21
21 Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. VIII No. 1 Mei 2019. ISSN 2086-9266 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN BUDAYA KESELAMATAN PASIEN (PATIENT SAFETY CULTURE) PADA PERAWAT DI RAWAT INAP RSU KABUPATEN TANGERANG Ida Faridah 1 ,Rizki Ispahani 2 ,Euis Laela Badriah 3 1. Dosen Program S1 Keperawatan STIKes YATSI 2. Dosen Program S1 Keperawatan STIKes YATSI 3. Mahasiswa Program S1 Keperawatan STIKes YATSI STIKes Yatsi Tangerang, Jl. Aria Santika, Margasari Kec. Karawaci Kota Tangerang E-mail: [email protected] ABSTRAK Latar Belakang : Keselamatan pada pasien sangat penting, apabila terjadi infeksi pada pasien di rumah sakit akan memberikan dampak yang merugikan bagi pihak rumah sakit, staf dan pada pasien khususnya sebagai penerima pelayanan. Adapun dampak lainnya yang ditimbulkan adalah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan. Oleh karena itu penerapan keselamatan pasien harus menjadi sebuah budaya. Tujuan penelitian: Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan budaya keselamatan pasien pada perawat di rawat inap RSU Kabupaten Tangerang. Metode Penelitian: Penelitian deskriptif korelatif dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana di rawat inap RSU Kabupaten Tangerang tahun 2018 sebanyak 205. Sampel sebanyak 68 perawat yang diambil dengan teknik systematic random sampling. Data diperoleh dengan cara membagikan kuesioner yang telah valid dan reliabel. Analisa data secara univariat dan bivariat menggunakan uji chi-square. Hasil Penelitian: Dari 68 perawat sebagian besar yaitu 35 perawat (51,5%) adalah memiliki penerapan budaya keselamatan pasien yang baik, memiliki pengetahuan penerapan budaya keselamatan pasien yang baik yaitu 41 perawat (60,3%), memiliki motivasi tinggi tentang penerapan budaya keselamatan pasien yaitu 39 perawat (57,4%), menyatakan dukungan kepemimpinan yang efektif yaitu 37 perawat (54,4%). Ada pengaruh antara tingkat pengetahuan perawat dengan penerapan budaya keselamatan pasien dengan pvalue = 0,007 dan nilai POR = 4,580 (95% CI = 1,605-13,067). Ada pengaruh antara motivasi perawat dengan penerapan budaya keselamatan pasien dengan pvalue 0,002 dan nilai POR = 5,906 (95% CI = 2,044-17,063). Ada pengaruh dukungan kepemimpinan dengan penerapan budaya keselamatan pasien pvalue 0,028 dan POR = 3,357 (95% CI = 1,237-9,110). Kesimpulan dan Saran: Ada pengaruh pengetahuan, motivasi dan dukungan kepemimpinan dengan penerapan budaya keselamatan pasien pada perawat di rawat inap. Rumah sakit disarankan untuk meningkatkan implementasi patient safety yang telah ada sehingga menjadi budaya. Kata Kunci : Kepemimpinan, Keselamatan Pasien, Motivasi, Pengetahuan FACTORS INFLUENCING THE IMPLEMENTATION OF PATIENT SAFETY CULTURE BY NURSES AT THE WARD OF TANGERANG GENERAL HOSPITAL ABSTRACT Background: Patient safety is important, if event of infection in hospital patients will have a detrimental impact on the hospital, staff and on the patient especially as the recipient of the service. The other impact caused is the decreasing level of public confidence in the health services provided. Therefore the application of patient safety should be a culture. Objective: To identify factors influencing the implementation of patient safety culture by nurses at the ward of Tangerang General Hospital. Research Method: Correlative descriptive research with cross sectional approach. Population in this research is all nurse at ward of Tangerang General Hospital in 2018 as many as 205. Sample counted 68 nurses taken with systematic random sampling technique. Data obtained by distributing questionnaires that have been valid and reliable. Univariate and bivariate data analysis using chi-square test. Result of research: Of 68 nurses most of which were 35 nurses (51,5%) were having good application of patient's culture of awareness, have knowledge of applying good patient safety culture that were 41 nurses (60,3%), have high motivation about cultural application patient safety were 39 nurses (57,4%), expressed effective leadership support that were 37 nurses (54,4%). There was an influence between nurse knowledge level and patient safety culture with pvalue = 0,007 and POR = 4,580 (95% CI = 1,605-13,067). There was an influence between nurse motivation and patient safety culture with pvalue 0,002 and POR = 5,906 (95% CI = 2,044-17,063). There was an influence of leadership support with application of patient safety culture with pvalue 0,028 and POR = 3,357 (95% CI = 1,237-9,110). Conclusions and Suggestions: There is an influence of knowledge, motivation and leadership support with the application of the patient's safety culture by nurses in the ward. Hospitals are advised to improve the implementation of existing patient safety so that it becomes a culture. Keywords: Knowledge, Leadership, Motivation, Patient Safety

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN BUDAYA

  • Upload
    others

  • View
    26

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN BUDAYA

21 Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. VIII No. 1 Mei 2019. ISSN 2086-9266

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN BUDAYA

KESELAMATAN PASIEN (PATIENT SAFETY CULTURE) PADA PERAWAT

DI RAWAT INAP RSU KABUPATEN TANGERANG

Ida Faridah1,Rizki Ispahani2,Euis Laela Badriah3

1. Dosen Program S1 Keperawatan STIKes YATSI

2. Dosen Program S1 Keperawatan STIKes YATSI

3. Mahasiswa Program S1 Keperawatan STIKes YATSI STIKes Yatsi Tangerang, Jl. Aria Santika, Margasari Kec. Karawaci Kota Tangerang

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Latar Belakang : Keselamatan pada pasien sangat penting, apabila terjadi infeksi pada pasien di rumah sakit akan

memberikan dampak yang merugikan bagi pihak rumah sakit, staf dan pada pasien khususnya sebagai penerima

pelayanan. Adapun dampak lainnya yang ditimbulkan adalah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap

pelayanan kesehatan yang diberikan. Oleh karena itu penerapan keselamatan pasien harus menjadi sebuah budaya.

Tujuan penelitian: Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan budaya keselamatan pasien pada perawat

di rawat inap RSU Kabupaten Tangerang. Metode Penelitian: Penelitian deskriptif korelatif dengan pendekatan cross

sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana di rawat inap RSU Kabupaten Tangerang tahun

2018 sebanyak 205. Sampel sebanyak 68 perawat yang diambil dengan teknik systematic random sampling. Data

diperoleh dengan cara membagikan kuesioner yang telah valid dan reliabel. Analisa data secara univariat dan bivariat

menggunakan uji chi-square. Hasil Penelitian: Dari 68 perawat sebagian besar yaitu 35 perawat (51,5%) adalah memiliki

penerapan budaya keselamatan pasien yang baik, memiliki pengetahuan penerapan budaya keselamatan pasien yang baik

yaitu 41 perawat (60,3%), memiliki motivasi tinggi tentang penerapan budaya keselamatan pasien yaitu 39 perawat

(57,4%), menyatakan dukungan kepemimpinan yang efektif yaitu 37 perawat (54,4%). Ada pengaruh antara tingkat

pengetahuan perawat dengan penerapan budaya keselamatan pasien dengan pvalue = 0,007 dan nilai POR = 4,580 (95%

CI = 1,605-13,067). Ada pengaruh antara motivasi perawat dengan penerapan budaya keselamatan pasien dengan pvalue

0,002 dan nilai POR = 5,906 (95% CI = 2,044-17,063). Ada pengaruh dukungan kepemimpinan dengan penerapan budaya

keselamatan pasien pvalue 0,028 dan POR = 3,357 (95% CI = 1,237-9,110). Kesimpulan dan Saran: Ada pengaruh

pengetahuan, motivasi dan dukungan kepemimpinan dengan penerapan budaya keselamatan pasien pada perawat di rawat

inap. Rumah sakit disarankan untuk meningkatkan implementasi patient safety yang telah ada sehingga menjadi budaya.

Kata Kunci : Kepemimpinan, Keselamatan Pasien, Motivasi, Pengetahuan

FACTORS INFLUENCING THE IMPLEMENTATION OF PATIENT SAFETY CULTURE BY NURSES AT THE

WARD OF TANGERANG GENERAL HOSPITAL

ABSTRACT

Background: Patient safety is important, if event of infection in hospital patients will have a detrimental impact on the

hospital, staff and on the patient especially as the recipient of the service. The other impact caused is the decreasing level

of public confidence in the health services provided. Therefore the application of patient safety should be a culture.

Objective: To identify factors influencing the implementation of patient safety culture by nurses at the ward of Tangerang

General Hospital. Research Method: Correlative descriptive research with cross sectional approach. Population in this

research is all nurse at ward of Tangerang General Hospital in 2018 as many as 205. Sample counted 68 nurses taken

with systematic random sampling technique. Data obtained by distributing questionnaires that have been valid and

reliable. Univariate and bivariate data analysis using chi-square test. Result of research: Of 68 nurses most of which

were 35 nurses (51,5%) were having good application of patient's culture of awareness, have knowledge of applying good

patient safety culture that were 41 nurses (60,3%), have high motivation about cultural application patient safety were

39 nurses (57,4%), expressed effective leadership support that were 37 nurses (54,4%). There was an influence between

nurse knowledge level and patient safety culture with pvalue = 0,007 and POR = 4,580 (95% CI = 1,605-13,067). There

was an influence between nurse motivation and patient safety culture with pvalue 0,002 and POR = 5,906 (95% CI =

2,044-17,063). There was an influence of leadership support with application of patient safety culture with pvalue 0,028

and POR = 3,357 (95% CI = 1,237-9,110). Conclusions and Suggestions: There is an influence of knowledge, motivation

and leadership support with the application of the patient's safety culture by nurses in the ward. Hospitals are advised to

improve the implementation of existing patient safety so that it becomes a culture.

Keywords: Knowledge, Leadership, Motivation, Patient Safety

Page 2: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN BUDAYA

22

Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. VIII No. 1 Mei 2019. ISSN 2086-9266

PENDAHULUAN

Keselamatan pasien atau patient safety

merupakan sistem pelayanan rumah sakit yang

memberikan asuhan pasien secara lebih aman.

Termasuk didalamnya prosedur : mengukur

(assessing) resiko, identifikasi, dan

pengelolaan resiko terhadap pasien, pelaporan

dan analisis insiden, kemampuan untuk

menindaklanjuti insiden serta menerapkan

solusi untuk mengurangi serta meminimalisasi

resiko yang juga melalui komunikasi dengan

pasien. Dapat dikatakan bahwa fokus utama

patient safety adalah upaya yang dilakukan

untuk menghindari terjadinya kesalahan

(Jaladara, dkk., 2015).

Salah satu tujuan penting dari penerapan

sistem keselamatan pasien di rumah sakit

adalah mencegah dan mengurangi terjadinya

insiden keselamatan pasien (IKP) dalam

pelayanan kesehatan. IKP adalah setiap

kejadian atau situasi yang mengakibatkan atau

berpotensi mengakibatkan cidera yang

seharusnya tidak terjadi. IKP ini meliputi

kejadian tidak diharapkan (KTD), kejadian

nyaris cidera (KNC), kejadian potensial cedera

(KPC), kejadian sentinel (Suparna, 2015).

Apabila terjadinya infeksi pada pasien di

rumah sakit akan memberikan dampak yang

merugikan bagi pihak rumah sakit, staf, dan

pada pasien khususnya sebagai penerima

pelayanan. Adapun dampak lainnya yang

ditimbulkan adalah menurunnya tingkat

kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan

kesehatan. Rendahnya kualitas atau mutu

asuhan yang diberikan, karena keselamatan

pasien merupakan bagian dari mutu (Bachrun,

2017).

Occupational Safety and Health

Administration (2014) menyatakan bahwa

sejak dirintis laporan aspek keselamatan

pasien mulai dipandang dengan pola

pendekatan sistem seperti aspek keselamatan

pada bidang industri lainnya yaitu manufaktur

ataupun penerbangan. Karena pada dasarnya

isu keselamatan pasien berhubungan erat

dengan isu keselamatan tenaga kesehatan itu

sendiri.

Publikasi WHO (World Health

Organization), melaporkan insiden

keselamatan pasien bahwa kesalahan medis

terjadi pada 8% sampai 12% dari ruang rawat

inap. Sementara 23% dari warga Uni Eropa

18% mengaku telah mengalami kesalahan

medis yang serius di rumah sakit dan 11%

telah diresepkan obat yang salah. Bukti

kesalahan medis menunjukkan bahwa 50%

sampai 70,2% dari kerusakan tersebut dapat

dicegah melalui pendekatan yang sistematis

komprehensif untuk keselamatan pasien

(WHO, 2016).

Meginniss, dkk. (2012) menyatakan bahwa

lebih dari 40.000 insiden keselamatan pasien

terjadi di Inggris setiap hari. Selanjutnya

World Health Organization (2016)

mengungkapkan fakta mengejutkan yang

menyatakan bahwa satu dari sepuluh pasien di

negara berkembang termasuk Indonesia

mengalami cidera pada saat menjalani

pengobatan di rumah sakit.

Page 3: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN BUDAYA

23

Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. VIII No. 1 Mei 2019. ISSN 2086-9266

RSU Kabupaten Tangerang merupakan

salah satu rumah sakit di Provinsi Banten.

Berdasarkan laporan dari PMKP (Peningkatan

Mutu dan Keselamatan Pasien) tercatat insiden

keselamatan pasien triwulan II tahun 2017

sebanyak 4 insiden, triwulan III tahun 2017

sebanyak 8 insiden dan triwulan IV tahun 2017

sebanyak 8 insiden (PMKP RSU Kabupaten

Tangerang, 2017).

Pelaporan kesalahan medis merupakan

upaya fundamental sebagai pencegahan

terjadinya kesalahan medis karena pelaporan

kesalahan medis dibutuhkan sebagai salah satu

upaya dalam proses pembelajaran dan evaluasi

berkelanjutan (Kachalia dan Bates, 2014).

Reason dalam Sulistiani (2015) menyatakan

bahwa terjadinya kesalahan medis maupun

insiden keselamatan pasien di suatu rumah

sakit menunjukkan adanya masalah dalam

jumlah besar pada sistem keselamatan di

rumah sakit tersebut. Namun Monteiro dan

Natário (2014) mengungkapkan bahwa

masalah-masalah yang terjadi dalam sistem

keselamatan dapat diatasi dengan penerapan

budaya keselamatan pasien. Hal ini dapat

terjadi karena budaya keselamatan pasien

dapat mendukung pembangunan sistem yang

kondusif bagi kegiatan perawatan pasien yang

aman serta bebas dari kesalahan medis.

Membangun budaya keselamatan pasien di

rumah sakit adalah kewajiban dan tanggung

jawab seluruh staf yang bekerja di rumah sakit

lebih utamanya para tenaga medis yang

berhubungan langsung dengan pasien seperti

dokter dan perawat. Perawat merupakan

tenaga profesional yang berperan penting

dalam fungsi rumah sakit. Hal tersebut

didasarkan atas mayoritas tenaga kerja di

rumah sakit adalah perawat. Dalam

menjalankan fungsinya, perawat merupakan

staf yang memiliki kontak terbanyak dengan

pasien. Perawat juga merupakan bagian dari

suatu tim, yang di dalamnya terdapat berbagai

profesi lain seperti dokter. Luasnya peran

perawat memungkinkannya untuk

menemukan dan mengalami resiko kesalahan

pelayanan (Beginta dalam Rosyada, 2014).

Penerapan budaya keselamatan pasien oleh

perawat mencerminkan kinerja perawat

(Herawati, 2015). Kinerja ini dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain

faktor individu (pengetahuan, kemampuan,

keterampilan, latar belakang pendidikan ),

faktor psikologis (persepsi, sikap, motivasi,

kepribadian), dan faktor organisasi (sumber

daya, kepemimpinan, supervisi) (Gibson, dkk.,

2012).

Pengetahuan dan motivasi perawat tentang

patient safety merupakan hal yang penting,

karena jika pengetahuan perawat tentang

patient safety kurang maka jelas ini akan

berpengaruh terhadap kinerja perawat itu

sendiri dalam penerapan patient safety di

rumah sakit (Pratama, 2017). Upaya penerapan

patient safety sangat tergantung dari

pengetahuan perawat. Apabila perawat

menerapkan patient safety didasari oleh

pengetahuan yang memadai, maka perilaku

patient safety oleh perawat tersebut akan

Page 4: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN BUDAYA

24

Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. VIII No. 1 Mei 2019. ISSN 2086-9266

bersifat menetap (long lasting). Seorang

perawat dalam memberikan asuhan

keperawatan harus memiliki pengetahuan yang

benar, keterampilan, dan sikap untuk

menangani kompleksitas perawatan kesehatan.

Tanpa pengetahuan yang memadai, tenaga

kesehatan termasuk perawat tidak biasa

menerapkan dan mempertahankan budaya

keselamatan pasien (Myers, 2012 dalam

Darliana, 2016).

Penerapan budaya keselamatan pasien oleh

perawat mencerminkan perilaku kinerja

perawat dan dipengaruhi oleh motivasi

perawat (Gibson, dkk., 2012). Motivasi

merupakan energi yang mendorong seseorang

untuk menjalankan tugas pekerjaan mencapai

tujuan yang telah ditetapkan. Motivasi kerja

perawat akan berdampak terhadap kinerja

perawat yang ditampilkan dengan motivasi

yang baik diharapkan perawat dapat

menerapkan budaya keselamatan pasien yang

baik (Nivalinda, dkk., 2013).

Selain itu membangun budaya keselamatan

pasien yang memungkinkan seluruh tim

mendukung dan meningkatkan keselamatan

pasien dipengaruhi oleh kepemimpinan yang

kuat. Lingkup kepemimpinan dalam

penerapan budaya keselamatan pasien salah

satunya adalah kepemimpinan kepala ruang.

Upaya kepala ruang dalam melaksanakan

kepemimpinan yang efektif di ruangannya

mempengaruhi penerapan budaya

keselamatan pasien. Kepala ruang akan dapat

mempengaruhi strategi dan upaya

menggerakkan perawat dalam lingkup

wewenangnya untuk bersama-sama

menerapkan budaya keselamatan pasien.

Upaya untuk menjadi pemimpin yang paling

efektif yaitu perlunya menyesuaikan dukungan

kepemimpinannya terhadap situasi

(Toemandoek, dkk., 2018).

Penerapan budaya keselamatan pasien

tersebut didukung oleh Penelitian Darliana

(2016) yang menunjukkan terdapat hubungan

pengetahuan perawat dengan upaya penerapan

patient safety di Rumah Sakit Umum Daerah

dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Penelitian

Menik (2014) yang menyatakan Motivasi dan

komitmen kerja serta karakteristik perawat

(umur, pendidikan,status perkawinan, status

kepegawaian, masa kerja) secara bersama-

sama berhubungan dengan penerapan

keselamatan pasien di Ruang perawatan

Intensif RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian

Renoningsih dkk (2016) menyatakan ada

hubungan antara pendidikan, pelatihan,

pengetahuan dan motivasi dengan penerapan

patient safety di Instalasi Rawat Inap Rumah

Sakit Umum Pancaran Kasih GMIM Manado.

Penelitian Nivalinda, dkk. (2013) menyatakan

terdapat pengaruh antara motivasi perawat dan

kepemimpinan kepala ruang terhadap

penerapan budaya keselamatan pasien oleh

perawat pelaksana di RS Pemerintah di

Semarang.

Hasil studi pendahuluan dengan teknik

wawancara dan observasi di RSU kabupaten

Tangerang tanggal 23 November 2017.

Evaluasi penerapan sasaran keselamatan

Page 5: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN BUDAYA

25

Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. VIII No. 1 Mei 2019. ISSN 2086-9266

pasien pada perawat juga sudah dilakukan oleh

Tim PMKP (Peningkatan Mutu dan

Keselamatan Pasien) dari hasil wawancara

didapatkan masih ada beberapa perawat yang

HASIL PENELITIAN

Tabel 1. Gambaran Karakteristik Perawat

Pelaksana di Rawat Inap RSU Kabupaten

Tangerang

belum memahami dan enggan melakukan

penerapan keselamatan pasien, terlihat masih

ada perawat saat melakukan tindakan

keperawatan ada yang tidak menggunakan

sarung tangan dan penggunaan masker tidak

sesuai dengan standar prosedur operasional di

rumah sakit. Hal ini dapat dilihat dari laporan

komite PMKP tahun 2017 dimana terjadi

insiden keselamatan sebanyak 20 kejadian.

mempengaruhi penerapan budaya

keselamatan pasien (patient safety

culture) pada perawat di rawat inap RSU

Kabupaten Tangerang”.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah

jenis penelitian kuantitatif dengan

pendekatan cross sectional. Penelitian

dilaksanakan pada bulan April 2018.

Sampel penelitian ini adalah perawat di

rawat inap RSU Kabupaten Tangerang.

Besaran sampel dihitung dengan rumus

Slovin diperoleh sebanyak 68 sampel.

Teknik pengambilan sampel pada

penelitian ini adalah systematic random

sampling. Jenis instrumen yang

digunakan dalam penelitian ini adalah

kuesioner. Kuesioner yang digunakan telah

valid dan reliabel. Analisa data dilakukan

secara univariat dan bivariat dengan uji chi

square.Berdasarkan tabel diatas diketahui

bahwa dari 68 perawat rata-rata

berusia 32,63 dengan standar deviasi 7,883

media 31,50 umur termuda 22 dan tertua 55

Tahun. Sebagian besar berjenis kelamin

perempuan yaitu 54 perawat (79,4%), 54

perawat (79,4%) berpendidikan D3

Keperawatan, dan sebagian besar yaitu 38

perawat (55,9%) memiliki masa kerja ≥ 5

tahun.

Karakteristik Responden

f %

Umur

Rerata 32,63

SD deviasi 7,883

Median 31,50

Min-max 22-55

Jenis Kelamin

Perempuan 54 79,4

Laki-laki 14 20.6

Pendidikan

D3 Keperawatan 54 79,4

Profesi Keperawatan (Ners)

14 20,6

Lama Kerja

< 5 tahun 30 44,1 ≥ 5 tahun 38 55,9

Page 6: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN BUDAYA

26

Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. VIII No. 1 Mei 2019. ISSN 2086-9266

Hasil tabel silang antara tingkat pengetahuan

perawat dengan penerapan budaya

keselamatan pasien (patient safety culture)

diketahui dari 41 responden yang

berpengetahuan baik sebagian besar

penerapan budaya keselamatan pasien baik

yaitu sebanyak 27 responden (21,1%),

sedangkan dari 27 responden berpengetahuan

kurang baik sebagian besar penerapan budaya

keselamatan pasien kurang baik sebanyak 19

responden (70,4%).

menggunakan alpha 5% (0,05) dapat

disimpulkan bahwa Ho ditolak yang artinya

terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan

perawat dengan penerapan budaya keselamatan

pasien (patient safety culture) dengan nilai POR

= 4,580 (95 % CI = 1,605- 13,067) yang berarti

perawat dengan pengetahuan yang kurang baik

berpeluang empat kali lebih besar untuk

penerapan budaya keselamatan pasien dalam

kategori kurang baik dibandingkan dengan

perawat berpengetahuan baik.

a. Analisa Bivariat antara Hubungan Motivasi Perawat dengan Penerapan Budaya

Keselamatan Pasien (Patient Safety Culture)

Tabel 5. Hubungan Motivasi Perawat dengan Penerapan Budaya Keselamatan Pasien (Patient

Safety Culture) oleh Perawat di Rawat Inap RSU Kabupaten Tangerang

Penerapan Budaya

Motivasi Keselamatan Pasien Total POR P

Kurang Baik Baik (95%CI) Value

n % n % n %

Rendah 21 72,4 8 27,6 29 100

Tinggi 12 30,8 27 69,2 39 100 5,906 0,002

Jumlah 33 48,5 35 51,5 68 100 (2,044-17,063)

Dari hasil uji Chi Square diperoleh nilai p

value 0,007 (< alpha= 0,05) dengan Hasil

tabel silang antara motivasi dengan penerapan

budaya keselamatan pasien diketahui dari 39

responden yang memiliki motivasi tinggi

sebagian besar penerapan budaya

keselamatan pasien dalam kategori baik yaitu

27 responden (69,2%), sedangkan

dari 29 responden yang memiliki motivasi

rendah sebagian besar penerapan budaya

keselamatan pasien dalam kategori kurang

baik 21 responden (72,4%). Dari hasil uji Chi

Square diperoleh nilai p value 0,002 (<

alpha= 0,05) dengan menggunakan alpha

5% (0,05) dapat disimpulkan bahwa Ho

ditolak yang artinya ada hubungan antara

motivasi perawat dengan penerapan budaya

keselamatan pasien (patient safety culture)

dengan nilai POR = 5,906 (95 % CI = 2,044-

17,063) yang berarti motivasi perawat yang

rendah berpeluang lima kali lebih besar untuk

penerapan budaya keselamatan pasien.

Page 7: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN BUDAYA

27

Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. VIII No. 1 Mei 2019. ISSN 2086-9266

b. Analisa Bivariat antara Dukungan Kepemimpinan dengan Penerapan Budaya

Keselamatan Pasien (Patient Safety Culture)

Tabel 6. Hubungan Dukungan Kepemimpinan dengan Penerapan Budaya Keselamatan Pasien

(Patient Safety Culture) oleh Perawat di Rawat Inap RSU Kabupaten Tangerang Periode

April 2018

Penerapan Budaya

Dukungan Keselamatan Pasien Total POR P

Kepemimpinan Kurang Baik Baik (95%CI) Value

n % n % n %

Tidak Efektif 20 64,5 11 35,5 31 100

Efektif 13 35,1 24 64,9 37 100 3,357 0,028

Jumlah 33 48,5 35 51,5 68 100 (1,237-9,110)

Hasil tabel silang antara dukungan

kepemimpinan dengan penerapan budaya

keselamatan pasien (patient safety culture)

diketahui dari 37 responden yang

memilikiresponden yang memiliki persepsi

dukungan kepemimpinan tidak efektif

sebagian besar penerapan budaya

keselamatan pasien dalam kategori kurang

baik sebanyak 20 responden (64,5%).

Dari hasil uji Chi Square diperoleh nilai p

value 0,028 (< alpha= 0,05) dengan

menggunakan alpha 5% (0,05) dapat

disimpulkan bahwa Ho ditolak yang artinya

terdapat pengaruh antara dukungan

kepemimpinan dengan penerapan budaya

keselamatan pasien (patient safety culture)

dengan nilai POR = 3,357 (95 % CI = 1,237-

9,110) yang berarti dukungan kepemimpinan

yang tidak efektif berpeluang tiga kali lebih

besar terhadap penerapan budaya keselamatan

pasien yang kurang baik dibandingkan dengan

perawat yang mempunyai persepsi dukungan

kepemimpinan yang baik.

PEMBAHASAN

1. Karakteristik Responden

a. Umur

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari

68 perawat rata-rata berusia 32,63 dengan

standar deviasi 7,883 media 31,50 umur

termuda 22 dan tertua 55 Tahun. Hasil penelian

ini sejalan dengan penelitian Komariah (2012)

dimana sebagian besar kelompok umur 20-29

tahun (56,8%). Penelitian Nivalinda, dkk.

(2013) menyatakan bahwa sebagian besar

sebagian besar responden dalam tahap usia

dewasa muda yaitu 20 sampai dengan 40.

Analisa peneliti bahwa kelompok usia ini

merupakan usia produktif sehingga

pengembangan kemampuan akan potensi diri

lebih maksimal.

Page 8: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN BUDAYA

28

Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. VIII No. 1 Mei 2019. ISSN 2086-9266

Menurut Kusumawati dan Frandinata

(2015), umur berpengaruh terhadap kinerja

seseorang karena kemampuan untuk

menyesuaikan diri pada situasi dalam bekerja

dan proses pemahaman serta kematangan

dalam bekerja dapat dicapai pada umur 30-

45 tahun. Di usia yang masih muda, proses

pembelajaran dalam hal adaptasi terhadap

pekerjaan dan penyesuaian terhadap situasi

yang baru masih sangat dirasakan

oleh responden yang masih berada di umur

usia muda sehingga membutuhkan ketekunan

dan semangat untuk memperoleh aktualisasi

diri dalam bekerja.

Usia dewasa merupakan

perkembangan puncak mengaplikasikan

ilmu pengetahuan dan keterampilan yang

dimiliki serta kebiasaan berfikir rasional

akan meningkat (Robbins, 2010). Kondisi ini

akan mempengaruhi perawat dalam

mengaplikasikan ilmu pengetahuan,

keterampilan dan kreativitas yang dimiliki

termasuk dalam menerapkan budaya

keselamatan pasien.

Usia menentukan perilaku dan

kemampuan seseorang untuk bekerja,

termasuk bagaimana merespons stimulus yang

diberikan individu. Usia responden yang

bervariasi ini menimbulkan respon berbeda

tiap individu terhadap perilaku kepemimpinan

kepala ruang sehingga menimbulkan persepsi

dukungan kepemimpinan kepala ruang yang

juga berbeda.

b. Kelamin

Dari 68 perawat diketahui bahwa sebagian

besar berjenis kelamin perempuan yaitu 54

perawat (79,4%). Hasil penelitian ini sejalan

dengan Nivalinda, dkk. (2013) bahwa sebagian

besar adalah berjenis kelamin perempuan yaitu

62 responden (59%). Hal ini terjadi karena

lazimnya profesi keperawatan lebih banyak

diminati kaum perempuan, mengingat profesi

keperawatan lebih dekat dengan masalah-

masalah mother instink, meskipun di era

globalisasi atau alasan lain misalnya kesetaraan

gender atau juga karena faktor kebutuhan atau

mungkin juga karena perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi maka jumlah

perawat laki-laki juga mulai dipertimbangkan

dan diperhitungkan.

Hasil penelitian sebelumnya tahun 2008

menyatakan bahwa dari segi disiplin kaum

perempuan lebih sering mangkir dengan alasan

rumah tangga (Murhayati, 2008). Peran, tugas,

tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan

di lingkungan keluarga berbeda begitu pula

secara fisik. Kodratnya perempuan lebih sering

tidak masuk kerja dibandingkan laki-laki

misalnya karena hamil atau melahirkan, tetapi

karyawan wanita cenderung lebih rajin, disiplin

dan sabar (Sopiah, 2009).

Page 9: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN BUDAYA

29

Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. VIII No. 1 Mei 2019. ISSN 2086-9266

Rolinson dan Kish (2013) menyatakan jenis

kelamin perawat didominasi oleh

perempuan, karena dalam sejarahnya

keperawatan muncul sebagai peran care

taking (pemberi perawatan) secara

tradisional di dalam keluarga dan lingkungan

masyarakat. Perawat dengan jenis kelamin

perempuan cenderung lebih taat dan

mematuhi standar yang ada dan cenderung

lebih rajin dalam merawat diri sehingga

praktik dalam pencegahan infeksi

nosokomial lebih baik. Berdasarkan jenis

kelamin pada umumnya dalam kepatuhan

wanita lebih patuh dari pada pria, karena

wanita lebih patuh dan peduli untuk

meningkatkan pelayanan kepada pasien

(Wardhana, 2013).

Lebih dominannya jumlah perempuan ini

dapat mempengaruhi perilaku kinerja

perawat termasuk dalam menerapkan budaya

keselamatan pasien karena tanggung jawab

perempuan di lingkungan keluarga yaitu

sebagai ibu yang harus meninggalkan

anaknya di rumah karena bekerja.

c. Pendidikan

Dari 68 perawat diketahui bahwa sebagian

besar 54 perawat (79,4%) berpendidikan D3

Keperawatan. Hasil penelitian ini berbeda

dengan Retnoningsih, dkk. (2013) bahwa dari

60 responden dengan tingkat pendidikan yang

rendah, 31,9% memiliki penerapan patient

safety yang kurang baik sedangkan 21,2%

memiliki penerapan patient safety baik. Hasil

tersebut juga menunjukkan bahwa dari 53

responden dengan tingkat pendidikan tinggi,

31,0% memiliki penerapan patient safety baik

sedangkan penerapan patient safety yang

kurang baik sebanyak 15,9%.

Tingkat pendidikan seseorang

berpengaruh dalam memberikan respon

terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang

berpendidikan tinggi akan lebih rasional dan

kreatif serta terbuka dalam menerima adanya

bermacam usaha pembaharuan, ia juga akan

lebih dapat menyesuaikan diri terhadap

berbagai perubahan. Pendidikan yang dicapai

seseorang diharapkan menjadi faktor

determinan produktifitas antara lain

knowledge, skills, abilities, attitude dan

behavior, yang cukup dalam menjalankan

aktifitas pekerjaanya. Responden dalam

penelitian sebagian besar adalah Diploma III

Keperawatan dimana tingkat pendidikan ini

merupakan standar minimal yang dianggap

cukup dalam penerapan budaya keselamatan

pasien dalam memberikan pelayanan kepada

pasien rawat inap.

Apabila dilihat dari kualifikasi pendidikan

perawat sudah sesuai dengan ketentuan

menurut Undang- Undang Keperawatan

bahwa minimal pendidikan dalam bidang

keperawatan adalah Diploma III sehingga RSU

Kabupaten Tangerang mempunyai sejumlah

tenaga kesehatan khususnya tenaga

Page 10: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN BUDAYA

30

Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. VIII No. 1 Mei 2019. ISSN 2086-9266

keperawatan dengan tingkat pendidikan dari

setingkat diploma III sampai Strata I

keperawatan dan untuk mengembangkan lagi

dari aspek kognitif, afektif, dan psikomotor

perawat maka telah dilakukan upaya dengan

memberikan kesempatan kepada perawat

senior dengan status karyawan tetap

melanjutkan pendidikan ke jenjang Strata I

keperawatan dilanjutkan profesi Ners.

Seorang perawat dengan kualifikasi tingkat

pendidikan keperawatan Diploma III yang

merupakan tingkatan dalam pendidikan

tinggi maka secara kompetensi baik dari

aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor

diharapkan mampu untuk melakukan tugas

dan tanggung jawabnya dalam memberikan

pelayanan keperawatan kepada pasien sesuai

dengan standar operasional prosedur yang

berlaku pada lingkungan kerja setempat

termasuk penerapan universal precaution.

d. Lama Kerja

Dari 68 perawat diketahui bahwa sebagian

besar 38 perawat (55,9%) memiliki masa 8,5

tahun. Senioritas dan produktivitas pekerjaan

berkaitan secara positif, semakin lama bekerja

semakin terampil dan berpengalaman dalam

melaksanakan pekerjaannya (Robbins, 2010).

kerja ≥ 5 tahun. Sejalan dengan

penelitian Nivalinda, dkk. (2013) dimana

diperoleh hasil bahwa rata-rata perawat

dengan masa kerja Pengalaman dan

kesempatan pekerjaan akan dapat

meningkatkan konsep individu, pemecahan

masalah dan keterampilan motorik

(Nivalinda, dkk., 2013).

Pengalaman atau masa kerja adalah

keseluruhan pelajaran yang diperoleh

seseorang dari peristiwa-peristiwa yang

dialami selama perjalanan kerja.

Semakin lama seseorang menggeluti

bidang pekerjaannya semakin terampil

seseorang dalam bekerja atau berkarya. Hal ini

pun sesuai dengan konsep teori bahwa tingkat

pengetahuan seseorang dipengaruhi juga oleh

tingkat pengalaman dalam bekerja (lama masa

kerja) (Notoatmodjo, 2012).

Masa kerja yang bervariasi akan

mempengaruhi keterampilan dan pengalaman

perawat dalam pekerjaaannya yaitu

memberikan pelayanan yang aman pada pasien.

Pengalaman berbeda dari tiap perawat akan

menyebabkan kemampuan yang berbeda dalam

pemecahan masalah terkait insiden

keselamatan pasien maupun kinerja pelayanan

yang memperhatikan keselamatan pasien.

Dalam penelitian ini sebagian besar responden

adalah dengan masa kerja yang tergolong lama

sehingga pengalaman yang dimiliki oleh

perawat dianggap cukup dalam

mengimplementasikan penerapan budaya

keselamatan pasien. Lama pengalaman kerja

berhubungan dengan kinerja perawat salah

satunya dapat terlihat dari penegahan infeksi

nosokomial, semakin banyak seseorang

mengetahui akan keuntungan dan kerugian dari

tindakan yang dilakukan ataupun pernah

dilakukan (pengalaman), maka kemungkinan

untuk merubah perilaku menjadi lebih baik.

Page 11: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN BUDAYA

31

Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. VIII No. 1 Mei 2019. ISSN 2086-9266

2. Penerapan Budaya Keselamatan Pasien

Dari 68 perawat sebagian besar yaitu 35 perawat

(51,5%) adalah memiliki penerapan budaya

kesematan pasien yang baik. Berbeda dengan

penelitian Nivalinda, dkk. (2013) yang

menyatakan bahwa sebagian besar perawat

memiliki penerapan budaya keselamatan pasien

yang kurang baik 54 responden (51,4%). Hasil

penelitian ini juga sesuai dengan penelitian

Renoningsih, dkk. (2015) bahwa bahwa sikap

responden tentang penerapan patient safety

berada dalam kategori baik. Begitu pula hasil

penelitian Sumarni (2017) bahwa sebagian besar

responden yakni 71,57% (224 responden),

berada dalam kategori implementasi patient

safety yang tergolong kuat.

Patient Safety merupakan masalah

kesehatan publik mempengaruhi tingkat

perkembangan suatu negara. Patient Safety

diberlakukan pada tahun 2004 untuk

memobilisasi upaya global untuk

meningkatkan keamanan kesehatan untuk

pasien di semua negara-negara anggota

World Health Organization (WHO). World

Health Organization (WHO)

memperkirakan bahwa jutaan pasien di

seluruh dunia menderita cedera atau

kematian setiap tahun karena praktik dan

pelayanan medis yang tidak aman sementara

satu dari sepuluh pasien dirugikan saat

menerima pelayanan kesehatan di rumah

sakit (Andermann, dkk., 2011).

Melaksanakan budaya keselamatan

pasien adalah bentuk dari perbaikan kinerja

oleh setiap anggota organisasi, seperti

mengakui kesalahan dan mau belajar dari

kesalahan tersebut serta mau mengambil

tindakan tepat kedisiplinan, ketaatan terhadap

standar, prosedur dan protokol, bekerja dalam

tim, kejujuran, keterbukaan, saling

menghargai adalah nilai dasar yang harus

dijunjung tinggi. Dalam penelitian ini

membuktikan bahwa perawat pelaksana di

ruang rawat inap telah memiliki sikap yang

baik dalam mengimplementasikan budaya

keselamatan pasien dalam memberikan

pelayanan.

3. Hubungan Tingkat Pengetahuan

Perawat Dengan Penerapan Budaya

Keselamatan Pasien (Patient Safety Culture)

Dari 68 perawat sebagian besar perawat memiliki

pengetahuan penerapan budaya keselamatan pasien

oleh yang baik yaitu 41 perawat (60,3%). Hasil ini

sejalan dengan penelitian Renoningsih, dkk. (2015)

yang menunjukkan bahwa dari 50 responden yang

memiliki pengetahuan yang kurang baik, 26,5%

memiliki penerapan patient safety yang kurang baik

sedangkan 17,7% memiliki penerapan patient

safety baik. Dari hasil itu juga menunjukkan bahwa

dari 63 responden yang memiliki pengetahuan yang

baik, 34,5% memiliki penerapan patient safety baik

sedangkan penerapan patient safety yang kurang

baik sebanyak 21,3%.

Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan

ini terjadi setelah seseorang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Pengetahuan ini merupakan hal yang dominan

yang sangat penting untuk terbentuknya

tindakan seseorang, dari pengalaman beberapa

penelitian ternyata tindakan yang tidak

didasari pengetahuan yang baik, tidak akan

Page 12: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN BUDAYA

32

Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. VIII No. 1 Mei 2019. ISSN 2086-9266

menghasilkan hasil yang baik (Notoatmodjo,

2012). Perawat memiliki kemampuan dan

kewenangan melakukan tindakan

keperawatan berdasarkan ilmu yang dimiliki

dan diperoleh melalui pendidikan

keperawatan. Perawat harus menyadari

perannya sehingga harus berpartisipasi aktif

dalam mewujudkan keselamatan pasien

rumah sakit. Perawat harus memahami

tentang apa yang dimaksud dengan

keselamatan pasien rumah sakit (KPRS) serta

dalam pelaksanan pelayanan harus

mengetahui enam sasaran keselamatan pasien

yaitu: ketepatan identifikasi pasien,

peningkatan komunikasi efektif peningkatan

keamanan obat yang perlu diwaspadai,

kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat

pasien operasi, pengurangan resiko infeksi

terkait pelayanan kesehatan, pengurangan

resiko jatuh sehingga perawat dapat

melaksanakan asuhan keperawatan kepada

pasien secara aman.

Hasil tabel silang antara tingkat

pengetahuan perawat dengan penerapan

budaya keselamatan pasien (patient safety

culture) diketahui dari 41 responden yang

berpengetahuan baik sebagian besar

penerapan budaya keselamatan pasien baik

yaitu sebanyak 27 responden (21,1%),

sedangkan dari 27 responden

berpengetahuan kurang baik sebagian besar

penerapan budaya keselamatan pasien

kurang baik sebanyak 19 responden (70,4%).

Dari hasil uji Chi Square diperoleh nilai p

value 0,007 (< alpha= 0,05) dengan

menggunakan alpha 5% (0,05) dapat

disimpulkan bahwa Ho ditolak yang artinya

terdapat pengaruh antara tingkat pengetahuan

perawat dengan penerapan budaya keselamatan

pasien (patient safety culture) dengan nilai POR

= 4,580 (95% CI=1,605- 13,067) yang berarti

perawat dengan pengetahuan yang kurang baik

berpeluang empat kali lebih besar untuk

penerapan budaya keselamatan pasien dalam

kategori

kurang baik dibandingkan dengan perawat

berpengetahuan baik.

Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian Renoningsih, dkk. (2015) bahwa

motivasi berhubungan dengan penerapan

budaya keselamatan pasien (p=0,034; OR

=2,44). Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Bawelle, dkk. (2013) mendapatkan ada

hubungan antara pengetahuan perawat dengan

pelaksanaan keselamatan pasien di ruang

Rawat Inap RSUD Liun Kendage. Penelitian

yang dilakukan oleh Harus dan Sutriningsih

(2015) mendapatkan bahwa ada hubungan

antara pengetahuan perawat dengan

pelaksanaan prosedur keselamatan pasien

rumah sakit di RS Panti Waluya Sawahan

Malang.

Sesuai dengan teori Health Belief Model

(HBM) oleh Becker (Burke, 2013) yang

menyatakan bahwa perilaku yang terbentuk

pada individu dipengaruhi oleh persepsi

individu berupa pengetahuan dan keyakinan

Page 13: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN BUDAYA

33

Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. VIII No. 1 Mei 2019. ISSN 2086-9266

terhadap suatu objek.

Pengetahuan seseorang erat hubungannya

dengan tindakan seseorang dalam memenuhi

kewajibannya, sehingga pendidikan lanjut

sangat penting dalam usaha meningkatkan

perawat dalam memperoleh pengetahuan.

Keselamatan pasien bagi perawat tidak

hanya merupakan pedoman tentang apa yang

seharusnya dilakukan, namun keselamatan

pasien merupakan komitmen yang tertuang

dalam kode etik perawat dalam memberikan

pelayanan yang aman, sesuai kompetensi,

dan berlandaskan kode etik bagi pasien.

Pemberian pelayanan yang aman harus

didahului dengan pemahaman materi

keselamatan pasien rumah sakit yang

mengacu standar internasional pada Joint

Commission International (JCI). JCI

merupakan salah satu lembaga akreditasi

internasional rumah sakit yang telah diakui

oleh dunia. Fokus utama JCI adalah

meningkatkan keselamatan perawatan pasien

melalui penyediaan jasa akreditasi dan

sertifikasi serta melalui layanan konsultasi

dan pendidikan dengan tujuan membantu

organisasi menerapkan solusi praktis dan

berkelanjutan (The Joint Commission, 2014).

Upaya penerapan patient safety sangat

tergantung dari pengetahuan perawat.

Apabila perawat menerapkan patient safety

didasari oleh pengetahuan yang memadai,

maka perilaku patient safety oleh perawat

tersebut akan bersifat lama (long lasting).

Seorang perawat dalam memberikan

asuhan keperawatan harus memiliki

pengetahuan yang benar, keterampilan, dan

sikap untuk menangani kompleksitas

perawatan kesehatan. Tanpa pengetahuan

yang memadai, tenaga kesehatan termasuk

perawat tidak bisa menerapkan dan

mempertahankan budaya keselamatan pasien

(Myers, 2012).

Pengetahuan perawat tentang penerapan

keselamatan pasien, diharapkan semakin

tinggi pula perawat dalam memahami

pentingnya penerapan keselamatan pasien

yang diberikan kepada pasien dalam pelayanan

keperawatan (Darliana, 2016).

4. Hubungan Motivasi Perawat dengan

Penerapan Budaya Keselamatan Pasien

(Patient Safety Culture)

Dari 68 perawat sebagian besar perawat

memiliki motivasi tinggi tentang penerapan

budaya keselamatan pasien yaitu 39 perawat

(57,4%). Berbeda dengan penelitian Nivalinda,

dkk. (2013) yang menyatakan bahwa sebagian

besar perawat memiliki motivasi yang rendah

yaitu 58 responden (55,2%).

Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi

perawat antara lain keinginan adanya

peningkatan, rasa percaya bahwa gaji yang

dimiliki sudah mencukupi, memiliki

kemampuan pengetahuan, keterampilan dan

nilai-nilai yang diperlukan.

Page 14: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN BUDAYA

34

Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. VIII No. 1 Mei 2019. ISSN 2086-9266

Faktor lainnya yaitu adanya umpan balik,

adanya kesempatan untuk mencoba

pendekatan baru dalam melakukan pekerjaan,

adanya instrumen kinerja untuk promosi,

kerja sama dan peningkatan penghasilan

(Suarli, 2009).

Banyaknya responden yang mempunyai

motivasi rendah dapat dijelaskan dari

sedikitnya perawat yang kebutuhan mencapai

prestasinya tinggi. Hal ini ditunjukkan dari

hasil distribusi pada pasien. Kebutuhan untuk

mencapai prestasi merupakan kunci dalam

motivasi dan kepuasan kerja karena akan

mendorong untuk mengembangkan

kreativitas dan mengarahkan kemampuan

demi mencapai prestasi kerja optimal.

Prestasi kerja tersebut juga termasuk dalam

mencapai penerapan budaya keselamatan

pasien yang baik.

Hasil tabel silang antara motivasi perawat

dengan penerapan budaya keselamatan

pasien diketahui dari 39 responden yang

memiliki motivasi tinggi sebagian besar

penerapan budaya keselamatan pasien dalam

kategori baik yaitu sebanyak 27 responden

(69,2%), sedangkan dari 29 responden yang

memiliki motivasi rendah sebagian besar

penerapan budaya keselamatan pasien dalam

kategori kurang baik sebanyak 21 responden

(72,4%).

Dari hasil uji Chi Square diperoleh nilai p

value 0,002 (< alpha= 0,05) dengan

menggunakan alpha 5% (0,05) dapat

disimpulkan bahwa Ho ditolak yang artinya

terdapat pengaruh antara motivasi perawat

dengan penerapan budaya keselamatan pasien

(patient safety culture) dengan nilai POR =

5,906 (95 % CI = 2,044-17,063) yang berarti

motivasi perawat yang rendah berpeluang

lima kali lebih besar untuk penerapan budaya

keselamatan pasien dalam kategori kurang

baik dibandingkan dengan perawat dengan

motivasi tinggi.

``Hasil penelitian ini sejalan dengan

Nivalinda, dkk. (2013) yang menyatakan

bahwa motivasi berhubungan dengan

penerapan budaya keselamatan pasien (p value

= 0,001). Hasil penelitian ini sesuai dengan

hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan

bahwa perawat dengan motivasi tinggi maka

sikap perawat dalam mendukung penerapan

program patient safety akan semakin tinggi

pula (Ariyani, 2009). Begitu pula penelitian

Renoningsih, dkk. (2015) bahwa motivasi

berhubungan dengan penerapan budaya

keselamatan pasien ( p value = 0,034; OR

=2,44). Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Kaseger, dkk. (2012) mendapatkan bahwa ada

hubungan antara motivasi dengan upaya

penerapan patient safety di Instalasi perawatan

Intensif RSUD Datoe Binangkang Kota

Kotamobagu.

Motivasi merupakan energi yang

mendorong seseorang untuk menjalankan

tugas pekerjaan mencapai tujuan yang telah

ditetapkan. Motivasi kerja perawat akan

berdampak terhadap kinerja perawat yang

ditampilkan (Suyanto, 2009). Perawat dalam

Page 15: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN BUDAYA

35

Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. VIII No. 1 Mei 2019. ISSN 2086-9266

memberikan pelayanan keperawatan

menunjukkan kinerja yang berbeda-beda

dikarenakan motivasi. Hal ini juga termasuk

dalam penerapan budaya keselamatan pasien.

Perawat termotivasi oleh kebutuhan

fisiologis, keselamatan, perhatian dan cinta,

harga diri serta aktualisasi diri. Perawat juga

termotivasi oleh kebutuhan kognitif terhadap

pengetahuan (Gibson, dkk., 2010). Motivasi

menunjukkan sejauh mana seorang individu

ingin ataupun bersedia berusaha untuk

mencapai kinerja yang baik di pekerjaan.

Penerapan budaya keselamatan pasien oleh

perawat mencerminkan perilaku kinerja

perawat dan dipengaruhi oleh motivasi

perawat, Motivasi kerja adalah proses yang

bersifat internal atau eksternal bagi setiap

pegawai yang menyebabkan timbulnya sikap

antusias dan persistensi dalam melaksanakan

tugas (Winardi, 2011). Motivasi merupakan

energi yang mendorong seseorang untuk

menjalankan tugas pekerjaan mencapai tujuan

yang telah ditetapkan Motivasi kerja perawat

akan berdampak terhadap kinerja perawat

yang ditampilkan (Robbins, 2010).

Hal ini menunjukkan untuk membangun

budaya keselamatan yang kuat perlu

didukung motivasi yang tinggi dalam kinerja

keselamatan pasien serta sistem manajemen

sumber daya manusia. Sebagaimana dalam

penelitian ini bahwa sebagian besar

responden memiliki motivasi yang tinggi

dalam memberikan pelayanan di ruang rawat

inap dengan menerapkan budaya

keselamatan pasien.

6. Hubungan Dukungan Kepemimpinan

dengan Penerapan Budaya Keselamatan

Pasien (Patient Safety Culture)

Dari 68 perawat sebagian besar perawat

memiliki dukungan kepemimpinan yang

efektif yaitu 37 perawat (54,4%). Hasil

penelitian ini sejalan dengan Nivalinda, dkk.

(2013) yang menyatakan bahwa sebagian besar

perawat memiliki dukungan kepemimpinan

yang efektif yaitu 57 responden (54,3%).

Pemimpin yang efektif menerapkan dukungan

tertentu dalam kepemimpinannya memenuhi

beberapa prinsip yang tercakup dalam

dukungan kepemimpinan suportif, direktif,

partisipatif dan orientasi prestasi. Prinsip ini

antara lain mampu mengenali kebutuhan

bawahan, merangsang dan mencoba

memenuhi kebutuhan tersebut, serta

memberikan reward atas keberhasilan

mencapai tujuan (Martin, 2009). Pemimpin

harus mampu membantu bawahan

mengidentifikasi jalan paling efektif dan

memberikan jalan yang jelas bagi bawahan

untuk mencapai tujuan dengan memberi

bimbingan dan pengarahan maksimal.

Pemimpin harus berusaha mengurangi

hambatan dalam proses pencapaian tujuan

kinerja bawahan. Pemimpin harus berusaha

meningkatkan kesempatan bawahan

merasakan kepuasan pribadi melalui

pencapaian kinerja yang efektif. Pemimpin

yang dapat menerapkan hal-hal tersebut maka

bawahan akan lebih mudah mencapai tujuan

kinerjanya secara efektif.

Page 16: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN BUDAYA

36

Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. VIII No. 1 Mei 2019. ISSN 2086-9266

Hasil tabel silang antara dukungan

kepemimpinan dengan penerapan budaya

keselamatan pasien (patient safety culture)

diketahui dari 37 responden yang memiliki

persepsi dukungan kepemimpinan efektif

sebagian besar penerapan budaya

keselamatan pasien dalam kategori baik yaitu

sebanyak 24 responden (64,9%), sedangkan

dari 31 responden yang memiliki persepsi

dukungan kepemimpinan tidak efektif

sebagian besar penerapan budaya

keselamatan pasien dalam kategori kurang

baik sebanyak 20 responden (64,5%).

Dari hasil uji Chi Square diperoleh nilai p

value 0,028 (< alpha= 0,05) dengan

menggunakan alpha 5% (0,05) dapat

disimpulkan bahwa Ho ditolak yang artinya

terdapat pengaruh antara dukungan

kepemimpinan dengan penerapan budaya

keselamatan pasien dengan nilai POR = 3,357

(95 % CI = 1,237-9,110) yang berarti

dukungan kepemimpinan yang tidak efektif

berpeluang tiga kali lebih besar terhadap

penerapan budaya keselamatan pasien yang

kurang baik dibandingkan dengan perawat

yang mempunyai persepsi dukungan

kepemimpinan yang baik.

Beberapa penelitian tentang pengaruh

kepemimpinan terhadap penerapan budaya

keselamatan pasien dilakukan oleh Nivalinda,

dkk. (2013) yang menyatakan ada pengaruh

dukungan kepemimpinan kepala ruang

terhadap penerapan budaya keselamatan.

Penelitian serupa dilakukan oleh

Rachmawati (2012) kepemimpinan

Transformasional paling berpengaruh positif

langsung terhadap patient safety culture

dibanding kerjasama tim dan kesadaran

individual. Penelitian Beginta (2012) adanya

pengaruh baik secara langsung maupun tidak

langsung patient safety culture, dukungan

kepemimpinan, dan kerja tim terhadap

persepsi pelaporan kesalahan pelayanan oleh

perawat di Unit Rawat Inap RSUD Kabupaten

Bekasi. Penelitian Setiawati (2010)

menunjukkan hubungan lemah dan positif

antara kepemimpinan efektif Head Nurse

dengan penerapan patient safety culture di

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Budaya keselamatan yang kuat

membutuhkan kepemimpinan yang mencakup

komponen seperti mampu menetapkan dan

mengkomunikasikan visi keselamatan dengan

jelas, menghargai dan memberdayakan staf

untuk mencapai visi. Komponen lainnya yaitu

terlibat aktif dalam upaya peningkatan

keselamatan pasien, menjadi panutan bagi

bawahan, fokus pada masalah sistem bukan

pada kesalahan individu, dan terus melakukan

perbaikan sistem. Keberhasilan pelaksanaan

inovasi klinis tidak hanya membutuhkan

dukungan kepemimpinan yang efektif, tetapi

juga membutuhkan dukungan organisasi dan

alat implementasi (Novalianti, dkk., 2013).

Page 17: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN BUDAYA

37

Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. VIII No. 1 Mei 2019. ISSN 2086-9266

Penerapan budaya keselamatan pasien

yang baik juga berlaku untuk inovasi klinis

karena perubahan dari budaya menyalahkan

menjadi budaya keselamatan pasien

merupakan upaya peningkatan mutu dan

keselamatan pasien. Hal ini didukung aspek

pengembangan teknologi, tersedianya sumber

daya manusia (SDM) yang mendukung

keselamatan dan proses pelayanan yang

dibangun sebagai sistem pertahanan/barier

(Cahyono, 2008). Hal ini menunjukkan untuk

membangun budaya keselamatan yang kuat

perlu didukung kepemimpinan yang kuat

dalam kinerja keselamatan pasien serta sistem

manajemen sumber daya manusia.

Kepemimpinan yang mendukung

memberikan dampak positif terhadap

motivasi keselamatan yang kemudian

meningkatkan tingkat keselamatan.

Kepemimpinan yang baik dalam suatu

organisasi dapat mengarahkan anggota

organisasi dalam mencapai tujuan organisasi,

termasuk dalam hal keselamatan pasien.

Kemampuan kepemimpinan terbentuk sesuai

dengan kondisi organisasi dan metode

kepemimpinan suatu organisasi memiliki ciri

tertentu, pengaruh antara pemimpin dan

bawahan menjadi hal penting dalam

efektifitas pelaksanaan program karena

diterima atau tidak seorang atasan oleh

bawahannya menentukan pencapaian tujuan

organisasi.

Budaya keselamatan yang kuat

membutuhkan kepemimpinan yang

mencakup komponen seperti mampu

menetapkan dan mengkomunikasikan visi

keselamatan dengan jelas, menghargai dan

memberdayakan staf untuk mencapai visi.

Komponen lainnya yaitu terlibat aktif dalam

upaya peningkatan keselamatan pasien,

menjadi panutan bagi bawahan, fokus pada

masalah sistem bukan pada kesalahan

individu, dan terus melakukan perbaikan

system (Nivalinda, dkk., 2013).

Hal ini berarti semakin efektif dukungan

kepemimpinan kepala ruangnya maka semakin

baik penerapan budaya keselamatan

pasiennya. Pemimpin yang efektif dalam

menerapkan dukungan kepemimpinan tertentu

perlu menyesuaikan dukungan

kepemimpinannya dengan karakteristik

bawahan dan situasi, serta memadukan

beberapa dukungan kepemimpinan tergantung

situasi dan kondisi yang dihadapi (Setiawati,

2010).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Ada hubungan antara tingkat pengetahuan

perawat, motivasi dan dukungan

kepemimpinan dengan penerapan budaya

keselamatan pasien oleh perawat di ruang

rawat inap RSU Tangerang.

Saran

1. Mempertahankan serta terus meningkatkan

implementasi patient safety yang telah ada

sehingga menjadi budaya dan sering

Page 18: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN BUDAYA

38

Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. VIII No. 1 Mei 2019. ISSN 2086-9266

mengadakan pelatihan secara berkala serta

penyegaran mengenai keselamatan pasien.

2. Memberikan reward dan punishment

dalam pelaksanaan patient safety culture.

3. Melaksanakan monitoring mutu pelayanan

keperawatan terhadap budaya keselamatan

pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Andermann, A., L. Ginsburg., P. Norton., N.

Arora., D. Bates., A. Wu dan I. Larizgoitia.

(2011). Core Competencies for Patient

Safety Research: a Cornerstone for Global

Capacity Strengthening. BMJ Qualty

Safety 20: 96-

101.

Ariyani. (2009). Analisis Pengetahuan Dan

Motivasi Perawat Yang Mempengaruhi

Sikap Mendukung Penerapan Program

Patient Safety Di Instalasi Perawatan

Intensif RSUD Moewardi Surakarta Tahun

2008. Tesis. Semarang: MIKM UNDIP

Bachrun, E. (2017). Hubungan tingkat

pengetahuan perawat tentang patient

safety terhadap penerapan sasaran V

(pengurangan risiko infeksi terkait

pelayanan kesehatan). JKM: Jurnal

Kesehatan Masyarakat Vol.5 No.1 Edisi

Agustus 2017. Diakses pada

http://jurnal.stikescendekiautamakudus.ac.

id/index.php/JKM/article/view/183

tanggal 27 Januri 2018.

Beginta, R. (2012). Pengaruh budaya

keselamatan pasien, gaya kepemimpinan,

kerja tim terhadap persepsi pelaporan

kesalahan pelayanan oleh perawat di Unit

Rawat Inap RSUD Kabupaten Bekasi tahun

2011. Thesis. Fakultas Kesehatan

Masyarakat. Depok: Universitas Indonesia.

Burke. (2013). The health belief model. (p.1- 3).

Diakses pada

http://www.iccwa.org.au/useruploads/files

/soyf/2013_resources_videos/the_health

_ belief_model.pdfevan_burke.pdf

tanggal

27 Januari 2018.

Cahyono, J. (2008). Membangun Budaya

Keselamatan Pasien Dalam Praktik

Kedokteran. Yogyakarta: Kanisius.

Darliana. (2016). Hubungan pengetahuan

perawat dengan upaya penerapan patient

safety di ruang rawat inap Rumah Sakit

Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda

Aceh. Idea Nursing Journal Vol. VII No. 1

2016.

Gibson, dkk. (2012). Organisasi : prilaku,

struktur dan proses (terjemahan). Jakarta

: Binarupa Aksara.

Herawati. (2015). Budaya keselamatan pasien

di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit X

Kabupaten Jember. Jurnal IKESMA

Page 19: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN BUDAYA

39

Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. VIII No. 1 Mei 2019. ISSN 2086-9266

Volume 11 Nomor 1 Maret 2015.

Jaladara, dkk. (2015). Hubungan tingkat

pengetahuan dan praktik perawat

mengenai keselamatan pasien (patient

safety) di Instalasi Gawat Darurat RS X

Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat

(e-Journal) Volume 3, Nomor 1, Januari

2015 (ISSN: 2356-3346). Diakses pada

http://ejournal-

s1.undip.ac.id/index.php/jkm tanggal

6 Januari

2018.

Kachalia, A. dan Bates, D.W. (2014).

Disclosing medical errors: the view from

the USA. The surgeon, 12, 64-67.

Komariah. (2012). Hubungan pengetahuan,

motivasi, dan supervisi dengan kinerja

pencegahan infeksi nosokomial di RSUD

Haji Makassar. Jurnal Kesmas. Diakses

pada

http://repository.unhas.ac.id/bitstream/han

dle/123456789/

10571/KOMARIAH%20ABDULLAH%2

0K11110317.pdf;sequence=1 tanggal 6

Januari 2018.

Kusumawati, D., & Frandinata, D. (2015).

Hubungan Beban Kerja Dengan Kinerja

Perawat Di Ruang IGD RSUD

Blambangan Banyuwangi.Diakses pada

http://e-

journal.akesrustida.ac.id/index.php/jurnal-

ilmiah/article/view/22 tanggal 28 April

2018.

Martin, R. (2009). Path Goal Theory Of

Leadership : Encyclopedia Of Group

Processes & Intergroup Relations. Ed.

John M, Michael A. 636-37. Thousand

Oaks. CA: SAGE.

Meginniss, dkk. (2012). Time out for patient

safety. Journal of Emergency Nursing, 38,

51-53.

Monteiro, C.J.A. dan Natário, M.M.S. (2014).

Safety culture in the surgical services: case

study. Tekhne.

Myers, S.A. (2012). Patient safety and hospital

accreditation: a model for ensuring

success. New York: Springer Publishing

Company.

Nivalinda, dkk. (2013). Pengaruh Motivasi

perawat dan gaya kepemimpinan kepala

ruang terhadap penerapan budaya

keselamatan pasien oleh perawat pelaksana

di RS Pemerintah di Semarang. Jurnal

Managemen Keperawatan . Volume 1, No.

2, November 2013; 138-145.

Notoatmodjo, S. (2012). Pendidikan dan

perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Occupational Safety and Health

Administration. (2014). Organizational

Page 20: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN BUDAYA

40

Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. VIII No. 1 Mei 2019. ISSN 2086-9266

safety culture - linking patient and worker

safety (online). Diakses dari

https://www.osha.gov/SLTC/healthcarefa

cilities/safetyculture_full.html tanggal 13

Januari 2018.

Pratama. (2017). Hubungan tingkat

pengetahuan tentang penerapan patient

safety dengan persepsi penerapan patient

safety oleh perawat di RSUD dr.

Soedirman Mangoen Soemarso Wonogiri.

Skripsi. Departemen Keperawatan

Fakultas Kedokteran. Semarang

: Universitas Diponegoro.

Rachmawati, E. (2012). Model pengukuran

budaya keselamatan pasien di RS

Muhammadiyah-‘Aisyiyah tahun 2011.

Desertasi. Fakultas

Kesehatan Masyarakat,

Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan

Masyarakat. Depok: Universitas

Indonesia.

Renoningsih, dkk. (2015). Faktor-Faktor

Yang Berhubungan Dengan Penerapan

Patient Safety Pada Perawat Di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pancaran

Kasih Gmim Manado. Manado :

Universitas Sam Ratulangi.

Robbin. (2010). Perilaku organisasi. Alih

Bahasa: Tim Indeks. Jakarta: PT INDEKS

Kelompok Gramedia.

Rolinson dan Kish (2013). Care Concept in

advanced nursing.St. Louis.Mosby A

Hancourt Health Science Company.

RSU Kabupaten Tangerang. (2017). Laporan

PMKP RSU Kabupaten Tangerang.

Tangerang.

Setiowati, D. (2010). Hubungan

kepemimpinan efektif head nurse dengan

penerapan budaya keselamatan pasien

oleh perawat pelaksana di RSUPN

Dr.Cipto Mangunkusumo. Tesis.

Depok : FIK-UI.

Sopiah. (2009). Perilaku Organisasional.

Yogyakarta: Andi.

Suarli, S, Yanyan B. (2009). Manajemen

Keperawatan Dengan Pendekatan Praktis.

Jakarta: Erlangga.

Sulistiani. (2015). Korelasi budaya

keselamatan pasien dengan persepsi

kesalahan medis oleh tenaga kesehatan

sebagai upaya peningkatan keselamatan

peningkatan keselamatan dan kesehatan

kerja di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y

Tahun 2015. Skripsi. Program Studi

Kesehatan Masyarakat. Fakultas

Page 21: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN BUDAYA

Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. VIII No. 1 Mei 2019. ISSN 2086-9266