Author
vantruc
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 1
LAPORAN AKHIR
Kajian Usulan Pengenaan Bea Keluar (BK) Atas Ekspor Rumput Laut (Raw Material)
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN
PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN
2014
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 2
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR i ABSTRAK ii DAFTAR ISI iii BAB I. PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan Penelitian 3
1.3. Ruang Lingkup Kajian
1.4. Sistematika Penulisan
3
4
BAB II.
PERKEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN DAN KINERJA PERDAGANGAN RUMPUT LAUT INDONESIA
6
2.1. Produksi Rumput Laut 6
2.2. Industri Pengolahan Rumput Laut Dalam
Negeri
11
2.3. Kebutuhan Bahan Baku Industri Pengolahan
Rumput Laut dan Idle Capacity
16
BAB III
METODOLOGI KAJIAN 22
3.1. Jenis dan Sumber Data 22
3.2. Metode Analisis 19
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN 30
4.1. Perkembangan Ekspor Bahan Baku Rumput
Laut ke Negara Tujuan Utama
30
4.2. Perkembangan Ekspor Produk Olahan
Rumput Laut ke Negara tujuan Utama
4.3. Perkembangan daya saing produk olahan
35
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 3
rumput laut di Negara tujuan
4.4. Penetapan Bea Keluar Untuk Mengurangi
Ekspor Rumput Laut (Raw Material)
39
42
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN 54
5.1. Kesimpulan
5.2. Rekomendasi
54
55
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 4
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan kajian dengan judul Kajian Usulan Pengenaan Bea
Keluar (BK) Atas Ekspor Rumput Laut (Raw Material) ini dengan baik
dan sesuai dengan waktu yang telah dijadwalkan.
Indonesia mempunyai potensi alam yang sangat baik untuk
pengembangan dan budidaya komoditas rumput laut. Karena kualitasnya
yang sangat bagus, rumput laut Indonesia telah menjadi primadona di
pasar internasional. Seiring dengan semakin bertambahnya permintaan
dunia, maka pemerintah kian gencar mendorong industrialisasi dan
budidaya rumput laut Indonesia. Namun pada kenyataannya, industri
pengolahan rumput laut dalam negeri mengalami beberapa kendala
antara lain tingginya harga dan turunnya kualitas bahan baku akibat
berkurangnya ketersediaan bahan baku dalam negeri. Hingga saat ini,
rumput laut (raw material) masih banyak yang diekspor untuk mendukung
industri pengolahan di negara lain.
Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, Pusat Kebijakan
Perdagangan Luar Negeri untuk melakukan kajian singkat mengenai
usulan pengenaan Bea Keluar (BK) atas ekspor rumput laut dan produk
turunannya. Dalam kajian ini akan dilakukan analisis besaran BK yang
dapat diusulkan untuk dikenakan atas ekspor rumput laut (raw material).
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, diharapkan masukan dari semua pihak untuk tahap
pengembangan dan penyempurnaan kajian ini di masa akan datang.
Jakarta, September 2014
Tim Pengkaji
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 5
ABSTRAK
Industri pengolahan rumput laut dalam negeri saat ini tengah menghadapi kendala berupa kurangnya ketersediaan bahan baku dalam negeri karena banyaknya ekspor. Oleh karena itu, tujuan kajian ini adalah menetapkan nilai bea keluar (BK) optimum rumput laut sebagai instrumen pengaturan ekspor untuk menutupi idle capacity industri pengolahan dalam negeri berdasarkan elastisitas harga model permintaan. Dari model permintaan diperoleh elastisitas permintaan ekspor terhadap harga sebesar -0,41%, yang artinya jika harga naik 10% maka permintaan ekspor akan berkurang sebesar 4,1%. Untuk menutupi idle capacity diperlukan pengurangan ekspor E. cottonii sebesar 8.730 ton, spinosum 2.126 ton dan Glacilaria 9.771 ton (total 20.627 ton). Besaran nilai BK optimum untuk mengurangi ekspor yang besarnya sesuai dengan idle capacity adalah 21% untuk E. cottonii, 12% untuk spinosum dan 44% untuk Glacilaria. Sedangkan, apabila BK dikenakan secara agregat, tanpa diskriminasi berdasarkan jenis, maka besaran BK optimum adalah 30%. Kata kunci: Rumput laut, Bea Keluar dan Model permintaan
ABSTRACT
Domestic seaweed processing industries are currently facing a problem of lacking the availability of raw materials in domestic market because they are exported. Therefore, the aim of this study is to establish the value of export duties as the optimum instrument in settings and control the seaweed for being exported in order to cover idle capacity of domestic processing industry based on the price elasticity of demand model.The result using demand model shows that the export demand elasticity to the price is -0.41%, which means that if the price goes up by 10% then export demand will be reduced by 4.1%. Meanwhile, in order to cover idle capacity, the reduction required for export are for E. cottonii sp. amounted to 8.730 tons, 2.126 tons of glacilaria and 9.771 tons of spinosum (total 20 627 tonnes). Therefore, the optimum export duties based on the simulation and demand model are 21% for E. cottonii, 12% for spinosum and 44% for Glacilaria. While, aggregately the amount of the export duties to be optimum in covering idle capacity for domestic processing industry without regard to the type of seaweed is 30%. Keywords: Seaweed, Duty and demand model
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 6
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Rumput laut merupakan salah satu komoditas yang memiliki nilai
ekonomis yang tinggi. Sebagai negara kepulauan yang mempunyai lebih
dari 17 ribu pulau dan panjang garis pantai mencapai 81 ribu KM,
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar bagi pengembangan dan
budidaya komoditas rumput laut. Memiliki kondisi alam yang baik dan
cocok untuk pengembangan rumput laut menjadikan rumput laut
Indonesia memiliki kualitas yang baik sehingga permintaan dunia akan
rumput laut Indonesia baik berupa raw material maupun produk olahan
terus meningkat (Ditjen PEN, 2013). Seiring dengan semakin
bertambahnya permintaan dunia akan rumput laut Indonesia, pemerintah
kian gencar mendorong industrialisasi dan budidaya rumput laut
Indonesia.
Namun demikian, berdasarkan hasil rapat pembahasan mengenai
perkembangan rumput laut serta industri karaginan dan agar-agar
Indonesia yang telah dilaksanakan pada tanggal 9 Juni 2014 bertempat di
Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) didapatkan informasi terkait
permasalahan dan fakta-fakta yang dihadapi oleh industri karaginan dan
agar-agar Indonesia saat ini. Permasalahan utama yang dihadapi saat ini
adalah kurangnya ketersediaan bahan baku rumput laut bagi industri
dalam negeri. Akibatnya kapasitas terpakai (utilitas) industri pengolahan
rumput laut dalam negeri rata-rata hanya mencapai 60% dari kapasitas
terpasang. Kelangkaan bahan baku rumput laut bagi industri pengolahaan
dalam negeri, diduga akibat tingginya ekspor dalam bentuk bahan baku
(raw material). Menurut Anggadiredja (2011) sebanyak 80% produksi
rumput laut jenis cottonii sp. (Kappaphycus alvarezii) diekspor untuk
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 7
bahan baku industri karagenan di luar negeri. Sedangkan rumput laut
jenis Gracilaria sp. yang merupakan bahan baku agar-agar, hampir 50%
digunakan sebagai bahan baku industri dalam negeri. Hampir 95% produk
karagenan dalam negeri diperuntukkan untuk ekspor, hanya 5% yang
diperuntukkan untuk pasar dalam negeri. Sebaliknya, untuk produk agar-
agar, sekitar 70% dipasarkan di dalam negeri.
Selain permasalahan kurangnya bahan baku, sebagian besar industri
pengolahan rumput laut yang ada di dalam negeri juga masih terbatas
pada tingkatan base product dan belum berkembang ke tingkatan end
product maupun produk formulasi (produk blended). Hal tersebut
mengakibatkan beberapa kerugian antara lain inefisiensi industri
pengolahan rumput laut (tingkat utilitas rata-rata 60% dari kapasitas
terpasang) akibat kurangnya bahan baku, hilangnya potensi nilai tambah,
lapangan kerja serta potensi penerimaan pajak. Oleh karena itu, ekspor
rumput laut dalam bentuk bahan baku perlu diatur untuk menjamin
ketersediaan bahan baku industri pengolahan rumput laut dalam negeri
yang menghasilkan end product maupun produk formulasi (produk-produk
hilir).
Usulan instrumen yang digunakan untuk mengatur ekspor rumput laut
raw material berdasarkan hasil pembahasan yang melibatkan seluruh
peserta rapat salah satunya adalah penerapan Bea Keluar (BK) atas
ekspor bahan baku rumput laut (disamping pengaturan mekanisme alur
distribusi rumput laut di dalam negeri untuk mencegah importir membeli
langsung rumput laut ke petani dengan menawarkan harga yang relatif
lebih tinggi dari harga pasar). Wacana penerapan BK terhadap rumput
laut pernah muncul dan dibahas pada tahun 2013, namun demikian
pengenaan BK tersebut belum ditetapkan karena masih perlu dilakukan
kajian yang mendalam oleh kementerian dan lembaga terkait tentang
potensi dan kelayakan pengenaan BK atas ekspor rumput laut. Lebih
lanjut, penetapan kebijakan BK tersebut juga hendaknya memenuhi tujuan
pengenaan BK sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat 2 pada
Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 8
Terhadap Barang Ekspor yaitu 1) menjamin terpenuhinya kebutuhan
dalam negeri, 2) melindungi kelestarian sumber daya alam, 3)
mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi tertentu di
pasaran internasional, atau 4) menjaga stabilitas harga komoditas di
dalam negeri. Selain itu, kebijakan BK atas ekspor rumput laut raw
material juga harus dapat mengakomodasi kepentingan petani rumput laut
serta implikasi dan multiplier effect sebagai dampak pemberlakuan
kebijakan tersebut.
Berdasarkan pokok-pokok hasil pembahasan rapat diatas, maka
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri atas permintaan Direktur
Ekspor Produk Pertanian dan kehutananan Kementerian Perdagangan
merasa perlu untuk melakukan kajian singkat mengenai usulan
pengenaan Bea Keluar (BK) atas ekspor rumput laut dan produk
turunannya. Dalam kajian ini akan dilakukan analisis besaran BK yang
dapat diusulkan untuk dikenakan atas ekspor rumput laut (raw material).
1.2. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya kajian ini adalah untuk melakukan analisis
terhadap usulan pengenaan Bea Keluar (BK) atas ekspor rumput laut dan
produk turunannya. Tujuan kajian ini antara lain:
a. Menganalisis idle capacity industri pengolahan rumput laut dalam
negeri akibat kurangnya bahan baku.
b. Menganalisis perkembangan ekspor serta daya saing rumput laut
dan produk olahannya di negara tujuan.
c. Menyusun model permintaan ekspor bahan baku rumput laut di
negara tujuan utama.
d. Menetapkan nilai bea keluar (BK) optimum rumput laut untuk menutupi
idle capacity industri pengolahan dalam negeri berdasarkan elastisitas
harga model permintaan.
1.3. Ruang Lingkup Kajian
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 9
Pelaksanaan kajian ini hanya dibatasi pada hal-hal yang terkait
dengan tugas dan fungsi pokok Kementerian Perdagangan dalam
melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan. Sementara itu,
hal-hal teknis lain terkait dengan roadmap pengembangan serta
pembinaan petani dan industri pengolahan rumput laut menjadi tanggung
jawab kementerian terkait yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) dan Kementerian Perindustrian sebagai sektor pembina. Kajian ini
difokuskan pada wacana pengenaan kebijakan Bea Keluar (BK) atas
ekspor rumput laut dan produk turunannya dan tidak membahas kebijakan
ekspor lain seperti kebijakan larangan ekspor dan tata niaga ekspor.
1.4. Sistematika Penulisan Kajian ini tersusun menjadi beberapa bab, antara lain: Bab I Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
1.2. Tujuan Penelitian
1.3. Ruang Lingkup Kajian
1.4. Sistematika Penulisan Bab II Perkembangan Industri Pengolahan dan Kinerja Perdagangan Rumput Laut Indonesia
2.1. Produksi rumput laut
2.2. Industri Pengolahan Rumput Laut Dalam Negeri
2.3. Kebutuhan Bahan Baku Industri Pengolahan Rumput Laut dan Idle
Capacity
Bab III Metodologi Penelitian 3.1. Jenis dan Sumber Data
3.2. Metode Analisis Bab IV Hasil dan Pembahasan
4.1. Perkembangan Ekspor Bahan Baku Rumput Laut ke Negara
Tujuan Utama
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 10
4.2. Perkembangan Ekspor Produk Olahan Rumput Laut ke Negara
Tujuan Utama
4.3. Perkembangan Daya Saing Produk Olahan Rumput Laut di Negara
Tujuan
4.4. Penetapan Bea Keluar Untuk Mengurangi Ekspor Bahan Baku
Rumput Laut Bab V Kesimpulan dan Rekomendasi
5.1. Kesimpulan
5.2. Rekomendasi
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 11
BAB II
PERKEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN DAN KINERJA PERDAGANGAN RUMPUT LAUT INDONESIA
2.1. Produksi Rumput Laut Indonesia berada pada kawasan the coral triangle yang merupakan wilayah
paling potensial untuk pengembangan rumput laut (Gambar 2.1). Selain itu, iklim
di Indonesia juga mendukung dalam pengembangan rumput laut karena
gangguan alam relatif sedikit dibandingkan dengan negara produsen rumput laut
lainnya, seperti Filipina, yang sering dilanda taifun. Demikian juga dengan negara
lain di Amerika Latin seperti Chile yang juga sering menghadapi hambatan
produksi rumput laut berupa El Nino.
Gambar 2.1. kawasan the coral triangle penghasil utama rumput laut
Sumber: Direktorat Pemasaran Luar Negeri (2014)
Pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia dirintis sejak tahun 1980-
an untuk merubah kebiasaan penduduk pesisir dari pengambilan sumberdaya
alam ke arah budidaya rumput laut yang ramah lingkungan (Ngangi, 2001). Sejak
tahun 2010, Indonesia merupakan negara produsen alga terbesar di dunia
setelah RRT (Tabel 2.1).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 12
Tabel 2.1. Produksi Hasil Budidaya Rumput Laut dan Alga Mikro di Beberapa Produsen Besar Dunia
Sumber: FAO (2014)
Statistik FAO pada Tabel 2.1 tersebut memasukkan alga makro (rumput laut)
yang tumbuh di laut atau air payau dan alga mikro yang tumbuh di air laut, air
payau dan perairan darat. Beberapa tumbuhan air di danau air tawar yang
dibudidayakan, seperti water caltrop, water chesnut, dan teratai yang dapat
dimakan, tidak dimasukkan dalam statistik. Alga mikro yang termasuk dalam
statistik adalah Spirulina spp.
Jenis rumput laut bermacam-macam. Setidaknya ada 7 (tujuh) jenis rumput
laut yang sudah dimanfaatkan secara komersial di Indonesia baik untuk
kebutuhan dalam negeri maupun untuk ekspor ke luar negeri (Asosiasi Industri
Rumput Laut Indonesia, 2014). Dari tujuh jenis rumput laut tersebut digolongkan
menjadi dua, yaitu rumput laut yang telah dibudidayakan dan rumput laut yang
tumbuh secara alami. Jenis-jenis rumput laut yang telah dibudidayakan adalah:
a. Euchema Cottoni (E.Cottoni)
b. Euchema Spinosum
c. Gracilaria Adapun jenis-jenis rumput laut yang tumbuh secara alami dan belum
dibudidayakan adalah:
a. Gelidium Capillacea kades
b. Gelidium Indonesianum bludru
1990 1995 2000 2005 2010 2012Dunia 3,765.33 6,849.22 9,306.04 13,518.95 19,009.67 23,776.45 100.00 RRT 1,470.23 4,162.62 6,938.10 9,494.59 11,092.27 12,832.06 53.97 Indonesia 100.00 102.00 205.23 910.64 3,915.02 6,514.85 27.40 Filipina 291.18 579.04 707.04 1,338.60 1,801.27 1,751.07 7.36 Korea Selatan 411.88 649.10 374.46 621.15 901.67 1,022.33 4.30 Jepang 565.39 569.49 528.88 507.74 432.80 440.75 1.85 Malaysia 16.13 40.00 207.89 331.49 1.39 Republik Tanzania 8.08 39.17 49.91 73.62 125.16 150.88 0.63 Kepulauan Solomon 3.26 8.00 13.00 0.05 Sub Total 2,846.76 6,101.41 8,819.74 12,989.60 18,484.08 23,056.43 96.97 Lainnya 918.57 747.80 486.30 529.35 525.59 720.02 3.03
Produksi (Ribu Ton)Produsen Pangsa 2012 (%)
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 13
c. Sargassum dan
d. Ulva Produksi rumput laut Indonesia semakin meningkat hingga tahun 2012
mencapai 6,5 juta ton basah (atau sekitar 6500 ton kering) dan diproyeksikan
mengalami peningkatan mencapai 53,5% di tahun 2014 menjadi 10 juta ton
(Gambar 2.2). Produksi di tahun 2012 terdiri dari rumput laut jenis Euchema dan
Gracilaria masing-masing sebesar 5,74 juta ton (pangsa: 88,1%) dan 0,78 juta
ton (pangsa:11,9%).
Gambar 2.2. Produksi Rumput Laut (basah) Indonesia dan Proyeksinya
Sumber : Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (2014)
Ket. : * = proyeksi
Berdasarkan hasil survei, hingga saat ini belum ada industri pengolahan
rumput laut yang melakukan integrasi vertikal, dengan melakukan budidaya
rumput laut sendiri. Hal tersebut disebabkan mahalnya biaya pengawasan untuk
mencegah pencurian sebelum masa panen.
Perusahaan pengolahan rumput laut dalam negeri membeli bahan baku
rumput laut yang dibudidayakan oleh petani yang tersebar di seluruh Indonesia
antara lain: Madura, Bali, Lompok, Kupang, Ambon, dan daerah-daerah di
Sulawesi melalui pedagang pengumpul. Di tingkat pedagang pengumpul, industri
pengolahan dalam negeri harus bersaing dengan eksportir (yang berafiliasi
1,73 2,15
2,96 3,92
5,17 6,51
7,50
10,00
25,76 24,10
38,16
32,11 32,06
26,01
15,12
33,33
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
30,0
35,0
40,0
45,0
-
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013* 2014*
(%)Juta Ton Produksi Growth(%)- RHS
13,2% 12,2% 11,9%
86,8% 87,8% 88,1%
2010 2011 2012
Gracilaria Euchema
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 14
dengan pedagang dari China) untuk mendapatkan bahan baku. Bahkan pada
kasus tertentu, persaingan untuk mendapatkan bahan baku tersebut sudah
dimulai sejak di tingkat petani.
Impor bahan baku rumput laut dari negara produsen rumput laut lain seperti
Filipina juga pernah dilakukan salah satu industri pengolahan rumput laut dalam
negeri untuk memenuhi kebutuhan industri. Namun demikian, impor bahan baku
tersebut tidak dilanjutkan karena harganya tidak kompetitif serta memiliki
kandungan garam tinggi. Meskipun rumput laut impor terlihat kering tetapi
kandungan airnya tinggi, sehingga rendemen rumput laut impor rendah. Oleh
karena itu, secara kualitas rumput laut dalam negeri lebih baik jika dibandingkan
dengan rumput laut impor. Berdasarkan hasilsurvei lapangan, saluran
pemasaran rumput laut ditunjukkan melalui Gambar 2.3 berikut.
Gambar 2.3. Rantai Pemasaran Rumput Laut Dalam Negeri
Sumber: Hasil survei
Rata-rata skala produksi rumput laut petani sebesar 3 ton tiap sekali panen.
Sebesar besar hasil panen tersebut (90% dari keselurahan hasil panen) dibeli
oleh pedagang pengumpul untuk kemudian ditampung di gudang (untuk wilayah
Sulawesi, pusat gudang rumput laut berada di Makasar). Setelah berada di
gudang, pengumpul daerah memilih dan mengelompokkan rumput laut sesuai
dengan gradenya. Rumput laut yang memiliki kualitas bagus lebih banyak
diekspor, karena eksportir berani membeli dengan harga yang lebih tinggi dari
industri pengolahan dalam negeri. Keuntungan lain yang dirasakan petani atau
Petani rumput laut
Pengumpul lokal
Pedagang antar kota
Pengumpul Daerah
Industri pengolahan
Ekportir
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 15
pedagang pengumpul, dengan menjual ke ekportir diantaranya: 1) pembayaran
cepat (dengan DP atau bahkan dibayar penuh dimuka); 2) harga relatif tinggi
dalam mata uang USD; dan 3) kemampuan membeli besar, berapapun jumlah
yang ditawarkan akan dibeli (kebutuhan eksportir sebanyak 1000 ton, sementara
permintaan industri pengolahan lokal rata-rata hanya 100 ton per hari).
Pembelian rumput laut oleh industri pengolahan dilakukan secara lepas
(tidak ada kontrak yang mengikat), sehingga harga bahan baku rumput laut
berfluktuasi. Pada tahun 2012 rata-rata harga rumput laut untuk jenis E. Cottoni
masih dibawah Rp 10.000/kg, kemudian terus meningkat mencapai kisaran
harga Rp 11.000/kg - Rp. 19.000/kg, sementara untuk jenis gracilaria berkisar
Rp. 10.000/Kg - 13.000/Kg pada pertengahan 2014. Fluktuasi harga rumput laut
kering disajikan pada Tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2. Fluktusi Harga Rumput Laut
Perusahaan Harga pembelian rumput laut (Rp/kg)
Terendah Tertinggi* Saat survei Rata-rata
E. Cottonii 5.000 25.000 11.000-19.000 10.000
Glacilaria sp 7.000 15.000 10.000 9.500
Sumber: Hasil survey
Ket.: * = pada tahun 2008
Harga rumput laut tertinggi terjadi pada tahun 2008, hal tersebut disebabkan
gencarnya para pedagang China masuk untuk membeli rumput laut Indonesia.
Fenomena terjadinya serangan penyakit, cuaca buruk, dan bencana alam
(Taifun, El Nino) yang menyebabkan gagal panen di beberapa negara produsen
rumput laut lainnya juga mengakibatkan peningkatan harga yang cukup tinggi di
tahun 2008.
Secara periodik, produksi rumput laut pada musim hujan (antara bulan
Agustus sampai Oktober) cukup tinggi, namun karena proses pengeringan
terhambat mengakibatkan kualitasnya menjadi rendah (cenderung berjamur)
sehingga harga akan turun. Selain kenaikan harga, ketatnya persaingan dalam
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 16
mendapatkan bahan baku dengan eksportir juga menyebabkan menurunnya
kualitas rumput laut yang didapatkan oleh industri pengolahan (banyak pasir,
sampah, kandungan air tinggi dan dipanen sebelum umurnya mencukupi).
2.2. Industri Pengolahan Rumput Laut Dalam Negeri
Tingginya potensi produksi rumput laut Indonesia telah mendorong
pertumbuhan industri pengolahan rumput laut. Hasil pengolahan rumput laut dari
jenis rumput laut di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.4. Adapun Gambar
2.5 menunjukkan pohon industri rumput laut. Dari Gambar 2.5 dapat dilihat
bahwa hasil olahan rumput laut bermanfaaat dapat dimanfaatkan untuk berbagai
jenis industri.
Gambar 2.4. Spektrum Industrialisasi Rumput Laut
Sumber: Direktorat Pemasaran Luar Negeri (2014)
Eucheuma sp
Sargassum sp
Gracillaria sp
Karaginan
Alginat
Agar
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 17
Gambar 2.5. Pohon Industri Bahan Baku Rumput Laut
Sumber: Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (2014)
Pemanfaatan rumput laut dalam untuk berbagai produk yang ada dalam
Gambar 2.5 dapat dilihat pada Tabel 2.3 di bawah.
Tabel 2.3. Pemanfaatan Olahan Rumput Laut Pada Produk Industri
Sumber: Direktorat Usaha dan Investasi (2013)
Dikarenakan sumber daya rumput laut yang melimpah di Indonesia, industri
pengolahan rumput laut juga cukup berkembang di Indonesia. Berdasarkan data
Utilisasi Agar Karaginan AlginatPangan
Es Krim, Susu Roti Permen Daging, ikan dalam Kaleng Saus, Salad Dressing
Industri Non PanganPakan ternak/ikan Cat, Keramik Tekstil, kertas Farmasi, kosmetik Pasta Gigi, Shampo, Obat Tablet Bahan Cetak Gigi, Obat Salep
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 18
yang diperoleh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan terdapat peningkatan
industri pengolahan rumput laut yang cukup pesat dari hanya 24 perusahaan di
tahun 2013 menjadi 37 perusahaan pengolah rumput laut di tahun 2014 (Gambar
2.6).
Gambar 2.6. Perkembangan Industri Pengolahan Rumput Laut Indonesia
Sumber: KKP, 2014
Ket.:ATC = Alkali Treated Carrageenan
SRC = Semi Refined Carrageenan
RC = Refined Carrageenan
Dari 5 perusahaan yang disurvei, 3 perusahaan mengolah rumput laut jenis
eucheuma sp dan 2 perusahaan menggunakan rumput laut jenis glacilaria sp.
Eucheuma sp diolah menjadi Semi Refined Carrageenan (SRC). Product SCR
ada yang langsung diekspor (dalam bentuk pure SCR atau blended), atau diolah
lebih lanjut menjadi Refined Carrageenan (RC) kemudian diekspor dalam bentuk
pure maupun produk blended dengan bahan lain (seperti conjac).
Produk blended biasanya dipesan oleh industri pangan tertentu baik industri
dari dalam negeri maupun luar negeri. Tiap industri pangan memerlukan blended
dengan campuran yang berbeda. Penggunaan blended RC pada industri pangan
adalah sebagai hydrocolloid. Sebagai contoh, industri pangan (warna transparan)
seperti jelly dan agar-agar menggunakan blended RC (RC berwarna putih),
sedangkan industri pangan yang tidak transparan (seperti sosis, bakso, nugget
dan susu) menggunakan blended SRC (SRC berwarna coklat). Diantara jenis
hydrocolloid yang ada (tara, gum, glutamid dan lain-lain), rumput laut merupakan
2011 2012 2013ATC 5 9 13SRC 6 6 7RC 0 1 5Formulasi 0 0 1Agar 6 8 11
0
2
4
6
8
10
12
14
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 19
hydrocolloid kualitas berbaik. Pasar dari produk olahan eucheuma cottoni seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7. Produk Olahan Rumput Laut E Cottoni Industri Dalam Negeri
Sumber: hasil survei
Lebih lanjut, sebagai hydrocolloid, keraginan berperan sebagai
stabilisator (pengatur keseimbangan), thickener (bahan pengental),
pembentuk gel, pengemulsi, koloid pelindung, penggumpal dan pencegah
kristalisasi. Sifat ini sangat bermanfaat dalam industri makanan, obat-
obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi dan industri lainnya. Pada industri
kue dan roti, kombinasi karaginan dengan garam natrium, karaginan
dengan lesitin akan dapat meningkatkan mutu adonan sehingga dihasilkan
kue dan roti bermutu tinggi. Bila dikombinasikan dengan garam kalium,
maka karaginan sangat efektif sebagai gel pengikat atau pelapis produk
daging. Dalam jumlah yang relatif kecil, karaginan juga dipergunakan
dalam produk makanan lainnya, misalnya macaroni, jam jelly, sari buah, bir
Rumput Laut Kering Euchema Sp
Pencucian dengan alkali
Alkali Treated Carageenan (ATC)
Semi Refined Carageenan (SRC)
Refined Carageenan (RC)
Blended RC
Industri Makanan
Dalam Negeri
E
K
S
P
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 20
dan lain-lain (Winarno, 1990). Selain sebagai pengemulsi dan penstabil,
karaginan pada industri di liar pangan juga berfungsi sebagai pembentuk
gel, pensuspensi, pengikat, protective (melindungi koloid), film former
(mengikat suatu bahan), syneresis inhibitor (menghalangi terjadinya
pelepasan air), dan Flocculating agent (pengkilat dan mengikat bahan-
bahan lain) (Anggadiredja, 1993). Produk olahan rumput laut E. cottoni dalam negeri didominasi oleh SRC.
Industri yang menghasilkan RC relatif sedikit, karena biaya investasinya relatif
besar. Produk olahan tersebut hanya 10% yang diserap oleh pasar domestik,
semntara 90% diekspor. Pasar tujuan utama ekspor adalah Filipina (untuk SRC),
Timur Tengah, Amerika Serikat, Jepang dan Eropa (untuk RC). RRT tidak
menjadi tujuan ekspor SCR/RC murni karena mengenakan PPN produk ekspor di
RRT sebesar antara 17% sampai 35% walaupun dengan bea masuk di RRT 0%.
Ekspor ke RRT hanya khusus produk blended RC dengan protein hewani/nabati.
Harga di pasar dunia relatif stabil, untuk SRC antara USD 8 sampai USD 12
tergantung kualitas. Pesaing utama Indonesia di pasar tujuan ekspor adalah
produk olahan dari RRT. Berikut adalah perbandingan antara harga produk RC
dan SRC antara Indonesia dan RRT.
Tabel 2.4. Harga Produk Industri Rumput Laut Indonesia dan RRT
Produk olahan Produk RRT (USD/kg)
Harga Produk Indonesia
Saat ini Minimum
Pure RC 12USD 21-22 USD 19 USD
Pure SRC 12 USD 8 USD
Agar-agar Jely strengh 700-900
19 USD 21-22 USD (20% lebih mahal dari RRT)
Sumber: hasil survei
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 21
Pedagang RRT tidak hanya menjadi pesaing dalam mendapatkan bahan
baku rumput laut, tetapi juga pesaing dalam penjualan produk olahan dipasar
dunia. Di pasar domestik harga jual RC produksi lokal (USD 14) lebih mahal 20%
dari RC impor dari RRT (Tabel 2.4), sehingga 80% dari kebutuhan RC industri
pangan lokal (seperti nestle) impor dari RRT. Industri pangan sisanya (20%)
yang tidak menggunakan RC (maupun SRC) impor dari RRT dengan alasan: (a)
RC impor dari RRT kualitasnya kurang bagus untuk produk RC blended; (b)
adanya kebijakan kuota impor SRC, menyebabkan produsen RC memilih untuk
menghasilkan SRC sendiri.
Murahnya harga produk olahan SRC dan RC dari RRT diungkapkan oleh
responden karena beberapa alasan.
1. Biaya tranport dan biaya produksi lebih murah. Biaya transpor bahan baku
rumput laut dari Makasar (pusat gudang pengumpul rumput laut) ke RRT lebih
murah (USD 500/container sekitar Rp 5,5 juta), dibandingkan dari Makasar ke
Surabaya (RP 15 jt/container). Kapal yang mengangkut rumput laut ke RRT
merupakan kapal kosong yang kembali ke RRT setelah mengangkut komoditi
ekspor dari RRT ke Indonesia. Sehingga transportasi rumput laut dari
Indonesia ke RRT tidak dikenai tarif komersial.
2. Biaya produksi lainnya di RRT lebih murah. Di Indonesia harga listrik 2 kali
lebih mahal dibandingkan di RRT, upah tenaga kerja di Indonesia 4 kali lebih
mahal, bahan kimia 4 kali lebih mahal (alkali, soda, kaporit, asam), dan biaya
pengolahan limbah di RRT hampir nol karena perusahaan tidak diwajibkan
mengolah limbah.
3. Industri pengolahan rumput laut RRT lebih efisien karena berproduksi pada
kapasitas maksimum dan sifatnya mass production.
4. Eksportir produk olahan rumput laut (SRC dan RC) dari RRT, memperoleh
refund tax (tax insentif) antara 13% sampai 17%. Insentif dari refund yang
cukup tinggi tersebut, mendorong eksportir untuk memaksimalkan ekspor,
yaitu melalui harga jual rendah.
Sementara itu, Glacilaria sp diolah menjadi tepung agar-agar untuk dijual
langsung (ekspor dan ke industri pengolahan dalam negeri), atau diolah lebih
lanjut menjadi blended agar-agar dengan bahan lain untuk memenuhi pesanan
industri pangan sebagai hydrocolloid (industi susu bubuk, mayonnaise, kecap,
ice cream, selai, sosis, bakso, nugget, jelly), baik yang ada di dalam negeri
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 22
maupun luar negeri. Alur industri pengolahan gracilaria sp, ditunjukkan pada
Gambar 2.8.
Gambar 2.8. Produk Olahan Rumput Laut Glacilaria Sp Pada Industri Pengolahan Dalam Negeri
Sumber: hasil survei
2.3. Kebutuhan Bahan Baku Industri Pengolahan Rumput Laut dan Idle Capacity
Dari seluruh industri pengolahan rumput laut yang disurvei, sebanyak 60%
perusahaan responden mengolah E. cottonii menjadi produk semi refined
carrageenan (SRC), refined carrageenan (RC), atau blended RC hydroalkaloid
sedangkan 40% lainntya merupakan industri yang mengolah rumput laut jenis
glacilaria sp menjadi produk agar-agar atau blended agar-agar hydroalkaloid.
Kapasitas produksi industri pengolahan rumput laut berdasarkan hasil survei
ditampilkan pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5. Kapasitas Produksi dan Gudang Industri Pengolahan Rumput Laut
No.
Jenis bahan baku
Kapasitas Produksi Gudang rumput laut (Ton)
Terpasang (ton RL/th)
Terpakai (%)
Kapasitas
Ton
Stock saat ini
Ton Periode
Rumput laut kering
l il i
Tepung Agar-agar
Blended Tepung
Agar-agar
Pasar ekspor
dan Industri
makanan dalam
i
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 23
1 E. Cottonii 2500 95 1000 5 bulan
2 E. Cottonii 3600 100 1000 3 bulan
3 E.Cottonii 6000 (1000
ton)
40 1000 1 bulan
4 Glacilaria sp 5000 80 2000 300 2 bulan
5 Glacilaria sp Agar 60/mg,
30000RL/th
100 1000 600 1 bulan
Sumber: hasil survei
Ket.: RL = rumput laut
Data ASTRULI menyebutkan bahwa kapasitas produksi riil anggotanya rata-
rata 60%. Jika dikombinasikan antara data hasil survey (Table 2.5) dengan data
ASTRULI, maka diperoleh kapasitas produksi riil industri pengolahan rumput laut
masing-masing 74% untuk jenis E. cottonii dan 80% untuk glacilaria, atau
masing-masing memiliki idle capacity 26% dan 20%. Idle capacity industri
pengolahan diakibatkan oleh harga bahan baku rumput laut yang mahal dan
diikuti oleh kelangkaan barang. Idle capacity menyebabkan banyak kerugian
diantaranya seperti diuraikan yaitu:
a. Kerugian inefisiensi biaya pengolahan. Setiap pabrik harus mengeluarkan
biaya tetap untuk operasi pabrik yaitu depresiasi alat dan tenaga kerja tetap.
Modal investasi pabrik pengolahan minimal dengan kapasitas terpasang 1000
ton RC (atau 2-3 ton/hari) sekitar USD 4 juta (sekitar Rp 45 milyar) dengan
masa pakai (life time) 20 sampai 25 tahun. Beberapa alat (seperti tangki),
masa pakainya kurang dari 20 tahun, karena korosif oleh kandungan garam
rumput laut yang tinggi. Agar industri bisa survive, produksi RC minimal yang
dapat mencapai Break Even Point (BEP) adalah 700 ton/tahun Semakin
banyak yang diproduksi hingga mencapai kapasitas terpasang, maka biaya
tetap (biaya depresiasi serta biaya tenaga kerja tetap) semakin kecil untuk per
unit RC yang dihasilkan;
b. Kerugian hilang nilai tambah dari pengolahan rumput laut makin kecil;
c. Hilangnya kesempatan kerja pada industryi pengolahan.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 24
Bahan baku rumput laut semakin sulit didapatkan oleh industri pengolahan.
Dari hasil wawancara mendalam dengan pelaku usaha industri pengolahan
rumput laut pada saat survei diperoleh usulan terkait dengan rumput laut
Indonesia yaitu:
1. Pasar rumput laut Indonesia dinilai terlalu bebas berkompetisi dengan
eksportir. Pemerintah di Chile membatasi ekspor rumput laut hanya 20%
dari produksi.
2. Semua responden pengolahan rumput laut mendukung pengenaan bea
keluar (BK) ekspor rumput laut kering, meskipun beberapa industri
pengolahan tidak pernah kekurangan bahan baku dan berproduksi pada
optimum capacity (optimum capacity tidak selalu full capacity, karena selalu
ada mesin yang diservis). Sebagian responden berproduksi pada skala 40-
60% dari kapasitas terpasang, bahkan ada perusahaan yang tutup (PT
Seamatec), akibat kekurangan bahan baku rumput laut.
3. Adanya BK diharapkan harga bahan baku rumput laut kembali normal pada
kisaran setara harga beras (harga 1kg rumput laut kering = Rp 1kg beras) di
tingkat petani. Jika harga baku meningkat, maka harga produk SRC dan RS
di pasar dunia ikut meningkat. Dikhawatirkan jika harga RC dunia melebihi
batas psikologis (UDS 20/kg untuk RC atau USD 25/kg untuk agar-agar),
maka konsumen industri pengolahan pangan (jelly, sosis dll) akan
meninggalkan hydroalkaloid berbahan baku rumput laut, beralih pada bahan
substitusi yang lebih murah seperti kargan, gum (harga 10USD). Akibatnya
industri pengolahan akan bangkrut karena permintaan berkurang.
4. Dalam jangka pendek adanya BK akan meningkatkan harga ekspor,
selanjutnya menurunkan permintaan, dan terjadi over suplay dalam negeri
Namun, dalam jangka panjang akan mendorong pengembangkan industri
pengolahan dalam negeri (baik PMDM maupun PMA), sehingga harga akan
normal kembali. Nantinya ijin pendirian pabrik pengolahan baru perlu
disesuaikan dengan potensi bahan baku.
5. Pengenaan BK sebaiknya tidak disamaratakan untuk semua jenis rumput
laut.
- Alginat (sargassum sp): belum ada industri pengolahan Alginat
(sargassum sp)di dalam negeri, sehingga tetap harus bisa diekspor.
Pengenaan BK pada sargasum sp justru merugikan petani.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 25
- E Cottoni: kebutuhan industri pengolahan tinggi diikuti oleh ekspor yang
juga tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dalam negeri, maka
e cottoni perlu BK yang relatif tinggi.
- Glaciarilla: ekspor relatif sedikit dibandingkan E cottonii sehingga BK
sebaiknya lebih rendah.
6. Besarnya BK bahan baku rumput laut yang diusulkan antara 7% sampai
15%. Nilai tersebut setara dengan perbedaan harga jual SRC dan RC dari
RTT yang lebih murah USD 2 (sekitar 15%-20% lebih murah) dibandingkan
harga jual produksi lokal. Sedangkan komponen biaya produksi SRC/RC,
bahan baku rumput laut berkontribusi 60% (sebelum listrik dan bahan kimia
naik, kontribusinya mencapai 65% sampai 75%)
7. Penetapan BK ekspor rumput laut dikhawatirkan berdampak pada
penurunan harga dan akan menekan harga rumput laut ditingkat petani.
Harga rumput laut basah di pantai saat ini Rp1400/kg. Pedagang perantara
mengambil margin antara 500-1000/kg. Kalau harga di pengumpul turun,
maka harga petani harus turun.
8. Jangka pendek penetapan BK tidak akan menurunkan permintaan rumput
laut oleh RRT. Investasi pabrik pengolahan yang telah ada di RRT harus
tetap beroperasi, sementara produksi rumput laut RRT dan kualitas makin
turun terutama RRT bagian utara makin dingin, basah dan polusi makin
tinggi. Sebaliknya, kebutuhan bahan baku industri pengolahan dalam negeri
bisa tercukupi sehingga berproduksi pada skala yang efisien untuk
berkompetisi dengan produk SRC/RC dari RRT akan sangat tepat.
9. Biaya BK rumput laut bisa dikompensasi dengan tax insentif yang diterima
pedagang RRT pada saat mengekspor produk olahannya. Eksportir SRC
dan RC dari RRT mendapat tax insentif (refund) antara 13-17%.
10. Penetapan BK rumput laut perlu memperhatikan harga negara pesaing. Chili
dulu mensuplai 80% kebutuhan rumput laut Jepang dan AS. Saat ini 30%
rumput laut RRT beli dari Tanzania.
Sementara dari hasil diskusi terbatas dengan Asosiasi Industri Rumput Laut
Indonesia diperoleh usulan terkait dengan pengembangan ekspor rumput laut
Indonesia yaitu:
1. Harus ada stimulus-stimulus perpajakan dari Pemerintah agar
merangsang industri rumput laut bersaing secara global contoh China
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 26
yang memberikan stimulus perpajakan berkenaan dengan impor
bahan baku.
2. Ekspor rumput laut mentah harus dibatasi tetapi tidak dihentikan.
Ekspor harus dilakukan setelah industri rumput laut nasional
menyerap kebutuhan produksinya dan kelebihannya baru diekspor,
maka ekspor sebaiknya hanya dapat dilakukan oleh pelaku industri
yang memang memiliki kelebihan bahan baku. Eksportir yang bukan
pelaku industri otomatis akan menjual rumput lautnya ke industri
dalam negeri.
3. Pemerintah harus membuat regulasi yang dapat merangsang
tumbuhnya iklim investasi oleh swasta pelaku bisnis rumput laut
(eksportir bahan baku).
4. Pemerintah menerapkan pengenaan bea keluar (BK) terhadap ekspor
bahan baku rumput laut. Namun, besaran tarif bea keluar sebaiknya
berbeda antara rumput laut budidaya dengan rumput laut alam. Selain
dari pada itu faktor daya serap industri dalam negeri terhadap jenis
rumput laut tertentu juga perlu dijadikan pertimbangan dalam
penetapan besarnya BK. Eucheuma cottonii : 20-25%
Eucheuma spinosum : 15-20%
Gracilaria : 30-40%
Gelidium capillacea kades : 50-60%
Gelidium indonesianum bludru : 80-100%
Sargassum : 20%
Ulva : 20%
Empat jenis Rumput Laut Alam (Gelidium capillacea kades, Gelidium
indonesianum bludru, Sargassum dan Ulva) perlu dilindungi demi
terjaganya lingkungan yang baik dan menjaga supaya tidak punah dari bumi
Indonesia. Khusus untuk jenis Gelidium kades dan bludru, disarankan
agar dilarang ekspor (dilindungi) atau setidaknya dikenakan BK yang jauh
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 27
lebih tinggi, agar tidak diambil secara sembarangan oleh pembeli dari luar
negeri yang sudah turun langsung ke lapangan. Kedua jenis Gelidium
tersebut sudah semakin berkurang dan sudah di indikasikan mulai ada
kerusakan lingkungan akibat pengambilan yang tidak teratur.
5. Pemerintah membuat tata niaga rumput laut yang menguntungkan
dan tidak saling merugikan bagi semua pelaku bisnis rumput laut di
Indonesia mulai dari petani, pedagang, eksportir dan industri.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 28
BAB III
METODOLOGI KAJIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam kajian terdiri dari data sekunder dan data
primer, baik dalam bentuk data kualitatif maupun data kuantitatif. Data
primer untuk menjawab tujuan pertama kajian yaitu Menganalisis idle
capacity industry pengolahan rumput laut dalam negeri akibat kurangnya
bahan baku. Data sekunder digunakan untuk menjawab tujuan kedua dan
ketiga kajian yaitu mengetahui perkembangan ekspor serta daya saing
rumput laut dan produk olahannya dan menyusun model permintaan
ekspor bahan baku rumput laut di negara tujuan utama. Sedangkan untuk
menetapkan nilai bea keluar (BK) optimum rumput laut yang merupakan
tujuan keempat digunakan kombinasi data primer dan sekunder. Data
primer yang diperlukan berupa kondisi internal dalam negeri yang terkait
dengan kapasitas terpasang industri pengolahan rumput laut, serta produk
olahan yang dihasilkan.
Data primer diperoleh dari survei lapang, wawancara dan FGD.
Survei lapang di Jawa Timur dan wawancara dengan para pelaku usaha
industri pengolahan rumput laut (sekaligus eksportir tepung agar-agar dan
karaginan) dilakukan pada bulan Agustus 2014. Focus Group Discussion
dilakukan pada bulan September 2014 dengan mengundang pengurus
dan anggota ASTRULI (Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia) dan
Kementerian birokrat dan akademisi. Data sekunder diperoleh dari BPS,
Word Bank, UN Comtrade, WITS, CEPii, serta sumber lain yang relevan.
3.2. Metode Analisis Analisis yang digunakan pada kajian ini adalah analisis deskriptif,
analisis daya saing dan analisis permintaan impor rumput laut
menggunakan gravity model.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 29
3.2.1. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif ditujukan untuk menjawab tujuan a (idle capacity)
dan tujuan b (perkembangan ekspor). Analisis deskriptif memaparkan
hasil temuan berupa data dan informasi produksi, ekspor dan industri
pengolahan rumput laut baik data kualitatif maupun data kuantitatif.
3.2.2. Analisis Daya Saing Perkembangan daya saing rumput laut dan produk olahannya di
negara tujuan (tujuan b), dianalisis menggunakan metode CMSA
(constant market share analysis). Metode CMSA menggunakan asumsi
bahwa pangsa pasar (market share) negara eksporir di pasar dunia, antar
waktu adalah konstan. Perbedaan pertumbuhan ekspor (perbedaan
antara pangsa pasar ekspor konstan dan pangsa pasar ekspor actual),
disebabkan oleh efek daya saing serta pertumbuhan aktual yang
bersumber dari efek komposisi produk yang diekspor, efek distribusi pasar
dan efek daya saing. Perubahan pangsa pasar ekspor merupakan salah
satu indikator daya saing yang dapat digunakan untuk mengukur
perubahan daya saing ekspor suatu negara di pasar dunia. Metode Analisis CMSA seperti yang dikembangkan oleh Learner dan Stern,
menggunakan tahapan berikut:
Vi = Nilai ekspor produk olahan rumput laut di periode 1
Vi = Nilai ekspor produk olahan rumput laut di periode 2
V.j = Nilai ekspor produk olahan rumput laut ke negara j di periode 1
V.j = Nilai ekspor produk olahan rumput laut ke negara j di periode 2
Vij = Nilai ekspor produk olahan rumput laut ke negara j di periode 1
r = Persentase peningkatan total ekspor dari periode 1 ke periode 2
ri = Persentase peningkatan ekspor produk rumput laut olahan dari periode
1 ke periode 2
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 30
rij = Persentase peningkatan ekspor produk olahan rumput laut ke negara j
dari periode 1 ke periode 2
Nilai ekspor produk olahan rumput laut di periode 1, yaitu :
==i
jijij
ij VVVV .. (3.1)
Ekspor produk olahan rumput laut di periode 1 dengan persamaan :
... VvVVj
ji j i
iij === (3.2)
Pada tahap pertama analisis, ekspor dianggap sebagai barang tunggal untuk
pasar tunggal, yang menunjukkan bahwa jika negara A mempertahankan pangsa
ekspor di pasar dunia, maka ekspor akan meningkat sebesar rV.., sehingga,
persamaannya menjadi:
..)..'..(....'.. rVVVrVVV += (3.3)
Persamaan 3.3, menunjukan bahwa pertumbuhan ekspor dari periode 1 ke
periode 2 (V..-V..) terdiri dari peningkatan secara umum ekspor dunia (rV..) dan
efek daya saing (V..-V..-rV..).
Tahap kedua, ekspor diasumsikan terdiri dari bermacam-macam komoditi
dan pasar, dan diklasifikasikan berdasarkan komoditi. Untuk komoditi i, analogi
persamaan dari persamaan 3.3 adalah:
.)'(' .. iiiiiiii VrVVVrVV += (3.4)
apabila digabungkan secara keseluruhan, maka didapat:
..'.. VV )'( ... iiij
ii
ii VrVVVr +=
.)'()( .. iiii
ii
ii VrVVVrrr ++=
= ..)'()()( .. iiii
iii
ii
i VrVVVrrrV ++ (3.5)
(1) (2) (3)
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 31
Persamaan 3.5 menunjukkan 2 tahapan analisis, dimana pertumbuhan
ekspor di negara A dibagi ke dalam komponen (1) pertumbuhan ekspor dunia, (2)
efek komposisi komoditas di negara A pada periode 1 dan (3) efek daya saing
yang mengindikasikan perbedaan antara peningkatan ekspor secara umum dan
peningkatan ekspor produk tertentu jika negara A mempertahankan pangsa
ekspornya untuk komoditi produk olahan rumput laut yang dianalisis
Dari persamaan 3.5, efek daya saing dirumuskan sebagai :
ii
i Vrr )( . (3.6)
Persamaan 3.6 menunjukkan bahwa jika ekspor produk olahan rumput
laut meningkat lebih besar dari peningkatan total ekspor, maka (ri-r) akan bernilai
positif. Persamaan 3.5 akan bernilai positif, jika negara A mengkonsentrasikan
ekspor komoditinya pada pasar yang mempunyai pertumbuhan relatif cepat dan
akan bernilai negatif jika negara A mengkonsentrasikan ekspor terhadap
komoditinya yang mempunyai pertumbuhan yang relatif lebih lambat daripada
nilai pertumbuhan ekspor didunia.
Dari ketiga tahap analisis, ekspor diklasifikasikan berdasarkan negara
tujuan, menggunakan persamaan 3.3 dan 3.4 yaitu:
)'(' ijijijijijijijij VrVVVrVV += (3.7)
Jika semua persamaan digabungkan secara keseluruhan, maka menjadi :
..'.. VV = )'( ijijiji j
ijiji j
ij VrVVVr +
= )'()( ijijiji j
ijijijii j
i VrVVVrrrrr +++
)'()( ijijiji j
ijijijijiijiiji j
ij VrVVVrVrVrrVrV +++=
= )'()()( ijiji j
ijijijii j
ijiji j
ii j
ij VrVVVrrVrrrV +++
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 32
= )'()(.)(. ijijiji j
ijijii j
ijii
ii
i VrVVVrrVrrrV +++
= (rV..)+ ijijiji j
ijijii j
ijii
i VrVVVrrVrr ++ '()(.)( (3.8)
(1) (2) (3) (4)
Persamaan 3.8 menunjukan 3 tingkatan analisis dimana pertumbuhan
ekspor di negara A dibagi kedalam komponen: (1) pertumbuhan ekspor dunia, (2)
efek komposisi komoditas, (3) efek distribusi pasar dan (4) efek daya saing.
3.2.3. Analisis Permintaan Ekspor Analisis ini ditujukan untuk menjawab tujuan c (model permintaan
ekspor) serta tujuan d (simulasi model permintaan). Model permintaan
ekspor rumput laut merujuk pada teori mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi permintaan ekspor, diantaranya adalah harga barang,
pendapatan, nilai tukar dan biaya transport (Ito dan Umemoto, 2004;
Astiyah dan Setyawan, 2005; Panjaitan, 2011). Nilai tukar riil digunakan
sebagai proksi daya saing produk ekspor dengan mitra dagang.
Permintaan ekspor rumput laut dipengaruhi oleh harga serta faktor lain
yang relevan. Faktor lain yang relevan juga dimasukan dalam model.
Ekspor rumput laut merupakan perdagangan antar negara, sehingga GDP
negara tujuan, nilai tukar dan jarak ke negara tujuan ekspor diduga ikut
mempengaruhi permintaan, seperti yang telah dibuktikan oleh hasil
penelitian sebelumnya seperti Wirawan (2007) dan Rajagukguk (2009)
yang meneliti ekspor rumput laut ke Jepang; Risman (2007) yang
mengkaji ekspor rumput laut ke Hongkong dan Sitinjak (2012) yang
meneliti ekspor rumput laut ke lima negera tujuan utama.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 33
GDP (Gross Domestic Product) menggambarkan kemampuan
masyarakat suatu negara untuk membeli barang-barang impor. Besarnya
permintaan ekspor tergantung dari tingkat pendapatan negara. Wirawan
(2007) dan Rajagukguk (2009) dalam kajiannya tentang ekspor rumput
laut ke Jepang, serta Sitinjak (2012) membuktikan bahwa GDP
berpengaruh positif terhadap permintaan rumput laut. Semakin tinggi
tingkat GDP suatu negara maka permintaan akan impor rumput laut akan
semakin meningkat. Lebih lanjut, perdagangan antar negera (ekspor dan
impor) melibatkan mata uang yang berbeda. Menurut Mankiw (2003) nilai
tukar berpengaruh pada perdagangan antar negara. Beberapa penelitian
seperti Risman (2007), Rajagukguk (2009), Sitinjak (2012) dan Sulastry
(2011) mengungkapkan bahwa nilai tukar berpengaruh signifikan terhadap
ekspor rumput laut. Oleh karena itu faktor nilai tukar juga dimasukkan
dalam model penduga permintaan ekspor rumput laut.
Faktor jarak antar negara merefleksikan biaya transportasi yang
dibutuhkan dalam perdagangan antar negara. Makin jauh jarak antar
negara maka biaya transportasi akan semakin besar sehingga
meningkatkan harga CIF (Cost Insurance Freight) di Negara tujuan. Dalam
teori gravitasi, daya tarik antar dua benda berbanding terbalik dengan
jarak. Semakin dekat jarak kedua benda, maka daya tariknya semakin
kuat. Teori gravitasi tersebut diadopsi untuk menjelaskan intensitas
permintaan ekspor. Makin dekat jarak ke negara tujuan ekspor maka biaya
CIF makin kecil, sehingga semakin tinggi permintaan ekspor. Namun
faktor jarak perlu dibobot dengan menggunakan GDP, menjadi jarak
ekonomi (eco-distance) untuk mengakomodasi faktor daya daya beli
masyarakat yang juga mempengaruhi permintaan ekspor.
Berdasarkan teori dan mengacu pada penelitian-penelitian
sebeumnya maka model permintaan ekspor rumput laut adalah sebagai
berikut:
ln Xit = o + 1 ln Pit + 2 ln GDPit + 3 ln ERit + 4 ln ECODjt + uj (3.9) dimana:
ijX = volume ekspor rumput laut ke negara j (kg)
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 34
Pi = Harga ekspor rumput laut (Ribu US $/Kg)
jGDP = Tingkat perekonomian antar negara (PPP, US$)
jER = Nilai tukar mata uang negara mitra dagang (Mata Uang
Nasional/US$)
ijECOD = Jarak ekonomi antara kedua negara
iju = error term
Adapun rumus untuk jarak ekonomi adalah
ijECOD = ( ) kawasanjij
GDPGDPDIS
(3.10)
dimana:
ijDIS = Jarak ibu kota negara i dengan ibu kota negara j (km)
kawasanGDP = Jumlah GDP kawasan pasar
Estimasi model permintaan menggunakan panel data karena dapat
memberikan informasi yang lebih akurat mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi permintaan. Terdapat dua pendekatan dalam metode data panel,
yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Keduanya
dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error
dengan peubah bebas. Misalkan:
it i it ity X = + + (3.11)
Pada one way, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk:
it i itu = + (3.12)
Untuk two way, komponen error dispesifikasi dalam bentuk:
it i i itu = + + (3.13)
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 35
Pada pendekatan one way komponen error hanya memasukkan komponen
error yang merupakan efek dari individu (i). Pada two way telah memasukkan
efek dari waktu (t) ke dalam komponen error. uit diasumsikan tidak berkorelasi
dangan Xit. Jadi perbedaan antara FEM dan REM terletak pada ada atau
tidaknya korelasi antara i dan t dengan Xit.
FEM muncul ketika antara efek individu dan periode memiliki korelasi
dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat
komponen error dari efek individu dan waktu menjadi bagian dari intersep, yaitu:
Untuk one way komponen error: yit = i + i + Xit + uit
Untuk two way error component: yit = i + i + i + Xit + uit
Penduga pada FEM dihitung dengan empat teknik sebagai berikut Pooled
Least Square (PLS), Within Group (WG), Least Square Dummy Variable (LSDV),
Two Way Error Components Fixed Effect Model.
REM muncul ketika antara efek individu dan periode tidak berkorelasi
dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya acak. Asumsi ini membuat komponen
error dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam error, dimana:
Untuk one way error component: yit = i + Xit + uit+ i
Untuk two way error component: yit = i + Xit + uit+ i + i
Terdapat dua jenis pendekatan dalam REM, yaitu: Pendekatan Between
Estimator, dan Generalized Least Square (GLS).
Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu
dilakukan berdasarkan pertimbangan statistik.
FIXED EFFECT
RANDOM
EFFECT
POOLED
LEAST
Hausman
LM Test
Chow Test
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 36
Gambar 3.1. Pengujian Pemilihan Model Dalam Pengolahan Data Panel
Selanjutnya untuk menghasilkan model yang efisien, tidak bias, dan
konsisten, maka perlu dilakukan pendeteksian terhadap pelanggaran atau
gangguan asumsi dasar model ekonometrika, yang antara lain berupa gangguan
antar waktu (time-related disturbance), gangguan antar individu atau dalam
kasus ini pasangan negara (cross sectional disturbance), dan gangguan akibat
keduanya. Pengevaluasian yang dilakukan menyangkut uji Multikolinearitas,
Autokorelasi, dan Heteroskedastisitas.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 37
Tabel 3.1. Metode Analisis, Data dan Sumber Data
No Tujuan kajian Metode analisis Data Sumber Output
1. Menganalisis idle capacity industry
pengolahan rumput laut dalam negeri
Deskriptif Data primer FGD, Survey
dan wawancara
Tambahan baku
rumput laut yang
dibutuhkan industri
2. Menganalisis perkembangan ekspor
serta daya saing rumput laut dan
produk olahannya di negara tujuan
Deskriptif
CMSA
Data sekunder BPS,
UNCOMTRADE
Produk-produk olahan
rumput laut yang
potensial di ekspor
3. Menyusun model permintaan ekspor
bahan baku rumput laut di negara
tujuan utama
Model permintaan
ekspor dengn
pendekatan gravity
Data sekunder UNComtrade
World Bank
Cepii
WITS
Elastisitas permintaan
rumput laut terhadap
harga ekspor
4. Menetapkan nilai bea keluar optimum Simulasi model
dengan shock harga
untuk mengurangi
ekspor
Data sekunder
dan primer
FGD, Survey
UNComtrade
BK rumput laut
optimum
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Perkembangan Ekspor Bahan Baku Rumput Laut ke Negara Tujuan Utama
Indonesia merupakan eksportir rumput laut terbesar dunia. Pada tahun 2010,
rumput laut Indonesia menguasai 22,3% pasar dunia, dan tahun 2013 pangsanya
meningkat menjadi 23,5% (Gambar 4.1). Peningkatan pangsa pasar menunjukkan
bahwa semakin banyak bahan baku rumput laut yang diekspor, sehingga
mengurangi persediaan bahan baku untuk kebutuhan industri pengolahan dalam
negeri.
Gambar 4.1. Pangsa Pasar Negara Eksportir Rumput Laut Dunia
Sumber: WITS (2014), diolah
Untuk keperluan analisis, tim kajian membagi produk rumput laut ke dalam dua
kelompok produk, yaitu kelompok rumput laut yang masuk ke dalam kategori raw
material dengan kode HS: 1212201100; 121220900; 1212202000 dan 1212209000
dan produk rumput laut olahan dengan kode HS 1302310000 dan 1302391000.
Pengelompokan ini dibuat untuk memudahkan dalam menganalisis perkembangan
kinerja ekspor rumput laut (Tabel 4.1).
Indonesia22,3%
Chile11,7%
Korea Selatan15,9%
China23,3%
Peru2,4%
Lainnya24,3%
2010
Indonesia23,5%
Chile21%
Korea Selatan20%
China10%
Peru5%
Lainnya21%
2013
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 39
Tabel 4.1. Kode Tarif dan Uraian Barang Rumput Laut dan Olahannya
Sumber: Kementerian Keuangan, 2007
Jika dilihat dari nilainya, ekspor rumput laut Indonesia didominasi oleh ekspor
bahan baku rumput laut. Ekspor rumput laut dalam bentuk raw material selama
tahun 2013 mencapai USD 162,5 juta dengan pangsa 77,5% dari total ekspor
rumput laut Indonesia. Sementara itu, ekspor rumput laut olahan pada periode yang
sama hanya mencapai USD 47,1 juta dengan pangsa 22,5% dari total ekspor
rumput laut. Pada periode Januari-Juli 2014 ekspor rumput laut Indonesia mencapai
USD 119,2 juta, naik 44,9% YoY, sementara ekspor rumput laut olahan yang terdiri
dari agar-agar dan karaginan masing-masing mencapai USD 8.5 juta (naik 16,2%
YoY) dan USD 21,7 juta (naik 11,4% YoY). Ekspor bahan baku rumput laut
Indonesia selama periode 2009-2013 berfluktuasi antara USD 87,8 juta hingga USD
162,5 juta per tahun, meskipun secara keseluruhan tumbuh rata-rata 12,95% per
tahun. Pada tahun 2012 ekspor rumput laut mengalami penurunan sebesar 14,87%
dibandingkan tahun sebelumnya (Tabel 4.2).
Tabel 4.2. Nilai Ekspor Rumput Laut dan Olahannya Tahun 2009-2014
KELOMPOK PRODUK HS URAIAN
1212201100Rumput laut & alga lainnya, segar, dingin/kering dari jenis yang digunakan utk farmasi
1212201900Rumput laut & alga lainnya, segar, dingin/kering, digunakan utk pencelupan, penyamakan, wewangian
1212202000Rumput laut & alga lainnya, segar, dingin/kering, tidak untuk konsumsi manusia
1212209000Rumput laut & alga lainnya, segar, dingin/kering, terutama untuk konsumsi manusia
1302310000 Agar-agar1302391000 Karaginan
Rumput Laut (Raw Material)
Olahan Rumput Laut
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 40
Sumber: Badan Pusat Statistik (2014), diolah
Penurunan nilai ekspor rumput laut yang terjadi pada tahun 2012, disebabkan
oleh penurunan harga rumput laut. Meskipun volume ekspor meningkat, namun
harga mengalami penurunan sebesar 14,9% sehingga nilai ekspor mengalami
penurunan. Informasi yang diperoleh dari responden, harga rumput laut tahun 2012
mengalami penurunan hingga dibawah Rp 10.000,-/kg. Kemudian tahun 2013
sampai saat ini harga terus mengalami peningkatan. Hal tersebut terlihat dari
perkembangan unit nilai ekspor rumput laut selama 2009-2013 (Gambar 4.2).
Gambar 4.2. Unit Nilai Ekspor Rumput Laut 2009-2013
Sumber: Badan Pusat Statistik (2014), diolah
Lebih lanjut, sepuluh negara tujuan utama ekspor bahan baku rumput laut
Indonesia adalah RRT, Filipina, Chili, Korea Selatan, Amerika Serikat, Hongkong,
Vietnam, Perancis, Denmark, Inggris dan Denmark. Nilai ekspor rumput laut ke 10
negara tujuan tersebut mencapai 96,5% dari total ekspor rumput laut Indonesia,
dimana 72,8% diantaranya ditujukan ke RRT (Tabel 4.3). Seperti dijelaskan pada
Bab 2, bahwa pelaku industri pengolahan rumput laut Indonesia berkompetisi
dengan pedagang eksportir ke China dalam mendapatkan bahan baku rumput laut.
Ekspor rumput laut dalam bentuk raw material ke RRT terus mengalami peningkatan
2013 2014 14/13 09-13 2013Total 104.8 155.4 182.3 177.9 209.5 109.0 149.4 37.01 16.44 100.0
Rumput laut 87.8 135.9 157.6 134.2 162.5 82.2 119.2 44.94 12.95 77.5 Agar-agar 10.3 10.7 12.6 12.9 13.1 7.3 8.5 16.19 6.84 6.2 Karaginan 6.7 8.7 12.1 30.9 34.0 19.5 21.7 11.39 57.13 16.2
URAIANNILAI : JUTA US$
Perub (%) Trend (%) Pangsa (%)2009 2010 2011 2012 2013
JAN-JUL
0.93
1.10
0.99
0.80
0.92
2009
2010
2011
2012
2013
USD/Kg
54.9
15.9
(14.9)
21.1
Pertumbuhan (%)
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 41
seperti ditunjukkan pada Tabel 4.3. Selama periode 2009-2013, ekspor rumput laut
ke China meningkat rata-rata 29,43% per tahun. Dari sepuluh negara tujuan ekspor
bahan baku, ada beberapa pasar tujuan ekspor yang peningkatan ekspornya tahun
2014 sangat besar dibandingkan tahun sebelumnya yaitu Korea Selatan (291,95%),
Amerika Serikat (245,86%), Vietnam (132,65%) dan Chile (55,56%).
Tabel 4.3. Nilai Ekspor Rumput Laut ke Negara Tujuan Ekspor Utama, Tahun 2009-2014
Sumber: Badan Pusat Statistik (2014), diolah
Beberapa Negara importer rumput laut dari Indonesia, seperti Filipina dan Chile
juga merupakan produsen rumput laut dunia. Namun faktor alam seringkali
menyebabkan produksi rumput laut di negara-negara tersebut mengalami
kegagalan, sehingga harus mengimpor dari Indonesia untuk memenuhi kebutuhan
bahan baku industri pengolahan di negara tersebut. Badai Taifun di Filipina, atau El
Nino di Chili, merupakan contoh kasus gangguan alam yang menyebabkan gagal
panen rumput laut. Fenomena gagal panen ini juga yang menjadikan harga rumput
laut sering mengalami peningkatan tajam.
4.2. Perkembangan Ekspor Produk Olahan Rumput Laut ke Negara Tujuan Utama Indonesia menduduki peringkat ke-7 negara eksportir produk olahan rumput laut
dunia, sementara China menduduki urutan pertama sebagai eksportir produk olahan
rumput laut terbesar di dunia (Gambar 4.3). Seperti ditunjukkan pada Tabel 4.3,
China merupakan negara tujuan ekspor utama rumput laut (raw material) dari
Indonesia, dan Indonesia merupakan eksportir rumput laut raw material terbesar
2013 2014 14/13 09-13TOTAL 87.8 135.9 157.6 134.2 162.5 82.2 119.2 44.94 12.95
RRT 39.0 70.3 86.4 90.4 125.0 61.8 86.7 40.34 29.43Pilipina 7.7 16.7 12.3 12.3 10.9 6.1 7.3 19.51 3.79Chili 2.7 6.1 5.4 5.8 7.6 4.2 6.5 55.56 22.26Korea Selatan 5.6 4.0 9.3 5.6 4.0 1.2 4.6 291.95 -3.49Amerika Serikat 3.0 4.5 4.6 2.5 1.6 0.8 2.7 245.86 -17.34Hongkong 0.8 2.0 2.8 2.2 2.8 1.9 2.1 10.03 28.81Vietnam 7.1 10.5 12.3 5.0 1.2 0.7 1.7 132.65 -34.56Perancis 3.0 2.6 3.3 1.0 2.3 1.1 1.7 48.11 -13.50Inggris 5.6 4.3 2.7 2.1 1.0 0.7 1.0 46.87 -33.90Denmark 0.4 1.4 0.4 0.7 1.6 1.0 0.7 -23.26 21.32
Lainnya 12.6 13.6 18.2 6.5 4.5 2.8 4.1 49.04 -24.49
RUMPUT LAUT
2012 2013JAN-JUL
2009 2010 2011
NILAI : JUTA US$Perub (%) Trend (%)
NEGARA TUJUANURAIAN
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 42
dunia (Gambar 4.1). Fenomena tersebut menunjukkan bahwa nilai tambah
pengolahan rumput laut di Indonesia masih relatif kecil, kekayaan alam Indonesia
yang dapat menghasilkan rumput laut dengan kualitas yang baik dan jumlah yang
banyak sebagian besar justru dinikmati oleh negara lain. Indonesia mengimpor
sebanyak 170 ribu ton carrageenan dari China dan impor agar-agar masing-masing
sebesar 186,2 ribu ton dan 139,8 ribu ton agar-agar pada tahun 2013 dari Malaysia
dan China. Indonesia yang merupakan salah satu produsen rumput laut dunia,
justru harus mengimpor rumput laut dalam bentuk olahan untuk memenuhi
kebutuhan domestik. Oleh karena itu, Indonesia seharusnya melihat peluang untuk
mengembangkan industri pengolahan rumput laut nasional sehingga nilai tambah
dapat dinikmati di dalam negeri.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 43
2010 2013
Gambar 4.3. Negara Eksportir produk olahan rumput laut dunia
Produk olahan rumput laut utama yang diekspor Indonesia adalah tepung agar-
agar (HS 130231) dari bahan baku rumput laut Glacilaria sp., dan tepung
carrageenan (HS 130239) dari bahan baku rumput laut E. Cottonii. Produk olahan
tersebut diekspor dalam bentuk murni maupun produk blended/formulasi untuk
kebutuhan industri tertentu. Pada Gambar 4.4 ditunjukkan bahwa dalam lima tahun
terakhir (2009-2013), ekspor tepung agar-agar selalu meningkat dengan
peningkatan rata-rata 6,8% per tahun. Pada tahun 2013, ekspor tepung agar
Indonesia mencapai USD 13,1 juta, naik 1,7% YoY. Sementara itu, selama Januari-
Juli 2014, ekspor tepung agar mencapai USD 8,5 juta, naik 16,2% YoY.
Gambar 4.4. Perkembangan ekspor tepung agar-agar (HS 130231)
29.2%; China
10.5%; Chile
7.7%; Spain
8.5%; France
8.6%; US
7.6%; Germany
2.3%; Indonesia
3.7%; Korea
4.9%; Belgium
3.0%; UK13.8%; Others 36.7%;
China
9.9%; Chile
8.0%; Spain
7.5%; France
7.4%;US
7.0%; Germany
4.1%; Indonesia
3.6%; Korea
3.4%; Belgium
2.7%; UK 9.7%; Others
10.3 10.7
12.6 12.9 13.1
7.3 8.5
1.8 1.7 1.9 1.3 1.1 0.6 0.6
5.76.2
6.7
10.0 12.4
12.2
15.3
-
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
14.0
16.0
18.0
-
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
14.0
16.0
2009 2010 2011 2012 2013 Jan-Jul 2013 Jan-Jul 2014
Ribu TonUSD JutaNilai Volume Unit Value (USD/Kg)
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 44
Tabel 4.4 menunjukkan negara tujuan utama ekspor utama tepung agar
Indonesia. Italia, Amerika Serikat dan Jepang merupakan negara tujuan ekspor
utama ekspor tepung agar-agar Indonesia. Salah satu penyebab tingginya ekspor
tepung agar-agar ke Italia, adalah banyaknya investasi asing terutama dari Italia
yang mendirikan pabrik-pabrik untuk industri pengolahan rumput laut menjadi tepung
agar di Indonesia.
Tabel 4.4. Negara Tujuan Ekspor Tepung Tepung Agar-Agar (HS 130231) Periode 2013-2014 (Jan-Jul)
Sumber : BPS (diolah)
Nilai ekspor carrageenan hampir tiga kali lebih besar dibandingkan dengan
ekspor agar-agar (Gambar 4.5). Ekspor carrageenan selama 5 tahun terakhir (2009-
2013) menunjukkan peningkatan yang cepat yaitu sebesar 57,1% per tahun, relatif
lebih cepat jika dibandingkan dengan pertumbuhan eskpor tepung agar.
Peningkatan nilai ekspor signifikan terjadi pada tahun 2012 yang dipicu oleh
peningkatan volume ekspor yang cukup signifikan sebesar 266,7% YoY. Selama
2013, ekspor carrageenan mencapai USD 34,0 juta, naik 10,0% YoY, sementara
nilai ekspornya pada periode Januari-Juli 2014 mencapai USD 21,7 juta, naik 11,4%
YoY.
2013 2014 14/13 09-13 2013 2014 14/13 09-13
Total 13.1 7.3 8.5 16.2 6.8 1.1 0.6 0.6 (7.0) (12.6) 1 Italia 4.7 2.2 2.7 22.8 63.1 0.2 0.1 0.1 6.0 37.3 2 Jepang 2.2 1.6 1.8 16.7 7.3 0.1 0.1 0.1 (16.8) 6.0 3 USA 2.4 1.5 1.4 (6.2) 10.3 0.1 0.1 0.1 (29.2) (6.3) 4 Spanyol 0.5 0.3 0.7 188.9 30.6 0.0 0.0 0.0 119.6 10.0 5 Belgium 0.3 0.3 0.7 166.0 - 0.0 0.0 0.0 100.1 - 6 Malaysia 0.4 0.2 0.3 23.9 11.9 0.1 0.0 0.0 75.4 (3.6) 7 Russia Federation 0.6 0.3 0.2 (38.6) - 0.0 0.0 0.0 (45.5) - 8 UK - - 0.1 - - - - 0.0 - - 9 Singapura 0.2 0.1 0.1 (3.8) 0.8 0.1 0.1 0.1 (19.3) (11.4) 10 Jerman 0.3 0.1 0.1 (18.2) (18.8) 0.0 0.0 0.0 (43.0) (32.7)
Lainnya 1.4 0.7 0.3 (58.4) (21.1) 0.2 0.1 0.1 (25.8) (27.2)
Perub (%) Trend (%)2013
JAN-JULNo. NEGARA TUJUANNILAI (USD Juta)
Perub (%) Trend (%)BERAT (Ribu Ton)
2013JAN-JUL
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 45
Gambar 4.5. Perkembangan ekspor tepung carageenan (HS 130239)
Negara tujuan utama ekspor carrageenan adalah negara-negara di kawasan
Eropa seperti Jerman, Denmark dan Inggris dengan pangsa masing-masing sebesar
26,4%; 18,1% dan 9,9%. Negara-negara yang merupakan pasar tradisional ekspor
Indonesia seperti Amerika Serikat dan Jepang juga menjadi negara tujuan ekspor
utama carrageenan Indonesia dengan pangsa masing-masing sebesar 12,9% dan
7,5% (Tabel 4.5).
Tabel 4.5. Negara Tujuan Ekspor Tepung Carrageenan (HS 130239) Periode
2013-2014 (Jan-Jul)
Sumber : BPS (diolah) Banyaknya ekspor produk carrageenan Indonesia ke negara-negara maju
kawasan Eropa menunjukkan bahwa kualitas produk Indonesia memiliki kualitas
6.7 8.7
12.1
30.9 34.0
19.5 21.7
0.8 0.9 1.2
4.4 4.8
2.8 2.7
8.7
9.310.0
7.0
7.1
6.98.2
-
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
-
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
40.0
2009 2010 2011 2012 2013 Jan-Jul 2013 Jan-Jul 2014
Ribu TonUSD JutaNilai Volume Unit Value (USD/Kg)
2013 2014 14/13 09-13 2013 2014 14/13 09-13Total 34.0 19.5 21.7 11.4 57.1 4.8 2.8 2.7 (5.5) 68.3
1 GERMANY 9.0 5.5 6.8 22.6 - 1.5 0.9 0.9 (1.8) - 2 UNITED STATES 4.4 2.3 3.4 44.8 119.7 0.7 0.4 0.4 12.8 130.8 3 DENMARK 6.2 3.7 3.1 (15.7) 15.7 0.7 0.4 0.3 (27.1) 10.2 4 UNITED KINGDOM 3.4 1.2 1.8 46.8 - 0.5 0.2 0.3 23.3 - 5 JAPAN 2.6 1.4 1.8 23.1 18.9 0.2 0.1 0.1 24.9 19.8 6 FRANCE 3.0 2.1 1.4 (31.9) - 0.5 0.3 0.2 (43.9) - 7 BRAZIL 1.5 0.8 1.0 19.2 103.1 0.2 0.1 0.1 (8.9) 112.6 8 RUSSIAN 0.9 0.4 0.5 29.1 66.8 0.1 0.1 0.1 1.5 71.0 9 ITALY 0.7 0.3 0.4 24.4 47.5 0.1 0.0 0.0 5.5 40.4
10 THAILAND 0.2 0.1 0.3 125.4 - 0.0 0.0 0.0 95.0 - Lainnya 2.3 1.5 1.3 (14.1) - 0.3 0.2 0.2 (9.6) -
Perub (%) Trend (%)2013
JAN-JULNo NEGARA TUJUANNILAI (USD Juta) Perub (%) Trend (%) BERAT (Ribu Ton)
2013JAN-JUL
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 46
yang baik. Kualitas produk carrageenan Indonesia yang baik juga diakui oleh industri
pengolahan dalam negeri yang melakukan blended (formulasi). Responden dari
beberapa perusahaan pengolahan carrageenan yang melakukan blended, pernah
menguji kualitas carrageenan dalam negeri dengan membandingkannya dengan
produk impor dan hasilnya produk dalam negeri lebih baik jika dibandingkan dengan
produk impor sebagai contoh produk impor dari China. Namun demikian dari sisi
harga, produk carrageenan dalam negeri masih belum mampu bersaing dari harga
produk impor yang harganya jauh lebih murah.
4.3. Perkembangan Daya Saing Produk Olahan Rumput Laut Di Negara Tujuan Perkembangan daya saing ekspor produk olahan di Negara tujuan, diukur dengan
metode Constant Market Share Analysis (CMSA). Disamping daya saing, dari perhitungan
dengan metode CMSA, juga diperoleh informasi mengenai kontribusi komposisi komoditi
ekspor dan pertumbuhan ekspor. Dari sisi permintaan dihitung efek pangsa makro
(pertumbuhan impor) dan pangsa mikro (efek komposisi komoditi), sedangkan dari sisi
suplai ditunjukkan efek daya saing.
Produk olahan rumput laut yang dianalisis adalah produk olahan utama yang diekspor
yaitu tepung agar-agar (HS 130231) dan carrageenan (HS 130239). Sedangkan negara
tujuan ekspor yang dipilih adalah negara-negara yang mewakili 5 negara terbesar tujuan
ekspor Indonesia, dan 5 negara terbesar importir utama dunia masing-masing untuk
komoditi tepung agar-agar dan tepung carrageenan (Table 4.6). Namun demikian, untuk
negara Italia tidak dapat dihitung dan dianaliis daya saingnya karena tidak tersedia data
impor Italia dari dunia, meskipun Italia masuk dalam 5 besar negara tujuan ekspor agar-agar
Indonesia.
Tabel 4.6. Lima Negara Tujuan Ekspor Utama dan Importir Utama Produk Rumput Laut Olahan Dunia
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 47
Ket: *) 5 terbesar di masing-masing kolom Sumber : BPS (diolah) Periode analisis dibagi menjadi dua periode, yaitu periode tahun 2009-2011 dan periode
2011-2013. Pembagian dua periode ini untuk melihat perkembangan daya saing dari satu
periode ke periode berikutnya. Tahun 2011 dipilih menjadi tahun transisi, dengan harapan
dapat menangkap dan menggambarkan perubahan yang terjadi pasca perlambatan
ekonomi dunia di tahun 2012. Dugaan sementara yang digunakan adalah perlambatan
ekonomi dunia berpengaruh pada perkembangan ekspor. Perlambatan ekonomi dunia
akibat krisis akan menurunkan permintaan negara importir yang selanjutnya akan
menurunkan ekspor Indonesia.
Secara keseluruhan, ekspor carrageenan dan agar-agar ke negara tujuan utama,
memiliki total perubahan ekspor yang positif, baik pada periode analisis 2009-2011 maupun
periode 2011-2013. Namun perubahan ekspor yang positif ini lebih dominan disebabkan
oleh efek perdagangan dunia yang seluruhnya juga bernilai positif. Jika dirinci berdasarkan
indikator CMSA, tiap komoditi di masing-masing pasar memiliki efek pertumbuhan impor,
efek komposisi komoditi dan efek daya saing yang berbeda-beda. Pada periode 2009-2011
peningkatan ekspor carrageenan dan agar-agar ke semua pasar disebabkan oleh efek
perdagangan dunia. Pada periode tersebut hanya efek distribusi pasar Jepang yang
menyumbang peningkatan ekspor carrageenan. Sedangkan daya saing di semua pasar
pada periode 2009-2011 semuanya menunjukkan nilai negatif yang memiliki arti bahwa daya
saing menurun. Sementara itu, pada periode 2011-2013, daya saing produk carrageenan
Indonesia meningkat hampir di semua pasar, kecuali di Denmark (Tabel 7). Pesaing utama
produk carrageenan Indonesia dipasar dunia adalah China. Namun berdasarkan hasil
indepth interview didaptkan informasi bahwa produk carrageenan dari Indonesia kualitasnya
lebih baik dibandingkan dengan China, walaupun masih kalah bersaing dari segi harga.
Ekspor Indonesia
Impor dari dunia
Ekspor Indonesia
Impor dari dunia
Italia 4716* Nn Tidak dianalisisJepang 2,180* 46,674* 2,941* 27,537Amerika Serikat 2,413* 32'112* 4,386* 99,280*Germany 13,672* 8,979* 115,296*Belgium 259* 2,834 54,185*Spanyol 527* 11,786*Denmark 6,164* 58,096*United Kingdom 3,367* 37,410Mexico 47,692*
Thailand 169 10,119* Nn 24,174 Tidak dianalisis
Nama Perusahaan
Agar-agar (USD Ribu) Carageenan (USD Ribu)Ket.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 48
Disamping itu, kemampuan industri pengolahan dalam membuat produk-produk formulasi
(blended) untuk memenuhi kebutuhan atau pemesanan tertentu tidak kalah jika
dibandingkan dengan China dan menjadi keunggulan dari produk carrageenan Indonesia
(Tabel 4.7).
Tabel 4.7. CMSA Carrageenan
Sumber : Hasil Analisis
Sementara itu, daya saing produk agar-agar pada periode 2009-2011 juga
menunjukkan nilai yang negatif sama halnya dengan daya saing produk carrageenan.
Peningkatan daya saing terjadi pada periode 2011-2013, di pasar Jerman dan Belgia (Tabel
4.8). Peningkatan daya saing agar-agar terebut juga didukung oleh kemampuan industri
untuk membuat formulasi melakukan blended untuk kebutuhan industri tertentu.
Tabel 4. 8. CMSA Agar-agar
Efek Perdagangan
Dunia
Efek Komposisi Komoditas
Efek Distribusi
Pasar
Efek Daya Saing
E1 E2 E3 E4
Jepang 135,399.0 (5,140.0) 52,763.0 (78,881.0) 104,142.0 Amerika Serikat 135,399.0 (419.0) (485.0) (1,806.0) 132,690.0 Jerman 135,399.0 (507.0) 212.0 (3,158.0) 131,946.0 Belgia 135,399.0 (724.0) (231.0) (3,975.0) 130,469.0 Spanyol 135,399.0 (648.0) (727.0) (3,035.0) 130,989.0 Denmark 135,399.0 (9,033.0) (12,928.0) (34,406.0) 79,032.0 Inggris 135,399.0 - - - 135,399.0 Meksiko 135,399.0 - - - 135,399.0
Jepang 143,014.0 (3,017.0) (100,923.0) 60,931.0 100,006.0 Amerika Serikat 143,014.0 (113.0) (1,698.0) 4,472.0 145,676.0 Jerman 143,014.0 - - 8,979.0 151,993.0 Belgia 143,014.0 - - - 143,014.0 Spanyol 143,014.0 - - - 143,014.0 Denmark 143,014.0 (4,142.0) 17,797.0 (70,576.0) 86,093.0 Inggris 143,014.0 - - 3,367.0 146,381.0 Meksiko 143,014.0 - - 93.0 143,107.0
Karagenan Total Perubahan
2009-2011
2011-2013
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 49
Sumber : Hasil Analisis
4.4. Penetapan Bea Keluar Untuk Mengurangi Ekspor Rumput Laut (Raw material) 4.4.1. Karakteristik Ekonomi Negara Tujuan Ekspor Bahan Baku Rumput Laut
Karakteristik ekonomi Negara tujuan ekspor rumput laut yang akan dibahas
adalah meliputi karakteristik ekonomi yang digunakan dalam model permintaan
ekspor yaitu GDP, nilai tukar dan jarak ekonomi. Negara tujuan ekspor yang
dibahas adalah 10 negara tujuan utama ekspor rumput laut pada tahun 2013
(keseluruhan jenis rumput laut yang banyak diperdagangkan glacilaria, E. cottoni,
dan E. spinosum) yaitu China, Filipina, Chili, Korea Selatan, Hongkong, Perancis,
Denmark, USA, Vietnam dan Spanyol.
Tabel 4. 9. Gross Domestic Product (GDP) Negara Tujuan Ekspor Rumput laut (Raw
material)
Efek Perdagangan
Dunia
Efek Komposisi Komoditas
Efek Distribusi
Pasar
Efek Daya Saing
E1 E2 E3 E4
Jepang 204,148.0 36,139.0 (34,251.0) (42,910.0) 163,127.0 Amerika Serikat 204,148.0 30,709.0 (36,611.0) (26,587.0) 171,659.0 Jerman 204,148.0 15,591.0 36,887.0 (69,136.0) 187,490.0 Belgia 204,148.0 5,273.0 (2,670.0) (8,864.0) 197,887.0 Spanyol 204,148.0 3,188.0 9,228.0 (15,970.0) 200,595.0 Denmark 204,148.0 - - - 204,148.0 Inggris 204,148.0 15,258.0 1,330.0 (34,034.0) 186,702.0 Meksiko 204,148.0 - - - 204,148.0
Jepang 142,924.0 7,455.0 3,773.0 (32,343.0) 121,809.0 Amerika Serikat 142,924.0 15,671.0 (24,969.0) (37,257.0) 96,369.0 Jerman 142,924.0 7,313.0 (77,552.0) 47,687.0 120,371.0 Belgia 142,924.0 - - 259.0 143,183.0 Spanyol 142,924.0 915.0 12,586.0 (15,831.0) 140,593.0 Denmark 142,924.0 - - - 142,924.0 Inggris 142,924.0 2,645.0 12,488.0 (23,399.0) 134,658.0 Meksiko 142,924.0 - - - 142,924.0
Agar-Agar Total Perubahan
2009-2011
2011-2013
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 50
Sumber : IMF (2014) GDP suatu negara mencerminkan daya beli negara tersebut terhadap produk
impor. AS merupakan negara dengan GDP tertinggi diantara 10 negara tujuan
utama, disusul China dan Perancis (Tabel 4.9). Negara dengan GDP kurang dari
USD 200 juta pada tahun 2013 hanya Vietnam. GDP seluruh negara tujuan utama
ekspor rumput laut mengalami peningkatan selama periode 2009-2013, kecuali
Spanyol, Perancis dan Denmark. GDP Spanyol dan Perancis mengalami penurunan
pada tahun 2010 dan 2012, sementara Denmark hanya mengalami penurunan pada
tahun 2012. Penurunan tersebut diduga akibat krisis ekonomi yang melanda benua
Eropa. Namun demikian, penurunan GDP Perancis dan Denmark bisa dikompensasi
oleh pertumbuhan GDP tahun-tahun berikutnya, sehingga secara keseluruhan
pertumbuhan GDP kedua negara tersebut selama periode 2009-2013 masih
menunjukkan tren positif (Tabel 4.9).
Sebagai negara dengan GDP tinggi, Amerika Serikat merupakan importir rumput
laut ketiga terbesar dunia dengan pangsa 12%, sementara China dan Jepang
berada pada urutan pertama dan kedua dengan pangsa masing-masing sebesar
34,2% dan 22,5% dari total impor dunia. AS juga sebagai importir produk olahan
rumput laut terbesar dunia dengan pangsa 12,3%, Jerman dan Jepang menduduki
peringkat kedua dan ketiga dengan pangsa 12,1% dan 6,9% (Gambar 4.6).
2010 2013
Trend (%)2009 2010 2011 2012 2013 09-13
China 4,991.0 5,930.0 7,322.0 8,229.0 9,181.0 16.6 Filipina 168.0 200.0 224.0 250.0 272.0 12.8 Chili 172.0 217.0 251.0 266.0 277.0 13.0 Korea Selatan 834.0 1,015.0 1,114.0 1,130.0 1,222.0 10.3 Hongkong 214.0 229.0 249.0 263.0 274.0 6.4 Perancis 2,626.0 2,570.0 2,785.0 2,613.0 2,737.0 1.2 Denmark 311.0 313.0 334.0 315.0 331.0 1.7 USA 14,418.0 14,958.0 15,534.0 16,245.0 16,800.0 3.9 Vietnam 102.0 113.0 135.0 156.0 171.0 13.9 Spanyol 1,458.0 1,387.0 1,456.0 1 323 1,359.0 (1.6)
Negara Tujuan GDP (USD juta)
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 51
Gambar 4.6. Importir Rumput Laut (Raw material) Dunia
Sumber: WITS (diolah)
Nilai tukar berpengaruh pada harga rumput laut di pasar dunia. Apabila nilai
tukar IDR mengalami depresiasi, maka importir rumput laut Indonesia di pasar luar
negeri akan menganggap harga rumput laut menjadi murah sehingga permintaan
impor akan meningkat dengan kata lain ekspor rumput laut Indonesia akan semakin
meningkat. Oleh karena itu, nilai tukar memiliki hubungan yang positif terhadap
kinerja ekspor.
Tabel 4.10. Nilai Tukar IDR Terhadap Mata Uang Negara Tujuan
China21.9%
Japan25.4%
United States11.2%
Chile1.5%
Thailand3.0%
Lainnya37.0%
China34.2%
Japan22.5%
United States12.0%
Chile4.6%
Thailand4.0%
Lainnya22.6%
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 52
Sumber : IMF (2014)
Tabel 4.10 menunjukkan bahwa selama