189877100 Hubungan Antara Status Pekerjaan Dan Persepsi Nilai Anak Anak Tentang Perempuan Menikah Di Kota Surabaya

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1

    HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI

    ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA

    SURABAYA

    Triton Prawira Budi*

    Muzayanah *

    Nugroho Hari Purnomo*

    Abstract

    A woman who lives in an urban area is faced with high living cost demand

    which oftentimes entangles her in activity to earn a living for her family. On the

    other side, she is also demanded to raise her children so as to yield a qualified

    generation in the future. It becomes a serious problem that requires some

    strategic answers. This research was done in the housing complex of Ketintang,

    Surabaya. The type of this research is descriptive-analytic research, by using

    survey method, and the data were analyzed quantitatively. This research

    population was married women from the above area. The purpose of this research

    is to know the significance of the relationship between working status with

    childrens value perception, ages with childrens value perception, education with childrens value perception, and couples income with childrens value perception. The results of this research indicate that the relationship between

    couples income with childrens value perception is significant at 95 % trust level. The significant is showed by value of chi-square= 4,50 at value of p < 0,05. The

    opportunity of respondents with high couples income to have positive childrens value perception is equal to 4.00 times, as compared to the opportunity of the

    respondents to have negative perception. This matter is shown by value of OR as

    equal to 4.00 at 95 % trust interval among 1.7 until 14.90. In reality, working

    status, age, and formal education among married women do not have significant

    relationship with childrens value perception at 95 % statistic trust level.

    Key words: value perception, working status of women, familys income

    A. Pendahuluan

    Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 31, menyatakan

    bahwa wanita mempunyai kewajiban sebagai ibu rumah tangga. Didukung

    meningkatnya jumlah wanita dengan anak sedikit di Indonesia, makin banyak

    wanita memanfaatkan tenaga dan waktu di sela kewajiban sebagai ibu rumah

    * Triton Prawira Budi, S.Si., Muzayanah, S.T., M.T., dan Nugroho Hari

    Purnomo, S.P., M.Si. staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri

    Surabaya.

  • 2

    tangga dengan memasuki dunia kerja ketika datang tawaran atau kesempatan.

    Penduduk Kota Surabaya dalam bulan Juni 2005 mencapai 2.701.312 jiwa,

    terdiri dari penduduk lakilaki 1.358.610 jiwa dan penduduk perempuan

    1.342.702 jiwa, dengan tingkat kepadatan 8.277 jiwa / km2. Tingkat Partisipasi

    Angkatan Kerja (TPAK) di Kota Surabaya selama tahun 2002 sampai dengan

    September 2004 menunjukkan perkembangan meningkat. Pada tahun 2002 TPAK

    mencapai 61,19%, tahun 2003 naik menjadi 61,23%, dan di tahun 2004 sampai

    dengan bulan September, TPAK di Kota Surabaya telah mencapai angka 61,97%.

    Sumber: Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk, 2005

    Gambar 1. Grafik Perkembangan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di

    Kota Surabaya Periode 2002-September 2004

    Grafik di atas menunjukkan bahwa TPAK di Kota Surabaya cenderung

    meningkat. Mengingat masyarakat kota umumnya sudah memiliki kesadaran

    jender lebih baik dibandingkan masyarakat di desa, maka peningkatan TPAK ini

    memungkinkan semakin banyaknya wanita baik yang belum maupun telah

    menikah yang memilih untuk bekerja di Surabaya.

    Di samping aspek positif meningkatnya kesetaraan gender dengan banyak

    wanita yang bekerja, ada indikasi bahwa penurunan fertilitas menunjukkan

    pergeseran persepsi nilai anak oleh wanita bekerja. Dahulu sebagian besar

    masyarakat, menilai anak sebagai sumber rezeki dengan pameo banyak anak

  • 3

    banyak rezeki, sekarang pameo itu berubah menjadi banyak anak banyak

    beban. Keuntungan materi dan kebahagiaan oleh orang tua apabila mempunyai

    anak, tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan dalam membesarkan anak.

    Jika jumlah anak dalam keluarga itu besar, maka biaya dan waktu alokasi untuk

    anak akan besar dan hal tersebut dapat membebani orang tuanya.

    Rahmawati (2003) mengemukakan dua pandangan yang bertentangan

    mengenai persepsi nilai anak. Pandangan pertama, bahwa dengan jumlah anak

    banyak dapat meringankan beban orangtua. Pandangan kedua, bahwa anak dengan

    jumlah banyak, bila tidak berkualitas justru memperberat beban orangtua kelak.

    Fawcett (1986) mengemukakan enam nilai anak bagi orang tua, yaitu (1) perekat

    cinta kasih, (2) sumber tenaga kerja, (3) asuransi di hari tua, (4) pelangsung

    keturunan, (5) sumber rezeki, (6) anak sebagai teman, penolong dan pelindung.

    Persepsi nilai anak dapat mempengaruhi jumlah anak yang diinginkan.

    Konkretnya, permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

    1. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara status kerja dengan persepsi

    nilai anak pada wanita telah menikah?

    2. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan persepsi nilai

    anak pada wanita telah menikah?

    3. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan formal dengan

    persepsi nilai anak pada wanita telah menikah?

    4. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara penghasilan dengan

    persepsi nilai anak pada wanita telah menikah?

    5. Apakah terdapat hubungan bersama-sama yang signifikan antara status kerja,

    umur, pendidikan formal, dan penghasilan dengan persepsi nilai anak pada

    wanita telah menikah?

    B. Kajian Pustaka

    Menurut Parawangsa (2006), pembangunan di berbagai bidang yang

    diselenggarakan selama ini belum terlalu mampu mengangkat kualitas perempuan.

    Hal ini antara lain dapat dilihat dari masih rendahnya nilai Gender-related

    Development Index (GDI) Indonesia. GDl mengukur variable-variable dalam

  • 4

    HDI. Namun dipisahkan antara laki-laki dan perempuan, nilai GDI Indonesia

    adalah 0,675 dan berada pada rangking ke-88. jauh tertinggal dibanding negara-

    negara ASEAN seperti Malaysia dan Thailand (HDR, 1999).

    Namun, status wanita menikah bekerja di Indonesia bukanlah persoalan

    sederhanan. Menurut Kofifah (2006), dalam hal kesetaraan dan keadilan gender,

    tampak bahwa belum sepenuhnya dapat diwujudkan, karena masih kuatnya

    pengaruh nilai-nilai sosial budaya yang patriarki. Nilai-nilai ini menempatkan

    laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda dan tidak setara.

    Kesetaraan gender ditandai oleh pembakuan peran, beban ganda, sub

    ordinasi, marjinalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan. Semua berawal dari

    diskriminasi terhadap perempuan, sehingga perempuan tidak memiliki akses,

    kesempatan, dan kontrol atas pembangunan serta tidak memperoleh manfaat dari

    pembangunan yang adil dan setara dengan laki-laki. Himpitan permasalahan

    gender ini dapat menyebabkan wanita bekerja memiliki persepsi nilai anak

    berbeda dibanding wanita yang tidak bekerja.

    Persepsi adalah proses kognitif yang dialami seseorang untuk memahami

    informasi lingkungan, baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan,

    perasaan, dan penciuman (Thoha, 1980). Proses persepsi menyediakan mekanisme

    seleksi stimuli dan dikelompokkan dalam wujud yang berarti, sehingga gambaran

    mengenai lingkungan cenderung diwakili oleh stimuli tersebut (Winardi, 2002).

    Menurut Rahmawati (2003), ada beberapa syarat agar seseorang dapat

    menyadari dan dapat melakukan persepsi, yaitu 1) adanya objek yang dipersepsi,

    2) adanya indera atau reseptor, yaitu sebagai alat untuk menerima stimulus, dan 3)

    diperlukan perhatian sebagai langkah awal menuju persepsi.

    Mengenai nilai anak, menurut Rahmawati (2003) orang tua sekaligus

    menentukan pilihan untuk memiliki anak atau tidak, dan dari sudut pandang

    ekonomi kependudukan mikro, orang tua atau dari satuan keluarga telah

    menganggap anak sebagai barang konsumsi tahan lama seperti mobil, rumah,

    televisi, dan sebagainya, yang dapat memberikan kepuasan dalam waktu yang

    lama. Setiap orang tua telah memiliki sumber-sumber yang terbatas dan berusaha

    semaksimal mungkin untuk mendapatkan kepuasan dengan memilih berbagai

  • 5

    barang, termasuk pilihan jumlah anak yang diinginkan. Pendekatan ini sulit

    menjawab mengapa meningkatnya penghasilan justru menyebabkan turunnya

    fertilitas. Salah satu jawabannya adalah bahwa dengan meningkatnya penghasilan,

    orang tua ingin agar anaknya bependidikan formal lebih tinggi, sehingga mereka

    lebih memilih kualitas dari pada kuantitas anak (Jones dalam Lucas, 1990).

    Dasar pemikiran utama dari teori transisi demografi adalah bahwa sejalan

    diadakannya pembangunan sosial ekonomi, maka keinginan mempunyai anak

    lebih merupakan suatu proses ekonomis daripada proses biologi (Robinson dalam

    Lucas dkk, 1990). Beberapa ahli menjelaskan bahwa faktor-faktor yang

    menentukan jumlah kelahiran anak yang diinginkan per keluarga di antaranya

    adalah jumlah kelahiran yang dapat dipertahankan hidup (survive). Tekanan

    utama adalah cara bertingkah laku itu sesuai dengan yang dikehendaki apabila

    orang melaksanakan perhitungan-perhitungan kasar mengenai jumlah kelahiran

    anak yang diinginkan. Perhitungan-perhitungan ini tergantung pada keseimbangan

    antara kepuasan atau kegunaan (utility) yang diperoleh dari biaya tambahan

    kelahiran seorang anak, baik berupa keuangan maupun psikis (Caldwell, 1983).

    Menurut Robinson (1983) ada tiga macam tipe kegunaan anak yakni:

    1. Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu barang konsumsi, misalnya

    sebagai sumber hiburan.

    2. Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu sarana produksi, yakni

    dalam beberapa hal tertentu anak diharapkan untuk melakukan suatu pekerjaan

    tertentu yang menambah pendapatan keluarga.

    3. Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai sumber ketentraman, baik pada

    hari tua maupun sebaliknya.

    Menurut pendekatan lain yang lebih sesuai dengan keadaan di negara

    berkembang, anak dianggap sebagai barang investasi atau aktiva ekonomi.

    Orangtua berharap kelak menerima manfaat ekonomi dari anak. Manfaat ini akan

    nampak jika anak bekerja tanpa upah di sawah atau usaha milik keluarga atau

    memberikan sebagian penghasilannya kepada orang tua ataupun membantu

    keuangan orang tua (Lucas dkk, 1990).

  • 6

    Bila anak dianggap sebagai barang konsumsi tahan lama atau barang

    investasi, maka perlu dipikirkan berapa nilainya. Ada dua macam beban ekonomi

    anak menurut Robinson dan Horlacher dalam Lucas dkk (1990) yaitu :

    1. Beban finansial atau biaya pemeliharaan langsung, yaitu jumlah biaya yang

    dikeluarkan oleh orang tua untuk makanan, pakaian, rumah, pendidikan

    formal dan perawatan kesehatan anak.

    2. Biaya alternatif (opportunity cost) atau biaya tidak langsung yaitu biaya yang

    dikeluarkan atau penghasilan yang hilang karena mengasuh anak. Apabila

    seorang isteri melepaskan pekerjaannya ketika anak-anak masih kecil, maka

    orang tua akan kehilangan gaji yang seharusnya diterima jika istri bekerja.

    Bila seorang istri terus bekerja, ia harus membayar biaya pengasuhan anak dan

    ini juga merupakan biaya aternatif.

    Manfaat ekonomi anak nampak jika anak bekerja tanpa upah di sawah atau

    usaha milik keluarga atau memberikan sebagian penghasilannya kepada orang tua

    ataupun membantu keuangan orang tua (Lucas dkk, 1990). Bila anak dianggap

    sebagai barang konsumsi yang tahan lama atau barang investasi, maka perlu

    dipikirkan berapa nilainya. Ada dua macam beban ekonomi anak menurut

    Robinson dan Horlacher dalam Lucas dkk (1990) yaitu :

    1. Beban finansial atau biaya pemeliharaan langsung, yaitu jumlah biaya yang

    dikeluarkan oleh orang tua untuk makanan, pakaian, rumah, pendidikan

    formal dan perawatan kesehatan anak.

    2. Biaya alternatif (opportunity cost) atau biaya tidak langsung yaitu biaya yang

    dikeluarkan atau penghasilan yang hilang karena mengasuh anak. Apabila

    seorang isteri melepaskan pekerjaannya ketika anak-anak masih kecil, maka

    orang tua akan kehilangan gaji yang seharusnya diterima jika istri bekerja.

    Bila seorang istri terus bekerja, ia harus membayar biaya pengasuhan anak dan

    ini juga merupakan biaya aternatif.

    Nilai anak dapat diartikan sebagai koleksi benda-benda bagus yang

    diperoleh orangtua karena mempunyai anak (Espenshade dalam Lucas dkk, 1990).

    Hoffman dan Hoffman dalam Lucas dkk (1990) menghasilkan suatu sistem nilai

    yang meliputi sembilan kategori, yakni delapan nilai bukan ekonomi (misalnya

  • 7

    status kedewasaan, imortalitas, kebahagiaan, kreativitas) dan satu nilai yang

    menyangkut manfaat ekonomi.

    Di antara berbagai pendekatan terhadap nilai anak, adalah pendekatan

    mikro ekonomi dan pendekatan psikologi sosial yang dikembangkan dari

    kerangka kerja Hoffman (Fawcett, 1983). Pendekatan ini menekankan adanya

    kebutuhan masing-masing orang yang terpenuhi dengan mempunyai anak, cara

    lain untuk memenuhi kebutuhan ini, dan interaksi antara nilai emosional, sosial

    dan ekonomi, serta beban karena mempunyai anak (Fawcett, 1986).

    Bouge dalam Lucas (1990) mengemukakan bahwa pendidikan formal

    berpengaruh lebih kuat terhadap fertilitas daripada variabel lain. Bellante dan

    Jackson (1990) berpendapat anak-anak memberikan utilitas dan jasa pelayanan

    yang produktif bagi orang tua mereka. Dalam masyarakat yang berpenghasilan

    rendah (terutama pada daerah pertanian dan pesisir), anak-anak dianggap sebagai

    sumber tenaga kerja dan sumber pendapatan yang penting bagi keluarga. Selain

    itu, anak dinilai sebagai investasi hari tua atau sebagai komoditas ekonomi yang

    dapat disimpan di kemudian hari. Hal tersebut merupakan hubungan positif antara

    penghasilan dengan nilai anak. Berkorelasi negatif apabila penghasilan yang

    tinggi akan menilai anak bukan sebagai potensi, modal atau rezeki. Mereka

    menilai anak sebagai beban dalam keluarga. Sehingga semakin tinggi penghasilan

    maka persepsi nilai anak akan berkurang sehingga fertilitas akan menurun.

    Operasionalisasi konsep nilai anak didasarkan pada rumusan yang

    diajukan oleh Arnold dan Fawcett dalam Lucas (1990). Menurut kedua ahli ini,

    dengan memiliki anak, orang tua akan memperoleh hal-hal yang menguntungkan

    atau yang merugikan. Apa yang diperoleh tersebut dapat dikategorikan ke dalam

    empat kelompok nilai, yakni nilai positif, nilai negatif, nilai keluarga besar, dan

    nilai keluarga kecil.

    Keempat kategori nilai anak tersebut meliputi:

    1. Nilai Positif Umum (Manfaat)

    a. Manfaat Emosional. Anak membawa kegembiraan dan kebahagiaan ke

    dalam hidup orang tuanya. Anak adalah sasaran cinta kasih, dan sahabat

    bagi orang tuanya.

  • 8

    b. Manfaat Ekonomi dan Ketenangan. Anak dapat membantu ekonomi orang

    tuanya dengan bekerja di sawah atau di perusahaan keluarga lainnya, atau

    dengan menyumbangkan upah yang mereka dapat di tempat lain. Mereka

    dapat megerjakan banyak tugas di rumah (sehingga ibu mereka dapat

    melakukan pekerjaan yang menghasilkan uang)

    c. Pengembangan Diri. Memelihara anak adalah suatu pengalaman belajar

    bagi orang tua. Anak membuat orang tuanya lebih matang, lebih

    bertanggung jawab. Tanpa anak, orang yang telah menikah tidak selalu

    dapat diterima sebagai orang dewasa dan anggota masyarakat sepenuhnya.

    d. Mengenali Anak. Orang tua memperoleh kebanggaan dan kegembiraan

    dari mengawasi anak-anak mereka tumbuh dan mengajari mereka hal-hal

    baru. Mereka bangga kalau bisa memenuhi kebutuhan anak-anaknya.

    e. Kerukunan dan Penerus Keluarga. Anak membantu memperkuat ikatan

    perkawinan antara suami istri dan mengisi kebutuhan suatu perkawinan.

    Mereka meneruskan garis keluarga, nama keluarga, dan tradisi keluarga.

    2. Nilai Negatif Umum (Biaya)

    a. Biaya Emosional. Orang tua sangat mengkhawatirkan anak-anaknya,

    terutama tentang perilaku anak-anaknya, keamanan dan kesehatan mereka.

    Dengan adanya anak-anak, rumah akan ramai dan kurang rapi. Kadang-

    kadang anak-anak itu menjengkelkan.

    b. Biaya Ekonomi. Ongkos yang harus dikeluarkan untuk memberi makan

    dan pakaian anak-anak dapat besar.

    c. Keterbatasan dan Biaya Alternatif. Setelah mempunyai anak, kebebasan

    orang tua berkurang.

    d. Kebutuhan Fisik. Begitu banyak pekerjaan rumah tambahan yang

    diperlukan untuk mengasuh anak. Orang tua mungkin lebih lelah.

    e. Pengorbanan Kehidupan Pribadi Suami Istri, yaitu waktu untuk dinikmati

    oleh orangtua sendiri berkurang dan orang tua berdebat tentang

    pengasuhan anak.

    3. Nilai Keluarga Besar (alasan mempunyai keluarga Besar)

  • 9

    a. Hubungan Sanak Saudara. Anak membutuhkan kakak dan adik

    (sebaliknya anak tunggal dimanjakan dan kesepian).

    b. Pilihan Jenis Kelamin. Mungkin orang tua mempunyai keinginan khusus

    untuk seorang anak lelaki atau anak perempuan, atau suatu kombinasi

    tertentu. Orang tua ingin paling tidak mempunyai satu anak dari masing-

    masing jenis kelamin atau jumlah yang sama dari kedua jenis kelamin.

    c. Kelangsungan Hidup Anak. Orang tua membutuhkan banyak anak untuk

    menjamin agar beberapa akan hidup terus sampai dewasa dan membantu

    mereka pada masa tua.

    4. Nilai Keluarga Kecil (alasan mempunyai keluarga Kecil)

    a. Kesehatan Ibu. Terlalu sering hamil tidak baik untuk kesehatan ibu.

    b. Beban Masyarakat. Dunia ini menjadi terlalu padat, karena terlalu banyak

    anak sudah merupakan beban bagi masyarakat. Sebagai barang ekonomi,

    anak-anak mengandung suatu arus keuntungan atau utilitas bagi orang tua

    mereka. Orang tua juga mengeluarkan biaya dalam memiliki dan

    membesarkan anak-anak mereka. Dalam memutuskan untuk memiliki

    seorang anak, berapa jumlah anak yang diinginkan, orang tua diasumsikan

    mempertimbangkan keuntungan-keuntungan yang diharapkan dari

    memiliki anak-anak dibandingkan secara relatif dengan biaya-biaya yang

    diperkirakan akan dikeluarkan. Terutama sekali, keuntungan yang

    diberikan anak-anak telah menurun sedangkan biayanya telah meningkat.

    Peran wanita dapat dilihat dari tiga perspektif dalam kaitannya dengan

    posisinya sebagai ibu rumah tangga dan partisipan pembangunan atau pekerja

    pencari nafkah (Hubeis dalam Achmad, 1994):

    1. Peran tradisi. Sering juga disebut peran domestik menjadi urusan wanita.

    Semua pekerjaan rumah dari membersihkan rumah, memasak, mencuci,

    merawat/mengasuh anak dan masih banyak lainnya yang berkaitan dengan

    rumah tangga. Wanita sebaiknya di rumah saja agar semua urusan menjadi

    terselesaikan dengan baik.

  • 10

    2. Peran transisi, yang terjadi khususnya di daerah pertanian, wanita sudah

    terbiasa bekerja di lahan pertanian keluarga, bila di kota bekerja di usaha

    keluarga.

    3. Peran kontemporer. Jika seorang wanita hanya memiliki peran di luar rumah

    tangga saat ini masih disebut wanita kontemporer atau wanita karir. Biasanya

    mereka memilih hidup tidak menikah dan mencari nafkah sendiri. Ini terdapat

    di kota-kota besar. Moser (1986) telah melakukan penelitian selama lima

    tahun yang berkaitan dengan peran wanita dalam pembangunan di Dunia

    Ketiga, karena peran wanita dan pria berbeda maka keperluan mereka berbeda

    pula. Dekade Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Wanita (1976-1985) telah

    berperan penting dalam mengangkat dan menyebarluaskan pentingnya peran

    wanita dalam pembangunan sosial ekonomi di negara dan masyarakat. Suatu

    kerangka konseptual mengenai peranan wanita dan perubahan demografi,

    termasuk fertilitas dan pengaturannya, oleh Oppong (1983) membagi peran-

    peran wanita ke dalam tujuh kategori, yaitu : peran sebagai ibu (maternal),

    pasangan kawin (conjugal), domestik, pekerjaan (occupational), kerabat,

    masyarakat dan peran individu. Teori ekonomi mengenai fertilitas juga

    mengasumsikan bahwa waktu pemeliharaan anak sebagian besar disediakan

    oleh para ibu. Diasumsikan bahwa ada pilihan utama bagi wanita antara

    kegiatan-kegiatan ekonomi/pekerjaan dan kegiatan sebagai orang tua.

    Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mueller dalam Oppong (1983),

    perhatian yang sedikit terutama ditujukan pada kemungkinan bahwa waktu

    untuk pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dan waktu luang jadi berkurang

    dengan adanya waktu untuk memelihara anak, demikian juga sebaliknya.

    Bakir (1984) mengemukakan hubungan fertilitas dan angkatan kerja:

    1. Partisipasi wanita dalam angkatan kerja mempunyai pengaruh negatif terhadap

    fertilitas. Hal ini disebabkan karena terjadi pertentangan atau konflik antara

    fungsi dan tugas wanita yang dianggap utama yaitu sebagai istri dan ibu serta

    fungsi dan tugas wanita sebagai pekerja. Orang beranggapan bahwa

    meningkatnya kesempatan bagi wanita untuk berpartisipasi dalam kegiatan

  • 11

    ekonomi di luar rumah dapat digunakan sebagai salah satu kebijakan di bidang

    kependudukan yang mendukung program KB untuk menurunkan fertilitas.

    2. Hubungan antara fertilitas dengan angkatan kerja wanita sebagai hubungan

    kausal timbal balik, di mana satu sama lain saling mempengaruhi.

    Menurut Goldscheider dalam Ibrahim (1997) terdapat hubungan yang

    positif antara pendidikan formal, mata pencaharian dan pendapatan dengan

    fertilitas. Hal ini diamati dari dua kecenderungan yang saling berbeda yaitu:

    1. Kenaikan fertilitas suatu kelompok karena berstatus lebih tinggi dan

    perubahan keinginan kelompok tersebut untuk memiliki keluarga lebih besar,

    2. Penurunan fertilitas dari kelompok berstatus lebih rendah karena mereka

    semakin ekspansif dan sukses dalam menggunakan alat kontrasepsi.

    Sebaliknya Hatmaji (1971) mengungkapkan bahwa terjadi hubungan

    negatif antara pekerjaan wanita dengan fertilitas. Wanita bekerja di luar rumah

    cenderung mempunyai anak lebih sedikit, sedangkan wanita yang mengurus

    rumah tangga mempunyai anak lebih banyak. Pendidikan formal juga

    berpengaruh kuat terhadap fertilitas. Dapat dikatakan bahwa pendidikan formal

    akan mempengaruhi persepsi negatif terhadap nilai anak dan akan menekan

    adanya keluarga besar

    C. Metode Penelitian

    Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik yang dilakukan dengan

    metode survei dan analisis kuantitatif. Penelitian deskriptif memberikan gambaran

    tentang keadaan dan gejala-gejala sosial tertentu. Keadaan atau gejala yang

    dimaksud adalah status kerja, umur, pendidikan formal, dan penghasilan pasutri

    dalam hubungannya dengan persepsi nilai anak pada wanita yang telah menikah.

    Penelitian analitik menyangkut pengujian hipotesis. Hubungan antara

    variabel status kerja, umur, pendidikan formal, dan penghasilan dengan persepsi

    nilai anak pada wanita yang telah menikah akan diuji dengan alat bantu statistik.

    Pada jenis penelitian ini, dalam deskripsinya juga mengandung uraian-uraian,

    tetapi fokusnya terletak pada analisis hubungan antara variabel.

  • 12

    Waktu pengumpulan data dalam penelitian ini berlangsung selama dua

    bulan dengan lokasi penelitian di Ketintang Kecamatan Wonokromo Surabaya.

    Populasi penelitian ini adalah wanita telah menikah di Perumahan Ketintang

    Sekitar Kampus UNESA Kota Surabaya yang telah memiliki satu anak atau lebih,

    masih memungkinkan untuk hamil, dan berusia antara 20 hingga 49 tahun. Jumlah

    sampel penelitian ini dalam penentuannya tidak menggunakan kerangka sampling,

    karena jumlah populasi yang ada belum dapat diketahui secara pasti.

    Rencana pemilihan sampel dilakukan dengan metode convenience

    sampling terhadap responden yang mewakili karakteristik populasi, yaitu wanita

    telah menikah di Perumahan Ketintang Sekitar Kampus UNESA Kota Surabaya

    yang telah memiliki satu anak atau lebih, masih memungkinkan untuk hamil,

    berusia antara 20 hingga 49 tahun, dan berdomisili di Perumahan Ketintang dan

    atau ber-KTP Ketintang Kota Surabaya.

    Kemudian berdasarkan prinsip convenience sampling, maka secara

    accidental terhadap setiap wanita yang telah menikah dengan KTP Ketintang,

    berusia 20-40 tahun, dan telah memiliki satu anak atau lebih, dengan kondisi

    masih mungkin untuk hamil, dan bersedia menjadi responden. Selanjutnya

    responden yang memenuhi lima kriteria tersebut, langsung terpilih menjadi

    sampel penelitian hingga mencukupi jumlah sampel. Penentuan ukuran sampel

    minimal adalah 45 responden dengan pertimbangan bahwa jumlah tersebut sudah

    melebihi batas minimal jumlah sampel (30 sampel) yang lazim dilakukan

    Data dikumpulkan dengan metode survai menggunakan instrumen

    kuesioner oleh tiga orang pewawancara yang telah dilatih. Hasil pengisian

    kuesioner akan dianalisis dianalisis dengan statistik deskriptif dan statistik

    inferensial dengan program SPSS (Statistical Product and Service Solutions).

    Analisis data terdiri tiga tingkatan, yaitu analisis univariabel, bivariabel,

    dan multivariabel. Analisis univariabel merupakan analisis untuk setiap variabel

    yang dinyatakan dengan sebaran frekuensi dengan disertai penjelasan secara

    deskriptif. Analisis bivariabel menggunakan tabel silang untuk menyoroti dan

    menganalisis perbedaan atau hubungan antara dua variabel. Menguji signifikansi

  • 13

    perbedaan/hubungan antara variabel status kerja kerja, umur, pendidikan formal,

    dan penghasilan dengan persepsi nilai anak pada wanita yang telah menikah.

    Analisis bivariabel dilakukan dengan menggunakan analisis Chi Square,

    dengan tingkat signifikansi = 0,05. Hasil yang diperoleh pada analisis Chi

    Square dengan menggunakan program SPSS yaitu nilai p, kemudian

    dibandingkan dengan = 0,05. Apabila nilai p lebih kecil dari = 0,05 maka

    terdapat signifikansi dalam hubungan/perbedaan antara dua variabel tersebut

    (Agung, 1993). Sedangkan untuk mengetahui kuatnya perbedaan antara variabel

    dikonsultasikan dengan uji lanjut nilai odds ratio atau OR (untuk variabel dengan

    data nominal).

    Analisis multivariabel dilakukan untuk mengetahui signifikansi hubungan

    bersama-sama antara status kerja, umur, pendidikan formal, dan penghasilan

    pasutri dalam hubungannya dengan persepsi nilai anak pada wanita yang telah

    menikah. Pengujian dilakukan dengan regrsi logistik.

    1. Umur. Adalah usia responden berdasarkan ulang tahun terakhir saat dilakukan

    survai, dinyatakan dengan tahun.

    2. Pendidikan formal. Pendidikan formal terakhir yang pernah ditempuh dan

    diselesaikan responden hingga saat penelitian. variabel ini dikelompokkan atas

    1) SMP atau Lebih Rendah, dan 2) SLTA atau Perguruan Tinggi

    3. Penghasilan. Akumulasi pendapatan, baik dari suami maupun penghasilan

    langsung dari responden rata-rata per bulan. Satuannya adalah rupiah. Untuk

    analisis terdiri atas 1) < Rp 1.000.000,00, dan 2) >= Rp 1.000.000,00

    4. Status Kerja. Merupakan aktivitas ekonomi responden sebelum melahirkan

    anak terakhir, terdiri atas a) bekerja, dan b) tidak Bekerja

    5. Persepsi Nilai Anak. Pandangan responden terhadap anak. Nilai anak

    digolongkan ke dalam empat kelompok nilai, yakni nilai positif, nilai negatif,

    nilai keluarga besar, dan nilai keluarga kecil. Persepsi terhadap nilai anak

    diukur dengan memberikan pernyataan kepada responden yang memuat

    keempat nilai tersebut. Setiap pernyataan tersebut disertai alternatif jawaban

    yang harus dipilih oleh responden. Untuk pernyataan yang mengukur nilai

    positif dan nilai keluarga besar, alternatif jawaban dinilai dengan angka yaitu:

  • 14

    a) Sangat setuju mendapat skor 5,

    b) Tidak setuju mendapat skor 4,

    c) Ragu-ragu mendapat skor 3,

    d) Tidak setuju mendapat skor 2, dan

    e) Sangat tidak setuju mendapat skor 1

    Untuk pernyataan yang mengukur nilai negatif dinilai dengan angka

    kebalikan dari nilai di atas, yaitu:

    a) Sangat setuju mendapat skor 1,

    b) Tidak setuju mendapat skor 2,

    c) Ragu-ragu mendapat skor 3,

    d) Tidak setuju mendapat skor 4, dan

    e) Sangat tidak setuju mendapat skor 5

    Sumber: modifikasi dari Arnold dan Fawcett dalam Singarimbun, 1989.

    Setelah persepsi nilai anak diukur dengan pilihan jawaban dari

    pernyataan untuk responden, kemudian persepsi nilai anak disimpulkan

    dengan dua kategori, yaitu 1) negatif (< nilai mean), dan 2) positif ( nilai

    mean) sebagai nilai akhir.

    D. Pembahasan

    Data persepsi nilai anak pada penelitian ini diperoleh berdasarkan hasil

    isian kuesioner yang diisi oleh wanita telah menikah di Kota Surabaya dengan

    mengambil lokasi di Perumahan Ketintang. Berdasarkan lokasi tempat tinggal

    responden, maka tabel berikut menunjukkan distribusi tempat tinggal responden:

    Tabel 1. Distribusi tempat tinggal responden

    Nomor

    Responden

    Lokasi Tempat Tinggal Jumlah Responden Persentase

    1 3 Ketintang tengah 3 6,67

    4 9 Ketintang madya 6 13,33

    10 16 Ketintang raya 7 15,56

  • 15

    17 26 Ketintang timur 10 22,22

    27 45 Ketintang barat 19 42,22

    Total 45 100

    Sumber: Hasil Olah Data Primer, 2007

    Hasil analisis univariabel sebagaimana ditampilkan pada tabel berikut:

    Tabel 2. Hasil Analisis Univariabel

    Persepsi Nilai Anak

    Negatif (50,47) Total

    N (%) n (%) N (%)

    Umur:

    > 35 tahun (berisiko)

    20-35 tahun (aman)

    12 (26,7)

    8 (17,8)

    14 (31,1)

    11 (24,4)

    26 (57,8)

    19 (42,2)

    Pendidikan formal

    Dasar dan menengah

    Perguruan tinggi

    4 (8,9)

    16 (35,6)

    7 (15,6)

    18 (40,0)

    11 (24,4)

    34 (75,6)

    Penghasilan

    >1.000.000

    35 tahun (berisiko)

    20-35 tahun (aman)

    0,07 (0,787 0,85 (0,26-2,80)

  • 16

    Pendidikan formal

    Dasar dan menengah

    Perguruan tinggi

    0,39 (0,535) 0,64 (0,16-2,61)

    Penghasilan

    >1.000.000

    0,01 pada masing-masing variabel tersebut. Karena ketiga variabel

    tersebut tidak memiliki hubungan bermakna, maka nilai OR tidak berlaku.

    Tabel 4. menggambarkan hasil analisis multivariabel pada semua variabel

    bebas terhadap variabel terikat, yang ditampilkan dalam analisis regresi logistik

    pada variabel terikat persepsi nilai anak. Hasil analisis bivariabel yang dilakukan

    memperlihatkan bahwa dari empat variabel yang diuji kebermaknaan

    hubungannya dengan variabel persepsi nilai anak, ternyata hanya satu variabel

    yang terbukti memiliki hubungan bermakna dengan variabel persepsi nilai anak.

    Variabel tersebut adalah penghasilan.

    Tindak lanjut hasil analisis bivariabel adalah analisis multivariabel. Hasil

    analisis multivariabel disajikan pada tabel berikut:

    Tabel 4. Regresi logistik: ringkasan analisis multivariabel umur, pendidikan

    formal, penghasilan, status kerja, dengan persepsi nilai anak

  • 17

    Variabel terikat: persepsi nilai anak

    No Variabel B p

    1. Umur -0,016 0,981

    2. Pendidikan formal -2,036 0,094

    3. Penghasilan 2,668 0,018 *

    4. Status kerja -0,604 0,383

    Sumber: Olah data primer dari kuesioner, 2007

    Keterangan: * = signifikansi (p < 0,05)

    Ternyata hasil analisis multivariabel tetap menunjukkan bahwa tingkat

    penghasilan memiliki hubungan yang signifikan terhadap persepsi nilai anak,

    dengan nilai koefisien regresi 2,668 dan angka signifikansi 0,018. Karena P < 0,05

    maka penghasilan memiliki hubungan yang signifikan terhadap persepsi nilai anak

    pada taraf kepercayaan statistik 95 persen.

    Berdasarkan keseluruhan hasil analisis data, ternyata menunjukkan bahwa

    status kerja tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan persepsi nilai anak.

    Ternyata justru variabel penghasilan keluarga yang memiliki hubungan signifikan

    terhadap persepsi nilai anak.

    Dengan hasil ini, maka dapat dinyatakan bahwa wanita telah menikah

    dengan penghasilan tinggi lebih berpeluang memiliki persepsi nilai anak yang

    positif dibandingkan peluangnya untuk memiliki persepsi nilai anak negatif.

    Sebaliknya, pada wanita telah menikah dengan penghasilan rendah, maka lebih

    berpeluang memiliki persepsi nilai anak yang negatif dibandingkan peluangnya

    untuk memiliki persepsi nilai anak positif.

    Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa wanita telah menikah yang

    bekerja maupun tidak bekerja, wanita telah menikah dengan umur kehamilan

    aman maupun umur kehamilan rawan, dan juga wanita telah menikah dengan

    tingkat pendidikan formal tinggi maupun rendah, kesemuanya itu tidak berasosiasi

    dengan persepsinya terhadap nilai anak.

    Oleh karena itu, bagi pasangan suami istri seyogyanya tidak perlu lagi

    mempermasalahkan secara serius apakah sang istri bekerja atau tidak bekerja. Jika

    ingin berpeluang meningkatkan persepsi nilai anak, maka fokus setiap keluarga

    adalah bagaimana penghasilan keluarga meningkat hingga ke angka yang

  • 18

    signifikan (dalam penelitian ini, angka penghasilan Rp 1.000.000,00 ternyata

    sudah merupakan batas minimal yang berpeluang untuk meningkatkan persepsi

    positif terhadap anak).

    E. Penutup

    Hubungan antara penghasilan dengan persepsi nilai anak adalah bermakna

    pada taraf kepercayaan 95 persen. Kebermaknaan hubungan tersebut diperlihatkan

    oleh nilai Chi-square= 4,50 pada nilai p < 0,05. Peluang responden dengan

    penghasilan tinggi untuk memiliki persepsi nilai anak positif adalah sebesar 4,00

    kali lipat dibandingkan dengan peluang responden tersebut untuk memiliki

    persepsi negatif. Hal ini ditunjukkan oleh nilai OR sebesar 4,00 pada IK 95 persen

    antara 1,07 sampai 14,90 memperlihatkan bahwa ternyata status kerja, umur, dan

    pendidikan formal pada wanita telah menikah tidak memiliki hubungan yang

    signifikan dengan persepsi nilai anak pada taraf kepercayaan 95 persen.

    Bagaimanapun, peran wanita sebagai ibu rumah tangga sangat menentukan

    masa depan anak. Oleh karena itu, alih-alih menuntut istri untuk bekerja, suami

    justru penting memfokuskan pada upaya meningkatkan penghasilan keluarga agar

    peluang terwujudnya keluarga sakinah lebih besar melalui peluang makin

    positifnya persepsi terhadap kehadiran seorang anak. Di tengah-tengah isu

    kesetaraan jender yang melazimkan wanita bekerja, harus dipahami bahwa alasan

    wanita sebagai istri yang bekerja bukan hanya untuk meningkatkan penghasilan

    keluarga, tetapi juga untuk meningkatkan peran dan aktualisasi dirinya dalam

    pembangunan. Suami diharapkan tetap menjadi figur yang bertanggung jawab

    penuh membentuk keluarga bahagia dan pembentukan persepsi positif nilai anak

    melalui berbagai ikhtiar untuk peningkatan pendapatan keluarga. Selain itu, suami

    sebaiknya selalu fokus mencari cara meningkatkan penghasilan keluarga dengan

    menghindari sedapat mungkin kesan menggantungkan peningkatan pendapatan

    dari istri yang bekerja. Ikhtiar pasutri untuk meningkatkan pendapatan keluarga

    sebaiknya senantiasa diarahkan untuk meningkatkan kebahagiaan rumah tangga

    dan juga peningkatan pencurahan kasih sayang antara orang tua dan anak.

  • 19

    Daftar Pustaka

    Achmad, Syamsiah. 1994. Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan.

    Kantor Menteri UPWRI, Jakarta.

    Agung, I Gusti Ngurah. 1993. Metode Penelitian Sosial Pengertian dan

    Pemakaian Praktis. Jakarta.

    Alfian. 1986. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Gramedia, Jakarta.

    Amannullah, Gantjang dkk. 1999. Indikator Kesejahteraan Anak. BPS Statistics,

    Indonesia.

    Anonim. 1990. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan dan

    Peraturan Pelaksanaannya. Bina Dharma Pemuda, Indonesia.

    Anwar, Evi dan Wongkaren, TS. 1997. Masalah Anak dan Implikasi Ekonomi.

    LP3ES, Jakarta.

    Bakir, Zainab dan Manning, Chris. 1984. Angkatan Kerja di Indonesia. Rajawali,

    Jakarta.

    Bellante, Don dan Jackson, M. 1990. Ekonomi Ketenagakerjaan.Lembaga

    Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

    Biro Pusat Statistik. 1998. Survai Demografi dan Kesehatan Indonesia 1997.

    BPS, Jakarta Indonesia.

    Bongaarts, John and Menken, Jane. 1983. The Supply of Children: A Critical

    Essay. Academic Press, New York/London. 136

    Bulatao, R.A., Lee, R.D., Hollerbach, P.E., dan Bongaarts. 1983. Determinants of

    Fertlity in Developing Countries. Academic Press,

    New York/ London. Caldwell, John C. 1983. Direct Economic Costs and Benefits

    of Children.

    Academic Press, New York/London. Costa, Mariarosa Dalla dan Costa, Giovanna

    F. Dalla. 1993. Kaum Perempuan dan Politik Strategi Ekonomi

    Internasional. Kalyanamitra, Jakarta.

    Dwiyanto, A., Faturochman, Molo, M., Abdullah. 1996. Penduduk dan

    Pembangunan. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada,

    Yogyakarta.

  • 20

    Djarwanto. 1997. Statistik Non Parametrik (edisi 3). BPFE, Yogyakarta.

    Ediastuti, Endang dan Faturochman. 1995. Fertilitas dan Aktivitas Wanita

    di Pedesaan. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada,

    Yogyakarta.

    Effendi, Tadjuddin Noer. 1995. Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja dan

    Kemiskinan. Tiara Wacana, Yogyakarta.

    Faturochman. 1996. Dampak Penurunan Fertilitas: Inventarisasi Awal. Pusat

    Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

    Fawcett, James T. 1983. Perceptions of the Value of Children: Satisfactions and

    costs. Academic Press, New York/London.

    -------------. 1986. The Value and Cost of Children : Converging Theory and

    Research. Sage Publications, New Delhi/Beverly Hills/London.

    Freedman, Ronald. 1986. Theories of Fertility Decline. Sage Publications, New

    Delhi/Beverly Hills/London.

    Goldsheider, C.1971. Population Modernization and Social Structure. Litle

    Brown & Lompang, Boston.

    Hatmadji, Sri Harijati. 1971. Fertilitas (Kelahiran) dalam Pengantar Demogarfi.

    Lembaga Demografi FE UI, Jakarta.

    ------------- (Ed.). 1982. Diferensial Fertilitas di Indonesia. Suatu Analisa

    Regional (Jilid 1). Lembaga Demografi FE UI, Jakarta. 137

    -------------. 1995. Pengaruh Program KB pada Perubahan Fertilitas di Jawa: Suatu

    Analisis Wilayah. Dalam Aris Ananta, ed.

    Ihromi, T.O. (Penyunting). 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan. Yayasan

    Obor Indonesia, Jakarta.

    Koentjaraningrat, 1982. Masalah-masalah Pembangunan, dalam Bunga Rampai

    Antropologi Terapan. LP3ES, Jakarta.

    Lucas, D., McDonald, P., Young, E., Young, C. 1990. Pengantar Kependudukan

    (Terjemahan). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

    -------------, Meyer, Paul. 1990. Ekonomi Kependudukan dan Nilai Anak. Gadjah

    Mada University Press, Yogyakarta.

    Mantra, Ida Bagus. 2000. Demografi Umum. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

  • 21

    Miles, Matthew B. dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif

    (terjemahan). UI Press, Jakarta.

    Oppong, Christine. 1983. Womens Roles, Opportunity Costs, and Fertility. Academic Press, New York/London.

    Parawangsa, Khofifah Indar. 2003. Pemberdayaan Perempuan dalam

    Pembangunan Berkelanjutan. Bali:

    http://www.lfip.org/english/pdf/baliSeminar/Pemberdayaan%20perempua

    n%20-%20khofifah%20indar%20parawansa.pdf

    Rahmawati. 2003. Analisis Permintaan Anak pada Wanita Pasangan Usia Muda di

    Kota Makassar. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin,

    Makassar.

    Robinson, Warren C. dan Sarah F.H. 1983. Menuju Fertilitas Terpadu

    (Terjemahan). Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan UGM,

    Yogyakarta.

    Santoso, Singgih. 2000. Buku latihan SPSS Statistik Parametrik. Gramedia,

    Jakarta.

    Saptari, Ratna dan Holzner, Brigitte. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan

    Sosial. Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Pustaka Utama Grafiti,

    Jakarta.