48
BAB I PENDAHULUAN Di Indinesia saat ini, seiring dengan kemajuan teknologi dan pembangunan, frekuensi terjadinya cedera kepala bukannya menurun malahan cenderung meningkat. Hal ini disebabkan karena bertambahnya jumlah kendaraan bermotor khususnya sepeda motor, juga oleh tidak disiplinnya perilaku pendara bermotor di jalanan. Cedera kepala merupakan penyebab hampir setengah dari seluruh kematian akibat trauma, mengingat bahwa kepala merupakan bagian yang tersering dan rentan terlibat dalam suatu kecelakaan. Distribusi kasus cedera kepala lebih banyak melibatkan kelompok usia produktif, yaitu antara 15-44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibanding dengan perempuan. Adapun penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas (49%) dan jatuh (terutama pada kelompok usia anak-anak). Hingga saat ini cedera kepala tetap merupakan tantangan umum bagi dunia medis, di mana tampaknya keberlangsungan proses patofisiologi yang saat ini bisa diungkpkan dengan segala bentuk kemajuan pemeriksaan diagnostik medis mutakhir ternyata bukanlah hal yang sederhana.

Presus TBI (Repaired)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Presus TBI (Repaired)

BAB I

PENDAHULUAN

Di Indinesia saat ini, seiring dengan kemajuan teknologi dan pembangunan, frekuensi

terjadinya cedera kepala bukannya menurun malahan cenderung meningkat. Hal ini

disebabkan karena bertambahnya jumlah kendaraan bermotor khususnya sepeda motor, juga

oleh tidak disiplinnya perilaku pendara bermotor di jalanan. Cedera kepala merupakan

penyebab hampir setengah dari seluruh kematian akibat trauma, mengingat bahwa kepala

merupakan bagian yang tersering dan rentan terlibat dalam suatu kecelakaan.

Distribusi kasus cedera kepala lebih banyak melibatkan kelompok usia produktif, yaitu antara

15-44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibanding dengan perempuan. Adapun

penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas (49%) dan jatuh (terutama pada kelompok

usia anak-anak).

Hingga saat ini cedera kepala tetap merupakan tantangan umum bagi dunia medis, di

mana tampaknya keberlangsungan proses patofisiologi yang saat ini bisa diungkpkan dengan

segala bentuk kemajuan pemeriksaan diagnostik medis mutakhir ternyata bukanlah hal yang

sederhana.

Page 2: Presus TBI (Repaired)

BAB III

ANALISA KASUS

Cedera kepala atau trauma kapitis adalah cedera mekanik yang secara langsung atau

tidak langsung mengenaik kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang

tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta

mengakibatkan gangguan neurologis. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan dari trauma

kapitis, dapat disesuaikan dengan letak lesi pada susunan saraf pusatnya. Diagnosis

defisit neurologis, yakni dampak akibat dari trauma kepalanya, dapat ditegakan melalui

anamnesis, pemeriksaan fisik neurologis, CT-Scan atau MRI dan pemeriksaan

elektromiografi.

Pada kasus ini, dari anamnesis pasien mengalami gejala klinis berupa kelemahan

pada ekstremitas kanan. Pada perjalanan penyakitnya, pasien mengeluh sejak kurang

lebih 3 tahun sebelum masuk rumah sakit – pasca trauma dan sempat mengalami koma.

Keluhan lain yang dialami yaitu cadel.

Kerusakan pada seluruh korteks piramidalis sesisi menimbulkan kelumpuhan UMN

pada belahan tubuh sisi kontralateral yang dikenal dengan hemiparalisis atau hemiplegia.

Akan terdapat perbedaan derajat kelumpuhan antara lengan dan tungkai. Perbedaan lebih

nyata apabila hemiplegia disebabkan oleh lesi vaskular di tingkat korteks dan hampir

tidak ada perbedaan jika lesi penyebab bersifat vaskular di kapsula interna. Hemiparese

karena lesi kortikal sesisi, otot-otot wajah yang berada di atas fissura palpebrae masih

dapat digerakan secara wajar. Pada tahap pertama ini lidah akan menunjukan

kelumpuhan pada sisi kontralateral, yang akan menyimpang ke sisi yang lumpuh. Lesi

yang merusak korteks piramidalis terjadi pada area 4, daerah di depan dan belakangnya,

sehingga ditemukan gejala pengiring hemiplegi berupa hipestesia atau gangguan

berbahasa (afasia motorik dan afasia sensorik). Sehubungan dengan ikut terlibatnya area

4s, 6 dan 8, maka hemiplegi piramidal disertai gejala-gejala tambahan seperti hipertoni

yang bersifat spastik, ‘forced crying’ atau ‘forced laughing’, dan ‘deviation conjugee’.

Kelumpuhan UMN ditandai dengan peningkatan refleks fisiologis, adanya

‘spastisitas’, refleks patologis (+), dan tidak ditemukannya atrofi otot.

Pada pemeriksaan fisik neurologis, didapatkan hemiparese dextra, adanya spastisitas

pada jari-jari tangan kanan, peningkatan refleks fisiologis pada bicep, tricep dan patella

pada ekstremitas kanan dan kiri. Kemudian didapatkan pares n.IX dan X di mana uvula

Page 3: Presus TBI (Repaired)

jatuh ke arah sinistra dan arcus faring sinistra lebih rendah. Kemudian, ditemukan juga

parese n.XII dimana lidah mengalami deviasi ke arah dextra.

Untuk terjadinya lesi kontusio ialah adanya akselerasi kepala, yang seketika itu juga

menimbulkan penggeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif.

Akselerasi yang kuat berarti hiperekstensi kepala, di mana otak membentang batang otak

terlampau kuat, sehingga menimbulkan blokade reversibel terhadap lintasan asendens

retikularis difus yang berakibat otak tidak mendapat “input” aferen dan karena itu

kesadaran hilang selama blokade reversibel berlangsung. Lesi kontusio sering terjadi

pada tempat-tempat yang tidak memiliki fiksasi yang kuat dan pada tempat-tempat yang

menggeresek seperti pada tepi ala magna sfenoid, krista gali, falks serebri dan tepi

tentorium. Timbulnya lesi kontusio di daerah-daerah dampak (“coup”), “contrecoup” dan

“intermediate”, menimbulkan gejala defisit neurologis, berupa refleks Babinski positif

dan kelumpuhan UMN. Keadaan asidosis menyebabkan “blood brain barrier” mengalami

kerusakan dan timbullah edema serebri, yang lebih mengurangi aliran darah ke otak.

Gambaran klinisnya ialah koma dengan tanda-tanda “shock” dan hiperpireksia.

Pada pasien terapi yang diberikan ialah Neurobion 5000mg satu kali sehari dan

Piracetam 1200mg satu kali sehari. Secara non-medikamentosa dilakukan fisioterapi.

Gejala yang terdapat pada pasien merupakan gejala sisa dari trauma kepalanya yang

dulu, sehingga terapi yang diberikan hanya untuk membantu pemeliharaan dari saraf-

sarafnya saja dan membantu mengembalikan fungsi kognitif pasien. Dimana fungsi-

fungsi tersebut terdapat dalam Neurobion sebagai suplement vitamin B1, B6, dan B12

dan Piracetam yang diberikan guna untuk mengembalikan fungsi serebral pasca trauma

kepala.

Page 4: Presus TBI (Repaired)

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak

langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit kepala, fraktur tulang

tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu sendiri, serta

mengakibatkan gangguan neurologis.

B. Epidemiologi

Distribusi Cedera Kepala

Cedera adalah salah satu masalah kesehatan yang paling serius. Cedera kepala

merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan. Cedera kepala berperan

pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma. Distribusi cidera kepala

terutama melibatkan kelompok usia produktif antara 15-44 tahun dan lebih didominasi

oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Di negara-negara maju seperti

Amerika Serikat setiap tahun hampir 2 juta penduduk mengalami cidera kepala (Packard,

1999). Menurut penelitian Evans (1996), distribusi kasus cidera kepala pada laki-laki dua

kali lebih sering dibandingkan perempuan dan separuh pasien berusia 15-34 tahun.

Berdasarkan penelitian Suparnadi (2002) di Jakarta, menunjukkan bahwa sekitar separuh

dari para korban berumur antara 20-39 tahun (47%), suatu golongan umur yang paling

aktif dan produktif. Dalam penelitian ini didominasi laki-laki (74%) dan pekerjaan

korban sebagian besar adalah buruh (25%), 11% adalah pelajar dan mahasiswa.

Berdasarkan penelitian Wijanarka dan Dwiphrahasto (2005) di IGD RS Panti nugroho

Yogyakarta, dari 74 penderita terdapat 76% cedera kepala ringan, 15% cedera kepala

sedang, dan 9% cedera kepala berat rata-rata umur 29,60 tahun. Dalam penelitian ini

didominasi laki-laki (58%) dan pelajar/mahasiswa (77%).

Menurut penelitian Amandus (2005) di RSUP Adam Malik Medan, terdapat 370

penderita cedera kepala rawat inap pada tahun 2002-2004 dengan proporsi tertinggi pada

kelompok umur 17-24 tahun (37,5%) dan didominasi oleh laki-laki (68,2%). Menurut

penelitian Riyadina dan Subik (2005) di Instalasi Gawat Darurat RSUP. Fatmawati

Jakarta kecelakaan banyak terjadi pada siang hari, namun kecelakaan pada malam hari

mempunyai proporsi yang lebih tinggi keparahan cederanya (59%) dibandingkan

Page 5: Presus TBI (Repaired)

kecelakaan pada siang hari. Waktu malam hari suasananya lebih gelap dan sudah mulai

sepi. Kondisi tersebut menyebabkan pengendara mengemudikan kenderaannya dengan

kecepatan tinggi (>60 km/jam), kurang waspada, dan kurang hati-hati. Risiko terjadinya

kematian dan cidera meningkat seiring dengan kenaikan kecepatan mengemudi.

Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Woro Riyadina (2005) di Instalasi

Gawat Darurat (IGD) di 5 rumah sakit di wilayah DKI Jakarta didapatkan jumlah kasus

sebanyak 425 orang . Korban yang mengalami cidera parah 41,9% dan meninggal

7,04%. Cidera utama adalah cidera kepala 53,4% dengan comosio cerebri 10,59%. Jenis

luka meliputi lecet 86,8%, luka terbuka 58,35% dan patah tulang 31.29%.

Determinan Cedera Kepala

Berbagai faktor terlibat dalam kecelakaan lalu lintas, mulai dari manusia sampai sarana

jalan yang tersedia. Secara garis besar ada 4 faktor yang berkaitan dengan kecelakaan

lalu lintas , yaitu faktor manusia, kenderaan, fasilitas jalan, dan lingkungan.

a. Faktor manusia, menyangkut masalah disiplin berlalu lintas.

Faktor pengemudi dianggap salah satu faktor utama terjadinya kecelakaan

dengan kontribusi 75-80%. Faktor yang berkaitan adalah perilaku (mengebut,

tidak disipilin/melanggar rambu), kecakapan mengemudi, dan gangguan

kesehatan (mabuk, mengantuk, letih) saat mengemudi.

Faktor penunjang (jumlah penumpang dan barang yang berlebihan).

Faktor pemakai jalan, yakni pejalan kaki, pengendara sepeda, pedagang kaki

lima dan peminta-minta serta tempat pemarkiran kenderaan yang tidak pada

tempatnya sehingga keadaan jalan raya semakin kacau.

b. Faktor kendaraan.

Jalan raya penuh dengan berbagai kenderaan berupa kenderaan tidak bermotor

dan kenderaan bermotor. Kondisi kenderaan yang tidak baik atau rusak akan

mengganggu laju lalu lintas sehingga menyebabkan kemacetan bahkan

kecelakaan. Saat ini jumlah dan penggunaan kenderaan bermotor bertambah

dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 12% per tahun. Komposisi terbesar adalah

sepeda motor (73% dari jumlah kenderaan pada tahun 2002-2003 dan

pertumbuhannya mencapai 30% dalam 5 tahun terakhir). Rasio jumlah sepeda

motor dan penduduk diperkirakan 1:8 pada akhir tahun 2005.

c. Faktor jalan, dilihat dari ketersediaan rambu-rambu lalu lintas, panjang dan lebar

jalan yang tersedia tidak sesuai dengan jumlah kenderaan yang melintasinya,

Page 6: Presus TBI (Repaired)

serta keadaan jalan yang tidak baik misalnya berlobanglobang dapat menjadi

memacu terjadinya kecelakaan.

d. Faktor lingkungan yaitu adanya kabut, hujan, jalan licin akan membawa risiko

kejadian kecelakaan yang lebih besar.

C. Mekanisme trauma kepala

Mekanisme trauma kepala dapat dikelompokan dalam dua tipe :

1. Beban statik (static loading). Beban statik timbul perlahan-lahan yang dalam hal ini

tekanan mengenai kepala secara bertahap. Dan hal ini dapat terjadi bila kepala

mengalami gencetan atau efek tekanan yang lambat dan berlangsung dalam periode

waktu yang lebih dari 200 mili detik. Bila kekuatan tenaga tersebut cukup besar dapat

mengakibatkan terjadiny keretakan tulang, fraktur multiple atau kominutif dari

tengkorang atau dasar tulang tengkorak. Biasanya tidak didapatkan gangguan

kesadaran atau defisit neurologis, kecuali bila deformasi tengkorak demikian hebatnya

sehingga menimbulkan kompresi dan distorsi jaringan otak, serta selanjutnya

mengalami kerusakan yang fatal.

2. Beban dinamik (dynamic loading). Peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang lebih

singkat (kurang dari 200 mili detik). Durasi pembebanan yang terjadi merupakan

salah satu faktor yang penting dalam menentukan jenis trauma kepala yang terjadi.

Terdapat 2 jenis yaitu :

a) Beban guncangan (impulsive loading).

Terjadi bila kepala mengalami kombinasi antara percepatan - perlambatan

(aselerasi-deselerasi) secara mendadak, kepala yang diam secara tiba-tiba

digerakkan secara mendadak. Atau sebaliknya bila kepala yang sedang

bergerak tiba-tiba dihentikan tanpa mengalami suatu benturan.

b) Beban benturan (impact loading)

Merupakan jenis beban dinamik yang lebih sering terjadi dan biasanya

meripakan kombinasi kekuatan beban kontak (contact forces) dan kekuatan

beban lanjut (inertial forces). Respons kepala terhadap beban-beban ini

tergantung dari obyek yang membentur kepala. Efek awal dapat sangat

minimal pada beban tertentu, terutama bila kepala dijaga sedemikian rupa

sehingga ia tidak bergerak waktu kena benturan. Sebaliknya, akibat yang

paling hebat dapat terjadi bila energi benturan dihantarkan ke kepala sebesar

Page 7: Presus TBI (Repaired)

tenaga kontak dan selanjutnya menimbulkan efek gabungan yang dikenal

sebagai fenomena kontak.

Fenomena kontak adalah suatu kelompok peristiwa mekanis yang timbul di dekat

namun terpisah dari titik benturan, tergantung dari ukuran alat pembentur dan arah

tenaga pada titik benturan. Objek-objek yang lebih besar dari 5 sentimeter persegi

akan mengakibatkan deformitas lokal tengkorak yang cenderung melekuk ke dalam

tepat pada daerah benturan dan mencuat ke luar pada daerah perifernya. Bila derajat

deformitas lokal melebihi toleransi tengkorak, akan terjadis fraktur. Penetrasi,

perforasi dan fraktur depres lokal sering disebabkan oleh objek-objek dengan

permukaan yang luasnya kurang dari 5 sentimeter persegi.juga terdapat gelombang

hantaman yang berasal dari titik benturan dalam kecepatan gelombang suara yang

menembus langsung ke dalam substansi otak dan menyebabkan kerusakan jaringan

lokal, yang akhirnya dapat mengakibatkan distorsi jaringan dan kerusakan

intraparenkhim otak dan dalam bentuk perdarahan kecil-kecil.

Cedera adalah penyebab utama jejas jaringan, baik oleh beban guncangan maupun

beban campuran. Tiga jenis cedera : kompresi, regangan, dan robekan. Jenis jejas

yang terjadi ditentukan oleh tipe dan lokasi cedera dan daya tahan jaringan itu sendiri.

Cedera dapat diartikan juga sebagai jumlah deformitas jaringan yang diakibatkan oelh

suatu kekuatan mekanis. Cedera dinamik terjadi pada keadaan-keadaan dimana beban

hanya berlangsung singkat saja dan mekanisme peristiwa ini lebih rumit sehubungan

dengan adanya sifat biologis jaringan yang disebut viskoelastisitas. Jaringan biologis

yang proses deformitasnya berlangsung lebih lambat akan dapat menahan cedera lebih

baik.

D. Trauma Kapitis

I. Trauma kapitis yang menimbulkan pingsan sejenak

Trauma kapitis yang tampaknya berat atau ringan bisa hanya mengakibatkan

pingsan sejenak belaka, dengan atau tanpa amnesia retrogard. Tanda-tanda

kelainan neurologik apapun tidak terdapat pada penderita. Diagnosis yang

digunakan untuk kasus semacam itu ialah komosio serebri.

Apa yang terjadi pada susunan sarafnya belum jelas. Derajat kesadaran

ditentukan oleh “diffuse ascending reticular system” di mana lintasan tersebut

bisa tidak berfungsi sementara tanpa mengalami kerusakan yang ireversibel.

Batang otak yang pada ujung rostral bersambung dengan otak dan bagian

Page 8: Presus TBI (Repaired)

kaudalnya bersambung dengan medula spinalis, mudah teregang dan terbentang

pada waktu kepala bergerak secara cepat dan sekaligus secara mendadak.

Gerakan ini disebut aselerasi. Peregangan menurut poros batang otak ini bisa

menimbulkan blokade reversibel pada lintasan retikularis asendens difus,

sehingga selama blokade itu berlangsung, otak tidka mendapat “input” aferen,

yang berarti bahwa kesadaran menurun sampai derajat yang terendah (pingsan).

Hilangnya blokade terhadap lintasan asendens itu akan disusul dengan pulihnya

kesadaran.

II. Trauma kapitis yang menimbulkan kelainan neurologik

Trauma kapitis yang menimbulkan kelainan neurologik disebabkan oleh :

kontusio serebri, laserio serebri, hemoragia subdural, hemoragia epidural,

ataupun hemoragia intraserebral. Lesi-lesi tersebut terjadi karena berbagai gaya

destruktif trauma.

III. Tekanan positif dan negatif

Tekanan intrakranial merupakan jumlah total dari tekanan volume jaringan otak,

volume cairan serebrospinal dan volume darah intrakranial. Tekanan

intrakranial pada waktu-waktu tertentu mengalami lonjakan karena peningkatan

volume salah satu unsur tersubut di atas. Pada trauma kapitis, linjakan tekanan

intrakranial terjadi dalam milidetik, sehingga mekanisme kompensasi untuk

menurunkan tekanan intrakranial belum sempat bekerja. Maka, pada trauma

kapitis bisa terdapat tekanan positif dan negatif setempat. Keadaan ini dijumpai

pada trauma kapitis yang mengakibatkan indentasi (dampak menjadi cekung

sejenak untuk menajadi rata kembali seperti keadaan semual). Osilasi

(pergerakan naik turun di tempat yang cekung setelah kena pukulan) identasi

itu, menimbulkan tekanan positif yang berselingan dengan tekanan negatif di

bawah tempat yang tertampar. Tekanan positif mengakibatkan kompresi

terhadap jaringan otak. Tekanan negatif bisa menyedot udara dari darah atau

cairan serebrospinal, sehingga terjadi gelembung-gelembung udara yang

mengakibatkan terjadinyalubang-lubang pada jaringan otak.

IV. Aselerasi dan de-akselerasi

Pada trauma kapitis terjadi aselerasi dan deselerasi. Aselerasi terjadi saat kepala

jatuh, dan deselerasi terjadi saat kepala terbanting pada tanah atau lantai. Pada

waktu aselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu akselerasi otak ke arah

dampak dan pergeseran otak ke arah berlawanan dengan arah dampak primer.

Page 9: Presus TBI (Repaired)

Pergeseran otak merupakan hasil akselerasi tengkorak dan kelembaman otak.

Pada trauma kapitis, dengan dampak pada oksiput, gaya kompresi di bawah

dampak adalah cukup besar untuk menimbulkan lesi yang dapat berupa

perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil,

tanpa kerusakan pada dura mater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di

bawah dampak disebut lesi kontusio “coup” di seberang dampak tidak terdapat

gaya kompresi, sehingga di situ tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka

dinamakan lesi kontusio “contrecoup”.

V. Akeselerasi linear dan rotatorik

Akibat akselerasi linier dan rotatorik terdapat lesi kontusio “coup”,

“contrecoup”, dan “intermediate” (lesi yang berada diantara “coup” dengan

“contrecoup”. Lesi kontusio sering terjadi pada tempat-tempat yang tidak

memiliki fiksasi yang kuat dan pada tempat-tempat yang menggeresek seperti

pada tepi ala magna sfenoid, krista gali, falks serebri dan tepi tentorium.

Penggeseran otak pada akselerasi dan de-akselerasi linear serta rotatorik, bisa

menarik dan memutuskan vena-vena yang menjembatani (bridging veins)

selaput araknoidea dan dura. Karena itu, perdarahan subdural akan timbul.

Kebanyakan dari pembuluh darah tersebut berada di daerah sekitar fisura Sylvii

dan pada kedua belah sisi sinus sagitalis superior.

VI. Kontusio serebri

Untuk terjadinya lesi kontusio ialah adanya akselerasi kepala, yang seketika itu

juga menimbulkan penggeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang

destruktif. Akselerasi yang kuat berarti hiperekstensi kepala, di mana otak

membentang batang otak terlampau kuat, sehingga menimbulkan blokade

reversibel terhadap lintasan asendens retikularis difus yang berakibat otak tidak

mendapat “input” aferen dan karena itu kesadaran hilang selama blokade

reversibel berlangsung.

Timbulnya lesi kontusio di daerah-daerah dampak (“coup”), “contrecoup” dan

“intermediate”, menimbulkan gejala defisit neurologis, berupa refleks Babinski

positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran pulih kembali, si penderita

akan menunjukan gambaran “organic brain syndrome”. Akibat gaya yang

dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis

tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah serebral terganggu, sehingga

terjadi vasoparalisis. Tekanan darah menjadi rendah dan nadi melambat atau

Page 10: Presus TBI (Repaired)

menjadi cepat dan lemah. Pusat vegetatif ikut terlibat sehingga timbul rasa

mual, muntah, dan gangguan pernafasan bisa timbul.

Kontusio serebri yang tidak terlampau berat bisa berakhir dengan kematian

beberapa hari setelah kecelakaan (karena komplikasi kardio-pulmonal).

Gangguan di susunan kardiopulmonal terjadi melalui mekanisme sebagai

berikut :

Sistem vaskular bisa ikut terkena secara langsung karena perdarahan ataupun

trauma langsung pada jantung. Sebagai reaksi tubuh, volume sirkulasi ditambah

dengan cairan yang berasal dari lingkungan eksraseluler. Keadaan ini bisa

menjurus ke hemodilusi jika penderita diberi cairan melalui infus tanpa plasma

atau darah. Gangguan yang akan menyusulnya ialah tekanan osmotik dan O2

(PO2) menurun. Keadaan buruk ini akan lebih fatal, jika jantung ikut terkena

trauma juga, sehingga “output” jantung menjadi kecil dan tekanan vena sentral

meninggi. Komplikasi yang memperberat keadaan di atas disebabkan oleh

berkembangnya asidosis. Pada hari pertama pasien masih tidak sadar,

pernafasannya terganggu, refleks batuk dan menelan belum pulih, sehingga

mudah terjadi depresi pernapasan dengan bronkopneumonia aspirasi, kemudian

PO2 arterial menurun dan PCO2 meningkat. Keadaan ini menyebabkan takikardi

yang lebih memperburuk curah jantung lagi. Keadaan asidosis menyebabkan

“blood brain barrier” mengalami kerusakan dan timbullah edema serebri, yang

lebih mengurangi aliran darah ke otak. Gambaran klinisnya ialah koma dengan

tanda-tanda “shock” dan hiperpireksia.

Penderita kontusio bisa memperlihatkan sindrom metabolik lain, sebagai

manifestasi ikut terkenanya hipotalamus. Bila otak tergeser, terjadi traksi

terhadap hipotalamus karena hipofise terfiksasi di dalam sela tusika, tetapi

tangkainya bisa terbentang terlampau jauh. Karena itu produksi hormon

antidiuretik (ADH) oleh bagian rostral dari hipotalamus, bisa menurun atau

terhenti. Hal ini menyebabkan menurunnya ekskresi urin, menurunnya

osmolalitas plasma dan menurunkan konsentrasi natrium dan klorida serum.

Natrium plasma kurang dari 115-118 mEKL, sel-sel otak tidak akan berfungsi

baik, dan timbul “confusion”, apatia, stupor, dan koma. Gejala-gejala tersebut

merupakan manifestasi dari hiponatremi karena dilusi.

VII. Perdarahan subdural

Page 11: Presus TBI (Repaired)

Hemoragi subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh trauma kapitis

walaupun traumanya mungkin tidak berarti sehingga tidak terungkap oleh

anamnesis. “bridging veins” sering kali berdarah, hal ini dikarenakan tarikan

terjadi penggerseran rotatorik pada otak. Perdarahan ini paling sering terjadi

pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal,

sesuai dengan distribusi “bridging veins” (100-200cc). Perdarahan ini bisa

berhenti sendiri hingga 10-20 hari, di mana darah yang diserap meninggalkan

jaringan yang kaya akan dengan pembuluh darah. Di situ bisa timbul lagi

perdarahan-perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom

subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil-

kecil dan pembentukan suatu kantong subdural yang penuh dengan cairan dan

sisa darah (higroma). Keluhan bisa timbul langsung setelah hematom atau jauh

setelah trauma kapitis. Adanya “latent interval”, masa tanpa keluhan, dimana

pasien mengeluh sakit kepala atau pening. Tetapi apabila di samping itu timbul

gejala-gejala yang mencerminkan adanya proses desak ruang intrakranial, baru

saat itulah terhitung mula tibanya manifestasi. Gejala-gejala tersebut berupa

kesadaran yang semakin menurun, “organic brain syndrome”, hemiparese

ringan, hemihipestesia, ada kalanya epilepsi fokal dengan adanya tanda-tanda

papiledema.

VIII. Perdarahan intraserebral

Perdarahan yang terjadi berupa perdarahan kecil-kecil saja dan dan sering

terdapat pada lobus temporalis dan frontalis. Yang tersebut belakangan

berkorelasi dengan dampak pada oksiput dan yang pertama berasosiasi dengan

tamparan dari samping. Kebanyakan dari perdarahan intra lobus temporalis

justru ditemukan pada sisi dampak. Biasanya perdarahannya akan direorganisasi

dengan pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini menimbulkan

manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.

IX. Perdarahan epidural

Pembuluh darah yang berada di bawah fraktur tulang tengkorak bisa ikut terluka

sehingga menimbulkan perdarahan. Apabila tidak terjadi fraktur, pembuluh

darah bisa pecah juga karena gaya kompresi yang timbul akibat dampak. Lebih-

lebih jika tidak terdapat fraktur tengkorak, perdarahan epidural akan cepat

menimbulkan gejala-gejala. Perdarahan epidural tanpa fraktur akan

menyebabkan tekanan intrakranial yang akan cepat meningkat. Jika ada fraktur,

Page 12: Presus TBI (Repaired)

maka darah bisa keluar dan membentuk hematom subperiosteal (sefalhematom).

Juga tergantung pada arteri dan vena yang pecah maka penimbunan darah

ekstravasal bisa terjadi secara cepat atau perlahan-lahan. Bila arteri yang pecah

dengan atau tanpa fraktur linear ataupun stelata, manifestasi neurologik akan

terjadi beberapa jam setelah trauma kapitis, yakni kesadaran yang menurun

secara progresif (sindrom kompresi serebral traumatik). Pupil pada sisi

perdarahan pertama-tama sempit, kemudian melebar dan tidak bereaksi terhadap

penyinaran cahaya. Hal ini merupakan tanda dari herniasi tentorial. Gejala-

gejala respirasi yang timbul mencermikan tahap-tahap disfungsi retrokaudal

batang otak. Saat tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai

hemiparesis atau serangan epilepsi fokal. Dekompresi dapat menyelamatkan

keadaan.

X. Trauma kapitis dan saraf otak

Saraf-saraf otak dapat terkena trauma kapitis oleh karena :

1) Trauma langsung.

2) Hematom yang menekan pada saraf otak.

3) Traksi terhdap saraf otak ketika otak tergeser karena akselerasi.

4) Kompresi serebral traumatik akut yang secara sekunder menekan batang

otak.

Saraf otak pertama bisa terputus oleh karena fraktur os kribiforme atau tertarik

oleh penggeseran otak akibat akselerasi, sehingga anosmia timbul. Trauma pada

bagian depan kepala bisa menimbulkan hematom di orbita atau fraktur tulang

orbita yang menimbulkan gangguan saraf otak ketiga, keempat dan keenam

secara tersendiri atau dalam kombinasi. Pada proses kompresi serebral traumatik

akut, batang otak tertekan karena herniasi tentorial atau herniasi unkus, sehingga

timbul kelumpuhan okular akibat gangguan n.okulomotorius dan n.troklearis.

perdarahan di tegmentum batnag otak yang menduduki daerah antara nukleus

n.okulomotorii atau n.abducentis bisa menimbulkan oftalmoplegia

internuklearis. N.abdusen bisa lumpuh tersendiri dan unilateral. Secara umum,

kelumpuhan saraf otak-saraf otak okular dapat pulih kembali.

Bila cabang n.trigeminus terkena dapat menimbulkan gejala defisit sensorik

pada daerah distribusi cabang yang terkena. N.fasialis ikut terkena bila ada

Page 13: Presus TBI (Repaired)

fraktur os petrosum dan akan tampak ada darah di kavum timpani dengan

laserasio gendang telinga.

Tuli akibat trauma dijumpai pada kasus dengan fraktur pars petrosa os

temporale dan disebabkan oleh perdarahan di labirin pars osea. Vertigo

merupakan keluhan utama akibat kontusio berkorelasi dengan edema atau

perdarahan di labirin.

Terganggunya nervus 10, 11, dan 12 disebabkan oleh hematom di fosa serebri

posterior atau fraktur baseos kranii. Gejala-gejala serebral (ataksia, nistagmus,

dan disartria) bisa dijumpai.

XI. Cairan serebrospinal dan trauma kapitis

Kira-kira 2% dari kasus rauma kapitis akan memperlihatkan komplikasi rinorre,

yaitu merembesnya cairan serebrospinal melalui hidung. Dalam hal ini dura dan

araknoid terobek sedikit oleh fraktur lamina kribosa. Jika fraktur pars petrosa os

temporale merobek selaput otak likuor bisa merembes keluar dari liang telinga.

E. Kelumpuhan UMN

Kelumpuhan UMN melanda sebelah tubuh sehingga dinamakan hemiparese, hemiplegi,

atau hemiparalisis, karena lesinya menduduki kawasan susunan piramidal sesisi. Di

batang otak daerah susnan piramidal dilintasi oleh akar saraf otak ke-3, ke-6, ke-7, dan

ke-12, sehingga lesi yang merusak kawasan piramidal batang otak sesisi mengakibatkan

hemiplegia yang melibatkan saraf otak secara khas dan dinamakan hemiplegia alternans.

Lesi sesisi atau hemilesi yang sering terjadi di otak jarang dijumpai di medula spinalis,

sehingga kelumpuhan UMN akibat lesi di medula spinalis pada umumnya berupa

tetraplegia atau paraplegia.

Kelumpuhan UMN ditandai dengan peningkatan pada pemeriksaan refleks fisiologis,

didapatkannya refleks patologis, tidak terjadi atrofi otot, dan terjadinya spastisitas dari

otot.

Kelumpuhan UMN dapat dibagi dalam :

1. Hemiplegia akibat hemilesis di korteks motorik primer

Kerusakan pada seluruh korteks piramidalis sesisi menimbulkan kelumpuhan UMN

pada belahan tubuh sisi kontralateral yang dikenal dengan hemiparalisis atau

hemiplegia. Akan terdapat perbedaan derajat kelumpuhan antara lengan dan tungkai.

Page 14: Presus TBI (Repaired)

Perbedaan lebih nyata apabila hemiplegia disebabkan oleh lesi vaskular di tingkat

korteks dan hampir tidak ada perbedaan jika lesi penyebab bersifat vaskular di

kapsula interna.

Pada tahap pertama hemiparese karena lesi kortikal sesisi, otot-otot wajah yang

berada di atas fissura palpebrae masih dapat digerakan secara wajar. Pada tahap

pertama ini lidah akan menunjukan kelumpuhan pada sisi kontralateral, yang akan

menyimpang ke sisi yang lumpuh. Kelumpuhan-kelumpuhan tersebut pada tahap

berikutnya akan memperlihatkan perbaikan, bahkan dapat sembuh sempurna,

kendatipun kelumpuhan pada anggota gerak masih cukup jelas.

Kelumpuhan sesisi pada otot-otot yang dipersarafi oleh n.vagus dan n.glosofaringeus

sebagai jalan bagian dari hemiplegia, pada tahap dini ditandai dengan kesukaran

menelan.

Pada penyumbatan/trombosis cabang kortikal a.cerebri media akan menimbulkan

kelumpuhan sisi kontralateral. Tumor di falks cerebri menekan pada kedua sisi

korteks piramidalis, maka kedua daerah somatotopik kedua tungkai bisa mengalami

gangguan (paraplegia).

Lesi yang merusak korteks piramidalis terjadi pada area 4, daerah di depan dan

belakangnya, sehingga ditemukan gejala pengiring hemiplegi berupa hipestesia atau

gangguan berbahasa (afasia motorik dan afasia sensorik). Sehubungan dengan ikut

terlibatnya area 4s, 6 dan 8, maka hemiplegi piramidal disertai gejala-gejala tambhan

seperti hipertoni yang bersifat spastik, ‘forced crying’ atau ‘forced laughing’, dan

‘deviation conjugee’.

2. Hemiplegia akibat hemilesis di kapsula interna

Di genu terdapat serabut-serabut yang menyampaikan impuls motorik untuk

motoneuron-motoneuron yang mensarafi otot-otot lengan. Penataan homonkulus

motorik selanjutnya dijumpai kembali pada kurs posterior,. Kawasan kapsula interna

dilewati oleh serabur-serabut susunan ekstrapiramidal. Maka karena itu, kelumpuhan

akibat lesi di kapsula interna hampir selamanya disertai hipertonia yang khas dan

tanda-tanda UMN lainnya cepat timbul secara jelas. Spastisitas hanya dapat

ditemukan pada sekelomopk otot tertentu yang lumpuh saja, sehingga menimbulkan

gerakan abnormal. Mislanya, mengepal dilakukan dengan klancar namun ketika

kepalan disuruh untuk dibuka, jari-jari tangan tidak mampu untuk

mengembangkannya.

Page 15: Presus TBI (Repaired)

Tergantung dari arteri yang tersumbat, maka lesi vaskular yang merusak kapsula

interna dapat melibatkan bangunan-bangunan fungsional lainnya juga (radiasio

optika, nukleus kaudatus, dan putamen). Oleh karena itu, maka hemiplegia akibat

lesi kapsular memperlihatkan tanda-tanda kelumpuhan UMN yang dapat disertai

oleh rigiditas, atetosis, tremor, atau hemianopia.

Gangguan berbahasa tidak menyertai hemiplegi kapsular. Lidah ikut terkena

hemiparese, maka artikulasi kata-kata terganggu (pelo atau cadel = disartria).

Karena lesi di susunan piramidal, terutama akibat lesi di korteks motorik primer dan

kapsula interna, gerakan sekutu patologik dapat disaksikan pada anggota gerak yang

lumpuh ringan ketika gerakan voluntar tertentu dilakukan. Sifat patologiknya dapat

dijelaskan, oleh karena pada orang normal tidak timbul. Contoh gerakan fisiologik

yang mengiringi gerakan voluntar, kedua tangan berlenggang sewaktu berjalan,

ekspresi wajah saat berpidato, dan seterusnya. Gerakan fisiologik hilang pada

penderita penyakit akibat lesi di susunan ekstrapiramidal. Gerakan sekutu patologik

mudah dibangkitkan bila pasiennya emosional atau sedang dilanda ‘stress’. Lebih

spastik hemiparesisnya, lebih jelas dan lebih mudah gerakan sekutu patologik dapat

dibangkitkan.

3. Hemiplegia alternans akibat hemilesi di batang otak, yang dapat dirinci

dalam :

Kerusakan unilateral pada jaras kortikobulbar/kortikospinal di tingkat batang otak

menimbulkan sindrom hemiplegi alternans. Terdiri atas kelumpuhan UMN yang

melanda otot-otot balahan tubuh kontralateral yang berada di bawah tingkat lesi,

sedangkan setingkat lesinya terdapat kelumpuhan LMN, yang melanda otot-otot

yang disarafi oleh nervus kranialis yang terlibat dalam lesi.

a. Sindrom hemiplegi alternans di mesensefalon

Gambaran penyakit tersebut di atas dijumpai bilamana hemilesi di batang otak

menduduki pedunkulus serebri di tingkat mesensefalon. Nervus okulomotorius

yang akan meninggalkan mesensefalon melalui permukaan ventral melintasi

daerah yang terkena lesi, sehingga ikut terganggu fungsinya. Manifestasi

kelumpuhan n.III ialah (a) paralisis m.rektus internus (medialis), m.rektus

superior, m.rektus inferior, m.oblikus inferior dan m.levator palpebrae

superioris, sehingga terdapat : strabismus divergens, diplopia, ptosis; (b)

paralisis m.sfingter pupilae, sehingga pupil midriasis.

Page 16: Presus TBI (Repaired)

Jika salah satu cabang dari rami perforantes paramedialis a.basilaris yang

tersumbat, maka infark akan ditemukan di daerah yang mencakup dua pertiga

bagian lateral pedunkulus cerebri dan daerah nukleus ruber. Oleh karena itu,

hemiparese alternans yang ringan sekali tidak saja disertai oleh paresis ringan

n.III, akan tetapi dilengkapi juga dengan adanya gerakan involuntar pada lengan

dan tungkai yang paretik ringan (di sisi kontralateral).

b. Sindrom hemiplegi alternans di pons

Sindrom ini juga disebabkan oleh lesi vaskular unilateral. Lesi vaskular di pons

dapat dibagi dalam :

1) Lesi paramedien akibat penyumbatan salah satu cabang dari rami

perforantes medialis a.basilaris.

2) Lesi lateral, yang sesuai dengan kawasan perdarahan cabang

sirkumferens yang pendek

3) Lesi di tegmentum bagian rostral pons akibat penyumbatan a.serebeli

superior

4) Lesi di tegmentum bagian kaudal pons, yang sesuai dengan kawasan

perdarahan cabang sirkumferens yang panjang.

Hemiplegi alternan akibat lesi di pons adalah selamanya kelumpuhan UMN

yang melibatkan belahan tubuh sisi kontralateral, yang berada di bawah

tingkat lesi, yang berkombinasi dengan kelumpuhan LMN pada otot-otot

yang disarafi oleh nervus abdusens atau nervus fasialis dan gejala-gejala

okular.

c. Sindrom hemiplegi alternans di medula spinalis

Kawasan-kawasan vaskularisasi di medula oblongata ternyata sesuai dengan

area lesi-lesi yang mendasari sindrom hemiplegia alternans di medula

oblongata. Paramedian medula oblongata diperdarahi oleh cabang a.vertebralis.

Lateralnya mendapat vaskularisasi dari a.serebeli inferior posterior, bagian

dorsalnya diperdarahi oleh a.spinalis posterior dan a.serebeli inferior posterior.

Lesi unilateral yang menghasilkan hemiplegi alternans menduduki kawasan

piramis sesisi dan harus dilintasi oleh radiks nervus hipoglosus. Maka dari itu

kelumpuhan UMN yang terjadi melanda belahan tubuh kontralateral yang

berada di bawah tingkat leher dan diiringi oleh kelumpuhan LMN pada belahan

lidah sisi ipsilateral.

Page 17: Presus TBI (Repaired)

4. Tetraplegia/kuadriplegia dan paraplegia akibat lesi di medula spinalis di atas

tingkat konus.

Tiap lesi di medula spinalis yang merusak daerah jaras kortikospinal lateral

menimbulkan kelumpuhan UMN pada otot-otot bagian tubuh yang terletak di bawah

tingkat lesi. Lesi yang memotong melintang medula spinalis pada tingkat servikal,

misalnya C5-, mengakibatkan kelumpuhan UMN pada otot-otot tubuh yang berada

di bawah C5, yaitu sebagian dari otot-otot kedua lengan yang berasal dari miotoma

C6-C8, otot-otot toraks dan abdomen serta segenap muskulatur kedua tungkai.

Kelumpuhan ini disebut tetraplegi atau kuadriplegi.

Lesi transversal yang merusak C5 tidak saja memutuskan jaras kortikospinal lateral,

melainkan kut memotong segenap lintasan asenden dan desenden lain. Disamping

itu kelompok motoneuron yang berada di dalam segmen C5 ikut rusak. Ini berarti

bahwa pada tingkat lesi terjadi kelumpuhan LMN. Akibat ikut terputusnya lintasan

somatosensorik dan lintasan autonom neurovegetatif asenden dan desenden, maka

dari tingkat lesi ke bawah, penderita kuadriplegik :

a) Tidak dapat merasakan apapun

b) Tidak bisa buang air besar dan kecil

c) Tidak memperlihatkan reaksi neurovegetatif.

Lesi transversal yang memotong medula spinalis pada tingkat torakal atau tingkat

lumbal atas, mengakibatkan kelumpuhan, yang pada dasarnya adalah pada tingkat

lesi terjadi kelumpuhan LMN dan di bawah tingkat lesi terdapat kelumpuhan UMN.

Kelumpuhan LMN di tingkat lesi melanda kelompok otot yang sebagian kecil dari

muskulator toraks atau abdomen (tidak begitu jelas dibanding anggota gerak).

Tingkat lesi transversal di medula spinalis mudah terungkap oleh batas defisit

sensorik. Di bawah batas tersebut tanda-tanda UMN dapat ditemukan pada kedua

tungkai secara lengkap, namun pada toraks tidak dapat diungkapkan. Tanda UMN

satu-satunya yang dapat dibangkitkan pada otot abdomen ialah hipertonia. Oleh

karena tonus otot abdominal meningkat maka refleks otot dinding perut meninggi

(refleks kulit dinding perut menghilang). Kelumpuhan yang melanda bagian bawah

tubuh, yang terlukis di atas dinamakan paraplegia.

Lesi di segmen-segmen lumbal paling bawah dan sakral merusak motoneuron-

motoneuron berikut dengan terminalia serabut-serabut kortikospinal, sehingga

kelumpuhan kedua tungkai akibat lesi itu bersifat LMN.

Page 18: Presus TBI (Repaired)

Paraplegi dan kuadriplegi dapat disebabkan oleh infeksi, reaksi imunopatologik, dan

trauma berat.

F. Pemeriksaan klinis cedera kepala

Pemeriksaan klinis tetap merupakan pemeriksaan yang komprehensif dalam evaluasi

diagnostik penderita-penderita cedera kepala, di mana dengan pemeriksaan-pemeriksaan

serial yang cepat, tepat, dan noninvasif diharapkan dapat menunjukan progresivitas atau

kemunduran dari proses penyakit atau gangguan tersebut. Dalam evaluasi klinis perlu

diperhatikan hal-hal sebagai berikut sehubungan dengan tingginya insidensi

kelainan/cedera sistemik penyerta pada kasus-kasus cedera kepala berat :

1. Cedera daerah kepala ekstrakranial : laserasi, perdarahan, otorre, rinorre, Racoon’s

eyes (ekimosis preiorbital), atau Battle’s sign (ekimosis preaurikuler).

2. Cedera daerah spinal. Trauma kepala dan spinal khususnya daerah servikal dapat

terjadi secara bersamaan dan cedera kombinasi ini harus selalu dipikirkan (2-5%),

pada semua penderita cedera kepala harus diasumsikan disertai cedera servikal sampai

terbukti baik secara klinis atau radiologis bahwa tidak ada cedera servikal.

3. Cedera daerah toraks : fraktur iga, pneumotoraks, hematotoraks, tamponade jantung

(bunyi jantung melemah, distensi vena jugularis dan hipotensi), aspirasi atau ARDS

(Acute Respiratory Distress Syndrome).

4. Cedera daerah abdomen : khususnya laserasi hepar, limpa atau ginjal. Adanya

perdarahan biasanya ditandai dengan gejala-gejala akut dari abdomen yang tegang dan

distensif. Gejala ini sering kali belum menunjukan manifestasi pada saat dini atau

tidak begitu jelas pada saat koma.

5. Cedera daerah pelvis : cedera pada penderita yang nonkomatus. Klinisnya tidak begitu

jelas dan memerlukan konfirmasi radiologis. Cedera pelvis sering kali berkaitan

dengan kejadian kehilangan darah yang okult.

6. Cedera ekstremitas yang dapat melibatkan jaringan tulang atau jaringan lunak (otot,

saraf, pembuluh darah). Terapi definitif dari cedera-cedera yang melibatkan

ekstremitas kebanyakan dapat ditunda sampai setelah masalah-masalah yang

mengancam jiwa dapat teratasi.

Pemeriksaan yang dapat memberikan pedoman dalam penanganan di gawat darurat :

1. Tingkat kesadaran. Dapat dinilai dengan skala Glasgow (GCS) yang merupakan

gradasi sederhana dari arousal dan kapasitas fungsional korteks serebral berdasarkan

Page 19: Presus TBI (Repaired)

respon verbal, motorik, dan mata penderita. Untuk fungsional batang otak dinilai dari

respon pupil dan gerakan bola mata.

Glasgow Coma Scale

Glasgow Coma Scale (GCS) mendefinisikan keparahan TBI dalam waktu 48 jam dari

cedera.

Membuka mata

• Spontan = 4

• Berdasarkan perintah verbal = 3

• Berdasarkan ransang nyeri = 2

• Tidak ada respon = 1

Respon motorik

• Mengikuti perintah = 6

• Membuat gerakan lokalisasi rasa sakit = 5

• Membuat gerakan penarikan terhadap rasa sakit = 4

• Fleksor (dekortikasi) sikap terhadap nyeri = 3

• Ekstensor (decerebrate) sikap terhadap nyeri = 2

• Tidak ada respon = 1

Respon verbal

• Berorientasi pada orang, tempat, dan tanggal = 5

• Percakapan kacau = 4

• Kata-kata kacau = 3

• Mengerang = 2

• Tidak ada respon = 1

Page 20: Presus TBI (Repaired)

Tingkat keparahan TBI menurut skor GCS (dalam waktu 48 jam) adalah sebagai

berikut:

• berat TBI = 3-8

• TBI Sedang = 9-12

• Mild TBI = 13-15

2. Kekuatan fungsi motorik. Masing-masing ekstremitas digradasi kekuatannya dengan

skala sebagai berikut :

5 : normal

4 : menurun tapi masih mampu melawan tahanan pemeriksa

3: mampu melawan gravitasi

2 : mampu menggeser ekstremitas

1: mampu bergerak tapi tidak mampu menggeser

0 : tidak ada gerakan sama sekali

3. Ukuran pupil, bandingkan antara kanan dan kiri, dan responnya terhadap cahaya. Hal

ini merupakan pemeriksaan awal terpenting dalam menangani cedera kepala. Disrupsi

lengkung aferen refleks cahaya pupil dideteksi dengan tes penyinaran indirek (refleks

cahaya indirek) untuk memeriksa N. Optikus.

Dilatasi dan perlambatan respon cahaya pupil : gejala dini dari herniasi lobus

temporal

Miosis pupil bilateral : fase dini dari herniasi sefalik sentral. Selanjutnya akan

terjadi dilatasi pupil dan paralisa respon cahayanya.

Hippus (dilatasi dan konstriksi pupil spontan) : pola respirasi Cheyne stokes. Tanda

intregritas fungsional jaras simpatis - parasimpatis pupil.

Pupil kecil bilateral : pada penderita yang menggunakan obat-obat tertentu (opium,

Page 21: Presus TBI (Repaired)

morfin, dan sebagainya).

Miosis pada kasus dengan lesi pons : inaktivasi struktural atau fisiologis dari jaras

simpatis yang turun dari hipotalamus melalui sistem aktivasi retikuler ke medula

spinalis.

Pupil horner unilateral : lesi batang otak, putusnya jaras simpatis eferen pada

daerah apex paru, leher bagian bawah atau carotid sheath ipsilateral.

Dilatasi pupil yang menetap : ceera saraf okulomotor traumatik.

Pupil midriasis (> 6mm) : trauma langsung pada mata, unilateral, dan tidak disertai

dengan paresis okuler.

Pupil dilatasi bilateral dan menetap : perfusi serebral yang tidak adekuat seperti

hipotensi akibat kehilangan daerah, atau gangguan aliran darah serebral karena

peningkatan tekanan intrakranial.

4. Gerakan bola mata (refleks okulosefalik dan vestibuler). Gerakan bola mata

merupakan indeks penting untum untuk penilaian aktivitas fungsional batang otak

(formatio retikularis). Penderita yang sadar penuh dan mempunyai gerakan bola mata

yang baik menandakan bahwa sistem motorik okuler di batang otaknya intak.

Padakesadaran yang menurun, gerakan bola mata volunter menghilang, sehingga

untuk menilai gerakannya ditentukan dari refleks okulosefalik dan okulovestibuler.

G. Pemeriksaan diagnostik

a) Foto Polos Tengkorak

Pemeriksaan ini mulai ditinggalkan dan diganti dengan pemeriksaan CT-Scan atau

MRI. Dari pemeriksaan ini dapat didapatkan informasi antara lain :

Fraktur tulang kepala, diharapkan dapat diperoleh informasi tentang lokasi dan

tipe fraktur, baik bentuk linier, stelata atau depresi.

Adanya benda asing.

Pneumocephalus (udara yang masuk ke rongga tengkorak).

Brain shift, kalau kebetulan ada kasifikasi kelenjar pineal.

b) Angiografi Serebral

Merupakan suatu prosedur ang invasif namun cenderung lebih bermanfaat untuk

memperkirakan diagnosis adanya suatu hematom/perdarahan intrakranial beserta

Page 22: Presus TBI (Repaired)

penanganannya, khususnya dimana belum tersedianya sarana sken komputer

tomografi otak. Pemeriksaan ini ditujukan untuk menunjukan adanya pergeseran

pembuluh-pembuluh darah serebral besar dan lokasi zona (avaskuler) suatu hematom.

Walaupun pergeseran ini tidak dapat membedakan tampilan adanya suatu edema atau

suatu hematom, corak ini dapat menentukan lokasinya.

c) Sken Komputer Tomografi Otak

Pemeriksaan ini merupakan metode diagnostik standart terpilih untuk kasus cedera

kepala mengingat selain prosedur ini tidak invasif, juga memiliki kehandalan yang

tinggi. Akan dapat diperoleh informasi yang lebih jelas tentan glokasi dan adanya

perdarahan intrakranial, edema, kontusi, udara, benda asing intrakranial, serta

pergeseran struktur di dalam tengkorak.

d) MRI

MRI memiliki keunggulan untuk melihat perdarahan kronis maupun kerusakan otak

yang kronis. MRI mampu memberikan gambaran yang lebih jelas terutama untuk

memberi identifikasi yang lebih jelas lesi hipodens pada CT-Scan atau lesi yang sulit

dibedakan densitasnya dengan korteks.

H. Penanganan cedera kepala

Penanganan penderita cedera kepala berpatokan terhadap “6B” yakni :

Breathing (Jalan Napas dan Pernapasan)

Perhatikan adanya obstruksi jalan napas perlu segera dibebaskan dengan tindakan-

tindakan : suction, intubasi, trakeostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila

perlu. Sangat penting diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernapasan penderita.

Blood (Sirkulasi Darah)

Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah (Hb,

leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun mencirikan adanya

suatu peninggian tekanan intrakranial. Tekanan darah yang menurun dan makin cepatnya

denyut nadi menandakan adanya syok hipovolemik akibat perdarahan (kebanyakan

bukan dari kepala/otak) dan memerlukan tindakan transfusi.

Brain (Otak)

Page 23: Presus TBI (Repaired)

Langkah awal penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata, fungsi

motorik, dan fungsi verbal. Perubahan respon ini merupakan implikasi adanya

perbaikan/perburukan cedera kepalanya, dan bila pada pemantauan menunjukan adanya

perburukan, kiranya perlu pemeriksaan lebih mendalam mengenai keadaan pupil serta

gerakan-gerakan bola mata.

Bladder (Kandung Kencing)

Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter) mengingat bahwa

kandung kemih yang penuh akan dapat menyebabkan penderita mengejan sehingga

tekanan intrakranial cenderung lebih meningkat.

Bowel (Sistem pencernaan)

Usus yang penuh juga cenderung untuk meninggikan tekanan intrakranial.

Bone (Tulang)

Adanya fraktur menyebabkan nyeri yang juga pada gilirannya akan mengakibatkan

kenaikan tekanan intrakranial. Sehingga penanganan kelainan tulang sehubungan dengan

trauma yang dialami penderita juga harus dilakukan secara adekuat.

Penanganan Berdasarkan Klasifikasi Derajat Cedera Kepala

a. Cedera kepala ringan (GCS : 14-15)

Mencakup anamnesa yang berkaitan dengan jenis dan waktu kecelakaan, riwayat

oenurunan kesadaran atau pingsan, riwayat adanya amnesia serta kleuhan-keluhan lain

yang berkaitan dengan peninggian tekanan intrakranial seperti : nyeri kepala, pusing,

dan muntah. Amnesia retrogard cendering merupakan tanda ada-tidaknya trauma pada

kepala, sedangkan amnesia anterogard berkonotasi kepada berat-ringannya cedera

kepala yang terjadi.

Pemeriksaan fisik ditekankan untuk menyingkirkan adanya gangguan sistemik

lainnya, serta mendeteksi defisit neurologis yang mungkin ada.

Pemeriksaan foto polos kepala (radiologis) untuk mengetahui adanya fraktur

tengkorak (linier/depresi), posisi kelenjar pineal, pneumosefalus, korpus alinenum,

dan lain-lain. Foto servikal atau bagian tubuh lainnya dilakukan sesuai indikasi. CT-

Scan idealnya perlu dilakukan.

Indikasi rawat inap :

Page 24: Presus TBI (Repaired)

Amnesia antegard/pascatrauma

Adanya riwayat oenurunan kesadaran/pingsan

Adanya keluhan nyeri kepala mulai dari derajat moderat sampai berat

Intoksikasi alkohol atau obat-obatan

Adanya fraktur tulang tengkorak

Adanya kebocoran likuor serebro-spinalis (otorre/rinorre)

Cedera berat bagian tubuh lain

Indikasi sosial (tidak ada keluarga/pendamping di rumah)

Pasien rawat jalan diminta untuk segera kembali ke rumah sakit apabila didapatkan :

Mengantuk dan sukar dibangunkan

Mual dan muntah

Kejang

Salah satu pupil melebar atau adanya tampilan gerakan mata yang tidak biasa

Kelumpuhan anggota gerak satu sisi

Nyeri kepala yang hebat atau bertambah hebat

Kacau/bingung, tidak mampu berkonsentrasi, terjadi perubahan personalitas

Gaduh, gelisah

Perubahan denyut nadi atau pola pernapasan

Pusing hebat

b. Cedera kepala sedang

Penanganan yang dilakukan mulai dari anamnesa sampai dengan pemeriksaan CT

Scan kepala, pasien juga mempunyai indikasi untuk dirawat. Hari pertama perawatan

harus dilakukan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam sekali, dan CT Scan

kepala setelah hari ketiga atau didapatkan perburukan neurologis.

c. Cedera kepala berat

Sangat diperlukan penangangan yang cepat dan tepat. Penanganan pada kasus-kasus

ini mencakup tujuh tahap :

1) Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC. Hipoksemi, anemia

dan hipotensi akan cenderung memperhebat peninggian tekanan intrakranial dan

menghasilkan prognosis yang lebih buruk. Semua penderita memerlukan tindakan

intubasi.

Page 25: Presus TBI (Repaired)

2) Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau gangguan-

gangguan di bagian tubuh lainnya.

3) Pemeriksaan neurologis mencakup respon mata, motorik, verbal, pemeriksaan

pupil, refleks okulosefalik dan refleks okulovestibuler. Pemeriksaan neurologis

kurang bermanfaat bila tekanan darah rendah.

4) Penanganan cedera-cedera di bagian lainnya

5) Pemberian pengobatan seperti : antiedem serebri, antikejang, dan natrium

bikarbonat.

6) Pemeriksaan diagnostik

Pemilihan Tindakan Operasi atau Konservatif pada Kasus Cedera Kepala

Indikasi tindakan operasi :

1) Lesi massa intra atau ekstra aksial yang menyebabkan pergeseran garis tengah

(pembuluh darah serebral anterior) yang melebihi 5mm.

2) Lesi massa ekstra-aksila yang tebalnya melebihi 5mm dari tabula interna

tengkorak dan berkaitan dengan pergeseran arteri serebri anterior atau media.

3) Lesi massa ekstra-aksial bilateral dengan tebal melebihi 5mm dari tabula eksterna

(kecuali bila ada atrofi otak).

4) Lesi massa intra-aksial lobus temporalis yang menyebabkan elevasi hebat dari

arteri serebri media atau menyebabkan pergeseran garis tengah.

Terapi Medikamentosa pada Cedera Kepala

Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah obat-obatan golongan

dexamethason (dosis awal 10mg kemudian dilanjutkan 4mg setiap 6 jam), manitol 20%

(dosis 1-3mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi edema serebri yang terjadi.

Namun sebagian mengatakan tidak direkomendasikan penggunaan glukokortikoid untuk

menurunkan tekanan intrakranial baik dengan methyl prednisolon maupun

dexamethason. Dearden dan Lamb meneliti dengan dosis > 100 mg/hari tidak

memberikan perbedaan signifikan pada tekanan intracranial dan setelah 1-6 bulan tidak

ada perbedaan outcome yang signifikan. Efek samping yang dapat terjadi hiperglikemia

Page 26: Presus TBI (Repaired)

(50%), perdarahan traktus gastrointestinal (85%). Hal ini masih kontroversi mana yang

terbaik.

Obat-obat antikejang seperti golongan fenitoin masih kontroversi sehubungan dengan

variasi insidens epilepsi pascatrauma. Namun, data statistik beberapa penilitian

menunjukan nilai isidensi epilepsi sebesar 5% dari semua kasus yang dirawat dan 15%

dari kasus cedera kepala berat, dimana hal ini dikaitkan dengan : adanya kejang dalam

waktu 1 minggu pertama, hematom intrakranial, dan fraktur depres tengkorak. Dalam hal

ini dianjurkan untuk memberikan fenitoin sebagai terapi profilaksis sedini mungkin (24

jam pertama) untuk mencegah fokus epileptigonik. Untuk penggunaan jangka panjang

dilanutkan dengan karbamazepin.

Untuk mengurangi tekanan intrakranial dapat digunakan THAM (Tris-hidroksil-metil-

aminometana) dan barbiturat. Barbiturat juga mempunyai efek protektif terhadap otak

untuk proteksi terhadap anoksia dan iskemik. Dosis awal 10mg/kgBB dalam 30 menit

dan kemudian dilanjutkan dengan bolus 5mg/kgBB setiap tiga jam serta drip

1mg/kgBB/jam untuk mencapai kadar serum 3-4mg%.

I. Komplikasi

1) Kejang pasca trauma.

Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di awal cedera 4-

25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Faktor

risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur

depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10.

2) Demam dan mengigil : 

Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolism dan memperburuk

“outcome”. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek sentral.

Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muscular paralisis. Penanganan lain

dengan cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid. 

3) Hidrosefalus: 

Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non komunikan.

Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala dengan obstruksi,

Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat penyumbatan di sistem

ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil

udema, dimensia, ataksia, gangguan miksi.

Page 27: Presus TBI (Repaired)

4) Spastisitas : 

Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan gerakan.

Merupakan gambaran lesi pada UMN. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi.

Beberapa penanganan ditujukan pada : Pembatasan fungsi gerak, Nyeri, Pencegahan

kontraktur, Bantuan dalam posisioning.

Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi sekunder dengan

splinting, casting, farmakologi: dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum,

benzodiasepin

5) Agitasi

Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk

delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi

akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral. Penanganan

farmakologi antara lain dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi,

antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan. 

6) Mood, tingkah laku dan kognitif

Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding gangguan fisik

setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons Ford,menunjukkan 2 tahun

setelah cedera kepala masih terdapat gangguan kognitif, tingkah laku atau emosi

termasuk problem daya ingat pada 74 %, gangguan mudah lelah (fatigue) 72%,

gangguan kecepatan berpikir 67%. Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi

62%.

Cicerone (2002) meneliti rehabilitasi kognitif berperan penting untuk perbaikan

gangguan kognitif. Methyl phenidate sering digunakan pada pasien dengan problem

gangguan perhatian, inisiasi dan hipoarousal (Whyte). Dopamine, amantadinae

dilaporkan dapat memperbaiki fungsi perhatian dan fungsi luhur. Donepezil dapat

memperbaiki daya ingat dan tingkah laku dalam 12 minggu. Depresi mayor dan

minor ditemukan 40-50%. Faktor resiko depresi pasca cedera kepala adalah wanita,

beratnya cedera kepala, pre morbid dan gangguan tingkah laku dapat membaik

dengan antidepresan. 

7) Sindroma post kontusio

Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1

bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama:

Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif

Page 28: Presus TBI (Repaired)

terhadap suara dan cahaya, kognitif: perhatian, konsentrasi, memori, afektif: iritabel,

cemas, depresi, emosi labil.

J. Pencegahan

Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan

pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma.

Upaya yang dilakukan yaitu :

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya

kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang

terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan

memakai helm.

b. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang dirancang

untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan

dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu :

1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).

Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh

tercepat pada kasus cedera. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan

masalah airway menjadi prioritas utama dari masalah yang lainnya. Beberapa

kematian karena masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali

masalah airway yang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun

kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita

sendiri. Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi

untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing,

sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke

belakang sehingga menutupi aliran udara ke dalam paru. Selain itu aspirasi isi

lambung juga menjadi bahaya yang mengancam airway.

2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)

Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan

adalah membantu pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali gangguan

pernafasan dan membantu pernafasan akan dapat menimbulkan kematian.

3. Menghentikan perdarahan (Circulations).

Page 29: Presus TBI (Repaired)

Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang

berdarah sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan

ikatan yang kuat. Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infuse

dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian transfusi darah. Syok biasanya

disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.

c. Pencegahan Tertier

Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih

berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu

lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup.

Pencegahan tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita,

meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi penderita.

Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas

perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.

1. Rehabilitasi Fisik

a) Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada

lengan atas dan bawah tubuh.

b) Perlengkapan splint dan kaliper

c) Transplantasi tendon

2. Rehabilitasi Psikologis

Pertama-tamadimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan

memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman

kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian

financial, sosial serta seksual yang semuanya memerlukan semangat hidup.

3. Rehabilitasi Sosial

a) Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda,

perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga

penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan orang lain.

b) Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan

masyarakat).

K. Prognosis

Prognosis ditetapkan berdasarkan keadaan kesadaran pada saat pasien masuk semua

penderitamendapat terapi agresif menurut konsultasi dari ahli bedah saraf. Terutama

pada anak-anak yangmempunyai daya pemulihan yang baik. Penderita usia lanjut

Page 30: Presus TBI (Repaired)

biasanya mempunyai kemungkinanyang lebi rendah untuk pemulihan dari cedera kepala.

Pasien dengan GCS yang rendah pada 6-24 jam setelah trauma, prognosisnya lebih buruk

daripada pasien dengan GCS 15.

Page 31: Presus TBI (Repaired)

Daftar Pustaka

1. Mardjono M, Sidharta P. Trauma Kapitis. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian

Rakyat.2008.248-57.

2. Satyanegara. Trauma Kepala. Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.2010.189-224.

3. Anurogo D. Neurologi Update 2008: Cedera Kepala Traumatik. Diunduh dari

http://www.kabarindonesia.com pada tanggal 8 April 2013.

4. Segun T Dawodu, MD, JD, MBA, LLM, FAAPMR, FAANEM. Traumatic Brain

Injury (TBI) – Definition, Epidemiology, Pathophysiology. Diunduh dari:

http://emedicine.medscape.com/article/326510-overview#showall pada tanggal 8

April 2013.

5. Dewanto, George, dkk. Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit

Saraf.EGC.Jakarta.2009.