92
KAJIAN PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN KARAGINAN RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii YANG TERKENA PENYAKIT ICE ICE DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU NUR MASITA AMILUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

KAJIAN PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN KARAGINAN

  • Upload
    vothuy

  • View
    281

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

KAJIAN PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN KARAGINAN RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii YANG TERKENA

PENYAKIT ICE ICE DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

NUR MASITA AMILUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Kajian Pertumbuhan dan

Kandungan Karaginan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii yang Terkena

Penyaki Ice Ice di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu” adalah karya sendiri dan

belum diajukkan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam daftar pustaka pada bagian akhir.

Bogor, Januari 2007

(Nur Masita Amiluddin) NRP C151030221

ABSTRAK

NUR MASITA AMILUDDIN : Kajian Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii yang Terkena Penyakit Ice Ice di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu di Bawah Bimbingan : FREDINAN YULIANDA (Ketua) dan ENAN M.ADIWILAGA (Anggota).

Komoditas rumput laut K. alvarezii mempunyai prospek yang cerah dalam perdagangan untuk kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri. Peningkatan permintaan pasar dunia terhadap jenis ini memacu perkembangan budidaya. Rumput laut K. alvarezii dewasa ini sedang giat dikembangkan oleh pemerintah melalui usaha budidaya karena selain dapat meningkatkan pendapatan nelayan juga menjadi sumber devisa negara.

Rumput laut yang dibudidayakan di pulau Pari pada tahun 2000 mulai memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan hasil panen baik kuantitas maupun kualitas dan menjadi permasalahan sampai sekarang. Penurunan hasil panen baik kuantitas maupun kualitas ini disebabkan karena terkena penyakit ice ice (bercak putih). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kualitas lingkungan, pertumbuhan dan kandungan karaginan rumput laut K. alvarezii yang terkena penyakit ice ice di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari.

Hasil penelitian diperoleh bahwa di lokasi budidaya sebelah barat dari minggu pertama sampai minggu keempat kualitas air masih memenuhi kriteria untuk budidaya rumput laut, sehingga ada peningkatan pertumbuhan dan kandungan karaginan. Minggu kelima sampai minggu kedelapan kualitas air memburuk dan tanaman uji terinfeksi bakteri penyebab penyakit ice ice, sehingga pertumbuhan dan kandungan karaginan menurun. Sementara lokasi budidaya sebelah utara sudah terkena penyakit ice ice selama masa pemeliharaan.

Untuk mencegah Agar penyakit ice ice tidak meluas atau berkembang, maka kegiatan budidaya dihentikan selama kualitas air memburuk dan dilakukan penanaman bila kondisi perairan kembali normal.. Kata kunci : K. alvarezii, Pertumbuhan, Karaginan , Ice ice.

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

bentuk apapun baik cetak, foto copy, mikrofilm dan sebagainya

KAJIAN PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN KARAGINAN RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii YANG TERKENA

PENYAKIT ICE ICE DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

NUR MASITA AMILUDDIN

Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sain pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007

Judul Tesis : Kajian Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii yang Terkena Penyaki Ice Ice di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu

Nama : Nur Masita Amiluddin NRP : C 151030221 Program Studi : Ilmu Perairan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Fredinan Yulianda M.Sc Ketua

Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perairan

Prof. Dr. Enang Harris

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro

Tanggal Ujian : 28 Desember 2006 Tanggal Lulus:

PRAKATA

Alhamdulilllah Puji Syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang

Maha Esa, atas segala rahmatnya. Berkat bantuan banyak pihak tesis dengan judul

Kajian Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Kappaphycus

alvarezii yang Terkena Penyaki Ice ice di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu

dapat diselesaikan. Tesis ini sekaligus sebagai tugas akhir akademis dalam

pendidikan di program studi Ilmu Perairan, program Pascasarjana IPB. Melalui

kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1 Bapak Dr.Ir.Fredinan Yulianda M.Sc. dan Dr.Ir.Enan M.Adiwilaga sebagai

Ketua dan anggota yang dengan tulus dan sabar membimbing saya.

2 Seluruh jajaran Program Pascasarjana IPB yang telah membantu kelancaran

selama mengikuti studi.

3 Bapak Prof.Enang Harris selaku ketua Program Studi Ilmu Perairan beserta

seluruh staf pengajar.

4 Bapak Prof.Dr.Hamadi B.Husein selaku Ketua Sekolah Tinggi Perikanan

Hatta Syahrir Banda Naira atas ijin belajar untuk menempuh pendidikan

pascasarjana.

5 Bapak Dirjen Pendidikan Tinggi sebagai penyumbang dana pendidikan.

6 Bapak Dr.Ir.Kardio Praptokardiyo M.Sc.sebagai penguji luar komisi atas

kesediaan membantu mengarahkan penulis dalam penyelesaian tesis ini.

7 Bapak Satir beserta petani rumput laut kelurahan pulau Pari Kab.Administrasi

Kepulauan. Seribu yang telah banyak membantu.

8 Teman-teman P2O LIPI Jakarta yang telah memberikan motivasinya.

9 Ayah tercinta (almarhum), Ibu tersayang yang telah banyak berjasa dengan

bantuan moriil, matriil dan selalu mendoakan dalam segala studi penulis.

10 Suami dan anak-anak tercinta : Nurulvadini, Moh.Safrul, Nurulsavira dan

Moh. Nasrullah Zidan yang selalu memberikan semangat dan pengorbanan

selama pendidikan.

11 Kakak dan adik-adikku tersayang : Nyong, Lela, Rusli, Ci dan Aini (Onco)

yang selalu mendorong dan mendoakan penulis.

12 Semua pihak yang telah membantu penulis yang tak dapat penulis tuliskan

dalam ruang yang terbatas ini.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu saran dan

kritik demi penyempurnaan sangatlah diharapkan. Akhirnya semoga tulisan ini

ada manfaatnya bagi pembaca dan yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2007

Penulis

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 20 April 1967 merupakan anak

kedua dari lima bersaudara dari ayahanda Anas Amiluddin dan ibunda Arafia

M.Saleh. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada SD INPRES Wailela

Ambon tahun 1979, pendidikan menengah pertama pada SMP Negeri 7 Ambon

tahun 1982 dan pendidikan menengah atas pada SMA Negeri 3 Ambon tahun

1985. Pada tahun 1991 menyelesaikan pendidikan sarjana pada program studi

menejemen sumberdaya perairan jurusan penangkapan Universitas Pattimura

dengan skripsi berjudul Pengaruh Jenis Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Ikan

Demersal dengan Bottom Long Line di perairan Ambon. Pada tahun 2003 penulis

mendapat kesempatan melajutkan pendidikan Pascasarja pada Program Studi Ilmu

Perairan Sekolah Pascasarja Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan

pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Sekolah Tinggi Perikanan Hatta

Sjahrir Banda Naira sejak tahun 2001 sampai sekarang.

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. iv

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. vi

PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

Latar Belakang .................................................................................. 1

Perumusan Masalah .......................................................................... 2

Tujuan dan Manfaat .......................................................................... 3

Hipotesis ............................................................................................ 3

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 5

Rumput Laut K. alvarezii. .................................................................. 5

Jenis dan habitat ........................................................................... 5

Komposisi kimia .......................................................................... 6

Budidaya K. alvareezii ....................................................................... 7

Metode budidaya .......................................................................... 9

Penyediaan bibit dan pemeliharaan .............................................. 10

Pasca panen .................................................................................. 11

Penyakit Pada Tanaman Rumput Laut ............................................... 12

Penyakit tumbuhan ....................................................................... 12

Penyakit Ice ice ............................................................................ 13

Karaginan Rumput Laut ..................................................................... 15

Mutu dan penggunaan karaginan ................................................. 15

Struktur kimia dan sifat-sifat karaginan ....................................... 16

Kekentalan dan pembentukan gel ................................... 17

METODE PENELITIAN ......................................................................... 18

Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................. 18

Metode Pemeliharaan ......................................................................... 19

Disain rakit .................................................................................. 19

Penanaman benih .......................................................................... 19

ii

Pengamatan Lingkungan Perairan ...................................................... 20

Teknik Pengamatan ............................................................................ 21

Kualitas Rumput Laut ......................................................................... 22

Analisis Data ...................................................................................... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 26

Keadaan Umum Wilayah Penelitian ................................................. 26

Kondisi Lingkungan Perairan ............................................................ 28

Faktor fisika .............................................................................. 28

Faktor kimia .............................................................................. 32

Faktor biologi ........................................................................... 36

Analisa Komponen Utama ................................................................. 39

Pertumbuhan Rumput Laut ................................................................ 39

Pertumbuhan biomassa............................................................... 39

Pertubuhan parsial ..................................................................... 45

Hubungan laju pertumbuhan dengan unsur hara........................ 46

Hubungan laju degradasi dengan suhu, arus

dan oksigen terlarut ................................................................... 47

Produksi Bobot Kering ....................................................................... 48

Kandungan Karaginan ........................................................................ 49

Kadar Air ............................................................................................ 50

Kadar Abu ......................................................................................... 51

Hubungan Karaginan dengan Unsur Hara ......................................... 52

Hubungan Karaginan dengan Waktu Pengamatan ............................. 54

SIMPULAN dan SARAN ......................................................................... 56

Simpulan ............................................................................................. 56

Saran .................................................................................................. 56

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 57

iii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi kimia rumput laut K. alvarezii. ............................................. 6

2 Klasifikasi kriteria lokasi budidaya rumput laut K. alvarezii .................. 8

3 Parameter, alat dan satuan pengukuran ................................................... 21

4 Rata-rata parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari ......................................................................... 28

5 Perbandingan kualitas perairan di pulau Pari tahun 1997 dan 2002 ........ 38

6 Pertumbuhan mutlak, relatif dan sesaat rumput laut di sebelah barat dan utara pulau Pari .................................................................................. 46

7 Bobot dan penyusutan K. alvarezii di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari .................................................................................. 48

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Alur pikir pendekatan masalah .............................................................. 4

2 Peta lokasi penelitian pulau Pari Kepulauan Seribu .............................. 18

3 Disain rakit dan pemasangan bibit rumput laut ..................................... 20

4 Bagan alir analisis karaginan ................................................................. 23

5 Rata-rata kecepatan arus di lokasi budidaya sebelah barat dan utara Pulau Pari .............................................................................................. 29

6 Rata-rata kecerahan di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari .............................................................................................. 30

7 Rata-rata suhu perairan di lokasi sebelah barat dan utara pulau Pari ........................................................................................................ 31

8 Rata-rata pH di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari .... 32

9 Rata-rata kandungan oksigen terlarut di lokasi budidaya sebelah barat dan utara.pulau Pari ...................................................................... 33

10 Rata-rata nitrat, nitrit dan amonia di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari ....................................................................... 35

11 Rata-rata kandungan total pospat dan ortho pospat di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau pari ......................................... 36

12 Luka bekas gigitan ikan pada tanaman uji .......................................... 37

13 Kotoran dan algae penempel pada tanaman uji yang menghalangi Penyerapan ............................................................................................ 37

14 Sampah dan tumbuhan pengganggu di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari ...................................................................... 38

15 Pertumbuhan rumput laut minggu 1-4 dan minggu ke5-8 dilokasi budidaya barat pulau Pari ..................................................................... 40

17 Laju pengeroposan rumput laut tahap pertama (a) dan kedua (b) di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari .......................................... 41

18 Permukaan thallus rumput laut yang kasar ........................................... 43

19 Rumput laut yang terkena penyakit di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari ...................................................................... 43

20 Beberapa cara terinfeksi bakteri penyebab penyakit ice ice .................. 44

21 Pertumbuhan rumput laut normal di lokasi budidaya Halmahera (Kusdi 2005) .......................................................................................... 45

22 Rata-rata kandungan karaginan di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari ............................................................................... 50

v

23 Rata-rata kadar air di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari .............................................................................................. 51

24 Rata-rata kadar abu di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari ...................................................................................... 52

25 Hubungan kandungan karaginan dengan waktu pengamatan di lokasi Budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari .......................... 54

26 Hubungan kandungan karaginan dengan waktu pengamatan di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari ........................................... 55

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil pengukuran parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari ......................................................................... 64 2 Hasil Pengukuran Kualitas Air di Lokasi Budidaya Sebelah Utara Pulau Pari .............................................................................................. 65 3 Hasil uji t terhadap parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari periode April sampai Mei 2005 .... 66 4 Hasil pengukuran bobot basah K. alvarezii di lokasi budidaya sebelah barat ......................................................................................... 67

5 Hasil pengukuran bobot Basah K. alvarezii di lokasi budidaya sebelah utarab ......................................................................................... 68 6 Hasil uji t terhadap pertumbuhan, kandungan karaginan, kadar abu dan kadar air di lokasi sebelah barat dan utara pulau Pari periode April sampai Mei 2005 .......................................................................... 69 7 Laju pertumbuhan harian K. alvarezii di lokasi budidaya sebelah barat (a) dan utara (b) pulau Pari ........................................................... 70 8 Kandungan karaginan, kadar air dan kadar abu di lokasi

sebelah barat (a) dan utara (b) pulau Pari .............................................. 71 9 Hasil analisis komponen utama di lokasi budidaya sebelah barat

Pulau Pari .............................................................................................. 72 10 Hasil analisis komponen utama di lokasi budidaya sebelah utara

pulau Pari ............................................................................................... 73 11 Analysis of Variance hubungan pertumbuhan dan unsur hara

di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari ......................... 74 12 Analysis of Variance hubungan karaginan dan Unsur hara

di lokasi budidaya barat dan utara pulau Pari ....................................... 75

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rumput laut atau algae merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia

yang diandalkan untuk pemasukkan devisa negara. Komoditas ini memiliki nilai

ekonomis yang tinggi sebagai bahan makanan dan keperluan industri. Produksi

rumput laut untuk kebutuhan ekspor umumnya berasal dari algae merah

(Rhodophyceae).

Salah satu jenis rumput laut yang mempunyai potensi untuk dibudidayakan

di Indonesia adalah Kappaphycus alvarezii yang dulu dikenal sebagai Eucheuma

cottonii. Masyarakat pulau pari mengenal dan menyebut jenis rumput laut ini

dengan nama Eucheuma. Jenis ini menjadi komoditas ekspor karena permintaan

pasar sekitar 8 kali lebih banyak dari jenis lainnya (Sulistijo 2002). Bahkan

menurut Doty (1973) kebutuhan rumput laut jenis K. alvarezii adalah 10 kali lipat

dari persediaan alami di dunia. K. alvarezii adalah jenis rumput laut yang

diperlukan untuk usaha industri karena kandungan kappa karaginannya sangat

diperlukan sebagai bahan stabilisator, bahan pengental, pembentuk jel, dan

pengemulsi (Winarno 1996).

Komoditas rumput laut K. alvarezii mempunyai prospek yang cerah dalam

perdagangan untuk kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri. Peningkatan

permintaan pasar dunia terhadap jenis ini memacu perkembangan budidaya.

Negara Filipina merupakan negara pertama yang dapat meningkatkan produksi

K. alvarezii melalui budidaya. Perkembangan budidaya di Indonesia mulai

tampak dapat memenuhi permintaan pasar sejak tahun 1980 setelah keberhasilan

budidaya di perairan Selatan Bali (Nusa Penida) dan terus meluas hampir

keseluruh perairan Indonesia termasuk pulau Pari.

Rumput laut K. alvarezii dewasa ini sedang giat dikembangkan oleh

pemerintah melalui usaha budidaya karena selain dapat meningkatkan pendapatan

nelayan juga menjadi sumber devisa negara. Rumput laut yang dibudidayakan

bertujuan untuk meningkatkan hasil dalam jumlah yang cukup besar dan kontinyu

dengan kualitas yang baik terutama untuk kebutuhan ekspor. Namun usaha

budidaya tersebut jika tidak ada pengelolaan yang baik dan tidak memperhatikan

2

kelestarian serta daya dukung lingkungan, maka dapat menurunkan kuantitas dan

kualitas hasil yang diperoleh.

Rumput laut yang dibudidayakan pada tahun 2000 mulai memperlihatkan

adanya kecenderungan penurunan hasil panen baik kuantitas maupun kualitas

dan menjadi permasalahan sampai sekarang. Masalah serius yang

menimbulkan kerugian cukup besar dalam budidaya rumput laut di pulau Pari

adalah penyakit ice ice (bercak putih). Penyakit ice ice merupakan penyakit

yang timbul pada musim laut tenang dan arus lemah dan berlangsung selama

1-2 bulan, setelah itu areal dapat ditanami kembali bila kondisi lingkungan

sudah normal (Sulistijo 2002). Namun apabila lahan ditanami terus tanpa

memperhatikan kondisi lingkungan, maka akan terjadi kerugian yang

berkelanjutan. Hal seperti ini terlihat di pulau Pari yakni para pembudidaya

terus menerus menggantikan tanaman yang rusak tanpa memperhatikan

kerugian dan kondisi kualitas lingkungan budidaya.

Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk

mengetahui pertumbuhan dan kandungan karaginan pada saat rumput laut

terkena penyakit ice ice.

Perumusan Masalah

Musim barat tahun 2005 usaha budidaya rumput laut K. alvarezii di pulau

Pari menghadapi masalah penurunan produksi dan kualitas yang tidak dapat

diterima oleh pasar.

Permasalahan tersebut terjadi karena kekeroposan thallus rumput laut.

Proses kekeroposan thallus yang merupakan ciri dari penyakit ice ice sangat

cepat, sehingga sebagian besar produk tidak dapat dipanen.

Sumber penyebab timbulnya penyakit ice ice yaitu penurunan kualitas

lingkungan perairan. Munurunnya kualitas lingkungan perairan di pulau Pari

menyebabkan penurunan produksi, namun diperkirakan beberapa lokasi masih

mampu menunjang perkembangan budidaya rumput laut tersebut.

Sehubungan dengan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan

pengkajian usaha budidaya rumput laut di lokasi budidaya sebelah barat yang

merupakan perairan terbuka (luar gobah) dan utara yang merupakan perairan

3

tertutup (gobah), apakah masih mampu menghasilkan produksi yang diharapkan.

Alur pikir pendekatan masalah disajikan pada gambar 1.

Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pertumbuhan dan kandungan

karaginan dari rumput laut K. alvarezii pada kondisi terkena penyakit ice ice di

lokasi budidaya sebelah barat yang merupakan perairan terbuka (luar gobah) dan

utara yang merupakan perairan tertutup (gobah) pulau Pari.

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi dasar dalam upaya

penanggulangan penyakit ice ice untuk pengembangan budidaya rumput laut

K. alvarezii di masa yang akan datang.

Hipotesis

Produksi dan kualitas hasil budidaya rumput laut K. Alvarezii yang

dibudidayakan akan lebih baik di lokasi budidaya sebelah barat (luar gobah)

daripada di sebelah utara (gobah) pulau Pari walaupun terkena penyakit ice ice.

Gambar 1 Alur pikir pendekatan masalah.

Unsur Hara

Intensitas

Suhu

Rumput Laut

Oksigen

Arus

Bakteri Ice ice

Produksi Primer

Unsur Hara

Laju Pertumbuhan Rumput Laut

Intensitas Serangan

Tingkat perkembangan

bakteri Biomassa

Keropos Z < G

Produksi Rumput

Laut

TINJAUAN PUSTAKA

Rumput Laut K. alvarezii

Jenis dan habitat

Rumput laut K. alvarezii bila diklasifikasikan berdasarkan pigmentasi

termasuk jenis alga merah (Rhodophyceae). Ganggang merah yang hidup di laut

dan tergolong dalam Thallophyta ini tidak memperlihatkan perbedaan akar,

batang dan daun seperti tanaman tingkat tinggi. Keseluruhan tanaman merupakan

batang yang dikenal sebagai thallus. Berdasarkan pada bentuk dan anatomi serta

karakter biokimia, dimana derivat kappa carageenan yang lebih dominan dari pada

iota dan beta carageenan yang ditemukan oleh seorang ahli dari Filipina bernama

alvarez, maka nama ilmiah dari E. cottonii berubah menjadi K. alvareezii

(Atmadja et al. 1996 & Silva et al. 1996). Kappaphycus merupakan jenis rumput

laut yang banyak dicari untuk kepentingan industri makanan, obat - obatan dan

kosmetika di dunia karena mengandung zat karaginan yang merupakan bahan

campuran (additives). Kadar karaginan dalam setiap species Kappaphycus

berkisar anatara 54%-73% sedangkan di Indonesia berkisar antara 61,5%-67,5%.

Sistimatika klasifikasi botani menurut Dawes (1981), Bold dan Wynne

(1985), Lewis et al. (1987) & Kadi dan Atmadja (1988) adalah sebagai berikut :

Devisi : Rhodophyta

Kelas : Rhodophyceae

Ordo : Gigartinales

Family : Solieriaceae

Genus : Kappaphycus

Species : Kappaphycus alvarezii

Ciri umum dari genus Kappaphycus : thallus atau kerangka tubuh bulat

silindris, berduri tidak teratur dan melingkari thalus, duri-duri pada thallus runcing

memanjang dan agak jarang, permukaan thallus licin, warna hijau kekuningan,

abu-abu dan merah. Tinggi tanaman dapat mencapai 40 cm, cabang tidak

beraturan tumbuh di bagian yang muda maupun yang tua dan diameter thallus

kearah ujung sedikit lebih kecil dibandingkan dengan pangkalnya (Doty, 1973).

6

Kappaphycus tumbuh pada daerah yang selalu terendam air (subtidal) atau

pada daerah surut (intertidal). Jenis ini sangat baik tumbuh pada daerah terumbu

karang (coral reef), sebab pada daerah inilah terdapat beberapa syarat untuk

pertumbuhan yaitu kedalaman perairan, cahaya, subsrat dan pergerakan air.

Selanjutnya Lobban dan Harison (1994) mengatakan bahwa alga tersebut tumbuh

dengan baik pada perairan terbuka dengan tingkat pergerakan arus yang tinggi. Di

alam bebas Kappaphycus tumbuh dan berkembang dengan baik pada salinitas

yang tinggi.

Komposisi kimia

Komposisi kimia rumput laut sebagian besar terdiri dari karbohidrat, juga

mengandung protein, lemak dan mineral (Hansen et al. 1981). Karbohidrat

merupakan komponen terbesar, terutama sebagai dinding sel dan sebagai jaringan

intraseluler. Menurut Kuntoro (1985) dalam Suryaningrum (1988) rumput laut

mengandung air 12,95-27,50%, protein 1,60-10,00%, karbohidrat 32,25-63,2%,

lemak 4,50-11,00%, serat kasar 3,00-11,40% dan abu 11,50-23%. Komposisi

kimia menurut Soegiarto dan Sulistijo (1985) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia rumput laut K. alvareezii.

Komponen Kandungan (% berat kering) Kadar air (%) Protein (%) Karbohidrat (%) Lemak (%) Serat kasar (%) Abu (%) Mineral Ca (ppm) Mineral Fe (ppm) Mineral Pb (ppm) Thiamin (mg/100g) Riboflavin (mg/100g) Vitamin C (mg/100g) Karaginan (%)

13,90 2,67 0,27 5,70 0,90

17,09 29,92 0,12 0,04 0,14 2,70 12,00 61,52

Team Rumput Laut BPPT dan Pusat Pengembangan Teknologi Pangan IPB (Soegiarto dan Sulistijo, 1985).

Kandungan kimiawi rumput laut umumnya yang tertinggi adalah

karbohidrat sekitar 60-80%, mineral 10-14%, sedangkan lemak dan proteinnya

7

rendah hanya 1-2% saja. Selanjutnya dilaporkan juga kandungan vitamin seperti

vitamin A, B1, B2, B6, B12 dan C serta mengandung mineral seperti kalium,

kalsium, pospat, natrium, zat besi dan iodium (Araksi et al. 1984 dalam

Anggadireja et al. 1996). Rumput laut merupakan sumber koloid untuk agar-agar,

karaginan, algin, laminarin, fukoidin dll. Durant and Sanford (1970) membagi

koloid menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang bernilai ekonomis tinggi yaitu

agar-agar, karaginan, algin dan ekonomis rendah yaitu laminarin, fukoidin dan

lainnya. Menurut Wei and Chin (1983) secara kimia karaginan mirip dengan

agar-agar, hanya karaginan mempunyai kandungan abu tinggi dan memerlukan

konsentrasi tinggi untuk membentuk larutan kental. Selajutnya menurut Food

chemical codex USA (1974) dalam Suryaningrum (1988) membedakan agar-agar

dan karaginan berdasarkan kandungan sulfatnya dimana karaginan minimal

mengandung 18% sedangkan agar-agar hanya mengandung sulfat sekitar 3-4%.

Budidaya K. alvarezii

Usaha budidaya terhadap beberapa jenis rumput laut telah berhasil

dikembangkan di beberapa negara. Di Indonesia baru jenis Eucheuma dan

Gracilaria saja yang dapat dibudidayakan. Percobaan budidaya rumput laut di

Indonesia pertama kali dilakukan oleh Soerjodinoto (1968) dari LON-LIPI

terhadap rumput laut jenis Eucheuma di perairan gugusan pulau Pari Kepulauan

Seribu (pulau Tikus) dengan menggunakan rakit dan substrat batu karang.

Kemudian sejak tahun 1974 LON-LIPI melanjutkan percobaan budidaya rumput

laut jenis Eucheuma di pulau Pari dengan mengikat bibit rumput laut pada tali

nilon dikerangka rakit bambu dan kerangka lepas dasar seperti yang telah

dilakukan di Philipina (Sulistijo 2002).

Kajian kriteria lokasi budidaya rumput laut dari segi kondisi tata letak dan

kualitas perairan sangat berperan dalam pencapaian hasil usaha budidaya rumput

laut. Indriani dan Sumiarsih (1999) mengatakan untuk memperoleh hasil yang

memuaskan dari usaha budidaya rumput laut hendaknya dipilih lokasi yang sesuai

dengan ekobiologi (persyaratan tumbuh) rumput laut sebagai berikut, (1) lokasi

budidaya harus bebas dari pengaruh angin topan, (2) tidak mengalami fluktuasi

salinitas yang besar, (3) mengandung makanan untuk pertumbuhan, (4) perairan

8

harus bebas dari predator dan pencemaran industri maupun rumah tangga, (5)

lokasi harus mudah dijangkau.

Secara rinci Atmadja et al.(1996) mengadakan klasifikasi penilaian lokasi

untuk budidaya hayati rumput laut K. alvareezii dengan kriteria baik dan cukup

baik (Tabel 2).

Tabel 2 Klasifikasi kriteria lokasi budidaya rumput laut K. alvareezii

Parameter Kriteria baik Kriteria cukup baik Keterlindungan Arus (gerakan air) Dasar perairan pH Kecerahan Salinitas Cemaran Hewan herbivora Kemudahan Tenaga kerja

Terlindung 20 - 30 cm/detik Pasir berbatu 7 - 9 Lebih dari 5 m 32 - 34 permil Tidak ada Tidak ada Mudah dijangkau Banyak

Agak terlindung 30 - 40 cm/detik Pasir berlumpur 6 - 9 3 - 5 m 28 - 32 permil Ada sedikit Ikan dan bulu babi Cukup mudah Cukup

Sumber : Atmadja et al. (1996)

Selanjutnya dikatakan Sulistijo (1996) kondisi ekologis yang meliputi

parameter lingkungan fisika, kimia dan biologi sangat menentukan keberhasilan

usaha budidaya.

Parameter fisika antara lain : sarana budidaya dan tanaman terhindar dari

angin, dasar terdiri dari potongan karang mati bercampur dengan karang pasir,

kedalaman pada sistim tali rawe sekitar 200 cm, suhu berkisaran 27-30 oC,

kenaikan temptatur membuat rumput laut menjadi pucat kekuningan dan tidak

sehat, kondisi air jernih dengan tingkat transparansi sekitar 1,5 meter termasuk

cukup baik dan kecepatan arus yang baik adalah sekitar 20-30 cm/detik.

Parameter kimia antara lain : Salinitas berkisar antara 28-34 o/oo dengan

nilai optimum 32 o/oo, pH berkisar antara 6-9 dengan kisaran optimum adalah 7,5 -

8,0, sedangkan pH untuk Kappaphycus adalah 7 - 9 dengan kisaran optimum 7,3 -

8,2, kisaran nitrat 1,0 - 3,2 mg/l dan pospat antara 0,021 - 0,10 mg/l (Zatnika &

Angkasa 1994). Sementara hasil penelitian Ngangi et al. (1998) mendapatkan

pertumbuhan yang baik di desa Serey, Minahasa mempunyai kisaran nitrat 1,2 -

1,3 mg/l dan pospat 0,03 - 0,06 mg/l.

9

Parameter biologi antara lain rumput laut atau algae yang dibudidayakan

tidak terlepas dari pengaruh biologi perairan seperti hama dan penyakit. Salah

satu fungsi ekologi dari rumput laut dimana areal komonitas rumput laut dijadikan

spowning area dan nursery area oleh organisme laut yang dapat menjadi hama.

Hama rumput laut umumnya adalah organisme laut yang memangsa rumput laut

sehingga akan menimbulkan kerusakkan fisik terhadap thallus, dimana thallus

akan mudah terkelupas, patah ataupun habis dimakan hama.

Hama penyerang rumput laut dibagi menjadi dua menurut ukuran hama,

yaitu hama mikro merupakan organisme laut yang umumnya mempunyai panjang

kurang dari 2 cm dan hama makro yang terdapat dilokasi budidaya dan sudah

dalam bentuk ukuran besar atau dewasa. Hama mikro hidup menumpang pada

thallus rumput laut, misalnya larva bulu babi (Tripneustes sp.) yang bersifat

planktonik, melayang-layang di dalam air dan kemudian menempel pada tanaman

rumput laut. Beberapa hama makro yang sering dijumpai pada budidaya rumput

laut adalah ikan Beronang (Siganus sp.) bintang laut (Protoreaster nodosus), bulu

babi (Diademasetosum sp.), bulu babi duri pendek (Tripneustes sp.), Penyu Hijau

(Chelonia mydas), dan ikan Kerapu (Epinephellus sp.) (Ditjen Perikanan 2004).

Tumbuhan penempel dalam koloni yang cukup besar akan mengganggu

pertumbuhan rumput laut. Tumbuhan penempel tersebut antara lain adalah

Hipnea, Dictyota, Acanthopora, Laurensia, Padina, Amphiroa dan filamen seperti

Chaetomorpha, Lyngbya dan symploca (Atmadja dan Sulistijo 1977).

Metode budidaya

Metode yang akan digunakan tergantung pada kondisi lingkungan (lahan)

yang kita gunakan. Metode budidaya rumput laut dapat dilakukan dengan tiga

macam metode berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan yaitu :

(1) lepas dasar, (2) lepas dasar dan (3) metode rakit apung. Dari ketiga metode

tersebut yang sudah direkomendasikan oleh Direktorat Jenderal Perikanan (1997)

adalah metode lepas dasar dan metode rakit apung. Selanjutnya dikatakan metode

budidaya rumput laut jenis Eucheuma sp yang sudah memasyarakat di Indonesia

adalah :

10

1. Metode lepas dasar (off bottom method)

K. alvarezii yang ditanam dengan menggunakan metode lepas dasar biasanya

untuk dasar perairan karang berpasir tidak berlumpur tujuannya untuk

menancapkan patok atau pancang. Kedalaman air sekitar 30-50 cm pada

waktu surut terendah dan arus yang cukup baik. Bila ditinjau dari segi biaya

lebih murah dan kualitas rumput laut yang dihasilkan relatif baik tetapi

pertumbuhan tanaman lebih kecil.

2. Metode rakit apung

Metode ini menggunakan sebuah rakit apung dan agar rakit tidak hanyut

terbawa arus digunakan jangkar di dasar perairan. Secara teknis metode rakit

apung ini dianggap lebih aman, terutma dari ancaman kekeringan karena

pasang surut air laut. Soegiarto et al. (1978) mengatakan dengan metode rakit

apung tanaman cepat tumbuh dan akan menjadi sepuluh kali lipat dari berat

semula dalam waktu 4-6 minggu. Di wilayah Kepulauan Seribu metode

apung dimodifikasi dengan menggunakan tali nylon sebagai pengganti bambu

sehingga dapat menghemat biaya untuk pembuatan kerangka rakit bambu.

Penyediaan bibit dan pemeliharaan

Hasil panenan budidaya rumput laut baik kualitas maupun kuantitas

ditentukan dari bibit yang digunakan, sehingga kegiatan penyediaan bibit dari

alam maupun dari hasil budidaya perlu direncanakan. Dalam penyediaan bibit

perlu diperhatikan sumber perolehan, cara penyimpanan dan pengangkutan bibit

serta mutu yang baik dan tersedia dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan

petani. Aslan (1998) mengatakan untuk keberhasilan budidaya Eucheuma perlu

diperhatikan kesehatan dari bibit tersebut dengan ciri-ciri bila dipegang terasa

elastis, bercabang yang banyak dengan ujungnya berwarna kuning kemerah-

merahan dan mempunyai batang yang tebal. Dijelaskan lagi oleh Sulistijo (2002)

bahwa rumpun yang baik adalah yang bercabang banyak dan rimbun, tidak

terdapat penyakit bercak putih dan mulus tanpa ada cacat terkelupas. Bibit

rumput laut yang terpilih tidak lebih dari 24 jam penyimpanan di tempat kering

dan harus terlindung dari sinar matahari juga cemaran (terutama minyak), tidak

boleh direndam air laut dalam wadah, penyimpanan yang baik adalah di laut

11

dalam jaring agar sirkulasi air terjaga sementara. Bibit yang diperoleh adalah

bagian ujung tanaman (jaringan muda) umumnya memberikan pertumbuhan yang

baik dan hasil panenan mengandung karaginan yang lebih tinggi dibandingkan

dengan bibit dari sisa hasil panen atau tanaman tua (Indriani dan Sumiarsih 1999).

Saat yang baik untuk penebaran maupun penanaman bibit adalah pada saat

cuaca teduh (tidak mendung) dan yang paling baik adalah pagi hari atau sore hari

menjelang malam (Aslan 1998). Penanaman dengan sistem rakit ukuran 5 x 2 m

dengan jarak tanam 25 cm dibutuhkan bibit 8 kg sedangkan sistem tali rawe tiap

100 m tali rentang dengan jarak tanam 50 cm diperlukan bibit minimal 20 kg

(Sulistijo 2002). Selanjutnya dijelaskan bibit yang baik dan sehat pada lokasi

yang sesuai akan memberikan pertumbuhan yang baik, yang dapat diukur dengan

laju pertumbuhan. Laju pertumbuhan 3-5% per hari selama waktu penanaman

memberikan indikasi pertumbuhan rumput laut yang baik. Seminggu setelah

penanaman, bibit yang ditanam harus diperiksa dan dipelihara dengan baik

melalui pengawasan yang teratur dan kontinyu. Bila kondisi perairan kurang baik,

seperti ombak yang keras, angin serta suasana perairan yang dipengaruhi musim

hujan atau kemarau, maka perlu pengawasan 2-3 hari sekali, sedangkan hal lain

yang penting diperhatikan adalah menghadapi serangan predator dan penyakit

(Aslan 1998). Masa pemeliharaan rumput laut sampai saat panen apabila

menggunakan metode lepas dasar berkisar antara 1,5-2,0 bulan dan bahwa

pemanenan dilakukan bila rumput laut telah nencapai sekitar 4 kali berat awal

(Kolang et al. 1996).

Pasca panen

Rumput laut dapat dipanen dengan dua cara yaitu secara parsial dan total.

Pemanenan rumput laut secara parsial dilakukan dengan cara memisahkan

cabang-cabang dari tanaman induknya dan selanjutnya digunakan kembali untuk

penanaman berikutnya. Sedangkan pemanenan secara total dengan cara

mengangkat semua rumpun tanaman secara keseluruhan dan kemudian tanaman

yang muda (thallus bagian ujung) dipilih kembali untuk dijadikan bibit dan bagian

pangkalnya dikeringan (Anonymous 1990). Selanjutnya dikatakan bahwa cara

pertama lebih mudah, tetapi kecepatan tumbuh bibit yang berasal dari tanaman

12

induk lebih rendah dibandingkan dengan tanaman muda seperti pada pemanenan

total, kelebihan cara kedua selain kecepatan tumbuh bibit lebih tinggi juga

karaginan yang dikandungnya lebih tinggi.

Penanganan hasil panen yang tepat sangat penting karena pengaruh

langsung terhadap mutu dan harga penjualan di pasaran. Beberapa langkah yang

perlu dilakukan dalam proses pengeringan hasil panen adalah : (1) setelah

penimbangan berat basah kemudian ditebar untuk dikeringkan diatas para-para,

(2) setelah 2-3 hari rumput laut yang sudah cukup kering kemudian dicuci, (3)

pencucian dilakukan dengan air laut selama 5 menit, (4) dijemur kembali selama

0,5-1 hari, (5) selalu ditutupi pada malam hari atau pada saat hujan (6) Setelah

benar-benar kering dimasukkan ke dalam karung dan ditimbang, siap untuk

dipasarkan.

Penyakit Pada Tanaman Rumput Laut

Penyakit tumbuhan

Semangun (1996) menjelaskan penyakit tumbuhan bila ditinjau dari sudut

biologi adalah sebagai penyimpangan dari sifat normal yang menyebabkan bagian

tubuh tidak dapat melakukan kegiatan fisiologi yang biasa, sementara dari sudut

ekonomi penyakit adalah ketidak mampuan tumbuhan untuk memberikan hasil

yang cukup, baik kuantitas maupun kualitas. Jasad renik (mikroba) tidak

langsung menjadi penyebab suatu penyakit, tapi keadaan luar telah melemahkan

tumbuhan lebih dulu, sehingga jasad dapat masuk atau juga oleh penyebab-

penyebab yang bekerja terus menerus dalam waktu yang lama. Penyakit hanya

akan terjadi jika terdapat tumbuhan yang rentan, patogen yang virulen, dan

lingkungan yang sesuai. Penyakit tidak akan terjadi jika patogen yang virulen

bertemu dengn bagian tubuh yang rentan, tetapi lingkungan tidak mendukung.

Lingkungan seperti kelembaban, suhu, sinar matahari dan unsur hara sangat

mempengaruhi proses tersebut.

Pada kondisi yang mendukung, penyebab penyakit akan berkembang dan

mengadakan penetrasi masuk ke dalam jaringan membentuk toksin yang merusak

sel-sel tumbuhan. Kondisi ini menyebabkan interaksi antara parasit dengan

tumbuhan inang yang disebut infeksi, tetapi sebaliknya jika parasit mengadakan

13

penetrasi pada badan tumbuhan yang tidak rentan, maka infeksi tidak akan terjadi.

Interaksi antara parasit dan tumbuhan inang terlihat dengan adanya gejala

penyakit dan biasanya gejala penyakit akan segera tampak setelah terjadinya

infeksi.

Penyakit ice ice

Penyakit pada tanaman rumput laut pertama kali diketahui pada thun 1974

di Filipina dengan gejala yang dilaporkan adanya bercak pada thallus yang

terinfeksi selanjutnya berwarna putih dan mati kemudian hancur. Penyakit ini

menyerang Eucheuma spp. terutama disebabkan oleh adanya perubahan

lingkungan arus, suhu, kecerahan, dll. di lokasi budidaya dan berjalan dalam

waktu yang cukup lama. Penyakit pada rumput laut ini terjadi di daerah-daerah

dengan kecerahan tinggi dan dikenal sebagai ice ice dengan gejala timbulnya

bercak-bercak pada sebagian thallus, lama kelamaan akan kehilangan warna

sampai menjadi putih dan terputus (Anonymous 2004). Bila dikaitkan dengan

penyakit tumbuhan, maka penyakit ice ice pada tanaman rumput laut terjadi

karena infeksi mikroba pada saat tanaman menjadi rentan. Kondisi ini disebabkan

karena adanya perubahan lingkungan yang ekstrim dan tidak dapat ditolirir,

sehingga tanaman menjadi lemah (tidak sehat). Rumput laut yang terkena

penyakit ice ice ini sebelumnya memperlihatkan adanya gejala pertumbuhan yang

lambat, permukaan thallus menjadi kasar dan pucat.

Sebagaimana tentang "Aging effect" pada rumput laut yang ditandai

dengan penurunan pertumbuhan per satuan waktu. Tanda - tanda ini nampak

sebulan atau beberapa waktu setelah penanaman yang ditandai dengan cabang–

cabang tanaman sedikit, keseluruhan tanaman menjadi pucat dan permukaan

thallus menjadi kasar. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka akan terjadi

kekeroposan thallus sebagai ciri dari penyakit ice ice yang mengakibatkan

kegagalan panen. Bercak putih (ice ice) merupakan penyakit yang timbul pada

musim laut tenang dan arus lemah diikuti dengan musim panas yang dapat

merusak areal tanaman sampai mencapi 60-80% dan lamanya 1-2 bulan (Sulistijo

2002).

14

Infeksi mikroba penyebab penyakit ice ice sudah menjalar pada lokasi

perairan budidaya di pulau Pari, sehingga semua tanaman rumput laut yang

dibudidayakan di pulau Pari terkena penyakit ice ice dan menurunkan harga

dipasaran. Terjadinya penyakit dipengaruhi oleh berkembangnya jenis rumput

laut lain yang menempel atau epifit, ini didahului dengan rendahnya unsur hara

diperairan karena dengan berkembangnya rumput laut jenis lain akan

mengakibatkan penurunan unsur hara yang diperlukan oleh pertumbuhan

Kappaphycus (Direktorat Jederal Perikanan 1992). Sampai saat ini belum ada

metoda yang dapat diterapkan untuk mengendalikan penyakit ice ice tetapi untuk

mengurangi kerugian, maka tanaman harus dipanen sesegera mungkin kalau

penyakit telah berjangkit. Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan

memonitor adanya perubahan-perubahan lingkungan, terutama pada saat

terjadinya perubahan lingkungan disamping itu dilakukan penurunan posisi

tanaman lebih dalam untuk mengurangi penetrasi cahaya sinar matahari

(Direktorat Jenderal Perikanan 2004).

Penelitian terhadap bakteri yang menyebabkan penyakit pada K.

alvarezii ini pernah dilakukan oleh Laboratorium mikrobiologi P2O - LIPI dan

hasilnya diduga ada 8 jenis bakteri yang menimbulkan penyakit ice ice, namun

patogenitas bakteri tersebut belum diketahui. Kemudian dilanjutkan dengan

penelitian uji patogenitas dari 8 jenis bakteri tersebut yang hasilnya

menunjukkan hanya 5 bakteri yang dapat menimbulkan penyakit ice ice. Lima

bakteri tersebut adalah Pseudomonas nigricaciens, Pseudomonas fluorescens.

Vibrio granii, Bacillus cereus dan Vibrio agarliquefaciens. Sementara bakteri

Pseudomonas gelatica, Pseudomonas icthyodermis dan Bacillus megaterium

tidak memiliki patogenitas, sehingga tidak menyebabkan gejala penyakit ice

ice. Hasil uji patogenitas terhadap kelima bakteri tersebut dilanjutkan dan

ditemukan bakteri yang memiliki daya patogenitas tertinggi adalah Vibrio

agarliquefaciens (Nasution 2005). Sampai sekarang belum ditemukan cara

untuk membasmi penyakit ice-ice, namun upaya yang dilakukan adalah

berhenti menanam pada saat musim penyakit, sehingga dalam budidaya perlu

pemantauan lingkungan perairan dan memperhatikan musim dimana budidaya

harus dihentikan untuk sementara.

15

Karaginan Rumput Laut

Mutu rumput laut erat kaitannya dalam menentukan tingkat harga di

pasaran. Menurut Doty (1987) kualitas rumput laut di Indonesia masih rendah,

sehingga jumlah produksi yang dapat diterima masih terbatas karena rendahnya

kualitas rumput laut tersebut. Selanjutnya membagi kualitas rumput laut menjadi

2 golongan yaitu kualitas standar dan rendah. Kualitas standar apabila mempunyai

berat kering bersih 70% dan penyusutan karaginan rumput laut bersih 40% serta

kekuatan gelnya 1,00, sedangkan kualitas rendah apabila berat kering bersih

hanya 60%, penyusutan karaginan bersih 30% dan kekuatan gel 0,60. Pengolahan

Kappaphycus menjadi karaginan dalam skala besar, sampai sekarang baru bisa

ditangani oleh Amerika Serikat, Denmark dan Perancis sedangkan skala kecil oleh

Jepang, Spanyol, Korea, India dan Filipina Chapman and Chapman (1980).

Kandungan karaginan rumput laut jenis Eucheuma sp berkisar antara 54,0-72,8%

di Tanzania dan di Indonesia berkisar antara 61,5-67,5. Karaginan pertama kali

diekstrasi dari Chondrus crispus pada tahun 1844 oleh Schmidt, tetapi produk

secara komersial baru dimulai tahun 1973.

Mutu dan penggunaan karaginan

Standar mutu karaginan yang diakui, telah dikeluarkan oleh Fao (Food

Agriculture Organication), FCC (Food Chemical Codex) dan EEC (European

Economic Community) (Sanderson 1981). Karaginan merupakan hidrokoloid dari

rumput laut yang paling penting dalam produk pangan karena sifat karaginan yang

dapat berfungsi sebagai stabilisator, pengental, pembentuk gel, pengemulsi,

pengikat, pencegah kristalisassi dan penggumpal (Glickman 1983). Pada industri

pangan karaginan digunakan dalam industri susu, minuman , roti, kembang gula,

pengalengan, makanan diet, makanan bayi (Chapman and Chapman 1980). Di

luar bidang pangan karaginan banyak digunakan sebagai bahan pembantu dalam

industri kosmetik, pasta gigi, obat-obatan, keramik, tekstil, cat, penyegar ruangan

dan lain-lain (Guiseley et al. 1980).

16

Strutur kimia dan sifat-sifat karaginan

Menurut Reen (1986) kappa- karaginan dihasilkan oleh rumput laut

jenis Eucheuma co t ton i i , sedangkan iota-karaginan dihasilkan oleh

Eucheuma sp inosum Guise ley et al. (1980) membedakan struktur kappa

dan lambda-karaginan berdasarkan kandungan 3,6-anhydrogalaktosa dan

kandungan sulfat. Lebih lanjut Zabik and Aldrich (1968) menyatakan bahwa

lambda-karaginan mengandung sedikit 3,6-anhydrogalaktosa dan banyak sulfat.

Identifikasi jenis karaginan dilakukan dengan menggunakan sinar infra merah

untuk mengetahui gugus fungsional. Identifikasi dilakukan dengan sidik jari

(finger print) yaitu dibandingkan dengan spektrum standar yang dibuat pada

kondisi yang sama dan identifikasi gugus fungsional dan mencocokkan dengan

tabel. Doty (1987) membedakan Kappa dan iota-karaginan berdasarkan

kandungan sulfatnya pada kappa mengandung sulfat kurang dari 28%,

sedangkan pada iota lebih dari 30%.

Sifat-sifat karaginan meliputi kelarutan, viscositas, pembentukan gel,

dan reaksi karaginan dengan protein. kelarutan karaginan di dalam air

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, adanya ion, tipe ion yang

berhubungan dengan polimer, adanya senyawa organik yang larut dalam air,

garam dan tipe ion (Tawle 1973). Kappa-karaginan larut dalam larutan

garam natrium, iota-karaginan larut dalam air panas dan lambda-karaginan

larut dalam air dingin tanpa dipengaruhi adanya ion (Glickman 1964).

Menurut Smith et al. (1955) kelarutan karaginan dipengaruhi oleh adanya

gugus 3,6 anhydrogalaktosa dan gugus ester sulfat. Lambda karaginan tidak

mempunyai gugus 3,6-anhydrogalaktosa, sehingga larut dalam air dingin,

sedangkan kappa sebaliknya. Semua karaginan larut dalam susu panas,

sedangkan dalam susu dingin lambda-karaginan mempunyai kelarutan yang

tinggi. Kelarutan pada susu ini disebabkan karena ketidak pekaan terhadap

ion kalium dan kalsium serta tingginya kandungan sulfat (Glickman 1969).

Gula-gula seperti misalnya sukrosa atau dektrose pada konsentrasi jenuh

menghambat kelarutan karaginan. Kappa- dan lambda-karaginan larut

dalam larutan gula jenuh dalam keadaan panas, sedangkan iota-karaginan

17

sukar larut jika dibandingkan dengan kedua karaginan tersebut di atas

(Tawle 1973).

Kekentalan dan pembentukan gel

Larutan karaginan bersifat kental dan kekentalannya dipengaruhi

oleh konsentrasi, temperatur, tipe karaginan, berat molekul dan ion logam

yang ikut terlarut (Towle 1973). Selanjutnya dikatakan kekentalan

karaginan naik secara logaritmik jika konsentrasi larutan karaginan

meningkat, sebaliknya dengan bertambahnya temperatur kekentalan

karaginan semakin berkurang dan perubahan ini bersifat eksponensial.

Perubahan tersebut akan bersifat reversible apabila pemanasan dilakukan

pada kondosi optimum kestabilan karaginan yaitu pH 9 dengan pemanasan

tidak terlalu lama. Karaginan dapat membentuk gel secara reversible,

artinya membentuk gel pada saat pendinginan dan mencair kembali jika

dipanaskan.

Menurut Rees (1969) pembentukan gel pada karaginan disebabkan

terjadinya perubahan susunan molekul yaitu perubahan bentuk molekul

koloid karaginan yang lurus menjadi bentuk tiga dimensi. Kondisi gel pada

karaginan dapat bervariasi dari keras, rapuh, lunak dan elastis. Tekstur ini

tergantung beberapa variabel antara lain sifat karaginan, konsentrasi, tipe ion

yang ada, adanya larutan lain dan adanya hidrokoloid lain yang tidak

membeku (Towle 1973). Menurut Sharma (1981) pembentukan gel pada

karaginan dipengaruhi oleh adanya ion logam. Kappa dan iota- karaginan

tidak membentuk gel dengan ion Na, tetapi dengan ion kalium, calsium dan

amonium. Kappa-karaginan dengan ion kalium membentuk gel yang kaku,

sedangkan ion-karaginan membentuk gel yang elastis dengan adanya ion

calsium (Guiseley et al. 1980).

18

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan budidaya pulau Pari Kabupaten

Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta (Gambar 2). Lokasi

penelitian yang dipakai untuk penanaman rumput laut K. alvarezii yaitu lokasi

budidaya barat (luar gobah) dan lokasi budidaya utara (gobah) pulau Pari.

Penelitian mulai dari minggu pertama bulan Mei sampai dengan akhir bulan Juni

2005 untuk pengumpulan data lapangan dan dilanjutkan dengan analisis

laboratorium selama 1 bulan.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian pulau Pari Kepulauan Seribu.

19

Metode Pemeliharaan

Metode yang digunakan adalah metode rakit apung. Metode rakit apung

adalah penanaman yang dilakukan di permukaan air dengan menggunakan rakit

yang mengikuti gerakan naik turunnya air. Metode ini digunakan pada dasar

perairan yang keras, karena sukar untuk menancapkan pancang. Keuntungan dari

metode ini adalah pemangsaan oleh biota dasar dapat dikurangi karena tanaman

berada di atas jangkauan predator dan pencahayaan yang diterima lebih besar

untuk proses metabolisme dan pertumbuhan tanaman lebih baik.

Disain rakit

Penelitian ini menggunakan 10 buah rakit, berukuran masing - masing 120

x 120 cm dari bahan bambu sebagai kerangka tempat penanaman rumput laut.

Penghubung antar bambu digunakan tali nilon Polyethylen (P.E). Bahan-bahan

yang digunakan adalah potongan bambu berdiameter 10 cm yang dirangkai

dengan menggunakan tali nilon berdiameter 8 mm. Tali nilon berdiameter 4 mm

dianyam (tali ris) pada rakit dengan jarak anyam 30 cm. Pelampung botol plastik

dipasang pada ke empat sudut rakit sebagai penahan di permukaan, jerigen atau

gabus dengan bendera sebagai pelampung induk dipasang pada saat penebaran

dan pemberat (jangkar) dipasang pada tiap rakit dengan menggunakan tali nilon

berdiameter 9 mm (Gambar 3).

Rumput laut yang dijadikan benih adalah bagian ujung tallus (yang masih

muda) dari lokasi budidaya pulau Tikus yang ditimbang dengan bobot masing-

masing ikatan 125 g dan diikat pada anyaman tali ris dengan bantuan tali rafia.

Tiap rakit diperlukan 16 ikatan bibit rumput laut (2 kg), sehingga total bobot bibit

yang diperlukan untuk penanaman pada 10 buah rakit adalah 20 kg rumput laut K.

alvareezii. Disain rakit dan pengikatan benih rumput laut dilakukan di darat.

Penanaman benih

Sepuluh buah rakit ditebar pada kedalaman 30 cm di bawah permukaan air

yaitu 5 buah rakit di lokasi budidaya sebelah barat dan 5 buah rakit di lokasi

budidaya sebelah utara pada kedalaman laut 4 - 6 meter. Hasil yang diperoleh

diharapkan dapat diketahui parameter yang mempengaruhi pertumbuhan dan

20

kandungan karaginan dari dua lokasi yang berbeda saat rumput laut terkena

penyakit ice ice sebagai imformasi untuk pengembangan budidaya rumput laut

K. alvarezii selanjutnya.

Gambar 3 Disain rakit dan pemasangan bibit rumput laut.

Pengamatan Lingkungan Perairan

Pengamatan lingkungan perairan dilakukan setiap minggu pada siang hari

pukul 11.30 WIB bersamaan dengan pengamatan tanaman uji. Pengamatan

dilakukan sebanyak 8 kali selama penelitian. Parameter lingkungan perairan yang

diamati meliputi parameter fisika, kimia dan biologi. Parameter fisika yang

diamati adalah suhu, arus, kecerahan yang diukur langsung di lapangan (in situ).

Suhu diukur dengan menggunakan thermometer, arus diukur dengan

menggunakan ״stopwacth״ gabus dan tali, kecerahan diukur dengan menggunakan

Secchidisc. Parameter kimia yang diamati adalah salinitas oksigen terlarut (DO),

pH, nitrat, nitrit, amonia, total pospat dan ortho pospat. Salinitas diukur dengan

menggunakan hand refraktometer, DO diukur dengan menggunakan titrasi (in

situ), pH diukur dengan menggunakan pH meter dan, nitrat, nitrit, amonia, total

pospat dan ortho pospat diukur dengan menggunakan Spektrofotometer.

21

Pengambilan air contoh untuk pengamatan pH, nitrat, nitrit, amonia, total pospat

dan ortho pospat dengan menggunakan botol plastik berwarna putih berukuran

250 ml. Sebelum dianalisis air contoh terlebih dulu disimpan pada suhu rendah

dalam peti es. Selajutnya air contoh di bawa ke laboratorium Produktivitas dan

Lingkungan Perairan (ProLing) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

Waktu perjalanan dari lokasi penelitian ke laboratorium Proling kurang lebih 7

jam.

Parameter biologi berupa biota pengganggu dan sampah diamati secara

visual. Pengukuran parameter lingkungan fisika, kimia dan biologi dirincikan

pada Tebel 3.

Tabel 3 Parameter, alat dan satuan pengukuran

Parameter Alat Satuan FISIKA Suhu Kecepatan arus Kecerahan

Termometer Tali benda terapung dan stopwatch Secchi disc, dan tali

°C cm/detik M

KIMIA Oksigen terlarut Salinitas pH NO2-N NH3-N Total pospat Ortho pospat

Botol BOD Hand refraktometer pH meter Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer

mg/l 0/00 mg/l mg/l mg/l mg/l

BIOLOGI Biota pengganggu Sampah

(visual) (visual)

Teknik Pengamatan

Karakteristik pertumbuhan diamati dengan penimbangan bobot tanaman

satu ikatan untuk mengetahui pertambahan bobot. Pengamatan terhadap tanaman

dilakukan sekali setiap minggu pada kedua lokasi budidaya bersamaan dengan

pengukuran parameter lingkungan sampai minggu kedelapan (hari tanam kelima

puluh enam). Air contoh diambil pada kedua lokasi budidaya masing-masing 5

titik sampel di permukaan air dekat rakit rumput laut. Pengukuran bobot tanaman

menggunakan alat timbangan plastik 2 kg dengan ketelitian 0,1 g. Setiap rakit

22

diambil sampel sebanyak 2 ikat secara acak, sehingga tiap lokasi penanaman

diambil 10 ikatan rumput laut untuk pemantauan pertumbuhan. Pengambilan

sampel dengan memanen total yaitu mengangkat dua ikatan tanaman pada

masing-masing rakit dan ditimbang sebagai data bobot basah kemudian dilakukan

penjemuran + 3 hari. Agar hasilnya berkualitas tinggi rumput laut dijemur di atas

para-para dan tidak boleh ditumpuk. Rumput laut yang akan diambil karaginannya

tidak boleh terkena air tawar (dapat merusaknya) karena air tawar akan melarutkan

karaginan. Rumput laut yang telah kering ditimbang dengan menggunakan

timbangan digital untuk mendapatkan data bobot kering (bobot kering angin).

Kualitas Rumput Laut

Kualitas rumput laut yang diamati meliputi kandungan karaginan, kadar air

dan abu. Sampel rumput laut yang telah dikeringkan dengan penjemuran pada sinar

matahari di bawah ke Laboratorium untuk dianalisis. Pada penelitian ini sampel

dianalisis di Laboratorium Kimia Pusat Pengembangan Teknologi Pangan Institut

Pertanian Bogor.

Penentuan konsentrasi karaginan rumput laut dinyatakan dalam persentase

bobot karaginan terhadap bobot kering rumput laut mengikuti metode Ainswort dan

Blanshard (1980) dan Furia (1981). Prosedur analisis sebagai berikut :

Algae K. alvareezii dicuci dan dibersihkan dari pasir, kotoran dan bahan-

bahan asing lainnya. Algae dikeringkan dalam oven pada suhu 100 °C selama 2

jam, setelah kering diblender hingga halus kemudian diayak untuk memisahkan

bagian yang kasar dan yang halus (Gambar 4). Tepung yang dihasilkan diambil 1

g untuk direbus (diekstraksi) dengan air panas (85 - 95 °C) dalam suasana agak

basa dengan pH 8 - 9 selama 4 jam. Ekstrasi alga kemudian disaring melalui

penyaring selulosa dalam kertas saring berlipat. Hasil yang diperoleh kemudian

dipekatkan dengan cara pemanasan menjadi 50 ml. Isopropanol ditambahkan (±

15 ml) dan dibiarkan semalam. Hasil ekstrak ini kemudian disaring dengan kain

putih tipis lalu tambahkan isopropanol 96% (± 15 ml) kemudian dimasukkan

kedalam wadah kecil yang telah ditimbang sebelumnya. Selanjutnya dikeringkan

dalam oven pada suhu 100 ºC selama 2 jam, lalu ditimbang dengan menggunakan

23

timbangan analitik. Berat hasil penimbangan dikurangi dengan berat wadah pada

waktu kosong, maka di peroleh berat karaginan bersih (g).

Gambar 4 Bagan alir analisis karaginan.

Berat kering angin adalah bobot produk rumput laut setelah dikeringkan

dengan penjemuran pada sinar matahari. Kadar air dari rumput laut kering angin

dianalisis untuk penentuan kadar air yang dilakukan dengan pengeringan dalam

oven selama 12 jam dengan suhu 100 °C. Penentuan kadar abu dilakukan dengan

proses pembakaran dari rumput laut kering angin dengan menggunakan alat oven

pada suhu 600 °C selama 1 hari.

24

Analisis Data

1 Analisis pertumbuhan akan dilihat secara partumbuhan parsial yaitu

pertumbuhan yang dilihat antar waktu yang dinyatakan menurut (Affandi et al.

2002) dengan rumus sebagai berikut :

a. Pertumbuhan mutlak = Wt1 – Wt0

b. Pertumbuhan relatif 100%xWt

WtWt

0

01 −=

Dimana : Wt = Pertumbuhan pada waktu t

Wt0 = Pertumbuhan pada waktu awal

2 Analisis kualitas rumput laut meliputi kandungan karaginan, kadar air dan

kadar abu. Untuk mendapatkan persentase karaginan dihitung menurut

(Ainsworth and Blanshard 1980) dengan rumus sebagai berikut :

100%xalgaesampelberat

karaginanberatKaraginan =

Untuk mendapatkan presentase kadar air dan kadar abu dihitung menurut

(Patadjai 1993) dengan rumus sebagai berikut:

100%xcontohberat

bobot kehilangan airKadar =

100%xcontohberat

abuBobot abu Kadar =

Hasil olahan data disajikan dalam bentuk gambar dan tabel.

3 Untuk melihat perbedaan parameter di lokasi budidaya sebelah barat dan utara

dilakukan uji beda dengan menggunakan uji t student (Bengen 2000).

Hipotesis

Ho = tidak terdapat perbedaan nyata antara lokasi barat dan utara

H1 = terdapat perbedaan nyata antara lokasi barat dan utara

Rumus t - hitung sebagai berikut :

dimana, x 1 = rata-rata contoh 1, x 2 = rata-rata contoh 2,

s1 = simpangan baku contoh 1, s2 = simpangan baku contoh 2

25

Kaidah keputusan :

t hit < ttab (α = 0,05), n1+ n2-2, terima Ho

t hit > ttab (α = 0,05), n1+ n2-2, tolak Ho

4 Untuk melihat karakterisrik kedua lokasi budidaya digunakan analisis PCA

dengan menggunakan sover EXTAT versi 06.

5 Untuk analisis hubungan pertumbuhan dan karaginan dengan unsur hara

menggunakan analisis regresi ganda. Hasil analisis diuji dengan analisis ragam

(Anova) untuk melihat beda nyata pada taraf (P<0,05) dengan bantuan

program komputer Statistical Software Minitab versi 13.

6 Untuk analisis hubungan kandungan karaginan dengan waktu pengamatan

digunakan regresi kuadratik dan linear.

26

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Wilayah Penelitian

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu merupakan daerah tingkat II di

Propinsi DKI Jakarta yang baru dibentuk melalui UU No. 34 tahun1999 dan PP

No. 55 tahun 2001. Wilayah kepulauan Seribu adalah sebuah kecamatan yang

ditingkatkan statusnya menjadi Kabupaten Administratif dengan 2 kecamatan dan

6 kelurahan. Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau-pulau kecil di perairan

laut sebelah utara DKI Jakarta. Luas Kepulauan Seribu (daratan dan perairan)

6 997,50 km2 sekitar 10 kali luas daratan Propinsi DKI Jakarta dengan luas 864,59

ha dan jumlah pulau sebanyak 110 buah.

Keadaan angin di Kepulauan Seribu terbagi menjadi angin musim barat

(Desember-Maret) dan angin musim timur (Juni-September). Musim pancaroba

terjadi pada April-Mei dan Oktober-Nopember. Kecepatan angin pada musim

barat bervariasi antara 7-20 knot bertiup dari barat laut dan musim timur

kecepatan angin berkisar antara 7-15 knot bertiup dari timur laut. Musim hujan

biasanya terjadi antara bulan Nopember - April dengan hari hujan rata-rata 20

hari/bulan dan curah hujan terbesar terjadi pada bulan Januari. Musim kemarau

berlangsung antara bulan Mei-Oktober yang kadang-kadang masih terdapat hujan

antara 4-10 hari per bulan dan curah hujan terkecil terjadi pada bulan Agustus.

Laju pertambahan penduduk rata-rata 2,92% per tahun dengan laju pertumbuhan

pada periode 1998-1999 cukup tinggi yaitu 5,65%. Pertambahan penduduk

dibeberapa pulau diantaranya pulau Pari cukup tinggi karena didorong oleh

aktivitas perekonomian (Bapeda DKI 2001).

Dalam pembagian kelurahan, pulau Pari termasuk kecamatan Kepulauan

Seribu selatan yang terdiri dari 10 buah pulau. Lokasi penelitian berada pada

pulau Pari sekitar 35 km (± 3,5-5 jam ) dari Jakarta. Transportasi laut yang

terdekat adalah melalui Rawasaban (Tangerang) ± 1,5-2 jam perjalanan

menggunakan kapal motor. Pada musim barat dan musim timur terjadi

pergerakan arus dari timur ke barat, sehingga membawa banyak kotoran (sampah-

sampah) dari darat yang membahayakan kelangsungan organisme perairan.

Penelitian tentang karang diperoleh hasil bahwa sebagian karang mengalami stress

27

akibat kondisi perairan yang kurang mendukung bersamaan dengan kematian

masal algae laut yang menjadi sumber penghasilan utama nelayan pulau Pari

(Johan 2001). Perairan yang bersifat open access terjadi dalam penentuan lokasi

budidaya rumput laut yang dilakukan dengan cara mematok sendiri oleh petani.

Kondisi ini mengakibatkan semakin padat lahan budidaya, sehingga banyak

sampah yang masuk dan tertahan pada lahan maupun tanaman budidaya. Akibat

dari padatnya lokasi perairan dengan tanaman rumput laut, sehingga jalur

transportasi keluar masuk pulau Pari pun mengalami kesulitan.

Jumlah pembudidaya dan produksi pada tahun 1997 berjumlah 164 orang

dengan produksi 642 ton, sedangkan tahun 1998 jumlah pembudidaya 876 orang

dengan produksi 3.432 ton. Beberapa tahun ini rumput laut K. alvarezii

merupakan sumber penghasilan utama dari masyarakat kepulauan Seribu mulai

memperlihatkan infeksi penyakit yang cukup serius terutama di pulau Pari,

sehingga kegiatan budidaya mulai terhenti. Kondisi ini perlu diperhatikan untuk

pengembangan budidaya rumput laut dimasa yang akan datang, sehingga

budidaya rumput laut K. Alvarezii di pulau Pari dapat dilakukan secara

berkesinambungan.

28

Kondisi Lingkungan Perairan

Kehidupan rumput laut atau algae dalam kehidupannya tidak terlepas dari

pengaruh faktor dalam maupun faktor dari luar. Gambaran tentang biofisik air laut

penting diketahui karena dapat mempengaruhi perkembangan rumput laut. Faktor

luar yang mempengaruhi perkembangan rumput laut adalah faktor fisika, kimia

dan biologi perairan.

Hasil pengukuran dan pemantauan parameter kualitas air di lokasi

budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari selama penelitian dan parameter ideal

dirincikan pada Tabel 4 dan Lampiran 1 & 2.

Tabel 4 Perbandingan parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari dengan parameter ideal. Parameter Satuan Barat Utara Ideal Sumber Pustaka Arus

cm/dtk

2,50-5,56

1,62-2,14

20 - 30

Atmadja et al. (1996)

Kecerahan m 2,25-2,52 2,15-2,25 1,5 - 5 Direktorat Jenderal Perikanan (1997)

Suhu ºC 27-30 30-31 27 - 29 Mubarak dan Wahyuni (1981)

pH - 8,0-8,4 7,1-7,4 7 - 9 Zatnika (1988)

Salinitas ppm 31,2-32,8

31,3-32,5 32 – 34 Atmadja et al. (1996)

Oksigen terlarut

mg/l 3,96-6,96 3,90-4,86 4,8 - 6,2 Zatnika (1988)

Nitrat mg/l 0,152 -0,272

0,1097 -0,1114

1,0 - 3,2 Zatnika & Angkasa, 1994)

Ortho-pospat

mg/l 0,0060 - 0,0080

0,0041-0,0054

0,021 - 0,10

Zatnika & Angkasa (1994)

Faktor fisika

Arus

Kecepatan arus merupakan faktor penentu lama waktu keberadaan

substansi gas, unsur hara terlarut dan padatan partikel berada pada suatu habitat

dan kolom air. Kecepatan arus secara tidak langsung menjadi penentu suplai unsur

hara, pembersih / pengangkut padatan partikel yang dapat menempel pada rumput

laut dan mengatasi kenaikan tempratur air laut yang tajam.

29

Kecepatan arus di lokasi barat berkisar antara 2,50-5,56 cm/det dengan rata-

rata 4,5 cm/det dan standar deviasi 1,20, sedangkan lokasi budidaya utara

kecepatan arus berkisar antara 1,62-2,14 cm/det dengan rata-rata 1,88 cm/det dan

standar deviasi 0,179. kecepatan arus di lokasi barat mulai minggu kesatu sampai

minggu keempat hampir sama dengan kecepatan arus + 5 cm/det kemudian

menurun sampai minggu kedelapan. Kecepatan arus di lokasi utara dari minggu

kesatu sampai minggu kedelapan terus terjadi penurunan yaitu dari 2,10 cm/det

menjadi 1,66 cm/det (Gambar 5 Lampiran 1 & 2).

01234567

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Waktu pengamatan (minggu)

Kec

Arus

(cm

/det

)

BaratUtara

Gambar 5 Rata-rata kecepatan arus di lokasi budidaya sebelah

barat dan utara pulau Pari.

Secara statistik kecepatan arus di kedua lokasi berbeda sangat nyata.

(Lampiran 3). Kondisi arus di kedua lokasi budidaya selama pemeliharaan tidak

memenuhi kriteria budidaya, sehingga kondisi rumput laut berada pada kondisi

tidak sehat. Menurut Admadja et al. (1996) kecepatan arus yang baik untuk

budidaya K. alvarezii adalah 20-30 cm/det. Kondisi arus di kedua lokasi tidak

memenuhi kriteria lahan budidaya, namun lokasi budidaya di sebelah barat lebih

baik dari lokasi budidaya sebelah utara.

Kecerahan

Kecerahan perairan merupakan salah satu faktor penting untuk

pertumbuhan algae, sebab rendahnya kecerahan mengakibatkan cahaya matahari

yang masuk ke dalam perairan berkurang. Intensitas sinar yang diterima secara

sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis, tetapi

30

sebaliknya adanya cahaya matahari yang berlebihan mengakibatkan tanaman

menjadi putih, karena hilangnya protein. Kecerahan di lokasi budidaya barat

berkisar antara 2,25-2,52 m dengan rata-rata 2,34 m dan standar deviasi 0,102,

sedangkan di lokasi budidaya utara berkisar antara 2,15-2,25 m dengan rata-rata

2,23 m dan standar deviasi 0,035 (Gambar 6 Lampiran 1 & 2).

1

2

3

0 1 2 3 4 5 6 7 8

w aktu pengamatan (minggu)

Kece

raha

n (m

)baratUtara

Gambar 6 Rata-rata kecerahan di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari

Kecerahan perairan di lokasi barat dan utara secara statistik berbeda sangat

nyata (Lampiran 3), dimana kecerahan tertinggi di lokasi budidaya barat.

Kecerahan pada lokasi barat dari minggu kesatu sampai minggu kelima

berfluktuasi kemudian stabil. Kecerahan di lokasi utara dari minggu kesatu

sampai minggu kedelapan dapat dikatakan stabil. Tingkat kecerahan di kedua

lokasi masih di atas 1,5 m dan bila dibandingkan dengan kriteria kesesuaian lahan

budidaya, maka tergolong cukup baik. Berdasarkan pemantauan, lokasi budidaya

barat tergolong lebih baik dari lokasi utara karena masih terdapat kondisi air yang

jernih. Hal ini didukung oleh Direktorat Jenderal Perikanan (1997) bahwa kondisi

air yang jernih dengan tingkat transparansi sekitar 1,5 m cukup baik bagi

pertumbuhan rumput laut dan yang terbaik adalah 5 m ke atas.

Suhu

Rumput laut mempunyai kisaran suhu yang spesifik karena adanya enzim

pada rumput laut yang tidak dapat berfungsi pada suhu yang terlalu dingin

maupun terlalu panas Dawes (1981). Suhu perairan mempengaruhi laju

31

fotosintesis dan dapat merusak enzim serta membran sel yang bersifat labil

terhadap suhu yang tinggi. Pada suhu yang rendah, membran protein dan lemak

dapat mengalami kerusakan sebagai akibat terbentuknya kristal didalam sel,

sehingga mempengaruhi kehidupan rumput laut, seperti kehilangan hidup,

pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, fotosintesis dan respieasi (Laning,

1990).

Kisaran suhu di lokasi budidaya sebelah barat berkisar antara 27-30 °C

dengan rata-rata 28,6 °C dan standar deviasi 1,59, sedangkan suhu di lokasi utara

berkisar antara 30-31 °C dengan rata-rata 30,2 °C dan standar deviasi 0,67

(Gambar 7 Lampiran 1 & 2).

262728293031323334

0 1 2 3 4 5 6 7 8Waktu pengamatan (minggu)

Suhu

( oC

)

Baratutara

Gambar 7 Rata-rata suhu perairan di lokasi budidaya

sebelah barat dan utara pulau Pari

Secara statistik suhu di kedua lokasi budidaya berbeda sangat nyata

(Lampiran 3). Suhu di lokasi barat pada minggu kesatu sampai minggu kelima

berkisar antara 27 - 28 °C dan meningkat pada minggu keenam sampai minggu

kedelapan menjadi 30 °C. Suhu di lokasi utara pada minggu kesatu sampai

minggu kedelapan mempunyai kisaran suhu yang tinggi yaitu 30 - 31 °C. Kisaran

suhu di lokasi barat masih cukup baik bagi peruntukan budidaya Eucheuma

dengan kisaran. Hal ini didukung oleh Mubarak dan Wahyuni (1981) bahwa

kisaran suhu antara 27-29 °C memberikan laju pertumbuhan Eucheuma, rata-rata

di atas 5%. Kisaran suhu di lokasi utara yang cukup tinggi antara 30-31 °C sangat

berpengaruh terhadap perkembangan tanaman uji. Perbedaan suhu di kedua

lokasi diduga karena letak lokasi dimana lokasi barat agak terbuka yaitu

32

berhadapan dengan laut lepas. Sementara di lokasi utara (gobah) agak tertutup

karena terhalang oleh pulau, sehingga lokasi barat lebih baik daripada lokasi utara.

Hal ini didukung oleh Nontji (1993) bahwa di gobah (lagoon) yang terperangkap

dijumpai suhu yang panas dan apabila air surut pada siang hari kadang-kadang

bisa mencapai 35 °C. Suhu perairan yang tinggi akan mengakibatkan thallus

rumput laut pucat kekuning- kuningan yang menyebabkan rumput laut tidak sehat

dan inilah salah satu kondisi bisa terinfeksi bakteri ice ice (Sulistijo 1996).

Faktor kimia

pH

pH merupakan faktor penting dalam kehidupan rumput laut diantara

faktor-faktor lingkungan lainnya. Setiap organisme mempunyai toleransi tertentu

terhadap pH, sama halnya dengan rumput laut yang memerlukan kondisi pH

perairan yang khas untuk kehidupannya. Nilai pH di lokasi barat berkisar antara

8,0-8,4 dengan rata-rata 8,2, dan standar deviasi 0,1455, sedangkan di lokasi utara

berkisar antara 7,1-7,4 dengan rata-rata 7,3 dan standar deviasi 0,0807 (Gambar 8

Lampiran 1 & 2). Kadar pH selama masa pemeliharaan di kedua lokasi budidaya

tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman uji. Menurut Chapman (1962) hampir

seluruh algae menyukai kisaran pH 6,8-9,6, sehingga pH bukanlah masalah bagi

pertumbuhannya. pH yang baik bagi kehidupan dan pertumbuhan Eucheuma sp.

berkisar antara 7-9 dengan kisaran optimum 7,3-8,2. (Zatnika 1988).

6

7

8

9

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Waktu pengamatan (minggu)

pH

Baratutara

Gambar 8 Rata-rata pH di lokasi budidaya sebelah barat

dan utara pulau Pari.

33

Oksigen terlarut

Oksigen dihasillkan dari tanaman rumput laut dan menjadi kelanjutan

kehidupan biota perairan karena dibutuhkan oleh hewan dan tanaman air,

termasuk bakteri untuk respirasi. Fitoplankton juga membantu menambah jumlah

kadar oksigen terlarut pada lapisan permukaan diwaktu siang hari sebagai hasil

dari proses fotosintesis. Proses pertukaran oksigen antara udara dan laut

dipengaruhi oleh difusi, pergantian air yang ada di permukaan dan oleh

gelembung udara yang terjadi pada saat turbulensi (Sijabat 1973 in Kusdi 2005).

Kandungan oksigen terlarut di lokasi budidaya barat berkisar antara 3,96-

6,96 mg/l dengan rata-rata 5,59 mg/l dan standar deviasi 0,10, sedangkan di lokasi

budidaya sebelah utara kisaran oksigen terlarut antara 3,90-4,86 mg/l dengan rata-

rata 4,63 mg/l dan standar deviasi 0,03 (Gambar 9 Lampiran 1 & 2). Perbedaan

kandungan oksigen kedua lokasi tersebut secara statistik berbeda nyata. Oksigen

terlarut di lokasi barat dari minggu kesatu sampai minggu keempat berkisar antara

6,52-6,78 mg/l kemudian menurun pada minggu kelima sampai minggu kedelapan

dengan kisaran 3,96-4,5 mg/l. Kandungan oksigen terlarut di lokasi utara pada

minggu kesatu sampai minggu kedelapan tidak ada perbedaan yang menyolok dari

rata-rata 4,6 mg/l. Perbedaan oksigen pada kedua lokasi budidaya ini diduga

karena gerakan air di lokasi utara sangat rendah, sehingga lokasi budidaya barat

masih lebih baik. Hal ini diacu dengan pernyataan Zatnika (1988) bahwa oksigen

terlarut untuk lahan budidaya berkisar antara 4,8 - 6,2 mg/l (Tabel 4).

012345678

0 1 2 3 4 5 6 7 8Waktu pengamatan (minggu)

Oks

igen

terla

rut (

mg/

l)

BaratUtara

Gambar 9 Rata-rata kandungan oksigen terlarut di lokasi budidaya

sebelah barat dan utara pulau Pari.

34

Peranan unsur hara

Unsur hara (N dan P) diperlukan diperlukan rumput laut untuk pertmbuhan,

reproduksi dan pembentukan cadangan makanan berupa kandungan zat-zat

organik seperti karbohidrat, protein dan lemak. Masuknya unsur hara ke dalam

jaringan tubuh rumput laut melalui proses difusi pada seluruh bagian permukaan

tubuh rumput laut. Bila difusi makin banyak akan mempercepat proses

metabolisme, sehingga akan meningkatkan laju pertumbuhan. Apabila perairan

mengalami kekurangan unsur hara, maka akan mengakibatkan pertumbuhan

rumput laut lambat dan tidak sehat. Hal ini sangat nampak pada kegiatan

budidaya di perairan pulau Pari.

Nitrogen

NO3-, NO2

- dan NH3

Konsentrasi nitrat, nitrit dan amonia di lokasi budidaya barat berturut-turut

berkisar antara 0,152-0,272 mg/l dengan rata-rata 0,1998, nitrit 0,0102-0,0113

mg/l dengan rata - rata 0,0105 dan amonia 0,1706-0,1821 mg/l dengan rata-rata

0,1772 mg/l, sedangkan lokasi budidaya utara berkisar antara 0,1097-0,1114 mg/l

dengan rata-rata 0,1105 mg/l, nitrit 0,0108-0,0110 mg/l dengan rata-rata 0,0109,

dan amonia 0,1714-0,1814 mg/l dengan rata-rata 0,1802. Konsentarasi nitrat di

lokasi budidaya barat berfluktuasi dan tertinggi pada minggu ketiga yaitu 0,27

mg/l kemudian menurun sampai minggu kedelapan yaitu 0,170, sedangkan

konsentrasi nitrat di lokasi budidaya utara selama masa pemeliharaan dari minggu

kesatu sampai minggu kedelapan lebih rendah dan relatif sama (Gambar 10

Lampiran 1 dan 2). Rata - rata konsentrasi nitrat di kedua lokasi budidaya rendah

sekali bila dibandingkan dengan konsentrasi yang ideal 1,0 - 3,2 (Tabel 4), namun

lokasi budidaya sebelah barat masih lebih baik daripada lokasi budidaya sebelah

utara.

35

Gambar 10 Rata-rata nitrat, nitrit dan amonia di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari.

Pospat

Total pospat dan ortho pospat

Pospat merupakan unsur penting bagi semua aspek kehidupan terutama

berfungsi dalam transformasi energi metabolik yang perannya tidak dapat

digantikan oleh unsur lain (Kuhl 1974). Unsur P di perairan terdapat dalam

senyawaan pospat dalam bentuk organik dan anorganik, namun hanya ortho

pospat yang terlarut dalam air dan dapat langsung digunakan oleh organisme

nabati (Haryadi et al. 1992).

Kandungan total pospat di lokasi budidaya sebelah barat berkisar antara

0,116-0,136 mg/l dengan rata- rata 0,1225 dan lokasi budidaya sebelah utara

berkisar antara 0,0056-0,0062 mg/l dengan rata-rata 0,0060. Ortho pospat di

lokasi budidaya barat berkisar antara 0,0060-0,0080 mg/l dengan rata-rata 0,0074

dan lokasi utara 0,0041-0,0054 mg/l dengan rata-rata 0,0049 (Gambar 11

Lampiran 1 dan 2). Secara statistik kandungan orhto pospat di kedua lokasi

budidaya berbeda nyata. Kandungan orhto pospat berada pada konsentrasi sangat

rendah bila dibandingkan dengan konsentrasi ortho pospat yang ideal (Tabel 4).

namun di lokasi budidaya barat masih lebih baik daripada lokasi budidaya sebelah

utara.

0.155

0.165

0.175

0.185

0.195

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Waktu pengamatan (mg/l)

Amon

ia (m

g/l)

BaratUtara

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0 1 2 3 4 5 6 7 8w aktu pengamatan (minggu)

Nitr

at (m

g/l)

BaratUtara

0.005

0.008

0.011

0.014

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Waktu pengamatan (minggu)

Nitr

it (m

g/l)

BaratUtara

36

Kekurangan pospat akan lebih kritis bagi tanaman akuatik termasuk

tanaman algae dibandingkan dengan kekurangan nitrogen di perairan karena

walaupun ketersediaan pospat sering melimpah dalam bentuk berbagai senyawa

pospat namun hanya dalam bentuk ortho pospat (PO4) yang dapat dimanfaatkan

langsung oleh tanaman akuatik.

Gambar 11 Rata-rata kandungan total pospat dan ortho pospat di lokasi

budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari.

Faktor biologi

Algae yang dibudidayakan tidak terlepas dari pengaruh biologi perairan

seperti predator, pencemaran dan penyakit. Fungsi ekologis dari rumput laut

sebagai pendukung kehidupan akuatik di laut yaitu sebagai makanan dan

pelindung binatang akuatik selalu mempengaruhi persporaan rumput laut.

Binatang-binatang ini pada awalnya hanya memakan tumbuhan penempel di

sekitar tanaman tetapi kemudian memakan Kappaphycus. Saat pengamatan

dilakukan, banyak ditemukan benih ikan baronang dan algae penempel di kedua

lokasi penelitian barat dan utara hal ini diduga sedang terjadi musim pemijahan

ikan baronang di perairan pulau Pari. kepulauan Seribu pada bulan Mei dan

Oktober-Nopember merupakan musim ikan baronang dalam jumlah besar yang

dapat merugikan nelayan rumput laut ( Sulistijo 2002).

Selain predator ikan, ada juga tumbuhan yang menjadi pesaing bagi

pertumbuhan K. alvarezii dan tumbuh pada rakit penelitian. Di samping itu

tumbuhan penempel seperti tunikata yang menutupi thallus rumput laut akan

menyerap nutrisi dan menghalangi proses fotosintesis. Gangguan ini dapat

mengakibatkan tanaman menjadi tidak sehat dan dengan mudah terinfeksi bakteri

penyebab ice ice pada bagian yang tertutup total oleh koloni tunikata.

37

Tumbuhan penempel di lokasi barat mulai kelihatan pada minggu ketiga,

sedangkan ikan baronang yang memakan thallus mulai menyerang pada minggu

kelima. Kondisi tanaman uji menunjukkan adanya serbuk putih pada luka bekas

gigitan ikan dan mulai menjalar ke bagian thallus sekitar bekas gigitan karena

infeksi bakteri ice ice (Gambar 12).

Gambar 12 Luka bekas gigitan ikan pada tanaman uji.

Sementara di lokasi utara mulai dari minggu kedua sudah banyak terdapat

tumbuhan penempel dan luka bekas gigitan ikan pada tanaman uji serta sampah

disekitar rakit (Gambar 13).

Gambar 13 Kotoran dan algae penempel pada tanaman uji

Perbedaan tingkat keberhasilan di kedua lokasi budidaya diduga karena

pengaruh dari kondisi kualitas lingkungan budidaya, sehingga tanaman di lokasi

barat masih ada pernambahan bobot sedangkan pada lokasi utara tidak ada

pernambahan bobot. Tumbuhan pengganggu dan sampah di kedua lokasi berupa

limbah rumah tangga seperti plastik, dedaunan dan ranting yang menyangkut pada

rakit penelitian di lokasi budidaya ( gambar 14).

38

Gambar 14 Sampah dan tumbuhan pengganggu di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari

Secara historis lahan budidaya rumput laut di pulau Pari lebih efisien

dibanding lahan budidaya di gugusan pulau Pari. Namun dari parameter-

parameter kualitas lingkungan yang diamati selama masa pemeliharaan diacu

dengan hasil pengukuran biofisik kualitas perairan dari penelitian IPB (1997)

menunjukkan kualitas lingkungan perairan semakin menurun hampir tidak sesuai

untuk lahan budidaya (Tabel 4).

Tabel 5 Perbandingan kualitas perairan di pulau Pari tahun 1997 dan 2002

Parameter Satuan Tahun 1997 Tahun 2002 Fisika a. Arus cm/det 10 < 10 b. Suhu °C 29 30-32 Kimia a. pH 7 8-8.03 b. Salinitas ‰ 32 30 c. Nitrat mg/l 0.003 0.001-0.002 d.Phosphat mg/l 0.007 0.001-0.006 e.Timah hitam (Tb) mg/l 0.005 0.012-0.027 Biologi a. Komunitas makro alga banyak sedang b. Hewan-herbivor sedang banyak Lingkungan c.Pencemaran tidak ada ada/tinggi

Sumber: Besweni (2002)

39

Analisis Komponen Utama

Analisis komponen utama dilakukan untuk menggambarkan korelasi

karakteristik fisika - kimia perairan pada setiap stasiun pengamatan. Terlihat

bahwa informasi penting terpusat pada tiga sumbu utama (Fl, F2 dan F3) baik di

lokasi budidaya sebelah barat maupun utara. Di lokasi budidaya sebelah barat

masing-masing sumbu mempunyai kontribusi sebesar 56,34%, 16,12% dan

12,91% dari total ragam sebesar 85% (Lampiran 9B). Sedangkan di lokasi

budidaya sebelah utara masing-masing sumbu (F1, F2 dan F3) mempunyai

kontribusi sebesar 44,87%, 20,80% dan 14,62% dari total ragam sebesar 80,28%,

(Lampiran 10B).

Korelasi antar variabel terlihat bahwa di lokasi budidaya sebelah barat

variabel berperan utama membentuk sumbu F1 adalah oksigen terlarut dan arus

dengan kontribusi sebesar 14,03% dan 13,50%, variabel ortho-pospat berperan

utama dalam membentuk sumbu F2 dengan kontribusi sebesar 39,63% dan

variabel kecerahan dan total fosfat berperan utama dalam membentuk sumbu F3

(Lampiran 9C).

Hasil korelasi antar variabel terlihat bahwa di lokasi budidaya sebelah

utara variabel berperan utama dalam membentuk sumbu F1 adalah suhu dengan

kontribusi sebesar 15,24%, dan F2 adalah total pospat, nitrat dan kecerahan

dengan kontribusi sebesar 29,4%, 23,20% dan 20,27%. (Lampiran 10C). Uraian

di atas dapat dinyatakan bahwa kualitas lingkungan fisika kimia di sebelah barat

dicirikan oleh arus dan oksigen. Lokasi budidaya utara dicirikan oleh suhu,

kecerahan, nitrat dan total pospat.

Pertumbuhan Rumput Laut

Perkembangan biomassa

Pertumbuhan rumput laut seperti halnya pertumbuhan algae akan

mengikuti pola pertumbuhan logistik (ekperimen maksimal) yaitu pada mulanya

meningkat linear sampai tingkat maksimal mendekati plateau. Pertumbuhan

rumput laut K. alvarezii yang diamati selama 8 minggu di kedua lokasi budidaya

barat dan utara pulau Pari memperlihatkan dua tahap pembentukan biomassa yaitu

tahap pertama (minggu 1-4) dan tahap kedua (minggu 5-8). Pertumbuhan rumput

40

laut ditentukan oleh faktor kecerahan, temperatur, unsur hara (N dan P) dan

keadaan biomassa. Bobot basah yang dihasilkan merupakan suatu produksi

pembentukan biomassa yang ditentukan oleh laju pertumbuhan (G) x bobot

biomassa (−

B ). Apabila keadaan biomassa rumput laut mengalalami tekanan

lingkungan, maka kondisi biomassa dalam keadaan rentang terhadap penyakit.

Kondisi seperti ini mengakibatkan rumput laut terkena penyakit ice ice

(pengkroposan), sehingga produksi rumput laut ditentukan oleh laju pertumbuhan

(G) x laju pengkroposan (z) dan (−

B ). Pada tahap awal G > z (minggu 1 - 4),

sehingga masih terdapat pertumbuhan biomassa. Apabila pengkroposan

meningkat maka G < z (minggu 5 - 8) mengakibatkan pembentukan biomassa

menurun. Sehubungan dengan proses laju pertumbuhan, maka penanaman rumput

laut dengan bobot awal yang sama di kedua lokasi budidaya (125 g) menunjukkan

karakter pertumbuhan yang tidak normal. Lokasi budidaya barat masih terlihat

adanya pertambahan bobot, namun pertumbuhan yang semestinya dalam keadaan

pesat mendadak menurun setelah mencapai puncak pada minggu keempat

Lokasi budidaya barat pertumbuhan biomassa dari minggu kesatu sampai

minggu keempat meningkat dari 125 ke 206,3g dan mengikuti pola hubungan

linear yaitu Y = 28,15x + 91,3 ; R2 = 0,88 (gambar 15). Laju pertumbuhan dari

minggu pertama sampai minggu keempat sebesar 28,15 g/minggu.

Gambar 15 Pertubuhan rumput laut minggu ke 1- 4 dan minggu ke 5-8 di lokasi budidaya barat pulau Pari.

Selanjutnya dari minggu kelima sampai minggu kedelapan terjadi

penurunan biomassa dari 206,3 ke130,6g serta mengikuti pola hubungan linear

y = -20.64x + 291.66R2 = 0.9708

0

50

100

150

200

250

5 6 7 8

Waktu pengamatan (minggu)

Bob

ot b

asah

(g)

y = 28.15x + 91.3R2 = 0.8823

050

100150200250

1 2 3 4

Waktu pengamatan (minggu)

Bob

ot b

asah

(g)

41

yaitu Y = - 20,64x + 291,66 ; R2 = 0,97 (Gambar 15). Laju pengkroposan mulai

dari minggu kelima sampai minggu kedelapan sebesar -20,64g / minggu.

Pembentukan biomassa setelah minggu kelima lebih didominasi oleh

penurunan bobot basah karena meningkatnya infeksi bakteri penyebab penyakit

ice ice, sehingga faktor produksi, kecerahan, tempratur dan unsur hara menjadi

tereliminir.

Pembentukan biomassa pada tahap pertama sampai tahap kedua

memberikan indikasi laju pertumbuhan lebih kecil dari laju pengkroposan,

sehingga terjadi penurunan biomassa (biomassa mengalami pengkroposan). Pada

tahap pertama (minggu ke1-4) terjadi penurunan yang mendatar dari 125 ke

89,97g dan mengikuti pola hubungan linear yaitu Y = -9.8x + 127,7 ; R2 = 0,93

(gambar17). Pada tahap kedua (minggu ke5-8) terus mengalami penurunan yang

tajam dari 71,5 ke 31,3g dan mengikuti pola hubungan linear Y = -14,48x +

153,52 ; R2 = 0,99 (gambar 17).

Gambar 17 Laju pengkroposan rumput laut tahap pertama (a) dan kedua (b) di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari. Persamaan tersebut memberikan indikasi bahwa laju pengkroposan

semakin meningkat yaitu pada minggu pertama sampai minggu keempat -9,8g /

minggu meningkat pada minggu kelima sampai kedelapan menjadi -14,48g /

minggu. Keadaan tersebut diperkirakan karena meningkatnya aktivitas bakteri

penyebab penyakit ice ice.

Keterkaitan hubungan pembentukan biomassa dengan unsur hara dan atau

pengkroposan dengan faktor lingkungan akan dibahas pada hubungan laju

pertumbuhan dengan unsur hara dan laju degradasi dengan kualitas lingkungan

perairan.

y = -9.8x + 127.7R2 = 0.9288

20406080

100120140

1 2 3 4

Waktu pengamatan (minggu)

Bob

ot b

asah

(g) y = -14.48x + 153.52

R2 = 0.9934

10

30

50

70

90

5 6 7 8

Waktu pengamatan (minggu)

Bob

ot b

asah

(g)

42

Kondisi rumput laut di lokasi budidaya sebelah barat maupun utara dari

hasil pemantauan memberikan indikasi bahwa rumput laut mengalami stress. Bila

dikaitkan dengan ilmu pemyakit tumbuhan, maka tanaman uji dalam kondisi

lemah / rentan terhadap penyakit. Hal ini dipermudah dengan keadaan lingkungan

yang mendukung patogen, sehingga tanaman dengan cepat terinfeksi bakteri

penyebab penyakit ice ice. Secara biologi tanaman tidak mampu melakukan

kegiatan fisiologinya secara normal, sehingga tidak mampu berkembang dan

secara ekonomi tanaman tidak mampu memberikan hasil yang cukup, baik

kuantitas maupun kualitasnya.

Secara umum bobot basah rumput laut pada kondisi yang normal dari

waktu ke waktu terus mengalami peningkatan dan secara nyata dimulai pada

minggu kedua sampai minggu ketuju bersamaan dengan meningkatnya kandungan

karaginan. Hal ini didukung oleh Salisbury dan Ross (1992) bahwa pada jaringan

muda rumput laut, aktivitas sel diarahkan untuk pertumbuhan yaitu melakukan

pembelahan dan pembesaran sel.

Perbedaan tingkat keberhasilan ini diduga karena posisi kedua lokasi

budidaya, dimana lokasi budidaya barat yang merupakan perairan terbuka (berada

diluar gobah buka) yang masih mendapat gerakan air, sedangkan di lokasi

budidaya utara yang merupakan perairan tertutup (berada di gobah) yang kurang

mendapat gerakan air, sehingga pasokan nutrien yang diperlukan tidak terpenuhi.

Pada musim barat 2005 terjadinya gagal panen, akibat sebagian besar hasil

budidaya terkena penyakit ice ice diikuti kualitas produk yang tidak dapat

diterima oleh pasaran. Dapat dijelaskan tentang permsalahan tersebut bahwa

akibat pengaruh musim yang mempengaruhi faktor-faktor ekologis seperti

intensitas cahaya, suhu air, unsur hara, sehingga mempengaruhi hasil panen.

Diantara pengaruh yang ditimbulkan adalah "Aging effect" yang ditandai dengan

perubahan morfologi yaitu tanaman menjadi kurus, percabangan sedikit,

permukaan thallus menjadi kasar (Gambar 18). Kondisi ini dapat pulih apabila

tidak ada komplikasi yang berkelanjutan, jika keadaan ini terus berlanjut maka

terjadi pertumbuhan yang lambat karena sel-sel tanaman tidak dapat berfungsi

dengan baik (DirJen. Perikanan 1997). Kondisi ini diperburuk dengan adanya

43

gigitan ikan yang membuat jalan masuk bakteri ke bagian jaringan dalam,

sehingga infeksi bakteri penyebab ice ice lebih cepat.

Gambar 18 Permukaan thallus rumput laut yang kasar.

Penyakit rumput laut muncul karena adanya substansi pelindung intraseluler

pada saat rumput laut mengalami tekanan lingkungan, sehingga menyebabkan

kegagalan panen. Penyakit ice ice terjadi oleh pengaruh beberapa jenis rumput

laut lain yang menempel, rendahnya unsur hara di perairan dan oleh biota air

starfish (Trono 1992, Lobban dan Harison 1994). Penyakit yang timbul pada

musim panas dan arus lemah ini ditandai dengan warna pucat pada tanaman

secara keseluruhan kemudian hilang warna pada cabang-cabang dan akhirnya

menjadi keputih-putihan. Jaringan tanaman pada bagian yang terkena penyakit

menjadi lunak dan hancur, sedangkan bagian cabang yang terinfeksi akan retak

dan putus jatuh ke laut, sehingga mengakibatkan kehilangan bobot tanaman

(Gambar 19).

Gambar 19 Rumput laut yang terkena penyakit di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari (a) Bagian ujung tanaman K. alvarezii yang terkena penyakit (b) bagian cabang tanaman yang terkena penyakit

44

Tanaman budidaya akan lebih cepat terinfeksi apabila terdapat banyak bekas

luka karena akan menjadi jalan masuk bagi bakteri patogen. Hasil pengamatan di

lapangan menunjukkan infeksi bakteri penyebab penyakit ice ice pada thallus

dapat terjadi melalui beberapa cara yaitu terinfeksi pada luka bekas pemotongan

(stek untuk bibit), luka akibat gigitan ikan, luka akibat ikatan bibit terlalu erat dan

masuk melalui pori-pori thallus (Gambar 20).

Gambar 20 beberapa cara terinfeksi bakteri penyebab penyakit ice ice. : (a) bekas pemotongan (stek untuk bibit) (b) luka akibat gigitan ikan (c) luka karena ikatan bibit terlalu erat (d) masuk melalui pori-pori thallus

c d

45

Pertumbuhan parsial

Pertumbuhan parsial rumput laut adalah pertubuhan yang terjadi antar waktu

tertentu dan dinyatakan dalam bentuk pertumbuhan mutlak, relatif dan sesaat

(tabel 6).

Tabel 6 Pertumbuhan mutlak, relatif dan sesaat rumput laut di sebelah barat dan utara pulau Pari

Minggu Barat Utara

Mutlak (g) Relatif (%) Mutlak (g) Relatif (%) 1 1,84 1.472 -11 -9.040 2 8,21 6.473 -2 -2.111 3 21,15 15.661 -12 -8.805 4 50,10 32.074 -12 -11.626 5 -15,60 -7.562 -18 -20.290 6 -10,20 -5.349 -13 -18.321 7 -30,30 -16.787 -14 -24.486 8 -19,60 -13.049 -12 -29.025

Pertumbuhan parsial rumput laut di lokasi budidaya barat dari minggu

pertama sampai minggu keempat semakin meningkat dengan pertumbuhan

mutlaknya 1,84 – 50,10g, relatifnya 1.472 – 32,074%. Pada minggu pertama

sampai minggu keempat masih terdapat pertumbuhan parsial yang didukung oleh

kecerahan, suhu, unsur hara dan kondisi biomassa. Pertumbuhan rumput laut

tersebut ternyata tidak berlanjut mengikuti pola pertumbuhan logistik (normal)

seperti hasil penelitian Kusdi (2005) (Gambar 21).

Gambar 21 Pertumbuhan rumput laut normal di lokasi budidaya Halmahera (Kusdi 2005).

46

Sementara mulai minggu kelima sampai minggu kedelapan kondisi

biomass mengalami pengkroposan karena telah terinfeksi bakteri penyebab

penyakit ice ice. Laju pengkroposan biomassa melampaui laju pertumbuhan

rumput laut, sehingga pertumbuhan parsial berubah menjadi menurun.

Penurunan/pengkroposan mutlak rumput laut berkisar antara -10,20 – -30,30g,

relatif -7,562 – -16,787%. Pertumbuhan parsial yang bersifat negatif (terjadi

pengkroposan), maka total biomassa rumput laut cenderung semakin menurun.

Pertumbuhan parsial di lokasi budidaya utara dari minggu pertama sampai

minggu keempat cenderung negatif dengan pertumbuhan mutlak berkisar antara

-2 – -12g, relatif -09,040 – -11,626%. Pertumbuhan negatif terus berlanjut dari

minggu kelima sapai kedelapan. Pertumbuhan parsial mutlak berkisar antara

-12 – -18g, relatif -18,321 – -29,025%. Degradasi biomassa rumput laut tersebut

terindikasi dari warna thallus yang pucat secara keseluruhan kemudian hilang

warna dan akhirnya menjadi keputih-putihan. Jaringan tanaman pada bagian yang

terkena penyakit menjadi lunak dan hancur. Dari uraian tersebut dapat

disimpulkan bahwa pertumbuhan rumput laut pada akhirnya merupakan

perpaduan antara laju pembentukan biomassa dan laju pengkroposan. Biomassa

rumput laut di lokasi budidaya barat dari minggu pertama sampai keempat laju

pertumbuhannya masih lebih besar dari laju pengkroposan. Sebaliknya minggu

kelima sampai minggu kedelapan di lokasi barat dan atau lokasi utara

memperlihatkan laju pengkroposan lebih besar dari laju pembentukan biomassa.

Hal ini terjadi sebagai akibat infeksi bakteri ice ice semakin meningkat.

Hubungan antara laju pertumbuhan dengan unsur hara(nitrat, ortho pospat) serta

laju pengkroposan dengan suhu, arus dan tempratur akan dibahas pada topik

selanjutnya.

Hubungan laju pertumbuhan dengan unsur hara

Untuk melihat hubungan laju pertumbuhan rumput laut dengan unsur hara

dilakukan analisis regresi berganda. Hasil analisis regresi berganda terhadap laju

pertumbuhan dengan unsur hara di lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari pada

minggu pertama sampai minggu keempat ternyata memenuhi persamaan regresi

ganda y = -281 + 1551 nitrat + 14596 ortho pospat dengan nilai koefisien

47

determinasi R = 83%. Hasil uji variance diperoleh P-value lebih kecil dari (0,05)

berati regresi tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan variabel-variabel

terikat yang berpengaruh terhadap variabel bebas atau dapat dikatakan nitrat dan

ortho pospat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan. Nilai koefisien masing-

masing variabel menunjukkan bahwa variabel x yang berpengaruh terhadap y

adalah nitrat sebesar 0,001 (P<0,05) dan ortho pospat 0,001 ((P<0,05) (Lampiran

11). Dengan demikian disimpulkan bahwa hasil analisis tersebut terindikasi

bahwa ketersediaan unsur hara (nitrat dan ortho pospat) secara interaksi bersama

menentukan laju pertumbuhan.

Hubungan degradasi dengan suhu,arus dan oksigen terlarut

Seperti telah dijelaskan diatas, maka di lokasi budidaya barat dan utara

telah terjadi pengkriposan biomassa yaitu di lokasi barat di minggu ke5 sampai

ke8 dan lokasi barat di minggu ke1 sampai minggu ke8. Hubungan degradasi /

pengkroposan biomassa dengan suhu, arus dan oksigen terlarut ternyata

memenuhi persamaan regresi ganda. Persamaan regresinya sebagai berikut :

Lokasi budidaya barat minggu ke5-ke8 y = 1852-10 oksigen-7,79 arus – 34,7

suhu dengan R = 98,9%, lokasi budidaya utara minggu ke1-ke4 y = -981 + 19,3

suhu + 4,74 arus +8,52 oksigen dengan R = 98,2%, dan minggu ke5-ke8 y = -

1489 + 45,1 suhu + 25,3 arus – 6,14 oksigen dengan R = 99%. Hasil uji variance

(Lampiran 12) dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa ketiga variabel yaitu

suhu, arus dan oksigen terlarut berpengaruh terhadap laju pengkroposan biomassa.

Dari nilai koefisien masing-masing suhu, arus dan oksigen memberikan indikasi

bahwa ketiga faktor lingkungan tersebut secara langsung berperan terhadap

intensitas perkembangan bakteri ice ice dalam pengrusakan biomassa rumput laut.

Kecepatan arus berperan terhadap lama waktu penempelan dan penyebaran yang

mengkontaminasi keseluruhan biomassa rumput laut. Suhu dan oksigen terlarut

berperan terhadap perkembangan populasi bakteri penyebab ice ice dalam

mendegradasi biomassa rumput laut. Hal ini didukung oleh Sulistijo (2002)

bahwa penyakit ice ice timbul pada musim laut tenang dan arus lemah diikuti

dengan suhu perairan yang tinggi. Tingkat degradasi biomassa rumput laut

mencerminkan tingkat perkembangan populasi dan intensitas pengkroposan

48

rumput laut. Dari uraian tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa laju

pertumbuhan biomassa rumput laut di lokasi budidaya barat dari minggu ke1-ke4

ditentukan oleh keberadaan nitrat dan ortho pospat, sedangkan laju degradasi /

pengkroposan di lokasi budidaya barat minggu ke5-k8 dan di utara minggu ke1-k8

ditentukan oleh faktor suhu,arus dan oksigen terlarut memicu perkembangan

populasi bakteri dalam menginfeksi dan mendegradasi biomassa rumput laut.

Produksi Bobot Kering

Bobot kering rumput laut didapat dari pengeringan terhadap rumput laut

basah dengan cara penjemuran pada sinar matahari. Pengeringan ini bertujuan

untuk menurunkan kadar air rumput laut basah + 90% menjadi rumput laut kering

dengan kadar air + 20% ( Suryaningrum 1988). Menurut Noor (1991) kadar air

rumput laut segar berkisar antara 85 - 90%. Lokasi budidaya barat dari minggu

kesatu sampai minggu keempat penyusutan berkurang dari 95,20% sampai dengan

93,34%, sedangkan pada minggu kelima sampai kedelapan penyusutannya tetap

yaitu 91% ( Tabel 7). Lokasi budidaya utara dari minggu pertama sampai minggu

kedelapan nilai penyusutan terus berkurang. Kondisi ini terjadi di lokasi budidaya

utara karena hilangnya bagian-bagian rumput laut dan diganti dengan tunas baru.

Tabel 7 Bobot dan penyusutan K. alvarezii di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari.

Pengamatan (munggu)

Bobot (g) Penyusutan (%) Basah kering Barat Utara Barat Utara Barat Utara

0 125 125 5,9 6,15 95,20 95,08 1 126,8 113,7 6,1 5,88 95,28 94,83 2 135,1 111,3 7,1 5,89 95,19 94,71 3 156,2 101,5 10,4 5,9 94,74 94,19 4 206,3 89,7 17,3 5,91 93,34 93,41 5 190,7 71,5 16 5,92 91,61 91,72 6 178,5 58,4 14,6 5,93 91,61 89,85 7 150,2 44,1 11,2 5,94 91,82 86,53 8 130,6 31,3 9,2 5,95 92,54 80,99

Sumber : Hasil penelitian yang diolah

49

Tanaman uji yang terkena penyakit akan hancur dan putus juga ujung-

ujung thallus yang dimakan ikan, sehingga akan tumbuh tunas yang baru.

Mengacu dari kondisi tanaman uji, maka bobot kering tanaman yang diperoleh

tidak dipengaruhi oleh lama penanaman karena tanaman selalu berada pada

kondisi tanaman muda. Menurut Dawes (1974) berat kering tumbuhan muda

lebih rendah daripada tumbuhan tua. Jaringan rumput laut yang lebih tua dapat

mengakumulasi deposit garam-garam yang menyebabkan unsur keringnya

semakin tinggi (Simpson et al. 1978).

.

Kandungan Karaginan

Proses panen baik berdasarkan waktu atau bobot tidak menjamin mutu

rumput laut, tetapi mutu rumput laut ditentukan oleh mutu bibit dan kualitas

perairan. Satari (1998) melalui penelitiannya dengan variasi waktu pemeliharaan

K. alvarezii dari minggu kesatu sampai minggu keenam tidak mendapatkan

perbedaan yang berarti terhadap kandungan karaginan. Rahardjo (2000)

mendapatkan panen yang baik dengan biomassa dan kandungan karaginan

tertinggi pada waktu pemeliharaan selama 6 minggu di lokasi pulau Tidung

Kepulauan Seribu.

Kandungan karaginan K. alvarezii di lokasi budidya sebelah barat pulau

Pari mengalami peningkatan sampai minggu keempat. Pada minggu kesatu

kandungan karaginan 9,46% terus meningkat dan mencapai puncak di minggu

keempat dengan persentase 16,77% kemudian menurun di minggu kelima

seterusnya sampai minggu kedelapan hingga mencapai kandungan karaginan

terendah 4,51%. Kandungan karaginan di lokasi budidaya sebelah utara mulai

minggu kesatu sampai minggu kedelapan tidak ada peningkatan kandungan

karaginan, tetapi sebaliknya terus mengalami penurunan hingga mencapai

kandungan karaginan terendah sebesar 1,23% (Gambar 22 dan Lampiran 8).

Pola kandungan karaginan yang diperoleh pada penelitian di kedua lokasi

budidaya barat dan utara tidak sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya.

Kandungan karaginan K. Alvarezii cenderung mengalami peningkatan menurut

lama penanaman dan kualitas terbaik kandungan karaginan maximum dicapai

pada usia 35 hari atau minggu kelima (Kusdi 2004). Selanjutnya Sulistijo (1994)

50

menyatakan waktu pemeliharaan 45 hari kandungan karaginan mencapai

maximum yaitu 52.70% dan kadar air 24.42%.

Kandungan karaginan di kedua lokasi budidaya secara statistik berbeda

sangat nyata (Lampiran 6), namun perbedaan ini tidak memperlihatkan kualitas

yang baik sesuai standar kualitas K. Alvarezii untuk diterima pasaran dalam

maupun luar negeri. Menurut Soegiarto et al. (1978) bahwa standar kualitas

Eucheuma untuk dipasarkan dalam dan luar negeri kandungan karaginan 25%.

Kandungan karaginan dari tanaman uji di kedua lokasi sangat rendah disebabkan

karena penyakit ice ice. Thallus rumput laut yang sudah terkena penyakit akan

keropos dan hancur kemudian akan digantikan dengan tunas-tunas yang baru,

sehingga lama pemeliharaan tidak berpengaruh terhadap kandungan karaginan.

Perbedaan kandungan keraginan pada kedua lokasi tersebut diduga karena

perbedaan kualitas lingkungan masing-masing. Mukti (1987) menyatakan

persentase kandungan karaginan dalam rumput laut karaginofit berkaitan langsung

dengan kondisi lingkungan yaitu lingkungan fisika, kimiawi dan biologi juga

kondisi lingkungan tempat tumbuhnya karaginofit tersebut.

0

5

10

15

20

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Waktu pengamatan(minggu)

Kara

gina

n (%

)

Baratutara

Gambar 22 Rata-rata kandungan karaginan di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari. Kadar Air

Kadar air pada rumput laut merupakan komponen kimia penting yang

berhubungan dengan mutu rumput laut. Kadar air yang dimaksud adalah besarnya

persentase kadar air persatuan bobot kering angin produk rumput laut. Kadar air

yang cukup tinggi akan menyebabkan menurunnya kualitas karaginan yang

dihasilkan. Dalam perdagangan, kadar air rumput laut kering untuk industri

51

pangan dan farmasi yang memenuhi syarat mutu dari Departemen Perdagangan

adalah maximum 32% (Soegiarto et al. 1978).

Secara statistik kadar air di lokasi budidaya berbeda nyata (Lampiran 6).

Kadar air rata-rata di lokasi budidaya sebelah barat sebesar 20,70%, maksimum

22,83% dan minimum19,10%, Sedangkan kadar air rata-rata di lokasi budidaya

utara sebesar 21,76%, maksimum 23,82% dan minimum 20,08%. Namun kadar

air setelah pengeringan di laboratorium dengan vacum dryer di peroleh nilai

persentase yang masih memenuhi standar pemasaran (Gambar 23).

05

1015202530

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Waktu (minggu)

Kad

ar a

ir (%

)

barat

utara

Gambar 23 Rata-rata kadar air di lokasi budidaya sebelah barat

dan utara pulau Pari

Kadar Abu

Kualitas hasil panen rumput laut ditentukan pula oleh persentase kadar abu

karena kadar abu yang relatif tinggi akan menyebabkan rendahnya kualitas hasil

panen. Nilai kadar abu diperoleh setelah dilakukan proses pembakaran atau

pengabuan dalam alat pembakaran (tanur). Bagian jaringan rumput laut berupa

serat dan bahan-bahan yang mengandung karbon serta beberapa mineral tersisa

menjadi abu setelah proses pembakaran, sedangkan bahan lainnya habis menguap

saat pembakaran. Kadar abu dalam tanaman rumput laut ditentukan oleh bahan

penyusun jaringan dimana semakin tinggi bahan serat dan senyawa-senyawa yang

mengandung karbon dalam jaringan, maka semakin tinggi pula kadar abu yang

dihasilkan saat pembakaran.

Menurut Hirao (1971) bahwa kadar abu pada rumput laut berkisar antara

15 - 40%. Kadar abu di kedua lokasi budidaya cukup tinggi yaitu di lokasi

budidya sebelah barat pulau Pari kadar abu rata-rata sebesar 20,30%, maksimum

52

22,3% dan minimum 16,9%. Sementara di lokasi budidaya sebelah utara kadar

abu rata-rata sebesar 22,78%, maksimum 26,23% dan minimum 10,64%. Kadar

abu di kedua lokasi budidaya sebelah barat dan utara secara statistik berbeda nyata

(Lampiran 6). Kadar abu berbeda dikedua lokasi disebabkan karena tanaman uji

yang dibudidayakan di kedua lokasi budidaya banyak terdapat alga penempel dan

kotoran-kotoran. Persentase kadar abu yang cukup tinggi ini juga menunjukkan

besarnya kandungan mineral pada rumput laut yang tidak terbakar selama

pengabuan. Kadar abu terutama terdiri dari garam natrium yang berasal dari air

laut yang menempel pada thallus rumput laut yang terjadi pada proses

pengeringan.

Kadar abu rumput laut bersih dari Eucheuma cottonii yang dilaporkan oleh

BPPT adalah 17,09%. Sementara kadar abu yang diperoleh di lokasi budidaya

sebelah barat adalah 20,30% dan kadar abu di lokasi budidaya sebelah utara

adalah 22,78%. Kadar abu yang diperoleh pada penelitian ini bila dibandingkan

dengan hasil yang diperoleh BPPT sebasar 17,09%, maka selisihnya adalah garam

dan kontaminan lain yaitu pada lokasi barat 3,21% dan lokasi utara 5,69%.

(Gambar 24).

05

1015202530

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Waktu (minggu)

Kad

ar a

bu (%

)

barat

utara

Gambar 24 Rata-rata kadar abu di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari.

Hubungan Karaginan dengan Unsur Hara

Hasil regresi ganda menunjukkan adanya hubungan antara karaginan

dengan unsur hara di lokasi budidaya sebelah barat yang dijelaskan dengan nilai

determinasi sebesar 84,6% dan sangat nyata (p<0,05) dengan (Fhit. sebesar 9,17>

F tab. sebesar 5,48). Data hasil analisis regresi berganda kandungan karaginan

53

dengan unsur hara di lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari diperoleh

persamaan sebagai berikut

Karaginan = 21,7+39,2 nitrat +4321 ortho pospat -276 amonia.

Persamaan tersebut menggambarkan bahwa terdapat satu atau lebih parameter

yang berpengaruh terhadap peningkatan dan penurunan karaginan. Variabel unsur

hara yang berpengaruh terhadap karaginan adalah nitrat, ortho-pospat dan amonia.

Koefisien variasi masing-masing variabel menunjukkan bahwa variabel x

yang berpengaruh terhadap nilai Y adalah ortho pospat yang dapat dijelaskan

dengan 0,020 (P<0,5), sedangkan nitrat dan amonia masing-masing 0,130 dan

0,801 (P>0.05). Tabel nilai koefisien menunjukkan bahwa nitrat dan amonia tidak

nyata (p>0,05) yang berarti bahwa nitrat dan amonia bukan merupakan faktor

pembatas terhadap peningkatan kandungan karaginan (lampiran 12).

Hasil regresi ganda menunjukkan adanya hubungan karaginan dengan unsur

hara di lokasi budidaya sebelah utara yang dijelaskan dengan nilai determinasi

sebesar 79,6% dan sangat nyata (p<0,05) dengan ( Fhit. sebesar 6,52 > Ftab. sebesar

5,48). Data hasil analisis regresi berganda kandungan karaginan dengan unsur

hara diperoleh persamaan sebagai berikut :

Karaginan = -149+252 Nitrat +6049 ortho pospat +527 amonia.

Persamaan tersebut menunjukkan terdapat satu atau lebih parameter yang

berpengaruh terhadap peningkatan karaginan.

Koefisien variasi masing-masing variabel menunjukkan bahwa variabel x

yang berpengaruh terhadap nilai Y adalah ortho pospat yang dapat dijelaskan

dengan 0,007 (P<0,5), sedangkan nitrat dan amonia masing-masing 0,780 dan

0,943 (P>0.05). Tabel nilai koefisien menunjukkan bahwa nitrat dan amonia tidak

nyata (p>0,05) yang berarti bahwa nitrat dan amonia bukan merupakan faktor

pembatas terhadap peningkatan kandungan karaginan (lampiran 13).

Dengan demikian disimpulkan bahwa variabel yang sangat berpengaruh

terhadap kandungan karaginan rumput laut di kedua lokasi budidaya adalah ortho

pospat. Kisaran ortho-pospat yang diperoleh di kedua lokasi budidaya sangat

rendah, namun lokasi budidaya sebelah barat lebih baik, sehingga masih terjadi

penambahan peningkatan kandungan karaginan.

54

Hubungan Karaginan dengan Waktu Pengamatan

Analisis regresi hubungan kandungan karaginan dengan waktu

pengamatan pada lokasi budidaya sebelah barat menunjukkan pola hubungan

kuadratik (Gambar 25), dengan persamaan sebagai berikut :

Y = 0.5268 x2+4.1581 x+6.1873, R2 = 0.7587.

Hal ini menunjukkan bahwa penambahan waktu pengamatan diikuti

dengan peningkatan kandungan karaginan sampai batas tertentu kemudian

cenderung menurun seiring dengan bertambahnya waktu. Penurunan kandungan

karaginan ini disebebkan karena perubahan kondisi perairan yang terlihat mulai

dari minggu ke lima pada masa pengamatan. Hal ini sesuai dengan Kusdi (2004)

bahwa hubungan waktu pengamatan dengan kandungan karaginan di semua

perlakuan interaksi asal thallus dan bobot bibit berbentuk pola hubungan

kuadratik. Semakin lama waktu pengamatan maka semakin tinggi kandungan

karaginan sampai batas tertentu.

y = -0.5268x2 + 4.1581x + 6.1873R2 = 0.7587

02468

1012141618

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Waktu pengamatan (minggu)

Kar

agin

an (%

)

Gambar 25 Hubungan karaginan dengan waktu pengamatan di lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari.

Hasil penelitian pada minggu keempat merupakan batas terjadinya

penambahan kandungan karaginan sedangkan pada minggu selajutnya terjadi

penurunan kandungan karaginan yang disebabkan kondisi lingkungan perairan

yang tidak mendukung. Terjadinya penurunan kandungan karaginan pada minggu

kelima sampai minggu kedelapan ini akibat terkena penyakit ice ice yang merusak

struktur jaringan dalam dimana terdapat kadungan karaginan.

55

y = -1.0615x + 8.9238R2 = 0.948

0

2

4

6

8

10

0 2 4 6 8 10

Waktu pengamatan (minggu)K

arag

inan

(%)

Gambar 26 Hubungan kandungan keraginan dengan waktu pengamatan di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari. Analisis regresi hubungan kandungan karaginan pada lokasi budidaya

sebelah utara memberikan gambaran pola hubungan linier (Gambar 26), dengan

persamaan sebagai berikut :

Y = 8.9238–0.5268x, r = 0.948%.

Hal ini menunjukan bahwa bertambahnya waktu pengamatan diikuti

penurunan kandungan karaginan.

56

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1 Kualitas air di lokasi budidaya rumput laut K. alvarezii sebelah barat yang

merupakan perairan terbuka di minggu pertama sampai minggu keempat

masih memenuhi kreteria untuk budidaya rumput laut. dan menurun pada

minggu kelima sampai minggu kedelapan. Sedangkan di lokasi sebelah utara

pulau Pari yang merupakan perairan tertutup, kualitas air buruk dari minggu

pertama sampai minggu kedelapan.

2 Pertumbuhan Rumput laut K. alvarezii di lokasi budidaya sebelah barat (luar

gobah) dan utara (gobah) pulau Pari tidak memenuhi pola pertumbuhan

logistik normal mencapai biomassa maksimal.

3 Lokasi budidaya sebelah barat dari minggu ke1-ke4 masih mengalami

pertumbuhan yang dipengaruhi oleh nitrat dan ortho pospat, Selanjutnya

mulai minggu ke5-ke8 mengalami pengkroposan, sementara lokasi budidaya

sebelah utara dari minggu k1-k8 biomassa rumput laut langsung mengalami

pengkroposan. Pengkroposan biomassa rumput laut di lokasi budidaya

sebelah barat dan utara pulau Pari dipengruhi oleh suhu, arus dan oksigen

terlarut.

4 Karaginan sebagai indikasi kualitas rumput laut sebagai produk akhir di lokasi

budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari selalu mengalami penurunan.

Saran

1 Perlu adanya penelitian terhadap karakteristik biofisik perairan selama

beberapa tahun untuk mendapatkan data yang lebih akurat terhadap budidaya

rumput laut K. alvarezii di pulau Pari.

2 Agar penyakit ice ice tidak meluas atau berkembang, maka kegiatan budidaya

dihentikan selama kualitas air memburuk dan dilakukan penanaman bila

kondisi perairan kembali mendukung usaha budidaya.

57

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto dan Liviawaty. 1993. Budidaya Rumput Laut dan Cara

Pengelolaannya.Penerbit Bharatara, Jakarta. Ainsworth PA. and Blanshard JMV. 1980. Effect of Thermal Processing on

Structure and Rheological of Carrageenan/Carob Gum Gels. Journal of Texture Studies 11 (149).

Anggadiredja J, S Irawati, dan Kusmiyati. 1996. Potensi dan Manfaat

Rumput Laut Indonesia dalam Bidang Farmasi. Seminar Nasional Industri Rumput Laut. Jakarta. p. 49-62.

Anggoro S. 1994. Petunjuk Teknis Budidaya Laut. Direktorat Bina Sumber

Hayati. Departemen Pertanian, Jakarta. Anonimous. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Puslitbang

Perikanan. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jakarta. Aslan LM. 1998. Budidaya Rumput Laut. Penerbit Kanisius, Jakarta. Atmadja WS, A Kadi, Sulistijo dan Rachmaniar. 1996. Pengenalan Jenis-Jenis

Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi – LIPI, Jakarta. Atmadja WS dan Sulistijo. 1977. Usaha Pemanfaatan Bibit Stek Alga Laut

Euchema spinosum (L) J. AGRADH di Pulau-pulau Seribu Untuk Dibudidayakan. Dalam: Teluk Jakarta, Sumberdaya, Sifat-sifat Oseanologis Serta Permasalahannya. Editor: M. Hutomo, K Romimohtarto dan Burhanudin. LON LIPI, Jakarta: hal 433-449.

Bapeda Propinsi DKI Jakarta 2001. Pengelolaan Laut Lestari. Lembaga

Penelitian ITB. Jakarta. Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisa Data Biofisika

Sumberdaya Pesisir. PKSPL –IPB Bogor. Besweni. 2002. Kajian Ekologi Ekonomi Pengembangan Budidaya Rumput

Laut DI Kepulauan Seribu (STUDI KASUS DI GUGUSAN P. Pari). Thesis IPB. Bogor.

Bold HC, and MJ Wynne. 1985. Introduction to Alggae Structure and

Reproduction. 2nd ed. Englewood Cliffs NJ: Prentice-Hal, 706 pp. Chapman VJ. 1962. The Algae. Mc McMillan and Co Ltd. London. 383-411. Chapman V J. and DJ Chapman. 1980. Seaweeds and Their Uses. Third Edition.

Chapman and Hall, London. N.Y.

58

-----------1987. The Production And Use of Eucheuma In Case Studies of Seven Commercial Seaweed Resources. M.S. Doty. J.F. Coddy and B.Santelices (Eds). FAO Fisheries Technical Paper 281.

Dawes C J, A C Matheieson and D. P. Chenney, 1974. Ecological Studies of

Floridean Eucheuma (Rhodophyta, Gigartinales. I. Seasonal Growth and Reproduction. Bull. Mar. Sci., 24 : 235 – 273.

Dawes CJ. 1981. Marine Botany. John Wiley and Sons University of South

Florida. New York. 268 p. Direktorat Jenderal Perikanan. 1992. Suatu Tinjauan Tentang Teknologi

Produksi Jenis Rumput Laut Tropis yang Bernilai Ekonomis. 43 hal. Direktorat Jenderal Perikanan. 1997. Pedoman Teknis Pemilihan Lokasi

Budidaya Rumput Laut. Ditjen Perikanan. Jakarta. 20 hal. Direktorat Jenderal Perikanan. 2004. Hama dan Penyakit Rumput Laut. Doty MS. 1971. Measurement of Water Movement in References to Benthic

Algae Growth. Bot Mar. XIV; 32-35. ------------- 1973. Eucheuma Farming for Carrageenan. Univ. Hawai Sea Grant

Report. UNIHI SEAGRANT-AR 73-02: 21. Durant NW and FR Sanford. 1970. Fhycocoloids. Berau of Commercial Fisheries

Div. of Publ. Washington. Eidman HM. 1991. Studi Efektivitas Bibit Algae Laut (Rumput Laut), Salah Satu

Upaya peningkatan Produksi Budidaya Algae Laut (Eucheuma sp). Laporan Penelitian. Fakultas Perikanan. IPB.

Emor DW. 1993. Peranan Unsur N dan P Bagi Pertumbuhan Rumput Laut di

Perairan Pantai. Karya llmiah. Fakultas Perikanan-Universitas Sam Ratulangi, Manado.

Furia TE. 1964. Food Hydrocollooids. Vol 1. CRS Press Inc. Boca Raton

Florida. _______ 1981. Hand Book of Food Addives. 2nd. ed. Vol 1. CRC Pres. Florida.

308. Glickman M. 1969. Gum Technology in the Food Industry. Academic

Press, New York. Guiseley KB, NF Stanley and F.M. Whitehouse. 1980. Carrageenan. Hand Book

of Water Soluble Gums and Resins. R.L. Davids on (ed). Mc Grow Hill Book Company.N. Y. Toronto, London.

59

Hansen JE, FE Fackard and WT Doyle. 1981. Marine Culture of Red Seaweeds. A. California Sea Grant. College Program Publ.

Haryadi S, INN Suryadiputra dan Widigdo. 1992. Limnologi. Penuntun

Praktikum dan Analisa Kualitas Air. Fakultas Perikanan IPB, Bogor Hirao S. 1971. Seaweed in Untilization of Marine Products. In Okada, M., S.

Hirao, E, Naguchi, T, T. Suzuki and M. Yokoseki (Eds). Overseas Tecnical Cooperation Agency Govermment of Japang. Tokyo.

Hunter WD. 1970 Aquatic Productivity. MacMillan Publ. Co. Inc. New York.

320 p. Hutabarat J. 1995. Workshop Budidaya Laut: Evaluasi Kondisi Bio

Hydrography dalam Penentuan Lokasi Budidaya Laut, Jepara. Ilahude AG dan Liasaputra. 1980. Sebaran Normal Parameter Hidrologi di Teluk

Jakarta, Pengkajian Fisika, Kimia dan Geologi Tahun 1975 – 1979. LON LIPI Jakarta.

Indriani H dan E Sumiarsih. 1999. Budidaya, Pengelolaan dan Pemasaran

Rumput Laut. PT. Penebar Swadaya, Depok. IPB (1997). Ismail A. 1982. Penelitian Adaptif Peningkatan Mutu Rumput Karagenopit

dengan Pencucian Alkali. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Jakarta. 14 hal.Laut.

Johan O. 2001. Tingkat Keberhasilan Transplantasi Karang Batu pada

Lokasi yang berbeda di Gugus Pulau Pari Kabupaten Pulau Seribu. Tesis Program Studi Ilmu Kelautan. Program Pascasarjana IPB. Bogor

Kadi A dan WS Atmadja. 1988. Rumput Laut (Algae) Jenis, Reproduksi,

Produksi, Budidaya dan Pasca Panen. PPPO LIPI Jakarta. Kastoro. 1977. Hasil-Hasil pengamatan hidrologi di perairan sekitar Pulau

Lancang. Jakarta. Kolang M, X Lalu, dan H Korah. 1996. Panduan Budidaya dan Pengolahan

Rumput Laut. Dinas Perikanan Sulawesi Utara, Manado. Kuhl A. 1974. Phosphorus. L1 W. D. P. Stewart (Ed.). Algae Physiology

and Biochemstry. Botanical Monographs. Vol. 10. Blackwell Scientific Publications, Oxford, London, Edinburgh, Melbourne. p:G36-654.

Kusdi HIK. 2004. Kajian Pertumbuhan, Produksi Rumput Laut Eucheuma cotoni dan Kandungan Karaginan di Perairan Maluku Utara. Tesis Program Studi Ilmu Perairan. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

60

Lewis SM, JN Norris and RB Searles 1987. The Regulation of Morphological Plasticity on Tropical Reef Algae by Herbivor, Ecology 68 pp.

Lobban CS, PJ Harison. 1994. Seaweed Ecology and Physiology. Cambridge

Univ. Press New York. Luning K. 1990. Seaweed; Their Environment, Biogeography and

Ecophysiology. A Wiley Interscience Publication. John Wiley and Sons. Inc. New York.

Moore AB. 1958. Marine Ecology. John Wiley and Sons, Inc. NY, 493p. Morris I. 1974. Nitrogen Asimilation and Protein Synthetis. P:583-609. In

W.D.P. Stewart (Ed). Algal Physiologi and biochemisty. Botanical Monographs. Vol 10. Blackwell Scientific Publication. Oxford, London, Edinburgh. Melboume.

Mubarak H dan I Wahyuni. 1981. Percobaan Budidaya Rumput Laut di Perairan

Lorok, Pacitan dan Kemungkinan Pengembangannya. Bull. Pen. Perikanan, I(2) : 157-166.

Mukti ED.1987. Ekstraksi Analisa Sifat Fisika Kimia Karaginan dari

Rumput Laut Laut Jenis Eucheuma cottonii. Fateta IPB Bogor. Nasution MH 2005. Patogenitas Beberapa Isolat Bakteri Terhadap Rumput

Laut Kappaphycus alvarezii Asal Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakrata. Jakarta.

Ngangi ELA. 2001. Kajian Intensifikasi dan Analisis Finansial Usaha Budidaya

Rumput Laut Kappaphycus alvarezii di Desa Bentenan-Tumbak Kecamatan Belang Propinsi Sulawesi Utara. . Tesis Program Studi Ilmu Kelautan. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Ngangi ELA, Jusuf dan JD Kusen. 1998. Faktor Lingkungan Budidaya Rumput

Laut di Desa Serey Kecamatan Likupang Minahasa. Laporan Penelitian Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi. Manado.

Nontji 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Noor DZ 1991. Pengaruh Senyawa Hidroksida dan Usia Tanam Terhadap

Kualitas Bahan Baku Rumput Laut. Prosesing Temu Karya Ilmiah Pasca Panen Rumput Laut. Lembaga Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jakarta.

Patadjai RS. 1993. Pengaruh Pupuk TSP Pertumbuhan dan Kualitas Rumput

Laut Gracilaria gigas Harv. Tesis Program Studi Ilmu Perairan. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

61

Rahardjo A. 2000. Semarak Rumput Laut di Pulau Tidung. Trubus No. 364. Ed. Maret 200. Thn XXX. Yayasan Sosial Tani Membangun. Jakarta.

Rees DA.1969. Structure Confirmation and Mechanism in the Formation of

Polysaccharide Gels and Net Works. In Advance Carbohydrat Chemistry. Biochemistry, Edinburg Scottl and 24: 279-282

Reen DW. 1986. Uses of Marine Algae in Biotechnology and Industry.

Workshop on Marine Algae Biotechnology. Summary Report. National Academic Press, Washington D.C.

Salisbury FB dan CW Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan. Terjemahan Diah, RL

dan Sumaryono. Penerbit ITB. Bandung: 584 hal. Sanderson GR. 1981. Phylosaccharides in Foods. Food Technology 35 (7) :

50. Satari R. 1998. Kandungan Karaginan Eucheuma pada Berbagai Usia Panen.

Peranan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Budidya Sumberdaya Perikanan Sebagai Perwujudan Konsep Benua Maritim Indonesia. Prosiding Simposium Perikanan Indonesia II. Desember 1997. Ujung Pandang.

Sediadi dan Budihardjo U. 2000. Rumput Laut: Komoditas Unggulan. PT.

Gramedia Indonesia. Jakarta. Semangun H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Fakultas

Pertanian Universitas Gadjah Mada. 754 hal. Sharma SC. 1981. Gum and Hidrocolloids in Oil Water Emultions. Food

Technology. 5 (1) : 59. Silva PC. 1979. The Binthic Algae Flora of Central San Francisco Bay. In San

Francisco Bay. The Urbanized Estuary (pp 287-345). San Francisco Academy of Sceincer.

Silva PC, Basson PW and Moe RL. 1996. Cataloque of the Benthic

Marine Algae of the India Ocean. Univ. Of California Press. Simpson FJ, AC Neish, PF Shacklock and DR Robon. 1978. The Cultivation of

Chondrus Crispus Effect of pH and Growth and Production of Carrageenan. Botanica Marina 21:229-235.

Smith DF, AN Hiiel and AS Fenin. 1955. Studies on Heterogenity of

Carrageenan. Can. J. Chem. 30 . 1352 – 1260. Soegiarto A dan Sulistio 1985. Produksi dan Budidaya Rumput Laut di

Indonesia. LON-LIPI Jakarta.

62

Soegiarto A., WS Atmadja, Sulistijo dan H. Mubarak. 1978. Rumput Laut

(Algae): Manfaat, Potensi dan Usaha Budidayanya. LON-LIPI, Jakarta.

Soerjodinoto. 1968. Masalah Kultivasi Eucheuma di Pseudo Atol pulau Pari.

Dit. Hidral. Jakarta. Strickland dan Parson 1968. A Practical Handbook of Seawater Analysis. 2nd ed.

Fish . Res. Bd . Canada Bull. 167, 310 pp [4.7.1,5.2,6.3]. Suharsono. 1986. Permasalahan dan Pengelolaan Trumbu Karang di Indonesia.

Jurnalisti. Program Rehabilitasi dan Pengelaan Trumbu Karang. Jakarta. Sulistijo. 1994. The Harfest Quality of alvarezzi Culture by Floating Method in

Pari Island North Jakarta. Research and Development Center for Oceanology Indonesia Institut of Science. Jakarta.

--------- 1996. Perkembangan Budidaya Rumput Laut di Indonesia. Dalam.

Pengenalan Jenis-Jensi Runput Laut. Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta. Hal 120-151.

--------- 2002. Penelitian Budidaya Rumput Laut (Algae Makro/Seaweed) di

Indonesia. Pidato Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Akuakultur Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Supit SD. 1989. Karakteristik Pertumbuhan dan Kadungan Keragenan Rumput

Laut Eucheuma alvarezii yang Berwarna Abu-abu, Coklat dan Hijau yang Ditanam di goba Labangan Pasir P. Pari. Skripsi Fakultas Pertanian IPB. Bogor. 100 hal.

Suryaningrum TD. 1988. Kajian Sifat - Sifat Mutu Komoditi Rumput Laut

Budidaya Jenis Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Thesis IPB. Bogor.

Syret PJ. 1962. Nitrogen assimilation in: R. A. Levin and Phisiology and

Biochemisty of Alge. Academik Press, New York, N. Y. 171 - 188.

Towle GA. 1973. Carrageenan In Industrial Gums. R.L. Wistler and Be. Miller.

S.N. (eds) Academic Press. London. Trono GC. 1992. Suatu Tinjauan Tentang Tehnologi Produksi Jenis Rumput

Laut Tropis yang Bernilai Ekonomis. Dirjen Perikanan Jakarta. Trono GC, Trorino dan F.G. Fortes 1988. Philippine Seaweeds. National Book

Stone Inc. Manila.

63

Uyenco F, LS Sanmiel and GS Jacinto. 1981. The “Ice ice” Problem in Seaweed Farming. Proc. International Seaweed Syimposium 10 : 625-630.

Wei FL and WY Chin. 1983. Seaweed of Singapore. Singapore University. Press

National. University of Singapore. Winarno F G. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan.

Jakarta. Zabil ME and J Ridrich. 1968. Gel Strenght of Kappa-Carrageenan as Affected

by Cation. J. Food Sci : 12 : 91 - 97. Zatnika A. 1988. Prospek Pengembangan Rumput Laut di Indonesia Dalam

Seminar Laut Nasional II. Kantor Menteri Negara KLH, Laboratorium Ilmu-ilmu Kelautan UI IPB dan Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI).

Zatnika A dan Angkasa WI. 1994. Teknologi Budidaya Rumput Laut. Makalah

pada Seminar Pekan Akuakultur V.tim Rumput Laut BPP Teknologi Jakarta. Jakarta.

65

Lampiran 1 Hasil pengukuran parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari

Parameter kualitas air

Nilai parameter kualitas air pada minggu ke… Rata-rata 0 1 2 3 4 5 6 7 8

Suhu (°C) 27,4 27,6 27,2 27 29 29,2 30 30 31 28,71 Salinitas (‰) 31,2 31,6 31,6 31,8 31,8 31,4 32 31,6 32,8 31,76 Arus (cm/dtk) 5,18 5,38 5,2 5,56 5,14 2,5 2,88 3,24 3,1 4,24 Oksigen terlarut (mg/l) 6,96 6,76 6,74 6,8 6,52 4,5 4,02 4,08 3,96 5,59 Kecerahan (m) 2,3 2,52 2,3 2,3 2,25 2,52 2,25 2,3 2,3 2,34 pH 8,0 8,0 8,1 8,3 8,1 8,2 8,3 8,4 8,2 8,18 Nitrat (mg/l) 0,172 0,208 0,194 0,272 0,240 0,208 0,182 0,152 0,170 0,1998 Nitrit (mg/l) 0,0102 0,0106 0,01032 0,0097 0,0094 0,0112 0,01098 0,01118 0,0113 0,0105 Amonia (mg/l) 0,1706 0,1726 0,1721 0,1736 0,1803 0,1803 0,1821 0,1811 0,1821 0,1772 Total-P (mg/l) 0,126 0,116 0,121 0,122 0,125 0,136 0,1193 0,118 0,1190 0,1225 Ortho-P (mg/l) 0,0070 0,0060 0,0080 0,0070 0,0090 0,0080 0,0070 0,0080 0,0070 0,0074

66

Lampiran 2 Hasil pengukuran parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari

Parameter kualitas air

Nilai parameter kualitas air pada minggu ke… Rata-rata 0 1 2 3 4 5 6 7 8

Suhu (°C) 30,0 30,2 30,4 30,4 30,4 30,2 31,2 31,2 31,0 30,56

Salinitas (‰) 31,3 31,4 31,4 31,9 31,9 31,6 31,9 31,8 32,5 31,74 Arus (cm/dtk) 1,96 2,10 2,14 1,94 1,90 1,94 1,74 1,62 1,66 1,89 Oksigen terlarut (mg/l) 4,70 4,86 4,80 4,82 4,74 4,58 4,68 4,58 3,90 4,63 Kecerahan (m) 2,15 2,25 2,24 2,21 2,25 2,21 2,25 2,25 2,25 2,23

pH 7,3 7,4 7,3 7,3 7,1 7,2 7,2 7,2 7,3 7,3 Nitrat (mg/l) 0,1104 0,1114 0,1113 0,1097 0,1098 0,1099 0,1109 0,1099 0,1111 0,1105 Nitrit (mg/l) 0,0108 0,0108 0,0109 0,0108 0,0110 0,0109 0,0110 0,0108 0,0108 0,0109 Amonia (mg/l) 0,1714 0,1814 0,1812 0,1813 0,1812 0,1814 0,1813 0,1814 0,1813 0,1802

Total-P (mg/l) 0,0059 0,0062 0,0061 0,0056 0,0059 0,0059 0,0061 0,0061 0,0059 0,0060 Ortho-P (mg/l) 0,0053 0,0054 0,0053 0,0052 0,0049 0,0046 0,0048 0,0047 0,0041 0,0049

67

Lampiran 3 Hasil uji t terhadap parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari periode Mei sampai Juni 2005.

Parameter Hasil Uji

Simpulan t-hit t-tab 95% 99% Arus 44,7051 1,7500 2,9200 ** Kecerahan 3,9675 1,7500 2,9200 ** Suhu 4,5900 1,7500 2,9200 ** pH 17,5856 1,7500 2,9200 ** Salinitas 11,5742 1,7500 2,9200 ** DO 31,4133 1,7500 2,9200 ** Nitrat 0,1212 1,7500 2,9200 tn Ortho-P 20,3814 1,7500 2,9200 ** Amonia 3,1229 1,7500 2,9200 ** Nitrit 0,0004 1,7500 2,9200 tn Total-P 0,1938 1,7500 2,9200 tn

Ket ** = sangat nyata tn = tidak nyata

68

Lmpiran 4 Hasil pengukuran bobot basah K. alvarezii di lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari

Ulangan Pengamatan (minggu)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 1 125 127,4 135,5 155,5 206,3 192,5 184,5 153,5 134,5 2 125 126,3 134,5 154,3 204,9 190,4 182,3 146,8 127,2 3 125 125,5 132,5 152,9 200 185,3 174,3 143,7 126,7 4 125 126,5 133,5 155,9 208,5 195 185,2 154,5 138,1 5 125 125,8 132,5 146,9 186,4 159,8 139,7 105,8 130,6 6 125 127 138,9 163,5 220,5 208,9 197,6 176,8 128,6 7 125 126,5 137,8 157,6 209 196,4 187,5 157,6 128,8 8 125 126,8 133,5 153,5 203,7 188,6 178,4 151,8 132,2 9 125 130,3 137,9 162,6 215,9 196,5 189,5 157,6 127,7 10 125 126,3 133,9 159,3 207,8 193,6 186 153,9 131,6

Jumlah 1250 1268,4 1350,5 1562 2063 1907 1805 1502 1306 Rata-rata 125 126,84 135,05 156,2 206,3 190,7 180,5 150,2 130,6

69

Lampiran 5 Hasil pengukuran bobot basah K. alvarezii setiap minggu di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari.

Ulangan Pengamatan (minggu)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 1 125 115,7 114,6 108,7 99,9 82,5 69,5 53,9 41,7 2 125 116,4 114,9 109,0 100,0 85,5 74,5 56,4 43,9 3 125 114,7 112,9 100,9 87,8 68,3 50,5 39,9 26,9 4 125 114,5 112,7 102,5 91,5 74,5 60,4 47,9 32,5 5 125 115,5 113,5 104,5 93,9 76,5 61,7 49,0 35,5 6 125 114,7 111,7 100,7 85,7 71,0 53,9 43,5 28,7 7 125 111,0 105,5 97,6 77,5 48,0 39,3 22,5 12,9 8 125 103,5 98,8 78,8 65,8 46,7 35,5 20,3 10,5 9 125 114,6 113,6 105,7 96,7 80,2 68,7 50,8 37,9 10 125 116,4 114,8 106,6 98,2 81,8 70,0 56,8 42,5

Total 1250 1137 1113 1015 897 715 584 441 313 Rata-rata 125 113,7 111,3 101,5 89,7 71,5 58,4 44,1 31,3

70

Lampiran 6 Hasil uji t terhadap bobot basah, Kandungan karaginan, kadar air dan kadar abu di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari periode Mei sampai Juni 2005.

Bobot basah (Minguan)

JHasil Uji Simpulan t-hit t-tab 95% 99%

1 6,54 2,10 2,55 ** 2 7,13 2,10 2,55 ** 3 7,27 2,10 2,55 ** 4 8,18 2,10 2,55 ** 5 6,36 2,10 2,55 ** 6 5,42 2,10 2,55 ** 7 4,52 2,10 2,55 ** 8 2,30 2,10 2,55 *

Ket ** = sangat nyata * = nyata

Parameter Hasil Uji

Simpulan t-hit t-tab 95% 99%

Karaginan 26,28 1,75 2,92 ** Kadar abu 63,96 1,75 2,92 ** Kadar air 120,42 1,75 2,92 **

Ket ** = sangat nyata

71

Lampiran 8 Kandungan karaginan, kadar air dan kadar abu di lokasi budidaya sebelah barat (a) dan utara (b) pulau Pari

(a) Pengamatan

(minggu) Bobot basah (g) Kandungan Karaginan (%)

Kadar Air (%)

Kadar Abu (%)

0 125,0 8,5 20,2 17,8 1 126,8 8,6 22,6 16,9 2 135,1 9,2 22,8 19,8 3 156,2 13,2 20,8 20,2 4 206,3 16,8 19,1 21,2 5 190,7 13,8 19,9 21,2 6 180,5 13,7 20,6 22,3 7 150,2 9,6 21,2 21,5 8 130,6 4,5 21,4 21,6

Rata-rata 155,7 10,9 21,0 20,3

(b) Pengamatan

(minggu) Bobot basah

(g) Kandungan

Karaginan (%) Kadar

Air (%) Kadar

Abu (%) 0 125 8,52 20,1 16,99 1 113,7 7,99 23,82 20,23 2 111,3 7,25 23,78 20,1 3 101,5 6,9 20,88 21,21 4 89,7 3,9 22,26 23 5 71,5 3,1 23,24 25,54 6 58,4 1,89 23,24 25,55 7 44,1 1,32 21,12 26,23 8 31,3 1,23 20,08 26,21

Rata-rata 82,94 4,68 22,06 22,78

72

Lampiran 9 Hasil analisis komponen utama lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari A. Korelasi antara variabel dengan sumbu utama

F1 F2 F3 Suhu (°C) -0,954 0,105 -0,091 Salinitas (‰) -0,923 0,153 0,264 Arus (cm/dtk) 0,955 0,193 -0,083 Oksigen terlarut (mg/l) 0,974 0,126 -0,055 Kecerahan (m) 0,096 -0,441 0,808 pH -0,702 0,199 -0,255 Nitrat (mg/l) 0,513 0,482 0,215 Nitrit (mg/l) -0,768 -0,568 0,188 Amonia (mg/l) -0,915 0,276 0,030 Total-P (mg/l) 0,006 0,437 0,803 Ortho-P (mg/l) -0,194 0,875 0,068

B. Akar ciri representasi ragam pada sumbu utama

Nilai Akar Ciri %Total ragam Kumulatif % 1 6,76 56,34 56 2 1,93 16,12 72 3 1,55 12,91 85 4 0,92 7,66 93 5 0,45 3,74 97 6 0,27 2,22 99 7 0,07 0,57 100 8 0,05 0,45 100

C. Kontribusi antara variabel pada sumbu utama

Variabel F1 F2 F3 Suhu (°C) 13,47 0,57 0,53 Salinitas (‰) 12,60 1,20 4,51 Arus (cm/dtk) 13,50 1,92 0,44 Oksigen terlarut (mg/l) 14,03 0,82 0,20 Kecerahan (m) 0,14 10,06 42,16 pH 7,28 2,04 4,19 Nitrat (mg/l) 3,89 12,03 2,98 Nitrit (mg/l) 8,73 16,66 2,28 Amonia (mg/l) 12,38 3,94 0,06 Total-P (mg/l) 0,00 9,89 41,61 Ortho-P (mg/l) 0,55 39,63 0,30

.

73

D. Sebaran kualitas air (F1 x F2) dan Korelasi antara Variabel (F1 x F3) di lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari

Variables (axis F1 and F2: 71 %)

Ortho-P

Total-PAmoniak

(mg/l)

Nitrit

Nitrat

pH

Kec

DOArusSalinitasSuhu

-1,5

-1

-0,5

0

0,5

1

1,5

-1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5

-- axis F1 (53 %) -->

-- axis

F2 (1

7 %

) -->

Variables (axis F1 and F3: 67 %)

Ortho-P

Total-P

Amoniak (mg/l)

Nitrit Nitrat

pH

Kec

DOArus

Salinitas

Suhu

-1,5

-1

-0,5

0

0,5

1

1,5

-1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5

-- axis F1 (53 %) -->

-- a

xis

F3

(14

%) -->

74

Lampiran 10 Hasil analisis komponen utama lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari A. Korelasi antara variabel dengan sumbu utama

Parameter F1 F2 F3 Suhu (°C) 0,906 0,328 -0,099 Salinitas (‰) -0,526 0,191 0,343 Arus (cm/dtk) -0,855 0,230 0,083 Oksigen terlarut (mg/l) -0,673 0,224 0,564 Kecerahan (m) 0,603 0,711 0,186 pH -0,718 0,372 -0,555 Nitrat (mg/l) -0,122 0,761 -0,540 Nitrit (mg/l) 0,234 0,205 0,720 Amonia (mg/l) 0,629 0,451 0,324 Total-P (mg/l) -0,023 0,857 -0,037 Ortho-P (mg/l) -0,887 0,208 0,201

B Akar ciri representasi ragam pada sumbu utama

Nilai %Total Ragam Kumulatif % 1 44,87 44,87 2 20,80 65,66 3 14,62 80,28 4 8,22 88,50 5 6,07 94,57 6 4,53 99,10 7 0,71 99,81 8 0,19 100,00

C Kontribusi antara variabel pada sumbu utama

Parameter F1 F2 F3

Suhu (°C) 15,240 4,313 0,557 Salinitas (‰) 5,142 1,466 6,693 Arus (cm/dtk) 13,562 2,115 0,393 Oksigen terlarut (mg/l) 8,406 2,018 18,140 Kecerahan (m) 6,758 20,273 1,969 pH 9,570 5,544 17,547 Nitrat (mg/l) 0,275 23,209 16,603 Nitrit (mg/l) 1,018 1,681 29,576 Amonia (mg/l) 7,360 8,149 5,987 Total-P (mg/l) 0,010 29,406 0,079 Ortho-P (mg/l) 14,622 1,737 2,307

75

D. Sebaran kua litas air (F1 x F2) dan (F1 x F3) di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari.

Variables (axis F1 and F2: 66 %)

Ortho-P

Total-P

Amoniak (mg/l)

Nitrit

Nitrat

pH

Kec

DOArus SalinitasSuhu

-1,5

-1

-0,5

0

0,5

1

1,5

-1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5

-- axis F1 (45 %) -->

-- ax

is F

2 (2

1 %

) -->

Variables (axis F1 and F3: 59 %)

Ortho-P

Total-P

Amoniak (mg/l)

Nitrit

NitratpH

Kec

DO

Arus

Salinitas

Suhu

-1,5

-1

-0,5

0

0,5

1

1,5

-1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5

-- axis F1 (45 %) -->

-- ax

is F

3 (1

5 %

) -->

76

Lampiran 12 Analysis of Variance hubungan pertumbuhan dengan unsur hara (nitrat, ortho pospat) minggu ke1-ke4, dengan suhu, arus dan oksigen terlarut minggu ke5-ke8 di lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari

(minggu ke1-ke4)

Source DF SS MS F P Regression 2 7194,6 3597,3 57,82 0,000 Residual 5 5 311,1 62,2 Total 7 7505,6 R-Sq = 83%

Predictor Coef SE Coef T P Constant -281,23 48,44 -5,81 0,002 Nitrat 1550,9 233,0 6,66 0,001 Ortho-P 14596 2179 6,70 0,001

Persamaan Regresi : BB = - 281 + 1551 nitrat + 14596 ortho-P (minggu ke5-ke8)

Source DF SS MS F P Regression 3 4839,2 1613,1 115,89 0,000 Residual 4 55,7 13,9 Total 7 4894,9 R-Sq = 98,9%

Predictor Coef SE Coef T P Constant 1852,3 166,7 11,11 0,000 Suhu -34,691 3,800 -9,13 0,001 Oksigen -10,019 1,477 -6,78 0,002 Arus -7,7888 0,8601 -9,06 0,001

Persamaan Regresi : BB = 1852 - 10 Oksigen - 7,79 Arus - 34,7 Suhu

77

Lampiran 12 Analysis of Variance hubungan pertumbuhan dengan suhu, arus dan oksigen di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari (minggu ke1-ke4) dan (minggu ke5-ke8)

(Minggu 1 - 4)

Source DF SS MS F P Regression 3 317,30 105,77 71,27 0,001 Residual 4 5,94 1,48 Total 7 323,24 R-Sq = 98,2% Predictor Coef SE Coef T P Constant -980,7 318,2 -3,08 0,037 Suhu 19,279 8,329 2,31 0,042 Arus 4,7419 0,5211 9,10 0,001 Oksigen 8,524 1,733 4,92 0,008 Persamaan Regresi : BB = -981 + 19,3 suhu + 4,74 arus + 8,52 oksigen (Minggu 5 - 8)

Source DF SS MS F P Regression 3 1786,84 595,61 128,83 0,000 Residual 4 18,49 4,62 Total 7 1805,33 R-Sq = 99% Predictor Coef SE Coef T P Constant -1489,2 307 -4,85 0,008 Suhu 45,10 10,63 4,24 0,013 Oksigen -6,143 1,993 -3,08 0,037 Arus 25,335 3,938 6,43 0,003 Persamaan Regresi : BB = -1489 + 45,1 suhu + 25,3 arus - 6,14 oksigen

78

Lampiran 13 Analysis of Variance hubungan karaginan dengan unsur hara di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari Barat

Source DF SS MS F P Regression 3 103.055 34.352 9.17 0.018 Residual Error 5 18.731 3.746 Total 8 121.786

R-Sq = 84.6%

Predictor Coef SE Coef T P Constant 21.67 32.60 0.66 0.536 Nitrat 39.22 21.64 1.81 0.130 Ortho-P 4321 1283 3.37 0.020 Amonia -276.1 204.1 -1.35 0.234

Utara Source DF SS MS F P Regression 3 53.581 17.860 6.52 0.035 Residual Error 5 13.696 2.739 Total 8 67.277

R-Sq = 79.6%

Predictor Coef SE Coef T P Constant -149 1293 -0.11 0.913 Nitrat 252.5 856.1 0.29 0.780 Ortho-P 6049 1391 4.35 0.007 Amonia 527 7060 0.07 0.943