Upload
indra-gumay-yudha
View
4.799
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
PEMANFAATAN PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN BUDIDAYA PERIKANAN BERBASIS EKOSISTEM DAN MASYARAKAT
Oleh : Indra Gumay Yudha, M.Si *)
ABSTRAK
The Indonesian coastal zone has a large amount of potential resources to improve
fisheries culture; nevertheless they have a lower and inequality in exploitation rate. It was over exploited in some places, but the others were underexploited. Many of fisheries husbandry methods have own characteristic that was different between one and the others. Environmental factors had influenced them, so every place wasn’t became a culture area. The other factors were government’s policies, technology in aquaculture, human resources and capital.
The fisheries aquaculture based on ecosystem and community models could be applied to minimize limiting factors. Furthermore, it was expected to improve sustainability aquaculture which has many indicators like economical efficiency, social equality and ecological sustainability.
Kata kunci: potensi budidaya, model pengembangan berbasis ekosisitem dan
masyarakat
I. PENDAHULUAN
Sebagai negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau dengan panjang pantai
sekitar 81.000 km dan luas laut mencapai 5,8 juta km2, Indonesia memiliki potensi
sumberdaya hayati pesisir dan laut yang sangat besar. Namun hingga saat ini,
pemanfaatan sumberdaya hayati maupun jasa-jasa lingkungan di kawasan tersebut masih
relatif rendah.
Kegiatan perikanan tangkap sebagian besar masih bersifat artisanal yang dicirikan
dari keragaan alat tangkap dan armada penangkapan ikan skala kecil. Budidaya
perikanan air payau masih didominasi oleh budidaya udang windu (tambak) yang
dilakukan secara tradisional. Budidaya laut (mariculture) yang telah berkembang
dengan baik adalah rumput laut dankerang hijau, namun masih diusahakan dalam jumlah
tang relatif kecil; sedangkan untuk ikan-ikan ekonomis tinggi, seperti ikan kerapu,
kakap merah, kakap putih, masih dalam tahap awal mulai dikembangkan. Demikian
juga halnya dengan budidaya mutiara yang teknologinya masih dikuasai investor asing
(Jepang). Kegiatan perikanan tersebut, terutama perikanan tangkap dan budidaya
tambak, menunjukkan penyebaran yang tidak merata, sehingga di suatu daerah
(propinsi) dapat mengalami overexploited sedangkan di daerah lainnya justru terjadi
underexploited.
Sejak Indonesia dilanda krisis moneter pada tahun 1997, sektor perikanan justru
menunjukkan keunggulannya bila dibandingkan dengan sektor usaha lainnya. Bahkan
akibat perubahan nilai tukar rupiah terhadap US dollar beberapa sektor perikanan sempat
menikmati peningkatan pendapatan. Jika dilihat dari kenyataan bahwa potensi wilayah
pesisir dan laut masih luas, sedangkan pemanfaatannya relatif rendah, maka masih
terbuka peluang yang cukup besar untuk pengembangan usaha perikanan.
2. POTENSI BUDIDAYA PERIKANAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT
A. Potensi Budidaya Air Payau
Budidaya tambak merupakan kegiatan budidaya air payau yang paling banyak
dilakukan di Indonesia. Jenis-jenis sumber daya perikanan yang dibudidayakan antara
lain udang windu, udang putih, ataupun ikan bandeng. Dari ketiga komoditi tersebut,
udang windu merupakan primadona yang dibudidayakan di air payau dan menjadi
komoditi ekspor unggulan di sektor perikanan.
Menurut Widigdo (2000), kegiatan tambak udang secara tradisional banyak
dilakukan di lahan mangrove yang memiliki tekstur tanah liat dan kedap air. Selain itu,
kawasan mangrove juga memiliki keunggulan dalam hal kesuburan tanah, sehingga
banyak mengandung pakan alami yang dibutuhkan untuk budidaya udang. Oleh karena
itu perkembangan tambak di negara-negara produsen udang, seperti Taiwan, Cina,
Thailand dan Indonesia selalu diarahkan ke lahan mangrove atau lahan pertanian lainnya
yang masih terjangkau air laut.
Berdasarkan pertimbangan panjang garis pantai dan luasan kawasan mangrove
yang ada dikurangi sekitar 50% (sebagai kawasan penyangga), maka menurut perkiraan
Ditjen Perikanan (1997) kawasan pantai Indonesia memiliki potensi pengembangan
tambak seluas 866.550 ha (Tabel 1). Potensi tersebut juga masih dengan pertimbangan
pengembangan tambak secara tradisional. Namun bila menerapkan teknologi maju,
Indra Gumay Yudha : Pemanfaatan Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Budidaya Perikanan Berbasis Ekosistem dan Masyarakat
2
maka potensi tersebut dapat menjadi lebih besar lagi mengingat lahan marjinal yang
berpasir maupun bergambut dapat dimanfaatkan untuk tambak.
Hingga tahun 1996 potensi budidaya air payau di Indonesia baru dimanfaatkan
sebesar 39,8% atau sekitar 344.759 ha (Ditjen Perikanan, 1997) dengan tingkat
pemanfaatan lahan di beberapa tempat sangat tidak sesuai dengan tingkat potensi
daerahnya (Tabel 1). D.I. Aceh (sekarang NAD), Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah telah menunjuk-kan gejala overexploited lahan,
sedangkan di daerah lainnya masih dalam kategori sedang bahkan cenderung
underexploited .
Sejarah perkembangan pertambakan telah membuktikan bahwa tambak di lahan
mangrove atau tanah liat lainnya tidak menjanjikan kelestarian produksi. Penelitian
Chen dari Taiwan menunjukkan bahwa lumpur organik yang merupakan campuran dari
sisa pakan dan kotoran udang dengan partikel tanah berkontribusi besar pada kegagalan
tambak udang intensif di Taiwan pada tahun 1987. Kegagalan budidaya udang di
Indonesia yang terjadi sejak tahun 1990-an hingga sekarang erat kaitannya dengan
kerusakan lingkungan dan kerusakan lahan tambak akibat intensifikasi yang tidak
terkontrol (Widigdo, 2000).
Selain pencemaran bahan-bahan organik, ternyata tambak juga berpotensi sebagai
sumber pencemar limbah kimia yang digunakan dalam kegiatan budidaya, baik sebagai
desinfektan maupun obat-obatan ke lingkungan perairan. Adakalanya petambak
menggunakan berbagai jenis pestisida (antara lain yang berbahan aktif endosulfan,
seperti: Endosulfan, Thiodan atau Akodan) yang dikenal memiliki daya racun yang kuat
terhadap biota dan dilarang keras digunakan di lingkungan perairan. Demikian juga
halnya dengan penggunaan berbagai jenis antibiotika di tambak akan berpotensi
menyebabkan kematian mikroba pengurai yang sebenarnya sangat dibutuhkan dalam
proses peruraian bahan organik di lingkungan.
Indra Gumay Yudha : Pemanfaatan Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Budidaya Perikanan Berbasis Ekosistem dan Masyarakat
3
Tabel 1. Potensi, Luas Tambak dan Tingkat Pemanfaatannya pada Tahun 1996
No. Propinsi Potensi (ha) Luas Tambak (ha) Tingkat Pemanfaatan (%)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
DI Aceh * Sumatera Utara Riau Jambi Sumatera Selatan Sumatera Barat Lampung Bengkulu Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali NTB NTT Timor Timur ** Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Sulawesi Tengah Sulawesi Utara Maluku Irian Jaya
34.800 71.500
- -
16.300 7.700 6.550 6.850
62.650 20.000 1.900
33.800 4.650
19.200 2.500 2.600
91.650 115.000
28.600 83.400 15.850 20.050 5.450 3.400
191.150 21.000
42.847 6.950
286 100 100
3.613 16.620
143 54.308 27.955
- 60.173
678 7.051
346 26
557 -
2.363 15.428 84.832 13.686 5.850
689 45
213
123,1 9,7 - -
0,6 46,9 253,7 2,1
86,7 139,8
0 178,0 14,6 36,7 13,8 1,0 0,6 0
8,3 18,5 535,2 68,3 107,3 20,3 0,02 1,0
Jumlah 866.550 344.759 39,8 Sumber : Ditjen Perikanan (1997) Keterangan : * sekarang NAD ** sekarang menjadi negara Timor Leste
B. Potensi Budidaya Laut Luasnya perairan pantai dengan pulau-pulau kecil yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia merupakan potensi yang sangat besar dalam pengembangan budidaya
laut (mariculture). Jenis-jenis biota laut yang dapat dibudidayakan antara lain ikan-ikan
karang, kerang dan tiram, rumput laut (algae), teripang, kuda laut dan sebagainya.
Menurut Ditjen Perikanan (1997) apabila potensi lahan budidaya hanya
diperhitungkan sebesar 20% dari luas kawasan perairan laut yang dihitung hingga jarak
Indra Gumay Yudha : Pemanfaatan Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Budidaya Perikanan Berbasis Ekosistem dan Masyarakat
4
5 km dari garis pantai, maka kawasan potensi budidaya laut mencapai 2.002.680 ha
dengan perincian seperti pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Potensi Kawasan Budidaya Laut di Indonesia
No. Kawasan Budidaya Luas (ha) 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kakap Kerapu Kerang dan Tiram Teripang Kerang mutiara dan albalone Rumput Laut
598.120 461.600 591.800 66.660 62.040 222.460
Jumlah 2.002.680 Sumber : Ditjen Perikanan (1997)
Perkiraan potensi luas kawasan budidaya tersebut terlalu “optimis” dan tidak
memperhitungkan beberapa aspek khusus, terutama aspek teknis dan kesesuaian
lahan/ekosistem untuk pelaksanaan budidaya, sehingga dapat diperoleh data yang
berbeda dengan beberapa tulisan (sumber) lainnya. Sebagai contoh adalah luas lahan
yang potensial untuk budidaya ikan kerapu dan rumput laut dengan mempertimbangkan
beberapa aspek teknis akan berbeda jauh dengan yang tertera pada Tabel 2.
Menurut Sunyoto (2000), penentuan lokasi untuk budidaya ikan kerapu dengan
metode keramba jaring apung (KJA) harus mempertimbangkan beberapa faktor, seperti:
terlindung dari badai dan gelombang besar, jauh dari pencemaran, tidak berada dalam
alur pelayaran, kondisi perairan sesuai (salinitas 33-35 ppt, suhu 27-32°C, kecepatan
arus 0,2-0,5 m/det, DO ≥ 4 ppm, pH antara 7.6-8.7, amonia 0,1 ppm, BOD5 < 5 ppm,
serta total bakteri < 3000 sel/m3 ). Berdasarkan kriteria tersebut maka areal yang
berpotensi untuk budidaya kerapu di seluruh perairan Indonesia adalah seluas 3.600 ha
(Tabel 3). Dari data tersebut diketahui bahwa perairan pesisir dan laut di Propinsi
Lampung menduduki tempat teratas sebagai kawasan yang berpotensi untuk budidaya
ikan dengan metode KJA. Lokasi lainnya adalah NTB, Riau dan Banten.
Indra Gumay Yudha : Pemanfaatan Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Budidaya Perikanan Berbasis Ekosistem dan Masyarakat
5
Tabel 3. Areal yang Berpotensi untuk Pengembangan Budidaya Ikan Dengan Metode Jaring Apung
No Propinsi Lokasi Luas (ha)
1. Aceh P. Weh, Sabang, Tel. Lhok Sudu, P. Simeulu 200 2. Sumatera Barat Ma Siperut Sikapa, Siobar, P. Sipora, P. Sikkap Burial, Tarusan,
Painan 100
3. Riau P. Batam, P. Bintan 350 4. Jambi Nipah Panjang, Tg. Laut, Kuala Tungkal 50 5. Bangka Belitung Bangka 200 6. Lampung Teluk Hurun, Teluk Lampung 800 7. Banten Tel. Banten 400 8. Jawa Timur Tel. Gili Genteng, Grajakan, Banyuwangi, Perigi, Sendang Biru. 300 9. Bali Pejarakan 50 10. NTB Tel. Ekas, Tel. Waru Kelapa, Tg. Sabodo, Tel. Saleh Sumbawa 440 11. Sulawesi Utara P. Sangihe 200 12. Sulawesi Selatan Ujung Pandang, Pinrang, Selayar 200 13. Kalimantan Timur Tarahan, Berau, Bontang, Sengkulirang, Tel. Adang 110 14. Maluku Ambon 200
Jumlah 3.600
Sumber : Tiensungrusmee et. al. (1989) dalam Sunyoto (2000)
Tabel 4. Syarat lokasi budidaya rumput laut
Eucheuma sp Gracilaria sp - Letak lokasi jauh dari pengaruh daratan. Lokasi
yang menghadap laut lepas sebaiknya terdapat karang penghalang yang berfungsi melindungi tanaman dari kerusakan akibat ombak yang kuat.
- Terdapat gerakan air (arus) yang cukup untuk terjadinya aerasi, sehingga tanaman dapat memperoleh pasokan makanan dan oksigen yang cukup dan terhindar dari sedimentasi yang dapat menimbulkan kematian
- Bila menggunakan metode lepas dasar, dipilih lokasi dengan dasar perairan agak keras, yaitu dasar berpasir dan karang.
- Lokasi masih digenangi air setinggi 30-60 cm pada saat surut.
- Lokasi memiliki pH 7.3-8.2 - Perairan yang dipilih sebaiknya sudah terdapat
komunitas berbagai jenis makroalgae, sehingga dapat dipastikan cocok untuk Eucheuma
- Jika di tambak, maka dipilih tambak dengan dasar perairan lumpur berpasir.
- Lokasi berjarak sekitar 1 km dari pantai. - Lokasi harus dekat dengan sumber air tawar
dan laut. - Kedalaman air tambak diupayakan 60-80 cm. - Derajat keasaman (pH) yang optimum adalah
8.2-8.7
Indra Gumay Yudha : Pemanfaatan Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Budidaya Perikanan Berbasis Ekosistem dan Masyarakat
6
Pemilihan lokasi yang sesuai untuk budidaya rumput laut menurut Indriani dan
Suminarsih (1999) adalah sebagai berikut. Syarat lokasi secara umum adalah sebagai
berikut: Lokasi harus bebas dari pengaruh angin topan, tidak mengalami fluktuasi
salinitas yang besar, mengandung makanan (nutrien) untuk tumbuhnya rumput laut,
bebas dari pencemaran industri dan rumah tangga, lokasi mudah dijangkau sehingga
tidak memberatkan biaya transportasi, serta dekat dengan sumber tenaga kerja.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka lokasi yang berpotensi untuk pengembangan
budidaya rumput laut di perairan Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Lokasi Potensial bagi Pengembangan Budidaya Rumput Laut
No. Daerah Lokasi Luas (ha)
1. Sumatera Sumatera Barat Riau : P. Telang Besar, Pangkil, Karas, Matak, Beliba Lampung: P. Semut, Ketapang Bangka Belitung Sumatera Utara DI Aceh (NAD) Bengkulu
500 1.500
300 1.000
150 250 100
2. Jawa Jawa Barat: Teluk Banten Pelabuhan Ratu, Cidaun, Cipatujah, Pameungpeuk
Jakarta: Kep. Seribu Jawa Tengah: Jepara, Cilacap, Gunung Kidul Jawa Timur: Pacitan, Banyuwangi, Sumenep
500
100 500 300
3. Bali P. Serangan, Tj. Benoa, Nusa Penida, Nusa Lebongan, Nusa Dua
1.500
4. Nusa Tenggara
NTT : Tj. Karoso, Warambadi, P. Komodo, P. Besar Maumere, Tablolong di Timor
NTB : Mariggi, P. Kambing, Tel. Ekas, Tel. Saleh, Tel. Waworada
6.000
6.0005. Kalimantan Kal-Sel: P. Laut
Kal-Tim: Tarakan 500
1.0006. Sulawesi Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah
1.000 500 500
7. Maluku Maluku Utara: P. Limbo,P. Doi, P.Joronga Maluku Tengah: P. Geser, Seram, Rei, Kirar, Kidang, Nuhus,
Grogus, P. Tujuh, P. Ose Maluku Tenggara: Tj. Warilau, Krei Baru, Meti Rotan, Watidal,
P.Nuslima, Tj. Kurat, Tj. Laut Dalam, Namtabung, Adaut, Nuyazat, Babar, Wetan, Masela, Sermata, Luang, Meti Miarang, Kisar, Wetar, Lirang, Romang, Damar di P. Leti
3.000
Indra Gumay Yudha : Pemanfaatan Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Budidaya Perikanan Berbasis Ekosistem dan Masyarakat
7
8. Irian Jaya 500 Jumlah 23.700
Sumber: Ditjen Perikanan (1995)
3. PENGEMBANGAN USAHA BUDIDAYA PERIKANAN BERBASIS EKOSISTEM DAN MASYARAKAT
3.1 Gambaran Pembangunan Pesisir dan Lautan di Masa Lalu
Wilayah pesisir dan lautan di masa lalu kurang mendapat perhatian oleh
pemerintah. Pemerintah pada saat itu lebih menitikberatkan pembangunan di sektor
pertanian yang mengarah pada terciptanya swasembada pangan. Hal ini dapat dilihat
dari minimnya sarana dan prasarana yang telah dibangun oleh pemerintah di wilayah
pesisir bila dibandingan dengan kawasan ataupun sektor lainnya, sehingga menyebabkan
ketertinggalan dan menjadikan masyarakat pesisir, baik yang tinggal di mainland
ataupun pulau-pulau kecil, hidup dalam kondisi yang memprihatinkan.
Akibat minimnya perhatian pemerintah saat itu terhadap pembangunan pesisir dan
laut menyebabkan pengelolaan wilayah tersebut menjadi semakin tidak menentu.
Menurut Dahuri (2000), gambaran atau potret pembangunan pesisir dan laut di masa lalu
adalah sebagai berikut:
• Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan pada umumnya bersifat ekstraktif, tidak
berkelanjutan dan hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk.
• Menciptakan ekonomi dualistik dimana terjadi kesenjangan yang lebar antara
kelompok pengusaha kecil (tradisional) dengan pengusaha besar.
• Kawasan pesisir dan laut dianggap sebagai “keranjang sampah” dari berbagai jenis
limbah dan sedimen yang berasal dari kegiatan di darat.
• Konflik (egoisme) sektoral, dimana sektor-sektor yang dapat menghasilkan cash
money jangka pendek dan tidak memerlukan kualitas lingkungan yang tinggi.
• Terjadi ketidakseimbangan tingkat pemanfaatan dan kerusakan lingkungan antar
wilayah.
Beberapa contoh kerugian ekonomi pola pembangunan masa lalu terhadap
kawasan pesisir dan laut, antara lain: 1) Penggunaan bahan peledak, racun dan
penambangan karang, 2) Pencemaran, erosi, dan sedimentasi mengakibatkan potensi
Indra Gumay Yudha : Pemanfaatan Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Budidaya Perikanan Berbasis Ekosistem dan Masyarakat
8
industri pariwisata, perikanan tangkap dan budidaya menjadi hancur atau turun drastis;
3)Pembabatan mangrove dan perusakan habitat pesisir lainnya mengakibatkan
penurunan produktivitas perikanan tangkap.
Beberapa permasalahan dan kendala yang timbul akibat pola pembangunan pesisir
dan laut di masa lalu yang berlanjut hingga saat ini adalah : kerusakan ekosistem pesisir
dan laut, over-exploited sumberdaya hayati laut, terjadi pencemaran, konflik penggunaan
ruang, keterbatasan dana, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, kurangnya
koordinasi dan kerjasama antar stakeholders, lemahnya penegakan hukum dan
kemiskinan yang dialami oleh masyarakat pesisir.
3.2 Budidaya Perikanan yang Berkelanjutan
Kegagalan pola pembangunan pesisir dan lautan di masa lalu haruslah menjadi
pelajaran berharga untuk pengelolaan kawasan pesisir dan laut saat ini dan masa yang
akan datang, sehingga dapat diwujudkan pembangunan pesisir dan lautan yang
berkelanjutan, yaitu pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa merusak
atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidup
dan aspirasinya. Menurut Dahuri (2000) keberhasilan pembangunan berkelanjutan dapat
dilihat dari berbagai indikator, yaitu efisiensi ekonomi, social equility, ecological
sustainability, serta persatuan dan kesatuan bangsa.
Pengembangan usaha budidaya perikanan berbasis ekosistem dan masyarakat
dapat diwujudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa merusak
lingkungan atau meminimalkan kerusakan yang timbul. Model pengembangan tersebut
dapat dilihat pada Gambar 1.
Pengembangan usaha budidaya perikanan berbasis ekosistem dan masyarakat sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1) Kondisi Ekosistem
Kondisi budidaya perikanan sangat dipengaruhi oleh kondisi ekosistem di lokasi
kegiatan. Kesesuaian lahan (perairan) sangat menentukan berhasil tidaknya usaha
budidaya tersebut. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas bahwa jenis-jenis usaha
Indra Gumay Yudha : Pemanfaatan Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Budidaya Perikanan Berbasis Ekosistem dan Masyarakat
9
budidaya perikanan membutuhkan beberapa persyaratan lokasi dengan karakteristik
yang berbeda-beda untuk setiap kegiatan. Kelestarian ekosistem di lokasi budidaya
sudah seharusnya tetap terjaga, sehingga pengembangan usaha budidaya dapat
berlangsung secara terus menerus (berlanjut).
Pendekatan Ekosistem:
- kesesuaian lingkungan - potensi SDA
Kebijakan Pemerintah: - Peraturan &
penegakan hukum - Tata ruang - Keterpaduan antar
sektor BUDIDAYA
PERIKANAN BERBASIS
EKOSISTEM DAN MASYARAKAT
Modal Usaha: - Peranan lembaga
keuangan (bank, koperasi, dll)
- Sistem perguliran dana
Teknologi Budidaya:
- Tepat guna - Ramah Lingkungan
Kualitas Sumberdaya Manusia:
- Tingkat pengetahuan - Pengalaman - Keahlian
Kelayakan Usaha dan Keberlanjutan:
- Efisiensi ekonomi - Sosial equility - Ecological Sustainability
Gambar 1. Model Pengembangan Usaha Budidaya Perikanan Berbasis Ekosistem dan Mayarakat
2) Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah sangat diharapkan dapat mendukung pengembangan usaha
budidaya perikanan. Pemerintah pusat, propinsi, maupun kabupaten/ kota, secara
bersama-sama dapat menyusun Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) sebagai alat
pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Dengan adanya RUTR tesebut dapat ditentukan
lokasi-lokasi yang dapat digunakan untuk usaha budidaya perikanan, daerah konservasi,
pariwisata, daerah penangkapan ikan, alur pelayaran, dan lain-lain.
Indra Gumay Yudha : Pemanfaatan Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Budidaya Perikanan Berbasis Ekosistem dan Masyarakat
10
Kegiatan-kegiatan yang langsung berhubungan dengan pengelolaan wilayah
pesisir dan lautan juga harus dapat dilaksanakan secara terpadu dan saling mendukung
antar sektor yang terkait. Selain itu, pengelolaan tersebut juga diupayakan dapat
mengakomodasi seluruh stakeholders yang terlibat.
3) Teknologi Budidaya
Pengembangan usaha budidaya perikanan tidak terlepas dari kemajuan teknologi
yang terus menerus berkembang dengan pesat. Teknologi maju (high tech) tidak
selamanya dapat diterapkan di suatu kegiatan budidaya, sehingga teknologi tepat guna
dan ramah lingkungan merupakan pilihan yang lebih diutamakan. Teknologi tersebut
juga harus disesuaikan dengan kondisi SDM yang akan menjadi pelaku budidaya.
Peran lembaga/instansi pemerintah (BPPT, BBL, BBAP, Perguruan Tinggi, dan
lain-lain) maupun swasta sangat diharapkan untuk dapat mentranfer teknologi ke
masyarakat, sehingga setiap perkembangan teknologi dapat diterima masyarakat untuk
perbaikan teknik budidaya.
4) Sumberdaya Manusia
Sumberdaya manusia merupakan kunci keberhasilan dalam pelaksanaan budidaya
perikanan. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat pesisir berkorelasi erat dengan
rendahnya tingkat pemahaman dan keterampilan dalam bidang budidaya perikanan.
Mereka lebih banyak mengandalkan insting dan pengalaman dalam melaksanakan
kegiatan budidaya. Hal ini juga mempengaruhi tingkat adopsi (daya serap) teknologi
baru yang akan diberikan kepada mereka.
Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sumberdaya manusia dalam
bidang budidaya, maka perlu dilakukan berbagai pembinaan, baik dalam bentuk
penyuluhan maupun pelatihan. Kegiatan tersebut dapat melibatkan instansi pemerintah
(DKP), perguran tinggi, maupun LSM yang peduli terhadap kesejahteraan masyarakat
pesisir.
Peranan perguruan tinggi dalam mendidik dan menghasilkan sumberdaya manusia
yang berkualitas dalam bidang perikanan, baik tingkat sarjana maupun ahli madya,
belum banyak berperan dalam peningkatan pengembangan budidaya perikanan. Tenaga
ahli perikanan yang dihasilkan oleh perguruan tinggi banyak yang tidak sepenuhnya
Indra Gumay Yudha : Pemanfaatan Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Budidaya Perikanan Berbasis Ekosistem dan Masyarakat
11
memiliki minat untuk bekerja di bidang perikanan. Hal ini merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan lambatnya laju perkembangan usaha budidaya perikanan di
Indonesia.
5) Modal Usaha
Keterbatasan modal yang dimiliki oleh masyarakat pesisir menyebabkan sulitnya
menjalankan ataupun meningkatkan (ekspansi) usaha budidayanya. Selama ini
masyarakat pesisir lebih banyak “tertolong” oleh adanya lembaga (sistem) informal
dalam bentuk hubungan patron-clien, seperti: pembina-petambak, ataupun juragan-
nelayan. Peranan lembaga keuangan yang resmi, misalnya bank ataupun lembaga
perkreditan non bank, tidak begitu banyak yang berminat untuk mengucurkan dananya
kepada masyarakat pesisir karena dianggap memiliki resiko kegagalan yang tinggi.
Masyarakat pesisir mengalami diskriminasi dalam hal bantuan modal (kredit) jika
dibandingkan dengan masyarakat petani.
Program-program pemerintah hingga saat ini telah banyak yang dilakukan untuk
membantu masyarakat pesisir dalam memajukan usaha perikanannya. Program tersebut
antara lain dalam bentuk bantuan/pinjaman dana bergulir ataupun dalam bentuk lainnya.
Sayangnya, terdapat beberapa kelemahan dalam pelaksanaannya, sehingga banyak yang
mengalami kegagalan dan tidak sesuai dengan target yang diharapkan.
Beberapa kendala maupun kelemahan yang terdapat pada kelima faktor tersebut
di atas sudah seharusnya diupayakan pemecahannya dengan melibatkan para
stakeholders terkait yang dimotori oleh Departemen Kelautan dan Perikanan di tingkat
pusat, ataupun Dinas Kelautan dan Perikanan setempat. Program-program
pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir perlu dikaji dan direncanakan lebih baik lagi,
sehingga dapat memenuhi target yang diharapkan. Apabila faktor penghambat dapat
diminimalkan, maka diharapkan pengembangan usaha budidaya perikanan dapat
berkelanjutan dengan indikator efisiensi ekonomi, social equility, dan ecological
sustainability.
Indra Gumay Yudha : Pemanfaatan Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Budidaya Perikanan Berbasis Ekosistem dan Masyarakat
12
DAFTAR PUSTAKA
Dahuri, R. 2000. Kebijaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Makalah Pelatihan untuk Pelatih (TOT) Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Kerjasama PKSPL IPB –Proyek Pesisir CRC URI. Bogor, 13-28 November 2000.
Ditjen Perikanan. 1997. Potensi Kawasan Budidaya Laut di Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.
Indriani, H. dan E. Suminarsih. 1999. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sunyoto, P. 2000. Pembesaran Kerapu dengan Karamba Jaring Apung. Penebar Swadaya. Jakarta.
Widigdo, B. 2000. Pemanfaatan Pesisir dan Lautan untuk Kegiatan Perikanan Budidaya (Aquaculture). Makalah Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan (TOT) Wilayah Pesisir Terpadu. Kerjasama PKSPL IPB –Proyek Pesisir CRC URI. Bogor, 13-28 November 2000.
Indra Gumay Yudha : Pemanfaatan Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Budidaya Perikanan Berbasis Ekosistem dan Masyarakat
13