Upload
gusti-putu-edo-gautama
View
460
Download
30
Embed Size (px)
Pendahuluan
Pada umumnya kehamilan normal berakhir dengan lahirnya bayi
yang cukup bulan dan sempurna secara fisik. Tetapi kenyataannya
tidak selalu demikian, sebagian kehamilan mengalami kegagalan,
tergantung pada tahap dan jenis gangguan yang terjadi. Kehamilan
tersebut dapat berakhir dengan abortus, kehamilan ektopik,
prematuritas, kematian janin dalam rahim atau bayi lahir dengan cacat
bawaan. Salah satu bentuk kegagalan kehamilan yang berkembang
tidak normal yaitu mola hidatidosa, kehamilan ini tidak disertai janin
namun hanya berupa gelembung-gelembung seperti buah anggur
berasal dari vili korialis dengan sel-sel trofoblasnya.
Lima belas sampai dua puluh persen penderita mola hidatidosa
dapat berubah menjadi ganas dan dikenal dengan tumor trofoblas
gestasional. Jadi yang dimaksud dengan penyakit trofoblas gestasional
adalah mola hidatidosa yang jinak dan tumor trofoblas gestasional
yang ganas. Penyakit trofoblas adalah suatu istilah umum yang
digunakan bagi sekumpulan penyakit yang ditandai dengan adanya
proliferasi dengan adanya proliferasi berlebihan dari sel-sel trofoblas.
Penyakit ini dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan asalnya, yaitu :
1. Penyakit trofoblas gestasional yang berasal dari jaringan
trofoblas kehamilan
2. Penyakit trofoblas non gestasional yang berasal dari jaringan
embrional
Penyakit trofoblas gestasional adalah sekumpulan penyakit yang
berkaitan dengan vili korialis, terutama sel trofoblasnya dan berasal
dari suatu kehamilan, terdiri dari mola hidatidosa komplit dan mola
hidatidosa parsial yang bersifat jinak dan mola invasif, koriokarsinoma,
placental site trophoblastic tumor yang bersifat ganas.
Hingga saat ini penyakit trofoblas gestasional masih merupakan
masalah obstetri yang cukup serius, karena menyebabkan morbiditas
1
dan mortalitas yang cukup tinggi. Morbiditas yang dapat timbul dari
penyakit ini umumnya karena penyulit yang menyertainya, seperti
perdarahan, preeklamsi berat dan tiroktosikosis dan bila terlambat
ditangani dapat menyebabkan kematian. Selain itu bila koriokarsinoma
atau mola invasif terjadi pada pasien usia muda yang masih
memerlukan fungsi reproduksi, upaya pengobatannya dapat
menyebabkan pasien tersebut kehilangan fungsi reproduksinya karena
tindakan histerektomi. Hal ini berarti PTG selain merupakan masalah
karena memberikan kontribusi yang cukup besar bagi angka mortalitas
dan morbiditas ibu, juga menjadi masalah bagi kesehatan reproduksi.
Dengan demikian diperlukan upaya yang menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan untuk menurunkan insidensi penyakit ini, mulai
dari upaya prefensi, deteksi dini dan pengobatan yang rasional,
termasuk registrasi dan pemantauan kasus yang cermat.
Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada golongan sosio ekonomi
rendah. Di Indonesia menurut laporan beberapa penulis dari berbagai
daerah menunjukkan angka kejadian yang berbeda-beda. Angka
kejadian Mola Hidatidosa di Indonesia berkisar antara 1 : 51 sampai 1 :
141 kehamilan. Di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya antara tahun
1960 sampai 1964 diperoleh angka kejadian 1 : 96 persalinan, antara
tahun 1970 sampai 1974 angka kejadian Mola Hidatidosa 1 : 55
kejadian persalinan (Suande Duarsa, 1978). Dari data tersebut diatas,
nampak adanya kenaikan angka kejadian Mola Hidatidosa di Surabaya
dan sekitarnya. Sedangkan di negara barat angka kejadian ini lebih
rendah dari pada negara-negara Asia dan Amerika Latin, misalnya
Amerika Serikan 1 : 1450 kehamilan (Hertig & Sheldon, 1978) dan di
Inggris 1 : 1500 (Womack & Elston, 1985).
Mola Hidatidosa
Mola hidatidosa suatu istilah umum untuk dua bentuk yang
berbeda yaitu mola hidatidosa komplit dan mola hidatidosa parsial.
2
Merupakan suatu kegagalan reproduksi yang secara histopatologis
merupakan hiperplasia jaringan trofoblas yang sebagian atau seluruh
jaringan ikat vilinya menunjukan degenerasi hidropik. Persamaan
keduanya adalah gambaran hidropik pada sebagian atau seluruh vili
korialis dan adanya hyperplasia trofoblas. Perbedaannya, pada mola
hidatidosa komplit tidak didapatkan janin, sedangkan pada mola
hidatidosa parsial terdapat janin yang cenderung mati secara dini.
Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar,
tidak ditemukan embrio dan hampir seluruh vili korialisnya mengalami
perubahan hidropik. Keadaan ini disebut sebagai mola hidatidosa
komplit (complete mole/true mole/complete mole). Bila diantara
gelembung mola ditemukan embrio disebut mola hidatidosa parsialis
(transtitional mole/incomplete mole).
Kelainan yang sudah dikenal sejak abad keenam ini telah
mengalami berbagai perkembangan, baik dalam pengertian teori,
istilah, klasifikasi, maupun cara penanggulangannya. Namun, masih
banyak aspek yang belum terungkap secara jelas ataupun
kontroversial, seperti perbedaan insidensi secara geografis, etiologi,
patogenesis dan faktor resiko.
Pritchard dan Fukushima menganggapnya sebagai suatu
neoplasma jinak dari trofoblas, sedangkan sarjana-sarjana lain ada
yang menganggap sebagai degenerasi, displasi atau hiperplasia.
Walaupun sebagian besar penderita mola hidatidosa dapat
sembuh spontan, namun bila diagnosis dan pengelolaannya terlambat,
penderita dapat meninggal karena perdarahan, infeksi maupun akibat
tumor trofoblas gestasional pasca mola hidatidosa.
Ada kalanya pada sediaan abortus atau plasenta aterm,
ditemukan beberapa bagian yang mengalami degenerasi hidropik.
Keadaan semacam ini tidak dimasukan ke dalam mola hidatidosa,
tetapi disebut sub molaire. Baru setelah diadakan penelitian sitogenik
pada tahun 1970-an oleh antara lain Kajii, Vassilokos, Szulman dan
3
lain-lain, dicapai kesepakatan bahwa mola hidatidosa itu terdiri dari
dua jenis
1. Mola hidatidosa komplit (MHK)
2. Mola hidatidosa parsialis (MHP)
Mola hidatidosa komplit (MHK)
Merupakan kehamilan abnormal tanpa embrio yang seluruh vili
korialisnya mengalami degenerasi hidropik yang menyerupai anggur
hingga sama sekali tidak ditemukan unsur janin. Secara mikroskopik
tampak edema stroma vili tanpa vaskularisasi disertai hyperplasia dari
kedua lapisan trofoblas.
Kadang – kadang pembuahan terjadi oleh dua buah sperma 23 X
dan 23 Y (dispermi) sehingga terjadi 46 X atau 46 Y. Disini MHK
bersifat heterozigot, tetapi tetap androgenetik dan bisa terjadi,
walaupun sangat jarang terjadi hamil kembar dizigotik yang terdiri dari
satu bayi normal dan satu lagi MHK.
Secara makroskopis MHK mempunyai gambaran yang khas, yaitu
berbentuk kista atau gelembung-gelembung dengan ukuran antara
beberapa mm sampai 2-3cm, berdinding tipis, kenyal, berwarna putih
jernih, berisi cairan seperti cairan asites atau edema. Kalau ukurannya
kecil, tampak seperti kumpulan telur katak, tetapi kalau besar tampak
seperti serangkaian buah anggur yang bertangkai. Oleh karena itu
MHK disebut juga kehamilan anggur. Tangkai tersebut melekat pada
endometerium. Umumnya seluruh endometerium dikenai, bila
tangkainya putus terjadilah perdarahan. Kadang-kadang gelembung-
gelembung tersebut diliputi oleh darah merah atau coklat tua yang
sudah mengering. Sebelum ditemukan USG, MHK dapat mencapai
ukuran besar sekali dengan jumlah gelembung melebihi 2.000 cc.
Faktor Resiko
4
MH dapat terjadi pada semua wanita dalam masa reproduksi,
pasien termuda yang pernah dilaporkan berusia 12 tahun (Bobrow)
dan tertua 57 tahun (A Pearson). Di RSHS yang termuda 15 tahun dan
yang tertua 53 tahun.
Di samping umur, faktor gizi juga dianggap berpengaruh terhadap
kejadian MH. Acosta Sison, menganggap bahwa MH adalah suatu
kehamilan patologis, sedangkan faktor yang menyebabkan ovum
patologis ini adalah defisiensi protein kualitas tinggi (highclass
protein). Acosta Sison mengaitkan dengan kenyataan bahwa di Asia
banyak sekali ditemukan MH, yang penduduknya sebagian termasuk
golongan sosioekonomi rendah yang kurang mengkonsumsi protein.
Reynold mengatakan bahwa, bila wanita hamil, terutama antara
hari ke-13 dan ke-21, mengalami asam folat dan histidine akan
mengalami gangguan pembentukan thymidine, yang merupakan
bagian penting dari DNA. Akibat kekurangan gizi ini akan
menyebabkan kematioan embrio dan gangguan angiogenesis, yang
pada gilirannya akan mengalami perubahan hidropik.
WHO Scientific Group, 1983 berkesimpulan bahwa selain usia dan
gizi, riwayat obstetri juga mempunyai pengaruh terhadap kejadian MH
dan kehamilan kembar tetapi multiparitas tidak merupakan faktor
resiko.
Laporan dari Amerika Serikat (1970 – 1977) mengatakan bahwa
insidensi MH pada kulit hitam hanya setengahnya dari wanita kulit
lainnya. Menurut Teoh, di Singapura, insidensi MH pada wanita
Euroasian, dua kali lebih tinggi dari China, Melayu dan India. Di
Indonesia yang terdiri dari berpuluh-puluh etnis, sampai sekarang
belum ada yang melaporkan adanya perbedaan insidensi antar suku
bangsa. Yang ada hanya laporan dari pusat pendidikan.
Faktor resiko lain yang mendapat perhatian adalah genetik. Hasil
penelitian Kajii et al dan Lawler et al, menunjuakn bahwa pada kasus
MH lebih banyak ditemukan kelainan Balance translocation
5
dibandingkan dengan populasi normal (4,6% dan 0,6%). Ada
kemungkinan pada wanita dengan kelainan sitogenetik seperti ini,
lebih banyak mengalami gangguan proses meosis berupa
nondysjunction, sehingga lebih banyak terjadi ovum yang kosong atau
yang intinya tidak aktif.
Etiologi
Walaupun MH sudah dikenal sejak abad keenam, sampai sekarang
masih belum diketahui apa yang menjadi penyebabnya, oleh karena
itu pengetahuan tentang faktor resiko menjadi penting agar dapat
menghindarkan terjadinya MH, seperti tidak hamil pada usia yang
ekstrim dan memperbaiki gizi.
Patogenesis
Banyak teori yang telah dilontarkan tentang patogenesis MHK ini,
antara lain teori hertig dan teori park.
Hertig et al menganggap bahwa pada MH terjadi insufisiensi
peredaran darah akibat matinya embrio pada minggu ke 3 – 5 (missed
abortion), sehinggga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan
mesenhin vili dan terbentukah kista – kista yang makin lama makin
besar, sampai akhirnya terbentuklah gelembung mola, sedangkan
proliferasi trofoblas merupakan akibat dari tekanan vili yang
oedemateus tadi.
Sebaliknya, Park mengatakan bahwa yang primer adalah adanya
jaringan trofoblas yang abnormal, baik berupa hiperplasi, displasi,
maupun neoplasi. Bentuk yang abnormal ini disertai pula dengan
fungsi yang abnormal. Keadaan ini menekan pembuluh darah, yang
akhirnya menyebabkan kematian embrio.
Teori yang sekarang dianut adalah teori sitogenetik. Secara
sitogenetik umumnya kehamilan MHK terjadi karena sebuah ovum
yang tidak berinti (kosong) atau yang intinya tidak berfungsi, dibuahi
6
oleh sperma yang mengandung haploid 23 X, terjadilah hasil konsepsi
dengan kromosom 23 X, yang kemudian mengadakan duplikasi
menjadi 46 XX. Jadi umumnya MHK bersifat homozigot, wanita dan
berasal dari bapak (androgenetik). Jadi tidak ada unsur ibu sehingga
disebut Diploid Androgenetik
Teori Diploid Androgenetik (modifikasi dari buku Novak’s
Gynecology)
endoreduplikasi
Homozigot
Heterozigot
7
Ovum Kosong
Ovum Kosong
OvumKosong
46 XX
46 XX
46 XY
23 Y
23 X
23 X
23 X
23 X
46 YY
Nonviable
Seperti diketahui, kehamilan yang sempurna harus terdiri dari
unsur ibu yang akan membentuk bagian embrional (anak) dan unsur
ayah yang diperlukan untuk membentuk bagian ekstraembrional
(plasenta, air ketuban, dll) secara seimbang. Karena tidak ada unsur
ibu, pada MHK tidak ada bagian embrional (janin). Yang ada hanya
bagian ekstraembrional yang paologis berupa vili korialis yang
mengalami degenerasi hidropik seperti anggur.
Mengapa ada ovum kosong? Hal ini bisa terjadi karena gangguan
pada proses meosis, yang seharusnya diploid 46 XX pecah menjadi 2
haploid 23 X, terjadi peristiwa yang disebut nondysjunction, dimana
hasil pemecahannya adalah 0 dan 46 XX. Pada MHK ovum inilah yang
dibuahi. Gangguan proses meosis ini, antara lain terjadi pada kelainan
struktural kromosom, berupa balance translocation.
MHK dapat terjadi pula akibat pembuahan ovum kosong oleh 2
sperma sekaligus (dispermi). Bisa oleh dua haploid 23X, atau satu
haploid 23 X dan atu haploid 23Y. Akibatnya bisa terjadi 46 XX atau 46
XY, karena pada pembuahan dengan dispermi tidak terjadi
endoreduplikasi. Kromosom 46 XX hasil reduplikasi dan 46 XX hasil
pembuahan dispermi, walaupun tampak sama, namun sesungguhnya
berbeda, karena yang pertama berasal dari satu sperma (homozigot)
sedangkan yang kedua berasal dari dua sperma (heterozigot). Ada
yang menganggap bahwa 46XX heterozigot mempunyai potensi
keganasan lebih besar. Pembuahan dispermi dengan dua haploid 23 Y
(46 YY) dianggap tidak pernah bisa terjadi (nonviable)
Gambaran Klinis
MHK adalah suatu kehamilan, walaupun bentuknya patologis. Oleh
karena itu, pada bulan-bulan pertama, tanda-tandanya tidak berbeda
dengan kehamilan biasa, yaitu dimulai dengan amenorea, mual dan
8
muntah. Ada beberapa laporan yang mengatakan bahwa MHK, lebih
sering terjadi hiperemesis, dan keluhannya lebih hebat dari kehamilan
biasa. Kemudian perkembangannya mulai berbeda. Pada kehamilan
biasa pembesaran uterus terdai melalui dua fase, yaitu fase aktif,
sebagia akibat pengaruh hormonal, dan fase pasif, akibat hasil
pembesaran kehamilan. Pada MHK tidak demikian, vili korialis yang
mengalami degenerasi hidropik, berkembang dengan cepat mengisi
kavum uteri. Akibatnya uterus ikut membesar pula, sehingga ukuran
uterus lebih besar dari tuanya kehamilan atau lamanya amenorea.
Pada kehamilan biasa , segmen bawah rahim (SBR baru terbentuk
pada kehamilan yang sudah besar (semester tiga). Pada MHK, karena
pengisian kavum uteri oleh gelembung mola berlangsung cepat, maka
pembentukan SBR, sudah terjadi pada kehamilan yang lebih muda (24
minggu). Kemudian karena kehamilan ini abnormal badan akan
berusaha untuk mengeluarkannya, terjadilah perdarahan pervaginam.
Bedanya dengan abortus biasa adalah pada abortus biasa besarnya
uterus sama dengan lamanya amenorea. Perdarahan pada MHK dapat
berupa bercak – bercak sedikit intermiten atau sekaligus banyak,
sehingga dapat menyebabkan syok hipovolemik. Adakalanya
perdarahan disertai dengan gelembung mola sehingga mempermudah
diagnosis
Di samping uterus yang lebih besar, pada MHK ditemukan
peningkatan kadar hCG (human choriogonadotrophin). Pada kehamilan
biasa kadarnya naik terus sampai usia kehamilan 60-80 hari, kemudian
turun lagi setelah mencapai umur 85 hari. Pada MHK seluruh kavum
uteri diisi oleh jaringan trofoblas. Oleh karena itu, berbeda dengan
kehamilan biasa, pada MHK tidak ada penurunan kadar hCG. Selama
ada pertumbuhan trofoblas atau sebelum gelembung mola keluar atau
dikeluarkan, hCG akan terus meningkat, sampai bisa mencapai di atas
5.000.000 mIU/ml
9
Sudah lama diketahui bahwa MHK kadang-kadang ditemukan
perubahan pada kelenjar tiroid, baik anatomis maupun fungsional.
Walaupun ada peningkatan kadar plasma tiroksin, tetapi gejala klinik
yang ditimbulkan tidak selalu disertai dengan tiroktosikosis.
Pada kehamilan normal, plasenta membentuk Thyroid
Stimulating Peptide yang disebut Human Chorionic Thyrotropin (hCT).
Pada trimester pertama, T4 meningkat antara 7 – 12 ng/100 ml,
sedangkan T3 peningkatannya tidak terlalu banyak. Karena pengaruh
estrogen, terjadi peningkatan kadar TBG sehingga tidak terjadi
tirotoksikosis.
Pada mola hidatidosa terjadi perubahan kadar hormon tiroid.
Kadar T4 dalam serum biasanya melebihi 12 ng/100 ml, tetapi TBG
sendiri rendah, akibatnya T4 dan T3 bebas lebih tinggi. Karena itu
pada mola terjadi tirotoksikosis.
Pada mola, kadar hCG (human chorionic gonadotropin) dalam
darah sangat tinggi yang dan ini mempunyai efek stimulasi terhadap
tiroid. Pada kehamilan biasa puncak hCG biasanya tidak melebihi
100.000 mUI/ml yang tercapai antara minggu 8-12 dan kemudian
menurun kembali dan bertahan sekitar 10.000-20.000 mIU/ml sampai
waktu melahirkan. Pada mola hidatidosa kadar hCG, sebagian besar
diatas 300.000mIU/ml bahkan dapat mencapai kadar diatas 12.000.000
mIU/ml. Berbagai penelitian menunjukkan adanya korelasi positif
antar kadar hCG dan tingginya fungsi tiroid.
Dalam suatu penelitian dikatakan bahwa terjadinya hiperfungsi
tiroid terjadi akibat adanya stimulator yang dibentuk dalam jaringan
trofoblas. Hershman menyebutnya sebagai molar thyrotropin. Yang
masih kontroversial adalah substansi zat tersebut. Yang jelas ada
korelasi positif antara tingginya kadar hCG dengan meningkatnya
kadar T3 dan T4. Setelah jaringan mola dievakuasi, kadar hCG akan
menurun secara drastis. Hali ini diikuti dengan turunnya T4 dan T3
sampai kembali ke kadar normal. 6
10
Sehubungan dengan fenomena ini banyak pakar yang
menganggap bahwa stimulator itu adalah hCG sendiri. Molar
thyrotropin secara imunologis berbeda dari TSH, hCT dan LATS
Adanya Aktivitas Stimulasi Tiroid (AST) dari hCG serta ciri-ciri
stimulatornya telah dibuktikan melalui penelitian invitro maupun in
vivo. Dikatakan bahwa struktur dan reseptor hCG dan TSH adalah
homolog, sedangkan derajat AST-nya dipengaruhi metabolisme hCG
sendiri. Yang lebih poten adalah hCG varian yang kehilangan gugusan
beta CTP-nya yang merupakan hasil proses deglikosiasi atau
desialisasi.
Hasil penelitian di atas dapat menerangkan mengapa pada
kehamilan biasa tidak terjadi tirotoksikosis. Pada kehamilan biasa
kadar hCG yang rendah akan meningkatkan sedikit T4 dan menekan
TSH, tetapi tidak cukup untuk menyebabkan tirotoksikosis.
Diagnosis tiroktosikosis pada MHK dipersulit karena sering disertai
adanya penyuli-penyulit, seperti preeklamsi, payah jantung, emboli
paru dan anemia yang masing-masing dapat memberikan gejala
seperti tiroktosikosis
Untuk membantu masalah ini Sri Hartini Kariadi (1992)
mengajukan rumus fungsi diskriminan diagnosa tirotoksikosis pada
mola hidatidosa sebagai berikut:
1. D = - 8,376128 + 0,52505870 FU – 0,01926897 Nadi
FU = fundus uteri dalam minggu
Nadi = dalam kali/menit
Bila D< 0 atau kalau D hasilnya negatif, berapapun nilai
angkanya menunjukkan tirotoksikosis. Derajat ketepatannya
87,5%
2. D = +3552928 – 0,4749675 FU + 0,003115562 Nadi +
0,01638073 Khol
Khol = Kholesterol darah dalam mg%
11
Bila D< 0 atau kalau hasilnya negatif, berapapun nilai angkanya,
menunjukkan tirotoksikosis. Derajat ketepatan 90,63%
Dasar Diagnosis
Kita harus memikirkan adanya MHK bila ditemukan hal-hal seperti di
bawah ini:
1. Anamnesis
Wanita mengeluh :
a. terlambat haid (amenorea)
b. adanya perdarahan pervaginam
c. perut merasa lebih besar dari lamanya amenorea
d. walaupun perut besar, tidak merasa adanya pergerakan
anak
2. Klinis Ginekologi
Pada pemeriksaaan ditemukan
a. uterus lebih besar dari tuanya kehamilan
b. tidak ditemukan tanda pasti kehamilan, seperti detak
jantung anak, balotemen atau gerakan anak.
3. Laboratorium
Kadar B-hCG lebih tinggi dari normal
4. USG
Tampak gambaran vesikuler di kavum uteri
Diagnosis pasti ditentukan oleh hasil pemeriksaan patologi anatomi.
Terapi
Terdiri dari 4 tahap, yaitu :
1. Perbaikan keadaan umum
2. Evakuasi jaringan
3. Profilaksis
4. Follow up
12
Perbaikan Keadaan Umum
Sebelum dilakukan tindakan evakuasi jaringan mola, keadaan
umum penderita harus distabilkan dahulu. Tergantung pada bentuk
penyulitnya, kepada penderita harus diberikan :
1. Tranfusi darah, untuk mengatasi syok hipovolemik
2. antihipertensi/konvulsi, seperti pada terapi
Th/preeklamsi/eklamsia
3. Obat anti tiroid, bekerja sama dengan penyakit dalam
Evakuasi Jaringan
Karena MHK itu adalah suatu bentuk kehamilan yang patologis yang
disertai dengan penyulit, pada prinsipnya gelembung harus dievakuasi
secepat mungkin
Ada 2 cara yaitu :
a. Kuret vakum
Setelah sebagian besar jaringan dikeluarkan dengan vakum,
sisanya dibersihkan dengan kuret tajam. Tindakan kuret hanya
dilakukan satu kali. Kuretase berikutnya harus ada indikasi.
b. Histerektomi
Hanya dilakukan pada penderita umur 35 tahun ke atas dengan
jumlah anak hidup tiga atau lebih. Yang sering menyulitkan ialah
bahwa status eutiroid klinis tidak selalu tercapai secara sempurna
setelah pemberian OAT (obat anti tiroid) karena jaringan mola
belum dikeluarkan, sehingga hCG tetap tinggi dan tetap bertindak
sebagai stimulator.
Profilaksis
Ada dua cara :
1. histerektomi totalis
13
2. kemoterapi diberikan pada GRT yang menolak atau tidak bisa
dilakukan HT, atau wanita muda dengan hasil PA yang
mencurigakan.
Caranya :
1. MTX 20 mg/hari, IM, Asam folat 10 mg 3dd1 dan cursil 35mg
2dd1, selama 5 hari berturut-turut.
Profiklaksis dengan tablet MTX, dianggap tidak bemanfaat. Asam
folat adalah antidote dari MTX, cursil sebagai hepatoprotektor
2. Actinomycin D 1 flacon sehari, selama 5 hari berturut-turut.
Tidak perlu antidote ataupun hepatoprotektor
Follow Up
Seperti diketahui, 15-20% dari penderita pasca MHK bisa
mengalami transformasi keganasan menjadi TTG. Menurut hertig,
keganasan bisa dalam waktu satu minggu sampai tiga tahun pasca
evakuasi.
Tujuan dari follow up ada dua :
1. untuk melihat apakah proses involusi berjalan secara normal.
Baik anatomis, laboratoris maupun fungsional, seperti involusi
uterus, turunnya kadar β-hCG dan kembalinya fungsi haid.
2. Untuk menentukan adanya transformasi keganasan terutama
pada tingkat yang sangat dini.
Dalam tiga bulan pertama pasca evakuasi, penderita diminta datang
untuk kontrol setiap 2 minggu. Kemudian, dalam tiga bulan berikutnya,
setiap satu bulan, selanjutnya enam bulan terakhir, kontrol tiap dua
bulan.
Prognosis
14
Setelah dilakukan evakuasi jaringan mola secara lengkap,
sebagian besar penderita MHK akan sehat kembali, kecuali 15 – 20%
yang mungkin akan mengalami keganasan (TTG).
Umumnya yang menjadi ganas adalah mereka yang termasuk
golongan resiko tinggi, seperti :
1. umur diatas 35 tahun
2. besar uterus di atas 20 minggu
3. kadar β-hCG di atas 105 mIU/ml
4. gambaran PA yang mencurigakan
Mola Hidatidosa Parsialis
MHP harus dipisahkan dari MHK, karena keduanya terdapat
perbedaan yang mendasar, baik dilihat dari segi patogenesisnya
(sitogenetik), klinis, prognosis, maupun gambaran PA-nya.
Pada MHP hanya sebagian dari vili korialis yang mengalami
degenerasi hidropik sehingga unsur janin selalu ada. Perkembangan
janin akan tergantung kepada luasnya plasenta yang mengalami
degenerasi, tetapi janin biasanya tidak dapat bertahan lama dan akan
mati dalam rahim, walaupun dalam kepustakaan ada yang melaporkan
tentang kasus MHP yang janinnya hidup sampai aterm.
Secara epidemiologi klinis, MHP tidak sejelas MHK, kita tidak
mengetahui dengan tepat berapa insidensinya, apa yang menjadi
faktor resikonya dan bagaimana penyebaran penyakitnya.
Patogenesis
Secara sitogenetik MHP terjadi karena ovum normal dari ibu (23 X)
dibuahi secara dispermi. Bisa oleh dua haploid 23 X, satu haploid 23 X
san satu haploid 23Y atau dua haploid 2 Y. Hasil konsepsi bisa berupa
69 XXX, 69 XXY, 69 XYY. Kromosom 69 YYY tidak pernah ditemukan.
Jadi MHP mempunyai satu haploid ibu dan dua haploid ayah sehingga
disebut Diandro Triploid. Karena disini ada unsur ibu, ditemukan bayi.
Tetapi komposisi unsur ibu dan unsur ayah tidak seimbang, satu
15
berbanding dua. Unsur ayah yang tidak normal itu menyebabkan
pembentukan plasenta yang tidak wajar, yang merupakan gabungan
dari vili korialis yang normal dan yang mengalami degenerasi hidropik.
Oleh karena itu fungsinya pun tidak bisa penuh sehingga janin tidak
bisa bertahan sampai besar. Biasanya kematian terjadi sangat dini.
Teori Diandro Triploid
Homozigot
16
Ovum Kosong
Ovum Kosong
69 XXX
69 XXY
23 X
23 X
23 X
Heterozigot
Nonviable
Gejala-Gejala
Berbeda dengan MHK, pada MHP sama sekali tidak ditemukan
gejala maupun tanda-tanda yang khas. Keluhannya pada permulaan
sama seperti kehamilan biasa. Kalau ada perdarahan sering dianggap
seperti abortus biasa. Jarang sekali ditemukan MHP dengan besar
uterus yang melebihi tuanya kehamilan. Biasanya sama atau lebih
kecil. Dalam hal terakhir disebut Dying Mole.
Gambaran USG tidak selalu khas, tapi menurut Fine C. Et al., MHP
dapat didiagnosis bila ditemukan hal-hal sebagai berikut. Pada jaringan
plasenta tampak gambaran yang menyerupai kista-kista kecil
disertaipeningkatan diameter transversa dari kantong janin.
Kadar β-hCG juga meninggi, tetapi biasanya tidak setinggi MHK.
Hal ini mungkin disebabkan pada MHP masih ditemukan vili korialis
normal. Kadar yang tidak terlalu tinggi ini tidak menyebabkan
rangsangan pada ovarium. Pada MHP jarang sekali ditemukan kista
lutein. Di samping itu, MHP jarang sekali disertai penyulit seperti PEB,
tiroktosikosis atau emboli paru.
17
OvumKosong
69 XYY
23 Y
23 Y
23 Y
69 YY
Diagnosis
Dengan tidak ditemukannya tanda-tanda yang khas, maka sulit
untuk membuat diagnosis kerja, kecuali pada kehamilan yang cukup
besar, yang diagnosisnya dapat ditentukan oleh hasil USG, dimana kita
akan melihat gambaran vesikuler yang khas di samping kantong janin,
dengan atau tanpa janin.
Biasanya diagnosis dibuat secara tidak sengaja, setelah dilakukan
tindakan dan diperkuat dengan hasil pemeriksaan PA, dimana
ditemukan gambaran khas sebagai berikut.
1. vili korialis dari berbagai ukuran dengan degenerasi hidropk,
kavitasi, dan hiperplasia trofoblas
2. scalloping yang berlebihan dari vili
3. inklusi stroma trofoblas yang menonjol
4. ditemukan jaringan embrionik atau janin
Terapi
Karena diagnosis umumnya dibuat secara kebetulan pascakuret,
biasanya evakuasi dilakukan dengan kuret biasa. Selanjutnya tidak
perlu tindakan apa-apa. Histerektomi dan upaya profilaksis lainnya
tidak dianjurkan.
Prognosis
Dibandingkan dengan MHK, prognosis MHP jauh lebih baik. Hal itu
disebabkan oleh tidak adanya penyulit dan derajat keganasannya
rendah (4%). Walupun demikian, dalam kepustakaan ditemukan
laporan tentang kasus MHP yang disertai metastase ke tempat lain.
Penderita pasca-MHP harus difollow up sama ketatnya seperti MHK.
18
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham FG, Mc Donald PC, Gant NF et al. Williams Obstetrics, 20th ed. Philadelphia : Appleton and Lange, 1997 : 948
Martaadisoebrata D, Wirakusumah F. Obstetri Patologi. Jakarta : EGC, 2004 ; 28 – 33
Martaadisoebrata D. Buku Pedoman Pengelolaan Penyakit Trofoblas Gestasional. Jakarta : EGC, 2005 ; 7 – 42
19
Kariadi SH. Identifikasi Penduga Potensial untuk Diagnosis Tiroktosikosis Pada Penderita Mola Hidatidosa. Disertasi UNPAD 1992.
http://en.wikipedia.org/wiki/Hydatidiform_mole
http://adln.lib.unair.ac.id/
20