Case THT Tonsil It Is Akut

Embed Size (px)

Citation preview

STATUS PASIEN THTTanggal : 12 agustus 2011 No. Registrasi : 18-10-08

I.

IDENTIFIKASI Nama Usia Jenis Kelamin Agama Suku Bangsa Pekerjaan Alamat Pendidikan : Tn. T : 52 tahun : Laki-laki : Islam : Sunda : Karyawan Swasta : Jl. Sekolah dalam no. 12 Pav RT 02/01, Paledang, Bogor : SLTA

II.

ANAMNESIS

Dilakukan secara autoanamnesis di Poli THT RSMM tanggal 12 Agustus 2011 pukul 10.00 WIB

A. Keluhan Utama

:

Rasa nyeri di tenggorokan sejak 1 minggu yang lalu

B. Keluhan Tambahan

:

1

Tenggorokan terasa panas, pusing, demam, rasa mengganjal saat menelan. Keluar dahak kental berwarna kuning kehijauan, bersin-bersin terutama saat pagi hari, keluar cairan jernih dari hidung disertai rasa tersumbat dan gatal

C. Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang dengan keluhan rasa sakit di tenggorokan sejak 1 minggu yang lalu diawali oleh rasa kering pada tenggorokan. Nyeri dirasakan seperti tertusuk disertai rasa panas dan mengganjal terutama saat pasien menelan. Pasien juga mengeluh pusing dan demam sejak 5 hari yang lalu, tetapi tidak lemas dan nafsu makan pasien tidak menurun. Demam dirasakan tidak tinggi dan pasien hanya mengukurnya dengan punggung tangan. 3 hari yang lalu, pasien terbatuk dan mengeluarkan dahak kental berwarna kuning kehijauan. Selain itu, Pasien juga mengeluh sering bersin-bersin terutama saat pagi hari. Saat pasien bersin jumlahnya bisa sampai 10x disertai keluar cairan jernih dan encer disertai gatal pada kedua hidung pasien. Pasien juga merasakan saat itu hidung terasa tersumbat sampai terkadang sulit untuk bernafas. Keluhan dirasakan sejak pasien kanak-kanak, tetapi sifatnya hilang timbul. Selain udara dingin, pasien juga mengaku keluhan timbul jika pasien terkena debu. Pasien pernah menderita asma saat pasien kanak-kanak, tetapi gejala asma tidak pernah os rasakan lagi sampai sekarang.

D. Riwayat Penyakit Dahulu:

Os tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.

E. Riwayat Penyakit Keluarga:

2

Os menyangkal ada anggota keluarga yang menderita penyakit darah tinggi dan diabetes maupun penyakit kronis. Ada anggota keluarga Os yang menderita Asma, yaitu bapak Os.

F. Riwayat Pengobatan

Satu hari sebelum Os ke Poli THT RSMM, Os berobat ke klinik tempat os bekerja dan mendapatkan antibiotik

III.PEMERIKSAAN FISIK A. STATUS GENERALIS Keadaan Umum Kesan Sakit Kesadaran Kulit Kepala Mata Leher Thorax Abdomen Ekstremitas STATUS THT 1. PEMERIKSAAN TELINGA : : Tampak sakit ringan : Compos mentis : Sawo matang, turgor baik : Normocephali, simetris, tidak ada deformitas : Konjuctiva tidak anemis, sclera tidak ikterik : Kelenjar Getah Bening tidak teraba membesar : Tidak dilakukan pemeriksaan : Tidak dilakukan pemeriksaan : Tidak dilakukan pemeriksaan

ADS Daun Telinga

Dextra Normotia

Sinistra Normotia3

Preaurikuker Retroaurikuler

Nyeri tarik (-) Nyeri tekan tragus (-) Hiperemis (-), Fistula(-), oedem (-), Nyeri tekan (-), sikatriks (-) Hiperemis (-), Fistula(-), oedem (-), Nyeri tekan mastoid (-) LIANG TELINGA Lapang pucat (-) (-) (-) MEMBRAN TIMPANI

Nyeri tarik (-) Nyeri tekan tragus (-) Hiperemis (-), Fistula(-), oedem (-), Nyeri tekan (-), sikatriks (-) Hiperemis (-), Fistula(-), oedem (-), Nyeri tekan mastoid (-) Lapang pucat (-) (-) (-) MT intak Refleks Cahaya (+) Retraksi (-) Buldging (-)

a. b. c. d. e.

Lapang/sempit Warna epidermis Sekret Serumen Kelainan Lain

MT intak Refleks Cahaya (+) Retraksi (-) Buldging (-)

Jenis Pemeriksaan Rinne Weber Schwabach

Pemeriksaan Fungsi Pendengaran Test Penala 512 Hz Kanan Kiri Positif Positif Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi Sama dengan Sama dengan pemeriksa pemeriksa

2. PEMERIKSAAN HIDUNG

Kanan

Kiri4

Deformitas Nyeri Tekan Krepitasi

(-) (-) (-) (-) (-) (-) RINOSKOPI ANTERIOR

Vestibulum Konka inferior Konka media Konka superior Meatus nasi Kavum nasi Mukosa Sekret Septum

Sekret (-), Krusta (-) Hipertrofi (+), Livid (+), Hiperemis (-) Sulit dinilai Tidak terlihat Pus (-), Polip (-) Lapang Hiperemis (-) (+) Jernih Deviasi (-)

Sekret (-), Krusta (-) Hipertrofi (+), Livid (+), Hiperemis (-) Sulit dinilai Tidak terlihat Pus (-), Polip (-) Lapang Hiperemis (-) (+) Jernih Deviasi (-)

5

Dasar hidung

Normal RINOSKOPI POSTERIOR

Normal

Koana Mukosa konka Sekret Muara tuba eustachii Adenoid Rosenmuller Nasofaring

Tidak Dilakukan

3. PEMERIKSAAN FARING1. Arkus Faring 2. Mukosa faring

: Simetris, hiperemis : Hiperemis

3. Dinding posterior faring : Hiperemis, Post Nasal drip (+) 4. Uvula

: Letak tengah, simetris, hiperemis (+) : : T2a-T2a : Hiperemis : (-) : (-) : (-) : Dalam batas normal, lengkap, Caries (-)6

5. Tonsil Palatina

Besar Warna Kripta Detritus Perlekatan

6. Gigi geligi

87654321 12345678 87654321 12345678

1. HIPOFARING ( Tidak Dilakukan )

a. Basis lidahb. Valekula

c. Plika glosopiglotika

2. PEMERIKSAAN LARING ( Tidak Dilakukan)

a. Epiglotisb. Plika ariepiglotika

c. Aritenoid d. Sinus piriformise. Korda vokalis

f. Pita suara asli g. Pita suara palsu h. Subglotik/trakea7

i. Rima glotis

3. LEHER

Pemeriksaan kelenjar getah bening regional : Retro auricular Submentalis Submandibularis Sternokledomastoid : Tidak teraba membesar : Tidak teraba membesar : Tidak teraba membesar : Tidak teraba membesar

4. Maksilo Fasial

Simetris Paralisis Nervus kranialis (-)

IV. RESUME: Pasien seorang laki-laki berumur 52 tahun datang ke poliklinik THT RSMM dengan keluhan nyeri pada tenggorokan yang diawali rasa kering sejak 1 minggu yang lalu. 5 hari yang lalu, pasien demam dan pusing. Demam dirasakan tidak tinggi dan tidak disertai dengan rasa lemas dan tidak ada penurunan nafsu makan. 3 hari yang lalu pasien terbatuk dan mengeluarkan dahak berwarna kuning kehijauan. Selain itu pasien mengeluh bersin-bersin terutama pada pagi hari disertai dengan rasa gatal dan tersumbat pada kedua hidung, saat bersin-bersin pasien juga mengeluhkan keluar cairan encer dan berwarna jernih. Keluhan dirasakan hilang timbul sejak pasien kana-kanak dan juga sering tercetus apabila terkena debu maupun udara dingin.8

Pada pemeriksaan fisik ditemukan :

Arkus Faring Mukosa faring Dinding posterior faring Uvula Tonsil Palatina

: Simetris, hiperemis : Hiperemis : Hiperemis, Post Nasal drip (+) : Letak tengah, simetris, hiperemis (+) : : T2a-T2a : Hiperemis : Hipertrofi, livid (+)

Besar Warna

Konka Inferior

Terdapat sekret jernih pada cavum nasi

V. DIAGNOSA KERJA:

Tonsilitis Akut dan Rhinitis kronik suspek alergi

VI. RENCANA PENGOBATAN: Medikamentosa :o

Antobiotik

: Cefadroksil 2x500mg tab : Metilprednisolon 2x8mg tab : ambroksol 3x1 tab : Paracetamol 3x500mg

o Kortikosteroid o Mukolitiko

Antipiretik

o Betadine Gargle

9

VII. RENCANA PEMERIKSAAN LANJUTAN: Laboraturium darah ( leukosit & hitung eosinofil) Skin Prick test

VIII.

PROGNOSIS:

Tonsilitis akut Ad Vitam Ad fungsionam Ad sanationam : ad bonam : ad bonam : ad bonam

Rhinitis kronik suspek alergi Ad Vitam Ad fungsionam Ad sanationam : ad bonam : ad bonam : dubia ad bonam

DOKTER MUDA: Aji Patriajati

DOKTER PENGAWAS: Dr. Tinneke Saboe, Sp. THT

TANDA TANGAN:

10

PENILAIAN

Tonsilitis Akut

Definisi Tonsilitis akut adalah radang akut pada tonsil akibat infeksi kuman terutama Streptokokus hemolitikus (50%) atau virus. Jenis Streptokokus meliputi Streptokokus hemolitikus, Streptokokus viridans dan Streptokokus piogenes. Bakteri penyebab tonsilitis akut lainnya meliputi Stafilokokus Sp., Pneumokokus, dan Hemofilus influenzae. Hemofilus influenzae menyebabkan tonsilitis akut supuratif. Tonsilitis akut paling sering terjadi pada anak-anak, terutama berusia 5 tahun dan 10 tahun. Penyebarannya melalui droplet infection, yaitu alat makan dan makanan. Anatomi Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring. Bagian terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller, di bawah mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.

11

Anatomi Tonsil

a.Tonsil Palatina Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:

Lateral m. konstriktor faring superior Anterior m. palatoglosus Posterior m. palatofaringeus Superior palatum mole Inferior tonsil lingual Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan linfoid). b. Fosa Tonsil Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring.12

c. Kapsul Tonsil Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat, yang disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para klinisi menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil. d. Plika Triangularis Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah. e. Pendarahan Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna, yaitu 1) A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A. palatina asenden; 2) A. maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden; 3) A. lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal; 4) A. faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan bagian posterior oleh A. palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal asenden dan A. palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal. f. Aliran getah bening Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M. Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada. g. Persarafan Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.

13

h. Imunologi Tonsil Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. i. Tonsil Faringeal (Adenoid) Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 37 tahun kemudian akan mengalami regresi.

14

Patologi Tonsilitis Akut Tonsil dibungkus oleh suatu kapsul yang sebagian besar berada pada fosa tonsil yang terfiksasi oleh jaringan ikat longgar. Tonsil terdiri dari banyak jaringan limfoid yang disebut folikel. Setiap folikel memiliki kanal (saluran) yang ujungnya bermuara pada permukaan tonsil. Muara tersebut tampak oleh kita berupa lubang yang disebut kripta. Saat folikel mengalami peradangan, tonsil akan membengkak dan membentuk eksudat yang akan mengalir dalam saluran (kanal) lalu keluar dan mengisi kripta yang terlihat sebagai kotoran putih atau bercak kuning. Kotoran ini disebut detritus. Detritus sendiri terdiri atas kumpulan leukosit polimorfonuklear, bakteri yang mati dan epitel tonsil yang terlepas. Tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Tonsilitis akut dengan detritus yang menyatu lalu membentuk kanal-kanal disebut tonsilitis lakunaris.

15

Detritus dapat melebar dan membentuk membran semu (pseudomembran) yang menutupi tonsil. Adanya pseudomembran ini menjadi alasan utama tonsilitis akut didiagnosa banding dengan angina Plaut Vincent, angina agranulositosis, tonsilitis difteri, dan scarlet fever. Diagnosis Tonsilitis Akut Penderita tonsilitis akut awalnya mengeluh rasa kering di tenggorok. Kemudian berubah menjadi rasa nyeri di tenggorok dan rasa nyeri saat menelan. Makin lama rasa nyeri ini semakin bertambah nyeri sehingga anak menjadi tidak mau makan. Nyeri hebat ini dapat menyebar sebagai referred pain ke sendi-sendi dan telinga. Nyeri pada telinga (otalgia) tersebut tersebar melalui nervus glossofaringeus (IX). Keluhan lainnya berupa demam yang suhunya dapat sangat tinggi sampai menimbulkan kejang pada bayi dan anak-anak. Rasa nyeri kepala, badan lesu dan nafsu makan berkurang sering menyertai pasien tonsilitis akut. Suara pasien terdengar seperti orang yang mulutnya penuh terisi makanan panas. Keadaan ini disebut plummy voice. Mulut berbau busuk (foetor ex ore) dan ludah menumpuk dalam kavum oris akibat nyeri telan yang hebat (ptialismus). Pemeriksaan tonsilitis akut ditemukan tonsil yang udem, hiperemis dan terdapat detritus yang memenuhi permukaan tonsil baik berbentuk folikel, lakuna, atau pseudomembran. Ismus fausium tampak menyempit. Palatum mole, arkus anterior dan arkus posterior juga tampak udem dan hiperemis. Kelenjar submandibula yang terletak di belakang angulus mandibula terlihat membesar dan ada nyeri tekan. Komplikasi Tonsilitis Akut Meskipun jarang, tonsilitis akut dapat menimbulkan komplikasi lokal yaitu abses peritonsil, abses parafaring dan otitis media akut. Komplikasi lain yang bersifat sistemik dapat timbul terutama oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus berupa sepsis dan infeksinya dapat tersebar ke organ lain seperti bronkus (bronkitis), ginjal (nefritis akut & glomerulonefritis akut), jantung (miokarditis & endokarditis), sendi (artritis) dan vaskuler (plebitis). Terapi Tonsilitis Akut Tonsilitis akut pada dasarnya termasuk penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-limiting disease) terutama pada pasien dengan daya tahan tubuh yang baik. Pasien dianjurkan istirahat16

dan makan makanan yang lunak. Berikan pengobatan simtomatik berupa analgetik, antipiretik, dan obat kumur yang mengandung desinfektan. Berikan antibiotik spektrum luas misalnya sulfonamid. Ada yang menganjurkan pemberian antibiotik hanya pada pasien bayi dan orang tua. Tonsilektomi dilakukan jika terdapat indikasi.

RHINITIS ALERGI

DEFINISI Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa terpapar yang oleh IgE. hidung alergen diperantarai

17

Symptom Rhinitis Alergy

ETIOLOGI Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting. Pada 20 30 % semua populasi dan pada 10 15 % anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50 %. Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi. Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain. PATOFISIOLOGI Sensitisasi Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang diawali oleh adanya proses sensitisasi terhadap alergen sebelumnya. Melalui inhalasi, partikel alergen akan tertumpuk di mukosa hidung yang kemudian berdifusi pada jaringan hidung. Hal ini menyebabkan sel Antigen Presenting Cell (APC) akan menangkap alergen yang menempel tersebut. Kemudian antigen tersebut akan bergabung dengan HLA kelas II membentuk suatu kompleks molekul MHC (Major Histocompability Complex) kelas II. Kompleks molekul ini akan dipresentasikan terhadap sel T helper (Th 0). Th 0 ini akan diaktifkan oleh sitokin yang dilepaskan oleh APC menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL9, IL10, IL13 dan lainnya.

18

IL4 dan IL13 dapat diikat reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel B menjadi aktif dan memproduksi IgE. IgE yang bersirkulasi dalam darah ini akan terikat dengan sel mast dan basofil yang mana kedua sel ini merupakan sel mediator. Adanya IgE yang terikat ini menyebabkan teraktifasinya kedua sel tersebut. Reaksi Alergi Fase Cepat Reaksi cepat terjadi dalam beberapa menit, dapat berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya. Mediator yang berperan pada fase ini yaitu histamin, tiptase dan mediator lain seperti leukotrien, prostaglandin (PGD2) dan bradikinin. Mediator-mediator tersebut menyebabkan keluarnya plasma dari pembuluh darah dan dilatasi dari anastomosis arteriovenula hidung yang menyebabkan terjadinya edema, berkumpulnya darah pada kavernosus sinusoid dengan gejala klinis berupa hidung tersumbat dan oklusi dari saluran hidung. Rangsangan terhadap kelenjar mukosa dan sel goblet menyebabkan hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Rangsangan pada ujung saraf sensoris (vidianus) menyebabkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin.

Hipersensitivity reaction

Reaksi Alergi Fase Lambat Reaksi alergi fase cepat terjadi setelah 4 8 jam setelah fase cepat. Reaksi ini disebabkan oleh mediator yang dihasilkan oleh fase cepat beraksi terhadap sel endotel postkapiler yang akan menghasilkan suatu Vascular Cell Adhesion Mollecule (VCAM) dimana molekul ini menyebabkan sel leukosit seperti eosinofil menempel pada sel endotel.

19

Faktor kemotaktik seperti IL5 menyebabkan infiltrasi sel-sel eosinofil, sel mast, limfosit, basofil, neutrofil dan makrofag ke dalam mukosa hidung. Sel-sel ini kemudian menjadi teraktivasi dan menghasilkan mediator lain seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO) yang menyebabkan gejala hiperreaktivitas dan hiperresponsif hidung. Gejala klinis yang ditimbulkan pada fase ini lebih didominasi oleh sumbatan hidung.Alergic Reaction

KLASIFIKASI Berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA tahun 2000, menurut sifat berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi:

Intermiten, yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu. Persisten, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan/atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.

bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

DIAGNOSIS Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:1. Anamnesis

Perlu ditanyakan gejala-gejala spesifik yang mengganggu pasien (seperti hidung tersumbat, gatal-gatal pada hidung, rinore, bersin), pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Karena rinitis alergi seringkali berhubungan dengan konjungtivitis alergi, maka adanya gatal pada mata dan lakrimasi mendukung diagnosis rinitis alergi. Riwayat keluarga merupakan petunjuk yang cukup penting dalam menegakkan diagnosis pada anak.2. Pemeriksaan Fisik

Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada20

dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosokgosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan sitologi hidung tidak memastikan diagnosis, tetapi berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak (5 sel/lapang pandang) menunjukkan kemungkinan alergi. Hitung jenis eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu penyakit. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan cara RAST (Radioimmuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Test). Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada dua macam tes kulit yaitu tes kulit epidermal dan tes kulit intradermal. Tes epidermal berupa tes kulit gores (scratch) dengan menggunakan alat penggores dan tes kulit tusuk (skin prick test). Tes intradermal yaitu tes dengan pengenceran tunggal (single dilution) dan pengenceran ganda (Skin Endpoint Titration SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat mengetahui alergen penyebab, juga dapat menentukan derajat alergi serta dosis inisial untuk imunoterapi. Selain itu, dapat pula dilakukan tes provokasi hidung dengan memberikan alergen langsung ke mukosa hidung. Untuk alergi makanan, dapat pula dilakukan diet eliminasi dan provokasi atau Intracutaneous Provocative Food Test (IPFT). PENATALAKSANAAN Terapi rinitis alergi umumnya berdasarkan tahap-tahap reaksi alergi, yaitu:

Tahap terjadinya kontak antara alergen dengan kulit atau mukosa hidung. Tahapan ini Tahap penetrasi alergen ke dalam jaringan subkutan/submukosa menuju IgE pada

diterapi dengan penghindaran terhadap alergen penyebab. permukaan sel mast atau basofil. Tahapan ini diterapi secara kompetitif dengan imunoterapi.

21

Tahapan ikatan Ag-IgE di permukaan mastosit/basofil, sebagai akibat lebih lanjut

reaksi Ag-IgE dimana dilepaskan histamin sebagai mediator. Tahapan ini dinetralisir dengan obat obatan antihistamin yang secara kompetitif memperebutkan reseptor H1 dengan histamin.

Tahap manifestasi klinis dalam organ target, dimana ditandai dengan timbulnya

gejala. Tahapan ini dapat diterapi dengan obat-obatan dekongestan sistematik atau lokal. Secara garis besar penatalaksanaan rinitis terdiri dari 3 cara, yaitu: Menghindari atau eliminasi alergen dengan cara edukasi, farmakoterapi, dan imunoterapi, sedangkan tindakan operasi kadang diperlukan untuk mengatasi komplikasi seperti sinusitis dan polip hidung. Pada dasarnya penyakit alergi dapat dicegah dan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:1. Pencegahan primer untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan dini terhadap

alergen. Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi yang mempunyai risiko atopi. Pada ibu hamil diberikan diet restriksi (tanpa susu, ikan laut, dan kacang) mulai trimester 3 dan selama menyusui, dan bayi mendapat ASI eksklusif selama 5-6 bulan. Selain itu kontrol lingkungan dilakukan untuk mencegah pajanan terhadap alergen dan polutan.2. Pencegahan sekunder untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada anak berupa

asma dan pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala alergi tahap awal berupa alergi makanan dan kulit. Tindakan yang dilakukan dengan penghindaran terhadap pajanan alergen inhalan dan makanan yang dapat diketahui dengan uji kulit.3. Pencegahan tersier untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya penyakit

alergi dengan penghindaran alergen dan pengobatan.

22

Daftar PustakaRusmarjono & Efiaty Arsyad Soepardi. Penyakit Serta Kelainan Faring & Tonsil dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT & Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. George LA. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : Adams, Boies, Higler (eds). Buku Ajar Penyakit THT, edisi 6. Jakarta : EGC ; 1997. hal 327-342. Bailey BJ, Johnson JT. Head and Neck Surgery-Otolaringology 3th edition volume 1. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins ; 2006. hal 1188-1197.

23

Peter A. Hilger, M.D. Penyakit Hidung. BOIES Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1997: hlm.210 Mark S Dykewicz, MD, et al. Diagnosis and Management of Rhinitis: Complete Guidelines of the Joint Task Force on Practice Parameters in Allergy, Asthma and Immunology. Annals of allergy, asthma, & immunology. Volume 81, november (part II), 1998 : hlm. 478

24