Case Report kdrt

Embed Size (px)

DESCRIPTION

case report kdrt

Citation preview

PERAN LEMBAGA SOSIAL DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN KORBAN KASUS KEKERASAAN DALAM RUMAH TANGGA

DISUSUN OLEH

DIAS NUZULIA AFRIANI

1102009080

BLOK ELEKTIF

DOMESTIC VIOLENCE KELOMPOK 2

TUTOR : dr. Yulia Suciati M.biomed

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

2012-2013

PERAN LEMBAGA SOSIAL DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN KORBAN KASUS KEKERASAAN DALAM RUMAH TANGGA

ABSTRACTObjective : Protection against victims and witness is the right of every victim and witness of criminal act (Article 5 of the Victim and Witness Law), including for the victims and witness of the domestic violence crime (KDRT). The issuance of the Law on the Abolition of Domestic Violence has brought fresh air for every woman who is susceptible to be a victim. The problem of domestic violence crime has no longer become private area, but rather, it has become public one. The absence of law that protects victims of violence has no longer become a reason about the high dark-number of violence against women. Even, the issuance of the above law on the abolition of domestic violence has, specifically, manage cooperation of several parties to provide legal protection against victims. Method : The method used in this report is a case study utilizing data observation and exploration from several sources like articles and books. Design : A woman becomes a victim of domestic violence committed by her husband causing her to sustain some injuries on her parts of her body and also experienced shock that makes her needing a protection. Discussion and Conclusion : Violence experienced by women could become a traumatic event which is not easily surmountable, and if it is insurmountable healthily, the victim might suffer from psychological trauma. In order to overcome such an event, the victim who, according to the discussion on the case report are women- need a safe place or facilities to whom they can file their complain and ask for protection. Apart from the state, one of the parties that can provide protection for the victim of domestic violence is a social institution specializing its struggle for womens care.Keyword : domestic violence, victim, women, protectionPENDAHULUANKekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan suatu masalah yang sudah lama terjadi di tengah-tengah masyarakat bagaikan fenomena gunung es. KDRT atau biasa juga disebut kekerasan domestik (domestic violence) merupakan suatu masalah yang khas karena kekerasan dalam rumah tangga terjadi pada semua lapisan masyarakat mulai dari masyarakat berstatus sosial rendah sampai masyarakat berstatus sosial tinggi. Sebagian besar korban KDRT adalah perempuan, apakah istri atau anak perempuan dan pelakunya biasanya adalah suami atau orang orang yang berada di dalam rumah tangga tersebut. Kekerasan yang dialami oleh perempuan dapat menjadi peristiwa traumatik yang tidak dapat diatasi dengan mudah, bahkan jika hal tersebut tidak dapat teratasi secara sehat maka korban tersebut dapat mengalami gangguan trauma psikologis. Namun sebaliknya, apabila masalah tersebut dapat diatasi secara sehat dan efektif maka trauma psikologis dapat dipulihkan juga akan membuka kemungkinan untuk tumbuhnya kemampuan individu dalam meminimalisasi dan mengatasi dampak buruk suatu bencana (resiliensi). Oleh sebab itu penting bagi korban KDRT khususnya perempuan maupun anak untuk mendapat pendampingan dan perlindungan baik secara hukum, medis dan psikologis. Banyak pihak yang akan terlibat dalam penatalaksanaan korban tersebut. Itulah yang akan dibahas lebih lanjut dalam case report ini.1Pada intinya semua kegiatan atau program akan terarah agar dapat membantu menyelesaikan problemnya secara mandiri dan konstruktif. Perlu ditanamkan pada perempuan korban kasus kdrt bahwa mereka tidak sepantasnya mengalami kekerasan dan bahkan jika itu sampai terjadi maka mereka harus segera melaporkan dan meminta perlindungan, karena jika tidak kekerasan tersebut dapat terulang kembali.DESKRIPSI KASUSNy.SF (pelapor) seorang ibu rumah tangga berusia 18 tahun bertempat tinggal di cempaka putih barat melaporkan suaminya Tn.VN (terlapor) berusia 24 tahun bekerja sebagai seorang wiraswasta yang telah melakukan tidak kekerasaan terhadap pelapor sehingga pelapor mengalami cedera di bagian punggung,kepala,dada dan leher.Peristiwa terjadi pada hari Sabtu 10 November 2012 sekitar pukul 9 malam dirumah kostnya. Peristiwa bermula ketika terlapor sudah membuat janji dengan pelapor bahwa pada hari tersebut terlapor akan pulang kerja pada pukul 15.00 dan akan mengajak anaknya jalan-jalan. Tetapi ternyata terlapor baru pulang ke rumah pada pukul 19.00. Ketika pelapor menanyakan perihal keterlambatan si terlapor, terlapor kemudian marah-marah terhadap pelapor. Pelapor kemudian memilih untuk mengalah dan duduk di tangga. Tetapi tiba-tiba terlapor semakin marah dan mulai menarik tangan pelapor sampai hampir terjatuh dari tangga lalu pelapor mulai memukul dan menendang pelapor dibagian kepala, dada, punggung dan leher pelapor pun sempat dicekik.

Atas kejadian tersebut pada hari selasa 13 November 2012 pelapor melaporkan suaminya yaitu Tn.VN (terlapor) ke Polres Metro Jakarta Pusat atas tuduhan kasus kekerasan dalam rumah tangga dan pelapor sebagai korban mengaku ketakutan dan ingin meminta perlindungan. Berdasarkan informasi, pelapor baru menjalani rumah tangga selama 2 tahun sejak usianya masih 16 tahun. DISKUSIKekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan terhadap wanita atau perempuan merupakan perbuatan melanggar hukum dan hak asasi manusia (HAM). Khusus kekerasan sebagai peristiwa pelanggaran hukum dewasa ini sudah menjadi suatu fenomena faktual dalam kehidupan masyarakat. Perlindungan hukum terhadap wanita perlu diberikan pada korban yang umumnya lemah melawan laki-laki. Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami korban meninggalkan bekas luka yang tidak mudah dilupakan. Perbuatan pelanggar hukum dapat dikenakan ancaman sanksi pidana berat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 12KDRT adalah persoalan yang rumit untuk dipecahkan. Ada banyak alasan. Boleh jadi, pelaku KDRT benar-benar tidak menyadari bahwa apa yang telah ia lakukan adalah merupakan tindak KDRT. Atau, bisa jadi pula, pelaku menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan tindakan KDRT. Hanya saja, ia mengabaikannya lantaran berlindung diri di bawah norma-norma tertentu yang telah mapan dalam masyarakat. Sehingga menganggap perbuatan KDRT sebagai hal yang wajar dan pribadi .Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga atau KDRT, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. UU PKDRT ini lahir melalui perjuangan panjang selama lebih kurang tujuh tahun yang dilakukan para aktivis gerakan perempuan dari berbagi elemen.2Di Indonesia, secara legal formal, ketentuan ini mulai diberlakukan sejak tahun 2004. Misi dari Undang-undang ini adalah sebagai upaya, ikhtiar bagi penghapusan KDRT. Dengan adanya ketentuan ini, berarti negara bisa berupaya mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban akibat KDRT. Sesuatu hal yang sebelumnya tidak bisa terjadi, karena dianggap sebagai persoalan internal keluarga seseorang. Pasalnya, secara tegas dikatakan bahwa, tindakan kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran rumah tangga (penelantaran ekonomi) yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga merupakan tindak pidana. Tindakan-tindakan tersebut mungkin biasa dan bisa terjadi antara pihak suami kepada isteri dan sebaliknya, atapun orang tua terhadap anaknya. Sebagai undang-undang yang membutuhkan pengaturan khusus, selain berisikan pengaturan sanksi pidana, undang-undang ini juga mengatur tentang hukum acara, kewajiban negara dalam memberikan perlindungan segera kepada korban yang melapor. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa ketentuan ini adalah sebuah terobosan hukum yang sangat penting bagi upaya penegakan HAM, khususnya perlindungan terhadap mereka yang selama ini dirugikan dalam sebuah tatanan keluarga atau rumah tangga.2Terobosan hukum lain yang juga penting dan dimuat di dalam UU PKDRT adalah identifikasi faktor-faktor yang memiliki potensi terlibat dalam kekerasan. Pada Pasal 2 UU PKDRT disebutkan bahwa lingkup rumah tangga meliputi:a. suami, isteri, dan anak

b. orang-orang yang memiliki hubungan keluarga sebagaimana dimaksud pada huruf (a) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga c. orang-orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut sehingga dipandang sebagai anggota keluarga.UU PKDRT merupakan terbosan hukum yang positif dalam ketatanegaraan Indonesia. Dimana persoalan pribadi telah masuk menjadi wilayah publik. Pada masa sebelum UU PKDRT ada, kasus-kasus KDRT sulit untuk diselesaikan secara hukum. Hukum Pidana Indonesia tidak mengenal KDRT, bahkan kata-kata kekerasan pun tidak ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kasus-kasus pemukulan suami terhadap isteri atau orang tua terhadap anak diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal tentang penganiayaan, yang kemudian sulit sekali dipenuhi unsur-unsur pembuktiannya, sehingga kasus yang diadukan, tidak lagi ditindaklanjuti.2Dengan adanya UU PKDRT, isu kekerasan di dalam rumah tangga menjadi isu publik. Hal ini juga dapat dilihat dengan peningkatan jumlah kasus KDRT yang dilaporkan. Catatan tahunan Komnas Perempuan sejak tahun 2001 s.d. 2007 menunjukkan peningkatan pelaporan adalah sebanyak 5 kali lipat. Sebelum UUPKDRT, yaitu dalam rentang 2001-2004, jumlah yang dilaporkan adalah atau sebanyak 9.662 kasus. Sejak diberlakukannya UUPKDRT,2005-2007, terhimpun sebanyak 53.704 kasus KDRT yang dilaporkan.3Gb.1 grafik pelaporan kasus kdrt sebelum dan sesudah lahirnya UU PKDRT.3Statistik Mitra Perempuan Womens Crisis Centre tahun 2011 (hingga 10 Desember) mencatat jumlah layanan pengaduan dan bantuan diberikan kepada 209 orang perempuan dan anak-anak yang mengalami kasus kekerasan, terutama 90,43% merupakan kasus-kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di wilayah Jakarta, Tangerang, Bekasi, Depok, Bogor dan wilayah lainnya sebagaimana dilarang dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.4Tercatat terjadi penurunan jumlah perempuan yang pertama kali mengakses layanan hotline & konseling di 3 layanan Mitra Perempuan (Jakarta, Tangerang & Bogor)di tahun ini dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, jumlah kasus masih tinggi terlihat dalam total kasus tahun-tahun sebelumnya (2010: 287 orang, 2009: 204 orang, 2008: 279 orang, 2007: 283 orang). Demikian pula jenis kasus dan dampak kekerasan yang dialami oleh perempuan sebagai korban cukup serius.4Database Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan tahun ini mencatat bahwa pelaku terbanyak adalah laki-laki yang mempunyai relasi perkawinan dengan perempuan yang menjadi korbannya, diantaranya suami, mantan suami, orang tua, anak, bahkan saudara/kerabat. Statistik menunjukkan bahwa teman dekat atau pacar merupakan pelaku kekerasan urutan kedua tertinggi (9,09%) sesudah suami korban (75,60%). Database juga menunjukkan bahwa profil pelaku dan korban kekerasan terhadap perempuan terutama KDRT, sangat beragam latar belakang status sosial, ekonomi, usia, etnis & agamanya.4Dalam UU PKDRT dikenal dua perlindungan: (1) Perlindungan Sementara, (2) Perlindungan Pengadilan (PP)Perlindungan sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perlindungan dari pengadilan. Sementara itu PP adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban (Pasal 1 ayat 6).5Walaupun sudah tertulis dalam UUPKDRT, Korban KDRT atau bahkan lembaga pemberi perlindungan itu sendiri belum tentu memahami bagaimana perlindungan itu didapatkan dan bagaimana diberikan. Bagi korban yang status sosial ekonominya lebih tinggi atau institusi dan lembaga selaku penegak hukum, tentu persoalan mendapatkan atau memberikan perlindungan itu bukanlah masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta akreditasi selaku institusi dan lembaga pemberi perlindungan terhadap korban KDRT.5UU PKDRT secara selektif membedakan fungsi perlindungan dengan fungsi pelayanan. Artinya tidak semua institusi dan lembaga itu dapat memberikan perlindungan apalagi melakukan tindakan hukum dalam rangka pemberian sanksi kepada pelaku. Perlindungan oleh institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat pemberian pelayanan konsultasi, mediasi, pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai kepada litigasi atau meja sidang. Tetapi walaupun demikian, peran masing-masing institusi dan lembaga itu sangatlah penting dalam upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT.5Selain itu, UU PKDRT juga membagi perlindungan itu menjadi perlindungan yang bersifat sementara dan perlindungan dengan penetapan pengadilan serta pelayanan. Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya masing-masing (LBH APIK Jakarta) :

1. Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama 7 (tujuh) hari, dan dalam waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan tenaga kesehatan, sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Pelayanan terhadap korban KDRT ini harus menggunakan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang mudah diakses oleh korban. Pemerintah dan masyarakat perlu segera membangun rumah aman (shelter) untuk menampung, melayani dan mengisolasi korban dari pelaku KDRT. Sejalan dengan itu, kepolisian sesuai tugas dan kewenangannya dapat melakukan penyelidikan, penangkapan dan penahanan dengan bukti permulaan yang cukup dan disertai dengan perintah penahanan terhadap pelaku KDRT. Bahkan kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelanggaran perintah perlindungan, artinya surat penangkapan dan penahanan itu dapat diberikan setelah 1 X 24 jam.2. Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku (mediasi), dan mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial (kerja sama dan kemitraan).3. Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah perlindungan yang diberikan selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh) hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan yang ditandatanganinya mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan. Pengadilan juga dapat memberikan perlindungan tambahan atas pertimbangan bahaya yang mungkin timbul terhadap korban.4. Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali terutama dalam upaya pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti. 5. Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan memberi rasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan, serta mengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga terkait.6. Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan seorang atau beberapa relawan pendamping, mendampingi korban memaparkan secara objektif tindak KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.7. Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban dan memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban. Bentuk perlindungan dan pelayanan ini masih besifat normatif, belum implementatif dan teknis oparasional yang mudah dipahami, mampu dijalankan dan diakses oleh korban KDRT. Adalah tugas pemerintah untuk merumuskan kembali pola dan strategi pelaksanaan perlindungan dan pelayanan dan mensosialisasikan kebijakan itu di lapangan. Tanpa upaya sungguh-sungguh dari pemerintah dan semua pihak, maka akan sangat sulit dan mustahil dapat mencegah apalagi menghapus tindak KDRT di muka bumi Indonesia ini, karena berbagai faktor pemicu terjadinya KDRT di negeri ini amatlah subur.5Bentuk perlindungan dan pelayanan ini masih besifat normatif, belum implementatif dan teknis oparasional yang mudah dipahami, mampu dijalankan dan diakses oleh korban KDRT. Adalah tugas pemerintah untuk merumuskan kembali pola dan strategi pelaksanaan perlindungan dan pelayanan dan mensosialisasikan kebijakan itu di lapangan. Tanpa upaya sungguh-sungguh dari pemerintah dan semua pihak, maka akan sangat sulit dan mustahil dapat mencegah apalagi menghapus tindak KDRT di muka bumi Indonesia ini, karena berbagai faktor pemicu terjadinya KDRT di negeri ini amatlah subur.5Pemulihan korban berdasarkan kepada Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga :

UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 39

Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:

a. Tenaga kesehatan;

b. Pekerja sosial;

c. Relawan pendamping; dan/atau

d. Pembimbing rohani.UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 40

1. Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya

2. Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan

merehabilitasi kesehatan korban.UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 42

Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja sama.

Yang dimaksud dengan upaya pemulihan korban Peraturan Pemerintah RI No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga pada Pasal 1 ayat 1 ialah :

Segala upaya untuk penguatan korban kekerasan dalam rumah tangga agar lebih berdaya baik secara fisik maupun psikis.PP PKPKKDRT Pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa Penyelenggaraan pemulihan ialah:

Segala tindakan yang meliputi pelayanan dan pendampingan korban KDRT.

PP PKPKKDRT Pasal 2 ayat 1 menyebutkan :

Bahwa penyelenggaraan pemulihan terhadap korban dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan pemerintah daerah serta lembaga sosial sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing, termasuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan korban.Hal yang sama disebutkan dalam PP RI Pasal 19 yang menyebutkan :

Untuk penyelenggaraan pemulihan, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing dapat melakukan kerjasama dengan masyarakat atau lembaga sosial, baik nasional maupun internasional yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Dari ketentuan ini, lembaga sosial mendapat kesempatan untuk berperan dalam melakukan upaya pemulihan korban KDRT.PP PKPKDRT Pasal 4 menyebutkan Penyelenggaraan kegiatan pemulihan korban meliputi : a) Pelayanan kesehatan

b) Pendampingan korban

c) Konseling

d) Bimbingan rohani

e) Resosialisasi 6Lembaga sosial Lembaga sosial dalam hal ini ialah lembaga atau organisasi sosial yang peduli terhadap masalah kekerasan dalam rumah tangga misalnya lembaga-lembaga bantuan hukum (penjelasan pasal 10 huruf a UUPKDRT). Pada dasarnya lembaga sosial ini bukanlah lembaga sosial yang langsung memiliki fokus kegiatan kepada masalah kekerasan dalam rumah tangga tetapi umumnya lembaga sosial ini terlebih dahulu memfokuskan kegiatannya kepada perempuan atau dari aspek kehidupan lainnya.Sehubungan dengan faktor diatas, pada dasarnya lembaga sosial digerakkan oleh kaum feminis yang melihat kebebasan, martabat dan kesetaraan perempuan sering dilanggar oleh hukum yang ada, ketentuan adat dan tradisi yang berlaku bagi perempuan . pemahaman bahwa tidaklah mungkin untuk memperjuangkan hak asasi perempuan terpisah dari perjuangan memperoleh kesetaraan antara laki-laki dan perempuan mendorong aktivis perempuan ini memulai perjuangan secara internasional yang menuntut agar masalah hak asasi perempuan menjadi topik dan bagian dari pembicaraan internasional, setelah itu menuntut agar hak asasi perempuan tidak lagi merupakan isu marginal (isu pinggiran yang tidak penting) melainkan isu yang digeser ke tengah yang menjadi fokus perhatian negara di tingkat nasional,regional dan internasional.7 Dalam pengertian lembaga sosial, penting membedakan bentuk lembaga sosial. Lembaga sosial ada yang berbentuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan ada yang berbentuk lembaga bantuan hukum (LBH). Lembaga swadaya masyarakat yang selanjutnya disebut dengan LSM ini memiliki kegiatan untuk mensejahterakan masyarakat dan memberdayakan mayarakat agar ikut serta dalam pembangunan, membela kepentingan masyarakat dalam pembangunan, memfasilitasi masyarakat untuk mempertahankan kehidupannya. Dalam hal ini LSM memfokuskan kegiatan pada satu bidang tertentu, biasanya menyangkut kehidupan sosial, ekonomi dan lainnya. Sedangkan lembaga sosial berbentuk lembaga bantuan hukum (LBH) memfokuskan kepeduliannya kepada masyarakat dari sisi hukum sebagai salah satu cara untuk mensejahterakan masyarakat. LBH memberikan pengetahuan tentang hukum kepada masyarakat agar masyarakat tahu dan mengerti keadaan hukum dan mengetahui hak dan kewajibannya dalam hukum. Ada beberapa lembaga sosial bentuk LSM yang juga memiliki kegiatan dalam bidang hukum, hanya saja kegiatan ini bukan fokus utama dari LSM tersebut.8Misalnya LBH-APIK (asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan), salah satu lembaga sosial yang memiliki fokus perhatian dalam bidang hukum . LBH-APIK memiliki kegiatan seperti bantuan hukum, pendidikan dan penyadaran hukum yang semua kegiatan itu berfokus kepada perempuan. 8LSM merupakan mediator pemerintah dan masyarakat, dalam hal ini UU PKDRT memberikan kesempatan kepada LSM untuk bekerjasama dengan penegak hukum lainnya untuk mengurangi tingkat kekerasan dalam rumah tangga. LSM menyatu dengan masyarakat ketika lembaga sosial turut merasakan penderitaan korban kekerasan dalam rumah tangga sehingga menuntut lahirnya UU PDKRT No.23 Tahun 2004 dan membuka diri untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga tanpa memandang status sosial dan dengan menggunakan semboyan bantuan hukum non profit atau prodeo12Dalam hal ini perlindungan korban yang dilakukan oleh lembaga sosial berfungsi :

1. Untuk membantu korban KDRT menuntut yang menjadi haknya yaitu kompensasi (ganti rugi bersifat keperdataan yang timbul karena permintaan korban, dibayar masyarakat yang merupakan pertanggungjawaban masyakat/negara) dan restitusi (ganti rugi bersifat pidana, timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar terpidana yang merupakan wujud pertanggungjawaban terpidana).

2. Untuk memandirikan korban KDRT memenuhi kebutuhan ekonominya dan pemberian skill/kemampuan yang dapat dimilikinya.

3. Untuk mengembalikan rasa percaya diri yang dialami korban KDRT agar mampu bersosialisasi dengan masyakat.

4. Untuk membantu memulihkan keadaan korban KDRT.

5. Untuk mempersiapkan perempuan korban KDRT agar menjadi penolong bagi korban KDRT lainnya.

Tujuan utama perlindungan korban dalam hal ini adalah menguatkan korban kekerasan dalam rumah tangga agar lebih berdaya baik secara fisik maupun secara psikis dan kemampuan ekonomi dan bersosialisasi serta mendapatkan ganti kerugian yang dialami korban kekerasan dalam rumah tangga.

Manfaat yang diperoleh dalam perlindungan korban ini ialah:

1. Korban mendapat haknya sebagai ganti rugi yang dialaminya.

2. Korban KDRT mampu memenuhi kebutuhannya tanpa bergantung penuh kepada suami.

3. Korban KDRT dapat menjadi penolong bagi korban KDRT lainnya dan dapat mengurangi serta melakukan upaya pencegahan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

4. Korban KDRT mendapat kepercayaan diri dan tidak merasa malu untuk hidup dalam masyarakat.9 Lembaga Pengada Layanan bagi Perempuan Korban KDRT

Dalam 10 tahun reformasi, 29 produk kebijakan telah dihasilkan untuk menangani dan menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, berupa: 11 kebijakan di tingkat nasional, 15 kebijakan di tingkat daerah dan 3 kebijakan di tingkat regional ASEAN. Sebanyak 235 lembaga baru dari Aceh hingga Papua telah didirikan oleh masyarakat dan negara untuk menangani kekerasan terhadap perempuan: Komnas Perempuan di tingkat nasional, 129 Unit Pelayanan bagi Perempuan dan Anak di Polres, 42 Pusat Pelayanan Terpadu di rumah-rumah sakit, 23 Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), dan 41 womens crisis center (WCC) di berbagai daerah. Perangkat pelaksanaan 29 produk kebijakan ini merupakan tantangan yang perlu segera dijawab, selain meningkatkan ketersediaan SDM yang kompeten untuk memberi layanan yang memenuhi hak-hak korban. Kerangka kebijakan dan kelembagaan baru ini mayoritas terfokus pada penanganan KDRT.3Dalam sepuluh tahun, jumlah lembaga pengada layanan bagi perempuan korban tumbuh dengan pesat. Jika pada tahun sebelum 1998 jumlah lembaga layanan korban masih sangat terbatas dan terpusat di Jakarta maka sejak tahun 1998 jumlah lembaga layanan semakin meningkat dan menyebar di berbagai wilayah Indonesia, baik yang dibentuk oleh organisasi perempuan maupun oleh pemerintah. Saat ini terdapat 41 WCC, 23 unit P2TP2A/P3A, UPPA/RPK 129 unit, 42 unit PKT/PPT/UPT yang berbasis di RS- 36 diantaranya ada di RS Bayangkara. Lembaga-lembaga layanan tersebut tersebar di seluruh Indonesia.3Women Crisis Centre (WCC) atau organisasi perempuan penyedia layanan. Setidaknya ada delapan macam pelayanan yang biasanya disediakan oleh WCC, yaitu hotline , layanan konseling, support group, pendampingan hukum, penyediaan rumah aman atau shelter, terapi psikologi, pelayanan medis, dan penguatan ekonomi. Jenis layanan yang tersedia dari satu lembaga beragam dan sangat tergantung pada sumber daya yang ia miliki, yaitu ketersediaan tim konselor, tim medis, tim hukum, atau juga relawan, dan juga tergantung pada fasilitas yang ia miliki, misalnya saja ruang khusus konseling, ruang khusus pemeriksaan medis, line telepon untuk hotline, rumah aman atau shelter. Karena keterbatasan sumber daya, banyaknya kasus yang harus ditangani, serta kompleksitas persoalan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, WCC membangun kerjasama dengan pihak lain, baik itu institusi pemerintah, swasta maupun lembaga masyarakat lainnya yang kompeten untuk ikut serta dalam penanganan korban. Kerjasama ini biasanya diinstitusionalisasikan lewat surat kesepakatan (MoU). Ada pula kerjasama yang sifatnya lebih tidak formal, seperti lewat jaringan atau dengan menggunakan relasi personal.3Rumah Sakit (RS). Peran aktif RS dalam memberikan layanan bagi perempuan korban kekerasan dikembangkan bersama oleh Komnas Perempuan dan RSCM Jakarta dengan menggagas Pusat Krisis Terpadu (PKT) tahun 2001. Inisiatif ini kemudian diadopsi di berbagai lembaga kesehatan lainnya, seperti RS Kepolisian dr Said Soekanto dan RS TNI AL Mintohardjo. Selanjutnya Pusat Krisis Terpadu (PKT) berkembang menjadi Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) yang berada dibawah Instalasi Gawat Darurat. Di luar Jakarta, inisiatif ini juga dilakukan oleh RS Panti Rapih Jogjakarta dengan nama Unit Pelayanan Terpadu (UPT). Beberapa RS lainya di beberapa daerah juga menyelenggarakan layanan terpadu seperti RSUD dr Soetomo Surabaya, RS Mappa Oudang Makassar dan di 36 RS Bhayangkara se Indonesia.3Unit Pelayanan Perempuan dan Anak ( UPPA) di Kepolisian. UPPA adalah tindak lanjut dari Ruang Pelayanan Khusus (RPK) yang dibentuk sejak 1999 sebagai inisiatif mandiri Derap Warapsari, organisasi yang didirikan oleh mantan Polwan. Setelah 8 tahun berjuang untuk mendapat pengakuan institusional agar mampu memberikan layanan yang lebih baik bagi perempuan korban, RPK atau sekarang UPPA menjadi unit tersendiri dalam struktur kepolisian berdasarkan Peraturan Kapolri No 10/2007. Dalam memberikan layanan, UPPA bekerjasama dengan lembaga pemerintah (lokal) dan organisasi perempuan, serta rumah sakit. Awak UPPA dilatih secara khusus agar sensitif jender dan layanan diberikan seringkali mencakup konseling, dampingan pemeriksaan medis, line telepon khusus pengaduan, dan rumah aman.3Kejaksaan. Lembaga penegakan hukum ini, pada saat ini juga mengalokasikan dana secara rutin untuk menangani kasus Kekerasan terhadap Perempuan. Lembaga ini juga mengintegrasikan jender sebagai salah satu bidang pendidikan yang diajarkan kepada aparatnya.3Sudut pandang agama Hak atas keamanan dan kemerdekaan pribadi terdapat dalam surat An Nisa ayat 58 dan surat Al-Hujurat : 6 yang berbunyi :

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS 4;58)

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang yang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaanya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS 49;6)10Perihal suami tidak boleh membenci istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan tidak menyukainya.Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (An-Nisa`: 19)

Dalam tafsir Al-Jami li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: Firman Allah Subhanahu wa Taala: (Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma tentang ayat ini: Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Taala berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain. (HR. Muslim no. 1469)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya. (Al-Minhaj, 10/58) (6)

Perihal suami diperintah untuk berlaku baik pada istrinya. Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut. (An-Nisa`: 19)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Taala berfirman dalam hal ini:

Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang maruf. (Al-Baqarah: 228)

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:

Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)ku.2 (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/173)11KESIMPULAN

Peranan pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga sangat besar. untuk itu pemerintah membutuhkan kerjasama yang baik dari semua pihak yang terkait, termasuk keluarga korban dan masyarakat luas. Peranan lembaga sosial dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban kdrt sangat besar. Untuk itu lembaga membutuhkan kerjasama yang baik dari semua pihak yang terkait, termasuklah keluarga korban dan masyarakat luas. Keberadaan lembaga sosial yang peduli terhadap kasus kdrt masih sedikit, sedangkan masyarakat yang tidak mengetahui hak asasinya dan masyarakat yang menumbuhkembangkan kekerasan dalam rumah tangga sangat banyak, untuk itu sangat dibutuhkan kehadiran lembaga-lembaga sosial baru yang peduli terhadap masalah kdrt.

SARAN

Setelah mengkaji beberapa aspek tentang kekerasan dalam rumah tangga, maka kami menyarankan :

1. Bagi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga

Pada umumnya dapat berbagi dengan anggota keluarga, teman, atau melapor ke LSM bahkan langsung ke pihak berwajib mengenai apa yang sudah dialaminya. Korban dapat bercerita dengan pihak yang dianggapnya mampu untuk menjaga dan membantu memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Bagi Masyarakat yang mengetahui adanya tindak kekerasan diharapkan dapat membantu. Masyarakat mengadakan kesepakatan antar warga untuk mengatasi masalah-masalah kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di lingkungan sekitar, melalui penyuluhan warga. Masyarakat dapat membantu korban untuk melaporkan kepada ketua RT dan polisi.

2. Bagi Instansi Terkait seperti, LSM, LBH, dan Kepolisian

Agar dapat cepat tanggap mengatasi masalah korban kekerasan. Hal tersebut diharapkan dapat membantu korban-korban kekerasan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.UCAPAN TERIMA KASIH

Pada bagian ini, penulis ingin berterima kasih kepada Polres Jakarta Pusat khususnya kepada AKP Sentike.B,SH yang telah memberikan kesempatan untuk berkunjung dan mengumpulkan data untuk laporan ini. Terima kasih juga kepada dr.Yulia Suciati M.biomed yang telah memberikan bimbingan dan waktunya untuk menyelesaikan laporan kasus ini. Tak lupa terima kasih saya haturkan kepada dr.Hj.RW.Susilowati, Mkes dan DR.Drh.Hj Titiek Djannatun sebagai koordinator blok elektif, serta dr.Ferryal Basbeth, SpF sebagai dosen pengampu. Kepada semua anggota kelompok Domestic Violence II terima kasih atas dukungan dan kerja samanya.

Daftar Pustaka1. Herdiana,Ike. Gambaran kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia, akses 22 November 2012, dari http://Ike herdiana-fpsi.web.unair.ac.id/

2. Anonim. Undang-undang No 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, akses 22 November 2012, dari http://www.djpp.depkumham.go.id/hukum-pidana/3. Anonim. Catatan kekerasan terhadap perempuan tahun 2007, akses 22 November 2012, dari http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2009/02/catatan-tahun-kekerasan-terhadap-perempuan-2007.pdf4. Anonim. Statistik catatan tahunan tahun 2011, akses 23 November 2012,dari http://perempuan.or.id/statistik-catatan-tahunan/2012/01/03/tahun-2011-statistik kekerasan-terhadap-perempuan-mitra-perempuan-wcc/5. Nawawi, Marsidin, Perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga, akses 22 November 2012, dari http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/012007/16/0902.htm6. Peraturan Pemerintah RI No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga7. Sadili, Saprinah. Hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia dalam achie sudiarti luhulima (ed)op.cit8. Marolob, Juppa Halolo.Perlindungan hukum terhadap korban kdrt, akses 24 November 2012 dari http://www.usu respiratory.2009/9. Arif, Barda Nabawi. 2005. Beberapa Aspek Kebijakan Penanggulangan Pengakuan dan Pengembangan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti.10. Anonim. Saling Mengasihi Sesama Muslim , akses 24 November 2012, dari http://muslimin-indonesia.blogspot.com/2010/10/saling-mengasihi-sesama muslim.html11. Assegaf, Salim. Islam Memuliakan Wanita, akses 24 November 2012, dari http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/muslimah/surat-an-nisa-satu-bukti-islam-memuliakan-wanita/12. UN Development Fund for Women 2003, Indonesia Country Profile, A Life Free of Violence Its Our Right!, access Accessed 22 November 2012, from http://www.unifem-eseasia.org/resources/others/domesticviolence/PDF/Indonesia.pdf