Upload
astryanisyarifah-trya
View
2.247
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
Tugas Kelompok
MAKALAH UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004
TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Mata kuliah Perundang-Undangan Sosial
Diajukan untuk memenuhi nilai tugas kelompok persentase
Dosen : Nurhayani Lubis, SH, M.Pd
Oleh:
Kelompok 7
Ahmad Darojatun (1204241)
Dian Puspita Sari (1204126)
Titin Anisa (1204114)
SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL
BANDUNG
2013
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb.
Puji Syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat
dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Perundang-
undangan Sosial, tepat pada waktunya dan tanpa ada kendala yang berarti. Makalah ini
merupakan hasil kerjasama yang baik dari kelompok kami.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen Perundang-undangan Sosial, Ibu
Nurhayani Lubis atas bimbingan yang diberikan dalam penyelesaian makalah ini. Terima
kasih kepada teman-teman kelas 1 / I atas kerjasama dan dukungannya selama ini.
Kami sangat menyadari bahwa sebagai manusia yang memiliki keterbatasan,
tentu di dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan dan kelemahannya. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk perbaikan
makalah selanjutnya. Kami berharap, makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita
semua. Amin.
Wassalam.
Bandung, 6 Maret 2013
Kelompok 7
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................1
DAFTAR ISI...................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................3
1.1 Latar Belakang Masalah...........................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................4
1.3 Tujuan.......................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................5
2.1 Sekilas Tentang UU PKDRT....................................................................................5
2.2 Filosofi UU PKDRT.................................................................................................5
2.3 Pengertian KDRT......................................................................................................7
2.4 Lingkup Rumah Tangga............................................................................................8
2.5 Asas dan Tujuan PKDRT..........................................................................................8
2.5.1 Asas PKDRT...................................................................................................8
2.5.2 Tujuan PKDRT................................................................................................9
2.6 Bentuk-Bentuk KDRT..............................................................................................9
2.7 Penyebab KDRT.....................................................................................................12
2.8 Pembuktian Kasus KDRT.......................................................................................14
2.9 Cara Penanggulangan KDRT..................................................................................14
BAB III PENUTUP......................................................................................................15
3.1 Kesimpulan.............................................................................................................15
3.2 Saran........................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................16
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan
berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian
setiap anggota keluarga. Keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala
rumah tangga sebagai tokoh penting yang memimpin keluarga disamping beberapa
anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga terdiri dari Ayah, ibu, dan anak merupakan
sebuah satu kesatuan yang memiliki hubungan yang sangat baik. Hubungan baik ini
ditandai dengan adanya keserasian dalam hubungan timbal balik antar semua
anggota/individu dalam keluarga. Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh
anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan,
kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental, emosi dan sosial) seluruh
anggota keluarga. Keluarga disebut disharmonis apabila terjadi sebaliknya.
Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun orang tua dengan
anak merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada
rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam rumah tangga bukanlah
sesuatu yang menakutkan. Hampir semua keluarga pernah mengalaminya. Yang mejadi
berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikan hal tersebut. Apabila
konflik diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin sering terjadi dalam
keluarga.
Penyelesaian masalah dilakukan dengan marah yang berlebih-lebihan, hentakan-
hentakan fisik sebagai pelampiasan kemarahan, teriakan dan makian maupun ekspresi
wajah menyeramkan. Terkadang muncul perilaku seperti menyerang, memaksa,
mengancam atau melakukan kekerasan fisik. Perilaku seperti ini dapat dikatakan pada
tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diartikan setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam
rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan,
dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk
3
kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi
manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Untuk itu, disini kami sebagai penulis akan membahas undang – undang yang
mengatur tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yaitu Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah di atas adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
2. Apa saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
3. Apakah faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
4. Bagaimana cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
5. Apakah perlindungan bagi korban KDRT?
6. Apakah pengertian KDRT menurut UU?
1.3 Tujuan
Tujuan dari rumusan masalah di atas yaitu :
1. Menjelaskan yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
2. Menjelaskan apa saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga.
3. Menjelaskan faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga.
4. Menjelaskan cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
5. Menjekaskan perlindungan bagi korban KDRT.
6. Menjelaskan pengertian KDRT menurut UU.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 . Sekilas Tentang Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Berdasarkan hasil Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 14
September 2004, telah disahkan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 mengenai
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab,56
pasal dan 45 ayat yang diharapkan dapat menjadi payung perlindungan hukum bagi
anggota dalam rumah tangga, khususnya perempuan, dari segala tindak kekerasan.
Secara garis besar UU ini berisi tentang ketentuan umum, meliputi pengertian
KDRT, penghapusan KDRT, korban KDRT, perlindungan, perintah perlindungan, dan
lingkup rumah tangga. Bab-bab selanjutnya mengatur tentang asas dan tujuan
diadakannya penghapusan KDRT, larangan KDRT termasuk bentuk-bentuk KDRT, hak-
hak korban, kewajiban Pemerintah dan masyarakat, perlindungan, pemulihan korban, dan
ketentuan pidana.
Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ini
terkait erat dengan beberapa peraturan perundang undangan lain yang sudah berlaku
sebelumnya, antara lain, Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana serta Perubahannya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women),dan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
2.2 Filosofi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU
PKDRT)
Sebuah tantangan dalam pencapaian persamaan hak, pengembangan dan
kedamaian yang diakui dalam Nairobi Forward-looking Strategis for the Advancement of
Women,yang merekomendasikan satu perangkat tindakan untuk memerangi kekerasan
terhadap perempuan. Rekomendasi tersebut dibebankan kepada Pemerintah sebagai
kewajiban hukum dan moral untuk menghilangkan KDRT melalui kombinasi berbagai
5
langkah serius.KDRT merupakan permasalahan yang telah mengakar sangat dalam dan
terjadi di seluruh negara dunia. Dalam hal ini, masyarakat internasional telah
menciptakan standar hukum yang efektif dan khusus memberikan perhatian terhadap
KDRT. Tindakan untuk memukul perempuan, misalnya, telah dimasukan di dalam
konvensi HAM internasional maupun regional yang mempunyai sifat hukum mengikat
terhadap negara yang telah meratifikasinya. Dokumen HAM Internasional tersebut
meliputi, Universal Declaration of Human Rights (“UDHR”), the International Covenant
on Civil and Political Rights (“ICCPR”), dan the International Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights (“ICESCR”) yang menjadi standar umum mengenai Hak Asasi
Manusia, di mana para korban dari KDRT dapat menggugat negaranya masing-masing.
Berbagai pertistiwa kekerasan dalam rumah tangga telah menunjukkan bahwa negara
telah gagal untuk memberi perhatian terhadap keluhan para korban.Maka negara dapat
dikenakan sanksi jika negara tersebut merupakan anggota dari instrumen internasional
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Hal yang sama dapat pula dilakukan di bawah
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women
(“CEDAW”) beserta dengan Protokolnya, dan juga melalui Convention Against Torture
and Other Cruel, In human, or Degrading Treatment or Punishment (“CAT”).Demikian
juga, instrumen regional dapat memberikan perlindungan terhadap perempuan yang
menjadi korban.The European Convention for the Protection of Human Rights and
Fundamental Freedoms (“ECHR”), the American Convention on Human
Rights(“ACHR”), bersama dengan the Inter-American Convention on the Prevention,
Punishment and Eradication of Violence Against Women(“Inter-American Convention
on Violence Against Women”), dan the African Charter on Human and Peoples’ Rights
(“African Charter”) merupakan dokumen utama HAM regional yang dapat dijadikan
landasan bagi korban KDRT.
Secara yuridis, kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam Undang-Undang No.
23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT),
yang tercantum dalam pasal 6, 7, 8, dan pasal 9 yaitu:
1. Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).
2. Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau
6
penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004).
3. Kekerasan seksual, yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang
yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Selain itu juga berarti pemaksaan
hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan
orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu (Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004).
4. Penelantaran rumah tangga juga dimasukkan pengertian dalam rumah tangga, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan penghidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Pelantaran tersebut juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang untuk bekerja yang
layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban dibawah kendali orang tersebut
(Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).
Di Indonesia, secara legal formal, ketentuan ini mulai diberlakukan sejak tahun
2004. Misi dari Undang-undang ini adalah sebagai upaya, ikhtiar bagi penghapusan
KDRT. Kebijakan ini merupakan bagian dari penghapusan deskriminasi terhadap
perempuan, yang terwujud dalam Convention on the Elimination of All Forms of
Descrimination Againts Woman (CEDAW), dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1984. Konvensi ini memuat hak dan kewajiban berdasarkan atas persamaan dan
menyatakan agar Negara mengambil langkah-langkah seperlunya untuk pelaksanaannya.
Juga berdasar Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilahirkan
PBB tanggal 20 Desember 1993 dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.
2.3 Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.23
Tahun 2004 pasal 1 ayat 1 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga,
memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum
dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa:
7
a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala
bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Republik
Indonesia tahun 1945.
b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga merupakan
pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta
bentuk deskriminasi yang harus dihapus.
c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan, hal
itu harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar terhindar
dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga.
Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya merupakan unsur
yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-undang
hukum pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang berbunyi:
“Barang siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri
atau anak diancam hukuman pidana”
2.4 Lingkup Rumah Tangga
Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (Pasal 2 ayat 1):
a. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan,
dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan);
dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut (Pekerja Rumah Tangga).
2.5 Asas dan Tujuan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
2.5.1 Asas Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan
berdasarkan asas (Pasal 3) :
Penghormatan hak asasi manusia;
8
Keadilan dan kesetaraan gender, yakni suatu keadaan di mana
perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki
kondisi yang sama untuk mewu-judkan secara penuh hak-hak asasi
dan potensinya bagi keutuhan dan kelangsu-ngan rumah tangga secara
proporsional.
Nondiskriminasi; dan
Perlindungan korban.
2.5.2 Tujuan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan
(Pasal 4):
Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
2.6 Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri
dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :
a. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar,
memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok,
memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak
seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat (Pasal 6).
DELIK ANCAMAN SANKSI
Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga :
➢ penjara paling lama 5 (lima) tahun; atau
➢ denda paling banyak Rp 15 juta
Kekerasan fisik yang mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat :
➢ penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun; atau
➢ denda paling banyak Rp 30 juta
Kekerasan fisik yang mengakibatkan matinya korban :
9
➢ penjara paling lama 15 (lima belas) tahun; atau
➢ denda paling banyak Rp 45 juta
Kekerasan fisik yang dilakukan suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari :
➢ penjara paling lama 4 (empat) bulan; atau
➢ denda paling banyak Rp 5 juta.
b. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya
dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan,
komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari
dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak
(Pasal 7).
DELIK ANCAMAN SANKSI
Kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga
➢ penjara paling lama 3 (lima) tahun; atau
➢ denda paling banyak Rp 9 juta
Kekerasan psikis yang dilakukan suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari
➢ penjara paling lama 4 (empat) bulan; atau
➢ denda paling banyak Rp 3 juta
c. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya,
memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak
memperhatikan kepuasan pihak istri.
Kekerasan seksual berat, berupa:
1. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual,
mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa
muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
2. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak
menghendaki.
10
3. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau
menyakitkan.
4. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau
tujuan tertentu.
5. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan
korban yang seharusnya dilindungi.
6. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang
menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti
komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal,
seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian
seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban.
Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan
seksual berat.
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai,
pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu.
Kekerasan seksual meliputi (pasal 8):
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkup rumah tangga tersebut;
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
DELIK ANCAMAN SANKSI
Kekerasan seksual
➢ penjara paling lama 12 tahun; atau
➢ denda paling banyak Rp 36 juta
Memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual
➢ penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun; atau
➢ denda paling sedikit Rp 12 juta dan paling banyak Rp 300 juta
Mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4
11
minggu terus menerus atau1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam
kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi
➢ penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun; atau
➢ denda paling sedikit 25 juta dan paling banyak 500 juta
d. Penelantaran rumah tangga
Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan
atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada
orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk
bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali
orang tersebut (pasal 9).
DELIK ANCAMAN SANKSI
Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangga; atau Menelantarkan orang lain
yang berada di bawah kendali
➢ penjara paling lama 3 (lima) tahun; atau
➢ denda paling banyak Rp 15 juta
Pidana Tambahan Selain ancaman pidana penjara dan/atau denda tersebut di atas, hakim
dapat men-jatuhkan pidana tambahan berupa:
• Pembatan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari
korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
• Penetapan pelaku mengikuti program KONSELING di bawah pengawasan
lembaga tertentu .
2.7 Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Penyebab KDRT adalah:
1. Laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang setara2. Masyarakat menganggap laki-laki dengan menanamkan anggapan bahwa laki-laki
harus kuat, berani serta tanpa ampun
3. KDRT dianggap bukan sebagai permasalahan sosial, tetapi persoalan pribadi
terhadap relasi suami istri
4. Pemahaman keliru terhadap ajaran agama, sehingga timbul anggapan bahwa laki-
laki boleh menguasai perempuan
12
Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur
masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga (marital violence) sebagai berikut:
a. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita,
sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
b. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan
wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan
maka istri mengalami tindakan kekerasan.
c. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak.
Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-
kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
d. Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan kele-
luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban
wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang
bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
e. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh
suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya
sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum
yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak
dalam konteks harmoni keluarga.
2.8 Pembuktian Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam UU ini dikatakan bahwa sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan
seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah,
apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (pasal 55).
Alat bukti yang sah lainnya itu adalah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
13
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa
2.9 Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga, diperlukan cara-cara
penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain:
a. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada
agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi
dengan baik dan penuh kesabaran.
b. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena
didalam agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara,
dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap
pendapat yang ada.
c. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah
rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak
ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi
pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
d. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar
anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya.
Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan
aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu
yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
e. Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam
keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang
minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Di dalam sebuah rumah tangga butuh komunikasi yang baik antara suami dan
istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah
14
rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak maka
akan menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan kekerasan yang dialami
oleh seseorang terutama pada seorang wanita, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan / atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Sanksi yang akan didapat oleh para pelaku kejahatan kekerasan dalam rumah
tangga tersebut sudah di atur di dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 secara
tindak pidana terdapat pada Pasal 44 – Pasal 49, selain tindak pidana tersebut hakim
dapat menjatuhkan sanksi tambahan terhadap tersangkayang diatur pada Pasal 50 – Pasal
53 .
Maka dari itu, di dalam sebuah rumah tangga kedua belah pihak harus sama-sama
menjaga agar tidak terjadi konflik yang bisa menimbulkan kekerasan dalam rumah
tangga.
3.2 Saran
Kekurangan hanya milik kami dan kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT.
Penyusun makalah ini hanya manusia biasa yang banyak kelemahan dan kekhilafan.
Maka dari itu penyusun menyarankan pada pembaca yang ingin mendalami pembahasan
mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, setelah membaca makalah ini
membaca sumber lain yang lebih lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
http://omperi.wikidot.com/tindak-pidana-kekerasan-dalam-rumah-tangga
15
http://www.lbh-apik.or.id/kdrt-pentingnya.htm
http://www.lbh-apik.or.id/fact-58.htm
http://www.erwinmiradi.com/kenapa-laki-l... #erwinmiradi.com
http://maureenlicious.wordpress.com/2011/04/28/kekerasan-pada-istri-dalam-rumah-
tangga/
16