Upload
suharyadi-sasmanto
View
576
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
Polip Hidung
Polip Hidung
• Definisi:massa lunak yang mengandung banyak cairan didalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa
• Diduga predisposisi timbulnya polip nasi adalah adanya rhinitis alergi atau penyakit atopi,
Patogenesa
• inflamasi kronik• disfungsi saraf otonom • predisposisi genetic.
Makroskopi
• massa bertangkai dengan permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multiple dan tidak sensitive
Mikroskopi
• epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab
• Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil dan makrofag.
• Mukosa mengandung sel-sel goblet, pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit.
• Polip yang sudah lama metaplasia epitel epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.
• Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi 2, yaitu:– polip tipe eosinofilik – Polip tipe neutrofilik
DIAGNOSIS POLIP NASI
Anamnesis
• Hidung tersumbat.• Terasa ada massa didalam hidung.• Sukar membuang ingus.• Gangguan penciuman : anosmia & hiposmia.• Gejala sekunder. Bila disertai kelainan jaringan
& organ di sekitarnya seperti post nasal drip, sakit kepala, nyeri muka, suara nasal (bindeng), telinga rasa penuh, mendengkur, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.
Pemeriksaan fisik
• Polip nasi yang massif hidung tampak mekar • rinoskopi anterior massa yang berwarna
pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan
Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997)
• Stadium 1: polip masih terbatas dimeatus medius
• Stadium 2: polip sudah keluar dari meatus medius, tampak dirongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung
• Stadium 3: polip yang massif
Naso-endoskopi
• Polip stadium 1 dan 2 yang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior
Pemeriksaan radiologi
• Foto polos sinus paranasal penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan didalam sinus
• CT terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diterapi dengan medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi.
Penatalaksanaan
• Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.
• Medikamentosa• Pembedahan
Pencegahan
• Mengatur alergi dan asma. • Hindari iritasi. Sebi• Hidup bersih yang baik. • Melembabkan rumah Anda. • Gunakan bilasan hidung atau nasal lavage.
Angiofibroma
Angiofibroma
• Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas karena mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.
• terjadi pada laki-laki prepubertas dan remaja • Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21
tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun
• tumor jinak nasofaring terbanyak dan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan lehe
Etiologi
• masih belum jelas, berbagai macam teori banyak dikemukakan
• teori jaringan asal tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung.
• Factor ketidakseimbangan hormonal kekurangan androgen atau kelebihan estrogen
• adanya faktor pertumbuhan yang memediasi proliferasi agresif sel stromal dan angiogenesis Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis.
Pathogenesis• Tumor pertama kali tumbuh dibawah mukosa ditepi sebelah posterior dan
lateral dari koana diatap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa, sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas kearah bawah dan membentuk tonjolan massa diatap rongga hidung posterior. Perluasan kea rah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke arah sisi kontralateral dan memipihkan konka. Pada perluasan kerah lateral, tumor melebar kearah foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa intratemporal yang akan menimbulkan benjolan di pipi dan rasa penuh di wajah. Apabila tumor telah mendorong salah satu atau kedua bola mata maka tampak gejala yang khas pada wajah yang di sebut muka kodok.
• Perluasan ke intracranial dapat terjadi melalui fossa intratemporal dan pterigomaksila masuk ke fossa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fossa serebri anterior atau dari sinus sphenoid ke sinus kavernosus dan fossa hipofise.
Diagnosis
• ditegakkan berdasarkan gejala klinis• hidung tersumbat yang progresif dan epistaksis
berulang yang massif(80%)• obstruksi hidung penimbunan secret, sehingga
tibul rinore kronis• gangguan penciuman• ketulian • Otalgia• sefalgia
• rinoskopi posterior massa tumor yang konsistens nya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda
• Pada usia muda warnanya merah muda, pada usia yang lebih tua warnanya kebiruan, karena lebih banyak komponen fibromanya
• radiologi konvensional tanda “Holman Miller” pendorongan prosessus pterigoideus ke belakang, sehingga fisurrs pterigo palatine melebar
• CT scan dengan zat kontras perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke jaringan sekitarnya
• Pemeriksaan MRI batas tumor terutama yang telah meluas ke intracranial.
• pemeriksaan arteriografi arteri karotis eksterna kan vaskularisasi tumor yang berasal dari cabang a. maksila interna homolateral
• Pemeriksaan kadar hormonal dan pemeriksaan imunohistokimia untuk melihat adanya gangguan hormonal.
• Pemeriksaan patologi anatomi tidak dapat dilakukan
DERAJAT DAN STADIUM
Klasifikasi menurut Session
• Stage IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring
• Stage IB : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring dengan perluasan ke satu sinus paranasal.
• Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.
• Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi ke tulang orbita.
• Stage IIIA : Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang minimal.
• Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam sinus kavernosus.
Klasifikasi menurut Fisch :
• Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang.
• Stage II :Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan destruksi tulang.
• Stage III :Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah parasellar sampai sinus kavernosus.
• Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum dan/atau fossa pituitary.
Pengobatan
– EMBOLISASI– OPERASI– RADIOTERAPI– HORMONAL