Upload
muzwa-wasilah
View
54
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
A. KONSEP KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
I. TEORI DAN MITOS KEKERASAN
a. Teori
Kekerasan itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti perbuatan
seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau
menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. ditinjau dari sisi ilmu psikologi,
kekerasan tersebut merupakan manifestasi dari agresi. Agresi itu sendiri juga dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara teoritis, ada beberapa teori yang dapat menjelaskan
mengapa agresi itu bisa terjadi. Tetapi jika dijelaskan satu-persatu, tentunya akan memakan
waktu yang banyak.
Ada beberapa teori yang dapat menjelaskan mengapa hingga munculnya agresi dalam
diri seseorang, yang dimanifestasikan dalam bentuk kekerasan. Agresi itu sendiri merupakan
tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang/institusi terhadap orang/intitusi lain yang
sejatinya disengaja (Sarwono, 2009).
Dalam buku Psikologi Sosial, S.Sarwono menjelaskan tentang beberapa penyebab
agresi. Dimulai dari perspektif biologi. Penelitian menunjukan bahwa hormon androgen dan
testosterone memiliki peranan dalam perilaku agresi dan sering dihubungkan dengan tema
kekerasan. Dan secara kebetulan, kedua hormon tersebut dimiliki oleh pria. Selanjutnya ada
bagian dari otak juga yang terkait dengan tingkah laku agresi yaitu hipotalamus, yang
merupakan bagian kecil dari otak yang terletak dibawah otak, yang berfungsi untuk menjaga
homeostatis serta membentuk tingkah laku vital.
Psikologi individual yang dikemukakan oleh Alfred Adler, menyatakan bahwa setiap
manusia memiliki rasa inferioritas dalam dirinya, yang merupakan rasa ketidakmampuan dan
ketidakberdayaan (Suryabrata, 2008). Dalam dinamikanya, manusia berusaha untuk
mencapai superioritas yang merupakan kesempurnaan atau kemajuan. Untuk mencapai hal
itu, manusia melakukan kompensasi untuk mengarah kepada superioritas. Kompensasi disini
bisa bersifat negative ataupun positif. Orang yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga
mungkin mengalami inferioritas dikarenakan dirinya tidak cukup mampu untuk membiayai
keluarganya, merasa tidak cukup baik untuk keluarganya dan lain sebagainya. Seperti yang
sudah dinyatakan sebelumnya pada umumnya orang yang melakukan agresi cenderung
memiliki self esteem yang rendah. Untuk menuju kearah superioritas, seperti yang dikatakan
oleh Adler, orang tersebut akan melakukan kompensasi, dengan cara melakukan agresi agar
korban dapat tunduk terhadap dirinya. Dengan begitu maka dia akan merasa dapat mencapai
superioritasnya.
MenurutWalker dan Gelles (dalam Frederick & Foreman, 1984) mengatakan bahwa
KDRT cenderung mengikuti alur sebuah siklus atau lingkaran kekerasan berulang terhadap
istri (cycle of violence). Inilah yang sedikit banyak menjelaskan mengapa masih banyak kasus
KDRT yang tidak dilaporkan. Siklus kekerasan tersebut adalah: (i) fase ketegangan; (ii) fase
penganiayaan; dan (iii) fase bulan madu. Ketiga fase ini membentuk siklus sedemikian rupa
Fase ketegangan dimulai dari dilakukannya verbal abuse oleh si pelaku dan korban
biasanya mencoba mengontrol situasi dengan berusaha menyenangkan hati si pelaku. Tapi
usaha korban bisa terbilang sia-sia dan ketika tekanan mulai bertambah, dia akan berpindah
pada fase penganiayaan. Pada fase ini, kekerasan fisik sudah terjadi. Hal ini biasanya dipicu
oleh kejadian-kejadian eksternal yang mengganggu keadaan emosi si pelaku. Situasi di fase
ini berada dibawah kontrol korban dan tidak dapat diprediksi. Biasanya, setelah menganiaya
istri maka suami akan merasa menyesal, menghibah, memohon maaf. Selanjutnya, istri akan
luluh dengan hibahan suami. Keadaan terakhir ini dikenal dengan fase bulan madu, ketika
relasi kembali rukun. Fase terakhir tersebut adalah fase yang krusial karena dari banyak
penelitian, setelah fase bulan madu berakhir, siklus kekerasan cenderung terulang lagi.
Dikatakan, sekali melakukan kekerasan, cenderung terulang kembali dan membentuk siklus
sedemikian rupa. Siklus ini yang perlu dipintas dan diantisipasi
b. Mitos
Debora Sinclair dalam bukunya Memberdayakan Perempuan Korban Kekerasan dalam
Rumah Tangga/Hubungan Intim, merumuskan sejumlah mitos yang membuat pelaku
kekerasan dimaafkan dan dibebaskan begitu saja, diantaranya adalah :
1. Mitos: Lelaki pelaku kekerasan memiliki penyakit mental.
Realitas: Jika lelaki benar-benar sakit mental, dia tidak memiliki kemampuan untuk
memilih sasaran atau mengendalikan pola perilaku kekerasan. Sementara yang terjadi
dalam KDRT, sebagian besar lelaki yang melakukan kekerasan akan menyembunyikan
tindakan di dalam rumah. Serangan diarahkan ke bagian yang tidak terlihat bekasnya.
Artinya pelaku sudah memiliki perencanaan dan pemikiran tentang pola kekerasannya.
Suami pelaku KDRT juga tidak akan menyerang orang lain, misalnya teman kerja, bila
mengatami frustrasi dan hanya menyasar istrinya di rumah
2. Mitos: Alkohol menyebabkan lelaki memukul pasangannya.
Realitas: Alkohol memfasilitasi penggunaan kekuatan fisik dengan memungkinkan
pelaku melepaskan tanggungjawab perilakunya pada hal lain, dalam hal ini alkohol
3. Mitos: Hanya perempuan miskin yang dipukuli
Realitas: Kekerasan terhadap perempuan terjadi di semua kalangan dan kelas sosial.
Korban kekerasan yang kebanyakan perempuan tak hanya perempuan putus sekolah,
namun juga berpendidikan tinggi, ibu rumah tangga, hingga pekerja di perkotaan.
Kekerasan yang dialami perempuan dari kelas sosial atas seringkali disembunyikan atau
tersembunyi. Karena pihak perempuan akan mengalami banyak kehilangan jika membuka
situasi yang dialaminya
4. Mitos: Pihak perempuan yang memprovokasi sehingga pantas memperoleh perlakuan
kekerasan
Realitas: Tidak ada seorangpun yang pantas dipukuli. Provokasi hanyalah sekadar alasan
dari pelaku untuk melepaskan diri dari tanggungjawab tindakannya. Pandangan ini hanya
mencari kesalahan korban. Jika pelaku dibenarkan tindakannya dan dimaklumi, kekerasan
akan terus meningkat dan membuat kekerasan menjadi metode penyelesaian masalah
yang dapat diterima. Pelaku lantas semakin yakin bahwa ia boleh dan berhak
menggunakan kekerasan
5. Mitos: Jika perempuan terganggu oleh kekerasan, harusnya bicara tak hanya diam
Realitas: Korban kekerasan merahasiakan apa yang dialaminya. Mereka percaya bahwa
mereka dan orang-orang yang dicintai, termasuk anak-anak, akan berada dalam risiko
besar jika berbicara tentang kejadian yang dialami. Korban juga sangat malu
membicarakannya dan berpikir kekerasan terjadi karena kesalahan perempuan sendiri.
Posisi perempuan semakin rentan karena mereka kerapkali pasif dan penurut, karena
peran yang dibentuk sejak lama yang dilabelkan pada perempuan
II. DEFINISI
Menurut UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, definisi kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.
Menurut UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 2 lingkup rumah tangga meliputi :
a. Suami, isteri, dan anak
b.Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang suami, istri, dan anak
karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga; dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-undang RI no. 23 tahun 2004 adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau pe-rampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
III. ETIOLOGI
Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga
khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri, yaitu :
1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri. Anggapan bahwa
suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga dan
kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus
melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami
menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya.
2. Ketergantungan ekonomi.
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti
semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras
dilakukan kepadanya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan
demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh
suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya.
3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik.
Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun
kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan
dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini
didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras
agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan
kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan masalah rumah tangganya.
4. Persaingan
Jika di muka telah diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam rumah tangga
adalah ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri. Maka di sisi lain,
perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan, penguasaan
ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan
masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat
menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi suami tidak mau
kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang.
5. Frustasi
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustasi tidak
bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi
pada pasangan yang :
a) Belum siap kawin (Syarat-syarat perkawinan dijelaskan dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bab II Pasal 6 hingga
Pasal 12).
b) Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan
rumah tangga.
c) Masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada orang tua atau
mertua.
Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan perbuatan
negatif lain yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan memarahinya,
memukulnya, membentaknya dan tindakan lain yang semacamnya.
6. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum
Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak
terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi
laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya
kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan
mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi
pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri
untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami.
IV. BENTUK
Mengacu kepada UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 5 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga dapat berwujud :1
1. Kekerasan Fisik
2. Kekerasan Psikis
3. Kekerasan Seksual
4. Penelantaran rumah tangga
1. Kekerasan fisik menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 6 Kekerasan fisik adalah perbuatan
yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan fisik yang dialami
korban seperti: pemukulan menggunakan tangan maupun alat seperti (kayu, parang),
membenturkan kepala ke tembok, menjambak rambut, menyundut dengan rokok atau dengan
kayu yang bara apinya masih ada, menendang, mencekik leher.
Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
➢ penjara paling lama 5 (lima) tahun; atau
➢ denda paling banyak Rp 15 juta
Kekerasan fisik yang mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat
➢ penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun; atau
➢ denda paling banyak Rp 30 juta
Kekerasan fisik yang mengakibatkan matinya korban
➢ penjara paling lama 15 (lima belas) tahun; atau
➢ denda paling banyak Rp 45 juta
Kekerasan fisik yang dilakukan suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari
➢ penjara paling lama 4 (empat) bulan; atau
➢ denda paling banyak Rp 5 juta
2. Kekerasan psikis menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 7
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis
berat pada seseorang. Kekerasan psikis berupa makian, ancaman cerai, tidak memberi nafkah,
hinaan, menakut-nakuti, melarang melakukan aktivitas di luar rumah.
Kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga
➢ penjara paling lama 3 (lima) tahun; atau
➢ denda paling banyak Rp 9 juta
Kekerasan psikis yang dilakukan suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari
➢ penjara paling lama 4 (empat) bulan; atau
➢ denda paling banyak Rp 3 juta
3. Kekerasan seksual menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 8 Kekerasan seksual meliputi
pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup
rumah tangga tersebut, maupun pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Kekerasan seksual seperti memaksa isteri melakukan hubungan seksual walaupun isteri
dalam kondisi lelah dan tidak siap termasuk saat haid, memaksa isteri melakukan hubungan
seks dengan laki-laki lain.
Kekerasan seksual
➢ penjara paling lama 12 tahun; atau
➢ denda paling banyak Rp 36 juta
Memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual
➢ penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun; atau
➢ denda paling sedikit Rp 12 juta dan paling banyak Rp 300 juta
Mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu
terus menerus atau1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan,
atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi
➢ penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun; atau
➢ denda paling sedikit 25 juta dan paling banyak 500 juta
4. Penelantaran rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 9
Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang
tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak
di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Penelantaran seperti meninggalkan isteri dan anak tanpa memberikan nafkah, tidak
memberikan isteri uang dalam jangka waktu yang lama bahkan bertahun-tahun.
Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangga; atau Menelantarkan orang lain yang
berada di bawah kendali
➢ penjara paling lama 3 (lima) tahun; atau
➢ denda paling banyak Rp 15 juta
Pidana Tambahan Selain ancaman pidana penjara dan/atau denda tersebut di atas, hakim
dapat men-jatuhkan pidana tambahan berupa:
• PEMBATASAN GERAK pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari
korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
• PENETAPAN pelaku mengikuti program KONSELING di bawah pengawasan
lembaga tertentu
V. DAMPAK
Karena kekerasan sebagaimana tersebut di atas terjadi dalam rumah tangga, maka
penderitaan akibat kekerasan ini tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi juga anak-anaknya.
Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa istri adalah:
1) Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri menderita
rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan tersebut.
2) Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah seks,
karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal ajakan
berhubungan seks.
3) Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock, trauma, rasa
takut, marah, emosi tinggi dan meledak-ledak, kuper, serta depresi yang mendalam.
4) Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan kebutuhan sehari-hari
yang diperlukan istri dan anak-anaknya. 1
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kekerasan tersebut juga dapat berdampak
pada anak-anak. Adapun dampak-dampak itu dapat berupa efek yang secara langsung
dirasakan oleh anak, sehubungan dengan kekerasan yang ia lihat terjadi pada ibunya, maupun
secara tidak langsung. Bahkan, sebagian dari anak yang hidup di tengah keluarga seperti ini
juga diperlakukan secara keras dan kasar karena kehadiran anak terkadang bukan meredam
sikap suami tetapi malah sebaliknya.
Menyaksikan kekerasan adalah pengalaman yang amat traumatis bagi anak-anak.
Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami anak-anak membuat anak tersebut memiliki
kecenderungan seperti gugup, gampang cemas ketika menghadapi masalah, sering ngompol,
gelisah dan tidak tenang, jelek prestasinya di sekolah, mudah terserang penyakit seperti sakit
kepala, perut, dan asma, kejam kepada binatang. Ketika bermain sering meniru bahasa yang
kasar, berperilaku agresif dan kejam, suka minggat, dan suka melakukan pemukulan terhadap
orang lain yang tidak ia sukai. Kekerasan dalam rumah tangga yang ia lihat adalah sebagai
pelajaran dan proses sosialisasi bagi dia sehingga tumbuh pemahaman dalam dirinya bahwa
kekerasan dan penganiayaan adalah hal yang wajar dalam sebuah kehidupan berkeluarga.
Pemahaman seperti ini mengakibatkan anak berpendirian bahwa:
Satu-satunya jalan menghadapi stres dari berbagai masalah adalah dengan melakukan
kekerasan
2. Tidak perlu menghormati perempuan
3. Menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan berbagai persoalan adalah baik dan
wajar
4. Menggunakan paksaan fisik untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan adalah wajar
dan baik-baik saja.
Di samping dampak secara langsung terhadap fisik dan psikologis sebagaimana
disebutkan di atas, masih ada lagi akibat lain berupa hubungan negatif dengan lingkungan
yang harus ditanggung anak seperti:1
1. Harus pindah rumah dan sekolah jika ibunya harus pindah rumah karena menghindari
kekerasan.
2. Tidak bisa berteman atau mempertahankan teman karena sikap ayah yang membuat
anak terkucil.
3. Merasa disia-siakan oleh orang tua
Kebanyakan anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang penuh kekerasan akan tumbuh
menjadi anak yang kejam. Penelitian membuktikan bahwa 50% - 80% laki-laki yang
memukuli istrinya atau anak-anaknya, dulunya dibesarkan dalam rumah tangga yang
bapaknya sering melakukan kekerasan terhadap istri dan anaknya. Mereka tumbuh dewasa
dengan mental yang rusak dan hilangnya rasa iba serta anggapan bahwa melakukan
kekerasan terhadap istri adalah bisa diterima.
VI. KARAKTERISTIK
Banyak wanita menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai suatu hal yang tabu.
Itulah mengapa mereka cenderung menutupi penderitaan fisik dan psikologis yang dilakukan
pasangannya. Adanya sikap posesif terhadap korban ataupun perilaku mengisolasi korban
dari dunia luar dapat dilihat sebagai tanda awal KDRT. Korban biasanya tampak depresi,
sangat takut pada pengunjung/pasien lainnya dan yang merawatnya, termasuk pegawai rumah
sakit. Perhatikan perubahan sikap korban. Mereka akan cenderung menarik diri dari
lingkungan sosialnya. Mereka umumnya tak ingin orang sekitarnya melihat tanda-tanda
kekerasan pada diri mereka. Kontak mata biasanya buruk. Korban menjadi pendiam. Korban
harus diperiksa secara menyeluruh untuk memeriksa dengan teliti tanda-tanda kekerasan yang
pada umumnya tersembunyi. Sebagai contoh, kulit kepala dapat menunjukkan tanda tanda
kekerasan. Korban juga akan mencoba untuk menyembunyikan atau menutupi luka-lukanya
dengan memakai riasan wajah tebal, leher baju yang tinggi, rambut palsu atau perhiasan.
a. Karakteristik Luka Korban KDRT
Karakteristik luka yang disebabkan oleh adanya KDRT, biasanya menunjukkan
gambaran sebagai berikut:
1) Luka bilateral, terutama pada ekstremitas.
2) Luka pada banyak tempat.
3) Kuku yang tergores, luka bekas sundutan rokok yang terbakar, atau bekas tali yang
terbakar.
4) Luka lecet, luka gores minimal, bilur.
5) Perdarahan subkonjungtiva yang diduga karena adanya pukulan pada bagian mata
sehingga melukai struktur dalam mata, bisa juga terjadi jika berlaku perlawanan yang
kuat antara korban dengan pelaku sehingga secara tidak sengaja melukai korban.
b. Bentuk Luka
Bentuk luka dapat karena benda tumpul, benda tajam (goresan atau tikaman) atau
karena panas.
1) Kekerasan Tumpul
Kekerasan tumpul yang melukai kulit merupakan luka yang paling sering terjadi, berupa luka
memar, lecet dan luka goresan. Adanya luka memar yang sirkuler ataupun yang linier
memberi kesan adanya penganiayaan. Penganiayaan dengan menggunakan ikat pinggang atau
kawat menyebabkan luka memar yang datar,dan penganiayaan dengan sol atau hak sepatu
akan menyebabkan luka memar pada korban yang ditendang.
2) Memar
Beberapa petunjuk dasar tentang penampakan luka memar sebagai berikut:
a) Waktu merah, biru, ungu, atau hitam dapat terjadi kapan saja dalam waktu 1 jam
setelah trauma sebagai resolusi dari memar. Gambaran warna merah tidak dapat
digunakan untuk memperkirakan umur memar.
b) Memar dengan gradasi warna kuning umurnya lebih dari 18 jam.
c) Meskipun warna memar kuning, coklat, atau hijau merupakan indikasi luka yang
lama, tetapi untuk mendapatkan waktu yang spesifik sulit.
3) Bekas Gigitan
Merupakan bentuk luka lain yang sering ada pada domestic violence. Beberapa bentukan
gigitan ini sulit untuk dikenali, misalnya penampakan memar semisirkuler yang non spesifik,
luka lecet, atau luka lecet memar, dan masih banyak lagi gambaran yang dapat dikenali
karena lokasi anatomi dari gigitan dan pergerakan tidak tetap pada kulit.
4) Bekas Kuku
Ada 3 macam tanda bekas kuku yang mungkin terjadi, bisa tunggal atau kombinasi, yaitu
sebagai berikut:4
a) Impression marks
Bentukan ini merupakan akibat patahnya kuku pada kulit. Bentuknya seperti koma
atau setengah lingkaran.
b) Scratch marks
Bentuk ini superficial dan memanjang, kedalamannya sama dengan kedalaman kuku.
Bentukan ini terjadi karena wanita yang menjadi korban berkuku panjang.
c) Claw marks
Bentukan ini terjadi ketika kulit terkoyak, dan tampak lebih menyeramkan.
VII. PENCEGAHAN
Lima tingkat pencegahan KDRT:
1. Promosi kesehatan
Peningkatan kesadaran masyarakat akan kesetaraan gender pada kehidupan keluarga
dan masyarakat
2. Perlindungan Khusus
Peningkatan kesadaran gender dan bahaya KDRT:
Pasangan yang mau menikah
Orang tua
Anak sekolah
Guru
Masyarakat
Tokoh agama
Dokter, mahasiswa
Ahli hukum
3. Diagnosa dini dan pengobatan segera
Screening kelompok resiko tinggi
Screening di klinik gawat darurat
Konsultasi keluarga
Klinik kesehatan jiwa
4. Pencegahan cacad
Pendampingan psikologis, medis, sosial, ekonomi, hukum
Peningkatan kepercayaan diri korban
Krisis center
5. Rehabilitasi korban anak pelaku
( sumber : keperawatan kesehatan komunitas: teori dan praktik dakam keperawatan
hal. 197 )
VIII. HAK KORBAN DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH
a. Hak korban
Mendapatkan perlindungan keluarga, kepolisian, kejaksaan, advokat dan lembaga
sosial.
Mendapat pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya.
Mendapat penanganan khusus berkaitan dengan kerahasiaan dan privasi korban.
Mendapat pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum.
Mendapat pelayanan bimbingan rohani.
b. Kewajiban pemerintah
Merumuskan kebijakan tentang penghapusan KDRT
Menyelenggaraka komunikasi, informasi dan edukasi tentang KDRT
Meneyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang KDRT
Meneyelengarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu KDRT serta
menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender.
IX. ASPEK HUKUM
Dengan telah disahkan Undang-Undang No.23 tahun tahun 2004 mengenai Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56 pasal, diharapkan
adanya perlindungan hukum bagi anggota keluarga khususnya perempuan, dari segala tindak
kekerasan dalam rumah tangga. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak
mengenal istilah kekerasan dalam rumah tangga. KUHP hanya mengatur secara terbatas
ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga, sebagai berikut:4
1) Pasal 351 – 356 KUHP mengatur penganiayaan, yang berarti hanya terbatas pada
kekerasan fisik. Pasal-pasal ini hanya mengatur sanksi pidana penjara atau denda dan sanksi
lebih ditujukan untuk penjeraan (punishment). Padahal bentuk kekerasan dalam rumah tangga
memiliki tingkat kekerasan yang beragam, terutama bila dilihat dari dampak kekerasan
terhadap korban yang semestinya dikenakan penerapan sanksi yang berbeda.
2) Pasal 285 – 296 yang mengatur perkosaan dan perbuatan cabul, belum sepenuhnya
mengakomodir segala bentuk kekerasan seksual. KUHP tidak mengenal lingkup rumah
tangga. KUHP tidak mengatur alternatif hukuman kecuali hanya pidana penjara, yang mana
membuat dilema tersendiri bagi korban. KUHP tidak mengatur hak-hak korban, layanan-
layanan darurat bagi korban serta kompensasi.
3) Pasal 90 KUHP, luka berat berarti:
a. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya mati.
b. Tidak mampu untuk terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan pencarian.
c. Kehilangan salah satu panca indera.
d. Mendapat cacat berat.
e. Menderita sakit lumpuh.
f. Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih.
g. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Derajat luka harus disesuaikan dengan jenis tindak pidana yaitu:
a. Penganiayaan ringan yaitu penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, didalam ilmu
kedokteran forensik, pengertiannya menjadi “ luka yang tidak berakibat penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian”. Luka ini
dinamakan luka derajat pertama
b. Bila sebagai akibat penganiayaan seseorang itu mendapat luka atau menimbuilkan
penyakit atau halangan dalam melakukan pekerjaan jabatan atau pencaharian akan
tetapi hanya untuk sementara waktu sahaja maka luka ini dinamakan luka derajat
kedua.
c. Apabila penganiyaan tersebut mengakibatkan luka berat seperit yang
dimaksudkan dalam pasal 90 KUHP, luka tersebut dinamakan luka derajat ketiga.
X. IMPLIKASI KEPERAWATAN
Implikasi keperawatan yang dapat diberikan untuk menolong kaum perempuan dari
tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah :
1. Merekomendasikan tempat perlindungan seperti crisis center, shelter dan one stop crisis
center.
2. Memberikan pendampingan psikologis dan pelayanan pengobatan fisik korban. Disini
perawat dapat berperan dengan fokus meningkatkan harga diri korban, memfasilitasi
ekspresi perasaan korban, dan meningkatkan lingkungan sosial yang memungkinkan.
Perawat berperan penting dalam upaya membantu korban kekerasan diantaranya melalui
upaya pencegahan primer terdiri dari konseling keluarga, modifikasi lingkungan sosial
budaya dan pembinaan spiritual, upaya pencegahan sekunder dengan penerapan asuhan
keperawatan sesuai permasalah-an yang dihadapi klien, dan pencegaha tertier melalui
pelatihan/pendidikan, pem-bentukan dan proses kelompok serta pelayanan rehabilitasi.
3. Memberikan pendampingan hukum dalam acara peradilan.
4. Melatih kader-kader (LSM) untuk mampu menjadi pendampingan korban kekerasan.
Mengadakan pelatihan mengenai perlindungan pada korban tindak kekerasan dalam rumah
tangga sebagai bekal perawat untuk mendampingi korban.
XI. PERAN PERAWAT
Secara umum, peran perawat dalam kasus KDRT adalah sebagai berikut :
a. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesi (anjurka segera lakukan
pemeriksaan visum)
b. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban
c. Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan
dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan
d. Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif ( ruang pelayanan
khusus )
e. Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban
dengan pihak kepolisian, dinas sosial serta lembaga sosial yang dibutuhkan korban
f. Sosialisasi Undang-undang KDRT kepada keluarga dan masyarakat
XII. POHON MASALAH
Effect Perilaku Kekerasan menyendiri, murung sering menangis dan ketakutan
Core Problem ANXIETAS
Causa KDRT
Respon pelampiasan suami
B. ASUHAN KEPERAWATAN
I. PENGKAJIAN
I. IDENTITAS KLIEN
Nama : wanita
Umur : 30 tahun
Tanggal masuk RS : -
No CM : -
Alamat : -
Pendidikan : -
Status perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
II. ALASAN DATANG
Melaporkan tindakan suaminya yang sering memukulinya, sehingga istri tidak
kuat lagi dengan tindakan suaminya.
III.FAKTOR PREDISPOSISI
1. Trauma
Usia pelaku korban saksi
Aniaya Fisik - - ya -
Aniaya Seksual - - ya -
Penolakan - - - -
Kekerasan dalam Keluarga - ya -
Tindakan Kriminal - - ya -
Jelaskan : suaminya sering memukuli istrinya dengan benda disekitarnya
bola istri tidak memenuhi kebutuhan suaminya dan terkadang melakukan
kekerasan dalam hubungan seksual.
2. Adakah pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan ? ( perceraian/
perpisahan/konflik dsb)
Tiga tahun yang lalu suaminya mulai melakukan tindakan kekerasan.
IV. KOPING DAN HARAPAN KLIEN/KELUARGA
1. Koping klien terhadap masalah yang dihadapi
Tidak disebutkan dalam kasus
2. Koping keluarga terhadap masalah klien
Tidak disebutkan dalam kasus
V. PSIKOSOSIAL
1. KONSEP DIRI
Citra Tubuh
Lebam di sekitar badan
Ideal Diri
Menyendiri, ketakutan dan tampak murung
Harga Diri
Tidak disebutkan dalam kasus
Identitas
Tidak disebutkan dalam kasus
Peran
Ibu rumah tangga
2. HUBUNGAN SOSIAL
Peran serta dalam kehidupan masyarakat/ kelompok
Tidak disebutkan dalam kasus
Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain
Tidak disebutkan dalam kasus
VI. ANALISA DATA
Data Diagnosa
DO : luka lebam ANSIETAS
DS :
1. Tidak kuat dengan tindakan
suaminya yang sering
memukulinya
2. Terkadang melakukan kekerasan
dalam hubungan seks.
3. Sering menangis dan ketakutan
4. Sering menyendiri dan tampak
murung.
VII. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Ansietas berhubungan dengan tindakan kekerasan dalam rumah tangga ditandai
dengan klien sering menangis, ketakutan, menyendiri dan tampak murung.
VIII. ASUHAN KEPERAWATAN
Diagnosa
KeperawatanTujuan Intervensi Rasional
Klien memiliki
keterbukaan dengan
perawat;
mendiskusikan
tentang perasaan
cemasnya
Menjalin trust
dengan komunikasi
teurapetik
Membina
komunikasi
teurapeutik di
awal pertemuan
dengan klien, akan
membuat pasien
nyaman dengan
perawat
Ansietas
berhubungan
dengan
Klien merasa aman
dengan
Memperkenalkan
dan menerangkan
secara bertahap
Membantu klien
agar dapat menilai
positif lingkungan
tindakan
kekerasan
dalam rumah
tangga
ditandai
dengan klien
sering
menangis,
ketakutan,
menyendiri
dan tampak
murung.
lingkungannya kepada klien
mengenai kondisi
lingkungannya dan
orang – orang
terdekat
dan kejadian di
sekitarnya
Klien mengalami
penurunan
ansietas;mekanisme
pertahanan diri
-Eksplorasi
perasaan cemas
klien
- Bantu klien
mengenali perasaan
cemas dan
menyadari nilainya
- Fasilitasi
lingkungan dengan
stimulus yang
minimal, tenang
- Mengetahui apa
saja yang
menyebabkan
klien cemas akan
memudahkan
perawat untuk
memberikan
intervensi lanjutan
- Membantu klien
untuk dapat
memberi nilai
positif pada
perasaannya
- Ruangan yang
nyaman akan
membuat klien
merasa nyaman
dan membatasi
interaksi dengan
orang lain atau
kurangi kontak
dengan penyebab
stresnya
- Berikan alternatif
pilihan pengganti,
tidak
mengonfrontasi
dengan objek yang
ditakutinya, tidak
ada argument, tidak
mendukung
fobianya, terapkan
batasan perilaku
klien untuk
membantu
mencapai kepuasan
dengan aspek lain
dan tenang
- Memberikan
suasana nyaman
pada klien secara
bertahap sampai
klien benar –
benar sadar akan
situasi sebenarnya
yg dia hadapi
Pasien dapat
beraktivitas normal
Dorong klien untuk
melakukan aktifitas
yang disukainya
Hal ini akan
membatasi klien
untuk
menggunakan
mekanisme
koping yang tidak
adekuat
DAFTAR PUSTAKA
Fiely dkk, 2010, Referat Aspek Medikolegal Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
2011, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Sosiologi
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, http://www.scribd.com/doc/24279456/UU-No-23-Th-2004-Tentang-Penghapusan-KDRT
Sarwono, S.W dan E.A Meinarno. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta; Salemba Humanika
Suryabrata, Sumardi. 2008. Psikologi Kepribadian. Jakarta; Rajawali Pers.
http://barhoya.blogspot.com/2012/03/kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt.