Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
9
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Pengantar
Studi ini membahas pengalaman religius individu, khususnya perjumpaan-
perjumpaan individu secara personal dengan yang Ilahi. Perjumpaan yang dialami
membawa individu kepada suatu pengalaman yang tidak bisa dipahami secara
logis, dan di luar kemampuan dirinya. Secara khusus penelitian dilakukan
terhadap pendoa-pendoa di Jemaat GMIT Kaisarea BTN, akan tetapi disadari
bahwa penulis memiliki keterbatasan pemahaman untuk menganalisa fenomena
yang terjadi. Untuk itulah, penulis memerlukan teori-teori tentang pengalaman
religius guna membuka wawasan berfikir dan kemampuan menganalisa fenomena
yang terjadi.
Wahyu yang Ilahi kepada individu tidak bisa dibuktikan secara empirik,
sekalipun wahyu didapatkan melalui pengalaman religius yang khas dan unik
seperti penglihatan, mimpi, atau suara-suara. Di satu sisi, pengalaman religius
yang unik tersebut sepenuhnya tidak dapat dipahami sebagai sesuatu yang keliru,
karena pengalaman berupa penglihatan, mimpi atau suara-suara sangat
mempengaruhi pengalaman religius individu ataupun mempengaruhi pengalaman
religius orang lain. Di sisi lain, wahyu tersebut juga tidak bisa serta-merta
dipahami sebagai suatu kebenaran, karena banyak individu yang tidak benar-benar
mengalami penglihatan. Mereka mengalami penglihatan untuk kepentingan
tertentu. Tidak semua individu mengalami wahyu dari Ilahi melalui penglihatan,
mimpi atau suara-suara. Oleh karena itu, jika dikatakan pengalaman religius yang
unik itu terjadi di dalam kehidupan individu bukanlah sesuatu yang keliru. Di
10
dalam pembahasan teori, terdapat pokok-pokok pemikiran tokoh untuk membantu
memahami kebenaran pengalaman religius yang dialami individu. Penulis
mendapatkan titik cerah untuk mengetahui,memahami, dan menganalisa
bagaimana pengalaman religius yang unik benar-benar dialami oleh seorang
individu.
Pengalaman religius yang unik yang dialami individu, tidak hanya
mempengaruhi individu, tetapi juga turut mempengaruhi individu yang lain.
Dapat dikatakan pengalaman religius memiliki power yang mempengaruhi
kehidupan secara personal ataupun kelompok. Orang-orang menjadi kagum dan
kekaguman tersebut membawa mereka pada rasa ingin tahu terhadap pengalaman
religius yang dialami. Yang Ilahi menyatakan dirinya melalui penglihatan dan
mimpi, pengalaman tersebut dipahami sebagai sesuatu yang luar biasa atau lebih
jauh dipahami sebagai suatu „karunia.‟ Besarnya pengaruh pengalaman religius
tidak bisa disepelekan karena pengaruh tersebut sangat berdampak pada individu
yang bersangkutan dan orang lain. Oleh karena itu dalam penyusunan teori,
pokok-pokok bahasan yang akan dijelaskan,adalah pengalaman religius menurut
para tokoh dan fungsi-fungsi pengalaman religius.
2.2. Pengalaman Religius
2.2.1 Pengalaman Religius menurut Francis Strickland
Francis Strickland berbicara tentang pengalaman individu yang berangkat
dari rasa kesadarannya. Pemahamannya berada dalam kapasitas studi psikologi
agama yang menjelaskan bahwa pengalaman religius tidak hanya berkaitan
dengan pengalaman satu individu melainkan pengalaman yang dapat melibatkan
individu-individu lainnya. Strickland memahami bahwa pengalaman mencakup
segala sesuatu yang terjadi dalam diri individu secara sadar. Namun dalam
11
aktivitas tertentu, khususnya dalam organisme fisik individu secara otomotis
terjadi dengan tidak sadar, misalnya individu dalam keadaan sakit.1 Ada dua jenis
fakta dalam memahami pengalaman, yakni pengalaman objek (luar) dan
pengalaman subjek (dalam). Jenis pengalaman objek (luar) berkaitan dengan
pengalaman yang nampak yang dapat diobservasi oleh orang lain. Jadi, hal-hal
yang berkaitan dengan gerakan tubuh, suara, dan tindakan yang ditampilkan dapat
diamati oleh orang lain. Jenis pengalaman subjek (dalam) berangkat dari
pengalaman yang berasal dari kehidupan "dalam" atau yang tidak nampak.
Individu yang memiliki pengalaman itu dapat memaknai perasaan yang dialami
dan sadar akan perasaan emosional yang tidak dapat dilihat oleh orang lain.2
Uraian Strickland menunjukkan bahwa setiap individu memiliki dua jenis
pengalaman di masa hidupnya yang sebagiannya mampu dideteksi oleh orang lain
dan sebagian lainnya hanya dapat dipahami oleh individu tersebut.
Strickland memahami bahwa pengalaman religius berkaitan dengan
bagaimana sikap individu dengan perasaannya dan kesiapannya (motor readiness)
terhadap „sesuatu‟ yang dianggap sebagai „manusia super‟ atau yang Ilahi yang
mampu menguasai alam semesta namun juga menentukan banyak hal dalam hidup
individu.3 Strickland melanjutkan bahwa tindakan yang mendahului keyakinan
adalah sebuah tindakan beragama. Karena hal ini berkaitan dengan keadaan secara
fisik yang dialami manusia secara alami dimulai dari impuls naluriah, gerakan,
dan gagasan yang mengarah pada keyakinan4. Poin yang menjadi penting bagi
Strickland ialah bagaimana tindakan manusia yang akan menentukan bagaimana
1Francis Strickland, “Psychology of Religious Experiences :studies in psychological
interpretation of religious faith” (New York: The Abingodon Press, 1924),21. 2Strickland, “Psychology of Religious Experiences,24.
3Strickland, “Psychology of Religious Experiences, 44-45.
4Strickland, “Psychology of Religious Experiences, 46-47.
12
perasaannya dan mulai untuk membuat keputusan dalam dirinya atau kesiapan
(motor readiness) untuk bertindak terhadap sesuatu dalam hal ini berkaitan
dengan keyakinan.
2.2.2. Pengalaman Religius menurut William James
Secara khusus terkait dengan konsep tentang pengalaman religius,
terdapat seorang profesor psikologi Amerika, yakni William James (1842-1910).
James berasal dari keluarga cendekiawan yang menaruh perhatian pada agama
dan hal-hal yang bersifat kerohanian. Dalam pengalaman hidupnya, James
memiliki seorang kakek yang memiliki nama yang sama dengannya, yakni
Wiliiam James. Kakeknya memiliki kepribadian yang cenderung otoriter dan
keras, seorang penganut agama presbysterian.5 Sebaliknya anak kandungnya,
Henry James, ayah dari Wiliiam James, mengembangkan sikap demokratis.
Khusus dalam kehidupan keagamaan, Henry lebih menyukai dan menghargai
penghayatan pribadi yang unik. Ia berharap anak-anaknya kelak menjalani hidup
sebagai cendikiawan, republikan, dan kosmopolit. Pola pendidikan Henry sangat
mempengaruhi James, karena James tidak menyukai aturan-aturan yang formal
dan otoriter, pembatasan yang terlalu kaku antar disiplin-ilmu, peran lembaga
keagamaan yang menganggap memiliki wewenang sebagai perantara rohaniah
antara Tuhan dan manusia. Pengalaman hidup James tentunya sangat
mempengaruhi pola pikir dan bagaimana ia memandang agama dan pengalaman
religius manusia. Karya-karya penting yang ditulis James, antara lain: Principles
of Psychology (1890), The Will to Believe and Human Immortality(1897), The
5Agama Presbystarian adalah suatu aliran garis keras dalam agama Nasrani yang
cenderung serba formal dalam menerapkan asas-asas keagamaan di kalangan jamaahnya., lihat
William James, The Variaties of Religious Experience (Perjumpaan dengan Tuhan) (Bandung
:Penerbit Mizan 2004), 19-20
13
Varieties of Religous Experience (1902), Pragmatism and Other Writings (1907),
Pluralistic Universe (1909), dan Essay in Radical Empiricism (1912).6 Studi
psikologi mengembangkan aliran fungsionalisme yang mempelajari tujuan dan
manfaat praktis dari prilaku manusia, dipelopori oleh James.7Dapat dikatakan
bahwa James memberikan pengaruh paham pragmatisme kepada aliran psikologi
yang dikembangkan dan dari banyaknya karya-karya James, terdapat satu karya
yang terkenal, yaitu; The Varieties of Religious Experience: A Study in Human
Nature, yang terjemahannya berjudul “Perjumpaan dengan Tuhan: Ragam
Pengalaman Religius Manusia.” Buku tersebut akan menjadi acuan untuk melihat
pengalaman religius secara teoritis dan ilmiah.8
Pengertian Agama Menurut James
Terdapat dua istilah kunci dalam karya James, yakni agama (religion) dan
pengalaman religius (religious experience), namun yang menarik ialah pengertian
James tentang agama berbeda dengan pengertian agama pada umumnya.
Pertama, James mendefenisikan agama, sebagai berikut : “Seluruh perasaan,
tindakan, dan pengalaman pribadi manusia dalam kesendiriannya, sejauh mereka
mampu memahami diri mereka sendiri ketika berhadapan dengan apa pun yang
mereka anggap sebagai yang ilahiah.”Sesuai dengan pengertian agama menurut
james, James melihat agama dan pengalaman berdiri sejajar dan berdampingan,
tidak bisa dilepas pisahkan. Oleh karena itu, rangkaian pengalaman religius yang
6William James, The Variaties of Religious Experience (Perjumpaan dengan Tuhan)
(Bandung :Penerbit Mizan 2004), 7. 7
Didalam aliran fungsionalisme yang dipelopori James, tidak membahas dan mempelajari
tentang strukture dan elemen kejiwaan., lihat William James, The Variaties of Religious
Experience (Perjumpaan dengan Tuhan), 21. 8 James,The Variaties of Religious Experience), 22.
14
dialami menjadi materi telaah James untuk memahami hakekat manusia. Kedua,
pengalaman religius mencakup bagaimana seorang individu berfikir, menghayati,
meyakini, mendambakan, dan berperilaku yang terkait dengan hal-hal religius.
Sekalipun pengalaman religius yang dialami individu, memiliki kadar
subkjektivitas yang tinggi dan sulit untuk dibuktikan secara objektif. James
menghargai pengalaman-pengalaman tersebut.Menurutnya, individu-individu
tersebut merupakan kenyataan yang benar-benar hidup dan sumber ilmu
pengetahuan, apabila dijelaskan dan dipahami dengan nalar yang baik.9
Pewahyuan menurut James
James memberikan salah satu contoh fenomena pengalaman religius,
yakni pengalaman pewahyuan di mana seorang individu mengalami atau
merasakan kehadiran sesuatu yang gaib dan ilahiah yang kemudian menimbulkan
pencerahan dan pemahaman diri yang sejati, dan yang hadir itu memberikan
petunjuk-petunjuk tertentu kepadanya. Seseorang akan merasakan dirinya berada
di alam lain dan diliputi suatu daya supranatural dan mahakuasa, seseorang
merasa dirinya menyatu dengan yang ilahiah atau dengan istilah lainnya ialah
union mistique.10
Menurut interpretasi penulis, ungkapan James di atas menunjuk pada suatu
bentuk perhatian besar James terhadap sejumlah pengalaman-pengalaman
manusia dalam sebuah perjumpaan dengan yang “ilahiah,” perjumpaan yang
murni atas dasar kesadaran manusia. Dalam masyarakat modern, agama yang
hidup dalam konteks modern cenderung lebih bersifat individual atau
9 James, The Variaties of Religious Experience,23-24.
10 James,The Variaties of Religious Experience, 26-27.
15
“terprivatisasi,” agama menjadi urusan privat dan pilihan pribadi. Wilayah
perhatian James terhadap agama terkait dengan “apa yang terjadi pada seorang
manusia secara pribadi,”, kebutuhan yang paling pribadi, hal-hal yang ideal, dan
perasaan yang dialami (kekecewaan, kegembiraan, kegagalan, dan
keberhasilan).11
Fakta dan Nilai
Pengalaman religius merupakan hal penting yang harus dipahami sebagai
cara individu memahami nilai keagamaan yang mempengaruhi cara hidup invidu,
dan cara individu menghayati keagamaannya. Pengalaman religius lebih dipahami
dalam konteks-konteks kehidupan individu.Kitab suci juga harus dilihat sebagai
teks yang mengungkapkan pengalaman religius manusia dalam konteks
kehidupannya. Kitab suci yang dahulunya dianggap sebagai wahyu yang memiliki
kebenaran mutlak, saat ini harus dipahami dengan cara pandang yang baru,
dengan lebih membebaskan individu untuk menghayati kagamaannya. Menurut
James, penilaian terhadap Alkitab dilakukan dengan “penilaian spiritual” dan
“penilaian eksistensial.” Pemahaman James tentunya berbeda dengan teori nilai
wahyu (theory of revelation-value), yang menetapkan kitab suci memiliki nilai-
wahyu dengan paradigma bahwa kitab tidak memiliki kesalahan historis atau
ilmiah apa pun, disusun secara otomatis terlepas dari pemikiran serta konteks
seorang penulis, dan tidak menampilkan nafsu pribadi atau perorangan. Karena
itu, James melihat kitab sebagai wahyu yang berisikan pengalaman-pengalaman
batin setiap orang yang berjuang melawan krisis dalam hidup, dengan tidak
11
James, The Variaties of Religious Experience, 49.
16
mengingkari bahwa kitab sebagai wahyu juga tak luput dari kesalahan, nafsu
insani, dan disusun secara sengaja. Karena itu, setiap individu membangun
pandangan yang berbeda tentang nilai Alkitab sebagai wahyu, sesuai dengan
perbedaan “penilaian spiritual” dan landasan nilai.12
James tidak membicarakan penganut agama yang lazimnya mengikuti
peribadahan konvensional (seperti penganut Buddha, Kristen, atau Islam).
Penganut agama seperti ini melakukan peribadatan hanya karena kebiasaan,
karena ketentuan tersebut sudah dikomunikasikan melalui tradisi, dibakukan
melalui peniruan, ataupun agama menjadi eksis karena kebiasaan yang
menjemukan. Manusia beragama yang menjadi perhatian adalah individu yang
memiliki pengalaman orisinal yang menetapkan pola perasaan yang dianjurkan
(suggested feeling), dan pola tindakan yang ditiru massa. Pengalaman ini dijumpai
pada manusia beragama yang melihat agama sebagai “keranjingan yang
akut.”13
James mendeskripsikan manusia beragama tersebut dalam pengalaman-
pengalaman yang dialami, yaitu; “Mereka sering menjalani kehidupan batin penuh
konflik, dan mengalami suasana melankolis dalam pengembaraan mereka. Mereka
tidak mengenal standar.Mereka bergantung pada obsesi dan gagasan-gagasan
yang tetap. Mereka kerap tenggelam ke dalam kondisi trans, mendengar suara-
suara gaib, mengalami penampakan, dan menunjukkan segala jenis keanehan
yang bisa dibuat secara patologi. Namun, ciri-ciri patologis pengembaraan mereka
ini justru memberi mereka pengaruh positif dan otoritas keagamaan”.14
Sesuai dengan deskripsi tentang pengalaman orisinal yang dialami
penganut agama, maka pengalaman tersebut memberikan kekhasan pada manusia
12
James, The Variaties of Religious Experience, 63-64. 13
James, The Variaties of Religious Experience, 65. 14
James, The Variaties of Religious Experience, 66.
17
beragama. Di satu sisi, khas karena pengalaman-pengalaman orosinil tidak
dialami oleh semua manusia beragama.Oleh karena itu, pengalaman tersebut bisa
dikatakan sui generis dan unik yang dimiliki oleh segelintir manusia beragama. Di
sisi lain karena pengalaman tersebut, manusia beragama yang unik dianggap
menderita Neurosis, dengan menunjukkan gejala-gejala ketidakstabilan mental,
dan memiliki kepekaan emosional yang sangat dalam, namun tidak
mempengaruhi pemikiran secara rasional. Pandangan bahwa pengalaman-
pengalaman orisinil (pandangan James) atau pengalaman penyataan sang mutlak
secara tidak langsung melalui penglihatan atau mimpi, merupakan pengalaman
yang tidak rasional, akan tetapi pengalaman religius tersebut tidak bisa dianggap
sebagai ketidakbenaran. Lebih jauh James berani menekankan bahwa pengalaman
orisinil tersebut memberikan pengaruh positif ataupun otoritas keagamaan.
Terdapat perdebatan lanjutan berkaitan dengan pengalaman-pengalaman orisinil
manusia beragama yang sui generis dan unik, yakni anggapan bahwa keadaan
pikiran lebih unggul daripada yang lain, atau rasionalitas yang dapat dipahami dan
dibenarkan. James menjelaskan bahwa pengalaman-pengalaman orisinil yang
terkait dengan pengalaman sentimentil dan mistik membawa otoritas pencerahan
batin yang sangat besar.15
Ada perasaan yang timbul ketika individu mengalami
pengalaman-pengalaman orisinil, perasaan tersebut tercermin dalam spiritualitas
individu. Nilai pandangan religius hanya bisa dipastikan melalui penilaian
spiritual yang langsung diterapkan padanya.
15
James, The Variaties of Religious Experience,75.
18
Tiga Kriteria Nilai
Ada dua dasar penilaian.Pertama, didasarkan pada perasaan yang muncul
seketika dalam diri kita.Kedua, didasarkan pada apa yang bisa kita yakini tentang
hubungan eksperiensialnya dengan kebutuhan moral kita dan hal-hal yang kita
anggap benar.16
Tiga kriteria nilai mencakup keterpahaman langsung (immediate
luminousness), kemasukakalan filosofis (philosophial reasonableness), dan
kegunaan moral (moral helpfullness). James mengutip pemikiran Jonathan
Edward, dalam “Risalah tentang kasih sayang religius”. Edward mengatakan
akar-akar kebajikan manusia tidak bisa dijangkau, tidak ada bukti yang tak
terbantahkan tentang adanya rahmat, satu-satu bukti yang dapat menunjukkan
individu tersebut adalah seorang Kristen, hanyalah tindakan individu tersebut.17
Tindakan menjadi titik penting unuk melihat bagaimana individu tersebut benar-
benar mengalami dan menghayati pengalaman religiusnya. Pengalaman religius
orisinil yang sui generis dan unik, juga dipandang secara medis merupakan suatu
patologi dan gangguan secara mental. Oleh karena itu, James melakukan kritik
dengan tujuan untuk melihat pengalaman religius yang memiliki nilai spiritual
superior18
dan tidak bisa dianggap sebagai suatu keadaan yang ditimbulkan karena
penyakit tertentu. Oleh karena itu James meyakini bahwa pengalaman-
pengalaman yang berupa pengalaman mistik ini jarang dijumpai oleh banyak
orang dan tidak dialami oleh semua orang sehingga menjadi pengalaman yang
tidak bisa ditelusuri dalam uji medis.19
16
James, The Variaties of Religious Experience,77. 17
James, The Variaties of Religious Experience,79. 18
James, The Variaties of Religious Experience, 73. 19
James, The Variaties of Religious Experience, 72-75.
19
Perasaan Keagamaan
James mengungkapkan tentang pertimbangannya mengenai „perasaan
keagamaan‟ (religious sentiment) yang seolah-olah sebagai sebuah entitas yang
tunggal. Istilah „perasaan keagamaan‟ sebagai sebuah nama kolektif bagi berbagai
perasaan sering dibangkitkan oleh objek-objek agama.Namun demikian, istilah ini
mungkin mengandung hakikat spesifik apa pun secara psikologis. Ada ketakutan
keagamaan, cinta keagamaan, kagum keagamaan. Rasa kagum memandang satu
objek di lingkungan berbeda dengan rasa kagum terhadap hal yang supranatural.
Sebagai kondisi yang konkret ini, maka dari suatu perasaan ditambah dengan
suatu objek spesifik. Emosi keagamaan yang merupakan sebuah entitas psikis
yang bisa dibedakan dari emosi-emosi konkret lainnya. Inilah yang menjadi
sebuah entitas psikis individu dalam emosi keagamaan yang eksis sebagai
kecenderungan mental elementer yang berdiri sendiri.20
Realitas dari yang Gaib
James mengungkapkan pertama-tama tentang bagaimana pikiran
mempengaruhi keyakinan individu, keyakinan ini menunjuk pada objek-objek
yang diyakini benar-benar ada secara ideal maupun secara faktual.Objek-ojek itu
bisa ada dalam pikiran individu, atau juga hadir dalam pancaindra individu dan
dapat memunculkan semacam reaksi dari dirinya. Objek-objek keagamaan
dipenuhi oleh objek abstrak yang memiliki kekuatan yang sama. James
menggunakan gagasan Immanuel Kant dalam menjelaskan objek keyakinan
seperti Tuhan.Konsepsi kita selalu memerlukan bahan yang terkait dengan indra
20
James, The Variaties of Religious Experience, 88.
20
untuk diolah, karena kata-kata seperti jiwa, Tuhan dan keabadian tidak memiliki
kaitan apa pun dengan indra.Secara teoritis kata-kata ini merupakan kata-kata
yang tidak memiliki makna apa-apa, namun dari segi keagamaan, kata-kata ini
memiliki makna yang pasti dalam praktik.Artinya bahwa individu bisa bertindak
seolah-olah Tuhan ada atau seolah-olah manusia hidup abadi. Kata-kata ini
kemudian menimbulkan perbedaan secara nyata dalam kehidupan moral namun
keyakinan ini yang membuatnya benar-benar ada. Pikiran yang mempercayai
dengan segenap dayanya kehadiran nyata.21
Seolah-seolah dalam kesadaran
manusia terdapat suatu rasa tentang realitas, perasaan tentang kehadiran objektif,
sebuah penerapan tentang apa yang mungkin disebut sebagai “ada sesuatu” yang
lebih mendalam dan umum dari segala penginderaan. Selama konsepsi agama
mampu menyentuh perasaan tentang realitas ini, konsepsi keagamaan akan tetap
diyakini keberadaannya meskipun kritikan terus datang.22
Pemahaman
rasionalisme berlandaskan empat hal.Pertama, prinsip-prinsip abstrak yang dapat
dijelaskan. Kedua, fakta-fakta indrawi yang nyata. Ketiga, hipotesis-hipotesis
pasti yang didasarkan pada fakta-fakta. Keempat, kesimpulan-kesimpulan pasti
yang diambil secara logis. Berangkat dari pemahaman rasionalisme, bagi James
kesan-kesan yang kabur dari sesuatu yang tidak bisa didefinisikan tidak punya
tempat dalam sistem rasionalistik.23
Agama dalam Pikiran yang Sehat
James menguraikan istilah agama dalam pikiran yang sehat terletak pada
rasa kebahagiaan yang dimiliki individu. James menambahkan bahwa jika sebuah
21
James, The Variaties of Religious Experience, 119-122. 22
James, The Variaties of Religious Experience, 125. 23
James, The Variaties of Religious Experience, 144.
21
keyakinan membahagiakan manusia maka ia akan mengambilnya.24
Pikiran yang
sehat cenderung tertuju pada segala sesuatu yang bersifat baik tetapi harus
dibedakan keadaan pikiran sehat yang datang secara sadar dan bersifat sistematis
dan pikiran sehat yang tidak sadar. Jenis pikiran yang tidak sadar terletak pada
sebuah cara untuk segera merasa gembira dan jenis yang sistematik adalah sebuah
cara untuk memahami bahwa segala sesuatu yang bersifat baik secara abstrak.
Keadaan pikiran yang sehat dan sistematis melihat kebaikan sebagai aspek
keberadaan yang universal dan mendasar.25
Pengembangan sistematis dari pikiran
yang sehat sebagai suatu sikap keagamaan, akan selaras dengan segala arus
penting dalam sifat-sifat dasar manusia.26
Bagi ilmuwan dan kaum positivis,
pemikiran keagamaan hanyalah sebuah upaya untuk bertahan hidup.Sains
membuktikan bahwa kepribadian bukanlah sebuah kekuatan elementer di alam
atau berkarakter impersonal27
. Namun James menjelaskan bahwa dari segi
pengalaman individu dapat diverifikasi dalam metode eksperimen, objek yang
mendasar adalah individu yang mengalami pengalaman tersebut. 28
Konversi
Pada dasarnyakonversi adalah gejala akil balik yang normal, seperti halnya
perpindahan semesta sempit seorang anak ke kehidupan spiritual dan intelektual
seorang dewasa.29
Terdapat dua hal pada pikiran orang yang mengalami konversi :
pertama, rasa ketidaklengkapan atau kesalahan kita yang ada pada masa kini,
24
James, The Variaties of Religious Experience, 151. 25
James, The Variaties of Religious Experience, 162. 26
James, The Variaties of Religious Experience, 165. 27
James, The Variaties of Religious Experience, 165. 28
James, The Variaties of Religious Experience, 200.
29
James, The Variaties of Religious Experience, 239
22
“dosa” yang darinya orang itu sangat ingin terbebaskan.Kedua, ideal positif yang
sangat ingin ia raih. Kesadaran akan kesalahan merupakan sebuah fakta kesadaran
yang jauh lebih jelas dibandingkan dengan imajinasi ideal positif yang menjadi
tujuan kita. Pada sebagian besar kasus, “dosa” hampir selalu menguasai perhatian,
sehingga konversi adalah suatu proses perjuangan melepaskan diri dari dosa dan
bukan upaya untuk mencari kesalehan.30
Pengalaman Religius dan Pengalaman Mistik
James juga berpandangan bahwa pengalaman religius secara pribadi
berakar dalam keadaan kesadaran mistis atau pengalaman mistik. Di dalam
memahami kesadaran mistis, James mengungkapkan empat karakter yang khas
dalam pengalaman mistik. 1) Tidak bisa diungkapkan. Poin ini ditandai dengan
mengklasifikasikan pola pikir tertentu sebagaimana yang bersifat mistik sebagai
sesuatu hal yang negatif. Orang yang mengalaminya akan mengatakan bahwa
pengalaman itu tidak bisa diungkapkan. 2) Kualitas noetik. Kualitas yang satu ini
menambah wawasan tentang kedalaman kebanaran yang tidak bisa digali melalui
intelek yang bersifat diskursif. Semua hal ini merupakan peristiwa pencerahan dan
pewahyuan yang penuh dengan makna dan arti, namun tidak dapat diungkapkan
meskipun dapat dirasakan. 3) Situasi transien. Keadaan ini tidak dapat
dipertahankan dalam waktu yang cukup lama. Kecuali pada kesempatan-
kesempatan yang jarang terjadi, batas-batas yang biasa dialami seseorang sebelum
kemudian pulih ke keadaan biasa adalah sekitar setengah jam atau paling lama
satu sampai dua jam. Namun kemudian berulang-ulangnya peristiwa ini menjadi
30
James, The Variaties of Religious Experience, 303.
23
mudah dimengerti dengan adanya perkembangan yang bersifat kontinu pada
suasana batin yang dirasakan. 4) Kepasifan. Keadaan mistik yang terakhir
berkaitan dengan tindakan gejala-gejala tertentu, seperti ucapan kenabian, penulis
otomatis atau keadaan kesurupan saat menjadi seorang medium. Orang-orang
yang mengalami hal itu tidak bisa mengingat lagi gejala yang mereka alami.31
Dari
empat karakterisasi pengalaman mistik di atas,James memberi pengertian yang
sederhana mengenai pengalaman mistik. Pengalaman mistik merupakan
pengalaman yang memperdalam rasa kebermaknaan dari suatu dail atau kaidah
yang telah kita ketahui sebelumnya.32
2.2.3. Pengalaman Religius menurut Rudolf Otto
Penulis beralih ke pemikiran seorang teolog Jerman bernama Rudolf Otto
yang berbasis pada studi fenomenologi. Otto memusatkan perhatian pada studi
tentang agama dalam berbagai fenomena. Salah satu karya tulisan yang menjadi
fokusnya berbicara tentang pengalaman religius ialah Das Heiligie yang
kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris “The Idea Of Holy”. Pemikiran
Otto salah satunya juga dipengaruhi oleh William James yang berkesinambungan
terkait tentang „perasaan keagamaan.‟Namun Otto lebih menekankan perasaaan
dalam istilahnya yang disebut „numinous’. Sebagai dasar pemikirannya, Otto
terlebih dahulu menjelaskan tentang unsur rasional dan irasional dalam agama
dilihat dari bagaimana pemahaman manusia saat menekankan akan sifat-sifat
Tuhan sebagai Yang Maha Tinggi, sebagai sesuatu hal yang dapat dinalar atau
masuk di akal. Misalnya, orang Kristen dapat memahami sifat Tuhan adalah yang
31
James, The Variaties of Religious Experience, 506-508. 32
James, The Variaties of Religious Experience, 510.
24
baik, memiliki kekuatan super, transenden dan karenanya sifat Tuhan itu
dianalogikan dengan sifat dan akal manusia.33
Dengan kata lain, sifat-sifat yang
dapat terima dengan akal dan dapat dianalisa dalam pemikiran, maka secara
konseptual sifat-sifat tersebut dapat dikategorikan dalam unsur rasional.34
Otto
menambahkan bahwa kecenderungan dalam menekankan sifat-sifat Tuhan yang
“rasional” sesungguhnya lahir oleh karena bahasa yang digunakan untuk
mengungkapkan kebenaran agama termasuk bahasa yang digunakan dalam kitab
suci.35
Menurut Otto dalam “ruang sebelah dalam" terdapat suatu struktur a priori
terhadap sesuatu yang irasional. Struktur tersebut terletak pada “perasaan hati”.
Kesadaran akan “yang kudus”, yang juga disebut dengan kesadaran beragama
adalah salah satu dari struktur a priori irasional manusia. Kesadaran beragama
adalah suatu kesadaran tentang “yang kudus”, atas dasar inilah manusia dapat
mengalami hal-hal duniawi sebagai petunjuk yang ilahi.36
Unsur yang irasional
terletak pada bagaimana manusia memberi predikat pada sifat-sifat tersebut
sebagaimana adanya namun pada hakekatnya tidak dapat dijangkau dalam
pemikiran atau rasio.
Otto memberi satu istilah yang diadopsinya dari bahasa Latin, yakni
“numen”dan “numenious” yang terkait dengan istilah “Holy” dan “Holiness”.
Pemahaman dalam istilah ini menunjuk pada arti derivatifnya secara menyeluruh,
dalam arti bahwa ada makna yang berbeda walaupun dengan istilah yang sama.
Makna yang biasa digunakan ialah „kebaikan yang sempurna‟ atau „sifat moral
33
Rudolf Otto, The Idea Of the Holy: An Inquiry Into the Non-rational Factor in the idea
of the Divine and it Relation to the Rational , second edition ( London : Oxford University Press,
1950 ), 257 kindle. 34
Otto, The Idea Of Holy , 1. 35
Otto, The Idea Of Holy,1. 36
Otto, The Idea Of Holy ,56.
25
yang mutlak‟ atau „kesempurnaan kebaikan moral‟.37
Pada saat seseorang
menggunakan istilah holy,maka sesuatu yang baik secara moral berada dalam
makna holy tersebut. Istilah-istilah lain yang identik dengan holy, ialah:qodosh,
ayious, sanctus atau sacer. Istilah holy menggambarkan pembentukan dan
pengisian secara bertahap yang dibarengi dengan makna etik tentang sesuatu yang
merupakan tanggapan dari perasaan. Namun secara etis, pemaknaan holy tersebut
netral dan kebenaran yang terkandung di dalamnya perlu untuk
dipertimbangkan.38
Di dalam proses perkembangannya, ungkapan-ungkapan itu
yang diterjemahkan dengan arti „segala sesuatu yang baik‟ dapat menjadi sasaran
kritik. Penerjemahan tersebut dianggap sebagai suatu penerjemahan yang salah
serta „rasionalisasi‟ atau „moralisasi‟ yang tidak dapat dibenarkan.39
Ketika
memahami bahwa sewaktu-waktu penggunaan sebuah istilah dapat berkembang
dalam konteksnya, maka menjadi menarik ketika Otto perlu untuk meredefinisi
istilah holy dalam pemahaman yang keluar dari pemaknaan „baik‟ dengan maksud
bahwa untuk menjaga keterpisahan dan arti khusus dalam mengelompokan
bentuk-bentuk atau tahapan-tahapan apapun yang muncul. Istilah itu yang telah
disebutkan sebelumnya yaitu numen atau tentang numinous. Dalam tulisannya,
Otto mengatakan bahwa :
“ For this purpose i adopt a word coined from Latin ‘numen’. Omen
has given us ‘ominous’, and there’s no reason why from ‘numen’ we
should not similary form a word ‘numinous. I shall speak, hen
category of value and of a definitely ‘numinous’ state of mind, which is
always found wherever the category is applied. This mental state is
perfectly ‘sui generi’ and irreducible to any other; and therefore, like
37
Otto, The Idea Of Holy,2. 38
Otto, The Idea Of Holy,5-6 . 39
Otto, The Idea Of Holy, 6.
26
every absolutely primary and elementary datum, while it admits of
being discused”.40
Istilah numinous secara rasional hendak ingin menunjukkan bahwa
pengalaman religius tidak dapat dikonsepkan dan bersifat irasional sebab
tersembunyi di dalam perasaan individu. Otto juga mencontohkan numinous
seperti tanda X yang tidak dapat dibicarakan atau diajarkan. Ia hanya dapat
dibangunkan dalam akal sebagaimana apa pun yang lahir dari „roh‟ harus
dibangunkan.41
Ada juga aspek penting yang terpola dalam istilah numinous,
yakni mysterium tremendum et fascinas. Penjelasan istilah mysterium tremendum
et fascinas dimulai dari masing-masing akar katanya.42
Otto menganalisa mulai
dari kata tremendum atau tremor yang berarti „takut‟ (fear) yang menunjuk pada
semacam respon dari emosional seseorang. Hal ini sepenuhnya berbeda dari kata
„takut‟ (being afraid).43
Otto melanjutkan bahwa perasaan takut ini lebih dari
sekadar rasa takut sebab hal-hal yang dialami seseorang secara tersirat masuk
dalam kategori nilai yang tidak berada dalam kehidupan setiap hari secara alami
dan ini hanya mungkin dialami oleh seseorang yang membangkitkan predisposisi
mentalnya yang berbeda dan cara yang berbeda dari yang lazim.44
Tremendum yang terdiri dari beberapa elemen-elemen penting,
yaitu:awefulness, overpoweringness, dan energy (urgency). Otto menjelaskan
bahwa pada dasarnya elemen awefulness menyiratkan suatu ketakutan (awe)
yang mengerikan (dread) terhadap sesuatu yang tidak natural atau supernatural.45
Elemen overpoweringness atau pengakuan akan kemegahan (majesty) berkaitan
40
Otto, The Idea Of Holy, 6-7. 41
Otto, The Idea Of Holy,7. 42
Otto, The Idea Of Holy, 12. 43
Otto, The Idea Of Holy,13. 44
Otto, The Idea Of Holy, 15. 45
Otto, The Idea Of Holy, 16.
27
dengan istilah yang Otto tampilkan dalam creature-consciousness atau kesadaran
makhluk yang dipahami ketika seseorang secara sadar sebagai objek melawan
diri sendiri, namun dalam bentuk elemen ini menunjukkan materi numinous
untuk rasa kerendahan hati46
. Setelah seseorang merasakan apa yang dialami
sebagai sesuatu yang di luar kendali dirinya, maka kemungkinan ia ada dalam
elemen yang terakhir, yakni dalam energi atau urgensi. Sewaktu-waktu urgensi
dapat muncul menambah rasa ketakutan apabila hal yang dialaminya muncul
sebagai bentuk „murka‟.47
Kata mysterium yang hanya ingin menunjukkan bahwa
ada sesuatu yang tersembunyi dan esoterik yang mana berada di luar konsep
pemahaman, luar biasa dan tidak familiar. Istilah ini tidak mendefinisikan secara
objek atau bahkan lebih positif dalam karakter kualitatifnya.48
Fungsi Agama
Pada akhirnya pengalaman religius tidak terpisahkan dari entitas agama,
untuk menjelaskan fungsi dari pengalaman religius, dapat dijelaskan dengan
menggunakan fungsi agama dalam pendekatan fungsionalisme. Deskripsi fungsi
agama dijelaskan dalam pendekatan fungsionalisme dalam menampilkan fungsi-
fungsi tertentu bagi individu dan masyarakat yang lebih luas. Ada tiga fungsi
berbeda yang secara potensial dapat diperankan oleh agama
1) Fungsi sosial, agama menyediakan bagi manusia suatu pengalaman
komunitas (an experience of community) dan mengikat manusia ke
46
Otto, The Idea Of Holy, 20. 47
Otto, The Idea Of Holy, 29. 48
Otto, The Idea Of Holy, 13.
28
dalam suatu tatanan sosial berdasarkan keyakinan bersama dan nilai-
nilai yang menyediakan suatu struktur.
2) Fungsi eksistensial/hermenutik, agama menyediakan orang-orang
dengan serangkaian sumber daya (seperti mitos, ritual, simbol,
keyakinan, nilai, cerita) yang mungkin bisa membantu mereka untuk
menjalani hidup dengan perasaan akan identitas (a sense of identity)),
makna dan tujuan.
3) Fungsi Transenden. Agama merupakan sebuah medium yang dengan
medium itu orang-orang mampu mengalami atau merasakan kehadiran
“Tuhan”, sebuah pengalaman transenden yang tak terhingga yang bisa
dialami manusia. Rudolf Otto menulis basis pengalaman religius
sebagai perjumpaan dengan obyek transenden dan adikrodati yang kita
presepsi sebagai melampaui kita.49
fungsi transenden, memberikan
gagasan tentang yang „Ilahi‟. fungsi ini memaknai Sang Ilahi tidak
dapat dijangkau oleh akal manusia, tidak dapat dikonsepkan,
melainkan berada diluar dirinya sehingga Otto memahaminya dalam
istilah mysterium tremendum et fascinas, memaknai ilahi yang penuh
dengan misteri, Ilahi tidak dapat digambarkan sifat-sifatnya secara
umum oleh akal manusia seperti Tuhan Maha Tinggi, Tuhan yang
baik50
. Itulah mengapa James menjelaskan bahwa pengalaman religius
merupakan pengalaman yang unik karena menunjukan sebuah
49
Idi Subandy Ibrahim dan Bachruddin Ali Akhmad. Komunikasi dan Komodifikasi :
Mengkaji Media dan Budaya dalan Dinamika Globalisasi ( Jakarta :Pustaka Obor Indonesia,
2004), 135. 50 Rudolf Otto, The Idea Of the Holy:, 257.
29
pengalaman orisinil individu menghayati pengalamannya berjumpa
dengan Ilahi.51
51 James, The Variaties of Religious Experience , 73