Upload
santi-lestari
View
117
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
gcfch
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Obat-obat opioid yang biasanya digunakan dalam anastesi antara lain adalah morfin,
petidin dan fentanil. Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat
seperti opium maupun morfin. Meskipun mempelihatkan berbagai efek farmakologik yang lain,
golongan obat ini digunakan terutama untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri.1
Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin, dan
tidak semua obat golongan opioid yang dipasarkan di Indonesia. Akan tetapi dengan sediaan
yang sudah ada kiranya penangganan nyeri yang membutuhkan obat opioid dapat dilakukan.
Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan
obat.1
Dahulu digunakan istilah analgesik narkotik untuk analgesik kuat yang mirip morfin.
Istilah ini berasal dari kata yunani yang berarti stupor. Istilah narkotik ini telah lama ditinggalkan
jauh sebelum ditemukannya ligand yang mirip opioid endogen dan reseptor untuk zat ini.
Dengan ditemukannya obat yang bersifat campuran agonis dan antagonis opioid yang tidak
meniadakan ketergantungan fisik akibat morfin maka penggunaan istilah analgesik narkotik
untuk pengertian farmakologik tidak sesuai lagi.1
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI OPIOID
Opioid atau opiat berasal dari kata opium, getah dari bunga opium, Papaver somniverum,
yang mengandung kira-kira 20 alkaloid opium, termasuk morfin. Nama Opioid juga digunakan
untuk opiat, yaitu suatu preparat atau derivat dari opium dan narkotik sintetik yang kerjanya
menyerupai opiat tetapi tidak didapatkan dari opium.Obat-obat yang termasuk dalam golongan
opiat adalah candu, morfin, heroin, demerol, metadon. Semua obat-obat tersebut, jika disalah
gunakan dapat menimbulkan adiksi (kecanduan).2
Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor
morfin, misalnya. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam
anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan.2, 3
B. KLASIFIKASI OPIOID
Yang termasuk golongan opioid ialah : (1) obat yang berasal dari opium-morfin ; (2)
senyawa semisintetik morfin ; (3) senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.3
Didalam klinik opioid dapat digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin).
Akan tetapi pembagian ini sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi relatifnya, dan
bukannya pada potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi yang lebih luas, dan dapat
menyembuhkan nyeri yang berat lebih banyak dibandingkan dengan opioid lemah.Penggolongan
opioid lain adalah opioid natural (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain), semisintetik (heroin,
dihidro morfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan
remifentanil).2, 3
Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat
digolongkan menjadi ;2, 3
1. Agonis opoid
2
Merupakan obat opioid yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor,
tertama pada reseptor m, dan mungkin pada reseptor k contoh ; morfin, papaveretum,
petidin (meperidin, demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein,
alfaprodin.2,3
2. Antagonis opioid
Merupakan obat opioid yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor dan
pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor, contoh : nalokson.2,3
3. Agonis-antagonis (campuran) opioid
Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja sebagai agonis pada
beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain, contoh
pentazosin, nabulfin, butarfanol, bufrenorfin.2,3
C. MEKANISME KERJA
Reseptor opioid yang terdapat didalam susunan saraf pusat sama baiknya dengan yang
ada disepanjang jaringan periper. Reseptor – reseptor ini normalnya distimulasi oleh peptida
endogen (endorphins, enkephalins, dan dynorphins) diproduksi untuk merespon rangsangan yang
berbahaya. Dalam dokumen – dokumen yunani nama – nama dari reseptor opioid berdasarkan
atas bentuk dasar agonistnya:4
Mu (µ) (agonis morphine) reseptor – reseptor Mu terutama ditemukan di batang otak,
dan thalamus medial. Reseptor – reseptor Mu bertanggung jawab pada analgesia
supraspinal, depresi pernapasan, euphoria, sedasi, mengurangi motilitas gastrointestinal,
ketergantungan fisik. Yang termasuk bagiannya ialah Mu1 dan Mu2, yang mana Mu1
berhubungan dengan analgesia, euphoria, dan penenang, Mu2 berhubungan dengan
depresi pernapasan, preritus, pelepasan prolaktin, ketergantungan, anoreksia, dan sedasi.
Ini juga disebut sebagai OP3 atau MOR (morphine opioid receptors).4
Kappa (κ) (agonis ketocyklazocine) reseptor – reseptor Kappa dijumpai didaerah limbik,
area diensephalon, batang otak, dan spinal cord, dan bertanggung jawab pada analgesia
spinal, sedasi, dyspnea, ketergantungan, dysphoria, dan depresi pernapasan. Ini juga
dikenal dengan nama OP2 atau KOR (kappa opioid receptors).4
3
Delta (δ) (agonis delta-alanine-delta-leucine-enkephalin) reseptor – reseptor Delta
lokasinya luas di otak dan efek – efeknya belum deketahui dengan baik. Mungkin
bertanggung jawab pada psykomimetik dan efek dysphoria. Ini juga dikenal dengan nama
OP1 dan DOR (delta opioid receptors).4
Sigma (σ) (agonis N-allylnormetazocine) reseptor – reseptor Sigma bertanggung jawab
pada efek – efek psykomimetik, dysphoria, dan stres-hingga depresi.4
Gambar 1 : struktur reseptor opioid.4
Secara umum, efek obat-obat narkotik/opioid antara lain :4
1. Efek sentral :4
a. Menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi (pacuan) pada reseptor opioid (efek
analgesi).
b. Pada dosis terapik normal, tidak mempengaharui sensasi lain.
c. Mengurangi aktivitas mental (efek sedative).
d. Menghilangkan konplik dan kecemasan (efek transqualizer).
e. Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah pasien merasakan
sebaliknya (efek disforia).
f. Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek depresi respirasi dan antitusif).
g. Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek emetik), tapi pada akhirnya
menghambat pusat emetik (efek antiemetik).
h. Menyebabkan miosis (efek miotik).
4
i. Memicu pelepasan hormon antidiuretika (efek antidiuretika).
j. Menunjukkan perkembangan toleransi dan dependensi dengan pemberian dosis yang
berkepanjangan.
2. Efek perifer :4
a. Menunda pengosongan lambung dengan kontriksi pilorus.
b. Mengurangi motilitas gastrointestinal dan menaikkan tonus (konstipasi spastik).
c. Kontraksi sfingter saluran empedu.
d. Menaikkan tonus otot kandung kencing.
e. Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi ortostastik.
f. Menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan histamin, dan
memicu bronkospasmus pada pasien asma.
D. MORFIN
1. Sumber Morfin
Seratus tahun yang lalu belum ada obat – obat antibiotik, obat hormonal, atau
antipsikotik. Sesungguhnya belum ada obat – obat yang betul bermanfaat, namun beberapa jenis
morfin secara efektif telah menghilangkan nyeri yang hebat. Obat – obat ini juga dapat
mengontrol diare, batuk, ansietas, dan insomnia,. Dengan alasan ini Sir William Osler
menamakan morfin sebagai “obat dewa” (God’s own medicine).Morfin pertama kali diisolasi
pada 1804 oleh ahli farmasi Jerman Friedrich Wilhelm Adam Sertürner. Morfin digunakan untuk
mengurangi nyeri dan sebagai cara penyembuhan dari ketagihan alkohol dan opium.Sumber
opium, zat – zat dari opium yang belum diolah, dan morfin bersumber dari bunga opium
Papaver somniferum. Tanaman ini telah digunakan selama lebih dari 6000 tahun, dan
penggunaanya terdapat dalam dokumen – dokumen kuno Mesir, Yunani, dan Romawi. Yang
menarik pada opium ialah bahwa sampai pada abad ke 18 belum ada perhatiaan akan
kecenderungan adiksi opium.4,5
Morfin berasal dari perkataan “Morpheus” yaitu dewa mimpi dalammitologi Yunani.
Morfin adalah sejenis bahan yang terdapat di dalam cecair candu dan digunakan oleh dokter
untuk meringankan rasa sakit. Morfin juga dikenali sebagai “M”, “White Stuff”, “White
Powder”, “Monkey”, “Dreamer”, “Morpho”, “Tab”, “Morb”, “Cubes”, “Emsel” dan “Melter”.
5
Morfin adalah komponen utama dari opium/candu yang diperoleh tumbuhan Papaver
Somniferum.Morfin diperdagangkan secara bebas dalam bentuk:4,5
a) Bubuk atau serbuk berwarna putih dan mudah larut dalam air. Dapat disalahgunakan
dengan jalan menyuntikkan, merokok atau mencampur dalam minuman, adakalanya
ditaburkan begitu saja pada luka-luka bekas disilet sendiri oleh para korban.
b) Cairan berwarna putih disimpan dalam ampul atau botol, pemakaiannya hanya dilakukan
dengan jalan menyuntik.
c) Balokan dibuat dalam bentuk balok-balok kecil dengan ukuran dan warna yang berbeda-
beda.
d) Tablet Dibuat dalam bentuk tablet kecil putih.
Struktur Morphin
Morfin (morfin), alkaloid yang paling penting dari opium,berbentuk kristal berkilau
putih, prisma, jarum, atau bubuk berbau kristal rasa pahit yang meleleh pada sekitar 2300C.
Morfin digunakan sebagai, narkotika, hipnotik, sedatif, dan analgesik. Terdapat beberapa jenis
morfin, antara lain :4,5
• Morfin Mentah / Kasar5
Morfin mentah atau morfin kasar ini didapati dalam bentuk blok atau serbuk. Warna blok
berbeda-beda dari putih ke cokelat gelap dan kebanyakkannya mempunyai tanda ’999′. Blok-
blok ini biasanya mengandungi 70 % hingga 90 % morfin hidroklorid.
• Bes Morfin5
Bes morfin adalah sejenis alkaloid yang diperolehi secara langsung dari candu. Bahan ini
kadangkala mempunyai bau seperti opium dan berupa seperti serbuk kopi halus. Kandungan
morfin yang terdapat di dalamnya adalah antara 60 % hingga 70 %.
6
• Pil Morfin5
Pil-pil morfin ini mengandungi morfin sulfat atau morfin hidroklorid yang dikeluarkan
secara sah atau legal, namun seringkali disalahgunakan ke pasaran gelap. pil-pil ini berukuran
kecil dan berwarna putih atau cokelat pucat.
Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah dan
menguntungkan, yang dibuat dari bahan getah Papaver somniferum. Morfin paling mudah larut
dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).
Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif, yakni tidak begitu
mempengaharui unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan
pendengaran, bahkan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.
2. Mekanisme Morfin
Secara umum, opioid berbagi kemampuan untuk merangsang nomorreseptor opiat yang
spesifik di SSP, menyebabkan sedasi dan depresi pernafasan.Kematian hasil dari kegagalan
pernapasan, biasanya sebagai akibat dari apnea paru atau aspirasi isi lambung. Selain itu paru,
noncardiogenic akut. Edema dapat terjadi dengan mekanisme yang tidak diketahui.Efek analgesi
morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme :5
1. Morfin meninggikan ambang rangsang nyeri
2. Morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul
dikorteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus
3. Morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.
Mekanisme aksi, metabolisme dan farmakokinetik obat opioid bertindak dengan mengikat
reseptor tertentu dalam otak yang mengarah ke tindakan spesifik berdasarkan jenis reseptor yang
terlibat. Ada empat jenis reseptor opioid, termasuk mu, kappa, delta dan nociceptin orphanin FQ.
Reseptor opioid situs mengikat untuk peptida endogen yang memainkan peran penting dalam
modulasi respon terhadap rasa sakit, pengaturan suhu tubuh, respirasi, aktivitas endokrin dan
gastrointestinal, suasana hati, motivasi dan opiat eksogen lainnya dapat bertindak sebagai
functions.8 agonis, agonis parsial atau antagonis reseptor ini. Sebagian besar dengan
ketergantungan opioid potensial agonis pada reseptor mu. Obat ini mengaktifkan sistem dopamin
mesocorticolimbic melalui kepemilikan mereka agonis mu menyebabkan euforia, penguatan
positif dan perilaku mencari obat.5
7
Ketika reseptor opioid diaktifkan oleh agonis (endogen atau eksogen), kaskade perubahan
intraseluler melibatkan sistem messenger kedua dan ketiga diatur dalam gerak. Perubahan ini
tidak hanya menghasilkan perubahan langsung dalam respon neuron opioid receptorbearing
tetapi juga menyebabkan perubahan adaptif dalam sistem lain, neuron berinteraksi dengan
mereka. Beberapa dari perubahan ini terkait dengan pengembangan intraseluler toleransi
(reaktivitas konsentrasi menurun bahkan pada reseptor opioid) dan rangsangan diubah
(withdrawal) ketika agonis akan dihapus setelah periode hunian reseptor.5
Morfin merupakan agonis reseptor opioid, dengan efek utama mengikat dan mengaktivasi
reseptor µ-opioid pada sistem saraf pusat. Aktivasi reseptor ini terkait dengan analgesia, sedasi,
euforia, physical dependence dan respiratory depression. Morfin juga bertindak sebagai agonis
reseptor κ-opioid yang terkait dengan analgesia spinal dan miosis.5
Interaksi antara lingkungan dan individu dapat memainkan peran penting dalam perilaku
mencari obat dan menciptakan pemicu untuk penggunaan narkoba. Dengan kata lain, mekanisme
neurobiologis aksi opioid dapat mewakili interaksi antara lingkungan sebagai pemicu untuk
penggunaan obat-obatan terlarang dan individu sebagai subjek yang akan melihat kebutuhan
yang mendesak obat dalam menanggapi indeks lingkungan.5
3. Farmakodinamika
Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos.
Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi.
Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi
termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal, konvulsi dan
sekresi hormone anti diuretika (ADH).6
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin
juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah
pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian
parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaharui janin.
Ekresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan
keringat.6
Morfin dapat diabsorpsi oleh usus, tetapi efek analgetik yang tinggi diperoleh melalui
parentral. Dari satu dosis morfin, sebanyak 10 % tidak diketahui nasibnya, sebagian mengalami
8
konjugasi dengan asam glukoronat di hepar dan sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas.
Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Urine mengandung bentuk bebas dan bentuk konjugasi.
Berdasarkan hal ini, dapat dilakukan identifikasi morfin dalam urine dari penderita yang diduga
keracunan morfin.6
Di dalam tubuh, morfin terutama dimetabolisme menjadi morphine-3-
glucuronide dan morphine-6-glucuronide (M6G). Pada hewan pengerat, M6G tampak memiliki
efek analgesia lebih potensial ketimbang morfin sendiri. Sedang pada manusia M6G juga tampak
sebagai analgesia. Perihal signifikansi pembentukan M6G terhadap efek yang diamati dari suatu
dosis morfin, masih jadi perdebatan diantara ahli farmakologi.6
4. Farmakokinetik
Biasanya, efek puncak terjadi dalam waktu 2-3 jam, namun penyerapan mungkin akan
diperlambat oleh efek farmakologis mereka pada motilitas gastrointestinal. Kebanyakan obat
memiliki volume distribusi yang besar (3-5 L / kg). Tingkat eliminasisangat bervariasi, dari 1-2
jam untuk turunan fentanyl lawan 15-30 jam untuk metadon. Morfin tidak dapat menembus kulit
utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin
dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek
analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat
melewati sawar uri dan mempengaruhi janin. Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian
kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat.6
5. Indikasi
Indikasi morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk meredakan atau
menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat
nyerinya makin besar dosis yang diperlukan.Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang
menyertai :6
a) Infark miokard
b) Neoplasma
c) Kolik renal atau kolik empedu
d) Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner
e) Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan
9
f) Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.
g) Rasa sakit hebat yang terkait dengan laba-laba janda hitam envenomation, ular
berbisaenvenomation, atau gigitan atau sengatan lainnya.
h) Sakit yang disebabkan oleh cedera korosif pada mata, kulit, atau saluran pencernaan.
i) Edema paruakibat gagal jantung kongestif.Kimia-diinduksi edema paru noncardiogenic
bukan merupakan indikasi untuk terapi morfin.
6. Kontraindikasi6
A. Diketahui hipersensitif terhadap morfin.
B. Pernapasan atau depresi sistem saraf pusat dengan kegagalan pernapasan yang akan
datang, kecuali pasien diintubasi atau peralatan dan personil terlatih berdiri untuk
intervensi jika diperlukan.
C. Dugaan cedera kepala.Morfin dapat mengaburkan atau menyebabkan depresi sistem
saraf pusat berlebihan.
7. Dosis
Dosis toksik sangat bervariasi tergantung pada senyawa spesifik rute dan tingkat
administrasi, dan toleransi terhadap efek obat sebagai akibat dari penggunaan kronis. Beberapa
turunan fentanil lebih baru memiliki potensi sampai dengan 2000 kali dari morfin.5,6
Dosis dan sediaan Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam
bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis awal 5-10 mg biasa adalah 10-15 mg IV
atau SC atau IM, dengan pemeliharaan dosis analgesik 5-20 mg setiap 4 jamDosis anjuran untuk
menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang atau untuk dosis pediatrik adalah 0,1-0,2
mg/kgBBsetiap 4 jam. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai
yamg diperlukan.5,6
Morfin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian subkutan (dibawah kulit), intra
muskuler, intravena, tetapi tidak diabsorbsi dengan baik di saluran pencernaan. Oleh sebab itu
morfin tidak pernah tersedia dalam bentuk obat minum. Rute oral dan rektal menghasilkan
penyerapan tidak menentu dan tidak direkomendasikan untuk digunakan pada pasien akut.5,6
Morfin diberikan secara parenteral dengan injeksi subkutan, intravena, maupun epidural.
Saat diinjeksikan, terutama intravena, morfin menimbulkan suatu sensasi kontraksi yang intensif
10
pada otot. Oleh karena itu bisa menimbulkan semangat luar biasa. Tak heran bila dikalangan
militer terkadang menggunakan autoinjector untuk memperoleh manfaat tersebut.5,6
Pemberian secara oral, biasa dalam sediaan eliksir, solusio, serbuk, atau tablet. Morfin
jarang disuplai dalam bentuk suppositoria. Potensi pemberian oral hanya seperenam hingga
sepertiga dari parenteral. Hal ini dikarenakan bioavailabitasnya yang kurang baik. Saat ini morfin
juga tersedia dalam bentuk kapsul extended-release untuk pemberian kronik dan juga
formulasi immediate-release.5,6
8. Efek Samping
Kontak morfin dengan kulit orang yang sensitif dapat menyebabkan eritema, urtikaria,
gatal-gatal dan dermatitis. Kerentanan efek terapi dan toksisitas bervariasi terhadap orang yang
berbeda, anak-anak yang lebih rentan daripada orang dewasa, seperti juga orang yang menderita
myxedema dan hipotiroidisme.6
Morfin bekerja langsung pada sistem saraf pusat untuk menghilangkan sakit. Efek
samping morfin antara lain adalah penurunan kesadaran, euforia, rasa kantuk, lesu, dan
penglihatan kabur. Morfin juga mengurangi rasa lapar, merangsang batuk, dan meyebabkan
konstipasi. Morfin menimbulkan ketergantungan tinggi dibandingkan zat-zat lainnya.6
Efek subyektif yang dialami oleh individu pengguna morfin antara lain merasa gembira,
santai, mengantuk, dan kadang diakhiri dengan mimpi yang menyenangkan. Penggunaan morfin
umumnya terlihat apatis, daya konsentrasinya menurun, dan pikirannya sering terganggu pada
saat tidak menggunakan morfin. Efek tersebut yang selanjutnya menyebabkan penggunanya
merasa ketagihan. Disamping memberi manfaat klinis, morfin dapat memberikan resiko efek
samping yang cukup beragam, antara lain efek terhadap sistema pernafasan, saluran pencernaan,
dan sistema urinarius.6
Efek pada sistema pernafasan berupa depresi pernafasan, yang sering fatal dan
menyebabkan kematian. Efek ini umumnya terjadi beberapa saat setelah pemberian intravenosa
atau sekitar satu jam setelah disuntikkan intramuskuler. Efek ini meningkat pada penderita asma,
karena morfin juga menyebabakan terjadinya penyempitan saluran pernafasan. Efek pada
sistema saluran pencernaan umumnya berupa konstipasi, yang terjadi karena morfin mampu
meningkatkan tonus otot saluran pencernaan dan menurunkan motilitas usus. Pada sistema
urinarius, morfin dapat menyebabkan kesulitan kencing. Efek ini timbul karena morfin mampu
11
menurunkan persepsi terhadap rangsang kencing serta menyebabkan kontraksi ureter dan otot-
otot kandung kencing. Tanda- tanda pemakaian obat bervariasi menurut jenis obat, jumlah yang
dipakai, dan kepribadian sipemakai serta harapannya.6
9. Gejala Klinis6,7
a. Dengan overdosis ringan atau sedang, kelesuan umum. Pupil biasanya kecil, sering
"menentukan" ukuran. Tekanan darah dan denyut nadi yang menurun, gerakan usus
berkurang, dan otot-otot biasanya lembek.
b. Dengan dosis yang lebih tinggi, koma disertai oleh depresi pernafasan, dan apnea sering
mengakibatkan kematian mendadak. Edema paru Noncardiogenic dapat terjadi, sering
setelah resusitasi dan administrasi nalokson antagonis opiat.
c. Kejang tidak umum setelah overdosis opioid tetapi kadang-kadang terjadi dengan senyawa
tertentu (misalnya, dekstrometorfan, meperidin, propoxyphene, dan tramadol). Kejang dapat
terjadi pada pasien dengan kompromi ginjal yang menerima berulang dosis meperidin,
karena akumulasi dari metabolit normeperidine.
d. Sama dengan yang terlihat dengan antidepresan trisiklik cardiotoxicity dan quinidine dapat
terjadi pada pasien dengan intoksikasi propoxyphene parah.
10. Obat atau interaksi laboratorium7
A. Efek depresan Aditif dengan agonis opioid lain, etanol dan lain-hipnotis penenang agen, obat
penenang, dan antidepresan.
B. Secara fisik tidak sesuai dengan solusi yang mengandung berbagai obat, termasuk aminofilin,
fenitoin, fenobarbital, dan natrium bikarbonat.
11. Keracunan Morfin7
Perjalanan dari keracunan akut bervariasi dengan dosis yang lebih besar karena setelah
gejala awal dapat diikuti oleh aksi depresan pada sistem saraf pusat. Mengonsumsi dosis kecil
mungkin diikuti dengan wajah berkeringat, dan perasaan menjadi tenang dan nyamanan.
Dengan dosis yang lebih besar pasien mengalami kekeringan pada mulut dan merasa haus,
warna kulit berubah pucat, denyut nadi dan pernapasan menjadi lambat, pupil kostriksi dan
12
mungkin ada mual, muntah, sembelit. Setelah dosis besar,timbul diare, tinnitus, mata berkedip-
kedip, dan stranguria mungkin terjadi. Pasien tertidur sampai mabuk, dan akhirnya koma.
Gejala kelebihan dosis :7
Pupil mata sangat kecil (pinpoint), pernafasan satu- satu dan coma (tiga gejala klasik).
Bila sangat hebat, dapat terjadi dilatasi (pelebaran pupil). Sering disertai juga nausea (mual).
Kadang-kadang timbul edema paru (paru-paru basah).
Gejala–gejala lepas obat :7
Agitasi, nyeri otot dan tulang, insomnia, nyeri kepala. Bila pemakaian sangat banyak
(dosis sangat tinggi) dapat terjadi konvulsi(kejang) dan koma, keluar airmata (lakrimasi), keluar
air dari hidung(rhinorhea), berkeringat banyak, cold turkey, pupil dilatasi, tekanan darah
meninggi, nadi bertambah cepat, hiperpirexia (suhu tubuh sangat meninggi), gelisah dan cemas,
tremor, kadang-kadang psikosis toksik.
Keracunan morfin dapat terjadi secara akut dan secara kronis. Keracunan akut biasanya
terjadi akibat percobaan bunuh diri atau dosis yang berlebihan. Keracunan kronis terjadi akibat
pemakaian berulang-ulang dan inilah yang sering terjadi. Adiksi (kecanduan) atau “morfinisme”
tidak lain dari pada suatu keadaan keracunan kronis. Adiksi morfin ditandai dengan adanya
habituasi, ketergantungan fisik dan toleransi. Gejalanya antara lain merasa sakit, iratabilitas,
tremor, lakrimasi, berkeringat, menguap, bersin-bersin, anoreksia, midriasis, deman, pernafasan
cepat, muntah-muntah, kolik, diare dan pada akhirnya penderita mengalami dehidrasi, ketosis,
asidosis, kolaps kardiovackuler yang bisa berakhir dengan kematian.
Pada beberapa orang, terutama pasien perempuan, depresi sistem saraf pusat dapat
diawali oleh rasa gembira. Pada tahap awal keracunan pasien mungkin sebagian dan sementara
terangsang ke rasa kebingungan. Kemudian refleks menghilang dan otot menjadi lembek. Jarang
pada orang dewasa lebih sering pada anak-anak mungkin ada kejang, trismus, dan opisthostonos.
Respirasi lambat, tidak teratur, stridulous, dan kadang-kadang mempunyai karakter
Cheynestokes atau Kussmaul. Kemungkinan ditandai dengan sianosis, dan denyut nadi menjadi
lemah, lambat, dan sering tidak teratur, kulit dingin dan lembap, dan menurunkan suhu tubuh.
Pupil yang berkonstriksi maksimal dan hanya selama tahap terminal mereka melebar atau
berdilatasi. Penglihatan menjadi kabur, dan hemiopia, pembatasan bidang visual, dan amaurosis
dapat berkembang.
13
Dalam kematian, keracunan akut morfin terjadi setelah tujuh sampai dua belas jam dari
kelumpuhan pernapasan, jika pasien bertahan dua belas jam, prognosis biasanya baik. Setelah
pemulihan dari keracunan akut, sakit kepala sembelit , muntah, gatal, dan gangguan kemih
kadang-kadang akan tetap ada. Dalam kasus pneumonia dan edema paru kemungkinan dapat
berkembang dan dalam kasus ini mungkin jarang remisi, mungkin karena reabsorpsi dari saluran
pencernaan.
Penggunaan terus morphine menyebabkan toleransi, sehingga dosis harus ditingkatkan
untuk menghasilkan efek yang diinginkan dan akhirnya mengarah pada kecanduan dan
keracunan kronis. Pada keracunan morfin kronis kulit biasanya menunjukkan stigmata dari
pecandu, ditandai dengan bekas luka dari suntikan dan kadang-kadang dengan abses. Gatal,
jerawat rosacea, urtikaria, dan eritematosa dan vesikular pecah mungkin juga terjadi. Pasien
menderita gangguan umum yang dikarakterisasi oleh gangguan rasa dan kehilangan nafsu makan
dan berat badan yang dapat menyebabkan cachexia. Beberapa pasien menderita kekeringan pada
mulut dan merasa haus, dan beberapa dari mereka merasa kelaparan. Kulit pucat dan mungkin
ada kehilangan rambut dan deformasi dari kuku. Kadang-kadang pasien berkeringat di malam
hari, menggigil dan demam, sakit kepala, dan sesak di dada. Dia mungkin menderita sakit
lambung, kolik, tenesmus, diare berdarah, atau sembelit dan disuria. Pada orang lain mungkin
berkembang menjadi nefritis dengan albuminuria, oliguria, anuria dan yang mungkin
mengakibatkan uremia. Pada pasien laki-laki, awalnya libido akan meningkat dan kemudian
menurun. Pada pasien wanita, dismenore dan gangguan menstruasi lainnya dapat diamati.
Kadang-kadang pasien menderita coryza. Pupil biasanya konstriksi, jarang melebar atau tidak
teratur dan mungkin ada konjungtivitis, lakrimasi, amblyopia dan amaurosis. Fungsi psikis
adalah yang pertama terangsang, kemudian menjadi depresi. Pasien menjadi murung dan apatis,
memori dan penilaiannya terganggu, dan secara mental dan moral ia menjadi buruk. Dia
mungkin menjadi gelisah dan menderita insomnia dan kecemasan. Beberapa pasien psikosis
biasanya berkembang menjadi depresi, halusinasi dan kadang-kadang paranoid. Keluhan lainnya
tentang gangguan sensori seperti gatal-gatal, formication, dan nyeri neuritik. Refleks superfisial
kadang-kadang meningkat dan mungkin ada tremor, inkoordinasi dan gangguan berbicara.
Adiksi (kecanduan) atau “morfinisme” tidak lain dari pada suatu keadaan keracunan
kronis. Adiksi morfin ditandai dengan adanya habituasi, ketergantungan fisik dan toleransi.
Gejalanya antara lain merasa sakit, iratabilitas, tremor, lakrimasi, berkeringat, menguap, bersin-
14
bersin, anoreksia, midriasis, deman, pernafasan cepat, muntah-muntah, kolik, diare dan pada
akhirnya penderita mengalami dehidrasi, ketosis, asidosis, kolaps kardiovackuler yang bisa
berakhir dengan kematian.
12. Pengobatan
A. Darurat dan langkah-langkah dukungan7
1. Mempertahankan jalan napas terbuka dan membantu ventilasi jika perlu. Administer
oksigen tambahan.
2. Perlakukan koma, kejang, hipotensi, dan noncardiogenic edema paru jika mereka terjadi.
B. Spesifik obat dan penangkalnya.
1. Nalokson adalah antagonis opioid tertentu dengan tidak ada sifat agonis sendiri; dosis
besar dapat diberikan dengan aman. ). Ini adalah antagonis reseptor bertindak pendek. 6-
alfa-naloxol memiliki setengah-hidup lebih lama daripada naloxone. Biasanya diberikan
secara intravena (IV), subkutan (SC) atau intramuskular (IM). Beberapa laporan
menunjukkan bahwa pemberian IM dapat memperpanjang efek dari naloxone. Biasanya
diberikan oleh paramedis sebelum untuk pasien darurat. Ada bukti bahwa efek depresan
antagonizes pernapasan morfin hingga enam hours. Dosis awal 0,4 mg biasanya IV / SC /
IM. Hal ini dapat diulang sampai pasien merespon. Beberapa studi telah mengindikasikan
kisaran dosis total antara 2-6 mg tergantung pada waktu paruh dari opioid termasuk
dalam overdose.7
a. Mengadministrasikan nalokson, 0,4-2 mg IV. Sebagai sedikit sebagai 0,2-0,4 mg
biasanya efektif overdosis heroin. Ulangi dosis setiap 2-3 menit jika ada tidak ada
respon, sampai dosis total 10-20 mg jika overdosis opioid diduga kuat.
b. Perhatian: Durasi efek dari nalokson (1-2 jam) lebih pendek dari bahwa opioid
banyak. Oleh karena itu, tidak melepaskan pasien yang telah terbangun setelah
perawatan nalokson sampai setidaknya 3-4 jam telah berlalu sejak dosis terakhir
nalokson. Secara umum, jika diperlukan nalokson untuk membalikkan opioid-
koma, lebih aman untuk mengakui pasien setidaknya 6-12 jam pengamatan.
2. Nalmefene (p 384) merupakan antagonis opioid dengan durasi yang lebih lama efek (3-5
jam).7
15
a. Nalmefene dapat diberikan dalam dosis 0,1-2 mg IV, dengan dosis berulangsampai
dengan 10-20 mg jika overdosis opioid diduga kuat.
b. Perhatian: Meskipun durasi nalmefene dari efek yang lebih lama daripadanalokson,
masih jauh lebih pendek dari durasi efek darimetadon. Jika overdosis metadon
dicurigai, pasien harusdiamati selama setidaknya 8-12 jam setelah dosis terakhir
nalmefene.
3. Natrium bikarbonat (p 345) mungkin efektif untuk perpanjangan Interval QRSatau
hipotensi yang terkait dengan keracunan propoxyphene.
C. Dekontaminasi
Racun Dan Obat Khusus: Pemeriksaan Dan Perawatan7
a. Pra-rumah sakit. Mengadministrasikan arang aktif jika tersedia. Jangan menginduksi
muntah, karena potensi untuk mengembangkan lesu dan koma.
b. Rumah sakit. Administer arang aktif. Pengosongan lambung tidak perlujika arang aktif
dapat diberikan segera.
D. Peningkatan eliminasi
Karena volume yang sangat besar distribusiopioid dan ketersediaan pengobatan yang
efektif cegah, tidak adaperan untuk prosedur penghapusan ditingkatkan. Pengobatan keracunan
akut morfin dari konsumsi obat terdiri dari lavage lambung prompt dengan larutan kalium
permanganat (0,05 persen) dan kemudian dengan air dan cairan untuk meningkatkan ekskresi
urin. Pasien harus tetap nyaman. Saat terjadi analeptik dan respirasi terganggu, pernapasan
buatan dengan pemberian oksigen diperlukan . Hal ini penting untuk mengosongkan kandung
kemih jika pasien tidak berkemih secara spontan. Pemberian subkutan atau intramuskular
nalorphin hidroklorida dalam dosis dari 5 sampai 10 mg mungkin bisa membantu dan harus
diulang setiap sepuluh hingga lima belas menit. Dalam keracunan berat dosis setinggi 40 mg
mungkin diperlukan.7
16
Pengobatan keracunan morfin kronis yaitu dengan penghentian obat. Hal ini
menghasilkan serangkaian gejala yang mencapai klimaks pada hari kedua dan ketiga dan
kemudian secara bertahap menjadi kurang ditandai sampai mereka absen setelah delapan hari.
Jika penghentian terjadi pada tahap awal, kelelahan, lemah dan suasana hati yang depresif
mungkin satu-satunya gejala. Dalam kecanduan berkepanjangan mereka biasanya jauh lebih
serius. Pasien menjadi mudah marah, coryza, menguap dan bersin, dan suara serak. Dia menjadi
gelisah, mungkin menderita kepanasan dan menggigil, gangguan pencernaan fungsional (seperti
penolakan makanan dan muntah-muntah dan diare yang dapat menyebabkan dehidrasi serta
keram di betis) dan nyeri otot, terutama di kaki, tapi kadang-kadang juga di lengan dan perut.
17
Dia mungkin menderita sakit kepala, neuralgia, kelemahan ekstrim, tremor dan delirium yang
dapat masuk ke dalam serangan manik akut. Sesekali dia mungkin sangat mengkhawatirkan,
tetapi dengan injeksi subkutan 10 mg Morphin ia akan segera tenang.7
18
BAB III
PENUTUP
Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor
morfin, misalnya. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam
anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan. Yang
termasuk golongan opioid ialah : (1) obat yang berasal dari opium-morfin ; (2) senyawa
semisintetik morfin ; (3) senyawa sintetik yang berefek seperti morfin. Didalam klinik opioid
dapat digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin). Morfin (morfin), alkaloid yang
paling penting dari opium,berbentuk kristal berkilau putih, prisma, jarum, atau bubuk berbau
kristal rasa pahit yang meleleh pada sekitar 2300C. Morfin digunakan sebagai, narkotika,
hipnotik, sedatif, dan analgesik. Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme yaitu,
morfin meninggikan ambang rangsang nyeri, morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin
dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh
korteks serebri dari thalamus, dan morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang
rangsang nyeri meningkat.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika. 2007. H
292-321.
2. Tjay, T. H., Rahardja, K. Obat-obat Penting Khasiat dan Penggunannya. edisi 5. Jakarta :
PT. Elex Media Computindo. 2002.H. 297-303.
3. Dewoto H R. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta: FKUI. 2007; 214.
4. Sulistia GG, Rianto.S, Nafrialdi. Farmakologi terapi Seksi III: Obat susunan saraf pusat:
analgesic opioid dan antagonis oleh Hedi.RD. Edisi ke-3. Department farmakologi dan
terapeutik, Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta: 2007;210-29.
5. Neal M J. At a Glance farmakologi medis. Edisi ke-5. Erlangga; Jakarta: 2006.
6. Schmitz G, Lepper H, Heidrich M. Farmakologi dan toksikologi. Edisis ke-3. Jakarta;
EGC: 2008.
7. Staf Pengajar Departemen Farmakologi. Kumpulan kuliah farmakologi. Edisi ke-2.
Jakarta; EGC: 2008.
20