Upload
phamkien
View
230
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka kajian
pustaka memusatkan penelitian tentang peningkatan kemampuan berbicara dan
sistem pelafalan para mahasiswa Fakultas Manajemen Universitas Dhyana Pura
dalam konteks pembelajaran front office melalui pengembangan teknik kartu
tematik. Terkait dengan kajian ini terdapat beberapa penelitian atau jurnal yang
menggunakan kata kunci „kartu bergambar‟, tetapi kebanyakan menerapkan hanya
pada peserta didik jenjang sekolah dasar (SD). Artinya, jarang yang
menggunakannya di bangku sekolah menengah pertama (SMP), sekolah
menengah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK), apalagi untuk jenjang
universitas.
Untuk menghindari kesamaan dan mengetahui kelemahan penelitian
sebelumnya dan keunggulan penelitian terbaru ini, dapat diberikan gambaran atau
review singkat tentang dua penelitian yang memiliki relevansi tema. Gambaran
singkat tersebut dapat dilihat dalam pemaparan di bawah ini.
Pertama, jurnal pendidikan dan pembelajaran berjudul “Teknik
Penguasaan Kosakata dalam Pembelajaran Bahasa Inggris di Sekolah Dasar” oleh
Liza Dwi Jayanti dkk. dari FKIP, PGSD Universitas Sebelas Maret. Tulisan itu
dapat dilihat di laman jurnal.fkip.uns.ac.id. Dari tulisan pertama itu diketahui
bahwa penguasaan kosakata bahasa Inggris para peserta didik di jenjang sekolah
10
11
dasar sangat rendah. Hal itu dapat dibuktikan dengan rendahnya pemahaman
mereka terhadap materi yang diberikan oleh guru.
Atas dasar itulah, peneliti mengadakan penelitian tentang kegiatan
pembelajaran dengan menggunakan media gambar; bagaimana para peserta didik
dapat memahami dan menjelaskan apa yang tergambar. Gambar yang digunakan
pada umumnya adalah berupa foto atau gambar yang sudah ada dan dapat
ditemukan di media cetak. Teknisnya adalah gambar-gambar yang ada
dikumpulkan secara acak dalam sebuah kotak yang diletakkan di depan kelas.
Selanjutnya guru membacakan sebuah kata, misalkan komputer, dan para peserta
didik diharapkan dapat mencari gambar yang dimaksud. Setelah mendapatkan
gambar, mereka harus kembali ke tempat start (awal). Peserta didik yang paling
cepat mengumpulkan kartu harus menyebutkan kembali nama benda tersebut.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam tulisan pertama, media gambar berperan
sebagai alat untuk memperkenalkan suatu kata baru dalam bahasa Inggris kepada
peserta didik.
Kedua, jurnal pendidikan dan pembelajaran berjudul “Upaya
Meningkatkan Penguasaan Kosakata Bahasa Inggris melalui Penggunaan Media
Kartu Domino Kata Bergambar Siswa Kelas V SD” oleh Puji Mar Atul Khasanah,
dkk. dari FKIP, PGSD Universitas Sebelas Maret. Tulisan itu dapat dilihat di
laman jurnal.fkip.uns.ac.id. Hampir serupa dengan tulisan pertama, penggunaan
media gambar dalam penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan penguasaan
kosakata bahasa Inggris para peserta didik. Dalam tulisan kedua ini, peneliti
berpendapat bahwa kosakata merupakan bagian penting dari pembelajaran bahasa
Inggris, tetapi justru sering diabaikan fungsinya. Pemahaman yang baik terhadap
11
kosakata dalam bahasa Inggris berperan sangat penting bagi para peserta didik
sehingga mereka dapat membaca, menulis, dan mengartikan kata-kata dalam
bahasa Inggris. Tanpa mengetahui kosakata, dapat dipastikan peserta didik
mengalami hambatan dalam proses pembelajaran sebab peneliti juga berpendapat
bahwa kosakata merupakan materi awal atau dasar yang harus diajarkan sebelum
masuk ke materi berikutnya.
Satu hal yang membedakan adalah media yang digunakan dalam
penelitian ini lebih mengkhusus dibandingkan dengan media yang digunakan
dalam tulisan pertama, yaitu kartu domino bergambar. Peneliti berpandangan
bahwa kartu domino dapat berperan sebagai media pembelajaran yang baik karena
dengan unsur permainan yang terkandung di dalamnya, para peserta didik
distimulus untuk berperan serta secara aktif dalam kegiatan bermain sambil
belajar. Semakin sering para peserta didik belajar menggunakan kartu ini, maka
mereka dapat menambah pengetahuan tentang kosakata baru tanpa disadari. Jadi,
dapat disimpulkan bahwa dalam tulisan kedua, penggunaan media kartu domino
kata bergambar dapat meningkatkan penguasaan kosakata bahasa Inggris.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dicermati bahwa sejauh ini belum
ada penelitian yang membahas secara khusus tentang pengembangan media
pembelajaran berupa kartu tematik yang digambar secara manual dan berseri
untuk pembelajaran khusus dalam kelas English for Specific Purpose. Kelas
bahasa Inggris untuk tujuan khusus ini diperuntukkan bagi mahasiswa kelas
Fakultas Manajemen Perhotelan yang menitikberatkan pengajaran berbasis
pariwisata terutama perhotelan.
11
Materi dituangkan secara lengkap dalam bentuk gambar berseri yang
diharapkan dapat meningkatkan kecakapan berbicara para mahasiswa secara
bertahap. Kartu memuat gambar, informasi penjelas, dialog, dan keterangan
tambahan tentang materi yang mampu menambah wawasan dan informasi bagi
mereka. Seluruh variabel yang ada dalam kartu tematik disesuaikan dengan materi
yang diajarkan sesuai dengan konteks pembelajaran tentang front office. Terlebih
lagi, satu nilai plus dari kartu ini adalah adanya gambar yang atraktif yang sangat
menarik perhatian para mahasiswa.
Diharapkan juga para guru bahasa Inggris agar dapat menerapkan
media bergambar ini untuk menambah minat dan motivasi para mahasiswa dalam
mempelajari bahasa Inggris dan menerapkannya dalam dunia kerja nantinya. Hal
ini penting karena para mahasiswa yang menempuh pendidikan di Fakultas
Manajemen Perhotelan tentunya diharapkan dapat menjadi lulusan yang siap
bersaing dalam dunia kerja sesungguhnya. Dengan bekal kecakapan dalam
berbahasa asing (dalam hal ini bahasa Inggris) sangat membantu mereka untuk
menjadi pelaku bidang perhotelan yang terampil dan memiliki daya saing yang
tinggi.
2.2 Konsep
Konsep yang diterapkan dalam penelitian harus bersifat ekuivalen dan
sesuai agar dapat digunakan sebagai dasar untuk pembahasan atau analisis atas
persoalan yang ada. Terdapat lima konsep yang digunakan dalam penelitian ini,
yaitu konsep berbicara, konsep sistem bunyi, konsep pembelajaran front office,
konsep kartu tematik, dan konsep pelafalan. Tiap-tiap konsep yang ada
11
menunjukkan seluruh variabel yang berpengaruh pada penelitian ini. Hal tersebut
dapat menjawab dan memecahkan rumusan permasalahan yang telah disusun
sebelumnya.
2.2.1 Konsep Berbicara
Konsep utama yang digunakan dalam tulisan ini menggunakan konsep
berbicara dari pustaka acuan berupa buku Speaking karya Martin Bygate.
Berbicara sebagai salah satu dari empat keterampilan berbahasa (selain
menyimak, membaca, dan menulis) telah menjadi faktor penentu dalam
menentukan kecakapan seseorang dalam ranah bahasa, terlebih dalam ranah
bahasa asing. Bygate (2008) memaparkan bahwa berbicara merupakan sebuah
keterampilan atau kecakapan yang layak untuk mendapatkan perhatian khusus
selain keterampilan lainnya, baik dalam bahasa pertama maupun bahasa kedua.
Hal ini merupakan sebuah hal yang sangat mendasar karena berbicara melibatkan
sebuah proses bagaimana membahasakan atau mengutarakan sesuatu yang ada
dalam otak (pikiran).
Konsep berbicara yang dipaparkan oleh Bygate sangat berguna saat
diterapkan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dasar berbicara (threshold
level) para peserta didik. Di sinilah diperlukan kemampuan pengajar untuk dapat
mengajak, mengimbau, dan membuat para peserta didik berbicara atau
mengutarakan sesuatu. Dengan memberikan para peserta didik kesempatan yang
lebih banyak untuk berlatih „berbicara‟ dan ujian lisan (oral exams), pengajar
dapat mengetahui bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara pengetahuan
tentang sebuah bahasa dan keterampilan dalam menggunakan bahasa tersebut.
11
Itulah sebabnya mengapa akhirnya disadari bahwa baik „pengetahuan kebahasaan‟
maupun „keterampilan berbahasa‟ merupakan dua hal yang sangat krusial dalam
proses pembelajaran dan pengajaran berbicara.
2.2.2 Konsep Sistem Bunyi
Terkait dengan konteks berbicara, Ladefoged dan Johnson (2010: 88)
memaparkan bahwa sistem bunyi dalam bahasa Inggris dapat dikelompokkan
menjadi tiga bagian. Ketiga sistem bunyi tersebut adalah sebagai berikut.
1. Vokal
Vokal bervariasi antara rentang vokal atas dan rendah. Dalam hal ini,
dapat dipahami bahwa vokal dapat diproduksi dengan menggerakkan lidah dan
bibir. Secara sederhana vokal juga dapat dimaknai sebagai huruf hidup yang
dalam pembentukannya melalui proses udara yang keluar melalui tenggorokan
dan mulut tanpa hambatan.
Gambar 2.1 Bagan Vokal dalam Bahasa Inggris (Ladefoged dan
Johnson, 2010: 88)
Depan tinggi Belakang tinggi
i u
e ә o
æ ɑ
Depan rendah Belakang rendah
11
2. Diftong
Bunyi yang diproduksi dengan melibatkan perubahan dalam vokal
tertentu melalui pemindahan satu posisi vokal ke posisi vokal yang lain. Diftong
dalam bahasa Inggris dapat berupa eɪ (dalam kata „day‟ [deɪ]), әʊ (dalam kata „go‟
[gәʊ]), aɪ (dalam kata „ice‟ [aɪs]), aʊ (dalam kata „bow‟ [baʊ]), ɔɪ (dalam kata
„joy‟ [dʒɔɪ]), ɪә (dalam kata „hear‟ [hɪә(r)]), eә (dalam kata „hair‟ [heә(r)]), dan ʊә
(dalam kata „cure‟ [kjʊә(r)]).
3. Konsonan
Bunyi yang dalam pembentukannya melalui proses udara yang tidak
keluar secara lancar melalui mulut dan tenggorokan, tetapi mengalami hambatan
atau penyempitan sehingga menghasilkan bunyi seperti gesekan. Jika dilihat dari
proses terjadinya bunyi (secara umum), konsonan dapat dikategorikan sebagai
berikut.
1) Bilabial merupakan bunyi yang diproduksi dengan menyentuhkan dua bagian
bibir, seperti yang dapat didengarkan dalam kata „pie‟, „buy‟, dan „my‟.
2) Labiodental merupakan bunyi yang diproduksi saat bibir bawah dan gigi
depan atas bersentuhan, seperti yang dapat didengarkan dalam kata „five‟ dan
„vie‟.
3) Dental merupakan bunyi yang diproduksi melalui gesekan ujung lidah dan
gigi depan bagian atas, seperti yang dapat didengarkan dalam kata „thigh‟ dan
„thy‟.
4) Alveolar merupakan bunyi yang diproduksi melalui gesekan ujung lidah dan
lengkung alveolar (bagian belakang dari gigi depan atas), seperti yang dapat
didengarkan dalam kata „tie‟, „zeal‟, dan „sigh‟.
11
5) Retrofleks merupakan bunyi yang diproduksi melalui gesekan dari ujung lidah
dan bagian belakang lengkung alveolar, seperti yang dapat didengarkan dalam
kata „rye‟, „row‟, dan „ray‟.
6) Palatoalveolar merupakan bunyi yang diproduksi melalui gesekan lidah dan
bagian belakang dari lengkung alveolar, seperti yang dapat didengarkan dalam
kata „shy‟, „she‟, dan „show‟.
7) Palatal merupakan bunyi yang diproduksi melalui gesekan bagian depan lidah
dan langit-langit keras mulut, seperti yang dapat didengarkan dalam kata
„you‟.
8) Velar merupakan bunyi yang diproduksi melalui gesekan bagian belakang
lidah dan langit-langit lunak mulut, seperti yang dapat didengarkan dalam
bagian akhir dari kata-kata „hack‟, „hag‟, dan „hang‟.
Secara umum, sistem bunyi dalam bahasa Inggris berbeda dengan
sistem bunyi dalam bahasa Indonesia. Terdapat beberapa vokal dan konsonan
dalam bahasa Inggris yang tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia. Selain itu,
dalam ranah konsonan, dalam bahasa Inggris juga terdapat kluster, yaitu sejumlah
konsonan yang membentuk sebuah kata yang dibaca dalam satu napas, seperti
„str‟ dan „pr‟ dalam kata „struggle‟, „pronunciation‟, „strategy‟, „pragmatic‟, dan
sebagainya. Dalam bahasa Indonesia, kluster dapat terjadi pada kata-kata yang
merupakan kata serapan dari bahasa asing seperti „instrumen‟, „strategi‟, dan
„struktur‟.
Sebuah hal yang jamak ditemukan di lapangan bahwa terdapat
beberapa permasalahan atau kendala yang dihadapi dalam proses pembelajaran
dan pengajaran bahasa asing (dalam hal ini bahasa Inggris). Hal-hal tersebut wajib
11
disadari oleh para pengajar agar hal ini tidak secara berkesinambungan menjadi
kendala dalam proses pengajaran. Oleh karena itu, selain pemahaman tentang tata
bahasa (grammar) dan perbendaharaan kata (vocabulary), konsep tentang
berbicara wajib diketahui oleh para pengajar bahasa Inggris.
2.2.3 Konsep Pembelajaran Front Office
Menurut Suwithi dan Boham (2008: 64), hotel dapat didefinisikan
sebagai sebuah bangunan yang dikelola secara komersial dengan memberikan
fasilitas penginapan untuk umum. Fasilitas pelayanan hotel meliputi pelayanan
makan dan minum, pelayanan kamar, pelayanan barang bawaan, pencucian
pakaian, dan dapat menggunakan fasilitas/perabotan dan menikmati hiasan-hiasan
yang ada di dalamnya. Secara umum, struktur organisasi sebuah hotel dapat dibagi
menjadi dua fungsi utama, yaitu organisasi kantor depan (front office) dan
organisasi kantor belakang (back office) (Suwithi dan Boham, 2008: 64).
Khusus untuk organisasi kantor depan, organisasi ini memegang
peranan yang sangat penting untuk sebuah hotel karena bagian ini menjadi cermin
atas kualitas hotel yang selalu berhubungan dan bersentuhan langsung dengan
para tamu yang menginap. Bagian/posisi yang termasuk di dalam organisasi ini
adalah bagian reservasi, front office, divisi pengurusan ruangan/kamar hotel (room
division), bagian pengaturan makanan dan minuman (food and beverage), dan
bagian keamanan di area depan hotel (security). Kantor depan hotel (front office)
bertugas di wilayah depan hotel, yaitu meliputi area keluar masuk tamu, lobby,
dan lounge.
11
Bagian kantor depan hotel (front office) memiliki beberapa tujuan
utama. Menurut Suwithi dan Boham (2008: 69), tujuan utama kantor depan hotel
adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan tingkat hunian kamar serta pendapatan hotel dari tahun ke
tahun.
2. Meningkatkan jumlah tamu langganan.
3. Memenuhi kebutuhan dan kepuasan tamu secara baik, tepat, dan cepat kepada
tamu.
4. Membentuk citra hotel yang positif.
Dalam mewujudkan tujuan hotel, setiap petugas yang bertugas
memiliki fungsi untuk dilaksanakan setiap hari. Fungsi tersebut dapat dijabarkan
seperti berikut.
1. Menjual kamar meliputi menerima pemesanan kamar, melakukan pendaftaran
tamu, dan memblok kamar.
2. Memberikan informasi mengenai seluruh produk, fasilitas, pelayanan, dan
aktivitas yang ada, baik di hotel maupun di luar hotel.
3. Mengoordinasikan kepada bagian lain yang terkait dalam rangka memenuhi
keinginan tamu dan memberikan pelayanan yang maksimal.
4. Melaporkan status kamar yang terkini.
5. Mencatat, memeriksa pembayaran tamu, dan menangani rekening tamu.
6. Membuat laporan yang dibutuhkan oleh hotel.
7. Memberikan pelayanan telekomunikasi untuk tamu.
8. Memberikan pelayanan barang bawaan tamu.
9. Menyelesaikan keluhan tamu (Suwithi dan Boham, 2008: 70).
11
Selain aspek-aspek yang telah dijabarkan di atas, front office juga
memiliki peranan penting untuk memberikan pelayanan terbaik dan menjaga citra
serta nama baik hotel, yaitu sebagai berikut.
1. Pemberi informasi yang senantiasa memberikan informasi yang jelas, benar,
dan cepat tentang produk, fasilitas, aktivitas, pelayanan yang ada, baik di
dalam hotel maupun di luar hotel. Informasi ini tidak hanya untuk tamu, tetapi
juga kepada kolega ataupun rekan sejawat yang membutuhkan.
2. Penjual (sales person) yang memiliki jiwa menjual sebab bagian inilah yang
berhubungan langsung dengan tamu hotel selain bertugas menjual produk
hotel.
3. Wakil manajemen – petugas kantor depan yang dalam keadaan tertentu dapat
berperan sebagai wakil manajemen untuk mengatasi/menyelesaikan masalah
yang muncul di luar jam kerja manajemen.
4. Penyimpan data yang dapat membuat dan menyimpan data terkini (up-to-
date) tentang laporan-laporan yang dibuat di front office sehingga manajemen
dapat mengambil keputusan dan kebijakan yang sesuai pada waktu yang akan
datang.
5. Diplomatis merupakan sikap yang dibutuhkan untuk membuat tindakan yang
dapat menjaga hubungan yang baik dengan tamu dan pihak yang lain.
6. Pemecah masalah terhadap segala hambatan atau kendala yang dialami oleh
para tamu ataupun masalah yang berasal dari divisi hotel yang lain.
7. Humas (hubungan masyarakat) yang menjadi ujung tombak hotel terhadap
para tamu dan masyarakat sekitar area hotel agar hubungan yang harmonis dan
citra hotel yang baik tetap terjaga (Suwithi dan Boham, 2008: 71).
11
Fokus penelitian ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan front office,
yaitu bagaimana cara melafalkan istilah-istilah front office dalam bahasa Inggris
oleh para mahasiswa manajemen perhotelan dan cara menerapkannya dalam
situasi sebenarnya terhadap tamu asing. Jika mereka yang bertugas di bagian
depan, utamanya bagian resepsionis dan reservasi dapat menjalankan tugas
melalui melayani dan berkomunikasi dengan baik terhadap para tamu, terutama
tamu asing, maka kesan pertama yang diharapkan dapat dicapai dengan optimal.
Dalam pembelajaran dan pelatihan, orang-orang yang tertarik untuk
berkecimpung dalam perhotelan, khususnya terkait dengan konteks front office,
diharapkan dapat memahami konsep front office dengan tepat dan menyeluruh.
Pemahaman ini sangat membantu pihak-pihak tersebut untuk dapat memiliki
bekal keterampilan ketika tiba saatnya untuk terjun ke bidang yang sesungguhnya.
2.2.4 Konsep Kartu Tematik
Terkait konsep kartu tematik, tentu hal ini berkaitan erat dengan
pembelajaran tematik yang merupakan konsep pembelajaran terpadu yang
menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat
memberikan pengalaman bermakna kepada peserta didik. Tema merupakan pokok
pikiran atau gagasan pokok pembicaraan (Poerwadarminta, 1983). Dengan
pemahaman bahwa pembelajaran berdasarkan tema-tema tersendiri secara khusus
dan spesifik dalam kegiatan pembelajaran, maka para peserta didik diharapkan
dapat memahami setiap materi yang disampaikan.
Konsep inilah yang diterapkan dalam metode Glenn Doman, yaitu
kartu yang dapat digunakan dalam pembelajaran dalam tataran menambah
11
perbendaharaan kata pada peserta didik. Kartu yang digunakan adalah kartu yang
berisi kata yang tercetak besar dan ditunjukkan pada para peserta didik. Metode
ini sangat tepat diterapkan dalam pengajaran semua bahasa, terutama bahasa
Inggris untuk peserta didik yang merupakan penutur asli bahasa Indonesia.
Bahkan, metode Glenn Doman diklaim dapat digunakan sebagai alat bantu ajar
tentang pengenalan kosa-kata bahasa Inggris pada usia dini.
Metode pengajaran yang terkandung dalam Glenn Doman adalah
dengan cara tematik. Cara tematik ini telah diformulasikan dengan tujuan untuk
dapat menstimulasi beragam potensi yang ada dalam diri seorang peserta didik.
Metode ini merupakan sebuah metode yang berpusat pada peserta didik (learner-
centered learning). Akan tetapi, satu keunggulan yang ada adalah dengan
menerapkan metode ini, maka diberikan jenis pembelajaran yang tidak terlalu
teoretis dan tidak akan membosankan karena suasana pembelajaran juga terasa
menyenangkan (belajar sekaligus bermain). Dengan menerapkan metode ini,
peserta didik diharapkan dapat cepat memahami dan menghafal materi yang
disampaikan.
Khusus untuk penelitian ini, konsep kartu tematik telah dimodifikasi
menjadi salah satu bentuk kartu tematik yang lain. Kartu ini berisi gambar-gambar
yang dirancang sendiri (handmade) yang berkaitan dengan konteks front office
(gambar resepsionis, lounge, dan sebagainya). Selain itu, kartu juga dilengkapi
dengan keterangan penjelas seperti kelas kata (kata benda/noun atau kata
kerja/verb), makna kata yang dimaksud, dan cara pengucapan kata tersebut dalam
pelafalan secara Inggris (British English) dan Amerika (American English).
Dalam penerapannya di kelas, selain menyajikan pemahaman dan cara pelafalan
11
yang tepat melalui kartu tematik yang ada. Di samping itu, dibantu juga dengan
menayangkan cara pelafalan secara langsung melalui Cambridge Advanced
Learner’s Dictionary 3rd
Edition; sebuah aplikasi kamus Cambridge yang dapat
mengeluarkan suara dari pelafalan kata tertentu yang dicari dengan cara
mengetikkannya di kolom pencarian. Dengan menggunakan kartu tematik dan
menayangkan pelafalan kata tersebut melalui aplikasi kamus, mahasiswa
mendapatkan pemahaman secara visual dan audio sekaligus. Kartu tematik juga
memiliki keunggulan lain karena memuat gambar yang dapat membantu para
mahasiswa dalam mengingat istilah secara visual. Selain itu, kartu tematik juga
memudahkan mahasiswa untuk memahami makna istilah front office dengan cepat
dan praktis (dibandingkan dengan mencari makna kata di dalam kamus).
2.2.5 Konsep Bermain Peran
Salah satu cara yang dapat diterapkan untuk mengimplementasikan
rancangan pengajaran dalam latihan adalah melalui bermain peran (role playing).
Secara sederhana konsep bermain peran dapat didefinisikan sebagai sebuah
kegiatan simulasi peran yang mengajak para pemain (dalam hal ini peserta didik)
untuk memerankan suatu tokoh atau karakter tertentu dalam sebuah tema
percakapan. Menurut Taniredja (2011) dalam Handayani (2014: 18), role playing
merupakan metode mengajar yang mendramatisasikan suatu situasi sosial yang
mengandung suatu problem, agar peserta didik dapat memecahkan suatu masalah
yang muncul dari suatu situasi sosial. Di sisi lain, menurut Amri (2010) dalam
Handayani (2014: 18), bermain peran merupakan salah satu model pembelajaran
yang diarahkan pada upaya pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan
11
hubungan antarmanusia (interpersonal relationship), terutama yang menyangkut
kehidupan peserta didik. Dalam penelitian ini, tema yang dijadikan sebagai bahan
bermain peran disesuaikan dengan kondisi operasi kantor depan sehingga
diharapkan mahasiswa dapat mengidentifikasi dan menyesuaikan diri dengan
situasi dan kondisi kantor depan sesungguhnya.
Bermain peran memiliki tujuan dalam pembelajaran bahasa. Menurut
Amri (2010) dalam Handayani (2014: 19), tujuan metode ini adalah agar peserta
didik mencoba mengeksplorasi hubungan-hubungan antarmanusia dengan cara
memperagakan dan mendiskusikannya, sehingga secara bersama-sama para
peserta didik dapat mengeksplorasi perasaan-perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai, dan
berbagai pemecahan masalah. Hal ini menunjukkan bahwa melalui bermain peran,
para peserta dapat menerapkan dan memahami materi yang diberikan oleh
pengajar dan mengembangkan kosakata yang ada melalui tema yang diperankan.
Terdapat beberapa hal yang dipersiapkan oleh pengajar sebelum
melaksanakan metode pembelajaran bermain peran, sebagaimana dikutip dari
beberapa pendapat Roestiyah (2008) dalam Handayani (2014: 22), yaitu sebagai
berikut.
1. Pengajar harus menerangkan kepada peserta didik bahwa melalui metode ini
mereka diharapkan dapat memecahkan masalah hubungan sosial yang nyata
dan ada di masyarakat.
2. Pengajar harus memilih masalah yang menarik untuk dijadikan tema sehingga
para peserta didik terstimulus untuk berusaha memecahkan masalah tersebut
dan menampilkan performa yang baik saat bermain peran.
11
3. Pengajar harus mampu menjelaskan tema dan isi masalah dengan baik dan
jelas agar peserta didik memahami dan mampu memainkan peran dengan
tepat.
4. Pengajar perlu membantu para peserta didik yang belum terbiasa dengan
memberikan kalimat pertama (pembuka) dalam dialog.
Di samping hal-hal di atas, pengajar juga perlu untuk menyesuaikan
tema dengan materi atau pokok bahasan materi yang diajarkan dan alokasi waktu
yang tersedia. Pengajar juga dituntut untuk mampu mengendalikan kelas agar
pembelajaran dan sesi diskusi tetap berjalan dengan tertib.
Terdapat beberapa keuntungan yang dapat diperoleh para mahasiswa
saat melaksanakan proses pembelajaran bermain peran, yaitu mereka dapat
mengeksplorasi kemampuan mereka dalam melafalkan istilah-istilah kantor depan
dan menerapkannya dalam pola percakapan. Selain itu, mereka dapat berlatih
memecahkan masalah yang mungkin muncul saat bekerja di dunia perhotelan
sesungguhnya sehingga mereka dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik sejak
dini. Berdasarkan uraian di atas, dapat dicermati bahwa bermain peran merupakan
salah satu metode pembelajaran yang tepat diterapkan untuk meningkatkan
kemampuan pelafalan para mahasiswa terkait dengan konteks kantor depan.
2.2.6 Konsep Pelafalan
Dalam bahasa Inggris terdapat dua macam aksen pelafalan yang
paling umum dikenal, yaitu aksen Inggris (British English) dan aksen Amerika
(American English). Salah satu contoh yang dapat diamati adalah kata „vase‟ yang
dalam aksen Inggris dilafalkan sebagai [vɑːz], sementara dalam aksen Amerika
11
dilafalkan sebagai [veɪs]. Menurut Ladefoged dan Johnson (2010: 281), pembicara
yang berbeda saat melafalkan kata-kata dalam bahasa yang sama dapat mengalami
produksi bunyi yang berbeda terkait dengan fisiologis atau bentuk vocal tract-
atau koordinasi sistem bunyi.
Segala bentuk perbedaan yang ada dapat dideskripsikan dengan
menggunakan daftar simbol IPA dan fitur fonologis lainnya yang dapat
memberikan gambaran jelas tentang adanya variasi dalam pelafalan setiap
manusia. Dalam hal ini peranan lidah dan alat pemroduksi pada organ bunyi
manusia sangat krusial. Selama berabad-abad, pelafalan beberapa kata dalam
bahasa Inggris telah berubah, sementara beberapa masih tetap sama. Dengan
demikian, transkripsi fonemik bahasa Inggris dapat berbeda dari bentuk
tertulisnya.
2.3 Landasan Teori
Terdapat dua teori utama yang digunakan dalam tulisan ini. Teori
pertama untuk memecahkan permasalahan dari segi linguistik, yaitu teori fonetik.
Teori kedua adalah teori pembelajaran yang dibagi menjadi cakupan teori belajar
behaviorisme dan teori nativisme sebagai pembanding. Teori pelengkap yang
digunakan adalah teori kartu flash card oleh Glenn Doman. Teori-teori ini
digunakan untuk mengolah data dari beberapa sampel yang digunakan untuk
mewakili jumlah total subjek penelitian.
Teori pertama, yaitu teori fonetik merujuk pada teori yang dipaparkan
oleh Ladefoged dan Johnson (2010). Teori fonetik ini selanjutnya dapat dibagi
menjadi beberapa subteori, yaitu teori production skill, teori keterampilan
11
berinteraksi dalam metodologi bahasa lisan, serta teori pengaturan kelas dan
kemampuan lisan (ketiganya oleh Bygate, 2008). Di samping itu, juga dilengkapi
dengan teori kesalahan berbahasa oleh Corder (1974) dalam Indihadi (2011: 2--3).
Teori kedua, yaitu teori pembelajaran terdiri atas dua teori besar, yaitu
teori belajar behaviorisme dan teori belajar nativisme. Permasalahan pelafalan
yang ditemukan dipecahkan melalui sudut pandang behaviorisme terlebih dahulu
dan kemudian ditinjau juga dari sudut pandang nativisme.
2.3.1 Teori Linguistik – Fonetik
Teori linguistik, terutama fonetik berperan vital untuk menganalisis
beragam aspek dalam proses pembelajaran mahasiswa saat memahami dan
melafalkan istilah-istilah yang berkaitan dengan front office. Sebagai ilmu yang
berkaitan dengan bunyi-bunyi bahasa, teori fonetik terdiri atas tiga cakupan, yaitu
fonetik organis, fonetik akustis, dan fonetik auditoris.
1. Fonetik Organis
Fonetik organis (fonetik artikulatoris atau fonetik fisiologis) adalah
fonetik yang mempelajari tentang mekanisme alat-alat bicara/ucap manusia
berupa organ vokal yang berfungsi untuk membentuk dan menghasilkan bunyi
bahasa (Marsono, 1999: 2). Organ vokal yang dimaksud yaitu bagian lidah dan
bibir (atas dan bawah).
2. Fonetik Akustis
Malmberg (1963) dalam Marsono (1999: 2) fonetik akustis
mempelajari bunyi bahasa dari segi bunyi sebagai gejala fisis. Bunyi-bunyi
tersebut diselidiki frekuensi getarannya, amplitudo, intensitas, dan timbrenya.
11
Fonetik jenis ini berkaitan dengan fisika dalam laboratorium fonetis, untuk
pembuatan telepon, perekaman piringan hitam, dan sejenisnya.
3. Fonetik Auditoris
Bronstein dan Jacoby (1967) dalam Marsono (1999: 3) memaparkan
bahwa fonetik auditoris mempelajari tentang mekanisme telinga dalam menerima
bunyi bahasa sebagai getaran udara. Hal ini tentu juga berhubungan dengan posisi
vokal tinggi dan rendah berdasarkan bunyi yang hendak diproduksi. Contoh,
vokal [i] merupakan vokal tinggi depan, [u] merupakan vokal tinggi belakang, [æ]
merupakan vokal rendah depan, dan [ɑ] merupakan vokal rendah belakang.
Bidang fonetik ini cenderung dimasukkan ke dalam neurologi ilmu kedokteran
(Marsono, 1999: 3).
Fonetik artikulatoris digunakan sebagai acuan utama dalam penelitian
ini. Hal ini tak lepas dari fungsi fonetik artikulatoris yang berkaitan dengan
produksi bunyi yang akan menjadi data untuk penelitian kali ini.
Ladefoged dan Johnson (2010: 88) menjabarkan bahwa secara teori
fonetik, bahasa Inggris dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian. Ketiga bagian
itu adalah sebagai berikut.
1) Vokal
Vokal dalam bahasa Inggris bervariasi antara rentang vokal atas dan
rendah. Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa vokal dapat diproduksi dengan
menggerakkan lidah dan bibir. Vokal juga dapat secara sederhana dapat dimaknai
sebagai huruf hidup yang dalam pembentukannya melalui proses udara yang
keluar melalui tenggorokan dan mulut tanpa hambatan.
11
Marsono (1999: 29) memaparkan bahwa vokal dalam bahasa Inggris
dapat diklasifikasikan berdasarkan tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang
bergerak, sriktur (jarak lidah dengan langit-langit), dan bentuk bibir. Berikut
merupakan pemaparan terperinci terkait dengan pengklasifikasian tersebut.
1. Tinggi Rendahnya Lidah
Berdasarkan tinggi rendahnya lidah vokal dapat dibagi atas:
a. vokal tinggi, misalnya: [i, u];
b. vokal madya (tengah), misalnya: [e, ɛ, ә, o, ɔ]; dan
c. vokal rendah, misalnya: [a, ɑ].
2. Bagian Lidah yang Bergerak
Berdasarkan bagian lidah yang bergerak vokal dapat dibedakan menjadi:
a. vokal depan, yaitu vokal yang dihasilkan oleh gerakan peranan turun
naiknya lidah bagian depan, misalnya: [i, e, ɛ, a];
b. vokal tengah, yaitu vokal yang dihasilkan oleh gerakan peranan lidah
bagian tengah, misalnya: [ә]; dan
c. vokal belakang, yaitu vokal yang dihasilkan oleh gerakan peranan turun
naiknya lidah bagian belakang (pangkal lidah), misalnya: [u, o, ɔ, ɑ].
3. Striktur (Stricture)
Striktur merupakan keadaan hubungan posisional artikulator aktif dengan
artikulator pasif (Lapoliwa (1981) dalam Marsono (1999:31)). Striktur untuk
vokal ditentukan oleh jarak lidah dengan langit-langit. Menurut strikturnya,
vokal dapat dibedakan atas:
11
a. vokal tertutup (close vowels), yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah
diangkat setinggi mungkin mendekati langit-langit dalam batas vokal.
Misalnya: [i] dan [u];
b. vokal semi-tertutup (half-close), yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah
diangkat dalam ketinggian sepertiga di bawah tertutup atau dua pertiga di
atas vokal yang paling rendah. Misalnya: [e] dan [o];
c. vokal semi-terbuka (half-open), yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah
diangkat dalam ketinggian sepertiga di atas vokal yang paling rendah atau
dua pertiga di bawah vokal tertutup. Misalnya: [ɛ] dan [ɔ]; dan
d. vokal terbuka (open vowels), yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah
dalam posisi serendah mungkin. Misalnya: [a] dan [ɑ].
4. Bentuk Bibir
Jones (1958) dalam Marsono (1999: 32) memaparkan bahwa berdasarkan
bentuk bibir saat vokal diucapkan, vokal dapat dibedakan atas:
a. vokal bulat (rounded vowels), yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk
bibir bulat. Bentuk bibir yang bulat dapat dalam keadaan terbuka atau
tertutup. Jika dalam keadaan terbuka, maka vokal itu diucapkan dengan
posisi bibir terbuka bulat (open rounded), misalnya vokal [ɔ]. Di sisi lain,
jika tertutup maka vokal itu diucapkan dalam posisi bentuk bibir tertutup
bulat, misalnya untuk vokal [o] dan [u];
b. vokal netral (neutral vowels), yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk
bibir dalam posisi netral, tidak bulat tetapi juga tidak terbentang lebar.
Misalnya untuk vokal [ɑ]; dan
11
c. vokal tak bulat (unrounded vowels), yaitu vokal yang diucapkan dengan
bentuk bibir tidak bulat atau terbentang lebar. Misalnya untuk vokal [i],
[e], [ә], [ɛ], dan [a].
Berikut merupakan tabel yang memuat rincian proses pembentukan
vokal dalam bahasa Inggris tersebut.
Tabel 1.1 Tabel proses pembentukan vokal dalam bahasa Inggris
No Vokal
1 2 3 4 5
Tinggi
rendah lidah
Gerak
lidah
bagian
Striktur
(jarak lidah
dengan langit-
langit)
Bentuk
bibir Contoh kata
1 [iː] tinggi atas depan tertutup tak
bulat
see, feel, bead,
ream
2 [ɪ] tinggi bawah depan semi-tertutup tak
bulat it, lid, fill, rich
3 [ɛ] madya
(tengah) depan
semi-
tertutup/terbuka
tak
bulat fell, get, led
4 [æ] rendah depan hampir terbuka netral bad, cat, bat
5 [әː]/[ɜː] madya
(tengah) atas tengah semi-tertutup
tak
bulat
bird, burn,
heard
6 [ә]
madya
(tengah)
bawah
tengah semi-terbuka netral ago, colour,
perhaps
7 [Ʌ] rendah tengah hampir terbuka netral up, cup, luck
8 [ɑː] rendah bawah belakang terbuka netral card, dark,
hard
9 [ɔ] rendah bawah belakang terbuka bulat box, hot, lock
10 [ɔː] rendah atas belakang semi-terbuka bulat cord, law, saw
11 [u] tinggi bawah belakang semi-tertutup bulat put, pull, look
12 [uː] tinggi atas belakang tertutup bulat pool, too,
shoed
2) Diftong
Bunyi yang diproduksi dengan melibatkan perubahan dalam vokal
tertentu melalui pemindahan satu posisi vokal ke posisi vokal yang lain. Marsono
(1999: 50) memaparkan bahwa diftong dalam bahasa Inggris dapat dibedakan
11
menjadi dua jenis, yaitu diftong naik (rising diphthongs), diftong turun (falling
diphthongs), dan diftong memusat (centring diphthongs).
1. Diftong naik bahasa Inggris
Diftong naik adalah jika vokal yang kedua diucapkan dengan posisi lidah
lebih tinggi daripada yang pertama. Karena lidah semakin menaik, strikturnya
menjadi semakin tertutup, sehingga diftong ini juga dapat disebut diftong
menutup (closing diphthongs). Bahasa Inggris memiliki lima jenis diftong
naik, yaitu:
a. diftong naik-menutup-maju [aɪ], misalnya dalam: time [taim];
b. diftong naik-menutup-mundur [eɪ], misalnya dalam: base [beɪs];
c. diftong naik-menutup-maju [ɔɪ], misalnya dalam: boy [bɔɪ];
d. diftong naik-menutup-mundur [aʊ], misalnya dalam: now [naʊ]; dan
e. diftong naik-menutup-maju [oʊ] atau [әʊ], misalnya dalam go [ɡoʊ] atau
[ɡәʊ].
2. Diftong turun bahasa Inggris
Selain diftong naik, bahasa Inggris juga memiliki dua jenis diftong turun,
yaitu:
a. diftong turun-membuka-memusat [ɪә], misalnya dalam: ear [ɪә]; dan
b. diftong turun-membuka-memusat [ʊә], misalnya dalam: pure [pjʊә].
3. Diftong memusat bahasa Inggris
Diftong memusat merupakan diftong yang diucapkan dengan
menggerakkan lidah ke vokal tengah sentral. Terdapat dua jenis diftong naik
memusat, yaitu:
11
a. diftong naik-menutup-memusat [ɔә], misalnya dalam: more [mɔә]; dan
b. diftong naik-menutup-memusat [ɛә] atau [eә], misalnya dalam: there [ðɛә]
atau [ðeә].
3) Konsonan
Bunyi yang dalam pembentukannya melalui proses udara yang tidak
keluar secara lancar melalui mulut dan tenggorokan, tetapi mengalami hambatan
atau penyempitan sehingga menghasilkan bunyi seperti gesekan. Berikut
merupakan konsonan-konsonan yang terdapat dalam bahasa Inggris menurut
Marsono (1999).
1. Konsonan Hambat Letup (Stops, Plosive)
Konsonan hambat letup adalah konsonan yang terjadi dengan hambatan
penuh arus udara kemudian hambatan itu dilepaskan secara tiba-tiba. Menurut
tempat hambatannya (artikulasinya) konsonan ini dapat dibagi menjadi tiga
seperti berikut.
a. Konsonan hambat letup bilabial
Konsonan ini dapat terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah
bibir bawah dan artikulator pasifnya adalah bibir atas, seperti bunyi [p]
yang merupakan konsonan keras tak bersuara (seperti dalam „pool‟,
„compare‟, dan „map') dan [b] yang merupakan konsonan lunak bersuara
(seperti dalam „big‟, „rubber‟, dan „rib‟).
b. Konsonan hambat letup apiko-alveolar
Konsonan ini dapat terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah
ujung lidah dan artikulator pasifnya adalah gusi, seperti bunyi alveolar [t]
11
yang merupakan konsonan keras tak bersuara (seperti dalam „town‟,
„writing‟, dan „heart‟) dan [d] yang merupakan konsonan lunak bersuara
dan lebih pendek hambatannya (seperti dalam „down‟, „riding‟, dan hard‟).
c. Konsonan hambat letup dorso-velar
Konsonan ini dapat terjadi bila artikulator aktifnya adalah pangkal
lidah dan artikulator pasifnya adalah langit-langit lunak, seperti [k] yang
merupakan konsonan keras tak bersuara (seperti dalam „curl‟, „bicker‟, dan
„dock‟) dan [ɡ] yang merupakan konsonan lunak bersuara (seperti dalam
„girl‟, „bigger‟, dan dog‟).
2. Konsonan Nasal (Nasals)
Konsonan nasal (sengau) adalah konsonan yang dibentuk dengan
menghambat rapat (menutup) jalan udara dari paru-paru melalui rongga
mulut. Menurut tempat hambatannya (artikulasinya) konsonan ini dapat
dibagi menjadi tiga seperti berikut.
a. Konsonan nasal bilabial
Konsonan ini dapat terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah
bibir bawah dan artikulator pasifnya adalah bibir atas. Nasal yang terjadi
adalah [m] yang merupakan konsonan bersuara (seperti dalam „man‟,
„among‟, dan „him‟).
b. Konsonan nasal apiko-alveolar
Konsonan ini dapat terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah
ujung lidah dan artikulator pasifnya adalah gusi. Nasal yang terjadi adalah
[n] yang merupakan konsonan bersuara (seperti dalam „name‟, „many‟,
dan „ten‟).
11
c. Konsonan nasal dorso-velar
Konsonan ini dapat terjadi bila proses penghambatan itu artikulator
aktifnya adalah pangkal lidah dan artikulator pasifnya adalah langit-langit
lunak. Nasal yang dihasilkan adalah [ŋ] yang merupakan konsoan nasal
bersuara (seperti dalam „singer‟ dan „sing‟).
3. Konsonan Paduan (Affricates)
Konsonan paduan adalah konsonan hambat jenis khusus. Proses
terjadinya adalah dengan menghambat penuh arus udara dari paru-paru,
kemudian hambatan itu dilepaskan secara bergeser pelan-pelan. Tempat
artikulasinya adalah ujung lidah dan gusi bagian belakang (langit-langit keras
bagian depan atau prepalatal). Bunyi yang dihasilkan adalah paduan apiko-
prepalatal [tʃ] yang merupakan paduan keras tak bersuara (seperti dalam
„chin‟, „riches‟, dan „rich‟) dan [dʒ] yang merupakan paduan lunak bersuara
dan hambatannya lebih pendek (seperti dalam „gin‟, „ridges‟, dan „ridge‟).
4. Konsonan Sampingan (Laterals)
Konsonan sampingan dibentuk dengan menutup arus udara di tengah
rongga mulut sehingga udara keluar melalui kedua samping atau sebuah
samping saja. Tempat artikulasinya adalah ujung lidah dan gusi. Bunyi yang
dihasilkan adalah [l] yang merupakan konsonan bersuara (seperti dalam
„look‟, „holiday‟, dan „oil‟).
5. Konsonan Geseran atau Frikatif (Fricatives, Frictions)
Konsonan geseran atau frikatif adalah konsonan yang dibentuk dengan
menyempitkan jalannya arus udara yang dihembuskan dari paru-paru,
11
sehingga jalannya udara terhalang dan keluar dengan bergeser. Menurut
tempat artikulasinya konsonan geseran dapat dibagi menjadi:
a. Konsonan geseran labio-dental
Konsonan ini dapat terjadi bila artikulator aktifnya adalah bibir bawah
dan artikulator pasifnya adalah gigi atas. Bunyi yang terjadi adalah [f]
yang merupakan konsonan keras tak bersuara (seperti dalam „fan‟, „sofa‟,
dan „life‟) dan [v] yang merupakan konsonan lunak bersuara (seperti dalam
„van‟, „cover‟, dan „live‟).
b. Konsonan geseran apiko-dental
Konsonan ini dapat terjadi bila artikulator aktifnya adalah ujung lidah
dan artikulator pasifnya adalah gigi atas. Bunyi yang dihasilkan adalah [θ]
yang merupakan konsonan keras tak bersuara yang hambatannya lebih
panjang (seperti dalam „thank‟, „nothing‟, dan „both‟) dan [ð] yang
merupakan konsonan lunak bersuara yang hambatannya lebih pendek
(seperti dalam „then‟, „brother‟, dan „smooth‟).
c. Konsonan geseran apiko-palatal
Konsonan ini dapat terjadi bila artikulator aktifnya adalah ujung lidah
dan artikulator pasifnya adalah langit-langit keras. Bunyi yang dihasilkan
adalah [ṛ] yang termasuk bunyi bersuara (seperti dalam „red‟ dan „very‟).
d. Konsonan geseran lamino-alveolar
Konsonan ini dapat terjadi bila artikulator aktifnya adalah daun lidah
dan ujung lidah sedangkan artikulator pasifnya adalah gusi. Bunyi yang
terjadi adalah [s] yang merupakan konsonan keras tak bersuara yang lebih
panjang hambatannya (seperti dalam „seal‟, „lacy‟, dan „bus‟) dan [z] yang
11
merupakan konsonan lunak bersuara lebih pendek hambatannya (seperti
dalam „zeal‟, „lazy‟, dan „buzz‟).
e. Konsonan geseran apiko-prepalatal
Konsonan ini dapat terjadi bila artikulator aktifnya adalah ujung lidah
dan artikulator pasifnya adalah gusi bagian belakang atau langit-langit
keras depan (prepalatal). Bunyi yang dihasilkan adalah [ʃ] yang merupakan
bunyi keras tak bersuara lebih panjang hambatannya (seperti dalam kata
„shop‟, „nation‟, dan „wash‟) dan [ʒ] yang merupakan bunyi lunak bersuara
lebih pendek hambatannya (seperti dalam kata „measure‟ dan „rouge‟).
f. Konsonan geseran laringal
Konsonan ini dapat terjadi bila artikulatornya adalah sepasang pita
suara. Udara yang dihembuskan dari paru-paru pada waktu melewati glotis
digeserkan. Glotis dalam posisi terbuka. Posisi terbuka ini lebih sempit
dari pada posisi glotis terbuka lebar dalam bernafas normal. Bunyi yang
dihasilkan adalah bunyi [h] yang merupakan konsonan tidak bersuara
karena pita suara tidak ikut bergetar (seperti dalam „her‟ dan „behind‟).
6. Semi-vokal
Bunyi semi-vokal secara praktis termasuk konsonan tetapi karena pada
waktu diartikulasikan belum membentuk konsonan murni, maka bunyi itu
disebut semi-vokal (cf. Verhaar, 1977: 20). Menurut tempat hambatannya
(artikulasi) dapat dibagi menjadi dua seperti berikut.
a. Semi-vokal bilabial dan labio-dental
Semi-vokal ini dapat terjadi bila artikulator aktifnya adalah bibir
bawah dan artikulator pasifnya adalah bibir atas, bunyi yang terjadi adalah
11
[w] bilabial. Dapat juga bibir bawah bekerja sama dengan gigi atas, yang
terjadi adalah [w] labio-dental. Bunyi pada [w] adalah bunyi bersuara
(seperti dalam „watch‟ dan „away‟).
b. Semi-vokal medio-palatal
Semi-vokal ini dapat terjadi bila artikulator aktifnya adalah tengah
lidah dan artikulator pasifnya adalah langit-langit keras. Bunyi yang terjadi
adalah [y] yang termasuk bunyi bersuara (seperti pada „yard‟ dan
„million‟).
Berikut merupakan tabel yang memuat rincian proses pembentukan
konsonan dalam bahasa Inggris tersebut:
Tabel 1.2 Tabel proses pembentukan konsonan dalam bahasa Inggris Hubungan
posisional Cara dihambat
Bersu
ara
da
n
tak
bers
ua
ra
Tempat hambatan (tempat artikulasi
antar
penghambat
(striktur)
(cara artikulasi)
Bil
ab
ial
La
bio
-den
tal
Ap
iko
-den
tal
Ap
iko
-alv
eola
r
Ap
iko
-prep
ala
tal
Ap
iko
-pala
tal
Lam
ino
-alv
eola
r
Med
io-p
ala
tal
Do
rso
-vela
r
Larin
gal
Rapat lepas tiba-
tiba Hambat letup
T p ph t th k kh
B b d ɡ
Rapat lepas tiba-
tiba Nasal (sengau) B m n ŋ
Rapat lepas pelan-pelan
Paduan (afrikat) T tʃ
B dʒ
Renggang lebar Sampingan
(lateral) B l
Renggang Geseran (frikatif) T f θ ʃ s
h
B v ð ʒ ṛ z
Renggang lebar Semi-vokal B w y
2.3.1.1 Teori Production Skill
Bygate (2008: 14) memaparkan bahwa bahasa lisan memberikan
waktu yang terbatas untuk memutuskan hal yang hendak diujarkan, bagaimana
cara mengujarkannya, mulai mengujarkannya, dan memastikan bahwa maksud
11
utama pembicara telah tersampaikan. Di samping itu, Bygate juga menjabarkan
bahwa faktor waktu juga memengaruhi cara bagaimana pembicara menggunakan
bahasanya dalam memaparkan sesuatu yang hendak diutarakannya.
Jika tersedia waktu yang lebih panjang, maka pembicara dapat
mempersiapkan hal-hal yang hendak dikatakan dengan lebih baik dan mantap lagi.
Sebaliknya, jika waktu yang tersedia tidak memungkinkan pembicara untuk
mempersiapkan bahan yang hendak diutarakan, maka kecenderungan hal-hal yang
akhirnya diucapkan menjadi tidak beraturan dapat menjadi lebih besar. Oleh
karena itu, terdapat dua strategi bagi seseorang untuk menjadi pembicara yang
andal dan gagasan dapat tersampaikan dengan lebih optimal.
Pertama, pembicara dapat menerapkan beragam hal untuk
memudahkan menghasilkan ujaran yang tepat. Hal yang dimaksud dapat berupa
gerakan tangan, ekspresi wajah (facial expressions), dan kata konjungsi yang
tepat. Kedua, pembicara harus menyesuaikan diri dengan berlatih berbicara secara
teratur dan lebih sering agar dapat mengatasi kesulitan yang sering ditemukan
dalam konteks berbicara, terutama di depan umum. Hal ini disebabkan oleh para
pembicara pada umumnya memiliki sedikit waktu untuk merencanakan,
mengatur, dan menyampaikan pesan yang hendak diutarakan. Dengan demikian,
mereka kerap menggunakan frasa-frasa tertentu beserta artinya yang besar
kemungkinan tidak begitu dimengerti oleh lawan bicara atau pendengarnya.
2.3.1.2 Teori Keterampilan Berinteraksi dalam Metodologi Bahasa Lisan
Bygate (2008: 22) memaparkan bahwa dalam berinteraksi secara
lisan, baik pembicara maupun pendengar, tidak hanya wajib menjadi „pengolah‟
11
yang baik atas kata-kata yang dihasilkan secara lisan. Akan tetapi, juga harus
dapat menghasilkan bahasa yang koheren (bertalian secara logis) dalam keadaan
yang berbeda-beda dari komunikasi lisan yang terjadi.
Proses komunikasi (berbicara dan menyimak) dapat dikatakan
berjalan dengan optimal dan berhasil jika pembicara dapat mengutarakan hal-hal
yang hendak disampaikan (gagasan dari pikiran mereka) secara tepat dengan cara
yang dapat dipahami oleh pendengar dengan mudah. Barnes (dalam Bygate, 1976)
memaparkan perbedaan yang tajam antara „pembelajaran eksploratori‟ dan
„pembelajaran final draft‟ yang sangat aplikatif dalam kegiatan pembelajaran dan
pengajaran bahasa di kelas.
„Pembelajaran eksploratori‟ merupakan pembelajaran yang
menitikberatkan fokus pada pemahaman setiap aspek dari topik secara merata.
Selain itu, merencanakan tugas tanpa terlampau sering melakukan kesalahan.
Pembelajaran ini mengharapkan para peserta didik untuk bereksperimen dengan
aspek-aspek yang telah dipelajari agar dapat mengetahui hal-hal yang kerap
muncul sebagai bagian-bagian yang terpenting atau yang paling menarik bagi
mereka.
Di sisi lain, „pembelajaran final draft‟ merupakan pembelajaran yang
menitikberatkan fokus pada penghindaran atas terjadinya kesalahan dan
menghasilkan penampilan (performance) yang sempurna dari permulaan.
Pembelajaran ini mengharapkan para peserta didik untuk memahami beragam hal
dengan cepat sebelum mengetahui penggunaan konsep yang ada terkait dengan
topik pembicaraan. Selain itu, diharapkan pula para peserta didik dapat
mengantisipasi perbedaan-perbedaan (dalam hal ini dapat berupa perbedaan antara
11
bahasa pertama/bahasa sumber dan bahasa kedua/bahasa tujuan) tertentu
sebelumnya sehingga tidak perlu mengulang dari awal lagi. Peserta didik juga
diwajibkan lebih cekatan dan efisien dalam memastikan hal-hal yang perlu
ditambahkan atau hal-hal yang perlu dilakukan secara cepat dan rapi dalam
mendukung performa berbicara.
2.3.1.3 Teori Pengaturan Kelas dan Kemampuan Lisan (Oral Skills)
Latihan dalam keterampilan lisan (berbicara) mewajibkan para pihak
yang terlibat dalam proses komunikasi (pembicara dan pendengar) untuk
merundingkan makna dan mengelola interaksi secara bersama-sama. Terdapat
sebuah hubungan antara tingkat kebebasan untuk berunding dan jumlah orang-
orang yang terlibat (Bygate, 2008: 96). Secara keseluruhan, pengajar perlu juga
memperhatikan dan mencermati bagaimana langkah-langkah keterampilan
berbicara ditempuh dan dipelajari. Hal yang terpenting adalah pengajar harus
mampu mengatur kelas agar peserta didik dapat mendengar dengan baik setiap
ujaran yang diucapkan oleh pengajar.
2.3.1.4 Teori Kesalahan Berbahasa
Sebagai tenaga pendidik bahasa, terutama bahasa asing, seorang
pengajar wajib mengetahui dan memahami pengertian kesalahan berbahasa. Hal
ini sangat wajar sekaligus krusial. Artinya, merupakan hal yang mustahil jika
seorang pengajar menyebutkan bahwa seorang peserta didik melakukan kesalahan
dalam konteks berbicara jika sang pengajar tidak memiliki pengetahuan atau teori
landasan tentang konsep kesalahan berbahasa yang memadai. Jika tidak menjadi
11
seorang pengajar bahasa sekalipun, seseorang juga dapat mengetahui jenis
kesalahan yang kemungkinan terjadi jika ia ingin mempelajari landasan tentang
jenis kesalahan berbahasa (terutama dalam penggunaan bahasa kedua dan asing)
secara lebih intensif.
Sesungguhnya kesalahan berbahasa merujuk kepada beberapa
pengertian yang beragam, tetapi kebanyakan orang menganggap bahwa hal
tersebut sama secara keseluruhan, artinya tidak ada perbedaan sama sekali.
Anggapan ini wajib diubah oleh seorang pengajar bahasa. Itulah sebabnya
pengertian kesalahan berbahasa wajib dipahami sebelum mengajarkan atau
membahas bahasa kedua atau bahasa asing.
Corder (dalam Indihadi, 2011: 2--3) mengemukakan bahwa terdapat
tiga jenis kesalahan dalam berbicara, yang dijabarkan sebagai berikut.
1) Lapses merupakan kesalahan berbahasa akibat penutur beralih cara untuk
menyatakan sesuatu sebelum seluruh tuturan (kalimat) selesai dinyatakan
selengkapnya. Untuk konteks bahasa lisan, kesalahan ini diistilahkan sebagai
„slip of the tongue‟, sementara untuk bahasa tulis diistilahkan sebagai „slip of
the pen‟. Kesalahan ini terjadi akibat ketidaksengajaan dan tidak disadari oleh
penuturnya.
2) Error merupakan kesalahan berbahasa akibat penutur melanggar kaidah atau
aturan tata bahasa (breaches of code). Kesalahan ini terjadi akibat penutur
sudah memiliki aturan (kaidah) tata bahasa yang berbeda dari tata bahasa yang
lain sehingga berdampak pada kekurangsempurnaan atau ketidakmampuan
penutur.
11
3) Mistake merupakan kesalahan berbahasa akibat penutur tidak tepat dalam
memilih kata atau ungkapan untuk suatu situasi tertentu. Kesalahan ini
mengacu kepada kesalahan akibat penutur tidak tepat menggunakan kaidah
yang diketahui benar, bukan karena kurangnya penguasaan bahasa kedua.
Melalui pemaparan di atas, dapat dicermati bahwa ketiga istilah
tersebut memiliki makna yang tidak dapat diseragamkan. Dengan memahami
setiap perbedaan makna istilah-istilah di atas, maka seorang pengajar dapat
membuat determinasi atau menentukan jenis kesalahan yang dibuat oleh peserta
didik saat praktikum berbicara.
Menurut Corder (1981) dalam Zhang (2013: 86), kesalahan peserta
didik secara signifikan dapat terjadi dalam tiga cara. Pertama, bagi pengajar,
kesalahan peserta didik dapat menunjukkan seberapa jauh tujuan pembelajaran
telah tercapai dan bagian mana yang belum. Kedua, bagi peneliti, kesalahan-
kesalahan yang ada dapat menyediakan semacam bukti atas terlaksananya proses
pembelajaran. Ketiga, bagi peserta didik sendiri, kesalahan yang terjadi
merupakan cara mereka untuk menguji hipotesis terhadap bahasa yang sedang
dipelajari.
Terkait dengan cara pembelajaran bahasa, Corder menyatakan bahwa
kesalahan (baik berupa error ataupun mistake) dapat dimanfaatkan sebagai
„koreksi diri otomatis‟ dan tidak dapat dihitung sebagai sebuah kesalahan.
Meskipun demikian, jika kita berpikir bahwa bahasa peserta didik merupakan
suatu hal yang sangat sistematik dan memiliki aturan gramatikal tersendiri, harus
diakui bahwa apa pun yang diutarakan oleh peserta didik saat mencoba
berkomunikasi dengan bahasa tersebut adalah „tepat‟ dalam tataran interlanguage
11
mereka. Corder (1981) dalam Zhang (2013: 88) memaparkan bahwa setiap ujaran
yang dihasilkan bersifat gramatikal, kecuali terjadi kesalahan (mistake) atau slip of
tongue/pen. Khusus untuk pengidentifikasian kesalahan dalam setiap ujaran,
kesalahan yang ada harus disesuaikan dengan konteks situasional dan tema/topik
yang sesuai pula. Akan tetapi, terkadang sebuah kalimat yang tertata dengan baik
telah memenuhi persyaratan gramatikal, tetapi tidak berterima secara konteks.
Satu-satunya pemecahan atas masalah kesalahan pelafalan yang
disarankan oleh Corder adalah setiap kalimat yang diujarkan peserta didik wajib
dianalisis secara menyeluruh. Artinya, dikenali dan ditelusuri jenis kesalahannya
melalui struktur atau penyusunan yang tidak tepat dengan aturan gramatikal
bahasa sasaran. Di samping itu, kalimat-kalimat tersebut diperbaiki dan diberikan
beberapa keterangan atau penjelasan tentang aspek-aspek yang telah diperbaiki.
Hal lainnya adalah adanya interferensi bahasa ibu yang juga dapat menjadi salah
satu hal yang umumnya dapat memengaruhi cara seseorang melafalkan ujaran
dalam bahasa kedua ataupun bahasa asing.
2.3.2 Teori Pembelajaran
Selain teori linguistik – fonetik, teori pembelajaran juga menjadi salah
satu teori yang berperan krusial dalam penelitian ini. Hal ini tentu berkaitan
dengan pola belajar setiap mahasiswa dalam memahami ilmu yang berkaitan
dengan front office dan aspek-aspek yang terdapat di dalamnya. Artinya,
bagaimana cara mereka menyerap materi dan berlatih menggunakannya dalam
kegiatan praktikum. Terdapat dua teori pembelajaran yang digunakan, yaitu teori
belajar behaviorisme dan nativisme.
11
2.3.2.1 Teori Belajar Behaviorisme
Salah satu cara yang sesuai diterapkan dalam konteks berbicara adalah
pengoptimalan teori behaviorisme dalam aspek pengajaran bahasa Inggris. Teori
behaviorisme berasal dari kata behavior yang bermakna „tingkah laku‟. Teori ini
menyoroti dua hal utama, yaitu aspek perilaku kebahasaan seseorang yang dapat
diamati secara langsung dan keterkaitan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi
(response). Dengan adanya reaksi yang tepat terhadap rangsangan kebahasaan
yang diberikan berdampak pada perilaku bahasa yang efektif. Teori ini lebih
menekankan pada penerapannya pada pemerolehan bahasa pertama meskipun hal
serupa juga berlaku pada pemerolehan bahasa kedua ataupun bahasa asing.
Salah satu tokoh behaviorisme yang terkemuka adalah Burrhusm
Frederic Skinner meskipun John Broadus Watson dianggap sebagai pelopor utama
teori ini. Secara spesifik, teori ini juga memaparkan istilah „tabula rasa‟ yang
merujuk pada pemahaman bahwa setiap bayi yang dilahirkan diumpamakan
seperti kertas kosong yang nantinya akan „ditulisi‟ dengan beragam pengalaman,
termasuk pengalaman linguistik/kebahasaan. Untuk selanjutnya, kecakapan
kebahasaan seseorang dapat dipantau melalui tingkat kemajuan dari prinsip
stimulus-respons. Di samping itu, ditambah dengan proses imitasi (peniruan –
bagaimana seseorang memahami bahasa dan aspek-aspek linguistik di dalamnya
dengan cara meniru orang lain di sekitarnya).
Tarigan (2009: 114) memaparkan kaitan teori behaviorisme yang
mendasari pengajaran kemampuan berbicara, yaitu mengembangkan dalam diri
para peserta didik kemampuan yang (setidaknya) menyerupai kemampuan para
penutur asli. Teori behaviorisme menitikberatkan pendekatan pembelajaran
11
terhadap aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung dan hubungan
antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (respons) yang dapat mengubah tingkah
laku seseorang. Dapat dikatakan bahwa anak mempelajari bahasa pertama melalui
respons yang tepat terhadap kondisi sekitarnya.
Terkait dengan pemerolehan bahasa, baik bahasa kedua maupun
bahasa asing, Lado (1964) juga memaparkan bahwa seseorang akan cenderung
menerapkan aturan atau kaidah kebahasaan yang ada dalam bahasa pertama saat
mulai mempelajari bahasa kedua, terlebih lagi saat mempelajari bahasa asing. Hal
ini berdampak pada kesalahan pembentukan pola frasa hingga kalimat yang
diproduksi. Contoh, seorang anak berbahasa pertama bahasa Indonesia dapat saja
mengatakan frasa „buku baru‟, „mobil mahal‟, dan „kucing hitam‟ sebagai „book
new‟, „car expensive‟, dan „cat black‟ yang seharusnya menjadi „new book‟,
„expensive car‟, dan „black cat‟. Fenomena ini dapat terjadi karena struktur pola
frasa dalam bahasa Indonesia berbeda dengan yang ada pada bahasa Inggris.
Dalam struktur frasa bahasa Indonesia, kata benda (contoh: buku, mobil, dan
kucing) yang ada diikuti oleh kata sifat (contoh: baru, mahal, dan hitam). Di sisi
lain, struktur yang dimiliki bahasa Inggris meletakkan kata sifat (contoh: new,
expensive, dan black) sebelum kata benda (contoh: book, car, dan cat). Oleh
karena itu, dibutuhkan pemahaman yang baik dan latihan yang intensif agar dapat
menerapkan struktur yang sesuai dalam bahasa kedua ataupun asing melalui
pelafalan yang tepat (proper pronunciation).
Secara keseluruhan, teori ini juga mengenal adanya konsep „peniruan‟
dan „pengulangan – latihan berulang-ulang (drill)‟. Istilah „drill‟ di sini merujuk
kepada sebuah kegiatan yang melatih kemampuan khusus/tertentu secara terus
11
menerus dan berkesinambungan. Artinya, seseorang dapat melaksanakan suatu
kegiatan, terutama kegiatan berbahasa, dengan meniru cara pihak lain dan
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari melalui melatih diri
melaksanakannya secara konsisten. Dua konsep ini selanjutnya menjadi dua kunci
keberhasilan seseorang dalam proses belajar menurut teori behaviorisme.
Berdasarkan pemahaman sebelumnya, dapat dicermati bahwa jika terdapat banyak
aspek linguistik yang serupa antara bahasa pertama dan bahasa kedua ataupun
bahasa asing, maka seseorang dapat memperoleh atau memahami struktur bahasa
kedua atau bahasa asing dengan jauh lebih mudah.
Di lain pihak, jika struktur bahasa pertama berbeda, bahkan sangat
jauh berbeda dengan bahasa kedua atau bahasa asing, maka seseorang dapat
mengalami kesulitan atau kendala dalam memahaminya. Selain proses
imitasi/peniruan, paham ini juga menganjurkan agar seseorang membiasakan diri
(proses habituation) dengan aspek linguistik yang ada saat mempelajari bahasa
baru. Satu hal lain yang tidak kalah krusial adalah dalam teori pembelajaran
bahasa behaviorisme juga terdapat pengembangan metode drill atau lebih
memperbanyak latihan penggunaan bahasa tersebut, baik secara lisan maupun
tertulis.
Proses pembelajaran dapat dikatakan telah berjalan dengan baik jika
peserta didik mampu menunjukkan perubahan tingkah lakunya menuju arah yang
positif atau pada akhirnya terdapat perbedaan kondisi kebahasaan atau ilmu
pengetahuan pada peserta didik (dalam hal ini telah meningkat). Dalam proses
pembelajaran sedapat mungkin tersedia peranti pembelajaran tertentu yang dapat
menstimulus minat peserta didik untuk tertarik kepada materi yang diberikan.
11
2.3.2.2 Teori Belajar Nativisme
Istilah nativisme berasal dari kata native yang bermakna „asli‟ atau
„asal‟. Teori ini meyakini bahwa setiap manusia sudah dibekali dengan alat
pemerolehan bahasa (language acquisition device atau LAD) sejak dilahirkan. Hal
inilah yang kemudian berperan signifikan dalam menentukan pertumbuhan dan
perkembangan anak tersebut selanjutnya.
Salah satu tokoh nativisme yang terkemuka adalah Noam Chomsky. Ia
berpendapat bahwa perilaku berbahasa merupakan sesuatu yang diturunkan secara
genetik sementara lingkungan hanya berperan kecil dalam proses pematangan
bahasa. Ia memperjelas pendapatnya dengan menyatakan bahwa lingkungan
bahasa anak tidak mampu menyediakan data yang cukup bagi penguasaan tata
bahasa serumit yang telah dipahami oleh orang dewasa. Tanpa LAD, tidak
mungkin seorang anak dapat menguasai bahasa dalam waktu singkat dan mampu
menguasai sistem bahasa yang rumit.
Terkait dengan sikap yang berlawanan dengan teori behaviorisme,
dalam Kristianty (2006: 32) dipaparkan bahwa teori nativisme juga berpendapat
bahwa ujaran seorang anak bukan merupakan „tiruan‟ dari apa yang didengarnya
dan terlebih dalam beberapa kasus ditemukan bahwa anak-anak dapat membentuk
kalimat atau ujaran yang belum pernah didengar. Dua hal ini dapat menjadi
sebuah indikator bahwa teori nativisme juga dapat berpengaruh terhadap proses
komprehensi seseorang dalam pemerolehan bahasa kedua (atau asing sekalipun)
selain teori behaviorisme.
11
2.3.3 Teori Kartu Flash Card Glenn Doman
Selain teori berbicara, tulisan ini juga menerapkan teori Glenn
Doman. Teori ini menggunakan metode dengan cara kerja tematik. Metode
tematik ini dirancang khusus untuk mengoptimalkan potensi mahasiswa sehingga
pengajar hanya berperan sebagai fasilitator. Metode ini berpusat pada peserta
didik – dalam hal ini mahasiswa – (student-centered), tetapi dalam pengajaran
dapat dilakukan dalam pola permainan sehingga tidak membosankan. Teori untuk
kartu flash card sangat berguna untuk menambah perbendaharaan kata pada
peserta didik. Kartu ini berisi gambar beserta kata-kata atau penjelasan lainnya.
Dalam penelitian ini, seluruh seri kartu tematik dibagikan kepada para
mahasiswa yang telah dibagi menjadi beberapa kelompok kecil untuk kemudian
disimak bersama-sama. Mereka berlatih cara melafalkan kata-kata tertentu secara
berulang-ulang kemudian menukar kartu tersebut dengan kartu berbeda dari
kelompok lainnya sehingga mereka menyimak seluruh seri kartu yang ada.
2.4 Model Penelitian
Penelitian tindakan kelas atau PTK (classroom action research)
memiliki peranan yang sangat penting dan strategis untuk meningkatkan mutu
pembelajaran apabila diimplementasikan dengan baik dan benar (Kusnandar,
2010: 41). Dari segi pengertian istilah, Kusnandar juga mengungkapkan bahwa
PTK merupakan penelitian tindakan yang dilakukan dengan tujuan memperbaiki
mutu praktik pembelajaran di kelas, sementara fokus PTK terdapat pada peserta
didik atau PBM (proses belajar mengajar) yang terjadi di kelas. Tujuan utama
PTK adalah untuk memecahkan permasalahan nyata yang terjadi di kelas dan
11
meningkatkan kegiatan nyata guru dalam kegiatan pengembangan profesinya
(Kusnandar, 2010: 45).
Penelitian tindakan kelas terdiri atas beberapa langkah yang terealisasi
dalam bentuk kegiatan pembelajaran dan pengajaran. Dengan adanya perincian
yang jelas, maka dapat dibuat kepastian yang baik terkait dengan tujuan
pembelajaran. Dalam praktik di lapangan, setiap pokok bahasan biasanya tidak
dapat diselesaikan dalam satu langkah sehingga setiap satu langkah menjadi
sangat krusial dan berperan signifikan untuk langkah berikutnya.
Pembelajaran materi kantor depan
(front office)
Mahasiswa
Kondisi kemampuan
awal (threshold level)
para mahasiswa
Pelaksanaan teknik
kartu tematik terhadap
para mahasiswa Aspek-aspek fonetis
yang menjadi kendala
Penerapan teknik kartu tematik
bergambar yang dilengkapi
deskripsi (Teori Kartu Flash
Card Glenn Doman)
Teori Linguistik –
Fonetik dan Teori
Pembelajaran
Penelitian tindakan
kelas (PTK)
Analisis data
Hasil penelitian tentang pelafalan bahasa
Inggris materi front office melalui kartu
tematik Catatan: : menunjukkan hambatan atau kesulitan
: menunjukkan hubungan selanjutnya
: menunjukkan keterkaitan satu aspek dengan aspek yang lain
Gambar 2.2 Model Penelitian
Konsep bermain peran
11
Model penelitian tersebut berperan sangat penting sebagai panduan
dalam penelitian ini karena memiliki keterkaitan antara rumusan masalah yang
ada, teori yang digunakan, dan hasil yang diperoleh yang tentunya merujuk pada
pemecahan masalah. Berikut ini merupakan penjabaran terkait dengan gambar
model penelitian di atas.
1. Sesuai dengan topik utama penelitian ini (pelafalan bahasa Inggris,
khususnya untuk materi front office bagi mahasiswa) penelitian difokuskan pada
pemecahan tiga hal yang menjadi permasalahan atas kendala yang ditemukan
dalam proses pembelajaran. Pertama, mengetahui kondisi kemampuan dasar
(threshold level) pelafalan para mahasiswa terkait dengan konteks pembelajaran
front office sebelum teknik kartu tematik dilaksanakan. Kedua, terkait dengan
bentuk pelaksanaan teknik kartu tematik terhadap para mahasiswa saat praktikum
untuk menghasilkan pelafalan yang tepat. Ketiga, mengetahui aspek-aspek fonetis
yang menjadi kendala dasar dalam pelaksanaan praktik berbicara para mahasiswa.
Pembatasan pembahasan berperan sangat krusial untuk menjaga agar pemecahan
masalah dapat diselesaikan dengan tepat dan tidak melebar.
2. Teori yang digunakan untuk pemecahan masalah yang ada terbagi
atas dua teori utama, yaitu teori lingustik dan teori pembelajaran. Teori linguistik
mengacu pada teori Ladefoged dan Johnson (2010). Selanjutnya teori ini dibagi
menjadi beberapa subteori, yaitu teori production skill, teori keterampilan
berinteraksi dalam metodologi bahasa lisan, teori pengaturan kelas dan
kemampuan lisan (ketiganya oleh Bygate (2008)). Teori-teori itu dilengkapi
dengan teori kesalahan berbahasa oleh Corder (1974) dalam Indihadi (2--3).
11
Teori kedua, yaitu teori pembelajaran terdiri atas teori belajar
behaviorisme dan teori belajar nativisme. Permasalahan pelafalan yang ditemukan
dapat dipecahkan melalui sudut pandang behaviorisme terlebih dahulu dan
kemudian ditinjau juga dari sudut pandang nativisme. Hal ini disebabkan oleh
kedua teori tersebut terlihat agak berlawanan, tetapi dari keduanya dapat ditarik
suatu benang merah untuk mengetahui teori belajar yang digunakan oleh para
mahasiswa dalam mempelajari bahasa asing.
3. Di samping kedua teori utama yang telah disebutkan sebelumnya,
ditambahkan sebuah teori pelengkap, yaitu teori kartu flash card oleh Glenn
Doman. Teori ini sangat relevan karena membahas tentang penggunaan media alat
bantu pengajaran yang digunakan dalam penelitian ini (kartu tematik bergambar).
Secara keseluruhan, semua teori ini berperan penting saat digunakan untuk
mengolah data dari beberapa sampel yang mewakili jumlah total subjek penelitian
dan memecahkan setiap rumusan masalah yang ada.
4. Pelaksanaan teknik kartu tematik dalam penelitian ini juga
didukung dengan penerapan konsep bermain peran. Dapat dijabarkan bahwa
setelah para mahasiswa mengetahui dan memahami beragam istilah terkait dengan
konteks kantor depan, mereka juga harus mampu menerapkan dan menggunakan
istilah tersebut. Selama pelaksanaan penelitian dan pengambilan nilai, teknik kartu
tematik dan konsep bermain peran bersinergi dan saling menunjang satu dengan
yang lain untuk meningkatkan kemampuan pelafalan para mahasiswa saat
praktikum. Dalam hal ini, teknik kartu tematik berperan untuk memberikan
pemahaman menyeluruh tentang istilah-istilah dalam materi operasi kantor depan
kepada mahasiswa dan cara melafalkan istilah tersebut dengan tepat. Setelah tahap
11
pemahaman, konsep bermain peran memiliki fungsi untuk menguji para
mahasiswa dalam menerapkan istilah yang telah dipelajari ke dalam tataran
kalimat atau ujaran.
Konsep ini memiliki peran yang krusial karena pengambilan nilai dan
data dilaksanakan dengan cara bermain peran. Sebagai contohnya, salah satu
mahasiswa berperan sebagai resepsionis dan mahasiswa yang lain berperan
sebagai tamu hotel yang diminta berdialog sesuai dengan tema yang diberikan.
Dengan bermain peran secara bergantian, kegiatan ini akan memantapkan
sekaligus menyiapkan diri mereka sebelum memasuki dunia kerja sesungguhnya.
5. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) sehingga
pelaksanaannya membutuhkan tiga tahapan, yaitu tahap pratindakan, siklus I, dan
siklus II. Hasil pengamatan yang diperoleh pada tahap pratindakan dijadikan
sebagai bahan acuan dalam menyusun perencanaan pembelajaran pada siklus I
dan II. Terkait dengan prosedur yang diterapkan terhadap data merujuk pada
beberapa tahapan kerja, yaitu pengumpulan data, analisis data, dan penyajian data.
6. Khusus pada tahap analisis data, data yang telah terkumpul
dianalisis dengan dua metode, yaitu data berupa angka/numerik dianalisis dengan
metode kuantitatif dan data berupa hasil observasi/pengamatan, wawancara, dan
dokumentasi dianalisis dengan metode kualitatif untuk mendapatkan informasi
tentang perilaku mahasiswa terkait dengan penelitian dalam setiap siklus hingga
akhir penelitian.
7. Melalui penerapan teori, diperoleh hasil penelitian berupa data
yang disajikan dalam dua jenis. Data yang bersifat kuantitatif disajikan dalam