21
ABSTRAK Background: Domestic violence is every act of persons, mainly women, which resulted in the incidence of misery or suffering physical, sexual, psychological, and/or neglect households including the threat to commit acts, coercion, or deprivation of liberty is against the law in the sphere of the household. Acts of violence on the wife in the household is a serious social problem, but poorly received response from society and law enforcers for several reasons: first, the absence of an accurate criminal statistics, second: acts of violence on the wife in the household has a very personal scope, related to the purity and harmony of the household (sanctitive of the home), third: acts of violence on his wife deemed reasonable for the rights of the husband as the leader and head of the family, 4th: acts of violence on the wife in the household going on in legal institutions i.e. marriage. Design: Case Report. Methods: interviewing victims and seeing the results of visum. Case presentation: a woman getting a physical and psychological violence from her husband divorced her husband and sued, but sue her husband behind his wife alleged child neglect. Discussion and conclusion: the physical Impact of DOMESTIC VIOLENCE on his wife because it can affect the development of the social relations, psychic and reviewed from the law and Islam. Keyword: Domestic Violence, Wife Abuse, Physical Abuse LATAR BELAKANG Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa. 1 Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) memiliki situasi yang lebih spesifik dan bersifat pribadi karena terdapat dalam rumah tangga. Pengertian dari KDRT adalah setiap perbutatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, 1

Kronologi Kejadian Kdrt

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ga

Citation preview

Page 1: Kronologi Kejadian Kdrt

ABSTRAK

Background: Domestic violence is every act of persons, mainly women, which resulted in the incidence of misery or suffering physical, sexual, psychological, and/or neglect households including the threat to commit acts, coercion, or deprivation of liberty is against the law in the sphere of the household. Acts of violence on the wife in the household is a serious social problem, but poorly received response from society and law enforcers for several reasons: first, the absence of an accurate criminal statistics, second: acts of violence on the wife in the household has a very personal scope, related to the purity and harmony of the household (sanctitive of the home), third: acts of violence on his wife deemed reasonable for the rights of the husband as the leader and head of the family, 4th: acts of violence on the wife in the household going on in legal institutions i.e. marriage. Design: Case Report. Methods: interviewing victims and seeing the results of visum. Case presentation: a woman getting a physical and psychological violence from her husband divorced her husband and sued, but sue her husband behind his wife alleged child neglect. Discussion and conclusion: the physical Impact of DOMESTIC VIOLENCE on his wife because it can affect the development of the social relations, psychic and reviewed from the law and Islam. Keyword: Domestic Violence, Wife Abuse, Physical Abuse

LATAR BELAKANG

Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis

kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di

dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga

di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan

kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan didalam rumah

tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan,

dan suku bangsa.1

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) memiliki situasi yang lebih spesifik dan

bersifat pribadi karena terdapat dalam rumah tangga. Pengertian dari KDRT adalah setiap

perbutatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan

atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis atau penelantaran rumah tangga termasuk

ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara

melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (pasal 1 ayat 1 dalam Undang-undang

Penghapusan Dampak KDRT).

Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang

serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum

karena beberapa alasan, pertama: ketiadaan statistik kriminal yang akurat, kedua: tindak

kekerasan pada istri dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi, berkaitan

dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga (sanctitive of the home), ketiga: tindak

kekerasan pada istri dianggap wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan kepala

1

Page 2: Kronologi Kejadian Kdrt

keluarga, keempat: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga

legal yaitu perkawinan.1

Perspektif gender beranggapan tindak kekerasan terhadap istri dapat dipahami melalui

konteks sosial. Menurut Berger (1990), perilaku individu sesungguhnya merupakan produk

sosial, dengan demikian nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat turut membentuk

prilaku individu artinya apabila nilai yang dianut suatu masyarakat bersifat patriakal yang

muncul adalah superioritas laki-laki dihadapan perempuan, manifestasi nilai tersebut dalam

kehidupan keluarga adalah dominasi suami atas istri.2

Mave Cormack dan Stathern (1990) menjelaskan terbentuknya dominasi laki-laki atas

perempuan ditinjau dari teori nature and culture. Dalam proses transformasi dari nature ke

culture sering terjadi penaklukan. Laki-laki sebagai culture mempunyai wewenang

menaklukan dan memaksakan kehendak kepada perempuan (nature). Secara kultural laki-

laki ditempatkan pada posisi lebih tinggi dari perempuan, karena itu memiliki legitimasi

untuk menaklukan dan memaksa perempuan. Dari dua teori ini menunjukkan gambaran

aspek sosiokultural telah membentuk social structure yang kondusif bagi dominasi laki-laki

atas perempuan, sehingga mempengaruhi prilaku individu dalam kehidupan berkeluarga.1

Di Indonesia data tentang kekerasan terhadap perempuan tidak dikumpulkan secara

sistematis pada tingkat nasional. Laporan dari institusi pusat krisis perempuan, menunjukkan

adanya peningkatan tindak kekerasan terhadap perempuan,. Menurut Komisi Perempuan

(2005) mengindikasikan 72% dari perempuan melaporkan tindak kekerasan sudah menikah

dan pelakunya selalu suami mereka. Mitra Perempuan (2005) 80% dari perempuan yang

melapor pelakunya adalah para suami, mantan suami, pacar laki-laki, kerabat atau orang tua,

4,5% dari perempuan yang melapor berusia dibawah 18 tahun. Pusat Krisis Perempuan di

Jakarta (2005); 9 dari 10 perempuan yang memanfaatkan pelayanan mengalami lebih dari

satu jenis kekerasan (fisik, fisiologi, seksual, kekerasan ekonomi, dan pengabaian), hampir

17% kasus tersebut berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi perempuan.2

Sebagian besar perempuan sering bereaksi pasif dan apatis terhadap tindak kekerasan

yang dihadapi. Ini memantapkan kondisi tersembunyi terjadinya tindak kekerasan pada istri

yang diperbuat oleh suami. Kenyataan ini menyebabkan minimnya respon masyarakat

terhadap tindakan yang dilakukan suami dalam ikatan pernikahan. Istri memendam sendiri

persoalan tersebut, tidak tahu bagaimana menyelesaikan dan semakin yakin pada anggapan

yang keliru, suami dominan terhadap istri. Rumah tangga, keluarga merupakan suatu institusi

2

Page 3: Kronologi Kejadian Kdrt

sosial paling kecil dan bersifat otonom, sehingga menjadi wilayah domestik yang tertutup

dari jangkauan kekuasaan publik sehingga tujuan pembuatan case report untuk membahas

dampak fisik akibat KDRT dalam hukum dan islam.3

DESKRIPSI KASUS

S dan R bertemu pertama kali pada tahun 1996. Mereka bertemu saat menjalani

pendidikan di Universitas. Keterlibatan S dan R dalam beberapa kegiatan kampus membuat

hubungan mereka semakin dekat. Beberapa tahun kemudian, R secara resmi meminta S untuk

menjadi kekasihnya. Pada awalnya, hubungan mereka ditentang oleh orangtua S. Menurut

penuturan S, R gigih melakukan pendekatan kepada keluarganya hingga akhirnya orangtua S

merestui hubungan mereka dengan syarat.

S menikah dengan R pada tahun 2000. Setelah dua bulan pernikahan, ia mengandung

anak pertama, laki-laki bernama HN yang saat ini berusia 9 tahun. Pada tahun 2004, ia

melahirkan putra kedua, bernama MH yang saat ini berusia 5 tahun. Menurut S, awal

kehidupan rumah tangganya berjalan lancar. Setelah 2 bulan tinggal di rumah orang tua S,

mereka kemudian pindah ke rumah kakak A. Satu orang adik laki-laki R pun ikut

menumpang hidup dengan mereka. Setelah berjalan kurang lebih tiga tahun, S merasa rumah

tangganya tidak selalu harmonis. Ia beberapa kali menerima perlakuan kasar dari R.

S pertama kali mendapatkan perlakuan kasar dari R pada tahun 2003. Pada saat itu, S

dan R beserta keluarga R berencana berlibur ke Bandung. Oleh karena hari sudah menjelang

siang, S menyarankan alternatif tempat yang lebih dekat seperti Puncak. Hal tersebut

membuat R menudingnya sebagai istri yang tidak patuh pada suami lalu menampar S

beberapa kali dan meninju mata kanannya hingga merah. S mengaku merasa kaget dengan

sikap R yang demikian.

Sekitar akhir tahun 2003, kekerasan kembali terjadi saat hendak menghadiri acara

keluarga di rumah tante S. Menurut cerita S, ditengah perjalanan R menghentikan mobil,

kemudian mencekik leher dan memukuli kakinya. S merasa bahwa peristiwa itu terjadi

dikarenakan R tidak mau menghadiri acara tersebut. Setelah tangisan S berhenti, R

melanjutkan perjalanan. S mengaku merasa sangat tegang hingga menyebabkan penyakit

empedunya kambuh. Ia berkali-kali muntah pada keesokan paginya dan meminta R untuk

membawanya ke rumah sakit. S lalu dirawat di UGD.

3

Page 4: Kronologi Kejadian Kdrt

Pada tahun 2004, S merasakan perubahan pada sikap R. Ia mengatakan bahwa R tidak

pernah memberikannya nafkah batin. R sering pulang larut malam, dan terkadang tidak pulang

sama sekali dengan alsan menginap di rumah teman. Ia juga sering dinas ke luar kota pada

akhir pekan. Saat berpergian, r tidak mau mengatakannya waktu pulangnya, hotel tempat

menginap dan pergi dengan siapa. Ketika S menanyakan hal tersebut, R mengatakan bahwa ia

tidak mau dikekang karena pekerjaannya menuntut demikian. Perubahan sikap R tersebut

membuat S merasa curiga bahwa R telah melakukan perselingkuhan. Pada awalnya

pertemuan, S mengaku tidak mempunyai bukti yang kuat untuk menanyakan langsung kepada

R mengenai perselingkuhannya. Tetapi, pada pertemuan terakhir S mengakui bahwa ia telah

memiliki bukti mengenai perselingkuhan suaminya, berupa foto wanita, struk pembayaran

baju wanita, dan SMS. Namun, ia merasa belum bisa menerima kenyataan bahwa suaminya

telah berselingkuh.

Pada tahun 2005, S dan R bertengkar. R tiba-tiba menampar S yang tengah

menggendong anak keduanya yang masih bayi hingga terjatuh. S terjatuh di tempat tidur.

Meski S merasa terkejut, ia berupaya menjaga anaknya agar tidak jatuh. S tidak mengingat

perihal yang menyebabkan mereka bertengkar. Pada tahun 2007, R menampar, menjambak

rambut, serta beberapa kali memukuli badan S. Menurut S, pada saat itu R memintanya

mengecek harga bahan bangunan untuk keperluan pembangunan rumah mereka. Namun, S

tidak mendapatkan hasil sesuai dengan harapan R karena harga bahan bangunan pada saat itu

sedang tidak stabil. R menuduh S tidak menjalankan tugasnya tersebut dengan sungguh-

sungguh.

Pada tanggal 4 September 2009, R menegur S saat makan sahur karena dirinya hanya

diam dan tidak duduk disamping R. Saat itu S beralasan harus menyuapi anak yang ikut sahur.

S mengaku bahwa ia bersikap demikian karena merasa lelah dan letih, dimana ia harus

melayani keluarga R yang saat itu sedang berkunjung sambil mengurus kepindahan ke rumah

yang baru selesai di bangun. Namun, R tidak bisa menerima alasannya tersebut sehingga

mereka berdebat. R menjadi emosi dan dengan tiba-tiba melemparkan gelas ke dahinya

sehingga darahpun mengucur membasahi wajah. S menjadi panik dan berteriak, begitupun

dengan R. R lalu memeluk tubuh dan mengigit kuping S sembari membawanya ke kamar yang

terletak diatas. Pada saat mereka sampai dilantai atas, anak mereka tiba-tiba berlari ke arah R

sambil menangis dan memukul-mukul ayahnya itu, lalu berlari ke kamar neneknya. Sesampai

di kamar, S berusaha menenangkan diri dan membersihkan darah pada luka di wajahnya,

4

Page 5: Kronologi Kejadian Kdrt

sedangkan R hanya menangis. Kemudian S dibawa ke rumah sakit. Peristiwa ini diketahui

oleh pihak keluarga S sehingga menimbulkan kemarahan. Namun, pada akhirnya kedua

keluarga, pihak R dan S, berdamai dengan membuat surat perjanjian bermaterai.

Berdasarkan penuturan S, R mulai kembali membentak dirinya beberapa minggu

setelah kejadian. Ian pun melarang S menemui keluarganya, serta membatasinya untuk

berhubungan melalui telepon. R hanya mengijinkan S menemui keluarganya jika bersamanya.

Menurut S, R hampir tidak ada untuk dirinya. Pada 6 Maret 2010, R membentak S dan

mengatakan kepada dirinya agar pulang ke rumah orang tua karena sudah tidak bisa menjadi

istri lagi. S merasa R mengusir dirinya. S merasa tidak tahan dengan perlakuan R, lalu

berkemas dan pulang ke rumah orangtuanya bersama dengan kedua anaknya.

S mengakui bahwa R tidak selalu memperlakukannya secara kasar. S merasa R lebih

perhatian terhadap dirinya setelah terjadi peristiwa kekerasan walau tidak berlangsung lama.

Pada awal pertemuan, S mengungkapkan bahwa R meminta maaf ketika melakukan kekerasan

terhadap dirinya. Namun, pada pertemuan terakhir S mengatakan bahwa R tidak pernah

mengucapkan kata maaf kepada dirinya. Selain itu, S merasa R membatasi gerak-geriknya

dalam berwiraswasta. Awalnya, R menyutujui S untuk membuka usaha namun setelah

berjalan R meminta dirinya untuk berhenti dan fokus kembali kepada keluarga. S merasa

sikap R yang demikian tidak beralasan karena ia tetap menjalankan fungsinya sebagai ibu

rumah tangga meskipun membuka usaha.

DISKUSI

Dalam Undang-undang PKDRT menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah

Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat

timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau

penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau

perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

KDRT juga diistilahkan dengan kekerasan domestik dimana pengertian domestik

tidak hanya konotasinya dalam hubungan suami istri saja, tetapi juga setiap pihak yang ada di

dalam keluarga itu, tapi juga hubungan darah atau bahkan seorang pekerja rumah tangga

menjadi pihak yang dilindungi. Oleh sebab itu Undang-undang KDRT mengatur dalam pasal

5

Page 6: Kronologi Kejadian Kdrt

2 ayat 1, lingkup rumah tangga termasuk tersebut meliputi a) suami, istri, dan anak (termasuk

anak angkat dan anak tiri) ; b) orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan

orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,

pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar, dan

besan) ; dan/atau c) orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah

tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).

Bentuk kekerasan dalam rumah tangga diantaranya adalah kekerasan fisik, kekerasan

psikis, kekerasan seksual, atau penelantaran rumah tangga. Kekerasan fisik adalah perbuatan

yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Kekerasan psikis adalah perbuatan

yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk

bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan

seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan

hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan

seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Selain bentuk

kekerasan yang disebutkan diatas terdapat istilah Penelantaran rumah tangga tentang

seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut

hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan

kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga

berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara

membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga

korban berada di bawah kendali orang tersebut.1

Kekerasan fisik meliputi (UU PKDRT pasal 6):

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang 

mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan psikis meliputi (UU PKDRT pasal 7):

Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan

yang  mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan

untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada

seseorang.

6

Page 7: Kronologi Kejadian Kdrt

Dalam kasus ini suami telah melakukan kekerasan secara fisik, istri sering mendapat

kekerasan fisik jika tidak menuruti semua kehendaknya, apabila tidak patuh akan dipukul,

dicekik atau ditampar. Korban KDRT biasanya enggan/tidak melaporkan kejadian karena

menganggap hal tersebut biasa terjadi dalam rumah tangga atau takut untuk melapor.

Sanksi pidana yang dikenakan kepada pelaku KDRT :

Ketentuan pidana penjara atau denda diatur dalam Bab VIII mulai dari pasal 44 –

pasal 53. Lama waktu penjara dan juga besarnya denda berbeda-beda sesuai dengan tindak

kekerasan yang dilakukan. Dalam proses pengesahan UU ini, bab mengenai ketentuan pidana

sempat dipermasalahkan karena tidak menentukan batas hukuman minimal, melainkan hanya

mengatur batas hukuman maksimal. Sehingga dikhawatirkan seorang pelaku dapat hanya

dikenai hukuman percobaan saja. Meskipun demikian, ada dua pasal yang mengatur

mengenai hukuman minimal dan maksimal yakni pasal 47 dan pasal 48. Kedua pasal tersebut

mengatur mengenai kekerasan seksual.

Ketentuan pidana yang dikenakan pada kasus kekersan fisik:

Pasal 44

1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan. fisik dalam lingkup rumah

tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana

penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00

(lima belas juta rupiah).

2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan

korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00

(tiga puluh juta rupiah).

3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan

matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)

tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta

rupiah).

4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh

suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau

halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau

7

Page 8: Kronologi Kejadian Kdrt

kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)

bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Pada kasus ini suami terjerat pasal 44 ayat 4 karena telah memukul, menjambak

menampar. Dan sang suami terkena pasal berlipat karena telah menyebabkan kecacatan

fisik dan luka berat dikenai pasa 44 ayat 2 yang menyebabkan kecacatan fisik atau luka

berat.

Selain itu, pelaku KDRT dapat juga dijerat dengan KUHP terutama tentang

penganiayaan. Dalam hal ini, penganiayaan yang menimbulkan luka, baik ringan, sedang,

maupun berat. Korban dengan luka ringan dapat merupakan hasil dari tindak pidana

penganiayaan ringan (pasal 352 KUHP), sedangkan korban dengan luka sedang dapat

merupakan hasil dari tindak penganiayaan (pasal 351 (1) atau 353 (1)). Korban dengan luka

berat (pasal 90 KUHP) dapat merupakan hasil dari tindak pidana penganiayaan dengan akibat

luka berat (pasal 351 (2) atau 353 (2)) atau akibat penganiayaan berat (pasal 354 (1) atau 355

(1))3

Pasal 351

1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan

bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,00

2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya

lima tahun. (KUHP 90).

3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selama-lamanya

tujuh tahun. (KUHP 338).

4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.

5) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum (KUHP 37, 53, 184, 353,

356, 487).

Pasal 352

1) Selain daripada apa yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang

tidak menjadikan sakit atau halangan untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sebagai

penganiayaan ringan, dihukum penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda

sebanyak-banyaknya Rp.4.500,00. Hukuman ini boleh ditambah dengan sepertiganya,

8

Page 9: Kronologi Kejadian Kdrt

bila kejahatan itu dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada di

bawah perintahnya.

2) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum. (KUHP 37, 53, 70, 184).

Pasal 353

1) Penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu dihukum penjara

selama-lamanya empat tahun.

2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya

tujuh tahun. (KUHP 90).

3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, ia dihukum penjara selama-lamanya

sembilan tahun. (KUHP 37, 338, 340, 352, 355, 487).

Pasal 354

1) Barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain, dihukum karena menganiaya

berat, dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun. (KUHP 90, 351-2).

2) Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya, si tersalah dihukum penjara

selama-lamanya sepuluh tahun. (KUHP 37, 90, 338, 351-2, 356, 487).

Pasal 355

1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum

penjara selama-lamanya dua belas tahun.

2) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian orangnya, si tersalah dihukum penjara

selama-lamanya lima belas tahun. (KUHP 35, 37, 336, 340, 351-3, 353, 356, 487).

Pasal 356

Hukuman yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah sepertiganya:

1) Jika si tersalah melakukan kejahatan itu kepada ibunya, bapaknya yang sah, istrinya

(suaminya) atau anakanya. (KUHP 91, 307).

2) Jika kejahatan itu dilakukan kepada seorang pegawai negeri pada waktu atau sebab ia

menjalankan pekerjaan yang sah. (KUHP 92, 211, 316).

9

Page 10: Kronologi Kejadian Kdrt

3) Jika kejahatan itu dilakukan dengan memakai bahan yang merusakkan jiwa atau

kesehatan orang. (KUHP 35, 37, 357).

Berdasarkan ketentuan dalam KUHP, penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang

tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan.

Umumnya yang dianggap sebagai hasil dari penganiayaan ringan adalah korban dengan

“tanpa luka” atau dengan luka lecet atau memar kecil di lokasi yang tidak berbahaya/yang

tidak menurunkan fungsi alat tubuh tertentu. Luka-luka tersebut dimasukkan ke dalam

kategori luka ringan atau luka derajat satu. KUHP pasal 90 telah memberikan batasan tentang

luka berat, yaitu: jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh

sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut; yang menyebabkan seseorang terus-

menerus tidak mampu untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian; yang

menyebabkan kehilangan salah satu panca indera; yang menimbulkan cacat berat

(verminking); yang mengakibatkan terjadinya keadaan lumpuh; terganggunya daya pikir

selama empat minggu atau lebih serta terjadinya gugur atau matinya kandungan seorang

perempuan. Dengan demikian keadaan yang terletak di antara luka ringan dan luka berat

adalah keadaan yang dimaksud dengan luka sedang.3

Pada komunitas muslim ada anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga

bukanlah suatu kejahatan. Hal ini didasarkan atas kesalahan memahami  penafsiran Q.S. 4

(An Nisaa ayat 34) yang berbunyi :

Laki-laki adalah pemimpin (qawwam) atas perempuan karena Allah melebihkan sebagian

dari mereka yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka (untuk

perempuan) sebab itu perempuan yang saleh adalah yang taat kepada Allah dan menjaga

diri di balik pembelakangan suaminya. Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan

nusyuznya maka nasihatilah mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari jalan-jalan

untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar.

10

Page 11: Kronologi Kejadian Kdrt

Ayat ini adalah yang meyakininya sebagai dasar bagi suami untuk memukul isteri

dalam rangka mendidik terutama jika isterinya itu dianggap membangkang (nusyuz)

terhadapnya. Namun, jika dilihat pada konteks rumusan kalimat dari surat An-Nisaa tersebut

tidak ditemukan ada hak untuk suami memukul isterinya dengan dalih perannya sebagai

pemberi nafkah. Kedudukan suami sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah ini

memberikan kekuasaan lebih kepada suami atas isterinya. Kedudukan ini dengan sendirinya

semakin menciptakan ketergantungan para isteri (setidaknya secara ekonomi) kepada

suaminya.4

Selama ini orang beranggapan bahwa ajaran agama juga berperan dalam

memperbolehkan seorang suami bertindak kasar kepada istri, namun tidak benaran ajaran

Islam menyuruh melakukan tindakan tidak beradab itu. Rasulullah SAW dalam sebuah

haditsnya bersabda, ‘La tadhirbu imaallah!’ maknanya, ‘Jangan kalian pukul kaum

perempuan!’. Dalam hadits yang lain beliau menjelaskan bahwa sebaik-baik lelaki atau suami

adalah yang berbuat baik pada istrinya. 4

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan orang tua untuk memukul

anaknya apabila mereka enggan menunaikan shalat ketika telah berusia 10 tahun. Demikian

yang disampaikan Abdul Malik bin Ar-Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya dari kakeknya, bahwa

Rasulullah  bersabda:

“Perintahkanlah anak untuk shalat ketika telah mencapai usia tujuh tahun. Dan bila

telah berusia sepuluh tahun, pukullah dia bila enggan menunaikannya.” (HR. Abu Dawud no.

494, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan shahih)3

Pukulan yang boleh diberikan suami kepada istrinya adalah pukulan yang tidak

menyakitkan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Muslim. Ibnu Abbas

mengatakan, “Dipukul dengan menggunakan kayu siwak (kayu untuk alat gosok gigi,

AH).”Allahu a’lam.4

Dengan demikian dalam hukum Islam jelas pukulan tadi di terapkan kepada Anak

atau isteri tidak sampai menyakiti badan mereka!. Itu pun dengan syarat Isteri atau anak jelas-

jelas melanggar syariat Agama. Bukan karena tidak di bikinan minuman langsung main pukul

atau hal lain yang bukan urusan Agama.

11

Page 12: Kronologi Kejadian Kdrt

KESIMPULAN

Tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan jenis kejahatan yang kurang

mendapat perhatian dan jangkauan hukum pidana. Bentuk kekerasannya dapat berupa

kekerasan fisik, psikis, seksual, dan verbal serta penelantaran rumah tangga. Faktor yang

mendorong terjadinya tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga yaitu pembelaan atas

kekuasaan laki-laki, diskriminasi dan pembatasan bidang ekonomi, beban pengasuhan anak,

wanita sebagai anak-anak, dan orientasi peradilan pidana pada laki-laki. Suami dan istri juga

perlu untuk terlibat dalam terapi kelompok dimana masing-masing dapat melakukan sharing

sehingga menumbuhkan keyakinan bahwa hubungan perkawinan yang sehat bukan dilandasi

oleh kekerasan namun dilandasi oleh rasa saling empati. Selain itu, suami dan istri perlu

belajar bagaimana bersikap asertif dan memanage emosi sehingga jika ada perbedaan

pendapat tidak perlu menggunakan kekerasan karena berpotensi anak akan mengimitasi

perilaku kekerasan tersebut.

Dalam kasus ini disimpulkan bahwa istri mengalami kekerasan dalam rumah tangga

dalam bentuk fisik dan psikologis. Dampak psikologis tersebut berupa kecemasan dan rasa

tidak nyaman yang dirasakannya. Ia masih merasa sedih setiap mengingat peristiwa

kekerasan yang terjadi. Menjadi kurang terbuka dan tidak percaya diri untuk berinteraksi

dengan lingkungan sosial sehingga menarik diri. Ia pun merasa sulit berkonsentrasi saat

kondisi emosinya labil akibat mengingat peristiwa yang menimpanya. Selain itu

pandangannya terhadap pernikahan menjadi negatif. Dan adapula dampak kecacatan fisik

istri akibat lemaparan gelas yang mengenai wajah.

Dan terapkanlah ajaran-ajaran agama islam dalam keluarga agar tercipta keluarga

yang Sakinah, Mawardah, Warrahmah. Dan Rasulullah pun melarang memukul istri yang

menyebabkan kesakitan.

SARAN

Saran yang dapat diberikan untuk menghindari KDRT adalah sebaiknya hindari

pertengkaran, selalu menjalin komunikasi yang baik antara suami dengan istri, dengan begitu

rasa saling percaya akan tercipta sehingga terbentuklah keluarga yang harmonis. Sebaiknya

suami jangan terlalu memposisikan diri sebagai penguasa dalam rumah tangga, melainkan

12

Page 13: Kronologi Kejadian Kdrt

memposisikan diri sebagai pemimpin yang arif dalam rumah tangga. Amalkanlah ajaran

agama Islam, karena disana terdapat adab-adab berhubungan suami-istri yang baik.

AKNOWLEDGEMENT

Saya mengucapakan terimakasih kepada Allah yang atas berkat dan rahmatnya Saya

bisa menyelesaikan case report ini. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada LPSK. Tak

lupa Saya juga mengucapakan terimakasih kepada pembimbing tutor yaitu dr.Rita

Murnikusumawati Sp.M yang membimbing blok kepeminatan KDRT kelompok 4 sehingga

case report dapat dibuat dengan hasil yang memuaskan. Terima kasih kepada orang tua saya

yang terus mensupport. Terima kasih kepada semua anggota kelompok 4 KDRT, terima

kasih atas dukungan dan kerjasamanya.

13

Page 14: Kronologi Kejadian Kdrt

DAFTAR PUSTAKA

1. Hasbianto, Elli N. (1996). Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Potret Muram

Kehidupan

2. Kompas. (2006). Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dipengaruhi Faktor Idiologi.

Diambil pada tanggal 26 oktober 2006 dari http://kompas.com.

3. Kompas. (2007). Kekerasan Rumah Tangga Bukan Lagi Urusan Suami Istri. Diambil

pada tanggal 25 Maret 2007 dari http://kompas.com.

4. Al-Quran dan Hadist

14