Upload
andy-santoso-hioe
View
255
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
Efek Overdosis Morfin dan Antidotumnya
I. Teori Singkat
Opium atau candu berasal dari getah Papaver somniferum L yang telah
dikeringkan. Alkaloid asal opium dibagi atas dua yaitu golongan fenantren ( termasuk
morfin dan kodein ) dan golongan benzilisokinolin (papaverin dan noskapin ). Morfin
adalah opium alkaloid, analgesi poten, dan agen sedative. Pemberian morfin, akan
menurunkan tonus vena, resistensi vascular sistemik, menyebabkan penurunan preload dan
afterload.
Kegunaan morfin di dalam pengobatan :
Kegunaan morfin bagi pengobatan adalah untuk analgesik:
• Rasa sakit pada infark miokard
• Rasa sakit pada pasien yang mengalami krisis sel bulan sabit
• Rasa sakit yang disebabkan oleh kondisi operatif, baik pre- atau postoperatif
• Rasa sakit yang berhubungan dengan trauma
• Rasa sakit kronis, misalnya karena kanker
• Rasa sakit karena batu ginjal
• Rasa sakit di punggung yang parah
Morfin juga dapat digunakan sebagai:
• Sebagai adjuvan bagi anestesi umum
• Epidural anestesi / analgesik intratekal
• Tindakan paliatif
• Antitusif
• Penatalaksanaan dyspnea
• Antidiare pada kondisi kronis
• Pulmonari edema akut
• Menurunkan/ menyeimbangkan gula darah pada pasien diabetes dan
melawan efek diabetes lain, seperti neuropati diabetes. Morfin juga memberi
efek terhadap hipertensi, kadar kolesterol darah, meningkatkan hasil
laboratorium dari berbagai jenis dari anemia
• Depresi refrakter
Morfin digunakan untuk mengurangi nyeri dan sebagai cara penyembuhan dari
ketagihan alkohol dan opium. Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya)
relatif selektif, yakni tidak begitu mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa
getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahkan persepsi nyeripun tidak selalu hilang
setelah pemberian morfin dosis terapi.
Efek analgesik morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ;
(1) morfin meninggikan ambang rangsang nyeri
(2) morfin dapat mempengaruhi emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang
timbul di korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks
serebri dari thalamus
(3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri
meningkat.
Morfin merupakan agonis reseptor opioid, dengan efek utama mengikat dan
mengaktivasi reseptor µ-opioid pada sistem saraf pusat. Aktivasi reseptor ini terkait
dengan analgesia, sedasi, euforia, physical dependence dan respiratory depression. Morfin
juga bertindak sebagai agonis reseptor κ-opioid yang terkait dengan analgesia spinal dan
miosis. Morfin juga mengaktivasi reseptor δ, yang mana memegang peranan dengan
menimbulkan depresi pernafasan seperti opioid.
Terdapat juga opioid endogen yang terdapat dalam tubuh manusia, terdapat tiga
jenis yaitu endorphin, enkefalin dan dinorfin. Faktor yang dapat mengubah eksitasi morfin
ialah idiosinkrasi dan tingkat eksitasi reflex SSP. Idiosyncrasy adalah suatu reaktivitas
abnormal terhadap zat kimia yang ganjil/ aneh yang ditimbulkan dari seorang individu.
Respon idiosinkrasi mungkin berasal dari bentuk sensitivitas yang extreme terhadap dosis
rendah atau insensitifitas ekstreme terhadap dosis tinggi dari suatu zat kimia. Kita sekarang
tau dengan yakin bahwa reaksi idiosinkrasi dapat dihasilkan dari genetic polimorfisme
yang menyebabkan individual differences dalam farmakokinetik obat. Polimorfisme juga
dapat menyebabkan farmakodinamik obat berbeda ke individu seperti interaksi obat-
reseptor.
Morfin memiliki efek samping depresi respirasi dan CNS yang menghasilkan
respiratory arrest. Efek morfin pada SSP dan usus ditimbulkan karena morfin bekerja
sebagai agonis pada reseptor µ. Selain itu, morfin juga mempunyai afinitas yang lebih
lemah terhadap reseptor δ dan κ. Morfin mempunyai efek yang lebar terhadap sistem
fisiologi. Morfin berefek analgesia, mood afek, dan perilaku menghargai, perubahan
respirasi (depresi), kardiovaskular, gastrointestinal, dan fungsi neuroendokrin.
Reseptor agonis opioid juga merupakan analgesi potent pada binatang. Depresi
pernapasan dan miosis mungkin terjadi, termasuk euphoria. Morfin dosis kecil
menimbulkan euphoria pada pasien yang sedang menderita nyeri, sedih, dan gelisah.
Sebaliknya dosis yang sama pada orang normal seringkali menimbulkan disforia berupa
perasaan khawatir atau takut disertai mual dan muntah. Morfin menimbulkan pula rasa
kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis, aktivitas motorik kurang, letargi,
muka gatal dan mulut terasa kering.
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh tetapi dapat diabsorpsi melalui kulit luka,
morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgetik
setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgetik setelah pemberian
parenteral dengan dosis yang sama. Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian morfin
mengalami konjugasi dengan asam glukoronat di hepar, sebagian dikeluarkan dengan
bentuk bebas dan 10% tidak diketahui nasibnya. Indikasi pemberian morfin biasa ditujukan
sebagai anti nyeri, edema paru akut dan anti diare. efek samping yang ditunjukan akibat
penggunaan morfin cukup beragam antara lain idiosinkrasi dan alergi serta intoksikasi
akut. Beberapa individu, terutama wanita mengalami eksitasi oleh morfin, misalnya mual
dan muntah yang mendahului depresi, tetapi delirium dan konvulsi jarang timbul.
Pada beberapa spesies, efek eksitasi morfin jauh lebih jelas. Misalnya pada kucing
dan kuda, menunjukkan eksitasi (rangsangan) yang umumnya hebat, pupil melebar,
hipersalivasi, pada tikus menunjukkan perubahan tonus badan dimana badan berada dalam
sikap yang diberikan oleh pembuat percobaan (katalepsi), pada kelinci menyebabkan
depresi dan percobaan pada mencit menunjukkan eksitasi sedang, ekornya diangkat dan
berbentuk S (efek Straub). Suatu peristiwa pada manusia yang menyerupai species
difference ini ialah peristiwa idiosinkrasi (efek obat yang terjadi pada individu tertentu
tetapi berbeda dengan efek yang terjadi pada umumnya, yang disebabkan oleh kelainan
genetik). Misalnya: morfin yang pada kebanyakan orang menyebabkan efek depresi, pada
orang tertentu, khususnya wanita, menyebabkan eksitasi.
II. Tujuan
Pada akhir percobaan/praktikum ini mahasiswa harus dapat :
1. Melihat efek morfin terutama depresi napas, miosis dan gejala lain yang terjadi
pada over dosis (OD) pada manusia, yang diperlihatkan pada kelinci terhadap
manusia
2. Menjelaskan efek morfin pada berbagai spesies ﴾”species difference”﴿.
3. Mempelihatkan efek antidotum pada keracunan/ over dosis morfin
4. Melatih mahasiswa menghitung dosis yang tepat yang akan diberi pada masing-
masing hewan coba dan memberi suntikan yang tepat sesuai petunjuk.
III. Efek overdosis morfin dan antidoktumnya
Untuk memperlihatkan efek morfin pada manusia seperti sedasi, lemas, dan miosis
terutama gejala overdosis (OD) morfin dimana terjadi trias intoksikasi akut : depresi nafas,
miosis hebat dan koma, maka observasi pada kelinci paling tepat menggambarkan hal
tersebut.
Kelinci
1. Ambillah seekor kelinci, perlakukan hewan coba dengan baik dan tidak kasar.
2. Timbanglah kelinci anda dengan timbangan hewan coba dengan akurat dan catat.
3. Lakukan observasi parameter dasar: sikap kelinci, reflex otot, diameter pupil kanan
dan kiri, hitung frekuensi pernafasan dan denyut jantung, kelakukan kelinci.
Sikap kelinci : biasanya lincah, jalan-jalan di meja laboratorium
Refleks otot: tariklah (jangan terlalu keras) tungkai kaki depannnya, normal
biasanya ada tahanan
Diameter pupil diukur dalam kondisi cahaya yang constant
Frekuensi nafas dapat dihitung dengan meraba dada kelinci atau dengan
menghitung kembang-kempisnya cuping hidungnnya. Karena frekuensi nafas
kelinci cepat maka hitunglah ¼ menit kemudian kalikan 4
Denyut jantung dihitung dengan meraba bagian dada bawah tubuh kelinci.
4. Setelah seluruh parameter dasar selesai, hitunglah berapa ml, larutan morfin yang
akan disuntik pada kelinci dengan cara perhitungan diatas.
BB Kelinci
Perkiraan:
Berat badan kelinci : 800 gram (0,8 Kg)
Dosis morfin : 0,8 kg x 0,5 ml = 0,4 ml
Dosis nalokson : 0,2 ml
5. Mintalah pada instruktur larutan morfin 4% yang akan disuntik, dalam semprit yang
telah disediakan.
6. Lakukan tindakan asepsis, dengan mengosok tempat suntikan dengan larutan alcohol
70%.
7. Suntikan larutan morfin 4% yang sesuai dengan perhitungan untuk kelinci anda
secara subkutan di daerah subscapula.Pastikan seluruh cairan morfin tadi masuk ke
dalam tubuh kelinci dan tidak ada yang tercecer keluar.
8. Biarkan kelinci tetap diatas meja laboratorium, dan lakukan observasi seluruh
parameter tiap 10 menit.
9. Bila frekuensi pernafasan telah 20X/menit, laporkan pada instruktur dan mintalah
larutan kafien benzoate 0,5ml dan suntikan secara subkutan pada daerah subscapula.
10. Ulangi obsevasi – observasi diatas. Jika sesudah 10 menit belum ada perubahan –
perubahan yang nyata, dan jika depresi respirasi sangat hebat Bila frekuensi
pernafasan tetap turun sampai kurang dari 15X/menit, laporkan pada instruktur agar
disuntikan nalorfin 0,2ml pada vena marginalis kelinci.
11. Perhatikan pada saat terjadi overdosis pada kelinci yang ditandai dengan : depresi
pernafasan, miosis, dan sikap kelinci menjadi cemas, tonus otot sangat menurun,
maka beberapa detik setelah penyuntikan nalorfin, maka kelinci akan pulih seperti
semula; aktif, tonus otot baik, frekuensi nafas normal.
Hasil pemeriksaan:
Observasi
Kelinci
Sebelum
pemberian
morfin
Selepas pemberian morfin
5 menit 10 menit 15 menit
Sikap kelinci Aktif Aktif Kurang
Aktif
Kurang
Aktif
Reflek otot Kuat Kuat Berkurang Berkurang
Diameter
pupil
kanan(cm)
0,5 0,5 0,3 0,3
Diameter
pupil kiri(cm)
0,5 0,5 0,3 0,3
Frekuensi
napas /menit
196 180 20 15
Denyut
jantung/menit
91 90 15 10
IV. Pembahasan
Farmakodinamik
Efek morfin terjadi pada susunan saraf pusat dan organ yang mengandung otot polos. Efek
morfin pada system saraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi.
Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar.
Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiperaktif reflek spinal,
konvulsi dan sekresi hormon anti diuretika (ADH).
Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin
juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah
pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian
parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaruhi
Selepas pemberian kafein benzoate
4%
Selepas pemberian
nalokson
15 menit 20 menit
Sikap kelinci Diam Aktif kembali
Reflek otot Berkurang Kuat
Diameter pupil
kanan(cm)
0,3 0,6
Diameter pupil
kiri(cm)
0,3 0,6
Frekuensi
napas/menit
8 164
Denyut
jantung/menit
15 117
janin. Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan
dalam tinja dan keringat.
Pada kelinci pemberian morfin menyebabkan terjadinya depresi nafas dan pin point pupils
(miosis). Hal ini disebabkan oleh kerja morfin pada reseptor mu yang lebih dominant
daripada reseptor kappa dan sigma. Reseptor mu berperan dalam efek analgesik
supraspinal dan depresi napas serta ketergantungan fisik.
Hal tersebut dapat menimbulkan reaksi yang serupa pada manusia, yaitu
gejala – gejala khas yang terjadi pada keracunan akut berupa TRIAS: koma, pinpoint
pupil dan depresi pernapasan.
- Penurunan kesadaran, pasien akan tampak tertidur, sopor ataupun koma (bila
terjadi intoksikasi berat).
- Respiration rate melambat, dapat mencapai 2-4 kali/mnt.
- Blood pressure awalnya normal kemudian secara progresif menurun.
Apabila pada masa awal toksifikasi pasien segera ditangani dengan oksigenasi
yang adekuat, maka Blood pressure dapat mengalami perbaikan. Tetapi apabila
terjadi hipoksia yang persisten, maka akan terjadi capillary damage dan pada
akhirnya terjadi syok.
- Penurunan suhu tubuh, kulit menjadi dingin dan lembab.
- Pembentukkan urine berkurang akibat pelepasan hormon ADH dan penurunan
blood pressure.
- Penurunan tonus otot rangka, mandibula relaksasi dan lidah mudah terjatuh ke
belakang sehingga dapat memblok jalan napas.
- Miosis/Pinpoint Pupil yang simetris. Tetapi jika hipoksia berkepanjangan, yang
terjadi justru dilatasi pupil / midriasis.
Pada pemberian kafein benzoate sebagai suatu obat perangsang SSP, yaitu memberi efek
stimulasi sistim saraf pusat untuk mengurangi depresi pernafasan. Bila tampak terjadi
perbaikan, hal ini berarti masih ada reseptor yang belum berikatan dengan morfin, jadi
masih ada tempat bagi kafein benzoate untuk berikatan dan memberikan efek SSP. Dalam
percobaan, setelah dilakukan pemberian kafein benzoat tak tampak perbaikan depresi SSP
dalam observasi, yaitu salah satunya pernapasan.
Bila kafein benzoate tidak berhasil memberikan perbaikan terhadap efek morfin, maka
pemberian nalokson harus dilakukan. Nalokson berperan sebagai antagonis murni (anti
dotum) terhadap overdosis morfin, sehingga gejala- gejala intoksikasi morfin (trias)
berupa depresi pernapasan, miosis, dan penurunan kesadaran serta aktivitas motorik dapat
dihilangkan pada kelinci tersebut. Dan setelah kelinci disuntik dengan larutan nalokson,
dilihat ke semuanya aspeknya kembali normal seperti semula.
Gejala kelebihan dosis :
Pupil mata sangat kecil (pinpoint), depresi pernafasan dan coma (tiga gejala
klasik). Bila sangat hebat, dapat terjadi dilatasi (pelebaran pupil). Sering disertai juga
nausea (mual). Kadang-kadang timbul edema paru (paru-paru basah). Gejala–gejala lepas
obat : Agitasi, nyeri otot dan tulang, insomnia, nyeri kepala. Bila pemakaian sangat banyak
(dosis sangat tinggi) dapat terjadi konvulsi(kejang) dan koma, keluar airmata (lakrimasi),
keluar air dari hidung(rhinorhea), berkeringat banyak, cold turkey, pupil dilatasi, tekanan
darah meninggi, nadi bertambah cepat, hiperpirexia (suhu tubuh sangat meninggi), gelisah
dan cemas, tremor, kadang-kadang psikosis toksik.
Kafein benzoate
Merupakan sediaan dari golongan xantin. Xantin merupakan alkaloid yang bersifat
basa lemah, biasanya diberikan dalam bentuk garam rangkap. Untuk pemberian oral dapat
diberikan dalam bentuk basa bebas dan garam , sedangkan untuk pemberian parenteral
perlu sediaan dalam bentuk garam.
Kafein disebut juga tein, merupakan kristal putih yang larut dalam air dengan
perbandingan 1: 46 kafein-Na benzoat dan kafein sitrat, berupa senyawa putih , agak, pahit
dan larut dalam air. Yang pertama tersedia , dalam ampul 2 mL mengandung 500 mg untuk
suntikan IM, sedangkan kafein sitrat terdapat bentuk tablet 60 dan 120 mg untuk
pemakaian oral.
Farmakodinamik
Susunan saraf pusat.
Orang yang minum kafein merasakan tidak begitu mengantuk, tidak begitu lelah,
dan daya pikirnya lebih cepat dan lebih jernih ; tetapi kemampuannya berkurang dalam
pekerjaan yang memerlukan koordinasi otot halus ( kerapihan) , ketepatan waktu dan
ketepatan berhitung. Efek diatas timbul pada pemberian kafein 85-250 mg.
Sistem kardiovaskular
Kafein rendah dalam plasma akan menurunkan denyut jantung yang mungkin
disebabkan oleh perangsangan nervus vagus di medula oblongata. Sebaliknya kadar
teofilin dan kafein yang lebih tinggi menyebabkan takikardi, bahkan pada individu yang
sensitif mungkin dapat menyebabkan aritmia, misalnya kontraksi ventrikel yang prematur.
Aritmia ini dapat dialami oleh orang yang minum kafein berlebihan.
Pembuluh darah
Kafein dan teofilin menyebabkan dilatasi pembuluh darah, termasuk pembuluh
darah koroner dan pulmonal karena efek langsung pada otot pembuluh darah. Dosis terapi
kafein akan menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer yang bersama dengan
peninggian curah jantung yang mengakibatkan bertambahnya aliran darah. Terapi
vasodilatasi perifer ini hanya berlangsung sebentar sehingga tidak mempunyai kegunaan
terapi.
Otot polos
Efek terpenting xantin adalah relaksasi otot polos bronkus, terutama bila otot
bronkus dalam keadaan konstriksi secara eksperimental akibat histamin atau secara klinis
pada pasien asma bronkial.
Otot rangka
Dalam kadar terapi, kafein dan teofilin ternyata dalam memperbaiki kontraktilitas
dan mengurangi kelelahan otot diafragma pada orang normal maupun pada pasien COPD.
Diuresis
Semua xantin meninggikan produksi urin.
Sekresi urin
Sekresi lambung setelah pemberian kafein memperlihatkan gambaran khas pada
orang normal maupun pada orang tukak lambung duodenum. Individu dengan
presdisposisi tukak peptik atau pasien dengan tukak peptik yang mengalami remisi juga
menunjukan respon yang abnormal terhadap pemberian kafein.
Efek metabolik
Pemberian kafein orang sehat ataupun orang yang gemuk dapat menyebabkan
peningkatan kadar asam lemak bebas dalam plasma dan juga meninggikan metabolisme
basal.
Farmakokinetik
Metilxantin cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal atau parenteral. Sediaan
bentuk cair dan tablet yang tidak bersalut akan diarbsorbsi lengkap dan cepat.
Intoksikasi
Pada manusia, kematian akibat keracunan kafein jarang terjadi. Gejala yang
biasanya paling mencolok pada penggunaan kafein dosis berlebihan ialah muntah dan
kejang. Kadar kafein dalam darah pascamati ditemukan antara 80 µg/mL sampai lebih dari
1 mg/mL.
Nalokson
Nalokson adalah antagonis opiat yang utama yang tidak mempunyai atau hanya
sedikit mempunyai aktivitas agonis. Jika diberikan pada pasien yang tidak menerima opiat
dalam waktu dekat, nalokson hanya memberi sedikit atau bahkan tidak memberikan efek.
Sedangkan pada pasien yang sudah menerima morfin dosis tinggi atau analgesik lain
dengan efek mirip morfin, nalokson mengantagonis sebagian besar efek opiatnya. Akan
terjadi peningkatan kecepatan respirasi dan minute volume, penurunan arterial PCO2
menuju normal, dan tekanan darah menuju normal jika ditekan. Nalokson mengantagonis
depresi pernapasan ringan akibat opiat dosis rendah. Karena durasi kerja nalokson lebih
singkat dibandingkan durasi kerja opiat, maka efek opiat mungkin muncul kembali begitu
efek nalokson menghilang. Nalokson mengantagonis efek sedasi atau tertidur yang dipicu
oleh opiat. Nalokson tidak mengakibatkan toleransi atau ketergantungan fisik maupun
psikologis.
Efek Tanpa Pengaruh Opioid
Pada beberapa eksperimen diperlihatkan bahwa nalokson: (1) menurunkan ambang
nyeri pada mereka yang biasanya ambang nyerinya tinggi, (2) mengantagonis efek
analgetik plasebo, (3) mengantagonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan lewat
jarum akupuntur.
Semua efek ini diduga berdasarkan antagonisme nalokson terhadap opioid endogen
yang dalam keadaan lebih aktif. Namun masih perlu pembuktian lebih lanjut efek nalokson
ini sebab banyak faktor fisiologi yang berperan dalam anagesia diatas dugaan yang sama
juga timbul tentang efek nalokson terhadap hipotensi pada hewan dalam keadaan syok
danefeknya dalam mencegah efek overeating dan obesitas pada tikus-tikus yang diberi
stress berat.
Efek subjektif yang ditimbulkan nalorfin pada manusia bergantung pada dosis ,
sifat orang bersangkutan dan keadaan. Pemberian 10-15mg nalorfin atau 10 mg morfin
menimbulkan analgesia sama kuat pada pasien dengan nyeri pascabedah.
Efek tersebut diduga disebabkan oleh kerja agonis pada reseptor kappa. Pada
beberapa persen timbul reaksi yang tidak menyenangkan misalnya rasa cemas, perasaan
yang aneh, sampai timbulnya day dreams yang mengganggu atau lebih berat lagi timbul
halusinasi. Paling sering halusinasi visual. Semua efek ini juga timbul akibat sifas
agonisnya pada reseptor opioid kappa meskipun kerjanya pada reseptor delta juga
berperan.
Nalorfin dan levalorvan juga menimbulkan depresi nafas yang diduga karena
kerjanya pada reseptor kappa. Berbeda dengan morfin, depresi nafas ini tidak bertambah
dengan bertambahnya dosis. Kedua obat ini terutama levalorvan memperberat depresi
nafas oleh morfin dosis kecil tetapi menghambat antagonis depresi napas akibat morfin dosis
besar.
Efek dengan pengaruh opioid
Semua efek agonis opioid pada reseptor mu diantagonis oleh nalokson dosis
kecil(0,4-0,8mg) yang diberikan IM atau IV. Frekuensi napas meningkat dalam 1-2 menit
setelah pemberian nalokson pada pasien dengan depresi nafas akibat agonis opioid, efek
sedatif dan efek pada tekanan darah juga segera dihilangkan. Pada dosis besar, nalokson
juga menyebabkan kebalikan efek dari efek psikomimetik dan disforia akibat agonis
antagonis. Antagonisme nalokson ini berlangsung selama 1-4 jam tergantung dari
dosisnya. Antagonisme nalokson terhadap efek agonis opioid sering disertai dengan
terjadinya fenomena overshoot misalnya berupa peningkatan frekuensi nafas melebihi
frekuensi sebelum dihambat oleh opioid. Fenomena ini diduga berhubungan dengan
terungkapnya ketergantungan fisik akut yang timbul 24 jam setelah morfin dosis besar.
Terhadap individu yang memperlihatkan ketergantungan fisik terhadap morfin,
dosis kecil nalokson SK akan menyebabkan gejala putus obat yang dapat berat. Gejala ini
mirip dengan gejala akibat penghentian tiba-tiba pemberian morfin, hanya timbul beberapa
menit setelah penyuntikan dan berakhir setelah 2 jam. Berat dan lama berlangsungnya
sindrom ini tergantung dari dosis antagonis dan beratnya ketergantungan. Hal yang sama
terjadi pada orang dengan ketergantungan fisik terhadap agonis parsial tetapi diperlukan
dosis lebih besar.
Farmakokinetik
Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya segera terlihat setelah
penyuntikan intravena. Secara oral nalokson juga diserap tetapi karena hampir seluruhnya
mengalami metabolisme lintas pertama maka harus diberikan parenteral. Obat ini
dimetabolisme di hati terutama dengan glukoronidasi.
Waktu paruhnya sekitar 3 jam dan masa kerjanya mendekati 24 jam.
Metabolitnya 6 naltrekson merupakan antagonis opioid yang lemah dan masa
kerjanya panjang. Naltrekson lebih poten dari nalokson, pada pasien adiksi
opioid pemberian 100mg se ca ra o r a l dapa t menghambat efek euforia
yan ditimbulkan oleh 25 mg heroin IV selama 48 jam.
Toleransi dan Ketergantungan Fisik
Toleransi hanya terjadi terhadap efek yang ditimbulkan oleh sifat agonis jadi
hanyatimbul pada efek subjektif sedatif dan psikomimetik dari nalorfin. Penghentian tiba-
tiba nalorfin dosis tinggi menyebabkan gejala putus obat yang khas tetapi lebih ringan
daripada gejala putus obat morfin.
Nalokson, nalorfin dan levalorfan kecil kemungkinannya untuk disalahgunakan,
sebab tidak menyebabkan ketergantungan fisik, tidak menyokong ketergantungan fisik
morfin, dan dari segi subjektif dianggap sebagai obat yang kurang menyenangkan bagi
para pecandu.
Indikasi
Antagonis opioid ini diindikasikan untuk mengatasi depresi napas akibat takar
layak opioid pada bayi baru lahir oleh ibu yang mendapat opioid pada waktu persalinan
akibat suicide dengan suatu opioid, dalam hal ini nalokson merupakan obat terpilih. Obat
ini juga digunakan untuk ketergantungan fisik terhadap opioid.
Sediaan dan Posologi
Nalorfin HCL tersedia untuk penggunaan parenteral masing-masing mengandung 0,2
mg nalorfin/ml untuk anak dan 5 mg nalokson 0,4 mg/ml. Pada intoksikasi opioid
diberikan 2 mg nalokson dalam bolus IV yang mungkin perlu diulang. Karena waktuparuh
yang singkat dosis ini diulang tiap 20-60 menit terutama pada keracunan opioid kerja lama
seperti metadon. Cara lain ialah memberikan dosis 60% dari dosisawal setiap jam setelah
dosis awal. Untuk mengatasi depresi nafas oleh opioid pada neonatus biasanya diberikan
dosis awal 0,01mg/kgBB intravena, intramuskular, atau subkutan yang dapat diulang 3-5
menit bila respon belum tampak. Tergantung dari beratnya depresi nafas dosis ini dapat
diulang tiap 30-90 menit.