Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
i
SEJARAH BATIK TRADISIONAL IMOGIRI 1935-1942
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah
Oleh:
HAFDA ZURAIDA
NIM: 034314007
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
ii
iii
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Teruntuk
Alm. Bapakku tercinta, terima kasih atas semuanya...
Ibuku tercinta, yang tak hentinya mendoakan dan menanyakan
perkembangan skripsiku... Terima kasih atas semuanya, bu...
Serta tak lupa kepada adik-adikku, Satria Dharmana dan Setyo Bekti
Nugroho, aku sayang kalian...
Serta,
Almamater Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
MOTTO
Penentu keberhasilan adalah kamu sendiri.
Ketika semua sudah berlalu, sesal kemudian tiada guna.
v
vi
ABSTRAK
Hafda Zuraida UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
Skripsi yang berjudul “Sejarah Batik Tradisional Imogiri 1935-1942” ini membahas tentang tiga permasalahan. Pertama membahas tentang latar belakang kemunculan batik di Yogyakarta, kedua tentang monopoli kraton terhadap batik dan yang ketiga membahas tentang peran Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik di Imogiri pada tahun 1935 sampai 1942.
Skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan perkembangan batik yang muncul di Yogyakarta dan menyebar sampai ke daerah Imogiri. Sehingga dari permasalahan diatas akan terlihat proses kemunculan dan perkembangan batik di Yogyakarta.
Untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan diatas, akan digunakan metode penelitian berupa studi pustaka dan wawancara. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode sejarah yang mencakup: heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosial dan budaya. Skripsi ini ditulis secara deskriptif analitis.
Dari penulisan ini, dapat dilihat bahwa batik tidak hanya dihasilkan oleh para perempuan dari kraton. Batik juga dihasilkan oleh wanita dari luar kraton. Feodalisme kraton terhadap batik mengakibatkan motif batik tertentu hanya boleh dipakai oleh kalangan keluarga raja. Tetapi setelah sistem feodal kraton mengalami kemerosotan, akhirnya batik bisa dinikmati oleh semua kalangan. Salah satu tokoh yang menyebabkan meluasnya motif dan menyebarnya kesenian batik adalah Djogo Pertiwi. Meskipun pada awalnya membuat motif khusus kraton, beliau juga mengajarkan seni membatik kepada masyarakat Imogiri.
Kata kunci: Feodalisme, Djogo Pertiwi, Sejarah Batik.
vii
ABSTRACT
Hafda Zuraida SANATA DHARMA UNIVERSITY
YOGYAKARTA
The title of this thesis is “Sejarah Batik Tradisional Imogiri 1935-1942”. This thesis is focused on three problems: 1. the background of the appearance of Batik in Yogyakarta. 2. The kraton’s monopoly the batik. 3. Djogo Pertiwi’s role to expand batik in Imogiri on 1935 to 1942. The aim of this thesis is to describe the development of batik that appear in Yogyakarta and spread to Imogiri. From the problems above, it will be seen the process of the appearance and the development of batik in Yogyakarta. To get answer of the problem above, it will be used the research method such as the form of book study and interview. The method which is used on this thesis writing is historical method including heuristic, verification, interpretation and historiography. The approach which used is social and culture approach. This thesis is written by descriptive analytive. From this thesis, we can see that batik is not only produced by women from Kraton. Batik is also produced by women from outer Kraton. Kraton have feudalism to batik that certain batik motif just can wear by the Royal family. However, after Kraton’s feudal system of batik had experince decline. Finally, batik can enjoy by all people. Djogo Pertiwi is one of the figures who spread motif and art of batik. Beside of making special motif Kraton, she also teaches the art of making batik to Imogiri people. Keyword: Feudalism, Djogo Pertiwi, History of Batik
viii
ix
KATA PENGANTAR
Puncak pencapaian penulisan skripsi ini telah berakhir. Tidak luput, penulis
mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan petunjuk
kepada penulis dalam setiap lantunan doa yang dipanjatkan. Penulis juga tak lupa
untuk mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum., selaku dekan beserta staf kerja
yang sudah memberikan kesempatan serta ijin untuk menyelesaikan skripsi
ini.
2. Bapak Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah
yang telah memberikan nasehat serta dorongan kepada penulis untuk segera
menyelesaikan skripsi ini.
3. Romo Dr. G. Budi Subanar, SJ selaku dosen pembimbing, dengan penuh
kesabaran telah memberikan saran, masukan, pikiran serta meluangkan waktu
untuk membimbing dan mengoreksi skripsi ini hingga selesai.
4. Bapak Drs. Silverio R.L. Aji Sampurno, M. Hum., selaku dosen pembimbing
akademik yang telah meluangkan waktu untuk senantiasa membantu memberi
dukungan dan saran pada penulis, sejak awal kuliah sampai menyelesaikan
skripsi.
5. Dosen-dosenku: Bapak Drs. Purwanto, M.A., Bapak (Alm.) Drs. G.
Moedjanto M. A., Bapak (Alm.) Prof. Dr. P.J. Suwarno, S.H., Bapak Drs.
Ign. Sandiwan Suharso, Romo Dr. FX. Baskara T. Wardaya SJ, Ibu Dra.
x
Lucia Juningsih, M. Hum., Bapak Dr. Budiawan, Bapak Dr. St. Sunardi,
Bapak Dr. Anton Haryono, M.Hum., dan Bapak Drs. Manu Joyoatmojo. Serta
dosen-dosen lain yang telah memberikan ilmu bagi penulis selama penulis
menempuh studi di Universitas Sanata Dharma.
6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan
administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah.
7. Segenap staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
8. Teman-teman Jurusan Ilmu Sejarah, Mbak Upi, Mbak Yus, Ajeng, Mamik,
Nana, Ekarama, Hananto, Markus, Daniel, Yuhan, Yossi, Yasser, Halim,
Elang, Darwin, Agus, Aloy, Banar, Ifa, Theo, dan semua yang tidak bisa
disebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaan dan semangatnya.
9. Teman-teman angkatan 2003 Sundari, Reni, Mariati, Anggi, Yoga, Domi,
Dedy, Ruperno, terima kasih atas dorongannya. Kalian akan selalu menjadi
teman-teman yang akan selalu ku-ingat. Keep contact ya...
10. Inneke dan Irena, terima kasih atas semuanya, baik kala suka dan duka
persahabatan kita selama ini. Keep contact ya...
11. Keluarga besar Ibuku di Magelang dan Yogyakarta. Pakde-Budhe, Oom-
Tante, sepupuku Iing dan suami, Mas Isa, Mbak Ayu, dan Angga, terima
kasih atas semangat dan doanya.
12. Keluarga besar Bapakku di Purworejo, Magelang, Bandung, Jakarta, dan
Serang. Pakde-Budhe, Oom-Tante, sepupuku Andre, ‘teh Ranti, Indah, Sari,
Mira, Aji, Widi, Putra, Ria, Indra, terima kasih atas doa dan semangatnya.
xi
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ...................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO............................................................. iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ......................................................................... v
ABSTRAK ..................................................................................................................... vi
ABSTRACT ................................................................................................................... vii
LEMBAR PUBLIKASI ILMIAH .................................................................................. viii
KATA PENGANTAR ................................................................................................... ix
DAFTAR ISI................................................................................................................... xii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1 B. Batasan Masalah .............................................................................................. 7 C. Rumusan Masalah ............................................................................................ 8 D. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 8 E. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 9 F. Landasan Teori ................................................................................................. 10 G. Kajian Pustaka ................................................................................................. 13 H. Metode Penelitian ............................................................................................ 15 I. Sistematika Penulisan ........................................................................................ 16 BAB II. SEJARAH BATIK DI YOGYAKARTA ......................................................... 18 A. Keadaan Masyarakat Yogyakarta Pada Saat Kemunculan Batik .................... 19 B. Batik Sebagai Warisan dari Kerajaan Mataram ............................................... 23 C. Motif atau Pola Batik yang Bersifat Adiluhung .............................................. 29 D. Pembatasan Pemakaian Kain Batik ................................................................. 34 BAB III. DINAMIKA BATIK GAYA YOGYAKARTA ............................................. 40 A. Sistem Feodal Kraton ...................................................................................... 40
xiii
B. Penerapan Feodalisme Dalam Kehidupan di Kraton ....................................... 43 C. Kemerosotan Feodalisme Dalam Kehidupan Kerajaan ................................... 51 BAB IV. PERAN DAN FUNGSI DJOGO PERTIWI DALAM PENGEMBANGAN
SENI MEMBATIK 1935-1942 ....................................................................... 54 A. Keadaan Geografis Wilayah Penelitian ........................................................... 55 B. Perkembangan Batik di Imogiri ....................................................................... 56 C. Proses Pembelajaran Djogo Pertiwi Dalam Membatik .................................... 60 D. Proses Penyebaran Seni Batik di Dusun Pajimatan ......................................... 65 E. Proses Sosial Perkembangan Batik Dusun Pajimatan Tahun 1935-1942 ........ 73 F. Unsur-Unsur Kebaruan yang Diciptakan Oleh Djogo Pertiwi ......................... 82 BAB V. PENUTUP ........................................................................................................ 87 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 91 LAMPIRAN ................................................................................................................... 95
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai bermacam-macam suku
yang tersebar di berbagai wilayah di Nusantara. Setiap suku di Indonesia memiliki
ciri khas keseniannya masing-masing. Salah satu kesenian yang terkenal adalah batik.
Brandes mengatakan bahwa batik sudah dikenal sejak jaman prasejarah, bahkan
menjadi salah satu kemampuan asli manusia Indonesia sebelum masuknya budaya
asing. Batik merupakan suatu bentuk dari kesenian yang dalam pembuatannya
mempunyai nilai tersendiri. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan memiliki tujuh
unsur yaitu, bahasa, teknologi, ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi,
dan kesenian. Seni batik tulis termasuk dalam unsur-unsur kebudayaan dan menjadi
salah satu ciri khas suatu wilayah tertentu.
Membatik adalah sebuah seni yang mengungkapkan ekspresi untuk
menorehkan canthing yang berisi malam ke dalam sebuah kain putih. Tentunya tidak
sembarangan orang bisa membuat kain batik. Dalam membuat batik, seseorang harus
memiliki kemampuan atau skill khusus untuk menumpahkan segala curahan ekspresi
seninya dalam kain itu. Tidak hanya skill atau kemampuan saja yang dibutuhkan oleh
pembatik tetapi juga imajinasi setiap pembatik diperlukan agar bisa membantu
mereka dalam menorehkan berbagai bentuk motif lewat canthing tersebut.
2
Proses pembuatan pola atau motif yang rumit, membuat seorang pembatik
harus lebih sabar dan telaten demi menghasilkan sebuah karya seni. Kemudian dalam
wilayah teknologi, batik mampu memadukan nilai seninya. Dalam sebuah kain batik,
setiap garis yang digambarkan untuk membuat corak atau motif diperhitungkan
sehingga bisa tergambar rapi dan teratur. Menurut Kartini Parmono, keindahan
bentuk tercipta karena perpaduan yang harmonis dari variasi susunan bentuk, garis,
titik-titik, dan warna yang terpadu secara harmonis yang ditangkap dengan
penglihatan atau panca indra.1
Batik dianggap sebagai sebuah karya seni yang memiliki nilai tinggi.
Keindahan dari setiap garis yang ditorehkan canting ke dalam kain memiliki makna
dan simbol. Pastinya seorang pembatik dalam membuat kain batik memiliki alasan,
mengapa dia membuat corak yang seperti itu. Menurut Kartini Parmono, seni batik
tradisional merupakan sistem simbol. Simbol-simbol tersebut diciptakan karena
adanya hasrat untuk menyampaikan pesan-pesan serta amanat untuk diwariskan ke
generasi penerus sebagai pembentuk watak dan kepribadian.2 Setiap corak yang
dilukiskan bisa dianggap sebagai simbol untuk memberikan arti yang bermakna bagi
setiap individu yang melihat maupun yang memakainya.
1 Kartini Parmono, “Simbolisme Batik Tradisional”, Jurnal Filsafat, No. 23,
November, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1995, hlm 30.
2 Ibid., hlm. 31.
3
Menurut motif dan warnanya, batik dibedakan menjadi dua macam yaitu batik
pedalaman (juga disebut sebagai batik kraton) dan batik pesisiran.3 Batik pedalaman
adalah batik yang tumbuh dan berkembang di lingkungan kraton dengan dasar-dasar
filsafat kebudayaan Jawa yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri,
serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta alam yang serasi, tertib
dan seimbang.4 Motif yang digunakan adalah motif-motif yang diciptakan dari hasil
pengamatan alam sekitar dan warna yang digunakan adalah warna coklat, biru, hitam,
dan putih. Sedangkan batik pesisiran adalah batik berkembang di luar kraton dan
tidak terikat pada alam pikiran Jawa. Para pembatik bebas untuk mengungkapkan
ekspresi dalam karyanya.5
Di Jawa, perkembangan batik kraton (pedalaman) lebih dikenal di Yogyakarta
dan Solo. Selama ini dua daerah tersebut menjadi pusat kebudayaan di mana sistem
pemerintahan kerajaannya masih bertahan. Di dalam istana atau kraton sendiri, para
penguasa, keluarga dekat beserta para abdi dalemnya masih memegang teguh adat
dan tradisinya. Tradisi itu telah disampaikan secara turun temurun oleh nenek
moyang mereka. Dari kebiasaan yang turun temurun itulah, batik yang menjadi salah
satu unsur budaya kraton, masih tetap eksis.
3 Ibid., hlm 29.
4 Biranul Anas, Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku
Indonesia Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, 1997, hlm. 5.
5 Ibid., hlm. 6.
4
Yogyakarta merupakan salah satu wilayah yang menjadi salah satu tempat
penyebaran batik. Batik yang berasal dari wilayah ini disebut dengan batik kraton.
Kraton menjadi salah satu pusat kebudayaan di Yogyakarta. Kesenian batik
merupakan suatu bentuk kerajinan tangan yang berasal dari lingkungan kraton dan
dalam pemakaiannya tidak bisa sembarangan orang bisa mengenakannya. Sehingga
ketika seseorang mengenakan kain batik kraton maka mereka mempunyai hak
istimewa yang dapat mengangkat kedudukannya.
Pada awal mulanya, batik merupakan sebuah kesenian tulis tradisional yang
hanya dibuat oleh perempuan-perempuan dari kraton. Batik dihasilkan dari tangan-
tangan perempuan di lingkungan kraton yang memiliki keahlian khusus dalam
menorehkan canting. Dari tangan-tangan mereka yang menghasilkan karya batik ini,
batik menjadi busana keprabon (busana kebesaran) para raja-raja di Kraton. Keahlian
mereka telah diwariskan oleh para pendahulu secara turun temurun. Pekerjaan
membatik dilakukan sebagai suatu kerja sambilan ketika para perempuan kraton itu
mempunyai waktu luang.
Motif atau corak yang diajarkan dalam ketrampilan membatik sangat
bermacam-macam. Masing-masing motif yang dihasilkan juga mempunyai makna
yang sangat mendalam. Hal itu disebabkan karena batik diciptakan agar pemakainya
dapat membawa kebaikan dan kebahagiaan.6 Batik muncul dari konsep estetika seni
Jawa yang adiluhung sehingga mencerminkan nilai-nilai ketradisian dan dinamika
6 Ibid, hlm. 28.
5
masyarakat pendukungnya.7 Orang-orang kraton mempunyai kekhasan tersendiri
dalam membuat karya batik tulis. Mereka mengamalkan hal-hal yang menurut
mereka masih dianggap sebagai tradisi nenek moyang.
Motif-motif batik yang sudah dibuat tidak bisa dipakai oleh sembarangan
orang. Hanya beberapa kalangan saja yang bisa memakai motif-motif tertentu itu.
Contoh motif-motif larangan, biasa untuk menyebut kain batik yang hanya dipakai
oleh kalangan tertentu, misalnya seperti parang rusak, kawung, sidomukti, udan liris,
semen rama, dan sawat. Batik dengan motif-motif tersebut hanya boleh dipakai oleh
raja dan keluarga dekatnya saja.
Raja memerintah rakyatnya dengan kekuasaan feodal. Salah satu bentuk
feodalisme suatu kerajaan dapat dilihat dari pemakaian batik ini. Dari gambar motif
sebuah kain batik tersebut, bisa diketahui kedudukan sosialnya. Dengan kata lain, jika
seorang raja memakai suatu motif batik yang menunjukkan kebesarannya maka
rakyat harus menghormatinya. Kekuasaan feodal seorang raja membuat rakyat akan
selalu patuh dan tidak melawan penguasa yang saat itu sedang memerintah, sehingga
penguasa bisa melakukan kontrol terhadap rakyat di wilayah kekuasaannya.
Kekuasaan feodal raja semakin lama semakin berkurang sehingga terjadilah proses
defeodalisasi.
Proses pembatikan kemudian mengalami perkembangan, yang semula
dikerjakan oleh perempuan-perempuan di lingkungan kraton dan berkembang
7 Biranul Anas, op. cit., hlm. 33.
6
menjadi dikerjakan oleh perempuan di luar kraton. Motif-motif kebesaran raja tidak
hanya dibuat oleh kalangan terbatas saja. Motif-motif larangan, seperti parang rusak,
sawat, dan semen, sudah bisa dibuat dan dipakai oleh masyarakat luas.
Perluasan kemampuan membatik ini salah satunya dipelopori oleh Djogo
Pertiwi. Seni pembuatan batik tidak hanya berada di kraton saja tetapi juga menyebar
di beberapa wilayah di Yogyakarta. Salah satu wilayah yang masih bertahan untuk
memproduksi batik adalah Imogiri. Imogiri terletak di sebelah selatan Kota
Yogyakarta, tepatnya di dusun Pajimatan, kelurahan Girirejo. Di dusun Pajimatan itu
juga terdapat suatu pemakaman raja-raja Mataram terdahulu. Penyebaran seni
membatik ini terjadi ketika seseorang dari luar kraton bekerja menjadi abdi dalem
kraton. Mereka mempunyai istri dari kalangan orang kraton yang mempunyai
keahlian membatik. Dari istri-istri mereka, kesenian membatik kemudian menyebar
luas ke wilayah-wilayah lain saat suaminya ditugaskan untuk menjaga dan merawat
makam raja-raja Mataram.
Di Imogiri, Djogo Pertiwi adalah seorang pembatik yang dianggap sebagai
perintis batik. Pada mulanya Djogo Pertiwi adalah seorang perempuan yang berasal
dari luar kraton, kemudian menikah dengan seorang abdi dalem kraton yang bekerja
sebagai juru kunci makam Imogiri. Sejak kecil sudah tertarik dengan batik dan mulai
belajar membatik. Selain dianggap sebagai perintis batik, Djogo Pertiwi dianggap
sebagai pelestari kesenian batik tulis tradisional. Sejak sekitar tahun 1930, Djogo
Pertiwi mengajarkan tentang bagaimana cara membatik kepada masyarakat sekitar
7
Imogiri. Atas usaha dan kerja kerasnya untuk melestarikan batik, Djogo Pertiwi
mendapatkan penghargaan Upakarti dari Presiden Suharto pada tahun 1994.
B. Batasan Masalah
Batik merupakan salah satu hasil kerajinan yang adiluhung (bernilai tinggi)
sehingga tidak sembarang orang bisa memakainya. Pihak kraton telah membuat batik
menjadi suatu bentuk monopolinya. Tetapi hal ini tidak bisa berlangsung lama,
karena kemunculan Djogo Pertiwi yang kemudian menyebarkan keahlian membatik
kepada masyarakat sekitar wilayah Imogiri. Batik yang awalnya hanya dimonopoli
oleh kraton, mulai lepas dari monopoli kraton ketika di Imogiri muncul seorang tokoh
bernama Djogo Pertiwi.
Dia adalah seorang istri abdi dalem kraton yang mulai berkarya sejak tahun
1935. Skill atau kemampuan membatik dan imajinasi yang dimiliki oleh Djogo
Pertiwi mampu mengubah kehidupan masyarakat di sekitar Imogiri. Pada sekitar
tahun 1930-an terjadi krisis ekonomi yang melanda seluruh dunia. Negara Indonesia-
pun tidak luput dari pengaruh krisis tersebut. Salah satunya berimbas pada industri
batik di Yogyakarta yang mengalami kelesuan selama beberapa tahun. Pada tahun
1939, muncul beberapa badan koperasi yang membantu pembatik dalam menghadapi
krisis ekonomi akibat serangan produk impor dari luar negeri seperti Jepang dan
Belanda. Industri batik di wilayah Yogyakarta dan juga wilayah pembatikan yang lain
mulai bangkit kembali. Kemudian, ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942,
8
industri batik mengalami kelesuan kembali. Bahan baku untuk pembuatan batik
sangat sulit untuk didapatkan.
C. Rumusan Masalah
Dalam menjelaskan judul skripsi ”Sejarah Batik Tradisional Imogiri 1935-
1942”, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang kemunculan motif batik gaya Yogyakarta ?
2. Bagaimana dinamika perkembangan batik gaya Yogyakarta?
3. Bagaimana peran dan fungsi Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik di
Imogiri tahun 1935-1942?
D. Tujuan Penelitian
Batik merupakan kesenian asli dari Indonesia meskipun banyak juga yang
berpendapat bahwa batik berasal dari luar Indonesia. Terlepas dari pendapat-pendapat
itu, batik mengalami proses yang sangat panjang baik dalam sejarah maupun dalam
proses pembuatannya.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang melatar
belakangi kemunculan motif batik gaya Yogyakarta. Kemudian mengetahui dinamika
batik gaya Yogyakarta, dan mengetahui sejauh mana peran dan fungsi Djogo Pertiwi
dalam mengembangkan batik di Dusun Pajimatan, Imogiri.
9
E. Manfaat Penelitian
Penulisan ini merupakan salah satu bagian dari latihan kerja ilmiah. Pada
pokok ini, ditempuh dengan cara, mulai dari pemilihan tema, perumusan masalah,
pengumpulan bahan, sampai dengan pengolahannya sesuai dengan cara kerja ilmu
sejarah. Penulisan ini difokuskan pada tema seperti tersebut diatas. Diolah melalui
tahap-tahap yang akan diurai pada bagian selanjutnya sampai dengan tahap
penulisannya.
Hasil penelitian yang disusun dalam skripsi ini diharapkan agar masyarakat
bisa membuka pengetahuan baru dalam wacana kesejarahan mengenai sejarah batik
terutama tentang proses sosial yang terjadi dalam perkembangan batik di Imogiri.
Pengetahuan tentang batik sebagian besar hanya ditinjau dari proses pembuatannya,
dan diharapkan dengan adanya tulisan ini masyarakat tahu akan sejarah kemunculan
batik gaya Yogyakarta, dinamika batik gaya Yogyakarta, dan juga peran dan fungsi
Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik di Imogiri tahun 1935 sampai 1942.
Penulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber sejarah sosial mengenai
perkembangan batik di Imogiri.
Penulis berharap bahwa tulisan ini mampu membuka pengetahuan masyarakat
luas mengenai peran kraton yang mendominasi seluruh lapisan rakyat, khususnya di
Yogyakarta, dengan sistem feodalnya. Kekuasaan feodal yang diterapkan oleh kraton
terhadap batik sedikit demi sedikit bisa bergeser dan batik mulai bisa dipakai oleh
semua kalangan masyarakat luas. Manfaat penulisan ini bagi masyarakat luas adalah
agar masyarakat mampu menambah pengetahuannya tentang tokoh yang bernama
10
Djogo Pertiwi yang mengembangkan batik di Imogiri dan dianggap sebagai perintis
batik. Penulisan ini diharapkan bisa bermanfaat bagi masyarakat luas sehingga tidak
hanya bermanfaat bagi kalangan akademisi saja.
F. Landasan Teori
Untuk menguraikan pertanyaaan-pertanyaan diatas, beberapa teori yang
digunakan adalah sebagai berikut.
Dalam buku Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Sartono
Kartodirdjo mengemukakan bahwa
Proses akulturasi, artinya proses yang mencakup usaha masyarakat
menghadapi pengaruh kultural dari luar dengan mencari bentuk penyesuaian
terhadap komoditi, nilai, atau ideologi baru, suatu penyesuaian berdasarkan
kondisi, disposisi, dan referensi kulturalnya, yang kesemuanya merupakan
faktor-faktor kultural yang menentukan sikap terhadap pengaruh baru.8
Masyarakat Imogiri yang awalnya mempunyai suatu budaya sendiri,
kemudian mendapat pengaruh dari kraton akibat masuknya budaya kraton, salah
satunya adalah batik. Dalam perkembangannya, tradisi membatik menyebar luas ke
masyarakat di wilayah Imogiri. Batik dari kraton masih sesuai dengan pakemnya,
tetapi setelah masuk ke masyarakat Imogiri batik kraton mendapat pengaruh kultural
dari budaya setempat sehingga mengakibatkan munculnya jenis atau motif batik yang
baru.
8 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992, hlm. 160.
11
Kemudian A.L. Kroeber membuat teori difusi/penyebaran unsur budaya.
Teori ini berbicara mengenai perubahan dalam masyarakat dengan cara mencari
asal/aslinya dalam masyarakat lain. Difusi adalah suatu proses yang biasanya tetapi
tak seharusnya perlahan apabila unsur-unsur atau sistem-sistem budaya itu
disebarkan. Apabila suatu penemuan yang baru diadopsi di suatu tempat maka adopsi
berlangsung pula di daerah tetangga sehingga dalam berbagai kasus pengadopsian
tersebut berjalan terus. Kemudian tersebar dalam lingkup waktu tertentu sehingga
tempo penyebaran lewat ruang ditentukan oleh waktu.9 Batik merupakan suatu
ekspresi seni yang awalnya dibuat hanya oleh wanita-wanita di lingkungan kraton.
Kemudian hal ini menyebar melalui proses penyebaran ke daerah lainnya, seperti ke
Imogiri dalam waktu tertentu.
Dalam buku Teori-Teori Perubahan Sosial, Astrid Susanto menyebutkan
bahwa Proses penyebaran unsur-unsur budaya adalah merujuk pada
pengembangan/growth dan tradisi sebagai suatu proses merujuk pada pemeliharaan.10
Batik yang merupakan salah satu wujud dari unsur kesenian, disebarkan kepada
masyarakat luas agar bisa mengalami perkembangan. Motif atau coraknya dapat
berganti-ganti sesuai dengan perkembangan batik. Batik juga merupakan tradisi dari
nenek moyang yang diturunkan baik kepada anak-cucunya maupun kepada
masyarakat demi terpeliharanya kesenian membatik. Pemeliharaan kesenian batik
9 Judistira K. Garna, Teori-Teori Perubahan Sosial, Bandung: Program Pasca
Sarjana Universitas Padjajaran, 1992, hlm. 73-74.
10 Ibid., hlm. 6.
12
bisa dengan cara mewariskannya secara turun temurun. Begitu juga batik di
Yogyakarta yang diwariskan ketrampilannya secara turun temurun kemudian akan
senantiasa berkembang.
Menurut Astrid Susanto lagi dalam buku Teori-Teori Perubahan Sosial,
perubahan sosial diberi arti sebagai development/perkembangan yang merupakan
perubahan tertuju kepada kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat, sehingga
akan dinikmati pula oleh individu.11
Perkembangan batik kemudian menyebar ke
wilayah Imogiri. Di Imogiri, batik membuat perubahan pada kehidupan
masyarakatnya. Keahlian membatik yang dikuasai oleh Djogo Pertiwi membuat
masyarakatnya tertarik untuk mempelajari seni batik. Masyarakat yang diberi
pelajaran tentang membatik itu mengakibatkan terjadinya perkembangan batik di
Imogiri dan menyebabkan perubahan yang membawa mereka ke arah kemajuan.
Sartono juga mengemukakan tentang teori perubahan sosial yaitu sebagai
berikut
Perubahan sosial adalah gejala yang inheren dalam setiap perkembangan dan
pertumbuhan (development). Teori developmentalisme menggambarkan
bahwa masyarakat mengalami pertumbuhan atau perkembangan, suatu proses
yang analog dengan proses organis; tidak hanya ada tambahan besarnya
entitas, tetapi juga meningkatnya kemampuan serta kapasitas untuk
mempertahankan eksistensi, adaptasi terhadap lingkungan, serta lebih efektif
mencapai tujuannya.12
Setiap kehidupan masyarakat pasti mengalami perkembangan dan
pertumbuhan akibat pengaruh dari suatu proses kehidupan. Kemampuan yang
11
Ibid., hlm. 7.
12 Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 162.
13
dimiliki oleh setiap individu dalam suatu lingkungan masyarakat juga dipengaruhi
oleh proses perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi. Seperti halnya Djogo
Pertiwi, kemampuan yang dimilikinya meningkat sehingga dia akan terus
mempertahankan eksistensinya dalam dunia batik. Perubahan sosial di dalam
masyarakat Imogiri juga mengalami perkembangan dan pertumbuhan akibat
masuknya ketrampilan membatik. Mereka mampu mempelajarinya dan
mempertahankan eksistensinya sebagai pembatik.
G. Kajian Pustaka
Pembahasan tentang batik telah banyak dibahas dalam buku atau pustaka.
Diantaranya adalah buku berjudul Sejarah Batik Yogyakarta, karangan A. N.
Suyanto. Buku ini membahas tentang sejarah perkembangan batik di Yogyakarta
pada masa pemerintahan sultan-sultan Yogya. Selain itu juga berisi tentang faktor-
faktor yang mempengaruhi perubahan dan perkembangan batik, bentuk dan fungsi
batik di Yogyakarta. dalam buku ini periode yang dibahas adalah sejak zaman
pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII sampai zaman pemerintahan Sultan
Hamengku Buwono X. Pada masa-masa itu dapat dilihat bagaimana perubahan dan
perkembangan bentuk, motif maupun fungsi kain batik dari setiap pemerintahan yang
berkuasa.
Kemudian tesis yang berjudul Seni Kerajinan Batik Tradisional Imogiri
Yogyakarta (Kajian bentuk dan Gaya Seni) yang ditulis oleh Sugiyamin, Program
Pascasarjana UGM, 2002. Tesis ini menuliskan tentang sejarah munculnya batik yang
14
awal mulanya hanya dikerjakan oleh orang-orang kraton sehingga kemudian
menyebar sampai Imogiri dengan mengungkapkan peran abdi dalem penjaga makam
raja-raja Mataram. Masyarakat Imogiri mendapat ilmu dengan mempelajari seni
membatik. Sebuah proses sosial penyebaran ketrampilan membatik dari orang-orang
kraton kepada masyarakat Imogiri. Tesis ini juga menyinggung sedikit tentang
peranan Djogo Pertiwi dalam melestarikan ketrampilan membatik kepada masyarakat
Imogiri.
Buku Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia Indah
Mengenai Latar Belakang Kehidupan Bangsa Indonesia, Adat Istiadat dan Seni
Budaya, karangan Biranul Anas dari Yayasan Harapan Kita/BP 3 TMII. Buku ini
menerangkan tentang kesenian membatik yang muncul di Jawa pada sekitar akhir
abad 18, dan kemudian batik mengalami proses penyebaran. Dari proses tersebut bisa
dibedakan antara batik kraton dengan batik pasisiran. Buku ini juga menjelaskan
tentang tujuan dan fungsi batik, cara membuat batik, dan hubungan antara batik
dengan kraton.
Terdapat sebuah artikel yang berjudul Pasang Surut Batik Tulis Tadisional
Bantul: Studi Kasus batik Tulis Imogiri tahun 1970-1998 ditulis oleh Suhartinah
Sudjiono, diambil dari Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya “Patra
Widya”, Vol. 7 No. 3, September 2006. Artikel ini membahas tentang awal mula
munculnya batik di Imogiri dan juga menyinggung sedikit tentang Djogo Pertiwi.
Buku-buku lain yang mengulas tentang batik kebanyakan hanya menjelaskan
tentang proses pembuatan batik beserta alat dan bahan-bahan yang dibutuhkan. Selain
15
itu juga menggunakan artikel-artikel yang terdapat pada Jurnal Filsafat, Jurnal
Kebudayaan “Selarong”, dan artikel-artikel dalam internet. Dengan bantuan buku-
buku tersebut, skripsi ini secara khas akan membahas tentang hal-hal yang
melatarbelakangi kemunculan batik di Yogyakarta, sistem feodal kraton yang
menguasai batik, serta peran seorang Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik.
H. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan ini adalah studi pustaka dan
studi lapangan. Dalam meneliti melalui studi pustaka, menggunakan sumber tertulis
dari buku-buku yang relevan sehingga dapat membantu dalam menganalisis dan
mendeskripsikan sejarah penulisan batik ini. Bahan-bahan yang dipakai/digunakan
antara lain telah disebutkan dalam tinjauan pustaka. Dokumen-dokumen lain yang
digunakan adalah seperti artikel-artikel dalam jurnal, koran, dan juga melalui situs-
situs di internet.
Kemudian proses pengumpulan selanjutnya adalah studi lapangan yang
dilakukan melalui metode wawancara. Narasumber yang diwawancarai diantaranya
adalah anak menantu Djogo Pertiwi yang menjadi penerus usaha batik Djogo Pertiwi
sekaligus muridnya, kemudian ketua Dusun Pajimatan, dan pemerhati batik.
Narasumber tersebut diharapkan dapat memberikan informasi yang relevan dengan
topik dan permasalahan yang akan dibahas oleh penulis.
Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam metode penulisan karya ilmiah
ini adalah pertama heuristik/pengumpulan sumber, yaitu dengan mengumpulkan data-
16
data baik yang primer maupun yang sekunder. Kedua, kritik sumber, yaitu dari sekian
banyak sumber tersebut dipilih dan diperbandingkan kembali sumber-sumber yang
lebih relevan agar lebih dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya (sumber dapat
dipercaya kebenarannya) guna penulisan skripsi ini. Ketiga, interpretasi, yaitu
penafsiran atas sumber maupun data yang telah ditemukan. Keempat, adalah
historiografi yang merupakan tahap terakhir, yaitu tahap penulisan.
I. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini akan disusun ke dalam lima bab dengan urut-
urutan sebagai berikut:
Bab I, membahas tentang latar belakang yang menjadi dasar penelitian ini.
Bab II, membahas tentang kemunculan motif batik gaya Yogyakarta. Bab ini
akan dibagi menjadi sub-sub bab yang meliputi bagaimana keadaan masyarakat
Yogyakarta pada saat kemunculan batik, batik sebagai suatu warisan dari kerajaan
Mataram, motif atau pola batik yang bersifat adiluhung, dan pembatasan pemakaian
kain batik.
Bab III, membahas tentang dinamika batik gaya Yogyakarta. Bab ini akan
dibagi menjadi sub-sub bab yang meliputi bagaimana sistem feodal kraton
Yogyakarta, kemudian bagaimana penerapan feodalisme dalam kehidupan kraton dan
yang terakhir akan dibahas sub bab mengenai kemerosotan feodalisme dalam
kehidupan kerajaan.
17
Bab IV, membahas tentang peran dan fungsi Djogo Pertiwi dalam
mengembangkan batik di Imogiri tahun 1935-1942. Dalam bab ini juga akan
diuraikan menjadi sub-sub bab yang meliputi keadaan geografis wilayah penelitian,
kemudian kemunculan batik di Imogiri, proses pembelajaran Djogo Pertiwi dalam
membatik, proses penyebaran seni membatik di dusun Pajimatan, proses sosial dalam
mengembangkan batik di dusun Pajimatan pada tahun 1935-1942. Sub bab terakhir
membahas unsur-unsur kebaruan yang diciptakan oleh Djogo Pertiwi.
Bab V, tentang penutup yang meliputi kesimpulan dari bab-bab yang sudah
ditulis. Bab terakhir ini antara lain berisi uraian mengenai hasil penelitian sekaligus
jawaban atas permasalahan yang telah dikemukakan pada awal bab.
18
BAB II
SEJARAH BATIK DI YOGYAKARTA
Banyak kontroversi mengenai kapan munculnya batik di Indonesia. Ada
beberapa pendapat dari tokoh-tokoh mengenai kemunculan batik. Masih terdapat
perdebatan mengenai kapan tepatnya batik mulai ada di Indonesia. Namun ada yang
menyebutkan bahwa batik merupakan hasil budaya dari orang Indonesia sendiri.
Apapun hal yang menjadi perdebatan mengenai kapan kemunculan batik, batik telah
menjadi suatu seni yang telah banyak dipelajari oleh banyak orang di Indonesia, salah
satunya di Yogyakarta.
Provinsi Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang memproduksi kain
batik tradisional. Selain itu juga terdapat berbagai macam motif batik yang
dihasilkan. Salah satu institusi yang giat dalam memproduksi batik adalah Kraton
Yogyakarta. Sejak di bawah pemerintahan Hamengku Buwono I, batik telah menjadi
salah satu kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang di lingkungan kraton, khususnya
oleh para kaum wanita. Kegiatan membatik oleh para wanita ini diwariskan secara
turun temurun. Para abdi dalem yang menguasai kesenian membatik ini kemudian
mengajarkannya kepada wanita-wanita di lingkungan itu sebagai salah satu
ketrampilan yang harus dimiliki oleh mereka.
19
A. Keadaan Masyarakat Yogyakarta Pada Saat Kemunculan Batik
Corak (gaya) batik di Yogyakarta tidak lepas dari perpecahan yang terjadi
dalam Kerajaan Mataram. Perpecahan tersebut kemudian berakhir dengan adanya
Perjanjian Giyanti. Konflik suksesi atau perebutan kekuasaan mewarnai perpecahan
dalam Kerajaan Mataram. Perpecahan tersebut terjadi karena adanya konflik antara
Pakubuwono II dengan Pangeran Mangkubumi yang memperebutkan tahta Kerajaan
Mataram. Kerajaan Mataram memang sudah sejak lama mengalami konflik perebutan
kekuasaan. Perdebatan mengenai siapa yang pantas menduduki tahta Kerajaan
Mataram selalu terjadi. Hal itu tidak lepas juga dari campur tangan dari pihak
Pemerintah Belanda antara lain dengan memanas-manasi salah satu pihak keluarga
Raja. Pihak Belanda mengambil keuntungan dari terjadinya konflik ini karena mereka
bisa dekat dengan pihak kraton sehingga bisa dimanfaatkan, salah satunya untuk
memperluas wilayah jajahannya.
Puncak dari konflik antara Pakubuwono II dengan Pangeran Mangkubumi itu
diakhiri dengan ditandatanganinya perjanjian Giyanti pada 13 Mei tahun 1755. Hasil
yang dicapai dalam perjanjian Giyanti adalah terbaginya wilayah Mataram menjadi
dua yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kasultanan Yogyakarta
dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian dinobatkan sebagai Sultan
Hamengkubuwono I dan Kasunanan Surakarta dipimpin oleh Paku Buwono III
karena sebelum terlaksananya Perjanjian Giyanti, Paku Buwono II telah meninggal
20
dunia. Peristiwa yang juga disebut dengan Palihan Nagari ini juga menjadi titik tolak
berdirinya Kraton Yogyakarta.1
Sebelum terjadi perpecahan, Kerajaan Mataram mempunyai wilayah
kekuasaan yang sangat luas. Dibawah pemerintahan Sultan Agung, Mataram dibagi
menjadi beberapa daerah kekuasaan dengan kraton sebagai pusatnya. Daerah-daerah
kekuasaan tersebut diurutkan menjadi sebagai berikut: daerah pertama, di mana
Kraton menjadi pusatnya disebut dengan wilayah Kutanegara. Di sinilah didirikan
istana kerajaan atau kraton. Raja mengatur segala urusan pemerintahannya di dalam
istana. Daerah kedua yang mengitari Kutanegara disebut dengan Negara Agung,
kemudian wilayah yang berada diluar Negara Agung disebut dengan Mancanegara,
dan yang terakhir wilayah kekuasaan yang paling luar dari Kerajaan Mataram disebut
dengan Pasisiran.2 Konflik dengan pihak Kolonial Belanda membuat wilayah
kekuasaan kerajaan Mataram menjadi semakin sempit dengan diadakannya Perjanjian
Giyanti.
Batik sebenarnya sudah digunakan pada masa Kerajaan Majapahit dan
berkembang sampai pada masa kerajaan-kerajan Jawa seperti Mataram. Seiring
dengan terjadinya perpecahan dalam Kerajaan Mataram, batik juga kemudian tetap
diproduksi dan digunakan di Kraton Yogyakarta. Hanya saja terdapat motif-motif
1 A. N. Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta, Yogyakarta: Rumah Penerbitan
Merapi, 2002, hlm. 13-15.
2 Marwati Djoened Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia IV,
Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984, hlm. 1-2.
21
tertentu dan berbeda yang dipakai oleh orang-orang Kraton dan oleh masyarakat
biasa.
Diferensiasi pemakaian batik pada masa itu tidak lepas dari kehidupan sosial
masyarakat Jawa yang terbagi dalam kelas-kelas atau yang biasa disebut dengan
stratifikasi yang didasarkan pada kedudukan dan status. Masyarakat Jawa sendiri
digolongkan menjadi beberapa kelas atau lapisan, yaitu sebagai berikut:
1. Bagian pertama adalah lapisan atas atau biasa disebut dengan lapisan orang
besar (wong agung, priyayi). Kelompok ini masih dibagi lagi menjadi dua
golongan, yaitu bangsawan atau ningrat dan abdi dalem. Orang-orang
yang termasuk dalam lapisan bangsawan atau ningrat ini didasarkan pada
kerabat atau keturunan yang masih sedarah dengan raja. Kemudian orang-
orang yang termasuk golongan abdi dalem, mereka sebetulnya priyayi
tetapi berasal dari wong cilik.
2. Bagian kedua adalah lapisan bawah, yang termasuk dalam lapisan ini ialah
rakyat biasa atau wong cilik. Mereka kebanyakan bekerja sebagai buruh,
perajin, pedagang, dan pegawai rendahan. Di lapisan ini juga masih dibagi
lagi penggolongannya berdasarkan pada kepemilikan tanah. Mereka
adalah petani pemilik tanah, petani penggarap, dan buruh tani.3
3 A. N. Suyanto, op.cit., hlm. 24-25.
22
Penduduk Jawa khususnya pedalaman, menganut sistem pertanian agraris
yang berarti bahwa tanah merupakan sumber daya alam yang sangat penting. Tanah
telah menjadi sesuatu hal yang sangat berperan penting dalam masa itu. Raja, yang
memegang kekuasaan tertinggi, dianggap sebagai pemilik semua tanah yang ada di
wilayahnya. Pejabat-pejabat daerah yang diserahi kekuasaan untuk mengatur salah
satu wilayah suatu kerajaan akan mendapat gaji berupa tanah untuk digarap. Pejabat
tersebut dipilih yang masih mempunyai darah bangsawan dari kerajaan. Para petani
cilik yang menduduki lapisan masyarakat paling bawah, nantinya yang akan
menggarap tanah itu.
Sebagian besar masyarakat Indonesia sangat akrab dengan makanan pokoknya
yaitu beras. Padi menjadi tanaman yang wajib untuk ditanam oleh masyarakat Jawa.
Setiap butir padi yang tumbuh, akan diberikan kepada Raja sebagai bagian dari upeti
yang diambil dari sawah merupakan salah satu dari sistem feodal yang berlaku
selama ratusan tahun.4 Rakyat kecil yang berada di lapisan masyarakat paling bawah
mempunyai kewajiban untuk mematuhi apa yang yang diperintahkan oleh pejabat
daerah. Hasil-hasil dari tanah garapan itu kemudian akan diserahkan kepada raja dan
disebut dengan upeti. Penguasa pusat akan selalu mengawasi pekerjaan peajabat-
pejabatnya di daerah sehingga dapat memperkecil terjadinya kecurangan.
4 Inger McCabe Elliot, Batik Fabled Cloth of Java, Singapore: Periplus,
2004, hlm. 24.
23
B. Batik Sebagai Warisan dari Kerajaan Mataram
Kerajaan Mataram, khususnya Kerajaan Mataram Islam, dahulunya
mempunyai daerah kekuasaaan yang sangat luas. Hampir seluruh wilayah Pulau
Jawa, menjadi daerah kekuasaan kerajaan tersebut. Dari keseluruhan raja yang pernah
memerintah Kerajaan Mataram, Sultan Agung yang paling terkenal. Sultan Agung
membawa Kerajaan Mataram mengalami masa kejayaannya. Sultan Agung
memerintah dari tahun 1613 sampai tahun 1645. Beliau memperluas wilayah
Kerajaan Mataram dengan menaklukkan daerah-daerah di Pulau Jawa seperti Tuban,
Jepara, Gresik, Cirebon, Madura dan Surabaya. Penaklukan ini mengakibatkan semua
daerah tersebut jatuh dibawah kekuasaan Sultan Agung.5
Ada berbagai pendapat mengenai munculnya batik ke Indonesia. Di wilayah
Jawa, seperti yang telah disebutkan pada awal bab, telah diproduksi sejak masa
Kerajaan Majapahit. Ada yang menyebutkan bahwa batik dipengaruhi oleh
kebudayaan India yang datang bersamaan dengan agama Hindu-Buda. Sehingga,
motif-motif batik yang diciptakan ada hubungannya dengan budaya agama Hindu
Buda. Percampuran antara budaya Jawa dengan budaya Hindu Buda atau yang juga
disebut dengan akulturasi, tidak menyebabkan budaya Jawa asli itu menghilang,
tetapi mengalami pertambahan dan memperkaya nilai budaya Jawa asli yang telah
mengakar dalam masyarakat.
5 Ibid., hlm. 30.
24
Menurut Brandes, bangsa Indonesia mempunyai 10 kepandaian yang menjadi
unsur asli kebudayaan Indonesia. 10 unsur itu diantaranya adalah wayang, gamelan,
kerajinan batik, kerajinan dari logam, sistem mata uang koin, navigasi, astronomi,
pertanian irigasi, sistem metrik, dan kehidupan politik (birokrasi).6 Batik ternyata
memang sebuah karya yang sudah menjadi salah satu budaya asli orang Indonesia.
Meskipun banyak pengaruh yang datang dari luar, batik tetap mempunyai ciri
tersendiri.
Kemudian ketika Islam mulai masuk ke Pulau Jawa, batik juga mendapat
pengaruh dari Islam. Batik juga mengalami perkembangan pada masa Kerajaan
Mataram. Sultan Agung menjadi seorang raja yang juga berperan dalam bidang
kebudayaan. Di samping kegiatannya dalam berpolitik, Sultan Agung mencurahkan
sebagian perhatiannya dalam hal seni batik. Ketika kebudayaan Islam masuk,
kesenian membatik yang terlebih dahulu mendapat pengaruh dari budaya Hindu Buda
dan juga kebudayaan Indonesia lama juga mendapat pengaruh dari budaya Islam.
Pada perkembangannya, agama-agama tersebut memberi banyak pengaruh dalam
perkembangan batik. Masuknya pengaruh Islam memperkaya kesenian tersebut.
Dalam dunia seni batik, Sultan Agung mengilhami pembuatan motif parang-
parangan,7 dan menciptakan motif sembagen huk.
8 Meskipun Yogyakarta dan
6 Asmito, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Depdikbud, 1988, hlm.
29.
7 Sugiyamin, Seni Kerajinan Batik Tradisional Imogiri Yogyakarta, Program
Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002, hlm. 131.
25
Surakarta tadinya merupakan satu kerajaan, tetapi warna batik buatan dari dua daerah
kerajaan ini berbeda. Batik khas dari Yogyakarta warna yang lebih dominan adalah
putih terang dan untuk batik khas Solo, warna yang lebih dominan adalah coklat.
Peran Sultan Agung dalam bidang kesenian membatik ini menjadikan beliau
sebagai seorang budayawan. Selain sebagai orang yang berperan dalam bidang
budaya, Sultan Agung juga memiliki minat dalam hal ilmu militer, filsafat, sastra,
hukum, dan astronomi. Hasil karya dari Sultan Agung dalam bidang budaya antara
lain perpaduan penanggalan tarikh Jawa (saka) dengan Islam (hijriyah) yang disebut
dengan tarikh Jawa, kitab sastra gending, dan upacara garebeg. Selain itu Sultan
Agung juga ditetapkan sebagai pahlawan nasional karena kekuasaannya yang besar
dengan daerah taklukan yang luas.
Kerajaan Mataram Islam tumbuh menjadi kerajaan besar ditangan
pemerintahan Sultan Agung. Kebudayaan sangat dijunjung tinggi pada masa Sultan
Agung. Setelah Mataram terbagi menjadi dua, Pangeran Mangkubumi, yang setelah
dinobatkan menjadi raja berganti nama menjadi Sultan Hamengku Buwono I,
membawa semua barang-barang pusaka yang ada di kerajaan Mataram. Beliau
hendak merawat barang-barang tersebut, termasuk kain batik. Sedangkan Paku
8 Biranul Anas, Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku
Indonesia Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, 1997, hlm. 66.
26
Buwono III, membuat kain batik dengan motif baru dan juga mendesain busana yang
menjadi khas busana Jawa gaya Surakarta sampai sekarang.9
Ketika Yogyakarta di bawah pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I,
menetapkan pemakaian batik sebagai sebuah tradisi yang membudaya sejak zaman
kerajaan Mataram.10
Batik tak hanya digunakan sebagai busana sehari-hari, tetapi
juga dipakai dalam upacara-upacara resmi kerajaan atau upacara ageng seperti
upacara supitan, jumenengan dalem, garebeg, tingalan dalem, dan perkawinan11
.
Peranan batik sebagai busana pada masa itu sangat penting karena penggunaannya
dipakai hampir dari sejak manusia itu lahir sampai meninggal dunia. Ketika manusia
itu lahir, meskipun belum bisa memakai batik, bayi sudah digendong dengan kain
batik. Ketika sudah menginjak dewasa, batik digunakan untuk upacara supitan,
kemudian pada saat mau menikah batik juga dipakai. Sampai pada akhirnya
meninggal dunia, jenazah orang tersebut juga ditutup menggunakan kain batik.
9 Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman,
Yogyakarta: Kanisius, 1994, hlm. 13. Dalam buku ini juga disebutkan bahwa
kemudian terdapat perbedaan antara pakaian orang Yogyakarta dengan Surakarta atau
Solo yang menimbulkan olok-olok antara keduanya.
10 A. N. Suyanto, op.cit., hlm 3.
11 Ibid., hlm. 6-7. Penggunaan kain batik yang berfungsi baik dalam kegiatan
sehari-hari maupun resmi telah diterapkan dalam kehidupan di dalam keraton maupun
oleh masyarakat. Lihat juga dalam buku Mari S. Condronegoro, Busana Adat 1877-
1937 Kraton Yogyakarta, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1995, hlm. 8.
Lalu dalam buku Inger Inger McCabe Elliot, Batik Fabled Cloth of Java, Singapore:
Periplus, 2004, hlm. 32, juga disebutkan bahwa batik digunakan hampir sebagai
pakaian dan busana pada saat upacara atau ceremonial.
27
Tentunya motif yang dipakai dalam upacara-upacara tersebut berbeda-beda dan
disesuaikan dengan arti atau makna motif batik dalam satu kain.
Batik kemudian menjadi salah satu alat-alat kebesaran yang menjadi simbol
kebangsawanan dan memiliki peran yang sangat penting selain barang-barang seperti
payung, pakaian adat, keris, dan tombak. Kegiatan upacara di Kraton memang sudah
diwariskan dan dilaksanakan secara turun temurun. Perlengkapan yang dipakai pada
setiap upacara harus selalu diperhatikan sesuai dengan aturan yang berlaku di Kraton.
Sehingga penggunannya tidak boleh terlewatkan karena akan mempengaruhi
kedudukan raja di lingkungannya. Raja merupakan pemimpin yang kharismatik dan
sangat disegani oleh rakyatnya. Jika ketika ada kejanggalan dalam penyelenggaraan
seperti misalnya upacara ageng, maka raja akan kehilangan kewibawaannya.12
Di Kraton, batik sangat akrab dengan perempuan. Batik merupakan sebuah
karya seni yang berasal dari tangan para perempuan. Sejak pemerintahan Sultan
Hamengku Buwono I, batik telah dipakai sebagai busana keprabon atau busana
kebesaran. Batik mulanya dibuat sebagai kebutuhan sandang para keluarga kerajaan.
Kain batik juga mempunyai kaitan yang erat dengan kesenian tari. Kesenian ini juga
sudah mulai ada sejak kerajaan Mataram berdiri. Kesenian batik dan tari merupakan
salah satu bahan pendidikan yang diajarkan kepada para perempuan di Kraton. Tak
hanya diajari membatik, mereka juga diajari untuk menari, pemakaian bahasa Jawa
dengan benar, serta kesusastraan. Tarian yang diajarkan antara lain tari wayang wong,
12
Ibid., hlm. 30.
28
Beksan Lawung, dan Bedhaya. Kain batik yang dipakai pada saat menari juga
berbeda-beda motifnya tergantung dengan peran yang akan dimainkan.
Materi pendidikan yang diajarkan itu merupakan upaya dari pihak Kraton
untuk melestarikan kebudayaan Mataram yang telah mengakar kuat dalam kehidupan
di dalam kraton.13
Pengamalan nilai-nilai pendidikan ini berfungsi untuk memberikan
contoh kepada masyarakat di sekitar Kraton. Dengan kata lain, warga di dalam
Kraton yang dianggap sebagai priyayi atau bangsawan, mempunyai martabat yang
tinggi, dapat menjadi panutan atau contoh bagi masyarakat sekitar.14
Batik Kraton
juga menjadi produk yang mengacu pada nilai-nilai tradisi Jawa dan didukung oleh
bangsawan Kraton berikut segenap tata budaya. Perilaku dan penampilan (termasuk
dalam berbusana) dipandang perlu demi kekuatan serta kemutlakan kedudukan raja.15
Kesenian membatik telah diajarkan secara turun temurun sejak kekuasaan
Mataram masih tetap dijaga kelestariannya oleh raja-raja berikutnya. Sehingga batik
menjadi salah satu warisan kerajaan Mataram. Mataram telah menjadi pusat
pengembangan budaya yang berpusat pada Kraton dan kebudayaannya merupakan
hasil dari percampuran budaya Indonesia lama, Hindu-Buda, dan Islam.
13
Umar Kayam, “Ngayogyakarta”, dalam Sekaring Jagad Ngayogyakarta
Hadiningrat, Jakarta: Wastraprema, 1990, hlm. 13.
14 Diibaratkan seperti para anggota dewan terhormat, DPR. Mereka telah
dipilih oleh rakyat sehingga diharapkan agar dalam menjalankan pekerjaannya dapat
menyampaikan aspirasi dari rakyat untuk disampaikan kepada presiden.
15 Biranul Anas, op.cit., hlm 59.
29
C. Motif atau Pola Batik yang Bersifat Adiluhung
Masyarakat Jawa sejak zaman dahulu sangat menjunjung tinggi ajaran nenek
moyang. Begitu juga dalam menjalani kehidupannya, mereka memperhatikan
beberapa hal. Hal ini berkaitan dengan adat dan tradisi nenek moyang yang tercermin
dalam masyarakat Jawa. Adat dan tradisi tersebut adalah suatu peraturan yang tidak
tertulis. Peraturan itu mengatur tentang hubungan antara manusia dengan sesama,
manusia dengan penciptanya, dan manusia dengan lingkungannya. Pelanggaran
terhadap peraturan itu akan mendapat sangsi dari masyarakat setempat maupun dari
Sang Pencipta. Hal ini kemudian berpengaruh pada nilai-nilai budaya adiluhung.
Setiap manusia harus saling menghormati, rukun, dan menjaga perdamaian dengan
sesamanya maupun dengan lingkungan. Sikap ini merupakan dasar dari kehidupan
bermasyarakat orang Jawa. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia adalah makhluk
sosial, makhluk yang tidak bisa hidup sendiri dan membutuhkan orang lain.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan Jawa dalam segala aspek
kehidupannya lebih dikenal dengan sebutan kejawen. Masyarakat Jawa sangat
mendalami ilmu yang menjadi falsafah hidup mereka sehingga dapat menjadi
manusia Jawa seutuhnya. Awalnya kepercayaan ini disebut dengan ilmu kebatinan
yang merupakan percampuran antara budaya asli Jawa dengan Hindu, Budha, dan
Islam.16
Sebelum melakukan sesuatu, masyarakat terkadang akan melaksanakan
sebuah ritual untuk memenuhi suatu persyaratan. Ritual tersebut sering mendekati
16
Ibid., hlm. 56.
30
hal-hal yang berbau mistik. Hal-hal yang berbau mistik atau gaib sangat melekat pada
kehidupan masyarakat Jawa. Mereka percaya bahwa ada beberapa tempat yang dihuni
oleh makhluk gaib. Di tempat-tempat tertentu dipercaya menjadi tempat yang sakral
atau keramat sehingga masyarakat wajib meletakkan sesaji agar makhluk gaib itu
tidak menganggu. Makhluk-makhluk gaib itu dipercaya dan dianggap sebagai roh
leluhur atau nenek moyang yang akan menjaga anak cucu mereka. Sebelum
melakukan ritual itu, masyarakat juga mengenal ilmu titen yaitu dengan mencermati
tanda-tanda alam. Alam merupakan suatu hal yang tidak bisa diremehkan
peranannya. Satu hal lagi yang tidak bisa dipisahkan dalam ritual masyarakat Jawa
adalah laku prihatin. Mereka harus melakukan sesuatu agar keinginannya tercapai.
Misalnya orang akan berpuasa agar keinginannya tercapai.
Masyarakat Jawa juga sangat memperhatikan keharmonisan, keseimbangan,
dan keserasian dalam menjalankan hidup. Ketika membuat batik, para perempuan
menerapkan ajaran-ajaran hidup yang diajarkan oleh nenek moyang mereka. Motif
atau pola yang digambarkan lewat sebuah canthing mengekspresikan segala curahan
hati pembatiknya. Susunan bentuk garis, titik-titik dan warnanya yang terpadu secara
harmonis menimbulkan keindahan tersendiri maka terkandung pesan dan harapan ke
arah kehidupan yang baik bagi pemakainya.17
Sehingga tidak sembarang orang bisa
menggambar suatu motif batik tanpa mengetahui maknanya.
17
Kartini Parmono, “Simbolisme Batik Tradisional”, Jurnal Filsafat, No. 23,
edisi November 1995, Fakultas Filsafat UGM: Yogyakarta, hlm. 30.
31
Berdasarkan motifnya, batik pedalaman atau yang lebih dikenal dengan batik
kraton, biasanya bersifat simbolik, filosofis dan mempunyai arti-arti magis yang ada
maknanya. Motif ini diciptakan dari hasil pengamatan alam sekitar dan bersifat
monumental. Warna-warna yang digunakan lebih bersifat sederhana. Warna pada
batik kraton biasanya terdiri dari tiga unsur, yaitu coklat atau merah, biru atau hitam,
dan putih. Dalam agama Hindu, ketiga warna ini merupakan simbol dari sumber
kehidupan. Warna-warna itu dapat diartikan Brahma untuk warna merah, Syiwa
untuk warna biru atau hitam, dan Wisnu untuk warna putih.18
Tetapi, pada sebagian
besar kain batik warna yang lebih dominan adalah warna coklat soga.
Motif-motif yang ditorehkan dengan canthing dalam sebuah kain, dibuat
dengan konsep yang adiluhung atau memiliki nilai yang indah dan tinggi. Tidak ada
motif yang dibuat dengan asal-asalan tanpa ada makna dibalik pembuatannya. Proses
pembuatan batik dianggap sebagai media perenungan dan meditasi. Mereka
mencurahkan segala kemampuannya untuk membuat batik. Tidak jarang seorang
pembatik harus melakukan ritual puasa terlebih dahulu agar dapat membuat kain
batik yang bermakna. Proses ini juga menjadi sebuah pencapaian kemurnian serta
kemuliaan dalam rangka mengabdi pada Tuhan Yang Maha Esa.19
Di dalam sebuah
kain batik, terkandung makna simbolik yang berguna bagi kesejahteraan hidup
manusia. Kehendak dan kemampuan yang dimiliki para pembatik menghasilkan suatu
18
Sewan Susanto, Seni Kerajinan Batik Indonesia, Balai Penelitian Batik
dan Kerajinan, Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri, 1980, hlm. 174.
19 Biranul Anas, op.cit., hlm. 60.
32
karya yang indah. Keindahan suatu kain batik tercipta dari perpaduan bentuk garis-
garis dan warna yang serasi. Sehingga maknanya akan membawa kebaikan bagi
pemakainya.20
Kegiatan membatik yang dikerjakan dengan sepenuh hati melalui tahap-tahap
seperti puasa dan meditasi, nantinya sangat berpengaruh pada hasil kain batiknya.
Semakin penting arti pembuatan suatu kain batik, maka semakin lama puasa dan
meditasi yang dilakukan oleh pembatik. Pengaruh budaya yang diilhami oleh seni-
seni dari kraton, membuat masyarakatnya, baik yang bekerja di dalam maupun
masyarakat luar tembok kraton, merasa dekat dengan pihak kraton dan menyadari
bahwa budaya ini (seperti misalnya tradisi membatik, menari, dan tata krama) wajib
dilestarikan. Masyarakat Jawa pedalaman atau yang dekat dengan wilayah Kraton,
mempunyai ungkapan yaitu mbathik manah, yang berarti menciptakan batik melalui
totalitas pencurahan jiwa dan raga.21
Motif-motif yang dihasilkan oleh pembatik ada bermacam-macam dan setiap
motif tersebut ada maknanya masing-masing. Beberapa motif yang sering dipakai di
antaranya adalah:
1. Parang Rusak
Motif ini mempunyai makna yang dalam dan luhur sehingga pemakaian
motif ini hanya diperuntukkan bagi para bangsawan dalam acara-acara
20
Kartini Parmono, loc.cit.
21 Biranul Anas, loc.cit.
33
tertentu. Sesuai dengan arti parang rusak, yaitu perang atau menyingkirkan
segala yang rusak atau melawan segala macam godaan. Makna dari motif
ini adalah agar manusia di dalam hidupnya dapat mengendalikan nafsunya
sehingga mempunyai watak dan perilaku yang luhur.
b. Kawung
Motif ini diilhami oleh sebuah pohon kawung atau sejenis pohon palem
atau yang lebih dikenal dengan kolang kaling. Maknanya adalah jika
dilihat semua bagian dari pohon kawung sangat bermanfaat bagi manusia
sehingga penggunanya diharapkan bisa berguna bagi bangsa dan
negaranya.
c. Grompol
Grompol berarti berkumpul atau bersatu. Pemakai kain ini diharapkan
agar semua hal-hal yang baik seperti rezeki, kebahagiaan, dan keturunan
sehingga bisa berkumpul menjadi satu dan hidup secara rukun.
d. Sido Mukti
Motif ini biasa dipakai oleh pengantin wanita dan pria ketika akan
menikah. Dari kata sido berarti terus menerus dan mukti berarti hidup
dalam kecukupan dan kebahagiaan. Sehingga diharapkan pada pemakai
agar masa depannya berjalan dengan lancar dan bahagia.
34
e. Semen Rama
Motif ini terdiri dari berbagai macam, seperti semen gedhe, sawat gurda,
dan semen huk. Motif ini melambangkan kesetiaan seorang istri.
f. Truntum
Motif ini melambangkan cinta yang bersemi kembali. Bagi pemakainya,
motif ini berarti akan menuntun kedua mempelai pengantin dalam
memasuki kehidupan rumah tangganya sehingga diharapkan akan terus
langgeng dengan kasih sayang yang akan terus bersemi atau tumbuh
(truntum).22
D. Pembatasan Pemakaian Kain Batik
Beberapa motif batik tidak bisa dipakai oleh sembarang orang. Ada beberapa
ketentuan yang mengatur tentang siapa-siapa yang berhak memakai motif-motif
tersebut. Sebagian besar motif-motif itu diciptakan dalam lingkungan kraton sehingga
nilai dan maknanya sangat tinggi. Batik telah menjadi bagian yang tidak lepas dari
kehidupan kraton. Pembuatnya juga berasal dari dalam kraton. Sejak zaman kerajaan
Mataram, batik telah menjadi bagian dari busana para raja dan keluarganya. Selain itu
pemakaian batik juga berfungsi untuk menyelenggarakan upacara-upacara kraton,
seperti grebeg, daur hidup, penyambutan tamu, dan pertunjukan tari.
22
Kartini Parmono, op. cit.., hlm. 33-34.
35
Batik menjadi salah satu bagian dari barang-barang kebesaran dan diciptakan
untuk memperkuat kedudukan dan peranan kosmis raja, istana, dan pemerintahan. Ini
adalah salah satu upaya untuk memperoleh ketentraman, keselamatan, dan
kesejahteraan raja, kerajaan dan rakyatnya. Batik juga berfungsi untuk menunjukkan
kewibawaan raja dan kraton.23
Setiap orang yang memakai suatu kain batik akan
dapat dilihat tinggi rendahnya kedudukannya dalam pemerintahan.
Dari beberapa motif batik itu, ada yang digolongkan menjadi motif larangan.
Motif ini hanya boleh dipakai oleh raja dan para keluarganya. Jadi mereka yang
mempunyai keturunan raja dan ningrat yang bisa memakai motif itu. Masyarakat
biasa dilarang dan tidak boleh memakainya. Beberapa motif larangan itu adalah
Parang Rusak, yang digambarkan seperti “pedang” yang tidak sempurna atau rusak;
Sawat, digambarkan dengan bentuk sayap-sayap besar seperti burung garuda;
Cemukiran, digambarkan dengan bentuk teratai dan digunakan sebagai ragam hias
pinggir kain; Udan Liris digambarkan dengan garis-garis sejajar diagonal; Rujak
Sente, mirip dengan Udan Liris dengan bentuk garis diagonal; Kawung, digambarkan
dengan bentuk bulat lonjong24
; dan Semen, digambarkan dengan sulur-suluran
tanaman. Motif ini sering digabungkan dengan ragam hias tambahan seperti Sawat
(sayap).25
Pemakaian motif-motif tersebut ditulis dalam peraturan sebagai berikut:
23
A. N. Suyanto, op.cit., hlm 30.
24 Biranul Anas, op. cit., hlm. 64-65.
25 GBRA Murywati Darmokusumo, “Batik Kraton Yogyakarta”, dalam
Sekaring Jagad Ngayogyakarta Hadiningrat, Jakarta: Wastraprema, 1990, hlm. 34.
36
a. Motif yang digunakan untuk raja, putra mahkota dan permaisuri atau istri:
- Semua jenis dari motif Parang Rusak
- Sembagen Huk
- Garuda Ageng
b. Khusus untuk para anggota keluarga yang bergelar pangeran serta
keturunan penguasa:
- Semua corak Semen dengan sayap garuda berganda maupun tunggal
- Udan Liris
c. Keluarga jauh yang bergelar Raden Mas atau Raden:
- Semua corak Semen tanpa bentuk-bentuk sayap
- Kawung
- Rujak Sente, mirip Udan Liris yang umumnya menggunakan garis-
garis diagonal bercorak.26
Kraton Yogyakarta dan Solo mempunyai aturan-aturan tersendiri dalam
menentukan pemakaian motif batik tertentu, tetapi pada dasarnya sama. Tindakan ini
dibuat agar kedudukan raja yang kharismatik bisa tetap terjaga. Pihak kraton
Yogyakarta kemudian pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII (tahun 1921-1939),
peraturan ini dibuat dan ditegaskan lagi dalam Undang-Undang penggunaan busana
26
Biranul Anas, op.cit., hlm. 62-63.
37
keprabon yaitu Pranatan Dalem Bab Jenenge Panganggo Keprabon Ing Karaton
Nagari Ngajogjakarta Hadiningrat tahun 1927.27
Dalam undang undang ini diatur
tentang pemakaian busana keprabon dan larangan motif-motif batik tradisional
tertentu. Sehingga melalui pakaiannya dapat dibedakan status dan kedudukannya.
Selain mengatur tentang pemakaian kain batik, undang-undang ini juga mengatur
tentang pakaian, peralatan, dan aksesoris yang dipakai para bangsawan beserta abdi
dalemnya.
Motif Parang Rusak bervariasi terutama sesuai dengan ukuran “pedangnya”.
Motif ini dibagi menjadi tiga, yaitu pertama, yang terkecil dinamakan Parang Rusak
Klithik (berukuran kecil) dengan ukuran 4 cm, yang berukuran sedang adalah Parang
Rusak Gendreh dengan ukuran 8-10 cm, dan yang paling besar disebut Parang Rusak
Barong dengan ukuran 10-12 cm.28
Menurut tradisi Parang Rusak Barong adalah
sebuah corak sakral, digunakan hanya untuk busana raja yang paling megah atau
sebagai bagian persembahan bagi arwah-arwah leluhur kerajaan yang dihormati.
Motif yang terakhir ini hanya diperuntukkan bagi raja atau sultan. Sedangkan untuk
Parang Klithik boleh dipakai oleh keluarga sultan, seperti istri dan putra-putri raja.29
Masyarakat Jawa tradisional pada khususnya mempunyai pakaian yang
didasarkan pada kegunaannya. Wujud kain batik pada dasarnya dapat dibuat menjadi
27
A. N. Suyanto, op.cit., hlm. 7.
28 Mari S. Condronegoro, Busana Adat 1877-1937 Kraton Yogyakarta,
Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1995, hlm. 19.
29 GBRA Murywati Darmokusumo, loc.cit.
38
berbagai macam bahan busana yang memiliki fungsinya masing-masing. Beberapa
wujud dari kain itu adalah sebagai berikut:
- Bebet, tapih (bahasa Jawa ngoko/kasar), atau sinjang (bahasa Jawa krama
madya/bahasa halus tengah), atau nyamping (bahasa Jawa krama
inggil/bahasa halus) adalah kain panjang yang biasa digunakan oleh kaum
pria dan wanita. Bebet adalah kain yang digunakan oleh para pria,
sedangkan tapih adalah yang digunakan oleh para wanita.
- Dodot (bahasa Jawa ngoko), atau kampuh (bahasa Jawa krama inggil) adalah
sejenis kain batik dalam wujud ukuran yang besar. Kain dodot digunakan
bagi bangsawan dan abdi dalem.
- Iket, atau udheng (bahasa Jawa ngoko), atau dhestar (bahasa Jawa krama
inggil) adalah kain batik yang dipakai untuk ikat kepala.
- Kemben (bahasa Jawa ngoko), atau semekan (bahasa Jawa krama inggil)
adalah kain batik yang berfungsi sebagai penutup dada wanita.
- Selendang atau slendhang (bahasa Jawa krama) adalah kain batik yang juga
digunakan oleh wanita sebagai kain hias di bagian bahu. Disamping itu bisa
juga untuk menggendong anak, bakul (jualan memakai keranjang), dan lain-
lain.
39
- Sarung (bahasa Jawa ngoko) atau sande (bahasa Jawa krama) adalah kain
batik yang kedua ujungnya dijahit sehingga bentuknya menyerupai tabung.30
Jenis-jenis pakaian di atas sangat melekat pada kehidupan masyarakat Jawa
tradisional. Penggunaannya juga hanya pada acara-acara tertentu, mulai dari acara
resmi maupun untuk pakaian sehari-hari. Tidak semua masyarakat dapat
menggunakan pakaian-pakaian tersebut, karena jenisnya disesuaikan dengan status
dan kedudukan si pemakai. Misalnya untuk kampuh, yang dibuat dengan motif
larangan, masyarakat biasa tidak boleh memakai dan hanya kaum bangsawan saja
yang boleh memakainya. Kampuh termasuk dalam busana kebesaran raja.
Pemakaiannya-pun hanya pada saat acara-acara tertentu.
30
A. N. Suyanto, op.cit., hlm. 32-34. Lihat juga dalam buku Biranul Anas,
Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia Indah, Yayasan
Harapan Kita/BP3 TMII, 1997, hlm. 37-39.
40
BAB III
DINAMIKA BATIK GAYA YOGYAKARTA
Sejak zaman kerajaan Mataram, batik telah menjadi busana kebesaran bagi
para penguasa. Ketentuan-ketentuan penggunaan batik dengan motif tertentu tertuang
dalam undang-undang. Peraturan ini dibuat sedemikian rupa sehingga masyarakat
umum tidak boleh melanggarnya. Sebelum Mataran pecah menjadi dua, raja terbesar
pada masa itu adalah Sultan Agung yang mempunyai daerah kekuasaan yang sangat
luas. Kemudian setelah Mataram terpecah menjadi dua yaitu Yogyakarta dan
Surakarta, banyak terjadi perebutan kekuasaaan antar keluarga sendiri. Tetapi hal itu
tidak mengurangi wibawa sang raja.
A. Sistem Feodal Kraton
Pada masa kerajaan-kerajaan di Jawa, raja merupakan penguasa atas tanah
beserta isinya di seluruh wilayah kekuasaannya. Raja juga mempunyai kekuasaan
yang absolut atau mutlak pada bawahannya. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, feodal berarti hal yang berhubungan dengan susunan masyarakat yang
dikuasai oleh kaum bangsawan yang berhubungan dengan sikap dan cara hidup.1
1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, hlm. 241.
41
Sistem ini sudah berlaku sejak Indonesia dijajah oleh pemerintah kolonial Belanda di
sekitar abad 18.
Seperti diketahui pada pembahasan bab sebelumnya, bahwa masyarakat Jawa
terbagi menjadi beberapa lapisan sosial. Pembentukan lapisan-lapisan ini berdasarkan
pada tingkat ekonomi masyarakat. Lapisan pertama adalah golongan bangsawan atau
priyayi dan lapisan kedua adalah lapisan wong cilik atau rakyat jelata. Mereka berada
pada posisi yang berbeda. Golongan bangsawan berada pada lapisan teratas
kehidupan sosial masyarakat dan golongan wong cilik berada pada lapisan terbawah
kehidupan sosial masyarakat.2 Golongan bangsawan ini menduduki posisi teratas
karena mereka mempunyai pertalian darah dengan raja. Di dalam lingkungan kraton-
pun masih terdapat pembagian kelas-kelas, yang pertama adalah golongan ningrat,
yang ditentukan oleh sistem kekerabatan dan pangkat serta kedudukan dalam
pemerintahan, sedangkan yang kedua adalah abdi dalem, yang merupakan pejabat
dari tingkat atas sampai bawah.
Pembagian sistem sosial di atas, menyebabkan timbulnya sikap feodalisme.
Dalam pemerintahan kerajaan Jawa, kelas bangsawan akan selalu menjadi pemerintah
yang berkuasa. Mereka berhak menentukan apa yang harus dikerjakan oleh rakyat
meskipun kekuasaannya berada di bawah perintah langsung raja. Pada lapisan ini
terdiri dari anggota keluarga raja dan juga para pejabat kerajaan, Mereka dapat
bekerja di dalam kerajaan secara turun temurun.
2 A. N. Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta, Yogyakarta: Rumah Penerbitan
Merapi, 2002, hlm. 24-25.
42
Sedangkan kelas rakyat hanya akan selalu menjadi pihak yang selalu tunduk
kepada raja. Hal ini juga menjadi salah satu sebab terbentuknya feodalisme.
Kekuasaan raja bersifat absolut. Pada zaman Hindu-Buda, raja dianggap sebagai
titisan Tuhan atau dewa yang mempunyai kesaktian dan berkuasa atas semua wilayah
yang menjadi taklukannya. Adanya pembagian kelas dalam masyarakat
mengakibatkan feodalisme tumbuh subur. Mereka yang berada dalam lapisan atas
akan terus menjadi pihak yang selalu berkuasa dan dihormati, sedangkan yang berada
di lapisan bawah akan selalu menjadi pihak yang diperintah dan harus menghormati
yang berkuasa. Hubungan ini juga disebut dengan hubungan antara lord (penguasa)
dan vazal (hamba/rakyat).
Feodalisme juga berarti suatu sistem sosial yang mengagung-agungkan
jabatan atau pangkat sehingga mereka yang menjadi bangsawan maupun priyayi
mempunyai kekuasaan yang besar setelah raja. Rakyat yang sebagian besar terdiri
dari wong cilik, harus tetap menghormati kelas ningrat tersebut. Hal ini menimbulkan
jurang perbedaan antara bangsawan dengan rakyat.
Sistem feodalisme di Jawa didasarkan pada kosmologi kekuasaan Jawa yang
bersumber pada paham dewa raja kultus. Raja yang dianggap sebagai titisan dewa
dengan segala kesaktian yang dimilikinya sangat diagung-agungkan. Seperti dalam
buku Moedjanto, kekuasaan raja-raja Jawa mempunyai konsep yang disebut dengan
Raja Gung Binathara. Kekuasaan ini menunjukkan bahwa raja-raja mempunyai
kekuasaan yang sangat besar sehingga rakyatnya mengakui raja sebagai pemilik
43
segala sesuatu, baik harta benda maupun manusia.3 Tak hanya itu kekuasaan raja
digambarkan sebagai bau dhendha nyakrawati yang berarti raja adalah pemelihara
hukum dan penguasa dunia, berbudi bawa leksana berarti meluap budi luhur
mulianya, dan ambeg adil paramarta berarti bersikap adil terhadap sesama.4
Sehingga dapat dikatakan bahwa kekuasaan raja tidak terlalu absolut dengan sistem
pemerintahan yang tidak terlalu mengekang.
Besarnya kekuasaan raja yang disebut di atas, membuat rakyat hanya bisa
patuh terhadap apa yang diperintahkan raja kepadanya. Tanah yang hanya dimiliki
oleh raja dikelolakan kepada para pejabat kerajaan dan kemudian rakyat yang
menggarapnya. Setelah menghasilkan sesuatu, misalnya hasil bumi, maka harus
diserahkan kembali pada raja. Kekuasaan tetap berpusat pada raja, meskipun ada
beberapa pegawai yang ditunjuk untuk menjadi wakil raja di daerah.
B. Penerapan Feodalisme Dalam Kehidupan di Kraton
Dalam memperkuat kekuasaan raja, ada beberapa cara untuk melakukan
pembinaan kekuasaan.5 Salah satunya adalah pengembangan kebudayaan kraton.
3 Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya oleh Raja-Raja
Mataram, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm 77.
4 Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman,
Yogyakarta: Kanisius, 1994, hlm. 29. Kekuasaan raja yang besar terlihat dalam 7
kekuasaan, salah satunya adalah gelar-gelar yang disandang.
5 Moedjanto, op. cit., hlm. 86-90.
44
Beberapa hal yang harus dilakukan dalam mengembangkan kebudayaan kraton
tampak dalam cara berpakaian, cara mengambil sikap, dan cara berbicara.6 Menurut
Biranul Anas, berbagai ketentuan tentang perilaku yang mengatur keluarga raja
beserta para pejabat kraton dalam bertindak, berbicara dan berbusana bisa
menumbuhkan feodalisme.7 Dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahannya,
Raja juga mempunyai simbol-simbol yang digunakan untuk melegitimasi
kekuasaannya. Barang atau simbol kekuasaan itu antara lain seperti payung, tombak,
pakaian, keris, dan kain batik yang merupakan bagian dari penunjang kelengkapan
gaya. Tiap barang mempunyai fungsinya masing-masing ketika sudah dipakai pada
acara tertentu.
Batik tradisional adalah suatu kain yang pada umumnya dihasilkan oleh para
perempuan. Tak terkecuali perempuan di dalam kraton, yang juga mempunyai
ketrampilan dalam membuat batik. Bagi para perempuan kraton, batik diproduksi
untuk keperluan kraton. Ketrampilan ini sangat penting untuk dimiliki oleh kaum
perempuan. Seperti yang telah dijelaskan di atas, batik merupakan salah satu alat
kelengkapan yang berguna untuk mendukung kebesaran seorang raja yang
memakainya.
6 Ibid., hlm. 88.
7 Biranul Anas, Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku
Indonesia Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, 1997, hlm. 5.
45
Beberapa alat atau simbol menjadi sesuatu hal yang dimaksudkan untuk
melegitimasi kekuasaan raja. Pemakaian motif batik dalam lingkungan masyarakat
Jawa termasuk dalam feodalisasi kerajaan. Pemakaian batik dibedakan menjadi dua,
batik yang dipakai oleh bangsawan dan batik yang dipakai oleh rakyat. Kedua jenis
batik yang dibedakan itu didasarkan pada motifnya.
Ketika Sultan Hamengku Buwono II memerintah, pada tanggal 2 Agustus
1792 dikeluarkanlah perintah bagi para pejabat yang berisi etiket yang benar dan
terperinci dalam pertemuan antara anggota keluarga kerajaan, pejabat pemerintahan
senior, dan para pengikutnya. Dalam peraturan ini terdapat 18 ketentuan (prakara)
yang berhubungan dengan hukum pemerintahan seperti penggunaan tandu, payung,
kuda, tipe atau motif batik, dan keris.8
Pengaturan tentang pemakaian batik terdapat pada ketentuan nomor 17.
Ketentuan ini mencakup tentang pakaian yang dipakai oleh keluarga raja terutama
anak dari raja. Disini juga terdapat larangan-larangan pemakaian motif batik. Dalam
peraturan ini tertulis larangan pemakaian sebagai berikut9:
…ana dening mungguh kang rupa jajarit, kang ingsun larangi, bathik
sawat, bathik parang rusak, bathik cumengkirang, bathik kawung, bathik
telacap, bathik huk, bathik sembagen kang nganggo lung-lungan, bathik
semen, bathik barong kang mawa lar, lan lurik ginggang kenthing, lurik
ireng…
8 P. B. R. Carey (ed), The Archive of Yogyakarta, London: Oxford University
Press, 1980, hlm. 104.
9 Ibid., hlm. 107. Kutipan ini diterjemahkan bebas oleh penulis.
46
(jarit atau kain yang saya larang untuk dipakai adalah batik sawat, batik
parang rusak, batik cumengkirang, batik kawung, batik telacap, batik huk,
batik sembagen dengan motif lung-lungan, batik semen, batik barong
dengan motif lar, dan kain lurik ginggang kenthing, kain lurik hitam)
Peraturan ini juga menjelaskan tentang pakaian yang dipakai oleh putra
keturunan dari Ki Adipati Anom Hamengkunegara yaitu batik modang, dan lurik
larog. Hal ini juga berlaku pada putra Mantri Jero Pinilih yang dilarang memakai
batik dengan motif-motif tersebut.10
Peraturan yang serupa dikeluarkan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII yang
memerintah tahun 1927, beliau mengeluarkan lagi undang-undang baru yang memuat
aturan pemakaian busana dan kain batik. Masyarakat biasa tidak boleh memakai
motif-motif yang hanya dipakai oleh raja.
Kedudukan pejabat yang berada di dalam kraton berbeda-beda menurut
tingkat sosialnya. Pegawai kerajaan ada yang berasal dari keluarga sultan dan ada
juga yang diangkat dari rakyat biasa. Hubungan antara para pejabat tersebut diatur
pula dalam Instruction for Royal Officials.11
Para pejabat ketika akan bertemu dengan
pejabat yang lebih tinggi ataupun sebaliknya, ketika pegawai bawahan ketika bertemu
10
Ibid.
11 Ibid., hlm. 104. Peraturan ini judulnya ditulis dalam bahasa Inggris, tetapi
isi atau pasal-pasal ketentuan yang termuat dalam peraturan ini, tetap tertulis dalam
bahasa Jawa.
47
dengan pejabat tinggi, sikapnya berbeda-beda. Sampai pada pembantunya pun, di situ
ditulis bagaimana caranya bersikap ketika bertemu dengan bangsawan. 12
Pada bab II telah disebutkan bahwa ada beberapa bentuk pakaian yang dipakai
oleh raja dan pemakaiannya tidak bisa sembarangan. Pemakaian ini ditentukan oleh
upacara kebesaran atau ceremonial, atau pada saat-saat tertentu. Salah satu pakaian
kebesaran raja adalah kampuh. Kain ini sangat besar ukurannya dan sering dipakai
pada saat melaksanakan upacara resmi kraton.
Keperluan pemakaian kain batik tertentu diberlakukan pula pada acara-acara
tertentu. Busana yang dipakai oleh kalangan kraton dibagi menjadi dua yaitu busana
resmi dan tak resmi. Busana resmi yaitu busana yang dipakai pada saat upacara adat
maupun acara kerajaan. Sedangkan busana tak resmi yaitu busana yang dipakai pada
kegiatan sehari-hari.
Busana resmi pada saat upacara adat kraton dibagi menjadi dua yaitu upacara
alit dan upacara ageng.
1. Upacara alit dilaksananakan seperti pada saat upacara tetesan, dan tarapan.
Upacara tetesan adalah upacara sunat/khitan yang dilakukan oleh anak
perempuan yang berusia 6-8 tahun. Busana yang dikenakan adalah
sabukwala. Sedangkan upacara tarapan adalah upacara inisiasi haid pertama
bagi anak perempuan yang berusia 9-12 tahun. Busana yang dikenakan yaitu
12
Ibid., hlm. 104-108.
48
pinjung. Namun, pemakaian busana ini berbeda berdasarkan tingkatan
kedudukan setiap anak.
2. Upacara ageng dilaksananakan seperti pada upacara garebeg, jumenengan
dalem (penobatan raja), pasowanan, sedan (upacara kematian saat
pemakaman), dan upacara daur hidup seperti perkawinan, mitoni, dan supitan.
Pada upacara jumenengan (penobatan raja) dan saat menerima tamu agung,
memakai busana sikepan beludru, celana cindhe dengan kampuh bermotif
parang rusak barong dan ngumbar kunca. Dan bagian kepala memakai kuluk
kanigoro serta sumping emas berbentuk daun mangkara yang menghiasi
kedua telinga.13
Sebenarnya busana yang dipakai dalam upacara ageng
sebagian besar hampir sama dengan busana kebesaran beserta kelengkapan
yang disebutkan seperti di atas. Untuk anggota keluarga yang lain, kain yang
dipakai dibedakan motifnya. Misalnya untuk para putra mahkota kain batik
yang dipakai adalah parang rusak gendreh. Upacara supitan dilakukan oleh
anak laki-laki yang berusia 13-15 tahun, dengan memakai baju srimpi. Pada
saat upacara perkawinan, kedua mempelai memakai motif truntum, grompol
dan semen. Seni pertunjukan tari juga termasuk dalam upacara ageng.
Pertunjukan tari wayang wong, Beksan Lawung dan Bedhaya ditampilkan
dalam acara-acara ageng seperti yang telah disebutkan di atas. Motif-motif
yang dipakai seperti parang rusak, kawung dan slobok. Motif-motif itu hanya
13
A. N. Suyanto, op. cit., hlm. 64.
49
boleh dipakai oleh raja, namun pada saat akan digunakan untuk pertunjukan,
motif tersebut bisa dipakai sesuai dengan peran yang akan dimainkan.14
Sedangkan untuk busana tak resmi yaitu untuk pakaian sehari-hari, kain yang dipakai
berupa motif semen, ceplok, atau gringsing.15
Pemakaian busana maupun kain batik
berbeda-beda menurut kedudukan sosial dalam kraton dan juga besar kecilnya usia
(anak-anak, remaja, dewasa).
Penyelenggaraan upacara telah dilaksanakan secara turun temurun walaupun
nantinya akan ada pengurangan tata cara oleh Belanda. Prosesi upacara yang
dilaksanakan oleh kraton mempunyai nilai kesakralan tersendiri. Sehingga
kelengkapan alat maupun simbol-simbolnya sangat menentukan dalam proses
upacara.
Sikap-sikap lain yang menjadi kefeodalan di sekitar lingkungan kerajaan
adalah cara mengambil sikap badan, yaitu ketika menghadap pada raja semua orang
yang lebih rendah kedudukannya harus menyembah. Kemudian dalam hal berbicara,
ada beberapa jenis penggunaan bahasa dalam kehidupan orang Jawa. Pemakaian
bahasa dalam masyarakat dibedakan menjadi tiga yaitu krama inggil, krama madya,
dan ngoko. Ketika berbicara kepada seseorang yang lebih tinggi kedudukannya, maka
14
Ibid., hlm. 67.
15 Untuk lebih jelas mengenai busana resmi dan tak resmi dalam lingkungan
kraton, lihat dalam Mari S. Condronegoro, Busana Adat 1877-1937 Kraton
Yogyakarta, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1995, hlm. 21-38 dan A. N.
Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta, Yogyakarta: Rumah Penerbitan Merapi, 2002,
hlm. 35-41.
50
seseorang harus menggunakan bahasa halus atau krama inggil. Penggunaan bahasa
krama madya digunakan ketika lawan bicaranya orang yang hampir sejajar tetapi
bermaksud ingin tetap menghormati orang itu. Kemudian ketika berbicara dengan
orang yang sama kedudukannya bisa menggunakan bahasa ngoko.16
Jadi kekuatan feodal pada kerajaan di Jawa khususnya Mataram, terdapat pada
unsur kekuasaan yang turun temurun, disertai dengan gelar-gelar yang disandang oleh
raja, dan kekuasaan absolut.17
Ketika Islam masuk ke Indonesia, raja dianggap
sebagai wali Allah sehingga dia mempunyai gelar yaitu Ngarso Dalem Sampeyan
Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga
Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Kaping.18
Gelar tersebut
berarti bahwa sultan atau raja mempunyai peran untuk memelihara atau melindungi
dunia, merangkap sebagai pimpinan utama angkatan perang, sebagai wakil Tuhan,
dan juga sebagai pimpinan serta pengatur agama.
16
Untuk melihat tingkatan-tingkatan bahasa yang digunakan dalam
masyarakat Jawa, lihat dalam G. Moedjanto, The Concept of Power In Javanese
Culture, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1986, hlm. 55-59.
17 G. Moedjanto, op. cit., hlm. 88.
18 Pemberian gelar ini tergantung pada Sultan/raja yang memerintah. Misalnya
untuk Sultan Hamengku Buwono VIII, gelarnya menjadi Ngarso Dalem Sampeyan
Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga
Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Kaping VIII (wolu).
Begitu juga dengan seterusnya.
51
C. Kemerosotan Feodalisme Dalam Kehidupan Kerajaan
Indonesia termasuk sebagai salah satu negara jajahan Belanda. untuk
melancarkan misinya, pemerintah kolonial Belanda melakukan kerjasama dengan
pemerintah setempat. Pemerintah kolonial menginginkan agar rakyat patuh dengan
mereka. Tujuan para penjajah datang ke Indonesia adalah untuk mengambil sumber
daya alam dengan memanfaatkan sumber daya manusia Indonesia.
Kehidupan rakyat semakin menderita akibat penjajahan Belanda. Sehingga
mengakibatkan perlawanan-perlawanan yang diadakan oleh rakyat. Timbul
peperangan antara pihak rakyat Indonesia dan pemerintah Belanda. Namun hal ini tak
mengurangi minat Pemerintah kolonial untuk terus mengeksploitasi sumber daya di
Indonesia. Untuk memperlancar proses itu, salah satunya diadakanlah perjanjian
politik dengan pihak pemerintah yang dalam hal ini adalah kraton. Perjanjian ini
mengontrol seluruh kehidupan pemerintah dan juga masyarakat.
Pemerintah Belanda mengeluarkan Hormat Circulaire pada tahun 1904.19
Peraturan ini dikeluarkan karena Belanda berusaha mengurangi kehidupan feodal
dalam masyarakat Jawa. Pemerintah Belanda mengurangi berbagai cara
penghormatan rakyat terhadap kaum bangsawan dan menjadikan kemerosotan
kekuasaan para bangsawan. Rakyat juga rupanya sudah ingin lepas dari belenggu
feodalisme.
19
Prajudi Atmosudirdjo, Sejarah Ekonomi Sosiologi Indonesia Jilid II,
Jakarta, hlm. 220.
52
Orang-orang Belanda mulai menduduki posisi dalam pemerintahan
menggantikan para bangsawan. Dengan pendidikan yang sudah didapat, orang-orang
Belanda ditempatkan pada struktur birokrasi kerajaan. Hal ini menimbulkan posisi
pemerintah kolonial Belanda yang juga harus dipatuhi oleh rakyat.
Perubahan-perubahan dalam pemakaian alat-alat kebesaran raja dan tata cara
penyelenggaraan upacara dilaksanakan sesuai dengan aturan yang diterapkan oleh
Belanda. Pemakaian segala perlengkapan busana yang dipakai untuk upacara ageng
sudah mulai berkurang. Misalnya ketika mengadakan upacara penyambutan tamu dan
Garebeg, Sultan tidak lagi memakai berbagai perlengkapan tanda dan pakaian
kebesaran.20
Hanya barang-barang tertentu saja yang masih dipakai, seperti misalnya
kain kampuh yang bermotif parang rusak barong. Tata cara upacara pada masa ini
telah disederhanakan dan harus seizin pemerintah Belanda.
Ketika Pemerintah Belanda akan menghadap Raja, mereka diharuskan
melakukan penghormatan. Namun, setelah dikeluarkan peraturan ini mereka tidak
harus melakukan penghormatan. Meskipun pemerintah Belanda menetapkan
peraturan undang-undang yang mengurangi kekuasaan feodal bangsawan, batik masih
menjadi kain eksklusif yang dipakai dan menunjukkan tingkat sosial pemakainya.
Pemakaian batik tidak lagi terbatas pada kalangan kraton saja. Ketrampilan
membatik dan motif-motif larangan-pun menyebar ke daerah-daerah. Motif dan
20
Lihat dalam A. N. Suyanto, op. cit., hlm. 62. Pemakaian atribut pakaian
bagi pejabat-pejabat kraton tidak lagi lengkap seperti sebelumnya.
53
ketrampilan batik tidak lagi menjadi suatu hal yang hanya dikuasai pihak kraton.
Semua kalangan mulai dapat menikmati hasil budaya Jawa itu tanpa takut dibayang-
bayangi kekuasaan feodal.
54
BAB IV
PERAN DAN FUNGSI DJOGO PERTIWI DALAM
PENGEMBANGAN SENI MEMBATIK 1935-1942
Batik di Yogyakarta telah mengalami perluasan dalam hal seni dan
pembuatannya. Ketrampilan membatik ini tidak hanya dibuat oleh wanita-wanita di
lingkungan kraton, sampai meluas di seluruh wilayah Provinsi Yogyakarta. Salah
satunya adalah wilayah Kabupaten Bantul, tepatnya di Dusun Pajimatan, Desa
Girirejo, Kecamatan Imogiri.
Di wilayah ini pada zaman dahulu merupakan daerah yang terkenal dengan
batiknya, dan sampai sekarang-pun masih terkenal. Banyak para penduduknya yang
bekerja sebagai pembatik karena bersuamikan abdi dalem kraton. Hal ini
berhubungan dengan pembangunan makam raja-raja Mataram yang terletak di
perbukitan Imogiri. Para abdi dalem tersebut bertugas sebagai juru kunci makam raja-
raja Mataram. Imogiri menjadi salah satu pusat industri pembuatan batik sehingga
kerajinan ini sangat berpotensi bagi penduduk sekitarnya.
55
A. Keadaan Geografis Wilayah Penelitian
Dusun Pajimatan termasuk dalam wilayah Desa Girirejo, Kecamatan Imogiri,
Kabupaten Bantul. Batas-batas wilayah Dusun Pajimatan adalah sebagai berikut1:
- Sebelah utara dibatasi oleh Desa Wukirsari
- Sebelah timur dibatasi oleh Dusun Kedungbuweng, Desa Wukirsari
dan Dusun Banyu Sumurup, Desa Girirejo
- Sebelah selatan dibatasi oleh Dusun Payaman Selatan, Desa Girirejo,
dan Dusun Tegalrejo
- Sebelah barat dibatasi oleh Dusun Kradenan dan Dusun Ndronco
Kecamatan Imogiri mempunyai delapan desa yang berada di lingkup
wilayahnya. Selain desa Girirejo, ada desa Selopamioro, Imogiri, Karang Talun,
Karang Tengah, Kebon Agung, Sriharjo dan Wukirsari. Masing-masing daerah
tersebut mempunyai khasnya. Seperti Desa Selopamioro, masyarakatnya terkenal
sebagai penghasil tembakau. Desa Girirejo, dengan Dusun Pajimatan dan Desa
Wukirsari dengan Dusun Giriloyo, kedua-duanya terkenal sebagai penghasil batik
tulis. Selain itu juga terkenal sebagai penghasil aneka kerajinan seperti keris dan
kulit.
Wilayah Dusun Pajimatan mempunyai luas wilayah 53 hektar, terletak di
dekat makam raja-raja Mataram, salah satunya adalah makam Raja terbesar Mataram
Islam yaitu Sultan Agung. Letak geografis wilayah ini termasuk daerah perbukitan
1 Wawancara dengan Ibu Siti Jariyah Asih, 59 thn, Kepala Dukuh/Dusun
Girirejo, tanggal 2 November 2009.
56
dengan keadaan lingkungannya yang dikelilingi dengan bukit. Status daerah Dusun
Girirejo masih tergolong pedesaan. Dusun ini terletak kira-kira 17-20 kilometer ke
arah selatan dari Kota Yogyakarta. Penduduk Dusun Pajimatan mempunyai mata
pencaharian di antaranya sebagai petani, buruh dan wiraswasta. Meskipun keadaan
lingkungan Dusun Pajimatan dikelilingi oleh bukit, mata pencaharian penduduknya
bertumpu pada kegiatan pertanian. Ada juga penduduk yang bekerja sebagai buruh
tani yaitu sebagai penggarap lahan, dan bekerja sebagai penggarap batik atau buruh
batik. Sedangkan penduduk yang bekerja sebagai wiraswastawan sebagian besar
bekerja sebagai pembatik.2
B. Perkembangan Batik di Imogiri
Membatik merupakan sebuah bentuk seni yang telah muncul sejak berabad-
abad lalu. Batik juga merupakan kesenian yang dikerjakan oleh wanita untuk mengisi
waktu senggangnya. Ketika Kraton mengembangkan seni tersebut di lingkungannya,
batik juga kemudian meluas ke wilayah-wilayah di sekitarnya, seperti di Dusun
Pajimatan, kecamatan Imogiri.
Awal mula penyebaran kesenian batik di Imogiri dimulai ketika Sultan Agung
yang berkuasa atas Kerajaan Mataram pada tahun 1613-1645. Beliau menginginkan
pembangunan makam yang nantinya diperuntukkan baginya. Makam ini dibangun
2 Wawancara dengan Ibu Siti Jariyah Asih, 59 thn, tanggal 2 November 2009.
57
sekitar tahun 1630-an oleh Sultan Agung.3 Bukit yang akan digunakan untuk
membangun calon makam Sultan Agung kelak, berada di perbukitan di sekitar
wilayah Imogiri. Setelah selesai dibangun, ternyata ada keluarga raja yang meninggal
yaitu Panembahan Juminah, yang kemudian malah menjadi orang pertama yang
dimakamkan di bukit itu. Sultan Agung merasa kecewa karena makam yang akan
dipakai untuk memakamkannya kelak, sudah digunakan untuk memakamkan
saudaranya. Panembahan Juminah adalah paman dari Sultan Agung. Meskipun
mereka bersaudara, Sultan Agung yang menjadi raja terbesar pada saat itu, tidak mau
berbagi tempat makam. Sebelumnya memang Sultan Agung menginginkan agar dia
dapat menjadi orang yang pertama kali dimakamkan di situ.
Akhirnya Sultan Agung memerintahkan untuk membangun lagi tempat
pemakaman yang baru. Tempat itu berada di dekat pemakaman yang pertama. Kalau
tempat yang digunakan oleh Panembahan Juminah berada di Dusun Giriloyo,
sedangkan makam baru yang akan dibangun berada di Dusun Pajimatan.4 Makam ini
terletak diatas perbukitan sehingga dibangunlah makam yang dihubungkan dengan
ratusan anak tangga untuk mencapai makam para raja. Penduduk sekitar mengenal
bukit itu dengan nama bukit Merak.5 Pada perkembangan selanjutnya kompleks
3 H. J. De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, Jakarta: Grafiti Pers, 1986,
hlm. 299.
4 Ibid., hlm. 300. Lihat juga dalam Suhartinah Sudijono, Pasang Surut Batik
Tulis Tradisional Bantul, Patra Widya, Vol. 7, No. 3, September 2006, hlm. 12.
5 Suhartinah Sudijono, Pasang Surut Batik Tulis Tradisional Bantul, Patra
Widya, Vol. 7, No. 3, September 2006, hlm. 12. Lihat juga dalam artikel Sentra Batik
Giriloyo dan Pajimatan Imogiri, Selarong, Vol. 4, 2005, hlm. 164.
58
pemakaman Imogiri ini digunakan tidak hanya dari pihak Kesultanan Yogyakarta
tetapi juga dari pihak Kasunanan Surakarta.
Adanya pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri ini membutuhkan tenaga
untuk merawat dan menjaga. Pihak kraton mengutus beberapa abdi dalem yang
ditugaskan untuk bekerja disini. Mereka ditugaskan sebagai juru kunci makam
Imogiri. Para penjaga makam itu diambil dari kedua pihak, baik dari kraton
Yogyakarta maupun Surakarta. Anggota keluarga para abdi dalem itu, seperti istri,
kemudian diajak untuk pindah mengikuti tempat para suami ditugaskan.
Abdi dalem tersebut memang berasal dari kalangan rakyat biasa. Mereka
kemudian diangkat menjadi pegawai kerajaan oleh raja. Pengangkatan abdi dalem
sebagai pegawai kerajaan ini dianggap menjadi suatu jabatan yang memiliki
keistimewaan (prestise) khusus. Selain dianggap dapat menaikkan status sosial
seseorang, jabatan ini juga dapat menjadi suatu penghargaan yang bisa menjadi
kebanggaan jika nantinya mereka berjasa pada kerajaan.
Para istri dari abdi dalem yang bertugas di makam Imogiri, sudah memiliki
keahlian membatik dan sudah mempelajari bermacam-macam motif dari kraton sejak
mereka tinggal di dalam tembok kraton. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan ketika
mereka tinggal di Dusun Pajimatan. Seni batik merupakan salah satu pendidikan
wajib bagi wanita Jawa, begitu pula di dalam kraton. Dari sini-lah, kesenian
membatik mulai menyebar di wilayah Imogiri, khususnya di Dusun Pajimatan.
59
Batik mulai menyebar di wilayah Imogiri ini diperkirakan pada tahun 16326,
ketika Sultan Agung memerintahkan pembangunan makam di Imogiri. Tetapi ada
pula yang berpendapat bahwa, kegiatan membatik ini mulai ada sejak tahun 1645,
ketika banyak abdi dalem yang ditugaskan sebagai juru kunci makam.7 Hubungan
para abdi dalem (beserta istri) dengan kraton sangat dekat, maka kepandaian yang
didapat selama berada di kraton tetap diterapkan. Lama kelamaan, ketrampilan
membatik ini juga dimiliki oleh masyarakat sekitar.
Semula, para istri abdi dalem hanya membuat pakaian raja beserta
keluarganya, bangsawan, dan orang-orang yang berada di dalam kraton.
Pembuatannya disesuaikan dengan motif-motif yang terbatas. Seperti dalam bab
sebelumnya, telah disebutkan bahwa pemakaian batik ini tidak bisa sembarangan
memakainya karena tergantung dengan status sosial pemakai batik. Ketika sudah
berada di luar wilayah kraton, mereka masih membuat batik dengan motif-motif yang
hanya dibuat untuk kalangan raja. Tidak mengherankan jika masyarakat di sekitar
Dusun Pajimatan yang melihat cara pembuatannya bisa membuat motif yang sama,
dan motif tersebut merupakan motif-motif dari kraton.
Pada perkembangannya, penguasaan seni membatik di wilayah ini dilakukan
secara turun temurun. Kebanyakan para pembatik di Dusun Pajimatan memang
6 Sentra Batik Giriloyo dan Pajimatan Imogiri, Selarong, Vol. 4, 2005, hlm.
164.
7 Ibid., hlm164-165. Lihat juga dalam Sugiyamin, Seni Kerajinan Batik
Tradisional Imogiri Yogyakarta, Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002,
hlm. 47.
60
mendapat ketrampilan ini dari pendahulu atau nenek moyangnya. Di samping itu,
para pembatik ini juga memang berasal dari keluarga pembatik. Tak hanya itu,
penduduk yang bukan berasal dari keluarga pembatik juga belajar membuat kain
batik. Sehingga banyak bermunculan para perajin batik. Hal ini menjadikan wilayah
Imogiri yang termasuk dalam Kabupaten Bantul sebagai daerah yang patut
diperhitungkan dalam dunia batik. Hasil batik dari wilayah ini kemudian disebut
dengan Batik Bantulan. Dari sini muncul kemudian seorang perempuan, warga Dusun
Pajimatan yang berperan dalam mengembangkan batik yaitu Djogo Pertiwi.
C. Proses Pembelajaran Djogo Pertiwi Dalam Membatik
Ketrampilan membatik tidak hanya dikuasai oleh perempuan-perempuan dari
kraton tetapi perempuan dari luar kraton pun juga mempunyai andil.8 Antara kraton
dengan rakyat itu yang muncul terlebih dahulu adalah rakyatnya, karena tidak
mungkin pihak raja beserta keluarganya dapat menyediakan kebutuhan pakaiannya
sendiri. Peran perempuan di luar kraton tidak bisa diabaikan begitu saja. Bisa saja
mereka yang lebih dahulu menemukan motif-motif klasik yang sudah ada. Tetapi raja
merupakan penguasa terbesar, bisa saja mengklaim motif klasik itu buatan wanita
kraton selama dia masih memerintah.9 Raja-raja Jawa pada zaman dahulu memang
8 Lihat N. Tirtaamidjaja. Batik: Pola dan Tjorak, Jambatan, hlm. 4. Kita tidak
bisa mengabaikan daya cipta yang dihasilkan oleh masyarakat yang berada di luar
kraton.
9 Wawancara dengan Ibu Larasati Suliantoro, Ketua Paguyuban Batik Sekar
Jagad, 75 tahun, tanggal 1 November 2009.
61
terkenal sebagai penguasa atas tanah dan segala yang ada di atasnya. Seperti yang
telah disebutkan pada bab sebelumnya, posisi raja sangat berkuasa sehingga sah-sah
saja bila misalnya, motif parang rusak itu dibuat oleh raja dan diperuntukkan bagi
raja. Jadi masyarakat tetap bisa menikmati kain batik dengan motif yang lebih
beragam.
Ketika meletus perang Diponegoro pada tahun 1830, banyak para anggota
keluarga baik dari kalangan bangsawan maupun abdi dalem yang mengungsi. Hal ini
mengakibatkan ketrampilan membatik yang dimiliki oleh mereka menyebar ke
beberapa wilayah. Para pegawai kerajaan atau abdi dalem, umumnya berasal dari luar
kraton. Mereka nantinya mempunyai istri yang berasal dari kalangan kraton. Ketika
para pegawai tersebut ditugaskan bekerja di luar kraton, maka istrinya akan ikut
menemani suaminya. Dalam waktu luangnya, seorang istri di samping mengerjakan
pekerjaan rumah tangga lainnya juga membuat batik. Dari awal itulah, keahlian
membatik bisa dikuasai oleh perempuan-perempuan dari luar kraton. Seorang istri
yang ikut suaminya bekerja di luar kraton berinteraksi dengan masyarakat di sekitar
tempat suaminya bekerja dan mulai mengajarkan mereka tentang cara membatik.
Salah satu penduduk Dusun Pajimatan, berhasil menguasai ketrampilan
membatik. Dia adalah Djogo Pertiwi. Menurut Sardjuni, Djogo Pertiwi lahir pada
tahun 1910.10
Djogo Pertiwi mulai mempelajari seni membatik sekitar tahun 1920,
10
Wawancara dengan Ibu Sarjuni, penerus usaha batik Djogo Pertiwi, 63
tahun, tanggal 30 Oktober 2009.
62
dan ketika itu beliau berumur 9 tahun.11
Menurut Sarjuni, Djogo Pertiwi memang
sudah belajar membatik di umurnya yang masih sangat muda, 8-9 tahun. Ketrampilan
ini didapat secara turun temurun. Dahulu, ibu dari ibunya, tepatnya nenek dari Djogo
Pertiwi adalah seorang pembatik. Ibunya Djogo Pertiwi yang bernama Dayat Atmojo,
juga merupakan pembatik di daerahnya. Sehingga keluarga Djogo Pertiwi dapat
digolongkan menjadi keluarga pembatik. Mereka juga dulunya tergolong sebagai
juragan besar batik. Proses pembuatan kain batik dari awal sampai akhir dikerjakan
sendiri.
Pada usia itu Djogo Pertiwi mulanya belajar secara sederhana, yaitu dengan
menggoreskan pola atau motif di atas telapak tangannya. Lalu kemudian membatik
diatas kain dengan mengikuti pola yang sudah digambarnya. Ketika melihat wanita-
wanita di lingkungannya membatik, membuat Djogo Pertiwi ingin mencoba
membatik. Pada saat itu ketrampilan membatik sedang ditekuni oleh para wanita di
Dusun Pajimatan.
Ketrampilan ini tidak lepas dari peranan ibunya yang juga mempunyai
keahlian membatik. Telah menjadi adat kebiasaan yang turun temurun bahwa ibu dan
bapak-lah yang bertanggung jawab atas segala hal ikhwal kehidupan anaknya.12
11
Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009. Lihat
juga dalam Sugiyamin, Seni Kerajinan Batik Tradisional Imogiri Yogyakarta,
Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta 2002, hlm. 156.
12 Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen Pendididkan dan
Kebudayaaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah, 1976/1977, hlm. 227.
63
Orang tua sangat besar peranannya dalam mendidik putra-putrinya. Keberhasilan
seorang anak dapat dicapai apabila mendapat dukungan dari orang tua.
Ketika sudah dewasa, kira-kira pada tahun 1927, Djogo Pertiwi tergerak untuk
mengembangkan bakatnya dalam membatik. Saat itu Djogo Pertiwi berusia 17 tahun,
yang bagi seorang perempuan pada umumnya, sudah bisa mulai bekerja. Djogo
Pertiwi menjadi seorang buruh batik di Yogyakarta. Dia pergi ke kota untuk bekerja
sekaligus belajar membatik di toko batik Tjokro Soeharto.13
Selain sudah mendapat
ilmu membatik dari ibunya, Djogo Pertiwi juga menimba ilmu membatik di sana.
Pada saat itu Tjokro Soeharto sudah menjadi toko seorang juragan batik besar di
Yogyakarta. Kemampuannya dalam membatik telah meningkat sedikit demi sedikit,
maka Djogo Pertiwi ingin mempertahankan eksistensinya sebagai pembatik dengan
mengajarkan batik di daerahnya, Dusun Pajimatan.
Setelah memperoleh ilmu dan pengalaman yang cukup, Djogo Pertiwi mulai
membuat usaha membatik di rumahnya. Berbekal pengalamannya, Djogo Pertiwi
berhasil membuat pesanan yang berasal dari masyarakat sekitar. Saudara-saudara
terdekatnya juga meminta Djogo Pertiwi untuk membuatkan kain batik dengan motif-
motif yang sudah dipelajarinya.14
Dalam perkembangan berikutnya, Tjokro Soeharto
juga memesan batik buatan Djogo Pertiwi.15
Toko-toko batik lainnya yang ada di
Yogyakarta juga menjadi tempat untuk menyetorkan kain batik buatan Djogo Pertiwi.
13
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0212/02/opi03.html
14 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.
15 Ibid.
64
Menurut Sarjuni dalam wawancaranya, mengatakan bahwa keluarga kraton
Yogyakarta ikut memesan batik, tetapi motif-motifnya juga motif tertentu, motif
kraton, sesuai dengan pesanan.
Djogo Pertiwi menikah kira-kira tahun 1927. Ketika itu, perempuan desa pada
umumnya sudah menikah diumur sekitar 17 tahun. Dia, yang aslinya bernama
Salasatun16
, kemudian menikah dengan seorang abdi dalem yang bernama Suhadi.
Ketika menjadi abdi dalem, nama itu diganti dengan nama Paringan Dalem17
yaitu
Djogo Mustopo. Atas jasanya dalam mengabdikan diri menjadi abdi dalem, nama
Paringan Dalem itu berganti menjadi Djogo Pertiwi.18
Wanita yang sudah menikah
biasanya akan dipanggil dengan menggunakan nama suaminya.19
Akhirnya
Salawatun lebih dikenal dengan nama Djogo Pertiwi. Djogo Pertiwi meninggal pada
usia 93 tahun pada tahun 2003.
Zaman dahulu, seorang perempuan mempunyai kewajiban untuk mempelajari
beberapa ketrampilan yang mendidik mereka ketika sudah memasuki usia dewasa.
Mulai pada usia 7 tahun, perempuan tidak diperkenankan untuk keluar rumah. Hal ini
biasa disebut dengan pingitan. Mereka dipersiapkan untuk menjadi istri yang baik
bagi suaminya kelak. Perempuan diharapkan agar dapat macak (berhias atau
16
Ibid.
17 Paringan Dalem berarti pemberian dari Kraton Yogyakarta.
18 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.
19 Tri Subagya, The Javanese Notions of Human Labor and Productivity,
Retorika, No. 2, Th. I, Januari-April, 2002, hlm. 82.
65
mempercantik diri), manak (melahirkan), masak (memasak), serta dapat menguasai
ketrampilan seperti membatik, menenun dan menganyam. Ketrampilan ini juga harus
dikuasai oleh para perempuan di dalam kraton.
D. Proses Penyebaran Seni Batik Di Dusun Pajimatan.
Djogo Pertiwi telah mempunyai pengalaman yang sangat banyak dalam seni
membatik. Ilmu tersebut sangat berguna bagi penduduk sekitar Imogiri. Sehingga
Djogo Pertiwi ingin membagi ilmunya kepada penduduk di sekitarnya. Kemudian dia
mengajarkan cara membatik kepada masyarakat di sekitar Imogiri khususnya di
Dusun Pajimatan. Orang-orang dulu yang pintar membatik biasanya mengajarkan
ilmunya kepada orang lain.20
Ketrampilan membatik yang diperoleh dari ibunya kemudian ketika dia
bekerja sekaligus juga belajar membatik di Tjokro Soeharto, membuat penduduk
sekitar Pajimatan tertarik dengan ketrampilan yang dimiliki olehnya. Maka ada
beberapa orang yang berdatangan. Mereka dibina langsung oleh Djogo Pertiwi. Ada
beberapa yang memang bekerja membatik di rumahnya dan ada pula yang berniat
untuk belajar.21
Menurut Sarjuni, dari pihak Djogo Pertiwi maupun masyarakatnya
juga sama-sama belajar membuat batik, jadi saling memenuhi kebutuhan antara yang
mengajar dan yang diajar.
20
Wawancara dengan Ibu Larasati Suliantoro, tanggal 1 November 2009.
21 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.
66
Pembuatan kain batik dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu dari proses
pengolahan kain sampai pada proses pelepasan atau penghilangan malam pada kain.
Sebelum membatik, alat-alat yang lebih dahulu, antara lain gawangan, wajan, kompor
atau anglo, dan canthing. Gawangan adalah alat yang dibuat dari kayu untuk
membentangkan kain ketika dibatik. Wajan adalah tempat yang dibuat dari baja,
digunakan untuk mencairkan malam. Kompor atau anglo adalah tempat perapian atau
pemanas, nantinya wajan yang sudah berisi malam ditaruh diatasnya. Terakhir adalah
canthing, berfungsi untuk menggambar dan menuliskan cairan malam pada kain.
Canthing mempunyai beberapa jenis yang dibedakan menurut fungsinya dan
banyaknya cucuk atau tempat keluarnya malam.
Jenis canthing menurut fungsinya dibagi menjadi dua. Pertama, canthing
reng-rengan adalah canthing yang berfungsi untuk ngengreng atau menulis dengan
canthing mengikuti pola. Kedua, canthing isen-isen adalah canthing yang digunakan
untuk mengisi pola-pola yang sudah dibatik. Lalu jenis canthing menurut banyaknya
cucuk atau tempat keluarnya malam dibagi menjadi enam. Pertama, canthing
cecekan, bentuk cucuknya tunggal dengan lubang kecil. Fungsinya untuk membuat
titik-titik kecil dan membuat garis kecil. Kedua, canthing loron, bentuk cucuknya ada
dua yang berfungsi untuk membuat garis rangkap. Ketiga, canthing telon, bentuk
cucuk ada tiga. Pada saat digambarkan di atas kain batik akan terlihat tiga buah titik.
Keempat, canthing prapatan, bentuk cucuknya ada empat yang nantinya
dipergunakan untuk menggambar empat buah titik yang membentuk bujur sangkar.
Kelima, canthing liman, bentuk cucuknya ada lima, gunanya untuk menggambar
67
bujur sangkar kecil yang dibentuk oleh empat buah cicik dan sebuah titik
ditengahnya. Keenam, canthing byok, bentuk cucuknya ada tujuh, gunanya untuk
menggambar lingkaran yang terdiri dari titik-titik.22
Hasil batikan agar menjadi bagus akan ditentukan oleh kualitas malam yang
bagus juga. Malam yang digunakan ada dua jenis berdasarkan penggunaannya,
pertama adalah malam klowongan, dipakai untuk membuat garis-garis klowong atau
garis-garis pola. Kedua adalah malam tembokan, dipakai untuk menutupi bidang pada
pola. Cairan malam yang digunakan berasal dari campuran gandarukem, damar mata
kucing, malam tawon dan parafin. Semua bahan ini dicampur menjadi satu menurut
takaran yang ditetapkan dalam pembuatan batik agar dapat menghasilkan batik yang
berkualitas.23
Setelah menyiapkan alat-alat keperluan membatik, barulah dilakukan
pekerjaan membatik. Berikut ini adalah tahap-tahap yang dilakukan untuk membuat
batik:
1. Pengolahan Kain Mori
Pada tahap pertama sebelum membatik, kain yang akan dipakai harus
dipersiapkan terlebih dahulu. Bahannya yaitu berupa kain mori. Untuk
menghasilkan satu kain batik dibutuhkan panjang kurang lebih 2,5 meter
22
Hamzuri, Batik Klasik, Jakarta: Djambatan, 1981, hlm. 6-8. Lihat juga
dalam Biranul Anas, Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia
Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, hlm. 18-19.
23 Biranul Anas, Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku
Indonesia Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, hlm. 25.
68
dan lebarnya kurang lebih 105 cm.24
Kain batik dengan ukuran panjang dan
lebar tersebut akan dihasilkan kain yang biasa dipakai, biasa disebut dengan
jarik, atau kain batik yang biasa digunakan seperti dalam penggunaannya
bersamaan dengan baju kebaya. Berbeda lagi ukurannya untuk kain batik
dodot yang panjangnya mencapai 3,5 meter dan lebarnya 210 cm. Kain yang
dipakai oleh pembatik biasanya menggunakan jenis kain mori khusus batik
primissima. Kain ini adalah salah satu jenis kain yang berkualitas bagus.
Biasanya pembatik membeli dalam bentuk gulungan besar atau biasa
disebut dengan piece25
, dan nantinya dipotong-potong sesuai dengan ukuran
kain batik pada umumnya. Dalam 1 gulung kain mori nantinya bisa dibuat
menjadi 13 kain batik. Kain ini kemudian, pertama-tama, pada tepi kain
dijahit atau diplipit agar serat-serat kain tidak mudah lepas. Baru kemudian
kain dicuci dengan air panas. Hal ini bertujuan untuk mengilangkan
kotoran-kotoran yang menempel pada kain sehingga tidak menghambat
proses pembatikan. Proses kedua adalah menganji. Kain mori yang sudah
dicuci harus dikanji agar lilin/malam batik tidak meresap ke dalam kain dan
dalam proses selanjutnya lilin/malam dapat mudah dihilangkan. Cara yang
ketiga, adalah mengemplong. Kain yang sudah dikanji akan menjadi kaku
setelah kering. Cara selanjutnya adalah mengemplong, kain itu dipukul-
24
Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.
25 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.
69
pukul dengan tongkat kayu agar menjadi lemas dan mudah untuk dibatik.26
Kain yang sudah dikemplong tersebut siap untuk dibuatkan pola.
2. Tahap Pembuatan Pola
Djogo Pertiwi mulai mengajarkan membatik pada tahap ini.27
Tahap ini
mengenai cara menggambar pola-pola batik. Dalam mengajarkan membuat
pola, Djogo Pertiwi mula-mula menggambar di atas kain, dengan pensil.
Cara ini kemudian ditiru oleh anak-anak didiknya. Untuk membuat pola
yang sudah pakem, seperti motif kraton, adalah dengan cara menggambar
pola yang sudah diberikan dan ditentukan oleh Djogo Pertiwi sehingga
murid tinggal menjiplaknya.28
Djogo Pertiwi mengajarkan cara membuat
pola dengan tekun kepada para muridnya. Untuk membuat kain batik harus
dengan cermat dan telaten, begitu juga ketika pertama kali menggambar
suatu pola. Ketelitian dan ketekunan dalam membuat pola harus
diperhatikan. Agar bisa menggambar satu pola dengan bagus, maka
pembuatannya digambar secara berulang-ulang sampai murid itu bisa.29
Motif-motif yang dibuat seperti pola ceplok, kawung, lereng, dan semen.
Setelah kain mori digambar pola menggunakan pensil sampai seluruh
26
Biranul Anas, op. cit., hlm. 20-23.
27 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.
28 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009. Proses
ini juga dibenarkan oleh Ibu Siti Jariyah Asih dalam wawancaranya.
29 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.
70
permukaan mori penuh dengan pola beserta isiannya.. Kemudian
dilanjutkan membatik menggunakan canthing.30
3. Proses Pembatikan
Setelah selesai melakukan proses membuat pola, mulailah proses membatik.
Djogo Pertiwi mengajari para murid cara untuk memegang canthing.
Canthing tidak bisa dipegang secara sembarangan. Canthing harus dipegang
secara lurus mendatar atau horizontal agar cairan malam yang di dalamnya
tidak menggumpal.31
Cara memegang canthing berbeda dengan memegang
pulpen maupun pensil seperti ketika menulis. Perbedaan itu disebabkan
ujung cucuk canthing bentuknya melengkung dan berpipa besar, sedang
pensil atau pulpen lurus. Memegang canthing dengan ujung-ujung ibu jari,
jari telunjuk, dan jari tengah seperti memegang pensil untuk menulis tetapi
tangkai canthing horizontal. Posisi ini bertujuan agar menjaga agar malam
tidak tumpah.32
Proses selanjutnya adalah membatikkan malam ke atas kain
mori. Malam yang berada di panci, di ambil dengan menggunakan canthing,
tetapi harus ditiup terlebih dahulu. Akan tetapi, proses-proses selanjutnya
dalam pembuatan batik masih dibagi lagi menjadi beberapa tahap, sebagai
berikut:
30
Ibid..
31 Ibid.
32 Hamzuri, op.cit., hlm. 15.
71
a. Nglowongi adalah proses ketika pola yang sudah digambar, dibatik
dengan malam sehingga membentuk kerangka dari motif batik
yang dibuat. Malam yang dipakai khusus untuk nglowongi yaitu
malam klowongan.
b. Nerusi adalah membatik dengan mengikuti pola pembatikan
pertama pada bekas tembusnya. Jadi kain sebelumnya telah dibalik
lebih dahulu.
c. Tahap selanjutnya memberi isen-isen dan cecek pada kain. Tahap
ini disebut juga dengan ngiseni dan nyeceki. Cara ini dengan
menggunakan jenis-jenis canthing yang sudah dijelaskan diatas.
d. Nemboki adalah proses menutup permukaan kain dengan lilin. Hal
ini dilakukan agar pada saat pewarnaan, kain tidak berubah warna
dan tetap putih. Malam yang digunakan adalah malam tembokan.
Malam ini kualitasnya sangat bagus karena akan menempel kuat
pada kain dan tidak akan merusak pola yang sudah dibuat.
Diantara proses membatikkan malam diatas kain, pembatik harus memperhatikan
tungku yang digunakan, dan harus sering ditipasi. Hal ini dilakukan agar bara api di
tungku tetap menyala dan memanasi cairan malam sehingga tidak membeku.
Djogo Pertiwi hanya mengajarkan sampai disini saja. Untuk proses
penyelesaiannya yaitu proses pewarnaannya, kain batik dibawa ke tukang yang biasa
menangani pewarnaan. Biasanya kain batik yang sudah selesai dibatik, dibawa ke
72
Yogyakarta untuk diwarnai.33
Begitu pula dengan proses mbabar yang juga harus
dibawa ke Yogyakarta. Daerah yang biasanya ditunjuk sebagai tempat untuk bagian
ini seperti Prawirotaman dan Tirtodipuran.34
Kebanyakan yang melayani proses ini
adalah para juragan besar batik. Disini juga dilakukan pembatikan dari tahap awal
sampai tahap akhir ketika sudah jadi kain batik siap pakai, mampu mereka lakukan
dengan tenaga sendiri.
Di Yogyakarta, warna yang dominan untuk kain batik adalah soga. Warna
soga merupakan warna coklat yang didapat dari kulit pohon soga. Proses pewarnaan
kain dengan warna coklat ini disebut nyoga dan kain batiknya disebut dengan batik
sogan. Para pembatik sampai pada akhir abad ke 19, masih menggunakan pewarna
alam. Meskipun pada akhir abad ini menyusul ditemukannya pewarna sintetis. Para
pengusaha batik pada akhir abad 19, masih tetap menggunakan pewarna alam karena
tingkat warnanya lebih bagus daripada pewarna sintetis. Warna lain adalah biru tua
yang didapat dari daun tanaman indigo. Proses pewarnaan dengan warna biru ini
disebut medel atau diwedel, dan kain batiknya biasa disebut dengan batik wedelan.
Warna-warna ini merupakan warna khas kain batik gaya kraton, seperti Yogyakarta
dan Surakarta.
Proses terakhir dari pembuatan kain batik ini adalah mbabar. Mbabar
merupakan proses penghilangan lilin dengan cara dilorod, nglorod atau dikerok.
33
Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.
34 Ibid. Lihat juga Suhartinah Sudijono, Pasang Surut Batik Tulis Tradisional
Bantul, Patra Widya, Vol. 7, No. 3, September 2006, hlm.19.
73
Melorod lilin yang menempel pada kain dilakukan dengan cara mencelup-celupkan
kain pada air yang sudah mendidih secara berulang-ulang. Tentunya air panas yang
digunakan untuk melorod bukan hanya air biasa, tetapi juga dicampur dengan zat
kimia.
E. Proses Sosial Perkembangan Batik Dusun Pajimatan Tahun 1935-1942
Mereka yang belajar di tempat Djogo Pertiwi ada beberapa tingkat usia, tetapi
pada dasarnya perempuan yang sudah menginjak usia dewasa diharuskan menguasai
suatu ketrampilan. Menurut Sarjuni, karena memang ketrampilan membatik
dilakukan secara turun temurun, rata-rata perempuan kalau sudah agak besar lalu
belajar membatik. Perempuan dari umur las-lasan atau belasan tahun, sampai yang
sudah tua kira-kira umur 50 tahun datang untuk belajar membatik.35
Sarjuni merupakan salah seorang murid dari Djogo Pertiwi. Ia sekarang
meneruskan usaha ibunya menjadi pembatik dan penjual batik. Meskipun ia hanya
seorang anak menantu dari Djogo Pertiwi, selalu berusaha untuk melestarikan budaya
membatik. Dari pernikahannya, Djogo Pertiwi memang tidak bisa mendapatkan
keturunan.36
Karena tidak ada lagi yang meneruskan usahanya, maka anak
menantunya yaitu Sarjuni-lah yang mengikuti jejaknya. Dia menikah dengan anak
angkat Djogo pertiwi yaitu Sarjuni. Nama aslinya adalah Duriah. Ia lebih dikenal
35
Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.
36 Ibid.
74
dengan Ibu Sarjuni, sama seperti pada Djogo Pertiwi yang lebih dikenal dengan nama
suaminya.
Menurut Ibu Slamet,37
pengajaran seni membatik Djogo Pertiwi sangat
membantu dalam bidang pendidikan bagi perempuan. Seperti yang dikatakan pada
sub bab sebelumnya, bahwa perempuan wajib mempunyai ketrampilan yang
berhubungan dengan kodratnya sebagai wanita. Sarana pendidikan itu memberikan
kesempatan pada perempuan sekitar Imogiri untuk meningkatkan kemampuan agar
bisa menghadapi tuntutan zaman. Mereka ingin ikut berpartisipasi dalam
melestarikan budaya Jawa di lingkungan Pajimatan. Karena ingin membantu
kesejahteraan keluarganya, Ibu Slamet yang mulanya hanya belajar membatik,
akhirnya juga ikut bekerja pada Djogo Pertiwi.
Kemajuan ketrampilan membatik yang mulai dimiliki oleh penduduk di
Imogiri, khususnya oleh sebagian kaum wanita, disadari sebagai suatu proses untuk
memelihara dan melestarikan budaya yang telah ada secara turun temurun.38
Selain
itu perkembangan seni membatik di Pajimatan merupakan usaha untuk
mempertahankan hidup atau sebagai penopang kehidupan rumah tangga ditiap
individu maupun keluarga. Sebagain besar penduduk Pajimatan juga menggunakan
batik sebagai mata pencaharian pokok.39
37
Wawancara dengan Ibu Slamet, murid dari Djogo Pertiwi, 70 tahun, tanggal
3 Februari 2010.
38 Hal ini juga disampaikan dalam wawancara dengan Ibu Sarjuni.
39 Ibid.
75
Perempuan sangat besar perannya dalam kehidupan. Meskipun kadang
perempuan hanya dianggap konco wingking, kita tidak bisa menyepelekan peran
wanita. Kebudayaan ditentukan oleh perempuan. Salah satunya adalah membatik.
Dahulu sebelum munculnya cap, batik dibuat oleh perempuan. Meskipun mereka
tidak sekolah, para perempuan bisa pintar dalam mengurus rumah tangga.40
Pada
umumnya ibu mempunyai sumber penghidupan sendiri yaitu berjual beli di pasar,
membuka warung bahan makanan, membatik, dan lain-lain.41
Pembelajaran ketrampilan membatik yang diajarkan oleh Djogo Pertiwi
membantu para perempuan untuk mendapatkan penghasilan sehingga bisa membantu
meringankan beban suami yang menjadi kepala keluarga.42
Masyarakat Pajimatan
tertarik dengan keahlian Djogo Pertiwi sehingga mereka tertarik dan mulai ikut
belajar membatik. Meskipun sudah banyak yang belajar kepadanya, tidak banyak
juga pembatik yang mampu mengikuti jejaknya meskipun sudah lama bekerja
dengannya. Cara ini sedikit demi sedikit dapat membantu mengembangkan usaha
batik milik Djogo Pertiwi.
Orang-orang yang datang ke tempat Djogo Pertiwi di Pajimatan ada yang
berniat untuk belajar dan untuk bekerja. Orang-orang itu menyadari bahwa kelak dia
harus tahu mengenai kewajibannya untuk berbakti kepada suami karena hanya
40
Wawancara dengan Ibu Larasati Suliantoro, tanggal 1 November 2009.
41 Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, op.cit., hlm..228.
42 Fungsi dalam pembelajaran membatik ini juga disampaikan oleh Ibu
Sarjuni, Ibu Jariyah Asih dan Ibu Slamet dalam wawancaranya.
76
dengan jalan itu mereka bisa mendapatkan kebahagiaan hidup sehingga dapat
melayani keperluan suami. Para perempuan ini juga akan menjadi calon ibu bagi
anak-anaknya kelak. Pada sekitar tahun 1900-1942, pendidikan yang diterapkan bagi
anak perempuan adalah pendidikan rumah tangga. Anak-anak perempuan diharuskan
selalu membantu pekerjaan ibunya menjalankan urusan rumah tangga, serta urusan
yang berkenaan dengan mata pencaharian ibunya.43
Pada tahap selanjutnya dengan
ketrampilan yang dimiliki, perempuan mempunyai sumber penghidupan sendiri.
Mereka termotivasi untuk membantu suami dalam mendapatkan penghasilan untuk
membantu kebutuhan rumah tangga.
Djogo Pertiwi menjadikan murid-muridnya sebagai anak angkat, dengan
memberikan modal kecil untuk membuat batik. Mereka sering diberi kain oleh Djogo
Pertiwi dan diminta untuk membuat karya batik apapun. Setelah selesai, kain-kain itu
dibeli oleh Djogo Pertiwi dan disetorkan ke toko-toko batik di Yogyakarta. Ketika itu
Djogo Pertiwi banyak mendapat pesanan batik sehingga membuat dirinya dikenal
sebagai juragan batik di Dusun Pajimatan. Menurut Sarjuni, ada juga juragan batik
yang memesan kain yang masih berupa mori batikan (masih setengah jadi), lalu
mereka beli dan diproses sendiri. Proses untuk membuat satu kain batik saja
membutuhkan waktu antara 6 sampai 8 bulan, dan itu-pun tergantung dari motifnya.
Dalam mengembangkan usaha batiknya, Djogo Pertiwi mulanya hanya
mempekerjakan sekitar 5 orang perajin. Lama kelamaan, dia juga memberi bantuan
43
Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, op. cit., hlm. 228-229.
77
pendidikan dan batik tulis, terutama motif tradisional. Sehingga jumlahnya meningkat
menjadi 100 orang. Mereka tersebar di Dusun Pajimatan, Giriloyo dan Banyu
Sumurup.44
Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan seni membatik di wilayah
Imogiri mengalami perkembangan dan pertumbuhan seiring minat masyarakat untuk
mempelajari batik.
Ketika para pembatik Pajimatan mendapat banyak pesanan dari kraton,
mereka kewalahan sehingga mendatangkan pembatik yang berasal dari Giriloyo.
Perempuan Giriloyo belajar kemudian bekerja membatik di Pajimatan. Bahkan batik
Giriloyo lebih terkenal daripada batik Pajimatan. Padahal awalnya mereka belajar
membatik di Pajimatan.45
Antara tahun 1935-1942, Yogyakarta diperintah oleh Sultan Hamengku
Buwono VIII dan Sultan Hamengku Buwono IX. Ketika Yogyakarta berada di bawah
pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939), kekuasaannya semakin
dipersempit oleh pemerintah kolonial Belanda. Pemerintahan Sultan menanda-tangani
kontrak politik dengan Belanda pada tahun 1921, yang disebut dengan Acte van
Verband, yang isinya mengatur tentang bahwa pemerintah kolonial Belanda turut
serta dalam penyelenggaraan pemerintahan kerajaan.46
Kontrak politik ini
44
Sugiyamin, Seni Kerajinan Batik Tradisional Imogiri Yogyakarta,
Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002, hlm. 158.
45 Wawancara dengan Ibu Siti Jariyah Asih, 59 thn,, tanggal 2 November
2009. Lihat Suhartinah Sudijono, Pasang Surut Batik Tulis Tradisional Bantul, Patra
Widya, Vol. 7, No. 3, September 2006, hlm. 13.
46 A. N. Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta, Yogyakarta: Rumah Penerbitan
Merapi, 2002, hlm. 60-61.
78
mengakibatkan merosotnya kewibawaan Sultan Hamengku Buwono VIII. Pemerintah
kolonial Belanda berusaha mengurangi kehidupan feodal dalam masyarakat Jawa
dengan cara mengurangi berbagai cara penghormatan rakyat kepada kaum
bangsawan. Tak hanya kekuasaan Sultan yang merosot tetapi juga kaum bangsawan
atau priyayi. Golongan bangsawan atau priyayi yang semula dianggap mempunyai
derajat yang tinggi, mulai berkurang.
Dalam lingkungan kraton, tradisi batik pada masa ini masih tetap lestari. Hal
ini berkaitan dengan pembelajaran ketrampilan yang harus dimiliki oleh setiap wanita
kraton. Masa pingitan juga dikenal dalam lingkungan kraton. Ketrampilan yang
dikuasai seperti dalam hal berumah tangga yaitu memasak, menyiapkan sajian di
meja makan, menyulam, dan membatik. Ketrampilan membatik dianggap sebagai
kepandaian utama, karena suatu kain batik yang dikerjakan merupakan kebanggaan
bagi seorang suami.
Lingkungan di luar kraton Yogyakarta, seperti misalnya pada Dusun
Pajimatan, memang banyak yang mendapat suami sebagai seorang abdi dalem.
Secara tidak langsung, perempuan di Pajimatan mendapat pengaruh dari kraton ketika
membuat batik. Di Dusun ini juga, kraton memenuhi kebutuhannya akan batik.
Menurut Sarjuni, pihak kraton sering memesan batik, modelnya beli sekaligus pesan
sekalian mbatikke (disuruh membatikkan). Orang-orang dahulu masih banyak yang
memakai kain batik atau jarikan, jadi masih agak gayeng atau maju.47
Apalagi ketika
47
Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.
79
makam raja-raja Imogiri sudah banyak dikunjungi orang yang mau ziarah maupun
para wisatawan. Sebelum masuk ke makam, para pengunjung diharuskan mengganti
pakaiannya dengan kemben dan jarik atau kain batik. Hal ini membuktikan bahwa
peran makam yang sangat penting, kebutuhan batik sangat diperlukan dan masyarakat
dapat memanfaatkannya sebagai sumber penghasilan.
Kalangan masyarakat pedesaan mengalami sedikit kekurangan modal
mengingat banyak perubahan yang terjadi pada saat itu. Mulanya pada abad 20-an,
berdiri perusahaan batik yang didirikan oleh Jepang di Yogyakarta. Hal ini
menyebabkan Jepang mengekspor produk kain mori ke Indonesia pada tahun 1927
dan menggeser kain batik mori dari Belanda yang telah mendahului. Kemudian China
yang sudah masuk ke Indonesia, menguasai sistem pemasaran kain mori. Pembatik-
pembatik di Yogyakarta mengalami kesulitan untuk bersaing dengan produksi kain
batik perusahaan-perusahaan asing. Sehingga mereka membutuhkan modal agar bisa
terus berproduksi untuk menyaingi perusahaan-perusahaan tersebut. Pada tahun 1939
didirikanlah gabungan koperasi batik yang membantu para pembatik agar bisa
membeli mori dan bahan batik langsung pada importir.48
Kehidupan dunia usaha batik milik Djogo Pertiwi juga mengalami apa yang
dinamakan pasang surut. Sarjuni tidak mengemukakan secara persis, kapan usaha
48
A. N. Suyanto, op.cit., hlm. 69-70. Lihat juga dalam Prajudi Atmosudirdjo,
Sejarah Ekonomi Sosiologi Indonesia, Jilid II, Jakarta, hlm. 196. Industri batik di
Yogya, Solo, dan Pekalongan mengalami penurunan, tidak seperti industri lainnya,
sehingga mengakibatkan para pembatik itu tergabung dalam koperasi. Untuk
pembentukan koperasi lihat juga dalam Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di
Yogyakarta, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1986, hlm. 264.
80
batik milik Djogo Pertiwi mengalami masa kemajuan maupun kemunduran antara
tahun 1935-1942. Akan tetapi, peristiwa-peristiwa yang mengiringi tahun-tahun
tersebut menunjukkan bahwa memang usaha pembatikan pada sekitar tahun 1930
mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan terjadinya Malaise yaitu krisis ekonomi
yang sangat besar pada masa itu. Sebelumnya batik mengalami masa kejayaan, ketika
berdirinya koperasi batik. Industri batik pada tahun-tahun terjadinya Malaise,
mengalami penurunan. Harga-harga bahan yang mahal dan pasaran yang lesu
mengakibatkan jumlah usaha batik menjadi berkurang pada tahun 1935.49
Industri
batik milik Djogo Pertiwi masih tergolong kecil sehingga membutuhkan modal yang
dipinjam dari koperasi agar usaha tersebut bisa lebih berkembang.
Sultan Hamengku Buwono VIII sangat memperhatikan seni yang lainnya
seperti seni tari dan karawitan. Seni tari erat kaitannya dengan seni batik. Seperti
yang telah disinggung pada bab sebelumnya, bahwa kain batik juga digunakan untuk
keperluan tari pertunjukan seperti tari beksan lawung dan bedhaya. Pertunjukan tari
ini semula hanya dipertunjukkan di kalangan bangsawan dan priyayi saja, tetapi
Sultan kemudian mengijinkan agar seni ini diajarkan pada masyarakat umum.50
Sultan Hamengku Buwono VIII memerintah sampai tahun 1939, selanjutnya
digantikan oleh anaknya yaitu G.R.M. Dorojatun yang kemudian dikenal dengan
nama Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan Hamengku Buwono IX memerintah dari
49
W. J. O’Malley, Indonesia di Masa Malaise: Studi terhadap Sumatera
Timur dan Yogyakarta di Tahun 1930-an, Prisma, No. 8, Agustus, Th. XII, hlm. 45.
50 Umar Kayam, “Ngayogyakarta”, Sekaring Jagad Ngayogyakarta
Hadiningrat, Jakarta: Wastraprema, 1990. hlm. 15.
81
tahun 1939-1988. Pada masa ini, sultan masih terikat kontrak dengan pemerintah
kolonial Belanda. Pihak Belanda dibawah pemerintahan Gubernur Lucien Adam,
masih ikut campur dalam pemerintahan Sultan. Sehingga pemerintahan sultan berada
di bawah pengaruh pemerintah kolonial Belanda.
Sultan Hamengku Buwono IX melanjutkan hal-hal yang dirintis oleh ayahnya
dalam bidang kebudayaan. Pemakaian motif kain batik tertentu yang berdasarkan
pada kedudukan dan status sosial masyarakat masih diperhatikan. Namun ada motif-
motif lain yang sudah ditiru oleh masyarakat meskipun ada yang termasuk dalam
motif larangan. Keluarnya motif ini salah satunya karena pertunjukan tari yang sejak
pemerintahan Hamengku Buwono VIII dipertunjukkan kepada masyarakat umum.
Pada awal masa Sultan Hamengku Buwono IX, para remaja perempuan di
sekitar Imogiri berminat untuk belajar membatik kepada tangga terdekat. Mulanya
para perempuan ini belajar dari tahap nerusi. Lama kelamaan ketrampilannya
meningkat sehingga dapat melakukan pekerjaan dengan tingkat kesulitan yang lebih
tinggi, misalnya nglowong atau memberi isen-isen.51
Di tempat usaha batik Djogo
Pertiwi juga didatangi para perempuan yang berniat belajar membatik. Mereka yang
datang tak hanya berasal dari Pajimatan, tetapi juga dari daerah-daerah lain di sekitar
Pajimatan. Pada masa ini pekerjaan membatik dilakukan sebagai mata pencaharian
pokok dan juga pekerjaan sambilan pada waktu senggang.
51
A. N. Suyanto, op.cit., hlm. 79.
82
Ketika Jepang melakukan pendudukan di Indonesia pada tahun 1942, situasi
sosial ekonomi memprihatinkan dan tidak menentu, seperti halnya di Yogyakarta.
Barang-barang kebutuhan sehari-hari menjadi sangat mahal dan sulit didapatkan.52
Bahkan bahan-bahan yang diperlukan untuk membatik pada umumnya sangat sulit
didapatkan. Sehingga untuk menghemat proses, bahan yang dipakai disederhanakan,
seperti misalnya ukuran kain yang dipakai lebih kecil yaitu dengan panjang 180 cm
dan lebar 90 cm. Kain ini kemudian diberi nama kain keci (kecil) dan ketika sudah
selesai dibatik disebut dengan batik becak.53
Pelaksanaan upacara-upacara kebesaran di kraton seperti Pasowanan,
Garebeg, dan Jumenengan tidak lagi diadakan secara lengkap sesuai dengan tata
caranya seperti zaman dahulu. Upacara-upacara tersebut bahkan sempat ditiadakan
selama Jepang berkuasa. Untuk upacara seperti pernikahan, tata caranya masih seperti
biasanya dengan memakai kain motif khusus untuk pernikahan. Hal ini bertujuan agar
pernikahan pengantin itu mendapat berkah dari makna motif batik yang dipakai.
F. Unsur-Unsur Kebaruan yang Diciptakan Oleh Djogo Pertiwi
Djogo Pertiwi sudah mulai akrab dengan dunia batik ketika masih berusia
muda. Seni ini mengalir dalam dirinya karena ibu dan neneknya adalah seorang
pembatik. Hal ini juga didukung oleh lingkungan sekitar rumahnya yang banyak
52
Ibid., hlm 72.
53 Nian S. Djoemena, “Selayang Pandang Batik”, Sekaring Jagad
Ngayogyakarta Hadiningrat, hlm. 50. Lihat juga dalam A. N. Suyanto, op.cit., hlm.
72-73.
83
terdapat pembatik. Mereka adalah para istri dari abdi dalem kraton yang ikut
suaminya bekerja untuk menjaga makam raja-raja Imogiri. Keahlian membatik yang
dimiliki oleh para istri tersebut juga turun temurun berasal dari pendahulunya.
Ketrampilan membatik akhirnya menyebar hampir ke semua wanita di Imogiri.
Lingkungan sekitar Imogiri banyak didapati para perempuan yang
menggunakan ketrampilannya dalam membatik sebagai pekerjaan sampingan maupun
pekerjaan sehari-hari. Ketika melihat-lihat orang membatik di sekitar rumahnya,
timbullah keinginan Djogo Pertiwi untuk ikut membatik. Djogo Pertiwi sangat
terkenal karena dalam membuat kreasi kain batik tidak menggunakan sketsa ataupun
dipola di atas kain batik. Semuanya dikerjakan langsung dengan menarikan canthing
pada kain batik.
Ketrampilan membatik yang didapat Djogo Pertiwi antara lain melalui ibunya,
Dayat Atmojo yang merupakan pembatik pada masanya, dan kemudian ketika beliau
bekerja sebagai buruh batik toko Tjokro Soeharto di Yogyakarta. Ketrampilan yang
telah didapat dari ibunya semakin diasah ketika bekerja di Tjokro Soeharto sehingga
pengalamannya bertambah. Setelah dirasa cukup, Djogo Pertiwi berniat untuk
mengembangkan seni membatik di Pajimatan, Imogiri.
Motif-motif dari kraton yang biasa dibuat Djogo Pertiwi untuk kraton dan
berdasarkan pesanan dari kraton yaitu seperti Sidomukti, Sidoasih, Sidoluhur, Semen
Sinom dan Semen Rejo.54
Motif-motif tersebut termasuk dalam motif-motif yang
54
Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.
84
bersifat klasik dengan pola-pola yang rumit dan makna yang indah. Dalam Suluk
Perawan Mbatik55
, disebutkan bahwa sebelum memulai membatik seorang pembatik
harus melihat mata batinnya, lalu konsep pola yang akan dibuat seperti apa yang telah
didapat dari pengetahuan tentang motif sehingga hasilnya tidak berbeda dengan yang
diharapkan. Ketika jiwa dan raga bersatu, akan dihasilkan seperti yang diimpikan.
Dasain batik itu akan mewujudkan keinginan pembatik dan yang diramalkan akan
terlaksana.56
Djogo Pertiwi sangat berhati-hati ketika mengerjakan pola klasik dari
kraton. Motif yang sudah tersedia mengandung makna tertentu. Kekurangan maupun
kesalahan dalam menggambar pola akan mengurangi maknanya. Proses
pengerjaannya juga harus sesuai dengan pakem-pakem dalam pola dan warna.57
Dalam proses pengerjaan suatu kain, pembatik tidak hanya terbatas untuk
mengerjakan pola-pola yang sudah ada. Pembatik juga dituntut untuk menciptakan
motif atau pola yang baru. Hal ini tergantung pada imajinasi yang dihasilkan oleh
setiap pembatik. Setiap pembatik pasti memiliki alam pemikiran yang berbeda-beda
tergantung dengan keadaan sekitarnya.
Motif klasik yang selama ini sudah ada dimodifikasi sedemikian rupa oleh
Djogo Pertiwi sehingga hasilnya tetap menarik. Karya modifikasi ini terlihat dalam
motif-motif seperti Sekar Jagad, Sidomukti, Sidomulyo, Kawung Picis, Semen Romo
55
Suluk Perawan Mbatik adalah sebuah syair tentang seorang perempuan
yang membuat kain batik.
56 Tri Subagya, op.cit., hlm. 70.
57 Sugiyamin, loc.cit.
85
dan Babon Angrem. Djogo Pertiwi juga menciptakan motif baru yang dibuat sendiri.
Beliau memang pintar membatik dan karya batik kreasinya digambar tanpa
menggunakan pola jadi langsung digambar pada kain.58
Motif itu adalah motif Irian,
Adiluhung, Semar Mesem dan Sekar Jagad. Motif Irian ini dibuat karena Djogo
Pertiwi membayangkan kerindangan hutan di Irian dengan pohon-pohonnya yang
berdaun lebar.59
Kemudian motif Sekar Jagad dibuat karena beliau mendapat ide
ketika sedang berjalan-jalan untuk ziarah di makam raja-raja Imogiri bersama orang
tuanya.60
Kualitas warna dan desain batik yang dibuat harus tetap dijaga. Menurut
Larasati Suliantoro, Djogo Pertiwi juga bertugas sebagai quality control terhadap
hasil batiknya. Kualitas batik yang bermutu dipilih, karena dia peduli/concern
terhadap dunia batik.
Pembatik di Imogiri mempunyai ciri tersendiri dan motif-motif yang dibuat
harus menggambarkan jati diri baik dari pengaruh lingkungan maupun
masyarakatnya. Sehingga ketika ada seorang turis yang membeli batik, akan teringat-
ingat bahwa motif yang dia beli itu bisa menjadi kenang-kenangan yang
menggambarkan ciri khas daerah Imogiri.
Motif batik di wilayah Imogiri dibuat berdasarkan pada pengaruh
lingkungannya. Pengaruh kraton yang timbul dari kedatangan abdi dalem sedikit
58
Wawancara dengan Ibu Larasati Suliantoro, tanggal 1 November 2009.
59 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.
60 Sugiyamin, op.cit., hlm. 159.
86
demi sedikit merasuk ke diri pembatik Pajimatan. Batik Pajimatan identik dengan
batik gaya kraton karena adanya budaya feodalisme yang masuk dalam filosofi
pembatik. Dengan mempertahankan motif kraton berarti para pembatik mewujudkan
rasa hormat dan menembah pada leluhurnya.61
Kehidupan masyarakat Imogiri yang
sebagian besar bertahan pada kehidupan agraris, mempengaruhi hasil batik buatan
mereka. Selain itu pola-pola dari kraton juga dipadu-padankan dengan ragam hias
yang terdapat dalam lingkungan sekitar. Tetapi motif-motif yang awalnya hanya
dipakai oleh kalangan raja, pada perkembangannya bisa dipakai juga oleh masyarakat
luar kraton seperti di Pajimatan.
Djogo Pertiwi menggunakan sarana olah batin dengan meditasi atau tirakat
maupun puasa agar batik yang dibuatnya dapat membawa harapan bagi pemakainya.
Nilai-nilai religius dijunjung tinggi oleh Djogo Pertiwi. Hal ini merupakan salah satu
perwujudan untuk memohon doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar apa yang
dilakukannya dapat berhasil.
61
Ibid., hlm. 122-123.
87
BAB V
PENUTUP
Sejarah batik memang tidak akan selesai untuk dibahas dalam satu buku.
Pendapat pendapat yang menyebutkan tentang kemunculan batik di Indonesia masih
menjadi perdebatan sampai sekarang. Batik gaya Yogyakarta telah muncul sejak
kerajaan Mataram. Dan kerajinan batik menjadi salah satu warisan dari kerajaan
Mataram. Sejak itu, batik menjadi busana kebesaran kraton seperti upacara-upacara
besar kraton. Batik merupakan suatu ketrampilan yang dibuat oleh kaum wanita.
Pola-pola yang mempunyai makna adiluhung dibuat secara halus dengan penuh
ketelitian dan ketekunan, sehingga ketika dipakai bisa dilihat makna dari suatu motif.
Mulanya motif-motif batik tertentu di-undangkan dalam peraturan-peraturan
kraton. Pertama adalah peraturan tentang berisi etiket yang benar dan terperinci
dalam pertemuan antara anggota keluarga kerajaan, pejabat pemerintahan senior, dan
para pengikutnya. Peraturan ini dikeluarkan oleh Sultan Hamengku Buwono II pada
tanggal 2 Agustus 1792. kemudian Sultan Hamengku Buwono VIII juga
mengeluarkan undang-undang baru yaitu Pranatan Dalem Bab Jenenge Panganggo
Keprabon Ing Karaton Nagari Ngajogjakarta Hadiningrat tahun 1927. Undang
undang ini mengatur tentang siapa-siapa saja yang boleh memakai motif larangan.
Orang-orang yang boleh memakai motif itu didasarkan pada kedudukan sosialnya.
88
Masyarakat masih belum bisa memakai kain dengan motif batik larangan secara
sembarangan.
Simbol-simbol kelengkapan dalam tata cara penyelenggaraan upacara seperti
tombak, keris, payung dan kain batik menjadi syarat untuk menentukan wibawa raja.
Perbedaan mengenai pemakaian motif batik terdapat di lingkungan golongan
bangsawan dan rakyat.
Namun, ketika Belanda mengeluarkan Hormat Circulaire tahun 1904,
kekuasaan feodal raja beserta bangsawan mengalami kemerosotan. Alat-alat
kelengkapan upacara yang menjadi sarana untuk melegitimasi kekuasaan raja tidak
banyak lagi yang digunakan seperti sebelumnya. Pemerintah kolonial rupanya tidak
mau wibawa kekuasaannya dipandang rendah. Sehingga rakyat harus patuh terhadap
Belanda.
Ketrampilan membatik tidak hanya dilakukan di dalam tembok kraton saja.
Masyarakat luar juga bisa menguasai ketrampilan tersebut. Salah satu daerah yang
menjadi tempat penyebaran batik adalah di Imogiri, tepatnya Dusun Pajimatan.
Kemunculan batik di wilayah ini disebabkan karena pembangunan makam bagi raja-
raja Mataram pada tahun 1632. Ketika Sultan Agung berkuasa, beliau memerintahkan
untuk membangun makam yang berada di perbukitan dusun Girirejo. Setelah Sultan
Agung meninggal, ditugaskanlah para abdi dalem untuk menjaga makam tersebut.
Keberadaan seni batik di Pajimatan dipengaruhi oleh masuknya abdi dalem ke
wilayah Imogiri. Para istri abdi dalem yang ikut dengan suaminya menguasai seni
89
membatik. Dan selama bertahun-tahun berikutnya ketrampilan membatik ini
berlangsung secara turun temurun kepada anak cucunya.
Keahlian membatik ini juga menular kepada Djogo Pertiwi yang memang
berasal dari keturunan membatik. Berawal dari neneknya, kemudian ibunya yang
bekerja sebagai membatik. Dan akhirnya ketrampilan itu dimiliki oleh Djogo Pertiwi
berkat didikan ibunya. Untuk mengasah ketrampilan yang dimiliki, Djogo Pertiwi
bekerja membatik di toko Tjokro Soeharto yang berada di Yogyakarta. Beliau
memang pandai dalam membuat pola batik tanpa menggunakan sketsa., baik motif
klasik dari kraton maupun kreasinya sendiri. Motif yang dia ciptakan sendiri adalah
motif Irian. Djogo Pertiwi juga banyak membuat pola-pola klasik kraton Yogyakarta
seperti motif parang, kawung dan sembagen. Akibatnya pola-pola tersebut meluas ke
luar tembok kraton.
Dalam perkembangannya, keahlian yang dimilikinya itu disebarkan kepada
penduduk Pajimatan. Maka kemudian dia melatih para perempuan untuk menjadi
pembatik sepertinya. Djogo Pertiwi mengajarkan mereka dari tahap awal yaitu
membuat pola sampai pada tahap nemboki. Hasilnya, banyak perempuan yang
berminat untuk mempelajari batik dan mereka berhasil menjadi pembatik di sekitar
Imogiri. Selain mengajar, dia juga mempunyai usaha sendiri yang tempatnya berada
di rumahnya. Banyak buruh batik yang bekerja disana. Mereka juga termotivasi untuk
membantu menambah pemasukan bagi kehidupan keluarganya.
Meskipun banyak pesanan batik yang datang, Djogo Pertiwi tidak melupakan
kualitas kain hasil batikannya. Kehalusan batik yang dibuat oleh Djogo Pertiwi diakui
90
oleh para pembelinya. Pakem-pakem dalam membatik tetap diperhatikan yaitu
dengan menjaga kualitas desain dan warna.
Usaha batik di daerah Yogyakarta mengalami kemunduran ketika zaman
Malaise pada tahun 1930. Selain diakibatkan oleh krisis ekonomi, pada waktu itu juga
karena banyaknya barang-barang impor yang masuk ke Indonesia. Krisis ini terjadi
sampai pada tahun 1935. Kemudian ketika muncul koperasi, industri batik mengalami
kemajuan sekitar tahun 1939.
Ada kalanya usaha batik di Yogyakarta mengalami pasang surut sesuai
dengan keadaan yang menyertainya. Usaha ini sempat mengalami masa kejayaan
sebelum akhirnya Jepang datang. Pada tahun 1942, Jepang datang menggantikan
pemerintah kolonial Belanda. Pada saat itu, usaha batik mengalami penurunan lagi
karena bahan-bahan yang sulit untuk didapatkan.
Dapat dikatakan bahwa batik bukan hanya ketrampilan dari kraton tetapi
peran pembatik-pembatik di daerah seperti di Pajimatan, Imogiri juga tidak bisa
dikesampingkan. Pengaruh itu datang dari para abdi dalem yang ditugaskan untuk
menjaga makam raja-raja Imogiri. Pengaruh kraton mempengaruhi gaya batik
Pajimatan yang agraris. Motif-motif yang tadinya hanya dibuat untuk kalangan
kraton, meluas sampai wilayah Imogiri. Pemakaiannya-pun sudah digunakan oleh
kalangan luas.
91
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Anas, Biranul. Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia
Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII. 1997.
Asmito. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Depdikbud. 1988.
Carey, P.B. R. (ed). The Archive of Yogyakarta, London: Oxford University
Press. 1980
De Graaf, H. J. Puncak Kekuasaan Mataram. Jakarta: Grafiti Pers. 1986.
Elliot, Inger McCabe. Batik Fabled Cloth of Java. Singapore: Periplus. 2004.
Garna, Judistira K. Teori-Teori Perubahan Sosial. Bandung: Program Pasca
Sarjana Universitas Padjajaran. 1992.
Hamzuri. Batik Klasik. Jakarta: Djambatan, 1981.
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya. 2001.
Majlis, Brigitte Khan. Javanese Batik: An introduction dalam Batik From The
Courts of Java and Sumatra, Rudolf G. Smend (koleksi). Singapore:
Periplus. 2004.
Mari S. Condronegoro. Busana Adat 1877-1937 Kraton Yogyakarta. Yogyakarta:
Yayasan Pustaka Nusatama. 1995.
Marwati Djoened Poesponegoro, dkk.. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta:
PN Balai Pustaka. 1984.
Moedjanto. Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta:
Kanisius. 1994.
_________. Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram.
Yogyakarta: Kanisius. 1987
_________. The Concept of Power In Javanese Culture. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press. 1986.
Pranata. Sultan Agung Hanyokrokusumo: Raja Terbesar Kerajaan Mataram
Abad ke-17. Jakarta: Yudha Gama Corp. 1977.
92
Prajudi Atmosudirdjo. Sejarah Ekonomi Sosiologi Indonesia. Jilid II. Jakarta.
Purwadi. Sultan Agung: Hidup, Mistik dan Kematian. Yogyakarta: Tugu. 2005.
Santosa Doellah. Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan. Surakarta: Batik
Danar Hadi. 2001.
Sartono Kartodirdjo. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1992.
Sedyawati, Edi. Sejarah Kebudayaan Jawa. Jakarta: Depdikbud RI. 1993.
Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen Pendididkan dan
Kebudayaaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan
Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1976/1977.
Sekaring Jagad Ngayogyakarta Hadiningrat, Jakarta: Wastraprema. 1990.
Selo Soemardjan. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1986.
Soekamto, Chandra Irawan. Pola Batik. Jakarta: Akadoma. 1984.
Soekanto. Perdjandjian Gianti. Jakarta: Soeroengan. 1952.
Soemarsaid Moertono. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau.
Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. 1985.
Soetopo. Batik. Jakarta: Indira. 1983.
Suhartono. Serpihan Budaya Feodal. Yogyakarta: Agastya Media. 2001.
Susanto, Sewan. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Balai Penelitian Batik dan
Kerajinan. Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri. 1980.
Suyanto, A. N. Sejarah Batik Yogyakarta. Yogyakarta: Rumah Penerbitan
Merapi. 2002.
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Depdikbud, Balai Pustaka. 1988.
Tirtaamidjaja, N. Batik: Pola dan Tjorak. Jambatan.
93
Majalah dan Buletin
Anonimus. “Sentra Batik Giriloyo dan Pajimatan Imogiri”. Selarong. Vol. 4,
Dewan Kebudayaan Bantul. 2005.
Kitley, P. Th. “Batik dan Kebudayaan Populer”. Prisma. edisi 5, Volume 16,
1987.
O’Malley, W. J. “Indonesia di Masa Malaise: Studi terhadap Sumatera Timur dan
Yogyakarta di Tahun 1930-an”. Prisma, No. 8, Agustus, Th. XII.
Parmono, Kartini. “Simbolisme Batik Tradisional”. Jurnal Filsafat. No. 23, edisi
November, Fakultas Filsafat UGM: Yogyakarta. 1995.
Subagya, Tri. “The Javanese Notions of Human Labor and Productivity”.
Retorika. No. 2, Th. I, Januari-April, 2002.
Suhartinah Sudijono. “Pasang Surut Batik Tulis Tradisional Bantul”. Patra
Widya. Vol. 7, No. 3, September 2006.
Skripsi/Tesis
Astuti, Hermin Widya. Batik Klasik Ragam Hias Yogyakarta 1927-2005.
Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial. UNY. Yogyakarta.
2005.
Sugiyamin. Seni Kerajinan Batik Tradisional Imogiri Yogyakarta. Program
Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002.
Internet
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0212/02/opi03.html. Diakses tanggal 30
Agustus 2009.
http://heritageofjava.com/log/?p=96. Diakses tanggal 30 Agustus 2009.
http://duniabatik.multiply.com/journal/item/5/Sejarah_Batik_Solo_dan_Yogya_.
Sejarah Batik Solo dan Yogya. Diakses tanggal 20 Juni 2009.
http://www.batikmarkets.com/batik.php. Sejarah Batik Indonesia. Diakses tanggal
20 Juni 2009.
94
Daftar Informan
1. Nama : Sarjuni (Duriah)
Pekerjaan : Pembatik
Umur : 63 tahun
Alamat : Dusun Pajimatan, Desa Girirejo, Imogiri, Bantul
2. Nama : Siti Jariyah Asih
Pekerjaan : Kepala Dukuh Pajimatan
Umur : 59 tahun
Alamat : Dusun Pajimatan, Desa Girirejo, Imogiri, Bantul
3. Nama : Slamet
Pekerjaan : Pembatik
Umur : 70 tahun
Alamat : Dusun Pajimatan, Desa Girirejo, Imogiri, Bantul
4. Nama : Larasati Suliantoro
Pekerjaaan : Ketua Paguyuban Batik Sekar Jagad
Umur : 75 tahun
Alamat : Hotel Mustokoweni, Jl. Monjali Yogyakarta
Peraturan Yang Dikeluarkan Oleh Hamengku Buwono II - 2 Agustus 1792 (14
Besar A. J. 1718) Tentang Larangan Pemakaian Batik
Prakara ping pitulas, mungguh anggon-/anggoning jaran kalebu larangan-Ingsun,
larab baludru, larab nganggo kasuran, larab palisir cindhe, sarung gilig, tetapong
jujuluk naga, kang mawa elar, lan cacarang kasuran athik-athikan, ebeg pu(n)dhak
wangkong, sungging sawat sungging modhang, su(ng)ging suwiri dhasar putih,
dhasar kuning, lan kendharat lawang abang, ana dening kang Sun kawenangake
anglarangi, saanggon-anggoning jaran ika mau, bocah Ingsun gamel, lan maninge
mungguh anggon-anggon kang Sun larangi, ukiran tunggak semi, lan werangka keris
kemalo abang, lan werongka keris pupulasan dhasar kayu, sungging sawat, ana
dening mungguh kang rupa jajarit, kan Ingsun larangi, bathik sawat, bathik parang
rusak, bathik cumengkirang, bathik kawung, bathik telacap, bathik huk, bathik
sembagen kang nganggo lung-lungan, bathik semen, bathik barong kang mawa lar,
lan lurik ginggang kenthing, lurik ireng penganggone bocah Ingsun Mantri Jero
Pinilih, bocah Katanggung, ana dening kang Sun wenangake anglarangi, bocah-
Ingsun Mantri Jero Pinilih, lan maninge mungguh ing larangan, kang Sun
Patedhakake putraningsun Ki Adipati Anom Hamengkunegara, bathik modang, lan
lurik larog, ana dening kang anglarangi, iya bocahe putraningsun Ki Adipati Anom,
iku sarupane bocah-Ingsun kang padha Sun wenangake anglarangi iki mau, yen
marengi anglarangi padha tutura marang Wedanane, lan maninge putraningsun Bok
Ratu Bendara.
(Sumber: P. B. R. Carey (ed), The Archive of Yogyakarta, London: Oxford
University Press, 1980, hlm. 107.)
MOTIF-MOTIF BATIK LARANGAN
Motif Garuda Ageng
Motif Kawung
Motif Parang Rusak
Motif Sawat
Motif Udan Liris
MOTIF CIPTAAN SULTAN AGUNG
Motif Parang
Motif Sembagen Huk
MOTIF BATIK CIPTAAN DJOGO PERTIWI
Motif Irian
Motif Sekar Jagad
Motif Adiluhung
Motif Semar Mesem
Motif Gegot
(Sumber: Koleksi Museum Joglo Ciptowening, Imogiri, Bantul)