34
BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA I.1. ANATOMI TELINGA TENGAH Telinga tengah merupakan suatu ruang di tulang temporal yang terisi oleh udara dan dilapisi oleh membran mukosa. Pada bagian lateral, telinga tengah berbatasan dengan membran timpani, sedangkan pada bagian medial berbatasan dengan dinding lateral telinga dalam. Teinga tengah terdiri dari dua bagian, yaitu kavum timpani yang secara langsung berbatasan langsung dengan membran timpani dan resessus epitimpanika pada bagian superior. Telinga tengah terhubung dengan area mastoid pada bagian posterior dan nasofaring melalui suatu kanal yang disebut tuba Eustachius (pharyngotympanic tube) pada bagian anterior. Kondisi ini memungkinkan transmisi getaran dari membran timpani melalui telinga tengah hingga mencapai telinga dalam. Hal ini dapat tercapai oleh adanya tulang- tulang yang dapat bergerak dan saling terhubung sehingga menjembatani ruang di antara membran timpani dan telinga tengah. Tulang-tulang ini disebut juga osikulus auditorius, terdiri dari malleus (terhubung dengan membran timpani), incus (terhubung dengan malleus melalui persendian sinovial), dan stapes (terhubung dengan incus melalui persendian sinovial dan melekat pada bagian lateral 1

Laporan Kasus Otitis Media Akut

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tht

Citation preview

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

I.1. ANATOMI TELINGA TENGAH

Telinga tengah merupakan suatu ruang di tulang temporal yang terisi oleh udara

dan dilapisi oleh membran mukosa. Pada bagian lateral, telinga tengah berbatasan

dengan membran timpani, sedangkan pada bagian medial berbatasan dengan dinding

lateral telinga dalam. Teinga tengah terdiri dari dua bagian, yaitu kavum timpani yang

secara langsung berbatasan langsung dengan membran timpani dan resessus

epitimpanika pada bagian superior.

Telinga tengah terhubung dengan area mastoid pada bagian posterior dan

nasofaring melalui suatu kanal yang disebut tuba Eustachius (pharyngotympanic

tube) pada bagian anterior. Kondisi ini memungkinkan transmisi getaran dari

membran timpani melalui telinga tengah hingga mencapai telinga dalam. Hal ini

dapat tercapai oleh adanya tulang-tulang yang dapat bergerak dan saling terhubung

sehingga menjembatani ruang di antara membran timpani dan telinga tengah. Tulang-

tulang ini disebut juga osikulus auditorius, terdiri dari malleus (terhubung dengan

membran timpani), incus (terhubung dengan malleus melalui persendian sinovial),

dan stapes (terhubung dengan incus melalui persendian sinovial dan melekat pada

bagian lateral telinga dalam pada jendela oval). Osikulus auditorius tersebut berfungsi

untuk mentransmisikan getaran suara yang dihantarkan dari membran timpani ke

telinga dalam (Tortora dkk, 2009; Drake dkk, 2010).

1

Gambar 2.1. Anatomi Telinga Tengah (sumber: Adaptasi dari Kaneshiro, N. K.,2010. Ear Infection – Acute Images:

Ear anatomy. Adam, Inc. Diunduh dari: http://www.healthline.com/images/adam/big/ 1092.jpg [Diakses 25 Maret 2011])

I.1.1 ANTRUM MASTOID DAN TUBA EUSTACHIUS

Ada beberapa daerah yang berdekatan dan secara langsung terhubung dengan

telinga tengah. Kedua daerah ini adalah antrum mastoid dan tuba Eustachius. Berbeda

dengan yang lain, kedua area ini tidak memiliki membran pembatas sehingga

langsung terhubung dengan telinga tengah. Area mastoid yang berada di dekat telinga

tengah adalah antrum mastoid yang merupakan kavitas yang terisi dengan sel-sel

mastoid yang berisi udara di sepanjang pars mastoideus dari tulang temporal,

termasuk bagian prossessus mastoideus. Sesuai dengan yang disebutkan diatas,

antrum mastoid berhubungan dengan resessus epitimpanika pada bagian posterior

melalui aditus. Antrum mastoid juga berbatasan dengan fossa kranial media hanya

oleh tegmen timpani. Membran mukosa yang melapisi sel udara mastoid

bersambungan dengan membran mukosa yang melapisi telinga tengah. Oleh karena

itu, otitis media dapat dengan mudah menyebar ke area mastoid. Seperti yang sudah

disebutkan, tuba Eustachius (pharyngotympanic tube) menghubungkan nasofaring

dan telinga tengah serta menyetarakan tekanan pada kedua sisi membran timpani.

2

Muara tuba Eustachius yang terletak di telinga tengah berada pada dinding

anterior dan dari sini akan memanjang ke arah depan, medial, dan ke bawah hingga

memasuki nasofaring. Tuba Eustachius terdiri dari dua bagian, yaitu :

1.bagian yang memiliki struktur tulang, terletak pada bagian sepertiga

mendekati telinga tengah

2.bagian yang memiliki struktur kartilaginosa, terletak pada bagian dua pertiga

yang mendekati nasofaring

Secara umum, tuba Eustachius cenderung selalu menutup. Dengan adanya

kontraksi dari m. tensor veli palatini, tuba Eustachius dapat terbuka pada saat

menelan, menguap, atau membuka rahang sehingga terjadi keseimbangan tekanan

atmosfer antara kedua ruang diantara membran timpani (Levine dkk, 1997).

I.2 OTITIS MEDIA AKUT (OMA)

I.2.1 Definisi & Etiologi OMA

Otitis media akut (OMA) atau Otitis Media Supuratif Akut (OMSA) adalah

peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, antrum

mastoid yang berlangsung kurang dari tiga minggu. (Aboet, 2006; Djaafar,2007;

Donaldson, 2010). Salah satu penyebab OMA yang cukup sering adalah infeksi oleh

berbagai mikroorganisme. Aboet (2006) dan Ramakrishnan,dkk (2007) menyatakan

bahwa S. pneumoniae, H. influenzae, dan M. catarrhalis merupakan penyebab utama

OMA. Hal yang sama juga didapati oleh Donaldson (2010), yang mendapati bahwa

ketiga organisme tersebut merupakan patogen yang paling sering menyebabkan

OMA, ditambah dengan Streptococcus pyogenes. Donaldson mendapati bahwa

patogen tersebut merupakan mikroorganisme yang sering menyebabkan OMA pada

anak-anak, terutama pada pasien usia kurang dari 6 minggu. S. pneumoniae dan H.

influenzae merupakan patogen yang paling sering menyebabkan OMA dan invasif

pada anak-anak dan paling sering menyebabkan rekurensi OMA. S. pneumoniae

sendiri sebenarnya merupakan patogen yang paling sering menjadi penyebab OMA

untuk berbagai usia. Sementara itu, H. influenzae terutama terjadi pada anak-anak

3

usia pra-sekolah. M. catarrhalis juga dilaporkan menyebabkan OMA, meskipun tidak

sering dan pada dasarnya merupakan flora normal dari traktus respiratorius atas.

Streptococcus pyogenes merupakan patogen yang juga dilaporkan memicu

OMA, meskipun tingkat kekerapannya tidak setinggi tiga patogen sebelumnya.

Meskipun demikian, patogen ini dapat memicu nekrosis yang cukup cepat dan

signifikan dibandingkan patogen lainnya pada telinga tengah, yaitu perforasi yang

moderat atau besar. Patogen lain yang pernah ditemukan memicu OMA adalah

Staphylococcus aureus, Streptococcus viridans, M. tuberculosis, Chlamydia

pneumonia, dan Pseudomonas aeruginosa.

Gambar 2.4. Otitis Media Akut (OMA)

(sumber: Adaptasi dari Kaneshiro, N. K., 2010. Ear Infection – Acute Images:

Middle ear infection (otitis media). Adam, Inc. Diunduh dari :

http://www.healthline.com/ images/adam/big/19324.jpg

I.2.2 Faktor Resiko OMA

Faktor genetik, infeksi, aspek imunologi, dan faktor lingkungan merupakan

beberapa faktor predisposisi yang dapat memicu terjadinya OMA. Pada beberapa

situasi tertentu, alergi atau infeksi saluran nafas atas dapat menyebabkan kongesti dan

pembengkakan dari mukosa nasal, nasofaring, dan tuba Eustachius. Hal ini dapat

4

memicu obstruksi tuba Eustachius dan membuat cairan sekresi di telinga tengah

terakumulasi. Infeksi sekunder oleh bakteri dan virus pada efusi tersebut dapat

menghasilkan supurasi dan tanda-tanda OMA (Ramakrishnan dkk, 2007).

Emonts,dkk (2007) menemukan adanya keterkaitan yang cukup kuat antara faktor

genetik sehingga dapat mengakibatkan OMA, bahkan sering terjadi secara rekuren.

Studi yang dilakukannya menunjukkan adanya keterkaitan gen imunoresponsi TNFA,

IL6, IL10, dan TLR4 dalam kecenderungan terjadinya OMA dan hal ini juga

membuat OMA terjadi secara episodik.

Tabel 2.2. Faktor Resiko Yang Berkaitan Dengan Kejadian OMA

Faktor Resiko Komentar

Usia Insidensi maksimal berkisar antara enam sampai 24

bulan, karena tuba Eustachius lebih pendek dan lebih landai.

Fungsi fisiologis dan imunologi yang masih rendah membuat

anak rentan terkena infeksi

Breastfeeding Menyusui minimal tiga bulan dapat memberikan

proteksi pada anak, disamping kandungan yang ada pada

ASI

Penitipan anak Kontak dengan beberapa anak dapat meningkatkan

penyebaran virus

Etnis Anak-anak Amerika, Alaska, dan Inuit Kanada

memiliki insidensi yang lebih tinggi

Paparan asap rokok Insidensi meningkat dengan adanya asap rokok dan

polusi udara

Jenis Kelamin Laki-laki memiliki insidensi lebih tinggi

Riwayat penghuni

rumah >1

Resiko kegagalan pengobatan antibiotik meningkat

Pemakaian dot Insidensi meningkat

Riwayat antibiotik Resiko kegagalan pengobatan antibiotik meningkat

Riwayat OMA Resiko kegagalan pengobatan antibiotik meningkat

5

Musim Insidensi meningkat di musim gugur dan musim dingin

Patologi lain yang

mendasari

Insidensi meningkat pada anak-anak dengan rinitis

alergi, cleft palate, dan Down syndrome

(sumber: Adaptasi dari Ramakrishnan, K., Sparks, R. A., Berryhill, W. E., 2007.

Diagnosis and Treatment of Otitis Media. American Family Physician, 76 (11):

1651.)

I.2.2.1 Usia Sebagai Salah Satu Faktor Resiko OMA

Pada kondisi normal, telinga tengah biasanya dijaga agar tetap steril, sekalipun

terdapat mikroorganisme di nasofaring dan faring yang dapat bermigrasi ke telinga

tengah. Hal ini disebabkan silia mukosa tuba Eustachius, enzim, dan antibodi secara

fisiologis memiliki mekanisme untuk mencegah masuknya mikroba ke dalam telinga

tengah. Hal ini juga berlaku pada saat seseorang mengalami infeksi saluran nafas

atas. Selain itu, enzim penghasil mukus, seperti muramidase, dan antibodi juga

merupakan tambahan dalam mekanisme proteksi telinga tengah yang berfungsi

sebagai mekanisme pertahanan bila telinga terpapar dengan patogen pada saat

menelan. Di sisi lain, telinga tengah juga memiliki anyaman kapiler subepitel pada

bagian permukaannya yang penting karena menyediakan faktor humoral, leukosit

polimorfonuklear, dan sel fagosit lainnya. Keseluruhan sistem proteksi ini akan dapat

melindungi telinga tengah dari berbagai infeksi jika dapat berfungsi secara optimal

(Levine dkk, 1997; Donaldson, 2010). Kegagalan salah satu atau kombinasi fungsi

fisiologis tersebut mengakibatkan terjadinya kecenderungan terjadinya OMA menjadi

meningkat.

Pada awal perkembangan anatomi dan fisiologi tubuh manusia, mekanisme

tersebut belum sepenuhnya matang pada masa neonatus, bayi, dan anak-anak. Hal ini

disebabkan karena adanya perbedaan struktur anatomi dari tuba Eustachius pada

masa anak-anak dan orang dewasa. Pada anak-anak, tuba Eustachius lebih pendek,

lebar, dan terletak cenderung lebih horizontal jika dibandingkan tuba Eustachius pada

orang dewasa (Djaafar dkk, 2007). Kondisi ini membuat inflamasi pada tuba

Eustachius menjadi sangat sering terjadi pada anakanak. Inflamasi tersebut akan

6

memicu gangguan fisiologis tuba Eustachius dalam memproteksi telinga tengah

sehingga kecenderungan terjadinya infeksi pada telinga tengah meningkat. Seiring

dengan perkembangan anak-anak, tuba Eustachius akan bertambah panjang dan

sempit serta lebih mengarah ke medial sehingga fisiologi tuba Eustachius akan lebih

adekuat. Oleh karena itu, secara umum insidensi OMA akan menurun seiring dengan

peningkatan usia manusia (Levine dkk, 1997). Selain itu, kejadian OMA juga

didukung oleh gangguan sistem imun pada tubuh pasien (Djaafar, 2007). Kombinasi

keseluruhan dari seluruh fungsi fisiologis tersebut dapat memicu kejadian OMA.

Faktor imunologis pada tuba Eustachius juga berperan dalam terjadinya OMA.

Maturitas perkembangan sistem imun pada anak masih sangat minimal dan sedang

berkembang, termasuk dalam proses pembentukan Immunoglobulin (Ig) di dalam

tubuh. Rendahnya IgA, IgG2, dan IgG4 pada anak, baik secara kualitatif maupun

kuantitatif, meningkatkan kecenderungan terjadinya OMA pada anak dibandingkan

kalangan usia yang lebih tua. Hal ini juga ditemukan pada anakanak yang mengalami

kelainan immunodefisiensi kongenital, seperti pada kasus Down Syndrome. Kondisi

immunodefisiensi ini menyebabkan OMA karena infeksi lebih rentan terjadi pada

usia yang lebih muda. Hal yang berbeda terjadi pada orang dewasa, dimana

perkembangan sistem immunologis telah berkembang lebih adekuat sehingga invasi

mikroorganisme dapat diantisipasi lebih baik (Donaldson, 2010).

Secara umum, angka kejadian OMA bervariasi pada berbagai tingkat

usiamanusia. Donaldson di dalam penelitiannya menyatakan bahwa anak-anak

berusia 6-11 bulan lebih rentan terkena OMA, dimana frekuensinya akan berkurang

seiring dengan pertambahan usia, yaitu pada rentang usia 18-20 bulan. Pada usia yang

lebih tua, beberapa anak cenderung tetap mengalami OMA dengan persentase

kejadian yang cukup kecil dan terjadi paling sering pada usia empat tahun dan awal

usia lima tahun. Setelah gigi permanen muncul, insidensi OMA menurun dengan

signifikan, walaupun beberapa individu yang memang memiliki kecenderungan tinggi

mengalami otitis tetap sering mengalami episode eksaserbasi akut hingga memasuki

usia dewasa. Kadang-kadang, individu dewasa yang tidak pernah memiliki riwayat

7

penyakit telinga sebelumnya, namun mengalami Infeksi Saluran Pernafasan Atas

(ISPA) yang disebabkan oleh adanya infeksi virus juga mengalami OMA

(Donaldson, 2010). Kaneshiro, Lanphear, dan Donaldson melakukan suatu studi yang

juga mempertimbangkan faktor usia dengan terjadinya OMA. Kaneshiro menyatakan

bahwa OMA merupakan penyakit yang umum terjadi pada bayi, balita, dan anakanak,

sedangkan kasus OMA pada orang dewasa juga pernah dilaporkan terjadi, namun

dengan frekuensi yang tidak setinggi pada anak-anak (Kaneshiro, 2010).

Di Amerika Serikat, Lanphear, dkk menyatakan bahwa otitis media merupakan

diagnosis yang paling sering ditegakkan pada anak-anak pra-sekolah, bahkan

kejadiannya meningkat selama dekade terakhir (Lanphear dkk, 1997). Donaldson

(2010) bahkan menunjukkan bahwa 70% dari anak-anak mengalami ≥ 1 kali serangan

OMA sebelum usia 2 tahun. Di Kanada, Dube, dkk (2011) melakukan studi di

Quebec dan mendapatkan bahwa pada usia 3 tahun, 60-70% anak telah mengalami

minimal 1 kali episode OMA.

Gambar 2.5. Perbandingan Tuba Eustachius Pada Anak dan Dewasa

(sumber: Adaptasi dari Kaneshiro, N. K., 2010. Ear Infection – Acute Images:

8

Eustachian tube. Adam, Inc. Diunduh dari:

http://www.healthline.com/images/adam/big/19596.jpg [Diakses 25 Maret 2011)

I.2.3 Patofisiologi OMA

Secara umum, OMA didasari inflamasi pada tuba Eustachius. Hal yang paling

sering memicu kondisi tersebut sehingga terjadi OMA adalah infeksi saluran

pernafasan atas yang melibatkan nasofaring, walaupun beberapa kondisi lainnya

seperti infeksi (terutama infeksi virus), alergi, dan kondisi inflamasi lainnya yang

berkaitan dengan tuba Eustachius juga akan memicu manifestasi yang sama.

Manifestasi inflamasi dalam hal ini akan menjalar dari nasofaring hingga mencapai

ujung medial tuba Eustachius atau secara langsung terjadi di tuba Eustachius,

sehingga memicu stasis sehingga mengubah tekanan di dalam telinga tengah. Di sisi

lain, stasis juga akan memicu infeksi bakteri patogenik yang berasal dari nasofaring

dan masuk ke dalam telinga tengah dengan cara refluks, aspirasi, atau insuflasi aktif.

Beberapa variasi juga terdapat pada anakanak yang cenderung mengalami otitis

(otitis-prone children). Pada pasien ini, adanya gangguan neuromuskular atau atau

abnormalitas pada tuba Eustachius (tuba Eustachius cenderung terbuka) membuat

konten nasofaring dapat dengan mudah mengalami refluks ke telinga tengah,

termasuk bakteri patogenik yang berada di nasofaring.

Pada akhirnya, semua kondisi ini akan memicu reaksi inflamasi akut yang

ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi, invasi leukosit, fagositosis, dan respon imun

lokal yang terjadi di telinga tengah, yang akan bermanifestasi pada gejala-gejala

klinis OMA. Infeksi virus pada telinga tengah cukup sering terjadi pada pasien OMA

dan umumnya diikuti dengan infeksi bakteri. Kondisi demikian disebabkan virus

memfasilitasi bakteri supaya melekat di mukosa dan memicu inflamasi. Dalam hal

ini, virus akan terlebih dahulu merusak lapisan mukosa sehingga mukosa menjadi

terpapar dan kondisi ini akan memicu bakteri menjadi patogenik dengan cara

melakukan adhesi di permukaan mukosa nasofaring, tuba Eustachius, dan telinga

tengah yang sudah mengalami kerusakan. Data lain juga menunjukkan bahwa

9

kerusakan mukosa juga dapat diakibatkan endotoksin oleh invasi bakteri sehingga

pada akhirnya patogen dapat melekat di permukaan mukosa (Donaldson, 2010).

I.2.4 Diagnosis OMA

Kriteria diagnostik OMA mencakup adanya onset gejala yang cepat atau akut,

efusi telinga tengah, dan tanda serta gejala inflamasi telinga tengah, seperti eritema

membran timpani atau otalgia yang mempengaruhi tidur dan aktivitas sehari-hari.

OMA juga ditandai dengan kelainan pada membran timpani, yaitu adanya penonjolan

membran timpani, keterbatasan atau ketidakmampuan pergerakan membran timpani,

atau adanya air-fluid level di belakang membrane timpani. Pemeriksaan membran

timpani untuk mengetahui kondisi tersebut dapat diketahui dengan menggunakan

kombinasi otoskopi, otoskopi pneumatik, dan timpanometri. Gejala non-spesifik

seperti demam, sakit kepala, iritabilitas, batuk, rinitis, anoreksia, emesis, dan diare

umum terjadi pada bayi dan anak-anak.

Otalgia jarang terjadi pada anak-anak berusia kurang dari dua tahun dan lebih

sering terjadi pada remaja dan dewasa (Ramakrishnan, 2007). Secara lebih akurat,

Timpanocentesis merupakan “gold standard” untuk mengetahui mengidentifikasi

patogen spesifik yang menyebabkan OMA (Linsk dkk, 2002). Hal ini diperlukan

untuk mengetahui antibiotik serta terapi lain yang diperlukan untuk pasien OMA

I.2.5 Klasifikasi

Ada 5 stadium OMA berdasarkan pada perubahan mukosa telinga tengah, yaitu:

1. Stadium Oklusi

10

Stadium ini ditandai dengan gambaran retraksi membrane timpani akibat

tekanan negatif telinga tengah. Membran timpani kadang tampak normal atau

berwarna suram.

2. Stadium Hiperemis

Pada stadium ini tampak pembuluh darah yang melebar di sebagian atau

seluruh membran timpani, membrane timpani tampak hiperemis disertai edem.

3. Stadium Supurasi

Stadium ini ditandai edem yang hebat telinga tengah disertai hancurnya sel

epitel superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di kavum timpani sehingga

membran timpani tampak menonjol (bulging)ke arah liang telinga luar.

11

4. Stadium Perforasi

Pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga nanah keluar dari

telinga tengah ke liang telinga.

5. Stadium Resolusi

Pada stadium ini membran timpani berangsur normal, perforasi membran

timpani kembali menutup dan secret purulen tidak ada lagi. Bila daya tahan tubuh

baik atau virulensi kuman rendah maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa

pengobatan.

I.2.6. Pengobatan

Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada

stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian

12

antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada

otitis media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang

mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari

perforasi membran timpani, dan memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik

(Titisari, 2005).

Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba

Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes

hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun

atau HCl efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun

pada orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotik

(Djaafar, 2007).

Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan

analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika

terjadi rseistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau

sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya

adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan

pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal

selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak,

diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis,

amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3

dosis (Djaafar, 2007).

Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk

melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat

hilang dan tidak terjadi ruptur (Djaafar, 2007).

Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara

berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3

sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret

akan hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari

(Djaafar, 2007).

13

Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret

tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret

mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat

dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi

mastoiditis (Djaafar, 2007).

Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik.

Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam

dua sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang

segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif seterusnya.

Masalah yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri yang resisten terhadap

antibiotic meningkat. Menurut American Academy of Pediatrics (2004) dalam

Kerschner (2007), mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang harus

segera diterapi dengan antibiotik sebagai berikut.

Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut, terdapat

efusi telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga tengah. Gejala

ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam kurang dari 39°C dalam 24 jam

terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang-berat atau demam 39°C.

Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan pada anak usia enam

bulan sampai dengan dua tahun, dengan gejala ringan saat pemeriksaan, atau

diagnosis meragukan pada anak di atas dua tahun. Follow-up dilaksanakan dan

pemberian analgesia seperti asetaminofen dan ibuprofen tetap diberikan pada masa

observasi (Kerschner, 2007).

Menurut American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin merupakan first-

line terapi dengan pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal selama

lima hari. Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus penumoniae. Jika pasien alergi

ringan terhadap amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti cefdinir. Second-

line terapi seperti amoksisilin-klavulanat efektif terhadap Haemophilus influenzae

dan Moraxella catarrhalis, termasuk Streptococcus penumoniae (Kerschner, 2007).

Pneumococcal 7- valent conjugate vaccine dapat dianjurkan untuk menurunkan

prevalensi otitis media (American Academic of Pediatric, 2004).

14

I.2.6.1 Pembedahan

Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren,

seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi

(Buchman, 2003).

1. Miringotomi

Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya

terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus

dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran

timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-

inferior.

Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan,

kecuali jika terdapat pus di telinga tengah (Djaafar, 2007). Indikasi miringostomi

pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis

nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi

merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali

terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau

timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan

terhadap terapi second-line, untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur

(Kerschner, 2007).

2. Timpanosintesis

Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan

pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret

untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak

memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang

sistem imun tubuh rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat

menurun morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan

pendengaran secara signifikan disbanding dengan plasebo dalam tiga penelitian

prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.

3. Adenoidektomi

15

Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan

efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi

tuba timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan

OMA rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan

adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren

(Kerschner, 2007).

I.2.7 Komplikasi

Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari

abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis

komplikasi tersebut biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik. Mengikut

Shambough (2003) dalam Djaafar (2005), komplikasi OMA terbagi kepada

komplikasi intratemporal (perforasi membran timpani, mastoiditis akut, paresis

nervus fasialis, labirinitis, petrositis), ekstratemporal (abses subperiosteal), dan

intracranial (abses otak, tromboflebitis).

I.2.8 Pencegahan

Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah ISPA

pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat,

menganjurkan pemberian ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan terhadap

lingkungan merokok, dan lain-lain (Kerschner, 2007).

16

BAB II

LAPORAN KASUS

II.1. Identitas

Nama : Tuan Joko Santoso

Usia : 43 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Alamat : Boto 02 / 07 Bancak

Pekerjaan : Kuli Bangunan

No. RM : 020521

17

II.2. Anamnesis

II.2.1. Keluhan Utama

Pasien merasa nyeri pada telinga kanan sejak 1 minggu yang lalu dan

nyeri di telinga kiri sejak 2 hari yang lalu.

II.2.2. Keluhan Tambahan

Terdapat carian berupa darah yang keluar dari telinga sebelah kanan,

terdapat penurunan pendengaran di 2 telinga.

II.2.3. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang pada 1 Desember 2014 dengan keluhan nyeri pada telinga

kanan 1 minggu yang lalu dan telinga kiri sejak 2 hari yang lalu. Pasien sering

menggunakan cotton bud untuk membersihkan telinganya. Pasien merasa

telinga kanannya keluar cairan berwarna merah dan berbau sejak 1 minggu

yang lalu. Pasien merasa pada telinga kirinya tersumbat dan terjadi penurunan

pendengaran. Pasien menyanggkal adanya batuk pilek.

II.2.4. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengatakan tidak pernah mengalami keluhan seperti ini

sebelumnya. Pasien menyangkal memiliki alergi, riwayat hipertensi, dan

diabetes melitus.

II.2.5. Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengaku tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan

yang sama dengan pasien.

II.2.6. Riwayat Pengobatan

Pasien mengaku penyakitnya belum pernah diobati.

II.3. Pemeriksaan Fisik

18

II.3.1. Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital

Tekanan darah : 140/90 mmHg (pre-hipertensi)

Nadi : 78 kali/menit

Pernapasan : 16 kali/menit

Suhu : Afebris

Kepala

Bentuk kepala : Normocephale

Mata : Konjungtiva anemis (-), clera ikterik (-),nistagmus(-)

Gigi-Mulut : Lengkap, mulut basah

Leher : KGB tidak membesar

Thoraks

Jantung : Bunyi jantung normal, murmur (-), gallop (-)

Paru : Bunyi napas vesikuler pasa seluruh lapang paru, ronkhi

(-)/(-), wheezing (-)/(-)

Abdomen : Dalam batas normal

Ekstremitas : Edema (-)/(-), sianosis (-), capillary refill time <2 detik

II.3.2. Status Lokalis

Telinga

Kanan Kiri

Daun telinga Nyeri Tarik (+) Normal

Tragus Nyeri tekan (+) Normal

Liang telinga luar Lapang Udem

Mastoid Nyeri Tekan (+) Normal

Discharge +

Darah

-

Membran timpani Perforasi Sentral Hiperemis

19

Tumor - -

Otoskopi Serumen (+)

MT Perforasi Sentral

Serumen (+)

MT Hiperemis

Hidung

Kanan Kiri

Hidung luar Normal Normal

Cavum nasi Lapang Lapang

Septum nasi Tidak ada deviasi septum nasi

Discharge - -

Mukosa Merah muda Merah muda

Tumor - -

Konka Normal Normal

Sinus Tidak ditemukan nyeri tekan pada sinus

Tenggorokan

Warna : merah muda

Mukosa : normal

Dinding belakang faring : normal

Suara : normal

Tonsil

Kanan Kiri

Pembesaran - -

Hiperemis - -

Permukaan mukosa Tidak rata Tidak rata

20

(merah muda) (merah muda)

Kripta Tidak melebar Tidak melebar

Detritus Tidak ada Tidak ada

Pemeriksaan Tambahan :

X-Foto Mastoid : Mastoid air cell kanan berkurang dan tampak sklerotik

Gambaran mastoiditis kanan

Tak tampak detruksi tulang

II.4. Diagnosis

II.4.1. Diagnosis Banding

OMSK dengan peforasi

OMA efusi

II.4.2. Diagnosis Kerja

Otitis Media Akut dengan Perforasi Sentral

Suspect Mastoiditis AD

II.1. Tatalaksana

II.5.1. Farmakologis

Ciprofloxacin tab 2 kali sehari selama 5 hari

Metilprednisolon tab 4 mg 3 kali 1 hari selam 5 hari

II.5.2. Non-Farmakologis

Ear toilet ADS

Suction ADS

Edukasi : kuping kanan jangan sampai kemasukan air, gunakan

penutup telinga saat bekerja, jangan menggunakan cotton bud

dahulu.

21

II.2. Prognosis

Dubia ad bonam

BAB III

ANALISA KASUS

III.1. Subjective

Pasien datang pada hari Rabu tanggal 1 Desember 2014. Pasien mengaku

telinga kanannya nyeri sejak 1 minggu yang lalu dan nyeri pada telinga kiri

pada 2 hari yang lalu. Nyeri pada telinga kanan terasa di belakang telinga,

tragus dan ketika telinga di tarik. Pasien merasa bahwa telinga kanannya keluar

cairan darah dan berbau. Pasien merasa kedua telinganya mengalami penurunan

pendengaran. Pasien mengakui bahwa suka menggunakan cotton bud jika ingin

22

membersihkan telinganya. Pasien mengaku bekerja sebagai tukang bangunan

yang lingkungan kerjanya bising.

III.2. Objective

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda vital dalam batas normal.

Status generalis dalam batas normal. Pada inspeksi ditemukan telinga luar

dalam batas normal. Pada pemeriksaan otoskop didapatkan liang telinga kanan

tampak sedikit serumen dan bekas darah mengering, setelah dilakukan ear toilet

terlihat membran timpani mengalami perforasi dibagian sentral, dan pada

telinga kirinya didapatkan sedikit serumen dan MT stadium hiperemis.

III.3. Assesment

Berdasarkan gejala dan tanda yang ditemukan pada anamnesa maupun

pemeriksaan, maka dapat disimpulkan pasien mengalami otitis media akut

stadium perforasi dengan mastoiditis AD, dan OMA stadium hiperemis AS.

III.4. Plan

Pasien diberikan tatalaksana farmakologis berupa antibiotik

ciprofloxacin tab 2 kali sehari selama 5 hari dan anti-radang (kortikosteroid)

yaitu metilprednisolon tab 3 kali sehari selama 5 hari. Pasien diminta kontrol.

DAFTAR PUSTAKA

Aboet, A., 2006. Terapi pada Otitis Media Supuratif Akut. Majalah Kedokteran

Nusantara, 39 (3): 356.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2002.

Perokok Pasif Beban Yang Terlupakan. Jakarta.

Balzanelli, C., Gamba, P., Redaelli de Zinis, L. O., 2003. Acute Otitis Media and

Bylander, A., Gisselsson-Solen, M., Wilhelmsson, C., Hermansson, A. Melhus, A.,

2007. Journals of Clinical Microbiology, 45 (9): 3003 – 3005.

Dahlan, M. Sopiyudin., 2010. Konsistensi V Menentukan Besar Sampel. Dalam:

Hariyanto, B., Riefmanto, ed. Langkah-langkah Membuat Proposal

23

Penelitian Bidang Kedokteran dan Kesehatan Seri Evidence Based Medicine : Seri 3

cetakan 2. Jakarta: Segung Seto, 83.

Departemen Kesehatan RI, 2004. Kebijakan Departemen Kesehatan tentang

Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Pekerja Wanita. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2004. Beban Kesehatan Akibat Penggunaan Tembakau).

Jakarta.

Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R. D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam:

Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R. D., ed. Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta:

Balai Penerbit FKUI, 64 – 66

Torpy, J. M., 2010. Acute Otitis Media. The Journal of the American Medical

Association (JAMA), 304 (19): 2194.

Tortora, G. J., Derrickson, B. H., 2009. The Special Senses. Dalam: Roesch, B., dkk,

ed. Principles of Anatomy and Physiology 12th edition International

Student Version Volume 1. Hoboken: John Wiley and Sons, Inc, 620 – 621.

Williamson, I., dkk, 2006. Consultations for middle ear disease, antibiotic prescribing

and risk factor for reattendance: a case-linked cohort study.

World Health Organization (WHO)., 2006. Primary Ear and Hearing Care Training

Resource: Advanced Level. WHO Press: 14 – 15.

24