Polip Hidung GS2

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Polip nasi merupakan salah satu penyakit yang cukup sering ditemukan di bagian THT.1 Keluhan pasien yang datang dapat berupa sumbatan pada hidung yang makin lama semakin berat. Kemudian pasien juga mengeluhkan adanya gangguan penciuman dan sakit kepala. Polip Hidung adalah suatu pertumbuhan dari selaput lendir hidung yang bersifat jinak. Polip nasi atau polip hidung adalah kelainan selaput permukaan hidung berupa massa lunak yang bertangkai berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan dengan permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan.1 Kelainan pada hidung biasanya timbul karena manifestasi dari penyakit yang lain dan tidak berdiri sendiri, penyakit ini sering dihubungkan dengan asma, rhinitis alergika, dan sinusitis, di luar negeri sendiri penyakit ini sering dihubungkan dengan seringnya penggunaan aspirin. Untuk mengetahui massa di rongga hidung merupakan polip atau bukan selain perlu dikuasai anatomi hidung juga perlu dikuasai cara pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan diagnosa lain. 1.2 Epidemiologi Insidensi polip nasi sulit diperkirakan. Di Amerika Serikat diperkirakan 0,3% penduduk dewasanya menderita kelainan ini, sedangkan di Inggris lebih tinggi lagi, yaitu sekitar 0,2-3%.2 Frekuensi kejadian polip nasi meningkat sesuai dengan umur, dimana mencapai puncaknya pada umur sekitar 50 tahun. Kejadian polip nasi lebih banyak dialami pria dibanding wanita dengan perbandingan 2,2:1.2 Polip nasi jarang ditemukan pada anak-anak. Anak dengan polip nasi harus dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan adanya cystic fibrosis karena cystic fibrosis merupakan faktor resiko bagi anak-anak untuk menderita polip

20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 DEFINISI Polip nasi adalah massa lunak yang tumbuh di dalam rongga hidung. Kebanyakan polip berwarna putih bening atau keabu abuan, mengkilat, lunak karena banyak mengandung cairan (polip edematosa).1,2,3 Polip yang sudah lama dapat berubah menjadi kekuning kuningan atau kemerah merahan, suram dan lebih kenyal (polip fibrosa). Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel dan dapat bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke arah belakang, muncul di nasofaring dan disebut polip koanal.

2.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI 2.2.1 ANATOMI1,4 2.2.1.1 Hidung Luar Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian bagiannya dari atas ke bawah : 1. Pangkal hidung (bridge) 2. Dorsum nasi 3. Puncak hidung 4. Ala nasi 5. Kolumela 6. Lubang hidung (nares anterior)

20

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M. Nasalis pars allaris. Kerja otot otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :-

Superior : os frontal, os nasal, os maksila Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan kartilago alaris minor

Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi fleksibel.

20

2.2.1.1.1

Perdarahan :

1. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang

dari A. Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna). 2. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris interna, cabang dari A. Karotis interna). 3. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)

20

2.2.1.1.2

Persarafan :

1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)

2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)

2.2.1.2 Kavum Nasi Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan yang membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa kranial media. Batas batas kavum nasi :-

Posterior : berhubungan dengan nasofaring Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale dan sebagian os vomer Dasar : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal, bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap. Bagian ini dipisahnkan dengan kavum oris oleh palatum durum.

-

-

Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi

20

dilapisi oleh kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars membranosa = kolumna = kolumela. Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os etmoid, konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid. Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang kadang konka nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak di bagian ini.

2.2.1.2.1 Perdarahan : Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior yang merupakan cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa yang berjalan bersama sama arteri.

20

2.2.1.2.2 Persarafan :1. Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N.

Trigeminus yaitu N. Etmoidalis anterior. 2. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum kemudian Sfenopalatinus. 2.2.1.3 Mukosa Hidung Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet. Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat obatan. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. masuk N. melalui Palatina foramen mayor sfenopalatina menjadi N. menjadi

20

2.2.2 Fisiologi hidung 1. Sebagai jalan nafas Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir.

Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.

3. Sebagai penyaring dan pelindung

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan oleh :a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

b. Silia

20

c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime. 4. Indra penghidu Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.5. Resonansi suara

Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.6. Proses bicara

Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara. 7. Refleks nasal Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

20

2.3 ETIOLOGI1,2,3 Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum diketahui dengan pasti tetapi ada keragu raguan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah. Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak anak. Pada anak anak, polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis. Terdapat 3 faktor penting yang berperan di dalam terjadinya polip, yaitu : 1. Peradangan lama dan berulang pada selaput permukaan hidung dan sinus 2. Gangguan keseimbangan Vasomotor 3. Peningkatan tekanan cairan antar ruang sel dan bengkak selaput permukaan hidung Dengan adanya faktor alergi dan radang kronis yang berulang-ulang, maka terjadilah perubahan pada mukosa hidung, perubahan pembuluh darah, dan juga pembuluh limfe. Keadaan ini akan berkembang terjadinya hambatan balik cairan interstitial. Cairan yang terkumpul selanjutnya akan menimbulkan semacam bendungan yang bersifat pasif. Dari keadaan ini, berkembang menjadi pembengkakan di mukosa hidung. Makin lama proses ini berlangsung, penonjolan mukosa hidung akan bertambah panjang, sampai pada akhirnya terbentuk tangkai, maka terbentuklah polip.

20

Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :1. Alergi terutama rinitis alergi.

2. Sinusitis kronik. 3. Iritasi. 4. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konka. 2.4 PATOFISIOLOGI1,6 Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terdapat di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler, sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian akan turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terbentuk polip. Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama, vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa. Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk suatu struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus etmoid. Setelah polip terrus membesar di antrum, akan turun ke kavum nasi. Hal ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang yang sering dialami oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada rinitis alergi terutama rinitis alergi perennial yang banyak terdapat di Indonesia karena tidak adanya variasi musim sehingga alergen terdapat sepanjang tahun. Begitu sampai dalam kavum nasi, polip akan terus membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus medial. Polip biasanya tumbuh di daerah dimana selaput lendir membengkak akibat penimbunan cairan, seperti daerah di sekitar lubang sinus pada rongga hidung. Ketika baru terbentuk, sebuah polip tampak seperti air mata dan jika telah matang, bentuknya menyerupai buah anggur yang berwarna keabu-abuan. Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat terlihat adanya massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan. Pembagian polip nasi : Grade 0 : Tidak ada polip Grade 1 : Polip terbatas pada meatus media

20

-

Grade 2 : Polip sudah keluar dari meatus media, tampak di rongga hidung tapi belum menyebabkan obstruksi total Grade 3 : Polip sudah menyebabkan obstruksi total

Semua jenis imunoglobulin dapat ditemui pada polip nasi, tapi peningkatan IgE merupakan jenis yang paling tinggi ditemukan bahkan apabila dibandingkan dengan tonsil dan serum sekalipun. Kadar IgG, IgA, IgM terdapat dalam jumlah bervariasi, dimana peningkatan jumlah memperlihatkan adanya infeksi pada saluran napas. Beberapa mediator inflamasi juga dapat ditemukan di dalam polip. Histamin merupakan mediator terbesar yang konsentrasinya di dalam stroma polip 100-1000 konsentrasi serum. Mediator kimia lain yang ikut dalam patogenesis dari nasal polip adalah Gamma Interferon (IFN-) dan Tumour Growth Factor (TGF-). IFN- menyebabkan migrasi dan aktivasi eosinofil yang melalui pelepasan toksiknya bertanggungjawab atas kerusakan epitel dan sintesis kolagen oleh fibroblas . TGF- yang umumnya tidak ditemukan dalam mukosa normal merupakan faktor paling kuat dalam menarik fibroblas dan meransang sintesis matrik ekstraseluler. Peningkatan mediator ini pada akhirnya akan merusak mukosa rinosinusal yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap natrium sehingga mencetuskan terjadinya edema submukosa pada polip nasi. Fenomena bernouli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui celah yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya, sehingga jaringan yang lemah akan terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga menyebabkan polip, fenomena ini dapat menjelaskan mengapa polip banyak terjadi pada area yang sempit di kompleks osteomatal. Patogenesis polip pada awalnya ditemukan bengkak selaput permukaan yang kebanyakan terdapat pada meatus medius, kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga selaput permukaan yang sembab menjadi berbenjol-benjol. Bila proses terus membesar dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai sehingga terjadi Polip. Polip sering ditemukan pada penderita: a. Asma Bronkiale, 20-50% penderita asma mengalami polip b. Cystic Fibrosis - Polyps terjadi sekitar 6-48% pada penderita CF c. Rinitis Alergid. Allergic fungal sinusitis - Terjadi sekitar 85%

e. Rinosinusitis kronik

20

f. Primary ciliary dyskinesia g. Aspirin intolerance - Terjadi sekitar 8-26% pada penderita polip h. Alcohol intolerance Terjadi sekitar 50% pada penderita polip i. Churg-Strauss syndrome Terjadi sekitar syndrome j. Young syndrome (chronic sinusitis, nasal polyposis, azoospermia) k. Nonallergic rhinitis with eosinophilia syndrome (NARES) Terjadi sekitar pada penderita NARES 2.5 HISTOPATOLOGI Epitel normal dari kavum nasi adalah epitel kolumnar bertingkat semu bersilia. Epitel permukaan dari sinus lebih tipis, memiliki sel goblet dan silia yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan kavum nasi. Berdasarkan histologisnya terdapat 4 tipe dari polip nasi : 1. Eosinofilik edematous Tipe ini merupakan jenis yang paling banyak ditemui yang meliputi kira-kira 85% kasus. Tipe ini ditandai dengan adanya stroma yang edema, peningkatan sel goblet dalam jumlah normal, jumlah eosinofil yang meningkat tinggi, sel mast dalam stroma, dan penebalan membran basement. 2. Polip inflamasi kronik Tipe ini hanya terdapat kurang dari 10% kasus polip nasi. Tipe ini ditandai dengan tidak ditemukannya edema stroma dan penurunan jumlah dari sel goblet. Penebalan dari membran basement tidak nyata. Tanda dari respon inflamasi mungkin dapat ditemukan walaupun yang dominan adalah limfosit. Stroma terdiri atas fibroblas.3. Polip dengan hiperplasia dari glandula seromusinous

50 % pada penderita Churg-Strauss

20 %

Tipe ini hanya terdapat kurang dari 5% dari seluruh kasus. Gambaran utama dari tipe ini adalah adanya glandula dan duktus dalam jumlah yang banyak. 4. Polip dengan atipia stromal Tipe ini merupakan jenis yang jarang ditemui dan dapat mengalami misdiagnosis dengan neoplasma. Sel stroma abnormal atau menunjukkan gambaran atipikal, tetapi tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai suatu neoplasma.

20

2.6 GEJALA KLINIS1,6 Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di hidung. Sumbatan ini tidak hilang timbul dan makin lama semakin berat keluhannya. Pada sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila polip ini menyumbat sinus paranasal, maka sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan rinore. Pada anamnesis kasus polip biasanya timbul keluhan utama adalah hidung tersumbat. sumbatan ini menetap dan tidak hilang timbul. Semakin lama keluhan dirasakan semakin berat. Pasien sering mengeluhkan terasa ada massa di dalam hidung dan sukar membuang ingus. Gejala lain adalah hiposmia (gangguan penciuman). Gejala lainnya dapat timbul jika teradapat kelainan di organ sekitarnya seperti post nasal drip (cairan yang mengalir di bagian belakang mulut), suara bindeng, nyeri muka, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Polip menyebabkan penyumbatan hidung, karena itu penderita seringkali mengeluhkan adanya penurunan fungsi indera penciuman. Karena indera perasa berhubungan dengan indera penciuman, maka penderita juga bisa mengalami penurunan fungsi indera perasa dan penciuman. Polip hidung juga bisa menyebabkan penyumbatan pada drainase lendir dari sinus ke hidung. Penyumbatan ini menyebabkan tertimbunnya lendir di dalam sinus. Lendir yang terlalu lama berada di dalam sinus bisa mengalami infeksi dan akhirnya terjadi sinusitis. Penderita anak-anak sering bersuara sengau dan bernafas melalui mulutnya. Secara pemeriksaan mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan selaput permukaan hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan subselaput permukaan yang sembab. Polip menyebabkan penyumbatan hidung, karena itu penderita seringkali mengeluhkan adanya penurunan fungsi indera penciuman. Karena indera perasa berhubungan dengan indera penciuman, maka penderita juga bisa mengalami penurunan fungsi indera perasa dan penciuman. Polip hidung juga bisa menyebabkan penyumbatan pada drainase lendir dari sinus ke hidung. Penyumbatan ini menyebabkan tertimbunnya lendir di dalam sinus. Lendir yang terlalu lama berada di dalam sinus bisa mengalami infeksi dan akhirnya terjadi sinusitis. Penderita anak-anak sering bersuara sengau dan bernafas melalui mulutnya. Jadi gejala polip ini sangat beragam. Mulai dari pilek yang berlangsung lama, bersinbersin, hidung tersumbat yang bersifat menetap, sering mimisan, keluhan akan adanya massa di hidung, sukar buang ingus, gangguan penciuman, bentuk hidung yang tak lagi simetris, telinga terasa penuh, snoring (ngorok),

20

bengek atau bindeng, telinga rasa penuh, mendengkur/gangguan tidur, lendir dan rasa kering yang terkumpul di tenggorokan, sakit kepala, dll. Kesemua keluhan itu tentu saja amat mengganggu dan sangat mempengaruhi produktivitas hidup si penderita. Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan iritasi di hidung. Pada rinoskopi anterior polip hidung seringkali harus dibedakan dari konka hidung yang menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaan antara polip dan konka polipoid ialah : Polip : Bertangkai Mudah digerakkan Konsistensi lunak Tidak nyeri bila ditekan Tidak mudah berdarah Pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin) tidak mengecil.

2.7 DIAGNOSIS BANDING1 Polip didiagnosa bandingkan dengan konka polipoid, yang ciri cirinya sebagai berikut :

20

-

Tidak bertangkai Sukar digerakkan Nyeri bila ditekan dengan pinset Mudah berdarah Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin).

-

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan polip dan konka polipoid, terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang juga harus hati hati pemberiannya pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena bisa menyebabkan vasokonstriksi sistemik, maningkatkan tekanan darah yang berbahaya pada pasien dengan hipertensi dan dengan penyakit jantung lainnya.

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Naso-endoskopi Naso-endoskopi memberikan gambaran yang baik dari polip, khususnya polip berukuran kecil di meatus media. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila. Dengan naso-endoskopi dapat juga dilakukan biopsi pada layanan rawat jalan tanpa harus ke meja operasi. 2. Pemeriksaan radiologi Foto polos sinus paranasal (posisi water, AP, caldwell, dan lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara dan cairan di dalam sinus, tetapi pemeriksaan ini kurang bermanfaat pada pada kasus polip. Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada kelainan anatomi, polip, atau sumbatan pada komplek

20

osteomeatal. CT scan terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diterapi dengan medikamentosa. 2.9 PENATALAKSANAAN1,2,6-

Terapi polip nasi dapat terbagi atas terapi medikamentosa dan terapi pembedahan. Terapi medikamentosa bertujuan untuk mengurangi gejala dan ukuran polip, menunda selama mungkin perjalanan penyakit, mencegah pembedahan, dan mencegah kekambuhan setelah prosedur pembedahan. Terapi pembedahan bertujuan menghilangkan obstruksi hidung dan mencegah kekambuhan. Oleh karena sifatnya yang rekuren, kadang-kadang terapi pembedahan juga mengalami kegagalan dimana 7-50% pasien yang menjalani pembedahan akan mengalami kekambuhan.

-

Terapi medikamentosa ditujukan pada polip yang masih kecil yaitu pemberian kortikosteroid sistemik yang diberikan dalam jangka waktu singkat, dapat juga diberiksan kortikosteroid hidung atau kombinasi keduanya.

-

Penggunaa kortikosteroid pada pasien polip nasi dapat terbagi atas pemberian topikal dan sistemik. Penggunaan kortikosteroid pada pasien polip nasi dapat terbagi atas pemberian topikal dan sistemik. Obat semprot hidung yang mengandung corticosteroid kadang bisa memperkecil ukuran polip atau bahkan menghilangkan polip.

-

Kortikosteroid sistemik

Penggunaan kortikosteroid sistemik jangka pendek

merupakan metode alternatif untuk menginduksi remisi dan mengontrol polip. Berbeda dengan steroid topikal, steroid sistemik dapat mencapai seluruh bagian hidung dan sinus, termasuk celah olfaktorius dan meatus media dan memperbaiki penciuman lebih baik dari steroid topikal. Penggunaan steroid sistemik juga dapat merupakan pendahuluan dari penggunaan steroid topikal dimana pemberian awal steroid sistemik bertujuan membuka obstruksi nasal sehingga pemberian steroid topikal spray selanjutnya menjadi lebih sempurna. Antibiotik Polip nasi dapat menyebabkan obstruksi dari sinus yang berakibat timbulnya infeksi. Pengobatan infeksi dengan antibiotik akan mencegah perkembangan polip lebih lanjut dan mengurangi perdarahan selama pembedahan. Pemilihan antibiotik dilakukan berdasarkan kekuatan daya bunuh dan hambat terhadap spesies staphylococcus, streptococcus, dan golongan anaerob yang merupakan mikroorganisme tersering yang ditemukan pada sinusitis kronik.

20

-

Tindakan pengangkatan polip dapat digunakan menggunakan senar polip dan anestesi lokal. Untuk polip yang besar dan menyebabkan kelainan pada hidung, memerlukan jenis operasi yang lebih besar dan anestesi umum.

Untuk polip edematosa, dapat diberikan pengobatan kortikosteroid : 1. Oral, misalnya prednison 50 mg/hari atau deksametason selama 10 hari, kemudian dosis diturunkan perlahan lahan (tappering off). 2. Suntikan intrapolip, misalnya triamsinolon asetonid atau prednisolon 0,5 cc, tiap 5 7 hari sekali, sampai polipnya hilang. 3. Obat semprot hidung yang mengandung kortikosteroid, merupakan obat untuk rinitis alergi, sering digunakan bersama atau sebagai lanjutan pengobatn kortikosteroid per oral. Efek sistemik obat ini sangat kecil, sehingga lebih aman. Untuk polip yang ukurannya sudah besar dilakukan ektraksi polip (polipektomi) dengan menggunakan senar polip. Selain itu bila terdapat sinusitis, perlu dilakukan drenase sinus. Oleh karena itu sebelum operasi polipektomi perlu dibuat foto sinus paranasal untuk melihat adanya sinusitis yang menyertai polip ini atau tidak. Selain itu, pada pasien polip dengan keluhan sakit kepala, nyeri di daerah sinus dan adanya perdarahan pembuatan foto sinus paranasal tidak boleh dilupakan. Prosedur polipektomi dapat mudah dilakukan dengan senar polip setelah pemberian dekongestan dan anestesi lokal. Pada kasus polip yang berulang ulang, perlu dilakukan operasi etmoidektomi oleh karena umumnya polip berasal dari sinus etmoid. Etmoidektomi ada dua cara, yakni : 1. Intranasal 2. Ekstranasal 2.10 PROGNOSIS1 Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi. Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.

20

BAB III KESIMPULAN1. Polip nasi merupakan salah satu penyakit THT yang memberikan keluhan sumbatan

pada hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat dirasakan.2. Etiologi polip di literatur terbanyak merupakan akibat reaksi hipersensitivitas yaitu

pada proses alergi, sehingga banyak didapatkan bersamaan dengan adanya rinitis alergi.3. Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan obstruksi hidung, anosmia, adanya

riwayat rinitis alergi, keluhan sakit kepala daerah frontal atau sekitar mata, adanya sekret hidung.4. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan massa yang lunak, bertangkai, mudah

digerakkan, tidak ada nteri tekan dan tidak mengecil pada pemberian vasokonstriktor lokal.5. Penatalaksanaan untuk polip nasi ini bisa secara konservatif maupun operatif, yang

biasanya dipilih dengan melihat ukuran polip itu sendiri dan keluhan dari pasien sendiri.6. Pada pasien dengan riwayat rinitis alergi, polip nasi mempunyai kemungkinan yang

lebih besar untuk rekuren. Sehingga kemungkinan pasien harus menjalani polipektomi beberapa kali dalam hidupnya.

20

DAFTAR PUSTAKA1. Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok edisi IV cetakan I. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2000 2. Soepardi, Efiaty. Hadjat, Fachri. Iskandar, Nurbaiti. Penatalaksanaan dan Kelainan Telinga Hidung Tenggorok edisi II. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2000 3. Judarwanto W. Polip Hidung. Children Allergy Center. September,5 2010. Diunduh dari http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2010/09/05/polip-hidung/ pada tanggal 8 oktober 2010. 4. Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid I hal. 113 114. Penerbit Media Aesculapius FK-UI 2000 5. Adams, George. Boies, Lawrence. Higler, Peter. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. W.B. Saunders, Philadelphia 19896. Ballenger, John Jacob. Diseaes of The Nose Throat Ear Head and Neck. Lea &

Febiger 14th edition. Philadelphia 1991.

20