21
9 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengantar Studi ini membahas pengalaman religius individu, khususnya perjumpaan- perjumpaan individu secara personal dengan yang Ilahi. Perjumpaan yang dialami membawa individu kepada suatu pengalaman yang tidak bisa dipahami secara logis, dan di luar kemampuan dirinya. Secara khusus penelitian dilakukan terhadap pendoa-pendoa di Jemaat GMIT Kaisarea BTN, akan tetapi disadari bahwa penulis memiliki keterbatasan pemahaman untuk menganalisa fenomena yang terjadi. Untuk itulah, penulis memerlukan teori-teori tentang pengalaman religius guna membuka wawasan berfikir dan kemampuan menganalisa fenomena yang terjadi. Wahyu yang Ilahi kepada individu tidak bisa dibuktikan secara empirik, sekalipun wahyu didapatkan melalui pengalaman religius yang khas dan unik seperti penglihatan, mimpi, atau suara-suara. Di satu sisi, pengalaman religius yang unik tersebut sepenuhnya tidak dapat dipahami sebagai sesuatu yang keliru, karena pengalaman berupa penglihatan, mimpi atau suara-suara sangat mempengaruhi pengalaman religius individu ataupun mempengaruhi pengalaman religius orang lain. Di sisi lain, wahyu tersebut juga tidak bisa serta-merta dipahami sebagai suatu kebenaran, karena banyak individu yang tidak benar-benar mengalami penglihatan. Mereka mengalami penglihatan untuk kepentingan tertentu. Tidak semua individu mengalami wahyu dari Ilahi melalui penglihatan, mimpi atau suara-suara. Oleh karena itu, jika dikatakan pengalaman religius yang unik itu terjadi di dalam kehidupan individu bukanlah sesuatu yang keliru. Di

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengantar - UKSW

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengantar - UKSW

9

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Pengantar

Studi ini membahas pengalaman religius individu, khususnya perjumpaan-

perjumpaan individu secara personal dengan yang Ilahi. Perjumpaan yang dialami

membawa individu kepada suatu pengalaman yang tidak bisa dipahami secara

logis, dan di luar kemampuan dirinya. Secara khusus penelitian dilakukan

terhadap pendoa-pendoa di Jemaat GMIT Kaisarea BTN, akan tetapi disadari

bahwa penulis memiliki keterbatasan pemahaman untuk menganalisa fenomena

yang terjadi. Untuk itulah, penulis memerlukan teori-teori tentang pengalaman

religius guna membuka wawasan berfikir dan kemampuan menganalisa fenomena

yang terjadi.

Wahyu yang Ilahi kepada individu tidak bisa dibuktikan secara empirik,

sekalipun wahyu didapatkan melalui pengalaman religius yang khas dan unik

seperti penglihatan, mimpi, atau suara-suara. Di satu sisi, pengalaman religius

yang unik tersebut sepenuhnya tidak dapat dipahami sebagai sesuatu yang keliru,

karena pengalaman berupa penglihatan, mimpi atau suara-suara sangat

mempengaruhi pengalaman religius individu ataupun mempengaruhi pengalaman

religius orang lain. Di sisi lain, wahyu tersebut juga tidak bisa serta-merta

dipahami sebagai suatu kebenaran, karena banyak individu yang tidak benar-benar

mengalami penglihatan. Mereka mengalami penglihatan untuk kepentingan

tertentu. Tidak semua individu mengalami wahyu dari Ilahi melalui penglihatan,

mimpi atau suara-suara. Oleh karena itu, jika dikatakan pengalaman religius yang

unik itu terjadi di dalam kehidupan individu bukanlah sesuatu yang keliru. Di

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengantar - UKSW

10

dalam pembahasan teori, terdapat pokok-pokok pemikiran tokoh untuk membantu

memahami kebenaran pengalaman religius yang dialami individu. Penulis

mendapatkan titik cerah untuk mengetahui,memahami, dan menganalisa

bagaimana pengalaman religius yang unik benar-benar dialami oleh seorang

individu.

Pengalaman religius yang unik yang dialami individu, tidak hanya

mempengaruhi individu, tetapi juga turut mempengaruhi individu yang lain.

Dapat dikatakan pengalaman religius memiliki power yang mempengaruhi

kehidupan secara personal ataupun kelompok. Orang-orang menjadi kagum dan

kekaguman tersebut membawa mereka pada rasa ingin tahu terhadap pengalaman

religius yang dialami. Yang Ilahi menyatakan dirinya melalui penglihatan dan

mimpi, pengalaman tersebut dipahami sebagai sesuatu yang luar biasa atau lebih

jauh dipahami sebagai suatu „karunia.‟ Besarnya pengaruh pengalaman religius

tidak bisa disepelekan karena pengaruh tersebut sangat berdampak pada individu

yang bersangkutan dan orang lain. Oleh karena itu dalam penyusunan teori,

pokok-pokok bahasan yang akan dijelaskan,adalah pengalaman religius menurut

para tokoh dan fungsi-fungsi pengalaman religius.

2.2. Pengalaman Religius

2.2.1 Pengalaman Religius menurut Francis Strickland

Francis Strickland berbicara tentang pengalaman individu yang berangkat

dari rasa kesadarannya. Pemahamannya berada dalam kapasitas studi psikologi

agama yang menjelaskan bahwa pengalaman religius tidak hanya berkaitan

dengan pengalaman satu individu melainkan pengalaman yang dapat melibatkan

individu-individu lainnya. Strickland memahami bahwa pengalaman mencakup

segala sesuatu yang terjadi dalam diri individu secara sadar. Namun dalam

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengantar - UKSW

11

aktivitas tertentu, khususnya dalam organisme fisik individu secara otomotis

terjadi dengan tidak sadar, misalnya individu dalam keadaan sakit.1 Ada dua jenis

fakta dalam memahami pengalaman, yakni pengalaman objek (luar) dan

pengalaman subjek (dalam). Jenis pengalaman objek (luar) berkaitan dengan

pengalaman yang nampak yang dapat diobservasi oleh orang lain. Jadi, hal-hal

yang berkaitan dengan gerakan tubuh, suara, dan tindakan yang ditampilkan dapat

diamati oleh orang lain. Jenis pengalaman subjek (dalam) berangkat dari

pengalaman yang berasal dari kehidupan "dalam" atau yang tidak nampak.

Individu yang memiliki pengalaman itu dapat memaknai perasaan yang dialami

dan sadar akan perasaan emosional yang tidak dapat dilihat oleh orang lain.2

Uraian Strickland menunjukkan bahwa setiap individu memiliki dua jenis

pengalaman di masa hidupnya yang sebagiannya mampu dideteksi oleh orang lain

dan sebagian lainnya hanya dapat dipahami oleh individu tersebut.

Strickland memahami bahwa pengalaman religius berkaitan dengan

bagaimana sikap individu dengan perasaannya dan kesiapannya (motor readiness)

terhadap „sesuatu‟ yang dianggap sebagai „manusia super‟ atau yang Ilahi yang

mampu menguasai alam semesta namun juga menentukan banyak hal dalam hidup

individu.3 Strickland melanjutkan bahwa tindakan yang mendahului keyakinan

adalah sebuah tindakan beragama. Karena hal ini berkaitan dengan keadaan secara

fisik yang dialami manusia secara alami dimulai dari impuls naluriah, gerakan,

dan gagasan yang mengarah pada keyakinan4. Poin yang menjadi penting bagi

Strickland ialah bagaimana tindakan manusia yang akan menentukan bagaimana

1Francis Strickland, “Psychology of Religious Experiences :studies in psychological

interpretation of religious faith” (New York: The Abingodon Press, 1924),21. 2Strickland, “Psychology of Religious Experiences,24.

3Strickland, “Psychology of Religious Experiences, 44-45.

4Strickland, “Psychology of Religious Experiences, 46-47.

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengantar - UKSW

12

perasaannya dan mulai untuk membuat keputusan dalam dirinya atau kesiapan

(motor readiness) untuk bertindak terhadap sesuatu dalam hal ini berkaitan

dengan keyakinan.

2.2.2. Pengalaman Religius menurut William James

Secara khusus terkait dengan konsep tentang pengalaman religius,

terdapat seorang profesor psikologi Amerika, yakni William James (1842-1910).

James berasal dari keluarga cendekiawan yang menaruh perhatian pada agama

dan hal-hal yang bersifat kerohanian. Dalam pengalaman hidupnya, James

memiliki seorang kakek yang memiliki nama yang sama dengannya, yakni

Wiliiam James. Kakeknya memiliki kepribadian yang cenderung otoriter dan

keras, seorang penganut agama presbysterian.5 Sebaliknya anak kandungnya,

Henry James, ayah dari Wiliiam James, mengembangkan sikap demokratis.

Khusus dalam kehidupan keagamaan, Henry lebih menyukai dan menghargai

penghayatan pribadi yang unik. Ia berharap anak-anaknya kelak menjalani hidup

sebagai cendikiawan, republikan, dan kosmopolit. Pola pendidikan Henry sangat

mempengaruhi James, karena James tidak menyukai aturan-aturan yang formal

dan otoriter, pembatasan yang terlalu kaku antar disiplin-ilmu, peran lembaga

keagamaan yang menganggap memiliki wewenang sebagai perantara rohaniah

antara Tuhan dan manusia. Pengalaman hidup James tentunya sangat

mempengaruhi pola pikir dan bagaimana ia memandang agama dan pengalaman

religius manusia. Karya-karya penting yang ditulis James, antara lain: Principles

of Psychology (1890), The Will to Believe and Human Immortality(1897), The

5Agama Presbystarian adalah suatu aliran garis keras dalam agama Nasrani yang

cenderung serba formal dalam menerapkan asas-asas keagamaan di kalangan jamaahnya., lihat

William James, The Variaties of Religious Experience (Perjumpaan dengan Tuhan) (Bandung

:Penerbit Mizan 2004), 19-20

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengantar - UKSW

13

Varieties of Religous Experience (1902), Pragmatism and Other Writings (1907),

Pluralistic Universe (1909), dan Essay in Radical Empiricism (1912).6 Studi

psikologi mengembangkan aliran fungsionalisme yang mempelajari tujuan dan

manfaat praktis dari prilaku manusia, dipelopori oleh James.7Dapat dikatakan

bahwa James memberikan pengaruh paham pragmatisme kepada aliran psikologi

yang dikembangkan dan dari banyaknya karya-karya James, terdapat satu karya

yang terkenal, yaitu; The Varieties of Religious Experience: A Study in Human

Nature, yang terjemahannya berjudul “Perjumpaan dengan Tuhan: Ragam

Pengalaman Religius Manusia.” Buku tersebut akan menjadi acuan untuk melihat

pengalaman religius secara teoritis dan ilmiah.8

Pengertian Agama Menurut James

Terdapat dua istilah kunci dalam karya James, yakni agama (religion) dan

pengalaman religius (religious experience), namun yang menarik ialah pengertian

James tentang agama berbeda dengan pengertian agama pada umumnya.

Pertama, James mendefenisikan agama, sebagai berikut : “Seluruh perasaan,

tindakan, dan pengalaman pribadi manusia dalam kesendiriannya, sejauh mereka

mampu memahami diri mereka sendiri ketika berhadapan dengan apa pun yang

mereka anggap sebagai yang ilahiah.”Sesuai dengan pengertian agama menurut

james, James melihat agama dan pengalaman berdiri sejajar dan berdampingan,

tidak bisa dilepas pisahkan. Oleh karena itu, rangkaian pengalaman religius yang

6William James, The Variaties of Religious Experience (Perjumpaan dengan Tuhan)

(Bandung :Penerbit Mizan 2004), 7. 7

Didalam aliran fungsionalisme yang dipelopori James, tidak membahas dan mempelajari

tentang strukture dan elemen kejiwaan., lihat William James, The Variaties of Religious

Experience (Perjumpaan dengan Tuhan), 21. 8 James,The Variaties of Religious Experience), 22.

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengantar - UKSW

14

dialami menjadi materi telaah James untuk memahami hakekat manusia. Kedua,

pengalaman religius mencakup bagaimana seorang individu berfikir, menghayati,

meyakini, mendambakan, dan berperilaku yang terkait dengan hal-hal religius.

Sekalipun pengalaman religius yang dialami individu, memiliki kadar

subkjektivitas yang tinggi dan sulit untuk dibuktikan secara objektif. James

menghargai pengalaman-pengalaman tersebut.Menurutnya, individu-individu

tersebut merupakan kenyataan yang benar-benar hidup dan sumber ilmu

pengetahuan, apabila dijelaskan dan dipahami dengan nalar yang baik.9

Pewahyuan menurut James

James memberikan salah satu contoh fenomena pengalaman religius,

yakni pengalaman pewahyuan di mana seorang individu mengalami atau

merasakan kehadiran sesuatu yang gaib dan ilahiah yang kemudian menimbulkan

pencerahan dan pemahaman diri yang sejati, dan yang hadir itu memberikan

petunjuk-petunjuk tertentu kepadanya. Seseorang akan merasakan dirinya berada

di alam lain dan diliputi suatu daya supranatural dan mahakuasa, seseorang

merasa dirinya menyatu dengan yang ilahiah atau dengan istilah lainnya ialah

union mistique.10

Menurut interpretasi penulis, ungkapan James di atas menunjuk pada suatu

bentuk perhatian besar James terhadap sejumlah pengalaman-pengalaman

manusia dalam sebuah perjumpaan dengan yang “ilahiah,” perjumpaan yang

murni atas dasar kesadaran manusia. Dalam masyarakat modern, agama yang

hidup dalam konteks modern cenderung lebih bersifat individual atau

9 James, The Variaties of Religious Experience,23-24.

10 James,The Variaties of Religious Experience, 26-27.

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengantar - UKSW

15

“terprivatisasi,” agama menjadi urusan privat dan pilihan pribadi. Wilayah

perhatian James terhadap agama terkait dengan “apa yang terjadi pada seorang

manusia secara pribadi,”, kebutuhan yang paling pribadi, hal-hal yang ideal, dan

perasaan yang dialami (kekecewaan, kegembiraan, kegagalan, dan

keberhasilan).11

Fakta dan Nilai

Pengalaman religius merupakan hal penting yang harus dipahami sebagai

cara individu memahami nilai keagamaan yang mempengaruhi cara hidup invidu,

dan cara individu menghayati keagamaannya. Pengalaman religius lebih dipahami

dalam konteks-konteks kehidupan individu.Kitab suci juga harus dilihat sebagai

teks yang mengungkapkan pengalaman religius manusia dalam konteks

kehidupannya. Kitab suci yang dahulunya dianggap sebagai wahyu yang memiliki

kebenaran mutlak, saat ini harus dipahami dengan cara pandang yang baru,

dengan lebih membebaskan individu untuk menghayati kagamaannya. Menurut

James, penilaian terhadap Alkitab dilakukan dengan “penilaian spiritual” dan

“penilaian eksistensial.” Pemahaman James tentunya berbeda dengan teori nilai

wahyu (theory of revelation-value), yang menetapkan kitab suci memiliki nilai-

wahyu dengan paradigma bahwa kitab tidak memiliki kesalahan historis atau

ilmiah apa pun, disusun secara otomatis terlepas dari pemikiran serta konteks

seorang penulis, dan tidak menampilkan nafsu pribadi atau perorangan. Karena

itu, James melihat kitab sebagai wahyu yang berisikan pengalaman-pengalaman

batin setiap orang yang berjuang melawan krisis dalam hidup, dengan tidak

11

James, The Variaties of Religious Experience, 49.

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengantar - UKSW

16

mengingkari bahwa kitab sebagai wahyu juga tak luput dari kesalahan, nafsu

insani, dan disusun secara sengaja. Karena itu, setiap individu membangun

pandangan yang berbeda tentang nilai Alkitab sebagai wahyu, sesuai dengan

perbedaan “penilaian spiritual” dan landasan nilai.12

James tidak membicarakan penganut agama yang lazimnya mengikuti

peribadahan konvensional (seperti penganut Buddha, Kristen, atau Islam).

Penganut agama seperti ini melakukan peribadatan hanya karena kebiasaan,

karena ketentuan tersebut sudah dikomunikasikan melalui tradisi, dibakukan

melalui peniruan, ataupun agama menjadi eksis karena kebiasaan yang

menjemukan. Manusia beragama yang menjadi perhatian adalah individu yang

memiliki pengalaman orisinal yang menetapkan pola perasaan yang dianjurkan

(suggested feeling), dan pola tindakan yang ditiru massa. Pengalaman ini dijumpai

pada manusia beragama yang melihat agama sebagai “keranjingan yang

akut.”13

James mendeskripsikan manusia beragama tersebut dalam pengalaman-

pengalaman yang dialami, yaitu; “Mereka sering menjalani kehidupan batin penuh

konflik, dan mengalami suasana melankolis dalam pengembaraan mereka. Mereka

tidak mengenal standar.Mereka bergantung pada obsesi dan gagasan-gagasan

yang tetap. Mereka kerap tenggelam ke dalam kondisi trans, mendengar suara-

suara gaib, mengalami penampakan, dan menunjukkan segala jenis keanehan

yang bisa dibuat secara patologi. Namun, ciri-ciri patologis pengembaraan mereka

ini justru memberi mereka pengaruh positif dan otoritas keagamaan”.14

Sesuai dengan deskripsi tentang pengalaman orisinal yang dialami

penganut agama, maka pengalaman tersebut memberikan kekhasan pada manusia

12

James, The Variaties of Religious Experience, 63-64. 13

James, The Variaties of Religious Experience, 65. 14

James, The Variaties of Religious Experience, 66.

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengantar - UKSW

17

beragama. Di satu sisi, khas karena pengalaman-pengalaman orosinil tidak

dialami oleh semua manusia beragama.Oleh karena itu, pengalaman tersebut bisa

dikatakan sui generis dan unik yang dimiliki oleh segelintir manusia beragama. Di

sisi lain karena pengalaman tersebut, manusia beragama yang unik dianggap

menderita Neurosis, dengan menunjukkan gejala-gejala ketidakstabilan mental,

dan memiliki kepekaan emosional yang sangat dalam, namun tidak

mempengaruhi pemikiran secara rasional. Pandangan bahwa pengalaman-

pengalaman orisinil (pandangan James) atau pengalaman penyataan sang mutlak

secara tidak langsung melalui penglihatan atau mimpi, merupakan pengalaman

yang tidak rasional, akan tetapi pengalaman religius tersebut tidak bisa dianggap

sebagai ketidakbenaran. Lebih jauh James berani menekankan bahwa pengalaman

orisinil tersebut memberikan pengaruh positif ataupun otoritas keagamaan.

Terdapat perdebatan lanjutan berkaitan dengan pengalaman-pengalaman orisinil

manusia beragama yang sui generis dan unik, yakni anggapan bahwa keadaan

pikiran lebih unggul daripada yang lain, atau rasionalitas yang dapat dipahami dan

dibenarkan. James menjelaskan bahwa pengalaman-pengalaman orisinil yang

terkait dengan pengalaman sentimentil dan mistik membawa otoritas pencerahan

batin yang sangat besar.15

Ada perasaan yang timbul ketika individu mengalami

pengalaman-pengalaman orisinil, perasaan tersebut tercermin dalam spiritualitas

individu. Nilai pandangan religius hanya bisa dipastikan melalui penilaian

spiritual yang langsung diterapkan padanya.

15

James, The Variaties of Religious Experience,75.

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengantar - UKSW

18

Tiga Kriteria Nilai

Ada dua dasar penilaian.Pertama, didasarkan pada perasaan yang muncul

seketika dalam diri kita.Kedua, didasarkan pada apa yang bisa kita yakini tentang

hubungan eksperiensialnya dengan kebutuhan moral kita dan hal-hal yang kita

anggap benar.16

Tiga kriteria nilai mencakup keterpahaman langsung (immediate

luminousness), kemasukakalan filosofis (philosophial reasonableness), dan

kegunaan moral (moral helpfullness). James mengutip pemikiran Jonathan

Edward, dalam “Risalah tentang kasih sayang religius”. Edward mengatakan

akar-akar kebajikan manusia tidak bisa dijangkau, tidak ada bukti yang tak

terbantahkan tentang adanya rahmat, satu-satu bukti yang dapat menunjukkan

individu tersebut adalah seorang Kristen, hanyalah tindakan individu tersebut.17

Tindakan menjadi titik penting unuk melihat bagaimana individu tersebut benar-

benar mengalami dan menghayati pengalaman religiusnya. Pengalaman religius

orisinil yang sui generis dan unik, juga dipandang secara medis merupakan suatu

patologi dan gangguan secara mental. Oleh karena itu, James melakukan kritik

dengan tujuan untuk melihat pengalaman religius yang memiliki nilai spiritual

superior18

dan tidak bisa dianggap sebagai suatu keadaan yang ditimbulkan karena

penyakit tertentu. Oleh karena itu James meyakini bahwa pengalaman-

pengalaman yang berupa pengalaman mistik ini jarang dijumpai oleh banyak

orang dan tidak dialami oleh semua orang sehingga menjadi pengalaman yang

tidak bisa ditelusuri dalam uji medis.19

16

James, The Variaties of Religious Experience,77. 17

James, The Variaties of Religious Experience,79. 18

James, The Variaties of Religious Experience, 73. 19

James, The Variaties of Religious Experience, 72-75.

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengantar - UKSW

19

Perasaan Keagamaan

James mengungkapkan tentang pertimbangannya mengenai „perasaan

keagamaan‟ (religious sentiment) yang seolah-olah sebagai sebuah entitas yang

tunggal. Istilah „perasaan keagamaan‟ sebagai sebuah nama kolektif bagi berbagai

perasaan sering dibangkitkan oleh objek-objek agama.Namun demikian, istilah ini

mungkin mengandung hakikat spesifik apa pun secara psikologis. Ada ketakutan

keagamaan, cinta keagamaan, kagum keagamaan. Rasa kagum memandang satu

objek di lingkungan berbeda dengan rasa kagum terhadap hal yang supranatural.

Sebagai kondisi yang konkret ini, maka dari suatu perasaan ditambah dengan

suatu objek spesifik. Emosi keagamaan yang merupakan sebuah entitas psikis

yang bisa dibedakan dari emosi-emosi konkret lainnya. Inilah yang menjadi

sebuah entitas psikis individu dalam emosi keagamaan yang eksis sebagai

kecenderungan mental elementer yang berdiri sendiri.20

Realitas dari yang Gaib

James mengungkapkan pertama-tama tentang bagaimana pikiran

mempengaruhi keyakinan individu, keyakinan ini menunjuk pada objek-objek

yang diyakini benar-benar ada secara ideal maupun secara faktual.Objek-ojek itu

bisa ada dalam pikiran individu, atau juga hadir dalam pancaindra individu dan

dapat memunculkan semacam reaksi dari dirinya. Objek-objek keagamaan

dipenuhi oleh objek abstrak yang memiliki kekuatan yang sama. James

menggunakan gagasan Immanuel Kant dalam menjelaskan objek keyakinan

seperti Tuhan.Konsepsi kita selalu memerlukan bahan yang terkait dengan indra

20

James, The Variaties of Religious Experience, 88.

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengantar - UKSW

20

untuk diolah, karena kata-kata seperti jiwa, Tuhan dan keabadian tidak memiliki

kaitan apa pun dengan indra.Secara teoritis kata-kata ini merupakan kata-kata

yang tidak memiliki makna apa-apa, namun dari segi keagamaan, kata-kata ini

memiliki makna yang pasti dalam praktik.Artinya bahwa individu bisa bertindak

seolah-olah Tuhan ada atau seolah-olah manusia hidup abadi. Kata-kata ini

kemudian menimbulkan perbedaan secara nyata dalam kehidupan moral namun

keyakinan ini yang membuatnya benar-benar ada. Pikiran yang mempercayai

dengan segenap dayanya kehadiran nyata.21

Seolah-seolah dalam kesadaran

manusia terdapat suatu rasa tentang realitas, perasaan tentang kehadiran objektif,

sebuah penerapan tentang apa yang mungkin disebut sebagai “ada sesuatu” yang

lebih mendalam dan umum dari segala penginderaan. Selama konsepsi agama

mampu menyentuh perasaan tentang realitas ini, konsepsi keagamaan akan tetap

diyakini keberadaannya meskipun kritikan terus datang.22

Pemahaman

rasionalisme berlandaskan empat hal.Pertama, prinsip-prinsip abstrak yang dapat

dijelaskan. Kedua, fakta-fakta indrawi yang nyata. Ketiga, hipotesis-hipotesis

pasti yang didasarkan pada fakta-fakta. Keempat, kesimpulan-kesimpulan pasti

yang diambil secara logis. Berangkat dari pemahaman rasionalisme, bagi James

kesan-kesan yang kabur dari sesuatu yang tidak bisa didefinisikan tidak punya

tempat dalam sistem rasionalistik.23

Agama dalam Pikiran yang Sehat

James menguraikan istilah agama dalam pikiran yang sehat terletak pada

rasa kebahagiaan yang dimiliki individu. James menambahkan bahwa jika sebuah

21

James, The Variaties of Religious Experience, 119-122. 22

James, The Variaties of Religious Experience, 125. 23

James, The Variaties of Religious Experience, 144.

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengantar - UKSW

21

keyakinan membahagiakan manusia maka ia akan mengambilnya.24

Pikiran yang

sehat cenderung tertuju pada segala sesuatu yang bersifat baik tetapi harus

dibedakan keadaan pikiran sehat yang datang secara sadar dan bersifat sistematis

dan pikiran sehat yang tidak sadar. Jenis pikiran yang tidak sadar terletak pada

sebuah cara untuk segera merasa gembira dan jenis yang sistematik adalah sebuah

cara untuk memahami bahwa segala sesuatu yang bersifat baik secara abstrak.

Keadaan pikiran yang sehat dan sistematis melihat kebaikan sebagai aspek

keberadaan yang universal dan mendasar.25

Pengembangan sistematis dari pikiran

yang sehat sebagai suatu sikap keagamaan, akan selaras dengan segala arus

penting dalam sifat-sifat dasar manusia.26

Bagi ilmuwan dan kaum positivis,

pemikiran keagamaan hanyalah sebuah upaya untuk bertahan hidup.Sains

membuktikan bahwa kepribadian bukanlah sebuah kekuatan elementer di alam

atau berkarakter impersonal27

. Namun James menjelaskan bahwa dari segi

pengalaman individu dapat diverifikasi dalam metode eksperimen, objek yang

mendasar adalah individu yang mengalami pengalaman tersebut. 28

Konversi

Pada dasarnyakonversi adalah gejala akil balik yang normal, seperti halnya

perpindahan semesta sempit seorang anak ke kehidupan spiritual dan intelektual

seorang dewasa.29

Terdapat dua hal pada pikiran orang yang mengalami konversi :

pertama, rasa ketidaklengkapan atau kesalahan kita yang ada pada masa kini,

24

James, The Variaties of Religious Experience, 151. 25

James, The Variaties of Religious Experience, 162. 26

James, The Variaties of Religious Experience, 165. 27

James, The Variaties of Religious Experience, 165. 28

James, The Variaties of Religious Experience, 200.

29

James, The Variaties of Religious Experience, 239

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengantar - UKSW

22

“dosa” yang darinya orang itu sangat ingin terbebaskan.Kedua, ideal positif yang

sangat ingin ia raih. Kesadaran akan kesalahan merupakan sebuah fakta kesadaran

yang jauh lebih jelas dibandingkan dengan imajinasi ideal positif yang menjadi

tujuan kita. Pada sebagian besar kasus, “dosa” hampir selalu menguasai perhatian,

sehingga konversi adalah suatu proses perjuangan melepaskan diri dari dosa dan

bukan upaya untuk mencari kesalehan.30

Pengalaman Religius dan Pengalaman Mistik

James juga berpandangan bahwa pengalaman religius secara pribadi

berakar dalam keadaan kesadaran mistis atau pengalaman mistik. Di dalam

memahami kesadaran mistis, James mengungkapkan empat karakter yang khas

dalam pengalaman mistik. 1) Tidak bisa diungkapkan. Poin ini ditandai dengan

mengklasifikasikan pola pikir tertentu sebagaimana yang bersifat mistik sebagai

sesuatu hal yang negatif. Orang yang mengalaminya akan mengatakan bahwa

pengalaman itu tidak bisa diungkapkan. 2) Kualitas noetik. Kualitas yang satu ini

menambah wawasan tentang kedalaman kebanaran yang tidak bisa digali melalui

intelek yang bersifat diskursif. Semua hal ini merupakan peristiwa pencerahan dan

pewahyuan yang penuh dengan makna dan arti, namun tidak dapat diungkapkan

meskipun dapat dirasakan. 3) Situasi transien. Keadaan ini tidak dapat

dipertahankan dalam waktu yang cukup lama. Kecuali pada kesempatan-

kesempatan yang jarang terjadi, batas-batas yang biasa dialami seseorang sebelum

kemudian pulih ke keadaan biasa adalah sekitar setengah jam atau paling lama

satu sampai dua jam. Namun kemudian berulang-ulangnya peristiwa ini menjadi

30

James, The Variaties of Religious Experience, 303.

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengantar - UKSW

23

mudah dimengerti dengan adanya perkembangan yang bersifat kontinu pada

suasana batin yang dirasakan. 4) Kepasifan. Keadaan mistik yang terakhir

berkaitan dengan tindakan gejala-gejala tertentu, seperti ucapan kenabian, penulis

otomatis atau keadaan kesurupan saat menjadi seorang medium. Orang-orang

yang mengalami hal itu tidak bisa mengingat lagi gejala yang mereka alami.31

Dari

empat karakterisasi pengalaman mistik di atas,James memberi pengertian yang

sederhana mengenai pengalaman mistik. Pengalaman mistik merupakan

pengalaman yang memperdalam rasa kebermaknaan dari suatu dail atau kaidah

yang telah kita ketahui sebelumnya.32

2.2.3. Pengalaman Religius menurut Rudolf Otto

Penulis beralih ke pemikiran seorang teolog Jerman bernama Rudolf Otto

yang berbasis pada studi fenomenologi. Otto memusatkan perhatian pada studi

tentang agama dalam berbagai fenomena. Salah satu karya tulisan yang menjadi

fokusnya berbicara tentang pengalaman religius ialah Das Heiligie yang

kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris “The Idea Of Holy”. Pemikiran

Otto salah satunya juga dipengaruhi oleh William James yang berkesinambungan

terkait tentang „perasaan keagamaan.‟Namun Otto lebih menekankan perasaaan

dalam istilahnya yang disebut „numinous’. Sebagai dasar pemikirannya, Otto

terlebih dahulu menjelaskan tentang unsur rasional dan irasional dalam agama

dilihat dari bagaimana pemahaman manusia saat menekankan akan sifat-sifat

Tuhan sebagai Yang Maha Tinggi, sebagai sesuatu hal yang dapat dinalar atau

masuk di akal. Misalnya, orang Kristen dapat memahami sifat Tuhan adalah yang

31

James, The Variaties of Religious Experience, 506-508. 32

James, The Variaties of Religious Experience, 510.

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengantar - UKSW

24

baik, memiliki kekuatan super, transenden dan karenanya sifat Tuhan itu

dianalogikan dengan sifat dan akal manusia.33

Dengan kata lain, sifat-sifat yang

dapat terima dengan akal dan dapat dianalisa dalam pemikiran, maka secara

konseptual sifat-sifat tersebut dapat dikategorikan dalam unsur rasional.34

Otto

menambahkan bahwa kecenderungan dalam menekankan sifat-sifat Tuhan yang

“rasional” sesungguhnya lahir oleh karena bahasa yang digunakan untuk

mengungkapkan kebenaran agama termasuk bahasa yang digunakan dalam kitab

suci.35

Menurut Otto dalam “ruang sebelah dalam" terdapat suatu struktur a priori

terhadap sesuatu yang irasional. Struktur tersebut terletak pada “perasaan hati”.

Kesadaran akan “yang kudus”, yang juga disebut dengan kesadaran beragama

adalah salah satu dari struktur a priori irasional manusia. Kesadaran beragama

adalah suatu kesadaran tentang “yang kudus”, atas dasar inilah manusia dapat

mengalami hal-hal duniawi sebagai petunjuk yang ilahi.36

Unsur yang irasional

terletak pada bagaimana manusia memberi predikat pada sifat-sifat tersebut

sebagaimana adanya namun pada hakekatnya tidak dapat dijangkau dalam

pemikiran atau rasio.

Otto memberi satu istilah yang diadopsinya dari bahasa Latin, yakni

“numen”dan “numenious” yang terkait dengan istilah “Holy” dan “Holiness”.

Pemahaman dalam istilah ini menunjuk pada arti derivatifnya secara menyeluruh,

dalam arti bahwa ada makna yang berbeda walaupun dengan istilah yang sama.

Makna yang biasa digunakan ialah „kebaikan yang sempurna‟ atau „sifat moral

33

Rudolf Otto, The Idea Of the Holy: An Inquiry Into the Non-rational Factor in the idea

of the Divine and it Relation to the Rational , second edition ( London : Oxford University Press,

1950 ), 257 kindle. 34

Otto, The Idea Of Holy , 1. 35

Otto, The Idea Of Holy,1. 36

Otto, The Idea Of Holy ,56.

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengantar - UKSW

25

yang mutlak‟ atau „kesempurnaan kebaikan moral‟.37

Pada saat seseorang

menggunakan istilah holy,maka sesuatu yang baik secara moral berada dalam

makna holy tersebut. Istilah-istilah lain yang identik dengan holy, ialah:qodosh,

ayious, sanctus atau sacer. Istilah holy menggambarkan pembentukan dan

pengisian secara bertahap yang dibarengi dengan makna etik tentang sesuatu yang

merupakan tanggapan dari perasaan. Namun secara etis, pemaknaan holy tersebut

netral dan kebenaran yang terkandung di dalamnya perlu untuk

dipertimbangkan.38

Di dalam proses perkembangannya, ungkapan-ungkapan itu

yang diterjemahkan dengan arti „segala sesuatu yang baik‟ dapat menjadi sasaran

kritik. Penerjemahan tersebut dianggap sebagai suatu penerjemahan yang salah

serta „rasionalisasi‟ atau „moralisasi‟ yang tidak dapat dibenarkan.39

Ketika

memahami bahwa sewaktu-waktu penggunaan sebuah istilah dapat berkembang

dalam konteksnya, maka menjadi menarik ketika Otto perlu untuk meredefinisi

istilah holy dalam pemahaman yang keluar dari pemaknaan „baik‟ dengan maksud

bahwa untuk menjaga keterpisahan dan arti khusus dalam mengelompokan

bentuk-bentuk atau tahapan-tahapan apapun yang muncul. Istilah itu yang telah

disebutkan sebelumnya yaitu numen atau tentang numinous. Dalam tulisannya,

Otto mengatakan bahwa :

“ For this purpose i adopt a word coined from Latin ‘numen’. Omen

has given us ‘ominous’, and there’s no reason why from ‘numen’ we

should not similary form a word ‘numinous. I shall speak, hen

category of value and of a definitely ‘numinous’ state of mind, which is

always found wherever the category is applied. This mental state is

perfectly ‘sui generi’ and irreducible to any other; and therefore, like

37

Otto, The Idea Of Holy,2. 38

Otto, The Idea Of Holy,5-6 . 39

Otto, The Idea Of Holy, 6.

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengantar - UKSW

26

every absolutely primary and elementary datum, while it admits of

being discused”.40

Istilah numinous secara rasional hendak ingin menunjukkan bahwa

pengalaman religius tidak dapat dikonsepkan dan bersifat irasional sebab

tersembunyi di dalam perasaan individu. Otto juga mencontohkan numinous

seperti tanda X yang tidak dapat dibicarakan atau diajarkan. Ia hanya dapat

dibangunkan dalam akal sebagaimana apa pun yang lahir dari „roh‟ harus

dibangunkan.41

Ada juga aspek penting yang terpola dalam istilah numinous,

yakni mysterium tremendum et fascinas. Penjelasan istilah mysterium tremendum

et fascinas dimulai dari masing-masing akar katanya.42

Otto menganalisa mulai

dari kata tremendum atau tremor yang berarti „takut‟ (fear) yang menunjuk pada

semacam respon dari emosional seseorang. Hal ini sepenuhnya berbeda dari kata

„takut‟ (being afraid).43

Otto melanjutkan bahwa perasaan takut ini lebih dari

sekadar rasa takut sebab hal-hal yang dialami seseorang secara tersirat masuk

dalam kategori nilai yang tidak berada dalam kehidupan setiap hari secara alami

dan ini hanya mungkin dialami oleh seseorang yang membangkitkan predisposisi

mentalnya yang berbeda dan cara yang berbeda dari yang lazim.44

Tremendum yang terdiri dari beberapa elemen-elemen penting,

yaitu:awefulness, overpoweringness, dan energy (urgency). Otto menjelaskan

bahwa pada dasarnya elemen awefulness menyiratkan suatu ketakutan (awe)

yang mengerikan (dread) terhadap sesuatu yang tidak natural atau supernatural.45

Elemen overpoweringness atau pengakuan akan kemegahan (majesty) berkaitan

40

Otto, The Idea Of Holy, 6-7. 41

Otto, The Idea Of Holy,7. 42

Otto, The Idea Of Holy, 12. 43

Otto, The Idea Of Holy,13. 44

Otto, The Idea Of Holy, 15. 45

Otto, The Idea Of Holy, 16.

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengantar - UKSW

27

dengan istilah yang Otto tampilkan dalam creature-consciousness atau kesadaran

makhluk yang dipahami ketika seseorang secara sadar sebagai objek melawan

diri sendiri, namun dalam bentuk elemen ini menunjukkan materi numinous

untuk rasa kerendahan hati46

. Setelah seseorang merasakan apa yang dialami

sebagai sesuatu yang di luar kendali dirinya, maka kemungkinan ia ada dalam

elemen yang terakhir, yakni dalam energi atau urgensi. Sewaktu-waktu urgensi

dapat muncul menambah rasa ketakutan apabila hal yang dialaminya muncul

sebagai bentuk „murka‟.47

Kata mysterium yang hanya ingin menunjukkan bahwa

ada sesuatu yang tersembunyi dan esoterik yang mana berada di luar konsep

pemahaman, luar biasa dan tidak familiar. Istilah ini tidak mendefinisikan secara

objek atau bahkan lebih positif dalam karakter kualitatifnya.48

Fungsi Agama

Pada akhirnya pengalaman religius tidak terpisahkan dari entitas agama,

untuk menjelaskan fungsi dari pengalaman religius, dapat dijelaskan dengan

menggunakan fungsi agama dalam pendekatan fungsionalisme. Deskripsi fungsi

agama dijelaskan dalam pendekatan fungsionalisme dalam menampilkan fungsi-

fungsi tertentu bagi individu dan masyarakat yang lebih luas. Ada tiga fungsi

berbeda yang secara potensial dapat diperankan oleh agama

1) Fungsi sosial, agama menyediakan bagi manusia suatu pengalaman

komunitas (an experience of community) dan mengikat manusia ke

46

Otto, The Idea Of Holy, 20. 47

Otto, The Idea Of Holy, 29. 48

Otto, The Idea Of Holy, 13.

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengantar - UKSW

28

dalam suatu tatanan sosial berdasarkan keyakinan bersama dan nilai-

nilai yang menyediakan suatu struktur.

2) Fungsi eksistensial/hermenutik, agama menyediakan orang-orang

dengan serangkaian sumber daya (seperti mitos, ritual, simbol,

keyakinan, nilai, cerita) yang mungkin bisa membantu mereka untuk

menjalani hidup dengan perasaan akan identitas (a sense of identity)),

makna dan tujuan.

3) Fungsi Transenden. Agama merupakan sebuah medium yang dengan

medium itu orang-orang mampu mengalami atau merasakan kehadiran

“Tuhan”, sebuah pengalaman transenden yang tak terhingga yang bisa

dialami manusia. Rudolf Otto menulis basis pengalaman religius

sebagai perjumpaan dengan obyek transenden dan adikrodati yang kita

presepsi sebagai melampaui kita.49

fungsi transenden, memberikan

gagasan tentang yang „Ilahi‟. fungsi ini memaknai Sang Ilahi tidak

dapat dijangkau oleh akal manusia, tidak dapat dikonsepkan,

melainkan berada diluar dirinya sehingga Otto memahaminya dalam

istilah mysterium tremendum et fascinas, memaknai ilahi yang penuh

dengan misteri, Ilahi tidak dapat digambarkan sifat-sifatnya secara

umum oleh akal manusia seperti Tuhan Maha Tinggi, Tuhan yang

baik50

. Itulah mengapa James menjelaskan bahwa pengalaman religius

merupakan pengalaman yang unik karena menunjukan sebuah

49

Idi Subandy Ibrahim dan Bachruddin Ali Akhmad. Komunikasi dan Komodifikasi :

Mengkaji Media dan Budaya dalan Dinamika Globalisasi ( Jakarta :Pustaka Obor Indonesia,

2004), 135. 50 Rudolf Otto, The Idea Of the Holy:, 257.

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengantar - UKSW

29

pengalaman orisinil individu menghayati pengalamannya berjumpa

dengan Ilahi.51

51 James, The Variaties of Religious Experience , 73