21
1 HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA SURABAYA Triton Prawira Budi* Muzayanah * Nugroho Hari Purnomo* Abstract A woman who lives in an urban area is faced with high living cost demand which oftentimes entangles her in activity to earn a living for her family. On the other side, she is also demanded to raise her children so as to yield a qualified generation in the future. It becomes a serious problem that requires some strategic answers. This research was done in the housing complex of Ketintang, Surabaya. The type of this research is descriptive-analytic research, by using survey method, and the data were analyzed quantitatively. This research population was married women from the above area. The purpose of this research is to know the significance of the relationship between working status with children’s value perception, ages with children’s value perception, education with children’s value perception, and couple’s income with children’s value perception. The results of this research indicate that the relationship between couple’s income with children’s value perception is significant at 95 % trust level. The significant is showed by value of chi-square= 4,50 at value of p < 0,05. The opportunity of respondents with high couple’s income to have positive children’s value perception is equal to 4.00 times, as compared to the opportunity of the respondents to have negative perception. This matter is shown by value of OR as equal to 4.00 at 95 % trust interval among 1.7 until 14.90. In reality, working status, age, and formal education among married women do not have significant relationship with children’s value perception at 95 % statistic trust level. Key words: value perception, working status of women, family’s income A. Pendahuluan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 31, menyatakan bahwa wanita mempunyai kewajiban sebagai ibu rumah tangga. Didukung meningkatnya jumlah wanita dengan anak sedikit di Indonesia, makin banyak wanita memanfaatkan tenaga dan waktu di sela kewajiban sebagai ibu rumah * Triton Prawira Budi, S.Si., Muzayanah, S.T., M.T., dan Nugroho Hari Purnomo, S.P., M.Si. staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya.

HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA SURABAYA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya, author : Triton Prawira Budi Muzayanah Nugroho Hari Purnomo, http://ejournal.unesa.ac.id/

Citation preview

Page 1: HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA SURABAYA

1

HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI

ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA

SURABAYA

Triton Prawira Budi*

Muzayanah *

Nugroho Hari Purnomo*

Abstract

A woman who lives in an urban area is faced with high living cost demand

which oftentimes entangles her in activity to earn a living for her family. On the

other side, she is also demanded to raise her children so as to yield a qualified

generation in the future. It becomes a serious problem that requires some

strategic answers. This research was done in the housing complex of Ketintang,

Surabaya. The type of this research is descriptive-analytic research, by using

survey method, and the data were analyzed quantitatively. This research

population was married women from the above area. The purpose of this research

is to know the significance of the relationship between working status with

children’s value perception, ages with children’s value perception, education with

children’s value perception, and couple’s income with children’s value

perception. The results of this research indicate that the relationship between

couple’s income with children’s value perception is significant at 95 % trust level.

The significant is showed by value of chi-square= 4,50 at value of p < 0,05. The

opportunity of respondents with high couple’s income to have positive children’s

value perception is equal to 4.00 times, as compared to the opportunity of the

respondents to have negative perception. This matter is shown by value of OR as

equal to 4.00 at 95 % trust interval among 1.7 until 14.90. In reality, working

status, age, and formal education among married women do not have significant

relationship with children’s value perception at 95 % statistic trust level.

Key words: value perception, working status of women, family’s income

A. Pendahuluan

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 31, menyatakan

bahwa wanita mempunyai kewajiban sebagai ibu rumah tangga. Didukung

meningkatnya jumlah wanita dengan anak sedikit di Indonesia, makin banyak

wanita memanfaatkan tenaga dan waktu di sela kewajiban sebagai ibu rumah

* Triton Prawira Budi, S.Si., Muzayanah, S.T., M.T., dan Nugroho Hari

Purnomo, S.P., M.Si. staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri

Surabaya.

Page 2: HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA SURABAYA

2

tangga dengan memasuki dunia kerja ketika datang tawaran atau kesempatan.

Penduduk Kota Surabaya dalam bulan Juni 2005 mencapai 2.701.312 jiwa,

terdiri dari penduduk laki–laki 1.358.610 jiwa dan penduduk perempuan

1.342.702 jiwa, dengan tingkat kepadatan 8.277 jiwa / km2. Tingkat Partisipasi

Angkatan Kerja (TPAK) di Kota Surabaya selama tahun 2002 sampai dengan

September 2004 menunjukkan perkembangan meningkat. Pada tahun 2002 TPAK

mencapai 61,19%, tahun 2003 naik menjadi 61,23%, dan di tahun 2004 sampai

dengan bulan September, TPAK di Kota Surabaya telah mencapai angka 61,97%.

Sumber: Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk, 2005

Gambar 1. Grafik Perkembangan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di

Kota Surabaya Periode 2002-September 2004

Grafik di atas menunjukkan bahwa TPAK di Kota Surabaya cenderung

meningkat. Mengingat masyarakat kota umumnya sudah memiliki kesadaran

jender lebih baik dibandingkan masyarakat di desa, maka peningkatan TPAK ini

memungkinkan semakin banyaknya wanita baik yang belum maupun telah

menikah yang memilih untuk bekerja di Surabaya.

Di samping aspek positif meningkatnya kesetaraan gender dengan banyak

wanita yang bekerja, ada indikasi bahwa penurunan fertilitas menunjukkan

pergeseran persepsi nilai anak oleh wanita bekerja. Dahulu sebagian besar

masyarakat, menilai anak sebagai sumber rezeki dengan pameo “banyak anak

Page 3: HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA SURABAYA

3

banyak rezeki”, sekarang pameo itu berubah menjadi “banyak anak banyak

beban”. Keuntungan materi dan kebahagiaan oleh orang tua apabila mempunyai

anak, tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan dalam membesarkan anak.

Jika jumlah anak dalam keluarga itu besar, maka biaya dan waktu alokasi untuk

anak akan besar dan hal tersebut dapat membebani orang tuanya.

Rahmawati (2003) mengemukakan dua pandangan yang bertentangan

mengenai persepsi nilai anak. Pandangan pertama, bahwa dengan jumlah anak

banyak dapat meringankan beban orangtua. Pandangan kedua, bahwa anak dengan

jumlah banyak, bila tidak berkualitas justru memperberat beban orangtua kelak.

Fawcett (1986) mengemukakan enam nilai anak bagi orang tua, yaitu (1) perekat

cinta kasih, (2) sumber tenaga kerja, (3) asuransi di hari tua, (4) pelangsung

keturunan, (5) sumber rezeki, (6) anak sebagai teman, penolong dan pelindung.

Persepsi nilai anak dapat mempengaruhi jumlah anak yang diinginkan.

Konkretnya, permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara status kerja dengan persepsi

nilai anak pada wanita telah menikah?

2. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan persepsi nilai

anak pada wanita telah menikah?

3. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan formal dengan

persepsi nilai anak pada wanita telah menikah?

4. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara penghasilan dengan

persepsi nilai anak pada wanita telah menikah?

5. Apakah terdapat hubungan bersama-sama yang signifikan antara status kerja,

umur, pendidikan formal, dan penghasilan dengan persepsi nilai anak pada

wanita telah menikah?

B. Kajian Pustaka

Menurut Parawangsa (2006), pembangunan di berbagai bidang yang

diselenggarakan selama ini belum terlalu mampu mengangkat kualitas perempuan.

Hal ini antara lain dapat dilihat dari masih rendahnya nilai Gender-related

Development Index (GDI) Indonesia. GDl mengukur variable-variable dalam

Page 4: HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA SURABAYA

4

HDI. Namun dipisahkan antara laki-laki dan perempuan, nilai GDI Indonesia

adalah 0,675 dan berada pada rangking ke-88. jauh tertinggal dibanding negara-

negara ASEAN seperti Malaysia dan Thailand (HDR, 1999).

Namun, status wanita menikah bekerja di Indonesia bukanlah persoalan

sederhanan. Menurut Kofifah (2006), dalam hal kesetaraan dan keadilan gender,

tampak bahwa belum sepenuhnya dapat diwujudkan, karena masih kuatnya

pengaruh nilai-nilai sosial budaya yang patriarki. Nilai-nilai ini menempatkan

laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda dan tidak setara.

Kesetaraan gender ditandai oleh pembakuan peran, beban ganda, sub

ordinasi, marjinalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan. Semua berawal dari

diskriminasi terhadap perempuan, sehingga perempuan tidak memiliki akses,

kesempatan, dan kontrol atas pembangunan serta tidak memperoleh manfaat dari

pembangunan yang adil dan setara dengan laki-laki. Himpitan permasalahan

gender ini dapat menyebabkan wanita bekerja memiliki persepsi nilai anak

berbeda dibanding wanita yang tidak bekerja.

Persepsi adalah proses kognitif yang dialami seseorang untuk memahami

informasi lingkungan, baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan,

perasaan, dan penciuman (Thoha, 1980). Proses persepsi menyediakan mekanisme

seleksi stimuli dan dikelompokkan dalam wujud yang berarti, sehingga gambaran

mengenai lingkungan cenderung diwakili oleh stimuli tersebut (Winardi, 2002).

Menurut Rahmawati (2003), ada beberapa syarat agar seseorang dapat

menyadari dan dapat melakukan persepsi, yaitu 1) adanya objek yang dipersepsi,

2) adanya indera atau reseptor, yaitu sebagai alat untuk menerima stimulus, dan 3)

diperlukan perhatian sebagai langkah awal menuju persepsi.

Mengenai nilai anak, menurut Rahmawati (2003) orang tua sekaligus

menentukan pilihan untuk memiliki anak atau tidak, dan dari sudut pandang

ekonomi kependudukan mikro, orang tua atau dari satuan keluarga telah

menganggap anak sebagai barang konsumsi tahan lama seperti mobil, rumah,

televisi, dan sebagainya, yang dapat memberikan kepuasan dalam waktu yang

lama. Setiap orang tua telah memiliki sumber-sumber yang terbatas dan berusaha

semaksimal mungkin untuk mendapatkan kepuasan dengan memilih berbagai

Page 5: HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA SURABAYA

5

barang, termasuk pilihan jumlah anak yang diinginkan. Pendekatan ini sulit

menjawab mengapa meningkatnya penghasilan justru menyebabkan turunnya

fertilitas. Salah satu jawabannya adalah bahwa dengan meningkatnya penghasilan,

orang tua ingin agar anaknya bependidikan formal lebih tinggi, sehingga mereka

lebih memilih kualitas dari pada kuantitas anak (Jones dalam Lucas, 1990).

Dasar pemikiran utama dari teori transisi demografi adalah bahwa sejalan

diadakannya pembangunan sosial ekonomi, maka keinginan mempunyai anak

lebih merupakan suatu proses ekonomis daripada proses biologi (Robinson dalam

Lucas dkk, 1990). Beberapa ahli menjelaskan bahwa faktor-faktor yang

menentukan jumlah kelahiran anak yang diinginkan per keluarga di antaranya

adalah jumlah kelahiran yang dapat dipertahankan hidup (survive). Tekanan

utama adalah cara bertingkah laku itu sesuai dengan yang dikehendaki apabila

orang melaksanakan perhitungan-perhitungan kasar mengenai jumlah kelahiran

anak yang diinginkan. Perhitungan-perhitungan ini tergantung pada keseimbangan

antara kepuasan atau kegunaan (utility) yang diperoleh dari biaya tambahan

kelahiran seorang anak, baik berupa keuangan maupun psikis (Caldwell, 1983).

Menurut Robinson (1983) ada tiga macam tipe kegunaan anak yakni:

1. Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu barang konsumsi, misalnya

sebagai sumber hiburan.

2. Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu sarana produksi, yakni

dalam beberapa hal tertentu anak diharapkan untuk melakukan suatu pekerjaan

tertentu yang menambah pendapatan keluarga.

3. Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai sumber ketentraman, baik pada

hari tua maupun sebaliknya.

Menurut pendekatan lain yang lebih sesuai dengan keadaan di negara

berkembang, anak dianggap sebagai barang investasi atau aktiva ekonomi.

Orangtua berharap kelak menerima manfaat ekonomi dari anak. Manfaat ini akan

nampak jika anak bekerja tanpa upah di sawah atau usaha milik keluarga atau

memberikan sebagian penghasilannya kepada orang tua ataupun membantu

keuangan orang tua (Lucas dkk, 1990).

Page 6: HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA SURABAYA

6

Bila anak dianggap sebagai barang konsumsi tahan lama atau barang

investasi, maka perlu dipikirkan berapa nilainya. Ada dua macam beban ekonomi

anak menurut Robinson dan Horlacher dalam Lucas dkk (1990) yaitu :

1. Beban finansial atau biaya pemeliharaan langsung, yaitu jumlah biaya yang

dikeluarkan oleh orang tua untuk makanan, pakaian, rumah, pendidikan

formal dan perawatan kesehatan anak.

2. Biaya alternatif (opportunity cost) atau biaya tidak langsung yaitu biaya yang

dikeluarkan atau penghasilan yang hilang karena mengasuh anak. Apabila

seorang isteri melepaskan pekerjaannya ketika anak-anak masih kecil, maka

orang tua akan kehilangan gaji yang seharusnya diterima jika istri bekerja.

Bila seorang istri terus bekerja, ia harus membayar biaya pengasuhan anak dan

ini juga merupakan biaya aternatif.

Manfaat ekonomi anak nampak jika anak bekerja tanpa upah di sawah atau

usaha milik keluarga atau memberikan sebagian penghasilannya kepada orang tua

ataupun membantu keuangan orang tua (Lucas dkk, 1990). Bila anak dianggap

sebagai barang konsumsi yang tahan lama atau barang investasi, maka perlu

dipikirkan berapa nilainya. Ada dua macam beban ekonomi anak menurut

Robinson dan Horlacher dalam Lucas dkk (1990) yaitu :

1. Beban finansial atau biaya pemeliharaan langsung, yaitu jumlah biaya yang

dikeluarkan oleh orang tua untuk makanan, pakaian, rumah, pendidikan

formal dan perawatan kesehatan anak.

2. Biaya alternatif (opportunity cost) atau biaya tidak langsung yaitu biaya yang

dikeluarkan atau penghasilan yang hilang karena mengasuh anak. Apabila

seorang isteri melepaskan pekerjaannya ketika anak-anak masih kecil, maka

orang tua akan kehilangan gaji yang seharusnya diterima jika istri bekerja.

Bila seorang istri terus bekerja, ia harus membayar biaya pengasuhan anak dan

ini juga merupakan biaya aternatif.

Nilai anak dapat diartikan sebagai „koleksi benda-benda bagus‟ yang

diperoleh orangtua karena mempunyai anak (Espenshade dalam Lucas dkk, 1990).

Hoffman dan Hoffman dalam Lucas dkk (1990) menghasilkan suatu sistem nilai

yang meliputi sembilan kategori, yakni delapan nilai bukan ekonomi (misalnya

Page 7: HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA SURABAYA

7

status kedewasaan, imortalitas, kebahagiaan, kreativitas) dan satu nilai yang

menyangkut manfaat ekonomi.

Di antara berbagai pendekatan terhadap nilai anak, adalah pendekatan

mikro ekonomi dan pendekatan psikologi sosial yang dikembangkan dari

kerangka kerja Hoffman (Fawcett, 1983). Pendekatan ini menekankan adanya

kebutuhan masing-masing orang yang terpenuhi dengan mempunyai anak, cara

lain untuk memenuhi kebutuhan ini, dan interaksi antara nilai emosional, sosial

dan ekonomi, serta “beban” karena mempunyai anak (Fawcett, 1986).

Bouge dalam Lucas (1990) mengemukakan bahwa pendidikan formal

berpengaruh lebih kuat terhadap fertilitas daripada variabel lain. Bellante dan

Jackson (1990) berpendapat anak-anak memberikan utilitas dan jasa pelayanan

yang produktif bagi orang tua mereka. Dalam masyarakat yang berpenghasilan

rendah (terutama pada daerah pertanian dan pesisir), anak-anak dianggap sebagai

sumber tenaga kerja dan sumber pendapatan yang penting bagi keluarga. Selain

itu, anak dinilai sebagai investasi hari tua atau sebagai komoditas ekonomi yang

dapat disimpan di kemudian hari. Hal tersebut merupakan hubungan positif antara

penghasilan dengan nilai anak. Berkorelasi negatif apabila penghasilan yang

tinggi akan menilai anak bukan sebagai potensi, modal atau rezeki. Mereka

menilai anak sebagai beban dalam keluarga. Sehingga semakin tinggi penghasilan

maka persepsi nilai anak akan berkurang sehingga fertilitas akan menurun.

Operasionalisasi konsep nilai anak didasarkan pada rumusan yang

diajukan oleh Arnold dan Fawcett dalam Lucas (1990). Menurut kedua ahli ini,

dengan memiliki anak, orang tua akan memperoleh hal-hal yang menguntungkan

atau yang merugikan. Apa yang diperoleh tersebut dapat dikategorikan ke dalam

empat kelompok nilai, yakni nilai positif, nilai negatif, nilai keluarga besar, dan

nilai keluarga kecil.

Keempat kategori nilai anak tersebut meliputi:

1. Nilai Positif Umum (Manfaat)

a. Manfaat Emosional. Anak membawa kegembiraan dan kebahagiaan ke

dalam hidup orang tuanya. Anak adalah sasaran cinta kasih, dan sahabat

bagi orang tuanya.

Page 8: HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA SURABAYA

8

b. Manfaat Ekonomi dan Ketenangan. Anak dapat membantu ekonomi orang

tuanya dengan bekerja di sawah atau di perusahaan keluarga lainnya, atau

dengan menyumbangkan upah yang mereka dapat di tempat lain. Mereka

dapat megerjakan banyak tugas di rumah (sehingga ibu mereka dapat

melakukan pekerjaan yang menghasilkan uang)

c. Pengembangan Diri. Memelihara anak adalah suatu ”pengalaman belajar”

bagi orang tua. Anak membuat orang tuanya lebih matang, lebih

bertanggung jawab. Tanpa anak, orang yang telah menikah tidak selalu

dapat diterima sebagai orang dewasa dan anggota masyarakat sepenuhnya.

d. Mengenali Anak. Orang tua memperoleh kebanggaan dan kegembiraan

dari mengawasi anak-anak mereka tumbuh dan mengajari mereka hal-hal

baru. Mereka bangga kalau bisa memenuhi kebutuhan anak-anaknya.

e. Kerukunan dan Penerus Keluarga. Anak membantu memperkuat ikatan

perkawinan antara suami istri dan mengisi kebutuhan suatu perkawinan.

Mereka meneruskan garis keluarga, nama keluarga, dan tradisi keluarga.

2. Nilai Negatif Umum (Biaya)

a. Biaya Emosional. Orang tua sangat mengkhawatirkan anak-anaknya,

terutama tentang perilaku anak-anaknya, keamanan dan kesehatan mereka.

Dengan adanya anak-anak, rumah akan ramai dan kurang rapi. Kadang-

kadang anak-anak itu menjengkelkan.

b. Biaya Ekonomi. Ongkos yang harus dikeluarkan untuk memberi makan

dan pakaian anak-anak dapat besar.

c. Keterbatasan dan Biaya Alternatif. Setelah mempunyai anak, kebebasan

orang tua berkurang.

d. Kebutuhan Fisik. Begitu banyak pekerjaan rumah tambahan yang

diperlukan untuk mengasuh anak. Orang tua mungkin lebih lelah.

e. Pengorbanan Kehidupan Pribadi Suami Istri, yaitu waktu untuk dinikmati

oleh orangtua sendiri berkurang dan orang tua berdebat tentang

pengasuhan anak.

3. Nilai Keluarga Besar (alasan mempunyai keluarga “Besar”)

Page 9: HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA SURABAYA

9

a. Hubungan Sanak Saudara. Anak membutuhkan kakak dan adik

(sebaliknya anak tunggal dimanjakan dan kesepian).

b. Pilihan Jenis Kelamin. Mungkin orang tua mempunyai keinginan khusus

untuk seorang anak lelaki atau anak perempuan, atau suatu kombinasi

tertentu. Orang tua ingin paling tidak mempunyai satu anak dari masing-

masing jenis kelamin atau jumlah yang sama dari kedua jenis kelamin.

c. Kelangsungan Hidup Anak. Orang tua membutuhkan banyak anak untuk

menjamin agar beberapa akan hidup terus sampai dewasa dan membantu

mereka pada masa tua.

4. Nilai Keluarga Kecil (alasan mempunyai keluarga “Kecil”)

a. Kesehatan Ibu. Terlalu sering hamil tidak baik untuk kesehatan ibu.

b. Beban Masyarakat. Dunia ini menjadi terlalu padat, karena terlalu banyak

anak sudah merupakan beban bagi masyarakat. Sebagai barang ekonomi,

anak-anak mengandung suatu arus keuntungan atau utilitas bagi orang tua

mereka. Orang tua juga mengeluarkan biaya dalam memiliki dan

membesarkan anak-anak mereka. Dalam memutuskan untuk memiliki

seorang anak, berapa jumlah anak yang diinginkan, orang tua diasumsikan

mempertimbangkan keuntungan-keuntungan yang diharapkan dari

memiliki anak-anak dibandingkan secara relatif dengan biaya-biaya yang

diperkirakan akan dikeluarkan. Terutama sekali, keuntungan yang

diberikan anak-anak telah menurun sedangkan biayanya telah meningkat.

Peran wanita dapat dilihat dari tiga perspektif dalam kaitannya dengan

posisinya sebagai ibu rumah tangga dan partisipan pembangunan atau pekerja

pencari nafkah (Hubeis dalam Achmad, 1994):

1. Peran tradisi. Sering juga disebut peran domestik menjadi urusan wanita.

Semua pekerjaan rumah dari membersihkan rumah, memasak, mencuci,

merawat/mengasuh anak dan masih banyak lainnya yang berkaitan dengan

rumah tangga. Wanita sebaiknya di rumah saja agar semua urusan menjadi

terselesaikan dengan baik.

Page 10: HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA SURABAYA

10

2. Peran transisi, yang terjadi khususnya di daerah pertanian, wanita sudah

terbiasa bekerja di lahan pertanian keluarga, bila di kota bekerja di usaha

keluarga.

3. Peran kontemporer. Jika seorang wanita hanya memiliki peran di luar rumah

tangga saat ini masih disebut wanita kontemporer atau wanita karir. Biasanya

mereka memilih hidup tidak menikah dan mencari nafkah sendiri. Ini terdapat

di kota-kota besar. Moser (1986) telah melakukan penelitian selama lima

tahun yang berkaitan dengan peran wanita dalam pembangunan di Dunia

Ketiga, karena peran wanita dan pria berbeda maka keperluan mereka berbeda

pula. Dekade Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Wanita (1976-1985) telah

berperan penting dalam mengangkat dan menyebarluaskan pentingnya peran

wanita dalam pembangunan sosial ekonomi di negara dan masyarakat. Suatu

kerangka konseptual mengenai peranan wanita dan perubahan demografi,

termasuk fertilitas dan pengaturannya, oleh Oppong (1983) membagi peran-

peran wanita ke dalam tujuh kategori, yaitu : peran sebagai ibu (maternal),

pasangan kawin (conjugal), domestik, pekerjaan (occupational), kerabat,

masyarakat dan peran individu. Teori ekonomi mengenai fertilitas juga

mengasumsikan bahwa waktu pemeliharaan anak sebagian besar disediakan

oleh para ibu. Diasumsikan bahwa ada pilihan utama bagi wanita antara

kegiatan-kegiatan ekonomi/pekerjaan dan kegiatan sebagai orang tua.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mueller dalam Oppong (1983),

perhatian yang sedikit terutama ditujukan pada kemungkinan bahwa waktu

untuk pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dan waktu luang jadi berkurang

dengan adanya waktu untuk memelihara anak, demikian juga sebaliknya.

Bakir (1984) mengemukakan hubungan fertilitas dan angkatan kerja:

1. Partisipasi wanita dalam angkatan kerja mempunyai pengaruh negatif terhadap

fertilitas. Hal ini disebabkan karena terjadi pertentangan atau konflik antara

fungsi dan tugas wanita yang dianggap utama yaitu sebagai istri dan ibu serta

fungsi dan tugas wanita sebagai pekerja. Orang beranggapan bahwa

meningkatnya kesempatan bagi wanita untuk berpartisipasi dalam kegiatan

Page 11: HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA SURABAYA

11

ekonomi di luar rumah dapat digunakan sebagai salah satu kebijakan di bidang

kependudukan yang mendukung program KB untuk menurunkan fertilitas.

2. Hubungan antara fertilitas dengan angkatan kerja wanita sebagai hubungan

kausal timbal balik, di mana satu sama lain saling mempengaruhi.

Menurut Goldscheider dalam Ibrahim (1997) terdapat hubungan yang

positif antara pendidikan formal, mata pencaharian dan pendapatan dengan

fertilitas. Hal ini diamati dari dua kecenderungan yang saling berbeda yaitu:

1. Kenaikan fertilitas suatu kelompok karena berstatus lebih tinggi dan

perubahan keinginan kelompok tersebut untuk memiliki keluarga lebih besar,

2. Penurunan fertilitas dari kelompok berstatus lebih rendah karena mereka

semakin ekspansif dan sukses dalam menggunakan alat kontrasepsi.

Sebaliknya Hatmaji (1971) mengungkapkan bahwa terjadi hubungan

negatif antara pekerjaan wanita dengan fertilitas. Wanita bekerja di luar rumah

cenderung mempunyai anak lebih sedikit, sedangkan wanita yang mengurus

rumah tangga mempunyai anak lebih banyak. Pendidikan formal juga

berpengaruh kuat terhadap fertilitas. Dapat dikatakan bahwa pendidikan formal

akan mempengaruhi persepsi negatif terhadap nilai anak dan akan menekan

adanya keluarga besar

C. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik yang dilakukan dengan

metode survei dan analisis kuantitatif. Penelitian deskriptif memberikan gambaran

tentang keadaan dan gejala-gejala sosial tertentu. Keadaan atau gejala yang

dimaksud adalah status kerja, umur, pendidikan formal, dan penghasilan pasutri

dalam hubungannya dengan persepsi nilai anak pada wanita yang telah menikah.

Penelitian analitik menyangkut pengujian hipotesis. Hubungan antara

variabel status kerja, umur, pendidikan formal, dan penghasilan dengan persepsi

nilai anak pada wanita yang telah menikah akan diuji dengan alat bantu statistik.

Pada jenis penelitian ini, dalam deskripsinya juga mengandung uraian-uraian,

tetapi fokusnya terletak pada analisis hubungan antara variabel.

Page 12: HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA SURABAYA

12

Waktu pengumpulan data dalam penelitian ini berlangsung selama dua

bulan dengan lokasi penelitian di Ketintang Kecamatan Wonokromo Surabaya.

Populasi penelitian ini adalah wanita telah menikah di Perumahan Ketintang

Sekitar Kampus UNESA Kota Surabaya yang telah memiliki satu anak atau lebih,

masih memungkinkan untuk hamil, dan berusia antara 20 hingga 49 tahun. Jumlah

sampel penelitian ini dalam penentuannya tidak menggunakan kerangka sampling,

karena jumlah populasi yang ada belum dapat diketahui secara pasti.

Rencana pemilihan sampel dilakukan dengan metode convenience

sampling terhadap responden yang mewakili karakteristik populasi, yaitu wanita

telah menikah di Perumahan Ketintang Sekitar Kampus UNESA Kota Surabaya

yang telah memiliki satu anak atau lebih, masih memungkinkan untuk hamil,

berusia antara 20 hingga 49 tahun, dan berdomisili di Perumahan Ketintang dan

atau ber-KTP Ketintang Kota Surabaya.

Kemudian berdasarkan prinsip convenience sampling, maka secara

accidental terhadap setiap wanita yang telah menikah dengan KTP Ketintang,

berusia 20-40 tahun, dan telah memiliki satu anak atau lebih, dengan kondisi

masih mungkin untuk hamil, dan bersedia menjadi responden. Selanjutnya

responden yang memenuhi lima kriteria tersebut, langsung terpilih menjadi

sampel penelitian hingga mencukupi jumlah sampel. Penentuan ukuran sampel

minimal adalah 45 responden dengan pertimbangan bahwa jumlah tersebut sudah

melebihi batas minimal jumlah sampel (30 sampel) yang lazim dilakukan

Data dikumpulkan dengan metode survai menggunakan instrumen

kuesioner oleh tiga orang pewawancara yang telah dilatih. Hasil pengisian

kuesioner akan dianalisis dianalisis dengan statistik deskriptif dan statistik

inferensial dengan program SPSS (Statistical Product and Service Solutions).

Analisis data terdiri tiga tingkatan, yaitu analisis univariabel, bivariabel,

dan multivariabel. Analisis univariabel merupakan analisis untuk setiap variabel

yang dinyatakan dengan sebaran frekuensi dengan disertai penjelasan secara

deskriptif. Analisis bivariabel menggunakan tabel silang untuk menyoroti dan

menganalisis perbedaan atau hubungan antara dua variabel. Menguji signifikansi

Page 13: HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA SURABAYA

13

perbedaan/hubungan antara variabel status kerja kerja, umur, pendidikan formal,

dan penghasilan dengan persepsi nilai anak pada wanita yang telah menikah.

Analisis bivariabel dilakukan dengan menggunakan analisis Chi Square,

dengan tingkat signifikansi = 0,05. Hasil yang diperoleh pada analisis Chi

Square dengan menggunakan program SPSS yaitu nilai p, kemudian

dibandingkan dengan = 0,05. Apabila nilai p lebih kecil dari = 0,05 maka

terdapat signifikansi dalam hubungan/perbedaan antara dua variabel tersebut

(Agung, 1993). Sedangkan untuk mengetahui kuatnya perbedaan antara variabel

dikonsultasikan dengan uji lanjut nilai odds ratio atau OR (untuk variabel dengan

data nominal).

Analisis multivariabel dilakukan untuk mengetahui signifikansi hubungan

bersama-sama antara status kerja, umur, pendidikan formal, dan penghasilan

pasutri dalam hubungannya dengan persepsi nilai anak pada wanita yang telah

menikah. Pengujian dilakukan dengan regrsi logistik.

1. Umur. Adalah usia responden berdasarkan ulang tahun terakhir saat dilakukan

survai, dinyatakan dengan tahun.

2. Pendidikan formal. Pendidikan formal terakhir yang pernah ditempuh dan

diselesaikan responden hingga saat penelitian. variabel ini dikelompokkan atas

1) SMP atau Lebih Rendah, dan 2) SLTA atau Perguruan Tinggi

3. Penghasilan. Akumulasi pendapatan, baik dari suami maupun penghasilan

langsung dari responden rata-rata per bulan. Satuannya adalah rupiah. Untuk

analisis terdiri atas 1) < Rp 1.000.000,00, dan 2) >= Rp 1.000.000,00

4. Status Kerja. Merupakan aktivitas ekonomi responden sebelum melahirkan

anak terakhir, terdiri atas a) bekerja, dan b) tidak Bekerja

5. Persepsi Nilai Anak. Pandangan responden terhadap anak. Nilai anak

digolongkan ke dalam empat kelompok nilai, yakni nilai positif, nilai negatif,

nilai keluarga besar, dan nilai keluarga kecil. Persepsi terhadap nilai anak

diukur dengan memberikan pernyataan kepada responden yang memuat

keempat nilai tersebut. Setiap pernyataan tersebut disertai alternatif jawaban

yang harus dipilih oleh responden. Untuk pernyataan yang mengukur nilai

positif dan nilai keluarga besar, alternatif jawaban dinilai dengan angka yaitu:

Page 14: HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA SURABAYA

14

a) Sangat setuju mendapat skor 5,

b) Tidak setuju mendapat skor 4,

c) Ragu-ragu mendapat skor 3,

d) Tidak setuju mendapat skor 2, dan

e) Sangat tidak setuju mendapat skor 1

Untuk pernyataan yang mengukur nilai negatif dinilai dengan angka

kebalikan dari nilai di atas, yaitu:

a) Sangat setuju mendapat skor 1,

b) Tidak setuju mendapat skor 2,

c) Ragu-ragu mendapat skor 3,

d) Tidak setuju mendapat skor 4, dan

e) Sangat tidak setuju mendapat skor 5

Sumber: modifikasi dari Arnold dan Fawcett dalam Singarimbun, 1989.

Setelah persepsi nilai anak diukur dengan pilihan jawaban dari

pernyataan untuk responden, kemudian persepsi nilai anak disimpulkan

dengan dua kategori, yaitu 1) negatif (< nilai mean), dan 2) positif ( nilai

mean) sebagai nilai akhir.

D. Pembahasan

Data persepsi nilai anak pada penelitian ini diperoleh berdasarkan hasil

isian kuesioner yang diisi oleh wanita telah menikah di Kota Surabaya dengan

mengambil lokasi di Perumahan Ketintang. Berdasarkan lokasi tempat tinggal

responden, maka tabel berikut menunjukkan distribusi tempat tinggal responden:

Tabel 1. Distribusi tempat tinggal responden

Nomor

Responden

Lokasi Tempat Tinggal Jumlah Responden Persentase

1 – 3 Ketintang tengah 3 6,67

4 – 9 Ketintang madya 6 13,33

10 – 16 Ketintang raya 7 15,56

Page 15: HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA SURABAYA

15

17 – 26 Ketintang timur 10 22,22

27 – 45 Ketintang barat 19 42,22

Total 45 100

Sumber: Hasil Olah Data Primer, 2007

Hasil analisis univariabel sebagaimana ditampilkan pada tabel berikut:

Tabel 2. Hasil Analisis Univariabel

Persepsi Nilai Anak

Negatif (<50,47) Positif (>50,47) Total

N (%) n (%) N (%)

Umur:

> 35 tahun (berisiko)

20-35 tahun (aman)

12 (26,7)

8 (17,8)

14 (31,1)

11 (24,4)

26 (57,8)

19 (42,2)

Pendidikan formal

Dasar dan menengah

Perguruan tinggi

4 (8,9)

16 (35,6)

7 (15,6)

18 (40,0)

11 (24,4)

34 (75,6)

Penghasilan

>1.000.000

<1.000.000

10 (22,2)

10 (22,2)

5 (11,1)

20 (44,4)

15 (33,3)

30 (66,7)

Status kerja

Tidak bekerja

Bekerja

66 (69,5)

29 (30,5)

39 (41,1)

56 (58,9)

105 (55,3)

85 (44,7)

TOTAL 29 (30,5) 56 (58,9) 85 (44,7)

Sumber: Olah data primer dari kuesioner, 2007

Hasil analisis bivariabel ditampilkan pada tabel berikut ini:

Tabel 3. Ringkasan Hasil Analisis Bivariabel

Hasil Analisis Bivariabel terhadap

Persepsi Nilai Anak

Chi-Square (p) OR (IK 95%I)

Umur:

> 35 tahun (berisiko)

20-35 tahun (aman)

0,07 (0,787 0,85 (0,26-2,80)

Page 16: HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA SURABAYA

16

Pendidikan formal

Dasar dan menengah

Perguruan tinggi

0,39 (0,535) 0,64 (0,16-2,61)

Penghasilan

>1.000.000

<1.000.000

4,50 (0,034) * 4,00 (1,07-14,90)

Status kerja

Tidak bekerja

Bekerja

0,54 (0,463) 0,64 (1,97-2,09)

Sumber: olah data primer dari kuesioner, 2007

Keterangan : * = signifikansi (p < 0,05) IK = Interval kepercayaan

Tabel di atas menyajikan informasi bahwa hubungan antara penghasilan

dengan persepsi nilai anak adalah bermakna pada taraf kepercayaan 95 persen.

Kebermaknaan hubungan tersebut diperlihatkan oleh nilai Chi-square= 4,50 pada

nilai p < 0,05. Nilai OR sebesar 4,00 pada IK 95 persen antara 1,07 sampai 14,90

memperlihatkan bahwa peluang responden dengan penghasilan tinggi untuk

memiliki persepsi nilai anak positif adalah sebesar 4,00 kali lipat dibandingkan

dengan peluang responden tersebut untuk memiliki persepsi negatif.

Ternyata baik umur, pendidikan formal, dan status kerja tidak memiliki

hubungan yang signifikan (bermakna) dengan persepsi nilai anak (NA) pada taraf

kepercayaan 95 persen. Ketidakbermaknaan hubungan tersebut diperlihatkan oleh

nilai p > 0,01 pada masing-masing variabel tersebut. Karena ketiga variabel

tersebut tidak memiliki hubungan bermakna, maka nilai OR tidak berlaku.

Tabel 4. menggambarkan hasil analisis multivariabel pada semua variabel

bebas terhadap variabel terikat, yang ditampilkan dalam analisis regresi logistik

pada variabel terikat persepsi nilai anak. Hasil analisis bivariabel yang dilakukan

memperlihatkan bahwa dari empat variabel yang diuji kebermaknaan

hubungannya dengan variabel persepsi nilai anak, ternyata hanya satu variabel

yang terbukti memiliki hubungan bermakna dengan variabel persepsi nilai anak.

Variabel tersebut adalah penghasilan.

Tindak lanjut hasil analisis bivariabel adalah analisis multivariabel. Hasil

analisis multivariabel disajikan pada tabel berikut:

Tabel 4. Regresi logistik: ringkasan analisis multivariabel umur, pendidikan

formal, penghasilan, status kerja, dengan persepsi nilai anak

Page 17: HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA SURABAYA

17

Variabel terikat: persepsi nilai anak

No Variabel B p

1. Umur -0,016 0,981

2. Pendidikan formal -2,036 0,094

3. Penghasilan 2,668 0,018 *

4. Status kerja -0,604 0,383

Sumber: Olah data primer dari kuesioner, 2007

Keterangan: * = signifikansi (p < 0,05)

Ternyata hasil analisis multivariabel tetap menunjukkan bahwa tingkat

penghasilan memiliki hubungan yang signifikan terhadap persepsi nilai anak,

dengan nilai koefisien regresi 2,668 dan angka signifikansi 0,018. Karena P < 0,05

maka penghasilan memiliki hubungan yang signifikan terhadap persepsi nilai anak

pada taraf kepercayaan statistik 95 persen.

Berdasarkan keseluruhan hasil analisis data, ternyata menunjukkan bahwa

status kerja tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan persepsi nilai anak.

Ternyata justru variabel penghasilan keluarga yang memiliki hubungan signifikan

terhadap persepsi nilai anak.

Dengan hasil ini, maka dapat dinyatakan bahwa wanita telah menikah

dengan penghasilan tinggi lebih berpeluang memiliki persepsi nilai anak yang

positif dibandingkan peluangnya untuk memiliki persepsi nilai anak negatif.

Sebaliknya, pada wanita telah menikah dengan penghasilan rendah, maka lebih

berpeluang memiliki persepsi nilai anak yang negatif dibandingkan peluangnya

untuk memiliki persepsi nilai anak positif.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa wanita telah menikah yang

bekerja maupun tidak bekerja, wanita telah menikah dengan umur kehamilan

aman maupun umur kehamilan rawan, dan juga wanita telah menikah dengan

tingkat pendidikan formal tinggi maupun rendah, kesemuanya itu tidak berasosiasi

dengan persepsinya terhadap nilai anak.

Oleh karena itu, bagi pasangan suami istri seyogyanya tidak perlu lagi

mempermasalahkan secara serius apakah sang istri bekerja atau tidak bekerja. Jika

ingin berpeluang meningkatkan persepsi nilai anak, maka fokus setiap keluarga

adalah bagaimana penghasilan keluarga meningkat hingga ke angka yang

Page 18: HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA SURABAYA

18

signifikan (dalam penelitian ini, angka penghasilan Rp 1.000.000,00 ternyata

sudah merupakan batas minimal yang berpeluang untuk meningkatkan persepsi

positif terhadap anak).

E. Penutup

Hubungan antara penghasilan dengan persepsi nilai anak adalah bermakna

pada taraf kepercayaan 95 persen. Kebermaknaan hubungan tersebut diperlihatkan

oleh nilai Chi-square= 4,50 pada nilai p < 0,05. Peluang responden dengan

penghasilan tinggi untuk memiliki persepsi nilai anak positif adalah sebesar 4,00

kali lipat dibandingkan dengan peluang responden tersebut untuk memiliki

persepsi negatif. Hal ini ditunjukkan oleh nilai OR sebesar 4,00 pada IK 95 persen

antara 1,07 sampai 14,90 memperlihatkan bahwa ternyata status kerja, umur, dan

pendidikan formal pada wanita telah menikah tidak memiliki hubungan yang

signifikan dengan persepsi nilai anak pada taraf kepercayaan 95 persen.

Bagaimanapun, peran wanita sebagai ibu rumah tangga sangat menentukan

masa depan anak. Oleh karena itu, alih-alih menuntut istri untuk bekerja, suami

justru penting memfokuskan pada upaya meningkatkan penghasilan keluarga agar

peluang terwujudnya keluarga sakinah lebih besar melalui peluang makin

positifnya persepsi terhadap kehadiran seorang anak. Di tengah-tengah isu

kesetaraan jender yang melazimkan wanita bekerja, harus dipahami bahwa alasan

wanita sebagai istri yang bekerja bukan hanya untuk meningkatkan penghasilan

keluarga, tetapi juga untuk meningkatkan peran dan aktualisasi dirinya dalam

pembangunan. Suami diharapkan tetap menjadi figur yang bertanggung jawab

penuh membentuk keluarga bahagia dan pembentukan persepsi positif nilai anak

melalui berbagai ikhtiar untuk peningkatan pendapatan keluarga. Selain itu, suami

sebaiknya selalu fokus mencari cara meningkatkan penghasilan keluarga dengan

menghindari sedapat mungkin kesan menggantungkan peningkatan pendapatan

dari istri yang bekerja. Ikhtiar pasutri untuk meningkatkan pendapatan keluarga

sebaiknya senantiasa diarahkan untuk meningkatkan kebahagiaan rumah tangga

dan juga peningkatan pencurahan kasih sayang antara orang tua dan anak.

Page 19: HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA SURABAYA

19

Daftar Pustaka

Achmad, Syamsiah. 1994. Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan.

Kantor Menteri UPWRI, Jakarta.

Agung, I Gusti Ngurah. 1993. Metode Penelitian Sosial Pengertian dan

Pemakaian Praktis. Jakarta.

Alfian. 1986. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Gramedia, Jakarta.

Amannullah, Gantjang dkk. 1999. Indikator Kesejahteraan Anak. BPS Statistics,

Indonesia.

Anonim. 1990. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan dan

Peraturan Pelaksanaannya. Bina Dharma Pemuda, Indonesia.

Anwar, Evi dan Wongkaren, TS. 1997. Masalah Anak dan Implikasi Ekonomi.

LP3ES, Jakarta.

Bakir, Zainab dan Manning, Chris. 1984. Angkatan Kerja di Indonesia. Rajawali,

Jakarta.

Bellante, Don dan Jackson, M. 1990. Ekonomi Ketenagakerjaan.Lembaga

Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Biro Pusat Statistik. 1998. Survai Demografi dan Kesehatan Indonesia 1997.

BPS, Jakarta Indonesia.

Bongaarts, John and Menken, Jane. 1983. The Supply of Children: A Critical

Essay. Academic Press, New York/London. 136

Bulatao, R.A., Lee, R.D., Hollerbach, P.E., dan Bongaarts. 1983. Determinants of

Fertlity in Developing Countries. Academic Press,

New York/ London. Caldwell, John C. 1983. Direct Economic Costs and Benefits

of Children.

Academic Press, New York/London. Costa, Mariarosa Dalla dan Costa, Giovanna

F. Dalla. 1993. Kaum Perempuan dan Politik Strategi Ekonomi

Internasional. Kalyanamitra, Jakarta.

Dwiyanto, A., Faturochman, Molo, M., Abdullah. 1996. Penduduk dan

Pembangunan. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

Page 20: HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA SURABAYA

20

Djarwanto. 1997. Statistik Non Parametrik (edisi 3). BPFE, Yogyakarta.

Ediastuti, Endang dan Faturochman. 1995. Fertilitas dan Aktivitas Wanita

di Pedesaan. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

Effendi, Tadjuddin Noer. 1995. Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja dan

Kemiskinan. Tiara Wacana, Yogyakarta.

Faturochman. 1996. Dampak Penurunan Fertilitas: Inventarisasi Awal. Pusat

Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Fawcett, James T. 1983. Perceptions of the Value of Children: Satisfactions and

costs. Academic Press, New York/London.

-------------. 1986. The Value and Cost of Children : Converging Theory and

Research. Sage Publications, New Delhi/Beverly Hills/London.

Freedman, Ronald. 1986. Theories of Fertility Decline. Sage Publications, New

Delhi/Beverly Hills/London.

Goldsheider, C.1971. Population Modernization and Social Structure. Litle

Brown & Lompang, Boston.

Hatmadji, Sri Harijati. 1971. Fertilitas (Kelahiran) dalam Pengantar Demogarfi.

Lembaga Demografi FE UI, Jakarta.

------------- (Ed.). 1982. Diferensial Fertilitas di Indonesia. Suatu Analisa

Regional (Jilid 1). Lembaga Demografi FE UI, Jakarta. 137

-------------. 1995. Pengaruh Program KB pada Perubahan Fertilitas di Jawa: Suatu

Analisis Wilayah”. Dalam Aris Ananta, ed.

Ihromi, T.O. (Penyunting). 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan. Yayasan

Obor Indonesia, Jakarta.

Koentjaraningrat, 1982. Masalah-masalah Pembangunan, dalam Bunga Rampai

Antropologi Terapan. LP3ES, Jakarta.

Lucas, D., McDonald, P., Young, E., Young, C. 1990. Pengantar Kependudukan

(Terjemahan). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

-------------, Meyer, Paul. 1990. Ekonomi Kependudukan dan Nilai Anak. Gadjah

Mada University Press, Yogyakarta.

Mantra, Ida Bagus. 2000. Demografi Umum. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Page 21: HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA SURABAYA

21

Miles, Matthew B. dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif

(terjemahan). UI Press, Jakarta.

Oppong, Christine. 1983. Women’s Roles, Opportunity Costs, and Fertility.

Academic Press, New York/London.

Parawangsa, Khofifah Indar. 2003. Pemberdayaan Perempuan dalam

Pembangunan Berkelanjutan. Bali:

http://www.lfip.org/english/pdf/baliSeminar/Pemberdayaan%20perempua

n%20-%20khofifah%20indar%20parawansa.pdf

Rahmawati. 2003. Analisis Permintaan Anak pada Wanita Pasangan Usia Muda di

Kota Makassar. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin,

Makassar.

Robinson, Warren C. dan Sarah F.H. 1983. Menuju Fertilitas Terpadu

(Terjemahan). Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan UGM,

Yogyakarta.

Santoso, Singgih. 2000. Buku latihan SPSS Statistik Parametrik. Gramedia,

Jakarta.

Saptari, Ratna dan Holzner, Brigitte. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan

Sosial. Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Pustaka Utama Grafiti,

Jakarta.