Ebm 2 & 3 Deza Dan Nisak

Embed Size (px)

DESCRIPTION

adsasdada

Citation preview

Introduction

Haemmorrhoids adalah salah satu penyakitanorektal yang paling seringterjadidanmengenai 5% dari total jumlahpopulasi (1). Teknik Milligan-Morgan merupakanproseduroperatif yang paling mudah untuk dikerjakan bagi pengobatan haemorrhoid grade III dan grade IV. Teknik ini tidak memiliki komplikasi berupa perdarahan (2) dan sumbatan anal (3). Stapled haemorrhoidopexy (SH) adalah prosedur baru yang diperkenalkan pertama kali pada tahun 1998 (4) sebagai alternative bagi haemorrhoidopexy konvensional dan semakin popular pada beberapa tahun belakangan sebgai pilihan terapi untuk haemorrhoid stage III dan IV. SH menawarkan beberapa keuntungan daripada teknik haemorrhoidectomi konvensional, termasuk diantaranya adalah mengurangi rasa sakit pasca operasi (5-8), memperpendek masa rawat inap, masa pemulihan yang lebih cepat dan dapat membuat pasien beraktifitas lebih cepat (6,9). Teknik ini juga mengurangi waktu intra-operative. Efektifitas prosedur Longo sebagai terapi definitive masih belum jelas. Tujuan dari penelitian double blind randomized control trial adalah untuk menentukan manakah diantara SH atau MMH konvensional yang memberikan efek pasca terapi paling banyak bagi pasien haemorrhoid grade III dan IV dengan periode minimum 2 tahun.Materials and methodsPenelitian ini menggunakan metode double-blind, randomized clinical trial. Prosedur protocol telah ditestujui oleh komite etik rumah sakit dan pasien telah diberikan informed consent sebelumnya untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Antara bulan Januari 2005 dan April 2007, kami melibatkan 80 konsekutif pasien dengan haemorrhoid grade III. Parameter demografik, gejala, dan kebiasan buang air sama seperti pada table 1. Untuk meningkatkan perbandingan Antara kedua teknik, kami hanya memakai sampel berupa pasien dnegan haemorrhoid grade III. Pasien yang kami ikut sertakan dalam penelitian tidak termasuk: 1) thrombosis akut, (2) penyakit penyerta yang berhubungan dengan anal (fisura, abses, fistula, inkontinensia, dan inflamasi saluran pencernaan akut, (3) riwayat operasi pada saluran pencernaan, (4) penyakit hematologi, (5) sedang terapi menggunakan antikoagulan oral, dan ASA grade III atau IV. Pasien dengan usia lebih dari 50 tahun telah dilakukan kolonoskopi terlebih dahulu sebelum dilakukan tindakan haemorrhoidectomy. Pasien telah menyetujui untuk dilakukan tindakan operasi dan secara acak tidak mengetahui teknik operasi manakah yang akan diberikan lalu kami bagi dalam dua kelompok: 1) 40 pasien diberikan tindakan stapled haemrrhoidopexy (SH) dan 40 orang diberikan tindakan Milligan-Morgan haemorrhoidectomy (MMH). Semua tindakan operasi dilakukan oleh ahli bedah yang sama. Untuk menghindari efrk kurvabelajar para ahli bedah telah melakukan 100 tindakanb sebelum melakukan percobaan. Seluruh tindakan operasi dilakukan tanpa persiapan buang air (hanyadiberikan enema 3 jam sebelumoperasi), dibawah pengaruh anastesi spinal, dan pasien dalam posisi litotomi. Antibiotic sebagai profilaksis jangka pendek juga diberikan dua jam sebelum operasi. SH dilakuka dengan PPH 01 stapling gun (Ethicon Endosurgery Johnson & Johnson Gincinnati OH) berdasarkan teknik yang diperkenalkan Longo (4). Pembuluh darah yang pecah diikat dan dijahit (00 polyglactin). Tampon ditinggalkan pada rectum setelah operasi untuk mendeteksi nadanya hemoroid dan diambil 4-5 jam setelah operasi. Haemorrhoidopexy konvensional dilakukan berdasarkan teknik Milligan-Morgan (10). Hemoroid internal dan eksternal dibedah sampai cincin anorektal dengan menggunakan gunting dan pembuluh darah yang terpotong diikat dan dijahit. Tampon hemostatic ditinggalkan didalam kanal anal pada akhir prosedur dalam jangka waktu 4-5 jam. Asupan makanan sehari-hari boleh dikonsumsi dan laxative dengan jumlah yang banyak diberikan setelah operasi. Pasien yang dilakukan tindakan MMH diinstruksikan untuk membersihkan anal dengan menggunakan cairan antiseptic minimal dua kali sehari dan setelah buang air visual analog scale berukuran 10cm dengan skala 0 (tidak ada nyeri) sampai 10 (nyeri hebat) diberikan kepada setiap pasien untuk mengevaluasi intensitas nyeri pasca operasi. Nyeri dinilai setiap hari sampai dengan follow-up pertama dilakukan (10 hari setelah operasi) dan jumlah injeksi analgesic intramuscular yag diberikan selama rawat inap dan setelah keluar dari rumah sakit juga dinilai. Data didapat melalui interview lewat telpon setelah pasien keluar dari rumahsakit oleh peneliti independen yang tidak mengetahui jalannya operasi. Informasi lain, termasuk hari dimana pasien pertama kali melakukan buang air besar setelah operasi dan waktu ketika ia kembali bekerja juga dinilai. Hal-hal diatas dinilai dari skala 1-20 berdasarkan incontinence score system of Jorge and Wexner(ll). Setelah follow-up pertama (sepuluhharipascaoperasi), evaluasi klinis dilakukan setiap 1 bulan, 6 bulan, dan selanjutnya setiap tahun. Sebagai tambahan, pasien dievaluasi menggunakan kuisioner yang telah distandarisasi (12) (gambar 1) setiap 6 bulan, 1 tahun, dans elanjutnya setiap tahun setelah operasi. Di akhirpenelitian, peneliti menanyakan apakah gejala yang pasien rasakan sebelum dilakukan tindakan operasi menghilang, lumayan hilang, tidak berubah atau semakin memburuk pada bulan keenam dan pada setiapt ahun.

Results

Total 79 pasien (39 pasien dilakukan prosedur SH dan 40 pasien dilakukan prosedur MMH) telah menyelesaikan penelitian ssecara acak dan kembali setelah follow up kurang lebih 2 tahun. Nilai tengah follow up adalah 34 minggu (rata-rata 24-51 bulan). Terdapa perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok di lama operasi, lama rawat inap, tingkat nyeri dan waktu pertama kali melakukan buang air besar (Tabel 2). Nilai tengah untuk lama operasi lebih pendek pada kelompok SH (25 menit; rata-rata 15-35 menit) daripada kelompok MMH (38 menit; rata-rata 20-45 menit). Tingkat nyeri selama sepuluh hari pertama dievaluasi oleh VAS juga menunjukan perbedaan yang signifikan pada kelompok SH lebih rendah (2,5; rata-rata 2-5) daripada kelompok MMH (6,8; rata-rata 3-9). Waktu melakukan buang air besar pertama kali juga lebih cepat pada kelompok SH; 1,5 hari (rata-rata 2-3) dibandingkan dengan MMH (2,5; rata-rata 3-4 hari). Tingkat nyeri pada saat pertama kali buang air besar secara signifikan lebih rendah pada kelompok SH (2,7; rata-rata 1-5) dibandingkan dengan kelompok MMH (7,2; rata-rata 1-10). Konsumsi analgesic intramsukular dan/atau analgesic oral selama minggu pertama pasca operasi tinggi pada kelompok MMH.Lama waktu rawat inap lebih rendahpada kelompok SH (1,3 hari; rata-rata 1-2) dibandingkan dengan kelompok MMH (2,5; rata-rata 1-4 hari). Pada 31 pasien (77,5%) kelompok SH penjahitan hemostatic dilakukan untuk mengontrol perdarahan minor. Sebanyak 31 komplikasi terjadi pada 24 pasien (Tabel 3). Dari beberapa komplikasi dini yang terjadi, terdapat 3 (7,5%) kasus perdarahan pasca operasi pada kelompok MMH: dua kasus tidak memerlukan operasi ulang dan satu pasien memerlukan operasin ulang dengan anastesi spinal 6 jam setelah operasi karena perdarahan hebat. Tidaj didapatkan pasien dengan prolapse residual sesaat setelah operasi. Tujuh pasien laki-laki (17,5%) pada kelompok SH mengalami resistensi urin transien yang telah diterapi dengan kateterisasi dan enam pasien (40%) pada kelompom MMH mengalami hal yang sama. Empat pasien (10%) pada kelompok SH mengalami thrombosis hemroid eksternal yang memerlukan tindakan konservatif. Kami telah menganalisis jawaban pada kuisioner pada enam bulan, satu tahun, dan setiap tahun. Pada table 4 dan 5 menunjukan bahwa hasil klinis pada 6 bulan dan dua tahun setelah tindakan. Pada follow up di bulan keenam tidak didapatkan hasil perbedaan yang signifikan di kedua kelompok. Kami juga focus pada enam pasien (15%) pada kelompok MMH dengan intensitas nyeri sedang saat defekasi dan empat pasien pada kelompkm SH (10%). Tiga pasien pada kelompok MMH (7,5%) mengalami inkontinensia flatus dan hal tersebut hanya terjadi pada satu pasien pada kelompok SH. Empat pasien (10%) pada kelompok SH mengamali urgensi fekal. Tidak ada pasien yang mengeluh mengalami inkontinensia urin maupun feses. Perdarahan selama defekasi tidak terjadi pada kebanyakan pasien. Tidak ada pasein yang membutuhkan opreasi ulang dalam peiode waktu enam bulan pertama setelah operasi dilakukan meskipun prolaps residual terdekteksi pada tiga pasien (7,5%) pada kelompok SH dan 0 pasien pada kelompok MMH. Setelah dilakukan follow up selama dua tahun jawaban-jawaban kuisioner menunjukan angka yang tinggi unyyuk perdarahan dan prolaps pada kelompok SH dengan angka kepuasan rendah (Tabel 5). Tujuh pasien (18%) pada kelompok SH mengeluh terjadi perdarahan sedangkan hanya satu pasien (2,5%) pada kelompok MMH. Perdarahan terjadi sangat berat dan berkelanjutan selama defekasi pada lima dari tujun pasien pada kelompok SH dilaporkan sementara dan sporadic hanya pada pasien kelompok MMH. Lima pasien (13%) pada kelompok SH memerlukan operasi ulang sedangkan pada kelompok MMH tidak. prolaps residual dan/atau perdarahan merupakan penyebab tersering dilakukannya operasi ulang. Kami melakukan tindakan operatif stapler pada tiga pasien atas perrmintaan pasien sedangkan pada empat pasien kami melakukan haemorrhoidectomy untuk kasus prolaps residual. Angka kepuasan (table 5) setelah dilakukan follow up selama dua tahun menunjukan angka yang lebih tinggi pada kelompk SH dibandingkan dengan kelompok MMH. Gejala utama preoperative pada kelompok SH dan kelompok MMH. DiscussionNyeri yang timbul akibat haemorrhoidectomy konvensional berkembang menjadi masalah besar. Pada beberapa tahun terakhir para ahli bedah sangat tertarik untuk mengembangkan terapi dari hemoroid, kira patut berterimakasih keoada Longo yang telah memperkenalkan SH pada tahun 1998 (4). Prosedur ini telah diperkenalkan sebagai alternative terapi haemorrhoidectomy konvensional dan semakin berkembang sebagai terapi yang sering dipakai dan banyak diterima oleh pasien karena memberikan efek samping terapi nyeri lebih ringan pasca operasi. Namun bagaimanapun juga, keefektifan dari SH sebagai terapi definitive sebagai terapi opratif hemoroid masih belum jelas. Beberapa penelitian acak telah dipublikasikan dan membuktikan bahwa SH memberikan keuntungan lebih daripada teknik haemorrhoidectomy lain pada hemoroid dengan perdarahan berulang 98,13), prolapsed residual (14), prolaps rekuren (6, 8, 13-17), intervensi ulang berisiko tinggi (8, 14), perdarahan dan intak pada kulit (18), atau munculnya gejala baru yakni nyeri dan urgensi (19). Kontrovensi juga semakin bertambah karena adanya studi artikel berdasarkan review sistematis (9, 13, 20-23) yang mengatakan pasien yang diterapi dengan mneggunakan prosedur SH memberikan hasil lebih baik daripada yang diterapi dengan prosedur MMH. Pada penelitian ini kami telah mengevaluasi hasil setelah operasi dan hasil follow up selama 2 tahun dari kedua tindakan operatif. Penelitian kami telah menunjukan bahwa SH merupakan terapi yang aman untu hemorhhoid grade III dengan tingkat kepuasan pasien sangat tinggi karena memberikan efek nyeri setrelah operasi lebih ringan. Pada SH dapat memberikan efek nyeri paska opreais lebih ringan karena prosedurnya tidak melukai kulit perianal dan anoderm yang sangat sensitive; konsekusensi langsung dari hal tersebut adalah masa rawat inap yang sangat pendek dan pemberian analgesic yang lebih rendah untuk kelompok SH. Namu demikian, teknik ini memerlukan keterampilan yang sangat baik untuk menghindari komplikasi berat yang mungkin akan terjadi seperti sepsis pelvic (24), fistula pada rectovagina (225, 26), perforasi rectal 926-28) atau stenosis (28). Kami menyarankan bahwa teknih SH harus dilakukan oleh ahli bedah colorectal yang memiliki jam terbang tinggi penelitian kami menunjukan lebih banyak keluhan paska operasi untuk teknik MMH daripada teknik SH. Operasi ulang untuk keluhan-keluhan yang ada dilakukan pada satu pasien dengan terapi MMH dan 0 pasien yang diberikan operasi teknik SH. Pada 31 kasus (75,5%) kelompok SH memerlukan tampon hemostatik pada jahitannya karena kami sangat berhati-hati terhadap perdarahan hemoragik yang kemungkinanan dapat terjadi. Juga karena tidak ada pasien, dari seri kami, mengeluh nyeri persisten pada analnya dan akmi pikir umumnya karena masalah prosedural seperti terlalu distal dalam melakukan penjahitan di saluran anal. Kami telah mengetahui hal tersebut sebelumnya pada beberapa pasien kami. Dalam penelitian ini 10% dari pasien kelompok SH mengeluh urgensi buang air besar pada follow up pertama kali setelah operasi(