Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
17
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Kajian tentang etnis Tionghoa mulai semakin menarik dan mendapat minat
dari para peneliti (akademisi) dalam negeri (Indonesia) ataupun luar negeri.Persoalan-
persoalan yang dihadapi oleh etnis Tionghoa sebagai etnis “perantauan” (diaspora)
yang ada di berbagai negara/kawasan pada umumnya dan di Indonesia pada
khususnya banyak dikaji terutama yang berada di pusat-pusat aktivitas perekonomian.
Sementara itu, kajian etnis Tionghoa yang ada di pedesaan masih dianggap langka
sehingga penelitian ini dipandang penting dilakukan dengan judul:“Kuasa di Balik
Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis Tionghoa dan Etnis Bali”di Desa Pupuan,
Tabanan, Bali”.
Dalam penelusuran pustaka studi ini ditemukan beberapa kajian yang
menjadikan etnis Tionghoa di Bali sebagai subjek sekaligus objek kajian, di
antaranya: Pertama,sebuah kumpulan tulisan dari intelektual Bali yang berjudul:
Integrasi Budaya Etnis Tionghoa ke Dalam Budaya Bali: Sebuah Bunga Rampai oleh
Made Sulistyawati sebagai editor (2008), yang memaparkan tentang adanya
akulturasi budaya Tionghoa dalam berbagai aspek seni budaya di Bali sehingga
memperkaya kebudayaan Bali.
18
Pada buku (kumpulan tulisan) itu terdapat karya I Wayan Geriya (2008: 26-
44) yang berjudul:“Pola Hubungan Antaretnis Bali dan Tionghoa dalam Dinamika
Kebudayaan dan Peradaban”. Tulisan Geriya memiliki tujuan untuk dapat
mendeskripsikan secara padat tentang kontribusi dan sinergi bermakna kedua etnis
bagi dinamika kebudayaan dan peradaban lokal, nasional dan universal. Metode yang
digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dan memakai analisis antropologis.
Hasil temuan dari Griya secara substantif dikatakan bahwa hubungan antaretnis
Tionghoa dan Bali di daerah Bali bersifat ekstensif dan intensif berbasis prinsip
resiprositas, akulturatif, dan toleransi yang sekaligus menjadi temuannya dengan
sumber data bersifat historis, antropologis dan demografis. Dijelaskan pula bahwa
karakteristik yang mengandung paralelisme dan persamaan telah mendorong
terwujudnya integrasi kedua etnis bersangkutan.
Berdasarkan penelusuran terhadap tulisan Geriya itu sangat jelas berbeda
dengan disertasi ini,baik fokus kajian, pendekatan yang digunakan maupun lokasi
penelitiannya.Walaupun ada perbedaannya, tulisan Geriya tetap ada relevansinya dan
memberikan sumbangan yang sangat penting bagi peneliti dalam melakukan analisis
kualitas ataupun kuantitas hubungan kedua etnis di Desa Pupuan.
Kedua,sebuah karya dari Made Purna (2008)yang termuat pada Jurnal
Penelitian Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisionaldengan judul:“Pengaruh
Kebudayaan Tionghoa dalam Pembentukan Identitas Budaya Spriritual Bali: Sebuah
Model Integrasi Budaya”. Adapun tujuan dari karyanya adalah untuk mengetahui
unsur-unsur perekat budaya Bali dengan etnis Tionghoa sehingga menghasilkan
19
sebuah model integrasi budaya. Metode yang digunakan oleh Purna adalah metode
deskriptif kualitatif dengan pendekatan dan analisis antropologis.
Purna dalam tulisan itu mengatakan bahwa budaya Tionghoa sudah
diperkenalkan dengan budaya Bali sejak Abad VII dan menguraikan tentang berbagai
religi, tradisi, cerita ataupun tarian sudah mendapatkan pengaruh dari kebudayaan
etnis Tionghoa dan salah satu yang sangat terkenal adalah Barong Landung. Purna
juga mengulas tentang unsur-unsur sebagai perekat antara budaya etnis Tionghoa dan
Bali, di antaranya adanya perkawinan antaretnis, penghormatan terhadap leluhur dan
adanya kesamaan dalam simbol-simbol keagaman. Kajian Purna yang berbeda
dengan kajian yang dilakukan ini, yakni dalam hal fokus yang diangkat dan segi
metodologisnya. Namun, di balik itu ada relevansinya, yaitu dapat memperkaya
wawasan peneliti dalam mengkaji keharmonisan yang tercipta di Desa Pupuan antara
etnis Tionghoa dan etnis Bali.
Ketiga, karya I Ketut Wirata (2000) berupa tesis magister (S-2) Program
Kajian Budaya Universitas Udayna, dengan judul: Integrasi Etnis Tionghoa di Desa
Adat Carangsari Kecamatan Petang Kabupaten Badung Bali (Suatu Kajian Budaya.
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian Wirata adalah untuk mengetahui
karakteristik etnis Tionghoa di Desa Adat Carangsari, integrasi etnis Tionghoa di
Desa Adat Carangsari dan bentuk-bentuk integrasi dan peminjaman budaya. Kajian
Wirata menggunakan metode deskriptif kualitatif dan menggunakan pendekatan
antropologis yang masih berparadigma positivistik.
20
Dalam simpulannya, Wirata menyatakan bahwa etnis Tionghoa di Desa Adat
Carangsari terikat satu persaudaraan (penyamaan) dengan etnis Bali sehingga dapat
menempati wilayah yang sama dengan etnis Bali, yaitu tanah ayahan desa (karang
desa). Selain itu, menurutnya, terwujudnya integrasi etnis Tionghoa ke dalam Desa
Adat Carangsari dengan bukti dimilikinya juga tempat pemujaan leluhur dan tempat
suci agama Hindu sesuai dengan agama yang dianutnya, yaitu agama Hindu.
Berdasarkan ulasan itu maka kajian yang dilakukan oleh Wirata berbeda
dengan peneliti. Akan tetapikajian tersebut penting dan bermanfaat serta memiliki
relevansi bagi penulis untuk dapat memahami lebih jauh tentang integrasi etnis yang
berbeda pada suatu tempat di Bali khususnya di Desa Pupuan yakni harmonisnya
etnis Tionghoa dan etnis Bali.
Keempat, karya dari akademisi Universitas Udayana, Sutjiati Beratha, Ardika,
dan Dhana (2010)dengan judul: Dari Tatapan Mata ke Pelaminan Sampai di Desa
Pakraman: Studi tentang Hubungan Orang Bali dengan Orang Cina di Bali. Kajian
ini mengambil tiga lokasi yaitu Desa Baturiti, Desa Carangsari, dan Desa Padangbai
yang ketiga desa tersebut tersebar di tiga kabupaten di Provinsi Bali.
Penelitian tersebut bertujuan untuk memahami pandangan orang Bali
mengenai orang Tionghoa dan pandangan orang Tionghoa mengenai orang Bali yang
melatari perkawinan campuran dan kebersamaannya dalam desa pakraman,
perlakuan orang Bali terhadap orang Tionghoa dan sebaliknya dalam keluarga dan
desa pakraman serta implikasi perkawinan campuran di antara kedua etnis tersebut
dilihat dari sudut multikulturalisme.Metode yang digunakan dalam penelitiantersebut
21
adalah metode deskriptif kualitatif dengan analisis interpretatif dan berpendekatan
emik dan etik.
Adapun temuan dari kajian tersebut adalah (1) Latar belakang perkawinan itu
didasari oleh lima hal, yaitu kecantikan/ketampanan, kondisi sosial ekonomi,
keberagamaan, sikap dan perilaku sosial. Di antara kelima unsur itu yang terpenting
dipertimbangkan adalah aspek kecantikan/ketampanan dan kondisi sosial ekonomi
untuk mengambil keputusan dalam perkawinan, dan (2) Kebersamaan orang Bali
dengan orang Tionghoa dalam desa pakraman dilatari oleh adanya keinginan dari
kedua belah pihak untuk melestarikan tradisi leluhurnya yang sudah melakukan
perkawinan campuran dan kebersamaan dalam desa pakraman.
Di samping itu, masing-masing pihak memiliki kepentingan, yaitu orang Bali
memiliki kepentingan agar memperoleh dukungan dari orang Tionghoa untuk dapat
menguatkan desa pakraman sebagai modal budaya sekaligus simbol identitasnya. Di
lain pihak, orang Tionghoa juga memperoleh dukungan dari orang Bali sehingga
mendapatkan rasa aman serta lahan untuk tempat tinggal, pemakaman dan tempat
ibadah sebagai modal budaya dan sekaligus sebagai simbol identitasnya pula. Dengan
demikian, adanya sikap saling mendukung itu tampak orang Bali memaknai desa
pakraman sebagai alat untuk memperoleh dukungan dari orang Tionghoa dan
sebaliknya orang Tionghoa memaknainya sebagai modal sosial sekaligus modal
budaya yang diperoleh dengan menggunakan modal ekonomi berupa uang dan barang
yang disumbangkan kepada desa pakraman.
22
Apabila dibandingkan dengan penelitian yang peneliti lakukan maka memang
ada persamaannya, yakni sama-sama mengkaji keberadaan etnis Tionghoa, tetapi
perbedaannya sangatlah jelas bahwa penelitian tersebut menggunakan pendekatan
multidisipliner mendasarkan pada latar belakang keilmuan dari ketiga peneliti yang
bersangkutan. Sementara itu, kajian yang peneliti lakukan menggunakan pendekatan
kajian budaya, lokasi penelitian dan fokus penelitian juga berbeda. Walaupun
demikian, kajian tersebut memiliki relevansi dan banyak memberikan wawasan bagi
peneliti untuk memahami lebih dalam kehidupan multikultural dan perkawinan lintas
etnis serta implikasinya dalam berinteraksi di lapangan.
Kelima, karya lain dari kalangan akademis Universitas Udayana, yaitu
Sulistyawati (2011) sebagai editor dengan judul: Integrasi Budaya Tionghoa ke
Dalam Budaya Bali dan Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Pada karya itu
dipaparkan sembilan karya dari berbagai pakar pada bidangnya dengan tujuan yang
ingin dicapainya sesuai dengan topik atau tema yang disajikan.
Salah satu karya dari sembilan akademis Unud dalam buku bunga rampai
itu,yaitu tulisan I Wayan Ardika dengan judul: “Hubungan Komunitas Tionghoa dan
Bali: Perspektif Multikulturalisme”. Dalam kajiannya ditemukan bahwa hubungan
antara komunitas Tionghoa dan Bali di tiga desa lokasi kajiannya, yaitu Desa Baturiti,
Petang, dan Padangbai, menunjukkan keadaan harmonis, toleran dan saling
menghormati serta mengagungkan kesederajatan dalam perbedaan.
Ardika juga berkesimpulan bahwa kondisi tersebut adalah sebagai cerminan
dari ideologi multikulturalisme yang sudah dipraktikkan oleh kedua komunitas di
23
ketiga desa yang bersangkutan dan tumbuhnya ideologi itu disebabkan kesamaan
nilai-nilai dalam agama kedua komunitas itu, yaitu Budha/Khonghucu dan Hindu,
yang menjunjung tinggi persamaan dalam perbedaan.
Berdasarkan ulasan itu tulisan tersebut tentu berbeda dengan fokus kajian dan
lokasi yang peneliti lakukan. Walaupun demikian tulisan tersebut memiliki relevansi
dengan isu yang peneliti angkat dalam penelitian ini dan banyak memberikan
pengetahuan bagi peneliti dalam mengkaji keharmonisan hubungan antaretnis
Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan.
Keenam,karya I Putu Putra Kusuma Yudha (2014) berupa tesis Program
Pascasarjana (S-2) Universitas Udayana, dengan judul: Perubabahan Identitas
Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan.
Tulisan Yudha ini pada intinya bertujuan untuk dapat memahami faktor-faktor yang
memengaruhi perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan, dan
implikasi serta makna perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Metode
yang digunakannya adalah metode deskriptif kualitatif berpendekatan kajian budaya.
Kajian yang dilakukan oleh Yudha sama-sama tentang etnis Tionghoa di
lokasi yang sama, namun isu dan fokus yang diangkat berbeda dengan yang peneliti
lakukan. Akan tetapi, peneliti juga memandang karya dari Yudha itu memiliki
relevansinya dan dapat dijadikan referensi sehingga dapat menambah wawasan
peneliti dalam mencandrakan persoalan yang dipecahkan dalam disertasi ini.
Selain karya-karya di atas yang secara khusus mengkaji eksistensi etnis
Tionghoa secara lokalitas di Bali, berikut dipaparkan kajian-kajian dalam skala yang
24
lebih luas, baik bersifat nasional maupun di kawasan luar Indonesia, yang
substansinya juga membahas problematik dan eksistensi etnis Tionghoa, seperti yang
dilakukan oleh Koentjaraningrat (1982), yaitu kajiannya tentang: “Lima Masalah
Integrasi Nasional”. Tulisan ini yang di dalamnya mengulas etnis Tionghoa di
Indonesia adalah kelompok minoritas, tetapi dalam perkembangannya etnis ini
mengalami pertumbuhan sangat pesat dan tersebar hampir di seluruh wilayah
Indonesia.
Dijelaskan pula bahwa etnis Tionghoa itu tidak berasal dari satu suku bangsa,
tetapi berasal dari empat suku bangsa, yaitu Hokkian, Hakka, Tiu-Chiu dan Kanton.
Keempat etnis ini umumnya menekuni aktivitas perdagangan, yaitu sebagai
pedagang. Kehadirannya di Indonesia tentu saja menimbulkan berbagai persoalan,
seperti masalah kewarganegaraan, ketenagakerjaan, dan integrasi
nasional.Berdasarkan substansi yang ditulis oleh Koentjaraningrat jelas terdapat
perbedaan fokus kajian dan kajian peneliti bersifat studi kasus tentang kehidupan
harmonis etnis Tionghoa dan etnis Bali di daerah pedalaman, yaitu di Desa Pupuan.
Karya intlektual berikutnya, yaitu Emil Salim (1983) dalam sebuah Lokakarya
Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Bangsayang memaparkan pokok-pokok
pikirannya yang berjudul: “Membina Keselarasan Hubungan Pri -Non-Pri”. Dalam
tulisannya itu dikemukakan bahwa adanya sentimen pri-non-pri berawal dari adanya
perlakuan yang berbeda antara golongan pribumi dan non-pribumi. Adanya perlakuan
yang berbeda itu mengakibatkan munculnya dua kelompok, yaitu kelompok ekonomi
lemah identik dengan golongan pribumi dan kelompok ekonomi kuat identik dengan
25
golongan non-pribumi. Selanjutnya, berkembangnya sikap sentimen antara Pri-non-
Pri berdampak kurang menguntungkan bagi terciptanya integrasi nasional. Oleh
karena itu, muncullah berbagai pihak untuk mencarikan solusinya sebagai upaya
menemukenali alternatif atau resep untuk memecahkan persoalan tersebut. Dalam
konteks ini kemudian muncul karya M.Sa‟dun (1999) dalam bukunya yang berjudul:
Pri - non-Pri Mencari Format Baru Pembaharuan. Kedua karya ini berupaya
mencari dan menemukan formula yang tepat sebagai resep untuk terwujudnya
harmoni atau kesatuan berbangsa dan bernegara di antara penduduk Indonesia yang
diistilahkan dengan sebutan pribumi dan non-pribumi.
Namun, kajian yang peneliti lakukan ini tidak lagi menggunakan kedua istilah
itu (Pri-non-Pri) sebab sejak era Reformasi (1998) ada pelarangan penggunaan istilah
tersebut sehingga peneliti menggunakan sebutan langsung yaitu etnis Tionghoa dan
etnis Bali. Memang ada persamaan dari penelitian yang penulis lakukan dengan karya
di atas, yaitu sama-sama ingin menemukan suatu formula untuk dijadikan pijakan
agar terwujudnya suatu harmoni dalam masyarakat yang pluralistas.
Karya dari Onghokham (1983) dengan judul :Rakyat dan Negara yang
menguraikan tentang refleksi seorang peranakan mengenai sejarah Tionghoa- Jawa”.
Dalam tulisannya dikatakan bahwa sejarah Tionghoa-Jawa sangat berkaitan erat
dengan perkembangan kolonialisme, yaitu adanya saling pengertian antara Belanda
dan etnis Tionghoa sejak awal kedatangannya ke Indonesia, mengingat keduanya
datang sama-sama dengan motif ekonomi sehingga orang Belanda menjadikan etnis
Tionghoa sebagai patner dagangnya. Sementara itu di bidang politik peran etnis
26
Tionghoa cukup penting yaitu ada sebagai opsir atau pejabat dan orang Tionghoa
yang kaya berkedudukan di istana dan memperoleh gelar bangsawan sehingga
memiliki pengaruh yang tinggi.
Selanjutnya, Onghokham mengatakan bahwa kehadiran etnis Tionghoa di
Indonesia memunculkan golongan baru dalam tatanan sosial kemasyarakatan
Indonesia, yaitu golongan Tionghoa Totok dan Tionghoa “cukuran” atau Tionghoa
Peranakan. Dalam perkembangan kolonialisme di Indonesia, etnis Tionghoa
terlembagakan sebagai golongan perantara antara orang Eropa dan orang Jawa.
Paparan tersebut di atas,baik substansi maupun pendekatannya, berbeda dengan
kajian yang peneliti lakukan.
Penulis lain, yakni Frena Bloomfild (1986) dalam karyanya berjudul: Di Balik
Sukses Bisnis Orang-Orang Cina, mengemukakan bahwa berbagai legenda, misteri,
dan tradisi orang-orang Tionghoa yang menjadi latar belakang kultur, gaya hidup,
kepercayaan, agama, dan sikap sosialnya. Jika karya Bloomfild dicermati maka
cenderung gaya penulisannya yang bersifat deskriptif dan berbeda dengan yang
peneliti lakukan.
Leo Suryadinata (1988) dalam karyanyaberjudul: The Culture of the Chinese
Minority in Indonesia (Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia: Dede Oetomo,
penterj.) menguraikan tentang “Pendidikan Tionghoa Indonesia: Dahulu dan
Sekarang”, “Khonghucuisme di Indonesia: Dahulu dan Sekarang”, “Sejarah Singkat
Pers Tionghoa Indonesia”, “Gerakan Dakwah di Kalangan Orang Tionghoa
Indonesia”, “Sastra Peranakan di Indonesia”, dan “Cerita Silat Sesudah Perang di
27
Indonesia”. Sebaliknya, kajian peneliti lebih mengarah pada relasi dua etnis yang
berbeda, tetapi dapat bekerjasama dan harmonis sampai saat ini. Karya Suryadinata
ini dapat dipakai sebagai referensi bagi peneliti dalam mengurai pendidikan yang
dilakukan oleh etnis Tionggoa yang bersifat etnopedagogik.
Karya Jennifer Cushman dan Wang Gungwu (1991) dalam kumpulan
karangannya berjudul: Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara. Pada
intinya membahas keberadaan etnis Tionghoa di Asia Tenggara, yang secara
kaleidoskopik menggambarkan bagaimana etnis Tionghoa di Asia Tenggara
menanggapi lingkungan yang berubah sesudah Perang Dunia II. Selain itu,
bahasannya menunjukkan adanya perubahan identitas pada etnis Tionghoa, yaitu jika
sebelumnya etnis ini sangat didominasi oleh apa yang disebut identitas historis, tetapi
kini etnis Tionghoa di kawasan Asia Tenggara berubah dengan menampilkan
identitas lain seperti identitas komunal, budaya, etnis,dan kelas.
Adanya perubahan itu tidak bisa dilepaskan dari dinamika kehidupan etnis
Tionghoa di daerah rantauan yang selalu berusaha memodifikasi dua kepentingan
yang dalam hal-hal tertentu bertolak belakang, yaitu antara kepentingan pemenuhan
kebutuhan nasional dimana etnis Tionghoa bermukim dan adanya kepentingan dalam
pelestarian warisan budaya yang dipercayainya sehingga etnis Tionghoa dapat
mempertahankan eksistensinya.
Di dalam buku tersebut juga dikemukakan tentang konsep identitas etnis
Tionghoa dan identitas ganda. Dalam analisis yang dilakukan oleh Gungwu dikatakan
bahwa kesadaran sebagai etnis Tionghoa atau rasa kecinaan merupakan unsur inti
28
dari etnis Tionghoa. Adapun fokus kajian yang dilakukan oleh Gungwu dan Cushman
adalah pembicaraan mereka tentang perubahan identitas etnis Tionghoa di Asia
Tenggara. Ulasan dalam buku tersebut jelas berbeda dengan kajian yang peneliti
lakukan. Walaupun ada perbedaan, tulisan dari Gungwu sangat bermanfaat bagi
peneliti untuk melihat perilaku adaptif dari etnis Tionghoa di lokasi perantauan (Desa
Pupuan) sehingga etnis ini dapat hidup harmonis dengan etnis Bali.
Karya Stuart William Greif (1988) dengan judul: WNI: Problematik Orang
Indonesia Asal Cina (judul asli: Indonesians of Chinese Origin: Assimilation and the
Goal of “One Nation-On People”(Dahana, 1991,Penerj.), yang pada intinya
menguraikan tentang permasalahan yang dihadapi oleh orang Indonesia keturunan
etnis Tionghoa, baik peranakan maupun totok,yang sudah ratusan tahun menjadi
penduduk Indonesia. Meskipun sudah diakui ada kemajuan,permasalahan mereka
belum terpecahkan dengan tuntas.
Dalam karya itu juga dipaparkan tentang curahan hati, pikiran dan harapan
bagi keturunan etnis Tionghoa yang sudah atau belum menjadi WNI dalam berbagai
hal tentang kehidupannya di Indonesia serta bagaimana pertentangan dari kelompok
integrasionis yang menginginkan keturunan etnis Tionghoa menjadi suku tersendiri
dan golongan asimilasionis yang ingin membaurkan diri ke dalam masyarakat
Indonesia sehingga lebur menjadi orang Indonesia.
Berdasarkan fokus studi yang dilakukan oleh Greif sebagaimana diuraikan di
atas tentu saja kajian yang peneliti lakukan jelas berbeda, namun kajian Greif juga
amat bermanfaat bagi peneliti dalam hal untuk melakukan dialog dengan etnis
29
Tionghoa di Desa Pupuan sehingga peneliti mendapatkan curahan hati dan pikiran
ataupun harapan dari etnis Tionghoa di Desa Pupuan pada masa-masamendatang agar
hubungan penuh toleransi dapat ditumbuhkembangkan sebagai pilar hidup yang
harmonis.
Yusmar Yusuf (1994) mencoba mengajukan model penanganan masalah
hubungan antaretnis, yang berjudul: Baba Tauke dan Awang Melayu Relasi
Antaretnik di Riau. Dalam karyanya itu dikatakan bahwa relasi antara Tauke-
Nelayan, secara historis dan sosial budaya, merupakan sistem dinamis yang
menggerakkan fungsi-fungsi sosial masyarakat dalam perilaku sosial ekonominya
tetap dilandasi oleh proses keseimbangan struktural dan akomodasi ekspresif melalui
pola pertukaran atau keseimbangan resiprositas yang mereka persepsikan sebagai alat
peredam konflik dan sekaligus sebagai pola pemeliharaan sistem sosial.
Jika dicermati maka karya Yusuf tersebut berbeda dengan kajian yang peneliti
lakukan, bukan saja dari aspek special, substansi,tetapi juga dari pendekatan yang
digunakan, yaitu Yusuf lebih menekankan dari pendekatan sosiologis dan
antropologis.Akan tetapi, karya Yusuf tersebut dapat dijadikan model untuk
menemukan kiat-kiat yang dilakukan oleh kedua etnis, yaitu etnis Tionghoa dan etnis
Bali untuk dapat hidup harmonis.
Harlem Siahaan (1994) dalam kajiannya dengan judul: Konflik dan
Perlawanan Kongsi Cina di Kalimantan Barat 1770-1854 mengatakan bahwa
tantangan terhadap kehadiran dan peranan Belanda yang semakin bersifat struktural
juga berasal dari para kolonis dan kongsi etnis Tionghoa. Kelompok etnis Tionghoa
30
menganggap bahwa kehadiran dan intensifikasi peranan pihak Belanda termasuk
dalam urusan pemerintahan, keamanan, serta perdagangan tentu saja akan merugikan
pihaknya.
Diuraikan pula bahwa konsolidasi kekuasaan kesultanan dimungkinkan
dengan adanya bantuan pasukan dan administrasi Belanda cenderung mengganggu
konstelasi kekuatan politik bagi para imigran dan kongsi etnis Tionghoa, kesultanan
yang lemah secara politik, militer, dan keuangan merupakan kondisi yang ideal bagi
pencapaian tujuan-tujuan ekonomi dan perdagangan etnis Tionghoa. Oleh karena itu,
kondisi seperti itu paling tidak dapat dimanfaatkan dalam menegakkan otonomi
kampung dan kongsi etnis Tionghoa seoptimal mungkin serta untuk melakukan
tawar-menawar secara lebih menguntungkan pihak etnis Tionghoa.
Karya Siahaan di atas jika dilihat dari substansi yang diuraikannya sangat
jelas dipergunakannya pendekatan historis yang bersifat struktural dalam kajiannya
itu. Oleh karena itu, kajian peneliti justru bukan berbicara konflik tetapi justru
terciptanya sebuah harmoni di antara dua etnis yang berbeda budaya, asal usul, etnik,
tetapi dapat hidup berdampingan secara damai (rukun) dan dibedah dengan
pendekatan kajian budaya dengan menggunakan teori-teori sosial kritis. Akan tetapi,
kajian Siahaan dapat menambah wawasan peneliti untuk melihat dinamika hubungan
antaretnis di Desa Pupuan dalam kehidupannya sepanjang interaksi yang terjalin
sejak awal kedatangan etnis Tionghoa di daerah penelitian.
Hariyono (1994) dalam karyanya yang berjudul: Kultur Cina dan Jawa:
Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural, yang menurut penulisnya perlu kiranya
31
diperhatikan yang didasarkan atas pertimbangan bahwa ada peluang yang sangat
besar mengingat agama dan ideologi bukanlah merupakan masalah yang cukup kuat
untuk menghalangi hubungan antaretnik. Dikatakan pula bahwa secara historis etnis
Tionghoa tidak berkecenderungan kuat untuk mempertahankan ideologi dan
agamanya. Walaupun demikian, ternyata hal tersebut tidak akan menjamin tidak
terjadinya konflik. Misalnya, kasus pernikahan antaretnis Tionghoa dengan etnis
Jawa, sebagaimana yang dikaji oleh Abigael Wohing Ati (1994) yang dituangkan
dalam bukunya berjudul: Menguji Cinta: Konflik Pernikahan Cina - Jawa.
Dalam tulisan Ati juga dipaparkan bahwa agama dan ideologi bukan masalah
yang cukup kuat untuk menghalangi pernikahan antaretnik, mengingat etnis Tionghoa
tidak berkecenderungan kuat untuk mempertahankan ideologi dan agama. Kriteria
Jawa atau Tionghoa bukanlah sosok tubuh, tetapi konstruk yang tersusun dari
pemahaman dan pengalaman nilai-nilai budaya. Fenomena ini akhirnya mengalami
kehancuran ketika pemerintah kolonial Belanda menerapkan politik adu domba
(devide at impera), politik rasialis, dan resolusi anti perkawinan antaretnis, yang akan
menjadi latar belakang drama anti Cina di Indonesia.
Karya Hariyono dan Ati di atas jelas berbeda dari segi substansi ataupun
lokasi kajian yang dilakukan. Namun, karya tersebut tentu saja dapat menambah
wawasan peneliti untuk lebih dapat memahami karakteristik masing-masing etnis
yang ada di Desa Pupuan sehingga lebih terpahami bahwa terciptanya harmoni dapat
diwujudkan melalui pembauran atau asimilasi budaya di antara etnis yang ada dan
dapat dilakukan dengan melakukan perkawinan lintas etnis sebagaimana yang terjadi
32
di Desa Pupuan sehingga kehidupan yang harmonis tetap dapat dipertahankan sampai
saat ini.
Karya Charles A.Coppel (1994), berjudul: Tionghoa Indonesia Dalam Krisis,
mengulas tentang latar belakang historis masalah etnis Tionghoa dan bagaimana
terjadinya masalah tersebut serta bagaimana usaha masyarakat etnis Tionghoa di
Indonesia untuk mengakomudasi diri dengan pasang surut politik nasional. Selain itu,
disoroti juga olehnya tentang beberapa hal tentang etnis Tionghoa Indonesia yang
merupakan tawanan dari situasi dan sejarah etnisnya sendiri.
Coppel juga mengatakan bahwa sebagai etnis minoritas, tetapi relatif kaya
dengan melakukan aktivitas perdagangan yang tidak seimbang sehingga
menimbulkan rasa antipati dari para pesaing usahawan Indonesia dan sangat
berpengaruh di sektor ekonomi dan sering melakukan kesepakatan dengan pihak
penguasa. Namun, jika terjadi prasangka anti Tionghoa dan terjadi pertentangan
kepentingan terus berlanjut maka ada dilema yang terlalu erat dengan penguasa tentu
akan dapat menimbulkan malapetaka bagi mereka sendiri ketika pemerintah yang
berkuasa dijatuhkan.
Karya Coppel yang komprehensif tentang munculnya berbagai persoalan etnis
Tionghoa (krisis etnis Tionghoa) di Indonesia yang penelusurannya dengan
menggunakan pendekatan temporal (historis) sejak kehadiran para imigran keturunan
etnis Tionghoa melakukan persebaran (diaspora) ke Indonesia dan bagaimana
perlakuan penguasa terhadap etnis Tionghoa dari zaman kolonial sampai
pascakemerdekaan. Uraian tersebut tentu sangat berbeda dengan kajian yang
33
penelitilakukan hanya terbatas secara lokalitas dan substansial. Karya Coppel itu
sangat berguna bagi peneliti ketika merunut dinamika kehidupan etnis Tionghoa di
Desa Pupuan yang juga tidak luput dari kebijakan yang dikenakan kepadanya sejak
kedatangannya ke Desa Pupuan, baik era prakolonial (kerajaan), kolonial, maupun era
pascakemerdekaan.
Denys Lombard (1996), dalam bukunya yang berjudul: Nusa Jawa: Silang
Budaya Jilid II, mengulas secara tajam tentang keberadaan etnis Tionghoa di
Indonesia dalam berbagai peran yang dimainkannya dan pengaruhnya pada berbagai
sendi kehidupan masyarakat. Karya Lombard membahas secara detail tentang
eksistensi dan peran yang dimainkan oleh etnis Tionghoa di Indonesia dalam segala
aspek kehidupan di Indonesia. Sementara itu, kajian yang peneliti lakukan hanya
terbatas pada kehidupan yang harmonis etnis Tionghoa di daerah pedesaan yang jauh
dari pusat aktivitas ekonomi, yaitu di Desa Pupuan.
Meskipun ada perbedaan dengan kajian peneliti, tulisan Lombard itu dapat
bermanfaat bagi peneliti untuk melihat dalam skala kecil (mikro) bagaimana peran
serta etnis Tionghoa di Desa Pupuan dalam berbagai kehidupan dan pada akhirnya
dapat hidup menyatu dengan masyarakat lokal yang mayoritas etnis Bali sehingga
tercipta sebuah kehidupan yang harmoni.
Leo Suryadinata (1999), dalam karyanya berjudul: Etnis Tionghoa dan
Pembangunan Bangsa, mengulas secara komprehensip mengenai masalah etnis
Tionghoa. Dalam hal ini Suryadinata mengkaji beberapa hal, seperti “Etnis Tionghoa
dan Pembangunan Bangsa di Asia Tenggara”, “Pencarian Identitas Nasional Etnis
34
Tionghoa di Asia Tenggara”, “Pola Partisipasi Politik Etnis Tionghoa di Empat
Negara ASEAN”, “Kebijakan Pemerintah dan Integrasi Nasional di Indonesia”, dan
“Bumi Putra dan Pribumi: Nasionalisme Ekonomi di Malaysia dan Indonesia”. Jika
dilihat secara substatif karya Suryadinata di atas tentu cakupannya cukup luas, yakni
bukan saja berbicara etnis Tionghoa di Indonesia tetapi juga di luar Indonesia yaitu di
kawasan negara-negara Asia Tenggara.
Kajian yang peneliti lakukan tentu saja sangat terbatas secara lokalitas yang
bersifat mikro, yaitu di Desa Pupuan, dan hanya memfokuskan kajian terhadap
terciptanya harmoni di daerah tersebut sehinga diharapkan menemukan sebuah
formula atau model yang dapat disebarluaskan untuk menjaga kehidupan yang
harmonis di daerah-daerah yang rawan munculnya konflik akibat berbedaan etnik
yang ada. Untuk itu, tulisan Suryadinata khususnya pada tema: “Kebijakan
pemerintah dan integrasi nasional di Indonesia” dapat dipakai rujukan untuk melihat
bagaimana kebijakan yang diambil oleh penguasa setempat dalam upaya menjaga
kehidupan yang harmonis dan bersatu jauh dari pertentangan (konflik).
Sebagaimana sudah disinggung di atas bahwa fenomena anti-Tionghoa sudah
tumbuh seiring dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda dengan tidak
diperbolehkannya perkawinan antaretnik justru semakin parah ketika Rezim Orde
Baru, sebagaimana yang dikemukakan oleh Wibowo (1999) dalam karyanya
berjudul:Restrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Dikatakan olehnya
bahwa Orde Baru dalam rangka menangani masalah etnis Tionghoa mengembangkan
tiga gugus strategi penanganan masalah etnis Tionghoa, yaitu stigmatisasi,
35
marginalisasi, dan viktiminasi. Hal tersebut sengaja dilakukan oleh Orde Baru dalam
rangka mengeksploitasi dan mengadu domba perbedaan-perbedaan dalam masyarakat
atau memanipulasi pertentangan antargolongan sosial dalam masyarakat, guna
menekan terjadinya aliansi golongan dan mengukuhkan kekurangannya. Dengan
demikian pemerintah Orde Baru pada dasarnya tidak menghendaki adanya suatu
kekuatan integrasi.
Karya Wibowo secara arif mengajak untuk dilakukan peninjauan atau
penilaian secara reflektif kembali mengapa munculnya persoalan etnis Tionghoa di
Indonesia sejak era Orde Baru yang mengambil beberapa kebijakan yang bersifat
refresif dan diskriminatif. Ulasan dari Wibowo ini juga dapat peneliti rujuk untuk
melihat kehidupan sosial budaya ataupun ekonomi politik masyarakat etnis Tionghoa
di Desa Pupuan, apakah kebijakan dari penguasa atau pemerintah era Orde Baru ada
pengaruh atau dampaknya bagi kehidupan etnis tersebut dalam melakukan aktivitas
kehidupannya di masyarakat yang bersifat multietnik di lokasi penelitian.
Karya Leo Suryadinata (2002) dengan judul: Negara dan Etnis Tionghoa:
Kasus Indonesia mengulas tentang kebijakan negara terhadap kelompok minoritas
etnis Tionghoa di Indonesia. Selain itu, ia juga mengulas penggunaan istilah “Cina
dan Tionghoa”, “kiprah elite Tionghoa dalam perekonomian Indonesia”,
“kepercayaan dan agama Khonghucu di Indonesia”, dan “hasil kebudayaan Cina
perantauan di Indonesia”.
Sebuah karya Achmad Habib (2004) dengan judul: Konfik Antaretnik di
Pedesaan: Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa, memfokuskan kajiannya tentang
36
konflik yang terjadi antara etnis Jawa dan etnis Tionghoa kasus di Dusun
Sumberwedi Jawa Timur dalam perebutan sumber daya alam (perkebunan).
Kedua karya di atas (Suryadinata dan Habib) sangat jelas berbeda dengan
kajian yang peneliti lakukan baik, secara substantif maupun luas cakupan lokasi
kajian yang dilakukan. Walaupun demikian, karya kedua intelektual itu dapat
digunakan sebagai pijakan terutama dalam hal membicarakan asal usul munculnya
istilah “Cina” dan “Tionghoa” dan menganalisis dinamika hubungan atau relasi di
antara dua etnis yang berbeda sehingga peneliti akan dapat lebih jelas dalam
pendeskripsian mengenai dinamika kehidupan kedua etnis di Desa Pupuan.
Karya monumental dari Hari Poerwanto (2005) dengan judul:Orang Cina
Khek dari Singkawang mengulas secara lugas tentang usulan asimilasi untuk
mengatasi masalah etnis Tionghoa di Indonesia, sejarah etnis Tionghoa di Indonesia,
problematik etnis Tionghoa di Indonesia dalam hubungannya dengan asimilasi dan
integrasi nasional, perantauan etnis Tionghoa di Kalimantan sejak zaman kolonial,
dan asimilasi etnis Tionghoa di Singkawang.
Menelisik karya Poerwanto tersebut sangat jelas fokus kajiannya di
Kalimantan tentang kehidupan dan sejarah kehadiran etnis Tionghoa di Singkawang
serta usulan yang diajukan untuk mengatasi persoalan etnis Tionghoa di Indonesia
dengan asimilasi. Bertolak dari itu maka kajian yang peneliti lakukan tentunya sangat
berbeda secara substantif dan terbatas dari aspek keruangan (lokalitas) yang hanya
mengkaji sebuah desa yang ada di pegunungan (pedalaman), yaitu Desa Pupuan.
Akan tetapi, karya Poerwanto kiranya amat membantu peneliti untuk dijadikan
37
rujukan terutama sekali terkait penelusuran sejarah kehadiran etnis Tionghoa di Desa
Pupuan secara khusus dan tentu saja tidak lepas dari kehadiran etnis Tionghoa di
Indonesia pada umumnya.
Pada tahun 2008, karya dari Mely G.Tan, yang berupa kumpulan tulisan yang
diberi judul:Etnis Tionghoa di Indonesia, memuat beberapa tulisan di antaranya:
“Etnik Tionghoa di Indonesia”, “Pandangan Bung Karno Mengenai Keragaman Etnis
Masyarakat Indonesia”, “Peran Etnis Tionghoa dalam Masyarakat di Indonesia
Bidang Sosial dan Budaya”, “Etnik Tionghoa di Indonesia: Isu identitas Tionghoa”,
“Bisnis Tionghoa di Indonesia”, dan “Bahasa dan Politik Rekayasa pada Zaman Orde
Baru Soeharto”.
Karya Tan di atas tentu saja substansinya sangat luas yang mengulas pernak-
pernik kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia dan pandangan tokoh bangsa, yakni
Bung Karno, tentang keragaman etnis di Indonesia dan bagaimana praktik politik
Orde Baru terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Atas dasar itu, kajian dari peneliti
sangat berbeda dan spesifik atau terbatas pada suatu fenomena sosial budaya
hubungan antaretnis yang berbeda, tetapi dapat hidup rukun atau harmonis di sebuah
desa di pedalaman, yaitu Desa Pupuan.
Walaupun berbeda fokus kajiannya, karya itu (Tan) tampaknya sangat
membantu penelitis untuk dapat melihat lebih jauh bagaimana kehidupan etnis
Tionghoa sebagai etnis minoritas yang dikenai pula kebijakan yang diambil oleh
penguasa Orde Lama ataupun Orde Baru. Dengan demikian peneliti akan lebih
38
mudah mendeskripsikan dinamika kehidupan etnis Tionghoa di tengah-tengah etnis
Bali yang mayoritas di Desa Pupuan.
Karya monumental M.D.La Ode (2012) dengan judul: Etnis Cina Indonesia
dalam Politik: Politik Etnis Cina Pontianak dan Singkawang di Era Reformasi 1998-
2008, adalah hasil disertasinya untuk meraih gelar doktor di Universitas Indonesia
(2011), yang menguraikan keberadaan etnis Tionghoa di Kalimantan Barat, dinamika
dan latar belakang keterlibatan etnis Tionghoa dalam dunia politik sebelum dan
sesudah Reformasi serta dampak dari keterlibatan etnis Tionghoa dalam dunia politik
di Indonesia.
Karya Ode lebih banyak menyoroti keterlibatan etnis Tionghoa dalam konteks
politik sejak era Reformasi 1998 dan dampak yang ditimbulkannya serta respons dari
etnis lokal, yaitu Melayu, Dayak, dan Pemda di Pontianak dan Singkawang periode
1998-2008. Sementara itu kajian yang peneliti lakukan lebih banyak secara
substansial menyoroti terciptanya kerukunan sosial dua etnis berbeda, yaitu etnis
Tionghoa dan Bali di Desa Pupuan, yang terletak jauh dari sentra ekonomi, yaitu di
daerah pegunungan yang bermatapencaharian sebagai pedagang di pasar tradisional
setempat dan juga ada sebagai petani di perkebunan.
Karya Jemma Purdey (2013) dengan judul: Kekerasan Anti Tionghoa di
Indonesia 1996-1999, mengulas tentang: Indonesia-Tionghoa,minoritas di tengah-
tengah, menyebarkan ketidakpuasan, meningkatnya sentimen anti-Tionghoa, klimaks,
merepresentasikan dan mengingat, dan perubahan rezim dan transisi.
39
Karya Purdey jelas berbeda dengan karya peneliti lakukan sebab Purdey lebih
banyak menyoroti tentang kekerasan yang menimpa etnis Tionghoa yang dilakukan
oleh etnis non-Tionghoa sehingga merupakan cerminan ketidakharmonisan yang
terjadi. Sementara itu, peneliti justru sebaliknya, yaitu memaparkan keharmonisan
yang terjadi antaretnis Tionghoa dengan etnis Bali di Desa Pupuan sampai saat
penelitian ini dilakukan.
Sebuah karya Nasrul Hamdani (Hisyam, ed., 2013) dengan judul Komunitas
Cina di Medan menguraikan mengenai etnis Tionghoa di Sumatra Timur, dinamika
etnis Tionghoa Medan tahun 1930-1942, dan etnis Tionghoa di Medan pada masa
Pendudukan Jepang.
Karya Hamdani tersebut jika disimak sangat jelas mempergunakan
pendekatan sejarah atau historis sehingga bersifat monodisiplin yang membicarakan
etnis Tionghoa dengan sebutan atau istilah “orang Cina” sebagai suatu komunitas
yang dominan di Sumatra Utara tepatnya di Kota Medan, dari awal kedatangannya
sebagai kulikontrak zaman kolonial Belanda serta dinamika yang dialaminya periode
1930-1942, dan karena itu, jelas berbeda dengan kajian yang dilakukan ini.
Karya Munawir Aziz (2013) dengan judul: Lasem Kota Kecil: Interaksi
Tionghoa, Arab, dan Jawa dalam Silang Budaya Pesisiranbanyak menyoroti tentang
Lasem sebagai kota Bandar di pesisir Jawa, pilar-pilar menuju perdamaian (harmoni),
dan negoisasi harmoni di Lasem antaretnis. Perbedaannya dengan kajian yang peneliti
lakukan adalah karya Aziz di atas terletak bukan hanya pada perbedaan lokasi
penelitiannya, tetapi juga terletak pada substansinya, yaitu Aziz menjadikan subjek
40
penelitiannya interaksi tiga etnis yaitu Tionghoa, Arab, dan Jawa, yang dapat hidup
harmonis. Sementara itu, penelitian yang peneliti lakukan hanya menggunakan dua
subjek etnis, yaitu etnis Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan.
Karya-karya pada tahun 2014, ada beberapa karya yang dapat ditemukan yang
ada kaitannya dengan pembahasan etnis Tionghoa, yaitu karya Darwin Darmawan
dengan judul:Identitas Hibrid Orang Cina, yang menguraikan tentang: identitas etnis
Tionghoa di Indonesia, teori hibrid dan identitas hibrid di Indonesia, GKI Perniagaan
dalam konteks sejarah Jakarta, etnis Tionghoa di Indonesia era Soekarno sampai era
Reformasi, arti menjadi etnis Tionghoa Indonesia Kristen, dan hidup bersama dalam
perbedaan.
Jika dibandingkan dengan kajian yang penulis lakukan jelas ada perbedaannya
yaitu kajian dari Darmawan itu lebih banyak menyoroti identitas hibrid etnis
Tionghoa di Indonesia yang beragama Kristen, sedangkan kajian peneliti justru
berfokus pada persoalan harmoni yang ada di antara dua etnis yang berbeda, yaitu
etnis Tionghoa dan Bali serta mengulas tentang etnis Tionghoa yang beragama Hindu
ataupun Budha dan juga peniruan (mimikri) budaya lokal etnis setempat, yaitu etnis
Bali yang beragama Hindu dalam praktik kesehariannya.
Ada pula karya pada tahun 2014, yaitu karya Iwan Santosa berjudul:
Tionghoa dalam Sejarah Kemeliteran Sejak Nusantara sampai Indonesia, yang
mengulas tentang: hubungan Tiongkok dengan Nusantara, melawan kolonialisme,
konflik internasional di tahun 1930-an, revolusi Indonesia, dan konflik 1965-1967,
yang secara substantif menyajikan peran aktif etnis Tionghoa bidang militer atau
41
pertahanan dalam menegakkan kemerdekaan mengusir penjajah dan juga
mempertahankan negara dari berbagai ancaman ataupun rongrongan, baik bersifat
internalmaupun eksternal.
Jika dicermati secara substantif karya Santosasangat jelas berbeda dengan
kajian yang peneliti lakukan, yaitu lebih banyak menyoroti aspek historis tentang
peran etnis Tionghoa dalam bidang kemeliteran dari zaman sebelum era kolonial
ataupun pascakemerdekaan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia
sehingga menggunakan pendekatan sejarah. Sementara itu, kajian yang peneliti
lakukan tidak melihat dari peran etnis Tionghoa dalam militer, tetapi bagaimana
peran etnis Tionghoa dalam bidang ekonomi perdagangan dan pertanian (perkebunan)
di Desa Pupuan yang akhirnya berhasil menjadi bagian integral dari kelompok sosial
dalam wadah desa pakraman di DesaPupuan sehingga tercipta kehidupan yang
harmonis dan menggunakan pendekatan kajian budaya dan etnografi kritis.
Berdasarkan kajian pustaka yang diuraikan di atas maka dapat dikatakan
bahwa karya-karya monumental dari para pakar yang berasal dari dalam dan luar
negeri lebih banyak membicarakan isu tentang eksistensi etnis Tionghoa, baik di
wilayah Indonesia maupun yang ada di luar wilayah Indonesia, dengan segala
problematik yang dihadapi oleh etnis Tionghoa, seperti diketahui, etnis ini sangat
dinamis dalam percaturan ekonomi perdagangan.
Hasil penelusuran pustaka di atas membuktikan bahwa belum ada yang
membahas secara khusus dengan pendekatan etnografi kritis tentang relasi antardua
etnis yang berbeda, tetapi tercipta sebuah harmoni. Walaupun ada yang
42
bersinggungan,kajiannya sangat positivistis, dan walaupun ada yang mengambil
lokasi penelitiannya sama, tetapi latar belakang ataupun rumusan problematiknya
berbeda, dan belum menunjukkan ada pembahasan yang lebih jauh mengenai
terciptanya relasi yang harmonis antara etnis Tionghoa dan etnis Bali yang berbeda
latar belakang sejarah ataupun budaya di Desa Pupuan dengan menggunakan
pendekatan cultural studies dan pendekatan etnografi kritis.
Berdasarkan studi pustaka itu peneliti tertarik untuk meneliti fenomena
tersebut dengan topik: “kuasa di balik harmoni: etnografi kritis relasi etnis Tionghoa
dan etnis Bali di Desa Pupuan, Tabanan, Bali” dengan mempergunakan pendekatan
kajian budaya (cultural studies approach), dengan beberapa karakteristiknya, yaitu
menggunakan pendekatan multidispliner dan teori-teori sosial kritis.
2.2 Penjelasan Konsep
Dalam penelitian ini ada beberapa konsep yang digunakan dan perlu
dijelaskan agar tidak menimbulkan bias tafsir yang dapat mengacaukan pemahaman
terhadap persoalan yang dikaji dalam penelitian ini. Adapun konsep-konsep yang
perlu dijelaskan adalah “kuasa di balik harmoni”, “etnografi kritis”, “relasi etnis
Tionghoa dan etnis Bali”. Berikut adalah penjelasan masing-masing konsep yang
digunakan dalam disertasi ini.
43
2.2.1Kuasa di Balik Harmoni
“Kuasa” (kekuasaan) yang istilah asingnya power adalah sebuah istilah yang
cukup populer atau tidak asing dalam dunia akademik atau keilmuan dari berbagai
disiplin termasuk dalam Cultural Studies (Kajian Budaya). Foucault dalam
karyanyaPower/Knowledge menjadikan “kuasa” (power)sebagai kata kunci. Jika
pandangan Foucault tersebut diaplikasikan dalam mengkaji realitas etnismaka tidak
dapat dipisahkan dengan wacana (diskursus) dan kekuasaan. Foucault juga
mendefinisikan bahwa kekuasaan itu tidak dimiliki melainkan diciptakan oleh
hubungan antarpengetahuan yang membangun posisi bagi mereka yang tunduk pada
praktik-praktik tertentu. Selanjutnya,dikatakan juga olehnya bahwa kekuasaan tidak
melekat pada struktur tertentu, melainkan ada dimana-mana, baik idividu maupun
kelompok.
Foucault juga mengatakan bahwa karena wacana adalah konstituen dari
kekuasaan maka wacana dan praktik yang terkait dengan etnisitas senantiasa melekat
makna kekuasaan dan lebih banyak menekankan pada power (kekuasaan)/knowledge
(pengetahuan), yang dapat diartikan bahwa kekuasaan itu dimiliki oleh seseorang atau
sekelompok orang jika ia memiliki pengetahuan itu sendiri (Spencer, 2006: 99). Akan
tetapi, perlu diingat bahwa Foucault juga mengingatkan beberapa hal yang terkait
dengan teorinya sebagaimana dikemukakan oleh Bertens (2014:310-316), yaitu (1)
kuasa bukanlah milik tetapi strategi;(2) kuasa tidak dapat dilokalisasi tetapi ada di
mana-mana; (3) kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi tetapi
44
terutama melalui normalisasi dan regulasi; dan (4) kuasa tidak bersifat destruktif
melainkan produktif.
Kekuasaan secara tradisional selalu dikaitkan dengan wacana politik,
pemerintahan, dan kepemimpinan. Akan tetapi, apa yang dikatakan oleh Lewis (2010:
31) bahwa kekuasaan itu tersebar di mana-mana atau di berbagai tempat, bersifat cair,
dan berkaitan dengan proses atau upaya-upaya menciptakan makna, pertengkaran,
sengketa dan pencarian jalan keluar. Oleh karena itu, sesungguhnya kemunculan atau
hadirnya suatu kekuasaan sudah tampak pada pemakaian bahasa ataupun tindakan-
tindakan atau perilaku yang bersifat fisik yang menyertainya. Dengan demikian,
sesungguhnya memang terdapat hubungan yang erat antara bahasa yang terucapkan
oleh subjek dan praktik kekuasaan sebagaimana yang juga disepakati oleh ahli
budaya.
Tokoh lain seperti Dijk (Eriyanto,2005: 272) juga mendefinisikan kekuasaan,
yaitu sebagai kepemilikan yang dimiliki oleh sekelompok orang dan atau anggotanya
untuk mengontrol kelompok lain atau anggotanya. Langkah mengontrol
(pengawasan) itu jika dihubungkan dengan pandangan Gramsci ataupun Foucault
dapat dilakukan dengan kekuatan fisik secara langsung dan juga dilakukan secara
tidak langsung melalui tindakan persuasif.
Kekuasaan yang dimiliki oleh seorang subjek, baik secara individual maupun
secara kolektif, sangat ditentukan oleh kepemilikan atas sumber daya seperti modal,
baik ekonomi, sosial, budayamaupunsimbolik, sebagaimana yang diteorikan oleh
Bourdieu. Salah satu modal budaya adalah pengetahuan, yang dapat digunakan untuk
45
mengontrol secara tidak langsung melalui penyebaran pengetahuan tersebut dan
barang siapa yang memiliki modal-modal tersebut akan memiliki pula kekuasaan
(power) yang lebih besar, kuat dan menjadi paling berpengaruh untuk tetap
menempati posisi superordinat (superior) dalam kehidupan sosial.Dalam interaksi
antarkelompok itu ada relasi kuasa dan dalam relasi kuasa itu kelompok yang
memiliki sumber daya berupa modal cenderung memiliki kekuasan yang lebih besar
sehingga dapat melakukan kontrol (dominasi) jika dibandingkan dengan kelompok
yang kurang memiliki modal tersebut.
Atas dasar uraian di atas maka konsep “kuasa (kekuasaan)” yang dimaksud
dalam disertasi ini tidak lain adalah usaha yang dilakukan oleh kelompok etnis, baik
etnis Tionghoa maupun etnis Bali, di Desa Pupuan untuk memainkan segala
potensinya sehingga dapat bertahan pada suatu posisi tertentu dalam berinteraksi di
masyarakat dan memelihara kehidupan yang harmonis dengan menjunjung tinggi
kesamaan dalam perbedaan.
Harmoni sama artinya dengan keselarasan atau selaras (Poerwadarminta,1982:
347). Harmoni juga bermakna adanya keseimbangan antarberbagai aspek dalam suatu
sistem kehidupan. Dalam ajaran agama Hindu yang dipraktikkan oleh etnis Bali
sangat menjunjung nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi yang dikenal dengan
ajaran Tri Hita Karana (THK). Di samping itu, harmoni juga berarti hidup rukun,
yaitu suatu keadaan atau situasi yang berada dalam keadaan selaras, tenang, dan
tentram tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu dalam arti untuk saling
membantu. Oleh karena itu,berperilaku rukun berarti menghilangkan tanda-tanda
46
ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi sehingga hubungan sosial
tetap terlihat selaras dan baik.
Dengan demikian,kata rukun dan kerukunan memiliki pengertian, yaitu
keadaan damai dan perdamaian dalam kehidupan sehari-hari, yang dalam konsep
Hindu damai sama artinya dengansantih. Oleh karena itu, setiap etnis tentunya
memiliki doktrin tentang kerukunan dalam kehidupan sosial masing-masing.Selain
itu, doktrin seharusnya juga selalu menjunjung tinggi nilai-nilai gotong royong atau
saling bantu membantu antarsesama etnis.
Menurut Tarigan (2011), untuk tidak memandang setiap etnik sebagai sebuah
pelengkap bagi etnis lainnya yang berbeda dan untuk dapat saling memperkaya antara
etnis yang satu dan etnis lainnya, orang beretnis apapun harus sudah terbebas dari
dogma sebagai etnis pemenang yang mengungguli semua etnis lainnya dalam segala
segi. Untuk itu, yang dikembangkan adalah nilai plural dan kebersamaan itu sesuai
dengan prinsip manusia sebagai makhluk sosial.
Berdasarkan paparan itu maka harmoni yang dimaksud dalam disertasi ini
adalah suatu kehidupan yang rukun atau damai dan selarasantara dua etnis yang
berbeda,yaitu etnis Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan. Konsep harmoni ini juga
dipergunakan sebagai pendekatan dalam disertasi ini,yaitu dengan memberikan ruang
pada etnis Tionghoa untuk mengekspresikan tradisi, ritual, dan kepercayaannya
sehingga pendekatan harmoni ini mementingkan perdamaian antargolongan dan
memberikan ruang yang setara (equal).
47
2.2.2 EtnografiKritis
Pada konsep ini terdapat kata kunci, yaitu etnografi, yang secara harfiah
berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yang ditulis oleh seorang
antropolog atas hasil penelitian lapangan (field work) selama beberapa waktu (bulan
atau tahun). Penelitian antropologis bertujuan untuk menghasilkan laporan yang
begitu khas sehingga istilah etnografi juga mengandung makna suatu metode
penelitian untuk menghasilkan sebuah laporan (Marzali, 2007: vii). Dikatakan pula
olehnya bahwa ciri-ciri khas dari metode penelitian lapangan etnografi adalah (1)
sifatnya yang holistik-integratif, (2) thick description, (3) analisis kualitatif dalam
rangka mendapatkan native’s point of view, dan (4) teknik pengumpulan data yang
utama adalah observasi-partisipasi, dan wawancara terbuka dan mendalam, yang
dilakukan dalam jangka waktu yang relatif dan bukan kunjungan singkat dengan
pertanyaan terstruktur yang terjadi pada penelitian survai.
Pandangan tersebut di atas sejalan dengan pandangan Barker (2014: 93-95)
yang mengatakan bahwa etnografi adalah pendekatan emperis sekaligus teoretis yang
merupakan turunan dari antropologi, yang bertujuan utama untuk menghasilkan
deskripsi yang mendetail dan holistik serta analisis budaya yang didasarkan pada
kerja lapangan yang intensif. Tujuan etnografi secara metodologi sebagaimana yang
dikemukakan oleh Geertz (dalam Barker, 2014) adalah untuk dapat menghasilkan
deskripsi mendalam (thick description) dari kemajemukan dan kompleksitas
48
kehidupan budaya, termasuk di dalamnya asumsi-asumsi yang tidak dikatakan atau
diterima begitu saja.
Berdasarkan pandangan itu maka studi ini yang menggunakan pendekatan
etnografi tentu akan berpusat pada pendalaman kemajemukan nilai budaya, makna,
dan dunia kehidupan yang selama ini kurang mendapat perhatian atau tempat dalam
tulisan akademis Barat. Barker juga menegaskan bahwa dalam etnografi yang
ditekankan adalah “semangat etnografi”, yaitu pemahaman aktivitas budaya secara
mendalam dengan cara menempatkannya dalam konteksnya. Dikatakan pula bahwa
etnografi yang berupaya merepresentasikan gugus makna, perasaan, dan budaya
“yang lain” dengan mengandalkan epistemologi realis sering menghadapi kritik dan
perlu mendapat perhatian.
Berdasarkan uraian di atas maka etnografi kritis yang dimaksud dalam
disertasi ini adalah deskripsi yang mendetail dan holistik serta analisis budaya yang
didasarkan pada kerja lapangan yang intensif terhadap fenomena praktik budaya
antara dua etnis, yaitu etnis Tionghoa dan etnis Bali, yang memiliki kultur berbeda
tetapi dapat hidup harmoni di Desa Pupuan dengan dipergunakannya teori-teori sosial
kritis dalam menganalisis data lapangan (kancah).
2.2.3 Relasi Etnis Tionghoa dan Etnis Bali
Pada konsep relasi etnis Tionghoa dan etnis Bali terdapat kata kunci “etnis”
dan “Tionghoa”. Kata “relasi” dalam konsep relasi berarti hubungan atau interaksi
yang terjadi antaretnis atau kelompok tertentu pada suatu arena (wilayah) yang
didorong oleh adanya kepentingan (vested interest) dari pihak-pihak yang menjalin
49
hubungan. Sementara itu, etnis atau etnik dalam konteks ini berarti kelompok sosial
dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu
karena keturunan, adat, agama, bahasa dan sebagainya (KBBI,2005:309). Etnis juga
sering disamakan dengan kesukubangsaan seperti yang dikemukakan oleh Bath
(1988:11) bahwa:
“Kelompok etnis atau kesukubangsaan dikenal sebagai suatu populasi
jika memiliki beberapa ketentuan, yaitu (1) secara biologis mampu
berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama
dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; (3) membentuk
jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri
kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat diterima
oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain”.
Bath secara khusus juga mengatakan bahwa dari segi sosial kelompok etnis
dapat dipandang sebagai suatu tatanan sosial jika mengacu pada rumusan etnis nomor
empat di atas yaitu menentukan ciri khasnya sendiri yang dapat dilihat oleh kelompok
lain dan ciri khas yang mendasar dan secara umum menentukan seseorang termasuk
kelompok etnis mana yang dapat ditafsirkan dari asal usulnya. Secara sederhana Bath
(1988) mendefinisikan etnis, yaitu suatu kelompok tertentu yang didasarkan atas
kesamaan ras, agama, asal usul bangsa atau kombinasi dari kategori tersebut yang
terikat pada sistem nilai budayanya. Sementara itu, Barker (2005: 201)
mendefinisikan etnis yaitu sebagai sebuah konsep budaya yang terpusat pada
kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol dan praktik budaya.
Pada sisi lain Schermerhorn (dalam Tilaar, 2007: 5) yang dikutip juga oleh La
Ode (2012:35) mengatakan bahwa:
50
“Suatu kelompok etnis adalah suatu masyarakat kolektif yang
mempunyai atau digambarkan memiliki kesatuan nenek moyang, mempunyai
pengalaman sejarah yang sama di masa lalu, serta mempunyai fokus budaya
di dalam satu atau beberapa elemen yang simbolik itu seperti pola keluarga,
ciri-ciri fisik, afiliasi agama dan kepercayaan, bentuk dialek atau bahasa,
afiliasi kesukuan, nasionalitas, atau kombinasi dari sifat-sifat tersebut di atas.
Pada dasarnya di dalam kelompok itu terdapat sejenis tali pengikat
antaranggotanya sebagai suatu kelompok”.
La Ode (2012: 36) juga menguraikan bahwa kelompok etnis menjadi identitas
pada tiap-tiap kelompok etnis yang satu terhadap kelompok etnis yang lain sekaligus
menjadi faktor pembeda yang kontras. Jika ada satu individu dari kelompok etnis
yang satu masuk ke dalam kelompok etnis yang lain akan sangat kelihatan perbedaan
secara kontras karena kelompok etnis sebagai identitas selamanya melekat pada
individu.
Istilah “Tionghoa atau Tionghwa” adalah istilah yang dibuat sendiri oleh
orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dari Bahasa
Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hok-kian dilafalkan sebagai Tionghoa. Pada masa
kolonial Belanda orang-orang yang ada di Hindia Belanda yang berasal dari
Tiongkok disebutnya sebagai Orang Cina oleh masyarakat. Sekelompok orang asal
Tiongkok yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda yang disebut “peranakan”
memandang perlu mempelajari kebudayaan dan bahasa asal leluhurnya. Dengan
demikian, pada tahun 1900 didirikannya sekolah di Hindia Belanda di bawah
naungan suatu badan yang dinamakan “Tjung Hwa Hwei Kwan” yang bila dilafalkan
atau diindonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK), yang dalam
perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Cina,
51
tetapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda
dan pada tahun 1928 istilah “Cina” diganti menjadi “Tionghoa” secara resmi oleh
pemerintah kolonial di Hindia Belanda.
Pada masa penjajahan Jepang istilah “Tionghoa” juga digunakan sampai
Indonesia merdeka bukan saja oleh kelompok keturunan Tionghoa di Indonesia tetapi
juga dipergunakan oleh kalangan pers (Suryadinata, 2002: 100-118). Dengan
dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 pada tanggal 14 Maret
2014, istilah “Cina”diganti menjadi “Tionghoa” dan sebutan negara Cina yang
dulunya bernama Republik Rakyat China diganti pula dengan sebutan Republik
Rakyat Tiongkok (RRT).
Dengan demikian, yang dimaksud dengan konsep “etnis Tionghoa” dalam
disertasi ini adalah kelompok sosial dalam sistem sosial yang didasarkan atas
kesamaan asal usul, norma, nilai, keyakinan atau kepercayaan, simbol, dan praktik
budaya yang berasal dari Tiongkok yang sudah menjadi warga negara Indonesia yang
memiliki hak dan kewajiban yang sama dan sudah diakui secara legal sebagai salah
satu suku (etnis) di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Sementara itu, etnis Tionghoa dalam
disertasi ini adalah etnis Tionghoa yang ada di Desa Pupuan, Tabanan, Bali yang
dijadikan lokasi penelitian ini.
Berdasarkan uraian di atas maka pengertian konsep “relasi etnis Tionghoa dan
etnis Bali” yang dipergunakan dalam disertasi ini adalah hubungan atau relasi dua
kelompok sosial (komunitas) yang memiliki asal usul yang secara historis berbeda,
52
sehingga diikat oleh norma, nilai, keyakinan atau kepercayaan, simbol ataupun
praktik budaya yang berbeda pula, yakni etnis Tionghoa dan etnis Bali dan secara
etnisitas masing-masing etnis ini memiliki riwayat yang berbeda di Desa Pupuan.
2.2.4Etnopedagogik
Alwasilah (2008) mengatakan bahwa etnopedagogik adalah praktik
pendidikan berbasis pengetahuan lokal dalam berbagai aspek kehidupan.
Etnopedagogik memandang pengetahuan atau kearifan lokal (indigenous knowledge,
local wisdom) sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan
untuk kesejahteraan masyarakat. Lebih lanjut dikatakan oleh Alwasilah (2008) bahwa
kearifan lokal adalah koleksi fakta, konsep, keyakinan, dan persepsi masyarakat
terhadap lingkungan mereka dan secara singkat dikatakan olehnya bahwa kearifan
lokal adalah proses bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan,
dikelola, dan diwariskan.
Etnopedagogik juga didefinisikan sebagai model pembelajaran lintas budaya.
Melalui pendidikan itu peserta didik (masyarakat) akan mendapatkan pemahaman
tentang nilai-nilai universal dan melalui pendekatan etnopedagogik itu akan
didapatkan pula nilai-nilai lokal yang dapat digunakan sebagai sumber inofasi dan
keterampilan yang dapat diberdayakan untuk menghadapi kehidupan yang semakin
kompleks ini. Etnopedagogik ini juga berkaitan erat dengan pendidikan multikultural,
yang memuat perangkat kepercayaan yang memandang penting kearifan lokal dan
53
keberagaman yang dimiliki oleh komunitas etnis untuk membentuk gaya hidup,
pengalaman sosial, identitas pribadi dan kelompok sosial.
Berdasarkan paparan di atas maka konsep “etnopedagogik” dalam disertasi ini
adalah sebuah model atau pola dalam praktik pendidikan berbasis pengetahuan lokal
atau kearifan lokal (indigenous knowledge, local wisdom) yang ada pada masyarakat
Desa Pupuan, baik dari etnis Tionghoa maupun etnis Bali,dalam berbagai aspek
kehidupannya yang dapat digunakan sebagai sumber inofasi dan keterampilan yang
dapat diberdayakan untuk kesejahteraan masyarakat termasuk mempertahanakan
kehidupan yang harmonis agar tetap ajeg.
2.3 Landasan Teori
Dalam disertasi ini digunakan berbagai teori sebagai pijakan atau tuntunan
untuk memecahkan berbagai masalah dan teori ini digunakan sebagai kerangka acuan
yang dapat mengarahkan penelitian yang dilakukan sesuai dengan pendekatan kajian
budaya. Dalam mengaplikasikan teori digunakan pendekatan yang bersifat eklektik,
yaitu dipergunakan teori utama terlebih dahulu, selanjutnya baru digunakan teori-
teori lain sebagai penunjang atau pelengkap untuk mendapatkan daya penjelas yang
lebih memadai.
Teori-teori yang dipergunakan dalam disertasi ini diambil dari teori-teori
sosial kritis posmodern, yang menurut Lubis (2014: 25), bahwa posmodernisme
memiliki ciri terpenting, yaitu menolak pandangan fundasionalisme seperti
pandangan kaum positivisme logis dengan unifeild science-nya. Dikatakan pula
54
bahwa Posmodernisme juga menolak ilmu pengetahuan yang dianggap bebas nilai,
tidak mengakui keterlibatan subjek, dan anggapan bahwa bahasa adalah cermin
realitas.
Lubis (2014) selanjutnya mengatakan bahwa ketika posmodernisme
menerima keanekaragaman paradigma (perspektif dalam mengobservasi realitas),
maka kebenaran ilmu pengetahuan pun tidak bersifat tunggal, tidak tetap, akan tetapi
plural dan berubah, serta berkembang sejalan dengan perkembangan budaya manusia.
Dengan demikian, sikap kritis yang dijadikan pijakan oleh posmodernisme adalah
dengan tegas menolak kebenaran tunggal yang bersifat terpusat dan justru lebih
pengakuan akan perbedaan-perbedaan pendapat yang tersebar di luar pusat atau yang
ada di pinggiran.
Namun, sebaliknya, posmodernisme mengakui keterlibatan objek dan subjek
dalam penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan, mengakui pengaruh faktor
sosial historis pada subjek, mengakui “kekayaan kosakata” seseorang dalam
memahami dan menafsirkan berbagai fenomena kehidupan manusia dan sosial
budaya (teks) dan menerima keanekaragaman (pluralitas) paradigma ilmiah.
Demikian juga teori sosial kritis dapat dipergunakan untuk menguji secara
kritis kontradiksi atau pertentangan yang terjadi di masyarakat dan berupaya untuk
mencari sumber pemicunya dengan jalan membongkar hal-hal yang tersebunyi dan
menjadikan terang dan jelas secara eksplisit tentang relasi/interaksi etnis Tionghoa
dan etnis Bali sehingga dapat ditafsirkan atau diinterpretasikan mengapa dapat
tercipta kehidupan yang harmonis di Desa Pupuan.
55
Untuk maksud tersebut maka ada beberapa teori utama yang digunakan
membedah atau menganalisis masalah yang diangkat,yaitu (1) Teori Praktik dari
Pierre Felix Bourdieu, (2) Teori Power/Knowledge dan Genealogy dari Michel
Foucault, dan (3) Teori Pendidikan Kritis dari Habermas, Foucault, dan Paulo Friere.
Berikut dideskripsikan ketiga teori utama tersebut yang digunakan secara
eklektik dengan teori sosial kritis lainnya sehingga didapatkan daya penjelas yang
lebih memadai terhadap persoalan yang dibahas dalam disertasi ini.
2.3.1 Teori Praktik Pierre Felix Bourdieu
Pierre Felix Bourdieu lahir pada tanggal 1 Agustus 1930 di Desa Denguin,
Distrik Pyreness-Antantiques di bagian Barat Daya Prancis. Pandangan Bourdieu
dapat digunakan untuk memahami etnisitas dengan baik. Dikatakan pula olehnya
bahwa realitas etnik adalah realitas pertarungan simbolik etnisitas yang terjadi di
berbagai arena kehidupan, seperti sosial, ekonomi, dan politik.
Konsep “habitus” Bourdieu juga dapat digunakan untuk menganalisis
masyarakat yang di dalamnya terjadi pertarungan atau perjuangan untuk merebut
“dominasi simbolik” dari etnis tertentu agar dapat ddirikan hegemoni kelompok etnis
tertentu terhadap kelompok lainnya yang dianggap saingannya. Oleh karena itu,
dalam interaksi sehari-hari dalam kehidupan publik terjadi medan pertempuran atau
persaingan antaretnis dan perjuangan untuk meraih dominasi simbolik.
Modal (capital) dari teori Praktik Bourdieu amat penting juga digunakan
untuk menganalisis etnis dan relasi antaretnis, sebab modal itu memainkan peran
56
yang penting agar dapat mengilustrasikan kondisi objektif yang dimiliki aktor, yaitu
kondisi keberadaanya atau eksistensinya di dalam masyarakat pada umumnya sebagai
relasi dari modal-modal yang dimilikinya. Bourdieu juga dalam Teori Praktik-nya
merumuskan dua dimensi, yaitu (1) proses internalisasi yang dialami pelaku (aktor,
baik individu maupun kelompok), dan (2) pengungkapan dari segala sesuatu yang
telah terinternalisasi yang menjadi bagian dari diri si pelaku.
Internalisasi yang dialami pelaku tersebut berdasarkan pengalaman hidup
yang melekat dalam diri aktor (habitus) dalam berbagai arena. Oleh karena itu, setiap
praktik aktor adalah merupakan produk hasil dari interaksi antarhabitus dan arena.
Setiap arena mempunyai aturan-aturan tersendiri sehingga masing-masing aktor harus
mampu berjuang di arena tersebut. Dalam rangka mempertahankan eksistensinya itu
maka aktor harus memiliki kekuatan dan cara atau strategi untuk mempertahankan
eksistensinya di arena.
Berdasarkan pandangan Bourdieu tersebut maka dalam disertasi ini teorinya
digunakan untuk menganalisis data sehingga dapat membedah permasalahan yang
pertamadalam disertasi ini. Berikut adalah penjelasan lebih detail konsep-konsep dari
teori Praktik-nya Bourdieu.
2.3.1.1 Habitus
Pemahaman terhadap habitus sangat penting artinya untuk dapat memahami
mengapa seseorang atau kelompok orang (aktor) berprilaku atau bertindak seperti itu
dan berbeda dengan orang lain. Dengan demikian maka prilaku aktor satu dengan
57
yang lainnya tentu berbeda dan wajar terjadi sebab aktor dalam menjalankan
kehidupannya tidak bisa dilepaskan dari habitus-nya. Oleh karena itu,habitus
berfungsi sebagai penggambaran kecenderungan pelaku sosial, baik individu maupun
kelompok, untuk beraksi dan juga bereaksi atas segala sesuatu yang terjadi di
sekelilingnya.
Sejalan dengan itu, Calhoun (1993: 4) mengatakan bahwa habitus itu sebagai
sebuah sistem yang terdiri atas kecenderungan-kecenderungan tetap yang berlaku
pada diri individu sebagai pelaku sosial dalam kehidupannya yang membuatnya
melakukan praktik sosial dalam arena yang berbeda-beda. Sementara itu, Ritzer et al.
(2008: 522) mengatakan bahwa habitus secara sosiologis didefinisikan sebagai
“struktur mental atau kognitif” yang digunakan oleh aktor menghadapi kehidupan
sosial. Melalui habitus, aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang
diinternalisasikan yang digunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan
menilai dunia sosial.
Bourdieu (1990) juga mengatakan bahwa habitus itu sebagai opus operatum
atau hasil praktik dan modus operandi atau modus praktik. Sebagai ilustrasi tentang
habitus, oleh Alamsyah (2010; Sjaf, 2014: 65-66), dikatakan bahwa habitus itu adalah
prinsip dan nilai yang melekat pada diri agen seperti sikap disiplindan sikap
antikekerasan dan dapat berwujud dalam gerak-gerik tubuh yang khas seperti cara
berbicara dan berjalan.
Habitus juga dapat berubah-ubah karena ranah (arena) dapat mengondisikan
habitus dan habitus dapat mengklasifikasikan ranah atau arena. Dalam sistem
58
klasifikasi itu aktor mengorganisasikan tindakan sosialnya dan mempersepsikan serta
mengapresiasi tindakan sosial agen lain. Habitus itu melekat pada diri agen dan
sekaligus mewujud pada agen seperti terlihat pada cara bicara, berjalan, makan,
minum, dan sikap lainnya sehingga secara otomatis tidak disadari akan memandu
praksis sosialnya (Bourdieu, 1984: 466; 1992: 19).
Dengan demikian, habitus itu dibentuk dari pengalaman hidup aktor seperti
asal usul, pekerjaan, dan pendidikan. Oleh karena itu, habitus itu ada sejak lahir dan
berkembang seiring dengan agen memasuki dunia atau arena baru seperti sekolah,
dunia kerjaserta tidak dapat dielakkan bahwa arena dapat memengaruhi sikap agen,
namun tidak berarti mengarahkan sepenuhnya sikap agen. Habitus juga dapat
dijadikan rujukan atau pedoman bagi agendalam mengambil sikap pada suatu kondisi
atau arena tertentu.
Berdasarkan paparan di atas maka habitus itu digunakan dalam penelitian
disertasi ini agar dapat dipahami sikap dan perilaku etnis etnis Tionghoa seperti itu di
Desa Pupuan dan sudah barang tentu berbeda dengan sikap dan perilaku etnis Bali.
2.3.1.2 Ranah (Arena)
Ranahatau arena adalah sebuah wilayah yang bersifat dinamis atau mencair
yang di dalamnya terdapat pertarungan/kontestasi untuk mendapatkan posisi tertentu.
Kontestasi di arena itu dalam upaya mencapai posisi berkaitan erat dengan
kepemilikan modal dari pelaku sosial di dalam arena tersebut (Calhoun,1993: 5-6).
Setiap aktor tidak akan dapat lepas dari arena dan masing-masing arena itu memiliki
aturan/ketentuan tersendiri sehingga dapat mempengaruhi seseorang individu
59
ataupunkelompok berprilaku. Dengan demikian kontestasi antaraktor selalu berusaha
sedapat mungkin untuk menguasai/merebut kode-kode atau aturan-aturan agar dapat
menjadi pengendali permainan.
Aktor yang dominan tentu saja berusaha untuk mempertahankan posisinya,
sedangkan aktor yang posisinya marjinal juga berusaha untuk merebut kedudukan
yang lebih tinggi. Pada pertarungan ini masing-masing aktor memanfaatkan
modalnya dan habitus yang dimilikinya untuk meraih kedudukan yang lebih tinggi di
masyarakat. Oleh karena itu,dalam kontestasi pada arena tertentu setiap aktor harus
memiliki modal dan kemampuan strategi dalam menggunakan modal tersebut agar
aktor memperoleh dan dapat mempertahankan posisi yang diinginkan dalam arena
tertentu.Relasi yang terbangun antaraktor dalam arena yang bersaing lebih bersifat
relasional dibandingkan bersifat struktural.
Hal ini disebabkan karena arena bukanlah struktur yang bersifat statis dengan
berbagai batasan yang ketat tetapi arena terbentuk dari adanya kesamaan antaragen
sosial seperti bahasa, gaya hidup, minat, pengetahuan dan lainnya yang dapat bertemu
pada suatu titik tertentu. Oleh karena itu Bourdieu (1992: 97) mengatakan bahwa
arena adalah suatu jaringan yang terbentuk dari relasi objektif di antara posisi-posisi
yang ada sehingga hubungan antaraktor dalam arena lebih bersifat relasional daripada
struktural. Demikian pula karena arena sifatnya cair dan dinamis serta sulitnya
menentukan batas-batasnya maka tiap agen dapat menempati dan memposisikan diri
lebih dari satu ranah dalam waktu yang bersamaan.
60
Berdasarkan uraian di atas maka di Desa Pupuantentu saja ada kontestasi
antaraktor baik dari etnis Tionghoa maupun etnis Bali yang ingin mempertahankan
eksistensinya masing-masing dengan memainkan modalnya baik bersifat ekonomi,
budaya, sosial, dan simbolik serta menggunakan strategi masing-masing untuk
meraih kemenangan yang secara kasat mata tidak tampak sehingga perlu ditelusuri
lebih jauh dalam penelitian ini.
2.3.1.3 Modal
Konsep modal menurut Bourdieu melampau definisi dari pendekatan ilmu
ekonomi. Dengan demikian modal menurut Bourdieu meliputi barang-barang
material dan barang-barang simbolik. Begitu juga dijelaskan bahwa kedudukan atau
kekuatan agen baik individu atau lembaga dalam struktur sosial ditentukan oleh
modal-modal yang dimilikinya (Bourdieu, 1992).
Bourdieu lebih lanjut menjelaskan bahwa modal itu meliputi (1) modal
ekonomi, yaitu tingkat kekayaan material dan kekayaan aktor, yang juga meliputi
faktor produksi seperti kepemilikan tanah, teknologi, dan modal dalam arti uang; (2)
modal sosial, yaitu merupakan jaringan sosial yang memudahkan aktor untuk
menghimpun modal-modal lainnya. Secara sederhana modal sosial didefinisikan oleh
Bourdieu yaitu suatu posisi atau relasi dalam suatu kelompok serta jaringan-jaringan
sosial.
Bourdieu juga menegaskan bahwa modal sosial sangat tergantung pada
luasnya jaringan koneksi yang dapat dimobilisasi dengan efektif dan jumlah kapital
(ekonomi, kultural, dan simbolik) yang dimiliki suatu masyarakat; (3) modal budaya,
61
yaitu kepemilikan aktor atas benda-benda material yang dianggap memiliki prestise
tinggi, pengetahuan, dan ketrampilan yang diakui oleh otoritas resmi dan kebiasaan
seperti gaya pakaian, cara bicara, selera makan, dan sebagainya. Atau dengan kalimat
lain, yaitu modal budaya adalah kualifikasi-kualifikasi intlektual hasil dari sistem
pendidikan, atau diturunkan melalui konsep-konsep, seperti latar belakang keluarga,
kelas sosial, investasi-investasi, dan komitmen pada pendidikan; dan (4)modal
simbolik, yaitu simbol-simbol kebudayaan yang dapat memperkuat kedudukan agen
di antara agen-agen lainnya. Jadi keempat modal itu akan tetap eksis dan berfungsi
dalam arena dan memiliki kekuatan terhadap arena.
Pada bagian lain Bourdieu juga mengatakan bahwa modal juga sangat
menentukan reproduksi instrument yang terkandung dalam arena yang distribusinya
membentuk struktur arena tersebut. Akan tetapi modal itu juga memiliki kekuatan
terhadap pola dan keteraturan yang mengatur kerja arena, sehingga ia menentukan
keuntungan-keuntungan yang bisa diperoleh para aktor di dalam arena (Bourdieu,
1992). Selanjutnya Bourdieu (1986) mengatakan bahwa keberadaan modal ekonomi
dapat dipertukarkan dengan modal lainnya, sedangkan modal simbolik
memungkinkan agen memperkuat kedudukannya di dalam masyarakat.
Berdasarkan atas pandangan itu maka dapat dikatakan bahwa posisi
kekuasaan dan kedudukan aktor ditentukan oleh kepemilikan modal dan relasinya
dengan aktor lain. Semakin tinggi kualitas modal yang dimiliki aktor maka semakin
berpeluang untuk menjadi dominasi atau menduduki posisi supraordinat daripada
aktor yang kurang memiliki modal kemungkinan besar tetap pada posisi subordinat.
62
Dalam konteks itu pula dikaji di lapangan (Desa Pupuan) apakah antara etnis
Tionghoa dan etnis Bali terjadi kontestasi pada arena yang sama dalam upaya
mempertahankan eksistensinya masing-masing dengan memainkan ke empat modal
yang ada seperti dalam teori modal Bourdieu di atas.
2.3.1.4Strategi
Konsep “strategi” juga diperkenalkan oleh Bourdieu. Dalam pertarungan atau
kontestasi, strategi memegang peranan yang sangat penting. Konflik selalu terjadi di
dalam sebuah arena dan sesuatu yang sudah lazim terjadi. Dalam sebuah arena selalu
ada individu atau kelompok yang mendominasi dengan kekuatan modal yang
dimiliki. Kelompok yang bukan mendominasi selalu berusaha keras agar modal yang
dimiliki bisa bertahan, berkembang dan bisa dilestarikan.
Rusdiarti (2004:57-60) mengutif pandangan Bourdieu tentang bentuk strategi,
yaitu: (1) Strategi investasi biologis, yaitu strategi yang berkaitan erat dengan
pelestarian keturunan dan jaminan atas pewarisan modal kepada generasi yang
selanjutnya dengan tujuan mempersiapkan generasi berikutnya yang lebih baik. (2)
Strategi suksesif, yaitu usaha mewariskan harta bagi generasi berikutnya. Pewarisan
ini biasanya terkait dengan pewarisan modal ekonomi dan modal budaya. (3) Strategi
edukatif, yaitu usaha yang dilakukan oleh aktor untuk menghasilkan pelaku-pelaku
sosial baru yang bisa dengan cakap mewarisi modal yang dimiliki oleh aktor tersebut.
Selanjutnya Rusdiarti menguraikan strategi yang ke-(4) yaitu strategi invasi
ekonomi atau capital invation, yaitu bertujuan untuk mempertahankan dan
meningkatkan modal ekonomi yang sudah dimiliki sebelumnya, dan (5) Strategi
63
investasi simbolik, yaitu strategi yang berkaitan dengan semua tindakan pelestarian
kapital simbolik, yang bertujuan agar individu/kelompok mendapat pengesahan
dalam kehidupan sosialnya sebab semakin besar kapital simboliknya maka semakin
besar pula pengaruhnya pada kelompok sosial yang lain.
2.3.2 Teori Diskursus Kekuasaan/Pengetahuan dan Genealogi Michel Foucault
2.3.2.1 Teori Diskursus Kekuasaan/Pengetahuan
Michel Foucault dilahirkan di Poiters, Prancis pada tanggal 15 Oktober 1926.
Foucault adalah figur sentral dalam filsafat Prancis abad XX yang ide-idenya
diasosiasikan dengan aliran pascastrukturalisme. Pemikirannya sangat mempengaruhi
perkembangan kajian budaya kontemporer dan pemikirannya dipengaruhi sangat
kental oleh Nietzsche, yaitu Foucault berupaya untuk mengeksplorasi beraneka
macam praktik diskursif yang menancapkan kekuasaan atas tubuh manusia tanpa ada
keterikatan terhadap suatu tatanan struktural tertentu atau otoritas final yang tetap.
Foucault juga berikhtiar untuk mengidentifikasi kondisi-kondisi historis dan
sejumlah aturan yang berkontribusi dalam pembentukan pelbagai wacana sekaligus
bekerjanya model kekuasaan/pengetahuan dalam praktik sosial yang salah satu
pencapainya adalah pengaturan makna. Sebagian besar karya Foucault berfokus pada
penyelidikan historis terhadap kekuasaan sebagai jejaring yang tersebar di dalam
tatanan sosial yang tidak selalu bersifat represif (menekan, menindas), namun juga
bersifat produktif (Barker, 2014: 101-102).
64
Pandangan Foucault di atas peneliti menilai sangat relevan digunakan dalam
disertasi ini didasari oleh argumentasi bahwa berbicara atau mengkaji realitas etnis
tidak dapat dipisahkan dengan wacana (diskursus) dan kekuasaan. Menurut Foucault,
definisi kekuasaan itu tidak dimiliki, melainkan diciptakan oleh hubungan
antarpengetahuan yang membangun posisi bagi mereka yang tunduk pada praktik-
praktik tertentu. Selanjutnya, juga dikatakan olehnya bahwa kekuasaan tidak melekat
pada struktur tertentu, melainkan ada di mana-mana baik individu maupun kelompok.
Foucault juga mengatakan bahwa karena wacana adalah konstituen dari kekuasaan
sehingga wacana dan praktik yang terkait dengan etnisitas senantiasa melekat makna
kekuasaan (Spencer, 2006: 99).
Foucault juga lebih banyak menekankan pada power/knowledge
(kekuasaan/pengetahuan) yang dapat diartikan bahwa kekuasaan itu dimiliki oleh
seseorang atau sekelompok orang jika ia memiliki pengetahuan itu sendiri. Akan
tetapi perlu diingat bahwa Foucault juga mengingatkan beberapa hal yang terkait
dengan teorinya sebagaimana dikemukakan oleh Bertens (2014:310-316), yaitu (1)
Kuasa bukanlah milik tetapi strategi;(2) Kuasa tidak dapat dilokalisasi tetapi ada di
mana-mana; (3) Kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi tetapi
terutama melalui normalisasi dan regulasi; dan (4) Kuasa tidak bersifat destruktif
melainkan produktif.
Berdasarkan pandangan teori Foucault maka masing-masing etnis yang ada di
Desa Pupuan tentu berusaha merebut kekuasaan untuk mendapatkan atau
mempertahankan diri pada posisi superior (superordinat) dan sedapat mungkin untuk
65
menghindari posisi sub-ordinat (imperior). Begitu juga ada kemungkinan dari etnis
mayoritas (etnis Bali) menggunakan wacana dan kekuasaan/ilmu pengetahuan untuk
meminggirkan etnis Tionghoa di daerah penelitian (Desa Pupuan) agar orang
mewed(etnis Bali) tetap mendominasi atau memegang hegemoni atas etnis Tionghoa
sebagai etnis pendatang (tamiu). Adanya upaya itu perlu dikaji dalam penelitian ini
apakah hal tersebut dilakukan oleh etnis mayoritas (etnis Bali) terhadap etnis
minoritas (etnis Tionghoa).
Konsep hegemoni yang dipopulerkan oleh Gramsci (1891-1937) juga dapat
digunakan untuk melengkapi teori Foucault, sebab menurut Gramsci,teori hegemoni
meliputi sarana kultural dan ideologis yang di dalamnya terdapat kelompok penguasa
atau dominan yang menjalankan dan melestarikan kekuasaannya dalam suatu
masyarakat melalui konsensus terhadap kelompok yang dikuasai atau yang
didominasi. Oleh karena itu, kebudayaan dan masyarakat tidak lain merupakan suatu
perwujudan dari upaya hegemoni yang akan diterima secara konseptual oleh yang
terhegemoni.
Teori Hegemoni dari Gramsci digunakan pada disertasi ini dengan
argumentasi bahwa teori ini dianggap relevan untuk membedah permasalahan yang
berhubungan dengan kekuasaan dalam konteks relasi dua etnis yang berbeda
kemungkinan besar ada permainan kuasa di dalamnya sehingga terdapat pihak yang
menghegemoni dan pihak yang terhegemoni.
Menurut Piliang (2010: 71) bahwa hegemoni secara konvensional diartikan
sebagai suatu sistem kekuasaan atau dominasi politik dan dalam tradisi Marxisme
66
istilah hegemoni diperluas pengertiannya ke arah hubungan kekuasaan di antara
kelas-kelas sosial khususnya kelas berkuasa (ruling class). Piliang (2010: 73) juga
menegaskan bahwa prinsip hegemoni dibangun didasarkan atas demokrasi yang
dibentuk antara kelompok penguasa dengan kelompok yang dikuasai sehingga
tercipta masyarakat sipil. Dikatakan pula olehnya bahwa dalam masyarakat sipil itu
pandangan hidup kelas yang dikuasai bukanlah pandangan kelas hegemoni yang
dipaksakan secara pasif, tetapi merupakan artikulasi dari berbagai pandangan hidup
yang ada dari berbagai kelompok sosial yang kemudian disatukan dalam sebuah
artikulasi yang konduktornya adalah kelas hegemoni.
Gramsci berpandangan bahwa hegemoni merupakan kepemimpinan budaya
yang dijalankan oleh kelas penguasa dan hegemoni itu bukanlah hubungan dominasi
dengan mempergunakan kekuasaan tetapi hubungan yang didasarkan atas persetujuan
dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Selanjutnya Gramsci juga
mengatakan bahwa dominasi kekuasaan itu harus diperjuangkan melalui kekuatan
senjata dan juga melalui penerimaan publik, yaitu ide masyarakat berkuasa oleh
masyarakat luas yang diekspresikan melalui apa yang disebut opini publik (Ritzer,
2010: 300).
Barker (2014: 119-121) mengatakan bahwa hegemoni dapat dipahami dalam
kerangka strategi di mana pandangan tentang kenyataan dan kelompok sosial yang
menjadi panutan yang sedang dipertahankan seperti kelas, sek, etnis atau nasionalitas.
Akan tetapi harus dilihat dalam kerangka relasional dan sesuatu secara inheren tidak
67
stabil mengingat hegemoni adalah kesepakatan bersifat sementara dan serangkaian
aliansi antarkelompok sosial yang dimenangkan dan bukan diberikan.
Hegemoni itu terus menerus dimenangkan dan dinegosiasi ulang secara
konstan sehingga budaya adalah wilayah atau arena konflik dan perjuangan untuk
memperoleh makna. Lebih jauh Barker mengatatakan bahwa hegemoni itu bukanlah
suatu entitas yang bersifat statis melainkan serangkaian diskursus dan praktik yang
terus menerus berubah secara instrinsik terikat pada kekuasaan sosial. Oleh karena
hegemoni itu terus menerus harus dimenangkan dan bahkan diciptakan maka
kemungkinan pula akan adanya perlawanan atau resistensi yaitu terciptanya blok
kontra hegemoni yang dilakukan oleh kelompok atau kelas sub-ordinat (kelompok
termarjinalkan) atau kelompok minoritas.
Berdasarkan uraian di atas maka konsep power/knowledge dan hegemoni
besar kemungkinannya ikut berperan atau bermain di dalamnya sehingga terciptanya
sebuah harmoni dalam kehidupan dua etnis berbeda, yaitu etnis Tionghoa sebagai
etnis minoritas dan etnis Bali sebagai etnis mayoritas di lokasi penelitian yaitu Desa
Pupuan. Dengan demikian kedua teori tersebut dapat digunakan untuk membedah
berbagai alasan penyebab terciptanya harmoni dan bentuk relasi kuasa yang terjadi di
antara etnis Tionghoa dan etnis Bali sehingga ditemukan dinamikanya.
2.3.2.2 Teori Genealogi
Foucault menggunakan konsep “genealogy” untuk meneliti relasi kuasa dan
kesinambungan serta patahan wacana yang bermain dalam kondisi-kondisi historis
tertentu. Oleh karena itu Foucault diakui oleh banyak kalangan sebagai orang yang
68
berjasa menemukan genealogi subjek modern, yang ia lakukan dengan melacak dan
menelusuri jejak-jejak sejarah. Foucault memperlakukan subjek sebagai subjek
historis sehingga subjek dikenali dan dipahami sebagai produk sejarah.
Foucault mengatakan bahwa tugas genealogi adalah menelaah cara-cara di