Upload
medivit
View
2.018
Download
1
Embed Size (px)
“KARYA-KARYA SASTRA MUTAHIR"
DISUSUN OLEH :
AYU TEJAWATI ELLYZABETH MUHAMMAD IMAM BAGUS WAHYUDIN NIA SUSANTI WILDANI RISKA APRIANI SILVIA HELENA
FKIP BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah, Yang berhak atas segala pujian. Shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, yang terpilih sebagai
manusia sempurna bagi tauladan umat manusia.
Adapun tujuan penulisan makalah ini ditunjukan untuk pelengkap tanggung
jawab mahasiswa selaku peserta didik, dengan harapan makalah ini menjadi tolak ukur
kita dalam memandang suatu permasalahan yang ada disekitar kita, semoga makalah ini
bisa bermanfaat bagi para pembaca.
Mengingat banyak kelemahan dan ketidaklayakan pada makalah ini, kami
mohon maaf atas segala kekurangnnya semoga Allah memaafkan segala kesalahan, dan
menerima apa yang sudah diusahakan, dan menjadikanya sebagai sebab turunya
hidayah bagi umat sekalian.
Amin, ya Rabbal’alamin.
Cirebon, September 2010
Kelompok IV
Daftar Isi
Kata pengantar...................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................... ii
Bab I Pendahuluan ...........................................................................
Bab II isi ..........................................................................................
A. Pengertian ..............................................................................
B. Novel .....................................................................................
C. Puisi 1970-an ........................................................................
D. Pengarang Wanita .................................................................
Penutup .............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Makalah ini mengulas tentang karya sastra yang mutahir yang merupakan
rangkaian materi “Sejarah Kesusastran Indonesia”sebagai salah satu proses dalam
perjalanan kesusastraan indosesia.
Perjalan sastra indonesia sejak zaman Abdullah dengan hikayat Abdullahnya,
kemudian disusul secara berturut-turut oleh angkatan balai pustaka, pujangga baru, 45,
dan 46 kini secara relatif berahir pada sastra mutahir/kontemporer. Wajar apabila
masing-masing angkatan membawa suatu pembaharuan karena pada dasarnya sastra
merupakan hasil karya manusia yang akan terus berkembang sejalan dengan
perkembangan zaman. Bukan merupakan suatu yang mustahil bila aturan-aturan atau
fenomena-fenomena yang terkandung dalam tiap-tiap periode atau angkatan mempunyai
perbedaan akibat latar belekang pembaharuan yang dibawa oleh masing-masing
periode.
Pembaharuan tersebut lebih banyak disebabkan oleh situasi masyarakat pada
saat suatu karya sastra dihasilkan. Disampig itu tidak pula dapat dibantah adanya
pengaruh kemajuan sastra di luar negri. Dan hal ini tidak hanya terjadi pada bidang
puisi, drama atau cerita pendek saja, melainkan terjadi pada bidang roman atau novel.
Berbeda dengan zaman pujangga baru sastra yang uncul pada dekade 70-an
lebih diwarnai oleh kegelisahan, baik berupa kegelisahan sosisl, batin, maupun
kegelisahan rumah tangga yang bergejolak pada masyarakat Indonesia.
BAB II
ISI
A. Pengertian
Sastra kontemporer adalah karya sastra yang muncul sekitar tahun 70-an,
bersifat eksperimental, memiliki sifat-sifat yang “menyimpang” dari konvensi-konvensi
sastra yang berlaku biasa atau umum. Sastra kontemporer muncul sebagai reaksi
terhadap sastra konvensional yang sudah beku dan tidak kreatif lagi.
Sastra kontemporer merambah pada seluruh jenis karya sastra, seperti novel,
puisi, dan drama. Tokoh-tokoh sastra ini pada zamannya termasuk sastrawan mudah
pada tahun 70-an. Munculnya sastra kontemporer merupakan reaksi terhadap sastra
konvensional yang dianggap telah mendominasi eksistensi karya sastra. Bahkan
sastrawan mudah merasa “sumpeg” dengan karya sastra yang telah ada karena merasa
terbelenggu daya kreasinya.
Kata kunci:
sastra kontemporer, puisi, drama, novel, cerpen
B. Novel
Pada tahun 1970-an ditandai dengan kreativitas luar biasa dalam penulisan salah
satunya adalah novel. Pada hakikatnya setiap karya sastra memiliki “estetika” sendiri-
sendiri. Hal inilah yang menjadi novel berbeda dari novel-novel lain, sehingga boleh
dikatakan bahwa ia merupkan “sesuatu yang baru”. Pada tahun 1970-an novel dilihat
dari aspek-aspek teoritis atau konsep penciptaan yang dapat “diduga” mendasari
pencitaan novel tersebut. Tampak bahwa ada “pergeseran” aspek tema dan pandangan
tentang dunia manusia dalam dunia pernovelan kita yang berakibat pada pergeseran
wawasan alur, gaya serta penafsiran tentang latar (material dan sosial).
Motif dasar dari pergeseran-pergeseran tersebut, adalah terletak pada cara
melihat “realitas” bahkan tak berbentuk (formless), tak jelas mana awal, mana tengah
dan mana akhirnya. Penemuan kembali realisme atau realitas imaginer dalam sastra,
menyadarkan kita kembali dari kekaburan pengalaman sastra kita, yang sejauh ini
didukung secara tak sadar oleh paham realitas atau realisme formal, yang mengukur
realitas hanya dari tampang biologis, realitas sosial, dan pesikologis. Seolah-olah tak
didasarinya lagi bahwa tokoh-tokoh mahabrata, ramayana, arjuna wiwaha ataupun
dongeng-dongeng yang hidup di desa kita, bukanlah tokoh-tokoh realitas formal, ukan
tokoh daging dan darah dengan pesikologi tertentu, tetapi hanyalah tokoh-tokoh dari
sebuah “realitas imaginer”, yang hanya ada dalam imajinasi atau bayangan manusia.
Dari sinilah kita mendapatkan pengarang-pengarang seperti Iwan
Simatupang, Danarto, Putu Wijaya, Arifin C Noer, ingin mengembalikn realitas sastra
pada keadaan yang murni, yakni realitas imaginer. Sastra harus dibebaskan dari
monotoni kesemuan dan perangkap “realitas” formal. Di pihak lain, bila kita teliti lebih
mendalam, novel-novel baru itu bersifat perlawanan (anti) terhadap sosiologi,
pesikologi, morfologi morfisme, dimana di satu pihak manusia dilihat semata-mata
dalam hubunganya sebagai anggota sosial dengan mengurangi dinamika kesadaranya
sebagai pribadi. Karena itu tidak aneh bilamana novel-novel yang demikian bersifat
antihero, anti intelektualisme, anti materialisme, anti sosialisasi kesadaran manusia
menurut sistem-sistem mereka.
Di pihak lain, dalam novel serupa itu kita melihat manusia tetap bertahan
secara vital dalam berhubungan dengan dunia, yang membentuk dia dalam suasana
tegang dan problematis. Inilah misi atau dasar filasafat yang mendasari novel-novel arus
baru, dimana yang terpenting adalah dialog antar pengarang dan tokohnya serta gerak-
gerik kesadaran manusia dalam mencari hakikatnya. Contohya pada novel yang
berjudul kering, ziarah, anu, aduh, yang merupakan novel yang membawa kita kepada
suasana misteri, bukan suatu realitas, tidak jelas ujung pangkalnya. Dengan keterangan
diatas dapat kita katakan bahwa karya iwan dan putu merupakan suatu gejala dunia
modern indonesia, yang lebih memperlihatkan perjuangan sia-sia dari pribadi-pribadi
untuk mendapatkan kemerdekaanya, karena dominasi tertentu yang penuh dengan
misteri.
Begitulah, karya iwan dan putu memberikan dimensi lain dari kenyataan,
yang dihasilkan oleh kenyataan itu sendiri dan yang memmungkinkan kita untuk
membayangkan suatu kenyataan lain.
1. Cerpen Mutahir Indonesia
Dalam perkembangnnya,cerpen yang bernilai sastra agak mengalami
berbagai macam hambatan, tersendat-sendat. Berbeda dengan pertumbuhan cerpen-
cerpen jenis hiburan yang tampak pesat sekali. Masyarakat pembaca pada umumnya
belum tergarap seleranya, belum bisa mengakrabi warna cerpen literer. Mereka lebih
menyukai cerpen hiburan yang ringan, santai, tidak berat dan rumit. Mereka merasa
enggan untuk membaca cerpen literer yang berat, ruwet, dan pelik. Cerpen hiburan
menangkap kesan atau impresi semata dari pengalaman dan pengamatan pengarang
tanpa berusaha mencari keunikan dan rahasia pengalaman itu. Sebaliknya cerpen literer
berusaha mencari hubungan setruktur luar dari kehidupan ini dengan kemungkinan
setruktur dalamnya.
Cerpen-cerpen hiburan selalu saja memisahkan gejolak batin dan lahir,
sehingga justru tampak tidak wajar. Sedangkan cerpen literer berusaha menangkap
segalanya secara wajar. Menyatukan pengalaman lahir dan batin sesungguhnya
merupakan tindakan yang wajar karena kedua hal itu tidak dapat dipisahkan. Karena
usaha mempertemukan kenyataan dalam dan kenyataan luar inilah cerpen literer
menjadi unik dan pelik, bahkan kadangkala terasa berat.
Jadi jelas sekali sekarang bahwa warna cerpen literer mutahir Indonesia itu
bukan sekedar cerpen yang berbobot karena sulit dimengerti isinya, sukar ditangkap
maknanya dengan kandungan filasafat tinggi, digarap dengan teknik absurd, melawan
logika, berusaha melepaskan diri dari ikatan konvensianal, tidak terlalu romantis, tidak
terlampau idealis, tidak juga mengiris-iris, namun menggelitik dengan gelitikan manis,
kasar bahkan menyeret kita untuk mengumpatnya.
2. Picisan, Populer, dan Literer dalam Prosa Indonesia
Cerita picisan pada umumnya digemari masyarakat. Dalam cerita picisan
pengarang tidak perlu susuah membuat ceritanya. Tidak usah memikirkan cerita
tersebut, tidak usah memikirkan jalinan plot dan sebagainya.
Kemudian pada pertengahan tahun 1970-an muncul bentuk prosa fiksi yang
mempunyai warna lain. Pengarang garda depan yang yang membuka munculnya bentuk
baru ini adalah Marga T. Dan, Ashadi Siregar, dan kemudian diikuti oleh beberapa
pengarang lain.
Cirinya adalah :
Materi yang diangkat adalah seputar kehidupan remaja, mahasiswa atau pelajar
dari lingkungan yang cukup berada.
Masalah yang dihadapi tokoh-tokoh cerita mereka adalah cinta dengan segala
liku-likunya.
Digarap dengan bahasa sehari-hari yang segar bahkan kadangkala memakai
bahasa prokem, dan penuh dengan senda gurau.
Gaya pemaparanya cenderung ringan, tidak berbelit-belit, menggunakan plot-
plot progrsif, urutan peristiwa disusun secara kronologis.
Biasa memakai latar atau setting dikampus, sekolah, kota besar pantai, atau
pegunungan yang indah.
Prosa fiksi diatas sering kita sebut sebagai cerita populer atau fiksi populer. Jakob
Sumarjo menegaskan bahwa fiksi populer mudah dipahami dan dinikmati. Karena tugas
fiksi populer yang utama adalah membuat pembaca melihat, menyaksikan dan
mengalami penyajian suatu kejadian secara kronologis. Dengan demikian tema tidak
terlalu penting dalam fiksi populer yang penting adalah jalan cerita yang penuh
ketegangan, menyajikan suasana kemudahan, keceriaan, keintelekan dan kenyamanan
hidup.
Fiksi literer adalah fiksi yang memiliki kandungan bobot sastra. Karya yang
berbobot sastra digarap dengan penuh kontemplasi, konsentrasi, sublimasi, memiliki
keunikan, dan untuk memahaminya diperlukan kepekaan yang tinggi terhadap arti
kehidupan ini. Pada fiksi literer terpancar nilai-nilai hidup yang kompleks.
Ciri-ciri fiksi literer adalah :
Materi yang di angkat adalah masalah hidup yang kompleks. Tidak sekedar cinta
namun sudah menyangkut masalah-masalah sosial, keyakinan, politik, filsafat,
dan sebagainya.Bahkan misteri kehidupan dan misteri manusia yang unik
berusaha di angkat sebagai karya mereka.
Digarap dengan bahasa keseharian yang ditata sedemikian rupa,sehingga
membuahkan tatanan kata yang primitif, menyebarkan makna. Berusaha
mendayagunakan pemakaian gaya bahasa untuk lebih memberikan intensitas
makna.
C. Puisi 1970-an
Tanda kemutahiran sebenarnya dimulai oleh Darmanto Jt., Hadi W.M., dan
lebih dipertegas oleh kelahiran Sutardji Calzum Bachri dalam pentas puisi pada dekade
1970-an. Periode 70-an ini pernah diusulkan untuk diberi nama angkatan 70, namun
pemberian nama angkatan dalam sastra kiranya harus dihubungkan dengan konsepsi
budaya yang mendasar, seperti halnya surat kepercayaan Gelanggang atau Manifes
kebudayaan.
Ciri-ciri estetik karya puisi tahun 70-an :
Puisi bergaya mantra dengan sarana kepuitisan berupa pengulangan kat, frasa,
atau kalimat.
Gaya bahasa prelalisme dikombinasikan dengan gaya bahasa hiperbola.
Banyak diciptakan puisi konkret sebagai puisi eksperimen.
Kata-kata daerah lebih banyak digunakan.
Asosiasi bunyi banyak dipergunakan untuk memperoleh makna baru.
Puisi-puisi imagisme.
Banyak ditulis puisi lagu.
Banyak kata-kata tabu yang digunakan.
Tema yang dikemukakan dalam puisi tahun 70-an :
Tema protes yang ditunjukan kepada kepentingan sosial dan dampak negatif
dari indrustialisai.
Tema hunanisme yang mengemukakan kesadaran bahwa manusia adalah
subjek pembangunan dan bukan objek pembanguan.
Tema yang mengungkapkan kehidupan batin religius dan cenderung ke mistik.
Tema yang dilukiskan melalui alegori dan perebel.
Tema yang memperjuangkan menegakan hak azasi manusia.
Tema kritik sosial terhadap tindakan sewenang-wenang.
Para penyair pada tahun 70-an :
1. Sutardji Calzum Bachri
2. Yudistira Ardinugraha (novelis)
3. Linus Suryadi
4. Leon Agusta
5. Hamid Jabar
6. Eka Budijanta
7. F.Rahardi
8. Ehma Ainun Najib
Puisi kontemporer dapat dibagi mejadi sembilan diantaranya :
1. Puisi mbeling atau puisi lagu
2. Puisi tipografi (gambaran visual)
3. Puisi yang menentang idiom-idiom konvensianal
4. Puisi yang membalik-balikan struktur kata
5. Puisi yang lebih mengutamakan unsur bunyi
6. Puisi yang mengkombinasikan bahasa asing atau bahasa daerah
7. Puisi yang mengunakan banyak simbol
8. Puisi yang lebih menonjolkan unsur garis atau gambar dalam seni
9. Puisi konkret
D. Pengarang Wanita
Pengrang di Indonesia belum begitu banyak. Namun demikian karya-karya
mereka cukup mewarnai perkembangan kesusastraan indonesia. Di antara mereka ada
yang telah menulis sekitar tahun 1935. Dari jumlah yang tidak banyak itu lebih sedikit
lagi buku yang mereka hasilkan.
Nama-nama pengarang wanita :
1. Nh. Dini (novelis)
2. Th. Sri Rahayu Prihatmi (kritikus, peneliti sastra, penulis fiksi dalam bahasa jawa)
3. Titis Basino (novelis)
4. Iskasiah Sumarto (penulis roman, novelis )
5. Marianne Katoppo (novelis)
Penutup
Sastra merupakan hasil karya manusia yang akan terus menerus
berkembang sejalan dengan perkembangan zaman sehingga suatu angkatan
membawa suatu perubahan. Pengarng-pengarang novel tahun 70-an seperti
Iwan simatupang, Donarto, Putu Wijaya, Arifin C Noer, ingin
mengembalikan realitas sastra kepada keadaan yang murni, yakni realitas
imajiner karena sastra harus dibebaskan dari monotoni kesemuan dan
perangkap realitas formal.
Perjalanan batin yang dijelajahi para pembaca novel tahun 1970-an
adalah pengalaman kegelisahan, baik berupa kegelisahan sosial,
kegelisahan batin, maupun kegelisahan rumah tangga.
Cerpen hiburan atau populer hanya menangkap kesan atau impresi
semata dari pengalaman pengarang tanpa berusaha mencari keunikan dan
rahasia pengalaman itu. Cerpen literer berusaha menangkap semua secara
wajar, menyatukan pengalaman lahir dan batin, usaha mempertemukan
kenyataan dalam dan luar, sehingga cerpen literer menjadi unik dan pelik.
Diantara penyair-penyair pria pada tahun 1970-an terselip para
penyair wanita yang hingga kini karyanya eksis dn tercatat dalam
perjalanan sejarah sastra indonesia diantara penyair wanita adalah Nh. Dini,
Th. Sri Rahayu Prihatmi dan yang lainya. Akan tetapi para pengarang wanita
lebih banyak menuliskan karya sastra berupa novel itu dikerenakan
mungkin para pengarang wanita lebih berimajinasi tentang hatinya.