setiap lapisan kuku.
Sebelum pemakain cat kuku siklopiroks, terlebih dahulu bagian kuku
yang infeksi diangkat atau dibuang, kuku yang terisa dibuat kasar kemudian
dioleskan membentuk lapisan tipis. Lakukan setiap 2 hari sekali selama
bulan pertama, setiap 3 hari sekali pada bulan kedua dan seminggu sekali
pada bulan ketiga hingga bulan keenam pengobatan. Dianjurkan pemakaian
cat kuku siklopiroks tidak lebih dari 6 bulan.
9
2.4.3 Haloprogin 4-6,8
Haloprogin merupakan halogenated phenolic, efektif untuk pengobatan
tinea korporis, tinea kiwis, tinea pedis dan pitiriasis versikolor, dengan konstrasi
1% dioleskan 2 kali sehari selama 2-4 minggu.
III. OBAT ANTI JAMUR SISTEMIK
Pemberian obat anti jamur sistemik digunakan untuk pengobatan infeksi jamur
superficial dan sistemik (deepmikosis), obat-obat tersebut yaitu:
3.1. Griseofulvin 2-3,6-9,25
Griseofulvin merupakan antibiotic anti jamur yang berasal dari spesies
Penicillin mold. Pertama kali diteliti digunakan sebagai anti jamur pada tumbuhan
dan kemudian diperkenalkan untuk pengobatan infeksi dermatofita pada hewan.
Pada tahun 1959, diketahui griseofulvin ternyata efektif untuk pengobatan infeksi
jamur superficial pada manusia. Griseofulvin merupakan obat anti jamur yang
pertama diberikan secara oral untuk pengobatan dermatofitosis
· Mekanisme kerja
griseofulvin merupakan obat anti jamur yang bersifat fungistatik, berikatan
dengan protein mikrotubular dan menghambat mitosis sel jamur.
· Aktifitas spectrum
Griseofulvin mempunyai aktifitas spectrum yang terbatas hanya untuk
spesies Epidemiphyton floccosum, Micrisporum spesies dan
Trichophyton spesies, yang merupakan penyebab infeksi jamur pada
kulit, rambut dan kuku. Griseofulvin tidak efektif terhadap kandidosis
kautaneus dan pitiriasis versikolor.
· Farmakokinetik
Pemberian griseofulvin secara oral dengan dosis 0,5 – 1 gr, akan menghasilkan
konsentrasi puncak plasma sebanyak 1 mikrogram / ml dalam waktu 4 jam dan
level dalam darah bervariasi. Griseofulvin mempunyai waktu paruh di dalam
plasma lebih kurang 1 hari, dan ± 50% dari dosis oral dapat dideteksi di dalam
10
urin dalam waktu 5 hari dan kebanyakan dalam bentuk metabolit
Griseofulvin sangat sedikit diabsorpsi dalam keadaan perut kosong. Mengkonsumsi
griseofulvin bersama dengan makanan berkadar lemak tinggi, dapat meningkatkan absorpsi
mengakibatkan level griseofulvin dalam serum akan lebih tinggi. Ketika diabsorpsi,
griseofulvin pertama kali akan berikatan dengan serum albumin dan distribusi di jaringan
ditentukan dengan plasma free concentration. Selanjutnya menyebar melalui cairan
transepidermal dan keringat dan akan dideposit di sel prekusor keratin kulit (stratum
korneum) dan terjadi ikatan yang kuat dan menetap. Lapisan keratin yang terinfeksi, akan
digantikan dengan lapisan keratin barn yang lebih resisten terhadap serangan jamur. Pemberian
griseofulvin secara oral akan mencapai stratum korneum setelah 4 - 8 jam.
Griseofulvin di metabolisme di hepar menjadi 6 — desmethyl griseofulvin, dan akan di
ekskresikan melalui urin. Eliminasi waktu paruh 9-21 jam dan kurang dari 1% dari dosis akan di
jumpai pada urin tanpa perubahan bentuk.
· Dosis
Griseofulvin terdiri atas 2 bentuk yaitu mikrosize (mikrokristallin) dan ultramikrosize
(ultramikrokristallin). Bentuk ultramikrosize, penyerapannya pada saluran pencernaan 1,5
kali dibandingkan dengan bentuk mikrosize. Pada saat ini, griseofulvin lebih sering
digunakan untuk pengobatan tinea kapitis. Tinea kapitis lebih sering dijumpai pada
anak-anak disebabkan oleh Trychopyton tonsurans.
Dosis griseofulvin (pemberian secara oral) yaitu dewasa 500 -1000 mg / hari (mikrosize) dosis
tunggal atau terbagi dan 330 — 375 mg / hari (ultramikrosize) dosis tunggal atau terbagi Anak -
anak ? 2 tahun 10 - 15 mg / kg BB / hari (mikrosize), dosis tunggal atau terbagi dan 5,5 -
7,3 mg / kg BB / hari (ultramikrosize) dosis tunggal atau terbagi. Lama pengobatan untuk
tinea korporis dan kruris selama 2 - 4 minggu, untuk tinea kapitis paling sedikit selama 4 - 6
minggu, untuk tinea pedis selama 4 - 8 minggu dan untuk tinea unguium selama 3 - 6 bulan.
· Efek samping
Efek samping griseofulvin biasanya ringan berupa sakit kepala, mual, muntah
dan sakit pada abdominal. Timbulnya reaksi urtikaria dan erupsi kulit dapat
11
terjadi pada sebagian pasien.
· Interaksi obat
Absorbsi griseofulvin menurun jika diberikan bersama dengan fenobarbital
tetapi efek tersebut dapat di kurangi dengan cara mengkonsumsi griseofulvin
bersama makanan. Griseofulvin juga dapat menurunkan efektifitas warfarin
yang merupakan antikoagulan. Kegagalan kontrasepsi telah dilaporkan
pada pasien yang mengkonsumsi griseofulvin dan oral kontrasepsi.
3.2. Ketokonazol 2-3,6-9,25
Ketokonazol diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 1977 dan
di Amerika Serikat pada tahun 1981. Ketokonazol merupakan antijamur
golongan imidazol yang pertama diberikan secara oral.
· Mekanisme kerj a
Ketokonazol bekerja menghambat biosintesis ergosterol yang merupakan
sterol utama untuk mempertahankan integritas membran sel jamur.
Bekerja dengan cara menginhibisi enzim sitokrom P-450, C-14-a-
demethylase yang bertanggungjawab merubah lanosterol menjadi ergosterol,
hal ini akan mengakibatkan dinding sel jamur menjadi permiabel dan terjadi
penghancuran jamur.
· Aktifitas spektrum
Ketokonazol mempunyai spekrum yang luas dan efektif terhadap Blastomyces
dermatitidis, Candida spesies, Coccidiodes immitis, Histoplasma
capsulatum, Malassezia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis. Ketokonazol
juga efektif terhadap dermatofit tetapi tidak efektif terhadap Aspergillus
spesies dan Zygomycetes.
· Farmakokinetik
Ketokonazol yang diberikan secara oral, mempunyai bioavailabilitas yang luas
antara 37% - 97% di dalam darah. Puncak waktu paruh yaitu 2 jam dan
berlanjut 7-10 jam. Ketokonazol mempunyai daya larut yang optimal pada
pH dibawah 3 dan akan lebih mudah diabsorbsi. Pasien yang menderita
achlorhydia, hares mengkonsumsi ketokonazol bersama dengan cairan
12
yang asam dan pada pasien yang mendapat obat - obat seperti antasid,
antikolinergik, antiparkinson dan antagonis 112 reseptor, sebaiknya
mengkonsumsi ketokonazol 2 jam sebelumnya oleh karena dapat
mengurangi absorbsi ketokonazol.
Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat dengan keratin dan mencapai keratin dalam
waktu 2 jam melalui kelenjar keringat eccrine. Penghantaran akan menjadi lebih lambat
ketika mencapai lapisan basal epidermis dalam waktu 3 - 4 minggu. Konsentrasi
ketokonazol masih tetap dijumpai, sekurangnya 10 hari setelah obat dihentikan.
Ketokonazol mempunyai distribusi yang luas melalui urin, saliva, sebum, kelenjar
keringat eccrine, serebrum, cairan pada sendi dan serebrospinal fluid (C SF). Namun,
ketokonazol 99% berikatan dengan plasma protein sehingga level pda CSF rendah.
Ketokonazol dimetabolisme di hati dan diubah menjadi metabolit yang tidak aktif dan
diekskresi bersama empedu ke dalam saluran pencernaan.
· Dosis
Dosis ketokonazol yang diberikan pada orang dewasa 200 mg / hari, dosis tunggal dan
untuk kasus yang serius dapat ditingkatkan hingga 400 mg / hari sedangkan dosis
untuk anak-anak 3,3 — 6,6 mg / kg BB, dosis tunggal. Lama pengobatan untuk tinea
korporis dan tinea kruris selama 2 - 4 minggu, tinea versikolor selama 5 -10 hari sedangkan
untuk tinea kapitis dan onikomikosis biasanya tidak direkomendasikan.
· Efek Samping
Anoreksia, mual dan muntah merupakan efek samping yang sering di jumpai. Ketokonazol juga
dapat menimbulkan efek hepatotoksik yang ringan tetapi kerusakan hepar yang serius jarang
terjadi. Peninggian transaminase sementara dapat terjadi pada 5-10% pasien. Efek
samping yang serius dari hepatotoksik adalah idiosinkratik dan jarang ditemukan yaitu
1:10000 dan 1:15000, biasanya djumpai pada pasien yang mendapat pengobatan lebih dan 2
minggu. Untuk pengobatan jangka waktu yang lama, dianjurkan dilakukan pemeriksaan
fungsi hati. Dosis tinggi ketokonazol (>800 mg/hari) dapat menghambat sintesis human adrenal
dan testikular steroid yang dapat menimbulkan alopesia, ginekomasti dan impoten.
13
· Interaksi obat
Konsentrasi serum ketokonazol dapat menurun pada pasien yang
mengkonsumsi obat yang dapat menurunkan sekresi asam lambung seperti antasid,
antikolinergik dan H2-antagonis sehingga sebaiknya obat ini di berikan setelah 2 jam
pemberian ketokonazol. Ketokonazol dapat memperpanjang waktu paruh seperti
terfenadin, astemizol dan cisaprid sehingga sebaiknya tidak diberikan bersama dan juga
dapat menimbulkan efek samping kardiovaskular seperti pemanjangan Q-T
interval dan torsade de pointes.
Ketokonazol juga dapat memperpanjang waktu paruh dari midazolam dan
triazolam dan dapat meningkatkan level siklosporin dan konsentrasi serum
dan warfarin. Pemberian bersama ketokonazol dengan rifampicin dapat
menurunkan efektifitas ke dua obat.
3.3. Itrakonazol 2-3,6-9,25
Itrakonazol diperkenalkan pada tahun 1992 merupakan sintesis derivat
triazol.
· Mekanisme kerja
Mekanisme kerja itrakonazol dengan cara menghambat 14-a-
demethylase yang merupakan suatu enzim sitokrom P-450 yang bertanggung
jawab untuk merubah lanosterol menjadi ergosterol pada dinding sel jamur.
· Aktifitas spectrum
Itrakonazol mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap Aspergillosis
spesies, Blastomyces dermatitidis, Candida spesies, Coccidiodes
immitis, Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum,
Malassezia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis, Scedosporium
apiospermum dan Sporothrix schenckii. Itrakonazol juga efektif terhadap
dematiaceous moulds dan dermatofit tetapi tidak efektif terhadap
Zygomycetes.
14
· Farmakokinetik
Absorbsi itrakonazol tidak begitu sempurna pada saluran gastrointestinal
(55%) tetapi absorbsi tersebut dapat ditingkatkan jika itrakonazol dikonsumsi
bersama makanan. Pemberian oral dengan dosis tunggal 100 mg,
konsentrasi puncak plasma akan mencapai 0,1-0,2 mg/L dalam waktu 2-4
jam.
Itrakonazol mempunyai ikatan protein yang tinggi pada serum melebihi 99%
sehingga konsentrasi obat pada cairan tubuh seperti pada CSF jumlahnya
sedikit. Namun sebaliknya konsentrasi obat di jaringan seperti paru-paru,
hati dan tulang dapat mencapai 2 atau 3 kali lebih tinggi dibandingkan
pada serum. Konsentrasi itrakonazol yang tinggi juga ditemukan pada
stratum korneum akibat adanya sekresi obat pada sebum. Itrakonazol tetap
dapat ditemukan pada kulit selama 2-4 minggu setelah pengobatan
dihentikan dengan lama pengobatan 4 minggu sedangkan pada jari kaki
itrakonazol masih dapat ditemukan selama 6 bulan setelah pengobatan
dihentikan dengan lama pengobatan 3 bulan.
Kurang dari 0,03% dari dosis itrakonazol akan di ekskresi di urin tanpa
mengalami perubahan tetapi lebih dari 18% akan di buang melalui feces
tanpa mengalami perubahan. Itrakonazol di metabolisme di hati oleh sistem
enzim hepatik sitokrom P- 450. Kebanyakan metabolit yang tidak aktif akan
di ekskresi oleh empedu dan urin. Metabolit utamanya yaitu
hidroksitrakonazol yang merupakan suatu bioaktif.
· Dosis
Dosis pengobatan untuk dermatofitosis adalah 100 mg/hari. Lama pengobatan
untuk tinea korporis atau tinea kruris adalah selama 2 minggu tetapi
untuk tinea manus dan tinea pedis adalah selama 4 minggu. Pengobatan
untuk pitirisis versikolor dengan dosis 200 mg/hari selama 1 minggu.
Untuk pengobatan onikomikosis dengan dosis 200 mg selama 3 bulan atau
menggunakan dosis denyut yaitu kuku jari tangan sebanyak 2 pulsa
15
itrakonazol dengan dosis 400 mg/hari selama 1 minggu dan 3 minggu
tanpa pengobatan sedangkan kuku jari kaki sebanyak 3 pulsa atau lebih.
Pengobatan kandidosis kutis dengan dosis 100 mg / hari selama 2
minggu, kandidosis orofaringeal 100 mg / hari selama 2 minggu,
kandidosis vaginalis 2x200 mg selama 1 hari atau 200 mg selama 3 hari.
Sedangkan untuk infeksi deep mikosis seperti aspergillosis, blastomikosis dan
histoplasmosis diberikan dosis itrakonazol sebanyak 200-400 mg/hari.
· Efek samping
Efek samping yang sering dijumpai adalah masalah gastrointestinal seperti
mual, sakit pada abdominal dan konstipasi. Efek samping lain seperti sakit
kepala, pruritus dan ruam allergi.
Efek samping yang lain yaitu kelainan test hati yang dilaporkan pada 5%
pasien yang ditandai dengan peninggian serum transaminase, ginekomasti
dilaporkan terjadi pada 1% pasien yang menggunakan dosis tinggi,
impotensi dan penurunan libido pernah dilaporkan pada pasien yang
mengkonsums itrakonazol dosis tinggi 400 mg /hari atau lebih.
· Interaksi obat
Absorbsi itrakonazol akan berkurang jika diberikan bersama dengan obat-
obat yang dapat menurunkan sekresi asam lambung seperti antasid, H2-
antagonis, omeprazol dan lansoprazol.
Itrakonazol dan metabolit utamanya merupakan suatu inhibitor dari sistem
enzim human hepatic sitokrom P-450-3A4 sehingga pemberian itrakonazol
bersama dengan obat lain yang metabolismenya melalui sistem tersebut
dapat meningkatkan konsentrasi azol, interaksi obat ataupun ke duanya.
Itrakonazol dapat memperpanjang waktu paruh dari obat-obat seperti
terfenadin, astemizol, midazolam, triazolam, lovastatin, simvastatin,
cisaprid, pimozid, quinidin. Itrakonazol juga dapat meningkatkan
konsentrasi serum digoxin, siklosporin, takrolimus dan warfarin.
16
3.4. Flukonazol 2-3,6-8,25
Flukonazol merupakan suatu hidrofilik dari sintetik triazol, terdapat
dalam bentuk oral dan parenteral. Ditemukan pada tahun 1982 dan di
perkenalkan pertama kali di Eropa kemudian di Amerika Serikat.
· Mekanisme kerja
Flukonazol mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan triazol lain yaitu
merupakan suatu inhibitor yang poten terhadap biosintesis ergosterol, bekerja
dengan menghambat sistem enzim sitokrom P-450 14-a-demethylase dan
bersifat fungistatik.
· Aktifitas spektrum
Flukonazol paling aktif terhadap Candida spesies, Coccidioides imminitis dan
Cryptococcus neoformans. Mempunyai aktifitas yang terbatas terhadap
Blastomyces dermatitidis, Histoplasma capsulatum dan Sprothrix
schenckii. Flukonazol juga efektif terhadap dermatofit tetapi tidak efektif
untuk moulds termasuk Aspergillus spesies dan Zygomycetes. Walaupun
flukonazol efektif terhadap Candida spesies tetapi resisten untuk Candida
krusei dan Candida glabrata.
· Farmakokinetik
Flukonazol secara cepat dan sempurna diserap melalui saluran gastrointestinal.
Bioavailabilitas oral flukonazol melebihi 90 % pada orang dewasa.
Konsentrasi puncak plasma dicapai setelah 1 atau 2 jam pemberian oral
dengan eliminasi waktu paruh plasma ± 30 jam (20-50 jam) setelah
pemberian oral. Absorbsi flukonazol tidak dipengaruhi oleh kadar asam
lambung (pH).
Pemberian secara oral dengan dosis tunggal ataupun multiple lebih dari
14 hari maka flukonazol akan mengalami penetrasi yang luas ke dalam
cairan dan jaringan tubuh. Flukonazol bersifat hidrofilik sehingga lebih
banyak ditemukan di dalam cairan tubuh dan dijumpai di dalam keringat
dengan konsentrasi tinggi. Ikatan flukonazol dengan protein biasanya rendah
(12%) sehingga sirkulasi obat yang tidak berikatan tinggi.
17
Metabolisme flukonazol terjadi di hepar dan diekskresi melalui urin dimana
80 % dari dosis obat akan di ekskresi tanpa perubahan dan 11% di
ekskresi sebagai metabolit.
· Dosis
Untuk pengobatan orofaringeal kandidosis diberikan dosis 200 mg pada hari
pertama dan selanjutnya 100 mg /hari selama 2 minggu. Oesophageal
kandidosis diberikan dosis 200 mg pada hari pertama dan selanjutnya 100
mg /hari selama 3 minggu. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis
digunakan dosis tunggal 150 mg. Flukonazol juga efektif terhadap
Cryptococcus neoformans dan merupakan terapi pilihan utama untuk
cryptococcal meningitis pada pasien ADIS diberikan dengan dosis 6
mg/kg BB atau 400 mg /hari untuk berat badan 70 kg.
· Efek samping
Efek samping yang sering di jumpai adalah masalah gastrointestinal seperti
mual, muntah, diare, sakit pada abdominal dan juga sakit kepala. Efek
samping lain yaitu hipersensitiviti, agranulositosis, exfoliatif skin disoders
seperti Steven Johnsonsindrom, hepatotoksik, trombositopenia dan efek
pada sistem saraf pusat.
· Interaksi obat
Flukonazol dapat meningkatkan efek atau level dari obat yaitu astemizol,
amitriptilin, kafein, siklosporin, fenitoin, sulfonilureas, terfenadin, theofilin,
warfarin dan zidovudin. Pemberian bersama flukonazol dengan cisapride
ataupun terfenadin merupakan kontra indikasi oleh karena dapat
menimbulkan disaritmia jantung yang serius dan torsade de pointes.
Flukonazol juga dapat berinteraksi dengan tolbutamid, glipizid dan gliburid
yang menimbulkan efek hipoglikemi.
Level atau efek flukonazol dapat menurun oleh karbamazepin, isoniazid,
phenobarbital, rifabutin dan rifampin dan akan meningkat oleh simetidin
dan hidroklorothiazid.
18
Struktur kimia flukonazol
3.5. Vorikonazol 6
Vorikonazol merupakan sintetik triazol yang berasal dari flukonazol
dan tersedia dalam bentuk oral maupun parenteral.
· Mekanisme kerja
Vorikonazol merupakan inhibitor yang poten terhadap biosintesis ergosterol,
bekerja pada enzim sitokrom p-4.50, lanosterol 14-a-demethylase.
Hal ini menyebabkan berkurangnya ergosterol dan penumpukan
methilat sterols yang mengakibatkan rusaknya struktur dan fungsi
membran jamur.
· Aktifitas spktrum
Vorikonazol mempunyai spektrum yang luas terhadap Aspergillus species,
Blastomyces dermatitidis, Candida species, Cryptococcus neoformans,
Fusarium species, Histoplasma capsulatum dan Scedosporium
apiospermum. Juga efektif terhadap dematiaceous moulds, tetapi tidak
efektif terhadap Zygomycetes.
· Farmakokinetik
Pemberian vorikonazol secara oral di absorbsi dengan cepat dan hampir
sempurna (sekitar 96%). Dua jam setelah mengkonsumsi vorikonazol
dengan dosis 400 mg dosis tunggal, diharapkan akan dicapai konsentrasi
serum 2 mg/L. Absorbsi vorikonazol akan berkurang bersama makanan yang
mengandung lemak tetapi tidak dipengaruhi perubahan pH lambung.
19
Vorikonazol mempunyai volume distribusi yang luas (4,6L/kg BB) yang
dapat di lihat pada jaringan dan diperkirakan berikatan dengan protein
sekitar 58%. Vorikonazol di ekskresi dalam bentuk yang tidak
mengalami perubahan melalui urin < 2% dari dosis yang di berikan.
Vorikonazol di metabolisme melalui sistem enzim human hepatik sitokrom
p450. Lebih dari 80% dosis oral akan dibuang sebagai metabolit
melalui urin. Eliminasi waktu paruh berkisar 6-9 jam dengan dosis parenteral
3 mg/kg atau 200 mg dengan dosis oral. Terdapat 3 sistem enzim hepatik
sitokrom yang mempunyai peranan dalam proses metabolisme vorikonazol
yaitu Cyp-2C19, CYP-2C9 dan CYP3A4.
· Dosis
Pengobatan intravenous vorikonazol hams di awali dengan 2 loading dose
sebanyak 6 mg/ kg BB dengan jarak 12 jam dan selanjutnya 4 mg/kg BB
dengan interval 12 jam. Setiap dosis hams di infus dengan rata-rata
maksimum 3 mg/kg BB/jam selama periode 1-2 jam. Konsentrasi cairan
infus tidak melebihi 5 mg/ml.
Pasien dengan berat badan lebih dan 40 kg dapat diberikan dosis oral
sebanyak 200 mg dengan interval 12 jam sedangkan berat badan yang
kurang dari 40 kg dapat diberikan dosis 100 mg dengan interval 12 jam.
Obat hams dikonsumsi 1 jam sebelum atau sesudah makan.
· Efek samping
Kebanyakan efek samping yang dapat di jumpai pada pasien yaitu demam,
adanya roam pada kulit, mual, muntah, diare, sakit kepala dan sakit
abdominal. Sekitar 13 % pasien di jumpai peninggian test fungsi hati
selama pengobatan.
· Interaksi obat
Absorbsi vorikonazol tidak menglami penumnan jika diberikan bersama
dengan obat lain seperti simetidin, ranitidin yang berfungsi mengurangi sekresi
asam lambung. Vorikonazol kurang poten sebagai inhibitor sistim
enzim human hepatik sindrom P-450-3A4 dibandingkan itrakonazol
ataupun ketokonazol, namun vorikonazol dapat meningkatkan konsentrasi
20
semm sirolimus, terfenadin, astemizol, cisaprid, pimozid dan quinidin
sehingga sebaiknya vorikonazol tidak di konsumsi bersama dengan obat
diatas.
Vorikonazol dapat menunjukkan penumnan konsentrasi serum siklosporin
dan takrolimus sehingga level dan dosis obat hams di monitor.
Vorikonazol dapat meningkatkan konsentrasi semm warfarin yang berfungsi
sebagai antikoagulan sehingga waktu protrombin pada pasien yang
mendapat ke dua obat tersebut hams di monitor. Vorikonazol dapat
menghambat metabolisme lovastatin sehingga dosis obat tersebut hams
disesuaikan.
Vorikonazol juga dapat meningkatkan konsentrasi tolbutamid dan
glipizid yang menimbulkan efek hipoglikemik Vorikonazol dapat
menghambat metabolisme anti-HIV protease inhibitor seperti saquinavir,
amprenavir dan nelfenavir sedangkan ritonavir, amprenavir dan saquinavir
dapat menghambat metabolisme golongan azol. Vorikonazol juga
sebaiknya tidak diberikan bersama dengan carbamazepin, phenobarbital,
rifabutin dan rifampicin.
3.6. Terbinafin 2,-3,6-8,25
Terbinafin merupakan anti jamur golongan alilamin yang dapat
diberikan secara oral. Pertama kali ditemukan pada tahun 1983, di gunakan di
Eropa sejak tahun 1991 dan di Amerika Serikat pada tahun 1996.
· Mekanisme Kerja
Terbinafin bekerja menghambat sintesis ergosterol (merupakan komponen
sterol yang utama pada membran plasma sel jamur), dengan cara menghambat
kerja squalene epoxidase (merupakan suatu enzim yang berfungsi sebagai
katalis untuk mengubah squalene menjadi squalene-2,3 epoxide). Dengan
berkurangnya ergosterol yang berfungsi untuk mempertahankan
pertumbuhan membran sel jamur sehingga pertumbuhan akan berhenti,
disebut dengan efek fungistatik dan dengan adanya penumpukan squalene
yang banyak di dalam sel jamur dalam bentuk endapan lemak sehingga
21
menimbulkan kerusakan pada membran sel jamur disebut dengan efek
fungisidal.
· Aktifitas spektrum
Terbinafin merupakan anti jamur yang berspektrum luas. Efektif terhadap
dermatofit yang bersifat fungisidal dan bersifat fungistatik untuk Candida
albicans tetapi bersifat fungisidal untuk beberapa species candida
seperti Candida parapsilosis. Terbinafin juga efektif terhadap
Aspergillosis species, Blastomyces dermatitidis, Histoplasma capsulatum,
Sporothrix schenckii dan beberapa dermatiaceous moulds.
· Farmakokinetik
Terbinafin di absorbsi dengan baik jika diberikan dengan cara oral yaitu
> 70% dan akan tercapai konsentrasi puncak dari serum berkisar 0,8-1,5
mg/L setelah pemberian 2 jam dengan 250 mg dosis tunggal. Pemberian
bersama makanan tidak mempengaruhi absorbs i obat .
Terbinafin bersifat lipofilik dan keratofilik, terdistribusi secara luas pada pada
dermis, epidermis, jaringan lemak dan kuku. Konsentrasi plasma terbinafm
terbagi dalam tiga fase dimana waktu paruh terbinafm yang terdistribusi
di dalam plasma yaitu 1,1 jam ; eliminasi waktu paruh yaitu 16 dan 100 jam
setelah pemberian 250 mg dosis tunggal ; setelah 4 minggu pengobatan
dengan dosis 250 mg /hari terminal waktu paruh rata-rata yaitu 22 hari di
dalam plasma. Di dalam dermis- epidermis, rambut dan kuku eliminasi
waktu paruh rata-rata yaitu 24-28 hari.
Terbinafin dapat mencapai stratum korneum, pertama kali melalui
sebum kemudian bergabung dengan basal keratinosit dan selanjutnya
berdifusi ke dermis-epidermis tetapi terbinafin di dalam kelenjar
keringat ekrine tidak terdeteksi. Terbinafin yang diberikan secara oral
akan menetap di dalam kulit dengan konsentrasi di atas MIC untuk
dermatofit selama 2-3 minggu setelah obat di hentikan. Terbinafin dapat
terdeteksi pada bagian distal dari nail plate dalam waktu 1 minggu setelah
pengobatan dan level obat yang efektif dicapai setelah 4 minggu
22
pengobatan. Terbinafin tetap akan dijumpai di dalam kuku untuk jangka
waktu yang lama setelah pengobatan dihentikan.
Terbinafin dimetabolisme di hepar dan metabolit yang tidak aktif akan di
ekskresi melalui urin sebanyak 70% dan melalui feces sebanyak 20%.
· Dosis
Terbinafin tersedia dalam bentuk tablet 250 mg tetapi tidak tersedia dalam
bentuk parenteral. Oral terbinafin efektif untuk pengobatan dermatofitosis
pada kulit dan kuku. Dosis terbinafin oral untuk dewasa yaitu 250 mg/hari
tetapi pada pasien dengan ganguan hepar atau fungsi ginjal (kreatinin
clearence < 50 ml/menit atau konsentrasi serum kreatinin > 300 umol/m1)
dosis hams diberikan setengah dari dosis diatas. Pengobatan tinea pedis
selama 2-6 minggu, tinea korporis dan kruris selama 2-4 minggu
sedangkan infeksi pada kuku tangan selama 3 bulan dan kuku kaki selama 6
bulan atau lebih.
· Efek samping
Efek samping pada gastrointestinal seperti diare, dyspepsia, sakit di abdominal
sering dijumpai. Jarang dijumpai pasien yang menderita kerusakan
hepar dan meninggal akibat mengkonsumsi terbinafin untuk
pengobatan infeksi kuku. Terbinafin tidak direkomendasikan untuk pasien
dengan penyakit hepar yang kronik atau subaktif.
· Interaksi obat
Terbinafin tidak mempunyai efek clearance terhadap obat lain yang
metabolismenya melalui hepatik sitokrom P-450. Namun konsentrasi darah
akan menurun jika terbinafin di berikan bersama rifampicin yang merupakan
suatu inducer yang poten terhadap sistem enzim hepatik sitokrom P-450.
Level darah pada terbinafin dapat meningkat jika pemberiannya bersama
cimetidin yang merupakan sitokrom P-450 inhibitor.
23
Struktur Kimia Terbinafin
3.7. Amfoterisin B 2-6,9
Amfoterisin B merupakan antibiotik makrosiklik polyene yang berasal dan
Streptomyces nodosus, diperkenalkan pada tahun 1956 dan disetujui digunakan sebagai
anti jamur pada manusia di tahun 1960.
Amfoterisin B deoxycholate (formula konvensional) digunakan untuk
pengobatan infeksi deep mikosis, pemberian secara parenteral sering menimbulkan efek toksik
terutama pada ginjal / nefrotoksik sehingga kemudian dikembangkan 3 jenis formula yang
kurang toksik terhadap ginjal dengan dasar lemak (lipid-based formulations) yaitu (1)
Liposomal amfoterisin B (AmBisome), obat ini diselubungi dengan phospholipid yang
mengandung liposome. (2) Amfoterisin B lipid kompleks (Abelcet, ABLC), merupakan suatu
kompleks dengan fosfolipid yang membentuk struktur seperti pita. (3) Amfoterisin B
kolloidal dispersion (Amphocil, Amphotec, ABCD), merupakan suatu kompleks dengan
cholesterol sulphate yang membentuk potongan lemak yang kecil.
· Mekanisme kerja
Amfoterisin B berikatan dengan ergosterol sehingga membran sel jamur menjadi
rentan selanjutnya mengakibatkan fungsi barrier membran menjadi rusak, hilangnya unsur-
unsur penting sel, menggangu metabolisme dan matinya sel jamur. Efek lain pada membran
sel jamur yaitu amfoterisin B dapat menimbulkan kerusakan oksidatif terhadap sel
jamur.
· Aktifitas Spektrum
Amfoterisin B mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap : Aspergillus species,
Mucorales species, Blastomyces dermatitidis, Candida species, Coccidioides
immitis, Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum,
24
Paracoccidioides brasiliensis, Penicillium marneffei. Sedangkan untuk
Aspergillus tereus, Fusarium species, Malassezia furfur, Scedosporium species
dan Trichosporon asahii biasanya resisten.
· Farmakokinetik
Amfoterisin B sangat sedikit diserap dengan cara pemberian oral
(bioavaibilitasnya kurang dan 5%), sehingga untuk tetap mempertahankan
konsentrasi serum yang adekuat diberikan secara intravenous
Formula konvensional
Pemberian parenteral formula konvensional dengan dosis 1 mg/kgBB akan
menghasilkan konsentrasi serum yang maksimum sebanyak 1,0-2,0 mg/l.
Kurang dan 10% dan dosis tersebut akan menetap di dalam darah setelah
12 jam pemberian dan lebih dari 90% akan berikatan dengan protein.
Sebagian besar ditemukan pada hepar (40% dari dosis), paru-paru (6% dari
dosis), ginjal (2% dari dosis) sedangkan pada cairan cerebrospinal (CSF)
kurang dan 5% konsentrasi darah. Formula konvensional mempunyai waktu
paruh fase ke dua ± 24-48 jam dan waktu paruh fase ke tiga ± 2 minggu.
Formula dengan dasar lemak (lipid-based formulations)
Sebagian besar struktur formula dengan dasar lemak seperti amfoterisin
B lipid kompleks (ABLC), akan menghilang dengan cepat dari dalam
darah tetapi sebagian kecil liposome akan menetap di sirkulasi untuk jangka
waktu yang lama.
Konsentrasi serum maksimum dari liposomal amfoterisin B (AmBisome)
yaitu 10-35 mg/L dengan dosis 3 mg/kgBB dan 25-60 mg/L untuk dengan
dosis 5 mg/kgBB Level 5-10 mg/L dapat di deteksi setelah pemberian 24 jam
dengan dosis 5 mg/kg BB. Pemberian liposomal amfoterisin B
menghasilkan konsentrasi obat yang lebih tinggi di dalam hepar dan limpa
dibandingkan dengan formula konvensional sedangkan konsentrasi obat
pada ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional.
Waktu paruh liposomal amfoterisin B berakhir waktu ± 100-150 jam.
25
Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B lipid kompleks setelah pemberian
parenteral lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional
sehingga distribusi obat pada jaringan lebih cepat, dimana level maksimum
dicapai 1-2 mg/L setelah pemberian dosis 5 mg/ kgBB selama 1 minggu.
Pemberian amfoterisin B lipid kompleks menghasilkan konsentrasi yang
lebih tinggi pada hepar, limpa dan paruparu dibandingkan dengan formula
konvensional sedangkan konsentrasi pada ginjal lebih rendah dibandingkan
dengan formulasi konvensional. Waktu paruh amfoterisin B lipid kompleks
berakhir ± 170 jam.
Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B kolloidal dispersion sekitar 2
mg/L dengan dosis 1 mg/kgBB, tetapi level obat di dalam darah akan segera
menurun setelah pemberian berakhir dan dijumpai distribusi obat yang
cepat ke jaringan. Pemberian Amfoterisin B kolloidal dispersion akan
menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi pada hepar dan limpa
dibandingkan dengan formula konvensional sedangkan konsentrasi
pada ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional.
· Dosis
Formula konvensional
Kebanyakan pasien dengan infeksi deep mikosis diberikan dosis 1-2 gr
amfoterisin B selama 6-10 minggu (tergantung dari kondisi pasien). Orang
dewasa dengan fungsi ginjal yang normal diberikan dosis 0,6-1,0 mg/kg BB.
Sebelum pemberian obat, terlebih dahulu di test dengan dosis 1 mg
amphotericin B di dalam 50 ml cairan dextrose dan diberikan selama 1-2
jam (anakanak dengan berat badan kurang dari 30 kg diberikan dosis 0,5
mg) kemudian di observasi dan di monitor suhu, denyut jantung dan tekanan
darah setiap 30 menit oleh karena pada beberapa pasien dapat timbul reaksi
seperti hipotensi yang berat atau reaksi anaphylaxis .
Dosis obat dapat ditingkatkan lebih dari 1 mg/kg BB tetapi tidak melebihi
50 mg. Setelah 2 minggu pengobatan, konsentrasi di dalam darah akan
26
stabil dan level obat di jaringan makin bertambah dan memungkinkan obat
diberikan pada interval 48 atau 72 jam.
Formula dengan dasar lemak (lipid-base formulations)
Pemberian liposomal amfoterisin B biasanya dimulai dengan dosis 1,0
mg/kg BB tetapi dosis ini dapat ditingkatkan menjadi 3,0-5,0 mg/kg BB
atau lebih. Formula ini hams di infus dalam waktu 2 jam, jika dapat
diterima maka waktu pemberian dapat di persingkat menjadi 1 jam. Obat
ini telah diberikan pada individu selama 3 bulan dengan dosis kumulatif 15
g tanpa efek samping toksik yang signifikan. Dosis yang dianjurkan adalah
3 mg/kg BB/hari.
Dosis yang direkomendasikan untuk pemberian amfoterisin B lipid
kompleks yaitu 5 mg/kg BB dan di infuskan dengan rata-rata 2,5 mg/kg
BB/jam. Obat ini telah diberikan pada individu selama 11 bulan dengan
dosis kumulatif 50 g tanpa efek samping toksik yang signifikan.
Dosis awal amfoterisin B kolloidal dispersion yaitu 1,0 mg/kg BB dan jika
dibutuhkan dosis dapat ditingkatkan menjadi 3,0-4,0 mg/kg BB. Formula
ini di infuskan dengan rata-rata 1 mg/kg BB/jam. Obat ini telah diberikan
pada individu dengan dosis kumulatif 3 gr tanpa efek samping toksik yang
signifikan.
· Efek samping
Formula konvensional
Pemberian formula konvensional dengan cara intravenous dapat segera menimbulkan
efek samping seperti demam, menggigil dan badan menjadi kaku, biasanya timbul
setelah 1-3 jam pemberian obat. Mual dan muntah dapat juga dijumpai tetapi jarang
sedangkan dan lokal phlebitis sering juga dijumpai. Efek samping toksik yang paling
serius adalah kerusakan tubulus ginjal. Kebanyakan pasien yang mendapat formula
konvensional sering menderita kerusakan fungsi ginjal terutama pada pasien yang mendapat
dosis lebih dan 0,5 mg/kg BB/hari. Formula konvensional dapat juga menyebabkan
27
hilangnya potassium dan magnesium. Pasien yang mendapat pengobatan lebih dari 2
minggu, dapat timbul normokromik dan normositik anemia yang sedang.
Formula dengan dasar lemak (lipid-based formulations)
Prevalensi timbulnya efek samping yang cepat setelah pemberian amphotericin
B lipid kompleks dan amfoterisin B kolloidal dispersion lebih sedikit dibandingkan dengan
formula konvensional. Efek samping yang dapat dijumpai yaitu demam, menggigil dan
hipoksia yang dilaporkan sekitar 25% penderita yang menggunakan obat tersebut
tetapi biasanya tidak menetap.
Formula dengan dasar lemak kurang menimbulkan efek samping pada ginjal
dibandingkan formula konvensional dan dari hasil penelitian (konsentrasi serum kreatinin)
menunjukkan : kerusakan ginjal akibat amfoterisin B lipid kompleks sebanyak 25%,
amfoterisin B kolloidal dispersion sebanyak 15 %, liposomal amfoterisin B
sebanyak 20% sedangkan formula konvensional sebanyak 30-50%. Efek samping yang
lain dari formula dengan dasar lemak yaitu peningkatan liver trasaminase, alkalin
phosphatase dan konsentrasi serum bilirubin. Pasien yang mendapat pengobatan
liposomal amfoterisin B di jumpai test fungsi hati yang tidak normal sekitar 25-50%
tetapi biasanya tidak menetap.
· Interaksi obat
Amfoterisin B dapat menambah efek nefrotoksik obat lain seperti antibiotik
aminoglikosida, siklosporin, antineoplastik tertentu sehingga kombinasi obat diatas hams
hati-hati. Kombinasi obat amfoterisin B dengan kortikosteroid atau digitalis glikosid dapat
menimbulkan hipokalemi.
3.8. Caspofungin6
Caspofungin merupakan derivat semi sintetik dari pneumo-candin Bo, yang merupakan
hasil fermentasi lipopeptid jamur Glarea lozoyensis.
· Mekanisme KerjaCaspofungin menghambat sintesis 0 -(1,3)-D-glucan yang merupakan komponen
dinding sel jamur.
28
· Aktifitas spektrum
Caspofungin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas. Caspofungin efektif terhadap
Aspergillus fumigatus, Aspergillus flavus dan Aspergillus terreus tetapi tidak
efektif terhadap dermatofit. Caspofungin mempunyai aktifitas yang berubah-ubah terhadap
Coccidioides immitis, Histoplasma capsulatum dan dematiaceous molds.
Caspofungin juga efektif terhadap sebagian besar Candida species dengan efek
fungisidal yang tinggi, tetapi terhadap Candida parapsilosis dan Candida krusei
kurang efektif dan resisters terhadap Cryptococcus neoformans.
· Farmakokinetik - ,
Pemberian caspofungin secara parenteral setelah 1 jam dengan dosis 70 mg akan dicapai
konsentrasi serum sebanyak 10 mg/L. Kurang dari 10% dosis obat, akan menetap di dalam
darah setelah pemberian 36-48 jam dan lebih dari 96% akan berikatan dengan protein.
Sebagian besar obat akan di distribusikan ke dalam jaringan (± 92% dari dosis) dengan
konsentrasi yang tertinggi di jumpai pada hepar. Sekitar 1% dari dosis akan di ekskresi
tanpa ada perubahan melalui urin. Caspofungin di metabolisme di hepar dan metabolit yang
tidak aktif akan dibuang melalui empedu (35%) dan urin (40%). Waktu paruh di awali
sekitar 9-11 jam dan berakhir pada 4050 jam.
· Dosis
Pada pasien aspergillosis dosis yang dianjurkan 70 mg pada hari pertama dan 50 mg/hari
untuk hari selanjutnya. Setiap dosis hams di infuskan dalam periode 1 jam. Pasien dengan
kerusakan hepar sedang, di rekomendasikan dosis caspofungin diturunkan menjadi 35 mg
dan selanjutnya 70 mg loading dose.
· Efek samping
Efek samping yang sering dijumpai yaitu demam, adanya roam pada kulit, mual dan
muntah.
· Interaksi obat
Pemberian caspofungin bersama cyclosporin dapat meningkatkan
trasaminase 2-3 kali lipat dari batas normal dan akan menurun apabila ke
dua obat tersebut dihentikan.
29
3.9. Flusitosin 6,7,9,30,38
Flusitosin (5-fluorositosin) merupakan sintetis dari fluorinated pirimidin
yang dapat diberikan secara oral maupun parenteral.
· Mekanisme kerja
Flusitosin masuk ke dalam sel jamur disebabkan kerja sitosin permease,
kemudian dirubah oleh sitosin deaminase menjadi 5-flourouracil yang
bergabung ke dalam RNA jamur sehingga mengakibatkan sintesis protein
terganggu. Flusitosin dapat juga menghambat thymidylate sinthetase yang
menyebabkan inhibisi sintesis DNA.
· Aktifitas spektrum
Flusitosin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas, efektif terhadap
Candida spesies, Cryptococcus neoformans, Cladophialophora carrionii,
Fonsecaea spesies dan Phialophora verrucosa.
· Farmakokinetik
Pemberian flusitosin secara oral absorbsinya cepat dan hampir sempurna. Pada
orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal, pemberian flusitosin dosis
25 mg/kg BB dengan interval 6 jam, akan dicapai konsentrasi puncak
plasma 30-40 mg/L dan untuk pengulangan dosis berikutnya setiap 6 jam,
akan dicapai konsentrasi puncak plasma 70-80 mg/L.
Flusitosin terdistribusi secara luas terutama pada jaringan dan cairan
melebihi 50% konsentrasi darah. Flusitosin berikatan dengan protein rendah
(sekitar 12%) sehingga menyebabkan tingginya sirkulasi obat yang tidak
berikatan. Lebih dari 90% flusitosin di ekskresi melalui urin tanpa
mengalami perubahan.
· Dosis
Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal, pemberian flusitosin
diawali dengan dosis 50-150 mg/kg BB yang diberi dalam 4 dosis terbagi
dengan interval 6 jam namun jika terdapat gangguan ginjal pemberian
flusitosin di awali dengan dosis 25 mg/kg BB.
30
· Efek samping
Efek samping yang sering di jumpai yaitu mual, muntah dan diare.
Trombositopenia dan leukopenia dapat terjadi jika konsentrasi darah
meninggi, menetap (>100 mg/L) dan dapat kembali normal jika obat di
hentikan. Peninggian level transaminase dapat juga dijumpai pada
beberapa pasien tetapi dapat kembali normal setelah obat dihentikan.
· Interaksi obat
Efek anti jamur flusitosin dapat dihambat secara kompetitif oleh sitarabin
(sitosin arabinosid) sehingga pemberian flusitosin bersama sitarabin
merupakan kontra indikasi, oleh karena efek myelosupresif dan
hepatotoksik flusitosin dapat bertambah jika diberikan bersama dengan
immunosupresif atau sitostatik. Pemberian zidovudin bersama flusitosin
hams hati-hati oleh karena dapat menimbulkan efek myelosupresif.
Kombinasi amphoterisin B dan flusitosin mempunyai efek aditif atau
sinergis terhadap Candida spesies dan Cryptococcus neoformans
namun efek nefrotoksik amphotericin B dapat berkurang ketika flusitosin
di ekskresi.
31
KESIMPULAN
Pengobatan infeksi jamur baik yang superfisial maupun yang sistemik
telah mengalami perkembangan yang pesat. Obat anti jamur tersebut dapat
diberikan dengan cara topikal, sistemik maupun intravenous, yang terdiri
dari golongan antibiotik, antimetabolit, azol, alilamin / benzilamin dan
golongan topikal yang lain. Pengetahuan tentang farmakologi obat-obat anti
jamur sangat diperlukan sehingga dapat dicapai efektifitas pengobatan yang
maksimal.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Graham-brown, Robin. Infeksi jamur, Lecture Notes on Dermatology, Edisi
kedelapan, 2005. Editor: Amalia Safitri, S.TP, M.Si. Jakarta; Erlangga.
Halaman 32-41. 2
2. Prof. dr. Mawarli harahap. Infeksi Jamur Kulit, Ilmu Penyakit Kulit. 2000.
Editor; prof.dr. mawarli harahap. Jakarta; hipokrates. Hal 73-87.
3. buku farmako UI.
4. Nolting S, Fegeler K. Medical Mycology. Springer-Verlag Berlin
Heidelberg, 1986: 131-62.
5. Kuswadji, Widaty S.Obat anti jamur. Dalam : Budimulja U, Kuswadji,
Bramono K editor. Dermatomikosis superfisialis. Kelompok Studi
Dermatomikosis Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2001 : 99-106.
6. Smith EB. The treatment of dennatophytosis : Safety considerations. Journal
of the American Academy of Dermatology, November 2000, part 3, volume
43, number 5.
7. Brennan B, Leyden JJ. Overview of topical therapy for common
superficial fungal infections and the role of new topical agents. Journal of
the American Academy of Dermatology, February 1997, part 1, volume 36,
number 2.
8. Weintein A, Berman B. Topical Treatment of Common Superficial Tinea
Infection, May 15, 2002, volume 65, number 10.
9. Richardson MD, Warnock DW. Anti fungal drugs. In : Fungal Infection
Diagnosis and Management, second edition, Blackwell Publishing Ltd ,
1993 :17-43.
10. Tripathi KD. Antifungal Drugs. In: Essentials of Medical Pharmacology,
4th edition, Jaypee Brothers Medical Publishers (P) LTD, 1999 : 770-78.
11. Kwon-Chung KJ, Bennet JE. Priciples of Antifungal Therapy. In :
Medical Mycology, Philadelphia London, 1992 : 81-100.
33
12. Jawetz E. Antifungal Agents. In : Katzung BG. Basic & Clinical
Pharmacology, sixth edition, Appleton & Lange, 1995 : 723-29.
13. Hainer BI. Dermatophyte Infections. Practical Therapeutics, January 1, 2003,
volume 67, number 1. www.aafp.org.
14. Ketoconazole (Topical). Medline Plus Drug Information. Available
at http://www.nlm.nih.gov/medline plus/druginfo.
15. Sulconazole (Topical). Medline Plus Drug Information. Available at
http://www.nlm.nih.gov/medline plus/druginfo.
16. Oxiconazole (Topical). Medline Plus Drug Information. Available
at http://www.nlm.nih.gov/medline plus/druginfo.
15. Terconazole. Ortho-McNeil Pharmaceutical INC, New Jersey, March
2001.
16. Tioconazole (Topical). Medline Plus Drug Information. Available
at http://www.nlm.nih.gov/medline plus/druginfo.
17. Sertaconazole. April 2004. Available at http:// www.vapbm.org.
18. Lamisil cream, Terbinafin hydrochloride. Available at
http:// www.Inhousepharmacy.com
19. Adiguna MS. Pengobatan Dermatofitosis dengan Butenafin. MDVI Vol 28
Nol, Januari 2001.
20. Nahm WK, Orengo I, Rosen T. The Antifungal agent Butenafine manifest
antiinflamatory activity in vivo. Journal of the American Academy of
Dermatology, August 1999, part 1, volume 41, number 2.
21. Lewis RE. Amorolfine. Available atlb
http://www.doctorfungus.org/thedrugs/Amorolfine.htm.
22. Bohn M, Kraemer KT. Dermatopharmacology of ciclopirox nail laquer
topical solution 8% in the treatment of onychomycosis. Journal of the
American Academy of Dermatology, October 2000, volume 43, number
4.
34
23. Adiguna MS. Onikomikosis dan pengobatannya dengan cat kuku
siklopiroks. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume 49, Nomor 7, Juli
1999.
25. Griseofulvin (Systemic). In : Medline Plus drug Information. Available
at http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/uspdi/202268.html.
35