92
i PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI BUPIVAKAIN 0,5% 10 MG, MORFIN SULFAT 0,05 DAN MAGNESIUM SULFAT 40% 50 MG DENGAN BUPIVAKAIN 0,5% 10 MG DAN MORFIN SULFAT 0,1 MG PADA PASCABEDAH SEKSIO SESARIA COMPARISON BETWEEN SPINAL ANESTHESIA COMBINATION OF 0,5% 10 MG BUPIVACAINE, 0.05 MG OF MORPHINE SULPHATE AND 40% 50 MGMAGNESIUM SULFATE, AND 0.5% 10 MG BUPIVACAINE AND 0,1 MG MORPHINE SULPHATE ON POST-SURGERY CAESARIAN SECTION MUHAMMAD ERMIL ZULKARNAIN SUYUTHI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU ( COMBINED DEGREE) PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012

PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

i

PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI BUPIVAKAIN 0,5% 10 MG, MORFIN SULFAT

0,05 DAN MAGNESIUM SULFAT 40% 50 MG DENGAN BUPIVAKAIN 0,5% 10 MG DAN MORFIN SULFAT 0,1 MG

PADA PASCABEDAH SEKSIO SESARIA

COMPARISON BETWEEN SPINAL ANESTHESIA

COMBINATION OF 0,5% 10 MG BUPIVACAINE, 0.05 MG OF

MORPHINE SULPHATE AND 40% 50 MGMAGNESIUM

SULFATE, AND 0.5% 10 MG BUPIVACAINE AND 0,1 MG

MORPHINE SULPHATE ON POST-SURGERY CAESARIAN

SECTION

MUHAMMAD ERMIL ZULKARNAIN SUYUTHI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU

( COMBINED DEGREE) PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2012

Page 2: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

ii

PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI BUPIVAKAIN 0,5% 10 MG, MORFIN SULFAT

0,05 DAN MAGNESIUM SULFAT 40% 50 MG DENGAN BUPIVAKAIN 0,5% 10 MG DAN MORFIN SULFAT 0,1 MG

PADA PASCABEDAH SEKSIO SESARIA

COMPARISON BETWEEN SPINAL ANESTHESIA

COMBINATION OF 0,5% 10 MG BUPIVACAINE, 0.05 MG OF

MORPHINE SULPHATE AND 40% 50 MGMAGNESIUM

SULFATE, AND 0.5% 10 MG BUPIVACAINE AND 0,1 MG

MORPHINE SULPHATE ON POST-SURGERY CAESARIAN

SECTION

MUHAMMAD ERMIL ZULKARNAIN SUYUTHI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU

( COMBINED DEGREE) PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2012

Page 3: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

iii

PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI BUPIVAKAIN 0,5% 10 MG, MORFIN SULFAT

0,05 DAN MAGNESIUM SULFAT 40% 50 MG DENGAN BUPIVAKAIN 0,5% 10 MG DAN MORFIN SULFAT 0,1 MG

PADA PASCABEDAH SEKSIO SESARIA

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Derajat Magister

Program Studi PPDS Terpadu (Combined Degree)

Disusun dan Diajukan Oleh

MUHAMMAD ERMIL ZULKARNAIN SUYUTHI

kepada

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU

( COMBINED DEGREE) PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2012

Page 4: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

iv

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Muhammad Ermil Zulkarnain Suyuthi No.Stambuk : P1507209218 Program Studi : PPDS Terpadu ( Combined Degree ) FK.UNHAS

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, Agustus 2012

Yang menyatakan,

Muhammad Ermil Zulkarnain Suyuthi

Page 5: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

v

PRAKATA

Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas semua

anugerah dan rahmat-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan karya akhir berupa

Tesis ini dengan baik.

Tesis dengan judul “Perbandingan Efektifitas Anestesi Spinal Kombinasi

Bupivakain 0,5% 10 mg, Morfin Sulfat 0,05 dan Magnesium Sulfat 40% 50

mg dengan Bupivakain 0,5% 10 mg dan Morfin Sulfat 0,1 mg pada

Pascabedah Seksio Sesaria” ini disusun sebagai salah satu syarat dan merupakan

karya akhir dalam menyelesaikan pendidikan pada Program Pendidikan Dokter

Spesialis (PPDS) I Bagian Anestesiologi, Perawatan Intensif dan Manajemen

Nyeri, dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu (Combined Degree)

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar.

Saya menyadari bahwa penulisan karya akhir ini jauh dari kesempurnaan,

baik isi maupun bahasanya, sehingga kritik yang membangun diharapkan untuk

perbaikan selanjutnya.

Pada kesempatan ini, perkenankan saya menyampaikan rasa hormat dan

terimakasih saya kepada :

1. Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi, Sp.B, Sp.OT Rektor Universitas

Hasanuddin, Prof. dr. Irawan Yusuf, Ph.D, Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. dr. H. Dasril Daud, Sp.A(K) Ketua

Program Studi Program Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu (Combined

Degree) Universitas Hasanuddin, atas kesempatan yang diberikan kepada

saya untuk dapat mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS)

I dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu (Combined Degree)

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, dalam bidang Anestesiologi.

2. dr. Abdul Wahab, Sp.An Ketua Bagian Anestesiologi, Perawatan Intensif

dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin,

Dr.dr. Muh. Ramli Ahmad, sp.An, KAP-KMN Ketua Program Studi

Bagian Anestesiologi, Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri, sekaligus

selaku penasehat dan pembimbing yang senantiasa meluangkan begitu

Page 6: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

vi

banyak waktu yang sangat berharga untuk membimbing saya mulai dari

perencanaan, pembuatan proposal hingga selesainya penulisan karya akhir

ini. Serta seluruh Staf Bagian Bagian Anestesiologi, Perawatan Intensif

dan Manajemen Nyeri atas kesediaan untuk menerima, mendidik,

membimbing dan memberi nasehat yang sangat berharga kepada saya,

selama mengikuti pendidikan ini.

3. Prof. Dr. Ir. Mursalim, M.Sc Direktur Program Pascasarjana Universitas

Hasanuddin, Prof. dr. Rosdiana Natzir, Ph.D Ketua Program Studi

Biomedik Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, atas kesempatan

yang diberikan selama pendidikan.

4. Prof.dr. A.Husni Tanra, Ph.D,Sp.An,KIC-KMN, sebagai orangtua dan

pembimbing, serta dr. Syafruddin Gaus, Ph.D, Sp.An, yang telah

meluangkan begitu banyak waktu yang sangat berharga untuk

membimbing saya mulai dari perencanaan, pembuatan proposal hingga

selesainya penulisan karya akhir ini.

5. Dr. dr. Idham Jaya Ganda, Sp.A(K) atas segala bimbingan dan saran dalam

pengolahan data dan penyelesaian karya akhir ini.

6. Para Direktur dan Staf Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin

Sudirohusodo, Makassar atas kerjasama dan segala bantuan, fasilitas dan

kerjasama yang diberikan selama saya mengikuti pendidikan ini.

7. Teman-teman sejawat, Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) I

Bagian Bagian Anestesiologi, Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin atas bantuan dan

kerjasamanya selama ini.

8. Para staf pegawai Bagian Anestesiologi, Perawatan Intensif dan

Manajemen Nyeri, Bu Nining, Bu Nur Aswi, Bu Tety, Mba Sukni, Mba

Irma dan Pak Dewa, serta para perawat penata anestesi dan perawat di

Ruang Gawat Darurat, Ruang ICU, Ruang Operasi dan rawat jalan RSUP

Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar dan rumah sakit jejaring lainnya di

seluruh Indonesia atas bantuan dan kerjasamanya.

Page 7: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

vii

9. Para staf pegawai di Program Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu

(Combined Degree) Mbak Mirna, Pak Jamal, Pak Yusril, dan Pak Anto

yang telah sabar memberikan pelayanan administratif kepada saya selama

mengikuti pendidikan ini.

10. Kepada kedua orangtua tercinta saya, Drs. H. M. Djamil Suyuthi dan Siti

Saerah, mertua saya Mayor Inf (pur) Abdul Gofur dan Maryanie, yang

dengan tulus dan ikhlas membantu, membimbing, mendidik, dan

senantiasa mendoakan demi kebaikan dan kelancaran pendidikan saya.

11. Kepada kakak tercinta, Muh.Ermil Zulkifli sekeluarga, adik saya Erlindah

Zulhedah, S.T., adik saya M. Ermil Zulkhaedar S.E. sekeluarga, adik saya

M. Ermil Zulfahmi S.Hi dan adik bungsu tercinta Ermiati Zulaiha S.Pd di

Makassar, yang senantiasa menyemangati dan mendoakan saya selama

mengikuti pendidikan ini.

12. Akhirnya yang paling khusus dan spesial kepada istri saya tercinta Yuniar

Khardanella, Amd yang dengan sabar dan penuh pengertian membantu,

mengingatkan dan mendukung saya dalam segala hal, serta anakku

tersayang A.Deviana Nur Zulkarnain, Ahmad Dzakwan dan si bungsu A.

Dhiyaul Haq yang selalu menjadi penyemangat saya selama mengikuti

pendidikan ini sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan

baik.

Akhir kata, semoga karya akhir ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu

kedokteran khususnya di bidang anestesilogi dan dapat diaplikasikan dalam

pemberian pelayanan yang lebih berkualitas kepada pasien sesuai dengan nilai-

nilai profesionalisme.

Semoga kita senantiasa mendapat petunjuk dan perlindungan dari Allah SWT.

Makassar, Agustus 2012

Muhammad Ermil Zulkarnain Suyuthi

Page 8: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

viii

ABSTRAK

MUH. ERMIL ZULKARNAIN SUYUTHI. Perbandingan Efektifitas Anestesi Spinal Kombinasi Bupivakain 0,5% 10 mg, Morfin Sulfat 0,05 mg dan Magenesium Sulfat 40% 50 mg dengan Bupivakain 0,5% 10 mg dan Morfin Sulfat 0,1 mg pada Pascaedah Seksio Sesaria (dibimbing oleh A. Husni Tanra dan Muh. Ramli Ahmad)

Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas analgesia pascabedah 4 jam pertama pemberian kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg, morfin sulfat 0,05 mg da MgSO4 40% 50 mg intratekal yang dibandingkan dengan kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg, morfin sulfat 0,1 mg intratekal pada seksio sasaria. Penelitian ini dilakukan terhadap 60 pasien ASA PS II yang akan menjalani seksio sesaria dangan anestesi spinal yang dibagi ke dalam dua kelompok. Kelompok Magnesium (n=30) diberikan kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg, morfin sulfat 0,05 mg dan MgSO4 40 % 50 mg intratekal dan kelompok morfin (n=30) dengan kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg dan morfin sulfat 0,1 mg intratekal. Dilakukan penilaian terhadap kebutuhan

analgetik tambahan(fentanyl 0,5 g/kgBB), waktu pertama mendapat analgetik tambahan dan efek samping pruritus, mual muntah dan depresi napas yang muncul pada kedua kelompok selama 24 jam pascabedah. Data dianalisis dengan menggunakan uji mann whitney-U (p<0,05). Hasil peneltian menunjukkan terdapat perbedaan bermakna pada kebutuhan analgetik dan waktu pemberian pertama analgetik tambahan (p<0,05). Efek samping yang muncul adalah pruritus dan mual muntah pada kelimpok morfin dan berbeda bermakna terhadap kelompok magnesium (p<0,05). Anestesi spinal kombinasi bupivakain ),5% 10 mg, morfin sulfat 0,05 mg dan MgSO4 40 % 50 mg, memiliki konsumsi analgetik tambahan lebih besar dan pemberian analagetik tambahan lebih cepat dibandingkan dengan anestesi spinal kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg dan morfin sulfat 0,1 mg pada pascabedah SC. Kata kunci : anestesi spinal, morfin sulfat, magnesium sulfat, efek

samping, pascabedah

Page 9: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

ix

ABSTRACT

MUH. ERMIL ZULKARNAIN SUYUTHI. Comparison between Spinal Anaesthesia of Combination of 0,5% 10 mg Bupivacain, ),05 mg Morphine Suphate and 40% 50 mg Magnesium Sulphate, and 0,5% 10 mg Bupivacaine and o,1 mg Morphine Sulphate on Post-Surgery Caesarian Section (supervised by A. Husni Tanra and Muh. Ramli Ahmad)

The objective of the research was to assess the effectiveness of the post-surgery analgesia in 24 hours after the administration of the combination of 0,5% 10 mg bupivacaine, 0,05 mg morphine sulphate, and intrathecal 40% 50 mg MgSO4 compared with the combination of 0,5% 10 mg bupivacaine intratechal 0,1 mg morphine sulphate on the Caesarian Section (CS).

The research was carrued out on 60 patients with ASA PS II who would performed the caesarean section by the spinal anaesthesia, they were divided into two groups. The magnesium group (n=30) was given the combination of 0,5% 10 mg bupivacaine, 0,05 mg morphine sulphate and intratechla 40% 50 mg MgSO4, and the morphine group (n=30) was given the combination of 0,5% 10 mg bupivacaine and intrathecal 0,1 mg morphine sulphate. The assessment was conducted on the additional analgetic need (fentanyl 0,05 mcg/kg BW). The first time they got the additional analgesia and the side effects of pruritus, nausea-vomiting and respiratory depression which appeared on both groups for 24 hours post- surgery. The data were analysed by using Mann Whitney-U test (p<0,05).

The research result indicates that there is the significant difference on the analgetic need and the first time administration of the additional analgesia (p<0,05). The appearing side effects are pruritus, and nausea-vomiting on the morphine group and it is significantly different from the magnesium group (p<0,05). The spinal Anaesthesia of the combination of 0,5% 10 mg bupivacaine, 0,05 mg morphine sulphate, 40% 50 mg MgSO4 has bigger additional analgetic consumption and the additional anelgetic administration than the spinal anaesthesia of the combination of 0,5% 10 mg bupivacaine and 0,1 mg morphine sulphate in 24 hours of CS post surgery. Key-words : Spunal anaesthesia, morphine sulphate, magnesium sulphate, side effect, post-surgery.

Page 10: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

x

DAFTAR ISI

PRAKATA iv

ABSTRAK viii

ABSTRACT ix

DAFTAR ISI x

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

DAFTAR SINGKATAN xii

I. PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 4

C. Hipotesis 4

D. Tujuan Penelitian 5

E. Manfaat Penelitian 6

II. Tinjauan Pustaka 7

A. Seksio Sesaria 7

B. Pemilihan Teknik Anestesi 8

C. Anestesi Spinal 8

D. Nyeri Pascabedah 9

E. Pengelolaan Nyeri Pascabedah 14

F. Anestetik Lokal Bupivakain 15

Page 11: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

xi

G. Morfin Sulfat 18

H. Magnesium Sulfat 27

I. Kerangka Teori 33

III. Kerangka Konsep 34

IV. Metode Penelitian 35

A. Desain Penelitian 35

B. Tempat dan Waktu Penelitian 35

C. Populasi dan Sampel Penelitian 35

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 36

E. Perkiraan Besar Sampel 36

F. Ijin Penelitian dan Kelayakan Etik 37

G. Metode Kerja 37

H. Alur Penelitian 40

I. Identifikasi Variabel dan Klasifikasi Variabel 41

J. Definisi Operasional 42

K. Kriteria Objektif 44

L. Pengolahan dan Analisa Data 47

V. Hasil Penelitian 48

A. Karakteristik Sampel 48

B. Konsumsi Analgetik 24 jam Pascabedah 49

C. Waktu Pemberian Analgetik Pertama 51

D. Efek Samping 51

VI. Pembahasan 53

Page 12: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

xii

VII. Kesimpulan dan Saran 62

Daftar Pustaka 63

Page 13: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

xiii

DAFTAR TABEL

nomor Halaman

1. Kategori Seksio Sesaria 7

2. Struktur, sifat fisikokimia, dan profil klinis 16

3. Subtipe reseptor opioid 21

4. Farmakokinetik, dosis intratekal morfin 24

5. Kadar serum magnesium 31

6. Karakteristik sampel 49

7. Kebutuhan konsumsi analgetik 24 jam pascabedah 49

8. Proporsi pasien yang mendapat rescue 49

9. Waktu pertama kali pemberian analgetik tambahan 51

10. Efek Samping 52

Page 14: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

xiv

DAFTAR GAMBAR

nomor Halaman

11. Jalur penghantaran nyeri dan intervensi yang dapat

memodulasi aktivitas pada setiap titik 14

2. Lokasi dari reseptor opioid pada tiga level pain pathway 20

3. Tempat dan merkanisme kerja dari magnesium 29

4. Grafik 1 proporsi pasien yang mendapatkan analgetik tambahan 50

5. Grafik 2 Efek samping 52

Page 15: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

xv

DAFTAR LAMPIRAN

nomor halaman

1. Rekomendasi persetujuan etik 68

2. Tabel Isaac dan Michael 69

3. Contoh Persetujuan persetujuan setelah penjelasan 70

4. Contoh Lembar penelitian 71

Page 16: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

xvi

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

Lambang/singkatan Arti dan keterangan

ATP

AINS

AMPA

ASA PS

BB

Ca+

COX-2

CSE

CSF

DNA

Da

DOP

µg, mg, kg

G

GCPR

Glu

H+

5 HT

K+

KOP

IM

Adenosin Tri Phosfat Anti Inflamasi Non Steroid α-amino-3-hydroxyl-5-methyl-4-isoxazole-propionate American Society Anestesiologist Phisical Status Berat Badan Calcium Cyclooxygenase- 2 Combined Spinal Epidural Cerebrospinal Fluid Deoxyribonucleic acid

Dalton Delta Opioid Receptor Microgram, milligram, kilogram Gauge Guanine (G) Protein-Coupled Receptor Glutamate Hidrogen 5-hydroxytriptamine Kalium Kappa Opioid Receptor

Intra Muskular

Page 17: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

xvii

IV

IASP

LLD

MOP

Mg

MgSO4

NA

Na+

NK

NMDA

NOP

NSAIDs

NS

NRS

ORL1

PONV

PACU

PCA

PDPH

PG

PGE2

PGE2EP1

RSIA

Intra Vena International Association for the Study of Pain Left Lateral decubitus Mu Opioid Receptor Magnesium Magnesium Sulfat Nucleus Aquaductus Natrium Neurokinin N-methyl-D-Aspartic Acid Nociceptin Opioid Receptor NonSteroidAnti InflamasiDrugs Normal Salin/ Neuron specific Numeric Rating Scale Orphan Opioid Like Reseptor Post Operatif Nausea and Vomiting Post anesthesia Care Unit Patient Control analgesia Post-dural Puncture Headache Prostaglandin Prostaglandin E2 Prostaglandin E2 subtype EP1 Rumah Sakit Ibu dan Anak

Page 18: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

xviii

SC.

SS.

WDR

Sub Cutaneus Seksio Sesaria Wide Dinamic Range

Page 19: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sekitar 15-30% kelahiran pertahun di negara berkembang dan

negara maju melalui seksio caesaria (S.C). Peningkatan ini dipengaruhi

oleh perubahan pada praktik obstetris dan permintaan dari ibu hamil untuk

menjalani persalinan melalui S.C. Peningkatan ini menyebabkan tekhnik

anestesi regional pada S.C. semakin popular dengan data yang ada terlihat

bahwa mortalitas maternal lebih banyak dihubungkan dengan anestesi

umum. Analgesia pascabedah setelah S.C saat ini dapat diberikan melalui

jalur intratekal atau epidural dengan sangat baik. Anestesi spinal menjadi

pilihan yang lebih baik dibandingkan blok epidural karena waktu yang lebih

cepat dalam persiapan, onsetnya dan memberikan blok yang konsisten

dan lebih dipercaya (Salmah & Choy, 2009; Hein et al., 2012; ANZCA &

FPM, 2010; Carvalho & Butwick, 2009).

Optimalisasi penatalaksanaan nyeri pascabedah membantu proses

pemulihan dan merupakan suatu bagian penting dalam penanganan

perioperatif. Walaupun data yang ada menunjukkan bahwa penanganan

nyeri pascabedah khususnya S.C masih dibawah standar, dengan 30-80%

pasien masih menderita nyeri sedang sampai dengan berat pada

1

Page 20: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

2

pascabedah. Balanced analgesia, kombinasi anestetik lokal dan non-opioid

analgesik yang diberikan untuk mengurangi kebutuhan opioid sistemik dan

efek samping yang berhubungan dengan opioid, juga semakin popular.

Anestesi spinal dengan menambahkan morfin telah lama digunakan

sebagai ajuvan dengan dosis antara 0,04-0,4 mg demikian pula dengan

penambahan magnesium sulfat (MgSO4) sebagai ajuvan dalam anestesi

spinal (Minty et al., 2007; Buvanedran et al., 2002; Malleeswaran et al.,

2010; Lim & P. E, 2006; Hein et al., 2012; Slappendel et al., 1999; Lee et

al., 2007; Smith et al., 2008; Carvalho & Butwick, 2009).

Yamaguchi et al.,(1990) pada penelitian morfin intratekal dengan

dosis antara 0,04-0,20 mg, menyimpulkan bahwa dosis minimal yang

efektif dalam menghilangkan nyeri operasi kolesistektomi dalam 24 jam

pertama sebesar 0,06 mg dan pada penelitian ini tidak didapatkan efek

samping yang ditakutkan seperti depresi napas yang berkaitan dengan

dosis. Penelitian oleh Slappendel et al.,(1999) dengan morfin intratekal dari

dosis 0,25-0,2 mg menyimpulkan bahwa dosis 0,1 mg dapat digunakan

dengan aman pada operasi total hip dan memberi efek analgesia

pascabedah yang memuaskan. Rathmell et al., (2003) meneliti

penambahan morfin intratekal pada operasi arthroplasti panggul dan lutut

dengan dosis antara 0,1-0,3 mg, dan menyimpulkan bahwa dosis 0,2 mg

morfin intratekal sebagai dosis optimal pada kontrol nyeri setelah total hip

arthroplasti, dengan efek samping yang minimal dan efek analgesik yang

maksimal. Buvanendran et al., (2002) pada penelitian dengan 52 pasien

Page 21: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

3

ibu hamil yang menjalani persalinan dengan labor analgesia dengan

tekhnik Combined Spinal Epidural (CSE) yang membandingkan efek

pemberian 50 mg MgSO4 dan 25 µg fentanyl intratekal dengan 25 µg

fentanyl menyimpulkan bahwa penambahan MgSO4 intratekal

memperpanjang efek analgesia dari opioid.

Penelitian Malleeswaran et al., (Malleeswaran et al., 2010) dengan

60 pasien preeclampsia ringan yang akan menjalani S.C dengan anestesi

spinal menggunakan 2 ml bupivakain 0,5% hiperbarik dan 25 µg fentanyl

dengan 2 ml bupivakain 0,5% hiperbarik, 25 µg fentanyl dan 50 mg MgSO4

intratekal, memperlihatkan pemanjangan durasi analgesia dan mengurangi

kebutuhan analgetik pascabedah pada grup magnesium.

Dari penelitian sebelumnya pada penambahan morfin sulfat 0,1 mg

intratekal sebagai dosis efektif yang memberi efek analgesia pascabedah

pada 24 jam pertama. Belum pernah dilakukan analgesia spinal dengan

mencampurkan morfin sulfat 0,05 mg dengan MgSO4 40% 50 mg sebagai

ajuvan pada operasi S.C.

Page 22: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

4

B. Rumusan Masalah

1. Apakah anestesi spinal dengan kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg,

morfin sulfat 0,05 mg dan MgSO4 40% 50 mg memiliki konsumsi

analgetik tambahan lebih sedikit dibandingkan dengan kombinasi

bupivakain 0,5% 10 mg dan morfin sulfat 0,1 mg pada 24 jam

pascabedah S.C ?

2. Apakah waktu pemberian analgetik tambahan pertama pada anestesi

spinal dengan kombinasi bupivakian 0,5% 10 mg, morfin sulfat 0,05 mg

dan MgSO4 40% 50 mg lebih lama dibandingkan anestesi spinal

dengan kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg dan morfin sulfat 0,1 mg?

C. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Anestesi spinal dengan kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg, morfin sulfat

0,05 mg dan MgSO4 40% 50 mg memiliki konsumsi analgetik tambahan

lebih sedikit dibandingkan dengan anestesi spinal kombinasi bupivakain

0,5% 10 mg dan morfin sulfat 0,1 mg pada 24 jam pascabedah S.C.

2. Waktu pemberian analgetik tambahan pertama pada anestesi spinal

dengan kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg, morfin sulfat 0,05 mg dan

MgSO4 40% 50 mg lebih lama dibandingkan anestesi spinal dengan

kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg dan morfin sulfat 0,1 mg.

Page 23: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

5

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Menilai efektivitas analgesia pascabedah pada 24 jam pertama

pemberian kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg, morfin sulfat 0,05 mg dan

MgSO4 40% 50 mg intratekal yang dibandingkan dengan kombinasi

bupivakain 0,5% 10 mg, morfin sulfat 0,1 mg intratekal pada S.C.

2. Tujuan khusus

1. Membandingkan kebutuhan konsumsi analgesik tambahan

kelompok kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg, morfin sulfat 0,05 mg

dan MgSO4 40% 50 mg (kelompok MMg) dengan kelompok

kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg dengan morfin sulfat 0,1 mg

(kelompok M) pascabedah S.C.

2. Membandingkan waktu pertama mendapat analgetik tambahan

antara kelompok MMg dengan kelompok M.

3. Membandingkan kejadian efek samping berupa pruritus, mual-

muntah, hipotensi, bradikardi dan bradipneu pada kedua kelompok

sesaat setelah anestesi spinal sampai dengan 24 jam pascabedah

S.C.

Page 24: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

6

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat untuk pengembangan ilmu

a. Menambah pemahaman mengenai kombinasi obat anestesi lokal

dengan opioid dan reseptor N-methyl-D-Aspartic Acid (NMDA)

antagonis pada pemberian intratekal.

b. Menambah pemahaman mengenai balanced analgesia, kombinasi

anestetik lokal dan analgetik non-opioid pada analgesia spinal

untuk mengurangi kebutuhan opioid sistemik dan hubungannya

dengan efek samping opioid.

c. Dapat dijadikan referensi untuk penelitian lanjutan.

2. Manfaat untuk pengembangan/pemecahan masalah medis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi modalitas dalam

penatalaksanaan anestesi dan analgesia pascabedah dengan efek

samping yang minimal, sehingga dapat menekan morbiditas dan

mortalitas pascabedah.

Page 25: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Seksio Caesaria

Persalinan melalui bedah caesaria merupakan prosedur operasi

yang semakin sering di gunakan pada negara berkembang saat ini. Sekitar

15-30% kelahiran pertahun di negara berkembang dan negara maju

melalui S.C. Trend yang meningkat ini dipengaruhi oleh beberapa faktor

seperti faktor maternal, fetus, medikolegal dan faktor sosial. Indikasi

tersering pada persalinan melalui S.C adalah distosia, malposisi fetus,

status fetus yang tidak jelas (Tabel 1) (Paech, 2011; Tsen, 2009).

Tabel 1. Kategori S.C

Kategori 1 : S.C non-elektif disebabkan kebutuhan pertolongan segera terhadap

kehidupan ibu atau janin. Termasuk seksio caesaria pada fetus dengan bradikardia akut ,

prolapse plasenta, rupture uterus, pH fetus < 7,2.

Kategori 2 : S.C non-elektif dimana persalinan atas indikasi disebabkan toleransi

maternal dan fetus yang bukan merupakan suatu life threatening. Pada keadaan urgensi

untuk melahirkan bayi sebagai pencegahan keadaan yang dapat membahayakan ibu dan

bayi. Misalnya perdarahan antepartum dan kegagalan kemajuan persalinan dengan

kondisi ibu dan janin yang terganggu.

Kategori 3 : S.C non-elektif dimana persalinan segera dibutuhkan tetapi tidak terdapat

toleransi maternal dan fetus. Misalnya suatu keadaan dimana S.C di jadwalkan tetapi ibu

meminta jadwal di majukan atau dengan rupture membrane.

Kategori 4 : S.C elektif yang dijadwalkan dan dipersiapkan oleh ibu dan tim medis.

Dikutip dari: Paech MJ. Anesthesia for cesarean delivery. In: Palmer CM, D'Angelo R, Paech MJ, editors. Obstetric anesthesia. New York: Oxford University Press; 2011. p. 79-155.

7

Page 26: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

8

B. Pemilihan Teknik Anestesi

Tujuan terpenting dari pemilihan teknik anestesi pada pembedahan

adalah urgensi dan antisipasi durasi dari proses pembedahan itu sendiri.

Secara keseluruhan anestesi regional (epidural, spinal, Combined Spinal

Epidural (CSE)) sebagai metode yang lebih disukai dalam pemberian

anestesi pada S.C, dan keuntungan yang lebih spesifik serta resiko dari

masing-masing teknik yang menentukan pilihan.(Tsen, 2009; Wee et al.,

2005)

C. Anestesi Spinal

Anestesi spinal lebih popular karena relatif lebih sederhana, onset

lebih cepat, reliabilitas dan densitas dari blok. Anestesi spinal biasanya

diberikan secara injeksi tunggal, pada daerah interspace vertebra L2-L3

atau L3-L4 dengan suatu jarum atraumatic non cutting, pencil point

(misalnya Whitacre atau Sprotte) ukuran 25-27 G untuk mengurangi

kejadian post-dural puncture headache (PDPH) (Scott & Flood, 2006;

Paech, 2011; Tsen, 2009).

Pemilihan anestesi lokal tergantung pada lama operasi dan rencana

untuk analgesia pascabedah. Dosis bupivakain yang digunakan pada

anestesi spinal selama persalinan dikurangi 25% dibandingkan dosis yang

dibutuhkan oleh wanita yang tidak hamil; volume CSF yang kecil,

pergerakan kearah cephalad pada penggunaan anestesi lokal hiperbarik

pada posisi supine bagi wanita hamil, sensitivitas yang meningkat pada

Page 27: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

9

serabut saraf selama kehamilan. Dosis bupivakain spinal pada

penggunaan S.C berkisar antara 4,5-15 mg. penggunaan dosis yang

dikurangi >10 mg tanpa penambahan opioid insidens nyeri intra operasi

70% (Tsen, 2009; Scott & Flood, 2006).

Dengan anestesi spinal ketinggian blok sensoris yang adekuat

dibutuhkan untuk mengurangi nyeri pada ibu dan menghindari pemberian

anestesi umum. Serabut saraf aferen dari innervasi abdomen dan organ

pelvis naik mengiringi serabut simpatis dan turun dalam batang simpatis

(T5-L1), suatu blok sensoris dari dermatome sacral sampai T4 merupakan

target blok anestesi pada persalinan S.C. Mayoritas anestesiologis

menggunakan identifikasi hilangnya sensasi suhu dingin pada level T4

untuk indikasi suatu blok yang adekuat pada S.C. Karena daerah bawah

diafragma (C3-C5) dan nervus vagus dapat terstimulasi oleh manipulasi

selama operasi seksio, perasaan tidak nyaman dan keluhan lainnya

(misalnya mual dan muntah) dapat dirasakan oleh ibu walaupun level blok

setinggi T4. Pemberian opioid secara neuraksial atau sistemik dapat

membantu mencegah atau meringankan gejala ini (Scott & Flood, 2006;

Tsen, 2009).

D. Nyeri Pascabedah

Nyeri merupakan pengalaman subjektif yang melibatkan faktor-

faktor sensoris, emosional, dan tingkah laku yang berhubungan dengan

cedera jaringan yang nyata atau yang berpotensi untuk itu. Respon individu

Page 28: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

10

terhadap nyeri sangat bervariasi, dan dipengaruhi oleh faktor genetik, latar

belakang budaya, usia dan jenis kelamin (Vadivelu et al., 2009)

Trauma jaringan pascabedah dan nyeri yang ditimbulkannya

menyebabkan respon endokrin yang kemudian berlanjut dengan

peningkatan sekresi kortisol, katekolamin dan hormon stress lainnya.

Takikardi, hipertensi, penurunan aliran darah regional, penurunan respon

imunitas, hiperglikemi, lipolisis dan negative nitrogen balance dapat terjadi

sebagai akibat respon ini dan juga akan disertai dengan perubahan

metabolik (Ashburn & Ready, 2001).

Pembedahan merupakan suatu peristiwa yang bersifat bifasik

terhadap tubuh yang berimplikasi pada pengelolaan nyeri. Pertama,

selama pembedahan berlangsung, terjadi kerusakan jaringan tubuh yang

menghasilkan suatu stimulus noksius. Kedua, pascabedah, terjadi respon

inflamasi pada jaringan tersebut yang bertanggung jawab terhadap

munculnya stimulus noksius. Segera setelah terjadi kerusakan jaringan,

ujung saraf sensorik seketika terpapar oleh sejumlah produk kerusakan sel

dan mediator inflamasi yang memicu aktivitas nosiseptif. Inflammatory

soup ini mencakup prostaglandin (PG), proton, serotonin, histamin,

bradikinin, purin, sitokin, eicosanoids, dan neuropeptida yang bekerja pada

reseptor spesifik pada saraf sensorik dan juga memiliki interaksi yang

penting. Kedua proses yang terjadi ini, selama dan pascabedah akan

mengakibatkan sensitisasi susunan saraf sensorik. Pada tingkat perifer,

terjadi penurunan nilai ambang reseptor nyeri (nosiseptor), sedangkan

Page 29: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

11

pada tingkat sentral terjadi peningkatan eksitabilitas neuron spinal yang

terlihat dalam transmisi nyeri. Akibat perubahan sensitisasi ini maka dalam

klinik, nyeri pascabedah ditandai dengan gejala hiperalgesia artinya suatu

stimulus noksius lemah yang normal menyebabkan nyeri kini dirasakan

sangat nyeri, allodinia artinya suatu stimulus lemah yang normal tidak

menyebabkan nyeri kini terasa nyeri dan prolonged pain artinya nyeri

menetap walaupun stimulus sudah dihentikan (Miguel et al., 1995).

Sensitisasi yang terjadi pascabedah selain akan membuat

penderitaan juga merupakan sumber stress pascabedah yang berimplikasi

terhadap teraktifasinya saraf otonom simpatis dengan segala akibat yang

pada gilirannya akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Oleh karena

itu pengelolaan nyeri pascabedah seyogyanya ditujukan ke arah

pencegahan atau meminimalkan terjadinya kedua proses sensitisasi

tersebut (Cousins, 2010).

1. Mekanisme nyeri akut (pascabedah)

Ciri khas nyeri akut adalah nyeri yang terjadi akibat adanya

kerusakan jaringan yang nyata (actual tissue damage). Prototipe nyeri akut

adalah nyeri pascabedah. Antara kerusakan jaringan (sumber rangsang

nyeri) sampai dirasakan sebagai persepsi, terdapat suatu rangkaian proses

elektrofisiologis yang disebut “nosiseptif”. Terdapat 4 proses yang terjadi

pada nosiseptif yang terdiri dari transduksi, transmisi, modulasi dan

persepsi (Vadivelu et al., 2009).

Page 30: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

12

2. Plastisitas susunan saraf

Dalam keadaan normal maka rangsang kuat akan dirasakan

sebagai nyeri, sebaliknya rangsang lemah dirasakan sebagai bukan nyeri.

Rangsang kuat akan dihantarkan oleh serabut kecil yaitu A-δ yang

bermielin atau serabut C yang tidak bermielin. Sedangkan rangsang

lemah dihantarkan oleh serabut besar yaitu serabut A-β yang bermielin.

Akan tetapi bila ada kerusakan jaringan atau proses inflamasi, rangsang

lemah pada daerah perlukaan, yang dalam keadaan normal tidak

menimbulkan nyeri sekarang menjadi nyeri, keadaan ini disebut allodinia

(hiperalgesia primer). Selain itu rangsang kuat pada daerah sekitar luka

yang tampak normal, dirasakan sebagai nyeri yang lebih hebat dan

berlangsung lebih lama walaupun rangsangan sudah dihentikan, keadaan

ini disebut sebagai hiperalgesia sekunder. Hal ini menunjukkan bahwa

dalam keadaan terdapat kerusakan jaringan maka terjadi pula perubahan

sifat saraf. Kemampuan saraf untuk berubah sifat, disebut sebagai

plastisitas susunan saraf. Plastisitas ini dapat terjadi karena tiap terjadi

kerusakan jaringan atau proses inflamasi akan diikuti pula dengan sensitasi

baik di perifer maupun di sentral (Cousins, 2010).

3. Sensitisasi perifer

Kerusakan jaringan akan menyebabkan dilepaskannya sejumlah

substansi nyeri berupa ion K+, H+, serotinin, bradikinin, histamin, PG dan

lain-lain. Substansi nyeri ini akan merangsang nosiseptor di ujung serabut

Page 31: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

13

A-δ dan serabut C untuk melepaskan substansi P. Peningkatan jumlah

maupun peningkatan sensitivitas nosiseptor ini menyebabkan proses

transduksi makin meningkat pula. Meningkatnya proses transduksi

menyebabkan terjadinya hiperalgesia primer pada daerah kerusakan

jaringan. Selain itu terlepasnya substansi nyeri juga akan mensensitasi

nosiseptor disekitarnya, yang akan menyebabkan terjadinya hiperalgesia

sekunder. Kerusakan jaringan khususnya jaringan lemak akan

menyebabkan terlepasnya asam arakhidonat, yang dengan bantuan enzim

cyclooxygenase, akan diubah menjadi PG, yang merupakan salah satu

substansi nyeri. Obat-obat analgesia anti inflamasi nonsteroid pada

umumnya merupakan antagonis enzim cyclooxygenase. Dengan cara

menghambat pembentukan prostaglandin inilah, suatu obat analgesia anti

inflamasi nonsteroid (AINS) menekan proses sensitasi perifer, menekan

proses transduksi yang akhirnya dapat mengurangi rasa nyeri (Tanra,

2002; Tanra, 2000).

4. Sensitisasi sentral

Suatu impuls nyeri dari perifer ke kornu posterior menyebabkan

sensitisasi sentral. Impuls nyeri yang berkepanjangan di kornu posterior

akan menyebabkan depolarisasi yang berkepanjangan (hiperdepolarisasi),

dan inilah yang menyebabkan hipersensitifitas kornu posterior yang

kemudian disebut sebagai sensitisasi sentral. Bila terjadi sensitisasi

sentral maka suatu rangsang lemah yang dihantarkan oleh serabut saraf A-

Page 32: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

14

β dapat menimbulkan nyeri, yang disebut sebagai allodinia. Hiperpolarisasi

terjadi akibat aktifasi dari reseptor NMDA oleh transmitter glutamat. Bila

terjadi aktifasi dari reseptor NMDA ini maka ion Na+ dan Ca2+ akan influks

yang merupakan awal dari depolarisasi (Tanra, 2000; Tanra, 2002) .

Gambar 1. Jalur penghantaran nyeri dan intervensi yang dapat memodulasi

aktivitas pada setiap titik. (Di kutip dari : Gottschalk A, Smith DS. New

concepts in acute pain therapy: preemptive analgesia. Am Fam Physician.

2001;63:1979-87.)

E. Pengelolaan Nyeri Pascabedah

Tujuan utama dari pengelolaan nyeri pasca bedah adalah untuk

memberikan kenyamanan subjektif, mencegah transmisi aferen nyeri yang

Page 33: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

15

dipicu oleh trauma, dan menumpulkan refleks otonomik dan somatik

terhadap nyeri. Dengan menjalankan tujuan ini, maka pasien dapat dengan

mudah untuk bernafas, batuk, dan bergerak sehingga proses pemulihan

fungsi meningkat. Yang selanjutnya, efek-efek tersebut meningkatkan

luaran pascabedah secara keseluruhan. Atas dasar teori plastisitas

susunan saraf tersebut maka prinsip dasar penatalaksanaan nyeri

pascabedah (akut) harus ditujukan untuk mencegah terjadinya sensitisasi

perifer dan sentral. Konsep pengelolaan nyeri ini dilakukan dengan

pemberian analgetik yang telah mencapai dosis efektif sebelum terjadi

trauma pembedahan. Konsep ini dapat dilakukan dengan infiltrasi anestesi

lokal pada daerah insisi, blokade saraf sentral, pemberian dosis efektif

opioid, AINS, atau ketamin (Kleinman & Mikhail, 2008).

F. Anestetik Lokal Bupivakain

Bupivakain adalah agen anestesi lokal golongan amino amida poten

dengan masa kerja yang panjang. Obat ini memiliki indeks terapeutik yang

rendah, dimana pada dosis rendah sebesar 50 mg dapat menyebabkan

fibrilasi ventrikel jika dibarikan secara intravena pada pasien yang rentan

(Stoelting & Hillier, 2006a). Secara umum anestetik lokal bekerja dengan

mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi) dengan menghambat

masuknya ion Na+ yang melalui kanal ion-selektif Na+ pada membrane

saraf. Kanal Na+ itu sendiri merupakan reseptor spesifik bagi molekul

anestetik lokal. Sumbatan pada kanal Na+ oleh molekul anestetik lokal

mengakibatkan hambatan minimal maupun menyeluruh terhadap

Page 34: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

16

permeabilitas Na+. Perubahan influx Na+ yang mengakibatkan kegagalan

peningkatan permeabilitas kanal ion Na+ sehingga menurunkan kecepatan

depolarisasi yang oleh karena itu ambang potensial tidak tercapai sehingga

aksi potensial tidak disebarkan, periode refraktori memanjang, dan terjadi

perlambatan kecepatan konduksi (Stoelting & Hillier, 2006a).

Tabel 2.Struktur, sifat fisikokimia, dan profil klinis bupivakain

Struktur kimia

Konsentrasi ekuivalen (%) 0,25

Durasi relative (jam) 2-4

Toksisitas Medium

pKa 8,1

Koefisien Partisi 560

Ikatan Protein (%) 95

Berat molekul (Da) 288 (basa) 325 (garam)

Dikutip dari : Miller RD. Bupivacaine. Miller's anaesthesia. 6th

ed. New York: Elsevier, Churchill

Livingstone; 2006. p. 573-98.

Mekanisme bagaimana anestetik lokal menghambat konduksi Na+

adalah (Miller, 2006) :

1. Anestetik lokal dalam bentuk kation bekerja pada reseptor di

dalam kanal Na+, pada membrane sel dan kemudian

menghambatnya. Anestetik lokal dapat mencapai kanal Na+

melalui jalur lipofilik yang secara langsung menembus membran

lipid atau melalui pembukaan aksoplasmik. Efek blokade saraf

dari 90% anestetik lokal amida adalah dengan mekanisme ini.

Page 35: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

17

2. Mekanisme yang kedua adalah dengan ekspansi membran. Ini

merupakan interaksi obat dan reseptor yang nonspesifik.

Anestetik lokal umumnya digunakan untuk menghasilkan anestesi

topikal, infiltrasi dan regional. Efek antiinflamasi dari anestetik lokal dapat

merupakan efek yang bermanfaat pada periode perioperatif, dimana hal ini

lebih berkaitan dengan anestesi spinal atau epidural. Anestetik lokal dapat

mengatur respon inflamasi dan dapat bermanfaat dalam meredakan

cedera inflamasi perioperatif (Stoelting & Hillier, 2006a).

Obat anestesi lokal bupivakain menghambat dihasilkannya impuls

dan konduksi impuls saraf, diduga dengan meningkatkan ambang untuk

eksitasi elektrik pada saraf, dengan memperlambat perambatan impuls

saraf, dan dengan mengurangi laju bangkitan aksi potensial. Secara

umum, terjadinya anestesia berhubungan dengan diameter, mielinisasi dan

kecepatan konduksi dari serabut saraf. Secara klinis, urutan hilangnya

fungsi saraf adalah sebagai berikut : (1) nyeri, (2) suhu, (3) raba, (4)

propriosepsi, dan (5) tonus otot rangka. Efek analgetik bupivakain diduga

akibat ikatannya dengan reseptor prostaglandin E2, subtype EP1

(PGE2EP1), yang menghambat produksi prostaglandin, sehingga

mengurangi demam, inflamasi, dan hiperalgesia.(Beloeil et al., 2009)

G. Morfin Sulfat

Pemberian opioid neuraksial adalah unik dimana opioid memberi

analgesia tanpa kehilangan sensasi atau propriosepsi. Opioid sering diberi

Page 36: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

18

bersama obat anestesi lokal selama intrapartum melalui analgesia dan

anestesia neuroaksial. Istilah opioid berhubungan dengan suatu bagian

senyawa yang berasal dari opium. Senyawa ini diklasifikasikan sebagai

berikut : (1) natural (misalnya: morfin), (2) semisintetis (misalnya:

dihydromorphone), (3) sintetis (misalnya: fentanyl). Hanya ada tiga opioid

natural yang bermakna secara klinis yaitu morfin, codein dan papaverine.

Substansi ini berasal dari tanaman poppy dikenal sebagai Papaver

somniferum (Santos & Bucklin, 2009).

1. Mekanisme kerja

Persepsi nyeri adalah suatu kompleks transmisi nosisepsi yang

berasal dari stimulasi saraf sensoris diperifer, menghasilkan aksi potensial

di medulla spinalis dan transmisi sinaps ke daerah supraspinal lainnya.

Pemberian opioid intra spinal mengeksploitasi farmakologi modulasi nyeri

dan sistem yang menghilangkan nyeri di medulla spinalis. Suatu penelitian

oleh Yaksh tahun 1981 memperlihatkan bahwa morfin dapat menekan

secara selektif dari proses nosisepsi tanpa mempengaruhi fungsi motorik,

tonus simpatis, atau propriosepsi saat pemberian sampai ke permukaan

dari kornu dorsalis medulla spinalis. Bagaimanapun, ketika opioid jumlah

kecil diberikan dan sampai ke korteks, efek pada proses nosisepsi dapat

diabaikan. Dari penelitian ini terlihat bahwa dosis kecil opioid dapat secara

selektif diberikan ke tempat reseptor (misalnya: medulla spinalis) dan

menghasilkan analgesia. Sebagai perbandingan pemberian sistemik opioid

Page 37: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

19

dosis besar menghasilkan aktivasi multiple baik reseptor sentral dan perifer

untuk menghasilkan analgesia, tetapi dengan efek samping yang tidak

diinginkan (Santos & Bucklin, 2009).

Sistem opioid endogen mempunyai suatu peranan fungsional dalam

modulasi persepsi nyeri dan agonis, yang berikatan pada guanine (G)

protein-coupled receptor (GCPR) sebagai analgesia poten. Reseptor opioid

berada pada beberapa lokasi yang berbeda pada sistem saraf sentral

dimana ligand opioid mempengaruhi fungsi dari tubuh. Didalam otak

berada pada periaquaductal gray matter dari brainstem, amygdale, corpus

striatum dan hypothalamus. Dan pada medulla spinalis berada pada

substansia gelatinosa (Gambar 1 dan 2). Reseptor opioid terdiri dari: (1)

reseptor mu (µ) MOP,(2) kappa (Ƙ) KOP, dan delta (δ) DOP, serta (4)

nociceptin/orphanin reseptor (NOP) orphan opioid like receptor (ORL1)

(Tabel 3) (Santos & Bucklin, 2009; Stoelting & Hillier, 2006b; Freye & Levy,

2008; Schafer, 2011).

Page 38: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

20

Gambar 2. Lokasi dari reseptor opiod pada tiga level pain pathway. Suatu densitas tinggi reseptor opioid terdapat pada hypothalamus, periaquaductal gray, locus coeruleus, kornu dorsalis medulla spinalis, dorsal root ganglia dan peripheral nerve endings saraf sensoris. (Dikutip dari: Schafer M. Essential drugs in anesthetic practice : mechanisme of action of opioids. In: Evers AS, Maze M, Kharasch ED, editors. Anesthetic Pharmacology. Cambridge: Cambridge University Press; 2011. p. 493-508)

Semua opioid memberi analgesia dengan berikatan pada reseptor

opioid protein G. Aktivasi reseptor opioid setelah itu menghambat

adenylate cyclase dan mengurangi konduktan gerbang voltage dari kanal

Ca+, atau membuka aliran masuk dari kanal K+. Hambatan pada kanal Ca+

menghambat pengeluaran neurotransmiter eksitatori afferen, termasuk

glutamate, substansi P, dan tachykinin lainnya. Hasilnya adalah hambatan

Page 39: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

21

keatas terhadap stimuli nosisepsi dari kornu dorsalis medulla spinalis

(Schafer, 2011; Stoelting & Hillier, 2006b; Freye & Levy, 2008; Santos &

Bucklin, 2009).

Tabel 3. Subtipe reseptor opioid

Tipe

reseptor

Respon fisiologis Reseptor agonis Reseptor antagonis

Mu (µ) MOP Analgesia

Sedasi

Bradikardia

Miosis

Depresi napas

Penurunan transit

gastrointestinal

Hipotermia

Retensi urine

Morfin

Fentanyl

Sufentanyl

Meperidine

Naloxone

Naltrexone

Nalmefene

Kappa (Ƙ)

KOP

Analgesia

Sedasi

Depresi napas

Diuresis

Psychotomimesis

Buprenorfin

Pentazocine

Naloxone

Naltrexone

Nalmefene

Delta (δ)

DOP

Analgesia Prodynorfin

Endomorfin

enkephalins

Naloxone

Naltrexone

Nalmefene

Nociceptin

/Orphanin

FQ (NOP)

ORL1

Proses nyeri yang

terjadi di spinal dan

supraspinal

Dikutip dari: Santos AC, Bucklin BA. Local anesthesi and opioids. In: Chesnut DH, Polley LS, Tsen LC, Wong CA, editors. Chestnut's obstetric anesthesia : principles and practice. 4

th ed. Philadelphia:

Mosby Elsevier; 2009. p. 247-82.

Page 40: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

22

Sementara reseptor NOP/ORL1 berperan terhadap terjadinya

allodyna dan hiperalgesia, dan tampak terlibat pada respon PGE2 yang

menginduksi nyeri. Dan suatu peptide endogen nocistatin bersifat

antagonis terhadap respon nyeri oleh NOP/ORL1 (Freye & Levy, 2008).

2. Morfin neuraksial

Penggunaan opioid dalam ruang epidural atau subarachnoid untuk

penatalaksanaan nyeri akut dan kronik berdasarkan pengetahuan bahwa

reseptor opioid (khususnya MOP 90%) berada pada substansia gelatinosa

dan kanalis sentralis (MOP 65%, DOP 33%, KOP 2%) medulla spinalis.

(Freye & Levy, 2008; Stoelting & Hillier, 2006b; Santos & Bucklin, 2009)

Pemberian opioid epidural ataupun intratekal sebagai analgesia

tidak berhubungan dengan denervasi dari sistem saraf simpatis,

kelemahan otot rangka, atau kehilangan proprioseptif. Analgesia yang

terjadi adalah “dose related” (dosis epidural 5-10 kali lebih besar dari dosis

intratekal) dan khusus pada nyeri visceral dibandingkan nyeri somatic

(Stoelting & Hillier, 2006b).

Keuntungan pemberian opioid neuraksial jika dibandingkan dengan

pemberian intravena (IV) dan intramuscular (IM) adalah durasi kerja lebih

lama, dosis lebih kecil dan selektifitas lebih tinggi dalam blok nosisepsi

(Freye & Levy, 2008).

Page 41: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

23

3. Indikasi, farmakokinetik, dan dosis morfin

Indikasi utama pada pengunaan opioid neuraksial adalah pada

penatalaksanaan nyeri pascabedah ortopedi, intraabdomen, bedah thoraks

dan perianal (Freye & Levy, 2008). Morfin sebagai prototype dari agonis

opioid, memberi efek analgesia, euphoria, sedasi dan penurunan

konsentrasi, dengan sensasi lain berupa mual, rasa hangat pada tubuh,

ekstremitas terasa berat, mulut terasa kering, dan gatal terutama di area

kulit sekitar hidung. Pada keadaan nyeri, bahkan dengan dosis kecil morfin

dapat meningkatkan ambang nyeri dan merubah persepsi dari stimulasi

noxious sehingga tidak terasa nyeri. Morfin lebih efektif menghilangkan

nyeri tumpul kontinyu dibanding nyeri tajam yang intermitten. Efektif dalam

menekan nyeri yang berasal dari viscera serupa pada nyeri otot rangka,

sendi dan struktur integumental. Analgesia lebih kuat jika diberikan

sebelum stimulus nyeri terjadi (Stoelting & Hillier, 2006b).

Kecepatan dan tingkatan pergerakan ke cephalad/rostral pada

pemberian intratekal dari opioid tergantung dari solubilitasnya terhadap

lemak, fentanyl yang lipofilik lebih cepat penetrasi kedalam medulla spinalis

jika dibandingkan dengan morfin yang hidrofilik, tetapi bioavailabilitas

morfin yang lebih tinggi terhadap CSF memperlihatkan blok yang lebih

tinggi. Berkaitan dengan kecepatan clearance, pKa, ikatan protein dan

waktu eliminasi dari morfin memperlihatkan lama kerja morfin di medulla

spinalis (Tabel 4) (Freye & Levy, 2008; Santos & Bucklin, 2009; Stoelting &

Hillier, 2006b; Gupta et al., 2011; Carvalho & Butwick, 2009).

Page 42: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

24

Tabel 4. Farmakokinetik, dosis intratekal morfin

Molecular weight (Da) 285 Mu-receptor affinity moderate

Lipid Solubility 1,4 Rapid distribution half-time (min)

t1/2α

1,2 - 25

pKa 7,9 Slow distribution half-time (min) 9 - 13,3

Protein Binding (%) 35 Eliminasi half-time (hrs)t1/2β 7,7 - 22

% non ionized (pH 7,4) 23 IV/IT ratio 2-300: 1

Clearance (ml/min) 1,050 Dose range (mg) 0,075- 0,5

Volume of distribution (liters) 224 Onset (min) 30 - 60

Partition Coefficient 1 Duration (hrs) 12 - 28

Dikutip dari: Stoelting RK, Hillier SC. Opioid agonists and antagonist. In: Stoelting RK, Hillier SC,

editors. Pharmacology and physiology in anesthetic practice. 4th

ed. New York: Lippincott William & Wilkins; 2006. p. 87-107.; Freye E, Levy JV. Opioids in medicine : a comprehensive review on the mode of action and the use of analgesics in different clinical pain states. Netherlands: Springer; 2008.; Carvalho B, Butwick A. Postoperative analgesia: epidural and spinal techniques. In: Chestnut DH, Polley LS, Tsen LC, Wong CA, editors. Chestnut's Obstetric anesthesia principles and practice. 4

th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2009. p. 593-620.; dan Hepner D, Eappen S. Postoperative

analgesia: systemic and local techniques. Chestnut's obstetric anesthesia principles and practice. 4

th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2009. p. 575-92.

4. Efek samping

Pemberian opioid baik secara sistemik maupun neuraksial berkaitan

dengan efek yang menguntungkan, beserta potensi komplikasi dan efek

sampingnya. Tingginya insidensi efek samping, termasuk somnolence,

mual dan muntah, pruritus dan depresi napas, pada pemberian relatif

besar dosis morfin intratekal (Slappendel et al., 1999; Hein et al., 2012).

a. Depresi napas.

Walaupun jarang (0,01-7%), depresi napas pada pemberian morfin

intratekal menjadi perhatian khusus karena lambatnya efek depresi napas

yang terjadi pada 6-18 jam setelah pemberian. Penatalaksanaan dari

Page 43: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

25

depresi napas berdasarkan protokol yang ada: pada keadaan kesadaran

menurun, bradikardi, atau hipoksemia, pasien diberi suplemen O2 sampai

kesadaran membaik. Indikasi pemberian naloxone pada keadaan

somnolen dan depresi napas yang terjadi tidak respon terhadap terapi

sebelumnya. Naloxone (0,4 mg dalam 9 ml NaCl 0,9%, atau 40 µg/ml) 1-2

ml diulangi 2-3 menit sampai terlihat adanya respon (Hepner & Eappen,

2009; Santos & Bucklin, 2009; Carvalho & Butwick, 2009).

b. Mual-muntah.

Kejadian mual dan muntah pascabedah atau postoperative nausea

and vomiting (PONV) umumnya terjadi setelah pemberian morfin intratekal

pada persalinan caesaria, walaupun sulit ditentukan sebagai akibat

langsung dari opioid intratekal. Karena mual dan muntah pada persalinan

berasal dari beberapa sebab, misalnya: akibat kehamilan dan persalinan

itu sendiri, nyeri akibat persalinan, dan pemberian opioid parenteral

(Carvalho & Butwick, 2009; Santos & Bucklin, 2009).

c. Pruritus.

Merupakan efek samping yang juga sering terjadi pada pemberian

opioid intratekal. Dengan gambaran insidensi dan beratnya keluhan yang

tergantung pada besarnya dosis, onsetnya bersamaan dengan adanya

analgesia yang terjadi setelah pemberian intratekal. Pruritus yang terjadi

pada pemberian intratekal tidak berkaitan dengan pelepasan histamine

tetapi berhubungan dengan reseptor mu, yang cara kerjanya secara

Page 44: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

26

spesifik belum diketahui (Santos & Bucklin, 2009; Carvalho & Butwick,

2009).

d. Retensi urine

Terjadinya retensi urine sebagai efek samping opioid intraspinal,

dengan insiden yang bervariasi. Lebih banyak terjadi akibat penggunaan

intratekal dibanding pemberian IM atau IV. Tetapi kebanyakan ibu hamil

terpasang kateter urine, sehingga penatalaksanaannya cukup dengan

pemasangan kateter urine (Santos & Bucklin, 2009).

e. Hipotermia dan menggigil

Redistribusi panas dari inti ke perifer adalah penyebab utama

hipotermia setelah spinal atau epidural anestesi dan ini terjadi akibat dari

blok simpatis dan motorik. Walaupun saat ini kejadian hipotermia dan

menggigil yang dihubungkan dengan pemberian opioid intratekal belum

diketahui sepenuhnya. Pencegahan dapat dilakukan dengan teknik

pemberian multimodal warming untuk mengurangi insiden hipotermia dan

menggigil (Carvalho & Butwick, 2009).

5. Keamanan pada ibu dan efek pada janin

Perhatian khusus diberikan pada potensi efek lanjutan dari obat-

obatan terhadap keamanan ibu dan janinnya, terutama farmakologi obat-

obat neuraksial. Pada pasien obstetrik efek lanjut maternal (misalnya:

Page 45: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

27

neurotoksisitas, perubahan perfusi utero-plasenta) sebagi potensi terhadap

gangguan neonatal harus segera diketahui.

a. Keamanan ibu.

Suatu penelitian tentang neurotoksisitas (keamanan) pada

penggunaan morfin, fentanyl, sufentanyl, meperidine, clonidine, dan

neostigmine menyatakan bahwa obat-obatan ini aman pada pemberian

neuraksial (Carvalho & Butwick, 2009).

b. Efek pada janin.

Semua opioid berpotensi melalui transfer plasenta dan berefek pada

janin. Diketahui efek minimal pada janin dengan pemberian epidural morfin

2-7,5 mg untuk persalinan sesaria. Opioid lipofilik berhubungan dengan

besarnya uptake sistemik; jika ada indikasi (misalnya: nyeri intraoperasi

pada S.C) maka pemberian opioid dengan dosis kecil dapat diberikan.

Opioid intratekal lebih sedikit jika dihubungkan dengan transfer plasenta

dibandingkan pemberian epidural atau opioid intravena (Carvalho &

Butwick, 2009; Santos & Bucklin, 2009).

H. Magnesium Sulfat

Magnesium (Mg2+) merupakan garam mineral keempat terbanyak

dalam intraseluler, dan mempunyai peranan penting dalam fungsi seluler,

sebagai penyimpanan, metabolisme dan penggunaan energi. Mg2+ terlibat

dalam reaksi fosforilasasi dan bertindak sebagai kofaktor dalam berbagai

proses biologis, termasuk sintesa protein, fungsi neuromuskular dan

Page 46: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

28

stabilitas asam nukleat. Sebagai komponen intrinsik pada adenosine 5’-

triphosphatase (ATP) dan sebagai regulator endogen pada beberapa

elektrolit. Menjadi inhibitor nonkompetitif pada inositol triphosphate-gated

calcium channels, Mg2+ berfungsi sebagai kalsium (Ca2+) antagonis

endogen dengan mempengaruhi uptake dan distribusinya. Juga

memperlihatkan efek modulasi dari aliran Na+ dan potassium (K+),

selanjutnya mempengaruhi membrane potensial. Pada sistem saraf pusat,

Mg2+ memiliki efek depresan, bekerja sebagai suatu NMDA antagonis dari

reseptor glutamate dan sebagai inhibitor pelepasan katekolamin (Gambar

3) (Herroeder et al., 2011).

Magnesium merupakan ion bivalen seperti kalsium dengan berat

atom 24.312 Dalton (Da). Tubuh manusia mengandung Mg2+ 1 mol (24 g).

Kebanyakkan konsentrasinya adalah di tulang (60%), otot (20%) dan

jaringan (20%). Mg2+ kebanyakannya di intraseluler, dengan sebagian

besar (90%) diikat dalam bentuk molekul ATP dari sitoskeleton (nukleus,

mitokondria, dan retikulum) dalam bentuk neukleotida atau kompleks

enzim. Sebagian kecil porsi dari Mg2+ di intraseluler (5-14% terikat intrasel)

ditemukan dalam bentuk terionisasi bebas pada intrasel. Sel-sel otot

jantung mempunyai konsentrasi Mg2+ total yang tinggi (11-17 mmol/L dari

air intraseluler). Konsentrasi normal total plasma Mg2+ berkisar antara 0,7-

1,0 mmol (1,7-2,4 mg/dl) (Tabel 5) (Herroeder et al., 2011; Sirvnskas,

2002) .

Page 47: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

29

Gambar 3. Tempat dan mekanisme kerja dari magnesium. Dengan modulasi bukan hanya kanal ion atau pompa ion tetapi juga sebagai pemberi

signal pada reseptor, Mg2+ mempengaruhi banyak proses seluler.

Ach = acetylcholine; ADP = adenosine diphosphate; ATP = adenosine triphosphate; cAMP = cyclic adenosine monophosphate; Glu = glutamate; GPCR = G-protein-coupled receptor; IP3 = inositoltriphosphate; NMDA = N-methyl-D-aspartate; Pi = inoprganic phosphate; PLC = phopholipase C. (Di kutip dari: Herroeder S, Schonherr

ME, Hert SGD, Hollmann MW. Magnesium-essentials for anesthesiologists. Anesthesiolgy. 2011;114:971-93.)

Kadar ini diregulasi oleh variasi dalam reabsorbsi ginjal yang

berfungsi sebagai magnesemia yang relatif terhadap impuls dan mobilisasi

tulang. Sekitar 75% dari Mg2+ plasma difiltrasi di glomerulus. Hanya 5%

Mg2+ yang difiltrasi diekskresi dengan reabsorbsi 15-25% terjadi di tubulus

proksimal dan 50-60% direabsorbsi di loop of Henle pada bagian

ascendens. Diuretik seperti thiazides, sisplantin, gentamicin, dan

siklosporin menginhibisi reabsorbsi ginjal (Sirvnskas, 2002; Edward, 2006).

1. Efek klinis Mg2+ pada sistem saraf pusat

Magnesium yang merupakan reseptor NMDA antagonis dan kerja

sebagai Ca2+ inhibitor. Efek Ca2+ inhibitor ini menyebabkan vasodilatasi

arteriol pusat dan beraksi melawan vasospasme. Inhibisi dari reseptor

NMDA dan peningkatan produksi dari vasodilator PGE disebabkan oleh

Page 48: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

30

Mg2+, oleh karena itu Mg2+ bisa dipakai sebagai antikonvulsan (Miller,

2001).

2. Farmakologi MgSO4

Magnesium sulfat USP adalah MgSO4 7H2O dan bukan MgSO4.

Mg2+yang diberikan secara parenteral dikeluarkan hampir seluruhnya

melalui ginjal dan toksikasi Mg2+ dapat dihindari dengan memastikan

bahwa pengeluaran urin memadai, refleks patella atau otot biseps ada, dan

tidak ada depresi pernapasan. Refleks patela menghilang apabila kadar

Mg2+ mencapai 10 mEq/L (sekitar 12 mg/dL), mungkin akibat efek

kurariforme. Tanda ini berfungsi sebagai peringatan adanya ancaman

toksisitas Mg2+ karena peningkatan lebih lanjut akan menyebabkan depresi

pernafasan (Papadakos PJ, 2005).

3. MgSO4 dan analgesia regional

Pada pasien yang diterapi MgSO4 dan akan dilakukan anestesi

dengan teknik regional (spinal maupun epidural) untuk bedah S.C dapat

memberikan efek hipotensi yang lebih nyata. Namun hipotensi yang terjadi

tidak mengakibatkan perburukan pada janin karena MgSO4 tidak

menurunkan curah jantung maternal dan aliran darah uterus. Pemberian

analgesia persalinan memberikan manfaat berupa (Malleeswaran et al.,

2010; Rathmell et al., 2003) :

penurunan rasa nyeri

penurunan respons hipertensi akibat nyeri

Page 49: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

31

penurunan katekolamin dan stres hormon dalam sirkulasi maternal

untuk memperbaiki kontrol tekanan darah

curah jantung lebih stabil

adanya kateter epidural yang sudah terpasang dapat memfasilitasi

apabila dibutuhkan analgesia epidural dengan cepat untuk bedah

S.C emergensi.

Tabel 5. Kadar serum magnesium

Kadar serum magnesium Tanda/gejala klinis

8 – 12 mg/dL Hilangnya refleks patella

9 – 12 mg/dL Terasa hangat, flushing/kemerahan pada kulit,

pengelihatan ganda

10 – 12 mg/dL Somnolen

10 – 12 mg/dL “Slurred speech”

15 – 17 mg/dL Paralisis otot

15 – 17 mg/dL Kesulitan bernafas

20 – 35 mg/dL Henti jantung

Dikutip dari : Cunninghamn MF. Gant NF, Gilstrap SC, Haulth JC,Wenstrom KD. Eclampsia Management. In: Williams obstetrics. 22th ed. New York; 2006. p. 595-607.

Penggunaan Mg2+ sebagai tambahan terapi pada analgesia

perioperatif sebagai suatu penemuan baru. Penggunaannya berdasarkan

sifat antagonis terhadap reseptor NMDA dan sifat inhibitor untuk kanal

Ca2+. Kanal penyekat Ca2+ telah menunjukkan efek antinosiseptif.

Reseptor NMDA antagonis dapat menginduksi sensitasi sentral akibat dari

stimulasi nosiseptif perifer. Studi prospektif samar ganda (double-blind),

menunjukkan secara jelas nilai Mg2+sebagai ajuvan analgesik pascabedah.

Pasien yang mendapatkan terapi Mg2+ memerlukan sedikit morfin dan

tidur lebih nyaman dalam 48 jam pertama dibanding hanya menerima

Page 50: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

32

morfin saja sehingga kualitas analgetik pascabedah sangat setara.

Depresi pernapasan hanya pada pasien kontrol kelompok analgesia yang

menerima morfin saja dibandingkan dengan kelompok menerima morfin

dan Mg2+. Jelas bahwa Mg2+ mengurangi penggunaan dosis morfin, begitu

juga efek sampingnya (Stapcyzynsh, 2003; Bondok, 2006).

Page 51: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

33

I. KERANGKA TEORI

PEMBEDAHAN

NYERI

Cedera jaringan

Aktivasi Nosiseptor

Aδ; C Aβ

Substansi P Glutamate

MODULASI

Medulla spinalis

AMPA NMDA

Second

order

neuron

Korteks Serebri

PERSEPSI

Subarachnoid

blok :

Bupivakain

Morfin sulfat

MgSO4

Reseptor

opioid NK

Inflamasi

Page 52: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

34

BAB III

KERANGKA KONSEP

mM

Variabel Antara

Variabel Bebas

Variabel Bebas

VARIABEL

TERGANTUNG

EFEK SAMPING

Subarachnoid Blok : Bupivakain 0,5% 10 mg + Morfin sulfat 0,05 mg + MgSO4 50 mg

VARIABEL KENDALI

PS. ASA I-II

UMUR

BERAT

BADAN

PENDIDIKAN

LAMA

OPERASI

VARIABEL

TERGANTUNG

KEBUTUHAN

ANALGESIK

TAMBAHAN

SEKSIO CAESARIA

Persepsi

Modulasi

Transduksi

si

Transmisi

VARIABEL

TERGANTUNG

WAKTU PERTAMA

KALI PEMBERIAN

ANALGETIK

TAMBAHAN

Subarachnoid Blok : Bupivakain 0,5% 10 mg + Morfin sulfat 0.1 mg

NYERI PASCABEDAH

TRAUMA

PEMBEDAHAN

34

Page 53: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

35

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu penelitian uji klinis acak tersamar

ganda.

B. Tempat Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di RSIA. Sitti Fatimah Makassar mulai

Mei 2012 hingga jumlah sampel terpenuhi.

C. Populasi Dan Sampel Penelitian

1. Populasi penelitian

Populasi penelitian adalah pasien yang direncanakan untuk

menjalani prosedur S.C elektif dan atau emergensi yang berumur 20

sampai 45 tahun, yang dilakukan di kamar operasi RSIA. Sitti Fatimah

Makassar selama masa penelitian.

2. Sampel penelitian dan cara pengambilan sampel

Sampel adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi yang

diseleksi secara acak konsekutif dan telah menandatangani lembar

persetujuan untuk ikut dalam penelitian.

35

Page 54: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

36

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria inklusi:

a. Usia 20-45 tahun.

b. Berat Badan : 40-70 kg.

c. PS. ASA 2.

d. Akan menjalani operasi S.C dengan anestesi spinal

e. Setuju ikut serta dalam penelitian

f. Ada persetujuan dari dokter primer yang merawat

2. Kriteria eksklusi:

a. Penderita tidak kooperatif

b. Adanya kontra indikasi terhadap bahan penelitian

c. Penderita sementara diberi terapi obat analgetik

d. Menderita penyakit kardiovaskuler dan atau asma

3. Kriteria drop out:

a. Terjadi perubahan teknik anestesi

b. Terjadi komplikasi pembedahan yang membutuhkan operasi

ulang pada rentang waktu pengamatan

E. Perkiraan Besar Sampel

Dengan N = 65 berdasarkan tabel Isaac & Michael sampel ditentukan

n = 60 Dengan taraf kesalahan 5% ( α = 0,05).

Page 55: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

37

F. Ijin Penelitian dan Kelayakan Etik

Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti meminta keterangan

kelayakan etik (ethical clearance) dari Komisi Etik Penelitian Biomedis

pada manusia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Semua

penderita yang memenuhi kriteria inklusi diberi penjelasan secara lisan dan

menandatangani lembar persetujuan untuk ikut dalam penelitian secara

sukarela. Bila karena suatu alasan penderita berhak mengundurkan diri

dari penelitian ini.

Penelitian ini telah mendapatkan rekomendasi persetujuan etik sesuai

dengan nomor register UH12050177.

G. Metode Kerja

1. Alokasi subyek.

Subyek penelitian terdiri dari:

a. Kelompok MMg:

Subyek menjalani anestesi spinal dengan kombinasi obat

bupivakain 0,5% 10 mg, morfin sulfat 0,05 mg dan MgSO4 40% 50

mg.

b. Kelompok M:

Subyek menjalani anestesi spinal dengan kombinasi bupivakain

0,5% 10 mg dan morfin sulfat 0,1 mg.

Page 56: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

38

2. Cara penelitian.

a. Pasien yang memenuhi kriteria penelitian menjalani prosedur

persiapan operasi S.C dengan anestesi spinal.

b. Anestesi spinal dilakukan pada interspace L3-L4 atau L4-L5.

c. Pada kelompok MMg diberikan kombinasi anestetik lokal

bupivakain 0,5% 10 mg (2 cc), morfin sulfat 0,05 mg dan MgSO4

40% 50 mg total volume 2,1 cc.

d. Pada kelompok M diberikan kombinasi anestetik lokal bupivakain

0,5% 10 mg (2 cc) dan morfin sulfat 0,1 mg total volume 2,1 cc.

e. Saat setelah injeksi obat kedalam ruang spinal pada kedua

kelompok dicatat sebagai menit ke-0 sampai dengan ketinggian

blok tercapai (cold test pada dermatome T3-T4 dan pin prick test

pada dermatome T5-T6). Saat setelah ketinggian blok tercapai

sampai dengan regresi setinggi T12 atau bromage score 2/3 di

catat sebagai lama anestesi pada kedua kelompok. Jam ke-0

dimulai setelah selesai penutupan kulit.

f. Kejadian efek samping mulai dicatat setelah obat di injeksikan

kedalam ruang sub arachnoid sampai dengan 24 jam pascabedah.

Jika hipotensi diberi efedrin 5-10 mg IV; jika bradikardi diberi

atropine 0,2-0,6 mg IV; jika pruritus diberi difenhidramin 25-50 mg

IM; jika mual-muntah diberi ondansetron 4 mg IV; jika bradipneu

diberi naloxone 5-10 μg/kgBB IV.

Page 57: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

39

g. Penilaian intensitas nyeri dengan menggunakan NRS pada jam

ke-1, 2, 4, 8, 12 dan 24 pascabedah.

h. Bila terdapat keluhan nyeri dengan nilai NRS lebih dari 4, maka

diberikan analgetik tambahan (rescue) berupa fentanyl dengan

dosis 0,5 μgr/kgBB IV setiap 5 menit sampai NRS kurang dari 4,

selanjutnya diberikan ketorolak 30 mg/ 8 jam IV.

i. Selama observasi, rescue terhadap efek samping, tanda vital,

kebutuhan analgetik tambahan dan waktu pertama kali pemberian

analgetik tambahan pertama dicatat.

Page 58: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

40

H. Alur Penelitian

PASIEN YANG MEMENUHI KRITERIA PENELITIAN

KELOMPOK M:

Anestesi spinal

dilakukan di interspace

L3-L4 atau L4-L5 dengan

bupivakain 0,5% 10 mg,

morfin sulfat 0,1 mg

SAMPLING ACAK TERSAMAR GANDA

KELOMPOK MMg:

Anestesi spinal dilakukan

di interspace L3-L4 atau

L4-L5 dengan bupivakain

0,5% 10 mg, morfin sulfat

0,05 mg dan MgSO4 40%

50 mg

PENGUMPULAN DAN

ANALISIS DATA

PENGAMATAN DILAKUKAN PADA JAM KE- 1, 2, 3, 4, 8, 12, 24:

1. WAKTU PERTAMA KALI PEMBERIAN ANALGETIK TAMBAHAN PERTAMA

2. KONSUMSI ANALGETIK SELAMA 24 JAM PASCABEDAH

3. EFEK SAMPING : PRURITUS, PONV, BRADIPNEU

SEKSIO CAESARIA

HASIL PENELITIAN

OPERASI SELESAI

INFORMED CONSENT

RESCUE BILA NRS

> 4 : FENTANYL 0,5

µg/KGBB SETIAP 5

MENIT S/D NRS < 4

Page 59: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

41

I. Identifikasi Variabel dan Klasifikasi Variabel

1. Identifikasi variabel.

a. Kelompok MMg

b. Kelompok M

c. PS ASA

d. Umur

e. Berat badan

f. Pendidikan

g. Efek samping

h. Lama operasi

i. NRS (nyeri pascabedah)

j. Waktu pertama kali pemberian analgetik tambahan

k. Kebutuhan analgetik tambahan

2. Klasifikasi variabel

a. Berdasarkan jenis data dan skala pengukurannya.

1) Variabel kategorikal

Variabel nominal :

Kelompok MMg dan Kelompok M

2) Variabel ordinal : PS ASA, NRS

3) Variabel numeric

Page 60: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

42

Variabel rasio : umur, berat badan, lama

operasi, efek samping, waktu pertama kali pemberian

analgetik tambahan, kebutuhan analgetik tambahan.

b. Berdasarkan peran atau fungsi kedudukannya.

1) Variabel bebas :

Kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg, morfin sulfat 0,05 mg,

MgSO4 40% 50 mg; kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg,

morfin sulfat 0,1 mg.

2) Variabel tergantung :

Efek samping, onset kerja obat, durasi anestesi dan analgesia

dari obat, intensitas nyeri pascabedah (NRS), analgetik

tambahan .

3) Variabel kendali :

PS ASA, umur, berat badan, pendidikan, lama operasi, nyeri

pascabedah.

4) Variabel antara :

Transmisi, transduksi, modulasi, persepsi.

J. Definisi Operasional

1. Kelompok MMg : Kelompok yang mendapat anestesi spinal dengan

kombinasi obat bupivakain 0,5% 10 mg, morfin sulfat 0,05 mg dan

MgSO4 40% 50 mg.

Page 61: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

43

2. Kelompok M : Kelompok yang mendapat anestesi spinal dengan

kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg dan morfin sulfat 0,1 mg.

3. Penilaian nyeri dengan menggunakan Numerical Rating Scale

(NRS) saat istirahat dan bergerak di ruang pemulihan (PACU) dan

ruang perawatan mulai jam ke-1, jam ke-2, jam ke-3, jam ke-4, jam

ke-8, jam ke-12, dan jam ke-24 setelah penutupan kulit. NRS dinilai

dengan skala nyeri berdasarkan nomor. Menanyakan kepada

penderita berapa nilai rasa nyeri yang dialami. Diberikan nilai 0

sampai 10, dimana angka 0 berarti tidak nyeri sama sekali sampai

angka 10 berarti nyeri sangat berat. NRS dikonfirmasi dengan skala

nyeri ekspresi wajah yang dinilai oleh perawat atau bagi penderita

yang tidak bisa menilai angka.

4. Skor Bromage adalah skala yang digunakan untuk mengukur blok

motorik.

5. Efektif adalah bila jumlah analgetik tambahan yang diberikan lebih

sedikit, waktu pertama pemberian analgetik tambahan lebih lama

dan efek samping lebih sedikit.

6. Pemeriksaan dan pencatatan tekanan darah sistolik dan diastolik

dengan cara manual dengan tensimeter air raksa merek Reister

pada waktu yang sama dilakukan pemeriksaan NRS.

7. Pemeriksaan laju nadi dan laju napas dengan cara manual

dengan bantuan stopwatch pada waktu yang sama dilakukan

pemeriksaan NRS.

Page 62: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

44

8. Berat badan ditimbang dengan timbangan injak merek Camry

9. Umur dihitung berdasarkan tahun kelahiran yang tercantum dalam

status penderita dan dikonfirmasi kembali dengan penderita.

10. Tingkat pendidikan : Tamatan sekolah negeri atau swasta dengan

memperoleh ijasah.

11. Lama operasi : mulai dilakukan insisi kulit sampai jahitan terakhir

kulit.

12. Jumlah perdarahan : Perdarahan yang terjadi selama operasi

berlangsung. Jika perdarahan melebihi allowable blood lose maka

subyek akan dikeluarkan dari penelitian.

13. Analgetik tambahan: obat analgetik lain (fentanyl) yang diberikan

ketika pasien merasakan intensitas nyeri yang mulai mengganggu

(NRS > 4).

14. Efek samping obat : efek lain yang tidak diinginkan dari pemberian

obat melalui anestesi spinal yang dapat berupa hipotensi,

bradikardi, mual-muntah, pruritus dan depresi napas. Bila terjadi

mual-muntah pasca bedah diberikan ondansetron 4 mg/IV, bila

terjadi pruritus diberikan diphenhydramine 25 mg/IM, bila terjadi

depresi pernapasan diberikan naloxone 0,01 mg/kg/IV.

K. Kriteria Objektif

1. Skala nyeri berdasarkan nilai NRS :

- 0 = Tidak nyeri

Page 63: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

45

- 1 - 3 = Nyeri ringan

- 4 - 6 = Nyeri sedang

- 7 - 10 = Nyeri berat.

2. Deskripsi modifikasi skor Bromage :

0 = dapat menggerakkan tungkai dan kaki secara bebas.

1 = hanya dapat fleksi lutut dan menggerakkan kaki secara bebas.

2 = tidak dapat fleksi lutut tapi dapat menggerakkan kaki secara

bebas.

3 = tidak dapat menggerakkan tungkai atau kaki.

3. Skor Pruritus :

0 = tidak ada gatal

1 = rasa gatal tanpa perlu menggaruk

2 = rasa gatal dengan menggaruk, dibutuhkan terapi

3 = rasa gatal dan menggaruk hebat, harus diberikan terapi

4 = rasa gatal dan menggaruk yang sangat mengganggu.

4. Skor mual-muntah :

0 = tidak mual-muntah

1 = mual

2 = muntah

3 = mual atau muntah yang harus dapat rescue.

Page 64: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

46

6. Status fisik ASA :

1. Sehat, tidak ditemukan masalah medis

2. Menderita penyakit sistemik ringan

3. Menderita penyakit sistemik berat, namun tidak

mengakibatkan berkurangnya kapasitas hidup.

4. Menderita penyakit sistemik yang berat dan dapat

mengancam nyawa

5. Morbid, tidak memiliki harapan hidup dalam 24 jam

6. Cangkok organ.

6. Tekanan darah sistolik :

a. Hipertensi >140 mmHg

b. Normotensi 100-139 mmHg

c. Hipotensi < 100.

7. Tekanan darah diastolik :

a. Hipertensi > 95 mmHg

b. Normotensi 60-95 mmHg

c. Hipotensi < 60 mmHg.

8. Laju Nadi :

a. Takikardi > 100 kali/menit

b. Normal 60-100 kali/menit

c. Bradikardi < 60 kali/menit.

9. Laju Napas :

a. Bradipneu < 10 kali/menit

Page 65: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

47

b. Normal 10-35 kali/menit

c. Takipneu > 35 kali/menit.

10. Berat badan : satuan kilogram

11. Pendidikan : Minimal Sekolah Menengah Pertama atau sederajat

12. Lama operasi dinyatakan dalam satuan menit

13. Onset dan durasi kerja obat dinyatakan dalam satuan menit

14. Jumlah perdarahan dalam mililiter(ml).

L. Pengolaan dan Analisa Data

Data yang diperoleh diolah dan hasilnya ditampilkan dalam bentuk

narasi, tabel atau grafik. Analisis statistik yang digunakan adalah sebagai

berikut : (1) Jumlah kebutuhan analgetik tambahan, tekanan darah, nadi,

pernafasan, di uji dengan Chi Square (X2) dan uji Mann Whitney-U, (2)

Efek Samping dengan uji Mann Whitney-U Analisis statistik diolah dengan

menggunakan piranti eletronik.

Page 66: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

48

BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan di RSIA Siti Fatimah Makassar pada periode

Juni-Juli 2012. Dilakukan terhadap 60 wanita hamil yang akan menjalani

prosedur SC dengan tekhnik anestesi spinal yang bersedia mengikuti

penelitian dan memenuhi kriteria inklusi. Terbagi dalam dua kelompok,

secara acak agar variasi individu terbagi merata pada kedua kelompok.

Selanjutnya kelompok yang menerima anestesi spinal dan magnesium

sulfat 40% 50 mg disebut Kelompok MMg dan kelompok yang menerima

kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg, morfin sulfat 0,1 mg disebut Kelompok

M.

A. Karekteristik Sampel

Pada penelitian ini didapatkan karekteristik kedua kelompok berupa

umur, berat badan, durasi operasi, PS ASA dan tingkat pendidikan tidak

berbeda secara bermakna (p<0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa

kedua kelompok homogeny.

Dari Tabel 6, Tabel 7 dan Tabel 8 dapat dilihat bahwa tidak

didapatkan perbedaan bermakna dari data demografi kedua kelompok

penelitian. Sehingga karekteristik dari 60 sampel penelitian dinyatakan

homogen.

48

Page 67: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

49

Tabel 6. Karakterisitik Sampel

Variabel

Kelompok MMg

(n=30)

Kelompok M

(n=30)

Kemaknaan

(nilai p)

Min-Maks Mean± SD Min-Maks Mean±SD

Umur 20-39 29,60±5,6 22-41 30,73±5,4 0,458

Berat Badan 50-75 61,53±6,7 50-70 59,73±6,6 0,350

Durasi

Operasi 30-95 49,90±13,0 40-85 51,10±9,4 0,397

Data disajikan dalam bentuk nilai minimal, maksimal dan rerata/mean (standar deviasi) kemudian probabilitas (nilai p) diuji dengan Mann Whitney-U Test, p<0,05 dinyatakan signifikan

Tabel 7. Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan

Kelompok MMg (n=30)

Kelompok M (n=30)

Kemaknaan

SMP 43,3% 40%

p=0,935 SMA 43,3% 53,3% Diploma 3,3% 3,3% Sarjana 10% 3,3%

Data disajikan dalam bentuk nilai prosentasi frekuensi, kemudian probabilitas (nilai p) diuji dengan Mann Whitney-U Test, p<0,05 dinyatakan signifikan.

Tabel 8. Karakteristik status fisik

Variabel

Kelompok MMg

(n=30)

Kelompok M (n=30) Kemaknaan

(nilai p)

Min-Maks Median Min-Maks Median

PS ASA 2-2 2,00 2-2 2,00 P=1,000

Data disajikan dalam bentuk nilai minimal, maksimal dan median kemudian probabilitas (nilai p) diuji dengan Mann Whitney-U Test, p<0,05 dinyatakan

signifikan.

B. Konsumsi Analgetik 24 Jam Pascabedah

Untuk mengetahui jumlah konsumsi analgetik yaitu jumlah total

pemberian fentanyl pada kedua kelompok selama 24 jam pascabedah

dapat dilihat sebagai hasil analisa pada Tabel 9.

Page 68: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

50

Dari tabel 9 menunjukkan Kelompok MMg memiliki nilai rerata

kebutuhan konsumsi analgetik 24 jam pascabedah sebesar 30 µg fentanyl

dan berbeda secara bermakna (p<0,05) dibandingkan Kelompok M.

Tabel 9. Kebutuhan konsumsi analgetik 24 Jam

Konsumsi analgetik fentanyl (dalam µg )

Kemaknaan Kelompok MMg

(n=30)

Kelompok M

(n=30)

Mean±SD Mean±SD

30,0±5,0 0±0 p=0,021

Data disajikan dalam bentuk nilai mean dan simpangan deviasi, nilai p diuji dengan X2Test, p<0,05 dinyatakan signifikan.

Tabel 10 dan Grafik 1 menunjukkan proporsi pasien yang mendapat

analgetik tambahan pada Kelompok MMg adalah 16,7% berbeda

bermakna (p<0,05) dibandingkan Kelompok M.

Tabel 10. Proporsi pasien yang mendapat rescue

Kelompok MMg

(n=30)

Kelompok M

(n=30) Kemaknaan

Dapat Tidak Dapat Dapat Tidak Dapat

n % n % n % n %

5 16,7 25 83,3 0 0 30 100 p=0,021

Data disajikan dalam bentuk jumlah dan presentase pasien mendapatkan rescue dan tidak mendapatkan rescue, nilai p diuji dengan Mann Whitney U Test, p<0,05 dinyatakan signifikan

Page 69: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

51

Grafik 1. Proporsi pasien yang mendapatkan analgetik tambahan

C. Waktu Pemberian Analgetik Pertama

Pada Kelompok MMg memiliki nilai rata-rata 831±306,7 menit

untuk waktu pemberian analgetik tambahan pertama berbeda bermakna

(p<0,05) dibandingkan Kelompok M.

Tabel 11. Waktu pertama kali pemberian analgetik tambahan

Kelompok MMg Kelompok M

Kemaknaan Waktu pemberian analgetik

tambahan pertama (menit)

Waktu pemberian analgetik

tambahan pertama (menit)

Mean±SD Mean±SD

831±306,7 0±0 p=0,021

Data disajikan dalam bentuk nilai mean dan simpangan deviasi, nilai p diuji dengan Mann Whitney-U Test, p<0,05 dinyatakan signifikan.

0

5

10

15

20

25

30

MMG M

fen

tan

yl

g

Tidak Rescue

Rescue

Page 70: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

52

D. Efek Samping

Efek samping yang tampak pada kedua kelompok adalah pruritus,

namun secara statistik terdapat perbedaan bermakna (p<0,05), namun jika

dilakukan evaluasi pada kedua kelompok secara grading pruritus, maka

tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) pada kedua kelompok.

Tabel 12. Perbandingan efek samping pruritus

Kelompok MMg Kelompok M Kemaknaan

Min- maks/Median Min-Maks/Median

0-2/0 0-3/0 p=0,002

Data disajikan dalam bentuk nilai mean dan simpangan deviasi, nilai p diuji dengan Mann Whitney-U Test, p<0,05 dinyatakan signifikan.

Tabel 13. Proporsi skor pruritus

Grade Kelompok Magnesium

Kelompok Morfin

0 28 (93,3%) 18 (60%)

1 0 0

2 2(6,7%) 8 (26,7%)

3 0 4 (13,3%)

4 0 0

Page 71: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

53

Grafik 2. Derajat pruritus Kelompok MMg

Grafik 3. Derajat pruritus Kelompok M

Efek samping berikutnya yang tampak pada kedua kelompok adalah

mual-muntah, namun secara statistik terdapat perbedaan bermakna

(p<0,05)

93%

0%7% 0% 0%

Kelompok MMg

Grade 0

Grade 1

Grade 2

Grade3

Grade 4

55%

0%

24%

21%

0%

Kelompok M

Grade 0 Grade 1 Grade 2 Grade 3 Grade 4

Page 72: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

54

Tabel 14. Efek samping Mual-Muntah

Kelompok Magnesium Kelompok Morfin

Kemaknaan

Median±SD Median±SD

0±0,00 0±1,03 p=0,003

Data disajikan dalam bentuk nilai mean dan simpangan deviasi, nilai p diuji dengan Mann Whitney-U Test, p<0,05 dinyatakan signifikan.

Page 73: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

55

BAB VI

PEMBAHASAN

Telah dilakukan penelitian terhadap 60 pasien ASA PS II yang

menjalani S.C. dengan anestesi spinal di RSIA Siti Fatimah Makassar.

Tujuan dari penelitian ini adalah menilai efektifitas analgesia pascabedah

pada 24 jam pertama setelah pemberian kombinasi bupivakain 0,5% 10

mg, morfin sulfat 0,05 mg dan MgSO4 40% 50 mg intratekal yang

dibandingkan dengan kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg dan morfin sulfat

0,1 mg intratekal pada S.C.

A. Karakteristik Sampel

Karekteristik sampel penelitian yang meliputi umur, berat badan,

durasi operasi, PS ASA dan tingkat pendidikan tidak berbeda secara

bermakna (p<0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa sampel pada

penelitian ini dinilai homogen.

B. Konsumsi Analgetik 24 Jam Pascabedah

Konsentrasi opioid dalam cairan cerebrospinal adalah tergantung

pada dosis, anestesi spinal dengan penambahan morfin sulfat suatu opioid

alamiah yang larut air bersifat hidrofilik dengan efek analgetik yang lama

dan berjalan rostral menyebabkan resiko depresi napas yang terjadi

54

Page 74: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

56

lambat, walupun dengan dosis kecil 0,6 mg intratekal.(Slappendel et al.,

1999) Beberapa penelitian mengenai intratekal morfin sulfat dengan dosis

bervariasi untuk mencari dosis efektif dengan efek samping yang lebih

sedikit, khususnya menghindari efek samping yang ditakutkan yaitu depresi

napas dan efek samping lainnya seperti pruritus, mual-muntah dan retensi

urine.

Slappendel et al., (1999) memberi morfin sulfat intratekal pada

operasi total Hip dengan dosis 0,025-0,2 mg, mendapatkan bahwa dosis

morfin sulfat 0,025-0,05 mg membutuhkan analgetik tambahan lebih

banyak dibandingkan dosis morfin ≥0,1 mg, sementara efek samping yang

didapatkan tergantung dari besar dosis. Dan efek samping yang tidak

diharapkan seperti depresi napas tidak didapatkan pada dosis ≤0,1 mg.

Magnesium menginhibisi masuknya kalsium ke dalam sel melalui

blok non-kompetitif pada reseptor NMDA. Magnesium dan reseptor NMDA

diduga berperan dalam modulasi nyeri. Magnesium juga merupakan

antagonis kalsium yang fisiologis pada beberapa jenis saluran yang diatur

oleh tegangan, yang dapat berperan penting dalam mekanisme

antinosisepsi (Lysakowsky et al., 2007).

Rangsang noksius yang kuat atau terus-menerus menyebabkan

pelepasan asam amino eksitatori seperti glutamat dan aspartat di kornu

dorsalis. Kerja asam amino eksitatori diperantarai oleh reseptor NMDA dan

non-NMDA. Aktivasi reseptor NMDA menyebabkan masuknya Ca2+ ke

dalam sel dan menginisiasi rangkaian sensitisasi sentral seperti wind up

Page 75: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

57

dan potensiasi jangka panjang di medula spinalis sebagai respon sel-sel

terhadap stimulus yang terus-menerus. Sensitisasi sentral memiliki

peranan penting pada persepsi nyeri dan dianggap sebagai salah satu

mekanisme yang terlibat dalam terjadinya nyeri persisten pascabedah.

Antagonis NMDA seperti ketamin dan MK801 berpotensi mencegah induksi

dan menetapnya sensitisasi sentral. Magnesium bekerja sebagai antagonis

reseptor NMDA dan saluran ion yang memiliki reseptor NMDA.

Karenanya, secara teori, magnesium dapat meringankan nyeri pascabedah

dengan mencegah sensitisasi sentral yang disebabkan oleh nosisepsi

melalui blok pada saluran kalsium yang memiliki reseptor NMDA. Namun,

hasil tentanng analgesia intraoperatif dan pascabedah setelah pemberian

suplementasi magnesium masih kontradiktif. Walaupun beberapa peneliti

mendapati adanya penurunan kebutuhan analgetik setelah pemberian

MgSO4, namun kami tidak dapat memastikan temuan ini (Ko, 2001).

Pada penelitian ini diharapkan dengan penambahan magnesium

sulfat 50 mg intratekal bersama dengan morfin sulfat dosis kecil (0,05 mg)

akan menghasilkan suatu analgesik yang adekuat dengan durasi analgetik

yang sama dengan dosis morfin sulfat 0,1 mg. Dari hasil pengamatan dan

analisis statistik terlihat bahwa Kelompok MMg memiliki nilai rerata

kebutuhan konsumsi analgetik 24 jam pascabedah sebesar 30 µg fentanyl

dan berbeda secara bermakna (p<0,05) dibandingkan Kelompok M. Tabel

5 dan Grafik 1 menunjukkan proporsi pasien yang mendapat analgetik

tambahan pada Kelompok MMg adalah 16,7% berbeda bermakna (p<0,05)

Page 76: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

58

dibandingkan Kelompok M. perbedaan ini terlihat jelas baik dengan analisis

statistik maupun secara klinis dimana Kelompok M selama 24 jam

pascabedah tidak membutuhkan tambahan analgetik, sementara

Kelompok MMg 5 pasien (16,7%, n=30) membutuhkan analgetik

tambahan fentanyl 0,5 g/KgBB. (30,0±5,0 g).

Penelitian ini sejalan dengan Ko et al., (2001) yang melakukan

penelitian mengenai hubungan pemberian magnesium intravena dengan

kenaikan kadar konsentrasi Mg CSF terhadap nyeri pascabedah.

Dibuktikan bahwa tidak terdapat hubungan antara konsentrasi Mg

intravena dengan konsentrasi Mg di CSF dan tidak ada korelasi antara

nyeri pascabedah dan konsumsi analgetik dengan konsentrasi Mg CSF.

C. Waktu Pemberian Analgetik Pertama

Terdapat beberapa kemungkinan yang menyebabkan magnesium

tidak menimbulkan efek antinosiseptif, salah satunya adalah dosis

magnesium yang tidak adekuat. Penyebab kedua adalah tidak adanya efek

antagonis reseptor NMDA pada nyeri pascabedah. Dewasa ini, penelitian-

penelitian pada hewan coba tentang nyeri pascabedah menunjukkan

bahwa antagonis NMDA tidak mempengaruhi nosisepsi dan menduga

bahwa reseptor NMDA tidak berperan penting dalam kelangsungan nyeri

pascabedah. Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa mekanisme

reseptor yang berperan dalam hiperalgesia pascabedah adalah reseptor-

reseptor non-NMDA dan bukan reseptor NMDA. Sebagaimana yang

Page 77: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

59

disebutkan oleh para peneliti, masih diperlukan penelitian-penelitian lebih

lanjut untuk menyelidiki mengapa antagonis reseptor NMDA tidak

berpengaruh terhadap nyeri pascabedah pada hewan coba (Lysakowsky et

al., 2007).

Empat penelitian (29% dari semua) melaporkan bahwa nyeri pasca

bedah berkurang secara bermakna pada pasien-pasien yang diterapi

dengan plasebo. Tujuh penelitian (50%) tidak dapat menemukan

perbedaan intensitas nyeri antara magnesium dan plasebo. Pada satu

penelitian (7%), pasien yang mendapatkan magnesium laevulinat memiliki

skor nyeri yang lebih besar pada 3 jam pascabedah; pada skala verbal 5

poin, intensitas nyeri meningkat dari skor 1 pada plasebo menjadi 2 pada

magnesium. Dua penelitian tidak melaporkan intensitas nyeri pascabedah.

Delapan penelitian (57% dari semua) melaporkan penurunan kebutuhan

analgetik yang bermakna pada pasien-pasien yang diterapi dengan

magnesium dibandingkan yang mendapatkan plasebo. Lima penelitian

(36%) tidak mendapati adanya perbedaan dalam konsumsi bupivacaine-

fentanyl epidural pascabedah, atau morfin, atau opioid yang lainnya

(morfin, fentanyl, petidin) dan analgetik non-opioid (obat antiinflamasi

nonsteroid, asetaminofen). Pada salah satu penelitian (7%), anak-anak

yang diterapi dengan magnesium secara bermakna mengkonsumsi kodein

lebih banyak pada periode pascabedah, namun tidak mengkonsumsi

fentanyl atau asetaminofen. Tidak terdapat hubungan yang jelas antara

rejimen magnesium dan intensitas nyeri. Menggigil, muntah, dan rasa

Page 78: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

60

pusing lebih jarang terjadi pada pasien yang mendapatkan magnesium

(Lysakowsky et al., 2007).

Pada penelitian ini didapatkan Kelompok MMg memiliki nilai rata-

rata 831±306,7 menit untuk waktu pemberian analgetik tambahan pertama

berbeda bermakna (p<0,05) dibandingkan Kelompok M. Pada kelompok M

selama 24 jam pascabedah samasekali tidak mendapat analgetik

tambahan.

Penelitian ini kontroversi dengan beberapa penelitian, penelitian

pertama dilakukan oleh Dayioglu et al., (2009) membuktikan bahwa waktu

pemberian analgetik pertama memanjang secara signifikan pada

pemberian magnesium, namun pemulihan fungsi motorik lebih lama

sehingga tidak dianjurkan untuk prosedur artroskopi lutut. Magnesium

didapati tidak menurunkan konsumsi analgetik pascabedah. Penelitian

kedua oleh Ouerghi et al.,(2010) menyatakan bahwa Mg dapat

menurunkan kebutuhan morfin pascabedah tanpa meningkatkan efek

samping opioid. Penelitian selanjutnya oleh Ghrab et al., (2009) melakukan

penelitian dan membuktikan bahwa Mg dapat meningkatkan kualitas dan

durasi analgesia pascabedah tanpa meningkatkan insidensi efek samping.

(Lysakowski et al., 2007)

Penelitian selanjutnya oleh Kahlil et al., (2011) membuktikan bahwa

penambahan Mg 100 mg intratekal memperpanjang durasi dari blok

sensoris, namun belum ada penelitian yang menjelaskan berapa dosis Mg

yang efektif dengan anestesi spinal pada S.C.

Page 79: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

61

Jabalameli dan Pakzadmoghadam (2012) menjelaskan bahwa tiga

dosis yang berbeda pada penambahan MgSO4 50% intratekal 50, 75 dan

100 mg dalam bupivakain hiperbarik pada S.C. adalah aman dan efektif,

tetapi dosis 75 mg meningkatkan durasi analgesia dan memperpanjang

blok sensoris dan motorik tanpa meningkatkan efek samping yang

bermakna terhadap ibu dan bayinya.

D. Efek Samping

Efek samping penggunaan morfin sulfat antara lain depresi napas,

pruritus, mual-muntah, retensi urine dan menggigil sedangkan magnesium

sulfat berupa rasa panas di muka, flushing dan mual-muntah. Efek

samping yang terjadi baik pada morfin sulfat maupun magnesium sulfat

adalah tergantung pada besarnya dosis (Freye & Levy, 2008; Herroeder et

al., 2011).

Oleh Yamaguchi dkk (1990) dengan dosis morfin intratekal antara

0,04-0,2 mg bahkan pada dosis terkecil masih didapatkan kejadian efek

samping pruritus, tetapi efek samping berupa depresi napas tidak

didapatkan pada dosis <0,15 mg. Sejalan dengan penelitian oleh A. Hein et

al., (2012) yang membandingkan efek placebo dengan pemberian morfin

sulfat intratekal dosis100-300 µg, dimana efek samping mual muntah

terjadi pada semua kelompok dan pruritus hanya terjadi pada kelompok

morfin, efek samping berupa depresi napas di temukan pada dosis 300 µg.

Page 80: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

62

Dari penelitian ini didapatkan efek samping berupa pruritus dan

mual-muntah yang terjadi pada Kelompok M, tanpa adanya efek samping

seperti depresi napas, menggigil dan hipotensi selama 24 jam pascabedah.

Sedangkan efek samping berupa pruritus juga tejadi pada Kelompok MMg

yang secara statistik berbeda bermakna (p<0,05).

Page 81: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

63

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Anestesi spinal kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg, morfin sulfat

0,05 mg dan MgSO4 40% 50 mg, memiliki konsumsi analgetik

tambahan lebih banyak di bandingkan dengan anestesi spinal

kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg dan morfin sulfat 0,1 mg pada

24 jam pascabedah SC.

2. Waktu pemberian analgetik tambahan pertama pada anestesi

spinal kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg, morfin sulfat 0,05 mg

dan MgSO4 40% 50 mg, lebih cepat dibandingkan dengan

anestesi spinal kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg dan morfin

sulfat 0,1 mg pada 24 jam pascabedah S.C.

3. Frekuensi efek samping mual-muntah dan pruritus lebih banyak

pada anestesi spinal kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg dan

morfin sulfat 0,1 mg, serta tidak terjadi efek samping depresi

napas, hipotensi dan menggigil dalam 24 jam pascabedah S.C.

B. SARAN

1. Saran Akademik

Perlu adanya penelitian lanjutan pada anestesi spinal dengan

menggunakan morfin sulfat dengan dosis 0,06-0,08 mg dengan

62

Page 82: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

64

MgSO4 40% dosis 75-100 mg untuk menghindari efek samping

mual-muntah dan pruritus dengan analgesia yang optimal.

2. Saran Klinis

Menggunakan anestesi spinal kombinasi bupivakain 0,5% 10

mg, morfin sulfat 0,05 mg dan MgSO4 40% 50 mg, pada jenis

operasi yang berbeda.

Page 83: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

65

Daftar Pustaka

ANZCA & FPM 2010. Regionally and locally administered analgesic drugs. In:

Macintyre, P. E., Scott, D. A., Schug, S. A., Visser, E. J. & Walker, S. M.

(eds.) Acute pain management: scientific evidence. 3rd

ed. Melbourne:

Australian and New Zealand College of Anesthetists.

Ashburn, M. A. & Ready, L. B. 2001. Postoperative pain. In: Loeser, J. D., Butler,

S. H., Chapman, C. R. & Truk, D. C. (eds.) Bonica's management of pain.

3rd

ed. New York: Lippincot Williams & Wilkins.

Beloeil, H., Gentili, M., Benhamou, D. & Mazoit, J. X. 2009. The effect of a

peripheral block on inflammation-induced prostaglandin E2 and

cyclooxygenase expression in rats. Anesth Analg, 109: 943-950.

Bondok, R. 2006. Intra-articular magnesium is effective for postoperative

analgesia in arthroscopic knee surgery. Br J Anaesth, 97: 389-92.

Buvanedran, A., McCarthy, R. J., Kroin, J. S., Leong, W., Perry, P. & Tuman, K. J.

2002. Intrathecal magnesium prolongs fentanyl analgesia: a prospective,

randomized, controlled trial. Anesth Analg, 95: 661-6.

Carvalho, B. & Butwick, A. 2009. Postoperative analgesia: epidural and spinal

techniques. In: Chestnut, D. H., Polley, L. S., Tsen, L. C. & Wong, C. A.

(eds.) Chestnut's Obstetric anesthesia principles and practice. 4rd

ed.

Philadelpjia: Mosby Elsevier.

Cousins, M. J. 2010. Provision of safe and effective acute pain management. Acute

pain management : scientific evidence. 3rd

ed.: Australian and New Zealand

College of Anaesthetists and Faculty of Pain Medicine.

Edward, M. G. 2006. Normal magnesium balance. Clinical Anesthesiology. 3th ed.

New York: Mc Graw- Hill

Freye, E. & Levy, J. V. 2008. Opioids in medicine : a comprehensive review on the

mode of action and the use of analgesics in different clinical pain states,

Dordrecht, The Netherlands, Springer.

Gupta, D. K., Krejcie, T. C. & Avram, M. J. 2011. Essential drugs in anesthestic

practice: Pharmacokinetics of opioids. In: Evers, A. s., Maze, M. &

Kharasch, E. D. (eds.) Anesthetic pharmacology. 2nd

ed. Cambridge:

Cambridge University Press.

Hein, A., Rosblad, P., Haegerstrand, C. G., Schedvins, K., Jakobsson, J. &

Dahlgren, G. 2012. Low dose intrathecal morphine effects on post-

hysterectomy pain : a randomized placebo-controlled study. Acta

Anaesthesiol Scand, 56: 102-9.

Hepner, D. & Eappen, S. 2009. Postoperative analgesia: systemic and local

techniques. Chestnut's obstetric anesthesia principles and practice. 4th

ed.

Philadelphia: Mosby Elsevier.

Page 84: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

66

Herroeder, S., Schonherr, M. E., Hert, S. G. D. & Hollmann, M. W. 2011.

Magnesium-essentials for anesthesiologists. Anesthesiology, 114: 971-993.

Jabalameli, M. & Pakzadmoghadam, S. H. 2012. Adding different doses of

intrathecal magnesium sulfate for spinal anesthesia in cesarean section:

prospective double blind randomized trial. Adv Biomed Res, 1: 1-6.

Kleinman, W. & Mikhail, M. 2008. Regional Anesthesia and pain management. In:

Morgan, G. E., Mikhail, M. S. & Murray, M. J. (eds.) Clinical

Anesthesiology. 4th

ed. New York: McGraw-Hill.

Ko, S. 2001. Magnesium sulfate does reduce postoperative analgesic requirement.

Anesthesiol, 95: 640-5.

Lee, J. W., Kim, M. K., Shin, Y.-S. & Koo, B.-N. 2007. The analgesic effect of

single dose of intrathecal magnesium sulphate. Korean J Anesthesiol, 52:

S72-S76.

Lim, P. C. & P. E, M. 2006. An audits of intrathecal morphine analgesia for non-

obstetric postsurgical patients in an adult tertiary hospital. Anaesth

Intensive Care, 34: 776-781.

Lysakowsky, C., Dumont, L., Czarnetski, C. & Tramer, M. R. 2007. Magnesium as

an adjuvant to postperative analgesia: a systemic review of randomized

trials. Anesth Analg, 104: 1532-9.

Malleeswaran, S., panda, N., Mathew, P. & Bagga, R. 2010. A randomized study

of magnesium sulphate as an adjuvant to intratechal bupivacaine in patients

with mild preeclampsia undergoing ceasarean section. Int J Obstet Anesth,

19: 161-6.

Miguel, R., Kreitzer, J. M., Reinhart, D., Sebel, P. S., Bowie, J., Freedman, G. &

Flecthcer, J. S. 1995. Postoperative pain control with a new transdermal

fentanyl delivery system: a multicenter trial. Anesthesiology, 83: 470-7.

Miller, L. 2001. The etiologies and phatophysiology, alternative/complementary

treatment of asthma British Journal of Anaesthesia: 30-9.

Miller, R. D. 2006. Bupivacaine. Miller's anaesthesia. 6th

ed. New York: Elsevier,

Churchill Livingstone.

Minty, R. G., Kelly, L., Minty, A. & Hammett, D. C. 2007. Single-dose intrathecal

analgesia to control labour pain. Can Fam Physician, 53: 437-442.

Paech, M. J. 2011. Anesthesia for cesarean delivery. In: Palmer, C. M., D'Angelo,

R. & Paech, M. J. (eds.) Obstetric anesthesia. New York: Oxford

University Press.

Papadakos PJ, S. J. 2005. Magnesium derangements. In: Mosby, E. (ed.) Critical

care. 1th ed. Philadelphia: Elsevier Mosby

Rathmell, J. P., Pino, C. A., taylor, R., Patrin, T. & Viani, B. A. 2003. Intrathecal

morphine for postoperative analgesia: a randomized, controlled, dose-

ranging study after hip and knee arthroplasty. Anesth Analg, 97: 1452-7.

Page 85: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

67

Salmah, G. S. & Choy, Y. C. 2009. Comparison of morphine with fentanyl added

to intrathecal 0,5% hyperbaric bupivacaine for analgesia after caeseran

section. Med J Malaysia, 64: 71-4.

Santos, A. C. & Bucklin, B. A. 2009. Local anesthetics and opioids. In: Chesnut,

D. H., Polley, L. S., Tsen, L. C. & Wong, C. A. (eds.) Chesnut's obstetric

anesthesia: principles and practice. 4th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier.

Schafer, M. 2011. Essential drugs in anesthetic practice : mechanisme of action of

opioids. In: Evers, A. S., Maze, M. & Kharasch, E. D. (eds.) Anesthetic

Pharmacology. Cambridge: Cambridge University Press.

Scott, J. & Flood, P. 2006. Anesthesia for cesarean delivery. In: Braveman, F. R.

(ed.) Obstetric anesthesia. 1st ed. Philadelphia: Mosby Elsevier.

Sirvnskas, S. 2002. Use of magnesium sulfate in anesthesiology. British Journal of

Anaesthesia, 38: 695-8.

Slappendel, R., Weber, E. W. G., Dirksen, R., Gielen, M. J. M. & Limbeek, J. v.

1999. Optimization of the dose of intrathecal morphine in total hip surgery:

a dose-finding study. Anesth Analg, 88: 822-6.

Smith, H. S., Deer, T. R., Staats, P. S., singh, V., Sehgal, N. & Cordner, H. 2008.

Intrathecal drug delivery. Pain Physician: S89-S104.

Stapcyzynsh, K. 2003. Emergency Medicine. American college of emergency

physicians. 5th ed. California: The McGraw Hill.

Stoelting, R. K. & Hillier, S. C. 2006a. Local Anesthetic. In: Stoelting, R. K. &

Hillier, S. C. (eds.) Pharmacology and physiology in anesthetic practice.

4th

ed. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins.

Stoelting, R. K. & Hillier, S. C. 2006b. Opioid agonists and antagonist. In:

Stoelting, R. K. & Hillier, S. C. (eds.) Pharmacology and physiology in

anesthetic practice. 4th

ed. New York: Lippincott William & Wilkins.

Tanra, A. H. 2000. Prinsip dasar pengelolaan nyeri Simposium penanganan nyeri

Makassar: Pertemuan Ilmiah Berkala XII Fakultas Kedokteran UNHAS

Tanra, A. H. 2002. Pengelolaan nyeri pascabedah. PIB XI IDSAI. Medan.

Tsen, L. C. 2009. Anesthesia for cesaerean delivery. In: Chesnut, D. H., Polley, L.

S., Tsen, L. C. & Wong, C. A. (eds.) Chesnut's obstetric anesthesia:

principles and practice. 4 th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier.

Vadivelu, N., Whitney, C. J. & Sinatra, R. S. 2009. Pain pathways and acute pain

processing. In: Sinatra, R. S., Leon-Casasola, O. A. d., Ginsberg, B.,

Viscusi, E. R. & McQuay, H. (eds.) Acute pain management. New York:

Cambridge University Press.

Wee, M. Y. K., Brown, H. & Reynolds, F. 2005. The National Insdtitute of

Clinical Excellence (NICE) guidelines for caesarean sections: implications

for the anaesthetist. Int J Obstet Anesth, 14: 147-158.

Page 86: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

68

Yamaguchi, H., Watanabe, S., Motokawa, K. & Ishizawa, Y. 1990. Intratechal

morphine dose-response data for pain relief after cholecystectomy. Anesth

Analg, 70: 168-171.

Page 87: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

69

Lampiran 1.

Page 88: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

70

Lampiran 2. Tabel Isaac Michael

PENENTUAN JUMLAH SAMPEL DARI POPULASI TERTENTU DENGAN TARAF KESALAHAN 1%, 5%, DAN 10%

Dikembangkan oleh Isaac dan Michael

Prof. Dr. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta, Bandung, 2008 (86-87)

Page 89: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

71

LAMPIRAN 3. Contoh persetujuan setelah penjelasan

PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI BUPIVAKAIN 0,5% 10 MG,

MORFIN SULFAT 0,05 MG DAN MAGNESIUM SULFAT 40% 50 MG DENGAN

KOMBINASI BUPIVAKAIN 0,5% 10 MG DAN MORFIN SULFAT 0,1 MG PADA

PASCABEDAH SEKSIO SESARIA

Yang bertandatangan dibawah ini :

Nama/Umur :

A l a m a t :

No. Rekam Medis :

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa saya telah mendapatkan penjelasan dan

kesempatan bertanya hal-hal yang belum saya mengerti tentang penelitian ini. Penjelasan

tersebut meliputi manfaat dan keuntungan serta efek samping dari pemberian anestesi

spinal kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg, morfin sulfat 0,05 mg dan magnesium sulfat 50

mg sebagai kelompok coba dan kombinasi bupivakain 0,5% 10 mg dan morfin sulfat 0,1

mg sebagai kelompok kontrol, dan yang akan saya dapatkan selama penelitian ini.

Efek samping yang mungkin ditimbulkan dari obat ini adalah mual-muntah, gatal-

gatal, depresi napas dan penurunan tekanan darah. Bila terjadi hal demikian peneliti akan

memberikan obat-obatan dan melakukan tindakan untuk menangani efek samping tersebut.

Namun, secara teoritis, perlakuan pemberian obat ini memiliki efek samping yang

minimal.

Setelah mendapat penjelasan tersebut, dengan ini saya menyatakan secara sukarela

ikut serta dalam penelitian ini dan saya berhak mengundurkan diri bila ada alasan

sehubungan dengan kesehatan saya. Demikian pula jika terjadi ketidaksesuaian, saya akan

menelaah kembali untuk mencari jalan keluar yang terbaik tentang ketidaksesuaian

tersebut.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, dengan penuh kesadaran

dan tanpa paksaan.

Makassar, 2012

Saksi, Tanda Tangan Yang Menyatakan,

1. ………………………..... ……………….. (……………………….)

2. …………………………. ……………….. (……………………….)

Penanggung Jawab Medik, Penanggung Jawab Penelitian,

dr. Abdul Wahab, Sp.An dr. M. Ermil Zulkarnain S.

Telp.0816250127/04115013857

Komp.UNHAS Jl.Sunu Blok H No.IA, Makassar

Tlp. 04115290723/Hp. 081319960745

Perumahan Gowa Asri Blok C No. 3 Kab. Gowa

Page 90: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

72

Lampiran 3. Contoh lembar penelitian

LEMBAR PENELITIAN

J. Identitas Pasien

Nama : Umur : thn

Pendidikan : BB : kg

Alamat : TB : cm

Pekerjaan : BMI : kg/m2

No. Rekam Medis:

II. Data Klinis

1. Diagnosis MRS :

2. ASA PS :

3. Mulai SAB :

4. Mulai Operasi :

5. Selesai operasi :

6. APGAR score :

Hasil Pengamatan :

Jumlah rescue dalam 24 jam : kali

Total kebutuhan analgetik tambahan selama 24 jam : mg

LEMBAR PENGAMATAN

1. Onset-Durasi Sub Arachnoid Blok

SAB

Tinggi blok (dermatome) Regresi 2

segmen

Bromage score

T6

(pinprick test)

T4

(cold test) 3/3 2/3 1/3

Waktu

(menit)

Tanggal : RM :

No. Urut :

Page 91: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

73

2. Pengamatan Pascabedah

Jam

Numeratic Rating

Scale (NRS)

Tekanan Darah

(mmHg) Laju Nadi

(kali/mnt)

Laju

Napas

(kali/mnt) Diam Gerak Sistole Diastole MAP

0

1

2

3

4

8

12

24

3. Pemberian Analgetik Tambahan (fentanyl 1 mcg/kgBB)

Jam 0 1 2 3 4 8 12 24

Fentanyl

4. Efek Samping

Jam 0 1 2 3 4 8 12 24

Mual-muntah

Pruritus

Depresi napas

Peneliti,

(……………………………..)

Page 92: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ANESTESI SPINAL KOMBINASI

74

ADVERSE EVENT FORM

Identitas

Nama (Inisial) / Umur: Operasi :

No. MR : Teknik Anestesi :

Diagnosis : Lama operasi :

Adverse event

No. Gejala Berat Ringan Tidak Ada

1 Depresi Napas

2 Mual-muntah

3 Pruritus

4 Refleks Patella

Penanganan adverse event

No. Gejala Penanganan

1 Mual/ Muntah Ondansetron 4 mg intravena.

2 Pruritus Diberikan anti histamin (Diphenhidramine 25 mg IV)

3 Depresi Napas atau Kardiovaskular

Diberikan suplemen O2 Via NRM (ringan); Nalokson Naloxone (0,4 mg dalam 9 ml NS, atau 40 µg/ml) 1-2 ml diulangi 2-3 menit sampai terlihat adanya respon dan dilakukan support A, B, C

4 Syok Anafilaktik Adrenalin, support A, B, C

Peneliti,

(……………………………..)