99
FARING 1. Anatomi Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang berbentuk corong yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke VI. Pada bagian atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, pada bagian depan berhubungan dengan mulut melalui istmus orofaring, sedangkan laring di bawah berhubungan melalui additus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm. bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir , fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.

Kelainan Tonsil

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jkkd

Citation preview

Page 1: Kelainan Tonsil

FARING

1. Anatomi

Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang berbentuk corong yang besar

di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak

terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke VI. Pada bagian atas,

faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, pada bagian depan

berhubungan dengan mulut melalui istmus orofaring, sedangkan laring di bawah

berhubungan melalui additus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus.

Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm. bagian ini

merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari

dalam keluar) selaput lendir , fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian

fasia bukofaringeal.

Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). Unsur

– unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot.

Mukosa pada nasofaring karena fungsinya sebagai saluran respirasi maka

mukosanya bersilia sedangkan epitel toraknya berlapis mengandung sel goblet.

Laringofaring dan orofaring karena memiliki fungsi untuk pencernaan, epitelnya

gepeng berlapis dan tidak bersilia. Faring merupakan pertahanan tubuh terdepan, di

sepanjang faring terdapat banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam rangkaian

jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial sistem

Page 2: Kelainan Tonsil

Pada nasofaring bagian atas ditutupi oleh palut lendir yang terletak di atas

silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir fungsinya

untuk menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang diisap dan

mengandung enzyme lyzozyme yang penting untuk proteksi.

Otot-otot faring terususn dalam lapisan melingkar (sirkular) dan

memamnjang (longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m. konstriktor faring

superior, media dan inferior. Otot-otot ini terletak diluar berbentuk kipas dengan

tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Kerja

otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring, otot-otot ini dipersarafi oleh n.

Vagus (n. X). Sedangkan oto-otot yang longitudinal adalah m.stilofaring dan

m.palatofaring. Letak otot-otot ini sebelah dalam. m. stilofaring fungsinya untuk

melebarkan faring dan menarik larik sedangkan m.palatofaring mempertemukan

ismus orofaring dan menaikan bagian bawah faring dan laring. Kedua otot ini bekerja

sebagai elevator dan penting pada saat menelan. m.stilofaring di persarafi oleh n.IX

dan m. palatofaring dipersarafi oleh n.X

Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu

sarung fasia dari mukosa yaitu m. elevator veli palatine, m. tensor veli palatini, m.

palatoglosus, m. palatofaring dan m.azigos uvula.

m. elevator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan

kerjanya untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba

Eustachius. Otot ini dipersarafi oleh n.X

m. tensor veli palatini membentuk tenda palatum mole dan kerjanya untuk

mengencangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba Eustachius,

dipersarafi oleh n.X

m. palatoglosus membentuk arkus anterior faring dan kerjanya

menyempitkan ismus faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X. m. palatofaring

membentuk arkus posterior dipersarafi oleh n.X. m. azigos uvula otot kecil,

memperpendek dan menaikan uvula ke belakang atas. Dipersarafi oleh n.X

Faring mendapatkan darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak

beraturan. Yang utama dari cabagng a. karotis eksterna (cabang faring ascenden dan

cabang fausial) serta dari cabang palatini superior.

Page 3: Kelainan Tonsil

Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasala dari fleksus faring

yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari nervus vagus, cabang dari

n. glosofaring dan serabut simpatis. Cabagng faring dari n. vagus berisi serabut

motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot

faring kecuali m.stilofaring yang dipersarafi langsung oleh cabang n.glosofaring (n.

IX).

Aliran limfe dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior, media

dan inferior. Saluran limfe superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan

kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar

getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran

limfe inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam bawah.1,2

2. Fisiologi

Fungsi faring terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi

suara, dan untuk artikulasi.

- Fungsi faring dalam proses berbicara

Proses menelan dan berbicara terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan

faring. Geraka ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding

belakang. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.

salpingofaring dan m. palatofaring, kemudian m.levator veli palatini bersama-sama

m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli

palatini menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior

faring. Jarak yang terisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) passavant pada dinding

belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring

sebagai hasil gerakan m.palatofaring (bersama m.salpingofaring) dan oleh kontraksi

aktif m. konstriktor faring superior. Mungkin 2 gerakan ini tidak bekrja pada waktu

yang sama. Tonjolan passavant ada yang menduga menetap pada periode fonasi,

tapi ada juga pendapat lain akan timbul dan hilang bersamaan dengan gerakan

palatum.

- Fungsi menelan

Terdapat 3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase faringal dan esofagal.

Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini disengaja

Page 4: Kelainan Tonsil

(voluntary). Fase faringal yaitu pada waktu transport bolus makanan melalui faring.

Gerakan disini tidak disengaja (involuntary). Fase esofagal, disini gerakannya tidak

disengaja, yaitu pada waktu bolus makana bergerak secara peristaltik di esofagus

menuju lambung.

3. Kelainan faring

Faringitis

Definisi

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh

virus (40 - 60%), bakteri (5 – 40%), alergi, trauma, toksin dan lain – lain.

Faringitis akut adalah suatu sindrom inflamasi dari faring dan/atau tonsil yang

disebabkan oleh beberapa grup mikroorganisme yang berbeda. Faringitis dapat

menjadi bagian dari infeksi saluran napas atas atau infeksi lokal didaerah faring.

Faringitis kronis adalah faringitis yang terjadi setelah serangan akut yang

berkali – kali.

Odinofagia atau nyeri tenggorok merupakan gejala yang sering dikeluhkan

akibat adanya kelainan atau peradangan di daerah nasofaring, orofaring dan

hipofaring.

2.2 Epidemiologi

Page 5: Kelainan Tonsil

Faringitis dapat terjadi pada semua umur dan tidak dipengaruhi jenis

kelamin, dengan frekuensi yang lebih tinggi terjadi pada populasi anak-anak.

Faringitis akut jarang ditemukan pada usia di bawah 1 tahun. Insidensinya meningkat

dan mencapai puncaknya pada usia 4-7 tahun, tetapi tetap berlanjut sepanjang akhir

masa anak-anak dan kehidupan dewasa. Kematian yang diakibatkan faringitis jarang,

tetapi dapat terjadi sebagai hasil dari komplikasi penyakit ini.

2.3 Patofisiologi

Penularan terjadi melalui droplet. Virus dan bakteri menginfiltrasi lapisan

epitel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi

pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium

awal terdapat hiperemi, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Eksudat

mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cendrung menjadi kering dan

dapat melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding faring

menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu terdapat

dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak

pada dinding faring posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi meradang dan

membengkak.

2.4 Faringitis terbagi atas :

1. Faringitis akut

a. Faringitis viral

Rinovirus menimbulkan gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian akan

menimbulkan faringitis.

Gejala dan tanda

Demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menalan.

Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza,

coxsachievirus dan cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat.

Coxachievirus dapat menimbulkan lesi vesicular di orofaring dan lesi kulit

berupa maculopapular rash.

Page 6: Kelainan Tonsil

Adenovirus selain menimbulkan gejala faringitis, juga menimbulkan

gejala konjungtivitis terutama pada anak.

Epstein Barr Virus (EBV) menyebabkan faringitis yang disertai produksi

eksudat pada faring yang banyak. Terdapat pembesaran kelenjar limfa

diseluruh tubuh terutama retroservikal dan hepatosplenomegali.

Faringitis yang disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri

tenggorok, nyeri menelan, mual, dan demam. Pada pemeriksaan tampak

faring hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut dileher dan pasien

tampak lemah.

Terapi

Istirahat dan minum yang cukup. Kumur dengan air hangat.

Analgetika jika perlu dan tablet isap.

Antivirusmetisoprinol (Isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes

simpleks dengan dosis 60 – 100 mg/kgBB dibagi dalam 4 – 6 kali

pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak < 5 tahun diberikan 50

mg/kgBB dibagi dalam 4 – 6 kali pemberian/hari.

b. Faringitis bacterial

Infeksi grup A Stretokokus β hemolitikus merupakan penyebab

faringitis akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%).

Gejala dan tanda

Nyeri kepala yang hebat, muntah, kadang – kadang disertai

demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk.

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil

hiperemis dan terdapat eksudat dipermukaannya. Beberapa hari

kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar

limfe leher anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan.

Terapi

Page 7: Kelainan Tonsil

a. Antibiotik

Dieberikan terutama bila diduga penyebab faringitis akut ini grup A

Streptokokus β hemolitikus. Penicillin G Banzatin 50.000 U/kgBB IM

dosis tunggal, atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari

selama 10 hari dan pada dewasa 3 x 500 mg selama 6 – 10 hari atau

erotromisin 4 x 500 mg/hari.

b. Kortikosteroid : deksametason 8 – 16 mg, IM, 1 kali. Pada anak 0,08 –

0,3 mg/kgBB, IM, 1 kali.

c. Analgetika

d. Kumur dengan air hangat atau antiseptik

c. Faringitis fungal

Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring.

Gejala dan tanda

Keluhan nyeri tenggorok dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak

plak putih di orofaring dan mukosa faring lainnya hiperemis.

Pembiakan jamur ini dilakukan dalam agar Sabouroud dextrose.

Terapi

a. Nystatin 100.000 – 400.000 2 kali/hari.

b. Analgetika

d. Faringitis gonorea

Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontok orogenital.

Terapi

Sefalosporin generasi ke-3, Ceftriakson 250 mg, IM.

2. Faringitis kronik

Faringitis yang terjadi setelah serangan akut yang berkali – kali.

Page 8: Kelainan Tonsil

Patofisiologi

Pada proses radang kronis terdapat 2 bentuk, hipertrofi/hyperplasia dan

atrofi. Karena proses radang berulang, maka selain epitel terkikis,

sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti jaringan

parut.

Differensial Diagnosis

- Radang spesifik : TBC, jamur dan sifilis.

- Radang non-spesifik

- Keganasan

Pemeriksaan penunjang

- Laboratorium darah, urine rutin

- Bakteriologi

- Biopsi

Terdapat dua bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis

kronik atrofi. Faktor predisposisi proses radang kronik di faring ini ialah

rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alcohol, inhalasi uap

yang merangsang mukosa faring dan debu. Faktor lain penyebab terjadinya

faringitis kronik adalah pasien yang biasa bernapas melalui mulut karena

hidungnya tersumbat.

a. Faringitis kronik hiperplastik

Pada faringitis kronik hiperplastik terjdai perubahan mukosa dinding

posterior faring. Tampak kelenjar limfa dibawah mukosa faring dan lateral

band hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior

tidak rata, bergranular.

Gejala

Pasien mengeluh mula – mula tenggorok kering, gatal dan akhirnya batuk

yang bereak.

Page 9: Kelainan Tonsil

Terapi

Terapi local dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia

larutan nitras argenti atau dengan listrik (electro cauter). Pengobatan

simptomatis diberikan obat kumur atau tablet isap. Jika diperlukan dapat

diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran. Penyakit di hidung dan

sinus paranasal harus diobati.

b. Faringitis kronik atrofi

Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi.

Pada rhinitis atrofi, udara pernapasan tidak diatur suhu lembabannya,

sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring.

Gejala dan tanda

Pasien menegeluh tenggorok kering serta mulut berbau.

Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental

dan bila diangkat tampak mukosa kering.

Terapi

Pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofinya dan untuk faringitis kronik

atrofi ditambahkan dengan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut.

Faringitis Virus Faringitis Bakteri

Biasanya tidak ditemukan nanah di

tenggorokan

Sering ditemukan nanah di tenggorokan

Demam ringan atau tanpa demam Demam ringan sampai sedang

Jumlah sel darah putih normal atau agak

meningkat

Jumlah sel darah putih meningkat ringan

sampai sedang

Kelenjar getah bening normal atau sedikit

membesar

Pembengkakan ringan sampai sedang

pada kelenjar getah bening

Tes apus tenggorokan memberikan hasil

negatif

Tes apus tenggorokan memberikan hasil

positif untuk strep throat

Page 10: Kelainan Tonsil

Pada biakan di laboratorium tidak

tumbuh bakteri

Bakteri tumbuh pada biakan di

laboratorium

3. Faringitis spesifik

a. Faringitis luetika

Treponema palidum dapat menimbulkan infeksi di daerah faring seperti

juga penyakit lues di organ lain.

Gambaran kliniknya tergantung pada stasium penyakit primer, sekunder

atau tertier.

Stadium primer

Kelainan pada stasium primer terdapat pada lidah, palatum mole, tonsil

dan dinding posterior faring berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi

terus berlangsung maka timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus

pada genitalia yang tidak nyeri. Juga di dapatkan pembesaran kelenjar

mandibula yang tidak nyeri tekan.

Stadium sekunder

Stadium ini jarang ditemukan. Terdapat eritema pada dinding faring yang

menjalar kea rah laring.

Stadium tertier

Pada stasium ini terdapat guma. Predileksinya pada tonsil dan palatum.

Jarang pada dinding posterior faring. Guma pada dinding posterior faring

dapat meluas ke vertebra servikal dan bila pecah dapat menyebabkan

kematian. Guma yang terdapat di palatum mole, bila sembuh akan

terbentuk jaringan parut yang dapat menimbulkan gangguan fungsi

palatum secara permanen.

Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan serologik. Terapi penisilin

dalam dosis tinggi merupakan obat pilihan utama.

b. Faringitis tuberkulosa

Page 11: Kelainan Tonsil

Faringitis tuberculosis merupakan proses sekunder dari tuberculosis

paru. Pada infeksi kuman tahan asam jenis bovinum dapat timbul

tuberculosis faring primer. Cara infeksi eksogen yaitu kontak dengan

sputum yang mengandung kuman atau inhalasi kuman melalui udara.

Cara infeksi endogen yaitu penyebaran melalui darah pada

tuberculosis miliaris. Bila infeksi timbul secara hematogen maka tonsil

dapat terkena pada kedua sisi dan lesi sering ditemukan pada dinding

posterior faring, arkus faring anterior, dinding lateral hipofaring, palatum

mole dan palatum durum. Kelenjar regional leher membengkak. Saat ini

juga penyebaran secara limfogen.

Gejala

Keadaan umum pasien buruk karena anoreksia dan odinofagia. Pasien

mengeluh nyeri yang hebat ditenggorok, nyeri ditelinga atau otalgia serta

pembesaran kelenjar limfa servikal.

Diagnosis

Untuk mengakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan sputum basil

tahan asam, foto thoraks untuk melihat adanya tuberculosis paru dan

biopsy jaringan yang terinfeksi untuk menyingkirkan proses keganasan

serta mencari kuman basil tahan asam di jaringan.

Terapi

Sesuai dengan terapi tuberculosis paru.

3.2 LIMFADENITIS TB

Limfadenitis tuberkulosis adalah limfadenitis kronis non spesifik yang

biasanya disebabkan bakteri mikobakterium tuberkulosis tipe bovin.

Fokal infeksi biasanya bukan berasal dari koch pulmonum (tuberkulosa ekstra

pulmonal). Infeksi terutama melalui mukosa orofaring.

Limfadenitis tuberkulosis sering terjadi pada orang dengan higiene yang kurang

baik.

Page 12: Kelainan Tonsil

Ciri khas limfadenitis tuberkulosis antara lain ditemukan pembesaran

kelenjar getah bening multipel, dapat terjadi periadenitis yang menggerombol

seperti untaian mutiara, dan keluar perkejuan pada permukaan kulit

(skrofuloderma). berbatas tegas, diskrit tetapi jika tidak di obati dapat besifat

fluktuatif seperti cold abscses

Untuk diagnosis, untuk daerah yang tidak mempunyai fasilitas

mencukupi biasa dapat menegakan diagnosis berdasarkan klinis, tetapi

walaupun begitu sangat direkomendasikan untuk melakukan biopsi jarum

halus (FNAB). Dari hasil FNAB ini biasanya dilakukan pemeriksaan

mycobacterium tuberkulosis baik untuk BTA (Basil tahan asam) saja atau dapat

juga dilakukan kultur. Untuk kondisi tertentu dapat dilakukan biopsi jaringan

jika pembesaran KGB tersebut diragukan dengan kemungkinan diagnosis lain.

Mengenai pengobatan (ini yang paling banyak ditanyakan), pada

prinsipnya sama dengan pengobatan pada Tuberkulosis paru. Saat ini

direkomendasikan pengobatan dengan menggunakan obat paru lini pertama

(selain injeksi streptomycin) dengan kombinasi 4 obat selama 2 bln dan

dilanjutkan INH, Rifampicin selama 4 bln. Atau dapat diberikan dengan

kombinasi 3 jenis obat dan dilanjutkan dengan INH dan Rifampicin selama 7

bulan. Mengenai suntikan streptomycin untuk limfadenits maka saat ini tidak

direkomendasikan oleh WHO. Hal ini juga dibuktikan oleh BTS (British Thoracic

Society) yang melakukan clinical trial menggunakan suntikan streptomycin dan

hasilnya memperlihatkan tidak jauh lebih baik dibanding kombinasi HRZE (INH,

Rifampicin, Pyrazinamid dan Etambutol).

Farokah, Suprihati, Slamet Suyitno. Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas

Kedokteran Universitas Diponegoro/ SMF Kesehatan THT-KL Rumah Sakit Dr.

Kariadi Semarang, Indonesia. Hubungan Tonsilitis Kronik dengan Prestasi Belajar

pada Siswa Kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang. Semarang. 2007.

Page 13: Kelainan Tonsil

Referensi :

Guyton, AC,Hall,JE, Buku Ajar Fisiologi-Kedokteran, 1997, editor : Irawati setiawan, ed.9.

jakarta : EGC

Soedjak Sardjono, dkk. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung & Tenggorok. Jakarta : EGC.

2000.

Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Penyakit

Teling, Hidung dan Tenggorok. Surabaya: RSU Dr.Soetomo.2005

Page 14: Kelainan Tonsil

TONSIL

1. ANATOMI

a. Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid permanen dan

ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Tonsil berfungsi

membantu menyaring bakteri dan mikroorganisme lainnya sebagai tindakan

pencegahan terhadap infeksi.

Berdasarkan lokasinya, tonsil dibagi menjadi sebagai berikut :

- Tonsilla lingualis (tonsil pangkal lidah), terletak pada radix linguae.

- Tonsilla palatina (tonsil faucial), terletak pada isthmus faucium antara

arcusglossopalatinus dan arcus glossopharingicus.

- Tonsilla pharingeal (adenoid), terletak pada dinding dorsal dari nasofaring.

- Tonsilla tubaria (lateral band dinding faring), terletak pada bagian lateral

nasofaring di sekitar ostium tuba auditiva.

- Plaques dari peyer (tonsil perut), terletak pada ileum

Dari kelima macam tonsil tersebut, tonsila lingualis, tonsila palatine, tonsila

pharingica dan tonsilla tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu

masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan cincin

waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara

dan makanan. Jaringan limfe pada cincin waldeyer menjadi hipertropi fisiologis

pada anak-anak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada umur 5 tahun dan

kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas.

Page 15: Kelainan Tonsil

Jaringan limfoid pada cincin waldeyer berperan penting pada awal

kehidupan, yaitu sebagai daya pertahanan lokal yang setiap saat berhubungan

dengan agen dari luar (makan, minum, bernafas) dan sebagai surveilens imun.

Fungsi ini didukung secara anatomis dimana didaerah faring terjadi tikungan

untuk jalannya material yang melewatinya disamping itu bentuknya tidak datar,

sehingga terjadi turbulensi khususnya udara pernafasan. Dengan demikian

kesempatan kontak berbagai agen yang ikut dalam proses fisiologis tersebut

pada permukaan penyusun cincin waldeyer itu semakin besar

Page 16: Kelainan Tonsil

b. Tonsil palatina

Tonsil palatine (yang biasanya disebut tonsil saja) dan adenoid (tonsil faringeal)

merupakan bagian terpenting dari cincin waldeyer. Tonsil palatina adalah masa

jaringan limfoid yang terletak di dalam fossa tonsil pada kedua sudut orofaring

dan dibatasi oleh arkus faring anterior/pilar anterior (otot palatoglosus) dan

arkus faring posterior/pilar posterior (otot palatofaringeus). Palatoglosus

mempunyai origo seperti kipas di permukaan oral palatum mole dan berakhir

pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang tersusun vertikal dan

di atas melekat pada palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak. Otot

ini meluas ke bawah sampai ke dinding atas esofagus. Otot ini lebih penting

daripada palatoglosus dan harus diperhatikan pada operasi tonsil agar tidak

melukai otot ini. Kedua pilar bertemu diatas untuk bergabung dengan palatum

mole. Di inferior akan berpisah dan memasuki jaringan pada dasar lidah dan

leteral dinding faring.

Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsila palatina adalah :

- Anterior: arcus palatoglossus

- Posterior: arcus palatopharyngeus

- Superior: palatum mole

- Inferior: 1/3 posterior lidah

- Medial : ruang orofaring

- Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior oleh

jaringan areolar longgar. A. carotis interna terletak 2,5 cm di belakang dan

lateral tonsila, terletak di dalam fossa tonsilaris. Kapsul tonsil ini tidak

melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada

tonsilektomi.

Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai

10-30 kriptus yang meluas kedalam jaringan tonsil. Epitel yang melapisi tonsil

Page 17: Kelainan Tonsil

ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya

ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri,dan sisa makanan.

Tonsil tidak mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong di atasnya

dikenal sebagai fossa supra tonsilaris. Fossa ini berisi jaringan ikat jarang dan

biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Bagian

luar tonsil terikat longgar pada muskulus konstriktor faring superior, sehingga

tertekan setiap kali makan.

Walaupun tonsil terletak di orofaring karena perkembangan yang

berlebih tonsil dapat meluas ke arah nasofaring sehingga dapat menimbulkan

insufisiensi velofaring atau obstruksi hidung walau jarang ditemukan. Arah

perkembangan tonsil tersering adalah ke arah hipofaring, sehingga sering

menyebabkan terjaganya anak saat tidur karena gangguan padajalan nafas.

Secara mikroskopik mengandung 3 unsur utama yaitu :

- Jaringan ikat/trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf

dan limfa.

- Folikel germinativum dan sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda.

- Jaringan interfolikuler yang terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai

stadium.

Page 18: Kelainan Tonsil

c. Histologi

Potongan dari tonsil, menunjukkan epitel-

epitel (f) yang akan berlanjut keluar ke kripte-kripte dari tonsil

d. Vaskularisasi dan Aliran Getah Bening

Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang a. karotis eksterna

yaitu: a.maksilaris eksterna (a. fasialis) yang mempunyai cabang a. tonsilaris

dan a. palatina asenden, a. maksilaris interna dengan cabangnya yaitu

a.palatina desenden, a. lingualis dengan cabangnya yaitu a. lingualis dorsal

dan a. faringeal asenden. a. tonsilaris berjalan ke atas dibagian luar m.

konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole.

Arteri palatina asenden, mengirim cabang-cabangnya melalui m. konstriktor

posterior menuju tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan

cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m. konstriktor superior. Arteri

lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika

Page 19: Kelainan Tonsil

anterior dan plika posterior. Arteri palatina desenden atau a.palatina

posterior memberi vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan

membentuk anastomosis dengan a. palatina asenden. vena-vena dari tonsil

membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.

Aliran getah bening dari daerah tonsil menuju ke rangkaian getah bening

servikal profunda (deep jugular node) bagian posterior di bawah m.

sternokleidomastoideus. Selanjutnya ke kelenjar thoraks dan akhirnya

menuju duktuli thorasikus. Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh

melalui perjalanan aliran getah bening.

e. Innervasi

Inervasi tonsil bagian atas berasal dari serabut saraf V melalui ganglion

sphenopalatina dan bagian bawah dari saraf glossofaringeus (N.IX).

Pemotongan pada n. IX menyebabkan anastesia pada semua bagian tonsil.

f. Imunologi tonsil

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-

0,2 % dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B

dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-57%:15-30%. Pada

tonsil terdapat system imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel

membrane), makrofag, sel dendrite dan APCs (antigen presenting cells) yang

berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi

sintesis immunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel

plasma dan sel pembawa IgG.

Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk

diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil

mempunyai 2 fungsi utama yaitu :

1.) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif

2.) sebagai organ utamaproduksi antibody dan sensitisasi sel limfosit T

dengan antigen spesifik

Page 20: Kelainan Tonsil

2. Kelainan tonsil

Tonsilitis

I. DEFINISI

Tonsillitis adalah inflamasi pada tonsila palatine yang disebabkan oleh infeki virus

atau bakteri yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer.

II. PATOGENESIS

Saat bakteri dan virus masuk ke dalam tubuh melalui hidung atau mulut, tonsil

berfungsi sebagai filter/penyaring menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut

dengan sel-sel darah putih. Hal ini akan memicu sistem kekebalan tubuh untuk

membentuk antibodi terhadap infeksi yang akan datang. Tetapi bila tonsil sudah

tidak dapat menahan infeksi dari bakteri atau virus tersebut maka akan timbul

tonsilitis.

III. JENIS

Dalam beberapa kasus ditemukan 3 macam tonsilitis, yaitu tonsilitis akut,

tonsilitis membranosa, dan tonsilitis kronis.

4.1. Tonsilitis akut

a. Tonsilitis viral

Gejala tonsillitis viral lebih menyerupai commond cold yang disertai rasa nyeri

tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Haemofilus

influenza merupakan penyebab tonsillitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi

coxchakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka kecil pada

palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien.

Page 21: Kelainan Tonsil

Terapi

Istirahat, minum cukup, analgetika, dan antivirus diberika jika gejala berat.

b. Tonsilitis bakterial

Etiologi

Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus β hemolitikus,

pneumokokus, Streptokokus viridan, dan Streptokokus pyogenes. Hemofilus

influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif.

Patofisiologi

Penularan penyakit ini terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel,

kemudian bila kuman ini mengikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi, terjadi

pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear sehingga

terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan

epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak

sebagai bercak kuning.

Page 22: Kelainan Tonsil

Detritus

Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila

bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi

tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk membran

semu (pseudomembrane) yang menutupi tonsil.

Manifestasi klinik

Gejala dan tanda-tanda yang ditemukan dalam tonsillitis akut ini meliputi demam

dengan suhu tubuh yang tinggi, nyeri tenggorok dan nyeri sewaktu menelan, nafas

yang berbau, rasa lesu, rasa nyeri di persendian, tidak nafsu makan, dan rasa nyeri di

telinga (otalgia). Rasa nyeri ditelinga ini karena nyeri alih (referred pain) melalui saraf

n.glosofaringius (n.IX). Pada pemeriksaan juga akan nampak tonsil membengkak,

hiperemis, dan terdapat detritus berbentuk folikel, lacuna atau tertutup oleh

membrane semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan.

Komplikasi

Otitis media akut (pada anak-anak), abses peritonsil, abses parafaring, toksemia,

septicemia, bronchitis, nefritis akut, miokarditis, dan arthritis.

Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas melalui mulut, tidur

mendengkur (ngorok), gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea yang dikenal

sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS)

Pemeriksaan

Page 23: Kelainan Tonsil

1. Tes Laboratorium

Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan apakah bakteri yang ada dalam

tubuh pasien merupkan bakteri grup A, karena grup ini disertai dengan demam

reumatik, glomerulonefritis.

2. Pemeriksaan penunjang

Kultur dan uji resistensi bila diperlukan.

Terapi

Dengan menggunakan antibiotik spectrum lebar dan sulfonamide, antipiretik, dan

obat kumur yang mengandung desinfektan.

Perawatan

Perawatan yang dilakukan pada penderita tonsillitis biasanya dengan perawatan

sendiri dan dengan menggunakan antibiotic. Tindakan operasi hanya dilakukan jika

sudah mencapai tonsillitis yang tidak dapat ditangani sendiri.

a. Perawatan sendiri

Apabila penderita tonsilitis diserang karena virus sebaiknya biarkan virus itu hilang

dengan sendirinya. Selama satu atau dua minggu sebaiknya penderita banyak

istirahat, minum minuman hangat.

b. Antibiotik

Jika tonsilitis disebabkan oleh bakteri maka antibiotik yang akan berperan dalam

proses penyembuhan. Antibiotik oral perlu dimakan selama setidaknya 10 hari.

c. Tindakan operasi

Tonsilektomi biasanya dilakukan jika pasien mengalami tonsilitis selama tujuh kali

atau lebih dalam setahun, pasien mengalami tonsilitis lima kali atau lebih dalam dua

tahun, tonsil membengkak dan berakibat sulit bernafas, adanya abses.

Page 24: Kelainan Tonsil

4.2. Tonsilitis membranosa

Ada beberapa macam penyakit yang termasuk dalam tonsillitis membranosa

beberapa diantaranya yaitu Tonsilitis difteri, Tonsilitis septic, serta Angina Plaut

Vincent, penyakit kelainan darah seperti leukemia akut, anemia pernisiosa,

neutropenia maligna serta infeksi mononucleosis, proses spesifik luas dan

tuberculosis, infeksi jamur moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis, serta infeksi

virus morbili, pertusis, dan skarlatina.

a. Tonsilitis difteri

Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada bayi

dan anak.

Etiologi

Penyebab penyakit ini adalah kuman Corynebacterium diphteriae yaitu suatu

bakteri gram positif pleomorfik penghuni saluran pernapasan atas yang dapat

menimbulkan abnormalitas toksik yang dapat mematikan bila terinfeksi bakteriofag.

Patofisiologi

Bakteri masuk melalui mukosa lalu melekat serta berkembang biak pada

permukaan mukosa saluran pernapasan atas dan mulai memproduksi toksin yang

merembes ke sekeliling lalu selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalu

Page 25: Kelainan Tonsil

pembuluh darah dan limfe. Toksin ini merupakan suatu protein yang mempunyai 2

fragmen yaitu aminoterminal sebagai fragmen A dan fragmen B, carboxyterminal

yang disatukan melalui ikatan disulfide.

Manifestasi klinis

Tonsillitis difteri ini lebih sering terjadi pada anak-anak pada usia 2-5 tahun.

Penularan melalui udara, benda atau makanan, dan uang terkontaminasai dengan

masa inkubasi 2-7 hari. Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu:

1. Gejala umum dari penyaki ini adalah terjadi kenaikan suhu subfebris, nyeri

menelan, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, dan nadi lambat.

2. Gejala local berupa nyeri tenggorok, tonsil membengkak ditutupi bercak

putih kotor makin lama makin meluas dan menyatu membentuk membran semu.

Membran ini melekat erat pada dasar dan bila diangkat akan timbul pendarahan.

Jika menutupi laring akan menimbulkan serak dan stridor inspirasi, bila menghebat

akan terjadi sesak nafas. Bila infeksi tidak terbendung, kelenjar limfa leher akan

membengkak menyerupai leher sapi (bull neck).

Membran difteri

Page 26: Kelainan Tonsil

Bull neck

3. Gejala eksotoksin akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada

jantung berupa miokarditis sampai dekompensasi cordis, mengenai saraf kranial

menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan, dan pada ginjal

menimbulkan albuminuria.

Diagnosis

Diagnosis tonsilitis difteri harus dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis karena

penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa penderita. Pemeriksaan preparat

langsung diidentifikasi secara fluorescent antibody technique yang memerlukan

seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C, difteri dengan pembiakan pada media

Loffler dilanjutkan tes toksinogenesitas secara vivo dan vitro. Cara PCR (Polymerase

Chain Reaction) dapat membantu menegakkan diagnosis tapi pemeriksaan ini mahal

dan masih memerlukan pengawasan lebih lanjut untuk menggunakan secara luas.

Pemeriksaan

1. Tes Laboratorium

Dilakukan dengan cara preparat langsung kuman (dari permukaan bawah membrane

semu). Medium transport yang dapat dipakai adalah agar Mac conkey atau Loffler.

2. Tes Schick (tes kerentanan terhadap difteria) : Caranya dengan 0,1 ml toksin

difteri yang telah didilusikan disuntikkan intradermal. Hasil positif jika timbul

Page 27: Kelainan Tonsil

kemerahan dan edema setelah penyuntikkan yang akan hilang dalam beberapa hari,

menunjukkan bahwa antibodi pasien tersebut tidak mampu melawan difteri

(diameter 5-10 mm). Hasil pseudopositif jika hanya terdapat kemerahan dan hilang

dengan cepat. Hasil negatif jika kemerahan dan edema tidak muncul.

Terapi

Anti difteri serum diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur dengan dosis

20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit.

Tujuan dari pengobatan penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang

belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi

minimal, mengeliminasi C.diphteria untuk mencegah penularan serta mengobati

infeksi penyerta dan penyulit difteri. Secara umum dapat dilakukan dengan cara

istirahat selama kurang lebih 2 minggu serta pemberian cairan.

Secara khusus dapat dilakukan dengan pemberian :

a. Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS)

b. Antibiotik : untuk menghentikan produksi toksin, yaitu Penisilin atau Eritromisin

25 – 50 mg/KgBB dibagi dalam 3 dosis selama 14 hari.

c. Kortikosteroid : diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran

nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik. Dengan dosis 1,2

mg per kg berat badan per hari. Antipiretik untuk simtomatis. Karena penyakit ini

menular, pasien harus diisolasi. Perawatan harus istirahat di tempat tidur selama 2 –

3 minggu.

d. Pengobatan penyulit : untuk menjaga agar hemodinamika penderita tetap baik

oleh karena penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversible.

e. Pengobatan carrier : ditujukan bagi penderita yang tidak mempunyai keluhan.

Komplikasi

Laryngitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke laring dan

menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda usia pasien makin cepat timbul

komplikasi ini.

Page 28: Kelainan Tonsil

Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung.

Kelumpuhan otot palatum mole, kelumpuhan otot mata, otot faring laring sehingga

suara parau, kelumpuhan otot pernapasan.

Albuminuria sebagai akibat komplikasi ginjal.

Pencegahan

Untuk mencegah penyakit ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan pada diri

anak serta memberikan penyuluhan tentang penyakit ini pada anak-anak. Selain itu

juga diberikan imunisasi yang terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan carrier.

Tes kekebalan

1. Kekebalan aktif diperoleh dengan cara inapparent infection dan imunisasi

dengan toksoid diphtheria.

2. Kekebalan pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap

diphtheria (sampai 6 bulan) dan suntikan antitoksin (2-3 minggu).

b. Tonsillitis septic

Penyebab dari tonsillitis ini adalah Streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam

susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. Oleh karena itu perlu adanya pasteurisasi

sebelum mengkonsumsi susu sapi tersebut.

c. Angina plaut Vincent

Etiologi

Penyakit ini disebabkan karena kurangnya hygiene mulut, defisiensi vitamin C serta

kuman spirilum dan basil fusi form.

Manifestasi klinis

Penyakit ini biasanya ditandai dengan demam sampai 39o celcius, nyeri kepala,

badan lemah, dan terkadang terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut,

hipersalivasi, gigi, dan gusi berdarah.

Page 29: Kelainan Tonsil

Pemeriksaan

Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membrane putih keabuan di atas

tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau dan kelenjar

submanibula membesar.

Pengobatan

Memperbaiki hygiene mulut, antibiotika spectrum lebar selama 1 minggu, juga

pemberian vitamin C dan B kompleks.

d. Penyakit kelainan darah

Tidak jarang tanda pertama leukimia akut, angina agranulositosis dan infeksi

mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu. Kadang –

kadang terdapat perdarahan diselaput lendir mulut dan faring serta pembesaran

kelenjar submandibula.

Leukimia akut

Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan dimukosa mulut, gusi dan

dibawah kulit sehingga timbul bercak kebiruan. Tomsil membengkak ditutupi

membran semu tetapi tidak hiperemis dan rasa nyeri yang hebat ditenggorok.

Angina agranulositosis

Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan amidopirin, sulfa dan arsen.

Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan faring serta disekitar ulkus

tampak gejala radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan digenitalia dan saluran cerna.

Infeksi mononukleosis

Pada penyakit ini terjadi tonsilo faringitis ulsero membranosa bilateral. Membran

semu yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan. Terdapat

pembesaran kelenjar limfa leher, ketiak, dan regioinguinal. Gambaran darah khas

yaitu terdapat leukosit mononukleus dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain

adalah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah

domba (reaksi Paul Bunnel).

Page 30: Kelainan Tonsil

4.3. Tonsilitis kronis

Tonsillitis kronis adalah peradangan kronis yang mengenai seluruh jaringan tonsil

yang umumnya didahului oleh suatu keradangan di bagian tubuh lain, seperti

misalnyasinusitis, rhinitis, infeksi umum seperti morbili dan sebagainya.

Tonsillitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan

tidakjarang tonsil tampak sehat. Tapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan

membesardisertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan bila

tonsil ditekan keluar detritus

Etiologi

Bakteri penyebab tonsillitis kronis sama halnya dengan tonsillitis akut yaitu

Streptokokus β hemolitikus. Infeksi yang berulang-ulang bias menyebabkan

terjadinya pembesaran tonsil melalui parenchyma atau degenerasi fibroid. , namun

terkadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan Gram negatif.

Faktor predisposisi

Hygiene mulut yang buruk, kelelahan fisik, pengaruh cuaca, pengobatan tonsillitis

akut yang tidak adekuat, rangsangan kronik karena rokok maupun makanan.

Patofisiologi

Karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jarinagn limfoid terkikis,

sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut.

Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar yang akan diisi

oleh detritus, proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul

perlekatan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak-anak proses ini dapat

disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula

Manifestasi Klinis

Pasien mengeluh ada penghalang/mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa

kering dan pernafasan berbau. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar

denganpermukaan yang tidak rata, kriptus membesar, dan kriptus berisi detritus.

Page 31: Kelainan Tonsil

Gejala tonsilitis kronis menurut Mawson (1977), dibagi menjadi : 1.) gejala lokal,yang

bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai

sakitmenelan, 2.) gejala sistemik, rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala,

demamsubfebris, nyeri otot dan persendian, 3.) gejala klinis tonsil dengan debris di

kriptenya (tonsillitis folikularis kronis), udema atau hipertrofi tonsil (tonsillitis

parenkimatosakronis), tonsil fibrotic dan kecil (tonsilitis fibrotik kronis), plika

tonsilaris anteriorhiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional.

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur

jarakantara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial

kedua tonsil,maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :

- TO : tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat

- T1: <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

- T2 :25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

- T3: 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

- T4: > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofarin

Pemeriksaan penunjang

Kultur dan uji resistensi kuman dari sedian apus tonsil.

Pemeriksaan histopatologi

(a). Lumen dari kripte berisi bakteri dan sel inflamasi

(polimorf dan limfosit). (b) Peningkatan vaskularisasi dan hyperplasia dari jaringan

limfoid.

Diagnosis Banding

a

b

Page 32: Kelainan Tonsil

Penyakit-penyakit yang disertai dengan pembentukan pseudomembran yang

menutupi tonsil (tonsillitis membranosa)

a. Tonsillitis difteri

Disebabkan oleh kumanCorynebacterium diphteriae. Tidak semua orangyang

terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titerantitoksin

dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapatdianggap cukup

memberikan dasar imunitas. Gejalanya terbagi menjadi 3golongan besar, umum,

local dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum samaseperti gejala infeksi lain, yaitu

demam subfebris, nyeri kepala, tidak nafsumakan, badan lemah, nadi lambat dan

keluhan nyeri menelan. Gejala local yang tampak berupa tonsi membengkak ditutupi

bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk pseudomembran

yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah.

Gejala akibat eksotoksin dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya

pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada saraf

cranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot pernafasan serta

pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria.

b. Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)

Gejala yang timbul adalah demam tinggi (390C), nyeri di mulut, gigi dan kepala, sakit

tenggorok, badan lemah, gusi mudah berdarah dan hipersalivasi.Pada pemeriksaan

tampak membrane putih keabuan di tonsil, uvula, dindingfaring, gusi dan prosesus

alveolaris.Mukosa mulut dan faring hiperemis. Mulut berbau (foetor ex ore) dan

kelenjar submandibula membesar.

c. Mononucleosis infeksiosa

Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membrane semu yang menutup

ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat pembesarankelenjar limfe

leher, ketiak dan region inguinal. Gambaran darah khas yaituterdapat leukosit

mononucleosis dalam jumlah besar. Tanda khas yang lainadalah kesanggupan serum

pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darahmerah domba (Reaksi Paul Bunnel)

Terapi

Page 33: Kelainan Tonsil

Terapi mulut (terapi lokal) ditujukan kepada hygiene mulut dengan berkumur atau

obat isap.

Pengobatan pasti untuk tonsillitis kronis adalah pembedahan dengan pengangkatan

tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis atau

yang konservatif gagal untuk meringankan gejala-gejala. Penatalaksanaan medis

termasuk pemberian penisilin yang lama, irigasi tenggorokan sehari-hari dan usaha

untuk membersihkan kripte tonsil dengan alat irigasi gigi (oral). Ukuran jaringan

tonsil tidak mempunyai hubungan dengan infeksi kronis maupun berulang

INDIKASI TONSILEKTOMI

Indikasi absolute. Indikasi – indikasi untuk tonsilektomi yang hampir absolute adalah

sebagai berikut :

1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas yang kronis

2. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur

3. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat

badan penyerta.

4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma)

5. Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan

sekitarnya.

Indikasi Relatif

a. Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali per tahun walaupun telah mendapatkan

terapi yang adekuat.

b. Halitosis (bau mulut) akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan

pemberian terapi medis

c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptococcus β hemoliticus yang

tidak membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten

Kontraindikasi

Page 34: Kelainan Tonsil

1. Infeksi pernapasan bagian atas yang berulang

2. Infeksi sistemik atau kronis

3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya

4. Pembesaran tonsil tanpa gejala – gejala obstruksi

5. Rinitis alergika

6. Asma

7. Diskarsia darah

8. Ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh

9. Tonus otot yang lemah

10. Sinusitis

Indikasi tonsilektomi yang dapat diterima pada anak – anak :

1. Serangan tonsillitis berulang yang tercatat (walaupun telah diberikan

penatalaksanaan medis yang adekuat).

2. Tonsilitis yang berhubungan dengan biakan streptokokus menetap dan

patogenik (keadaan karier).

3. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional (misalnya, penelanan)

4. Hiperplasia dan obstruksi yang menetap enam bulan setelah infeksi

mononucleosis (biasanya pada dewasa muda).

5. Riwayat demam reumatik dengan kerusakan jantung yang berhubungan

dengan tonsillitis rekurens kronis dan pengendalian antibiotic yang buruk.

6. Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respons terhadap

penatalaksanaan medis (biasanya dewasa muda).

7. Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan abnormalitas

orofasial dan gigi geligi yang menyempitkan jalan napas bagian atas.

Page 35: Kelainan Tonsil

8. Tonsillitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan adenopati servikal

persisten.

Komplikasi

Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa

rhinitis kronis, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum, endokarditis,

arthritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitus, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan

furunkulosis.

Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala

sumbatan serta kecurigaan neoplasma.

KANKER TONSIL

Pendahuluan

Orofaring merupakan bagian posterior dari rongga mulut dan satu per tiga lidah

bagian posterior. Orofaring terdiri dari tonsil lingual, tonsil palatina, palatum molle

dan dinding faring posterior. Lesi pada tempat-tempat in seringkali tidak ada gejala

pada stadium awal, sehingga pasien datang ketika sudah stadium akhir. Kanker

orofaring terjadi pada 8750 pasien di Amerika Serikat setiap tahun, 4250 diantaranya

meninggal. Laki=laki memiliki resiko yang lebih tinggi 3-5 kali lipat daripada

perempuan. Insidens tersebut berhubungan dengan konsumsi alkohol dan rokok.

Patogenesis

Rongga mulut dan orofaring diliputi oleh epitel skuamosa. Oleh karena itu, kanker

yang terjadi pada regio ini sering kali memberikan gambaran sel skuamosa.

Karsinoma verukosa merupakan salah satu karsinoma sel skuama yang ringan dan

jarang bermetastasis. Glandula air liur pada kavitas oral dan orofaring dapat

menyebabkan adenokarsinoma, karsinoma kistik adenoid, karsinoma

mukoepidermoid, dan karsinoma ringan polimorfosis. Limfoma merupakan salah

satu jenis kanker yang dapat terjadi pada fossa tonsilar.

Kanker pada rongga mulut seringkali didahului oleh lesi premaligna. Leukoplakia dan

eritroplakia merupakan bagian yang putih dan merah, abnormal, namun bukan

Page 36: Kelainan Tonsil

neoplastik. Lesi ini dapat ditentukan dengan biopsi menggunakan mikroskop. Area ini

biasanya jinak, prekanker atau dapat invasif. Lesi prekanker merupakan suatu lesi

yang diplastik dan memiliki susunan sel yang maligna namun jarang menginvasi sel

epitel normal suatu jaringan. Displasia merupakan suatu keadaan yang cenderung

akan menjadi kanker, baik ringan, sedang ataupun berat. Displasia dengan bentuk

jinak, dapat mengalami regresi bila agen karsinogenik disingkirkan. Leukoplakia

biasanya merupakan kondisi yang jinak dan jarang menjadi kanker. Eritroplakia

merupakan suatu lesi yang lebih sering menjadi kanker (51%).

Secara klinik, lesi mukosa muncul sebagai nodul atau ulkus dangkal dengan batas

yang tidak jelas. Tumor ini dapat menjadi eksofitik atau infiltratif, dan akan

menginvasi otot, sehingga akan mengalami kesulitan berbicara dan makan.

Insidens pembesaran kelenjar limfe dari kanker pada rongga mulut berhubungan

dengan tempat dan ukuran tumor primer. Tumor orofaring jarang berhubungan

dengan metastasis ke kelenjar limfe. Bila tumor ini menginvasi kelenjar limfe,

biasanya akan terdapat drainase pada jugulodigastrik basin dan nodus retrofaringeal.

Paru-paru, hepar dan tulang merupakan tempat yang sering mengalami metastasis

akibat kanker orofaring.

Pencegahan

Berhenti merokok dapat mengurangi resiko kanker mulut secara signifikan.

Penurunan penggunaan alkohol, terutama pada perokok dapat mengurangi insidens

dari kanker.

Tanda dan gejala

Tanda dan gejala pada kanker mulut dan orofaring biasanya adalah pembengkakkan

daerah mulut dan lesi putih atau merah pada rongga mulut. Gejala yang lain dapat

ditemukan ulkus yang tidak sembuh pada bagian mulut, perdarahan dan rasa sakit

yang tidak biasa pada mulut, kesulitan untuk mengunyah, menelan atau berbicara,

perubahan suara, penjalaran sakit ke arah telinga dan massa pada leher.

Laboratorium

Page 37: Kelainan Tonsil

Pemeriksaan lab yang bermakna adalah darah lengkap, kimia darah, termasuk fungsi

herpar untuk mengetahui kemungkinan metastasis.

Radiologi

CT dan MRI bagian kepala dan leher dapa dilakukan untuk mengetahui lesi primer

dan metastasis nodus limfatikus. MRI dapat dipakai untuk mengevaluasi jaringan

yang lunak. CT Scan lebih baik untuk melihat tulang kortikal. Rontgen thorak

sebaiknya dilakukan untuk mengetahui apakah ada metastasis atau tidak.

Pemeriksaan khusus

Pemeriksaan khusus dilakukan untuk membuat diagnosis lebih tepat dan untuk

menentukan stadium kanker. Adapun pemeriksaan tersebut adalah Pemeriksaan

dalam anestesi, laringoskopi direk, mengetahui posisi tumor dengan pewarnaan

menggunakan zat warna toluidine blue, menggunakan PET Scan untuk mengetahui

metastasis, evaluasi pre radiasi dental dan pemeriksaan audiologi, film panorex

mandibula untuk mengetahui invasi ke mandibula.

SISTEM TNM

BENIGN & MALIGNANT LESIONS OF THE ORAL CAVITY, OROPHARYNX, &

NASOPHARYNX

Primary Tumor (T)

TX: Primary tumor cannot be assessed

T0: No evidence of primary tumor

Tis: Carcinoma in situ

T1: Tumor

≤ 2 cm in greatest dimension

T2: Tumor > 2 cm but not > 4 cm in greatest dimension

T3: Tumor > 4 cm in greatest dimension

Page 38: Kelainan Tonsil

T4: (Lip) Tumor invades through cortical bone, inferior alveolar nerve, floor of

mouth, or skin of face, ie, chin or nose1

T4a: (Oral cavity) Tumor invades through cortical bone, into deep (extrinsic) muscle

of tongue (genioglossus, hyoglossus,

palatoglossus, and styloglossus), maxillary sinus, or skin of face

T4b: Tumor involves masticator space, pterygoid plates, or skull base and/or encases

internal carotid artery

Regional Lymph Nodes (N)

NX: Regional lymph nodes cannot be assessed

N0: No regional lymph node metastasis

N1: Metastasis in a single ipsilateral lymph node

≤ 3 cm in greatest dimension

N2: Metastasis in a single ipsilateral lymph node > 3 cm but not

> 6 cm in greatest dimension; or in multiple ipsilateral

lymph nodes, none > 6 cm in greatest dimension; or in bilateral or contralateral

lymph nodes, none > 6 cm in

greatest dimension

N2a: Metastasis in a single ipsilateral lymph node > 3 cm but not > 6 cm in greatest

dimension

N2b: Metastasis in multiple ipsilateral lymph nodes, none > 6 cm in greatest

dimension

N2c: Metastasis in bilateral or contralateral lymph nodes, none > 6 cm in greatest

dimension

N3: Metastasis in a lymph node > 6 cm in greatest dimension

Distant Metastasis (M)

MX: Distant metastasis cannot be assessed

M0: No distant metastasis

M1: Distant metastasis

Stage Grouping:

Page 39: Kelainan Tonsil

0: Tis N0 M0

I: T1 N0 M0

II: T2 N0 M0

III: T3 N0 M0

T1 N1 M0

T2 N1 M0

T3 N1 M0

IVA: T4a N0 M0

T4a N1 M0

T1 N2 M0

T2 N2 M0

T3 N2 M0

T4a N2 M0

IVB: Any T N3 M0

T4b Any N M0

IVC: Any T Any N M1

1Superficial erosion alone of bone/tooth socket by gingival primary is not sufficient

to classify as T4.

Diagnosis banding

Ketka mengevaluasi pasien dengan gejala-gejala diatas, makan diagnosis banding

dari lesi keganasan adalah infeksi bakteri atau virus, leukoplakia atau eritroplakia,

displasia, eosinofilik granuloma, fibroma, tumor giant cell, granuloma piogenik,

papiloma, dan xanthoma verukiform.

Page 40: Kelainan Tonsil

Pengobatan

Pada stadium awal, terutama bila tumor berasal dari palatum molle atau pilar tonsil,

dapat dilakukan terapi pembedahan berupa diseksi leher ipsilateral. Tumor yang

berada di daerah midline harus dilakukan diseksi leher bilateral. Radiasi dapat

digunakan setelah operasi pada pasien-pasien yang berseiko tinggi. Keuntungan dari

radioterapi ini dapat menghilangkan lesi di nodus regional termasuk nodus

retrofaring yang sering sulit dilakukan pembedahan.

Lesi yang lebih ganas biasanya berasal dari fosa tonsilar, namun dapat disembuhkan

dengan pembedahan radikan yang diikuti radioterapi postoperatif. Untuk lesi yang

berasal dari fosa tonsilar, penitng sekali untuk mendiagnosis limfoma sebelum

memulai terapi.

Referensi:

Lalwani.K. CURRENT Diagnosis And Treatment Otolaryngology – Head And Neck Surgery.

2nd edition. New York: McGrawHill; 2008 : 356-367.

Page 41: Kelainan Tonsil

LARING

1. Anatomi

Batas atas laring adalah aditus laring, Batas bawahnya ialah bidang yang melalui pinggir

bawah kartilago krikoid, Batas depannya ialah permukaan

belakang epiglotis, Batas lateralnya ialah membran

kuadrangularis, kartilago aritenoid, konus elastikus dan arkus

kartilago krikoid., Batas belakangnya ialah m.aritenoid

transversus dan lamina kartilago krikoid, Bangunan kerangka

laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hioid, dan

beberapa buah tulang rawan.

Tulang rawan yang menyusun laring adalah:

- kartilago epiglotis

- kartilago krikoid

- kartilago aritenoid

- kartilago kornikulata

Page 42: Kelainan Tonsil

- kartilago tiroid

- kartilago cuneiformis

- kartilago tritisea

Rongga Laring terdiri dari plika vokalis (pita suara asli) dan plika ventrikularis (pita suara

palsu) dimana membagi rongga laring dalam 3 bagian, yaitu :

1. vestibulum laring vestibulum laring

ialah rongga laring yang terdapat di atas plika

ventrikularis

2. glotik dan

3. Subglotik adalah rongga laring yang

terletak di bawah pita suara (plika vokalis)

Otot-otot ekstrinsik terletak :

- diatas tulang hioid (suprahioid)

- m.digastrikus

- m.geniohioid

- m.stilohioid dan

- m.milohioid

- dan ada yang terletak di bawah tulang hioid (infrahioid):

- m.sternohioid

- m.omohioid dan

- m.tirohioid

Otot-otot intrinsik :

- bagian lateral laring

- m.krikoaritenoid lateral

- m.tiroepiglotika

- m.vokalis

- m.tiroaritenoid

- m.ariepiglotika dan

- m.krikotiroid

- bagian posterior

Page 43: Kelainan Tonsil

- m.aritenoid transversum

- m.aritenoid oblik dan

- m.krikoaritenoid posterior.

Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus :

1. n.laringis superior

mempersarafi m.krikotiroid, sehingga

memberikansensasi pada mukosa laring dibawah pita suara

2. n.laringis inferior

merupakan lanjutan dari n.rekuren setelah saraf itu

memberikan cabangnya menjadi ramus kardia inferior

Pendarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang :

1. a.laringis superior merupakan cabang dari a.tiroid superior

2. a.laringis inferior merupakan cabang. dari a.tiroid inferior

2. FISIOLOGI

- Proteksi : untuk mencegah makanan dan benda asing masuk ke dalam trakea.

- Batuk : benda asing yang telah masuk ke dalam trakea dapat dibatukkan ke luar.

- Respirasi : dengan mengatur besar kecilnya rima glotis.

- Sirkulasi : perubahan tekanan udara di dalam traktus trakeobronkial akan dapat

mempengaruhi sirkulasi darah dari alveolus.

- Menelan dengan 3 mekanisme :

- gerakan laring bagian bawah ke atas

- menutup aditus laringis

- mendorong bolus makanan turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk ke dalam laring.

- Emosi :untuk mengekpresikan emosi, seperti berteriak, mengeluh, menangis

- Fonasi :membuat suara dan menentukan tinggi rendahnya nada

Page 44: Kelainan Tonsil

3. Kelainan laring

Penyakit-penyakit yang menyebabkan suara serak :

1. Peradangan

Laringitis Akut

Laringitis kronik non spesifik

Laringitis kronik spesifik

Tuberculosa

Lues

Nodul pita suara

2. Tumor

Tumor jinak

Tumor ganas

3. Gangguan neurogenik pada laring

I. LARINGITIS AKUT

Radang akut laring, pada umumnya merupakan kelanjutan dari

rinofaringitis (common cold). Pada anak laringitis akut ini dapat menimbulkan

sumbatan jalan napas dengan cepat karena rima glotisnya relatif lebih

sempit, sedangkan pada orang dewasa tidak secepat pada anak.

1. Etiologi

Sebagi penyebab radang ini ialah bakteri yang menyebabkan radang

local atau virus yang menyebabkan peradangan sistemik.

2. Gejala dan Tanda

Pada laryngitis akut terdapat gejala radang umum, seperti demam,

dedar (malaise), serta gejala local, seperti suara parau sampai tidak

bersuara sama sekali (afoni), nyeri ketika menelan atau berbicara, serta

gejala sumbatan laring. Selain itu terdapat batuk kering dan lama-

kelamaan disertai dengan dahak kental.

Page 45: Kelainan Tonsil

Pada pemeriksaan tampak mukosa laring hiperemis, membengkak,

terutama di atas dan di bawah pita suara. Biasanya terdapat juga tanda

radang akut di hidung atau sinus paranasal atau paru.

3. Terapi

Istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari. Menghirup udara

lembab. Menghibdari iritasi pada faring dan laring, misalnya merokok,

makanan pedas atau minum es.

Antibiotika diperlukan apabila peradangan berasal dari paru. Bila terdapat

sumbatan laring, dilakukan pemasangan pipa endotrakea, atau

trakeostomi.

II. LARINGITIS KRONIK NON-SPESIFIK

Laringitis akur biasanya ringan ,dapat sembuh sendiri, sering sebagai

manifestasi infeksi saluran napas bagian atas yang lebih menyeluruh.

Etiologi

Penyebab infeksi ini hampir selalu virus. Invasi bakteri biasanya

sekunder. Laryngitis hamper selalu berkaitan dengan rhinitis akut (coryza)

atau nasofaringitis. Serangan infeksi mungkin akibat pemaparan terhadap

perubahan suhu mendadak, defisiensi makanan, malnutrisi dan daya tahan

rendah. Paling sering pada musim dingin dan mudah ditularkan.

Patologi

Terdapat dilatasi kapiler dan hiperemis dan disertai dengan edem

umum ekstraseluler. Pada permulaan terjadi infiltrasi leukosit submukosa,

terutama oleh sel-sel mononukleus, kemudian sel-sel polimorfonukleus

munul jika terjadi infeksi bakteri sekunder. Lapisan mukosa superfisial

biasanya mengelupas dan mungkin terbentuk ulkus dangkal yang ditutupi

oleh pseudomembran.

Manifestasi klinik

Page 46: Kelainan Tonsil

Gejala biasanya seperti salesma dengan suara serak. Gejala pertama

pada tenggorok dapat berupa rasa kering, kasar dan perubahan nada suara.

Biasanya terdapat batuk-batuk. Jika terdapat edema pita suara akan timbul

afonia dan mungkin stridor inspirasi ringan. Demam biasanya rendah dengan

suhu sekitar 38,5 0C. Pada tahap awal secret laring sedikit kemudian menjadi

banyak dan kental, dan mungkin bercampur darah.

Pada mukosa laring terdapat berbagai tingkat radang dan edem

mukosa . mukosa mungkin bergranular disertai, ulkus kecil superficial dan

daerah dengan pembentukan pseudomembran berwarna keabu-abuan.

Gerak pita suara normal, meskipun tepi pita suara merah dan edem dan

biasanya tampak polipoid karena edem pada ruang rienke.

Diagnosis

Diagnosis di tegakkan dari riwayat penyakit dan kelainan laring.

Biakan tenggorok diperlukan bila penyakit menetap atau resisten. Isolasi virus

penyebab dari apusan tenggorok hanya diperlukan jika ada kemungkinan

epidemi.

Terapi

Terapi berupa istirahat dan pemberian obat-obatan simtomatis untuk

demam, batuk dan nyeri tenggorok. Istirahat suara harus total. Humidifikasi

di kamar yang dingin dan pemberian ekspektoran dapat mengurangi rasa

kering dan gatal ditenggorok serta mengencerkan secret. Bila laryngitis hebat

dan terdapat stridor, dapat digunakan tenda uap dingin. Harus diusahakan

khusus untuk menjaga keseimbangan cairan tubuh guna menghindari

pengentalan secret. Antibiotik berspektrum luas mungkin menolong untuk

mencegah infeksi sekunder terhadap mukosa pada kasus lebih berat.

Sebagian besar pasien akan sembuh dengan terapi conservative, tetapi

penyakit cendrung lebih berat pada pasien dengan usia lanjut dan mungkin

disertai komplikasi pneumoni. Karena itu pasien usia lanjut harus diawasi

dengan ketat akan progesivitas infeksinya.

Page 47: Kelainan Tonsil

III. LARINGITIS KRONIK SPESIFIK

Sering merupakan radang kronis laring disebabkan oleh sinusitis

kronis, deviasi septum yang berat, polip hidung atau bronkintis kronis.

Mungkin juga disebabkan oleh penyalahgunaan suara (vocal abuse)

seperti berteriak-berteriak atau biasa berbicara keras.

Pada peradangan ini seluruh mukosa laring hiperemis dan menebal,

dan kadang-kadang pada pemeriksaan patologik terdapat metaplasi

skuamosa.

Gejalanya ialah suara parau yang menetap, rasa tersangkut di tenggorok,

sehingga pasien sering mendehem tanpa mengeluarkan sekret, karena

mukosa yang menebal.

Pada pemeriksaan tampak mukosa menebal, permukaannya tidak

rata dan hiperemis. Bila terdapat daerah yang dicurigai menyerupai

tumor, maka perlu dilakukan biopsi.

Terapi yang terpenting ialah mengobati peradangan di hidung, faring

serta bronkus yang mungkin menjadi penyebab laringitis kronis itu. Pasien

diminta untuk tidak banyak berbicara (cocal rest).

Laringitis Kronis Spesifik

Yang termasuk spesifik dalam laringitis kronis spesifik ialah :

1. Laringitis Tuberkulosis

Penyakit ini hampir selalu sebagai akibat tuberkulosis paru. Sering

kali setelah diberi pengobatan, tuberkulosis parunya sembuh tetapi

laringitis tuberkulosisnya menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa

laring yang sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi yang tidak

sebaik paru, sehingga bila infeksi sudah mengenai kartilago,

pengobatannya lebih lama.

a. Patogenesis

Page 48: Kelainan Tonsil

1) Infeksi kuman ke laring dapat terjadi melalui udara pernapasan,

sputum yang mengandung kuman, atau penyebaran melalui

aliran darah atau limfa.

2) Tuberkulosis dapat menimbulkan gangguan sirkulasi. Edema

dapat timbul di fosa interaritenoid, kemudian ke aritenoid, plika

vokalis, plika ventrikularis,, epiglotis, serta terakhir ialah dengan

subglotik.

b. Gambaran Klinis

Secara klinis, laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium, yaitu :

1) Stadium infiltrasi.

Yang pertama-tama mengalami pembengkakan dan hiperemis

ialah mukosa laring bagian posterior. Kadang-kadang pita suara

terkena juga. Pada stadium ini mukosa laring berwarna pucat.

Kemudian di daerah submukosa terbentuk tuberkel, sehingga

mukosa tidak rata, tampak bintik-bintik yang berwarna kebiruan.

Tuberkel itu makin membesar, serta beberapa tuberkel yang

berdekatan bersatu, sehingga mukosa di atasnya meregang.

Pada suatu saat, karena saat sangat meregang, maka akan pecah

dsan timbul ulkus.

2) Stadium ulserasi.

Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus

ini dangkal, dasarnya ditutupi oleh perkijuan, serta sangat

dirasakan nyeri oleh pasien.

3) Stadium perikondritis.

Ulkus makin dalam, sehingga mengenai kartilgo laring, dan yang

paling sering terkena ialah kartilago aritenoid dan epiglotis.

Dengan demikian terjadi kerusakan tulang rawan, sehingga

terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan melanjut, dan

terbentuk sekuester (squster). Pada stadium ini keadaan umum

sangat buruk dan dapat meninggal dunia. Bila pasien dapat

Page 49: Kelainan Tonsil

bertahan maka proses penyakit berlanjut dan masuk dalam

stadium terakhir yaitu stadium fibrotuberkulosis.

4) Stadium pembentukan tumor.

Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding

posterior, pita suara dan subglotik.

c. Gejala Klinis :

Tergantung pada stadiumnya, disamping itu terdapat gejala sebagai

berikut :

Rasa kering, panas dan tertekan di daerah laring.

Suara parau berlangsung berminggu-minggu, sedangkan

pada stadium lanjut dapat timbul afoni.

Hemoptisis

Nyeri waktu menelan yang lebih hebat bila dibandingkan

dengan nyeri karena radang lainnya, merypakan tanda

yang khas.

Keadaan umum buruk.

Pada pemeriksaan paru (secara klinis dan radiologik)

terdapat proses aktif (biasanya pada stadium eksudatif

atau pada pembentukan kaverne).

d. Diagnosis Banding

1) Laringitis luetika.

2) Karsinoma laring.

3) Aktinomikosis laring.

4) Lupus vulgaris laring.

e. Diagnosis, berdasarkan :

1) Anamnesis

2) Gejala dan pemeriksaan klinis.

3) Laboratorium.

4) Foto rontgen toraks.

5) Laringoskopi langsung dan tidak langsung.

Page 50: Kelainan Tonsil

6) Pemeriksaan patologi-anatomik.

f. Terapi

1) Obat anti tuberkulosis yang primer dan sekunder.

2) Istirahat suara.

g. Prognosis

1) Tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, kebiasaan

hidup sehat serta ketekunan berobat.

2) Bila diagnosis dapat ditegakkan pada stadium dini maka

prognosisnya baik.

2. Laringitis Luetika

Radang menahun ini jarang ditemukan. Seperti telah diuraikan

dalam ilmu penyakit kulit bab kelamin, terdapat 4 stadium lues.

Dalam hubungan penyakit di laring yang perlu dibicarakan ialah lues

stadium tertier (ketiga) yaitu pada stadium pembentukan guma. Bentuk

ini kadang-kadang menyerupai keganasan laring.

a. Gambaran Klinik

Apabila guma pecah, maka timbul ulkus. Ulkus ini mempunyai sifat

yang khas, yaitu sangat dalam, bertepi dengan dasar yang sangat

keras, berwarna merah tua serta mengeluarkan eksudat yang

berwarna kekuningan. Ulkus ini tidak menyebabkan nyeri dan

menjalar sangat cepat, sehingga bila tidak berbentuk proses ini akan

menjadi perikondritis.

b. Gejala

Suara parau dan batuk kronis. Disfagia timbul terdapat dekat

introitus esofagus. Diagnosis ditegakkan selain dari pemeriksaan

laringoskopi juga dengan pemeriksaan serologik.

c. Komplikasi

Bila terjadi penyembuhan spontan dapat terjadi stenosis laring,

karena terbentuk haringan parut.

Page 51: Kelainan Tonsil

d. Terapi

1) Penisilin dengan dosis tinggi.

2) Penegangan sekuster.

3) Bila terdapat sumbatan laring karena stenosis, dilakukan

trakeostomi.

IV. NODUL PITA SUARA

Definisi

Nodul Pita Suara (Nodul Penyanyi) adalah pertumbuhan yang

menyerupai jaringan parut dan bersifat jinak pada pita suara.

Penyebab

Nodul biasanya terbentuk akibat pemakaian suara yang

berlebihan, terlalu keras atau terlalu lama

Gejala

Gejalanya adalah suara serak.

Page 52: Kelainan Tonsil

Diagnosa

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksan

fisik. Nodul tampak sebagai suatu pertumbuhan yang berkapur

Pengobatan

Pada anak-anak, nodul biasanya akan menghilang hanya dengan

menjalani terapi vokal. Pada dewasa, nodul harus diangkat melalui

pembedahan.

Pencegahan

Satu-satunya cara mencegah tumbuhnya nodul adalah berhenti

menyalahgunakan suara.

V. TUMOR LARING JINAK

1. Nodulus Vokal

Sinonim klinis untuk polip nodulus vokalis yaitu : screamer’s

nodule, singer’s node, atau teacher’s node. Nodulus jinak dapat

unilateral dan timbul akibat penggunaan korda vokalis yang tidak

tepat atau berlangsung lama. Kadang-kadang disertai peradangan,

sehingga korda vokalis saling melekat kuat, sehingga terbentuk polip

atau nodul. Nodul dapat bervariasi secara histology dari suatu tumor

Page 53: Kelainan Tonsil

edematosa yang longgar dan lunak, sehingga membentuk massa

fibrosa yang padat atau lesi vaskuler.

2. Poliposis Korda Vokalis Difus

Degenerasi polipoid doisepanjang korda vokalis biasanya

berkaitan dengan penggunaan vocal yang lama, merokok, dan radang

yang menetap.

3. Papiloma Juvenilis

Tumor laring yang lazim terjadi pada anak-anak. Biasanya

terjadi pada anak-anak berusia antara 18 bulan dan 7 tahun, dan

sering kali terjadi pada masa pubertas. Lama penyakit dapat

memanjang hingga 10 tahun dengan berulangnya papiloma.

Gejala awalnya yaitu berupa suara serak dan tangisan yang abnormal.

Apabila papiloma membesar dapat menyebabkan obstruksi jalan

napas.

Terapi mutakhir yang dilakukan adalah pengangkatan dengan tepat.

Terapi lain berupa tetrasiklin, steroid, vaksin cacar.

4. Mioblastoma Sel Granular

Tumor ini timbul pada lidah dan laring. Gejala utamanya yaitu

beruba suara serak. Dan tidak akan terjadi berulang apabila sudah

diangkat secara endoskopi.

5. Kondroma

Kondroma merupakan tumor kartilago hialin yang tumbuh

lambat, berasal dari kartilago krikoidea, tiroidea, aritenoidea dan

epiglotika. Suara serak akibat keterbatasan gerak korda vokalis dan

dispnea disebabkan oleh obstruksi jalan napas. Terapi yang dilakukan

berupa pembedahan, dimana asal dan besarnya tumor menentukan

teknik bedah. Tumor ini tumbuh lambat, sehingga terkadang dapat

Page 54: Kelainan Tonsil

diangkat sebagian, karena untuk meringankan gejala penderita, tanpa

mengorbankan laring.

6. Leukoplakia dan Eritroplakia

Akibat iritasi laring yang menetap terutama akibat merokok,

biasanya akan timbul suatu daerah keputih-putihan. Secara klinis

disebut dengan leukoplakia. Jika daerah tersebut tampak kemerahan

disebut sebagai eritroplakia. Daerah laring akan ikut terlibat, namun

biasanya yang paling sering terkena yaitu korda vokalis. Keluhan

utama berupa suara serak. Hasil biopsi akan menunjukan adanya

hyperkeratosis. Terapinya berupa pengangkatan total secara

endoskopi. Pasien harus mengurangi merokok.

VI. GANGGUAN NEUROGENIK PADA LARING

PARALISIS PITA SUARA

Paralysis

Laringeus

Superior

Paralysi

s syaraf

laringe

us

Rekure

ns

unilater

al

Paralysis

syaraf

laringeus

rekurens

bilateral

Paralysis

lengkap

Patologi

Efek

Paralysis

otot

krikotiroide

us,

Hilangnya

sensasi

separuh

laring

Paralysi

s

seluruh

otot

intrinsic

pada

sisi

tersebu

t.

Paralysis

seluruh

otot

intrinsic

Suara

Lesi syaraf

vagus diatas

syaraf

laringeus

superior,

dapat

unilateral

atau

bilateral.

Page 55: Kelainan Tonsil

pemeriksa

an

Hilangnya

nada tinggi,

aspirasi

Komisura

anterior

tampak

miring ke

sisi lesi,

kartilago

aritenoidea

pada sisi

tersebut

miring ke

dalam

Suara

serak,

jalan

napas

baik

kecuali

pada

anak

kecil,

suara

napas,

batuk

buruk.

Korda

vokalis

dalam

posisi

para

median

, tidak

ada

geraka

n ke

lateral.

napas baik,

jalan napas

buruk

terutama

saat

bersuara.

Korda

vokalis

tidak

bergerak

ke lateral,

sebagian

pasien

dapat

beradaptas

i dan tahan

dengan

toleransi

latihan

yang

direndahka

n.

Lesi serupa

dengan

paralysis

syaraf

rekurens,

lebih

cenderung

mengalami

aspirasi.

Korda

vokalis

imobil

namun

berada

dalam posisi

intermedia

akibat

hilangnya

fungsi

aduksi

muskulus

krikotiroide

us.

Page 56: Kelainan Tonsil

TUMOR GANAS LARING

Setiap tahun, 11.000 kasus baru kanker laring didiagnosis di Amerika Serikat

(1% dari diagnosis kanker), dan sepertiga dari pasien akan meninggal karena

penyakitnya. Rasio pria wanita untuk kasus kanker laring adalah 4:1, Kanker laring

banyak terjadi pada usia dekade keenam atau ketujuh dan pada golongan sosial

ekonomi lemah. Hampir 90% kasus kanker laring merupakan karsinoma sel

skuamosa (KSS) dan berhubungan langsung dengan penggunaan rokok dan alkohol

berlebihan. 2

2.1 Anatomi

Laring berfungsi untuk memproduksi suaram serta membagi dan melindungi

traktur resiratorius dari traktus digestivus. Laring berfungsi sebagai sfingter dalam

proses menelan, melindungi laring dari makanan yang lewat dengan menutup trakea

pada 2 tempat: flap epiglotis dan penutupan pita suara. Laring terdiri atas kartilago

yang dihubungkan dengan ligamen, membran, dan otot yang dilapisi oleh epitel

traktur respiratorius dan epitel skuamosa bertingkat.2,3

Laring dapat dibagi menjadi 3 bagian: supraglotis, glotis, dan subglotis.

Supraglotis meliputi daerah dari ujung epiglotis dan valekula (superior) sampai

ventrikel dan permukaan dalam plika ventrikularis (inferiro), termasuk kartilago

aritenoid, lipatan aryepiglotika, plika ventrikulatis, dan epiglotis. Glotis meliputi plika

vokalis, terbentang dari ventrikel diantara plika ventrikularis dan plika vokalis sampai

0,5 cm dibawah tepi bebas plika vokalis, termasuk komisura anterior dan are

interaritenoid. Subglotis meliputi daerah di inferior glotis sampe tepi inferior

kartilago krikoid. 2,3

Page 57: Kelainan Tonsil

Gambar Skema klasifikasi anatomi tumor laring

Weisman RA, Moe KS, Orloff LA. Neoplasm of the Larynx and Laryngopharynx.In

Snow JB, Ballenger JJ. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 16th

edition. Ontario: BC Decker. 2003. h.1265.

Pemahaman akan asal embriologi daerah-daerah di atas membantu

menjelaskan perbedaan klinis antara kanker yang timbul pada masing-masing bagian

laring. Supraglotis berasal dari primordial bukofaringeal medial dan arkus brakialis 3

dan 4 dengan suplai jaringan limfatik bilateral yang banyak. Glotis, berasal dari fusi

struktur lateral yang berasal dari primordial trakeobronkial dan arkus brakial 4,5, dan

6. Disini jaringan limfatik lebih jarang dan dibandingkan dengan neoplasma primer

dari supraglotis, tumor maligna glotis kurang memiliki tendensi untuk menyebar

secara regional bilateral dan cenderung terbatas pada glotis dalam jangka waktu

yang panjang.2

Membran fibroelastis dan ligamen membagi laring menjadi area preepiglotis

dan paraglotis. Struktur ini, termausk konus elastikus, membran kuadrangular,

membran tirohyoid, dan ligamen hyoepiglotis, berperan sebagai barier penyebaran

tumor. Kartilago tiroid dan krikoid serta perikondriumnya juga berperan sebagai

barier penyebaran tumor. Tendon komisura anterior (ligamen Broyle) dan ligamen

Page 58: Kelainan Tonsil

tiroepiglotis tidak efektif menahan penyebaran tumor, dan tumor yang mengenai

daerah komisura anterior lebih sering menyebar langsung secara regional.2

Otot laring dibagi menjadi otot intrinsik dan ekstriksik. Otot intrinsik

merupakan otot-otot di sekitar pita suara dan kartilago yang berada di dalam laring.

Otot ekstrinsik, membantu elevasi laring dan konstriksi faring. Persarafan otot-otot

intrinsik berasal dari cabang nervus laringeal rekuren dari nerrvus vagus pada kedua

sisi tubuh. Suplai darah berasal dari arteri karotis eksterna dan trunkus tiroservikal

melalui arteri tiroidea superior dan inferior. Aliran vena langsung menuju vena

jugularis interna. Drainase limfatik ke kelenjar getah bening leher di area II, III, IV dan

terkadang ke area VI. 2,3

2.2 Patogenesis

Lebih dari 90% pasien dengan kanker laring memiliki riwayat merokok berat

dan menggunakan alkohol. Merokok merupakan faktor risiko terjadinya kanker

laring. Kombinasi merokok dan konsumsi alkohol memiliki efek aditif karsinogenik

pada laring. 2

Faktor risiko lainnya telah diketahui, seperti infeksi laring oleh human

papillomavirus (HPV) yang menyebabkan papilomatosis laring. Infeksi tersebut

umumnya jinak, namun subtipe 16 dan 18 diketahui dapat mengalami degenrasi

menjadi KSS. Faktor lain yang dipertimbangkan antara lain refluks gastroesofageal;

walaupun hubungannya dengan kanker laring masing belum pasti. Berbagai paparan

okupasi dan inhalasi bahan toksis (seperti asbestos dan mustard gas), defisiensi

nutrisi, dan radiasi leher sebelumnya dihubungkan dengan terjadinya kanker laring. 2,3

Page 59: Kelainan Tonsil

Skema model perkembangan karsinoma sel skuamosa laring.

Weisman RA, Moe KS, Orloff LA. Neoplasm of the Larynx and Laryngopharynx.In

Snow JB, Ballenger JJ. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 16th

edition. Ontario: BC Decker. 2003. h.1258.

2.3 Epidemiologi

Tumor maligna pada glotis dibanding supraglotis adalah 1.5:1.0 di Amerika

Serikat, namuan tidak sama di seluruh dunia. Variasi epidemiologi antar negara

menggambarkan konsumsi rokok dan alkohol, serta adanya pengaruh lingkungan

dan pengaruh genetik populasi yang terkena. 2

Tabel Insidensi Kanker Laring menurut Lokasi

Supraglotis—40%

Glotis—59%

Subglotis—1%

Sumber: Concus AP, Tran TPN, Sanfilippo NJ, DeLacure MD. Malignat Laryngeal

Lesions. In Lalwani AK. Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology Head and

Neck Surgery 2nd edition. United States: Mc. Graw & Hill. 2008. h. 437-55.

Page 60: Kelainan Tonsil

Tumor maligna yang timbul di subglotis sangat jarang, sebagian besar

merupakan penjalaran dari kanker primer glotis atau supraglotis. Seperti telah

dijelaskan sebelumnya, kanker di supraglotis memiliki aliran limfatik yang lebih kaya

dan lebih sering didiagnosis dengan adanya metastasis ke kelenjar getah bening, dan

oleh karena itu ditemukan pada stadium yang lebih lanjut. 2

Kanker Laring: Insiden Metastasis Leher berdasarkan Lokasi Kanker

T1 T2 T3 T4 All T

Supraglo

tis

15–

40%

35–

42%

50–

65%

>

65%

25–

50%

Glotis < 5% 5–

10%

10–

20%

25–

40%

Subglotis 50%

Sumber: Concus AP, Tran TPN, Sanfilippo NJ, DeLacure MD. Malignat Laryngeal

Lesions. In Lalwani AK. Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology Head and

Neck Surgery 2nd edition. United States: Mc. Graw & Hill. 2008. h. 437-55.

2.4 Pencegahan

Berbagai penelitian memperlihatkan adanya efek protektif retinoid, beta karoten

dan antioksidan lain terhadap perkembangan kanker laring. 2

2.5 Stadium

Kanker laring dibagi menjadi berbagai staidum berdasarkan sistem TNM (tumor,

nodus, metastasis) dari American Joint Committee on Cancer. Untuk keperluan

staging ini, penjalaran ke kelenjar getah bening leher dianggap metastasis

lokoregional; metastasis ke bagian tubuh lain (paru-paru, mediastinum, hepar, dan

tulang) dianggap jauh. Untuk pertama kali, tumor T4 dibagi menjadi dapat direseksi

(T4a) dan tidak dapat direseksi (T4b). Stadium IV sekarang dibagi menjadi IVA, IVB,

dan IVC (ada metastasis jauh). 2

Page 61: Kelainan Tonsil

Staging Tumor Laring Maligna menurut American Joint Committee on Cancer 2002, T

(Tumor), N (Nodus), M (Metastasis)

Supraglotis

T1 Tumor terbatas pada satu bagian supraglotis

T2 Tumor mengenai lebih dari satu tempat supragoltis, glotis, atau area

diluar supraglotis (valekula, basis lingua, dinding medial sinus piriformis)

T3 Tumor menyebabkan fiksasi plika vokalis dan atau menginvasi area pre-

epiglotis, area postkrikoid

T4a Tumor menginvasi kartilago tiroid, dna atau menyebar ke jaringan lunak

leher nonlaring

T4b Tumor menginvasi area prevertebra atau mediastinum, atau ke arteri

karotis

Glotis

T1 Tumor terbatas pada plika vokalis, dapat mengenai komisura anteroir

maupun posterior

T2 Tumor menyebar ke supraglotis, glotis, dan atau mengganggu mobilitias

plika vokalis

T3 Fiksasi plika vokalis

T4a Tumor menginvasi kartilago tiroid, dan atau menyebar ke jaringan lunak

leher non laring

T4b Tumor menginvasi area prevertebra atau mediastinum, atau ke arteri

karotis

Subglotis

T1 Tumor terbatas di subglotis

T2 Tumor menyebar ke plika vokalis dengan mobilitas normal atau

terganggu

T3 Fiksasi plika vokalis

Page 62: Kelainan Tonsil

T4a Tumor menginvasi kartilago krikoid dan tiroid, dan atau menyebar ke

jaringan lunak leher non laring

T4b Tumor menginvasi area prevertebra atau mediastinum, atau ke arteri

karotis

N0 Tidak ada penyebaran ke nodus limfa

N1 Kelenjar limfe ipsilateral tunggal 3 cm

N2a Kelenjar limfe ipsilateral tunggal > 3 cm , < 6 cm

N2b Kelenjar limfe ipsilateral multipel, masing-masing ukuran 6 cm

N2c Kelenjar limfe bilateral atau kontralateral, masing-masing 6 cm

N3 Kelenjar limfe tunggal atau multipel > 6 cm

M0 Tidak ada metastasis jauh

M1 Ada metastasis jauh

St

adi

um

T N M

Page 63: Kelainan Tonsil

I T

1

N

0

M

0

II T

2

N

0

M

0

III T

3

N

0

M

0

T

1

3

N

1

M

0

IVA T

4

a

N

0

2

M

0

T

1

4

a

N

0

M

0

Page 64: Kelainan Tonsil

IVB T

4

b

a

n

y

N

M

0

a

n

y

T

N

3

M

0

IVC a

n

y

T

a

n

y

N

M

1

Prognosis kanker laring ditentukan stadium kanker laring menurut TNM, karakteristik

histologi tumor, berbagai marker kromosom dma molekural serta adanya

komorbiditas dari pasien sendiri.

2.6 Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda lesi maligna laring antara lain serak, disfagia, hemoptisis,

massa di leher, nyeri tenggorokan, nyeri telinga, gangguan jalan nafas, dan aspirasi.

Oleh karena sedikit saja perubahan pada kontur, ketebalan maupun vibrasi pita

suara akan menyebabkan perubahan suara (hoarseness), kanker glotis sering

ditemukan pada stadium awal. Pita suara gagal berfungsi dengan baiik karena

adanya ketidakteraturan pita suara, oklusi atau penyempitan celas glotik,

terserangnya otot-otot vokalis, sendi, dan ligamen krikoaritenoid, dan kadang-

Page 65: Kelainan Tonsil

kadang menyerang saraf. Munculnya serak bergantung pada letak tumor. Paada

tumor subglotis dan supraglotis, serak merupakan gejala akhir atau bahkan dapat

tidak muncul. Pada kelompok ini, gejala pertama tidak khas dan bersifat subyektif

seperti ada yang mengganjal di tenggorookan. Fiksasi dan nyeri akan menyebabkan

suara bergumam (hot potato voice).2,3

Dispnea dan stridor dapat muncul karena sumbatan jalan napas dan dapat

muncul pada setiap tumor laring, disebabkan gangguan jalan napas oleh massa

tumorm penumpukan kotoran atau sekret, atau fiksasi pita suara. Disfagia

merupakan ciri khas tumor pangkal lidah, supraglotik, hipofaring dan sinus

piriformis. Odinofagi menandakan tumor ganas udah mengenai struktur ekstralaring.

Pasien dengan kanker supraglotis lebih sering ditemukan pada stadium lanjut

karena tumor lebih menonjol (stadium T yang lebih tinggi) sebelum muncul

perubahan suara, disfagia, gangguan jalan nafas, atau aspirasi. Terlebih lagi, karena

suplai aliran limfatik supraglotis lebih kaya, lesi primer supraglotis cenderung

bermetastasis lebih awal dan lebih sering didiagnosis pada stadium N yang lebih

lanjut. 2,3

2.7 Pemeriksaan Fisik

Bila dicurigai ada kanker laring, pemeriksaan kepala dan leher lengkap harus

dilakukan, dengan fokus pada laring dan leher. Kualitas suara diperhatikan. Breathy

voice dapat mengindikasikan paralisis pita suara dan muffled voice mengarah ke lesi

supraglotis. 2

2.7.1 Laringoskopi

Laringoskopi dilakukan di praktek menggunakan kaca laring (laringoskopi indirek)

atau endoskop fiberoptik. Harus diperhatikan kontur, warna, karakter vibrasi dan

mobilitas plika vokalis. Lesi maligna laring dapat terlihat seperti jamur, rapuh,

nodular, atau ulseratif, atau hanya dapat berupa perubahan warna mukosa.

Laringoskopi video stroboskopik dapat menemukan iregularitas pada vibrasi mukosa,

periodisitas, dan penutupan plika vokalis. Perhatian khusus harus diberikan pada

keadaan jalan nafas. Lesi besar dapat memerlukan intervensi jalan nafas darurat

Page 66: Kelainan Tonsil

dengan intubasi, tumor debulking, atau trakeotomi. Laringoskopi direk dilakukan

dengan anestesi umum. 2

2.7.2 Pemeriksaan Leher

Pemeriksaan leher dilakukan dengan palpasi untuk pembesaran kelenjar getah

bening dan dengan memperhatikan lokasi, ukuran, konsistensi, dna mobilitas.

Krepitus restriksi laring (gerakan “clicking” dari sisi satu ke sisi lain melalui faring dan

fasi prevertbra) dapat menandakan adanya invasi postkrikoid atau retrofaringeal. 2

2.7.3 Penilaian Status Gizi

Status gizi harus dinilai dan dipertimbangkan pemberian suplemen bila ada indikasi.

Suplemen kalori atau mungkin gartostomi atau pemasangan tube untuk makan

lainnya dapat diperlukan. 2

2.8 Pemeriksaan Laboratorim dan Tes Lainnya 2

Karsinoma sel skuamosa kepala dan leher dapat menyebar ke setiap bagian tubuh,

sehingga pemeriksaan metastasis rutin meliputi pemeriksana berikut ini:

2.8.1 Biopsi

Biopsi lesi laring diperlukan untuk memastikan diagnosis tumor maligna.

Biopsi ini dilakukan dengan bantuan laringoskopi direk di bawah anestesi umum. Lesi

dapat dinilai kedalaman invasi tumor dan mobilitas plika vokalis. Esofagoskopi dana

bronkoskopi dapat dilakukan sekaligus untuk menentukan stadium kanker.

2.8.2 Chest Imaging

Kanker laring pertama menyebar ke nodus limfa servikal regional. Setelah itu

paling sering ke paru-paru sehingga pasien dengan kanker laring harus dilakukan

pemeriksaan rutin rontgen thoraks. Tes ini harus diulang satu atau dua kali per tahun

untuk menilai metastasis. Bila ada kelainan, CT scan thoraks harus dilakukan untuk

mengkonfirmasi lesi. Bronkoskopi dengan pemeriksaan sitologi dari cucian bronkus

atau biopsi transbronkial harus dilakukan bila ada lesi yang mencurigakan. Namun

Page 67: Kelainan Tonsil

lesi pada thoraks dapat pula merupakan tumor primer, karena faktor resiko

merokok.

2.8.3 Pencitraan

Pencitraan radiologis laring dan leher tidak diperlukan untuk kanker glotis

stadium awal dengan leher secara klinis N0. Namun pada kasus kanker supraglotis,

terkadang diperlukan pada stadium awal. Bila ada kecruigaan gangguan mobiltas

plika vokalis, scan harus dilakukan. Pencitraan radiologis umumnya dilakukan pada

kanker laring stadium lanjut untuk menentukan stadium dan perencanaan terapi. CT

scan atau MRI dapat mengidentifikasi invasi preepiglotis atau paraglotis, erosi

kartilagi laring, dan metastasis nodus servikal. MRI lebih sensitif untuk kelainan

jaringan lunak, sementara CT scan lebih baik menilai untuk defek tulang dan

kartilago. Berbagai modalitas pencitraan lain sedang dalam investigasi akan

manfaatnya pada kasus kanker laring, namun belum menjadi standar pelayanan

seperti PET scan. Bila ada kecurigaan akan metastasis jauh, dapat dilakukan bone

scanning.2

Ultrasonografi leher dapat berguna dalam diagnosis kanker laring. Di Eropa

USG digunakan untuk mengidentifikasi metastasis servikal dan menilai abnormalitas

laring, namun hal ini jarang dilakukan di Amerika Utara. 2,3

2.9 Diagnosis Banding

Diagnosis berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi harus ditegakkan

sebelum memlaui terapi karena lesi yang terlihat maligna, dapat saja sebenarnya

jinak. Misalnya pada keadaan infeksi, inflamasi, penyakit granuloma seperti

tuberkulosis, sarkoidosis, blastomikosis, papilomatosis, dan tumor sel granular.

2.10 Lesi Maligna Kanker Laring

2.10.1 Karsinoma Sel Skuamosa (KSS)

KSS meliputi >90% kanker laring dan berkaitan dengan konsumsi rokok dan

alkohol. Secara histologi, KSS dapat terlihat sebagai perubahan berkelanjutan dari

fenotip normal, menjadi hiperplasi, displasia, karsinoma in situ, sampai karsinoma

Page 68: Kelainan Tonsil

invasif. KSS invasif dapat berdiferensiasi baik, sedang, atau buruk, dan dicirikan

dengan sarang sel epitel maligna di sekitar stroma inflamasi desmoplastik. Berbagai

tingkai mitosis dan nekrosis dapat ditemukan. Keratin pearls merupakan gambaran

patognomonik pada KSS berdiferensiasi baik dan sedang. KSS dapat menginvasi

pembuluh darah dan pembuluh limfe serta saraf. Pewarnaan imunohistokimia positif

untuk protein keratin. Varian KSS dapat berupa karsinoma verukosa, spindle cell

carcinoma, KSS basaloid, dan karsinoma adenoskuamosa.2

2.10.1 Kanker Kelenjar Liur

Kelainan maligna dapat muncul dari kelenjar liur minor yang melapisi mukosa

laring. Karsinoma kistik adenois (Adenoid cystic carcinoma – ACC) dan karsinoma

mociepidermoid (mucoepidermoid carcinoma – MEC) paling sering terjadi, walaupun

tipe lain ada dilaporkan. Rasio pria dan wanita yang menderita ACC laring sama.

Secara histologis lesinya menyerupain kelenjar liur mayor dengan pola kribiformis,

tubular atau solid untuk ACC dan pola kistik derajat rendah sampai tinggi untuk MEC.

Operasi merupakan terapi pilihan untuk kedua jenis kanker tersebut dengan ajuvan

radiasi seperti kanker kelenjar liur mayor.2

2.10.3 Sarkoma

Kelainan maligna yang berasal dari mesenkim jarang ditemukan di laring.

Yang paling sering adalah kondrosarkoma. Kondrosarkoma laring paling sering

muncul dari kartilago krikoid dan dicirikan dengan massa submukosa glotis posterior

dengan kalsifikasi pada CT scan. Diagnosis dapat sulit karena biopsi adekuat sulit

dilakukan dan gambaran histologis dengan kondroma benigna dpaat sulit dibedakan.

Kanker ini memiliki karakteristik klinis nonagresif sehingga operasi laring parsial

dengan mempertahankan sebagian fungsi laring sering dilakukan. Radiasi tidak

efektif untuk kanker ini. Sarkoma lainnya misalnya histiositoma fibrosa maligna,

angiosarkoma, dan sarkoma sinovial. 2

2.10.4 Neoplasma lain

Page 69: Kelainan Tonsil

Kanker lain yang dapat ditemukan pada laring antara lain tumor

neuroendokrin seperti tumor karsinoid, limfoma, dan mestastis dari tempat primer

lainnya.

2.11 Terapi

2.11.1 Terapi Kanker Laring Stadium Dini

Kanker laring stadium dini (stadium I dan II) dapat diterapi dengan operasi

atau radiasi modalitas tunggal. Rekomendasi dari American Society of Clinical

Oncology, untuk semua pasien dengan T1 atau T2 harus diterapi dengan tujuan

mempertahankan laring. Keuntungan operasi dibandingkan dengan radiasi adalah

waktu terapi lebih singkat (radiasi membutuhkan 6-7 minggu) dan menunda radiasi

hanya untuk bila terjadi rekurensi. Namun operasi menyebabkan risiko kualitas suara

menjadi buruk, secara kosmetis lebih burul pula. Keuntungan utama terapi radiasi

adalah kualitas suara lebih baik. Komplikasi jangka pendek radiasi antara lain

odinofagi dan edem laring, sementara komplikasi jangka panjang dapat terjadi

fibrosis laring, radionekrosis, atau hipotiroid. 2,3

2.11.2 Terapi Kanker Laring Stadium Lanjut

Kanker laring stadium lanjut (stadium III dan IV) diterapi dengan modalitas

operasi dan radiasi. Untuk tumor T3 dan T4, dimana diperlukan total laringektomi

untuk mengangkat seluruh tumor, beberapa center memilih melakukan kombinasi

kemoterapi dan radiasi karena tidak ada perbedaan pada harapan hidup secara

umum dengan kualitas hidup lebih tinggi daripada bila dilakukan operasi radikal.

Namun operasi ekstripasi dapat diberikan pada pasien yang mengalami destruksi

kartilago yang tidak mungkin berfungsi setelah terapi konservasional. Rehabilitasi

suara setelah laringektomi total dapat dilakukan.2

Terapu ajuvan radiasi sebaiknya dimulai 6 minggu sebelum operasi, satu kali

per hari selama 6-7 minggu. Tempat primer kanker diterapi dengan external beam

irradiation dengan dosis 55-66 Gy sementara kelenjar getah bening menerima dosis

sedikit lebih rendah. Efek samping radiasi sama seperti pada terapi radiasi kanker

Page 70: Kelainan Tonsil

laring stadium dini, namun karena area yang diterapi lebih luas, dapat pula terjadi

mukositis dan xerostomia kronik.2,3

2.11.3 Terapi Leher pada Kanker Laring

Leher tanpa adanya metastasi kelenjar getah bening yang jelas harus diterapi

bila risiko metastasis nodual melebih 20-30%.Terapi untuk leher ipsilateral dan

kontralateral dipertimbangkan untuk kanker supraglotis stadium dini dan untuk

semua kanker laring stadium lanjut. N0 atau N1 dapat diterapi dengan modalitas

tunggal, operasi atau radiasi. N2 atau N3 memerlukan terapi kombinasi. 2

2.12 Terapi Operatif Kanker Laring 2,3

a. Operasi mikrolaring

Pemotongan kanker laring secara endoskopi menggunakan mikroskop dan

alat diseksi mikrolaring, terutama untuk kanker glotis stadium dini.

b. Hemilaringektomi

Pemotongan setengah bagian vertikal laring. Digunakan untuk tumor dengan

ekstensi subglotis < 1 cm di bawah plika vokalis, plika vokalis mobile,

unilateral, tidak ada invasi kartilago, dan tidak ada invasi ke jaringan lunak

ekstralaring.

c. Laringektomi supraglotis

Dilakukan pemotongan supraglotis atau bagian atas laring. Dilakukan pada

tumor T1, T2, T3 dengan invasi area preepiglotis, plika vokalis mobile,

kartilago tidak terkena, komisura anterior tidak terkena, fungsi paru yang

bagus, basis lingua tidak terkena, apeks sinus piriformis tidak terkena, FEV1 >

50%.

d. Laringektomi suprakrikoid

Modifikasi laringektomi supraglotis untuk mempertahankan suara pada

kanker yang berada di anterior glotis.

e. Laringektomi hampir total

Laringektomi parsial yang diperluas dengan hanya meninggalkan satu

aritenoid. Pasien menjadi tergantung pada trakeotomi untuk bernafas.

f. Laringektomi Total

Page 71: Kelainan Tonsil

Pemotongan seluruh laring, termasuk akrtilagi tiroid dan krikoid, dapat

meliputi pula beberapa ring atas trakea dna tulang hyoid. Dilakukan pada

kanker T3 dan T4 yang tidak dapat dilakukan laringektomi parsial, invasi

kartilago tiroid atau krikoid, invasi langsung jaringan lunak leher, invasi basis

lingua lebih dari papila circumvalata. Rehabilitasi suara setelah prosedur ini

dilakukan dengan tracheoesophageal speech menggunakan alat

trakeostomal.

2.13 Komplikasi Terapi 2,3

a. Gangguan suara

Hoarseness, kehilangan jangkauan suara, vocal fatigue, dan lebih mudah

laringitis.

b. Gangguan menelan

Risiko aspirasi meningkat setelah dilakukan laringektomi parsial (karena

operasi ataunya denervasi). Efek akut radiasi seperti mukositis, skresi kental,

odinofagi, dan edema mengganggu proses menelan pada masa peri-radiasi.

Efek jangka panjang radiasi seperti xerostomia juga menyebabkan disfagia.

Radiasi juga dapat menyebabkan striktur, stenosis, atau fibrosis segmen

faringoesofageal.

c. Gangguan pengecapan dan penghidu

Radiasi dapat merusak taste bud permanen. Laringektomi total yang

menyebabkan perubahan anatomis dna berkurangnya aliran udara melalui

mulut dan hidung mempengaruhi indra penghidu pasien.

d. Fistula

Dapat timbul fistula antara laring dna kulit leher, karena kegagalan

penutupan faring setelah laringektomi. Hal ini menyebabkan bocornya saliva

dan isi faring (termasuk makanan) ke kulit.

e. Gangguan jalan nafas

Dapat terjadi pada pasien dengan laringektomi parsial dengan jalan nafas

yang tidak adekuat atau aspirasi.

f. Cedera nervus kranialis

Page 72: Kelainan Tonsil

Pada diseksi leher dengan laringektomi parsial atau total, dapat terjadi

cedera nervus kranialis VII, IX, X, XI, dan XII, berupa cedera sementara

maupun permanen.

g. Cedera vaskular seperti stroke atau perdarahan

h. Dropped shoulder akibat cedera nervus spinal asesorius saat diseksi leher

sehingga fungsi m. Trapesius hilang, tidak dapat mengabduksi lengan lebih

dari 90°, disertai bahu yang menurun dan mengalami rotasi ke dalam.

i. Fibrosis jaringan akibat radiasi atau operasi

j. Hipotiroidisme akibat radiasi atau operasi

REFERENSI

1. Wareing MJ, Rowlands RG. Benign Laryngeal Lesions. In Lalwani AK. Current

Diagnosis and Treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery 2nd edition. United

States: Mc. Graw & Hill. 2008. h. 430-6.

2. Concus AP, Tran TPN, Sanfilippo NJ, DeLacure MD. Malignat Laryngeal Lesions. In

Lalwani AK. Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery

2nd edition. United States: Mc. Graw & Hill. 2008. h. 437-55.

3. Weisman RA, Moe KS, Orloff LA. Neoplasm of the Larynx and Laryngopharynx.In

Snow JB, Ballenger JJ. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 16th

edition. Ontario: BC Decker. 2003. h.1255-92.