45
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka kajian pustaka memusatkan penelitian tentang peningkatan kemampuan berbicara dan sistem pelafalan para mahasiswa Fakultas Manajemen Universitas Dhyana Pura dalam konteks pembelajaran front office melalui pengembangan teknik kartu tematik. Terkait dengan kajian ini terdapat beberapa penelitian atau jurnal yang menggunakan kata kunci „kartu bergambar‟, tetapi kebanyakan menerapkan hanya pada peserta didik jenjang sekolah dasar (SD). Artinya, jarang yang menggunakannya di bangku sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK), apalagi untuk jenjang universitas. Untuk menghindari kesamaan dan mengetahui kelemahan penelitian sebelumnya dan keunggulan penelitian terbaru ini, dapat diberikan gambaran atau review singkat tentang dua penelitian yang memiliki relevansi tema. Gambaran singkat tersebut dapat dilihat dalam pemaparan di bawah ini. Pertama, jurnal pendidikan dan pembelajaran berjudul “Teknik Penguasaan Kosakata dalam Pembelajaran Bahasa Inggris di Sekol ah Dasar” oleh Liza Dwi Jayanti dkk. dari FKIP, PGSD Universitas Sebelas Maret. Tulisan itu dapat dilihat di laman jurnal.fkip.uns.ac.id. Dari tulisan pertama itu diketahui bahwa penguasaan kosakata bahasa Inggris para peserta didik di jenjang sekolah 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka kajian

pustaka memusatkan penelitian tentang peningkatan kemampuan berbicara dan

sistem pelafalan para mahasiswa Fakultas Manajemen Universitas Dhyana Pura

dalam konteks pembelajaran front office melalui pengembangan teknik kartu

tematik. Terkait dengan kajian ini terdapat beberapa penelitian atau jurnal yang

menggunakan kata kunci „kartu bergambar‟, tetapi kebanyakan menerapkan hanya

pada peserta didik jenjang sekolah dasar (SD). Artinya, jarang yang

menggunakannya di bangku sekolah menengah pertama (SMP), sekolah

menengah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK), apalagi untuk jenjang

universitas.

Untuk menghindari kesamaan dan mengetahui kelemahan penelitian

sebelumnya dan keunggulan penelitian terbaru ini, dapat diberikan gambaran atau

review singkat tentang dua penelitian yang memiliki relevansi tema. Gambaran

singkat tersebut dapat dilihat dalam pemaparan di bawah ini.

Pertama, jurnal pendidikan dan pembelajaran berjudul “Teknik

Penguasaan Kosakata dalam Pembelajaran Bahasa Inggris di Sekolah Dasar” oleh

Liza Dwi Jayanti dkk. dari FKIP, PGSD Universitas Sebelas Maret. Tulisan itu

dapat dilihat di laman jurnal.fkip.uns.ac.id. Dari tulisan pertama itu diketahui

bahwa penguasaan kosakata bahasa Inggris para peserta didik di jenjang sekolah

10

11

dasar sangat rendah. Hal itu dapat dibuktikan dengan rendahnya pemahaman

mereka terhadap materi yang diberikan oleh guru.

Atas dasar itulah, peneliti mengadakan penelitian tentang kegiatan

pembelajaran dengan menggunakan media gambar; bagaimana para peserta didik

dapat memahami dan menjelaskan apa yang tergambar. Gambar yang digunakan

pada umumnya adalah berupa foto atau gambar yang sudah ada dan dapat

ditemukan di media cetak. Teknisnya adalah gambar-gambar yang ada

dikumpulkan secara acak dalam sebuah kotak yang diletakkan di depan kelas.

Selanjutnya guru membacakan sebuah kata, misalkan komputer, dan para peserta

didik diharapkan dapat mencari gambar yang dimaksud. Setelah mendapatkan

gambar, mereka harus kembali ke tempat start (awal). Peserta didik yang paling

cepat mengumpulkan kartu harus menyebutkan kembali nama benda tersebut.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam tulisan pertama, media gambar berperan

sebagai alat untuk memperkenalkan suatu kata baru dalam bahasa Inggris kepada

peserta didik.

Kedua, jurnal pendidikan dan pembelajaran berjudul “Upaya

Meningkatkan Penguasaan Kosakata Bahasa Inggris melalui Penggunaan Media

Kartu Domino Kata Bergambar Siswa Kelas V SD” oleh Puji Mar Atul Khasanah,

dkk. dari FKIP, PGSD Universitas Sebelas Maret. Tulisan itu dapat dilihat di

laman jurnal.fkip.uns.ac.id. Hampir serupa dengan tulisan pertama, penggunaan

media gambar dalam penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan penguasaan

kosakata bahasa Inggris para peserta didik. Dalam tulisan kedua ini, peneliti

berpendapat bahwa kosakata merupakan bagian penting dari pembelajaran bahasa

Inggris, tetapi justru sering diabaikan fungsinya. Pemahaman yang baik terhadap

11

kosakata dalam bahasa Inggris berperan sangat penting bagi para peserta didik

sehingga mereka dapat membaca, menulis, dan mengartikan kata-kata dalam

bahasa Inggris. Tanpa mengetahui kosakata, dapat dipastikan peserta didik

mengalami hambatan dalam proses pembelajaran sebab peneliti juga berpendapat

bahwa kosakata merupakan materi awal atau dasar yang harus diajarkan sebelum

masuk ke materi berikutnya.

Satu hal yang membedakan adalah media yang digunakan dalam

penelitian ini lebih mengkhusus dibandingkan dengan media yang digunakan

dalam tulisan pertama, yaitu kartu domino bergambar. Peneliti berpandangan

bahwa kartu domino dapat berperan sebagai media pembelajaran yang baik karena

dengan unsur permainan yang terkandung di dalamnya, para peserta didik

distimulus untuk berperan serta secara aktif dalam kegiatan bermain sambil

belajar. Semakin sering para peserta didik belajar menggunakan kartu ini, maka

mereka dapat menambah pengetahuan tentang kosakata baru tanpa disadari. Jadi,

dapat disimpulkan bahwa dalam tulisan kedua, penggunaan media kartu domino

kata bergambar dapat meningkatkan penguasaan kosakata bahasa Inggris.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dicermati bahwa sejauh ini belum

ada penelitian yang membahas secara khusus tentang pengembangan media

pembelajaran berupa kartu tematik yang digambar secara manual dan berseri

untuk pembelajaran khusus dalam kelas English for Specific Purpose. Kelas

bahasa Inggris untuk tujuan khusus ini diperuntukkan bagi mahasiswa kelas

Fakultas Manajemen Perhotelan yang menitikberatkan pengajaran berbasis

pariwisata terutama perhotelan.

11

Materi dituangkan secara lengkap dalam bentuk gambar berseri yang

diharapkan dapat meningkatkan kecakapan berbicara para mahasiswa secara

bertahap. Kartu memuat gambar, informasi penjelas, dialog, dan keterangan

tambahan tentang materi yang mampu menambah wawasan dan informasi bagi

mereka. Seluruh variabel yang ada dalam kartu tematik disesuaikan dengan materi

yang diajarkan sesuai dengan konteks pembelajaran tentang front office. Terlebih

lagi, satu nilai plus dari kartu ini adalah adanya gambar yang atraktif yang sangat

menarik perhatian para mahasiswa.

Diharapkan juga para guru bahasa Inggris agar dapat menerapkan

media bergambar ini untuk menambah minat dan motivasi para mahasiswa dalam

mempelajari bahasa Inggris dan menerapkannya dalam dunia kerja nantinya. Hal

ini penting karena para mahasiswa yang menempuh pendidikan di Fakultas

Manajemen Perhotelan tentunya diharapkan dapat menjadi lulusan yang siap

bersaing dalam dunia kerja sesungguhnya. Dengan bekal kecakapan dalam

berbahasa asing (dalam hal ini bahasa Inggris) sangat membantu mereka untuk

menjadi pelaku bidang perhotelan yang terampil dan memiliki daya saing yang

tinggi.

2.2 Konsep

Konsep yang diterapkan dalam penelitian harus bersifat ekuivalen dan

sesuai agar dapat digunakan sebagai dasar untuk pembahasan atau analisis atas

persoalan yang ada. Terdapat lima konsep yang digunakan dalam penelitian ini,

yaitu konsep berbicara, konsep sistem bunyi, konsep pembelajaran front office,

konsep kartu tematik, dan konsep pelafalan. Tiap-tiap konsep yang ada

11

menunjukkan seluruh variabel yang berpengaruh pada penelitian ini. Hal tersebut

dapat menjawab dan memecahkan rumusan permasalahan yang telah disusun

sebelumnya.

2.2.1 Konsep Berbicara

Konsep utama yang digunakan dalam tulisan ini menggunakan konsep

berbicara dari pustaka acuan berupa buku Speaking karya Martin Bygate.

Berbicara sebagai salah satu dari empat keterampilan berbahasa (selain

menyimak, membaca, dan menulis) telah menjadi faktor penentu dalam

menentukan kecakapan seseorang dalam ranah bahasa, terlebih dalam ranah

bahasa asing. Bygate (2008) memaparkan bahwa berbicara merupakan sebuah

keterampilan atau kecakapan yang layak untuk mendapatkan perhatian khusus

selain keterampilan lainnya, baik dalam bahasa pertama maupun bahasa kedua.

Hal ini merupakan sebuah hal yang sangat mendasar karena berbicara melibatkan

sebuah proses bagaimana membahasakan atau mengutarakan sesuatu yang ada

dalam otak (pikiran).

Konsep berbicara yang dipaparkan oleh Bygate sangat berguna saat

diterapkan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dasar berbicara (threshold

level) para peserta didik. Di sinilah diperlukan kemampuan pengajar untuk dapat

mengajak, mengimbau, dan membuat para peserta didik berbicara atau

mengutarakan sesuatu. Dengan memberikan para peserta didik kesempatan yang

lebih banyak untuk berlatih „berbicara‟ dan ujian lisan (oral exams), pengajar

dapat mengetahui bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara pengetahuan

tentang sebuah bahasa dan keterampilan dalam menggunakan bahasa tersebut.

11

Itulah sebabnya mengapa akhirnya disadari bahwa baik „pengetahuan kebahasaan‟

maupun „keterampilan berbahasa‟ merupakan dua hal yang sangat krusial dalam

proses pembelajaran dan pengajaran berbicara.

2.2.2 Konsep Sistem Bunyi

Terkait dengan konteks berbicara, Ladefoged dan Johnson (2010: 88)

memaparkan bahwa sistem bunyi dalam bahasa Inggris dapat dikelompokkan

menjadi tiga bagian. Ketiga sistem bunyi tersebut adalah sebagai berikut.

1. Vokal

Vokal bervariasi antara rentang vokal atas dan rendah. Dalam hal ini,

dapat dipahami bahwa vokal dapat diproduksi dengan menggerakkan lidah dan

bibir. Secara sederhana vokal juga dapat dimaknai sebagai huruf hidup yang

dalam pembentukannya melalui proses udara yang keluar melalui tenggorokan

dan mulut tanpa hambatan.

Gambar 2.1 Bagan Vokal dalam Bahasa Inggris (Ladefoged dan

Johnson, 2010: 88)

Depan tinggi Belakang tinggi

i u

e ә o

æ ɑ

Depan rendah Belakang rendah

11

2. Diftong

Bunyi yang diproduksi dengan melibatkan perubahan dalam vokal

tertentu melalui pemindahan satu posisi vokal ke posisi vokal yang lain. Diftong

dalam bahasa Inggris dapat berupa eɪ (dalam kata „day‟ [deɪ]), әʊ (dalam kata „go‟

[gәʊ]), aɪ (dalam kata „ice‟ [aɪs]), aʊ (dalam kata „bow‟ [baʊ]), ɔɪ (dalam kata

„joy‟ [dʒɔɪ]), ɪә (dalam kata „hear‟ [hɪә(r)]), eә (dalam kata „hair‟ [heә(r)]), dan ʊә

(dalam kata „cure‟ [kjʊә(r)]).

3. Konsonan

Bunyi yang dalam pembentukannya melalui proses udara yang tidak

keluar secara lancar melalui mulut dan tenggorokan, tetapi mengalami hambatan

atau penyempitan sehingga menghasilkan bunyi seperti gesekan. Jika dilihat dari

proses terjadinya bunyi (secara umum), konsonan dapat dikategorikan sebagai

berikut.

1) Bilabial merupakan bunyi yang diproduksi dengan menyentuhkan dua bagian

bibir, seperti yang dapat didengarkan dalam kata „pie‟, „buy‟, dan „my‟.

2) Labiodental merupakan bunyi yang diproduksi saat bibir bawah dan gigi

depan atas bersentuhan, seperti yang dapat didengarkan dalam kata „five‟ dan

„vie‟.

3) Dental merupakan bunyi yang diproduksi melalui gesekan ujung lidah dan

gigi depan bagian atas, seperti yang dapat didengarkan dalam kata „thigh‟ dan

„thy‟.

4) Alveolar merupakan bunyi yang diproduksi melalui gesekan ujung lidah dan

lengkung alveolar (bagian belakang dari gigi depan atas), seperti yang dapat

didengarkan dalam kata „tie‟, „zeal‟, dan „sigh‟.

11

5) Retrofleks merupakan bunyi yang diproduksi melalui gesekan dari ujung lidah

dan bagian belakang lengkung alveolar, seperti yang dapat didengarkan dalam

kata „rye‟, „row‟, dan „ray‟.

6) Palatoalveolar merupakan bunyi yang diproduksi melalui gesekan lidah dan

bagian belakang dari lengkung alveolar, seperti yang dapat didengarkan dalam

kata „shy‟, „she‟, dan „show‟.

7) Palatal merupakan bunyi yang diproduksi melalui gesekan bagian depan lidah

dan langit-langit keras mulut, seperti yang dapat didengarkan dalam kata

„you‟.

8) Velar merupakan bunyi yang diproduksi melalui gesekan bagian belakang

lidah dan langit-langit lunak mulut, seperti yang dapat didengarkan dalam

bagian akhir dari kata-kata „hack‟, „hag‟, dan „hang‟.

Secara umum, sistem bunyi dalam bahasa Inggris berbeda dengan

sistem bunyi dalam bahasa Indonesia. Terdapat beberapa vokal dan konsonan

dalam bahasa Inggris yang tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia. Selain itu,

dalam ranah konsonan, dalam bahasa Inggris juga terdapat kluster, yaitu sejumlah

konsonan yang membentuk sebuah kata yang dibaca dalam satu napas, seperti

„str‟ dan „pr‟ dalam kata „struggle‟, „pronunciation‟, „strategy‟, „pragmatic‟, dan

sebagainya. Dalam bahasa Indonesia, kluster dapat terjadi pada kata-kata yang

merupakan kata serapan dari bahasa asing seperti „instrumen‟, „strategi‟, dan

„struktur‟.

Sebuah hal yang jamak ditemukan di lapangan bahwa terdapat

beberapa permasalahan atau kendala yang dihadapi dalam proses pembelajaran

dan pengajaran bahasa asing (dalam hal ini bahasa Inggris). Hal-hal tersebut wajib

11

disadari oleh para pengajar agar hal ini tidak secara berkesinambungan menjadi

kendala dalam proses pengajaran. Oleh karena itu, selain pemahaman tentang tata

bahasa (grammar) dan perbendaharaan kata (vocabulary), konsep tentang

berbicara wajib diketahui oleh para pengajar bahasa Inggris.

2.2.3 Konsep Pembelajaran Front Office

Menurut Suwithi dan Boham (2008: 64), hotel dapat didefinisikan

sebagai sebuah bangunan yang dikelola secara komersial dengan memberikan

fasilitas penginapan untuk umum. Fasilitas pelayanan hotel meliputi pelayanan

makan dan minum, pelayanan kamar, pelayanan barang bawaan, pencucian

pakaian, dan dapat menggunakan fasilitas/perabotan dan menikmati hiasan-hiasan

yang ada di dalamnya. Secara umum, struktur organisasi sebuah hotel dapat dibagi

menjadi dua fungsi utama, yaitu organisasi kantor depan (front office) dan

organisasi kantor belakang (back office) (Suwithi dan Boham, 2008: 64).

Khusus untuk organisasi kantor depan, organisasi ini memegang

peranan yang sangat penting untuk sebuah hotel karena bagian ini menjadi cermin

atas kualitas hotel yang selalu berhubungan dan bersentuhan langsung dengan

para tamu yang menginap. Bagian/posisi yang termasuk di dalam organisasi ini

adalah bagian reservasi, front office, divisi pengurusan ruangan/kamar hotel (room

division), bagian pengaturan makanan dan minuman (food and beverage), dan

bagian keamanan di area depan hotel (security). Kantor depan hotel (front office)

bertugas di wilayah depan hotel, yaitu meliputi area keluar masuk tamu, lobby,

dan lounge.

11

Bagian kantor depan hotel (front office) memiliki beberapa tujuan

utama. Menurut Suwithi dan Boham (2008: 69), tujuan utama kantor depan hotel

adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan tingkat hunian kamar serta pendapatan hotel dari tahun ke

tahun.

2. Meningkatkan jumlah tamu langganan.

3. Memenuhi kebutuhan dan kepuasan tamu secara baik, tepat, dan cepat kepada

tamu.

4. Membentuk citra hotel yang positif.

Dalam mewujudkan tujuan hotel, setiap petugas yang bertugas

memiliki fungsi untuk dilaksanakan setiap hari. Fungsi tersebut dapat dijabarkan

seperti berikut.

1. Menjual kamar meliputi menerima pemesanan kamar, melakukan pendaftaran

tamu, dan memblok kamar.

2. Memberikan informasi mengenai seluruh produk, fasilitas, pelayanan, dan

aktivitas yang ada, baik di hotel maupun di luar hotel.

3. Mengoordinasikan kepada bagian lain yang terkait dalam rangka memenuhi

keinginan tamu dan memberikan pelayanan yang maksimal.

4. Melaporkan status kamar yang terkini.

5. Mencatat, memeriksa pembayaran tamu, dan menangani rekening tamu.

6. Membuat laporan yang dibutuhkan oleh hotel.

7. Memberikan pelayanan telekomunikasi untuk tamu.

8. Memberikan pelayanan barang bawaan tamu.

9. Menyelesaikan keluhan tamu (Suwithi dan Boham, 2008: 70).

11

Selain aspek-aspek yang telah dijabarkan di atas, front office juga

memiliki peranan penting untuk memberikan pelayanan terbaik dan menjaga citra

serta nama baik hotel, yaitu sebagai berikut.

1. Pemberi informasi yang senantiasa memberikan informasi yang jelas, benar,

dan cepat tentang produk, fasilitas, aktivitas, pelayanan yang ada, baik di

dalam hotel maupun di luar hotel. Informasi ini tidak hanya untuk tamu, tetapi

juga kepada kolega ataupun rekan sejawat yang membutuhkan.

2. Penjual (sales person) yang memiliki jiwa menjual sebab bagian inilah yang

berhubungan langsung dengan tamu hotel selain bertugas menjual produk

hotel.

3. Wakil manajemen – petugas kantor depan yang dalam keadaan tertentu dapat

berperan sebagai wakil manajemen untuk mengatasi/menyelesaikan masalah

yang muncul di luar jam kerja manajemen.

4. Penyimpan data yang dapat membuat dan menyimpan data terkini (up-to-

date) tentang laporan-laporan yang dibuat di front office sehingga manajemen

dapat mengambil keputusan dan kebijakan yang sesuai pada waktu yang akan

datang.

5. Diplomatis merupakan sikap yang dibutuhkan untuk membuat tindakan yang

dapat menjaga hubungan yang baik dengan tamu dan pihak yang lain.

6. Pemecah masalah terhadap segala hambatan atau kendala yang dialami oleh

para tamu ataupun masalah yang berasal dari divisi hotel yang lain.

7. Humas (hubungan masyarakat) yang menjadi ujung tombak hotel terhadap

para tamu dan masyarakat sekitar area hotel agar hubungan yang harmonis dan

citra hotel yang baik tetap terjaga (Suwithi dan Boham, 2008: 71).

11

Fokus penelitian ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan front office,

yaitu bagaimana cara melafalkan istilah-istilah front office dalam bahasa Inggris

oleh para mahasiswa manajemen perhotelan dan cara menerapkannya dalam

situasi sebenarnya terhadap tamu asing. Jika mereka yang bertugas di bagian

depan, utamanya bagian resepsionis dan reservasi dapat menjalankan tugas

melalui melayani dan berkomunikasi dengan baik terhadap para tamu, terutama

tamu asing, maka kesan pertama yang diharapkan dapat dicapai dengan optimal.

Dalam pembelajaran dan pelatihan, orang-orang yang tertarik untuk

berkecimpung dalam perhotelan, khususnya terkait dengan konteks front office,

diharapkan dapat memahami konsep front office dengan tepat dan menyeluruh.

Pemahaman ini sangat membantu pihak-pihak tersebut untuk dapat memiliki

bekal keterampilan ketika tiba saatnya untuk terjun ke bidang yang sesungguhnya.

2.2.4 Konsep Kartu Tematik

Terkait konsep kartu tematik, tentu hal ini berkaitan erat dengan

pembelajaran tematik yang merupakan konsep pembelajaran terpadu yang

menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat

memberikan pengalaman bermakna kepada peserta didik. Tema merupakan pokok

pikiran atau gagasan pokok pembicaraan (Poerwadarminta, 1983). Dengan

pemahaman bahwa pembelajaran berdasarkan tema-tema tersendiri secara khusus

dan spesifik dalam kegiatan pembelajaran, maka para peserta didik diharapkan

dapat memahami setiap materi yang disampaikan.

Konsep inilah yang diterapkan dalam metode Glenn Doman, yaitu

kartu yang dapat digunakan dalam pembelajaran dalam tataran menambah

11

perbendaharaan kata pada peserta didik. Kartu yang digunakan adalah kartu yang

berisi kata yang tercetak besar dan ditunjukkan pada para peserta didik. Metode

ini sangat tepat diterapkan dalam pengajaran semua bahasa, terutama bahasa

Inggris untuk peserta didik yang merupakan penutur asli bahasa Indonesia.

Bahkan, metode Glenn Doman diklaim dapat digunakan sebagai alat bantu ajar

tentang pengenalan kosa-kata bahasa Inggris pada usia dini.

Metode pengajaran yang terkandung dalam Glenn Doman adalah

dengan cara tematik. Cara tematik ini telah diformulasikan dengan tujuan untuk

dapat menstimulasi beragam potensi yang ada dalam diri seorang peserta didik.

Metode ini merupakan sebuah metode yang berpusat pada peserta didik (learner-

centered learning). Akan tetapi, satu keunggulan yang ada adalah dengan

menerapkan metode ini, maka diberikan jenis pembelajaran yang tidak terlalu

teoretis dan tidak akan membosankan karena suasana pembelajaran juga terasa

menyenangkan (belajar sekaligus bermain). Dengan menerapkan metode ini,

peserta didik diharapkan dapat cepat memahami dan menghafal materi yang

disampaikan.

Khusus untuk penelitian ini, konsep kartu tematik telah dimodifikasi

menjadi salah satu bentuk kartu tematik yang lain. Kartu ini berisi gambar-gambar

yang dirancang sendiri (handmade) yang berkaitan dengan konteks front office

(gambar resepsionis, lounge, dan sebagainya). Selain itu, kartu juga dilengkapi

dengan keterangan penjelas seperti kelas kata (kata benda/noun atau kata

kerja/verb), makna kata yang dimaksud, dan cara pengucapan kata tersebut dalam

pelafalan secara Inggris (British English) dan Amerika (American English).

Dalam penerapannya di kelas, selain menyajikan pemahaman dan cara pelafalan

11

yang tepat melalui kartu tematik yang ada. Di samping itu, dibantu juga dengan

menayangkan cara pelafalan secara langsung melalui Cambridge Advanced

Learner’s Dictionary 3rd

Edition; sebuah aplikasi kamus Cambridge yang dapat

mengeluarkan suara dari pelafalan kata tertentu yang dicari dengan cara

mengetikkannya di kolom pencarian. Dengan menggunakan kartu tematik dan

menayangkan pelafalan kata tersebut melalui aplikasi kamus, mahasiswa

mendapatkan pemahaman secara visual dan audio sekaligus. Kartu tematik juga

memiliki keunggulan lain karena memuat gambar yang dapat membantu para

mahasiswa dalam mengingat istilah secara visual. Selain itu, kartu tematik juga

memudahkan mahasiswa untuk memahami makna istilah front office dengan cepat

dan praktis (dibandingkan dengan mencari makna kata di dalam kamus).

2.2.5 Konsep Bermain Peran

Salah satu cara yang dapat diterapkan untuk mengimplementasikan

rancangan pengajaran dalam latihan adalah melalui bermain peran (role playing).

Secara sederhana konsep bermain peran dapat didefinisikan sebagai sebuah

kegiatan simulasi peran yang mengajak para pemain (dalam hal ini peserta didik)

untuk memerankan suatu tokoh atau karakter tertentu dalam sebuah tema

percakapan. Menurut Taniredja (2011) dalam Handayani (2014: 18), role playing

merupakan metode mengajar yang mendramatisasikan suatu situasi sosial yang

mengandung suatu problem, agar peserta didik dapat memecahkan suatu masalah

yang muncul dari suatu situasi sosial. Di sisi lain, menurut Amri (2010) dalam

Handayani (2014: 18), bermain peran merupakan salah satu model pembelajaran

yang diarahkan pada upaya pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan

11

hubungan antarmanusia (interpersonal relationship), terutama yang menyangkut

kehidupan peserta didik. Dalam penelitian ini, tema yang dijadikan sebagai bahan

bermain peran disesuaikan dengan kondisi operasi kantor depan sehingga

diharapkan mahasiswa dapat mengidentifikasi dan menyesuaikan diri dengan

situasi dan kondisi kantor depan sesungguhnya.

Bermain peran memiliki tujuan dalam pembelajaran bahasa. Menurut

Amri (2010) dalam Handayani (2014: 19), tujuan metode ini adalah agar peserta

didik mencoba mengeksplorasi hubungan-hubungan antarmanusia dengan cara

memperagakan dan mendiskusikannya, sehingga secara bersama-sama para

peserta didik dapat mengeksplorasi perasaan-perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai, dan

berbagai pemecahan masalah. Hal ini menunjukkan bahwa melalui bermain peran,

para peserta dapat menerapkan dan memahami materi yang diberikan oleh

pengajar dan mengembangkan kosakata yang ada melalui tema yang diperankan.

Terdapat beberapa hal yang dipersiapkan oleh pengajar sebelum

melaksanakan metode pembelajaran bermain peran, sebagaimana dikutip dari

beberapa pendapat Roestiyah (2008) dalam Handayani (2014: 22), yaitu sebagai

berikut.

1. Pengajar harus menerangkan kepada peserta didik bahwa melalui metode ini

mereka diharapkan dapat memecahkan masalah hubungan sosial yang nyata

dan ada di masyarakat.

2. Pengajar harus memilih masalah yang menarik untuk dijadikan tema sehingga

para peserta didik terstimulus untuk berusaha memecahkan masalah tersebut

dan menampilkan performa yang baik saat bermain peran.

11

3. Pengajar harus mampu menjelaskan tema dan isi masalah dengan baik dan

jelas agar peserta didik memahami dan mampu memainkan peran dengan

tepat.

4. Pengajar perlu membantu para peserta didik yang belum terbiasa dengan

memberikan kalimat pertama (pembuka) dalam dialog.

Di samping hal-hal di atas, pengajar juga perlu untuk menyesuaikan

tema dengan materi atau pokok bahasan materi yang diajarkan dan alokasi waktu

yang tersedia. Pengajar juga dituntut untuk mampu mengendalikan kelas agar

pembelajaran dan sesi diskusi tetap berjalan dengan tertib.

Terdapat beberapa keuntungan yang dapat diperoleh para mahasiswa

saat melaksanakan proses pembelajaran bermain peran, yaitu mereka dapat

mengeksplorasi kemampuan mereka dalam melafalkan istilah-istilah kantor depan

dan menerapkannya dalam pola percakapan. Selain itu, mereka dapat berlatih

memecahkan masalah yang mungkin muncul saat bekerja di dunia perhotelan

sesungguhnya sehingga mereka dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik sejak

dini. Berdasarkan uraian di atas, dapat dicermati bahwa bermain peran merupakan

salah satu metode pembelajaran yang tepat diterapkan untuk meningkatkan

kemampuan pelafalan para mahasiswa terkait dengan konteks kantor depan.

2.2.6 Konsep Pelafalan

Dalam bahasa Inggris terdapat dua macam aksen pelafalan yang

paling umum dikenal, yaitu aksen Inggris (British English) dan aksen Amerika

(American English). Salah satu contoh yang dapat diamati adalah kata „vase‟ yang

dalam aksen Inggris dilafalkan sebagai [vɑːz], sementara dalam aksen Amerika

11

dilafalkan sebagai [veɪs]. Menurut Ladefoged dan Johnson (2010: 281), pembicara

yang berbeda saat melafalkan kata-kata dalam bahasa yang sama dapat mengalami

produksi bunyi yang berbeda terkait dengan fisiologis atau bentuk vocal tract-

atau koordinasi sistem bunyi.

Segala bentuk perbedaan yang ada dapat dideskripsikan dengan

menggunakan daftar simbol IPA dan fitur fonologis lainnya yang dapat

memberikan gambaran jelas tentang adanya variasi dalam pelafalan setiap

manusia. Dalam hal ini peranan lidah dan alat pemroduksi pada organ bunyi

manusia sangat krusial. Selama berabad-abad, pelafalan beberapa kata dalam

bahasa Inggris telah berubah, sementara beberapa masih tetap sama. Dengan

demikian, transkripsi fonemik bahasa Inggris dapat berbeda dari bentuk

tertulisnya.

2.3 Landasan Teori

Terdapat dua teori utama yang digunakan dalam tulisan ini. Teori

pertama untuk memecahkan permasalahan dari segi linguistik, yaitu teori fonetik.

Teori kedua adalah teori pembelajaran yang dibagi menjadi cakupan teori belajar

behaviorisme dan teori nativisme sebagai pembanding. Teori pelengkap yang

digunakan adalah teori kartu flash card oleh Glenn Doman. Teori-teori ini

digunakan untuk mengolah data dari beberapa sampel yang digunakan untuk

mewakili jumlah total subjek penelitian.

Teori pertama, yaitu teori fonetik merujuk pada teori yang dipaparkan

oleh Ladefoged dan Johnson (2010). Teori fonetik ini selanjutnya dapat dibagi

menjadi beberapa subteori, yaitu teori production skill, teori keterampilan

11

berinteraksi dalam metodologi bahasa lisan, serta teori pengaturan kelas dan

kemampuan lisan (ketiganya oleh Bygate, 2008). Di samping itu, juga dilengkapi

dengan teori kesalahan berbahasa oleh Corder (1974) dalam Indihadi (2011: 2--3).

Teori kedua, yaitu teori pembelajaran terdiri atas dua teori besar, yaitu

teori belajar behaviorisme dan teori belajar nativisme. Permasalahan pelafalan

yang ditemukan dipecahkan melalui sudut pandang behaviorisme terlebih dahulu

dan kemudian ditinjau juga dari sudut pandang nativisme.

2.3.1 Teori Linguistik – Fonetik

Teori linguistik, terutama fonetik berperan vital untuk menganalisis

beragam aspek dalam proses pembelajaran mahasiswa saat memahami dan

melafalkan istilah-istilah yang berkaitan dengan front office. Sebagai ilmu yang

berkaitan dengan bunyi-bunyi bahasa, teori fonetik terdiri atas tiga cakupan, yaitu

fonetik organis, fonetik akustis, dan fonetik auditoris.

1. Fonetik Organis

Fonetik organis (fonetik artikulatoris atau fonetik fisiologis) adalah

fonetik yang mempelajari tentang mekanisme alat-alat bicara/ucap manusia

berupa organ vokal yang berfungsi untuk membentuk dan menghasilkan bunyi

bahasa (Marsono, 1999: 2). Organ vokal yang dimaksud yaitu bagian lidah dan

bibir (atas dan bawah).

2. Fonetik Akustis

Malmberg (1963) dalam Marsono (1999: 2) fonetik akustis

mempelajari bunyi bahasa dari segi bunyi sebagai gejala fisis. Bunyi-bunyi

tersebut diselidiki frekuensi getarannya, amplitudo, intensitas, dan timbrenya.

11

Fonetik jenis ini berkaitan dengan fisika dalam laboratorium fonetis, untuk

pembuatan telepon, perekaman piringan hitam, dan sejenisnya.

3. Fonetik Auditoris

Bronstein dan Jacoby (1967) dalam Marsono (1999: 3) memaparkan

bahwa fonetik auditoris mempelajari tentang mekanisme telinga dalam menerima

bunyi bahasa sebagai getaran udara. Hal ini tentu juga berhubungan dengan posisi

vokal tinggi dan rendah berdasarkan bunyi yang hendak diproduksi. Contoh,

vokal [i] merupakan vokal tinggi depan, [u] merupakan vokal tinggi belakang, [æ]

merupakan vokal rendah depan, dan [ɑ] merupakan vokal rendah belakang.

Bidang fonetik ini cenderung dimasukkan ke dalam neurologi ilmu kedokteran

(Marsono, 1999: 3).

Fonetik artikulatoris digunakan sebagai acuan utama dalam penelitian

ini. Hal ini tak lepas dari fungsi fonetik artikulatoris yang berkaitan dengan

produksi bunyi yang akan menjadi data untuk penelitian kali ini.

Ladefoged dan Johnson (2010: 88) menjabarkan bahwa secara teori

fonetik, bahasa Inggris dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian. Ketiga bagian

itu adalah sebagai berikut.

1) Vokal

Vokal dalam bahasa Inggris bervariasi antara rentang vokal atas dan

rendah. Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa vokal dapat diproduksi dengan

menggerakkan lidah dan bibir. Vokal juga dapat secara sederhana dapat dimaknai

sebagai huruf hidup yang dalam pembentukannya melalui proses udara yang

keluar melalui tenggorokan dan mulut tanpa hambatan.

11

Marsono (1999: 29) memaparkan bahwa vokal dalam bahasa Inggris

dapat diklasifikasikan berdasarkan tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang

bergerak, sriktur (jarak lidah dengan langit-langit), dan bentuk bibir. Berikut

merupakan pemaparan terperinci terkait dengan pengklasifikasian tersebut.

1. Tinggi Rendahnya Lidah

Berdasarkan tinggi rendahnya lidah vokal dapat dibagi atas:

a. vokal tinggi, misalnya: [i, u];

b. vokal madya (tengah), misalnya: [e, ɛ, ә, o, ɔ]; dan

c. vokal rendah, misalnya: [a, ɑ].

2. Bagian Lidah yang Bergerak

Berdasarkan bagian lidah yang bergerak vokal dapat dibedakan menjadi:

a. vokal depan, yaitu vokal yang dihasilkan oleh gerakan peranan turun

naiknya lidah bagian depan, misalnya: [i, e, ɛ, a];

b. vokal tengah, yaitu vokal yang dihasilkan oleh gerakan peranan lidah

bagian tengah, misalnya: [ә]; dan

c. vokal belakang, yaitu vokal yang dihasilkan oleh gerakan peranan turun

naiknya lidah bagian belakang (pangkal lidah), misalnya: [u, o, ɔ, ɑ].

3. Striktur (Stricture)

Striktur merupakan keadaan hubungan posisional artikulator aktif dengan

artikulator pasif (Lapoliwa (1981) dalam Marsono (1999:31)). Striktur untuk

vokal ditentukan oleh jarak lidah dengan langit-langit. Menurut strikturnya,

vokal dapat dibedakan atas:

11

a. vokal tertutup (close vowels), yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah

diangkat setinggi mungkin mendekati langit-langit dalam batas vokal.

Misalnya: [i] dan [u];

b. vokal semi-tertutup (half-close), yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah

diangkat dalam ketinggian sepertiga di bawah tertutup atau dua pertiga di

atas vokal yang paling rendah. Misalnya: [e] dan [o];

c. vokal semi-terbuka (half-open), yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah

diangkat dalam ketinggian sepertiga di atas vokal yang paling rendah atau

dua pertiga di bawah vokal tertutup. Misalnya: [ɛ] dan [ɔ]; dan

d. vokal terbuka (open vowels), yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah

dalam posisi serendah mungkin. Misalnya: [a] dan [ɑ].

4. Bentuk Bibir

Jones (1958) dalam Marsono (1999: 32) memaparkan bahwa berdasarkan

bentuk bibir saat vokal diucapkan, vokal dapat dibedakan atas:

a. vokal bulat (rounded vowels), yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk

bibir bulat. Bentuk bibir yang bulat dapat dalam keadaan terbuka atau

tertutup. Jika dalam keadaan terbuka, maka vokal itu diucapkan dengan

posisi bibir terbuka bulat (open rounded), misalnya vokal [ɔ]. Di sisi lain,

jika tertutup maka vokal itu diucapkan dalam posisi bentuk bibir tertutup

bulat, misalnya untuk vokal [o] dan [u];

b. vokal netral (neutral vowels), yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk

bibir dalam posisi netral, tidak bulat tetapi juga tidak terbentang lebar.

Misalnya untuk vokal [ɑ]; dan

11

c. vokal tak bulat (unrounded vowels), yaitu vokal yang diucapkan dengan

bentuk bibir tidak bulat atau terbentang lebar. Misalnya untuk vokal [i],

[e], [ә], [ɛ], dan [a].

Berikut merupakan tabel yang memuat rincian proses pembentukan

vokal dalam bahasa Inggris tersebut.

Tabel 1.1 Tabel proses pembentukan vokal dalam bahasa Inggris

No Vokal

1 2 3 4 5

Tinggi

rendah lidah

Gerak

lidah

bagian

Striktur

(jarak lidah

dengan langit-

langit)

Bentuk

bibir Contoh kata

1 [iː] tinggi atas depan tertutup tak

bulat

see, feel, bead,

ream

2 [ɪ] tinggi bawah depan semi-tertutup tak

bulat it, lid, fill, rich

3 [ɛ] madya

(tengah) depan

semi-

tertutup/terbuka

tak

bulat fell, get, led

4 [æ] rendah depan hampir terbuka netral bad, cat, bat

5 [әː]/[ɜː] madya

(tengah) atas tengah semi-tertutup

tak

bulat

bird, burn,

heard

6 [ә]

madya

(tengah)

bawah

tengah semi-terbuka netral ago, colour,

perhaps

7 [Ʌ] rendah tengah hampir terbuka netral up, cup, luck

8 [ɑː] rendah bawah belakang terbuka netral card, dark,

hard

9 [ɔ] rendah bawah belakang terbuka bulat box, hot, lock

10 [ɔː] rendah atas belakang semi-terbuka bulat cord, law, saw

11 [u] tinggi bawah belakang semi-tertutup bulat put, pull, look

12 [uː] tinggi atas belakang tertutup bulat pool, too,

shoed

2) Diftong

Bunyi yang diproduksi dengan melibatkan perubahan dalam vokal

tertentu melalui pemindahan satu posisi vokal ke posisi vokal yang lain. Marsono

(1999: 50) memaparkan bahwa diftong dalam bahasa Inggris dapat dibedakan

11

menjadi dua jenis, yaitu diftong naik (rising diphthongs), diftong turun (falling

diphthongs), dan diftong memusat (centring diphthongs).

1. Diftong naik bahasa Inggris

Diftong naik adalah jika vokal yang kedua diucapkan dengan posisi lidah

lebih tinggi daripada yang pertama. Karena lidah semakin menaik, strikturnya

menjadi semakin tertutup, sehingga diftong ini juga dapat disebut diftong

menutup (closing diphthongs). Bahasa Inggris memiliki lima jenis diftong

naik, yaitu:

a. diftong naik-menutup-maju [aɪ], misalnya dalam: time [taim];

b. diftong naik-menutup-mundur [eɪ], misalnya dalam: base [beɪs];

c. diftong naik-menutup-maju [ɔɪ], misalnya dalam: boy [bɔɪ];

d. diftong naik-menutup-mundur [aʊ], misalnya dalam: now [naʊ]; dan

e. diftong naik-menutup-maju [oʊ] atau [әʊ], misalnya dalam go [ɡoʊ] atau

[ɡәʊ].

2. Diftong turun bahasa Inggris

Selain diftong naik, bahasa Inggris juga memiliki dua jenis diftong turun,

yaitu:

a. diftong turun-membuka-memusat [ɪә], misalnya dalam: ear [ɪә]; dan

b. diftong turun-membuka-memusat [ʊә], misalnya dalam: pure [pjʊә].

3. Diftong memusat bahasa Inggris

Diftong memusat merupakan diftong yang diucapkan dengan

menggerakkan lidah ke vokal tengah sentral. Terdapat dua jenis diftong naik

memusat, yaitu:

11

a. diftong naik-menutup-memusat [ɔә], misalnya dalam: more [mɔә]; dan

b. diftong naik-menutup-memusat [ɛә] atau [eә], misalnya dalam: there [ðɛә]

atau [ðeә].

3) Konsonan

Bunyi yang dalam pembentukannya melalui proses udara yang tidak

keluar secara lancar melalui mulut dan tenggorokan, tetapi mengalami hambatan

atau penyempitan sehingga menghasilkan bunyi seperti gesekan. Berikut

merupakan konsonan-konsonan yang terdapat dalam bahasa Inggris menurut

Marsono (1999).

1. Konsonan Hambat Letup (Stops, Plosive)

Konsonan hambat letup adalah konsonan yang terjadi dengan hambatan

penuh arus udara kemudian hambatan itu dilepaskan secara tiba-tiba. Menurut

tempat hambatannya (artikulasinya) konsonan ini dapat dibagi menjadi tiga

seperti berikut.

a. Konsonan hambat letup bilabial

Konsonan ini dapat terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah

bibir bawah dan artikulator pasifnya adalah bibir atas, seperti bunyi [p]

yang merupakan konsonan keras tak bersuara (seperti dalam „pool‟,

„compare‟, dan „map') dan [b] yang merupakan konsonan lunak bersuara

(seperti dalam „big‟, „rubber‟, dan „rib‟).

b. Konsonan hambat letup apiko-alveolar

Konsonan ini dapat terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah

ujung lidah dan artikulator pasifnya adalah gusi, seperti bunyi alveolar [t]

11

yang merupakan konsonan keras tak bersuara (seperti dalam „town‟,

„writing‟, dan „heart‟) dan [d] yang merupakan konsonan lunak bersuara

dan lebih pendek hambatannya (seperti dalam „down‟, „riding‟, dan hard‟).

c. Konsonan hambat letup dorso-velar

Konsonan ini dapat terjadi bila artikulator aktifnya adalah pangkal

lidah dan artikulator pasifnya adalah langit-langit lunak, seperti [k] yang

merupakan konsonan keras tak bersuara (seperti dalam „curl‟, „bicker‟, dan

„dock‟) dan [ɡ] yang merupakan konsonan lunak bersuara (seperti dalam

„girl‟, „bigger‟, dan dog‟).

2. Konsonan Nasal (Nasals)

Konsonan nasal (sengau) adalah konsonan yang dibentuk dengan

menghambat rapat (menutup) jalan udara dari paru-paru melalui rongga

mulut. Menurut tempat hambatannya (artikulasinya) konsonan ini dapat

dibagi menjadi tiga seperti berikut.

a. Konsonan nasal bilabial

Konsonan ini dapat terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah

bibir bawah dan artikulator pasifnya adalah bibir atas. Nasal yang terjadi

adalah [m] yang merupakan konsonan bersuara (seperti dalam „man‟,

„among‟, dan „him‟).

b. Konsonan nasal apiko-alveolar

Konsonan ini dapat terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah

ujung lidah dan artikulator pasifnya adalah gusi. Nasal yang terjadi adalah

[n] yang merupakan konsonan bersuara (seperti dalam „name‟, „many‟,

dan „ten‟).

11

c. Konsonan nasal dorso-velar

Konsonan ini dapat terjadi bila proses penghambatan itu artikulator

aktifnya adalah pangkal lidah dan artikulator pasifnya adalah langit-langit

lunak. Nasal yang dihasilkan adalah [ŋ] yang merupakan konsoan nasal

bersuara (seperti dalam „singer‟ dan „sing‟).

3. Konsonan Paduan (Affricates)

Konsonan paduan adalah konsonan hambat jenis khusus. Proses

terjadinya adalah dengan menghambat penuh arus udara dari paru-paru,

kemudian hambatan itu dilepaskan secara bergeser pelan-pelan. Tempat

artikulasinya adalah ujung lidah dan gusi bagian belakang (langit-langit keras

bagian depan atau prepalatal). Bunyi yang dihasilkan adalah paduan apiko-

prepalatal [tʃ] yang merupakan paduan keras tak bersuara (seperti dalam

„chin‟, „riches‟, dan „rich‟) dan [dʒ] yang merupakan paduan lunak bersuara

dan hambatannya lebih pendek (seperti dalam „gin‟, „ridges‟, dan „ridge‟).

4. Konsonan Sampingan (Laterals)

Konsonan sampingan dibentuk dengan menutup arus udara di tengah

rongga mulut sehingga udara keluar melalui kedua samping atau sebuah

samping saja. Tempat artikulasinya adalah ujung lidah dan gusi. Bunyi yang

dihasilkan adalah [l] yang merupakan konsonan bersuara (seperti dalam

„look‟, „holiday‟, dan „oil‟).

5. Konsonan Geseran atau Frikatif (Fricatives, Frictions)

Konsonan geseran atau frikatif adalah konsonan yang dibentuk dengan

menyempitkan jalannya arus udara yang dihembuskan dari paru-paru,

11

sehingga jalannya udara terhalang dan keluar dengan bergeser. Menurut

tempat artikulasinya konsonan geseran dapat dibagi menjadi:

a. Konsonan geseran labio-dental

Konsonan ini dapat terjadi bila artikulator aktifnya adalah bibir bawah

dan artikulator pasifnya adalah gigi atas. Bunyi yang terjadi adalah [f]

yang merupakan konsonan keras tak bersuara (seperti dalam „fan‟, „sofa‟,

dan „life‟) dan [v] yang merupakan konsonan lunak bersuara (seperti dalam

„van‟, „cover‟, dan „live‟).

b. Konsonan geseran apiko-dental

Konsonan ini dapat terjadi bila artikulator aktifnya adalah ujung lidah

dan artikulator pasifnya adalah gigi atas. Bunyi yang dihasilkan adalah [θ]

yang merupakan konsonan keras tak bersuara yang hambatannya lebih

panjang (seperti dalam „thank‟, „nothing‟, dan „both‟) dan [ð] yang

merupakan konsonan lunak bersuara yang hambatannya lebih pendek

(seperti dalam „then‟, „brother‟, dan „smooth‟).

c. Konsonan geseran apiko-palatal

Konsonan ini dapat terjadi bila artikulator aktifnya adalah ujung lidah

dan artikulator pasifnya adalah langit-langit keras. Bunyi yang dihasilkan

adalah [ṛ] yang termasuk bunyi bersuara (seperti dalam „red‟ dan „very‟).

d. Konsonan geseran lamino-alveolar

Konsonan ini dapat terjadi bila artikulator aktifnya adalah daun lidah

dan ujung lidah sedangkan artikulator pasifnya adalah gusi. Bunyi yang

terjadi adalah [s] yang merupakan konsonan keras tak bersuara yang lebih

panjang hambatannya (seperti dalam „seal‟, „lacy‟, dan „bus‟) dan [z] yang

11

merupakan konsonan lunak bersuara lebih pendek hambatannya (seperti

dalam „zeal‟, „lazy‟, dan „buzz‟).

e. Konsonan geseran apiko-prepalatal

Konsonan ini dapat terjadi bila artikulator aktifnya adalah ujung lidah

dan artikulator pasifnya adalah gusi bagian belakang atau langit-langit

keras depan (prepalatal). Bunyi yang dihasilkan adalah [ʃ] yang merupakan

bunyi keras tak bersuara lebih panjang hambatannya (seperti dalam kata

„shop‟, „nation‟, dan „wash‟) dan [ʒ] yang merupakan bunyi lunak bersuara

lebih pendek hambatannya (seperti dalam kata „measure‟ dan „rouge‟).

f. Konsonan geseran laringal

Konsonan ini dapat terjadi bila artikulatornya adalah sepasang pita

suara. Udara yang dihembuskan dari paru-paru pada waktu melewati glotis

digeserkan. Glotis dalam posisi terbuka. Posisi terbuka ini lebih sempit

dari pada posisi glotis terbuka lebar dalam bernafas normal. Bunyi yang

dihasilkan adalah bunyi [h] yang merupakan konsonan tidak bersuara

karena pita suara tidak ikut bergetar (seperti dalam „her‟ dan „behind‟).

6. Semi-vokal

Bunyi semi-vokal secara praktis termasuk konsonan tetapi karena pada

waktu diartikulasikan belum membentuk konsonan murni, maka bunyi itu

disebut semi-vokal (cf. Verhaar, 1977: 20). Menurut tempat hambatannya

(artikulasi) dapat dibagi menjadi dua seperti berikut.

a. Semi-vokal bilabial dan labio-dental

Semi-vokal ini dapat terjadi bila artikulator aktifnya adalah bibir

bawah dan artikulator pasifnya adalah bibir atas, bunyi yang terjadi adalah

11

[w] bilabial. Dapat juga bibir bawah bekerja sama dengan gigi atas, yang

terjadi adalah [w] labio-dental. Bunyi pada [w] adalah bunyi bersuara

(seperti dalam „watch‟ dan „away‟).

b. Semi-vokal medio-palatal

Semi-vokal ini dapat terjadi bila artikulator aktifnya adalah tengah

lidah dan artikulator pasifnya adalah langit-langit keras. Bunyi yang terjadi

adalah [y] yang termasuk bunyi bersuara (seperti pada „yard‟ dan

„million‟).

Berikut merupakan tabel yang memuat rincian proses pembentukan

konsonan dalam bahasa Inggris tersebut:

Tabel 1.2 Tabel proses pembentukan konsonan dalam bahasa Inggris Hubungan

posisional Cara dihambat

Bersu

ara

da

n

tak

bers

ua

ra

Tempat hambatan (tempat artikulasi

antar

penghambat

(striktur)

(cara artikulasi)

Bil

ab

ial

La

bio

-den

tal

Ap

iko

-den

tal

Ap

iko

-alv

eola

r

Ap

iko

-prep

ala

tal

Ap

iko

-pala

tal

Lam

ino

-alv

eola

r

Med

io-p

ala

tal

Do

rso

-vela

r

Larin

gal

Rapat lepas tiba-

tiba Hambat letup

T p ph t th k kh

B b d ɡ

Rapat lepas tiba-

tiba Nasal (sengau) B m n ŋ

Rapat lepas pelan-pelan

Paduan (afrikat) T tʃ

B dʒ

Renggang lebar Sampingan

(lateral) B l

Renggang Geseran (frikatif) T f θ ʃ s

h

B v ð ʒ ṛ z

Renggang lebar Semi-vokal B w y

2.3.1.1 Teori Production Skill

Bygate (2008: 14) memaparkan bahwa bahasa lisan memberikan

waktu yang terbatas untuk memutuskan hal yang hendak diujarkan, bagaimana

cara mengujarkannya, mulai mengujarkannya, dan memastikan bahwa maksud

11

utama pembicara telah tersampaikan. Di samping itu, Bygate juga menjabarkan

bahwa faktor waktu juga memengaruhi cara bagaimana pembicara menggunakan

bahasanya dalam memaparkan sesuatu yang hendak diutarakannya.

Jika tersedia waktu yang lebih panjang, maka pembicara dapat

mempersiapkan hal-hal yang hendak dikatakan dengan lebih baik dan mantap lagi.

Sebaliknya, jika waktu yang tersedia tidak memungkinkan pembicara untuk

mempersiapkan bahan yang hendak diutarakan, maka kecenderungan hal-hal yang

akhirnya diucapkan menjadi tidak beraturan dapat menjadi lebih besar. Oleh

karena itu, terdapat dua strategi bagi seseorang untuk menjadi pembicara yang

andal dan gagasan dapat tersampaikan dengan lebih optimal.

Pertama, pembicara dapat menerapkan beragam hal untuk

memudahkan menghasilkan ujaran yang tepat. Hal yang dimaksud dapat berupa

gerakan tangan, ekspresi wajah (facial expressions), dan kata konjungsi yang

tepat. Kedua, pembicara harus menyesuaikan diri dengan berlatih berbicara secara

teratur dan lebih sering agar dapat mengatasi kesulitan yang sering ditemukan

dalam konteks berbicara, terutama di depan umum. Hal ini disebabkan oleh para

pembicara pada umumnya memiliki sedikit waktu untuk merencanakan,

mengatur, dan menyampaikan pesan yang hendak diutarakan. Dengan demikian,

mereka kerap menggunakan frasa-frasa tertentu beserta artinya yang besar

kemungkinan tidak begitu dimengerti oleh lawan bicara atau pendengarnya.

2.3.1.2 Teori Keterampilan Berinteraksi dalam Metodologi Bahasa Lisan

Bygate (2008: 22) memaparkan bahwa dalam berinteraksi secara

lisan, baik pembicara maupun pendengar, tidak hanya wajib menjadi „pengolah‟

11

yang baik atas kata-kata yang dihasilkan secara lisan. Akan tetapi, juga harus

dapat menghasilkan bahasa yang koheren (bertalian secara logis) dalam keadaan

yang berbeda-beda dari komunikasi lisan yang terjadi.

Proses komunikasi (berbicara dan menyimak) dapat dikatakan

berjalan dengan optimal dan berhasil jika pembicara dapat mengutarakan hal-hal

yang hendak disampaikan (gagasan dari pikiran mereka) secara tepat dengan cara

yang dapat dipahami oleh pendengar dengan mudah. Barnes (dalam Bygate, 1976)

memaparkan perbedaan yang tajam antara „pembelajaran eksploratori‟ dan

„pembelajaran final draft‟ yang sangat aplikatif dalam kegiatan pembelajaran dan

pengajaran bahasa di kelas.

„Pembelajaran eksploratori‟ merupakan pembelajaran yang

menitikberatkan fokus pada pemahaman setiap aspek dari topik secara merata.

Selain itu, merencanakan tugas tanpa terlampau sering melakukan kesalahan.

Pembelajaran ini mengharapkan para peserta didik untuk bereksperimen dengan

aspek-aspek yang telah dipelajari agar dapat mengetahui hal-hal yang kerap

muncul sebagai bagian-bagian yang terpenting atau yang paling menarik bagi

mereka.

Di sisi lain, „pembelajaran final draft‟ merupakan pembelajaran yang

menitikberatkan fokus pada penghindaran atas terjadinya kesalahan dan

menghasilkan penampilan (performance) yang sempurna dari permulaan.

Pembelajaran ini mengharapkan para peserta didik untuk memahami beragam hal

dengan cepat sebelum mengetahui penggunaan konsep yang ada terkait dengan

topik pembicaraan. Selain itu, diharapkan pula para peserta didik dapat

mengantisipasi perbedaan-perbedaan (dalam hal ini dapat berupa perbedaan antara

11

bahasa pertama/bahasa sumber dan bahasa kedua/bahasa tujuan) tertentu

sebelumnya sehingga tidak perlu mengulang dari awal lagi. Peserta didik juga

diwajibkan lebih cekatan dan efisien dalam memastikan hal-hal yang perlu

ditambahkan atau hal-hal yang perlu dilakukan secara cepat dan rapi dalam

mendukung performa berbicara.

2.3.1.3 Teori Pengaturan Kelas dan Kemampuan Lisan (Oral Skills)

Latihan dalam keterampilan lisan (berbicara) mewajibkan para pihak

yang terlibat dalam proses komunikasi (pembicara dan pendengar) untuk

merundingkan makna dan mengelola interaksi secara bersama-sama. Terdapat

sebuah hubungan antara tingkat kebebasan untuk berunding dan jumlah orang-

orang yang terlibat (Bygate, 2008: 96). Secara keseluruhan, pengajar perlu juga

memperhatikan dan mencermati bagaimana langkah-langkah keterampilan

berbicara ditempuh dan dipelajari. Hal yang terpenting adalah pengajar harus

mampu mengatur kelas agar peserta didik dapat mendengar dengan baik setiap

ujaran yang diucapkan oleh pengajar.

2.3.1.4 Teori Kesalahan Berbahasa

Sebagai tenaga pendidik bahasa, terutama bahasa asing, seorang

pengajar wajib mengetahui dan memahami pengertian kesalahan berbahasa. Hal

ini sangat wajar sekaligus krusial. Artinya, merupakan hal yang mustahil jika

seorang pengajar menyebutkan bahwa seorang peserta didik melakukan kesalahan

dalam konteks berbicara jika sang pengajar tidak memiliki pengetahuan atau teori

landasan tentang konsep kesalahan berbahasa yang memadai. Jika tidak menjadi

11

seorang pengajar bahasa sekalipun, seseorang juga dapat mengetahui jenis

kesalahan yang kemungkinan terjadi jika ia ingin mempelajari landasan tentang

jenis kesalahan berbahasa (terutama dalam penggunaan bahasa kedua dan asing)

secara lebih intensif.

Sesungguhnya kesalahan berbahasa merujuk kepada beberapa

pengertian yang beragam, tetapi kebanyakan orang menganggap bahwa hal

tersebut sama secara keseluruhan, artinya tidak ada perbedaan sama sekali.

Anggapan ini wajib diubah oleh seorang pengajar bahasa. Itulah sebabnya

pengertian kesalahan berbahasa wajib dipahami sebelum mengajarkan atau

membahas bahasa kedua atau bahasa asing.

Corder (dalam Indihadi, 2011: 2--3) mengemukakan bahwa terdapat

tiga jenis kesalahan dalam berbicara, yang dijabarkan sebagai berikut.

1) Lapses merupakan kesalahan berbahasa akibat penutur beralih cara untuk

menyatakan sesuatu sebelum seluruh tuturan (kalimat) selesai dinyatakan

selengkapnya. Untuk konteks bahasa lisan, kesalahan ini diistilahkan sebagai

„slip of the tongue‟, sementara untuk bahasa tulis diistilahkan sebagai „slip of

the pen‟. Kesalahan ini terjadi akibat ketidaksengajaan dan tidak disadari oleh

penuturnya.

2) Error merupakan kesalahan berbahasa akibat penutur melanggar kaidah atau

aturan tata bahasa (breaches of code). Kesalahan ini terjadi akibat penutur

sudah memiliki aturan (kaidah) tata bahasa yang berbeda dari tata bahasa yang

lain sehingga berdampak pada kekurangsempurnaan atau ketidakmampuan

penutur.

11

3) Mistake merupakan kesalahan berbahasa akibat penutur tidak tepat dalam

memilih kata atau ungkapan untuk suatu situasi tertentu. Kesalahan ini

mengacu kepada kesalahan akibat penutur tidak tepat menggunakan kaidah

yang diketahui benar, bukan karena kurangnya penguasaan bahasa kedua.

Melalui pemaparan di atas, dapat dicermati bahwa ketiga istilah

tersebut memiliki makna yang tidak dapat diseragamkan. Dengan memahami

setiap perbedaan makna istilah-istilah di atas, maka seorang pengajar dapat

membuat determinasi atau menentukan jenis kesalahan yang dibuat oleh peserta

didik saat praktikum berbicara.

Menurut Corder (1981) dalam Zhang (2013: 86), kesalahan peserta

didik secara signifikan dapat terjadi dalam tiga cara. Pertama, bagi pengajar,

kesalahan peserta didik dapat menunjukkan seberapa jauh tujuan pembelajaran

telah tercapai dan bagian mana yang belum. Kedua, bagi peneliti, kesalahan-

kesalahan yang ada dapat menyediakan semacam bukti atas terlaksananya proses

pembelajaran. Ketiga, bagi peserta didik sendiri, kesalahan yang terjadi

merupakan cara mereka untuk menguji hipotesis terhadap bahasa yang sedang

dipelajari.

Terkait dengan cara pembelajaran bahasa, Corder menyatakan bahwa

kesalahan (baik berupa error ataupun mistake) dapat dimanfaatkan sebagai

„koreksi diri otomatis‟ dan tidak dapat dihitung sebagai sebuah kesalahan.

Meskipun demikian, jika kita berpikir bahwa bahasa peserta didik merupakan

suatu hal yang sangat sistematik dan memiliki aturan gramatikal tersendiri, harus

diakui bahwa apa pun yang diutarakan oleh peserta didik saat mencoba

berkomunikasi dengan bahasa tersebut adalah „tepat‟ dalam tataran interlanguage

11

mereka. Corder (1981) dalam Zhang (2013: 88) memaparkan bahwa setiap ujaran

yang dihasilkan bersifat gramatikal, kecuali terjadi kesalahan (mistake) atau slip of

tongue/pen. Khusus untuk pengidentifikasian kesalahan dalam setiap ujaran,

kesalahan yang ada harus disesuaikan dengan konteks situasional dan tema/topik

yang sesuai pula. Akan tetapi, terkadang sebuah kalimat yang tertata dengan baik

telah memenuhi persyaratan gramatikal, tetapi tidak berterima secara konteks.

Satu-satunya pemecahan atas masalah kesalahan pelafalan yang

disarankan oleh Corder adalah setiap kalimat yang diujarkan peserta didik wajib

dianalisis secara menyeluruh. Artinya, dikenali dan ditelusuri jenis kesalahannya

melalui struktur atau penyusunan yang tidak tepat dengan aturan gramatikal

bahasa sasaran. Di samping itu, kalimat-kalimat tersebut diperbaiki dan diberikan

beberapa keterangan atau penjelasan tentang aspek-aspek yang telah diperbaiki.

Hal lainnya adalah adanya interferensi bahasa ibu yang juga dapat menjadi salah

satu hal yang umumnya dapat memengaruhi cara seseorang melafalkan ujaran

dalam bahasa kedua ataupun bahasa asing.

2.3.2 Teori Pembelajaran

Selain teori linguistik – fonetik, teori pembelajaran juga menjadi salah

satu teori yang berperan krusial dalam penelitian ini. Hal ini tentu berkaitan

dengan pola belajar setiap mahasiswa dalam memahami ilmu yang berkaitan

dengan front office dan aspek-aspek yang terdapat di dalamnya. Artinya,

bagaimana cara mereka menyerap materi dan berlatih menggunakannya dalam

kegiatan praktikum. Terdapat dua teori pembelajaran yang digunakan, yaitu teori

belajar behaviorisme dan nativisme.

11

2.3.2.1 Teori Belajar Behaviorisme

Salah satu cara yang sesuai diterapkan dalam konteks berbicara adalah

pengoptimalan teori behaviorisme dalam aspek pengajaran bahasa Inggris. Teori

behaviorisme berasal dari kata behavior yang bermakna „tingkah laku‟. Teori ini

menyoroti dua hal utama, yaitu aspek perilaku kebahasaan seseorang yang dapat

diamati secara langsung dan keterkaitan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi

(response). Dengan adanya reaksi yang tepat terhadap rangsangan kebahasaan

yang diberikan berdampak pada perilaku bahasa yang efektif. Teori ini lebih

menekankan pada penerapannya pada pemerolehan bahasa pertama meskipun hal

serupa juga berlaku pada pemerolehan bahasa kedua ataupun bahasa asing.

Salah satu tokoh behaviorisme yang terkemuka adalah Burrhusm

Frederic Skinner meskipun John Broadus Watson dianggap sebagai pelopor utama

teori ini. Secara spesifik, teori ini juga memaparkan istilah „tabula rasa‟ yang

merujuk pada pemahaman bahwa setiap bayi yang dilahirkan diumpamakan

seperti kertas kosong yang nantinya akan „ditulisi‟ dengan beragam pengalaman,

termasuk pengalaman linguistik/kebahasaan. Untuk selanjutnya, kecakapan

kebahasaan seseorang dapat dipantau melalui tingkat kemajuan dari prinsip

stimulus-respons. Di samping itu, ditambah dengan proses imitasi (peniruan –

bagaimana seseorang memahami bahasa dan aspek-aspek linguistik di dalamnya

dengan cara meniru orang lain di sekitarnya).

Tarigan (2009: 114) memaparkan kaitan teori behaviorisme yang

mendasari pengajaran kemampuan berbicara, yaitu mengembangkan dalam diri

para peserta didik kemampuan yang (setidaknya) menyerupai kemampuan para

penutur asli. Teori behaviorisme menitikberatkan pendekatan pembelajaran

11

terhadap aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung dan hubungan

antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (respons) yang dapat mengubah tingkah

laku seseorang. Dapat dikatakan bahwa anak mempelajari bahasa pertama melalui

respons yang tepat terhadap kondisi sekitarnya.

Terkait dengan pemerolehan bahasa, baik bahasa kedua maupun

bahasa asing, Lado (1964) juga memaparkan bahwa seseorang akan cenderung

menerapkan aturan atau kaidah kebahasaan yang ada dalam bahasa pertama saat

mulai mempelajari bahasa kedua, terlebih lagi saat mempelajari bahasa asing. Hal

ini berdampak pada kesalahan pembentukan pola frasa hingga kalimat yang

diproduksi. Contoh, seorang anak berbahasa pertama bahasa Indonesia dapat saja

mengatakan frasa „buku baru‟, „mobil mahal‟, dan „kucing hitam‟ sebagai „book

new‟, „car expensive‟, dan „cat black‟ yang seharusnya menjadi „new book‟,

„expensive car‟, dan „black cat‟. Fenomena ini dapat terjadi karena struktur pola

frasa dalam bahasa Indonesia berbeda dengan yang ada pada bahasa Inggris.

Dalam struktur frasa bahasa Indonesia, kata benda (contoh: buku, mobil, dan

kucing) yang ada diikuti oleh kata sifat (contoh: baru, mahal, dan hitam). Di sisi

lain, struktur yang dimiliki bahasa Inggris meletakkan kata sifat (contoh: new,

expensive, dan black) sebelum kata benda (contoh: book, car, dan cat). Oleh

karena itu, dibutuhkan pemahaman yang baik dan latihan yang intensif agar dapat

menerapkan struktur yang sesuai dalam bahasa kedua ataupun asing melalui

pelafalan yang tepat (proper pronunciation).

Secara keseluruhan, teori ini juga mengenal adanya konsep „peniruan‟

dan „pengulangan – latihan berulang-ulang (drill)‟. Istilah „drill‟ di sini merujuk

kepada sebuah kegiatan yang melatih kemampuan khusus/tertentu secara terus

11

menerus dan berkesinambungan. Artinya, seseorang dapat melaksanakan suatu

kegiatan, terutama kegiatan berbahasa, dengan meniru cara pihak lain dan

menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari melalui melatih diri

melaksanakannya secara konsisten. Dua konsep ini selanjutnya menjadi dua kunci

keberhasilan seseorang dalam proses belajar menurut teori behaviorisme.

Berdasarkan pemahaman sebelumnya, dapat dicermati bahwa jika terdapat banyak

aspek linguistik yang serupa antara bahasa pertama dan bahasa kedua ataupun

bahasa asing, maka seseorang dapat memperoleh atau memahami struktur bahasa

kedua atau bahasa asing dengan jauh lebih mudah.

Di lain pihak, jika struktur bahasa pertama berbeda, bahkan sangat

jauh berbeda dengan bahasa kedua atau bahasa asing, maka seseorang dapat

mengalami kesulitan atau kendala dalam memahaminya. Selain proses

imitasi/peniruan, paham ini juga menganjurkan agar seseorang membiasakan diri

(proses habituation) dengan aspek linguistik yang ada saat mempelajari bahasa

baru. Satu hal lain yang tidak kalah krusial adalah dalam teori pembelajaran

bahasa behaviorisme juga terdapat pengembangan metode drill atau lebih

memperbanyak latihan penggunaan bahasa tersebut, baik secara lisan maupun

tertulis.

Proses pembelajaran dapat dikatakan telah berjalan dengan baik jika

peserta didik mampu menunjukkan perubahan tingkah lakunya menuju arah yang

positif atau pada akhirnya terdapat perbedaan kondisi kebahasaan atau ilmu

pengetahuan pada peserta didik (dalam hal ini telah meningkat). Dalam proses

pembelajaran sedapat mungkin tersedia peranti pembelajaran tertentu yang dapat

menstimulus minat peserta didik untuk tertarik kepada materi yang diberikan.

11

2.3.2.2 Teori Belajar Nativisme

Istilah nativisme berasal dari kata native yang bermakna „asli‟ atau

„asal‟. Teori ini meyakini bahwa setiap manusia sudah dibekali dengan alat

pemerolehan bahasa (language acquisition device atau LAD) sejak dilahirkan. Hal

inilah yang kemudian berperan signifikan dalam menentukan pertumbuhan dan

perkembangan anak tersebut selanjutnya.

Salah satu tokoh nativisme yang terkemuka adalah Noam Chomsky. Ia

berpendapat bahwa perilaku berbahasa merupakan sesuatu yang diturunkan secara

genetik sementara lingkungan hanya berperan kecil dalam proses pematangan

bahasa. Ia memperjelas pendapatnya dengan menyatakan bahwa lingkungan

bahasa anak tidak mampu menyediakan data yang cukup bagi penguasaan tata

bahasa serumit yang telah dipahami oleh orang dewasa. Tanpa LAD, tidak

mungkin seorang anak dapat menguasai bahasa dalam waktu singkat dan mampu

menguasai sistem bahasa yang rumit.

Terkait dengan sikap yang berlawanan dengan teori behaviorisme,

dalam Kristianty (2006: 32) dipaparkan bahwa teori nativisme juga berpendapat

bahwa ujaran seorang anak bukan merupakan „tiruan‟ dari apa yang didengarnya

dan terlebih dalam beberapa kasus ditemukan bahwa anak-anak dapat membentuk

kalimat atau ujaran yang belum pernah didengar. Dua hal ini dapat menjadi

sebuah indikator bahwa teori nativisme juga dapat berpengaruh terhadap proses

komprehensi seseorang dalam pemerolehan bahasa kedua (atau asing sekalipun)

selain teori behaviorisme.

11

2.3.3 Teori Kartu Flash Card Glenn Doman

Selain teori berbicara, tulisan ini juga menerapkan teori Glenn

Doman. Teori ini menggunakan metode dengan cara kerja tematik. Metode

tematik ini dirancang khusus untuk mengoptimalkan potensi mahasiswa sehingga

pengajar hanya berperan sebagai fasilitator. Metode ini berpusat pada peserta

didik – dalam hal ini mahasiswa – (student-centered), tetapi dalam pengajaran

dapat dilakukan dalam pola permainan sehingga tidak membosankan. Teori untuk

kartu flash card sangat berguna untuk menambah perbendaharaan kata pada

peserta didik. Kartu ini berisi gambar beserta kata-kata atau penjelasan lainnya.

Dalam penelitian ini, seluruh seri kartu tematik dibagikan kepada para

mahasiswa yang telah dibagi menjadi beberapa kelompok kecil untuk kemudian

disimak bersama-sama. Mereka berlatih cara melafalkan kata-kata tertentu secara

berulang-ulang kemudian menukar kartu tersebut dengan kartu berbeda dari

kelompok lainnya sehingga mereka menyimak seluruh seri kartu yang ada.

2.4 Model Penelitian

Penelitian tindakan kelas atau PTK (classroom action research)

memiliki peranan yang sangat penting dan strategis untuk meningkatkan mutu

pembelajaran apabila diimplementasikan dengan baik dan benar (Kusnandar,

2010: 41). Dari segi pengertian istilah, Kusnandar juga mengungkapkan bahwa

PTK merupakan penelitian tindakan yang dilakukan dengan tujuan memperbaiki

mutu praktik pembelajaran di kelas, sementara fokus PTK terdapat pada peserta

didik atau PBM (proses belajar mengajar) yang terjadi di kelas. Tujuan utama

PTK adalah untuk memecahkan permasalahan nyata yang terjadi di kelas dan

11

meningkatkan kegiatan nyata guru dalam kegiatan pengembangan profesinya

(Kusnandar, 2010: 45).

Penelitian tindakan kelas terdiri atas beberapa langkah yang terealisasi

dalam bentuk kegiatan pembelajaran dan pengajaran. Dengan adanya perincian

yang jelas, maka dapat dibuat kepastian yang baik terkait dengan tujuan

pembelajaran. Dalam praktik di lapangan, setiap pokok bahasan biasanya tidak

dapat diselesaikan dalam satu langkah sehingga setiap satu langkah menjadi

sangat krusial dan berperan signifikan untuk langkah berikutnya.

Pembelajaran materi kantor depan

(front office)

Mahasiswa

Kondisi kemampuan

awal (threshold level)

para mahasiswa

Pelaksanaan teknik

kartu tematik terhadap

para mahasiswa Aspek-aspek fonetis

yang menjadi kendala

Penerapan teknik kartu tematik

bergambar yang dilengkapi

deskripsi (Teori Kartu Flash

Card Glenn Doman)

Teori Linguistik –

Fonetik dan Teori

Pembelajaran

Penelitian tindakan

kelas (PTK)

Analisis data

Hasil penelitian tentang pelafalan bahasa

Inggris materi front office melalui kartu

tematik Catatan: : menunjukkan hambatan atau kesulitan

: menunjukkan hubungan selanjutnya

: menunjukkan keterkaitan satu aspek dengan aspek yang lain

Gambar 2.2 Model Penelitian

Konsep bermain peran

11

Model penelitian tersebut berperan sangat penting sebagai panduan

dalam penelitian ini karena memiliki keterkaitan antara rumusan masalah yang

ada, teori yang digunakan, dan hasil yang diperoleh yang tentunya merujuk pada

pemecahan masalah. Berikut ini merupakan penjabaran terkait dengan gambar

model penelitian di atas.

1. Sesuai dengan topik utama penelitian ini (pelafalan bahasa Inggris,

khususnya untuk materi front office bagi mahasiswa) penelitian difokuskan pada

pemecahan tiga hal yang menjadi permasalahan atas kendala yang ditemukan

dalam proses pembelajaran. Pertama, mengetahui kondisi kemampuan dasar

(threshold level) pelafalan para mahasiswa terkait dengan konteks pembelajaran

front office sebelum teknik kartu tematik dilaksanakan. Kedua, terkait dengan

bentuk pelaksanaan teknik kartu tematik terhadap para mahasiswa saat praktikum

untuk menghasilkan pelafalan yang tepat. Ketiga, mengetahui aspek-aspek fonetis

yang menjadi kendala dasar dalam pelaksanaan praktik berbicara para mahasiswa.

Pembatasan pembahasan berperan sangat krusial untuk menjaga agar pemecahan

masalah dapat diselesaikan dengan tepat dan tidak melebar.

2. Teori yang digunakan untuk pemecahan masalah yang ada terbagi

atas dua teori utama, yaitu teori lingustik dan teori pembelajaran. Teori linguistik

mengacu pada teori Ladefoged dan Johnson (2010). Selanjutnya teori ini dibagi

menjadi beberapa subteori, yaitu teori production skill, teori keterampilan

berinteraksi dalam metodologi bahasa lisan, teori pengaturan kelas dan

kemampuan lisan (ketiganya oleh Bygate (2008)). Teori-teori itu dilengkapi

dengan teori kesalahan berbahasa oleh Corder (1974) dalam Indihadi (2--3).

11

Teori kedua, yaitu teori pembelajaran terdiri atas teori belajar

behaviorisme dan teori belajar nativisme. Permasalahan pelafalan yang ditemukan

dapat dipecahkan melalui sudut pandang behaviorisme terlebih dahulu dan

kemudian ditinjau juga dari sudut pandang nativisme. Hal ini disebabkan oleh

kedua teori tersebut terlihat agak berlawanan, tetapi dari keduanya dapat ditarik

suatu benang merah untuk mengetahui teori belajar yang digunakan oleh para

mahasiswa dalam mempelajari bahasa asing.

3. Di samping kedua teori utama yang telah disebutkan sebelumnya,

ditambahkan sebuah teori pelengkap, yaitu teori kartu flash card oleh Glenn

Doman. Teori ini sangat relevan karena membahas tentang penggunaan media alat

bantu pengajaran yang digunakan dalam penelitian ini (kartu tematik bergambar).

Secara keseluruhan, semua teori ini berperan penting saat digunakan untuk

mengolah data dari beberapa sampel yang mewakili jumlah total subjek penelitian

dan memecahkan setiap rumusan masalah yang ada.

4. Pelaksanaan teknik kartu tematik dalam penelitian ini juga

didukung dengan penerapan konsep bermain peran. Dapat dijabarkan bahwa

setelah para mahasiswa mengetahui dan memahami beragam istilah terkait dengan

konteks kantor depan, mereka juga harus mampu menerapkan dan menggunakan

istilah tersebut. Selama pelaksanaan penelitian dan pengambilan nilai, teknik kartu

tematik dan konsep bermain peran bersinergi dan saling menunjang satu dengan

yang lain untuk meningkatkan kemampuan pelafalan para mahasiswa saat

praktikum. Dalam hal ini, teknik kartu tematik berperan untuk memberikan

pemahaman menyeluruh tentang istilah-istilah dalam materi operasi kantor depan

kepada mahasiswa dan cara melafalkan istilah tersebut dengan tepat. Setelah tahap

11

pemahaman, konsep bermain peran memiliki fungsi untuk menguji para

mahasiswa dalam menerapkan istilah yang telah dipelajari ke dalam tataran

kalimat atau ujaran.

Konsep ini memiliki peran yang krusial karena pengambilan nilai dan

data dilaksanakan dengan cara bermain peran. Sebagai contohnya, salah satu

mahasiswa berperan sebagai resepsionis dan mahasiswa yang lain berperan

sebagai tamu hotel yang diminta berdialog sesuai dengan tema yang diberikan.

Dengan bermain peran secara bergantian, kegiatan ini akan memantapkan

sekaligus menyiapkan diri mereka sebelum memasuki dunia kerja sesungguhnya.

5. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) sehingga

pelaksanaannya membutuhkan tiga tahapan, yaitu tahap pratindakan, siklus I, dan

siklus II. Hasil pengamatan yang diperoleh pada tahap pratindakan dijadikan

sebagai bahan acuan dalam menyusun perencanaan pembelajaran pada siklus I

dan II. Terkait dengan prosedur yang diterapkan terhadap data merujuk pada

beberapa tahapan kerja, yaitu pengumpulan data, analisis data, dan penyajian data.

6. Khusus pada tahap analisis data, data yang telah terkumpul

dianalisis dengan dua metode, yaitu data berupa angka/numerik dianalisis dengan

metode kuantitatif dan data berupa hasil observasi/pengamatan, wawancara, dan

dokumentasi dianalisis dengan metode kualitatif untuk mendapatkan informasi

tentang perilaku mahasiswa terkait dengan penelitian dalam setiap siklus hingga

akhir penelitian.

7. Melalui penerapan teori, diperoleh hasil penelitian berupa data

yang disajikan dalam dua jenis. Data yang bersifat kuantitatif disajikan dalam

11

bentuk tabel dan grafik sementara data yang bersifat kualitatif ditampilkan dalam

bentuk deskripsi dan keterangan secara terperinci.