74
17 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang etnis Tionghoa mulai semakin menarik dan mendapat minat dari para peneliti (akademisi) dalam negeri (Indonesia) ataupun luar negeri.Persoalan- persoalan yang dihadapi oleh etnis Tionghoa sebagai etnis “perantauan” (diaspora) yang ada di berbagai negara/kawasan pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya banyak dikaji terutama yang berada di pusat-pusat aktivitas perekonomian. Sementara itu, kajian etnis Tionghoa yang ada di pedesaan masih dianggap langka sehingga penelitian ini dipandang penting dilakukan dengan judul:Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis Tionghoa dan Etnis Bali”di Desa Pupuan, Tabanan, Bali”. Dalam penelusuran pustaka studi ini ditemukan beberapa kajian yang menjadikan etnis Tionghoa di Bali sebagai subjek sekaligus objek kajian, di antaranya: Pertama,sebuah kumpulan tulisan dari intelektual Bali yang berjudul: Integrasi Budaya Etnis Tionghoa ke Dalam Budaya Bali: Sebuah Bunga Rampai oleh Made Sulistyawati sebagai editor (2008), yang memaparkan tentang adanya akulturasi budaya Tionghoa dalam berbagai aspek seni budaya di Bali sehingga memperkaya kebudayaan Bali.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · 17 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 17

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

    DAN MODEL PENELITIAN

    2.1 Kajian Pustaka

    Kajian tentang etnis Tionghoa mulai semakin menarik dan mendapat minat

    dari para peneliti (akademisi) dalam negeri (Indonesia) ataupun luar negeri.Persoalan-

    persoalan yang dihadapi oleh etnis Tionghoa sebagai etnis “perantauan” (diaspora)

    yang ada di berbagai negara/kawasan pada umumnya dan di Indonesia pada

    khususnya banyak dikaji terutama yang berada di pusat-pusat aktivitas perekonomian.

    Sementara itu, kajian etnis Tionghoa yang ada di pedesaan masih dianggap langka

    sehingga penelitian ini dipandang penting dilakukan dengan judul:“Kuasa di Balik

    Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis Tionghoa dan Etnis Bali”di Desa Pupuan,

    Tabanan, Bali”.

    Dalam penelusuran pustaka studi ini ditemukan beberapa kajian yang

    menjadikan etnis Tionghoa di Bali sebagai subjek sekaligus objek kajian, di

    antaranya: Pertama,sebuah kumpulan tulisan dari intelektual Bali yang berjudul:

    Integrasi Budaya Etnis Tionghoa ke Dalam Budaya Bali: Sebuah Bunga Rampai oleh

    Made Sulistyawati sebagai editor (2008), yang memaparkan tentang adanya

    akulturasi budaya Tionghoa dalam berbagai aspek seni budaya di Bali sehingga

    memperkaya kebudayaan Bali.

  • 18

    Pada buku (kumpulan tulisan) itu terdapat karya I Wayan Geriya (2008: 26-

    44) yang berjudul:“Pola Hubungan Antaretnis Bali dan Tionghoa dalam Dinamika

    Kebudayaan dan Peradaban”. Tulisan Geriya memiliki tujuan untuk dapat

    mendeskripsikan secara padat tentang kontribusi dan sinergi bermakna kedua etnis

    bagi dinamika kebudayaan dan peradaban lokal, nasional dan universal. Metode yang

    digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dan memakai analisis antropologis.

    Hasil temuan dari Griya secara substantif dikatakan bahwa hubungan antaretnis

    Tionghoa dan Bali di daerah Bali bersifat ekstensif dan intensif berbasis prinsip

    resiprositas, akulturatif, dan toleransi yang sekaligus menjadi temuannya dengan

    sumber data bersifat historis, antropologis dan demografis. Dijelaskan pula bahwa

    karakteristik yang mengandung paralelisme dan persamaan telah mendorong

    terwujudnya integrasi kedua etnis bersangkutan.

    Berdasarkan penelusuran terhadap tulisan Geriya itu sangat jelas berbeda

    dengan disertasi ini,baik fokus kajian, pendekatan yang digunakan maupun lokasi

    penelitiannya.Walaupun ada perbedaannya, tulisan Geriya tetap ada relevansinya dan

    memberikan sumbangan yang sangat penting bagi peneliti dalam melakukan analisis

    kualitas ataupun kuantitas hubungan kedua etnis di Desa Pupuan.

    Kedua,sebuah karya dari Made Purna (2008)yang termuat pada Jurnal

    Penelitian Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisionaldengan judul:“Pengaruh

    Kebudayaan Tionghoa dalam Pembentukan Identitas Budaya Spriritual Bali: Sebuah

    Model Integrasi Budaya”. Adapun tujuan dari karyanya adalah untuk mengetahui

    unsur-unsur perekat budaya Bali dengan etnis Tionghoa sehingga menghasilkan

  • 19

    sebuah model integrasi budaya. Metode yang digunakan oleh Purna adalah metode

    deskriptif kualitatif dengan pendekatan dan analisis antropologis.

    Purna dalam tulisan itu mengatakan bahwa budaya Tionghoa sudah

    diperkenalkan dengan budaya Bali sejak Abad VII dan menguraikan tentang berbagai

    religi, tradisi, cerita ataupun tarian sudah mendapatkan pengaruh dari kebudayaan

    etnis Tionghoa dan salah satu yang sangat terkenal adalah Barong Landung. Purna

    juga mengulas tentang unsur-unsur sebagai perekat antara budaya etnis Tionghoa dan

    Bali, di antaranya adanya perkawinan antaretnis, penghormatan terhadap leluhur dan

    adanya kesamaan dalam simbol-simbol keagaman. Kajian Purna yang berbeda

    dengan kajian yang dilakukan ini, yakni dalam hal fokus yang diangkat dan segi

    metodologisnya. Namun, di balik itu ada relevansinya, yaitu dapat memperkaya

    wawasan peneliti dalam mengkaji keharmonisan yang tercipta di Desa Pupuan antara

    etnis Tionghoa dan etnis Bali.

    Ketiga, karya I Ketut Wirata (2000) berupa tesis magister (S-2) Program

    Kajian Budaya Universitas Udayna, dengan judul: Integrasi Etnis Tionghoa di Desa

    Adat Carangsari Kecamatan Petang Kabupaten Badung Bali (Suatu Kajian Budaya.

    Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian Wirata adalah untuk mengetahui

    karakteristik etnis Tionghoa di Desa Adat Carangsari, integrasi etnis Tionghoa di

    Desa Adat Carangsari dan bentuk-bentuk integrasi dan peminjaman budaya. Kajian

    Wirata menggunakan metode deskriptif kualitatif dan menggunakan pendekatan

    antropologis yang masih berparadigma positivistik.

  • 20

    Dalam simpulannya, Wirata menyatakan bahwa etnis Tionghoa di Desa Adat

    Carangsari terikat satu persaudaraan (penyamaan) dengan etnis Bali sehingga dapat

    menempati wilayah yang sama dengan etnis Bali, yaitu tanah ayahan desa (karang

    desa). Selain itu, menurutnya, terwujudnya integrasi etnis Tionghoa ke dalam Desa

    Adat Carangsari dengan bukti dimilikinya juga tempat pemujaan leluhur dan tempat

    suci agama Hindu sesuai dengan agama yang dianutnya, yaitu agama Hindu.

    Berdasarkan ulasan itu maka kajian yang dilakukan oleh Wirata berbeda

    dengan peneliti. Akan tetapikajian tersebut penting dan bermanfaat serta memiliki

    relevansi bagi penulis untuk dapat memahami lebih jauh tentang integrasi etnis yang

    berbeda pada suatu tempat di Bali khususnya di Desa Pupuan yakni harmonisnya

    etnis Tionghoa dan etnis Bali.

    Keempat, karya dari akademisi Universitas Udayana, Sutjiati Beratha, Ardika,

    dan Dhana (2010)dengan judul: Dari Tatapan Mata ke Pelaminan Sampai di Desa

    Pakraman: Studi tentang Hubungan Orang Bali dengan Orang Cina di Bali. Kajian

    ini mengambil tiga lokasi yaitu Desa Baturiti, Desa Carangsari, dan Desa Padangbai

    yang ketiga desa tersebut tersebar di tiga kabupaten di Provinsi Bali.

    Penelitian tersebut bertujuan untuk memahami pandangan orang Bali

    mengenai orang Tionghoa dan pandangan orang Tionghoa mengenai orang Bali yang

    melatari perkawinan campuran dan kebersamaannya dalam desa pakraman,

    perlakuan orang Bali terhadap orang Tionghoa dan sebaliknya dalam keluarga dan

    desa pakraman serta implikasi perkawinan campuran di antara kedua etnis tersebut

    dilihat dari sudut multikulturalisme.Metode yang digunakan dalam penelitiantersebut

  • 21

    adalah metode deskriptif kualitatif dengan analisis interpretatif dan berpendekatan

    emik dan etik.

    Adapun temuan dari kajian tersebut adalah (1) Latar belakang perkawinan itu

    didasari oleh lima hal, yaitu kecantikan/ketampanan, kondisi sosial ekonomi,

    keberagamaan, sikap dan perilaku sosial. Di antara kelima unsur itu yang terpenting

    dipertimbangkan adalah aspek kecantikan/ketampanan dan kondisi sosial ekonomi

    untuk mengambil keputusan dalam perkawinan, dan (2) Kebersamaan orang Bali

    dengan orang Tionghoa dalam desa pakraman dilatari oleh adanya keinginan dari

    kedua belah pihak untuk melestarikan tradisi leluhurnya yang sudah melakukan

    perkawinan campuran dan kebersamaan dalam desa pakraman.

    Di samping itu, masing-masing pihak memiliki kepentingan, yaitu orang Bali

    memiliki kepentingan agar memperoleh dukungan dari orang Tionghoa untuk dapat

    menguatkan desa pakraman sebagai modal budaya sekaligus simbol identitasnya. Di

    lain pihak, orang Tionghoa juga memperoleh dukungan dari orang Bali sehingga

    mendapatkan rasa aman serta lahan untuk tempat tinggal, pemakaman dan tempat

    ibadah sebagai modal budaya dan sekaligus sebagai simbol identitasnya pula. Dengan

    demikian, adanya sikap saling mendukung itu tampak orang Bali memaknai desa

    pakraman sebagai alat untuk memperoleh dukungan dari orang Tionghoa dan

    sebaliknya orang Tionghoa memaknainya sebagai modal sosial sekaligus modal

    budaya yang diperoleh dengan menggunakan modal ekonomi berupa uang dan barang

    yang disumbangkan kepada desa pakraman.

  • 22

    Apabila dibandingkan dengan penelitian yang peneliti lakukan maka memang

    ada persamaannya, yakni sama-sama mengkaji keberadaan etnis Tionghoa, tetapi

    perbedaannya sangatlah jelas bahwa penelitian tersebut menggunakan pendekatan

    multidisipliner mendasarkan pada latar belakang keilmuan dari ketiga peneliti yang

    bersangkutan. Sementara itu, kajian yang peneliti lakukan menggunakan pendekatan

    kajian budaya, lokasi penelitian dan fokus penelitian juga berbeda. Walaupun

    demikian, kajian tersebut memiliki relevansi dan banyak memberikan wawasan bagi

    peneliti untuk memahami lebih dalam kehidupan multikultural dan perkawinan lintas

    etnis serta implikasinya dalam berinteraksi di lapangan.

    Kelima, karya lain dari kalangan akademis Universitas Udayana, yaitu

    Sulistyawati (2011) sebagai editor dengan judul: Integrasi Budaya Tionghoa ke

    Dalam Budaya Bali dan Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Pada karya itu

    dipaparkan sembilan karya dari berbagai pakar pada bidangnya dengan tujuan yang

    ingin dicapainya sesuai dengan topik atau tema yang disajikan.

    Salah satu karya dari sembilan akademis Unud dalam buku bunga rampai

    itu,yaitu tulisan I Wayan Ardika dengan judul: “Hubungan Komunitas Tionghoa dan

    Bali: Perspektif Multikulturalisme”. Dalam kajiannya ditemukan bahwa hubungan

    antara komunitas Tionghoa dan Bali di tiga desa lokasi kajiannya, yaitu Desa Baturiti,

    Petang, dan Padangbai, menunjukkan keadaan harmonis, toleran dan saling

    menghormati serta mengagungkan kesederajatan dalam perbedaan.

    Ardika juga berkesimpulan bahwa kondisi tersebut adalah sebagai cerminan

    dari ideologi multikulturalisme yang sudah dipraktikkan oleh kedua komunitas di

  • 23

    ketiga desa yang bersangkutan dan tumbuhnya ideologi itu disebabkan kesamaan

    nilai-nilai dalam agama kedua komunitas itu, yaitu Budha/Khonghucu dan Hindu,

    yang menjunjung tinggi persamaan dalam perbedaan.

    Berdasarkan ulasan itu tulisan tersebut tentu berbeda dengan fokus kajian dan

    lokasi yang peneliti lakukan. Walaupun demikian tulisan tersebut memiliki relevansi

    dengan isu yang peneliti angkat dalam penelitian ini dan banyak memberikan

    pengetahuan bagi peneliti dalam mengkaji keharmonisan hubungan antaretnis

    Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan.

    Keenam,karya I Putu Putra Kusuma Yudha (2014) berupa tesis Program

    Pascasarjana (S-2) Universitas Udayana, dengan judul: Perubabahan Identitas

    Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan.

    Tulisan Yudha ini pada intinya bertujuan untuk dapat memahami faktor-faktor yang

    memengaruhi perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan, dan

    implikasi serta makna perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Metode

    yang digunakannya adalah metode deskriptif kualitatif berpendekatan kajian budaya.

    Kajian yang dilakukan oleh Yudha sama-sama tentang etnis Tionghoa di

    lokasi yang sama, namun isu dan fokus yang diangkat berbeda dengan yang peneliti

    lakukan. Akan tetapi, peneliti juga memandang karya dari Yudha itu memiliki

    relevansinya dan dapat dijadikan referensi sehingga dapat menambah wawasan

    peneliti dalam mencandrakan persoalan yang dipecahkan dalam disertasi ini.

    Selain karya-karya di atas yang secara khusus mengkaji eksistensi etnis

    Tionghoa secara lokalitas di Bali, berikut dipaparkan kajian-kajian dalam skala yang

  • 24

    lebih luas, baik bersifat nasional maupun di kawasan luar Indonesia, yang

    substansinya juga membahas problematik dan eksistensi etnis Tionghoa, seperti yang

    dilakukan oleh Koentjaraningrat (1982), yaitu kajiannya tentang: “Lima Masalah

    Integrasi Nasional”. Tulisan ini yang di dalamnya mengulas etnis Tionghoa di

    Indonesia adalah kelompok minoritas, tetapi dalam perkembangannya etnis ini

    mengalami pertumbuhan sangat pesat dan tersebar hampir di seluruh wilayah

    Indonesia.

    Dijelaskan pula bahwa etnis Tionghoa itu tidak berasal dari satu suku bangsa,

    tetapi berasal dari empat suku bangsa, yaitu Hokkian, Hakka, Tiu-Chiu dan Kanton.

    Keempat etnis ini umumnya menekuni aktivitas perdagangan, yaitu sebagai

    pedagang. Kehadirannya di Indonesia tentu saja menimbulkan berbagai persoalan,

    seperti masalah kewarganegaraan, ketenagakerjaan, dan integrasi

    nasional.Berdasarkan substansi yang ditulis oleh Koentjaraningrat jelas terdapat

    perbedaan fokus kajian dan kajian peneliti bersifat studi kasus tentang kehidupan

    harmonis etnis Tionghoa dan etnis Bali di daerah pedalaman, yaitu di Desa Pupuan.

    Karya intlektual berikutnya, yaitu Emil Salim (1983) dalam sebuah Lokakarya

    Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Bangsayang memaparkan pokok-pokok

    pikirannya yang berjudul: “Membina Keselarasan Hubungan Pri -Non-Pri”. Dalam

    tulisannya itu dikemukakan bahwa adanya sentimen pri-non-pri berawal dari adanya

    perlakuan yang berbeda antara golongan pribumi dan non-pribumi. Adanya perlakuan

    yang berbeda itu mengakibatkan munculnya dua kelompok, yaitu kelompok ekonomi

    lemah identik dengan golongan pribumi dan kelompok ekonomi kuat identik dengan

  • 25

    golongan non-pribumi. Selanjutnya, berkembangnya sikap sentimen antara Pri-non-

    Pri berdampak kurang menguntungkan bagi terciptanya integrasi nasional. Oleh

    karena itu, muncullah berbagai pihak untuk mencarikan solusinya sebagai upaya

    menemukenali alternatif atau resep untuk memecahkan persoalan tersebut. Dalam

    konteks ini kemudian muncul karya M.Sa‟dun (1999) dalam bukunya yang berjudul:

    Pri - non-Pri Mencari Format Baru Pembaharuan. Kedua karya ini berupaya

    mencari dan menemukan formula yang tepat sebagai resep untuk terwujudnya

    harmoni atau kesatuan berbangsa dan bernegara di antara penduduk Indonesia yang

    diistilahkan dengan sebutan pribumi dan non-pribumi.

    Namun, kajian yang peneliti lakukan ini tidak lagi menggunakan kedua istilah

    itu (Pri-non-Pri) sebab sejak era Reformasi (1998) ada pelarangan penggunaan istilah

    tersebut sehingga peneliti menggunakan sebutan langsung yaitu etnis Tionghoa dan

    etnis Bali. Memang ada persamaan dari penelitian yang penulis lakukan dengan karya

    di atas, yaitu sama-sama ingin menemukan suatu formula untuk dijadikan pijakan

    agar terwujudnya suatu harmoni dalam masyarakat yang pluralistas.

    Karya dari Onghokham (1983) dengan judul :Rakyat dan Negara yang

    menguraikan tentang refleksi seorang peranakan mengenai sejarah Tionghoa- Jawa”.

    Dalam tulisannya dikatakan bahwa sejarah Tionghoa-Jawa sangat berkaitan erat

    dengan perkembangan kolonialisme, yaitu adanya saling pengertian antara Belanda

    dan etnis Tionghoa sejak awal kedatangannya ke Indonesia, mengingat keduanya

    datang sama-sama dengan motif ekonomi sehingga orang Belanda menjadikan etnis

    Tionghoa sebagai patner dagangnya. Sementara itu di bidang politik peran etnis

  • 26

    Tionghoa cukup penting yaitu ada sebagai opsir atau pejabat dan orang Tionghoa

    yang kaya berkedudukan di istana dan memperoleh gelar bangsawan sehingga

    memiliki pengaruh yang tinggi.

    Selanjutnya, Onghokham mengatakan bahwa kehadiran etnis Tionghoa di

    Indonesia memunculkan golongan baru dalam tatanan sosial kemasyarakatan

    Indonesia, yaitu golongan Tionghoa Totok dan Tionghoa “cukuran” atau Tionghoa

    Peranakan. Dalam perkembangan kolonialisme di Indonesia, etnis Tionghoa

    terlembagakan sebagai golongan perantara antara orang Eropa dan orang Jawa.

    Paparan tersebut di atas,baik substansi maupun pendekatannya, berbeda dengan

    kajian yang peneliti lakukan.

    Penulis lain, yakni Frena Bloomfild (1986) dalam karyanya berjudul: Di Balik

    Sukses Bisnis Orang-Orang Cina, mengemukakan bahwa berbagai legenda, misteri,

    dan tradisi orang-orang Tionghoa yang menjadi latar belakang kultur, gaya hidup,

    kepercayaan, agama, dan sikap sosialnya. Jika karya Bloomfild dicermati maka

    cenderung gaya penulisannya yang bersifat deskriptif dan berbeda dengan yang

    peneliti lakukan.

    Leo Suryadinata (1988) dalam karyanyaberjudul: The Culture of the Chinese

    Minority in Indonesia (Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia: Dede Oetomo,

    penterj.) menguraikan tentang “Pendidikan Tionghoa Indonesia: Dahulu dan

    Sekarang”, “Khonghucuisme di Indonesia: Dahulu dan Sekarang”, “Sejarah Singkat

    Pers Tionghoa Indonesia”, “Gerakan Dakwah di Kalangan Orang Tionghoa

    Indonesia”, “Sastra Peranakan di Indonesia”, dan “Cerita Silat Sesudah Perang di

  • 27

    Indonesia”. Sebaliknya, kajian peneliti lebih mengarah pada relasi dua etnis yang

    berbeda, tetapi dapat bekerjasama dan harmonis sampai saat ini. Karya Suryadinata

    ini dapat dipakai sebagai referensi bagi peneliti dalam mengurai pendidikan yang

    dilakukan oleh etnis Tionggoa yang bersifat etnopedagogik.

    Karya Jennifer Cushman dan Wang Gungwu (1991) dalam kumpulan

    karangannya berjudul: Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara. Pada

    intinya membahas keberadaan etnis Tionghoa di Asia Tenggara, yang secara

    kaleidoskopik menggambarkan bagaimana etnis Tionghoa di Asia Tenggara

    menanggapi lingkungan yang berubah sesudah Perang Dunia II. Selain itu,

    bahasannya menunjukkan adanya perubahan identitas pada etnis Tionghoa, yaitu jika

    sebelumnya etnis ini sangat didominasi oleh apa yang disebut identitas historis, tetapi

    kini etnis Tionghoa di kawasan Asia Tenggara berubah dengan menampilkan

    identitas lain seperti identitas komunal, budaya, etnis,dan kelas.

    Adanya perubahan itu tidak bisa dilepaskan dari dinamika kehidupan etnis

    Tionghoa di daerah rantauan yang selalu berusaha memodifikasi dua kepentingan

    yang dalam hal-hal tertentu bertolak belakang, yaitu antara kepentingan pemenuhan

    kebutuhan nasional dimana etnis Tionghoa bermukim dan adanya kepentingan dalam

    pelestarian warisan budaya yang dipercayainya sehingga etnis Tionghoa dapat

    mempertahankan eksistensinya.

    Di dalam buku tersebut juga dikemukakan tentang konsep identitas etnis

    Tionghoa dan identitas ganda. Dalam analisis yang dilakukan oleh Gungwu dikatakan

    bahwa kesadaran sebagai etnis Tionghoa atau rasa kecinaan merupakan unsur inti

  • 28

    dari etnis Tionghoa. Adapun fokus kajian yang dilakukan oleh Gungwu dan Cushman

    adalah pembicaraan mereka tentang perubahan identitas etnis Tionghoa di Asia

    Tenggara. Ulasan dalam buku tersebut jelas berbeda dengan kajian yang peneliti

    lakukan. Walaupun ada perbedaan, tulisan dari Gungwu sangat bermanfaat bagi

    peneliti untuk melihat perilaku adaptif dari etnis Tionghoa di lokasi perantauan (Desa

    Pupuan) sehingga etnis ini dapat hidup harmonis dengan etnis Bali.

    Karya Stuart William Greif (1988) dengan judul: WNI: Problematik Orang

    Indonesia Asal Cina (judul asli: Indonesians of Chinese Origin: Assimilation and the

    Goal of “One Nation-On People”(Dahana, 1991,Penerj.), yang pada intinya

    menguraikan tentang permasalahan yang dihadapi oleh orang Indonesia keturunan

    etnis Tionghoa, baik peranakan maupun totok,yang sudah ratusan tahun menjadi

    penduduk Indonesia. Meskipun sudah diakui ada kemajuan,permasalahan mereka

    belum terpecahkan dengan tuntas.

    Dalam karya itu juga dipaparkan tentang curahan hati, pikiran dan harapan

    bagi keturunan etnis Tionghoa yang sudah atau belum menjadi WNI dalam berbagai

    hal tentang kehidupannya di Indonesia serta bagaimana pertentangan dari kelompok

    integrasionis yang menginginkan keturunan etnis Tionghoa menjadi suku tersendiri

    dan golongan asimilasionis yang ingin membaurkan diri ke dalam masyarakat

    Indonesia sehingga lebur menjadi orang Indonesia.

    Berdasarkan fokus studi yang dilakukan oleh Greif sebagaimana diuraikan di

    atas tentu saja kajian yang peneliti lakukan jelas berbeda, namun kajian Greif juga

    amat bermanfaat bagi peneliti dalam hal untuk melakukan dialog dengan etnis

  • 29

    Tionghoa di Desa Pupuan sehingga peneliti mendapatkan curahan hati dan pikiran

    ataupun harapan dari etnis Tionghoa di Desa Pupuan pada masa-masamendatang agar

    hubungan penuh toleransi dapat ditumbuhkembangkan sebagai pilar hidup yang

    harmonis.

    Yusmar Yusuf (1994) mencoba mengajukan model penanganan masalah

    hubungan antaretnis, yang berjudul: Baba Tauke dan Awang Melayu Relasi

    Antaretnik di Riau. Dalam karyanya itu dikatakan bahwa relasi antara Tauke-

    Nelayan, secara historis dan sosial budaya, merupakan sistem dinamis yang

    menggerakkan fungsi-fungsi sosial masyarakat dalam perilaku sosial ekonominya

    tetap dilandasi oleh proses keseimbangan struktural dan akomodasi ekspresif melalui

    pola pertukaran atau keseimbangan resiprositas yang mereka persepsikan sebagai alat

    peredam konflik dan sekaligus sebagai pola pemeliharaan sistem sosial.

    Jika dicermati maka karya Yusuf tersebut berbeda dengan kajian yang peneliti

    lakukan, bukan saja dari aspek special, substansi,tetapi juga dari pendekatan yang

    digunakan, yaitu Yusuf lebih menekankan dari pendekatan sosiologis dan

    antropologis.Akan tetapi, karya Yusuf tersebut dapat dijadikan model untuk

    menemukan kiat-kiat yang dilakukan oleh kedua etnis, yaitu etnis Tionghoa dan etnis

    Bali untuk dapat hidup harmonis.

    Harlem Siahaan (1994) dalam kajiannya dengan judul: Konflik dan

    Perlawanan Kongsi Cina di Kalimantan Barat 1770-1854 mengatakan bahwa

    tantangan terhadap kehadiran dan peranan Belanda yang semakin bersifat struktural

    juga berasal dari para kolonis dan kongsi etnis Tionghoa. Kelompok etnis Tionghoa

  • 30

    menganggap bahwa kehadiran dan intensifikasi peranan pihak Belanda termasuk

    dalam urusan pemerintahan, keamanan, serta perdagangan tentu saja akan merugikan

    pihaknya.

    Diuraikan pula bahwa konsolidasi kekuasaan kesultanan dimungkinkan

    dengan adanya bantuan pasukan dan administrasi Belanda cenderung mengganggu

    konstelasi kekuatan politik bagi para imigran dan kongsi etnis Tionghoa, kesultanan

    yang lemah secara politik, militer, dan keuangan merupakan kondisi yang ideal bagi

    pencapaian tujuan-tujuan ekonomi dan perdagangan etnis Tionghoa. Oleh karena itu,

    kondisi seperti itu paling tidak dapat dimanfaatkan dalam menegakkan otonomi

    kampung dan kongsi etnis Tionghoa seoptimal mungkin serta untuk melakukan

    tawar-menawar secara lebih menguntungkan pihak etnis Tionghoa.

    Karya Siahaan di atas jika dilihat dari substansi yang diuraikannya sangat

    jelas dipergunakannya pendekatan historis yang bersifat struktural dalam kajiannya

    itu. Oleh karena itu, kajian peneliti justru bukan berbicara konflik tetapi justru

    terciptanya sebuah harmoni di antara dua etnis yang berbeda budaya, asal usul, etnik,

    tetapi dapat hidup berdampingan secara damai (rukun) dan dibedah dengan

    pendekatan kajian budaya dengan menggunakan teori-teori sosial kritis. Akan tetapi,

    kajian Siahaan dapat menambah wawasan peneliti untuk melihat dinamika hubungan

    antaretnis di Desa Pupuan dalam kehidupannya sepanjang interaksi yang terjalin

    sejak awal kedatangan etnis Tionghoa di daerah penelitian.

    Hariyono (1994) dalam karyanya yang berjudul: Kultur Cina dan Jawa:

    Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural, yang menurut penulisnya perlu kiranya

  • 31

    diperhatikan yang didasarkan atas pertimbangan bahwa ada peluang yang sangat

    besar mengingat agama dan ideologi bukanlah merupakan masalah yang cukup kuat

    untuk menghalangi hubungan antaretnik. Dikatakan pula bahwa secara historis etnis

    Tionghoa tidak berkecenderungan kuat untuk mempertahankan ideologi dan

    agamanya. Walaupun demikian, ternyata hal tersebut tidak akan menjamin tidak

    terjadinya konflik. Misalnya, kasus pernikahan antaretnis Tionghoa dengan etnis

    Jawa, sebagaimana yang dikaji oleh Abigael Wohing Ati (1994) yang dituangkan

    dalam bukunya berjudul: Menguji Cinta: Konflik Pernikahan Cina - Jawa.

    Dalam tulisan Ati juga dipaparkan bahwa agama dan ideologi bukan masalah

    yang cukup kuat untuk menghalangi pernikahan antaretnik, mengingat etnis Tionghoa

    tidak berkecenderungan kuat untuk mempertahankan ideologi dan agama. Kriteria

    Jawa atau Tionghoa bukanlah sosok tubuh, tetapi konstruk yang tersusun dari

    pemahaman dan pengalaman nilai-nilai budaya. Fenomena ini akhirnya mengalami

    kehancuran ketika pemerintah kolonial Belanda menerapkan politik adu domba

    (devide at impera), politik rasialis, dan resolusi anti perkawinan antaretnis, yang akan

    menjadi latar belakang drama anti Cina di Indonesia.

    Karya Hariyono dan Ati di atas jelas berbeda dari segi substansi ataupun

    lokasi kajian yang dilakukan. Namun, karya tersebut tentu saja dapat menambah

    wawasan peneliti untuk lebih dapat memahami karakteristik masing-masing etnis

    yang ada di Desa Pupuan sehingga lebih terpahami bahwa terciptanya harmoni dapat

    diwujudkan melalui pembauran atau asimilasi budaya di antara etnis yang ada dan

    dapat dilakukan dengan melakukan perkawinan lintas etnis sebagaimana yang terjadi

  • 32

    di Desa Pupuan sehingga kehidupan yang harmonis tetap dapat dipertahankan sampai

    saat ini.

    Karya Charles A.Coppel (1994), berjudul: Tionghoa Indonesia Dalam Krisis,

    mengulas tentang latar belakang historis masalah etnis Tionghoa dan bagaimana

    terjadinya masalah tersebut serta bagaimana usaha masyarakat etnis Tionghoa di

    Indonesia untuk mengakomudasi diri dengan pasang surut politik nasional. Selain itu,

    disoroti juga olehnya tentang beberapa hal tentang etnis Tionghoa Indonesia yang

    merupakan tawanan dari situasi dan sejarah etnisnya sendiri.

    Coppel juga mengatakan bahwa sebagai etnis minoritas, tetapi relatif kaya

    dengan melakukan aktivitas perdagangan yang tidak seimbang sehingga

    menimbulkan rasa antipati dari para pesaing usahawan Indonesia dan sangat

    berpengaruh di sektor ekonomi dan sering melakukan kesepakatan dengan pihak

    penguasa. Namun, jika terjadi prasangka anti Tionghoa dan terjadi pertentangan

    kepentingan terus berlanjut maka ada dilema yang terlalu erat dengan penguasa tentu

    akan dapat menimbulkan malapetaka bagi mereka sendiri ketika pemerintah yang

    berkuasa dijatuhkan.

    Karya Coppel yang komprehensif tentang munculnya berbagai persoalan etnis

    Tionghoa (krisis etnis Tionghoa) di Indonesia yang penelusurannya dengan

    menggunakan pendekatan temporal (historis) sejak kehadiran para imigran keturunan

    etnis Tionghoa melakukan persebaran (diaspora) ke Indonesia dan bagaimana

    perlakuan penguasa terhadap etnis Tionghoa dari zaman kolonial sampai

    pascakemerdekaan. Uraian tersebut tentu sangat berbeda dengan kajian yang

  • 33

    penelitilakukan hanya terbatas secara lokalitas dan substansial. Karya Coppel itu

    sangat berguna bagi peneliti ketika merunut dinamika kehidupan etnis Tionghoa di

    Desa Pupuan yang juga tidak luput dari kebijakan yang dikenakan kepadanya sejak

    kedatangannya ke Desa Pupuan, baik era prakolonial (kerajaan), kolonial, maupun era

    pascakemerdekaan.

    Denys Lombard (1996), dalam bukunya yang berjudul: Nusa Jawa: Silang

    Budaya Jilid II, mengulas secara tajam tentang keberadaan etnis Tionghoa di

    Indonesia dalam berbagai peran yang dimainkannya dan pengaruhnya pada berbagai

    sendi kehidupan masyarakat. Karya Lombard membahas secara detail tentang

    eksistensi dan peran yang dimainkan oleh etnis Tionghoa di Indonesia dalam segala

    aspek kehidupan di Indonesia. Sementara itu, kajian yang peneliti lakukan hanya

    terbatas pada kehidupan yang harmonis etnis Tionghoa di daerah pedesaan yang jauh

    dari pusat aktivitas ekonomi, yaitu di Desa Pupuan.

    Meskipun ada perbedaan dengan kajian peneliti, tulisan Lombard itu dapat

    bermanfaat bagi peneliti untuk melihat dalam skala kecil (mikro) bagaimana peran

    serta etnis Tionghoa di Desa Pupuan dalam berbagai kehidupan dan pada akhirnya

    dapat hidup menyatu dengan masyarakat lokal yang mayoritas etnis Bali sehingga

    tercipta sebuah kehidupan yang harmoni.

    Leo Suryadinata (1999), dalam karyanya berjudul: Etnis Tionghoa dan

    Pembangunan Bangsa, mengulas secara komprehensip mengenai masalah etnis

    Tionghoa. Dalam hal ini Suryadinata mengkaji beberapa hal, seperti “Etnis Tionghoa

    dan Pembangunan Bangsa di Asia Tenggara”, “Pencarian Identitas Nasional Etnis

  • 34

    Tionghoa di Asia Tenggara”, “Pola Partisipasi Politik Etnis Tionghoa di Empat

    Negara ASEAN”, “Kebijakan Pemerintah dan Integrasi Nasional di Indonesia”, dan

    “Bumi Putra dan Pribumi: Nasionalisme Ekonomi di Malaysia dan Indonesia”. Jika

    dilihat secara substatif karya Suryadinata di atas tentu cakupannya cukup luas, yakni

    bukan saja berbicara etnis Tionghoa di Indonesia tetapi juga di luar Indonesia yaitu di

    kawasan negara-negara Asia Tenggara.

    Kajian yang peneliti lakukan tentu saja sangat terbatas secara lokalitas yang

    bersifat mikro, yaitu di Desa Pupuan, dan hanya memfokuskan kajian terhadap

    terciptanya harmoni di daerah tersebut sehinga diharapkan menemukan sebuah

    formula atau model yang dapat disebarluaskan untuk menjaga kehidupan yang

    harmonis di daerah-daerah yang rawan munculnya konflik akibat berbedaan etnik

    yang ada. Untuk itu, tulisan Suryadinata khususnya pada tema: “Kebijakan

    pemerintah dan integrasi nasional di Indonesia” dapat dipakai rujukan untuk melihat

    bagaimana kebijakan yang diambil oleh penguasa setempat dalam upaya menjaga

    kehidupan yang harmonis dan bersatu jauh dari pertentangan (konflik).

    Sebagaimana sudah disinggung di atas bahwa fenomena anti-Tionghoa sudah

    tumbuh seiring dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda dengan tidak

    diperbolehkannya perkawinan antaretnik justru semakin parah ketika Rezim Orde

    Baru, sebagaimana yang dikemukakan oleh Wibowo (1999) dalam karyanya

    berjudul:Restrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Dikatakan olehnya

    bahwa Orde Baru dalam rangka menangani masalah etnis Tionghoa mengembangkan

    tiga gugus strategi penanganan masalah etnis Tionghoa, yaitu stigmatisasi,

  • 35

    marginalisasi, dan viktiminasi. Hal tersebut sengaja dilakukan oleh Orde Baru dalam

    rangka mengeksploitasi dan mengadu domba perbedaan-perbedaan dalam masyarakat

    atau memanipulasi pertentangan antargolongan sosial dalam masyarakat, guna

    menekan terjadinya aliansi golongan dan mengukuhkan kekurangannya. Dengan

    demikian pemerintah Orde Baru pada dasarnya tidak menghendaki adanya suatu

    kekuatan integrasi.

    Karya Wibowo secara arif mengajak untuk dilakukan peninjauan atau

    penilaian secara reflektif kembali mengapa munculnya persoalan etnis Tionghoa di

    Indonesia sejak era Orde Baru yang mengambil beberapa kebijakan yang bersifat

    refresif dan diskriminatif. Ulasan dari Wibowo ini juga dapat peneliti rujuk untuk

    melihat kehidupan sosial budaya ataupun ekonomi politik masyarakat etnis Tionghoa

    di Desa Pupuan, apakah kebijakan dari penguasa atau pemerintah era Orde Baru ada

    pengaruh atau dampaknya bagi kehidupan etnis tersebut dalam melakukan aktivitas

    kehidupannya di masyarakat yang bersifat multietnik di lokasi penelitian.

    Karya Leo Suryadinata (2002) dengan judul: Negara dan Etnis Tionghoa:

    Kasus Indonesia mengulas tentang kebijakan negara terhadap kelompok minoritas

    etnis Tionghoa di Indonesia. Selain itu, ia juga mengulas penggunaan istilah “Cina

    dan Tionghoa”, “kiprah elite Tionghoa dalam perekonomian Indonesia”,

    “kepercayaan dan agama Khonghucu di Indonesia”, dan “hasil kebudayaan Cina

    perantauan di Indonesia”.

    Sebuah karya Achmad Habib (2004) dengan judul: Konfik Antaretnik di

    Pedesaan: Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa, memfokuskan kajiannya tentang

  • 36

    konflik yang terjadi antara etnis Jawa dan etnis Tionghoa kasus di Dusun

    Sumberwedi Jawa Timur dalam perebutan sumber daya alam (perkebunan).

    Kedua karya di atas (Suryadinata dan Habib) sangat jelas berbeda dengan

    kajian yang peneliti lakukan baik, secara substantif maupun luas cakupan lokasi

    kajian yang dilakukan. Walaupun demikian, karya kedua intelektual itu dapat

    digunakan sebagai pijakan terutama dalam hal membicarakan asal usul munculnya

    istilah “Cina” dan “Tionghoa” dan menganalisis dinamika hubungan atau relasi di

    antara dua etnis yang berbeda sehingga peneliti akan dapat lebih jelas dalam

    pendeskripsian mengenai dinamika kehidupan kedua etnis di Desa Pupuan.

    Karya monumental dari Hari Poerwanto (2005) dengan judul:Orang Cina

    Khek dari Singkawang mengulas secara lugas tentang usulan asimilasi untuk

    mengatasi masalah etnis Tionghoa di Indonesia, sejarah etnis Tionghoa di Indonesia,

    problematik etnis Tionghoa di Indonesia dalam hubungannya dengan asimilasi dan

    integrasi nasional, perantauan etnis Tionghoa di Kalimantan sejak zaman kolonial,

    dan asimilasi etnis Tionghoa di Singkawang.

    Menelisik karya Poerwanto tersebut sangat jelas fokus kajiannya di

    Kalimantan tentang kehidupan dan sejarah kehadiran etnis Tionghoa di Singkawang

    serta usulan yang diajukan untuk mengatasi persoalan etnis Tionghoa di Indonesia

    dengan asimilasi. Bertolak dari itu maka kajian yang peneliti lakukan tentunya sangat

    berbeda secara substantif dan terbatas dari aspek keruangan (lokalitas) yang hanya

    mengkaji sebuah desa yang ada di pegunungan (pedalaman), yaitu Desa Pupuan.

    Akan tetapi, karya Poerwanto kiranya amat membantu peneliti untuk dijadikan

  • 37

    rujukan terutama sekali terkait penelusuran sejarah kehadiran etnis Tionghoa di Desa

    Pupuan secara khusus dan tentu saja tidak lepas dari kehadiran etnis Tionghoa di

    Indonesia pada umumnya.

    Pada tahun 2008, karya dari Mely G.Tan, yang berupa kumpulan tulisan yang

    diberi judul:Etnis Tionghoa di Indonesia, memuat beberapa tulisan di antaranya:

    “Etnik Tionghoa di Indonesia”, “Pandangan Bung Karno Mengenai Keragaman Etnis

    Masyarakat Indonesia”, “Peran Etnis Tionghoa dalam Masyarakat di Indonesia

    Bidang Sosial dan Budaya”, “Etnik Tionghoa di Indonesia: Isu identitas Tionghoa”,

    “Bisnis Tionghoa di Indonesia”, dan “Bahasa dan Politik Rekayasa pada Zaman Orde

    Baru Soeharto”.

    Karya Tan di atas tentu saja substansinya sangat luas yang mengulas pernak-

    pernik kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia dan pandangan tokoh bangsa, yakni

    Bung Karno, tentang keragaman etnis di Indonesia dan bagaimana praktik politik

    Orde Baru terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Atas dasar itu, kajian dari peneliti

    sangat berbeda dan spesifik atau terbatas pada suatu fenomena sosial budaya

    hubungan antaretnis yang berbeda, tetapi dapat hidup rukun atau harmonis di sebuah

    desa di pedalaman, yaitu Desa Pupuan.

    Walaupun berbeda fokus kajiannya, karya itu (Tan) tampaknya sangat

    membantu penelitis untuk dapat melihat lebih jauh bagaimana kehidupan etnis

    Tionghoa sebagai etnis minoritas yang dikenai pula kebijakan yang diambil oleh

    penguasa Orde Lama ataupun Orde Baru. Dengan demikian peneliti akan lebih

  • 38

    mudah mendeskripsikan dinamika kehidupan etnis Tionghoa di tengah-tengah etnis

    Bali yang mayoritas di Desa Pupuan.

    Karya monumental M.D.La Ode (2012) dengan judul: Etnis Cina Indonesia

    dalam Politik: Politik Etnis Cina Pontianak dan Singkawang di Era Reformasi 1998-

    2008, adalah hasil disertasinya untuk meraih gelar doktor di Universitas Indonesia

    (2011), yang menguraikan keberadaan etnis Tionghoa di Kalimantan Barat, dinamika

    dan latar belakang keterlibatan etnis Tionghoa dalam dunia politik sebelum dan

    sesudah Reformasi serta dampak dari keterlibatan etnis Tionghoa dalam dunia politik

    di Indonesia.

    Karya Ode lebih banyak menyoroti keterlibatan etnis Tionghoa dalam konteks

    politik sejak era Reformasi 1998 dan dampak yang ditimbulkannya serta respons dari

    etnis lokal, yaitu Melayu, Dayak, dan Pemda di Pontianak dan Singkawang periode

    1998-2008. Sementara itu kajian yang peneliti lakukan lebih banyak secara

    substansial menyoroti terciptanya kerukunan sosial dua etnis berbeda, yaitu etnis

    Tionghoa dan Bali di Desa Pupuan, yang terletak jauh dari sentra ekonomi, yaitu di

    daerah pegunungan yang bermatapencaharian sebagai pedagang di pasar tradisional

    setempat dan juga ada sebagai petani di perkebunan.

    Karya Jemma Purdey (2013) dengan judul: Kekerasan Anti Tionghoa di

    Indonesia 1996-1999, mengulas tentang: Indonesia-Tionghoa,minoritas di tengah-

    tengah, menyebarkan ketidakpuasan, meningkatnya sentimen anti-Tionghoa, klimaks,

    merepresentasikan dan mengingat, dan perubahan rezim dan transisi.

  • 39

    Karya Purdey jelas berbeda dengan karya peneliti lakukan sebab Purdey lebih

    banyak menyoroti tentang kekerasan yang menimpa etnis Tionghoa yang dilakukan

    oleh etnis non-Tionghoa sehingga merupakan cerminan ketidakharmonisan yang

    terjadi. Sementara itu, peneliti justru sebaliknya, yaitu memaparkan keharmonisan

    yang terjadi antaretnis Tionghoa dengan etnis Bali di Desa Pupuan sampai saat

    penelitian ini dilakukan.

    Sebuah karya Nasrul Hamdani (Hisyam, ed., 2013) dengan judul Komunitas

    Cina di Medan menguraikan mengenai etnis Tionghoa di Sumatra Timur, dinamika

    etnis Tionghoa Medan tahun 1930-1942, dan etnis Tionghoa di Medan pada masa

    Pendudukan Jepang.

    Karya Hamdani tersebut jika disimak sangat jelas mempergunakan

    pendekatan sejarah atau historis sehingga bersifat monodisiplin yang membicarakan

    etnis Tionghoa dengan sebutan atau istilah “orang Cina” sebagai suatu komunitas

    yang dominan di Sumatra Utara tepatnya di Kota Medan, dari awal kedatangannya

    sebagai kulikontrak zaman kolonial Belanda serta dinamika yang dialaminya periode

    1930-1942, dan karena itu, jelas berbeda dengan kajian yang dilakukan ini.

    Karya Munawir Aziz (2013) dengan judul: Lasem Kota Kecil: Interaksi

    Tionghoa, Arab, dan Jawa dalam Silang Budaya Pesisiranbanyak menyoroti tentang

    Lasem sebagai kota Bandar di pesisir Jawa, pilar-pilar menuju perdamaian (harmoni),

    dan negoisasi harmoni di Lasem antaretnis. Perbedaannya dengan kajian yang peneliti

    lakukan adalah karya Aziz di atas terletak bukan hanya pada perbedaan lokasi

    penelitiannya, tetapi juga terletak pada substansinya, yaitu Aziz menjadikan subjek

  • 40

    penelitiannya interaksi tiga etnis yaitu Tionghoa, Arab, dan Jawa, yang dapat hidup

    harmonis. Sementara itu, penelitian yang peneliti lakukan hanya menggunakan dua

    subjek etnis, yaitu etnis Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan.

    Karya-karya pada tahun 2014, ada beberapa karya yang dapat ditemukan yang

    ada kaitannya dengan pembahasan etnis Tionghoa, yaitu karya Darwin Darmawan

    dengan judul:Identitas Hibrid Orang Cina, yang menguraikan tentang: identitas etnis

    Tionghoa di Indonesia, teori hibrid dan identitas hibrid di Indonesia, GKI Perniagaan

    dalam konteks sejarah Jakarta, etnis Tionghoa di Indonesia era Soekarno sampai era

    Reformasi, arti menjadi etnis Tionghoa Indonesia Kristen, dan hidup bersama dalam

    perbedaan.

    Jika dibandingkan dengan kajian yang penulis lakukan jelas ada perbedaannya

    yaitu kajian dari Darmawan itu lebih banyak menyoroti identitas hibrid etnis

    Tionghoa di Indonesia yang beragama Kristen, sedangkan kajian peneliti justru

    berfokus pada persoalan harmoni yang ada di antara dua etnis yang berbeda, yaitu

    etnis Tionghoa dan Bali serta mengulas tentang etnis Tionghoa yang beragama Hindu

    ataupun Budha dan juga peniruan (mimikri) budaya lokal etnis setempat, yaitu etnis

    Bali yang beragama Hindu dalam praktik kesehariannya.

    Ada pula karya pada tahun 2014, yaitu karya Iwan Santosa berjudul:

    Tionghoa dalam Sejarah Kemeliteran Sejak Nusantara sampai Indonesia, yang

    mengulas tentang: hubungan Tiongkok dengan Nusantara, melawan kolonialisme,

    konflik internasional di tahun 1930-an, revolusi Indonesia, dan konflik 1965-1967,

    yang secara substantif menyajikan peran aktif etnis Tionghoa bidang militer atau

  • 41

    pertahanan dalam menegakkan kemerdekaan mengusir penjajah dan juga

    mempertahankan negara dari berbagai ancaman ataupun rongrongan, baik bersifat

    internalmaupun eksternal.

    Jika dicermati secara substantif karya Santosasangat jelas berbeda dengan

    kajian yang peneliti lakukan, yaitu lebih banyak menyoroti aspek historis tentang

    peran etnis Tionghoa dalam bidang kemeliteran dari zaman sebelum era kolonial

    ataupun pascakemerdekaan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia

    sehingga menggunakan pendekatan sejarah. Sementara itu, kajian yang peneliti

    lakukan tidak melihat dari peran etnis Tionghoa dalam militer, tetapi bagaimana

    peran etnis Tionghoa dalam bidang ekonomi perdagangan dan pertanian (perkebunan)

    di Desa Pupuan yang akhirnya berhasil menjadi bagian integral dari kelompok sosial

    dalam wadah desa pakraman di DesaPupuan sehingga tercipta kehidupan yang

    harmonis dan menggunakan pendekatan kajian budaya dan etnografi kritis.

    Berdasarkan kajian pustaka yang diuraikan di atas maka dapat dikatakan

    bahwa karya-karya monumental dari para pakar yang berasal dari dalam dan luar

    negeri lebih banyak membicarakan isu tentang eksistensi etnis Tionghoa, baik di

    wilayah Indonesia maupun yang ada di luar wilayah Indonesia, dengan segala

    problematik yang dihadapi oleh etnis Tionghoa, seperti diketahui, etnis ini sangat

    dinamis dalam percaturan ekonomi perdagangan.

    Hasil penelusuran pustaka di atas membuktikan bahwa belum ada yang

    membahas secara khusus dengan pendekatan etnografi kritis tentang relasi antardua

    etnis yang berbeda, tetapi tercipta sebuah harmoni. Walaupun ada yang

  • 42

    bersinggungan,kajiannya sangat positivistis, dan walaupun ada yang mengambil

    lokasi penelitiannya sama, tetapi latar belakang ataupun rumusan problematiknya

    berbeda, dan belum menunjukkan ada pembahasan yang lebih jauh mengenai

    terciptanya relasi yang harmonis antara etnis Tionghoa dan etnis Bali yang berbeda

    latar belakang sejarah ataupun budaya di Desa Pupuan dengan menggunakan

    pendekatan cultural studies dan pendekatan etnografi kritis.

    Berdasarkan studi pustaka itu peneliti tertarik untuk meneliti fenomena

    tersebut dengan topik: “kuasa di balik harmoni: etnografi kritis relasi etnis Tionghoa

    dan etnis Bali di Desa Pupuan, Tabanan, Bali” dengan mempergunakan pendekatan

    kajian budaya (cultural studies approach), dengan beberapa karakteristiknya, yaitu

    menggunakan pendekatan multidispliner dan teori-teori sosial kritis.

    2.2 Penjelasan Konsep

    Dalam penelitian ini ada beberapa konsep yang digunakan dan perlu

    dijelaskan agar tidak menimbulkan bias tafsir yang dapat mengacaukan pemahaman

    terhadap persoalan yang dikaji dalam penelitian ini. Adapun konsep-konsep yang

    perlu dijelaskan adalah “kuasa di balik harmoni”, “etnografi kritis”, “relasi etnis

    Tionghoa dan etnis Bali”. Berikut adalah penjelasan masing-masing konsep yang

    digunakan dalam disertasi ini.

  • 43

    2.2.1Kuasa di Balik Harmoni

    “Kuasa” (kekuasaan) yang istilah asingnya power adalah sebuah istilah yang

    cukup populer atau tidak asing dalam dunia akademik atau keilmuan dari berbagai

    disiplin termasuk dalam Cultural Studies (Kajian Budaya). Foucault dalam

    karyanyaPower/Knowledge menjadikan “kuasa” (power)sebagai kata kunci. Jika

    pandangan Foucault tersebut diaplikasikan dalam mengkaji realitas etnismaka tidak

    dapat dipisahkan dengan wacana (diskursus) dan kekuasaan. Foucault juga

    mendefinisikan bahwa kekuasaan itu tidak dimiliki melainkan diciptakan oleh

    hubungan antarpengetahuan yang membangun posisi bagi mereka yang tunduk pada

    praktik-praktik tertentu. Selanjutnya,dikatakan juga olehnya bahwa kekuasaan tidak

    melekat pada struktur tertentu, melainkan ada dimana-mana, baik idividu maupun

    kelompok.

    Foucault juga mengatakan bahwa karena wacana adalah konstituen dari

    kekuasaan maka wacana dan praktik yang terkait dengan etnisitas senantiasa melekat

    makna kekuasaan dan lebih banyak menekankan pada power (kekuasaan)/knowledge

    (pengetahuan), yang dapat diartikan bahwa kekuasaan itu dimiliki oleh seseorang atau

    sekelompok orang jika ia memiliki pengetahuan itu sendiri (Spencer, 2006: 99). Akan

    tetapi, perlu diingat bahwa Foucault juga mengingatkan beberapa hal yang terkait

    dengan teorinya sebagaimana dikemukakan oleh Bertens (2014:310-316), yaitu (1)

    kuasa bukanlah milik tetapi strategi;(2) kuasa tidak dapat dilokalisasi tetapi ada di

    mana-mana; (3) kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi tetapi

  • 44

    terutama melalui normalisasi dan regulasi; dan (4) kuasa tidak bersifat destruktif

    melainkan produktif.

    Kekuasaan secara tradisional selalu dikaitkan dengan wacana politik,

    pemerintahan, dan kepemimpinan. Akan tetapi, apa yang dikatakan oleh Lewis (2010:

    31) bahwa kekuasaan itu tersebar di mana-mana atau di berbagai tempat, bersifat cair,

    dan berkaitan dengan proses atau upaya-upaya menciptakan makna, pertengkaran,

    sengketa dan pencarian jalan keluar. Oleh karena itu, sesungguhnya kemunculan atau

    hadirnya suatu kekuasaan sudah tampak pada pemakaian bahasa ataupun tindakan-

    tindakan atau perilaku yang bersifat fisik yang menyertainya. Dengan demikian,

    sesungguhnya memang terdapat hubungan yang erat antara bahasa yang terucapkan

    oleh subjek dan praktik kekuasaan sebagaimana yang juga disepakati oleh ahli

    budaya.

    Tokoh lain seperti Dijk (Eriyanto,2005: 272) juga mendefinisikan kekuasaan,

    yaitu sebagai kepemilikan yang dimiliki oleh sekelompok orang dan atau anggotanya

    untuk mengontrol kelompok lain atau anggotanya. Langkah mengontrol

    (pengawasan) itu jika dihubungkan dengan pandangan Gramsci ataupun Foucault

    dapat dilakukan dengan kekuatan fisik secara langsung dan juga dilakukan secara

    tidak langsung melalui tindakan persuasif.

    Kekuasaan yang dimiliki oleh seorang subjek, baik secara individual maupun

    secara kolektif, sangat ditentukan oleh kepemilikan atas sumber daya seperti modal,

    baik ekonomi, sosial, budayamaupunsimbolik, sebagaimana yang diteorikan oleh

    Bourdieu. Salah satu modal budaya adalah pengetahuan, yang dapat digunakan untuk

  • 45

    mengontrol secara tidak langsung melalui penyebaran pengetahuan tersebut dan

    barang siapa yang memiliki modal-modal tersebut akan memiliki pula kekuasaan

    (power) yang lebih besar, kuat dan menjadi paling berpengaruh untuk tetap

    menempati posisi superordinat (superior) dalam kehidupan sosial.Dalam interaksi

    antarkelompok itu ada relasi kuasa dan dalam relasi kuasa itu kelompok yang

    memiliki sumber daya berupa modal cenderung memiliki kekuasan yang lebih besar

    sehingga dapat melakukan kontrol (dominasi) jika dibandingkan dengan kelompok

    yang kurang memiliki modal tersebut.

    Atas dasar uraian di atas maka konsep “kuasa (kekuasaan)” yang dimaksud

    dalam disertasi ini tidak lain adalah usaha yang dilakukan oleh kelompok etnis, baik

    etnis Tionghoa maupun etnis Bali, di Desa Pupuan untuk memainkan segala

    potensinya sehingga dapat bertahan pada suatu posisi tertentu dalam berinteraksi di

    masyarakat dan memelihara kehidupan yang harmonis dengan menjunjung tinggi

    kesamaan dalam perbedaan.

    Harmoni sama artinya dengan keselarasan atau selaras (Poerwadarminta,1982:

    347). Harmoni juga bermakna adanya keseimbangan antarberbagai aspek dalam suatu

    sistem kehidupan. Dalam ajaran agama Hindu yang dipraktikkan oleh etnis Bali

    sangat menjunjung nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi yang dikenal dengan

    ajaran Tri Hita Karana (THK). Di samping itu, harmoni juga berarti hidup rukun,

    yaitu suatu keadaan atau situasi yang berada dalam keadaan selaras, tenang, dan

    tentram tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu dalam arti untuk saling

    membantu. Oleh karena itu,berperilaku rukun berarti menghilangkan tanda-tanda

  • 46

    ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi sehingga hubungan sosial

    tetap terlihat selaras dan baik.

    Dengan demikian,kata rukun dan kerukunan memiliki pengertian, yaitu

    keadaan damai dan perdamaian dalam kehidupan sehari-hari, yang dalam konsep

    Hindu damai sama artinya dengansantih. Oleh karena itu, setiap etnis tentunya

    memiliki doktrin tentang kerukunan dalam kehidupan sosial masing-masing.Selain

    itu, doktrin seharusnya juga selalu menjunjung tinggi nilai-nilai gotong royong atau

    saling bantu membantu antarsesama etnis.

    Menurut Tarigan (2011), untuk tidak memandang setiap etnik sebagai sebuah

    pelengkap bagi etnis lainnya yang berbeda dan untuk dapat saling memperkaya antara

    etnis yang satu dan etnis lainnya, orang beretnis apapun harus sudah terbebas dari

    dogma sebagai etnis pemenang yang mengungguli semua etnis lainnya dalam segala

    segi. Untuk itu, yang dikembangkan adalah nilai plural dan kebersamaan itu sesuai

    dengan prinsip manusia sebagai makhluk sosial.

    Berdasarkan paparan itu maka harmoni yang dimaksud dalam disertasi ini

    adalah suatu kehidupan yang rukun atau damai dan selarasantara dua etnis yang

    berbeda,yaitu etnis Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan. Konsep harmoni ini juga

    dipergunakan sebagai pendekatan dalam disertasi ini,yaitu dengan memberikan ruang

    pada etnis Tionghoa untuk mengekspresikan tradisi, ritual, dan kepercayaannya

    sehingga pendekatan harmoni ini mementingkan perdamaian antargolongan dan

    memberikan ruang yang setara (equal).

  • 47

    2.2.2 EtnografiKritis

    Pada konsep ini terdapat kata kunci, yaitu etnografi, yang secara harfiah

    berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yang ditulis oleh seorang

    antropolog atas hasil penelitian lapangan (field work) selama beberapa waktu (bulan

    atau tahun). Penelitian antropologis bertujuan untuk menghasilkan laporan yang

    begitu khas sehingga istilah etnografi juga mengandung makna suatu metode

    penelitian untuk menghasilkan sebuah laporan (Marzali, 2007: vii). Dikatakan pula

    olehnya bahwa ciri-ciri khas dari metode penelitian lapangan etnografi adalah (1)

    sifatnya yang holistik-integratif, (2) thick description, (3) analisis kualitatif dalam

    rangka mendapatkan native’s point of view, dan (4) teknik pengumpulan data yang

    utama adalah observasi-partisipasi, dan wawancara terbuka dan mendalam, yang

    dilakukan dalam jangka waktu yang relatif dan bukan kunjungan singkat dengan

    pertanyaan terstruktur yang terjadi pada penelitian survai.

    Pandangan tersebut di atas sejalan dengan pandangan Barker (2014: 93-95)

    yang mengatakan bahwa etnografi adalah pendekatan emperis sekaligus teoretis yang

    merupakan turunan dari antropologi, yang bertujuan utama untuk menghasilkan

    deskripsi yang mendetail dan holistik serta analisis budaya yang didasarkan pada

    kerja lapangan yang intensif. Tujuan etnografi secara metodologi sebagaimana yang

    dikemukakan oleh Geertz (dalam Barker, 2014) adalah untuk dapat menghasilkan

    deskripsi mendalam (thick description) dari kemajemukan dan kompleksitas

  • 48

    kehidupan budaya, termasuk di dalamnya asumsi-asumsi yang tidak dikatakan atau

    diterima begitu saja.

    Berdasarkan pandangan itu maka studi ini yang menggunakan pendekatan

    etnografi tentu akan berpusat pada pendalaman kemajemukan nilai budaya, makna,

    dan dunia kehidupan yang selama ini kurang mendapat perhatian atau tempat dalam

    tulisan akademis Barat. Barker juga menegaskan bahwa dalam etnografi yang

    ditekankan adalah “semangat etnografi”, yaitu pemahaman aktivitas budaya secara

    mendalam dengan cara menempatkannya dalam konteksnya. Dikatakan pula bahwa

    etnografi yang berupaya merepresentasikan gugus makna, perasaan, dan budaya

    “yang lain” dengan mengandalkan epistemologi realis sering menghadapi kritik dan

    perlu mendapat perhatian.

    Berdasarkan uraian di atas maka etnografi kritis yang dimaksud dalam

    disertasi ini adalah deskripsi yang mendetail dan holistik serta analisis budaya yang

    didasarkan pada kerja lapangan yang intensif terhadap fenomena praktik budaya

    antara dua etnis, yaitu etnis Tionghoa dan etnis Bali, yang memiliki kultur berbeda

    tetapi dapat hidup harmoni di Desa Pupuan dengan dipergunakannya teori-teori sosial

    kritis dalam menganalisis data lapangan (kancah).

    2.2.3 Relasi Etnis Tionghoa dan Etnis Bali

    Pada konsep relasi etnis Tionghoa dan etnis Bali terdapat kata kunci “etnis”

    dan “Tionghoa”. Kata “relasi” dalam konsep relasi berarti hubungan atau interaksi

    yang terjadi antaretnis atau kelompok tertentu pada suatu arena (wilayah) yang

    didorong oleh adanya kepentingan (vested interest) dari pihak-pihak yang menjalin

  • 49

    hubungan. Sementara itu, etnis atau etnik dalam konteks ini berarti kelompok sosial

    dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu

    karena keturunan, adat, agama, bahasa dan sebagainya (KBBI,2005:309). Etnis juga

    sering disamakan dengan kesukubangsaan seperti yang dikemukakan oleh Bath

    (1988:11) bahwa:

    “Kelompok etnis atau kesukubangsaan dikenal sebagai suatu populasi

    jika memiliki beberapa ketentuan, yaitu (1) secara biologis mampu

    berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama

    dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; (3) membentuk

    jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri

    kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat diterima

    oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain”.

    Bath secara khusus juga mengatakan bahwa dari segi sosial kelompok etnis

    dapat dipandang sebagai suatu tatanan sosial jika mengacu pada rumusan etnis nomor

    empat di atas yaitu menentukan ciri khasnya sendiri yang dapat dilihat oleh kelompok

    lain dan ciri khas yang mendasar dan secara umum menentukan seseorang termasuk

    kelompok etnis mana yang dapat ditafsirkan dari asal usulnya. Secara sederhana Bath

    (1988) mendefinisikan etnis, yaitu suatu kelompok tertentu yang didasarkan atas

    kesamaan ras, agama, asal usul bangsa atau kombinasi dari kategori tersebut yang

    terikat pada sistem nilai budayanya. Sementara itu, Barker (2005: 201)

    mendefinisikan etnis yaitu sebagai sebuah konsep budaya yang terpusat pada

    kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol dan praktik budaya.

    Pada sisi lain Schermerhorn (dalam Tilaar, 2007: 5) yang dikutip juga oleh La

    Ode (2012:35) mengatakan bahwa:

  • 50

    “Suatu kelompok etnis adalah suatu masyarakat kolektif yang

    mempunyai atau digambarkan memiliki kesatuan nenek moyang, mempunyai

    pengalaman sejarah yang sama di masa lalu, serta mempunyai fokus budaya

    di dalam satu atau beberapa elemen yang simbolik itu seperti pola keluarga,

    ciri-ciri fisik, afiliasi agama dan kepercayaan, bentuk dialek atau bahasa,

    afiliasi kesukuan, nasionalitas, atau kombinasi dari sifat-sifat tersebut di atas.

    Pada dasarnya di dalam kelompok itu terdapat sejenis tali pengikat

    antaranggotanya sebagai suatu kelompok”.

    La Ode (2012: 36) juga menguraikan bahwa kelompok etnis menjadi identitas

    pada tiap-tiap kelompok etnis yang satu terhadap kelompok etnis yang lain sekaligus

    menjadi faktor pembeda yang kontras. Jika ada satu individu dari kelompok etnis

    yang satu masuk ke dalam kelompok etnis yang lain akan sangat kelihatan perbedaan

    secara kontras karena kelompok etnis sebagai identitas selamanya melekat pada

    individu.

    Istilah “Tionghoa atau Tionghwa” adalah istilah yang dibuat sendiri oleh

    orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dari Bahasa

    Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hok-kian dilafalkan sebagai Tionghoa. Pada masa

    kolonial Belanda orang-orang yang ada di Hindia Belanda yang berasal dari

    Tiongkok disebutnya sebagai Orang Cina oleh masyarakat. Sekelompok orang asal

    Tiongkok yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda yang disebut “peranakan”

    memandang perlu mempelajari kebudayaan dan bahasa asal leluhurnya. Dengan

    demikian, pada tahun 1900 didirikannya sekolah di Hindia Belanda di bawah

    naungan suatu badan yang dinamakan “Tjung Hwa Hwei Kwan” yang bila dilafalkan

    atau diindonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK), yang dalam

    perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Cina,

  • 51

    tetapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda

    dan pada tahun 1928 istilah “Cina” diganti menjadi “Tionghoa” secara resmi oleh

    pemerintah kolonial di Hindia Belanda.

    Pada masa penjajahan Jepang istilah “Tionghoa” juga digunakan sampai

    Indonesia merdeka bukan saja oleh kelompok keturunan Tionghoa di Indonesia tetapi

    juga dipergunakan oleh kalangan pers (Suryadinata, 2002: 100-118). Dengan

    dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 pada tanggal 14 Maret

    2014, istilah “Cina”diganti menjadi “Tionghoa” dan sebutan negara Cina yang

    dulunya bernama Republik Rakyat China diganti pula dengan sebutan Republik

    Rakyat Tiongkok (RRT).

    Dengan demikian, yang dimaksud dengan konsep “etnis Tionghoa” dalam

    disertasi ini adalah kelompok sosial dalam sistem sosial yang didasarkan atas

    kesamaan asal usul, norma, nilai, keyakinan atau kepercayaan, simbol, dan praktik

    budaya yang berasal dari Tiongkok yang sudah menjadi warga negara Indonesia yang

    memiliki hak dan kewajiban yang sama dan sudah diakui secara legal sebagai salah

    satu suku (etnis) di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006

    tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Sementara itu, etnis Tionghoa dalam

    disertasi ini adalah etnis Tionghoa yang ada di Desa Pupuan, Tabanan, Bali yang

    dijadikan lokasi penelitian ini.

    Berdasarkan uraian di atas maka pengertian konsep “relasi etnis Tionghoa dan

    etnis Bali” yang dipergunakan dalam disertasi ini adalah hubungan atau relasi dua

    kelompok sosial (komunitas) yang memiliki asal usul yang secara historis berbeda,

  • 52

    sehingga diikat oleh norma, nilai, keyakinan atau kepercayaan, simbol ataupun

    praktik budaya yang berbeda pula, yakni etnis Tionghoa dan etnis Bali dan secara

    etnisitas masing-masing etnis ini memiliki riwayat yang berbeda di Desa Pupuan.

    2.2.4Etnopedagogik

    Alwasilah (2008) mengatakan bahwa etnopedagogik adalah praktik

    pendidikan berbasis pengetahuan lokal dalam berbagai aspek kehidupan.

    Etnopedagogik memandang pengetahuan atau kearifan lokal (indigenous knowledge,

    local wisdom) sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan

    untuk kesejahteraan masyarakat. Lebih lanjut dikatakan oleh Alwasilah (2008) bahwa

    kearifan lokal adalah koleksi fakta, konsep, keyakinan, dan persepsi masyarakat

    terhadap lingkungan mereka dan secara singkat dikatakan olehnya bahwa kearifan

    lokal adalah proses bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan,

    dikelola, dan diwariskan.

    Etnopedagogik juga didefinisikan sebagai model pembelajaran lintas budaya.

    Melalui pendidikan itu peserta didik (masyarakat) akan mendapatkan pemahaman

    tentang nilai-nilai universal dan melalui pendekatan etnopedagogik itu akan

    didapatkan pula nilai-nilai lokal yang dapat digunakan sebagai sumber inofasi dan

    keterampilan yang dapat diberdayakan untuk menghadapi kehidupan yang semakin

    kompleks ini. Etnopedagogik ini juga berkaitan erat dengan pendidikan multikultural,

    yang memuat perangkat kepercayaan yang memandang penting kearifan lokal dan

  • 53

    keberagaman yang dimiliki oleh komunitas etnis untuk membentuk gaya hidup,

    pengalaman sosial, identitas pribadi dan kelompok sosial.

    Berdasarkan paparan di atas maka konsep “etnopedagogik” dalam disertasi ini

    adalah sebuah model atau pola dalam praktik pendidikan berbasis pengetahuan lokal

    atau kearifan lokal (indigenous knowledge, local wisdom) yang ada pada masyarakat

    Desa Pupuan, baik dari etnis Tionghoa maupun etnis Bali,dalam berbagai aspek

    kehidupannya yang dapat digunakan sebagai sumber inofasi dan keterampilan yang

    dapat diberdayakan untuk kesejahteraan masyarakat termasuk mempertahanakan

    kehidupan yang harmonis agar tetap ajeg.

    2.3 Landasan Teori

    Dalam disertasi ini digunakan berbagai teori sebagai pijakan atau tuntunan

    untuk memecahkan berbagai masalah dan teori ini digunakan sebagai kerangka acuan

    yang dapat mengarahkan penelitian yang dilakukan sesuai dengan pendekatan kajian

    budaya. Dalam mengaplikasikan teori digunakan pendekatan yang bersifat eklektik,

    yaitu dipergunakan teori utama terlebih dahulu, selanjutnya baru digunakan teori-

    teori lain sebagai penunjang atau pelengkap untuk mendapatkan daya penjelas yang

    lebih memadai.

    Teori-teori yang dipergunakan dalam disertasi ini diambil dari teori-teori

    sosial kritis posmodern, yang menurut Lubis (2014: 25), bahwa posmodernisme

    memiliki ciri terpenting, yaitu menolak pandangan fundasionalisme seperti

    pandangan kaum positivisme logis dengan unifeild science-nya. Dikatakan pula

  • 54

    bahwa Posmodernisme juga menolak ilmu pengetahuan yang dianggap bebas nilai,

    tidak mengakui keterlibatan subjek, dan anggapan bahwa bahasa adalah cermin

    realitas.

    Lubis (2014) selanjutnya mengatakan bahwa ketika posmodernisme

    menerima keanekaragaman paradigma (perspektif dalam mengobservasi realitas),

    maka kebenaran ilmu pengetahuan pun tidak bersifat tunggal, tidak tetap, akan tetapi

    plural dan berubah, serta berkembang sejalan dengan perkembangan budaya manusia.

    Dengan demikian, sikap kritis yang dijadikan pijakan oleh posmodernisme adalah

    dengan tegas menolak kebenaran tunggal yang bersifat terpusat dan justru lebih

    pengakuan akan perbedaan-perbedaan pendapat yang tersebar di luar pusat atau yang

    ada di pinggiran.

    Namun, sebaliknya, posmodernisme mengakui keterlibatan objek dan subjek

    dalam penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan, mengakui pengaruh faktor

    sosial historis pada subjek, mengakui “kekayaan kosakata” seseorang dalam

    memahami dan menafsirkan berbagai fenomena kehidupan manusia dan sosial

    budaya (teks) dan menerima keanekaragaman (pluralitas) paradigma ilmiah.

    Demikian juga teori sosial kritis dapat dipergunakan untuk menguji secara

    kritis kontradiksi atau pertentangan yang terjadi di masyarakat dan berupaya untuk

    mencari sumber pemicunya dengan jalan membongkar hal-hal yang tersebunyi dan

    menjadikan terang dan jelas secara eksplisit tentang relasi/interaksi etnis Tionghoa

    dan etnis Bali sehingga dapat ditafsirkan atau diinterpretasikan mengapa dapat

    tercipta kehidupan yang harmonis di Desa Pupuan.

  • 55

    Untuk maksud tersebut maka ada beberapa teori utama yang digunakan

    membedah atau menganalisis masalah yang diangkat,yaitu (1) Teori Praktik dari

    Pierre Felix Bourdieu, (2) Teori Power/Knowledge dan Genealogy dari Michel

    Foucault, dan (3) Teori Pendidikan Kritis dari Habermas, Foucault, dan Paulo Friere.

    Berikut dideskripsikan ketiga teori utama tersebut yang digunakan secara

    eklektik dengan teori sosial kritis lainnya sehingga didapatkan daya penjelas yang

    lebih memadai terhadap persoalan yang dibahas dalam disertasi ini.

    2.3.1 Teori Praktik Pierre Felix Bourdieu

    Pierre Felix Bourdieu lahir pada tanggal 1 Agustus 1930 di Desa Denguin,

    Distrik Pyreness-Antantiques di bagian Barat Daya Prancis. Pandangan Bourdieu

    dapat digunakan untuk memahami etnisitas dengan baik. Dikatakan pula olehnya

    bahwa realitas etnik adalah realitas pertarungan simbolik etnisitas yang terjadi di

    berbagai arena kehidupan, seperti sosial, ekonomi, dan politik.

    Konsep “habitus” Bourdieu juga dapat digunakan untuk menganalisis

    masyarakat yang di dalamnya terjadi pertarungan atau perjuangan untuk merebut

    “dominasi simbolik” dari etnis tertentu agar dapat ddirikan hegemoni kelompok etnis

    tertentu terhadap kelompok lainnya yang dianggap saingannya. Oleh karena itu,

    dalam interaksi sehari-hari dalam kehidupan publik terjadi medan pertempuran atau

    persaingan antaretnis dan perjuangan untuk meraih dominasi simbolik.

    Modal (capital) dari teori Praktik Bourdieu amat penting juga digunakan

    untuk menganalisis etnis dan relasi antaretnis, sebab modal itu memainkan peran

  • 56

    yang penting agar dapat mengilustrasikan kondisi objektif yang dimiliki aktor, yaitu

    kondisi keberadaanya atau eksistensinya di dalam masyarakat pada umumnya sebagai

    relasi dari modal-modal yang dimilikinya. Bourdieu juga dalam Teori Praktik-nya

    merumuskan dua dimensi, yaitu (1) proses internalisasi yang dialami pelaku (aktor,

    baik individu maupun kelompok), dan (2) pengungkapan dari segala sesuatu yang

    telah terinternalisasi yang menjadi bagian dari diri si pelaku.

    Internalisasi yang dialami pelaku tersebut berdasarkan pengalaman hidup

    yang melekat dalam diri aktor (habitus) dalam berbagai arena. Oleh karena itu, setiap

    praktik aktor adalah merupakan produk hasil dari interaksi antarhabitus dan arena.

    Setiap arena mempunyai aturan-aturan tersendiri sehingga masing-masing aktor harus

    mampu berjuang di arena tersebut. Dalam rangka mempertahankan eksistensinya itu

    maka aktor harus memiliki kekuatan dan cara atau strategi untuk mempertahankan

    eksistensinya di arena.

    Berdasarkan pandangan Bourdieu tersebut maka dalam disertasi ini teorinya

    digunakan untuk menganalisis data sehingga dapat membedah permasalahan yang

    pertamadalam disertasi ini. Berikut adalah penjelasan lebih detail konsep-konsep dari

    teori Praktik-nya Bourdieu.

    2.3.1.1 Habitus

    Pemahaman terhadap habitus sangat penting artinya untuk dapat memahami

    mengapa seseorang atau kelompok orang (aktor) berprilaku atau bertindak seperti itu

    dan berbeda dengan orang lain. Dengan demikian maka prilaku aktor satu dengan

  • 57

    yang lainnya tentu berbeda dan wajar terjadi sebab aktor dalam menjalankan

    kehidupannya tidak bisa dilepaskan dari habitus-nya. Oleh karena itu,habitus

    berfungsi sebagai penggambaran kecenderungan pelaku sosial, baik individu maupun

    kelompok, untuk beraksi dan juga bereaksi atas segala sesuatu yang terjadi di

    sekelilingnya.

    Sejalan dengan itu, Calhoun (1993: 4) mengatakan bahwa habitus itu sebagai

    sebuah sistem yang terdiri atas kecenderungan-kecenderungan tetap yang berlaku

    pada diri individu sebagai pelaku sosial dalam kehidupannya yang membuatnya

    melakukan praktik sosial dalam arena yang berbeda-beda. Sementara itu, Ritzer et al.

    (2008: 522) mengatakan bahwa habitus secara sosiologis didefinisikan sebagai

    “struktur mental atau kognitif” yang digunakan oleh aktor menghadapi kehidupan

    sosial. Melalui habitus, aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang

    diinternalisasikan yang digunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan

    menilai dunia sosial.

    Bourdieu (1990) juga mengatakan bahwa habitus itu sebagai opus operatum

    atau hasil praktik dan modus operandi atau modus praktik. Sebagai ilustrasi tentang

    habitus, oleh Alamsyah (2010; Sjaf, 2014: 65-66), dikatakan bahwa habitus itu adalah

    prinsip dan nilai yang melekat pada diri agen seperti sikap disiplindan sikap

    antikekerasan dan dapat berwujud dalam gerak-gerik tubuh yang khas seperti cara

    berbicara dan berjalan.

    Habitus juga dapat berubah-ubah karena ranah (arena) dapat mengondisikan

    habitus dan habitus dapat mengklasifikasikan ranah atau arena. Dalam sistem

  • 58

    klasifikasi itu aktor mengorganisasikan tindakan sosialnya dan mempersepsikan serta

    mengapresiasi tindakan sosial agen lain. Habitus itu melekat pada diri agen dan

    sekaligus mewujud pada agen seperti terlihat pada cara bicara, berjalan, makan,

    minum, dan sikap lainnya sehingga secara otomatis tidak disadari akan memandu

    praksis sosialnya (Bourdieu, 1984: 466; 1992: 19).

    Dengan demikian, habitus itu dibentuk dari pengalaman hidup aktor seperti

    asal usul, pekerjaan, dan pendidikan. Oleh karena itu, habitus itu ada sejak lahir dan

    berkembang seiring dengan agen memasuki dunia atau arena baru seperti sekolah,

    dunia kerjaserta tidak dapat dielakkan bahwa arena dapat memengaruhi sikap agen,

    namun tidak berarti mengarahkan sepenuhnya sikap agen. Habitus juga dapat

    dijadikan rujukan atau pedoman bagi agendalam mengambil sikap pada suatu kondisi

    atau arena tertentu.

    Berdasarkan paparan di atas maka habitus itu digunakan dalam penelitian

    disertasi ini agar dapat dipahami sikap dan perilaku etnis etnis Tionghoa seperti itu di

    Desa Pupuan dan sudah barang tentu berbeda dengan sikap dan perilaku etnis Bali.

    2.3.1.2 Ranah (Arena)

    Ranahatau arena adalah sebuah wilayah yang bersifat dinamis atau mencair

    yang di dalamnya terdapat pertarungan/kontestasi untuk mendapatkan posisi tertentu.

    Kontestasi di arena itu dalam upaya mencapai posisi berkaitan erat dengan

    kepemilikan modal dari pelaku sosial di dalam arena tersebut (Calhoun,1993: 5-6).

    Setiap aktor tidak akan dapat lepas dari arena dan masing-masing arena itu memiliki

    aturan/ketentuan tersendiri sehingga dapat mempengaruhi seseorang individu

  • 59

    ataupunkelompok berprilaku. Dengan demikian kontestasi antaraktor selalu berusaha

    sedapat mungkin untuk menguasai/merebut kode-kode atau aturan-aturan agar dapat

    menjadi pengendali permainan.

    Aktor yang dominan tentu saja berusaha untuk mempertahankan posisinya,

    sedangkan aktor yang posisinya marjinal juga berusaha untuk merebut kedudukan

    yang lebih tinggi. Pada pertarungan ini masing-masing aktor memanfaatkan

    modalnya dan habitus yang dimilikinya untuk meraih kedudukan yang lebih tinggi di

    masyarakat. Oleh karena itu,dalam kontestasi pada arena tertentu setiap aktor harus

    memiliki modal dan kemampuan strategi dalam menggunakan modal tersebut agar

    aktor memperoleh dan dapat mempertahankan posisi yang diinginkan dalam arena

    tertentu.Relasi yang terbangun antaraktor dalam arena yang bersaing lebih bersifat

    relasional dibandingkan bersifat struktural.

    Hal ini disebabkan karena arena bukanlah struktur yang bersifat statis dengan

    berbagai batasan yang ketat tetapi arena terbentuk dari adanya kesamaan antaragen

    sosial seperti bahasa, gaya hidup, minat, pengetahuan dan lainnya yang dapat bertemu

    pada suatu titik tertentu. Oleh karena itu Bourdieu (1992: 97) mengatakan bahwa

    arena adalah suatu jaringan yang terbentuk dari relasi objektif di antara posisi-posisi

    yang ada sehingga hubungan antaraktor dalam arena lebih bersifat relasional daripada

    struktural. Demikian pula karena arena sifatnya cair dan dinamis serta sulitnya

    menentukan batas-batasnya maka tiap agen dapat menempati dan memposisikan diri

    lebih dari satu ranah dalam waktu yang bersamaan.

  • 60

    Berdasarkan uraian di atas maka di Desa Pupuantentu saja ada kontestasi

    antaraktor baik dari etnis Tionghoa maupun etnis Bali yang ingin mempertahankan

    eksistensinya masing-masing dengan memainkan modalnya baik bersifat ekonomi,

    budaya, sosial, dan simbolik serta menggunakan strategi masing-masing untuk

    meraih kemenangan yang secara kasat mata tidak tampak sehingga perlu ditelusuri

    lebih jauh dalam penelitian ini.

    2.3.1.3 Modal

    Konsep modal menurut Bourdieu melampau definisi dari pendekatan ilmu

    ekonomi. Dengan demikian modal menurut Bourdieu meliputi barang-barang

    material dan barang-barang simbolik. Begitu juga dijelaskan bahwa kedudukan atau

    kekuatan agen baik individu atau lembaga dalam struktur sosial ditentukan oleh

    modal-modal yang dimilikinya (Bourdieu, 1992).

    Bourdieu lebih lanjut menjelaskan bahwa modal itu meliputi (1) modal

    ekonomi, yaitu tingkat kekayaan material dan kekayaan aktor, yang juga meliputi

    faktor produksi seperti kepemilikan tanah, teknologi, dan modal dalam arti uang; (2)

    modal sosial, yaitu merupakan jaringan sosial yang memudahkan aktor untuk

    menghimpun modal-modal lainnya. Secara sederhana modal sosial didefinisikan oleh

    Bourdieu yaitu suatu posisi atau relasi dalam suatu kelompok serta jaringan-jaringan

    sosial.

    Bourdieu juga menegaskan bahwa modal sosial sangat tergantung pada

    luasnya jaringan koneksi yang dapat dimobilisasi dengan efektif dan jumlah kapital

    (ekonomi, kultural, dan simbolik) yang dimiliki suatu masyarakat; (3) modal budaya,

  • 61

    yaitu kepemilikan aktor atas benda-benda material yang dianggap memiliki prestise

    tinggi, pengetahuan, dan ketrampilan yang diakui oleh otoritas resmi dan kebiasaan

    seperti gaya pakaian, cara bicara, selera makan, dan sebagainya. Atau dengan kalimat

    lain, yaitu modal budaya adalah kualifikasi-kualifikasi intlektual hasil dari sistem

    pendidikan, atau diturunkan melalui konsep-konsep, seperti latar belakang keluarga,

    kelas sosial, investasi-investasi, dan komitmen pada pendidikan; dan (4)modal

    simbolik, yaitu simbol-simbol kebudayaan yang dapat memperkuat kedudukan agen

    di antara agen-agen lainnya. Jadi keempat modal itu akan tetap eksis dan berfungsi

    dalam arena dan memiliki kekuatan terhadap arena.

    Pada bagian lain Bourdieu juga mengatakan bahwa modal juga sangat

    menentukan reproduksi instrument yang terkandung dalam arena yang distribusinya

    membentuk struktur arena tersebut. Akan tetapi modal itu juga memiliki kekuatan

    terhadap pola dan keteraturan yang mengatur kerja arena, sehingga ia menentukan

    keuntungan-keuntungan yang bisa diperoleh para aktor di dalam arena (Bourdieu,

    1992). Selanjutnya Bourdieu (1986) mengatakan bahwa keberadaan modal ekonomi

    dapat dipertukarkan dengan modal lainnya, sedangkan modal simbolik

    memungkinkan agen memperkuat kedudukannya di dalam masyarakat.

    Berdasarkan atas pandangan itu maka dapat dikatakan bahwa posisi

    kekuasaan dan kedudukan aktor ditentukan oleh kepemilikan modal dan relasinya

    dengan aktor lain. Semakin tinggi kualitas modal yang dimiliki aktor maka semakin

    berpeluang untuk menjadi dominasi atau menduduki posisi supraordinat daripada

    aktor yang kurang memiliki modal kemungkinan besar tetap pada posisi subordinat.

  • 62

    Dalam konteks itu pula dikaji di lapangan (Desa Pupuan) apakah antara etnis

    Tionghoa dan etnis Bali terjadi kontestasi pada arena yang sama dalam upaya

    mempertahankan eksistensinya masing-masing dengan memainkan ke empat modal

    yang ada seperti dalam teori modal Bourdieu di atas.

    2.3.1.4Strategi

    Konsep “strategi” juga diperkenalkan oleh Bourdieu. Dalam pertarungan atau

    kontestasi, strategi memegang peranan yang sangat penting. Konflik selalu terjadi di

    dalam sebuah arena dan sesuatu yang sudah lazim terjadi. Dalam sebuah arena selalu

    ada individu atau kelompok yang mendominasi dengan kekuatan modal yang

    dimiliki. Kelompok yang bukan mendominasi selalu berusaha keras agar modal yang

    dimiliki bisa bertahan, berkembang dan bisa dilestarikan.

    Rusdiarti (2004:57-60) mengutif pandangan Bourdieu tentang bentuk strategi,

    yaitu: (1) Strategi investasi biologis, yaitu strategi yang berkaitan erat dengan

    pelestarian keturunan dan jaminan atas pewarisan modal kepada generasi yang

    selanjutnya dengan tujuan mempersiapkan generasi berikutnya yang lebih baik. (2)

    Strategi suksesif, yaitu usaha mewariskan harta bagi generasi berikutnya. Pewarisan

    ini biasanya terkait dengan pewarisan modal ekonomi dan modal budaya. (3) Strategi

    edukatif, yaitu usaha yang dilakukan oleh aktor untuk menghasilkan pelaku-pelaku

    sosial baru yang bisa dengan cakap mewarisi modal yang dimiliki oleh aktor tersebut.

    Selanjutnya Rusdiarti menguraikan strategi yang ke-(4) yaitu strategi invasi

    ekonomi atau capital invation, yaitu bertujuan untuk mempertahankan dan

    meningkatkan modal ekonomi yang sudah dimiliki sebelumnya, dan (5) Strategi

  • 63

    investasi simbolik, yaitu strategi yang berkaitan dengan semua tindakan pelestarian

    kapital simbolik, yang bertujuan agar individu/kelompok mendapat pengesahan

    dalam kehidupan sosialnya sebab semakin besar kapital simboliknya maka semakin

    besar pula pengaruhnya pada kelompok sosial yang lain.

    2.3.2 Teori Diskursus Kekuasaan/Pengetahuan dan Genealogi Michel Foucault

    2.3.2.1 Teori Diskursus Kekuasaan/Pengetahuan

    Michel Foucault dilahirkan di Poiters, Prancis pada tanggal 15 Oktober 1926.

    Foucault adalah figur sentral dalam filsafat Prancis abad XX yang ide-idenya

    diasosiasikan dengan aliran pascastrukturalisme. Pemikirannya sangat mempengaruhi

    perkembangan kajian budaya kontemporer dan pemikirannya dipengaruhi sangat

    kental oleh Nietzsche, yaitu Foucault berupaya untuk mengeksplorasi beraneka

    macam praktik diskursif yang menancapkan kekuasaan atas tubuh manusia tanpa ada

    keterikatan terhadap suatu tatanan struktural tertentu atau otoritas final yang tetap.

    Foucault juga berikhtiar untuk mengidentifikasi kondisi-kondisi historis dan

    sejumlah aturan yang berkontribusi dalam pembentukan pelbagai wacana sekaligus

    bekerjanya model kekuasaan/pengetahuan dalam praktik sosial yang salah satu

    pencapainya adalah pengaturan makna. Sebagian besar karya Foucault berfokus pada

    penyelidikan historis terhadap kekuasaan sebagai jejaring yang tersebar di dalam

    tatanan sosial yang tidak selalu bersifat represif (menekan, menindas), namun juga

    bersifat produktif (Barker, 2014: 101-102).

  • 64

    Pandangan Foucault di atas peneliti menilai sangat relevan digunakan dalam

    disertasi ini didasari oleh argumentasi bahwa berbicara atau mengkaji realitas etnis

    tidak dapat dipisahkan dengan wacana (diskursus) dan kekuasaan. Menurut Foucault,

    definisi kekuasaan itu tidak dimiliki, melainkan diciptakan oleh hubungan

    antarpengetahuan yang membangun posisi bagi mereka yang tunduk pada praktik-

    praktik tertentu. Selanjutnya, juga dikatakan olehnya bahwa kekuasaan tidak melekat

    pada struktur tertentu, melainkan ada di mana-mana baik individu maupun kelompok.

    Foucault juga mengatakan bahwa karena wacana adalah konstituen dari kekuasaan

    sehingga wacana dan praktik yang terkait dengan etnisitas senantiasa melekat makna

    kekuasaan (Spencer, 2006: 99).

    Foucault juga lebih banyak menekankan pada power/knowledge

    (kekuasaan/pengetahuan) yang dapat diartikan bahwa kekuasaan itu dimiliki oleh

    seseorang atau sekelompok orang jika ia memiliki pengetahuan itu sendiri. Akan

    tetapi perlu diingat bahwa Foucault juga mengingatkan beberapa hal yang terkait

    dengan teorinya sebagaimana dikemukakan oleh Bertens (2014:310-316), yaitu (1)

    Kuasa bukanlah milik tetapi strategi;(2) Kuasa tidak dapat dilokalisasi tetapi ada di

    mana-mana; (3) Kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi tetapi

    terutama melalui normalisasi dan regulasi; dan (4) Kuasa tidak bersifat destruktif

    melainkan produktif.

    Berdasarkan pandangan teori Foucault maka masing-masing etnis yang ada di

    Desa Pupuan tentu berusaha merebut kekuasaan untuk mendapatkan atau

    mempertahankan diri pada posisi superior (superordinat) dan sedapat mungkin untuk

  • 65

    menghindari posisi sub-ordinat (imperior). Begitu juga ada kemungkinan dari etnis

    mayoritas (etnis Bali) menggunakan wacana dan kekuasaan/ilmu pengetahuan untuk

    meminggirkan etnis Tionghoa di daerah penelitian (Desa Pupuan) agar orang

    mewed(etnis Bali) tetap mendominasi atau memegang hegemoni atas etnis Tionghoa

    sebagai etnis pendatang (tamiu). Adanya upaya itu perlu dikaji dalam penelitian ini

    apakah hal tersebut dilakukan oleh etnis mayoritas (etnis Bali) terhadap etnis

    minoritas (etnis Tionghoa).

    Konsep hegemoni yang dipopulerkan oleh Gramsci (1891-1937) juga dapat

    digunakan untuk melengkapi teori Foucault, sebab menurut Gramsci,teori hegemoni

    meliputi sarana kultural dan ideologis yang di dalamnya terdapat kelompok penguasa

    atau dominan yang menjalankan dan melestarikan kekuasaannya dalam suatu

    masyarakat melalui konsensus terhadap kelompok yang dikuasai atau yang

    didominasi. Oleh karena itu, kebudayaan dan masyarakat tidak lain merupakan suatu

    perwujudan dari upaya hegemoni yang akan diterima secara konseptual oleh yang

    terhegemoni.

    Teori Hegemoni dari Gramsci digunakan pada disertasi ini dengan

    argumentasi bahwa teori ini dianggap relevan untuk membedah permasalahan yang

    berhubungan dengan kekuasaan dalam konteks relasi dua etnis yang berbeda

    kemungkinan besar ada permainan kuasa di dalamnya sehingga terdapat pihak yang

    menghegemoni dan pihak yang terhegemoni.

    Menurut Piliang (2010: 71) bahwa hegemoni secara konvensional diartikan

    sebagai suatu sistem kekuasaan atau dominasi politik dan dalam tradisi Marxisme

  • 66

    istilah hegemoni diperluas pengertiannya ke arah hubungan kekuasaan di antara

    kelas-kelas sosial khususnya kelas berkuasa (ruling class). Piliang (2010: 73) juga

    menegaskan bahwa prinsip hegemoni dibangun didasarkan atas demokrasi yang

    dibentuk antara kelompok penguasa dengan kelompok yang dikuasai sehingga

    tercipta masyarakat sipil. Dikatakan pula olehnya bahwa dalam masyarakat sipil itu

    pandangan hidup kelas yang dikuasai bukanlah pandangan kelas hegemoni yang

    dipaksakan secara pasif, tetapi merupakan artikulasi dari berbagai pandangan hidup

    yang ada dari berbagai kelompok sosial yang kemudian disatukan dalam sebuah

    artikulasi yang konduktornya adalah kelas hegemoni.

    Gramsci berpandangan bahwa hegemoni merupakan kepemimpinan budaya

    yang dijalankan oleh kelas penguasa dan hegemoni itu bukanlah hubungan dominasi

    dengan mempergunakan kekuasaan tetapi hubungan yang didasarkan atas persetujuan

    dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Selanjutnya Gramsci juga

    mengatakan bahwa dominasi kekuasaan itu harus diperjuangkan melalui kekuatan

    senjata dan juga melalui penerimaan publik, yaitu ide masyarakat berkuasa oleh

    masyarakat luas yang diekspresikan melalui apa yang disebut opini publik (Ritzer,

    2010: 300).

    Barker (2014: 119-121) mengatakan bahwa hegemoni dapat dipahami dalam

    kerangka strategi di mana pandangan tentang kenyataan dan kelompok sosial yang

    menjadi panutan yang sedang dipertahankan seperti kelas, sek, etnis atau nasionalitas.

    Akan tetapi harus dilihat dalam kerangka relasional dan sesuatu secara inheren tidak

  • 67

    stabil mengingat hegemoni adalah kesepakatan bersifat sementara dan serangkaian

    aliansi antarkelompok sosial yang dimenangkan dan bukan diberikan.

    Hegemoni itu terus menerus dimenangkan dan dinegosiasi ulang secara

    konstan sehingga budaya adalah wilayah atau arena konflik dan perjuangan untuk

    memperoleh makna. Lebih jauh Barker mengatatakan bahwa hegemoni itu bukanlah

    suatu entitas yang bersifat statis melainkan serangkaian diskursus dan praktik yang

    terus menerus berubah secara instrinsik terikat pada kekuasaan sosial. Oleh karena

    hegemoni itu terus menerus harus dimenangkan dan bahkan diciptakan maka

    kemungkinan pula akan adanya perlawanan atau resistensi yaitu terciptanya blok

    kontra hegemoni yang dilakukan oleh kelompok atau kelas sub-ordinat (kelompok

    termarjinalkan) atau kelompok minoritas.

    Berdasarkan uraian di atas maka konsep power/knowledge dan hegemoni

    besar kemungkinannya ikut berperan atau bermain di dalamnya sehingga terciptanya

    sebuah harmoni dalam kehidupan dua etnis berbeda, yaitu etnis Tionghoa sebagai

    etnis minoritas dan etnis Bali sebagai etnis mayoritas di lokasi penelitian yaitu Desa

    Pupuan. Dengan demikian kedua teori tersebut dapat digunakan untuk membedah

    berbagai alasan penyebab terciptanya harmoni dan bentuk relasi kuasa yang terjadi di

    antara etnis Tionghoa dan etnis Bali sehingga ditemukan dinamikanya.

    2.3.2.2 Teori Genealogi

    Foucault menggunakan konsep “genealogy” untuk meneliti relasi kuasa dan

    kesinambungan serta patahan wacana yang bermain dalam kondisi-kondisi historis

    tertentu. Oleh karena itu Foucault diakui oleh banyak kalangan sebagai orang yang

  • 68

    berjasa menemukan genealogi subjek modern, yang ia lakukan dengan melacak dan

    menelusuri jejak-jejak sejarah. Foucault memperlakukan subjek sebagai subjek

    historis sehingga subjek dikenali dan dipahami sebagai produk sejarah.

    Foucault mengatakan bahwa tugas genealogi adalah menelaah cara-cara di