Upload
others
View
32
Download
0
Embed Size (px)
SEJARAH SATRA INDONESIA
SASTRA ANGKATAN 66
Dosen Pengampu :
Drs. Ida Bagus Sutresna
Oleh:
Anak Agung Ngurah Bagus Janitra Dewanta (1512011034)
Kadek Zervina Andryani (1512011011)
Mila Sintia (1512011010)
2/A
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
2016
PRAKATA
Puji Syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat-
Nya makalah Sejarah Sastra yang berjudul “Sastra Angkatan 66” ini dapat diselesaikan tepat
pada waktunya. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen
Pengampu mata kuliah Perkembangan Peserta Didik, Drs. Ida Bagus Sutresna yang telah
memberikan bimbingan dan arahan yang baik dalam mendalami materi dan menyusun
makalah ini dan rekan-rekan kelas 2A yang telah memberi banyak memberi masukan yang
membangun.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada isi dan penulisan makalah
ini. Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Singaraja, 14 Mei 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Prakata ............................................................................................................................ i
Daftar Isi ......................................................................................................................... ii
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................ 2
1.4 Manfaat Penulisan ...................................................................................................... 2
2. Pembahasan
2.1 Latar Belakang Lahirnya Sastra Angkatan 66 ......................................................... 3
2.2 Ciri-ciri Sastra Angkatan 66 ..................................................................................... 5
2.3 Sastrawan Angkatan 66............................................................................................. 11
3. Penutup
3.1 Simpulan ................................................................................................................... 16
3.2 Saran ......................................................................................................................... 17
Daftar Pustaka
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat Indonesia, bahkan jauh sebelum
masyarakat mengenal tulisan. Sebelum mengenal tulisan sastra bersifat lisan.
Keberadaan pengaranya tidak diketahui atau anonym, karena saat itu sastra disampaikan
dari mulut ke mulut. Seiringnya waktu sastra di Indonesia mengalami perkembangan
yang sangat pesat. Banyak tokoh yang mulai menyampaikan pendapatnya mengenai
sejarah sastra Indonesia. contohnya seperti H.B.Jassin, Taufik Ismail, Sanusi Pane,
Sultan Takdir Alisyahbana dan lain-lain.
Suatu karya sastra dianggap ideal apabila mencakup setidaknya lima aspek. Yang
pertama adalah waktu. Waktu yang dimaksud adalah periodisasi atau angkatan yang
menggolongkan karya sastra tersebut. Baik angkatan 1920-an, 1933, 1942, 1945, 1953,
1966 dan seterusnya. Yang kedua adalah wilayah. Karya sastra tersebut harus berada di
territorial Indonesia yaitu dari sabang sampai merauke. Yang ketiga dalah bahasa. Sastra
Indonesia harus menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Yang
keempat adalah bangsa. Satra Indonesia yang ideal harus dikarang oleh orang
berkebangsaan Indonesia. yang kelima adalah isi karya. Isi karya sastra Indonesia yang
ideal adalah bercerita tentang bangsa maupun kehidupan orang Indonesia itu sendiri.
Walaupun pengarang karya tersebut adalah orang Indonesia, namun karyanya tidak
menggunakan bahasa Indonesia tidak dapat disebut sastra Indonesia yang ideal. Jika
karya itu sudah diterjemahkan menggunakan bahasa Indonesia disebut sastra terjemahan.
Seiring berjalannya waktu, sejarah sastra Indonesia mengikuti perkembangan
jamannya. Begitu pula pada karya sastra angkatan 66. Pada periode ini, lebih bersifat
mengkritik pemerintahan maupun politik. Pada angkatan ini, sastrawan sudah mulai
mengkritisi keadaan pemerintah maupun politik yang ada pada jaman itu. Oleh karena
itu, dalam makalah ini akan dibahas lebih detail mengenai “Sastra Angkatan 66.”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas adapun rumusan masalah yang akan di bahas
dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimana latar belakang lahirnya sastra angkatan 66 ?
1.2.2 Bagaimana ciri-ciri sastra angkatan 66 ?
1.2.3 Siapa saja sastrawan angkatan 66 ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui bagaimana latar belakang lahirnya sastra angkatan 66,
1.3.2 Untuk mengetahui bagaimana ciri-ciri sastra angkatan 66,
1.3.3 Untuk mengetahui siapa saja sastrawan sastra angkatan 66.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah :
1.4.1 Bagi Penulis
Dari penyusunan makalah ini, penulis berkesempatan membuat makalah yang baik.
Dengan menyusun makalah ini diharapkan nantinya penulis memiliki pengalaman yang
lebih dalam pembuatan makalah-makalah selanjutnya. Penulis memperoleh berbagai
pengalaman diantaranya yaitu pengalaman mencari dan menemukan sumber–sumber
yang relevan dan terpercaya dengan makalah ini. Selain itu penulis juga memperoleh ilmu
dan pengalaman mengenai teknik penulisan makalah, teknik pengutipan, teknik
penggabungan materi dari berbagai sumber dan mendapatkan wawasan lebih mengenai
materi yang disajikan dalam makalah ini.
1.4.2 Bagi pembaca
Dalam penyusunan makalah ini pembaca diharapkan dapat mengetahui dan
memahami mengenai perkembangan peserta didik terutama mengenai hukum-hukum
pertumbuhan dan perkembangan, dan semoga makalah ini dapat berguna sebagai
referensi dalam menyusun makalah sejenis.
2. PEMBAHASAN
2.1 Latar belakang lahirnya sastra angkatan 66
Munculnya sastra angkatan 66 ini didahului dengan adanya kemelut di segala bidang
kehidupan di Indonesia yang disebabkan oleh aksi teror politik G30S/PKI dan ormas-
ormas yang bernaung dibawahnya. Angkatan 66 mempunyai cita-cita ingin adanya
pemurnian pelaksanaan Pancasila dan melaksanakan ide-ide yang terkandung di dalam
Manifest Kebudayaan. Tumbuhnya sastra angkatan 66 sejalan dengan tumbuhnya aksi-
aksi sosial politik di awal angkatan 66 yang dipelopori oleh KAMMI/KAPPI untuk
memperjuangkan Tritura. Secara politis angkatan 66 terlahir dari pergolakan politik di
masyarakat dan penyelewengan oleh pejabat negara yang tidak memiliki moral, agama,
dan rasa keadilan. Dengan semangat kebangkitan 66, masyarakat menolak budaya yang
didominasi dengan politik. Peristiwa sastra pada masa itu adalah H.B. Jassin yang
memproklamasikan sebagai sastra angkatan 66. Hasil karya sastrawan dikumpulkan dalam
bukunya yang berjudul “Angkatan 66 Prosa dan Puisi” yaitu dalam majalah Horison
nomor 2 tahun 1966.
Pada tulisan tersebut dikatakan bahwa angkatan 66 lahir setelah ditumpasnya
pengkhianatan G.30S/PKI. Penamaan angkatan 66 ini pun mengalami adu pendapat.
Sebelum nama angkatan 66 diresmikan, ada yang memberi nama angkatan Manifest
Kebudayaan (MANIKEBU). Alasan penamaan ini karena Manifest Kebudayaan yang
telah dicetuskan pada tahun 1963 itu menyatakan pernyataan tegas perumusan perlawanan
terhadap penyelewengan Pancasila dan perusakan kebudayaan oleh Lekra/PKI. Beberapa
sastrawan merasa keberatan dengan nama angkatan MANIKEBU. Mereka berpandangan
bahwa sastrawan yang tidak ikut menandatangani atau mendukung Manifest Kebudayaan
akan merasa tidak tercakup di dalamnya, meskipun hasil ciptaannya menunjukkan
ketegasan dalam menolak ideologi yang dibawa oleh PKI dalam lapangan politik dan
kebudayaan.
Sebelum munculnya nama sastra angkatan 66, WS Rendra dan kawan-kawannya dari
Yogyakarta pernah mengumumkan nama sastra angkatan 50 pada akhir 1953. Nama ini
tidak populer dan kemudian dilupakan orang. Secara politis lahirnya angkatan ini
dilatarbelakangi oleh pergolakan politik dalam masyarakat dan penyelewengan-
penyelewengan pemimpin-pemimpin Negara yang tidak memiliki moral, agama, dan rasa
keadilan demi kepentingan pribadi dan golongan. Penyelewengan tersebut antara lain
pelanggaran terhadap Pancasila sebagai dasar Negara dan UUD 45 dengan memasukkan
komunis sebagai sebuah nilai keindonesiaan yang tentu saja melanggar sila pertama.
Selain itu, pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup tidak sesuai dengan
prinsip demokrasi. Hal-hal tersebut membuat negara menjadi semakin terpuruk dan rakyat
menderita. Akhirnya, dengan semangat kebangkitan angkatan 66 masyarakat menolak
kebudayaan didominasi oleh politik. Perlawanan ini dilakukan oleh semua kalangan yang
diawali oleh gerakan mahasiswa, selain pemberontakan-pemberontakan di daerah-daerah
seluruh Indonesia.
Peristiwa politik tersebut berimplikasi pada paham sastra yang berkembang pada
masa tersebut. Terdapat dua kelompok, yaitu golongan penulis yang terkumpul dalam
lekra dan para seniman penandatangan manifest kebudayaan. Selain itu, terdapat sastrawan
yang tidak terkumpul pada keduanya yang tetap pada posisi netral. Lekra, mulanya bukan
lembaga budaya PKI. Menjadi salah satu media dalam metode penyerangan terhadap
berbagai bidang PKI yang agresif. Serangan dilakukan pada orang-orang yang tidak
bersedia mendukung PKI. Salah satu tokoh yang diserang adalah Hamka. Maka pada awal
Agustus 1963 di Bogor dan di Jakarta diadakan pertemuan-pertemuan antara tokoh budaya,
pengarang dan seniman lainnya untuk membahas manifest kebudayaan. Manifest
kebudayaan adalah perlawanan-perlawanan yang dilakukan para budayawan dan sastrawan
akibat tekanan yang bertambah besar dari pihak komunis dan pemimpin bangsa yang mau
menyelewengkan negara. Hasil rumusan itu dibawa kedalam sidang lengkap pada tanggal
24 Agustus 1963. Selaku pimpinan sidang Gunawan Muhamad dan sekretarisnya Bokor
Hutasuhut, sidang memutuskan naskah manifest kebudayaan yang bunyinya sebagai
berikut.
1. Kami para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah
Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan
Nasional kami.
2. Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup
manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor
kebudayaan yang lain. setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu
sesuai dengan kodratnya.
3. Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha menciptakan dengan
kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan
mengembangkan martabat dari kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah
masyarakat bangsa-bangsa.
4. Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Manifest kebudayaan ini pertama kali dipublikasikan dalam surat kabar “Berita
Republik (Jakarta)”. Manifest tersebut ditandatangani pada 17 Agustus 1963 oleh beberapa
pengarang antar lain H.B.Jassin, Zain, Trisno, Sumardjo, Goenawan Mohamad, Bokor
Hutasuhut, Wiratmo Soekito, dan Soe hok djin. Pasca diumumkan, manifest tersebut
didukung oleh seniman-seniman di daerah. Namun, Lekra tidak tinggal diam. Dengan
menggunakan pengaruh dalam pemerintahan dan semua media yang telah dikuasai oleh
mereka, mereka menyerang manifest kebudayaan dan orang-orang yang
menandatanganinya. Soekarno menyatakan bahwa manifest kebudayaan dilarang.
Penandatanganan manifest tersebut diusir dari tiap kegiatan, ditutup segala kemungkinan
untuk mengumumkan karya-karyanya, bahkan yang menjadi pegawai pemerintah dipecat
dari pekerjaannya.
Pemberian atau penamaan “Angkatan 66” pertama kali dikemukakan oleh H.B.Jassin
dalam artikelnya berjudul “Angkatan 66 Bangkitnya Satu Generasi” yang dimuat dalam
majalah Horison, Agustus 1966, kemudian dimuat kembali dalam bunga rampainya
berjudul “Angkatan 66”. Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra)
pimpinan Mochtar Lubis. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam
menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini. Faktor-faktor yang seakan mendukung
pertumbuhan sastra, antara lain adanya taman Ismail Marzuki, didirikannya penerbit
Pustaka Jaya, adanya maecenas yang stabil. Maecenas adalah sebagai pelindung seni dan
kebudayaan dan pemerintah DKI menyelenggarakan lomba menulis roman, naskah drama
yang bisa merangsang pengarang sehingga muncul kegiatan seni budaya.
2.2 Ciri-ciri sastra angkatan 66
Karya yang dihasilkan pada angkatan 66 bermacam-macam ide dan warna.
Contohnya: warna lokal yang terdapat pada Ronggeng Dukuh Paruk karya Achmad
Thohari. Tema yang diangkat banyak mengenai masalah kegelisahan batin dan rumah
tangga. Kegelisahan tersebut bersumber pada situasi budaya belum mapan dan situasi-
situasi tersebut karena adanya norma politik dan norma ekonomi. Menegakkan keadilan
dan kebenaran berdasarkan Pancasila dan UUD 45, menentang komunisme dan
kediktatoran. Sastra Angkatan ’66 berobsesi menjadi Pancasilais sejati. Yang paling
terkenal adalah kumpulan sajak “Tirani” dan “Benteng” antologi puisi Taufiq Ismail.
Hampir seluruh tokohnya adalah pendukung utama Manifes Kebudayaan yang sempat
berseteru dengan LEKRA. Sastra tersebut merupakan sastra protes. Arti penting sajak
angkatan ‘66 pertama-tama bukanlah sebagai seni, tetapi merupakan curahan hati khas
anak-anak muda yang mengalami kelegaan perasaan setelah masa penindasan.
Ciri-ciri sastra angkatan 66 dikelompokan menjadi 2 kelompok, yaitu:
2.2.1 Kelompok sastra 60 sampai dengan 66 merupakan masa kejayaan sastrawan Lekra
yang bernaung di bawah panji-panji PKI. Sastrawan yang bersebrangan dengan
PKI dapat dikatakan kurang berkembang, apalagi manifest kebudayaan yang
menjadi konsepsinya dicekal dan dilarang pemerintah.
2.2.2 Kelompok sastra tahun 66 sampai dengna 70-an. Masa ini didominasi oleh karya-
karya yang berisi protes terhadap pemerintah. Dari segi isi, konsepsinya adalah
pancasila dan UUD 45. Dari protes sosial, ekonomi, dan politik yang dikemukakan
dengan berapi-api dan retorikanya sangat kuat beralih ke curahan hati dan perasaan
lega pengarang yang sekian tahun tertindas. Pada akhirnya tema-tema agama
menjadi warnanya.
Ciri-ciri lain sastra angkatan 66 disebutkan sebagai berikut:
1. Tema
Sebagian besar puisi angkatan 66 bertemakan protes sosial yang mengemukakan
ketidakadilan di bidang politik, pendidikan, sosial maupun ekonomi. Ketidakadilan
yang ada mendorong sastrawan mengungkapkan kritik melalui karya sastra. Misalkan
pada kutipan puisi “Pidato Seorang Demonstran” karya Mansur Samin.
…
Ketika produksi negara kosong
Para pemimpin asyik ngomong
TapI harga-harga terus menanjak
Sebab percaya diatasi dengan mupakat
Rakyat masih diam saja
…
Puisi siatas bertemakan protes sosial untuk mengkritik pemimpin yang bersikap santai
sedangkan rakyat sengsara.
2. Isi
Karya sastra angkatan 66 berisikan tentang protes sosial yang ditujukan pada
kemunafikan dan kesewenang-wenangan pemerintah pada masa orde lama. Karya
sastra yang ada berisikan kritik yang cukup keras demi memperbaiki kehidupan,
memperjuangkan keadilan, kebenaran dan hak-hak asasi manusia walaupun hanya
melalui kata-kata.
3. Bahasa
Para sastrawan angkatan 66 cenderung membuat karya dengan bahasa yang kasar
bahkan berupa umpatan dan berlebih-lebihan, namun tidak jarang karya protes sosial
begitu lembut. Bahasa yang digunakan disampaikan dengan sepenuh hati dan berapi-
api sehingga mampu mengguggah semangat pembaca, sederhana dan jelas. Karya
sastra disampaikan dengan beberapa karakteristik, seperti diksi, denotasi, konotasi, dan
imaji yang dapat membuat pembaca benar-benar merasakan apa yang dirasakan
pengarang. Bahasa kiasan atau majas juga banyak digunakan, seperti metafora, simifi,
epos, personifikasi, alegori, metonimia, sinekdoke, hiperbola, dan ironi.
4. Bentuk
Karya sastra angkatan 66 ada yang berbentuk prosa dan puisi
Prosa
Contoh prosa yang saat itu cukup terkenal adalah novel “Ziarah” karya Iwan
Simatupang. Novel yang menceritakan tentang budaya barat dan budaya timur
yang menyebabkan Iwan sebagai pengarang borjuis berkesusastraan Perancis.
Novel ini bertemakan filosofi dan kesadaran sosial.
Puisi
Begitu banyak pusisi yang diciptakan pada masa ini, namun secara keseluruhan
memiliki tema yang sama yakni protes sosial. Contohnya puisi yang berjudul
“Sajak-sajak Anak Mati” karya Goenawan Muhammad.
Sajak-sajak Anak Mati
Tiga anak menari
Tentang tiga burung gereja
Kemudian senyap;
Disebabkan senja; tiga lilin kuncup
Pada marmer meja;
Tiga tik-tik hujan tertabur;
Seperti tak sengaja;
“bapak, jangan menangis.”
Puisi tersebut mengisahkan tentang tiga pelajar yang ikut berdemonstrasi
menuntut kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Namun mereka justru mati
tertembak oleh peluru.
5. Gaya dan Aliran
Beberapa gaya atau aliran yang sering digunakan oleh sastrawan angkatan 66 adalah
sarkasme, sinisme, dan paralelisme.
Aliran sarkasme
Sarkasme cenderung bersifat keras dan kasar yang diungkapkan sebagai kritikan
pedas dalam karya sastra. Misalnya pada puisi “Cinta Kosong” karya Fridolin
Ukur berikut ini.
…
Jemu aku dengar bicaramu
“kemakmuran
Keadilan
Kebahagiaan”
Sudah 10 tahun engkau bicara
Aku masih tak punya celana
…
Kalimat diatas terutama yang bercetak tebal mungkin tidak terlalu kasar namun
memiliki makna yang kasar.
• Aliran sinisme
Sinisme cenderung bersifat menyindir dengan menggunakan kata kiasan sebagai
lambang dalam menyampaikan sindiran pedas. Misalnya pada puisi “Tantangan”
karya Abdul Wahid Situmeang berikut ini.
…
Jangan lagi kau bicara dan bicara
Membeber cerita fitnah dan dusta
Membela kerakusan hatimu yang hina
Karena cukup kami kenal siapa kau sebenarnya
Macam penghulu belantara
…
Kalimat Macam penghulu belantara berarti sindiran bagi penguasa yang rakus
dan serakah.
• Aliran paralelisme
Aliran ini menganut suatu bentuk pengulangan yang seringkali sastrawan lakukan.
Seperti pada puisi “Pidato Seorang Demonstran” karya Mansur Samin dan “Telah
Gugur Beberapa Nama” karya Bur Rusuanto, berikut kutipan puisi karya Bur
Rusuanto.
Telah gugur beberapa nama
Telah gugur
…
Telah gugur beberapa nama
Telah gugur
…
Telah gugur beberapa nama
Telah gugur
…
Kata Telah gugur beberapa nama yang selalu diulang menunjukkan bahwa saat
itu aliran paralelisme sedang berkembang.
Selain itu juga terdapat ciri-ciri sastra angkatan 66 sebagai berikut;
1. Mulai dikenal gaya epik (bercerita) pada puisi (muncul puisi-puisi balada),
2. Puisinya menggambarkan kemuraman (batin) hidup yang menderita,
3. Prosanya menggambarkan masalah kemasyarakatan, misalnya tentang perekonomian
yang buruk, pengangguran, dan kemiskinan,
4. Cerita dengan latar perang dalam prosa mulai berkurang, dan pertentangan dalam
politik pemerintahan lebih banyak mengemuka,
5. Banyak terdapat penggunaan gaya retorik dan slogan dalam puisi.
2.3 Sastrawan angkatan 66
Para pengarang yang diklasifikasikan oleh HB.Jassin ke dalam angkatan 66 yang
menulis prosa dan puisi sebagai media perjuangan adalah:
1. Taufik Ismail. Lahir di Bukit Tinggi tahun 1937. Profesinya adalah seorang dokter
hewan, juga dikenal sebagai seorang penyair yang handal. Sajak-sajaknya penuh
dengan protes-protes terhadap ketidakadilan dan penyelewengan.
Karyanya: Sajak “Sebuah Jaket Berlumuran Darah”, buku kumpulan sajak “Tirani”
dan “Banteng”
2. Gunawan Muhammad, lahir 29 Juli 1941 di Batang, Pekalongan. Tulisannya, baik
puisi maupun esai-esainya banyak dimuat dalam harian “abadi”, majalah “Sastra”
seperti Horison dan Basis.
Karyanya: Almanak, Pertemuan, Riwayat, dll.
3. Saini K. M. Lahir di Sumedang tahun 1938. Beliau menulis beberapa prosa, seperti
novel, cerpen, puisi termasuk drama. Disamping itu ada juga karyanya seperti
kritik dan esai. Sajak-sajaknya yang terkenal diterbitkan dalam kumpulan sajak
yang diberi judul “Nyanyian Tanah Air”
4. Sapardi Djoko Damono, lahir 23 Maret 1940 di Solo, beliau adalah lulusan
Universitas Gajah Mada.
Karyanya: sajak “Siapakah Engkau”, “Doa Ditengah-tengah Masa”, “Doa Para
Pelaut yang Tabah”, dll.
5. Gerson Poyk, lahir 16 Juni 1931 di Pulau Roti. Karyanya yang terkenal adalah
“Hari-hari Pertama” bersifat religious, Mutiara di Tengah Sawah.
Karyanya: “Hari-hari Pertama” bersifat religious, Mutiara di Tengah Sawah.
6. Toety Heraty, lahir 27 November 1933 di Bandung. Beliau adalah lulusan Fakultas
Psikologi di UI dan sebagai dosen di Almamaternya.
Karyanya: Sajak 33, Aku dan Budaya, dan Bersama-sama A. Teeuw menyunting.
Masih banyak pengarang dan penyair angkatan 66 lainnya yang mempunyai andil
besar dalam mempertahankan Pancasila antara lain : Taha Mochtar, Arifin C. Noer, Bokor
Hutasuhut, Bur Rasuanto, Ayip Rosidi, W.S.Rendra, NH.Dhini, Iswi Sawitri, Abdul
Wahid, Situmcang, Satyagraha Hocrip, Masnur Samin, Subagio Sastro Wardoyo, dan lain-
lainnya. beliau ini dapat di golongkan ke angkatan pejuang dalam membela Negara untuk
tetap tegaknya Pancasila dan UUD 45.
Contoh Hasil Karya Sastra Angkatan ‘66
1. Orang Hutan (dalam Kumpulan Puisi Saya Hewan)
“Perkenalkan anak-anak, saya hewan!
Nama saya Orang Hutan
Hobi saya di pohon berayun-ayunan
Alamat saya hutan Kalimantan.”
Anak-anak sekelas jadi heran dan gelak-gelakAda orang hutan lepas dari Kebun
Binatang?Tapi dia nampaknya baik dan tidak galakBentuknya memang seperti orang
Pak guru menerangkan di depan kelas
Pelajaran ilmu hewan supaya jelas:
“Memang di kalangan para hewan biasa
Orang Hutan paling mirip manusia”
“Tangannya ini panjang sekali, dua kali tinggi badan
Sering dipakai berayun dari dahan ke dahan pepohonan
Kakinya pendek, tapi jari kakinya pandai menggenggam
Sangat berguna di hutan siang dan malam”
Kemudian pak guru ilmu hayat berkata pula:
“Dia ini gemuk tak terkira
Kira-kira delapan puluh kilo berat badannya
Bulunya berwarna coklat tua”
Lantas dengan sopan dia minta permisi akan pergi segeraBersalaman dengan guru ilmu
hayat dan anak-anak dilambainya“Selamat jalan Orang Hutan, baik-baik di jalan ya.”Dia
pulang ke Kebun Binatang, lompat lewat jendela.
2. Makna Seribu Bulan (Kumpulan Puisi Langit)
Malam biru hitam
Di planit tua ini
Ketika margasatwa
Suhu. Suara. Perpohonan
Embun mengendapkan intan
Angin membisiki hutan
Gunung jadi keristal
Bisu,
Sungai-sungai menahan
Napasnya
Sumbu bumi berhenti
Ketika sangkakala angkasa
Ditiup pelahan
Dalam suara
Firdausi
Ketika Mukjizat turun
Ketika Sifat Rahim mengalun
Di planit tua ini
Dan gerbang kosmos
Dibuka
Dalam angin berkelepakan
Sayap-sayap malaikat
Dengan cahaya suarga
Meluncur-luncur
Melinangi bumi
Ketika bulan akan sabit
Dan berjuta bintang
Gemerlap
Dan manusia menangis
Di bumi
Di bawah Nur Ilahi
Pada malam benderang
Ketika margasatwa senyap
Waktu pun berhenti
Embun membasahi dahi
Pohon-pohon menunduk
Wahai:
Mukjizat telah turun
Sifat Rahim mengalun
Lelaki itu
Perempuan itu
Menangis dalam syukur
Berair mata dalam doa
Dalam teduh Mukjizat dan Keampunan
Ketika bulan belum sabit
Ketika malam seribu bulan.
1965
3. PENUTUP
3.1 Simpulan
Kenyataan sejarah membuktikan bahwa sejarah awal pertumbuhan sastra Indonesia,
para pengarang sudah menunjukkan perhatian yang cukup serius terhadap dunia politik.
Nama angkatan 66 pertama kali digunakan oleh H.B.Jassin. Dalam angkatan 66:Prosa dan
Puisi. Pimpinan sidang Gunawan Muhamad dan sekretarisnya Bokor Hutasuhut sidang
memutuskan naskah manifest kebudayaan yang bunyinya sebagai berikut.
1 Kami para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah
Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kabudayaan
Nasional kami.
2 Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup
manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sector kebudayaan di atas sector
kebudayaan yang lain. stiap sector berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu
sesuai dengan kodratnya.
3 Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha menciptakan dengan
kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan
mengembangkan martabat dari kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah
masyarakat bangsa-bangsa.
4 Pancasila dalah falsafah kebudayaan kami.
Ciri-ciri sastra angkatan 66 dikelompokan menjadi 2 kelompok, yaitu:
1 Kelompok sastra 60 sampai dengan 66 merupakan masa kejayaan sastrawan Lekra
yang bernaung di bawah panji-panji PKI. Sastrawan yang bersebrangan dengan
PKI dapat dikatakan kurang berkembang, apalagi manifest kebudayaan yang
menjadi konsepsinya dicekal dan dilarang pemerintah.
2 Kelompok sastra tahun 66 sampai dengna 70-an. Masa ini didominasi oleh karya-
karya yang berisi protes terhadap pemerintah. Dari segi isi, konsepsinya adalah
pancasila dan UUD 45. Dari protes sosial, ekonomi, dan politik yang dikemukakan
dengan berapi-api dan retorikanya sangat kuat beralih kecurahan hati dan perasaan
lega pengarang yang sekian tahun tertindas. Pada akhirnya tema-tema agama
menjadi warnanya.
Ciri-ciri lain sastra angkatan 66 disebutkan sebagai berikut:
1. Mulai dikenal gaya epik (bercerita) pada puisi (muncul puisi-puisi balada),
2. Puisinya menggambarkan kemuraman (batin) hidup yang menderita,
3. Prosanya menggambarkan masalah kemasyarakatan, misalnya tentang
perekonomian yang buruk, pengangguran, dan kemiskinan,
4. Cerita dengan latar perang dalam prosa mulai berkurang, dan pertentangan dalam
politik pemerintahan lebih banyak mengemuka,
5. Banyak terdapat penggunaan gaya retorik dan slogan dalam puisi,
Para pengarang yang diklasifikasikan oleh HB.Jassin ke dalam angkatan 66 yang
menulis prosa dan puisi sebagai media perjuangan adalah:
1 Taufik Ismail,
2 Gunawan Muhamad.
3 Saini,
4 Sapardi Djoko Damono,
5 Gerson Pyok,
6 Toety Heraty,
7 Andrea Alexandre Leo, dll.
3.2 Saran
Sebagai bangsa yang besar dan berbudaya kita telah memiliki banyak sekali ragam
karya sastra, hal ini menunjjukkan identitas dan eksistensi kebudayaan kita dalam gerusan
zaman, sebagai generasi penerus khusunya mahasiswa, apalagi calon pendidik hendaknya
mempelajari dengan saksama sejarah karya sastra yang pernah tertoreh dalam lembaran
sejarah kebudayaan Indonesia, menjadikannya inspirasi untuk terus berkarya, dalam rangka
berkontribusi mengisi kemerdekaan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Danriris..2010. Sastra: Ringkasan Ciri-Ciri Tiap Angkatan diunduh dari
http://danririsbastind.wordpress.com/2010/03/10/sastra-ringkasan-ciri-ciri-karya-sastra-
tiap-angkatan/. Diunduh pada 14 Mei 2016.
Giyono. 2010. Teori Sastra dan Periodisasi Sastra 60 diunduh dari http://teori-
sastra.blogspot.com/2010/04/periodisasi-sastra-60.html. Diunduh pada 14 Mei 2016.
Hadi, Saif Al. 2011. Sastra 60-an (Sejarah Sastra Periode 1960-1970) diunduh dari
http://berbahasa-bersastra.blogspot.com/2011/03/sastra-60-sejarah-sastra-periode-
1960.html. Diunduh pada 14 Mei 2016.
Sutresna, Ida Bagus. 2006. Sejarah Sastra Indonesia. Singaraja: Universitas Pendidikan
Ganesha.
Windri, Anna. 2015. “Makalah Sastra Angkatan 66”. Dalam
http://www.jendelasastra.com/wawasan/essay/makalah-sastra-angkatan-66. Diunduh
pada 14 Mei 2016.