Upload
dothuy
View
239
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSLUSIF, BERAT BADAN LAHIR DAN
PAPARAN ROKOK DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS BANYUDONO 1 TAHUN 2018
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Program Studi Strata 1
pada Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan
Oleh :
ASTRID PUSPA DEWI KUSUMANINGRUM
J410140015
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
1
HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSLUSIF, BERAT BADAN LAHIR DAN
PAPARAN ROKOK DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS BANYUDONO 1 TAHUN 2018
Abstrak
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan infeksi saluran pernapasan
yang disebabkan oleh virus atau bakteri. Tujuan penelitian ini adalahMenganalisis
hubungan pemberian Asi Ekslusif, Berat Badan Lahir, dan Paparan Rokok dengan
Kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Banyudono 1. Jenis penelitian ini
observasional analitik dengan rancangan case control. Pengambilan sampel
menggunakan teknik Proportionate Stratified Random Sampling dengan jumlah
sampel sebanyak 120 sampel yang terdiri dari 60 kelompok kasus dan 60
kelompok kontrol. Teknik pengambilan data dilakukan dengan melakukan
wawancara menggunakan kuisioner kepada responden terkait pemberian asi
ekslusif, berat badan lahir dan paparan rokok. Analisis data bivariat menggunakan
Uji Chi-Square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ASI ekslusif (p=
0,042; OR= 2,307; 95% CI= 1,097-4,850), berat badan lahir (p= 0,037; OR=
2,406; 95% CI= 1,120-5,169), dan paparan rokok (p= 0,039; OR= 2,366; 95%
CI= 1,111-5,040) merupakan faktor risiko terjadinya ISPA pada balita.
Kata Kunci : Pemberian ASI ekslusif, berat badan lahir, paparan rokok dan
kejadian ISPA pada balita
Abstract
Acute Respiratory tract infections (ISPA) is a respiratory infection caused by a
virus or bacteria.The purpose of this research is to analyze the relationship of
exclusive breast feeding, birth weight, and exposure to smoking with events in the
region of ISPA Clinics Banyudono 1.The type of the research is observational
analysis with the design case-control. The subject of this research was taken by
using Proportionate Stratified Random Sampling which the number of sample are
120 which consist of 60 samples for the case group and 60 samples for the control
group. The data collecting technique used is an interview using questionnaire to
the respondents with the exclusive breast feeding, birth weight and exposure to
smoking. Bivariate data analysis used is Chi-Square. The results of the research
shows that exclusive breast feeding (p = 0.042; Or = 2.307; 95% CI = 1,097-
4,850), birth weight (p = 0.037; Or = 2.406; 95% CI = 1,120-5,169), and exposure
to smoking (p = 0.039; Or = 2.366; 95% CI = 1,111-5,040) is a risk factor for the
occurrence of ISPA on toddlers.
Keywords : exclusive breast feeding, birth weight, exposure to smoking and the
incidence of ISPA on toddlers
1. PENDAHULUAN
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan infeksi saluran pernapasan
yang disebabkan oleh virus atau bakteri. Komplikasi ISPA yang berat mengenai
2
jaringan paru dapat menyebabkan terjadinya pneumonia(Balitbangkes KemenKes
RI, 2013).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering
terjadi pada anak. Insiden menurut kelompok umur Balita diperkirakan 0,29
episode per anak/tahun di negara berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di
negara maju. Ini menunjukkan bahwa terdapat 156 juta episode baru di dunia per
tahun dimana 151 juta episode (96,7%) terjadi di negara berkembang. Kasus
terbanyak terjadi di India (43 juta), China (21 juta) dan Pakistan (10 juta) dan
Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta episode(Kemenkes RI
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011).
Perkiraan 5,9 juta anak yang berumur dibawah 5 tahun meninggal pada
tahun 2015. Tingkat kematian anak tertinggi di sub-Sahara Afrika, di mana 1 dari
di 12 anak meninggal sebelum berusia 5 tahun, di ikuti oleh Asia Selatan dimana
1 dari 19 anak meninggal sebelum usia 5 tahun. Penyebab utama kematian bayi
pada tahun 2015 yaitu prematur,komplikasi terkait kelahiran (kelahiran asphyxia)
dan neonatal sepsis, sementara penyebab kematian anak di periode pasca neonatal
diantaranya radang paru-paru, diare, cedera dan malaria. Penyebab kematian pada
bayi yang disebabkan oleh ISPA dengan kategori pneumonia sebesar 54%
(World Health Statistic, 2016).
Hasil laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013, ISPA
di Indonesia sebanyak 25%. Kejadian ISPA di Indonesia pada tahun 2013
menunjukkan insiden sebesar 1,8% dan prevalensi sebesar 4,5%,. ISPA tertinggi
pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%). Prevalensi ISPA di Provinsi Jawa
Tengah sebanyak 15,7%. Terdapat lima provinsi dengan ISPA tertinggi yaitu
NTT (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%), NTB (28,3%) dan Jawa Timur
(28,3%) (Litbangkes KemenKes RI, 2013).
Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016, pneumonia
merupakan penyebab kematian pada bayi mencapai 16%. Kategori populasi yang
rentan terserang pneumonia yaitu anak usia kurang dari 2 tahun, usia lebih dari 65
tahun serta seseorang yang memiliki masalah kesehatan (malnutrisi dan gangguan
imunologi). Angka kematian akibat pneumonia lebih tinggi pada kelompok umur
3
1-4 tahun sebesar 0,13% dibandingkan pada kelompok bayi yakni sebesar 0,06%.
Salah satu provinsi yang memiliki kejadian kasus ISPA yang cukup tinggi
terdapat di Provinsi Jawa Tengah sebesar 3,61%. Angka kejadian ini lebih tinggi
dibandingkan dengan kejadian di provinsi lain seperti Bali sebesar
2,05%,Lampung sebesar 2,23 dan Riau sebesar 2,67% (Kementerian Kesehatan
RI,2017).
Penemuan dan penanganan penyakit pneumonia di Jawa Tengah pada
tahun 2015 sebesar 54,3% mengalami peningkatan dibandingkan capaian tahun
2015 sebesar 54,31%.Salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang terdapat kasus
ISPA cukup banyak yakni di Kabupaten Boyolali. Di Boyolali terdapat 2.749
kasus (23,5%) dengan pneumonia. Jumlah tersebut cukup tinggi bila
dibandingkan dengan kabupaten lain seperti Kabupaten Sukoharjo dengan 2.342
kasus (20,3%) dan Kabupaten Wonogiri dengan 2.168 kasus (18,1%) (Profil
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2016).
Dinas kesehatan Kabupaten Boyolali bagian P2 ISPA menyebutkan bahwa
perkiraan penderita ISPA dengan golongan pneumonia pada balita sebesar 9.597
balita dan yang berhasil untuk ditangani hanya 45% saja. Hal ini dikarenakan
cakupan penemuan ISPA di Boyolali masih rendah yang masih banyak kasus
yang belum dilaporkan sehingga pendeteksian dini adanya penyakit ISPA
terlambat atau kurang pasti. Salah satu puskesmas yang ada di Boyolali yang juga
terjadi kasus ISPA yang cukup tinggi terdapat di Puskesmas Banyudono I dengan
jumlah kasus 204 penderita. Jumlah tersebut cukup tinggi bila dibandingkan
dengan kejadian kasus ISPA di Puskesmas Banyudono II sebesar 125 penderita
dan Puskesmas Sawit II sebesar 177 penderita (Profil Kesehatan Kabupaten
Boyolali,2015)
Puskesmas Banyudono 1 merupakan salah satu puskesmas yang ada di
Kabupaten Boyolali yang banyak ditemukan kasus penyakit ISPA pada balita.
Berdasarkan Profil Puskesmas Banyudono I (2016) yang diperoleh dari
puskesmas Banyudono I didapatkan bahwa dari 10 besar penyakit yang terjadi di
Puskesmas Banyudono I, kejadian penyakit ISPA menjadi yang tertinggi
sebanyak 6.050 kasus pada semua umur dengan prevalensi 22,14%. Kejadian
4
ISPA yang menyerang anak-anak balita juga cukup banyak mencapai 744 kasus
dengan prevalensi 34,7% (Profil Puskesmas Banyudono I, 2015).
Dalam pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA pada balita,
yang ditandai dengan adanya batuk yang disertai dengan peningkatan frekuensi
napas sesuai dengan golongan umur. ISPA pada balita dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu gizi yang kurang, status imunisasi yang kurang lengkap, tidak
mendapatkan ASI yang memadai, defisiensi vitamin A, kepadatan tempat tinggal,
polusi akibat asap dapur dan orang tua perokok didalam rumah (DepKes, 2013).
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sirait (2017) menjelaskan bahwa
adanya pengaruh pemberian asi ekslusif dengan kejadian Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) pada bayi yang berumur dibawah 3 tahun dengan nilap
p=0,002. Salah satu faktor risiko ISPA lain yakni berat badan lahir rendah.
Pada bayi BBLR, pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga
lebih mudah terkena penyakit infeksi seperti ISPA. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Supriatin (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara berat badan lahir rendah dengan kejadian ISPA dengan nilai
p=0,000. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Milo (2015)
menunjukkan bahwa ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada balita.
2. METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif observasional
analitik dengan rancangan penelitian case control yang merupakan penelitian
analitik dimana faktor risiko (pemberian asi ekslusif, berat badan lahir dan
paparan rokok) dari suatu penyakit (kejadian ISPA) dipelajari menggunakan
pendekatan retrospektif di Puskesmas Banyudono 1.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2018 di Wilayah Kerja Puskesmas
Banyudono 1 meliputi Desa Bendan, Desa Banyudono dan Desa Ketaon. Populasi
kasus pada penelitian ini adalah balita usia 1-5 tahun dengan ISPA di wilayah
kerja Puskesmas Banyudono 1dan balita usia 1-5 tahun yang tidak menderita
ISPA kerja Puskesmas Banyudono 1 meliputi Desa Banyudono, Desa Bendan dan
Desa Ketaon. Populasi kasus balita dengan usia 1-5 tahun dengan ISPA sebanyak
5
120 balita. Besar sampel dihitung dengan rumus Lemeshow (1997), diperoleh
jumlah sampel sebanyak 60 kelompok kasus dan 60 kelompok kontrol. Teknik
pengambilan sampel untuk kelompok kasus Fixed Disease Sampling sedangkan
untuk kelompok kontrol menggunakan teknik Proportional Random Stratified
Sampling sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Analisis bivariat dalam
penelitian ini menggunakan uji chi square.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik responden terbagi menjadi 2 yaitu karakteristik ibu (Umur ibu,
pendidikan dan pekerjaan) dan karakteristik balita (umur balita, jenis kelamin,
frekuensi ISPA dan gejala ISPA) sebagai berikut :
Tabel 1. Karakteristik Responden
Karakteristik
Ibu
Kasus Kontrol Jumlah
(n) (%) (n) (%) n (%)
Pendidikan
SD
SMP
SMA
Perguruan
Tinggi
2
12
40
4
3,3
20
66,7
10
3
17
38
2
5
28,3
63,3
3,3
5
29
78
6
100
100
100
100
Umur
15-20 tahun
21-25 tahun
26-30 tahun
31-35 tahun
36-40 tahun
41-45 tahun
46-50 tahun
2
15
15
12
12
3
2
5
23,3
25
20
20
3,3
3,3
2
10
25
11
8
4
0
3,3
16,7
41,7
18,3
13,3
6,7
0
4
25
40
23
20
7
2
100
100
100
100
100
100
100
Pekerjaan
IRT
Swasta
Wiraswasta
Buruh
Guru
33
23
1
3
0
55
38,3
1,7
5
0
35
19
3
1
1
58,3
31,7
5
1,7
1,7
68
42
4
4
1
100
100
100
100
100
Karakteristik distribusi frekuensi berdasarkan pendidikan ibu diketahui
bahwa sebagian besar responden pada kelompok kasus maupun kontrol
merupakan tamatan SMA yaitu sebanyak 40 orang (66,7%) dan 38 orang (63,3%).
6
Sedangkan responden yang yang tamatan SD jumlahnya paling sedikit baik pada
kelompok kasus maupun kelompok kontrol.
Pada karakteristik distribusi frekuensi berdasarkan umur ibu diketahui
bahwa umur responden untuk kelompok kasus maupun kelompok kontrol
terbanyak terdapat pada kelompok umur 26-30 tahun dengan jumlah 15 (23,3%)
dan 25 (41,7%), sedangkan responden pada kelompok umur 46-50 tahun
jumlahnya paling sedikit baik pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol.
Pada karakteristik distribusi frekuensi berdasarkan umur balita diketahui
bahwa sebagian besar balita dengan kelompok umur 1-1,5 tahun yaitu pada
kelompok kasus sebanyak 19 balita (31,7%) dan pada kelompok kontrol sebanyak
32 balita (53,3%). Pada balita dengan umur 5 tahun jumlahnya paling sedikit pada
kelompok kasus sebanyak 2 balita (3,3) sedangkan pada balita dengan umur 4-4,5
tahun sebanyak 3 balita (5%). Pada karakteristik distribusi frekuensi berdasarkan
jenis kelamin diketahui bahwa balita dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan pada kelompok kasus dan kelompok kontrol
sebanyak 32 balita (53,3%).
Pada karakteristik distribusi frekuensi berdasarkan frekuensi terjadinya
ISPA selama 1 tahun terakhir diketahui bahwa frekuensi terjadinya ISPA dalam
kurun waktu satu tahun pada kelompok kontrol terbanyak yaitu 2 kali (51,7%).
Jumlah paling sedikit yaitu 1 dan 5 kali yaitu dengan frekuensi kejadian 6 kali
(10%) dalam kurun waktu satu tahun. diketahui bahwa frekuensi terjadinya ISPA
dalam kurun waktu satu tahun pada kelompok kasus terbanyak yaitu 6 kali
(36,7%). Jumlah paling sedikit yaitu 15 kali (1,7%) dalam kurun waktu satu
tahun.
Pada karakteristik distribusi frekuensi berdasarkan gejala yang
ditimbulkan diketahui bahwa gejala yang paling banyak diderita oleh balita pada
kelompok kasus adalah pilek dan batuk sebanyak 16 balita (26,7%) sedangkan
pada kelompok kontrol adalah batuk, pilek dan demam sebanyak 19 balita
(31,7%). Gejala ISPA yang paling sedikit yang diderita balita pada kelompok
kasus sebanyak 8 balita (13,3%) dengan gejala batuk, pilek dan demam.
7
Sedangkan pada kelompok kontrol yang paling sedikit dengan gejala sesak nafas,
radang tenggorokan dan batuk sebanyak 4 balita (6,7%).
Analisis bivariat dilakukan untuk menganalisis hubungan antara
pemberian ASI ekslusif, berat badan lahir dan paparan rokok dengan kejadian
ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Banyudono 1 sebagai berikut :
Tabel 2. Hasil Analisis Univariat dan Bivariat
Variabel
Kejadian ISPA pada Balita
Kasus Kontrol Jumlah P
value
OR 95% CI
(n) (%) (n) (%) n (%)
Pemberian
ASI
ekslusif
Tidak
ASI
ekslusif
ASI
ekslusif
41
19
68,3
31,7
29
31
48,3
51,7
70
50
100
100
0,042
2,307
1,097-
4,850
Berat
Badan
Lahir
BBLR
Tidak
BBLR
44
16
73,3
26,7
32
28
46,7
53,3
76
44
100
100
0,037
2,406
1,120-
5,169
Paparan
Rokok
Terpapar
Tidak
Terpapar
43
17
71,7
28,3
31
29
61,7
38,3
74
46
100
100
0,039
2,366
1,111-
5,040
Berdasarkan uji statistik didapatkan nilai p value sebesar 0,042 yang
menunjukkan bahwa ada hubungan antara pemberian ASI ekslusif dengan
kejadian ISPA pada balita. Nilai OR adalah 2,307 (95% CI= 1,097-4,850)
sehingga dapat diartikan bahwa balita yang tidak mendapatkan ASI ekslusif
selama 6 bulan berisiko 2,307 kali untuk mengalami kejadian ISPA. Penelitian ini
8
sejalan dengan penelitian Ikasari (2015), yang menyatakan bahwa ada hubungan
antara pemberian ASI ekslusif dengan kejadian ISPA pada balita (nilai p= 0,024,
OR= 0,454, 95% CI= 0,238-0,865). Hasil penelitian Hersoni (2015), juga
menunjukkan bahwa ada hubungan antara pemberian ASI ekslusif dengan
kejadian ISPA pada balita (nilai p= 0,025, OR= 32,738, 95% CI= 11,951-89,684).
Selain itu penelitian Sumarni (2013), juga menunjukkan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara pemberian ASI ekslusif dengan kejadian ISPA pada balita
(nilai p= 0,000, OR= 0,074, 95% CI= 0,017-0,323).
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori bahwa ASI sangat dibutuhkan
untuk kesehatan bayi. ASI adalah makan terbaik untuk bayi. ASI sangat
dibutuhkan untuk kesehatan bayi dan mendukung pertumbuhan dan
perkembangan bayi secara optimal. Bayi yang diberi ASI eksklusif akan
memperoleh seluruh kelebihan ASI serta terpenuhi kebutuhan gizinya secara
maksimal sehingga dia akan lebih sehat, lebih tahan terhadap infeksi, tidak mudah
terkena alergi dan lebih jarang sakit (Sulistiyoningsih, 2011).
Berdasarkan uji statistik didapatkan nilai p value sebesar 0,037 yang
menunjukkan bahwa ada hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian ISPA
pada balita. Nilai OR adalah 2,406 ( 95% CI= 1,120-5,169) sehingga dapat diartikan
bahwa balita yang lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) memiliki risiko
2,100 kali untuk mengalami kejadian ISPA. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Chandrawati (2014), yang menyatakan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara berat badan lahir rendah dengan
kejadian ISPA pada balita (nilai p= 0,007, OR= 5,60, 95% CI= 1,54-6,66). Hasil
penelitian Supriatin (2013), juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara berat badan lahir dengan kejadian ISPA pada balita (nilai p=
0,000, OR= 2,762, 95% CI= 1,562-4,884). Selain itu penelitian yang dilakukan
oleh Imelda (2017), juga menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara berat badan lahir dengan kejadian ISPA pada balita (nilai p= 0,000, OR=
4,491).
Berdasarkan teori yang mengatakan berat badan lahir rendah sangat mudah
mendapatkan infeksi karena imunitas humoral dan seluler masih kurang, selain
9
itu, karena kualitas dan selaput lendir membran tidak memiliki perlindungan.
Sindroma gangguan pada bayi berat badan lahir rendah adalah perkembangan
imatur pada sistem pernapasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan pada paru-
paru (Proverawati, 2010).
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan
mental pada masa balita. Bayi yang lahir dengan berat badan di bawah normal
disebut dengan BBLR (berat badan bayi < 2500 gram). Bayi BBLR mudah
terserang ISPA, karena bayi dengan BBLR memiliki sistem pertahanan tubuh
yang rendah terhadap mikroorganisme patogen. Dengan infeksi ringan saja sudah
cukup membuat sakit, sehingga bayi BBLR rentan terhadap penyakit infeksi
termasuk penyakit ISPA
Berdasarkan uji statistik didapatkan nilai p value sebesar 0,039 yang
menunjukkan bahwa ada hubungan antara paparan rokok dengan kejadian ISPA
pada balita. Nilai OR adalah 2,366 (95% CI= 1,111-5,040) sehingga dapat
diartikan bahwa balita yang terpapar langsung oleh asap rokok memiliki risiko
2,366 kali untuk mengalami kejadian ISPA. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Yusridawati (2016), juga menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara
kebiasaan merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada balita (nilai p=
0,001, OR= 13,736). Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Asriati (2012) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara paparan rokok dengan kejadian ISPA pada balita (nilai p= 0,000, OR= 7,8,
95% CI= 2,774-21,929). Hasil penelitian dari Syahidi (2016) juga menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara paparan asap rokok dengan
kejadian ISPA pada balita (nilai p= 0,001, OR= 8,02, 95% CI= 2,42-26,57).
Berdasarkan teori yang peneliti dapatkan prosentase terjadinya penyakit
ISPA pada balita salah satunya disebabkan karena paparan asap rokok yang
berada di lingkungan disekitar bayi. Sebab, terdapat seorang perokok atau lebih
dalam rumah akan memperbesar risiko anggota keluarga yang menderita sakit,
seperti gangguan pernapasan, memperburuk asma dan memperberat penyakit
angina pectoris serta dapat meningkatkan risiko untuk mendapat serangan ISPA
khususnya pada balita.
10
Keluarga yang merokok didalam rumah adalah dominanya yaitu ayah. Hal
tersebut terjadi karena perilaku merokok dianggap sesuatu yang wajar bagi
seorang laki-laki khususnya seorang ayah atau anggota keluarga lain yang sudah
bekerja, disamping itu juga kebiasaan merokok adalah sesuatu yang sulit untuk
dihilangkan karena telah dilakukan sejak lama. Prevalensi konsumsi tembakau
cenderung meningkat baik pada laki-laki maupun perempuan. Tetapi laki-laki
cenderung lebih banyak yang mulai merokok diusia muda.
4. PENUTUP
4.1. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada penelitian ini bahwa terdapat
hubungan antara pemberian ASI ekslusif (nilai p value= 0,042, OR= 2,307,
95%CI= 1,097-4,850), berat badan lahir (nilai p value= 0,037, OR= 2,406,
95%CI= 1,120-5,169), dan paparan rokok (nilai p value= 0,039, OR= 2,366, 95%
CI= 1,111-5,040) dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas
Banyudono 1.
4.2. Saran
Saran yang dapat dilakukan antara lain Petugas kesehatan diharapkan lebih
meningkatkan edukasi kesehatan supaya upaya promotif dan preventif melalui
penyuluhan rutin selama minimal satu bulan sekali kepada semua ibu-ibu yang
memiliki balita ataupun ibu-ibu yang sedang hamil baik yang memiliki balita dengan
ISPA ataupun yang tidak dengan ISPA dengan menggunakan media leaflet yang
menarik atau poster yang berisikan faktor-faktor resiko terjadinya ISPA pada balita di
lingkungan puskesmas serta mengajak ibu-ibu yang memiliki balita untuk berperan
aktif dalam kegiatan posyandu yang sudah ada.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2013) Riset Kesehatan Dasar
2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Chandrawati, P.F., Alhabsyi, F.N. (2014). Hubungan Berat Badan Lahir Rendah
terhadap Frekuensi Kejadian ISPA pada Balita Usia 1-4 tahun. Bagian
11
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Malang, Volume 10 Nomor 1
Departemen Kesehatan RI. (2010). Riskesdas Indonesia Tahun 2010. Departemen
Kesehatan RI : Jakarta
Hersoni, S. (2015). Pengaruh Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif terhadap
Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Bayi Usia 6-12 bulan di
RAB RSU dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas
Husada, Volume 14, Nomor 1
Ikasari, F.S., Pertiwiwati, E., Rahmawati, K. (2015). Pemberian ASI Ekslusif
terhadap Kejadian ISPA pada Bayi Usia 6-12 bulan. Jurnal DK, Volume 3,
Nomor 2
Imelda. (2017). Hubungan Berat Badan Lahir Rendah dan Status Imunisasi
dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Aceh
Besar. Jurnal Ilmu Keperawatan, Volume 5 Nomor 2
Kementerian Kesehatan RI. (2017). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Milo,S., Ismanto,A.Y., Kallo,V.D. (2015).Hubungan Kebiasaan Merokok didalam
Rumah dengan Kejadian ISPA pada anak umur 1-5 tahun di Puskesmas
Sario Kota Manado. Ejournal keperawatan (e-Kp), Volume 3, Nomor 2
Dinas Kesehatan Boyolali. (2015). Profil Kesehatan Kabupaten Boyolali Tahun
2016. Boyolali: Dinas Kesehatan Boyolali
Dinas Kesehatan Jawa Tengah. (2017). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2016. Semarang: Dinas Kesehatan Jawa Tengah
Proverawati & Sulistyorini. (2010). Berat Badan Lahir Rendah. Yogyakarta: Nuha
Medika
Sirait,S.H. (2017). Pengaruh Pemberian Asi Ekslusif dengan Kejadian ISPA Pada
Anak Batita di Puskesmas Singosari Kota PemantangSiantar. Global
Health Science, Volume 2 Nomor 1
Sulistyoningsih, H. (2011). Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta:
Graha Ilmu
Sumarni., Retnowati, M., Rahmayati, A.D. (2013). Hubungan Antara Pemberian
ASI Ekslusif dengan Kejadian ISPA pada Bayi Usia 6-12 bulan di
Puskesmas Purwokerto Barat. YLPP Midwifery Academy Purwokerto
12
Supriatin, E. (2013). Hubungan Faktor-Faktor dengan Kejadian ISPA pada Balita
di Puskesmas X Kota Bandung. Jurnal Ilmu Keperawatan, Volume1,
Nomor 1
World Health Statistic.(2016). Monitoring Health For the SDG’s. Perancis: World
Health Organization
Yusridawati. (2016). Hubungan Perilaku Merokok Orang Tua dengan Kejadian
ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Binjai Serbangan Air
Joman Kabupaten Asahan