23
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji sebagai bahan komparasi dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu (1) hasil penelitian yang memiliki relevansi karena teori yang digunakan sama, tetapi objek bahasan yang berbeda, dan (2) hasil penelitian yang memiliki relevansi karena objek bahasanya sama, tetapi teori yang digunakan berbeda. Hasil penelitian yang termasuk ke dalam kelompok pertama, yakni hasil penelitian yang memiliki relevansi karena teori yang digunakan sama, tetapi objek bahasan yang berbeda, antara lain sebagai berikut. Hasil penelitian Sedeng (2000) yang berjudul “Predikat Kompleks dan Relasi Gramatikal Bahasa Sikka”. Hasil penelitian ini mengungkapkan predikat kompleks dan relasi gramatikal bahasa Sikka dengan menggunakan Teori Lexical Functional Grammar (LFG) oleh Kaplan dan Bresnan (1982). Sedeng mengawali uraiannya mengenai relasi gramatikal bahasa Sikka yang mencakup kentransitifan, subjek, dan kaidah gramatikal sehingga tipologi bahasa ini dapat ditentukan. Penelitian Sedeng (2000) tersebut menemukan bahwa berdasarkan sudut pandang tipologi morfologi, bahasa Sikka tergolong ke dalam bahasa isolasi. Tipologi ini berpengaruh sangat besar pada terciptanya predikat kompleks yang mengambil bentuk verba serialisasi di dalam bahasa Sikka. Berdasarkan sudut pandang strukturnya, verba serialisasi bahasa Sikka, dapat dikelompokkan ke dalam struktur mono klausal, bi-klausal, struktur X-COMP, dan ADJUNCT-COMP. Bahasa Sikka tergolong ke dalam tipologi SVO bila dipandang dari tipologi tata 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Hasil penelitian yang dikaji sebagai bahan komparasi dalam penelitian ini

ada dua macam, yaitu (1) hasil penelitian yang memiliki relevansi karena teori

yang digunakan sama, tetapi objek bahasan yang berbeda, dan (2) hasil penelitian

yang memiliki relevansi karena objek bahasanya sama, tetapi teori yang

digunakan berbeda. Hasil penelitian yang termasuk ke dalam kelompok pertama,

yakni hasil penelitian yang memiliki relevansi karena teori yang digunakan sama,

tetapi objek bahasan yang berbeda, antara lain sebagai berikut.

Hasil penelitian Sedeng (2000) yang berjudul “Predikat Kompleks dan

Relasi Gramatikal Bahasa Sikka”. Hasil penelitian ini mengungkapkan predikat

kompleks dan relasi gramatikal bahasa Sikka dengan menggunakan Teori Lexical

Functional Grammar (LFG) oleh Kaplan dan Bresnan (1982). Sedeng mengawali

uraiannya mengenai relasi gramatikal bahasa Sikka yang mencakup kentransitifan,

subjek, dan kaidah gramatikal sehingga tipologi bahasa ini dapat ditentukan.

Penelitian Sedeng (2000) tersebut menemukan bahwa berdasarkan sudut pandang

tipologi morfologi, bahasa Sikka tergolong ke dalam bahasa isolasi. Tipologi ini

berpengaruh sangat besar pada terciptanya predikat kompleks yang mengambil

bentuk verba serialisasi di dalam bahasa Sikka. Berdasarkan sudut pandang

strukturnya, verba serialisasi bahasa Sikka, dapat dikelompokkan ke dalam

struktur mono klausal, bi-klausal, struktur X-COMP, dan ADJUNCT-COMP.

Bahasa Sikka tergolong ke dalam tipologi SVO bila dipandang dari tipologi tata

7

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji

8

urutan dan terkait dengan tidak adanya afiks, maka pemarkahan dilakukan melalui

tata urutan yang ketat. Tipologi tata urutan berakibat pada pemetaan sejajar dan

pemetaan silang untuk klausa transitif. Berdasarkan tipologi pemarkahan sintaksis

bahasa Sikka berada di perbatasan antara bahasa akusatif dan bahasa S-terpisah

(split-S) karena ada bukti yang kuat untuk kedua tipologi itu.

Temuan hasil penelitian Sedeng (2000) di atas secara konseptual memiliki

faedah yang relevan dengan penelitian ini. Sehubungan dengan itu, hasil

penelitian tersebut dijadikan sebagai rujukan untuk dijadikan referensi pada

kajian pustaka. Hasil-hasil penelitian Sedeng (2000) secara ilmiah dapat

memberikan kontribusi positif dalam menganalisis struktur dasar kalimat BB dan

BJ berdasarkan kategori predikat.

Hasil penelitian Ana (2000) berjudul “Tipologi Kausatif Bahasa Bali”.

Penelitian ini menggunakan Teori Kausatif yang dikemukakan oleh Comrie

(1989) dan teori-teori lain, seperti yang dikemukakan oleh Jackendoff (1991),

Davis (1981), Talmy (1976), dan Hopper dan Thompson (1980) sebagai teori

pendukung. Penelitian tersebut menghasilkan beberapa simpulan, antara lain

bahwa tipologi kausatif bahasa Bali dapat dibagi menjadi tiga, yaitu perifrastik,

morfologis, dan leksikal. Kausatif perifrastik bahasa Bali ditandai oleh

penggunaan konjungsi bermakna kausatif, seperti sawireh, mawinan, mawanan,

dening, makada, santukan, dadosne, raris, laut, dan pemarkah suprasegmental

dalam bahasa lisan. Kausatif morfologis bahasa Bali ditandai dengan akhiran {-

ang} dan {-in} yang sekaligus berfungsi untuk meningkatkan valensi verba

asalnya. Secara semantik, kausatif bahasa Bali dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

kausatif langsung dan kausatif taklangsung.

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji

9

Penelitian yang dihasilkan oleh Ana (2000) di atas juga secara konseptual

dipandang memiliki faedah yang sangat relevan dengan penelitian ini. Oleh

karena itu, hasil penelitian tersebut dapat dijadikan rujukan untuk dijadikan

sebagai referensi pada kajian pustaka. Sementara itu, secara ilmiah hasil temuan

Ana (2000) dapat memberikan kontribusi positif dalam menganalisis konstruksi

kausatif BB dan BJ.

Hasil penelitian Mayani (2004) berjudul “Konstruksi Kausatif dan Aplikatif

Bahasa Madura”. Penelitian ini menggunakan dua teori utama, yaitu Teori

Tipologi Kausatif yang dikemukakan oleh Comrie (1989) dan Teori Tata Bahasa

Relasional yang dikembangkan oleh Perlmutter dan Postal (1984). Di samping

dua teori utama tersebut juga digunakan teori penunjang, yakni Teori Relasi

Gramatikal yang dikemukakan oleh Blake (1990). Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa struktur dasar kalimat bahasa Madura terdiri atas enam tipe,

yaitu S-P, S-P-O, S-P-Pel, S-P-Ket, S-P-O-Pel, dan S-P-O-Ket. Berdasarkan tipe-

tipenya, konstruksi kausatif dalam bahasa Madura terdiri atas kausatif analitik,

kausatif morfologis, dan kausatif leksikal. Konstruksi aplikatif bahasa Madura

dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu konstruksi aplikatif instrumental, konstruksi

aplikatif benefaktif, dan konstruksi aplikatif resipien.

Secara konseptual temuan yang diperoleh Mayani (2004) di atas dipandang

memiliki faedah yang sangat relevan dengan penelitian ini. Oleh karena itu, hasil

penelitian tersebut dijadikan sebagai rujukan untuk dijadikan sebagai referensi

pada kajian pustaka. Hasil-hasil penelitian Mayani (2004) secara ilmiah dapat

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji

10

memberikan kontribusi positif dalam menganalisis konstruksi kausatif dan

aplikatif BB dan BJ.

Penelitian Arafiq (2005) berjudul “Relasi Gramatikal Konstruksi Kausatif

dan Aplikatif Bahasa Bima”. Penelitian ini dilandasi dua teori, yakni Teori

Tipologi Kausatif oleh Comrie (1989) dan dilanjutkan dengan teori sintaksis

formal, yaitu Teori Tata Bahasa Relasional oleh Perlmutter dan Postal (1984).

Penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan parameter morfosintaksis, kausatif

dalam bahasa Bima terdiri atas kausatif morfologis yang dimarkahi oleh prefiks

{ka-} dengan variasi {ca-}, kausatif analitik yang dibentuk dengan menggunakan

verba nalawi, dan kausatif leksikal yang dibentuk dari verba dasar transitif.

Berdasarkan parameter semantis, kausatif dalam bahasa Bima terdiri atas kausatif

sejati, kausatif permisif, kausatif langsung, dan kausatif tak langsung. Aplikatif

dalam bahasa Bima terdiri atas aplikatif benefaktif yang dimarkahi oleh {wea-},

aplikatif instrumental, dan aplikatif pasien yang dimarkahi oleh {-kai}.

Hasil penelitian yang ditemukan oleh Arafiq di atas secara konseptual juga

memiliki faedah yang sangat relevan dengan penelitian ini sehingga hasil

penelitian tersebut juga dijadikan rujukan sebagai referensi pada kajian pustaka

penelitian ini. Secara ilmiah hasil penelitian Arafiq juga dapat memberikan

kontribusi positif penelitian ini dalam menganalisis konstruksi kausatif dan

aplikatif BB dan BJ.

Hasil penelitian yang termasuk ke dalam kelompok kedua, yaitu hasil

penelitian yang memiliki relevansi karena objek penelitian yang digunakan sama,

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji

11

tetapi teori yang digunakan berbeda. Hasil-hasil penelitian yang dimaksud adalah

sebagai berikut.

Lien (2005) melakukan penelitian terhadap konstruksi pasif bahasa

Indonesia dan bahasa Jepang. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa terdapat

kesamaan dan perbedaan antara bahasa Indonesia dan bahasa Jepang, baik dalam

tipe-tipe pasif maupun relasi gramatikalnya. Kesamaan antara konstruksi pasifnya

adalah (1) keduanya memiliki pemarkahan morfologis pada pasif, yaitu prefiks di-

untuk bahasa Indonesia dan sufiks (r)areru untuk bahasa Jepang; (2) keduanya

memiliki pemarkah agen, yaitu oleh untuk bahasa Indonesia dan ni, ni yotte, kara,

dan de untuk bahasa Jepang; (3) kehadiran agen opsional pada tipe kanonis dan

chokusetsu ukemi; (4) perubahan relasi gramatikal memiliki revaluasi yang sama

pada tipe kanonis dan chokusetsu ukemi, yakni subjek langsung konstruksi aktif

menjadi subjek konstruksi pasif dan subjek konstruksi aktif menjadi chomeur.

Dalam hal ini chokusetsu ukemi dapat disejajarkan dengan pasif kanonis dalam

bahasa Indonesia. Perbedaan pasif bahasa Indonesia dan bahasa Jepang adalah (1)

bahasa Indonesia memiliki prefiks me- untuk konstruksi aktif, sedangkan bahasa

Jepang tidak; (2) bahasa Indonesia tidak memiliki pemarkah morfologis pada

pasif tak kanonis, dalam hal ini pasif yang mengalami pengedepanan agen,

sedangkan bahasa Jepang memiliki pemarkah morfologis pada semua tipe pasif,

chokusetsu ukemi, mochinushi no ukemi, dan daisansha no ukemi; (3) dalam

bahasa Indonesia, hanya verba transitif yang dapat dipasifkan, sedangkan dalam

bahasa Jepang, baik verba transitif maupun verba intransitif, dapat dipasifkan; (4)

dalam bahasa Indonesia, pemarkah agen opsional pada tipe kanonis, sedangkan

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji

12

dalam bahasa Jepang pemarkah agen wajib hadir pada semua tipe pasif; (5) dalam

bahasa Indonesia, relasi gramatikal tipe tak kanonis tidak dapat ditangani oleh

teori tata bahasa relasional karena alasan pragmatis, sedangkan dalam bahasa

Jepang, bentuk pasif seperti mochinusi no ukemi dan daisansha no ukemi yang

tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia dapat ditangani oleh teori tata bahasa

relasional dengan kendala-kendala tersendiri.

Penelitian tersebut dapat digunakan sebagai referensi karena sama-sama

menggunakan bahasa Jepang sebagai objek. Selain itu, penelitian tersebut juga

dalam bidang sintaksis sehingga beberapa konsep yang digunakan dapat dipakai

sebagai perbandingan dalam melakukan penelitian mengenai verba „menberi‟

bahasa Jepang dan bahasa Bali.

Aryani (2007) melakukan penelitian mengenai pelesapan fungsi gramatikal

dalam bahasa Jepang. Hasil penelitian tersebut menunjukkan pada struktur

koordinatif fungsi gramatikal subjek, predikat, dan objek mengalami

keterpulangan. Pelesapan fungsi gramatikal pada struktur ini dapat bersifat

anaforis atau kataforis. Pada struktur subordinatif, keterpulangan tersebut terjadi

pada subjek, predikat, dan keterangan. Pada struktur ini pun pelesapannya dapat

bersifat anaforis atau kataforis. Pada klausa dalam dialog, pelesapan tersebut

dapat terjadi pada fungsi gramatikal subjek, predikat, subjek- predikat, dan

keterangan. Selain itu, pada dialog bahasa Jepang, memungkinkan terjadinya

pelesapan sebuah klausa. Dengan demikian, penelitian tersebut dapat digunakan

sebagai acuan untuk meneliti struktur verba „berargumen tiga‟ bahasa Bali dan

bahasa Jepang.

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji

13

Purnawati (2009) melakukan penelitian mengenai sistem pemarkahan fungsi

gramatikal dalam bahasa Jepang, interaksi fungsi gramatikal dan topik dalam

bahasa Jepang, dan interaksi fungsi gramatikal dan fokus dalam bahasa jepang.

Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa sistem pemarkahan fungsi gramatikal

dalam bahasa Jepang merupakan suatu sistem yang kompleks karena sebuah

pemarkah tidak selalu memarkahi fungsi gramatikal yang sama. Hal tersebut

bergantung pada predikat yang digunakan pada kalimat yang bersangkutan.

Fungsi gramatikal yang ditemukan dalam bahasa Jepang terdiri atas fungsi

argumen dan nonargumen. Fungsi argumen meliputi pemarkahan subjek, objek,

oblik, posesor, dan komplemen, sedangkan pemarkahan fungsi nonargumen

hanya ada satu, yaitu pemarkahan adjung.

Fungsi gramatikal dalam bahasa Jepang dimarkahi oleh partikel kasus atau

posposisi. Partikel kasus terdiri atas nominatif ga, datif ni, topik wa, akusatif o,

dan genetif no, sedangkan posposisi terdiri atas ni,de, to, e, kara, made. Fungsi-

fungsi gramatikal tersebut dapat berinteraksi dengan topik sehingga sebuah

konstituen dalam kalimat memiliki dua fungsi, yaitu sebagai salah satu fungsi

gramatikal dan sekaligus sebagai topik dalam kalimat yang bersangkutan. Fungsi

gramatikal yang berinteraksi dengan topik adalah subjek, objek, oblik, posesor,

dan adjung. Fungsi gramatikal yang juga berfungsi sebagai topik dapat dimarkahi

hanya dengan topik wa. Selain itu, juga dapat dimarkahi oleh partikel kasus atau

posposisi yang menunjukkan fungsi gramatikalnya ditambah topik wa. Meskipun

suatu konstituen terletak di bagian tengah atau belakang kalimat, selama

konstituen tersebut dimarkahi oleh topik wa, konstituen tersebut dapat disebut

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji

14

topik. Fungsi gramatikal yang berinteraksi dengan topik adalah fungsi gramatikal

yang berbeda. Selain itu, ditemukan juga dua topik dalam satu kalimat yang terdiri

atas satu klausa. Kedua topik tersebut masing-masing berinteraksi dengan fungsi

gramatikal yang berbeda, sehingga memunculkan topik tematis dan topik

kontrastif. Selain dengan fungsi pragmatik topik, fungsi-fungsi gramatikal juga

dapat berinteraksi dengan fokus, yaitu subjek, objek, oblik, adjung. Fokus tidak

memiliki pemarkah khusus. Jika konstituen merupakan informasi baru yang dapat

dibuktikan dengan pertanyaan informatif, maka konstituen yang bersangkutan

merupakan fokus tanpa adanya penggantian atau penambahan fungsi gramatikal.

Dalam satu kalimat, selain fokus, muncul juga topik kalimat. Hal ini disebabkan

oleh fokus dapat dipilih dari konstituen yang bukan merupakan topik dalam suatu

kalimat. Selain itu, jika semua konstituen dalam satu kalimat merupakan jawaban

atas sebuah pertanyaan, maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai fokus seluruh

kalimat. Dengan demikian, penelitian ini juga dapat dijadikan acuan karena

banyak mengulas fungsi gramatikal bahasa Jepang.

2.2 Konsep

Konsep dasar yang dipakai dalam penelitian ini meliputi sejumlah konsep

yang relevan dengan penelitian ini. Konsep dasar yang digunakan sebagai piranti

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Struktur Verba Berargumen Tiga Bahasa Bali

Secara sintaksis sebuah satuan gramatikal dapat diketahui berkategori verba

dari perilakunya dalam satuan yang lebih besar. Jadi, sebuah kata dapat dikatakan

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji

15

berkategori verba hanya dalam perilakunya dalam frasa, yakni dalam hal

kemungkinan satuan itu didampingi dengan partikel di, ke, dan dari. Verba (verbs)

atau kata kerja adalah kelas kata yang biasanya berfungsi sebagai predikat.

Argumen adalah unsur (sintaksis/semantik) yang diperlukan oleh sebuah verba,

yang umumnya berkorelasi dengan partisipasi pada suatu kejadian atau keadaan

yang dinyatakan oleh verba predikatnya. Berdasarkan pengertian tersebut,

diketahui bahwa jumlah argumen dalam suatu klausa/kalimat ditentukan oleh

verba sebagai inti klausa/kalimat tersebut (Williams, 1991:100; Culicover,

1997:1617).

Dalam klausa intransitif, satu-satunya argumen yang diperlukan verbanya

adalah subjek. Hal ini dilandasi oleh asumsi bahwa fungsi yang paling tinggi

dalam hierarki sintaksis dan pada umumnya bersifat wajib adalah subjek (Arka,

1998:15).

Klausa transitif adalah klausa yang predikatornya adalah verba transitif.

Verba transitif adalah verba yang mewajibkan hadirnya sekurang-kurangnya dua

argumen inti. Salah satu argumennya berfungsi sebagai subjek dan yang lainnya

berfungsi sebagai objek (Mtthews, 1997; Kridalaksana, 1993).

Klausa ditransitif adalah klausa yang predikatornya adalah verba ditransitif

atau verba berargumen tiga. Dalam tata bahasa relasional ada tiga relasi

gramatikal yang murni bersifat sintaksis, yaitu subjek, objek langsung, dan objek

tidak langsung. Struktur argumen dapat dipresentasikan dengan label angka,

misalnya Pred ˂1,2,3˃ yang secara semantis dipresentasikan menjadi Pred ˂agen,

pasien, resipien˃ dan secara gramatikal/fungsional menjadi Pred ˂S,OL,OTL˃. Di

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji

16

samping itu, ada relasi yang bersifat semantis, seperti lokatif, benefaktif,

instrumental, dan sebagainya yang secara kolektif disebut relasi oblik (lihat Blake,

1991; Palmer, 1994; Matthews, 1997; Artawa, 2000; Djunaidi, 2000).

2. Struktur Verba Berargumen Tiga Bahasa Jepang

Argumen adalah bentuk linguistik yang diperlukan oleh verba yang

biasanya berkolerasi dengan manusia dan benda-benda yang terlibat dalam suatu

aktivitas atau keadaan yang dinyatakan oleh predikat (Haegeman, 1991).

Argumen subjek dalam bahasa Jepang dapat dilihat pada contoh berikut.

(2.1) 彼が来ました。

Kare ga Kimashita

Pp1 Nom datang

„Dia [laki-laki] datang‟

Argumen objek adalah argumen inti kedua setelah subjek. Dalam klausa

ekatransitif, objek menempati posisi internal FV. Hal ini dibuktikan dengan tidak

diizinkannya penyisipan adjung waktu di antara objek dan verba. Argumen objek

dalam bahasa Jepang dapat dicermati pada contoh berikut.

(2.2) 彼女はコーヒーを飲みました。

Kanojo wa kohii o nomimashita

Pp3 Nom kopi Acc minum KL

„Dia [perempuan] sudah minum kopi]

(2.3) *彼女はコーヒー けさを飲みました。

Kanojo wa kohii kesa o nomimashita

Pp3 Nom kopi tadi pagi Acc minum KL

„ Dia [perempuan] tadi pagi minum kopi‟

Dalam klausa ditransitif bahasa Jepang argumen objek langsung (OL)

dimarkahi partikel o, argumen objek tak langsung (OTL) dimarkahi partikel ni.

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji

17

Kata ageru „memberi‟ dalam bahasa Jepang, misalnya tampak pada contoh

berikut.

(2.4) 私は 友達に 本をあげる。

Watashi wa tomodachi ni hon o ageru

Pp1 Nom teman Dat buku Acc memberi

„Saya memberi buku kepada teman‟

Kalimat (2.4) memerlukan tiga argumen, yaitu watashi „saya‟(yang memberi) hon

„buku‟ (sesuatu yang diberi) tomodachi „teman‟ (yang diberi). Struktur argumen

dapat dipresentasikan dengan label angka, misalnya ageru ˂1,2,3˃ yang secara

semantis dipresentasikan menjadi ageru ˂agen, pasien, resipien˃ dan secara

gramatikal/fungsional menjadi Pred ˂S,OL, OTL˃.

3. Makna Verba Berargumen Tiga Bahasa Bali

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa struktur argumen dapat

dipresentasikan dengan label angka, misalnya Pred ˂1,2,3˃ yang secara semantis

dipresentasikan menjadi Pred ˂agen, pasien, resipien˃. Pilihan verba menjadi

tergantung pada status sosial yang ditanggung oleh argumen agen dan argumen

resipien. Oleh karena itu, makna verba berargumen tiga bahasa Bali berkaitan

dengan tingkat tutur.

4. Makna Verba Berargumen Tiga Bahasa Jepang

Makna verba berargumen tiga bahasa Jepang juga ada yang berkaitan

dengan tingkat tutur, terutama pada verba yarimorai „beri-terima‟. Selain

berkaitandengan tingkat tutur, juga berkaitan dengan pronomina persona (Pp).

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji

18

5. Proses Morfologis Verba Berargumen Tiga Bahasa Bali

Verba berargumen tiga bahasa Bali merupakan verba turunan atau verba

yang sudah mengalami proses morfologis. Proses morfologis tersebut dapat

dibedakan menjadi tiga, yaitu (i) verba berargumen tiga dengan penambahan

sufiks –ang, (ii) verba berargumen tiga dengan penambahan sufiks –in, dan (iii)

verba berargumen tiga dengan penambahan sufiks –a atau prefiks –ka.

6. Proses Morfologis Verba Berargumen Tiga Bahasa Jepang

Proses morfologis verba berargumen tiga bahasa Jepang dapat melalui

proses morfologis dan tanpa proses morfologis pada morfem –r(u). Verba

berargumen tiga yang mengalami proses morfologis mengandung makna

„memberi dan menerima‟, „mengatakan‟, dan memperlihatkan‟. Verba

berargumen tiga tanpa mengalami proses morfologis mengandung makna

„memberi dan menerima, „kausatif‟, „pasif kausatif‟, dan „pasif‟. Namun, baik

yang mengalami proses morfologis maupun yang tidak mengalami proses

morfologis pada morfem –r(u), tidak memengaruhi jumlah argumen.

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini mempunyai dua masalah yang mendasar, yaitu (1) struktur

kalimat dan proses morfologis verba berargumen tiga bahasa Bali dan bahasa

Jepang serta (2) perbandingan fungsi-fungsi sintaksis verba berargumen tiga

bahasa Bali dan bahasa Jepang. Secara umum masalah-masalah itu dianalisis

berdasarkan teori sintaksis, yakni Teori Tipologi Kausatif dan Teori Tatabahasa

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji

19

Relasional. Permasalahan pertama dianalis dengan Teori Tipologi Kausatif yang

dikemukakan oleh Comrie (1981). Permasalahan kedua dianalisis dengan

menggunakan Teori Tatabahasa Relasioanl. Teori ini pada mulanya

dikembangkan oleh David M. Pelmutter dan Paul M. Postal pada permulaan tahun

1970 (Blake, 1990).

2.3.1 Teori Tipologi Kausatif

Deskripsi mengenai Teori Tipologi Kausatif diawali dengan penjelasan

tentang cara tipologi kausatif. Adapun cara tipologi kausatif adalah sebagai

berikut.

Comrie (1981b) mengajukan tiga cara tipologi kausatif, yaitu kausatif

analitik, morfologis, dan leksikal. Menurutnya, kausatif analitik adalah jenis

kausatif yang di dalamnya terdapat pemisahan antara predikat yang menyatakan

sebab dengan yang menyatakan akibat, yaitu makna kesebaban direalisasikan

dengan kata tersendiri yang terpisah dari kata yang menunjukkan aktivitas yang

disebabkan. Kausatif morfologis adalah kausatif yang ada kaitan antara predikat

kausatif dan yang nonkausatif serta dimarkahi secara morfologis, misalnya dengan

afiksasi. Penggunaan verba kausatif atau afiks ini sangat bergantung pada tipe

morfologis suatu bahasa. Bahasa isolasi cenderung menggunakan verba kausatif,

sedangkan bahasa aglutinasi cenderung menggunakan proses afiksasi. Namun,

tidak tertutup kemungkinan bahwa kedua proses tersebut digunakan pada (satu)

bahasa yang sama. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, konstruksi kausatif

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji

20

dibentuk dengan menggunakan verba kausatif „menyebabkan‟ atau dengan

menggunakan konfiks {me-kan} (cermati Arka, 1993).

(2.14) Amir membuat adiknya jatuh.

(2.15) Amir menjatuhkan adiknya.

Kausatif ketiga, kausatif leksikal adalah kausatif yang verbanya berkorespondensi

dalam predikat nonkausatif tidak terkait secara morfologis dengan verba kausatif.

Artinya, keterhubungan antara predikat yang menyatakan akibat dan yang

menyatakan, baik sebab maupun akibat, tidak berlangsung secara sistematis,

seperti yang dapat dicontohkan dengan kata bahasa Inggris die dan kill. Perhatikan

verba membunuh dalam kalimat berikut.

(2.16) Macan itu membunuh mangsanya.

Contoh (2.16) di atas sudah memiliki gambaran yang menjelaskan bahwa

„mangsanya mati‟, tanpa diekspresikan secara eksplisit. Artinya suatu peristiwa

disebut pembunuhan jika si korban mati.

Comrie (1989) mengusulkan tipe-tipe kausatif yang agak berbeda dengan

apa yang diusulkan Shibatani (1976). Dalam membagi kausatif, Comrie (1989)

melihatnya berdasarkan dua parameter, yakni parameter morfosintaksis dan

semantik. Berdasarkan parameter morfosintaksis, kausatif dibagi menjadi tiga,

yakni kausatif analitik, leksikal, dan morfologis. Kausatif analitik adalah kausatif

yang menggunakan verba kausatif, sedangkan kausatif leksikal adalah kausatif

yang verbanya sudah mengandung makna kausatif. Di pihak lain kausatif

morfologis adalah kausatif yang dibentuk melalui proses afiksasi. Kausatif

produktif menurut Shibatani (1976) dibedakan menjadi dua oleh Comrie karena

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji

21

istilah tersebut masih menyisakan kekaburan antara penggunaan verba kausatif

dan afiks. Oleh karena itu, tipe kausatif yang diterapkan dalam tulisan ini adalah

tipe kausatif yang diusulkan oleh Comrie (1989). Walaupun Comrie membedakan

tipologi kausatif dengan tegas, diakuinya bahwa tidak semua bahasa dapat

dikelompokkan dengan tepat ke dalam salah satu tipe di atas.

Parameter lain yang digunakan Comrie (1989) dalam membedakan tipe-

tipe kausatif adalah parameter semantik. Berdasarkan parameter ini, kausatif

dibedakan berdasarkan tingkat kendali yang diterima oleh cause

(tersebab/penyebab yang tersebab) dan kedekatan hubungan antara komponen

sebab dan akibat dalam situasi makro atau kausatif.

Berdasarkan tingkat kendali yang diterima oleh cause, Comrie (1989)

membedakan kausatif menjadi kausatif permisif (permissive causative) dan

kausatif sejati (true causative). Pada kedua konstruksi tersebut, komponen sebab,

dalam hal ini agen, memiliki kendali atas terjadi atau tidaknya komponen akibat.

Dalam kausatif sejati, komponen sebab tidak memiliki kemampuan untuk

mencegah terjadinya akibat, sedangkan dalam kausatif permisif, komponen sebab

atau agen memiliki kemampuan untuk mencegah terjadinya akibat. Cermati

contoh berikut.

(2.17) Adi broke his arm.

(2.18) Adi let the ball roll.

Penyebab Adi pada kalimat (2.17) tidak dapat melakukan sesuatu untuk

menghindari his arm is broken, sementara Adi pada kalimat (2.18) sebenarnya

mampu mencegah terjadinya akibat the ball roll. Istilah true causative dan

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji

22

permissive causative yang digunakan Comrie (1989) ini dapat disejajarkan dengan

istilah direct causative dan indirect causative menurut Shibatani (1976).

Berdasarkan kedekatan hubungan antara komponen sebab dan akibat,

Comrie (1989) membedakan kausatif menjadi kausatif langsung dan kausatif tak

langsung. Kausatif langsung adalah kausatif yang komponen sebab dan akibatnya

memiliki hubungan sangat dekat, sedangkan dalam kausatif taklangsung

hubungan antara komponen sebab dan akibat lebih jauh. Walaupun komponen

sebab selalu diikuti oleh komponen akibat, dalam kausatif taklangsung komponen

akibat terjadi beberapa saat setelah komponen sebab terjadi. Perhatikan contoh

berikut.

(2.19) Wa Ani no-fo-ngkora-mo Wa Fitri ainiinii.

ART KP/3T-KAUS-duduk-PAST ART Fitri tadi

„Si Ani telah mendudukkan Si Fitri tadi‟

(2.20) Wa Dani ne-fanahi o oe.

ART Dani KP/3T-panasi ART air

„Si Dani memanasi air‟ (Musfirah, 2005 : 70)

Kedekatan hubungan antara komponen sebab „Wa Ani melakukan sesuatu

terhadap Wa Fitri’ dan komponen akibat „Wa Fitri nengkora’ pada kalimat (2.19)

bersifat langsung karena „Wa Fitri’. Sementara itu, pada kalimat (2.20),

komponen akibat o oe ‘air’ tidak terjadi secepat Wa Fitri nengkora. Dengan kata

lain, tindakan „Wa Dani melakukan sesuatu terhadap o oe’ membawa akibat tidak

langsung, yaitu o oe menjadi panas’. Istilah kausatif langsung dan tak langsung

yang digunakan Comrie (1989) ini dapat disejajarkan dengan istilah point

causation dan event causation yang digunakan oleh Shibatani (1976).

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji

23

Untuk menampilkan hubungan antara perubahan valensi verba pada

konstruksi nonkausatif menjadi konstruksi kausatif, Comrie (1989) menjelaskan

seperti berikut ini.

a. Jika verba nonkausatifnya berupa verba intransitif, causee yang

sebelumnya menduduki posisi S akan menempati posisi OL pada

konstruksi kausatifnya.

b. Jika verba nonkausatifnya berupa verba monotransitif, causee yang

sebelumnya menduduki posisi OL akan tetap menempati posisi OL pada

konstruksi kausatifnya.

c. Jika verba nonkausatifnya berupa verba monotransitif, causee yang

sebelumnya menduduki posisi S akan menempati posisi OTL pada

konstruksi kausatifnya.

d. Jika verba nonkausatifnya berupa verba ditransitif, causee yang

sebelumnya menduduki posisi S akan menempati posisi oblik pada

konstruksi kausatifnya.

e. Jika verba nonkausatifnya berupa verba ditransitif, causee yang

sebelumnya menduduki posisi OL dan OTL masing-masing akan

menempati posisi OL dan OTL pada konstruksi kausatifnya.

Munculnya argumen penyebab mengakibatkan perubahan relasi gramatikal

causee (walaupun ada yang berfungsi tetap) menjadi tak terelakkan. Di samping

itu, juga berdampak pada perubahan peran argumen-argumen konstruksi kaustif

tersebut. Ranah peran causee menurut Comrie (1989) adalah instrumental, datif,

dan akusatif. Datif adalah entitas yang bermanifestasi sebagai pengalam, misalnya

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji

24

resipien. Hierarki peran yang dikemukakan oleh Comrie (1989) berdasarkan

tingkat kendali yang mampu diberikan causee dalam satu situasi makro, yakni

instrumental > datif > akusatif. Dalam hierarki ini instrumental dianggap sebagai

argumen yang memiliki tingkat kendali yang paling tinggi, sedangkan akusatif

dianggap sebagai argumen dengan kendali yang paling rendah.

2.3.2 Relasi Gramatika Menurut Teori Tatabahasa Relasional

Tatabahasa Relasional (TR) adalah teori yang bersifat multistratal. Artinya

argumen sebuah verba bisa mempunyai relasi gramatikal yang berbeda pada

tataran yang berbeda. Struktur klausa dalam tiap tataran terdiri atas tiga jaringan

yang terkait satu sama lain. Ketiga jaringan yang dimaksud, yakni :

a) seperangkat simpai (node) yang menggambarkan semua unsur linguistik

(klausa, frasa, kata, dan morfem);

b) seperangkat tanda relasi (relational sign) yang menggambarkan relasi

gramatikal (S dan O); dan

c) koordinat yang menggambarkan tataran-tataran yang berbeda dari relasi-relasi

yang dihasilkan.

Dalam versi TR, promosi adalah revaluasi dengan relasi gramatikal pada

strata x + 1 lebih rendah hierarkinya daripada relasi gramatikal pada .

Revaluasi mengacu pada hieararki relasi gramatikal berikut.

S > OL > OTL > OBL

1 > 2 > 3 > OBL

(> dibaca “lebih tinggi daripada”)

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji

25

Revaluasi ini sendiri diatur oleh tiga hukum, yaitu Oblique Law (OLaw)

Chomeur Advancement Ban (CAB), dan Motivated Chomage Law (MCL). OLaw

menyatakan bahwa suatu relasi OBL Harus berada pada tataran awal dan OLaw

melarang relasi suku (relasi 1, 2, dan 3) direvaluasi menjadi OBL. CAB

menegaskan bahwa suatu konstituen dengan relasi penganggur (Cho) tidak

mungkin mengalami perubahan pemajuan menjadi relasi inti. Dengan kata lain,

nomina penganggur akan tetap menjadi penganggur. Sementara itu, MCL

menerangkan bahwa demosi ke posisi chomeur akan terjadi jika suatu nomina

merebut relasi nomina lain melalui pemajuan (cermati relasi OBL pada yang

menggeser relasi 2 menjadi Cho pada diagram 3). Blake (1990) menjabarkan

revaluasi dalam sebuah kalimat sebagai berikut :

Pemajuan atau promosi :

- 2 1

- 3 1

- OBL 1

- 3 2

- OBL 2

- OBL 3

Pemunduran atau demosi :

- 1 2

- 1 3

- 1 Cho

- 2 3

- 2 Cho

- 3 Cho

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji

26

Selain tiga hukum di atas, dua hukum penting lain yang perlu diperhatikan

dalam TR adalah Stratal Uniqueness Law (SUL) dan Final 1 Law (F1L). SUL

menyatakan bahwa hanya satu nomina yang dapat menanggung relasi suku dalam

satu strata yang sama. Pada strata 1 diagram 4, misalnya, terlihat relasi 1 hanya

ditanggung oleh “Ima” relasi 2 oleh “ikan” , dan relasi 3 oleh “Usman”. Begitu

pula halnya dengan nomina-nomina pada strata2 dan strata3, hanya satu nomina

yang menanggung satu relasi suku. Sementara itu, pemajuan relasi 2 “Usman”

menjadi S (relasi 1) pada strata, dilakukan untuk memenuhi kaidah FIL yang

menegaskan bahwa S harus hadir pada strata akhir.

Secara sintaksis, yang dimaksud dengan relasi atau fungsi gramatika adalah

peran yang diberikan oleh predikat kepada argumen-argumennya berdasarkan

hubungan gramatika. Dalam perkembangannya, tata bahasa tradisional melihat

OTL dan OL berdasarkan pertimbangan semantik bukan sintaksis. Artinya, OL

secara langsung terkena oleh tindakan yang dibawa oleh verba, sedangkan OTL

terkena tindakan secara tidak langsung. Selain itu, penamaan OTL dalam tata

bahasa tradisional juga diterapkan pada frasa berpreposisi. Cermati contoh berikut

ini (Purwo dan Moeliono, 1985 : 14).

(2.25) John bought Mary a book‟.

OTL OL

(2.26) John bought a book for Mary.

OL OTL

Sementara aliran transformasional yang dipelopori oleh Chomsky (1965)

tidak begitu ketat lagi memegang batasan-batasan semantik terhadap istilah OL

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji

27

dan OTL. Di satu pihak, penganut aliran ini memperlakukan S dan O secara

semantik, seperti terkuak pada pemakaian istilah logical subject/object, deep

subject/object, underlying subject/object, semantic subject/object. Di pihak lain, S

dan O juga dipakai secara sintaksis, seperti terlihat pada pemakaian istilah surface

subject/object, grammatical subject/object, dan syntactic subject/object. Fungsi-

fungsi yang dikemukakan oleh Chomsky dalam struktur batin adalah S, yakni FN

yang secara langsung diatasi oleh kalimat dan OL adalah FN yang secara

langsung diatasi oleh FV, sedangkan OTL tidak terlalu mendapat perhatian

khusus karena OTL disejajarkan dengan FN lain yang berpreposisi.

Setelah Teori Transformasional, muncul TR yang dipelopori oleh Perlmutter

dan Postal (1984a). Keduanya menganggap Teori Transformasional tidak dapat

diterapkan pada bahasa VSO. Pernyataan transformasi yang menyatakan bahwa

Ol adalah FN yang secara langsung diatasi oleh FV, ditantang oleh TR. Hal itu

cukup beralasan karena pada bahasa VSO, OL tidak secara langsung diatasi FV.

Sebaliknya, subjeklah yang langsung diatasi oleh FV. Dengan demikian, OL

transformasi diganti oleh OL TR menjadi FN yang secara langsung menyusul FV.

Sebagai pengikut TR, Blake (1990) membagi fungsi atau relasi gramatikal

menjadi S, OL, OTL, dan OBL. S dan O adalah relasi suku, sedangkan OBL

(seperti benefaktif, lokatif, dan instrumental) adalah relasi bukan suku. Relasi

bukan suku lain OBL yang amat penting dalam TR adalah penganggur, yang

dalam bahasa Perancis disebut chomeur. Sebuah konstituen diberi relasi Cho jika

konstituen itu kehilangan posisinya dalam sebuah strata, misalnya, dari relasi suku

(S, OL, dan OTL) menjadi relasi bukan suku yang kehadirannya bersifat

manasuka (optional).

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji

28

TR juga menjelaskan adanya hierarki fungsi-fungsi gramatika, yaitu S

berstatus lebih tinggi dibandingkan dengan OL dan OTL. Hierarki ini dibentuk

berdasarkan kenyataan bahwa fungsi yang selalu hadir dalam sebuah kalimat

adalah fungsi S. S adalah satu-satunya FN yang menjadi argumen inti pada

kalimat intransitif, sedangkan pada kalimat transitif, S adalah FN yang menduduki

posisi tertinggi dalam hierarki fungsi gramatikal. Hierarki ini dapat digambarkan

sebagai S > OL > OTL > fungsi lain (OBL).

2.4 Model Penelitian

Kerangka berpikir yang diuraikan di atas dapat digambarkan dalam bentuk

bagan seperti berikut ini.

Bagan 2 Model Penelitian

Verba Berargumen tiga

Data

Bahasa Jepang Bahasa Bali

Teori Tipologi Kausatif

Teori Tatabahasa Relasioanal

Perbandingan

Temuan

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji

29